Pencarian

Tinju Topan Dan Badai 2

Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai Bagian 2


Panji yang saat berpapasan melihat gerak-gerik
keempat orang itu mencoba bersikap tenang. Dia tahu, keempat lelaki berpakaian
coklat itu dari dunia persilatan. Kendati demikian, tetap saja hatinya berdebar
tegang! Pendekar Naga Putih menduga, mungkin saja be-
rita tentang Laka Sora sudah tersebar luas. Tapi untuk memastikan, Panji memberi
isyarat agar Kenanga berbalik. Tampak lelaki berkumis lebat itu sudah meng-
hampiri. "Ada keperluan, Kisanak?" tanya Panji.
Nada suara Panji terdengar disertai senyum ra-
mah. Kepalanya pun segera mengangguk ke arah tiga
lelaki berpakaian coklat lain, yang saat itu juga tengah memperhatikan.
Terutama, ke arah Laka Sora. Maka
Panji pun mengambil sikap waspada.
"Kisanak nampaknya bocah itu terlalu tua untuk menjadi putra kalian berdua.
Benarkah ia anak kalian...?" tanya lelaki berkumis lebat itu langsung menatap
Panji dan Laka Sora berganti-ganti.
Panji tetap berusaha bersikap tenang. Jelas, per-
tanyaan lelaki berkumis lebat itu. menandakan kalau berita tentang Laka Sora
sudah sampai ke telinga
kaum rimba persilatan.
"Kisanak benar. Ia memang terlalu tua untuk
menjadi putra kami. Tapi bocah itu keponakan kami,
yang kebetulan tinggal bersama kami...," jawab Panji tetap ramah dan sopan.
"Apakah kalian penduduk desa ini...?" desak lelaki berkumis lebat itu, terus
menatap semakin curiga.
"Maaf..."
Kenanga yang merasa bahwa pertanyaan lelaki:
berkumis lebat itu sungguh keterlaluan, langsung saja melangkah maju. Ditatapnya
lelaki itu dengan sorot
mata mencerminkan kegusaran hatinya.
"Sebenarnya, siapakah Kisanak ini" Dan, apa
hak Kisanak bertanya-tanya tentang kami" Tinggal di sini atau bukan, itu urusan
kami sendiri! Dan aku tidak suka terhadap pertanyaan dan sikap Kisanak yang
mencurigai kami!" lanjut Kenanga.
Demikian lantang dan tajam kata-kata Kenanga,
hingga menarik perhatian orang yang berlalu-lalang.
Seketika, banyak orang-orang yang ingin mengetahui
apa yang tengah terjadi. Kerumunan orang desa yang
semakin bertambah, membuat lelaki berkumis lebat ini gusar. Wajahnya tampak
merah-padam. Apalagi, keti-
ka mendengar suara bisik-bisik di antara penduduk.
Sementara Panji segera berbalik untuk melan-
jutkan langkah, meninggalkan tempat itu bersama Ke-
nanga dan Laka Sora. Melihat hal ini, laki-laki bertam-pang kasar itu makin
gusar. Sehingga....
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras menggelegar. Rasa
marah dan malu, membuat lelaki berkumis lebat ini
bukan lagi sekadar membentak. Tubuhnya langsung
mencelat berjumpalitan di atas kepala Panji, Kenanga, dan Laka Sora. Kemudian,
tubuhnya meluncur turun
dengan gerakan ringan dan mantap.
"Awas pukulan...!"
Tanpa bertanya lagi, lelaki berkumis lebat itu
langsung saja melancarkan sebuah pukulan ke dada
Panji. Meskipun perbuatannya sudah keterlaluan, tapi sempat memberikan
peringatan sebelumnya. Tanda
bahwa ia bukanlah orang telengas.
Melihat datangnya pukulan, Panji segera tahu
kalau lelaki berkumis lebat itu hanya sekadar menguji dan tidak bermaksud
mencelakai. Panji hanya tersenyum tipis, tidak berusaha mengelakkan pukulan itu.
Karena dugaannya pukulan itu belum tentu dilan-
jutkan. Sementara Kenanga yang memang sudah jeng-
kel, apalagi melihat Panji sama sekali tidak bergerak sedikit pun, langsung saja
melepaskan tendangan untuk menghantam balik pukulan itu.
Plagg! "Aaahhh..."!"
Lelaki berkumis lebat itu kontan memekik kesa-
kitan! Kecepatan tendangan Kenanga, membuatnya ti-
dak sempat menarik pulang pukulannya. Sehingga,
lengannya jadi terpental balik dan terasa nyeri sampai ke tulang. Hal itu
terjadi, karena pukulan yang dile-
paskannya sama sekali tidak dialiri kekuatan tenaga dalam. Karena, lelaki
berkumis lebat ini memang tidak bermaksud mencelakai Panji. Ia hanya ingin
menguji, apakah pemuda yang dicurigainya pandai silat atau tidak. Tapi tindakan
Kenanga telah membuatnya yakin.
Ternyata orang-orang yang dihadapi memang berisi.
"Hm.... Kau pasti pemuda yang dijuluki Pendekar Naga Putih! Dan bocah ini adalah
pewaris 'Ilmu Tinju Topan dan Badai' yang dicari-cari tokoh-tokoh persilatan!
Sejak pertama, memang aku yakin tidak salah lihat!" ujar lelaki berkumis lebat
ini, yang langsung memberi isyarat kepada ketiga orang kawannya untuk
mengepung. Walaupun sejak tadi sudah curiga, tapi tetap saja
Panji terkejut Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau
mulai dari desa ini, perjalanannya tidak akan aman la-gi. Tapi itu bukan berarti
kalau akan mundur. Yang jelas Laka Sora akan tetap diantarkannya kepada
orangtuanya. Apa pun yang akan terjadi.
"Serahkan bocah itu kepada kami...!" bentak lelaki berkumis lebat itu sambil
melompat. Tangannya
sudah terulur hendak menangkap tubuh Laka Sora.
"Jangan ganggu bocah itu...!" seru Panji, langsung mengibaskan tangan kirinya
memotong gerak le-
laki berkumis lebat itu dari samping.
Dukkk! "Aaakhh..."!"
Lagi-lagi terdengar pekik kesakitan dari laki-laki
berkumis itu. Kali ini bahkan lebih parah. Meskipun saat hendak merebut Laka
Sora sudah mengerahkan
tenaga dalam, tapi tetap saja kibasan tangan Panji tidak sanggup ditahannya.
Sehingga, lelaki berkumis lebat ini sibuk memijat-mijat lengan kanannya yang
terasa remuk. "Keparat! Terima pembalasanku...!"
Seketika salah satu dari ketiga lelaki berpakaian
coklat yang menerjang dengan golok besar di tangan, membentak marah. Dan
senjatanya langsung menyambar, mengancam iga Panji.
"Kenanga! Bawa Laka Sora menyingkir! Biar aku
yang menghadapi mereka...!" seru Panji, langsung memutar tubuhnya dengan sebuah
lompatan pendek.
Tangan kanannya langsung berputar dan melibat len-
gan yang memegang golok besar itu. Kemudian, lang-
sung dilepaskannya satu sikutan keras.
Desss! Orang itu kontan kaget dan menjadi marah den-
gan mata membeliak. Perutnya telak sekali terkena so-dokan siku Panji. Karuan
saja tubuhnya terbungkuk,
sambil memegangi perutnya yang menjadi mulas bu-
kan main. Sementara dua orang penyerang lain yang me-
luncur datang, langsung disambut Panji dengan tam-
paran dan tangkisan. Yang seorang terpental dengan
bibir pecah terkena tamparan, sedang yang satunya
lagi melintir akibat terhantam tangkisan Panji yang amat kuat.
"Hm.... Kalau hanya memiliki kepandaian seren-
dah ini, sebaiknya kalian pulang saja. Jangan ikut-
ikutan hendak memperebutkan bocah ini! Percuma!
Kalian tidak akan berhasil. Malah, mungkin kalian
akan tewas sia-sia," ujar Panji.
Tentu saja perkataan Panji bukan bermaksud
menghina keempat orang lelaki itu. Tap! lebih tepat merupakan nasihat yang agak
keras. Setelah merasakan kepandaian Pendekar Naga
Putih yang melindungi bocah itu, tampaknya keempat
lelaki berpakaian coklat itu tahu did. Apalagi, setelah
mendengar kata-kata pemuda itu, sehingga mereka
saling bertukar pandang sesaat.
'Terima kasih atas pelajaran yang berharga ini,
Pendekar Naga Putih. Setelah merasa kan kepan-
daianmu, kami sadar kalau ilmu yang kami miliki ternyata masih sangat rendah.
Dan memang, kami belum
pantas memperebutkan bocah itu..."
