Pencarian

Sengketa Jago Jago Pedang 2

Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang Bagian 2


kecepatannya begitu mengagumkan, sehingga benar-benar membuat lawan kalang-
kabut! Maka mau tak mau lelaki bertubuh gemuk itu kembali harus berlompatan menghindari
sambaran pedang lawan yang masih terus mengejarnya!
"Setan...!"
Sambil memaki sejadi-jadinya, tubuh lelaki gemuk itu kembali berjumpalitan
menghindari sambaran pedang lawan. Sekali lihat saja, sudah dapat dinilai kalau
kepandaian lelaki tegap murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi itu masih beberapa
tingkat di atas lawannya.
Maka, wajarlah kalau lawannya menjadi kelabakan dibuatnya.
"Kakang Darpa, awaaas...!"
Tengah gencar-gencarnya lelaki bertubuh tegap itu mencecar lawan, terdengar
teriakan keras. Jelas, itu sebuah peringatan bagi lelaki bertubuh tegap yang
dipanggil Darpa.
Darpa, yang merupakan murid utama Ki Giri Tantra cepat menolehkan kepala ke
belakang. Ketika telinganya mendengar suara sambaran halus, cepat tubuhnya
melenting ke udara dan melakukan beberapa kali salto dengan gerakan manis.
Syuuut...! Syuuut...!
Beberapa buah pisau terbang sepanjang satu jeng-
kal meluncur di bawah tubuh Darpa. Untunglah, lelaki tegap itu bergerak sigap
begitu mendengar peringatan lelaki jangkung yang bernama Sudira. Kalau saja adik
seperguruannya itu tidak cepat memperingatkan,
mungkin Darpa sudah tergeletak terkena sambaran
senjata rahasia yang dilontarkan salah seorang pengeroyoknya.
"Jahanam keji, mampuslah...!"
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu pula tubuh Darpa melambung
disertai bentakan amarahnya.
Wuuut...! Brettt...! "Aaakh...!"
Hebat dan sangat menggiriskan apa yang dilakukan Darpa! Sambaran pedangnya
langsung membeset perut lelaki berpakaian hitam yang melancarkan serangan gelap
terhadapnya tadi.
Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu pun langsung ambruk mandi
darah! Bahkan langsung tewas seketika dengan usus memburai.
"Heaaat..!"
Darpa yang baru saja menjejakkan kakinya di atas tanah, menjadi terkejut
setengah mati ketika mendengar bentakan yang terdengar dari tempatnya berpijak.
Dan sebelum lelaki tegap itu sempat menyadari, tahu-tahu tubuhnya terjungkal
keras akibat tendangan yang telak menghantam dada kirinya!
Buggg...! "Hukhhh...!"
Lelaki tegap murid utama Perguruan Pedang Sinar
Pelangi itu terjungkal keras disertai semburan darah segar dari mulutnya!
"Yeaaat...!"
Sudira yang melihat nyawa kakak seperguruannya
terancam maut, cepat melesat disertai sabetan pedang ke arah seorang lelaki
tinggi besar yang melontarkan tendangan ke dada Darpa tadi.
Wuuttt...! Sambaran pedang Sudira menerjang angin kosong,
karena lelaki tinggi besar itu telah menarik tubuhnya ke belakang. Sambaran
ujung senjata Sudira tadi hanya lewat sejengkal di depan tubuh orang itu.
Namun, kepandaian murid-murid utama Ki Giri
Tantra itu memang hebat sekali! Begitu sambaran pedangnya luput, secepat kilat
Sudira memutar senjatanya mengarah ke batang leher lawan. Gerakannya
memang cepat dan hebat sekali! Sehingga, lelaki tinggi besar itu mau tidak mau
harus memuji kegesitan
lawannya. "Bagus...!" puji lelaki tinggi besar itu sambil memutar tubuhnya bagaikan orang
menggeliat. Dan, begitu sambaran senjata lawannya lewat di
atas kepala, lelaki tinggi besar itu langsung melepaskan tendangan kilat yang
mengancam perut lawan Sudira.
Zebbb...! Meskipun Sudira saat itu belum sempat menarik
pulang serangannya, ternyata ia masih sempat juga memiringkan tubuh. Maka,
serangan lawan pun hanya lewat di samping tubuhnya.
Sayang perhitungan Sudira masih kurang tepat!
Karena begitu tendangan pertama luput, tubuh lawannya langsung berputar seraya
mengirimkan tendangan berputar yang cepat dan mengejutkan!
Blaggg...! "Huaaakh...!"
Sudira terjengkang keras hingga sejauh hampir dua tombak ke belakang! Darah
segar kontan menyembur dari mulut lelaki jangkung itu. Hantaman keras yang
menggedor dadanya, mengakibatkan Sudira tidak
mampu lagi mempertahankan kuda-kudanya. Sehing-
ga, tubuh lelaki jangkung itu terjerembab jatuh menimbulkan suara berdebuk
keras! "Huaaakh...!"
Pemuda berbutuh jangkung itu mencoba bangkit
berdiri sambil kembali memegangi dadanya. Namun
belum juga sempurna berdirinya, dia telah memuntahkan gumpalan darah berwarna
kecoklatan. Jelas, hantaman dahsyat itu telah mendatangkan luka dalam
yang tidak ringan di tubuh Sudira.
"Adi Sudira...!"
Darpa yang saat itu sudah bangkit berdiri, bergegas memburu ke arah tubuh adik
seperguruannya yang
tengah tergolek lemah. Sadar kalau Sudira telah
mengalami luka dalam yang parah, maka Darpa mem-
balikkan tubuhnya menghadapi lelaki tinggi besar yang telah siap melontarkan
pukulan maut untuk mengirim nyawa mereka ke akhirat.
"Bangsat keji! Apa salah kami hingga demikian tega menurunkan tangan kejam
terhadap adik seperguru-anku"!" Geram Darpa sambil melintangkan senjata didepan
dada. Sepertinya, lelaki bertubuh tegap berusia empat
puluh tahun itu siap mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan adik
seperguruannya.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka, ternyata murid Ki Giri Tantra yang terkenal gagah
itu hanya bocah cengeng yang takut menghadapi kematian!" lelaki tinggi besar itu
tertawa gelak ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Darpa.
Suara tawa menggelegar itu hanya terdengar sesaat.
Kemudian, si pemilik suara tawa yang menggetarkan itu telah menatap Darpa
disertai sorot mata bengis!
Jelas, la sangat membenci lelaki tinggi tegap itu.
Darpa sempat tergetar hatinya melihat sorot mata tajam yang mengandung ancaman
maut Itu. Melihat
pancaran sinar mata lelaki tinggi besar itu, disadari kalau kekuatan yang
dimiliki lawan masih jauh lebih tinggi. Apalagi saat itu ia masih dalam keadaan
terluka. Maka, ketegangan pun semakin merasuk harinya.
"Hm...."
Sambil menghentikan langkah dalam jarak satu
tombak, lelaki tinggi besar itu menggeram lirih. Perlahan tangannya terangkat ke
atas kepala dalam bentuk bersilangan.
"Heaaah...!"
Diringi suara bentakan yang menggetarkan isi dada, tubuh tinggi besar itu
melayang disertai sambaran sepasang lengannya yang menimbulkan deru angin
tajam! Wuuut...! Beuuut...! Terkejut bukan main hati Darpa merasakan sam-
baran angin pukulan lawan yang membuat rambutnya bekibar. Padahal, saat itu
jarak di antara mereka masih terpisah cukup jauh. Jelas, kenyataan itu
membayang-kan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki lelaki tinggi besar
Itu. Cepat Darpa merundukkan kepala ketika kepala
lawan meluncur deras mengarah kepalanya. Sambil
menggeser kaki kanan ke samping, lelaki tegap itu me-nyabetkan ujung senjata
yang mengancam perut lawan.
Namun, serangan balasan yang dilancarkan Darpa
hanya dielakkan dengan menarik mundur tubuhnya.
Belum lagi Darpa sempat menyusuli serangannya, sebuah tendangan lawan telah
melesat cepat bagai kilat.
Zebbb...! Dengan memiringkan tubuhnya, murid utama Ki
Giri Tantra itu berhasil menghindari tendangan kilat lawan. Kemudian kaki
kanannya bergeser ke samping disertai tusukan ujung siku yang menekuk.
Wuuut..! Plakkk... Bukkk..!
Hebat dan cepat sekali gerakan yang dilakukan
lelaki tinggi besar itu! Tusukan siku Darpa ke arah jan-tungnya ditepis dengan
telapak tangan kanan. Berbarengan dengan itu, telapak tangan kirinya meluncur.
Langsung dihantamnya iga kanan Darpa secara telak!
"Hukhhh...!"
Tentu saja hantaman telapak tangan yang me-
ngandung kekuatan hebat itu kontan membuat tubuh Darpa melintir! Darah segar
tampak menetes di sela-sela bibirnya Jelas, hantaman itu semakin parah!
Lelaki tinggi besar berwajah bengis itu ternyata tidak berhenti sampai di situ
saja. Tanpa memberi pe-luang kepala lawan yang tengah terhuyung, kembali
dikirimkan dua buah pukulan sekaligus yang tertuju ke arah dada kiri dan pelipis
Darpa. Namun begitu serangan itu hampir menyentuh Dar-
pa, tiba-tiba melesat bayangan putih yang langsung memapak.
Wuuut...! Beeet..!
Plakkk... Plakkk... Desss...!
"Ughhh...!"
Terdengar benturan keras sebanyak tiga kali yang disusul terhuyungnya tubuh
laki-laki lawan Darpa, hingga sejauh satu tombak ke belakang! Melihat raut
wajahnya yang menyeringai, jelas kalau lelaki tinggi besar itu menderita rasa
nyeri pada tubuhnya.
*** 7 "Pendekar Naga Putih...!"
Terdengar seruan terkejut dan gentar yang keluar dari mulut lelaki tinggi besar
itu. Sepasang matanya menatap ragu ke arah sosok pemuda berjubah putih yang
sekujur tubuhnya tampak terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan.
