Pencarian

Tiga Iblis Gunung Tandur 1

Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur Bagian 1


Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Tiga Iblis Gunung Tandur
Oleh T. Hidayat
128 hal. ; 12 x 18 cm
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku Ini tanpa
ijin tertulis dari penerbit 1
Desa Karang Jati yang biasanya selalu ramai dengan kesibukan, kini nampak sunyi.
Para pedagang telah menutup kedainya sejak siang tadi. Sementara pedagang lain
yang tinggal pun, sudah berkemas pula hendak pulang. Jalan-jalan terlihat
lengang dan sunyi. Kalaupun ada yang lewat, hanya satu atau dua orang saja. Itu
pun terlihat tergesa-gesa, seakan-akan dibayangi hantu!
Menjelang senja, penduduk telah menutup pintu dan Jendela rapat-rapat, lalu
menyuruh anak dan istrinya agar lekas-lekas masuk rumah. Padahal malam belum
lagi datang! Namun Desa
Karang Jati sudah seperti se-buah pekuburan, sunyi dan mencekam. Rasanya seperti
desa mati! Kesunyian yang mencekam itu tiba-tiba saja dipecah-kan oleh derap serombongan
kuda. Suaranya seolah-olah bergema ke seluruh penjuru desa. Penduduk yang sudah
berada di dalam rumah, semakin tegang dan ketakutan. Bahkan sampai menahan
napas, ketika rombongan tersebut lewat di depan rumah mereka. Seakan-akan takut
suara napasnya terdengar rombongan itu.
Rombongan yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang itu, rata-rata berwajah
kasar dan bengis. Mereka dipimpin oleh tiga orang berjubah hitam, coklat, dan
biru. Yang berjubah hitam bernama Lodra, dan berusia se-kitar empat puluh tahun. Raut
wajahnya kokoh, dengan bulu-bulu hitam menghiasi pipi dan dagunya. Matanya
mencorong tajam, menandakan kalau ia mempunyai te-naga dalam cukup sempurna.
Dunia persilatan menju-lukinya Iblis Tangan Maut.
Yang berjubah coklat, bernama Badra. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Tubuhnya tinggi besar, dengan otot-otot yang menonjol keluar. Ia terlihat kokoh
bagaikan batu karang.
Sinar matanya liar, memancarkan kebengi-san. Di kalangan rimba persilatan,
julukannya si Iblis Cambuk Api.
Sedangkan yang berjubah biru, bernama Sudra. Wajahnya cukup bersih dan tampan.
Tampak segaris luka melintang di pipi kiri, membuat wajahnya menjadi mena-
kutkan. Tubuhnya tinggi dan agak kurus. Dia berjuluk Iblis Golok Terbang.
Dalam tujuh tahun belakangan ini, mereka telah malang-melintang dalam dunia
persilatan. Sepak terjang-nya kejam dan ganas, bahkan ridak segan-segan mem-
bunuh hanya karena soal sepele. Karena tempat tinggal mereka di Gunung Tandur,
orang menjulukinya Tiga Iblis Gunung Tandur.
Rombongan kuda berhenti didepan sebuah rumah yang paling besar dari rumah-rumah
lainnya. Seorang laki-taki berusia sekitar enam puluh tahun, tergopoh-gopoh keluar
menyambut mereka. Di wajah tuanya terbayang kecemasan.
"Aaah..., Tuan-tuan, ada keperluan apakah gerangan datang ke sini" Barangkali
saya dapat membantu?" Tanyanya dengan suara halus.
"Hm...." Orang yang berjubah hitam itu, bergumam kasar.
"Apakah kau kepala desa ini?"
"Be... betul... saya Ki Aji Sena, dan kebetulan, men-dapat kepercayaan memimpin
desa ini," jawab Ki Aji Sena tersendat.
"Aku ingin bertanya sedikit, dan jangan sekali-sekali berdusta. Jika kau
berdusta kami tak segan-segan untuk memusnahkan seluruh desa ini! Tahu!" Ancam
orang ber-jubah hitam yang bemama Lodra. "Dengar baik-baik.... Tunjukkan di mana
rumah orang yang bemama Paksi Buana?" Lanjut Lodra lagi.
"Paksi Buana...," ulang Ki Aji Sena, sambil berpikir keras.
"Maaf, Tuan. Kami tidak mengenal nama itu," jawabnya agak takut-takut.
"Hm... sudah kuduga, kau pasti tidak akan menun-jukkannya!" Geram Lodra gusar.
"Tapi... kami betul-betul tidak mengenalnya, Tuan!" Jawab Ki Aji Sena tegas.
Seluruh syaraf-syaraf di tubuh-nya menegang, kontan tenaga dalamnya menyebar ke
sekujur tubuhnya untuk melindungi tubuhnya jika terjadi sesuatu yang tak
diinginkan. Lodra hanya diam, tidak menjawab. la menoleh ke arah rombongan di belakangnya,
lalu menganggukkan kepala-nya.
Tanpa menanti perintah dua kali, orang yang berke-pala botak itu segera melompat
turun dari kudanya. Wajahnya menyeringai buas, bagai seekor singa yang
kelaparan. Dengan satu gerengan keras, orang yang ber-kepala botak itu segera
menerjang Kepala Desa Karang Jati. Tubuhnya meluncur deras dengan cengkeraman
yang berbahaya!
Namun sebelum cengkeramannya mengenai sasaran, tiba-tiba empat sosok bayangan
melesat dari dalam rumah Ki Aji Sena, dan langsung melemparkan tombak ke arah
orang berkepala botak. Sementara Kepala Botak yang tidak menyangka kejadian itu,
merasa terkejut. Tapi sebagai seorang yang memiliki tingkat kepandaian cukup
tinggi dia tidak menjadi panik. Dengan tenang dipapaknya serangan beberapa
tombak yang mengarah ke lehernya. Tubuhnya kemudian melenting ke atas mengikuti
ayunan tombak tersebut, dan mendarat dengan indah. Tombak itu hanye mengenai
tempat kosong. Sosok empat tubuh yang ternyata adalah pengawal sang kepala desa itu, berdiri
tegak di kiri-kanan Ki Aji Sena, yang juga sudah memegang sebatang golok
panjang. Melihat keadaan itu, delapan orang dari rombongan yang dipimpin Lodra segera
melompat dari kudanya, lang-sung menyerang para pengawal Ki Aji Sena. Serangan
itu pun segera disambut dengan tidak kalah garangnya oleh pengawal Ki Aji Sena.
Sedangkan Ki Aji Sena pun telah menggerakkan golok panjangnya, menerjang orang
ber-kepala botak itu.
Pertempuran seru dan sengit pun berlangsung! Mereka saling serang dengan
mengerahkan seluruh kemampuannya. Masing-masing berusaha untuk menguasai lawan
secepatnya. Namun sampai sejauh ini, pertempuran terlihat masih berimbang.
Ki Aji Sena bertarung bagai macan luka. Golok pan-jangnya berkelebatan mencari
sasaran dengan suara ber-desir. Namun
yang dihadapinya kali ini bukanlah orang sembarangan. Orang yang berkepala botak
itu, adalah seorang tokoh sesat yang berjuluk Cakar Maut.
Cakar Maut berkelebatan dengan gesit di antara sinar golok.
Sesekali tangannya melontarkan pukulan-pukulan yang cukup berbahaya ke tubuh Ki
Aji Sena. Sepuluh jurus berlalu cepat. Cakar Maut mulai men-desak lawannya dengan
serangan-serangan yang memati-kan.
Sementara Ki Aji Sena kini terlihat terdesak. Gera-kan golok panjangnya semakin
tak terarah lagi.
Pada satu kesempatan, Ki Aji Sena membabatkan golok panjangnya secara mendatar.
Melihat peluang yang baik itu, Cakar Maut segera berputar ke kanan dibarengi
dengan tamparan tangan kanannya ke arah pelipis lawan.
Ki Aji Sena terkejut melihat kegesitan lawannya itu. Buru-buru dilegoskan
kepalanya ke kanan, tetapi terlam-bat. Pukulan tersebut tetap menyerempet bahu
kirinya. Desss! Tubuh orang tua itu melintir. Tangan kirinya terasa lumpuh.
Ia menyeringai menahan rasa nyeri pada bahu-nya. Sepertinya sulit untuk
digerakkan lagi.
Di arena yang lain, para pengikut si Tiga Iblis Gunung Tandur mulai menguasai
keganasan pengawal Ki Aji Sena, yang dengan segala kemampuannya berusaha me-
matahkan serangan lawannya. Namun kepandaian lawan kelihatannya rata-rata di
atas kepandaian para pengawal sang kepala desa ini. Buktinya, settap serangan
mereka selalu dapat dipatahkan anak buah Tiga Iblis Gunung Tandur.
Lambat laun para pengawal itu mulai terdesak. Gera-kan-gerakannya pun mulai
kacau dan tak beraturan. Hingga pada
suatu saat, salah seorang pengawal Ki Aji Sena terpelanting roboh. Perutnya
sobek terkena hanta-man pedang lawan!
Darah pun segera merembes keluar dari perut yang sobek lebar dan dalam itu.
Tentu saja dengan kematian pengawal itu, keadaan semakin berba-haya! Terlebih
lagi bagi keselamatan Kepala Desa Karang Jati.
Sementara pertarungan antara Ki Aji Sena melawan si Cakar Maut masih berlangsung
sengit. Kali ini Ki Aji Sena betul-betul harus kerja keras! Serangannya
menggebu-gebu dan susul-menyusul bagai ombak di lautan.
Cakar Maut yang melihat lawannya yang sudah terluka itu ternyata masih mampu
melancarkan serangan-sera-ngan berbahaya, diam-diam memuji juga dalam hati.