Setelah berkata demikian, lelaki berkumis lebat
yang menjadi pemimpin, segera berbalik dan melang-
kah ke arah kuda yang ditambatkannya. Begitu dia
melompat naik ke atas punggung kudanya, segera
membedalnya tanpa menoleh lagi. Sedang tiga orang
kawannya segera mengikuti.
"Syukurlah mereka tahu diri...," gumam Panji menarik napas lega, ketika keempat
orang itu sudah jauh tak terlihat lagi. Memang sungguh tidak disangka kalau
persoalan itu dapat demikian mudah dan cepat
selesai, tanpa pertumpahan darah.
"Hm.... Apakah aku harus tahu diri, Pendekar
Naga Putih...?"
Tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan yang
membuat Panji terkejut. Karena dalam suara itu terdapat getaran tenaga dalam
yang membuat dadanya ber-
debar. Cepat Panji menoleh ke arah asal suara.
Sedangkan Kenanga dan Laka Sora sudah lebih
dulu melihat, siapa orang yang mengeluarkan perta-
nyaan itu. Dia adalah seorang lelaki bertubuh sedang, namun terlihat padat
berisi. Dan kelihatan-nya, dia menyembunyikan kekuatan hebat Usianya tidak
terlalu tua, paling jauh empat puluh tahun. Wajahnya tampak angkuh dan
memancarkan perbawa. Di kiri dan
kanannya berdiri dua orang lelaki bertelanjang dada, yang tingginya melebihi
ukuran manusia. Sekali lihat saja, orang tentu dapat menduga kalau kedua orang
bertubuh raksasa itu adalah pembantu dari lelaki bertubuh sedang yang pada
punggungnya tergantung dua
batang pedang. Panji sama sekali tidak menjawab pertanyaan
itu. Diperkirakannya ketiga orang itu yang mulai melangkah mendekat Dan rasanya,
Pendekar Naga Putih
tidak berani memandang remeh, karena disadari kalau tokoh-tokoh tingkat tinggi
akan bermunculan untuk
memperebutkan Laka Sora. Dan menurut pengliha-
tannya, lelaki bersenjatakan sepasang pedang ini bukanlah lawan ringan. Tapi,
tentu saja Panji sama sekali tidak gentar untuk menghadapinya.
"Namaku memang tidak sekondang nama besar-
mu, Pendekar Naga Putih. Aku Malayang, penguasa
pantai timur. Dan terpaksa tempat kediamanku sela-
ma ini kutinggalkan, ketika mendengar munculnya
seorang bocah yang mewarisi ilmu-ilmu mukjizat Den-
gan melupakan kebodohan sendiri, aku ingin coba-
coba mengadu nasib. Siapa tahu, aku berjodoh dengan
'Ilmu Tinju Topan dan Badai' yang mukjizat itu...," ujar lelaki yang mengaku
bernama Malayang. Kata-kata
Malayang terdengar merendah, namun sikapnya ang-
kuh. Dan kelihatannya, Malayang sangat yakin akan
mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Dia me-
rasa yakin, karena dua orang raksasa di kiri dan kanannya merupakan pembantu
yang menakutkan.
"Kau terlalu merendah, Malayang. Padahal, kelihatannya kau mempunyai peluang
yang cukup baik
untuk dapat merebut bocah ini dari tanganku. Apalagi, jika melihat dua ekor
kerbau peliharaan mu yang sudah siap menerjang dengan tanduk-tanduknya. Nah,
mengapa tidak lekas bertindak, agar bisa cepat selesai dan kau dapat kembali ke
pantai timur. Meskipun, untuk itu kau mungkin akan sedikit luka...," sahut
Panji. Pendekar Naga Putih tahu lelaki bernama Ma-
layang itu, sehingga sengaja menutupi kesombongan-
nya dengan ucapannya yang merendah. Padahal
keangkuhannya tampak menonjol lewat sikapnya. Je-
las, ucapannya yang merendah itu bukan berasal dari dalam hati.
Mendengar ucapan Pendekar Naga Putih, dua
orang raksasa di kiri dan kanan tokoh pantai Amur ini menggereng marah. Sorot
mata mereka memancarkan
api, seperti hendak membakar tubuh pemuda tampan
berjubah putih itu. Panji sendiri hanya tersenyum,
tanpa gentar sedikit pun.
Tapi, ucapan itu sama sekali tidak membuat Ma-
layang marah. Diberinya isyarat kepada kedua orang
bertubuh raksasa itu untuk tetap berdiri di tempatnya.
Kelihatannya, Malayang memang belum ingin bertin-
dak. Entah, apa yang ditunggunya.
Semula, Panji agak heran juga ketika melihat
Malayang masih tenang-tenang saja. Tapi ketika mem-
perhatikan mata tokoh pantai timur itu yang kerap melirik ke kanan secara
sembunyi-sembunyi, Panji pun ikut melirik dengan sudut matanya. Dan Pendekar Na-
ga Putih menjadi terkejut ketika melihat adanya tokoh-tokoh lain yang tengah
memperhatikan dirinya. Bah-
kan ketika Panji secara sambil lalu menyapu sekitar tempat itu matanya melihat
banyak orang menyandang
senjata. Berdebar dada Panji ketika menyadari kalau sekitar tempat itu telah
dipenuhi tokoh persilatan. Untungnya, mereka tidak ada yang berani memulai, dan
saling menunggu satu sama lain.
Kenanga agak heran juga, ketika melihat ada ke-
tegangan membayang di wajah kekasihnya. la tahu be-
tul, kekasihnya selalu bersikap tenang kendati menghadapi ancaman maut. Dan
kalau kini ada gambaran
ketegangan pada wajah Panji, Kenanga menduga ada
sesuatu di sekitar tempat itu.
Merasa penasaran, Kenanga mengedarkan pan-
dangan matanya ke sekitar tempat itu. Dan ketika melihat adanya orang-orang
menyandang senjata tengah
memperhatikan secara sembunyi dan terang-terangan
seperti Malayang, tahulah Kenanga kalau keadaan be-
nar-benar gawat!
"Nampaknya mereka saling menunggu, dan tidak
ada yang berani bertindak lebih dulu. Ini merupakan keuntungan buat lata.
Meskipun kita pergi dari tempat ini, mereka pasti tidak berani turun tangan
mendahului. Mereka akan mengikuti kita. Tapi, bila melihat di tempat ini banyak
berkumpul tokoh hebat, rasanya ki-ta akan aman untuk sementara waktu...," bisik
Panji kepada Kenanga. Kemudian, diajaknya dara jelita itu untuk melangkah tanpa
melenyapkan kewaspadaan.
Laka Sora pun tidak banyak bicara. Meskipun ti-
dak tahu apa yang tengah terjadi, tapi firasatnya merasakan ada bahaya yang
mengintai. Maka, tanpa ba-
nyak cakap, diturutinya saja ketika Kenanga menarik tangannya.
*** 6 Ketika Panji mengajak Kenanga dan Laka Sora


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak menyusuri jalan utama desa dengan langkah
perlahan, tak satu pun dari sekian banyak tokoh yang bergerak. Mereka hanya
saling berpandangan satu sa-ma lain, menunggu siapa yang akan mengi-kuti Pen-
dekar Naga Putih lebih dulu. Masing-masing ingin
mengetahui, siapa saja tokoh yang sudah berada di de-sa itu. Memang, tidak semua
tokoh menunjukkan diri
secara terang-terangan.
Panji sendiri diam-diam merasa agak lega. Ter-
nyata telah lebih dua tombak berjalan, tak mendengar suara langkah yang
mengikuti Pendekar Naga Putih
tahu, apabila ada tokoh yang memulai pertarungan,
maka yang lain akan mendapat keuntungan untuk
merebut bocah itu tanpa susah payah. Maka ketika
sudah hampir tiga tombak belum juga terdengar ada
yang mengejar, Panji langsung memberi isyarat kepada Kenanga untuk segera
berlari dengan mengerahkan
kepandaiannya. Ketika melihat Pendekar Naga Putih dan gadis
berpakaian serba hijau yang tak pernah melepaskan
cekalan pada pergelangan bocah bernama Laka Sora
sudah agak jauh, barulah tokoh-tokoh persilatan itu menjadi kaget Tanpa
diperintah, mereka yang berada
dalam kedai dan bersembunyi di samping rumah-
rumah penduduk, berlompatan keluar melakukan
pengejaran. Tokoh pantai timur yang semula juga hanya di-
am menunggu, ikut pula melesat, diikuti kedua orang pengawalnya yang bertubuh
raksasa. Kini baru dapat dilihat, tokoh-tokoh mana yang memiliki peluang untuk
dapat mengejar Pendekar Naga Putih, setelah me-
reka mengerahkan seluruh kepandaian ilmu lari ce-
patnya. Dan salah satu tokoh yang berlari paling depan adalah Malayang. Kemudian
dua orang kakek
kembar berkepala botak, bersenjatakan tongkat yang
pada bagian kepalanya terdapat bola berduri sebesar kepalan tangan.