"Benar. Akulah Pendekar Naga Putih...," sahut pemuda tampan berjubah putih yang
tak lain adalah
Panji. Rupanya pada saat keadaan Darpa tengah teran-
cam maut, Panji datang menolongnya. Sedangkan Dar-pa sendiri kini tengah dipapah
seorang gadis jelita berpakaian serba hijau. Yang tak lain adalah Kenanga.
"Sebaiknya beristirahatlah, Kisanak. Kulihat luka-lukamu cukup parah," ujar
Kenanga. Gadis itu segera merebahkan tubuh Darpa di ba-
wah sebatang pohon besar, tidak jauh dari situ.
Setelah memberi sebutir obat luka kepada Darpa,
Kenanga melangkah mendekati tubuh Sudira yang saat itu tengah terkapar pingsan.
Diangkatnya tubuh lelaki jangkung itu, lalu direbahkan di samping tubuh Darpa.
Sigap sekali cara gadis jelita itu dalam memberikan pertolongan kepada Sudira.
Merasa yakin kalau Darpa dan Sudira sudah tidak
mengkhawafirkan, Kenanga beranjak bangkit dan mengalihkan perhafian kepada
Panji. Sementara itu pertarungan lainnya yang terjadi antara kelompok orang berpakaian
serba hitam melawan para murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi, sudah berakhir.
Delapan belas orang berpakaian serba hitam itu segera meninggalkan mayat-mayat
kawan dan lawannya. Kemudian mereka bergabung dengan lelaki
tinggi besar yang merupakan pimpinan gerombolan.
Panji yang melihat bergeletakannya puluhan mayat kedua belah pihak hanya menarik
napas sedih. Ia me-nyesali keterlambatannya datang ke tempat itu. Kalau saja
datang lebih awal, mungkin hal itu tidak perlu terjadi.
Kenanga yang mendengar helaan napas berat ke-
kasihnya, segera saja dapat menduga. Dengan langkah perlahan, dihampirinya
Pendekar Naga Putih.
"Tidak perlu menyesal, Kakang. Mereka tidak mungkin dapat dihidupkan kembali.
Yang penting sekarang adalah menyelamatkan kedua orang lelaki itu dari kekejaman
mereka," hibur Kenanga sambil mengerling-kan mata ke arah Darpa dan Sudira. Kini
dua murid Ki Giri Tantra tengah menghimpun hawa murni sesuai
anjuran Kenanga.
"Tidak, Kenanga Aku hanya merasa sedih, melihat banyaknya orang yang menjadi
korban akibat nafsu se-rakah majikan ataupun ketua-ketua mereka Celaka-
nya, dunia ini banyak dihuni orang seperti itu. Sehingga, korban pun tidak
pernah berhenti berjatuhan.
Hhh...," Panji menghembuskan napasnya kuat-kuat seperti hendak melepaskan
kegundahan hati.
Sedangkan lelaki tinggi besar dan delapan belas
orang pengikutnya mulai bergerak mengepung pendekar muda itu. Melihat dari sikap
dan senjata yang terhunus dalam genggaman tangan, jelas mereka hendak menghabisi
nyawa Panji dan Kenanga.
Sepertinya, belasan orang di bawah pimpinan lelaki tinggi besar itu sudah tidak
mempedulikan Darpa dan Sudira lagi. Dan yang menjadi sasaran mereka kali ini
adalah pasangan pendekar muda itu.
Belasan orang berseragam hitam itu sudah mulai
bergerak mengepung, namun Panji dan Kenanga tetap saja bersikap tenang. Mereka
sama sekali tidak gentar meskipun pihak lawan jelas jauh lebih banyak.
"Kenanga, sebaiknya jagalah kedua orang yang tengah memulihkan tenaga itu.
Rasanya, akan berbahaya sekali bila mereka dibiarkan tanpa terjaga. Biar aku
saja yang mengurusi orang-orang ini," bisik Panji sambil merapatkan tubuh ke
dekat gadis jelita itu.
Kenanga yang semula hendak membantah, terpaksa
melangkah ke arah tempat Darpa dan Sudira tengah bersemadi. Karena sinar mata
kekasihnya jelas tidak ingin dibantah, maka mau tak mau gadis itu menuruti-nya.
"Harm...!"
Dua orang lelaki berseragam hitam yang melihat
Kenanga melangkah ke arah Darpa dan Sudira, cepat melompat sambil berseru
nyaring! Wuuut...! Wuuut...!
Dua batang pedang yang menyambar dari kiri-ka-
nannya, sama sekali tidak dihiraukan Kenanga. Gadis itu tetap saja meneruskan
langkahnya bagaikan orang hendak bunuh diri. Baru pada saat mata pedang hampir
menyentuh kulit tubuhnya, kaki kanannya ditarik melangkah mundur satu tindak ke
belakang. Berbarengan dengan itu sepasang tangannya bergerak me-ngembang untuk
menangkis datangnya sambaran dua
batang senjata.
Dukkk! Dukkk! Buggg.... Desss...!
Dua orang lelaki berpakaian serba hitam itu me-
ngeluh pendek ketika lengan Kenanga langsung berputar. Dan sebelum ada yang
sempat menyadarinya, sebuah tendangan sisi telapak tangan miring telah menghajar
belakang leher mereka secara telak!
Maka tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang Itu langsung ambruk di atas
tanah. Hantaman keras itu telah membuat mereka pingsan seketika.
Setelah merobohkan dua orang penghadang, Kena-
nga meneruskan langkah ke arah tempat Darpa dan
Sudira berada. Gadis jelita itu cepat bergerak mencegah ketika kedua orang
lelaki yang dtolongnya hendak bergerak bangkit dari semadinya.
"Jangan banyak bergerak dulu. Keadaan tubuh kalian masih belum pulih seluruhnya.
Lebih baik, kita lihat saja apa yang akan diperbuat Pendekar Naga Putih terhadap
orang-orang itu," ujar Kenanga sambil menjatuhkan pantatnya di atas rerumputan


Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hijau dan tebal.
"Jadi, pemuda yang tadi menolongku itu adalah Pendekar Naga Putih" Ahhh...
benar-benar beruntung aku hari ini. Rasa-rasanya aku harus berterima kasih
kepada orang-orang berpakaian serba hitam itu. Buktinya, dengan perantaraan
merekalah, aku dapat berjumpa pendekar besar yang sudah sering kudengar
namanya dari tokoh-tokoh persilatan. Senang rasanya dapat melihat langsung
pendekar muda yang sudah
terkenal di dalam rimba persilatan," kata Darpa dengan wajah berseri-seri.
Mendengar dari nada ucapannya, jelas kalau Darpa benar-benar mengagumi dan
menghormati Pendekar
Naga Putih. Sedangkan Sudira yang belum begitu banyak pe-
ngalamannya, hanya mengangguk-anggukkan kepala
dengan sorot kekaguman. Kalaupun ia pernah mendengar orang yang berjuluk nama
Pendekar Naga Putih itu pun masih dalam lingkungan bangunan perguruannya.
Memang, Sudira belum pernah meninggalkan perguruan untuk meluaskan pengalaman.
Hal Itu karena Ki Giri Tantra yang menjadi guru besarnya memang belum memberikan
izin mengembara. Dan hal Itu cukup beralasan, karena Sudira memang belum mempu-
nyai bekal cukup.
Kenanga yang juga mendengar ucapan Darpa, sem-
pat heran juga. Dipandanginya lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun itu
lekat-lekat. "Mengapa kau terkejut mendengar julukan Pendekar Naga Putih disebut, Kakang
Darpa" Apakah kau tidak sempat mendengar seruan yang dikeluarkan lelaki tinggi
besar yang hampir menewaskanmu tadi?"
Tanya Kenanga, mengingatkan kalau lawan Darpa tadi sempat menyebut Pendekar Naga
Putih, setelah serangannya digagalkan.
"Eh, benarkah?" Darpa menoleh balik bertanya.
"Wah, mungkin saat itu aku terlalu sibuk dengan lu-ka-lukaku. Sehingga, aku
tidak sempat mendengar seruan itu."
"Hm.... Tampaknya pertarungan sudah dimulai...,"
gumam Kenanga. Pandangannya telah kembali tertuju ke arah arena pertarungan.
Darpa dan Sudira yang semula tengah memandang
ke arah Kenanga, serentak memalingkan wajah ke arena pertempuran yang memang
sudah mulai berlang-
sung itu. Saat itu, Pendekar Naga Putih yang menghadapi
keroyokan tujuh beias orang berpakaian serba hitam, berkelebat menyelinap di
antara kilatan-kilatan sinar pedang pengeroyoknya. Dan serjap kali tangan pemuda
tampan itu bergerak melancarkan serangan balasan, selalu saja ada tubuh lawan
yang terjungkal roboh tanpa mampu bangkit lagi. Memang tamparan dan tendangan
yang dilancarkan pemuda tampan itu dapat membuat lawan menggelepar pingsan
seketika. Bukan main murkanya hati lelaki tinggi besar yang menjadi pimpinan orang-orang
berpakaian serba hitam.
Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap, disertai sorot mata tajam yang
ditujukan kepada Pendekar Na-ga Putih. Sepertinya, dia ingin menelan tubuh
pemuda tampan di depannya hidup-hidup.
"Mampus kau, Pendekar Naga Putih...!" teriak lelaki tinggi besar sambil melompat
disertai sabetan pedangnya yang menimbulkan angin menderu tajam.
Panji yang melihat datangnya serangan segera saja memiringkan tubuh tanpa
menggerakkan kaki. Begitu ujung pedang lawan lewat sejengkal didepan tubuhnya,
jemari tangannya cepat melakukan cengkeraman agar senjata lawan terlepas.
Gerakan pemuda itu masih dibarengi geseran kaki kanannya kedepan disertai sodo-
kan siku yang mengancam perut lawan.
Namun lelaki bertubuh tinggi besar itu rupanya
cukup cerdik. Sadar kalau untuk menarik pulang tangan jelas akan kalah cepat
mata pedangnya diputar.