Memang Ki Aji Sena bukanlah tokoh kosong.
Kembali lima jurus berlalu. Tiba-riba Cakar Maut ber-teriak keras, seraya mulai
mengeluarkan jurus andalan-nya, yakni
'Mencengkeram Batu Karang'. Jurus ini meru-pakan rangkaian kelima dari jurus
'Cakar Maut' yang sangat hebat akibat yang ditimbulkannya.
Terdengar suara mendesing, ketika tangan kiri Cakar Maut menyambar leher Ki Aji
Sena. Laki-laki tua itu pun tak kalah gesitnya. Segera disambut serangan itu
dengan tebasan golok panjangnya.
Wusss! Singgg! Brettt! Brettt!
"Akh...!"
Ki Aji Sena meraung tinggi, ketika tubuhnya terban-ting ke depan sehingga
menimbulkan suara keras. Rupa-nya saat golok panjang Ki Aji Sena membabat tangan
si Cakar Maut, tangan laki-laki botak itu berputar cepat dan langsung menjambret
lengan Ki Aji Sena yang memegang golok itu. Jambretan tangan itu pun dibarengi
dengan sambaran cakar kirinya yang setajam cakar elang.
Tubuh orang tua malang itu kini menggeletak tak ber-daya.
Dari tangan kanannya yang terluka mengalir darah segar. Luka yang cukup dalam
dan memanjang. Dari dalam rumah besar milik kepala desa itu, dua sosok wanita menghambur
keluar, dan langsung bersim-puh di samping tubuh sang kepala desa. Terdengar
isak tangis yang menyayat hati dari mulut keduanya.
"Kakang... Kakang Sena... oooh...!" Ratap salah seorang wanita yang cukup tua,
terus memanggil-manggil nama sang kepala desa di antara tangisnya. Sedangkan
wanita yang seorang lagi hanya menggerung-gerung.
Beberapa saat kemudian, wanita tua itu menoleh dan menatap tajam ke arah si
Cakar Maut yang masih berdiri tegak.
"Manusia iblis! Jahanam kau! Kejam!" Sosok wanita tua yang ternyata istri kepala
desa itu, memaki-maki Cakar Maut tak habis-habisnya. Sedangkan wanita muda yang
ternyata putri kepala desa hanya mampu berdiam diri sambil terus menangis.
Sementara, pertarungan yang lain pun sudah mulai berakhir.
Satu persatu pengawal Ki Aji Sena berjatuhan tewas. Darah mengalir membasahi
bumi menimbulkan bau anyir yang memualkan.
Lodra melompat dari kudanya, lalu menghampiri wanita yang berumur kurang lebih
limapuluh tahun itu.
"Hei! Nenek peot! Lihatlah! Suamimu masih hidup. Kalau kau ingin melihatnya
hidup terus, jawablah per-tanyaanku!" kata Lodra dengan suara dingin. "Nah!
Seka-rang tunjukkanlah tempat Paksi Buana kepadaku!" lanjut Lodra.
Dengan wajah bersimbah air mata, wanita tua itu me-meriksa tubuh Ki Aji Sena.
Orang tua itu ternyata me-mang masih hidup, dan hanya pingsan. Tapi luka-luka-
nya memang cukup parah. Kini dia mulai terlihat siuman. Sejenak mata Ki Aji Sena
terbuka seraya memandang wajah istrinya. Bibirnya berusaha untuk tersenyum namun
tidak mampu. Wajahnya nampak seperti orang menangis. Ki Aji Sena ternyata samar-
samar juga mende-ngar pertanyaan Lodra. Dan itu membuatnya terkejut.
"Nyai! Jangan kau jawab pertanyaan iblis itu! Karena meskipun kau jawab, iblis
itu tetap akan membunuh kita!"
Tegas Ki Aji Sena dengan napas memburu.
Wanita tua itu pun jadi ragu untuk menjawab perta-nyaan Lodra. Ditatapnya laki-
laki berjubah hitam itu dengan wajah bingung.
"Ayo, Nenek tua! Jangan sampai kesabaranku habis!" Lodra semakin tak sabar.
Istri kepala desa itu masih tetap bungkam. Hal ini membuat Lodra makin memuncak
kemarahannya. Dia lalu melompat menyambar tubuh Ki Aji Sena, dan diang-katnya
tubuh tak berdaya itu ke atas kepala. "Jawab! Atau kubanting tubuh peot ini!"
"Jangaaan! Aku... Aku akan... Mengatakannya!" Teriak wanita tua itu ketakutan.
Dengan suara yang bercampur isaknya, wanita itu akhirnya menunjukkan tempat
tinggal Paksi Buana.
*** Padepokan Naga Terbang, terletak di sebelah Utara Desa Karang Jati. Pohon-pohon
besar tampak berdiri kokoh di sekelilingnya. Tidak jauh dari pusat padepokan
itu, terdapat sebuah anak bukit yang terdiri dari batu-batu cadas.
Malam mulai jatuh, ketika serombongan orang ber-kuda yang tidak lain adalah Tiga
Iblis Gunung Tandur memasuki daerah itu. Mereka berhenti tepat di pintu gerbang
Padepokan Naga Terbang Salah seorang dari mereka segera melompat turun dari atas
kudanya. Orang itu ternyata adalah Sudra, si Iblis Golok Ter-bang.
Setelah menoleh sejenak ke arah kakaknya, Sudra mundur beberapa langkah ke
belakang. la mulai me-ngempos kekuatannya, sehingga tenaga dalamnya segera
bergolak dan membanjir ke seluruh tubuhnya. Jarak antara Sudra dengan pintu
gerbang tersebut, kurang lebih lima batang tombak.
Dengan satu teriakan meng-geledek, segera dilontarkan pukulan 'Membentur Seribu
Gunung' yang cukup dahsyat ke arah pintu gerbang.
Wusss! Brakkk...! Pintu yang terbuat dari kayu jati pilihan yang tebal dan kuat itu, seketika
ambrol menimbulkan suara hingar-bingar. Debu dan kepingan kayu beterbangan ke
segala penjuru, bagai dilemparkan tangan-tangan raksasa.
Para murid si Tiga Iblis Gunung Tandur tergetar mun-dur, sambil menahan gelaran
dalam dada mereka akibat pengaruh pukulan itu. Mereka berdecak kagum sambil
bergumam tak jelas melihat hasil yang ditimbulkannya. Setelah pintu terdobrak,
Sudra kembali naik ke punggung kudanya.
Sementara itu para murid Padepokan Naga Terbang, sangat terkejut mendengar suara
ledakan itu. Salah seo-rang murid segera melaporkan kejadian itu kepada guru-nya
dengan wajah tegang. Sebagian murid berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang
akan terjadi. "Apa"! Bangsat! Orang gila dari mana yang berani mati itu?"
Seorang murid utama yang bemama Soga, bangkit dengan wajah merah padam.
"Sabarlah, Soga.... Tenangkan hatimu. Jangan kau turuti hawa nafsumu!" Tegur
sang guru dengan suara tenang.
"Oh... maaf, Guru! Tapi... rasanya mereka sudah keter-laluan sekali! Datang-
datang sudah membuat kerusakan!" Soga masih mencoba mernbantah. Meskipun
suaranya sudah dapat ditekan, namun masih terkandung rasa penasaran di dalamnya.
"Hm.... Mari kita lihat! Siapa sebenarnya mereka itu?" Ajak sang guru dengan
suara dalam. Soga segera berkelebat cepat, mendahului guru dan murid-murid utama lainnya.
Gerakannya cepat bukan main, seolah-olah mampu menghilang saja. Soga memang
murid berbakat.
Hampir seluruh kepandaian gurunya telah diwarisi. Maka dapatlah dibayangkan,
betapa tinggi kepandaian yang dimilikinya.
Ketika ia telah sampai di halaman depan, para murid Padepokan Naga Terbang
lainnya telah berdiri berjajar menghadang gerombolan pengacau tersebut.
Sementara itu, kecuali si Tiga Iblis Gunung Tandur, seluruh anggota rombongan
telah berloncatan turun dari kudanya.
Seorang berkepala botak yang tak lain adalah si Cakar Maut melangkahkan kakinya
ke hadapan Soga.
"Hei! Mana orang yang bernama Paksi Buana?" Bentak Cakar Maut, bertanya. Nada
suaranya meremehkan. "Suruh dia keluar!" Sambungnya lagi.
Merah padam seluruh wajah Soga melihat kesombo-ngan orang itu. Tubuhnya bergetar
menahan amarah yang menggelegak. Gerahamnya bergemeletuk. Namun dia masih
berusaha bersabar, sambil menghela napas berulang-ulang.
"Ada keperluan apa kau mencari guruku?" Tanya Soga dingin, tanpa mempedulikan
pertanyaan Cakar Maut.
Kini si Cakar Mautlah, yang berang. Sepertinya dia diremehkan. Pertanyaannya tak
dipedulikan, tapi sebalik-nya malah orang di hadapannya yang bertanya.
"Bangsat! Babi buntung! Apa kau sudah bosan hidup, hah?"
Dengus Cakar Maut Suaranya menggelegar kerena kemarahan yang meluap-luap.
Sebaliknya Soga tidak marah mendengar makian itu. Dia malah tersenyum tipis,
melihat kegusaran lawannya. Matanya tetap tajam memancarkan ketegarannya.
"Bukankah wajar kalau tuan rumah bertanya kepada tamunya?" Tata Soga dengan


Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senyum yang makin me-ngembang.
"Kurang ajarrr! Mampuslah kau! Ciaaat!" Sambil ber-teriak mengguntur, Cakar Maut
menerjang lawannya. la betul-betul sudah tidak dapat menahan amarahnya.