Malayang sendiri tidak mempedulikan dua orang
pengawalnya yang tertinggal hampir dua tombak di be-
lakangnya. Yang ada dalam pikirannya saat itu, secepatnya mengejar Pendekar Naga
Putih. Padahal saat
itu Panji sudah kira-kira sepuluh tombak lebih depan.
Panji dan Kenanga yang mencekal erat tangan
Laka Sora, terns berlari mengerahkan segenap ke-
mampuan untuk dapat lolos dari kejaran tokoh-tokoh
persilatan. Bukannya mereka takut menghadapi ke-
royokan, tapi ini demi keselamatan Laka Sora. Kalau nekat meladeni tokoh-tokoh
itu, sudah pasti Panji tidak bisa melindungi Laka Sora. Dan kemungkinan be-
sar, bocah itu akan berhasil dilarikan oleh salah satu dari sekian banyak tokoh
yang memperebutkannya.
Bahkan tidak kecil kemungkinan akan tewas dalam
rebutan. Beberapa alasan inilah yang membuat Panji
mengambil keputusan untuk menghindari setiap ben-
trokan, jika memang masih bisa dihindari.
Tapi, ancaman itu rupanya bukan hanya berada
agak jauh di belakangnya.
Singngng, singngng...!
Ternyata ketika Panji hendak menyeberangi se-
batang sungai yang cukup lebar, tiba-tiba terdengar suara angin berdesingan
menuju ke arahnya. Tahulah
Panji kalau dirinya diserang secara gelap.
"Haaiiittt..!"
Pendekar Naga Putih berseru nyaring, sambil ce-
pat melempar tubuhnya ke udara. Dari suara samba-
ran angin serangan, dapat diketahui betapa hebatnya tenaga penyerang gelap itu.
Sehingga kecepatan benda berwarna hitam mengkilat yang ternyata paku-paku
beracun itu, bagaikan sambaran kilat saja ketika lewat di bawahnya. Sadarlah
Panji kalau penyerangnya adalah tokoh berkepandaian tinggi. Hanya saja memang
belum bisa diduga, dari golongan mana si penyerang
itu. Tapi dalam keadaan seperti sekarang, Panji su-
dah tidak lagi melihat perbedaan antara golongan hitam dan golongan putih. Yang
jelas, mereka semua
tengah saling berlomba memperebutkan Laka Sora,
yang telah mewarisi 'Ilmu Tinju Topan dan Badai'.
Hingga sayangnya, tak seorang pun yang tahu kalau
kedua kitab yang berisikan ilmu silat mukjizat itu telah jatuh ke tangan
Kuntilanak Bunga Hitam dan Pengemis Tongkat Setan. Bahkan Panji dan Kenanga pun
tak tahu. Maka bila berita itu juga tersiar, mungkin kedua orang datuk sesat itu
pun akan menemui kesulitan. Jadi, bukan tidak mungkin kalau sebagian tokoh akan
beralih mencari kedua datuk sesat itu.
Panji yang berhasil menyelamatkan diri dari se-
rangan gelap itu, meluncur turun dengan ringannya.
Tapi sebelum kakinya menginjak tanah, kembali telinganya menangkap sambaran
angin berdesingan. Ge-
ram juga hatinya, karena tokoh yang bersembunyi di
antara semak-semak yang banyak terdapat di tepi
sungai itu kembali melepaskan serangan licik!
Menyadari hal ini, Panji mengambil keputusan
untuk menunggu datangnya senjata-senjata gelap itu.
dan begitu mendarat, matanya langsung menatap ta-
jam kilatan benda-benda putih yang meluncur deras
mengancam delapan jalan darah besar di tubuhnya.
"Hmhhh...!"
Sambil menggeram jengkel, Pendekar Naga Putih
menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Kemudian
tubuhnya dimiringkan, ketika delapan batang senjata itu tiba dekat. Lalu....
Tap, tap, tappp!
Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, Panji
menangkap kedelapan batang pisau terbang yang me-
luncur ke arahnya. Dan begitu senjata berhasil ditangkap, langsung dikembalikan
ke arah senjata itu beras-al.
"Hahhh!"
Terdengar bentakan keras yang mengiringi kiba-
san tangan Panji, ketika mengembalikan senjata-
senjata gelap itu. Seketika terdengar suara berkesiutan yang menyakitkan
telinga. Bahkan akan membuat kepala pening, bagi yang belum memiliki tenaga
dalam tinggi. Dan kedelapan batang pisau terbang itu terus meluncur cepat, melebihi
datangnya tadi. Dan....
Prass, prasss...!
Kedelapan pisau terbang itu langsung lenyap di
dalam rimbunan semak-belukar, namun tak lama ke-
mudian terdengar lengkingan tinggi yang berkepanjangan. Dan sebentar saja
melesat dua sosok tubuh dari semak-semak, lalu terus melambung berputaran di
udara. "Haiiittt..!"
Seperti sengaja ingin memamerkan ilmu merin-
gankan tubuh yang mengagumkan, kedua sosok tubuh
itu kembali membentak diikuti putaran tubuhnya be-
berapa kali. Lalu, mereka meluncur turun dengan sangat mengagumkan
"Hua ha ha...! Ternyata nama besar yang kau
sandang memang bukan nama kosong, Pendekar Naga
Putih...! Aku benar-benar kagum dan hormat kepada-
mu...!" Pujian yang diiringi tawa terbahak-bahak itu di-
keluarkan oleh seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian
kembang-kembang seperti pa-
kaian perempuan Rambutnya tergelung rapi ke atas,
dihias tusuk konde yang bagian pangkalnya berupa
ukiran kepala seekor burung gagak. Kakek itu terba-
hak-bahak dengan kerasnya.
Panji menghela napas berat, tidak mempedulikan
ucapan kakek itu. Dan kepalanya pun sudah berpaling ke sosok kedua, yang
ternyata seorang nenek berkulit keriput Anehnya, wajahnya didandani sedemikian
ru-pa. Sehingga, ia seperti seorang gadis genit saja. Rambutnya yang putih pun
digelung ke atas kepala, juga dihiasi tusuk konde berukiran kepala burung gagak.
Nenek ini terkekeh dan berkedip-kedip genit ke arah Panji. Setelah meneliti
wajah dan penampilan kedua orang tua itu, Panji segera teringat akan suami-istri
sinting yang dikabarkan memiliki kepandaian mengiriskan. Tapi, jarang sekali
orang yang melihat mereka berdua, karena memang jarang muncul ke dunia ra-mai.
Kendati demikian, kabar tentang kesaktian dan
kegilaan mereka sudah cukup terkenal dalam kalan-
gan persilatan. Tapi, kini, ternyata mereka menampakkan diri terang-terangan.
Jelas, mereka pun tertarik akan kabar yang tersiar luas di luaran.
"Hm.... Kalau aku tidak salah tebak, kalian berdua pasti yang dijuluki Sepasang
Gagak Sinting...?"
ujar Panji berusaha menebak. Memang baik sikap
maupun cara berpakaian, menunjukkan kalau suami-
istri itu kurang waras.
"Hyeeeh, hieh, hiiihhh...!" tawa aneh nenek genit itu melengking seperti suara
ringkik kuda yang ganjil.
"Kau bukan saja tampan dan gagah, Pendekar Naga Putih. Tapi juga pandai...."
Kembali nenek itu mengerjap-ngerjapkan mata-
nya sambil tersenyum memamerkan gigi-giginya yang
kehitaman akibat kesukaannya mengunyah daun sirih.
"Genit!"
Kakek berpakaian kembang-kembang yang men-
jadi suami dari nenek itu mengumpat dengan mulut
dimonyongkan Kelihatannya, ia merasa cemburu meli-
hat istrinya melirik-lirik kepada Pendekar Naga Putih.
"Hendak kulihat, apakah kau masih suka apa-
bila dia sudah menjadi bangkai...!" sambung kakek itu.
Dan baru saja kalimat itu selesai diucapkan, ta-
hu-tahu saja tubuh kakek itu sudah lenyap dari tem-
patnya. Yang terlihat hanya sesosok bayangan hitam, meluncur ke arah Panji
disertai suara mencicit susul-menyusul.
"Gila...!" seru Panji kaget
Tahu-tahu saja, sepasang tangan kakek gila yang
membentuk paruh burung, sudah tiba mengancam ke-
selamatannya! Wrett! Bweett! "Aaaiiih...!"