Sehingga, kini mata pedang itu tentu saja menjadi ber-balik mengancam jemari
tangan Panji. Sambil memutar senjata, lelaki tinggi besar bermuka hitam itu
menggeser kaki kanan ke samping menggunakan kuda-kuda rendah. Sehingga, ia telah
menghindarkan dua serangan Pendekar Naga Putih sekaligus.
"Bagus...!" puji Pendekar Naga Putih yang merasa kagum dengan kecerdikan
lawannya. Belum lagi ucapannya selesai, tubuh pemuda tam-
pan itu berputar setengah lingkaran disertai sebuah tendangan kilat sambil
melompat. Wuuuk...! "Aaah...!"
Kaget bukan main hati lelaki tinggi besar itu melihat kecepatan gerak serangan
lawan. Meskipun sebelumnya telah mengetahui tentang pemuda tampan yang menjadi
lawannya, tapi ia tetap saja terkejut. Maka, cepat tubuhnya berguling ke samping
kanan, dan terus melenting bangkit melakukan beberapa kali puraran salto di
udara. "Fuhhh...!"
Sambil menyusut peluh dingin yang membasahi ke-
ning, lelaki tinggi besar itu menghembuskan napas kuat-kuat. Benar-benar hampir
tidak dipercayai kalau hanya dalam beberapa gebrakan saja pemuda tampan itu
hampir dapat membuatnya terhika.
"Gila! Nama Pendekar Naga Putih ternyata bukan hanya sekadar kabar angin belaka.
Untung saja aku masih sempat meloloskan diri dari serangannya. Kalau tidak,
mungkin sudah menggelepar bagaikan binatang disembelih," gumam lelaki tinggi
besar bermuka hitam itu, tegang.
Sadar kalau tidak mungkin dapat menanding} ke-
saktian Pendekar Naga Putin, matanya pun mulai me-lirik mencari jalan
menyelamatkan diri. Dan, kalau tetap nekat, bisa-bisa ia sendirilah yang akan
menjadi korban. Selain pemuda itu sulit ditandingi, di tempat itu pun masih
terdapat gadis jelita dan dua orang murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi yang
mungkin saja akan mengeroyok dan menangkapnya. Menyadari keadaan itu, cepat-
cepat melesat pergi meninggalkan tempat itu.
"Anak-anak, lariii...!" seru lelaki tinggi besar yang sudah mendahului para
pengikutnya meninggalkan
tempat itu. Para pengikut lelaki bertubuh tinggi besar yang
jumlahnya hanya tinggal enam orang itu langsung saja berhamburan ke segala arah!
Jelas, mereka bermaksud membingungkan lawan dengan cara berpencar seperti itu.
Panji sendiri tidak berusaha mengejar ketika melihat para pengeroyoknya
berlarian meninggalkan tempat itu. Dan bila Pendekar Naga Putih memerlukan
keterangan tentang mereka, itu masih ada didapat dari lawan-lawannya yang
terpukul pingsan tadi.
Sepeninggal lawan-lawannya, Pendekar Naga Putih
melangkah mendekati tubuh salah seorang lawan yang masih tergeletak pingsan.
Namun baru saja tubuhnya membungkuk hendak menyadarkan orang itu, mendadak
telinganya yang tajam mendengar suara men-
desis di belakangnya.
"Kakang, Awaaas...!"
Kenanga yang melihat adanya sebuah benda bulat
melayang ke arah tubuh kekasihnya, cepat memperingatkan!
Tanpa peringatan dari Kenanga pun, sebenarnya
Pendekar Naga Putih memang sudah dengar. Kening
pemuda tampan itu sempat berkerut ketika kepalanya menoleh melihat benda bulat
itu. Merasa curiga kalau-kalau senjata itu mengandung racun jahat, maka Panji
tidak mau bertindak ceroboh. Cepat tubuhnya dilempar menjauhi tempat itu!
Daaarrr...!"
Terdengar ledakan keras yang bagaikan menggun-
cang daerah hutan kecil itu. Gumpalan-gumpalan tanah besar kecil beterbangan ke
sekitar daerah itu, disusul kepulan asap putih yang bergulung-gulung memenuhi
sekitarnya. "Asap beracun..."!" Desis Pendekar Naga Putih ketika mendapatkan bagian dalam
dadanya terasa nyeri akibat menghisap asap putih itu.
Sadar akan bahaya yang mengancam ketiga orang
lainnya yang berada tidak terlalu jauh dari tempat itu, tubuh Panji pun
melambung dan bersalto beberapa kali di udara.
"Kenanga! Bawa mereka menyingkir! Asap ini mengandung racun jahat yang
mematikan...!" Seru Panji begitu kakinya menjejak tanah di dekat Kenanga, Darpa,
dan Sudira. Dan, sebelum gema suaranya lenyap, tubuh pemu-
da tampan itu kembali menjauhi kepululan asap yang semakin menyebar.
Kenanga, Darpa, dan Sudira pun Bdak mau mem-
buang-buang waktu lagi. Mereka memang sempat
menghirup asap putih. Bahkan juga merasa nyeri pada bagian dalam dadanya. Maka
ketika mendengar seruan Panji, serentak mereka berlomba meninggalkan daerah yang
telah dicemari gumpalan asap putih itu.
Setelah merasa cukup jauh meninggalkan tempat
celaka itu, barulah mereka menghentikan larinya. Tampak mereka terbatuk-batuk
akibat asap yang telah memasuki tubuh.
"Cepat telan obat ini...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih segera menyodorkan sebutir
obat berwarna merah darah kepada Kenanga dan dua orang lainnya. Sedangkan ia
sendiri telah lebih dahulu menelannya.
Kenanga yang sudah mengetahui khasiat pil ber-
warna merah darah itu, cepat menelannya tanpa banyak tanya.
Lain halnya dengan Darpa dan Sudira yang baru
pertama kali melihat pil itu. Rasa heran bercampur takjub jelas tergambar di
wajah keduanya. Memang terasa ada hawa hangat yang berputar di pusat tenaga
mereka, untuk kemudian bergerak naik hingga hampir mencapai kerongkongan.
"Hebat sekali pengaruh obat itu, Pendekar Naga Putih. Kalau boleh tahu, apa
sajakah khasiatnya?" Tanya Darpa yang merasa heran ketika merasakan ke-
mukjizatan pil merah darah pemberian Panji.
"Khasiat pil itu sebenarnya cukup banyak. Tapi yang paling utama, dapat
melancarkan peredaran jalan darah yang tersumbat dan memusnahkan sisa pengaruh
racun yang mengeram dalam tubuh. Karena asap beracun yang kita hisap tadi tidak
terlalu banyak, tentu saja dapat lenyap hanya dengan penggunaan pil itu,"
jelas Panji. Darpa dan Sudira mengangguk-anggukkan kepala
ketika mendengar penjelasan itu. Diam-diam rasa kagum dan hormat mereka semakin
bertambah terhadap Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Sekarang hendak ke mana tujuan kalian?"
Tanya Pendekar Naga Putih menatap kedua orang lelaki gagah itu.
"Kami hendak mencari guru kami yang bernama Ki Giri Tantra atau yang lebih
dikenal berjuluk Raja Pedang Sinar Pelangi," sahut Darpa. Ada sedikit kesan
kebanggaan ketika menyebutkan julukan gurunya.
"Aaah.... Pantas permainan pedang kalian memiliki dasar-dasar yang serupa dengan
ilmu pedang yang
dimiliki orang tua sakti itu. Kalau begitu, biarlah kita berpisah di sini.
Karena, aku mempunyai tugas lain yang harus segera kuselesaikan. Sayang tadi
kita diserang asap beracun, sehingga orang-orang yang pingsan tadi menjadi mati.
Sebenarnya aku memerlukan keterangan dari mereka. Tapi biar bagaimanapun, aku
akan tetap menyelidiki di mana markas mereka berada," janji Panji, perlahan.
Setelah berpamitan kepada Darpa dan Sudira, pa-
sangan pendekar muda itu pun melanjutkan perjalanan.
"Kakang, mengapa kau tidak menceritakan persoalan kita kepadanya" Aku yakin,
pendekar muda itu tentu akan bersedia membantu kesulitan yang tengah kita hadapi
ini," tegur Sudira. Dia memang merasa heran melihat kakak seperguruannya tidak
meminta pertolongan Pendekar Naga Putih.
"Hhh.... Kau seperti tidak tahu sifat Ki Giri Tantra saja. Beliau paling tidak
suka kalau urusannya dicam-puri orang lain. Apalagi kita belum melaporkan
kejadian ini kepada guru. Bisa-bisa kita kena damprat kalau menceritakannya
kepada orang lain sebelum gu-ru sendiri mengetahuinya dari kita," sahut Darpa
mengingatkan. "Lebih baik sekarang kita cari dulu beliau. Ayolah."
*** 8 Matahari sudah memancarkan sinarnya ke seluruh
permukaan bumi. Saat itu, delapan sosok tubuh tampak melangkah tegap memasuki
Lembah Kepala Naga.
Menilik langkah kaki yang rata-rata ringan dan mantap, jelas mereka bukanlah
orang sembarangan.
Jalanan mendaki yang berlapiskan batu-batu ca-
das licin yang dilalui sama sekali tidak menghambat langkah mereka. Bahkan
ketika jalan yang ditempuh semakin sulit, kedelapan orang itu malah berlari
ringan. Namun sebelum rombongan kecil itu tiba di tempat tujuan, lelaki yang berjalan
paling depan tampak menghentikan langkahnya. Pandangannya langsung beredar ke
sekeliling. Keningnya tampak berkerut, meskipun di sekelilingnya hanya terlihat
gerombolan semak belukar dan pohoh-pohon besar. Tampaknya, lelaki berkumis lebat
itu membaui sesuatu yang mencurigakan!
"Ada apa, Kakang Bartawa" Mengapa berhenti di sini" Bukankah Lembah Kepala Naga
masih belasan tombak didepan?" Tanya salah seorang anggota rombongan kecil itu ikut
mengedarkan pandangannya.
"Hm.... Kau tidak merasakan sesuatu yang aneh, Adik Randika...?" Tanya yang
ternyata bemama Bartawa, perlahan.