Melihat lawannya sudah menyerang, Soga menggeser kakinya ke belakang. Dengan
tidak kalah garangnya, dibalasnya serangan itu. Maka pertempuran yang seru dan
mendebarkan tidak dapat dihindari lagi. Masing-masing lawan berusaha saling
menjatuhkan secepat mungkin. Namun kelihatannya pertempuran berjalan alot dan
seim-bang. Sementara itu, para murid kedua belah pihak pun sudah pula ikut bertempur.
Mereka saling terjang tanpa memilih lawan.
Golok-golok saling berkelebatan mencari mangsa. Suara-suara senjata beradu
membuat suasana semakin bertambah bising, apalagi ditambah dengan pekik dan
teriakan pertempuran.
Demikian pula dengan pertarungan dua murid utama dari masing-masing pihak yang
tak kalah serunya.
"Berhenti!!"
Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras disertai pengerahan tenaga dalam. Suara
itu menggema ke segala penjuru.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ke arena pertempuran.
Belum lagi gema suara tersebut lenyap, sesosok tubuh jangkung telah berdiri
tegak di tengah-tengah arena pertempuran.
Pertempuran berhenti seketika, semuanya serentak menoleh ke arah bayangan itu.
Semua yang ada di situ seperti terkesiap, diam seribu bahasa. Baru setelah orang
berjubah hitam yang bernama Lodra bertanya kepada orang yang berdiri di tengah-
tengah arena, kebisuan itu terpecahkan. Dengan wajah seperti orang tolol mereka
berpandangan satu sama lain!
"Hm.... Engkaukah yang bemama Paksi Buana?" Tanya Lodra dengan suara dingin.
"Benar! Akulah Paksi Buana!" Jawab orang itu. Suara-nya tegas penuh wibawa.
Memang, dialah yang bernama Paksi Buana. Walaupun usianya sudah cukup tua, namun
masih jelas pancaran ketegasannya. Tubuhnya tertutup jubah putih, dengan sulaman
benang emas ber-bentuk naga pada dadanya.
Matanya menatap tajam ke arah Lodra Dipandanginya wajah orang itu dengan dahi
berkerut. Kemudian pandangannya beralih pada Badra dan Sudra.
"Kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian yang berjuluk Tiga Iblis Gunung
Tandur itu?" Tanya Paksi Buana memastikan.
"Bagus! Rupanya kau sudah mengenal kami." Ujar Lodra angkuh.
"Siapa yang tidak mengenal kalian" Nama dan kejaha-tan kalian sudah terkenal di
mana-mana. Lalu, apa mak-sud kalian datang dengan membuat keonaran di sini?"
Tanya Paksi Buana hati-hati.
"Kedatangan kami ke sini, untuk meminta tanggung jawab atas perbuatanmu pada
sepuluh tahun yang lalu!"
"Hm...." Paksi Buana bergumam pelan, lalu berpikir sejenak.
"Telah banyak yang kulakukan pada waktu itu. Tapi, rasanya aku tidak pernah
jumpa dengan kalian?"
"Memang! Kau memang tidak pernah berurusan secara langsung dengan kami. Sebab
apabila kau berurusan dengan kami, mungkin kau sekarang sudah tidak melihat
matahari lagi!" Jawab Lodra pongah.
Mendengar hal itu, Soga melangkah kedepan dengan wajah terbakar. Dia sudah tidak
tahan lagi melihat ke-sombongan orang itu. Panas hatinya mendengar ucapan Lodra.
Namun langkahnya segera terhenti, ketika tangan gurunya itu menyentuh lengannya
dan mengisyaratkan untuk tetap tenang.
Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu kembali berdiri di samping
gurunya, sambil menghela napas berat.
"Lalu, apa maksud kalian?" Lanjut Paksi Buana dengan suara datar, seolah-olah
tidak ingin terpengaruh oleh ejekan lawan bicaranya itu. Padahal, sesungguhnya
hatinya telah terbakar.
Tapi dia masih bisa menenangkan dirinya, dan bersikap wajar.
"Baiklah," ujar Lodra datar. "Dengar, baik-baik lngat-kah kau akan sebuah tempat
yang bernama Hutan Jatra" Dan ingatkah
kau kepada orang yang bernama Cakra Ganda, yang telah kau bunuh itu?"
Paksi Buana termenung sejenak. Dia segera teringat saat-saat terakhir
pengembaraannya. Waktu itu ia sudah berniat mengundurkan diri dari dunia
persilatan. Suatu saat ia melewati Hutan Jatra, dan melihat sebuah pertem-puran.
Rupanya, pertempuran itu menarik perhatiannya. Apalagi di tempat itu terdapat
sebuah kereta kuda yang mengangkut barang. Paksi Buana segera mengambil
kesimpulan bahwa pasti itu adalah perampokan. Dia pun segera terjun ke arena
pertarungan, dan membantu sau-dagar yang dirampok itu. Akhimya dia berhasil mem-
bunuh perampok itu, yang belakangan diketahui bahwa orang itu sering melakukan
kejahatannya di Hutan Jatra.
Namanya Cakra Ganda.
"Hm..., aku ingat sekarang! Lalu, apa hubungannya dengan kalian?" Tanya Paksi
Buana. "Dia adalah murid kami! Dan...." Belum lagi Lodra menyelesaikan ucapannya, Sudra
memotong pembicaraan itu sambil melompat turun dari kudanya. "Dan kau harus
membayar hutang nyawa itu berikut bunganya! Lihat serangan!" Belum lagi hilang
suara Sudra, tubuhnya sudah melesat melancarkan serangan yang ganas. Kedua
tangannya berputar bergantian menimbulkan angin yang menderu-deru.
*** 2 Paksi Buana terkejut melihat serangan yang tidak disangka-sangka itu. Untunglah
pada saat yang gawat Itu, sebuah
bayangan melesat dari sebelah kirinya me-mapak serangan Sudra yang cepat dan
ganas itu. Ternyata dia adalah Soga, si murid utama Padepokan Naga Terbang.
Plakkk! Terdengar letupan kecil di udara, menandai perte-muan dua tenaga dalam yang
tersalur melalui telapak tangan keduanya.
Kedua orang itu terdorong mundur beberapa langkah, sambil memegangi tangan yang
terasa nyeri. Ternyata dalam adu tenaga tadi, kekuatan kedua-nya berimbang.
Sudra dan Soga kembali tegak berhadapan, seolah-olah mengukur kepandaian masing-
masing. Dibarengi satu teriakan dahsyat, Soga menerjang lawannya. Tangan
kanannya yang terkepal, meluncur deras ke ulu hati Sudra, sedangkan tangan
kirinya dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah tenggorokan lawan. Kali ini
Soga me-ngerahkan tenaga sepenuhnya, karena tidak ingin sera-ngannya gagal.
Namun, lawan yang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan. Sudra adalah salah
seorang gembong kaum sesat.
Kepandaiannya memang tidak dapat dipandang ringan. Kedua serangan itu dengan
mudah dielakkan Sudra. Dia hanya menggeser kaki kanannya dan langsung membalas
serangan itu tidak kalah ganasnya. Kini kedua-nya saling serang dengan jurus-
jurus berbahaya dan mematikan!
Sementara itu, melihat salah seorang pemimpinnya telah terlibat dalam satu
pertempuran, Cakar Maut segera memberikan isyarat kepada para bawahannya. Dan
mereka pun segera menerjang ke arah murid-murid Paksi Buana, yang masih menanti
perintah dari gurunya itu.
Karena pertarungan tak mungkin dapat dihindari lagi, Paksi Buana pun segera
menggerakkan tangannya ke depan. Tanpa menunggu dua kali, para murid Padepokan
Naga Terbang segera berlari menyongsong kedatangan musuh. Kembali pertempuran terjadi. Kali
Ini dalam jum-lah yang banyak Suara pekik dan jerit pertempuran mem-bahana
membelah angkasa, ditimpali dengan denting senjata beradu. Pedang-pedang dan
golok-golok, berkele-batan mencari sasaran. Bunga-bunga-api akibat senjata
beradu, memercik ke mana-mana.
Sementara malam semakin larut, namun sang dewi malam enggan memancarkan
keindahan sinarnya. Angin dingin pun berhembus keras, seakan-akan ingin melerai
pertarungan berdarah itu. Bintang pun nampaknya Ikut larut dalam kegundahan
tersebut. Badra yang melihat jalannya pertarungan, menjadi ga-tal tangannya. Dia segera
menoleh ke arah Paksi Buana, yang juga sedang termenung menyaksikan pertempuran
itu. Laki-laki berjubah coklat dan berjuluk Iblis Cambuk Api itu segera melesat
ke arah Paksi Buana. Dengan sebuah teriakan yang mengguntur, segera diterjangnya
Paksi Buana dengan serangan beruntun. Tentu saja Paksi Buana tidak mungkin
membiarkan tubuhnya jadi sasaran pukulan. Dengan gerakan yang sangat indah,
digeser kedua kakinya guna menghindarkan serangan itu. Kini dia pun tak ingin
sungkan-sungkan lagi.
Dipersiapkannya jurus-jurus terampuhnya untuk menghadapi Badra. Keduanya pun
kini segera terlibat dalam pertarungan sengit.
Badra adalah orang kedua dari Tiga Iblis Gunung Tan-dur.
Namanya pun sudah terkenal dalam dunia persila-tan. Maka sulit untuk mengukur
tingkat kepandaiannya.
Begitupun sebaliknya. Paksi Buana adalah seorang pendekar digdaya yang tidak
kalah terkenalnya dibanding dengan Tiga Iblis Gunung Tandur. Malah dalam dunia
persilatan, julukannya yang bernama Naga Sakti, sangat-lah disegani kawan maupun
lawan. Dan nama besar itu diukirnya sepuluh tahun yang lalu.