Sepasang tangan yang berbentuk paruh burung
itu nyaris menyambar Pendekar Naga Putih. Untunglah pada saat yang gawat, Panji
sudah melempar tubuhnya bergulingan di atas rumput. Tapi itu bukan berarti
bahaya sudah lewat. Ternyata, sepasang tangan kakek gila itu masih terus
mengejar dengan sambaran-sambaran yang tak ubahnya sebatang pedang ampuh.
Mau tak mau, Panji terpaksa terus bergulingan untuk menyelamatkan diri.
"Haaiiittt..!"
Ketika serangan itu terus saja mengejarnya bagai
tak berkesudahan, Pendekar Naga Putih menjadi jeng-
kel. Dan begitu melihat kesempatan yang hanya seke-
jap mata, Panji membentak nyaring menggetarkan jan-
tung, disusul lentingan tubuhnya. Sedangkan tangan
kanannya terus mengibas sambil berputaran.
Bwweeett.. plakk!
"Aiihh..."!"
Kali ini, ganti kakek gila itu yang memekik terta-
han. Kibasan Pendekar Naga Putih yang dialiri tenaga dalam tinggi sebagai
pelampiasan kejengkelannya,
membentur tangan kakek itu hingga terjajar mundur.
Wajahnya sedikit pucat, kaget merasakan hawa sedin-
gin es yang menerpa dada dan meresap ke tangan ka-
nannya. "Hebat luar biasa...! Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang mukjizat..?" seru
kakek itu, ketika berhasil mengatasi kekagetannya, dan mengusir hawa
dingin dalam tubuhnya.
'Tapi, ternyata tidak cukup ampuh untuk mem-
buatmu terluka. Bukankah itu yang hendak kau kata-
kan selanjutnya, Kakek Sinting?" tukas Panji.
Dan sebenarnya, Pendekar Naga Putih kaget, me-
lihat kakek gila itu sanggup menahan gempuran
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya. Dan itu membukti-
kan, betapa hebatnya kesaktian kakek gila itu. Padah-al, jarang ada tokoh yang
sanggup menahan tenaga
mukjizatnya. Kini Panji sadar kalau kabar tentang kesaktian Sepasang Gagak
Sinting memang bukan isa-
pan jempol belaka.
Kenanga yang berdiri agak dekat tepi sungai di
bawah sebatang pohon bersama Laka Sora hanya me-
mandang cemas. Setelah melihat perkelahian barusan, gadis itu pun sadar kalau
kepandaian kakek gila Itu sangat berbahaya. Memang, belum tentu kakek itu dapat
mengalahkan kekasihnya. Tapi, di situ masih ada si nenek gila yang genit Dan
kalau mereka maju bersama-sama, sulit bagi Kenanga untuk memastikan,
apakah Panji akan dapat mengalahkan mereka berdua.
Pikiran ini membuat wajah jelitanya menjadi muram,
mencerminkan kecemasan yang mendalam.
Rasa cemas dan perhatian yang seluruhnya ter-
pusat ke arah Panji, membuat Kenanga lengah. Dan
gadis itu bam tersentak kaget, ketika telinganya menangkap suara angin pukulan
dari belakangnya. La-
lu... Deesss...!"
Meskipun pada saat terakhir Kenanga sempat
berbalik dan memiringkan tubuhnya, tapi tetap saja
bahu kanannya terkena serangan curang itu! Akibat-
nya Kenanga kontan memekik tertahan. Tubuhnya
terhuyung limbung, sambil meringis menahan rasa sa-
kit pada bahunya. Bahkan tangan kanannya sulit digerakkan.
"Keparat licik...!" bentak Kenanga penuh kema-rahan.
Wajah gadis itu yang semula merah dengan sinar
mata berapi, mendadak pucat ketika melihat Laka Sora telah berada dalam
cengkeraman Malayang. Tokoh
pantai timur yang licik itu tampak terkekeh, kemudian melesat pergi membawa
tubuh Laka Sora yang telah
tertotok lumpuh.
"Bangsat tak tahu malu, kembalikan bocah itu
kepadaku...!" maid Kenanga kalang-kabut
Cepat gadis itu melesat, setelah mencabut Pe-
dang Sinar Bulan dan menggenggamnya di tangan kiri.
Meskipun tidak selincah tangan kanan, namun Kenan-
ga cukup ahli menggunakan tangan kiri.
Sementara Panji yang tengah bertarung dengan
kakek gila berpakaian kembang-kembang tentu saja
kaget bukan main, ketika mendengar bentakan keka-
sihnya. Lebih kaget lagi, ketika kepalanya menoleh dan melihat Kenanga tengah
berusaha mencegah kepergian
orang yang memondong tubuh Laka Sora.
"Celaka...!" desis Panji. Dan ini membuatnya menjadi lengah. Maka....
Desss...! Sebuah hantaman telapak tangan kakek gila itu
bersarang di tubuhnya, membuat Panji terlempar ke


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang dengan napas agak sesak. Kendati demikian, Pendekar Naga Putih masih
dapat menahan daya lontar tubuhnya agar tidak sampai jatuh terbanting ke
tanah. Dengan dua kali putaran, tubuhnya meluncur
turun sejauh dua tombak dari lawannya.
Dan begitu kakinya menginjak tanah, Panji ber-
balik. Seketika Pendekar Naga Putih melesat meninggalkan lawannya, karena lebih
mengkhawatirkan kese-
lamatan Laka Sora. Dan ia dapat mengenal, siapa
orang yang berhasil merebut bocah itu dari tangan kekasihnya. Sebenarnya, agak
heran juga hatinya meli-
hat Laka Sora dapat direbut Malayang. Karena meski-
pun Malayang memiliki kepandaian tinggi, tapi belum tentu akan begitu mudah dan
cepat dapat mengalahkan kekasihnya. Dan Panji menduga, tokoh pantai ti-
mur itu pasti berbuat curang dalam merebut, Laka So-ra dari tangan Kenanga.
"Malayang! Serahkan bocah itu kepadaku...!"
bentak Panji. Pendekar Naga Putih terus melesat cepat tanpa
mempedulikan keadaannya yang nafasnya masih agak
sesak, akibat pukulan kakek gila tadi.
Malayang yang saat itu tengah berloncatan
menghindari sambaran pedang Kenanga, sempat terke-
jut melihat tubuh Pendekar Naga Putih meluncur den-
gan kecepatan tinggi. Tapi, tokoh pantai timur ini menarik napas lega, ketika
melihat dua orang raksasa
yang menjadi pengawalnya sudah bergerak menyam-
but kedatangan Pendekar Naga Putih.
Melihat hal ini geram bukan main hati Panji.
Mau tidak mau, gerakannya harus dirubah, dan menu-
jukan serangannya ke arah salah seorang dari kedua
pembantu Malayang.
Tampaknya, salah satu dari raksasa kembar ini
begitu yakin akan kekuatan tenaganya. Apalagi tubuh mereka kuat dan kebal
terhadap pukulan maupun
senjata tajam. Tak heran, mereka begitu berani menerima pukulan Panji dengan
tubuhnya. Bahkan telah
siap mengirimkan pukulan maut sebagai balasannya.
Tapi, sama sekali mereka tidak sadar kalau yang
kali ini dihadapi adalah seorang pendekar yang sudah banyak membuat datuk kaum
sesat tunggang-langgang. Sehingga....
Desss! "Haaagghh...!"
Kepalan Panji telak menghajar dada lawannya
yang sombong. Akibatnya, tubuh raksasa botak itu terjengkang keras ke tanah.
Dari sela mulutnya tampak
mengalir darah segar, setelah mendapat pukulan Panji yang berisikan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'. Tampak raksasa botak itu menggigil kedinginan.
Kini, Panji tidak lagi mempedulikan raksasa bo-
tak yang sombong itu. Tubuhnya sudah langsung me-
lesat, mengejar Malayang yang saat itu sudah lolos dari serangan pedang Kenanga.
Tokoh pantai timur itu tengah berlari, sementara Kenanga berusaha mengejar
dengan seluruh kemampuan.
"Haaiitt..!"
Panji memekik nyaring. Tubuhnya sudah meleset
cepat ke udara, lalu berjumpalitan beberapa kali.
Begitu meluncur turun ujung kakinya langsung
menotol, sehingga kembali melesat dan berjumpalitan dengan cepat Jelas, Pendekar
Naga Putih telah mengerahkan seluruh kepandaian dalam upaya mengejar
Malayang. Bahkan kini Pendekar Naga Putih berhasil
menyusul Kenanga, sehingga tertinggal satu setengah tombak di belakangnya.