"Tidak, Kakang. Perasaanku wajar saja, dan tidak melihat adanya sesuatu yang
aneh di tempat ini," sahut orang yang dipanggil Randika itu sambil mengedarkan
pandangannya berkeliling dengan mata menyorot tajam. Meskipun demikian, tetap
saja ia tidak menemukan keanehan yang dimaksud kakak seperguruannya.
"Hm.... Mungkin perasaanku saja yang salah. Sudahlah. Ayo kita lanjutkan
perjalanan," ajak Bartawa meskipun harinya masih merasa tidak tenang.
Namun baru beberapa langkah kaki mereka me-
nindak, terdengar suara berdesing nyaring yang saling bersahutan. Tentu saja hal
itu membuat mereka serentak menolehkan kepala ke arah asal suara tadi.
"Awaaas...!"
Bartawa yang merupakan pimpinan rombongan
kecil itu berseru memperingatkan kawan-kawannya.
Memang, ketika menoleh tampak belasan batang anak panah tengah meluncur
mengancam keselamatan mereka. Sedangkan ia sendiri, sudah melompat disertai
putaran pedangnya yang membentuk gulungan sinar
menyelimuti sekujur tubuhnya.
Tranggg,..! Tranggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika bebe-
rapa batang anak panah yang mengincar tubuh Bar-
tawa terpukul runtuh oleh putaran gulungan sinar pedangnya.
Demikian pula ketujuh orang lainnya. Anak-anak
panah yang tertuju ke tubuh mereka pun dapat di-
pukul roboh. Sehingga, mereka sama sekali tidak terkena sambaran anak panah yang
puluhan banyaknya.
"Keparat! Siapa gerangan yang berani melakukan perbuatan sepengecut ini"!" umpat
Randika, geram.
Sedang pedang di tangannya telah melintang didepan dada, siap menghadapi
serangan gelap berikutnya.
"Hm.... Tenanglah, Adi Randika. Rupanya inilah, keanehan yang semenjak tadi
mengganggu pikiranku.
Rupanya ada orang-orang tolol yang hendak berbuat curang kepada kita," ujar
lelaki berkumis lebat juga dengan suara perlahan.
"Ini tidak bisa kita maafkan, Kakang Bartawa. Penyerang-penyerang gelap itu
harus diberi pelajaran, agar lain kali bisa melihat-lihat orang yang diserang-
nya," tegas Randika yang jelas merasa marah atas ke-curangan itu.
Sedangkan Bartawa tetap bersikap tenang sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Namun sepanjang matanya memandang, yang di-
lihat hanyalah gerombolan semak belukar dan pepohonan besar. Tak satu bayangan
pun yang tertangkap matanya. Sehingga, Bartawa kembali melemaskan urat-urat
tubuhnya yang menegang.
"Hm.... Siapa pun adanya para penyerang gelap itu, kita harus lebih berhati-
hati. Bukan tidak mungkin kalau mereka adalah murid-murid saingan guru besar
kita. Hanya yang tidak kumengerti, mengapa mereka bertindak demikian
pengecutnya," ujar Bartawa yang siap hendak menyimpan pedangnya kembali.
Namun belum juga pedangnya tersarung kembali,
bergegas Bartawa melompat mundur ketika mendengar adanya sambaran angin kuat
yang tertangkap pende-ngarannya. Cepat lelaki berusia empat puluh tahun itu


Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengibaskan senjatanya, memukul runtuh beberapa
batang paku hitam yang meluncur ke arahnya.
Tengah sibuknya Bartawa dan rekan-rekannya me-
mukul runtuh senjata-senjata gelap itu, terdengar teriakan-teriakan nyaring.
Kemudian, disusul berlompa-tannya belasan sosok tubuh dari balik semak belukar
dan pohon-pohon besar di sekeliling tempat itu.
"Bunuh mereka semua...!"
Terdengar suara perintah tanpa ujud yang mem-
buat delapan orang lelaki gagah itu menjadi terkejut.
Dengan gerakan ringan dan mantap, Bartawa me-
mutar senjatanya dengan kecepatan tinggi.
Wunggg...! Wunggg...!
Bentuk pedang di tangan Bartawa lenyap menjadi
gundukan sinar yang bergulung-gulung menyelimuti sekujur tubuhnya. Hebatnya, di
dalam gulungan sinar pedang lelaki berkumis tebal itu terkadang muncut kilatan-
kilatan cahaya yang bagaikan gemerlap bintang di angkasa.
Sementara itu, tampak lelaki bertubuh gemuk yang berusia sekitar lima puluh
tahun memberi isyarat kepada belasan orang berpakaian serba hitam untuk segera
mengepung rombongan kecil itu. Sedangkan ia sendiri telah melompat maju
menghadapi Bartawa yang sudah dapat dipastikan adalah salah seorang tokoh
Perguruan Pedang Tujuh Bintang.
Lompatan lelaki gemuk itu dibarengi putaran pe-
dang yang gerakannya tidak kalah cepat dengan gerakan Bartawa. Gulungan sinar
pedang lelaki itu bahkan jauh lebih indah daiipada gerakan lawan.
Wuuuk...! Wuuuk...!
Terdengar suara mengaung tajam ketika sinar pe-
dang lelaki gemuk itu berkeredep bagaikan garis-garis pelangi yang berwarna-
warni. Kemudian, bergerak cepat meluncur ke arah tubuh lawan.
Melihat gerakan pedang lawan, tentu saja hati Bartawa menjadi tercekat. Memang,
ia kenal betul dengan gaya permainan pedang lelaki gemuk itu. Sehingga, untuk
beberapa saat lamanya gerakan pedangnya terhenti sambil menatap tajam ke arah
lawannya. "Ilmu Pedang Sinar Pelangi.."!" Desis lelaki gagah berkumis tebal itu dengan
kening berkerut. "Katakan, apa hubunganmu dengan Raja Pedang Sinar Pelangi."
Bartawa kontan bergerak mundur menjauhi lawan-
nya. Memang, ia tidak ingin kalau perkelahian itu terjadi hanya karena salah
paham saja. "Huh! Tidak perlu banyak cakap! Aku memang
salah tokoh Perguruan Pedang Sinar Pelangi. Dan Ki Giri Tantra menugaskanku
untuk menghabisi nyawa
kalian. Kalian harus tahu, guru kalian adalah salah satu penghalang guru kami
untuk menjadi seorang jago pedang nomor satu di kolong langit ini. Itulah
sebabnya, mengapa aku harus melenyapkan kalian yang merupakan penerus Raja
Pedang Tujuh Bintang," sahut lelaki gemuk yang ternyata adalah Kinaya, salah
satu murid utama Ki Giri Tantra.
"Keparat!" maki Bartawa setelah mendengar ucapan lawannya yang jelas-jelas
hendak mencelakakan ia dan kawan-kawannya.
Maka tanpa banyak cakap lagi, lelaki gagah ber-
kumis tebal itu memutar senjatanya sekuat tenaga.
Memang, disadari betul, lawannya kali ini tidak bisa dipandang ringan.
"Heaaat...!"
Dengan dibarengi sebuah teriakan nyaring yang
menggetarkan, tubuh Bartawa melesat disertai putaran pedangnya.
"Yeaaat..!"
Kinaya yang memang berniat hendak melenyapkan
kedelapan orang murid Perguruan Pedang Tujuh Bintang, segera berseru menyambut
serangan Bartawa.
Pedang di tangannya bergulung-gulung naik-turun diiringi suara menderu-deru.
Jelas, lelaki gemuk itu pun telah mengerahkan kekuatannya untuk menggempur
Bartawa. Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Dua orang tokoh dari aliran berbeda itu, saling gempur mengandalkan ilmu pedang
andalan masing-masing.
Sehingga, dalam sekejap saja suasana yang semula se-pi itu pun berubah bising!
Hebat dan menarik sekali pertarungan yang ber-
langsung antara dua orang murid jago pedang itu. Gulungan sinar, berwarna-warni
bergerak saling libat dengan gulungan sinar pedang yang terkadang menimbulkan
kilatan-kilatan sinar bagai taburan bintang di angkasa. Sehingga, pertarungan
kedua orang tokoh itu menjadi ramai dan menarik!
Di bagian lain, Randika yang juga salah seorang
murid utama Raja Pedang Tujuh Bintang, berhadapan dengan seorang lelaki bertubuh
sedang. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Orang itu tak lain adalah
Wiradesa yang merupakan adik seperguruan Kinaya.
Rupanya, ia pun telah pula bertarung sengit melawan Randika. Sehingga, suasana
di sekitar tempat itu semakin ramai oleh suara dentang senjata beradu.
"Haiiit..!"
Tengah kedua orang tokoh itu bertarung sengit,
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Dan belum juga gema suara itu hilang,
tubuh berpakaian serba hitam yang langsung terjun ke dalam arena pertarungan
Wiradesa dan Randika.
"Kita tidak perlu membuang-buang waktu dalam menghadapi keroco-keroco ini. Lebih
baik cepat selesaikan sebelum yang lain berdatangan," sent sosok tubuh gemuk
berwajah brewok yang langsung memban-
tu Wiradesa. Wuuuk...! Dengan gerakan cepat dan kuat, pedang di tangan
lelaki gemuk itu meluruk ke arah lambung Randika yang saat itu tengah mengegos
ke samping menghindari tusukan pedang Wiradesa. Sehingga keadaan tokoh
Perguruan Pedang Tujuh Bintang itu benar-benar ter-jepit!
"Hiaaah...!"
Karena tidak ada waktu untuk menghindari, Ran-
dika mengayunkan pedangnya memapak tusukan lelaki gemuk berwajah brewok itu.
Kekuatannya pun juga
ditambah dalam melakukan tangksan mendadak itu.
Wuuut... Tranggg...!
Pijaran bunga api memercik diiringi suara berdentang nyaring yang menulikan
telinga. Kemudian disusul terpentalnya tubuh mereka beberapa langkah ke
belakang. Jelas, tenaga Randika dan lelaki brewok itu masih seimbang!
Wiradesa yang melihat tubuh Randika terjajar mundur, cepat mengibaskan pedang
secara mendatar. Gerakannya cepat dan tak terduga. Sehingga, tentu saja membuat
lawan terperangah pucat! Dan....