Maka dapatlah dibayangkan, betapa hebatnya pertem-puran kedua tokoh itu.
Keduanya sama-sama tangguh dan gesit.
Dalam waktu singkat telah sepuluh jurus di-lalui. Meskipun demikian, sampai
sejauh ini belum dapat dipastikan, siapa yang akan memenangkan pertarungan itu.
Di arena yang lain, Soga tampak mulai terdesak. Serangan-serangan Sudra, semakin
lama semakin ganas. Hingga menutup ruang gerak murid utama Padepokan Naga
Terbang ini. Tidak disangkanya kalau kepandaian lawan demikian hebat.
Gerakan-gerakannya penuh gerak tipu yang sangat mengejutkan.
Menyadari keadaannya yang berbahaya Itu, Soga segera mempersiapkan jurus
andalannya. Dengan satu bentakan keras, Soga segera merubah gerakannya. Kedua
telapak tangannya menegang kaku berbentuk cakar. Gerakannya cepat dan saling
mendahului hingga menim-bulkan angin tajam.
"He he he... Ayo! Keluarkan seluruh kepandaianmu, kunyuk!
Sebelum kubeset kulit tubuhmu!" Sudra tertawa terkekeh, ketika melihat Soga
telah mengeluarkan jurus andalan perguruannya. Ejekannya memang membuat panas
telinga lawannya.
Dengan tidak kalah garangnya, Sudra pun segera me-mapaki serangan Soga. Tanpa
ragu-ragu lagi ia menge-luarkan jurus pamungkasnya. Terdengar suara mengaung
kerika Sudra mendorongkan kedua tangannya menyam-but serangan telapak tangan
Soga. Wusss! Ham! "Akh...!"
Tubuh Soga terlempar deras dibarengi terlakan kesa-kitan dari mulutnya. Dia
terjerembab sehingga menimbul-kan suara keras. Dari sela-sela bibimya yang
pucat, tampak mengalir darah segar. Namun dia berusaha untuk bangkit. Kedua
tangannya mendekap dada yang terasa sesak.
Sementara lawannya juga terpental. Tubuhnya men-darat dengan Indah, setelah
melakukan beberapa putaran di udara.
Diam-diam, Sudra pun harus mengakui kehe-batan lawannya yang lebih muda darinya
itu. Biasanya jika lawan terkena jurus pamungkasnya, dapat dipastikan tidak akan
berumur panjang.
"Huh! Jangan dulu mengangkat dada, iblis! Aku masih belum kalah!" Setelah
berkata demikian, Soga segera mencabut pedangnya. Dibarengi dengan teriakan yang
keras segera diputar pedangnya.
Tubuh Soga yang terbungkus oleh sinar pedang itu, meluruk deras ke arah Sudra.
Pedang yang digerakkan oleh tenaga dalam sepenuhnya itu, menimbulkan suara
mendesing tajam.
Bagaikan suara ribuan lebah yang sedang marah.
Menyadari dahsyatnya serangan Itu, Sudra mencabut golok terbangnya yang tersusun
rapi di pinggang dan dadanya itu.
Dengan kedua golok terbang Itu, disambut-nya serangan Soga.
Dari gulungan sinar pedang Soga, kadang-kadang mencuat ujung pedang yang
bergetar menjadi delapan buah banyaknya.
Itulah sebabnya, mengapa jurus ini dinamakan 'Delapan Jalan Utama'. Sementara
itu kedua golok milik Sudra pun berkelebatan dan meliuk-liuk seperti terbang
Mungkin itulah sebabnya, mengapa dia berjuluk Iblis Golok Terbang.
Pada pertarungan lain tampak di kedua belah pihak, korban sudah mulai
berjatuhan. Darah pun mengalir membasahi bumi.
Nampaknya murid-murid Padepokan Naga Terbang, mulai terdesak mundur dan mulai
banyak korban. Lawan mereka
ternyata rata-rata memiliki kepan-daian silat yang cukup tinggi.
Sedangkan murid-murid Padepokan Naga Terbang masih bawahnya.
Belum lagi, sepak terjang si Cakar Maut. Laki-laki botak ini benar-benar seperti
iblis yang haus darah. Setiap musuh yang berada di dekatnya, pasti tewas dengan
leher hampir putus ataupun perut sobek. Telapak tangan yang membentuk cakar itu,
bagaikan tangan malaikat maut.
Di tempat lain, Paksi Buana mulai merasakan teka-nan-tekanan berat dari
lawannya. Badra yang berjuluk Iblis Cambuk Api, mulai mendesak lawannya. Jurus
'Tangan Seribu' yang digunakannya, benar-benar mem-buat Paksi Buana mati
langkah! Sampai pada jurus yang ketiga puluh, Paksi Buana sudah tidak dapat lagi
mem-pertahankan posisinya lagi. Sebuah tamparan telak menghantam dadanya.
Desss! "Huaaakkk!"
Paksi Buana terhuyung sejauh dua tombak, lalu memuntahkan darah segar. Wajahnya
pucat, dan baju pada bagian dadanya terlihat hancur. Sedangkan pada kulit
dadanya, terdapat bekas telapak tangan yang membiru. Jelas dia telah terluka
dalam. Buru-buru disalurkan hawa murni untuk menghilangkan rasa sakitnya itu.
"Ha ha ha.... Sebentar lagi Raja Maut akan segera men-jemputmu! Bersiaplah!"
Tawa Badra bergema memenuhi arena pertarungan tersebut.
Paksi Buana tidak menanggapi ucapan lawannya. la masih berusaha menahan rasa
nyeri dalam dadanya. Di-hirupnya udara banyak-banyak, lalu dihimpunnya selu-ruh
kekuatan tenaga dalamnya.
Dengan teriakan mengguntur, dicabutnya sepasang pedang yang bertengger di balik
punggungnya. Sepasang pedang yang telah membuat namanya terkenal dalam dunia
persilatan. Paksi Buana kembali menerjang Badra, yang masih tegak dengan penuh
kesombongan. Kedua batang pedangnya membabat dengan gerakan menggun-ting.
Suaranya bergemuruh membelah udara malam yang semakin dingin.
Kembali sepuluh jurus terlewat dengan cepat. Sampai saat ini keduanya nampak
masih seimbang. Paksi Buana menguras seluruh kemampuannya untuk menguasai
lawannya. Pada saat yang memungkinkan, Paksi Buana membabatkan pedangnya secara
mendatar dengan jurus 'Sabetan Ekor Naga'. Gerakan ini ditunjang dengan tenaga
dalam yang kuat, hingga menimbulkan desingan angin yang tajam.
Namun Badra yang sudah menemukan titik kelemahan ilmu pedang lawan, hanya
tertawa dingin. Dengan kece-patan bagal kilat diarahkan cambuknya ke wajah
lawan. Cambuk itu menggeletar sehingga menimbulkan perci-kan-percikan bunga api
yang mengaburkan pandangan Paksi Buana.
Badra melihat lawannya telah terpengaruh percikan-percikan api, tidak melewatkan
kesempatan itu. Selagi lawannya silau, segera dilecutkan cambuknya ke arah
pergelangan tangan lawannya. Dan....
"Aaakh!"
Terdengar suara kesakitan dari mulut Paksi Buana. Betapa terkejutnya Paksi Buana
setelah menyadari pergelangan tangan kanannya buntung. Segera dipegangi
pergelangan tangan kanan itu. Darah mulai merembes di antara jari-jari tangan
kiri yang memegangi tangan yang buntung itu. Dan di saat itulah Cambuk Api Badra
kembali beraksi ke leher Paksi Buana. Laki-
laki ketua Padepokan Naga Terbang itu tak sempat menghindar lagi.
"Aaakh...!"
Paksi Buana kembali menjerit menyayat. Tubuhnya terjungkal, lalu tewas seketika
dengan leher yang hampir putus.
*** Bersamaan dengan tewasnya Paksi Buana, Soga murid utama dari Padepokan Naga
Terbang itu, mulai terdesak oleh serangan-serangan lawannya yang makin lama
semakin ganas. Sampai pada suatu kesempatan Sudra melepaskan empat buah golok terbangnya. Dua
dari sera-ngan golok itu berhasil disampok oleh sabetan pedang Soga. Tapi sayang
dua golok lainnya sulit untuk dihinda-rinya. Dan....
"Aaakh...!"
Suara jeritan menyayat terdengar dari mulut Soga.
Tubuhnya terjungkal ketika golok itu menancap di ulu hati dan lehernya. Soga
meregang nyawa sebentar lalu diam tak bergerak lagi. Tewas!
Di tempat lain, pertarungan antara para pengikut Tiga Iblis Gunung Tandur
menghadapi murid-murid Padepo-kan Naga Terbang pun telah mendekati penyelesaian.
Dan berbareng dengan tewasnya Soga, tewas pulalah murid terakhir dari Padepokan
Naga Terbang. Dari arah Utara, tiba-tiba berlari sosok tubuh ramping ke arah pertempuran itu.
Semua orang yang ada di situ, sama-sekali tak menyadarinya. Sosok tubuh yang
ter-nyata wanita itu menghambur dan menubruk jasad Paksi Buana yang telah kaku.


Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari bibirnya yang terisak, keluar gumaman lirih.
"Kakang... oh, Kakang.... Apa yang terjadi?" Desah wanita itu di antara isak
tangisnya yang memilukan hati.
Sudra begitu terkejut karena ada sosok wanita sudah berada di dekatnya. Mata
wanita yang indah itu menatap tajam memancarkan kemarahan ke arah Sudra. Orang
termuda dari Tiga Iblis Gunung Tandur itu, tanpa sadar melangkah mundur.
Hatinya tergetar juga melihat sinar mata yang mengerikan itu.