Sementara itu, di belakang Kenanga tampak para
tokoh persilatan ikut berlarian mengejar Malayang. Sedangkan Sepasang Gagak
Sinting juga tak] ketingga-
lan, di antara tokoh-tokoh itu.
*** 7 Kepandaian ilmu lari cepat Malayang, ternyata
sangat tinggi. Dan begitu Panji telah memperpendek
jarak, tokoh pantai timur itu menambah lagi kecepa-
tannya. Bahkan dengan liciknya, Malayang mengambil
jalan melalui pepohonan lebat Dan ini membuat so-
soknya kadang lenyap ditelan kelebatan pepohonan.
Maka, akhirnya Panji kehilangan jejak buruannya.
"Kurang ajar! Ke mana larinya manusia licik
itu...!" geram Panji.
Terpaksa Pendekar Naga Putih menghentikan la-
rinya, ketika tiba di sebuah tempat terbuka dan cukup luas. Di situ, ia tidak
melihat bayangan Malayang. Terpaksa pandangan matanya beredar mencari-cari, ka-
lau-kalau tokoh licik dari pantai timur itu bersem-
bunyi. Selagi Panji melangkah perlahan sambil mengerahkan ketajaman pendengaran,
muncul Kenanga yang langsung menghampirinya. Napas gadis jelita ini tampak agak terengah.
Butir-butir peluh menghias ke-ningnya.
"Ke mana perginya bangsat curang itu, Ka-
kang...?" tanya Kenanga.
Gadis itu berusaha mengatur jalan nafasnya, ka-
rena telah melakukan pengejaran dengan pengerahan
seluruh kemampuan. Ia merasa lelah sekali. Terlebih, tangan kanannya masih
terasa linu bila digerakkan.
"Aku kehilangan jejaknya...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih lantas berpaling, menatap
wajah kekasihnya. Keningnya langsung berkerut ketika melihat dara jelita itu
memegang pedang dengan tangan kiri.
"Kau terluka, Kenanga...?" tanya Panji mengulurkan tangan memeriksa luka
kekasihnya. Kenanga mengangguk lemah, lalu menceritakan
apa yang dilakukan Malayang dalam upaya menda-
patkan Laka Sora. Dan Panji hanya mengangguk tipis.
Tanpa bicara lagi, segera dirabanya lengan kekasihnya.
Tangannya terus bergerak ke bahu, yang terkena se-
rangan licik Malayang. Kenanga meringis ketika Panji memijat bagian bahunya.
Melihat bagian bahu Kenanga menderita luka
memar yang berwarna kehitaman, Panji segera me-
mijat perlahan. Kemudian, dioleskannya minyak gosok untuk obat luka luar, yang
diambil dari dalam bunta-lan pakaiannya.'
Ketika Panji menyudahi gerakannya dan kembali
merapikan baju bagian bahu Kenanga, dara jelita itu menggerak-gerakkan tangan
kanannya. Kemudian di-cobanya menyalurkan tenaga dalam. Dan kini se-
nyumnya langsung mengembang, ketika rasa linu itu
tidak lagi dirasakannya. Meski masih terasa agak ka-ku, tapi sudah bisa
digunakan untuk memainkan pe-
dang. Kenanga yang hendak mengatakan sesuatu, ter-
paksa bungkam ketika Panji mengisyaratkan untuk di-
am. Sadar kalau kekasihnya mendengar sesuatu, gadis
itu pun menelan ucapannya. Kemudian dia bergerak,
mengikuti langkah Panji tanpa banyak tanya.
Dengan setengah berlari, Panji bergerak ke arah
kanan tempatnya berdiri. Baru, kemudian, tubuhnya
berkelebat mengerahkan ilmu lari cepat, begitu suara yang semula samar semakin
jelas terdengar. Dan Panji yakin, itu suara orang bertempur.
Tidak berapa lama, Panji berhenti melesat, dan
langsung menemukan sumber suara pertempuran.
Dan hatinya sempat bersorak, karena yang tengah bertarung ternyata itu Malayang.
Tokoh pantai Timur itu nampak kelabakan,
menghadapi serangan dua orang yang dikenali Panji
sebagai Sepasang Gagak Sinting. Tentu saja Pendekar Naga Putih heran, karena
suami-istri sinting itu ternyata sudah berada di sana dan tengah mengeroyok
Malayang. Dan Panji langsung geram ketika melihat
tokoh licik itu menggunakan tubuh bocah dalam pon-
dongannya sebagai tameng. Sehingga, Sepasang Gagak
Sinting seringkali menarik pulang pukulan ataupun
tamparannya. Dan tentu saja, mereka tidak ingin me-
lukai bocah yang tengah jadi rebutan itu.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Kenanga, meminta pendapat Panji.
"Biar bagaimanapun, kita harus dapat merebut
Laka Sora dari tangan manusia-manusia serakah
itu...," jawab Panji tegas.
Seketika Pendekar Naga Putih melesat keluar da-
ri balik pohon tempatnya bersembunyi, dan langsung
menuju ajang pertempuran.
"Hyeeh hieeeh hiiihhh...!" Nenek genit berotak anting itu langsung
memperdengarkan tawa seperti
ringkik kuda. Sepasang matanya tampak bersinar-
sinar bagaikan seorang bocah yang menemukan kem-
bali mainan kesayangannya ketika melihat Pendekar
Naga Putih. Dan tanpa mempedulikan Malayang, lang-
sung disambutnya kedatangan Panji.
Pendekar Naga Putih mengeluh kesal, melihat
nenek sinting yang genit itu bergerak menyambut ke-
datangannya. Dan tanpa mempedulikannya, Panji te-
rus melesat ke arah Malayang. Kemudian, tangannya
terulur mengirimkan sebuah dorongan telapak kanan.
Sementara, tangan kiri terulur dengan maksud mere-
but tubuh Laka Sora.
Di tempat lain, Kenanga yang langsung bisa me-
nebak kalau nenek genit itu menyukai kekasihnya, di-am-diam tertawa geli dalam
hari. Tapi begitu sadar kalau nenek itu bisa menghambat usaha Panji dalam me-
rebut Laka Sora, tubuhnya langsung menghadang ja-
lan nenek itu dengan pedang di tangan.
"Heh! Siapa kau, perempuan tak tahu malu"
Mengapa kau menghalangiku untuk mendekati Pende-
kar Naga Putih" Apakah kau sudah bosan hidup"!"
bentak nenek genit itu, nyerocos.
Rupanya, nenek itu cemburu melihat Kenanga
yang berwajah cantik jelita dan masih muda, hendak
membela Pendekar Naga Putih. Bahkan ia langsung
menerjang Kenanga dengan hebatnya.
Bweet, bweet...!
Kenanga cepat memutar Pedang Sinar Bulan se-
kuat tenaga. Sehingga, nenek genit yang semula me-
mandang rendah kepadanya, terpaksa menarik pulang
serangan. Kemudian gerakannya dirobah, dan kembali
menerjang ganas. Maka dalam sekejap pertarungan
sengit tak dapat dihindari lagi.
Sementara itu, Panji yang berusaha merebut
kembali tubuh Laka Sora, harus menemui kegagalan.
Hatinya sempat jengkel, karena yang menggagalkan se-
rangan bukan Malayang, tapi justru kakek gila yang
semula menggempur tokoh pantai timur itu mati-
matian. Dalam hati, Panji memaki kakek sinting itu, apalagi sekarang malah ikut
mengeroyoknya. Plakkk! "Uuuhh...!"
Panji mengeluh tertahan, ketika sebuah tampa-
ran Malayang telak mengenal bahu. Tubuhnya lang-
sung terjajar mundur beberapa langkah. Sedangkan
saat ini, kakek sinting itu sudah melompat disertai pukulan lurus ke dada.
Whuuttt..! Terdengar deru angin tajam yang mengiringi da-
tangnya serangan pukulan maut kakek sinting itu. Sadar kalau menangkis sangat
merugikannya, Panji me-
lemparkan tubuhnya dan terus berjumpalitan bebera-
pa kali. Baru kemudian dia meluncur turun dengan
ringan. "Hmhhh...," geram Panji gusar. Saat itu juga, Pendekar Naga Putih mengerahkan
'Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi' yang membuat arena pertempuran men-
jadi panas seketika.
"Hehhh"! Rupanya kau masih mempunyai ilmu
simpanan lain, Pendekar Naga Putih"! Bagus! Aku se-
nang sekali...!" seru kakek sinting itu sambil membela-lakkan matanya. Kepalanya
pun menggeleng lucu, seo-
lah-olah terpesona dan takjub pada lapisan sinar keemasan yang menyelimuti tubuh
Pendekar Naga Putih.
Tapi, Panji tidak mempedulikan tingkah polah
kakek sinting itu. Terlebih, ketika melihat Malayang yang mundur-mundur hendak
meninggalkan tempat
itu. Maka langsung saja Panji meluncur ke arah Ma-
layang yang dengan licik hendak melarikan diri.