Wuuut...! Brettt...!
"Aaakh...!"
Randika menjerit ngeri ketika ujung pedang lawan merobek perutnya. Matanya
terbelalak melihat semburan darah segar yang mengalir dari luka menganga di
bagian perutnya. Belum lagi keadaan dirinya sempat disadari, sebuah tendangan
keras dari lelaki berwajah brewok, membuat tubuhnya terjungkal sejauh satu
setengah tombak ke belakang!
Brughhh..! "Uuugh...!"
Bagaikan binatang disembelih, tubuh Randika me-
negang menahan sakit yang tak terhingga. Matanya melotot bagaikan hendak
melompat keluar dari tempatnya. Sesaat kemudian, kepala lelaki gagah itu pun
terkulai karena napasnya telah putus!
"Adi Randika...!"
Bartawa yang saat itu tengah bertarung sengit melawan Kinaya, tentu saja menjadi
terkejut ketika mendengar jerit kematian adik seperguruannya. Maka ia cepat
melompat meninggalkan lawannya ketika melihat tubuh Randika roboh bermandikan
darah segar! Namun Kinaya tidak sudi membiarkan lawannya
pergi begitu saja. Cepat ia melesat mengejar disertai kibasan pedang yang
langsung merobek punggung Bartawa.
"Yeaaat..!"
Wuuut..! Brettt..!
"Aaakh...!"
Sambaran mata pedang yang merobek punggung,
membuat Bartawa menjerit kesakitan! Tubuhnya yang semula tengah meluncur ke arah
Randika langsung terhuyung limbung akibat tebasan pedang Kinaya.
"Bangsat licik! Tak kusangka kalau murid-murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi
merupakan orang-orang berhati busuk!" Maki Bartawa dengan gerakan terhuyung.
Sepasang matanya tampak menatap Kinaya penuh dendam.
Namun baik Kinaya, Wiradesa maupun lelaki ber-
wajah brewok itu benar-benar telah berubah menjadi iblis. Melihat darah yang
mengucur melalui luka di punggung lawan, seolah-olah semakin memancing has-rat
mereka untuk membunuh.
"Heaaat..!"
Didahuiui bentakan nyaring, tubuh ketiga orang
lelaki haus darah itu melesat disertai tebasan senjata bagai hendak merencah
hancur tubuh Bartawa.
"Yeaaah...!"
Sadar kalau untuk menyelamatkan diri dari keke-
jaman ketiga orang itu jelas tidak mungkin, Bartawa pun membentak keras sambil
memutar senjatanya sekuat tenaga.
Sayang, meskipun Bartawa telah mengerahkan se-
luruh sisa kekuatannya, tetap saja tidak mampu mem-bendung gempuran ketiga orang
lihai itu. Sehingga, beberapa kali tusukan senjata lawan mulai melukai tubuhnya.
"Aaakh...!"
Kembali tubuh Bartawa terhuyung untuk yang ke-
sekian kalinya. Pakaiannya yang semula bersih sudah dipenuhi noda darah. Belum
lagi sempat mengatur keadaan tubuhnya, ketiga orang iblis haus darah itu kembali
menyarangkan ujung-ujung senjata!
"Heaaat..!"
Brettt...! Crasss...! Brettt...!
"Aaargh...!"
Bagaikan binatang terluka, Bartawa meraung se-
tinggi langit ketika tiga buah senjata lawan kembali mengoyak beberapa bagian
tubuhnya. Sehingga, tubuh lelaki gagah berkumis tebal itu terjengkang ke
belakang dan terbanting menimbulkan suara berdebuk nyaring!
"He he he.... Pergilah ke neraka, Manusia Dungu...!"
kata Kinaya sambil mengkelebatkan pedang ke arah batang leher Bartawa yang
tengah sekarat.
Wuuut... "Crakkk...!"
Darah segar kembali menyembur dari leher Bartawa yang telah terpisah dari
kepala. Kejam sekali apa yang dilakukan Kinaya. Bahkan tatapan matanya begitu
dingin ketika selesai menebas putus leher Bartawa.
Sehingga, lelaki gagah murid utama Perguruan Pedang Tujuh Bintang itu pun tewas
tanpa sempat berteriak lagi.
"Anak-anak pergi...! Tinggalkan kedua orang cecunguk itu, biar dia melapor
kepada guru besarnya. Ha ha ha...!"
Setelah berkata demikian, Kinaya, Wiradesa, dan
lelaki brewok itu bergerak meninggalkan tempat itu diiringi para pengikutnya
yang berjumlah enam belas orang.
Tinggal sisa murid Perguruan Pedang Tujuh Bin-
tang yang hanya dua orang. Mereka kini berdiri bagaikan orang linglung. Jelas,
mereka sangat terpukul atas kejadian yang bagai mimpi buruk itu.
"Kita kuburkan dulu mayat Kakang Bartawa dan Randika. Baru kejadian ini kita
laporkan kepada guru,"
ajak salah seorang dari kedua lelaki itu dengan suara parau.
Tanpa banyak cakap lagi, kakinya pun mulai me-
langkah ke arah mayat kedua orang kakak sepergu-
ruan mereka yang terbaring kaku.
"Tenanglah kau di dalam sana, Kakang. Kami berjanji akan membalas kekejaman
ini...," ucap salah seorang dari mereka dengan suara kering dan menyiratkan
dendam. Tak lama kemudian, mereka berangkat meninggal-
kan tempat itu. Hanya hembusan angin gunung yang menyertai langkah lesu mereka.
*** Angin pegunungan bertiup silir-silir menyegarkan tubuh. Kicauan burung-burung
pagi yang menyambut kehangatan sinar matahari, terdengar saling bersahutan.
Sehingga, menambah keindahan suasana pagi di Pegunungan Kelambat.
Namun, keindahan alam Gunung Kelambat itu sa-
ma sekali tidak menarik perhatian seorang lelaki tua bertubuh kurus. Langkahnya
tampak terburu-buru ketika mulai mendaki lereng gunung. Pakaiannya yang berwarna
putih dan panjang hingga ke lutut, tampak berkibar tertiup angin pegunungan.
Sepasang mata kakek berusia sekitar tujuh puluh
tahun itu, tertuju lurus ke depan. Menilik dari pancaran wajahnya, jelas dia
tengah dilanda kemarahan hebat!
Tidak berapa lama kemudian, langkah kaki kakek
tua itu mulai bergerak memasuki dataran yang cukup luas. Rupanya, dataran lebar
Lembah Kepala Naga itulah yang menjadi tujuannya. Terbukti langkahnya terhenti
pada dataran yang agak tinggi. Tatapan matanya berputar merayapi daerah
sekitarnya. Wajah Ki Ageng Semplak atau yang lebih dikenal
sebagai Raja Pedang Angin Puyuh tampak semakin gelap ketika melihat sesosok
tubuh pendek gemuk tengah melangkah menuju tempatnya. Melihat dari tatapan
matanya yang menyiratkan kegusaran, jelas ia telah mengenal sosok yang tengah
melangkah itu. "Hm.... Percepatlah langkahmu, Ki Tunggul Wulung.
Aku sudah tidak sabar menanti kedatanganmu," desis Raja Pedang Angin Puyuh
bemada ancaman.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah lelaki pendek gemuk itu di tempat Ki Ageng
Semplak menanti.
"Ha ha ha...! Rupanya kau tidak sabar menanti hingga purnama muncul, Ki Ageng
Semplak. Pagi sekali kau tiba di tempat pertemuan ini," kata lelaki pendek gemuk
yang tak Iain adalah Raja Pedang Penakluk
Bumi. Kalau mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ki Tunggul Wulung, jelas kalau
hari itu merupakan hari pertemuan yang telah ditentukan para jago-jago pedang di
empat penjuru. "Hm.... Aku memang sudah tidak sabar menanti kedatanganmu, Manusia Cebol berhati
culas!" sahut Ki Ageng Semplak. Nada suaranya dingin, dan tak bersahabat
Sehingga, Ki Tunggul Wulung sempat tertegun dibuatnya.
"Hei"! Ada apa ini, Ki Ageng Semplak" Mengapa datang-datang langsung melontarkan
ucapan yang tidak enak di telingaku" Apakah ada sesuatu yang tidak berkenan di
hatimu?" Tanya Ki Tunggul Wulung dengan wajah tak berdosa.
"Hm... jangan berpura-pura suci, Tunggul Wulung!
Akuilah dosa-dosamu sebelum kupaksa dengan kekerasan!" kembali kakek tua itu
menghardik disertai tatapan penuh dendam.
"Kau jangan bergurau, Ki Ageng Semplak Lagi pula, tidak semestinya pertemuan
yang hanya terjadi pada setiap lima tahun sekali ini diawali dengan pertengka-
ran tak beralasan. Sudahlah. Lebih baik kita membicarakan hal lain sambil
menanti yang lainnya," kilah Ki Tunggul Wulung.
Sepertinya dia tidak mau meladeni ucapan-ucapan
kasar sahabatnya. Kemudian lelaki pedek gemuk itu menjatuhkan tubuhnya di atas
rerumputan tebal yang terhampar hijau.
"Hm.... Setelah apa yang dilakukan murid-muridmu terhadap sepuluh orang murid
perguruanku, rasanya aku sudah tidak dapat lagi bersikap ramah terha-dapmu.
Beberapa orang murid perguruanku yang se-
ngaja kutugaskan meninjau tempat ini pada dua hari yang lalu, hanya kembali dua
orang. Itu pun dengan luka-luka di tubuhnya. Kau tahu, apa yang dilaporkan
mereka?" Tanya Ki Angeng Semplak yang masih belum reda amarahnya.
"Apa maksudmu, Ki Angeng Semplak" Aku benar-benar tidak mengerti ucapanmu?"
sahut Ki Tunggul Wulung tetap bersabar.
"Kau minta penjelasan" Baik. Nah, terimalah kete-ranganku ini! Hiaaat..!"