"Gila! Kepandaian wanita ini rasanya tidak berada di bawah kepandaian murid
utama si Naga Sakti!" Gumam Sudra lirih.
Wanita yang ternyata bernama Rara Ampel, terus me-natap tajam ke arah Sudra. Dia
adalah istri Paksi Buana, yang semenjak pagi telah pergi ke Desa Lamping untuk
mengobati orang yang sedang sakit keras. Desa itu ter-letak tidak jauh dari Desa
Karang Jati. Kepala Desa Lamping telah meminta pertolongannya, karena anaknya sakit keras.
Selain pandai ilmu silat, Rara Ampel pun pandai dalam ilmu pengobatan. Jarak
antara Desa Karang Jati ke Desa Lamping, memakan waktu setengah hari perjalanan.
la berangkat ke desa itu bersama putranya dan orang kepercayaannya. Oleh karena
itulah pada saat kejadian dia tidak ada di rumah.
Rara Ampel pelahan-Iahan bangkit berdiri. Bahkan kini telah mengeluarkan
senjatanya berupa selendang ber-warna merah.
"Mampuslah kau, iblis!" teriak Rara Ampel. Tubuhnya melesat menerjang Sudra
dengan kemarahan yang me-luap-luap.
Dalam dunia persilatan nama Rara Ampel bukanlah nama kosong. Dia berjuluk Dewi
Selendang Merah.
Tidak heran jika serangannya pun tak dapat dianggap main-main.
Kini selendang merahnya mehuk-liuk bagaikan seekor ular yang menari-nari. Bahkan
kadang-kadang berubah menjadi beberapa buah. Setiap ujungnya selalu mengarah ke
jalan darah yang berbahaya. Dan kini satu sabetan selendangnya hampir menyentuh
tubuh Sudra. Keliha-tannya, laki-laki itu tak mampu berkelit.
Sebelum ujung selendang merah itu menyentuh tubuh Sudra, sebuah bayangan
berkelebat menyambut serangan tersebut Terdengarlah letupan-letupan yang sangat
nya-ring. Plak! Plak! "Aiiih!"
Tubuh Rara Ampel terdorong, hampir jatuh. Tulang lengan kanannya terasa nyeri
seperti remuk akibat tang-kisan lawan yang sangat kuat.
Bayangan hitam yang ternyata adalah Lodra itu berdiri tegak di depan Rara Ampel.
Jarak keduanya kurang lebih dua tombak.
"He he he..., Manis! Ayo kita bermain-main sebentar, sebelum bersenang-senang!"
Kata Lodra sambil tertawa yang menimbulkan gema. Seolah-olah ingir memamerkan
kekuatan tenaga dalamnya. Beberaps orang yang berada di dekatnya, terjatuh
sambil menekan dadanya yang terasa berguncang karena pengarur suara tawa itu.
Sementara Rara Ampel merasakan tubuhnya gemetar hebat.
Cepat cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk menahan suara tawa itu.
"Tidak kusangka! Tenaga dalam iblis ini sangat tinggi. Pantas saja Kakang Paksi
Buana sampai tewas di tangan mereka!"
Gumam Rara Ampel pelahan. Kecemasan mulai membayang di wajahnya yang cantik itu.
Tanpa disadari, sepasang mata Lodra secara liar mela-hap wajah dan tubuhnya
dengan seringai buas. Kecan-tikan Rara Ampel telah membangkitkan nafsu yang
meng-gelegak dalam diri Lodra.
Menyadari adanya tatapan liar itu, merah padamlah seluruh wajah Rara Ampel.
Bahkan kini tubuhnya ber-gidik, melihat mata yang buas Itu. Dia segera bersiap-
siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Rara Ampel menggerakkan selendang merahnya se-hingga seperti bergelombang
bagaikan seekor naga yang bermain di angkasa. Tiap hentakan selendangnya meng-
hasilkan ledakan-ledakan yang menusuk telinga.
Ctarrr! Ctarrr!
Lodra yang menghadapi serangan itu, hanya terse-nyum dingin. Segera dikeluarkan
ilmu andalannya yaitu jurus
"Sepasang Tangan Pengacau Lautan' yang meru-pakan rangkaian kedua dari jurus
'Tangan Maut'. Udara dingin berhembus keras, kerika Lodra meng-gerakkan tangannya. Mereka yang
tidak memlliki tenaga dalam yang kuat tidak akan mampu bertahan terhadap udara
dingin yang terpancar dari tubuh Lodra.
Dan, tanpa diduga sama sekali, selendang Rara Ampel terpental balik terdorong
hembusan angin dingin terse-but.
Rara Ampel begitu terkejut. Dan belum sempat hilang rasa terkejutnya, Lodra
sudah menerjang dengan totokan-totokan yang mengarah ke jalan darah di tubuh
Rara Ampel. Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, Rara Ampel menggeser tubuhnya ke kiri,
sambil melepaskan tendangan lewat jurus 'Sang Dewi Menggeliat'. Tidak berhenti
sampai di situ, Rara Ampel pun menyabetkan selendangnya ke pelipis lawan. Sungguh sebuah
serangan yang berbahaya!
Lodra yang berjuluk Iblis Tangan Maut ini memang bu-kan tokoh sembarangan.
Serangan itu tidak membuatnya panik.
Dengan satu egosan yang indah, ditekuk kaki kanannya membuat kuda-kuda yang
rendah. Sementara tangan kirinya memapak tendangan itu, sedangkan tangan
kanannya menepis selendang yang mengarah peli-pisnya itu. Rara Ampel segera
menarik kembali serangan-nya. Tapi, belum lagi sempat memperbaiki posisi, baya-
ngan Lodra telah meluncur ke arahnya.
Tuk! Tuk! Kejadian itu berlangsung hanya dalam sekejap mata. Kini tubuh Rara Ampel telah
tertotok lumpuh dalam pelu-kan Lodra.
Si Iblis Tangan Maut atau Lodra, tertawa terbahak-bahak.
Dipondongnya tubuh wanita itu ke dalam Padepokan Naga Terbang. Sesekali
tangannya mengelus ping-gul Rara Ampel.
"Setaaan! Iblis cabul! Mau kau bawa ke mana aku"
Lepaskan! Lepaskan! Bunuh saja aku, iblis!" Rara Ampel berteriak-teriak. Dia
sadar sesuatu yang lebih mengerikan akan menimpa dirinya.
Sementara Lodra yang sudah berada di dalam kamar di salah satu rumah Padepokan
Naga Terbang, meletakkan tubuh molek itu di atas pembaringan. Pakaian yang
menutupi tubuh Rara Ampel direnggutnya secara paksa. Kini tampaklah kulit
tubuhnya yang putih dan halus itu. Rara Ampel benar-benar tanpa benang sehelai
pun. Lodra dengan leluasa melampiaskan nafsu iblisnya, di antara jerit tangis
wanita malang itu.
Puas melepas nafsu binatangnya, Lodra melangkah keluar dengan senyum yang hampir
mirip seringai seri-gala. Badra dan
Sudra pun tak mau ketinggalan. Secara bergantian tubuh molek itu dinikmati
bersama. Setelah puas mempermainkan wanita malang itu, mereka pun membunuhnya
secara keji! Tubuh telanjang itu mengge-letak dengan kepala pecah!
Setelah menguras seluruh harta kekayaan yang ada di dalam padepokan itu, mereka
lalu membakar semua bangunan yang ada.
"Periksa seluruh sudut bangunan ini! Kita harus me-nemukan anak Paksi Buana.
Cari sampai dapat!" Perintah Lodra pada seluruh anak muridnya dengan suara
garang. Sementara di tempat yang agak jauh dan tersembunyi, dua pasang mata yang
menyaksikan kejadian itu tak mampu berbuat apa-apa. Mereka tersentak kaget
setelah mendengar perintah Lodra! Bergegas mereka menjauhi tempat itu, karena
memang ditujukan untuk mereka.
Para murid Tiga Iblis Gunung Tandur menyebar ke seluruh wilayah luar padepokan.
Tapi sudah tidak mene-mukan apa-apa lagi! Karena kedua orang yang dimak-sudkan
sudah pergi meninggalkan tempat berdarah itu.
Sementara malam kian larut. Awan hitam membawa titik-titik air, membuat cuaca
malam semakin bertambah pekat. Samar-samar mulai terlihat titik-titik air yang
mulai berjatuhan menyirami bumi. Seakan-akan ikut ber-duka cita atas peristiwa
berdarah Itu. Sedangkan di tem-pat lain, dua sosok tubuh tergesa-gesa berlari-
lari men-jauhi tempat itu. Siapakah mereka"
*** 3 Hari masih pagi. Di ufuk Timur mulai tampak sinar matahari yang kemerah-merahan.
Alam pun mulai terjaga dari tidurnya.
Burung-burung berkicau indah. Di kejau-han terlihat sebuah bayangan hitam yang
melesat cepat! Bayangan Itu berlari semakin dekat, diringi kepulan debu. Rupanya
bayangan itu adalah seekor kuda, yang ditung-gangi dua orang lelaki.
Lelaki yang mengendalikan kuda, berumur lima puluh tahun.
Wajahnya nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Sepertinya banyak mengalami tekanan berat dalam hidupnya.
Sedangkan orang yang memboncengnya, berusia lebih kurang delapan tahun. Meski
terlihat kotor dan penuh debu, namun jelas bahwa anak ini memiliki paras yang
tampan. Tarikan bibirnya yang begitu kuat, Suatu tanda bahwa anak ini mempunyai
kemauan keras. Hanya saja, pada saat itu wajahnya nampak murung. Raut kesedihan
tergambar di wajahnya.