"Aaahh..."!"
Malayang terpekik kaget. Ia berlompatan mundur
menghindari sambaran cakar naga Panji yang memba-
wa hawa panas membakar. Diam-diam, tokoh pantai
timur ini bergidik ngeri membayangkan bila pukulan
berhawa panas itu sampai mengenai tubuhnya. Dan
itu semakin membuka mata Malayang kalau Pendekar
Naga Putih ternyata memiliki kepandaian tinggi.
"Serahkan bocah itu kepadaku, Malayang...!"
bentak Panji, kembali meluncur dengan serangan ca-
kar naganya. "Haahhh...!"
Sebelum serangan Panji tiba, tiba-tiba terdengar
bentakan dari sebelah kanannya. Begitu Panji meno-
leh, kakek sinting berpakaian kembang-kembang itu
tengah melesat memapak serangannya. Cepat Panji
merobah gerakannya, dan kini ditujukan ke arah ka-
kek sinting yang menjengkelkan itu.
Plakk, plakkk! Benturan keras tak terelakkan lagi. Tubuh mere-
ka satu sama lain terjajar mundur. Tapi, Panji sudah kembali mencelat dan
mengulurkan cakarnya ke arah
pelipis kakek sinting itu.
Whuuttt..! "Hyaaa...!"
Si kakek sinting itu kontan terpekik kaget Un-
tung, kepalanya masih sempat ditundukkan dengan
kuda-kuda rendah. Sehingga, cakar naga Panji hanya
lewat di atas kepalanya. Tapi meskipun demikian, ha-wa panas yang mengiringi
serangan Pendekar Naga Pu-
tih membuat kakek sinting itu kelabakan untuk sesaat Terlebih, ketika Panji
menyusuli dengan cakar kiri
yang kali ini disertai sambaran angin dingin menusuk tulang.
Perubahan mendadak ini semakin membuat si
kakek sinting kalang-kabut. Kendati demikian, tubuhnya masih sempat mengelak
dari sambaran cakar kiri
Panji. Tapi, sebuah tendangan susulan Pendekar Naga Putih tak sempat lagi
dielakkannya. Akibatnya...
Bukkk! "Kakhhb...!"
Tendangan keras dan telak itu membuat si kakek
sinting terlempar tanpa ampun. Dan selagi tubuh ku-


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rusnya melayang di udara, Panji melesat sambil mengirimkan hantaman telapak
tangan kanan dan kiri ber-
gantian. Plakk, desss....'
"Huakkhhh...!"
Serangkaian pukulan yang mengandung hawa
panas dan dingin, membuat tokoh gila ini tak sanggup bertahan. Darah segar
kontan termuntah membasahi
tanah. Sedangkan tubuhnya terus meluncur, dan baru
terhenti setelah membentur sebatang pohon besar.
Melihat tubuh kakek gila itu melorot dan tak sa-
darkan diri, Panji memalingkan wajahnya ke arah Ma-
layang. Tokoh pantai timur itu terlihat agak pucat Rupanya, hatinya mulai gentar
melihat kesaktian Pendekar Naga Putih yang mengiriskan. Maka, dia pun me-
milih pergi sambil tetap membawa tubuh Laka Sora.
"Bangsat! Hendak lari ke mana kau, Manusia
Pengecut..!" geram Panji.
Pendekar Naga Putih langsung berkelebat menge-
jar. Jarak yang hanya kurang dari dua tombak, mem-
buat Panji tidak mengalami banyak kesulitan untuk
menyusui Malayang. Maka dengan beberapa kali lon-
catan saja, tokoh pantai timur yang licik itu berhasil disusulnya. Bahkan sudah
berdiri menghadang di depannya.
Malayang yang sempat merasa bingung, menjadi
cerah wajahnya begitu melihat dua orang pengawalnya yang bertubuh raksasa muncul
dari belakang Panji.
Tapi, Malayang cepat menyembunyikan perasaannya
dan mulai lagi menunjukkan kelicikannya.
"Pendekar Naga Putih," kata Malayang, bermaksud mengalihkan perhatian Panji.
"Mengapa kau hendak menyerakahi bocah ini sendirian" Sedangkan yang kau miliki
sekarang ini, sudah jarang sekali yang
sanggup menandingi mu. Kuharap, jangan terlalu pelit untuk meminjamkan bocah ini
kepadaku selama setengah tahun. Dan aku berjanji, akan mengembali-
kannya dalam keadaan utuh. Bagaimana" Apakah kau
keberatan...?"
Panji yang memang sudah tahu kalau tokoh pan-
tai timur itu sangat licik, bersikap waspada. Ia yakin, ucapan Malayang pasti
ada rencana tertentu. Maka
seketika Panji mengerahkan tenaga mukjizat-nya. Sehingga saat itu juga, muncul
lapisan sinar keemasan yang siap melindungi tubuhnya dari serangan gelap.
Sementara Malayang masih terus berbicara un-
tuk mengalihkan perhatian Panji. Diam-diam, hatinya tertawa karena yakin kalau
sebentar lagi tubuh pendekar muda itu akan remuk oleh hantaman dua orang
bertubuh raksasa yang sudah semakin dekat.
Tapi, Pendekar Naga Putih yang indera penden-
garannya sudah sedemikian tajam, mulai dapat me-
nangkap adanya gerakan sangat halus di belakangnya.
Kini Panji sadar, Malayang memang sengaja mengalih-
kan perhatiannya dengan terus berbicara. Bibir Pendekar Naga Putih mengembangkan
senyum tipis, namun
sengaja tetap berpura-pura tidak tahu akan bahaya
mengancam di belakangnya.
Malayang sudah tertawa bergelak dalam hati ke-
tika dua orang pengawalnya sudah mengangkat tangan
perlahan tanpa menimbulkan suara, dan siap dihan-
tamkan ke tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi...
"Hiaaa...!"
Secara tiba-tiba dan sangat cepat, Panji memutar
tubuhnya. Kedua lututnya cepat ditekuk. Seketika kedua tangannya langsung
dihantamkan ke atas saat
berbalik. Gerakannya begitu cepat, dan sangat tiba-
tiba. Sehingga....
Bresshhh...! "Aaaa...!"
Dua orang raksasa berkepala botak itu kontan
meraung setinggi langit, saat kedua kepalan Panji telak menghajar perut mereka
hingga jebol. Darah segar
langsung memercik, membasahi kedua kepalan Panji
yang melesak sampai pergelangan, ke dalam tubuh
dua orang bertubuh raksasa itu.
Kedua orang bertubuh raksasa itu terjungkal ke
tanah, dengan napas putus seketika. Panji sendiri tidak menyangka kalau
pukulannya yang disertai tenaga mukjizat jelmaan naga langit, sampai demikian
mengerikan. Pendekar Naga Putih sampai mencelat ke bela-
kang dengan wajah agak sedikit pucat. Dan nafasnya pun agak terengah, karena
kejadian itu baru sekali ini dialaminya.
Malayang yang menyaksikan kejadian itu sampai
terjajar mundur dengan wajah pucat dipenuhi keringat Hatinya benar-benar
tergiris melihat kengerian di depan matanya. Sehingga, tokoh pantai timur yang
sebenarnya sudah terbiasa dengan segala kekerasan dan
kekejaman, menjadi semakin gentar terhadap Pende-
kar Naga Putih.
Panji yang sudah dapat menguasai perasaan se-
gera berbalik, menatap sosok Malayang. Sorot matanya demikian tajam, membuat
Malayang semakin gentar.
Dan Panji sendiri sudah siap memberi hajaran kepada tokoh pantai timur itu.
Namun.... "Aaaahhh...!"
Panji yang sudah bergerak maju dengan tangan
terkepal, menjadi terkejut setengah mati. Karena tiba-tiba saja terdengar
jeritan Kenanga. Seketika, kepalanya menoleh. Tampak tubuh Kenanga terbanting ke
tanah. Pada saat itu pula, kekasihnya tengah menghadapi ancaman serangan susulan
nenek genit, yang
berhasil memukul roboh Kenanga.
Pendekar Naga Putih menjadi bimbang. Sejenak
ia tertegun, tidak tahu harus menolong Kenanga lebih dulu atau merebut Laka
Sora. Dan keputusan itu harus segera diambil secepatnya.
Untungnya, Panji tidak terlalu tegang dalam
menghadapi keadaan yang mencekam itu. Maka, lang-
sung saja kepalanya menoleh ke arah Kenanga. Lalu....
"Hyaaattt..!"
Panji langsung membentak sambil mendorong-
kan kedua telapak tangannya ke arah Kenanga yang
tengah berusaha bangkit tegak itu.