Apa yang dilakukan Ki Ageng Semplak benar-benar
membuat Ki Tunggul Wulung terkejut. Bahkan sebelum ucapannya selesai, tubuh
kakek tua itu telah meluncur ke arahnya disertai putaran pedang yang menimbulkan
deru angin ribut. Tentu saja Ki Tunggul Wulung tidak bisa mendiamkannya begitu
saja. Cepat tubuhnya digeser dengan lompatan panjang ke belakang.


Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sabar dulu, Semplak. Bukankah kalau ada persoalan dapat diselesaikan dengan
kepala dingin?" Bujuk Ki Tunggul Wulung berusaha untuk tidak terpancing amarah
lawannya. 'Tidak perlu banyak cakap, Wulung! Delapan orang nyawa muridku tidak akan pernah
tenang kalau belum kubalaskan!" seru Raja Pedang Angin Puyuh. Lalu, tubuh orang
tua itu kembali melesat disertai putaran pedangnya.
Wuuuk..! Wuuuk...!
Gulungan sinar pedang di tangan Ki Ageng Semplak benar-benar dahsyat! Angin
keras bertiup menerbang-kan apa saja yang terlanda olehnya. Sehingga dalam
sekejap saja, tempat itu telah dipenuhi sampah daun-daun pohon yang berguguran
akibat hebatnya putaran pedang yang dilakukan kakek tua itu.
Ki Tunggul Wulung tentu saja tidak ingin tubuhnya dijadikan korban senjata
lawan. Maka dengan tangkas, tokoh pendek gemuk itu pun bergegas mencabut keluar
senjatanya. "Yeaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan lantang, tubuh pendek
itu melayang memapak serangan lawan. Jelas, kemarahan Ki Ageng Semplak yang
menurutnya tanpa alasan telah membuat hati Ki Tunggul Wulung menjadi terbakar.
Apalagi ketika mendengar murid-murid kakek itu telah dibunuh murid-murid
perguruannya. Tentu saja hatinya semakin mengkelap.
Tengah seru-serunya pertarungan kedua jago pe-
dang itu berlangsung, tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang langsung
memisahkan perkelahian sengit itu. "Berhenti...!" seru sosok bayangan itu yang
langsung mendaratkan tubuh di dekat arena pertarungan.
Seruan yang disertai pengerahan tenaga dalam ting-gi itu tentu saja membuat
perkelahian terhenti seketika. Mereka langsung melompat mundur hingga hampir dua
tombak jauhnya, agar mempunyai kesempatan apabila lawan bermain curang.
"Hm.... Rupanya kalian berdua yang tengah bertarung" Lalu, ke mana perginya Raja
Pedang Sinar Pelangi" Apakah belum datang, atau sengaja tidak mau datang," kata
lelaki tinggi gagah yang mengenakan pakaian terbuat dari kulit ular. Siapa lagi
orang itu kalau bukan Raja Pedang Tujuh Bintang, yang merupakan
jago pedang nomor satu di daerah Barat. Kedatangannya ke tempat itu pun
mempunyai alasan yang sama.
Tujuannya, menghadiri pertempuan raja-raja pedang!
*** 9 "Raja Pedang Tujuh Bintang! Kuharap kau me-
nyingkir dulu, dan jangan mencampuri urusan kami!
Apabila persoalan ini telah selesai, barulah kita membicarakan yang lainnya!"
sentak Raja Pedang Angin Puyuh. Sementara, tatapan matanya tetap tertuju kepada
Ki Tunggul Wulung si Pedang Penakiuk Bumi.
"Hm.... Ketahuilah, Ki Ageng Semplak. Bukan hanya kau saja yang mempunyai
persoalan. Aku pun tengah menghadapi suatu masalah yang sangat membuat
penasaran! Delapan orang muridku yang pada beberapa hari lalu kutugaskan melihat
dan merapikan tempat ini, ternyata telah dibantai murid-murid Raja Pedang Sinar
Pelangi. Hal itu kutahui dari dua orang muridku yang selamat dan melaporkannya
kepadaku. Maka, ini tidak bisa kubiarkan. Dan aku akan membuat perhitungan
dengan Raja Pedang Sinar Pelangi. Tapi dia belum tentu hadir pertemuan kali
ini," jelas Raja Pedang Sinar Pelangi yang rupanya juga mempunyai persoalan
hampir serupa dengan apa yang tengah dihadapi Raja
Pedang Angin Puyuh.
"Siapa pula yang tidak hadir! Dan mengapa aku harus takut menghadapi Raja Pedang
Tujuh Bintang?"
Tiba-tiba terdengar suara lantang menggetarkan.
Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok tubuh kurus telah melayang dan
mendaratkan kakinya di arena pertarungan yang terhenu itu. Dan sosok tubuh itu
tak lain adalah Raja Pedang Sinar Pelangi!
Kedatangan Raja Pedang Sinar Pelangi membuat
Raja Pedang Tujuh Bintang berpaling kepadanya. Sorot matanya jelas mengandung
pertanyaan yang menun-tut jawaban.
'Tuduhanmu sama sekali tidak benar, Branta Sula.
Aku sama sekali tidak pernah menyuruh murid-murid-ku berbuat curang. Tapi, apa
yang kau tuduhkan itu mungkin saja terjadi. Apalagi, saat ini perguruan yang
kumpimpin telah direbut kedua orang murid-murid
utamaku. Jadi, mungkin saja mereka melakukan perbuatan keji itu untuk mengadu
domba sesama kita,"
jawab Ki Giri Tantra dengan wajah sedih. Jelas, apa yang dituduhkan Raja Pedang
Tujung Bintang membuat hatinya terpukul.
"Ha ha ha...!"
Ki Branta Sula atau yang lebih dikenal sebagai Raja Pedang Tujuh Bintang tertawa
bergelak-gelak mendengar jawaban yang keluar dari mulut lelaki kurus itu.
"Giri Tantra! Apa kau kira aku akan mempercayai ucapanmu begitu saja" Ha ha
ha.... Siapa pun tentu tidak akan mempercayai omongan orang bodoh. Mus-tahil!"
sahut Raja Pedang Tujuh Bintang dengan wajah menghina sekali.
"Apa yang diucapan Ki Giri Tantra itu bisa saja terjadi, Branta Sula. Buktinya
aku pun mengalami hal serupa. Kedua orang murid utamaku yang sangat kupercaya,
telah merubah peraturan-peraturan yang kubuat. Dan mereka menguasai seluruh
muridku pada waktu aku pergi menyelidiki lenyapnya kitab ilmu pedang ciptaanku yang baru.
Jadi, ucapan Ki Giri Tantra bisa kupercaya."
Tiba-tiba saja Raja Pedang Penakluk Bumi ikut me-nimpali. Sepertinya, ia hendak
menyadarkan kedua orang kawannya dengan ucapannya itu.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar ketika Raja Pe-
dang Penakluk Bumi menyelesaikan ucapannya. Dan
orang yang mengeluarkan suara tawa itu tak lain adalah Ki Ageng Semplak si Raja
Pedang Angin Puyuh.
Mendengar suara tawa yang menghina, membuat Ki
Tunggul Wulung menoleh tak senang. Sepasang matanya menyorot tajam mengandung
teguran. "Hm.... Kau boleh tidak mempercayai ucapanku ini, Ki Ageng Semplak. Tapi,
kenyataan yang kuhadapi memang demikian. Itulah sebabnya, mengapa aku mem-
percayai ucapan Ki Giri Tantra. Karena apa yang di-alaminya persis dengan
kejadian yang kualami," kilah Raja Pedang Penakluk Bumi, mencoba tetap bersikap
tenang. "Hmh...! Kau dengar keterangan dusta manusia licik ini, Ki Branta Sula. Jelas,
kedua orang manusia berhati busuk ini telah bersekongkol untuk menjatuhkan kita
berdua. Sepertinya, mereka sudah memimpi-kah untuk menjadi jago pedang nomor
satu di negeri ini. Tapi, kelicikan itu ternyata telah dapat kita ketahui.
Dan untuk itu mereka harus mempertanggungjawab-
kannya!" kata Ki Ageng Semplak.
Usai berkata demikian, Raja Pedang Angin Puyuh
kembali bersiap menghadapi Raja Pedang Penakluk Bu-mi yang dianggap telah
membantai murid-muridnya.
Wuuut...! Wuuut..!
Hembusan angin bertiup keras dan berputaran ba-
gaikan angin puyuh ketika Ki Ageng Semplak memutar pedangnya.
Bersiaplah menerima pembalasanku, Ki Tunggul
Wulung! Kalau kau masih ingin tetap hidup, sebaiknya serahkan murid-muridmu yang
telah berbuat keji itu.
Kalau tidak, terpaksa aku melupakan persahabatan kita yang telah bertahun-
tahun," ancam Raja Pedang Angin Puyuh.
"Hm.... Semuanya sudah kujelaskan secara tuntas, Ki Ageng Semplak. Dan kalau kau
masih tidak mem-percayainya, apa boleh buat!" Sahut Ki Tunggul Wulung sambil
menyilangkan pedang didepan dada.
"Huh...! Kalau begitu, terimalah hukumanmu!"
"Heaaat...!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh tinggi kurus itu melesat cepat disertai
putaran pedangnya yang menggiriskan!
Raja Pedang Penakluk Bumi tentu saja tidak sudi
membiarkan tubuhnya menjadi sasaran pedang lawan.
Maka dengan menggeser kaki kanannya ke samping,
pedang di tangannya diputar sedemikian rupa.
Wuuunggg...! Wuuunggg...!
Sekejap saja, lenyaplah sekujur tubuh Ki Tunggul Wulung terbungkus gulungan
sinar pedangnya. Hanya suara mengaung tajam saja yang terdengar ketika mata
pedang Ki Tunggul Wulung meluncur dengan kecepatan tinggi.
Tak bisa dicegah lagi. Terjadilah pertarungan mari-matian antara kedua orang
jago pedang yang semula merupakan sahabat baik itu. Sekejap saja, arena
pertarungan itu telah berubah dan terselimut debu tipis yang ditimbulkan putaran
pedang di tangan kedua jago tua itu.
Melihat Ki Ageng Semplak dan Ki Tunggul Wulung
memulai pertarungan, Ki Branta Sula segera berpaling ke arah Ki Giri Tantra.