Mereka terus memacu kudanya memasuki sebuah hutan yang sangat lebat. Setelah
menoleh sekilas ke bela-kang, orang tua itu segera menggeprakkan kakinya ke
perut kuda hingga binatang itu mempercepat larinya. Mereka memasuki hutan
semakin ke dalam.
Setelah cukup lama menerobos rimbunan dedaunan, maka tibalah mereka pada sebuah
tempat yang agak lapang. Di bawah sebuah pohon besar, mereka beristi-rahat
melepaskan lelah.
"Paman. Sudah hampir sebulan kita menghindari orang-orang jahat itu. Lalu,
kemanakah tujuan kita sebe-narnya, Paman?" Tiba-tiba anak itu bertanya kepada si
Orang Tua. "Entahlah, Tuan Muda. Paman sendiri tidak tahu. Tapi bagi Paman tidak menjadi
masalah. Ke mana pun kita akan pergi dan di mana pun kita akan tinggal, yang
pen-ting Tuan Muda selamat!" Ujar orang tua itu dengan suara parau.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara melengking tinggi, seperti suara
tangisan. Orang tua itu tersentak kaget, dan mulai meneliti keadaan di
sekitarnya. Dahinya berkerut bagaikan sedang mengingat-ingat sesuatu. Po-hon-
pohon besar yang menjulang tinggi, bagaikan barisan raksasa yang mengepung
mereka. Kembali lengkingan itu terdengar. Kali ini dibarengi suara rintihan yang panjang
dan menyayat. Angin dingin bertiup keras menerpa tubuh mereka yang menggigil
keras. Anak kecil itu semakin erat memeluk tubuh si Orang Tua. Sementara wajah
si Orang Tua pelahan-lahan memucat, Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
Dadanya berdebar keras, dan otot-otot tubuhnya mene-gang!
"Hut..., hut... tan Ran... du..., Apusss!?" Ucap orang tua itu terputus-putus.
Bibirnya bergetar dan otot-otot tubuhnya semakin menegang. Tangannya yang
gemetar berusaha menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang kirinya.
"Tempat apakah ini, Paman" Rasanya menyeramkan sekali?"
Tanya anak kecil itu. Meski wajahnya pucat, namun suaranya tenang. Memang anak
itu belum tahu apa-apa.
Lain halnya dengan orang tua itu. Dia segera teringat cerita-cerita yang pernah
didengar sebelumnya dari orang persilatan, maupun dari para pemburu.
Hutan Randu Apus atau yang dikenal juga sebagai Hutan Iblis Menangis, adalah
sebuah hutan yang di-anggap keramat!
Orang yang pernah datang ke hutan itu jangan harap dapat
kembali pulang! Mereka lenyap tanpa bekas. Menurut orang-orang desa sekitar,
mereka dimangsa oleh Iblis Menangis yang tinggal di hutan itu.
Dulu, pernah beberapa orang yang dikenal sebagai jagoan-jagoan desa sekitar,
berkumpul dan memasuki hutan ini. Niat mereka adalah untuk membunuh iblis
penghuni Hutan Randu Apus. Namun mereka pun lenyap bagai ditelan bumi! Itulah
cerita-cerita yang pernah didengar oleh orang tua tersebut.
"Paman! Paman Wira Tama! Ada apa, Paman" Paman, kenapa?" Anak kecil itu
mengguncang-guncang tubuh orang tua yang ternyata bernama Wira Tama sambil
berteriak-teriak.
Wira Tama tersadar dari lamunannya. Dicobanya untuk tersenyum, namun yang tampak
adalah seringai kengerian.
"Ah.... Tidak ada apa-apa, Tuan Muda! Tempat ini sangat cocok untuk
persembunyian. Kita akan aman di sini!" Jawab Wira Tama menghibur. "Sebaiknya,
sekarang kita mencari tempat untuk nanti malam."
Anak kecil itu ternyata anak Paksi Buana. Dia ber-hasil diselamatkan pembantunya
yang bernama Wira Tama. Sudah hampir satu bulan mereka melarikan diri karena
dikejar-kejar murid-murid si Tiga Iblis Gunung Tandur. Sampai akhirnya mereka
tersesat di Hutan Randu Apus.
Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Bias-bias sinarnya pun telah
menerobos rimbunnya dedaunan pepohonan Hutan Randu Apus. Udara di dalam hutan
pelahan-lahan mulai hangat.
Sementara itu, Wira Tama dan anak Paksi Buana yang bemama Panji, mulai menerobos
masuk ke dalam hutan untuk mencari tempat bermalam nanti.
Tiba-tiba terdengar sebuah raungan dahsyat, yang ber-gema menggetarkan hutan
tersebut Keduanya tersentak mundur dengan wajah pucat! Dada mereka berguncang
keras. Bahkan Panji sampai jatuh terduduk, karena lutut-nya mendadak lemas!
"Suara apakah itu, Paman?" Tanyanya sambil ber-usaha untuk bangkit.
"Entahlah, Tuan Muda. Suara itu terlalu besar untuk seekor harimau!" Jawab Wira
Tama, yang sudah men-cabut pedangnya.
Mereka terus melangkah dengan hati berdebar-debar. Napas mereka pun memburu
menahan rasa takut dan ketegangan yang amat sangat.
Raungan tersebut, kembali bergema. Kali ini bahkan lebih keras, hingga mereka
terdorong beberapa langkah dan jatuh berhimpitan. Tubuh keduanya gemetar hebat.
Belum lagi hilang rasa terkejut, didepan mereka telah muncul seekor harimau yang
sangat besar! *** Paman Wira Tama dan Panji hanya mampu terpaku, dengan tubuh gemetar. Harimau Itu
memang sangat besar dan kelihatannya kuat sekali. Tubuhnya satu sete-ngah kali
lebih besar daripada harimau biasa. Panjangnya hampir mencapai dua batang
tombak! Binatang raja hutan itu mengaum buas, memperlihatkan taring-taring yang
besar dan tajam bagai mata pisau.
Wira Tama bangkit lalu memungut pedangnya yang terlepas dari genggamannya.
Dicobanya untuk menenang-kan diri. Jalan napasnya diatur pelahan-lahan. Dia kini
telah siap melindungi majikan kecilnya dengan taruhan nyawa.
Sementara Panji yang belum hilang rasa terkejutnya, masih terduduk lemas. Tiba-
tiba ia tersentak, setelah teringat akan nasihat yang selalu ditanamkan ayahnya.
Nasihat itu berisi, apabila dihantui perasaan cemas, tegang, maupun takut, maka
jalan napas harus diatur guna mengendorkan urat-urat yang tegang. Nasihat ini
ditanamkan untuk membentuk jiwa pendekar dalam diri Panji.
Dan kini anak itu mencoba menerapkan nasihat ayah-nya.
Pelahan-lahan mulai dirasakan kebenaran ucapan ayahnya Itu.
Setelah hatinya terasa agak tenang, ia pun bangkit dan berlindung di balik
sebuah pohon yang agak jauh dari harimau Itu.
Sementara harimau ganas itu kelihatan mengambil ancang-ancang, Tiba-tiba dengan
dibarengi raungan yang dahsyat, harimau itu menerkam Wira Tama. Kuku-kuku-nya
yang tajam dan kuat itu, siap menyobek tubuh mangsanya.
Namun demikian, Wira Tama bukanlah orang lemah.
Meskipun hanya seorang pelayan, ia pun tidak buta akan ilmu olah kanuragan.
Sebagai orang kepercayaan keluarga Paksi Buana, dia pun dibekali kepandaian yang
tidak ringan. Maka ketika harimau itu menerkam ke arahnya, dia pun segera berkelit dengan
jurus 'Naga Malas'. Tubuhnya menggeliat ke kiri, sehingga luput dari serangan
harimau yang kelihatan lapar itu. Melihat terkamannya dapat dielakkan, si Raja
Hutan tampaknya marah bukan main! Dengan meraung murka, ia kembali menerjang.
Mungkin si Raja Hutan itu menerka bahwa calon korbannya kali ini bukan orang
sembarangan. Buktinya, terkamannya kali ini pun tidak kepalang tanggung. la
melesat dengan kecepatan tinggi, sementara kedua cakar-nya kali ini diarahkan ke
kepala calon korbannya.
Menghadapi terkaman itu, Wira Tama segera meIenting tinggi melewati kepala
harimau. Pada saat yang tepat, pedangnya berkelebat dengan kecepatan penuh
menebas leher si Raja Hutan, yang berada di bawahnya itu.
Buk! Terdengar suara seperti batang besi yang dibenturkan dengan kuatnya ke gumpalan
karet. Wira Tama bersalto beberapa kali di udara, untuk menjauhi sang harimau. Kakinya
mendarat dengan ringan beberapa tombak di belakang tubuh harimau itu.
Tangannya dirasakan nyeri sekali. Tidak disangka kalau tubuh harimau itu begitu
keras! Hampir saja pedang-nya terlepas dari genggaman tangannya.
"Gila! Sungguh luar biasa harimau ini! Sampai-sampai pedangku pun tak mampu
melukai tubuhnya! Aneh"!" keluhnya sedikit khawatir. Kecemasan mulai terbayang
di wajahnya. Sementara harimau itu sudah menerjang kembali de-ngan dahsyatnya. Tubuhnya
melesat bagaikan kilat di-sertai raungan panjang, yang bergema ke seluruh


Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjuru hutan. Wira Tama yang masih terpaku di tempatnya, menjadi kalang kabut. Karena tahu-
tahu saja kedua cakar hari-mau hampir menyentuh tubuhnya. Dengan gugup, dige-
rakkan pedangnya secara mendatar menyambut terka-man Raja Hutan itu seraya
melompat ke samping kiri.
Namun terlambat, Wira Tama masih kalah cepat dengan harimau itu. Pedangnya
terlempar entah ke mana, sedangkan tubuhnya melambung tinggi terkena samba-ran
kaki kanan binatang itu.