Whuusss...! Untuk menghadapi keadaan yang sangat sulit
ini, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk memin-
dahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bum' ke tubuh keka-
sihnya. Seketika pendaran sinar keemasan yang panas membakar, membersit ke arah
tubuh Kenanga. Kemudian, sinar itu merasuk dan melapisi tubuh dara jelita yang
tengah dalam ancaman maut!
Panji yang merasa lega karena tubuh kekasihnya
tidak mungkin akan dapat dilukai, segera melesat ke arah Malayang. Tokoh pantai
timur itu semakin pucat dan bertambah gentar saja, setelah menyaksikan apa
yang baru saja dilakukan Pendekar Naga Putih. Dikira,
pendekar muda itu juga memiliki ilmu sihir yang mengerikan. Maka tentu saja
keberaniannya semakin ter-
bang, entah ke mana.
"Heaaa...!"
Dengan sebuah bentakan keras, Panji melesat ke
depan. Tangan kanannya mendorong ke tubuh Ma-
layang, sedangkan tangan kirinya terulur merampas
tubuh Laka Sora.
Malayang yang masih berusaha menghindari se-
rangan itu, terpaksa harus menelan kenyataan pahit
Dia sudah gugup, dan tak sempat lagi mengelak. Se-
hingga.... Desss...! Seketika hantaman tangan kanan Panji telak
menghajar dadanya. Akibatnya, tokoh sesat dari pantai timur ini terjengkang, dan
tubuh Laka Sora terlepas dari pegangannya.
Tapp! Dengan tangan kiri Panji cepat menyambar tu-
buh Laka Sora agar tidak sampai terbanting ke tanah.
Dan betapa leganya hati Panji, ketika berhasil mendapatkan bocah itu kembali.
Tapi kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap
mata, karena saat tengah menangkap tubuh Laka So-
ra, tahu-tahu menyambar angin keras dari belakang.
Dan.... Bukkk! "Aaakhh...!"
Panji kontan terjerembab mencium tanah. Se-
dangkan Laka Sora kembali terlepas dari pegangan.
Dan ketika mendengar angin menderu kembali me-
nyambar, Panji berusaha mengelak dengan bergulin-
gan di atas tanah.
Darrrr! Akibatnya, tanah tempat tubuh Panji semula re-
bah, menjadi sasaran hantaman sebuah tongkat ber-
warna hitam. Akibat hantaman tongkat hitam itu tam-
pak mengerikan sekali. Sebuah lubang sebesar kuban-
gan kerbau tercipta seketika itu juga.
"Gila...!" desis Panji.
Dalam hati, Pendekar Naga Putih bersyukur ma-
sih dapat menyelamatkan diri dari serangan maut itu.
Kalau tidak, pasti tulang-tulangnya akan remuk dan pasti akan tewas seketika.
Panji yang sudah berdiri tegak dengan lelehan
darah pada mulut, mengangkat wajah hendak melihat,
siapa orang yang membokongnya secara licik. Dan ha-
tinya terkejut, ketika mengenali manusia curang itu.
*** 8 "Pengemis Tongkat Setan...," desis Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih cukup terkejut
melihat kemunculan datuk golongan pengemis itu. Terlebih, ketika merasakan
betapa pukulan kakek gembel itu jauh lebih kuat daripada pertama kali berjumpa.
"He he he.... Selamat bertemu lagi, Pendekar Na-ga Putih. Kelihatannya kau
sangat menyukai kera-
maian ini...," ujar Pengemis Tongkat Setan.
Tokoh hitam berpakaian pengemis itu berdiri te-
gak sambil menggenggam erat senjata andalannya.
Meskipun mulutnya berbicara pada Panji, tapi sepa-
sang matanya sendiri menatap sosok Laka Sora yang
masih tergolek pingsan. Yang disayangkan kakek ini, tubuh bocah itu jaraknya
lebih dekat dengan Pendekar
Naga Putih berdiri. Hingga, ia hanya bisa melirik penuh hasrat
Panji yang sempat melihat sambaran mata kakek
gembel itu segera menggeser langkahnya, mendekati
tubuh Laka Sora. Kemudian diangkatnya tubuh bocah
itu dan dibopongnya.
"Sebaiknya, tinggalkan bocah itu, Pendekar Naga Putih. Untuk apa mempertaruhkan
nyawa hanya karena hendak membela bocah itu?"
Pengemis Tongkat Setan mencoba mempengaruhi
Panji. Karena biar bagaimanapun, ia tetap tidak berani bertindak ceroboh dalam
menghadapi pemuda digdaya
ini. Panji hanya tersenyum kecut Ditatapnya wajah
kakek gembel itu dengan tajam. Tapi adanya suara
langkah orang berlari ke arahnya, membuat wajahnya
berpaling. "Kakang...."
Sosok yang tengah berlari menghampiri Panji,
memang Kenanga. Rupanya, gadis jelita itu telah terbebas dari ancaman nenek
genit salah satu dari Sepasang Gagak Sinting. Bahkan tampak nenek itu sendiri
yang terluka. Karena setiap kali melancarkan pukulan, sinar keemasan yang
melapisi tubuh Kenanga membuat pukulannya membalik. Semakin besar tenaga
yang dipergunakan untuk menyerang, semakin kuat
tenaga tolakannya. Akibatnya, nenek itu menderita lu-ka dalam yang cukup parah.
Dan akhirnya, ia pergi
meninggalkan Kenanga dengan membawa suaminya
yang sudah tersadar akibat luka dalam yang parah.
Luka-luka yang diderita, membuat Sepasang Ga-
gak Sinting harus membuang keinginan untuk mem-
perebutkan 'Ilmu Tinju Topan dan Badai' yang telah
diwarisi Laka Sora dari kedua orang gurunya.
Panji kini bisa menarik napas lega. Penjelasan
Singkat dari dara jelita itu, membuatnya semakin yakin akan kemukjizatan 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi'.
Perasaan Panji agak lega juga, mengetahui tokoh-
tokoh yang mengincar Laka Sora telah berkurang. Apalagi, ketika tidak melihat
adanya Malayang, tokoh dari pantai timur. Tahulah Panji, Malayang pun telah
meninggalkan tempat ini karena merasa tidak mungkin
akan mendapatkan bocah yang diperebutkan.
Tapi, kelegaan Panji mendadak berubah rasa ka-
get. Ternyata dari sekeliling tempat itu, kembali bermunculan puluhan tokoh
persilatan. Menilik sikap mereka, Panji sadar kalau harus bertarung mati-matian
dalam membela Laka Sora. Untungnya saat itu Laka
Sora sudah mengeluh tersadar dari pingsan, setelah
totokan Malayang mulai punah.
Panji segera melepaskan bocah Itu dari pondon-
gannya. Kemudian kakinya melangkah ke tengah.
Sementara itu Pengemis Tongkat Setan sendiri
telah berada di barisan orang-orang yang mengepung Panji, Kenanga, dan Laka
Sora. Tampak Kuntilanak
Bunga Hitam, dan tokoh-tokoh lainnya terlihat di sana, baik dari golongan putih
dan hitam. Mereka tak ubahnya segerombolan serigala lapar yang memperebutkan
sepotong tulang.
"Para sahabat yang mengaku sebagai orang-
orang gagah penegak keadilan, dengarlah...!" ujar, Panji disertai pengerahan
tenaga dalam. Kata-kata Pendekar Naga Putih langsung berge-
ma dan mengaung sampai beberapa tombak jauhnya.
Sambil berkata demikian, tubuhnya diputar perlahan.
Kata-katanya memang ditujukan pada tokoh-tokoh go-
longan putih yang telah berbaur dengan golongan hi-
tam. Mereka memang melupakan perbedaan golongan,
demi memperebutkan ilmu mukjizat yang dimiliki Laka Sora. "Yang kalian
perebutkan hanyalah seorang bocah kecil yang malang. Hanya secara kebetulan,
kedua il-mu mukjizat itu dimiliki Laka Sora. Nah! Mengapa kejadian yang
merupakan kehendak Tuhan ini ingin di-
rubah" Jelas Laka Sora berjodoh untuk menjadi pewa-
ris dari kedua ilmu mukjizat itu. Dan seharusnya, bocah ini dilindungi dari
tangan-tangan jahat Kalau demikian, apa bedanya golongan putih dengan golongan
hitam" Tidak ada gunanya orang-orang golongan putih mengangkat dada agar
disanjung sebagai orang gagah
penegak keadilan, tapi kemudian ternyata ikut me-
nyiksa bocah tak berdosa...," Panji menghentikan kata-katanya yang meledak-ledak
penuh semangat.