Tanpa banyak cakap lagi, pedang yang tersampir di punggungnya diloloskan.
"Bersiaplah, Ki Giri Tantra! Hutang nyawa di antara kita harus segera dilunasi,"
ucap Ki Branta Sula mengingatkan.
"Hm.... Apa boleh buat, Sahabat. Kalau memang ki-ni yang kau inginkan, aku pun
tidak kuasa menolaknya," sambut Raja Pedang Sinar Pelangi.
Kemudian pedangnya dihunuskan dan diangkat
tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat dari gerakannya, jelas Ki Giri Tantra
telah menyiapkan ilmu pedang ter-barunya untuk menghadapi gempuran Ki Branta
Sula. Apalagi dia sadarinya kalau lawan pasti juga akan menggunakan ilmu pedang
terbaru. Maka untuk menjaga kemungkinan itu, Raja Pedang Sinar Pelangi segera
memutar pedangnya dengan kecepatan tinggi.
Wuuuk...! Wuuuk...!
Gulungan sinar pedang yang menimbulkan warna-
warni seperti pelangi bergerak turun-naik. Kecepatan dan keindahannya begitu
mengagumkan. "Aaat..!"
Raja Pedang Tujuh Bintang tidak ingin menunggu
lama. Saat itu juga tubuhnya melayang disertai sambaran pedangnya yang mengaung
bagaikan ribuan ekor lebah murka!
Ki Giri Tantra pun tidak mau tinggal diam. Pedang di tangannya berkelebat cepat
dengan perubahan-perubahan tak terduga. Sehingga dalam sekejapan mata saja kedua
jago pedang itu sudah saling menggempur dahsyat!
Jurus demi jurus berlalu tanpa terasa. Hingga tan-pa disadari, pertarungan jago-
jago pedang itu telah berlangsung selama lebih kurang empat puluh jurus.
Meskipun demikian, pertarungan tetap berjalan seru!
Namun belum terlihat seorang pun yang terdesak. Sedangkan suasana di sekitar
arena pertarungan sudah porak-poranda bagaikan diamuk badai dahsyat!
"Yeaaat..!"
Wuuuk.... Wuuuk.... Wuuuk...!
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam
puluh, tiba-tiba Raja Pedang Tujuh Bintang berseru nyaring dan mengejutkan!
Sinar pedang yang bergulung-gulung di tangannya, berkeredep dan memecah menjadi
tujuh buah sinar kebiruan yang berpendar menyilaukan mata. Sehingga, Raja Pedang
Sinar Pelangi sendiri sempat terperanjat dibuatnya!
Sadar kalau serangan lawan kali ini benar-benar
berbahaya, maka Ki Giri Tantra berseru nyaring bagai hendak menggetarkan Lembah
Kepala Naga. "Haaat..!"
Disertai putaran pedangnya yang menimbulkan si-
nar wama pelangi, jago pedang dari Selatan itu memutar senjatanya, langsung
dipapaknya tusukan pedang lawan! Maka....
"Aaah...!"
"Uhhh...!"
Terdengar benturan yang memekakkan telinga ke-
tika kedua batang senjata bertenaga dahsyat saling ber-tumbukan di udara!
Kemudian, disusul seruan-seruan tertahan!
Baik tubuh Raja Pedang Sinar Pelangi maupun Raja Pedang Tujuh Bintang terlempar
keras hingga dua tombak ke belakang! Kedua tokoh itu bertindak cepat, melakukan
beberapa kali putaran di udara untuk mematahkan daya luncur akibat bentrokan
dahsyat itu. Meskipun ketika mendaratkan kakinya di atas ta-
nah dalam keadaan goyah, namun kedua jago pedang itu jelas tidak mengalami luka
sedikit pun. Raja Pedang Sinar Pelangi dan Raja Pedang Tujuh
Bintang saling menatap dalam jarak lima tombak, bagaikan dua ekor ayam jago yang
tengah berlagak Kedua jago pedang itu saling bergerak memutar sambil mene-liti
kelemahan lawan masing-masing.
"Hentikan pertempuran...!"
Selagi jago-jago pedang di empat penjuru angin itu saling bergerak hendak
melanjutkan pertarungan, terdengar bentakan menggelegar laksana hendak mero-
bohkan lembah! Tentu saja bentakan yang mengan-
dung kekuatan raksasa itu membuat pertempuran terhenti.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Terdengar seruan yang bersahut-sahutan dari ke-
empat jago pedang itu. Mereka sama-sama menoleh-
kan kepala ke arah sesosok tubuh yang mengenakan jubah berwarna putih. Sedangkan
di belakang sosok tubuh itu, tampak seorang gadis berbaju hijau dan dua bayangan
lain menyertainya.
"Darpa.... Sudira...!"
Raja Pedang Sinar Pelangi berseru gembira ketika melihat dua sosok yang
menyertai kehadiran Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Memang kedua orang itu tak
lain adalah murid-murid utamanya yang masih setia.
"Guru...!"
Baik Darpa maupun Sudira, cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ki Giri
Tantra. Suara kedua orang lelaki gagah itu terdengar serak, terselimut keharuan
yang terasa menyesakkan rongga dada.
Bagi Raja Pedang Sinar Pelangi dan Raja Pedang
Penakluk Bumi, tentu saja kehadiran Pendekar Naga Putih membuat hati menjadi
lega. Memang, kebenaran pendekar muda itu dapat membuat suasana yang semula
panas, lenyap seketika. Maka, kedua jago pedang itu pun memandang Panji dengan
sinar mata penuh
rasa terima kasih.
Lain halnya Raja Pedang Angin Puyuh dan Raja Pe-
dang Tujuh Bintang. Mereka menganggap kehadiran
pemuda itu sebagai suatu gangguan yang semakin
membuat hati terbakar.
"Pendakar Naga Putih!" tegur Ki Ageng Semplak yang kemarahannya semakin
menggelegak. "Apa maksud kehadiranmu di tempat ini" Pergilah! Kami tidak ingin
kau mencampuri urusan ini!"
"Benar, Pendekar Naga Putih. Meskipun kau terkenal sebagai seorang pendekar yang
suka menolong orang lain, namun kami di sini tidak membutuhkan kehadiranmu. Maka, lebih baik
kau angkat kaki dari tempat ini. Dan biarkan persoalan ini kami urus sendiri,"
Bmpal Raja Pedang Tujuh Bintang yang jelas-jelas tidak menyukai kehadiran
Pendekar Naga Putih di tempat itu.
Meskipun ucapan-ucapan yang dikeluarkan kedua
orang jago pedang itu sangat menyakitkan, namun Pendekar Naga Putih sama sekali
tidak marah. Dengan langkah perlahan disertai senyum bersahabat, pemuda itu
menghampiri Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula.
"Maaf, Ki. Sebenarnya persoalan ini bukan lagi hanya sekadar persoalan kalian.
Tapi, sudah menjadi persoalan semua kaum persilatan yang menganggap dirinya
sebagai pendekar. Perlu kalian ketahui, ada pihak ketiga yang sengaja hendak
mengadu domba raja-raja pedang di empat penjuru mata angin. Keadaan inilah yang
mau tidak mau memaksaku harus mencampuri-nya. Dan kedatanganku ke tempat ini pun
karena hendak menceritakan duduk perkara yang sebenarnya,"
sahut Pendekar Naga Putih, panjang lebar. Sehingga, mau tidak mau kedua orang
raja pedang itu sama me-ngerutkan keningnya.
"Apa maksudmu dengan pihak ketiga itu, Pendekar Naga Putih" Sedangkan orang-
orang yang telah membantai murid-muridku, sudah jelas dari pihak Perguruan
Pedang Sinar Pelangi. Buktinya, Ki Giri Tantra pun tidak bisa membantah. Nah,
apa lagi yang harus dijelaskan?" Sergah Ki Branta Sula yang sepertinya masih
belum bisa menerima keterangan Pendekar Naga Putih itu.
"Benar. Demikian pula halnya dengan kematian murid-muridku. Jelas, yang
melakukannya adalah murid-murid utama Perguruan Pedang Penakluk Bumi.
Maka, kuharap kau menyingkir, Pendekar Naga Putih.
Biarkan kami menyelesaikan persoalan ini. Tapi kalau kau memang ingin membela,


Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku pun tidak keberatan.
Asal kau tahu saja, kami tidak akan segan-segan berlaku kasar!" Tegas Ki Ageng
Semplak yang jelas-jelas menanrang Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Di sini ada dua orang murid utama Ki Giri Tantra yang secara langsung
telah mengalami peristiwa itu. Dan secara kebetulan, aku bersama kawanku ini
sempat menyaksikannya. Bahkan sempat pula bentrok dengan orang-orang berseragam
hitam itu. Kuduga, merekalah yang telah mengadu domba sesama kalian,"
bujuk Panji kembali.
Meskipun Raja Pedang Angin Puyuh dan Raja Pe-
dang Tujuh Bintang mulai mempercayai keterangan
Pendekar Naga Putih, namun sepertinya mereka belum puas.
"Hm.... Keteranganmu memang cukup masuk akal, Pendekar NagaPutih. Tapi untuk
membicarakannya,
aku terus terang belum bisa menerimanya. Kecuali, bila kau bersedia meluluskan
satu permintaan kami. Kalau tidak, maka kami kembali akan menagih hutang nyawa
kepada Ki Giri Tantra," ujar Raja Pedang Tujuh Bintang dengan bibir
menyunggingkan senyum licik.
Panji pun bukanlah orang bodoh. Dimakluminya si-
fat tokoh-tokoh rimba persilatan yang selalu haus akan ilmu silat. Dan apa yang
dimaksud dengan 'permintaan'
itu pun, telah dapat diduga.
"Ki Branta Sula. Demi tegaknya keadilan dan rasa persaudaraan di antara kita,
aku bersedia memenuhi permintaanmu. Dan semoga saja kau tidak menarik
janjimu untuk menyelesaikan persoalan ini secara ke-keluargaan. Bagaimana?"
tegas Panji. "Hm.... Jangan membuatku marah, Pendekar Naga Putih. Sekali kata-kataku terucap,
tak akan mungkin ditarik kembali. Meskipun, untuk itu aku harus mati!"
sahut Ki Branta Sula. Rupanya, dia merasa tidak suka atas ketidakpercayaan
pemuda tampan itu.