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan yang merobek kesunyian Hutan Randu Apus.
Orang tua malang itu terbanting keras ke bumi. Dari luka yang menganga di
dadanya, merigalir cairan merah yang masih segar. Belum lagi ia dapat bangkit,
harimau itu telah menerkam kembali. Tanpa ada suara lagi, pelayan yang setia
dari Paksi Buana itu tewas. Tubuhnya tak berbentuk lagi.
Panji yang menyaksikan kejadian itu, menjadi tergun-cang hatinya. Ingatannya
terbayang kembali pada wajah kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya itu,
yang kini telah tiada. Tewas di tangan orang orang jahat yang menyerbu padepokan
milik ayahnya. Satu persatu ter-bayang di benaknya, wajah-wajah orang jahat yang
telah membunuh ayah dan ibunya. Tanpa terasa, mengalir dua tetes air matanya.
Namun demikian cepat dihapusnya air mata itu dengan punggung tangannya.
Terngiang kembali kata-kata ayahnya.
"Panji..., seorang lelaki sejati ridak akan menangis betapapun berat beban yang
dideritanya. Yang pantas mengeluarkan air mata hanyalah wanita!" Itulah yang
selalu dikatakan Paksi Buana kepada anaknya.
Dengan menggertakkan gigi, Panji segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Tidak ada lagi rasa takut dalam dirinya.
Satu satunya orang yang menjadi tempat-nya berlindung, telah pula tewas diterkam
harimau buas itu.
"Harimau jahat! Harimau jelek! Ayo, terkamlah aku!
Lawanlah aku!" Panji yang sudah tidak mempedulikan dirinya lagi itu, terus
melangkah maju mendekati bina-tang buas itu.
Si Raja Hutan yang kelihatannya sudah tidak memperhatikan Panji itu, menoleh
sambil menggereng lirih. Seolah-olah memperingatkan bahwa ia tidak ingin
diganggu. Namun Panji yang marahnya telah meluap terhadap harimau itu, sudah tidak
mempedulikannya lagi Diambil-nya beberapa buah batu sekepalan tangannya lalu
dilem-parkannya ke tubuh si Raja Hutan.
Merasa kesenangannya diganggu, harimau itu meng-gereng marah. Terdengar
raungannya yang seperti akan merontokkan jantung. Tanpa sadar, Panji melangkah
mundur. Wajahnya nampak pucat dan tubuhnya geme-tar, karena pengaruh raungan itu
Tapi segera dikuatkan hatinya Dua buah batu yang masih digenggam, dilempar-
kannya ke tubuh sang harimau.
Kali ini dengan dibarengi raungannya yang dahsyat, harimau itu melompat menerkam
Panji, yang berdiri me-matung dengan wajah memucat! Sementara Panji bersiap-siap
menghadapi kemungkinan yang akan terjadi....
*** Dapat dipastikan taring harimau itu akan melumat tubuh kecil yang tanpa dosa
itu. Tapi, sebelum terkaman harimau mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh raja hutan
itu terbanting ke tanah, seraya meraung keras karena merasa kesakitan.
Dan kini tahu-tahu, di samping Panji telah berdiri sosok tubuh seorang kakek
tua. Seluruh rambut di kepala, kumis, dan janggutnya telah memutih. Usia kakek
itu kira-kira telah mencapai tujuh puluh tahun, namun potongan tubuhnya masih
menampakkan kegagahan. Pakaiannya jubah putih longgar, melambai-lambai tertiup
angin. Kakek itu tersenyum lembut. Sambil tangannya yang agak keriput itu mengusap
tubuh Panji yang masih gemetar. Anak kecil itu sedikit heran, karena dari
telapak tangan kakek itu mengalir hawa sejuk. Pelahan-lahan tubuh Panji menjadi
segar kembali dan hatinya pun menjadi tenang.
Kakek itu kembali menatap ke arah si Raja Hutan yang nampak bersiap-siap hendak
menyerang kembali. Disertai raungan murka, harimau itu kembali menerjang ke arah
sang kakek yang menghadapinya dengan senyum lembut.
Ketika serangan harimau sudah hampir sampai kakek misterius itu menghentakkan
kedua tangannya kedepan.
Akibatnya sungguh menakjubkan! Tubuh si Raja Hutan itu terlempar sejauh tiga
tombak lalu jatuh berdebum di tanah.
Namun harimau itu tidak menjadi kapok Diulangi-nya serangan itu beberapa kali,
namun hasilnya sama-saja.
Setelah merasakan bantingan untuk yang kesekian kalinya, rupanya harimau itu
menyadari bahwa manusia yang satu ini merupakan lawan yang berat baginya. Kini
dia hanya berputar ke kiri dan ke kanan seolah-olah ingin mencari kelemahan
lawannya. Si Kakek sendiri merasa takjub oleh kekuatan harimau itu.
Padahal tadi telah dipergunakan seperempat tenaga-nya.
Namun harimau itu sama sekali tidak terluka.
"Sungguh luar biasa daya tahan harimau ini!" Decak-nya kagum. "Rasanya tokoh
persilatan pun sulit menun-dukkannya.
Sungguh sayang sekali apabila harus dibu-nuh," lanjut kakek itu, seolah-olah
berkata pada dirinya sendiri.
"Eyang, bagaimana kalau kita pelihara?" Usul Panji tiba-tiba.
"Tidak, Cucuku! Biarlah dia bebas dan merdeka seperti ini!"
Ujar sang kakek lembut.
Baru saja kakek itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba terdengar raungan keras
kembali. Kali ini si Raja Hutan kembali menerjang sepenuh tenaganya, disertai
raungan yang menggetarkan memenuhi penjuru hutan. Sementara itu, Panji sampai
jatuh terduduk, karena mendadak seluruh tubuhnya terasa lumpuh. Sementara kedua
tangannya mendekap dada, karena jantungnya untuk beberapa saat seolah-olah
terhenti. Kakek misterius itu, semakin kagum akan kekuatan harimau yang begitu dahsyat.
Kalau saja ia tidak memiliki tenaga dalam yang tinggi, tentu sudah jatuh seperti
halnya Panji. Kakek itu pun rupanya tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Maka, kali ini
dikerahkan hampir separuh tenaga dalamnya. Pelahan-lahan udara di sekitar tempat
itu mulai terasa hangat.
Ketika kuku-kuku harimau itu hampir mengenainya, si kakek memiringkan tubuhnya
ke kanan, sambil tangan kanannya bergerak membacok. Akibatnya sungguh luar
biasa! Harimau yang terhantam tangan kakek itu me-raung keras. Tubuhnya meluncur
deras dan menabrak sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa. Pohon itu kontan
patah dengan suara berderak keras. Si Raja Hutan itu kali ini harus mengakui
keunggulan orang tua ini. Tubuhnya tergeletak dengan posisi miring.
Sesekali terdengar gerengannya pelahan, bagaikan sedang mena-han rasa sakit yang
hebat! Benar-benar luar biasa kekuatan tubuh si Raja Hutan itu!
Seandainya yang menerima pukulan tadi tokoh persi-latan tingkat pertengahan,
bukan mustahil tubuhnya remuk terkena hantaman kakek itu.
Kakek tua itu segera menghampiri tubuh Si Raja Hutan yang belum dapat bangkit
lagi Dia kemudian berjongkok di sisi harimau itu, lalu menotok di beberapa
bagian tubuh binatang buas yang hanya mampu meng-gereng lirih itu. Beberapa saat
kemudian, harimau itu bangkit dan melarikan diri ke dalam hutan.
Setelah harimau itu tidak kelihatan lagi, kakek itu melangkah mendekati tubuh
Panji, yang masih terbaring di atas rumput.
Jari-jari tangannya mengurut bagian-bagian tertentu di tubuh anak tak berdosa
itu. Beberapa saat kemudian, Panji sudah dapat bangkit berdiri. Dia merasa
heran, ketika didapati tubuhnya terasa segar dan nyaman. Tidak ada sisa-sisa
kelelahan sedikit pun.
"Nama saya Panji. Saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Eyang!
Entah apa jadinya diri saya ini, tanpa pertolongan Eyang!" Ucap Panji sambil
bersim-puh di hadapan orang tua sakti itu.
Si Kakek hanya tersenyum lembut, demi melihat tutur kata yang sopan dari bocah
berusia delapan tahun itu.
"Cucuku...," ujarnya lembut. "Sudah menjadi kewaji-ban kita sebagai manusia
untuk saling tolong-menolong. Nah! Oleh karena itulah, jangan engkau merasa
berhu-tang budi kepada Eyang, Cucuku! Lalu..., hendak ke manakah engkau
sekarang, Cucuku" Dan mengapa engkau berada di hutan yang berbahaya ini?"
Tanyanya heran.
"Entahlah, Eyang," jawab Panji bingung. "Saya... Saya tidak tahu."
Sehabis berkata demikian, Panji termenung Dia ber-usaha menahan kesedihan,
karena terbayang kembali akan kejadian-kejadian yang menimpa keluarganya. Kini
ia tinggal sendiri, karena orang-orang yang dikasihi semua telah tiada lagi.
Oleh karena itulah kerika dltanya orang tua tersebut, la jadi bingung.
Tidak tahu harus menjawab apa.
"Sudahlah, Cucuku! Jangan kau bersedih. Ceritakan-lah, barangkali Eyang dapat
membantu kesulitanmu?" Ujar orang tua itu iba, ketika dilihatnya Panji menunduk
sedih. Dengan suara terputus-putus, Panji lalu menceritakan segala kejadian yang
menimpa keluarganya. Mulai dari saat kehancuran padepokan ayahnya oleh Tiga
Iblis Gu-nung Tandur, sampai tersesat di Hutan Iblis Menangis ini.