"Kalau begitu, baiklah. Aku bersedia," tegas Panji sambil melangkah ke tempat
yang lebih luas.
"Cabut senjatamu, Pendekar Naga Putih. Aku tidak suka menghadapi lawan yang
bertangan kosong," ujar Ki Branta Sula ketika mereka telah berdiri berhadapan
dalam jarak dua tombak.
"Baiklah, Ki...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera memejamkan matanya
untuk memusatkan pikiran. Memang, Pedang Naga langit yang biasa tersampir di
punggung, kini telah ter-simpan dan menyatu dalam tubuhnya. Hal itu dilakukan
untuk tidak menarik perhatian orang. Karena, pedang yang besar dan berat itu
terlalu menyolok apabila disampirkan di punggungnya. (Untuk lebih jelasnya,
silakan lihat episode "Rahasia Pedang Naga Langit").
"Heaaah...!"
Didahului oleh sebuah bentakan keras, Pendekar
Naga putih membuka kedua matanya. Dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja
di dalam genggaman tangan pemuda itu tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan
sinar kuning keemasan. Itulah Pedang Naga Langit!
Adanya sebilah pedang yang tahu-tahu telah ter-
genggam di tangan Pendekar Naga Putih, tentu saja membuat raja-raja pedang itu
menjadi terbelalak takjub! Hanya Kenanga saja yang tidak merasa heran, karena
Panji telah menceritakan pengalaman itu kepadanya.
Namun, Raja Pedang Tujuh Bintang tentu saja tidak sudi memperiihatkan rasa
kagumnya terhadap perbuatan Pendekar Naga Putih. Baginya, hal itu hanya akan
menurunkan derajat sebagai jago pedang. Maka meskipun harinya memuji, tapi wajah
tokoh itu tetap dingin tanpa gambaran perasaan apapun.
"Sambut seranganku, Pendekar Naga Putih...! Heaaat..!"
Setelah melihat lawannya mengambil sikap, Ki Branta Sula segera melompat
disertai putaran pedangnya yang memercikan butiran-butiran sinar kebiruan.
Jelas, jago pedang wilayah Barat itu telah langsung menggunakan ilmu pedang
andalannya. Hebat sekali serangan yang dilancarkan Raja Pe-
dang dari Barat itu. Sambaran sinar pedangnya bergulung-gulung disertai percikan
sinar kebiruan yang berpendar. Sehingga, apabila lawan tidak memiliki
pendengaran tajam, sudah pasti akan sulit menghadapi serangan Ki Branta Sula.
Wuuut..! Wuuut..!
Dua kali tusukan pedang lawan yang mengancam
lambung dan lehernya berhasil dielakkan Panji. Setelah menggeser tubuh dengan
kuda-kuda rendah, pedang di tangannya dikibaskan secara mendatar.
Beuuut..! Cepat dan tak terduga sama sekali serangan bala-
san yang dilancarkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, Ki Branta Sula sempat
terperanjat dibuatnya. Namun dengan gerakan ringan dan gesit, tokoh sakti
berusia sekitar enam puluh lima tahun itu bergerak ke kiri sambil memutar
pedangnya untuk melakukan tangki-san.
Tapi serangan yang dilancarkan Panji ternyata hanya gerak tipu. Pada saat pedang
lawan bergerak hendak memapak, tahu-tahu saja pedang di tangan Pendekar Naga
Putih bergerak berputar setengah lingkaran.
Kemudian dengan gerakan menyamping, pedang pemu-
da tampan itu menusuk cepat mengincar lambung Ki Branta Sula.
"Haiitt..!"
Sadar kalau tusukan pedang pemuda tampan itu
sangat berbahaya dan sulit dihindari, Ki Branta Sula membentak keras dan
langsung melempar tubuhnya
berjumpalitan ke belakang. Barulah ia dapat menyelamatkan diri dari tusukan
pedang yang cepatnya mele-bihi sambaran kilat!
"Hiaaat..!"
Begitu kakinya menjejak tanah, secepat itu pula
tubuh Ki Branta Sula meluncur cepat disertai putaran pedangnya yang menimbulkan
gulungan sinar berpendar. Dari lingkaran gulungan sinar pedang itu tampak tujuh
buah sinar kebiruan yang membentuk bulatan-bulatan kecil memercik menyilaukan
mata. Kagum dan terkejut juga hati Pendekar Naga Putih melihat kedahsyatan serangan
lawan. Namun Panji pun maklum kalau sebagai seorang jago pedang yang jarang ada
duanya, Ki Branta Sula memang patut memiliki ilmu pedang yang hebat dan
berbahaya. "Haiiit..!"
Melihat serangan bahaya yang dilancarkan lawan,
Panji pun memekik nyaring disertai lompatan tubuhnya ke kanan. Lalu, dia
membarenginya dengan tusukan kilat yang mengancam lambung kiri lawan.
Wueeet..! Serangkum hawa dingin bersinar keemasan, ber-
hembus mengiringi tusukan pedang Pendekar Naga
Putih. Tranggg.... Tranggg...!
Desss...! "Ughhk..!"
Bunga api memercik menandai hebatnya benturan
kedua bilah pedang pusaka yang telah dilapisi tenaga dahsyat itu. Dan sesaat
setelah benturan itu terjadi, Pendekar Naga Putih bertindak cepat begitu melihat
bagian tubuh lawan yang lowong. Sebuah tendangan kilat yang keras, sehingga
membuat tubuh Ki Branta Sula terjengkang hingga sejauh dua tombak ke belakang!
"Huaaakh...!"
Gumpalan darah segar terlompat keluar dari mulut jago pedang wilayah Barat itu.
Tubuhnya yang terbanting cukup keras di atas tanah berumput kering, berusaha
susah payah bergerak bangkit.
"Kau... kau hebat, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar merasa kagum dengan ilmu
'Pedang Naga Sakti'
yang kau miliki itu. Aku terima kalah," aku Ki Branta Sula tanpa malu-malu lagi.
Itulah perbedaan yang menyolok antara tokoh go-
longan putih dan golongan sesat. Kaum rimba persilatan golongan putih akan
mengaku secara jujur apabila dikalahkan lawan. Namun berbeda dengan kaum
golongan hitam. Mereka tidak sudi menerima kekalahan, meski dalam sebuah
pertandingan yang bersih sekali-pun. Hal itu pulalah yang membuat Panji semakin
menaruh hormat kepada Raja Pedang Tujuh Bintang.
"Nah! Sekarang, ceritakanlah. Apa yang kau ketahui dari hasil penyelidikanmu mengenai persoalan ini?" Tanya Ki Ageng
Semplak. Nada suaranya seperti menyiratkan persahabatan.
Rupanya jago pedang wilayah Utara itu pun tidak
lagi memperpanjang urusan. Kepercayaan kakek itu semakin menebal setelah melihat
betapa pemuda itu tidak menurunkan tangan kejam dalam mengalahkan
Ki Branta Sula. Hal itu cukup baginya untuk mempercayai kebersihan hati Pendekar
Naga Putih. Dan kini, keempat orang jago pedang termasuk
Darpa, Sudira, dan Kenanga, duduk melingkar di bawah sebatang pohon rindang.
Mereka memandang Pendekar Naga Putih yang tampak terdiam untuk meng-
atur kata-kata yang akan disampaikannya kepada jago-jago pedang itu.
*** "Hm.... Jadi, yang menjadi biang keladi dari persoalan ini, adalah sekelompok
orang-orang berseragam hitam?" Tanya Ki Ageng Semplak setelah mendengar
penuturan Pendekar Naga Putih.
"Benar, Ki. Dan menurut apa yang kudengar dari Darpa maupun Sudira, orang-orang
yang berdiri di belakang kedua orang murid utama Ki Giri Tantra adalah orang-
orang berseragam hitam yang juga memiliki ilmu pedang cukup hebat" sahut Panji
kembali memberi keterangan.
"Benar, Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula.
Orang-orang yang menguasai perguruanku pun adalah orang-orang berseragam hitam.
Entah, bagaimana ca-ranya hingga mereka dapat menundukkan murid-mu-
rid utamaku yang bernama Umbara dan Jantika. Se-
dang tiga orang murid utamaku lainnya, dibunuh tanpa ampun. Benar-benar biadab
orang-orang aneh itu,"
timpal Ki Tunggul Wulung.
Kedua orang jago pedang wilayah Utara dan Barat
itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya, mereka telah percaya
penuh akan semua keterangan itu.
"Kalau begitu, sekarang kita harus berpencar untuk menyelidiki markas orang-
orang berseragam hitam itu, dan siapa yang menjadi datang dari semua kejadian
ini," usul Panji seraya bergerak bangkit dari tempatnya.
"Baiklah. Dan kita berkumpul di tempat ini pada bulan kelima hari ke delapan.
Bagaimana?" usul Ki Giri Tantra.
Setelah semua menyetujui usul itu, maka para to-
koh persilatan itu berpencar untuk menyelidiki orang-orang berseragam hitam yang
telah mengacaukan pertemuan mereka.
"Ingat! Kita tidak boleh bertindak sendiri-sendiri.
Tugas kita hanya menyelidiki kekuatan lawan," sebelum berpisah Pendekar Naga
Putih mengingatkan para tokoh itu.
Tak berapa lama kemudian, Lembah Kepala Naga
pun kembali dicekam kebisuan. Kini, para tokoh persilatan itu telah meninggalkan
lembah untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.
Nah siapakah sesungguhnya dalang yang menye-
babkan sengketa tersebut" Apa yang menjadi penyebab mereka ingjn menguasai
perguruan raja-raja pedang itu" Dan bagaimana akhir dari kisah sengketa jago-
jago pedang im" Silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode
selanjutnya yaitu "Laba-laba Hitam".
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Andan S Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Panji Sakti 22 Candika Dewi Penyebar Maut X I Pecut Sakti Bajrakirana 5
^