Orang tua itu, mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sesekali terdengar helaan
napasnya yang panjang.
"Hm.... Bunuh-membunuh.... Balas-membalas... Se-lalu terjadi dalam dunia yang
semakin tua ini," kakek itu bergumam tak jelas. Seolah-olah berbicara kepada
dirinya sendiri.
"Cucuku, apakah engkau pun berniat membalas kematian ayahmu?" Tanya kakek itu
ingin tahu. Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Panji menarik napas pelahan.
"Eyang, saya tidak tahu. Tapi..., apakah Ayah dan Ibu saya akan tenang di alam
baka, apabila saya sebagai anaknya tidak membalas dendam" Apakah mereka tidak
akan murka, Eyang?"
Jawab Panji seraya juga membe-rondong dengan pertanyaan.
Mendengar jawaban itu si Kakek tersenyum, sambil mengelus-elus janggutnya yang
panjang dan putih. la tidak ingin menjawab pertanyaan Panji, karena ia tahu hati
anak itu masih dikuasai kemarahan dan dendam yang membara.
"Aku lihat, kau memiliki susunan tulang yang baik Darahmu pun bersih.
Rasanya..., kau akan menjadi seo-rang pendekar yang hebat, apabila mau
mempelajari ilmu olah kanuragan.
Maukah kau menjadi muridku, Cucu-ku?" Tanya kakek itu sambil tersenyum.
Panji tidak mengerti, apa yang diucapkan orang tua sakti tersebut. Tapi ketika
mendengar pertanyaan itu, ia pun langsung berlutut di hadapan kakek itu
"Saya mau, Eyang..! Saya mau...," kata Panji girang sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Mulutnya tak henti-hentinya berucap, hingga napasnya memburu karena
kegembiraan yang meluap-luap.
Orang tua itu mengangguk senang, sambil tangannya mengusap-usap kepala Panji
yang bersujud di hadapan-nya itu.
Setelah menguburkan jenazah Wira Tama, kakek sakti itu lalu mengajak Panji untuk
pergi dari situ Sambil memondong Panji, tubuhnya berkelebatan bagaikan baya-ngan
hantu yang sedang mencari mangsa. Dalam sekejap saja, kakek itu telah jauh
meninggalkan tempat tersebut. Jubahnya yang lebar berkibaran, sehingga sepintas
lalu tubuh kakek itu bagaikan seekor burung yang melayang-layang di udara.
Slapakah sebenarnya kakek sakti itu" Dan ke mana Panji akan dibawa pergi"
*** 39 Orang tua sakti itu bernama Eyang Tirta Yasa. Empat puluh tahun yang lalu ia
telah menggemparkan dunia persilatan
berkat ilmunya yang sangat dahsyat, 'Telapak Tangan Petir.
Itulah sebabnya, mengapa ia dijuluki si Malaikat Petir!
Banyak sudah tokoh persilatan dari kalangan sesat telah tewas di tangannya.
Memang zaman itu merupakan masa yang sangat suram bagi golongan sesat. Kemuncu-
lan Eyang Tirta Yasa yang tiba-tiba bagai malaikat, menyebabkan banyak tokoh
sesat berpikir dua kali untuk menghadapinya. Sepak terjangnya yang sangat
menggi-riskan itu memang membuat resah lawan-lawannya. Aki-batnya, pada masa itu
sulit untuk menemukan tindak kejahatan.
Para perampok yang biasanya tidak kenal rasa takut, terpaksa harus
menyembunyikan diri. Sebab si Malaikat Petir, tidak kepalang tanggung dalam
bertindak. Siapa pun yang berbuat kejahatan, maka dapat dipastikan, tidak akan
dapat menikmati hangatnya sinar matahari esok pagi.
Memang pada masa itu terdapat juga beberapa tokoh sakti yang setingkat dengan si
Malaikat Petir. Mereka adalah, Dewa Tanpa Bayangan. Kemudian si Raja Obat, dan
beberapa nama lainnya. Mereka semua merupakan pendekar ternama dan sangat
disegani kawan maupun lawan. Di samping itu dari golongan sesat pun masih banyak
tokoh hitam yang berkepandalan tinggi.
Dalam waktu yang singkat, nama Malaikat Petir telah mampu menggeser tokoh-tokoh
tua golongan putih yang telah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia per-
silatan. Tentu saja, ada beberapa dari mereka yang ingin menjajagi sampai di
mana kepandaian yang dimiliki si Malaikat Petir itu. Namun sampai sekian jauh,
uji coba kepandaian antara si Malaikat Petir melawan tokoh tua, tidak sampai
jatuh korban ataupun terluka parah. Juga, tidak menimbulkan rasa permusuhan di
antara mereka. Sementara sebagian tokoh banyak juga yang merasa bangga, karena
tugas-tugas mereka telah diambil alih oleh si
Malaikat Petir. Dengan demikian mereka dapat mengasingkan diri dengan aman dan
tenteram. Setelah kurang lebih sepuluh tahun nama Malaikat Petir menggema dalam dunia
persilatan, tiba-tiba saja pendekar besar itu menghilang tak tentu rimbanya. Si
Malaikat Petir, lenyap bagaikan ditelan bumi! Dunia persilatan pun gempar!
Para tokoh hitam bersorak dan berpesta setelah mendengar kabar itu. Sementara
masya-rakat kembali resah. Jelas kehidupan mereka bakal kem-bali terancam
dirongrong gerombolan perampok.
Para sahabat si Malaikat Petir pun telah berusaha mencari kabar tentang pendekar
sakti itu. Namun si Malaikat Petir benar-benar lenyap bagai ditelan bumi.
Tahun-tahun selanjutnya, nama si Malaikat Petir mulai dilupakan orang. Di kedai-
kedai maupun di jalan-jalan, tidak terdengar lagi nama si Malaikat Petir
diperbincang-kan orang.
Namanya benar-benar telah tenggelam.
Tiga puluh tahun telah berlalu semenjak la lenyap bagai ditelan bumi. Dan
kalangan rimba persilatan, telah menganggap si Malaikat Petir telah meninggal
dunia. Na-mun, tiba-tiba saja pendekar sakti itu muncul ditengah rimba belantara
yang sunyi dan menyeramkan. Dan seka-ligus telah menyelamatkan jiwa Panji dari
kematian. Kini, bayangan tubuh orang tua sakti itu tengah ber-loncatan mendaki sebuah
bukit yang permukaannya terdapat batu-batu yang bertonjolan. Meskipun demikian,
tubuh orang tua sakti itu sama sekali tidak merasa ter-ganggu. Ilmu meringankan
tubuhnya memang telah men-capai taraf kesempurnaan. Tubuh orang tua itu, mela-
yang-layang dengan gesit, bagaikan seekor burung yang tengah bermain-main di
angkasa. Sementara tubuh Panji yang berada di tangan kanannya itu, telah tertidur pulas.
Rupanya Ia merasa aman dalam lindungan kakek sakti itu. Tanpa disadari keleti-
han yang selama ini disembunyikannya itu terlepas sudah. Sehingga ia jatuh
terlelap seketika itu juga.
*** Bukit Goa Harimau, adalah salah satu bukit di antara sekian banyak bukit yang
terdapat di sekitar Hutan Randu Apus.
Mungkin karena di atas bukit itu terdapat sebuah goa yang berbentuk kepala
harimau maka di-namakan Bukit Goa Harimau.
Di atas puncak bukit ini terdapat sebuah tanah datar yang cukup luas. Di tengah-
tengah tanah lapang itu ber-diri sebuah pondok yang cukup besar dan kuat Semen-
tara di belakang pondok itu mengalir sebuah sungai jernih, yang bersumber dari
sebuah air terjun tidak jauh dari pondok.
Rupanya di sinilah tempat si Malaikat Petir menyem-bunyikan dirinya selama
puluhan tahun. Suatu tempat yang sukar didatangi. Hanya orang-orang tertentu
saja yang dapat mencapai tempat itu. Bukan saja bukit itu sangat sulit untuk
didaki. Ternyata di dalam Hutan Randu Apus terdapat banyak binatang buas yang
sangat berbahaya.
Matahari mulai memancarkan sinarnya. Pelahan-lahan suasana yang semula redup
menjadi terang. Kehangatan yang dipancarkannya mulai terasa menyengat kulit.
Sementara itu di sebuah pondok di atas Puncak Bukit Goa Harimau, tampak dua
sosok tubuh tengah duduk berhadapan.
Mereka duduk bersila dengan keheningan yang menyelimuti sekitarnya. Masing-
masing sibuk dengan pikirannya.
Ternyata, dua sosok tubuh itu adalah Eyang Tirta Yasa dan Panji. Mereka memang
telah menetap di tempat ini. Sebuah tempat persembunyian Eyang Tirta Yasa, sejak
penyepiannya puluhan tahun yang lalu.


Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cucuku," ujar orang tua itu lembut memecah ke-heningan.
"Mulai pagi ini, Eyang akan memberikan dasar-dasar segala ilmu silat. Oleh
karena itu, Eyang berharap agar engkau tekun dan sabar dalam mempelajarinya.
Karena, tanpa kesabaran dan ketekunan, sulit akan men-capai hasil yang sempuma."
"Baik, Eyang! Saya berjanji akan selalu mengikuti se-gala petunjuk Eyang," jawab
Panji dengan kepala tunduk. Kata-katanya halus, namun di dalamnya tersembunyi
sebuah tekad yang kuat.
Eyang Tirta Yasa mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil sesekali mengelus
janggut putihnya itu. Ia sema-kin suka dan sayang kepada anak itu. Anak seperti
Matahari Esok Pagi 12 Si Dungu Karya Chung Sin Maling Romantis 2
^