Perkataan Panji tentu saja laksana ujung tombak
yang menikam jantung para orang gagah yang ikut
mengepung. Beberapa di antaranya, menundukkan


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah karena merasa terpukul dan malu kepada Pen-
dekar Naga Putih. Terutama sekali tokoh-tokoh tua-
nya. Seperti ada yang memberi perintah, satu persatu para tokoh golongan putih
keluar dari barisan. Kemudian, mereka bergabung dengan Panji, siap menggem-
pur siapa saja yang hendak memperebutkan Laka So-
ra. Tentu saja tindakan orang-orang gagah itu mem-
buat Panji menjadi lega.
Sekelompok tokoh persilatan yang mengepung di
belakang Panji, sejak tadi tampak terkejut Mereka saling berpandangan satu sama
lain, kemudian bergerak
maju menghampiri Pendekar Naga Putih, di bawah
pimpinan dua orang kakek kembar yang berkepala bo-
tak. Masing-masing memegang sebatang tongkat, yang
pada bagian kepalanya terdapat bola berduri sebesar kepalan tangan laki-laki
dewasa. 'Pendekar Naga Putih, terima kasih atas peri-
ngatkan mu pada kami. Ah...! Betapa kami berdua
akan menyesal seumur hidup, apabila bocah malang
ini sampai celaka karena keserakahan kami...," ucap salah seorang kakek kembar
itu, sambil membungkuk
hormat Kemudian, ditatapnya tajam-tajam wajah bo-
cah menggemparkan yang bernama Laka Sora.
"Laka Sora...."
Seorang lelaki gemuk berusia sekitar empat pu-
luh tahun, yang tadi ikut rombongan kakek kembar
itu, memanggil Laka Sora dengan suara bergetar. En-
tah, perasaan apa yang tengah berkecamuk dalam hati lelaki gemuk ini.
*** "Paman.."!"
Laka Sora yang menoleh mendengar panggilan
dengan suara bergetar itu, terpekik dan wajahnya ber-seri-seri. Bocah itu
langsung saja melompat ke dalam pelukan lelaki gemuk yang menyambutnya dengan
da-da terasa sesak oleh rasa haru.
Panji dan Kenanga saling bertukar pandangan,
demi menyaksikan kejadian itu. Namun, kewaspa-
daannya tetap tidak berkurang, karena khawatir ka-
lau-kalau ada di antara tokoh yang termakan ucapan-
nya, hanya sekadar berpura-pura. Malah jangan-
jangan akan menyambar Laka Sora, apabila Panji len-
gah. Dan karena kewaspadaan itu pula, maka Panji
memberi isyarat kepada Laka Sora yang kebetulan
memandangnya untuk memberi penjelasan tentang le-
laki gemuk itu.
"Orang ini adalah Paman Rajasa. Beliau adik
kandung ayahku, yang juga orang kedua di Perguruan
Harimau Putih Mungkin beliau diutus ayah, untuk
mencariku. Harap Paman Panji tidak menjadi ce-
mas...," jelas Laka Sora.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Aku adalah adik
kandung ayah Laka Sora. Dan aku mewakili beliau ser-ta seluruh murid Perguruan
Harimau Putih, mengu-
capkan beribu terima kasih atas kesediaanmu yang tidak mempedulikan keselamatan
sendiri demi membela
keponakanku...," ucap Ki Rajasa. Dan lelaki gemuk ini sampai membungkuk tiga
kali, untuk menyatakan betapa besar rasa terima kasihnya.
"Ha ha ha...! Setelah sekarang mengetahui kalau bocah yang diperebutkan ternyata
cucuku sendiri, ma-ka aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menyela-
matkannya, Pendekar Naga Putih," kata salah seorang dari kedua kakek kembar
berkepala botak dengan suara lantang.
'Pendekar Naga Putih! Mereka berdua adalah
Pendekar Tongkat Kembar, yang merupakan kakak se-
perguruan orangtua Laka Sora. Mereka ikut membantu
kami, dalam pencarian keponakanku ini. Mereka juga
ingin mendapat kesempatan untuk memberi didikan
pada Laka Sora selama tiga tahun. Dan hal itu sudah disepakati bersama-sama,
tapi Laka Sora telah lenyap diculik orang," Ki Rajasa, buru-buru memberi
penjelasan kepada Panji mengenai kedua orang kakek kembar
itu. "Syukurlah jika memang demikian. Aku ikut merasa gembira mendengarnya. Dan
dengan bantuan orang ternama seperti Pendekar Tongkat Kembar, serta tokoh-tokoh lain, aku tidak
perlu lagi cemas akan keselamatan Laka Sora," tukas Panji.
Kejadian yang di luar dugaan itu, membuat Pen-
gemis Tongkat Setan, Kuntilanak Bunga Hitam, dan
tokoh-tokoh sesat ternama lain saling bertukar pan-
dangan. Kemudian, kakek gembel ini melangkah maju
beberapa tindak.
"Para sahabat sekalian!" seru kakek itu mengerahkan tenaga dalam melalui
suaranya. Sehingga, suaranya bergaung memenuhi sekitar tempat itu. "Kita jangan
mau dibodohi Pendekar Naga Putih dan orang-orang yang mengaku keluarga dengan
bocah itu. Jelas ini hanya siasat licik, agar mereka semua dapat men-gangkangi
bocah yang telah mewarisi ilmu-ilmu maha
dahsyat itu! Dan pada akhirnya, mereka akan memak-
sa bocah itu untuk menunjukkan ilmu 'Tinju Topan
dan Badai'!"
"Benar! Jangan mau dibodohi!" timpal Kuntilanak Bunga Hitam, ikut membakar
tokoh-tokoh yang
dilanda keraguan. Suaranya melengking tinggi, me-
nyakitkan telinga. "Ayo, kita rebut bocah itu...!"
Kata-kata Pengemis Tongkat Setan dan Kuntila-
nak Bunga Hitam yang merupakan gembong-gembong
kaum sesat, mendapat sambutan dari tokoh-tokoh
yang mengepung Pendekar Naga Putih dan pihaknya.
Akibatnya, kini suasana kembali menegang. Dan pihak yang ingin memperebutkan
Laka Sora, kembali bergerak maju dengan senjata terhunus.
Tentu saja Panji, Kenanga, Ki Rajasa, dan dua
kakek botak berjuluk Pendekar Tongkat Kembar, me-
rasa geram terhadap kelicikan dua gembong kaum se-
sat itu. Mereka menjadi tegang, ketika melihat tokoh-tokoh yang semula sadar dan
menyeberang ke pihak
mereka, tampak mulai dilanda keraguan. Bahkan
enam orang di antaranya sudah kembali menyeberang
ke pihak kaum sesat
Melihat hal ini segera saja Panji dan tokoh-tokoh
yang mengaku sebagai keluarga Laka Sora bersiap
menghadapi pertempuran berdarah. Disadari, perta-
rungan mungkin akan segera pecah.
"Tunggu...!"
Tiba-tiba, sebelum kedua belah pihak saling
gempur, terdengar sebuah seruan yang disusul oleh
majunya Laka Sora. Dan dengan beraninya, bocah ini
menatap Pengemis Tongkat Setan dan Kuntilanak
Bunga Hitam berganti-ganti. Kemudian pandangannya
beredar ke sekitarnya.
"Hei, orang-orang serakah! Dengarlah baik-baik!"
Laka Sora terpaksa berteriak sekuat-kuatnya,
agar suaranya terdengar oleh semua yang berada di
tempat itu. Akibatnya, suaranya jadi parau.
Merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan bo-
cah itu, Panji bertindak cepat, menempelkan telapak tangannya ke punggung Laka
Sora untuk menyalurkan
hawa saktinya. Hawa hangat yang mengalir dari tela-
pak tangan Pendekar Naga Putih, membuat Laka Sora
merasa kerongkongannya lega dan tidak sakit lagi.
"Kalian harus tahu, kedua orang jahat ini tidak ubahnya maling teriak maling!"
lanjut Laka Sora. Suaranya kini bergaung memenuhi empat penjuru, "Sebab apa yang
kalian kehendaki dari diriku, juga ada pada mereka berdua!"
Sampai di sini Laka Sora berhenti, memandang
ke sekeliling seperti hendak melihat seberapa besar pengaruh ucapannya. Wajah
Laka Sora berubah cerah,
ketika melihat Pengemis Tongkat Setan dan Kuntilanak Bunga Hitam, kini menjadi
perhatian semua tokoh
yang berada di tempat ini. Seketika terdengar suara orang-orang yang berbicara
satu sama lain, membuat
suasana menjadi bising dan gaduh, bagai dengung ra-
tusan lebah. "Jangan dengarkan ocehan bocah gila itu...!"
Pengemis Tongkat Setan terus terang menjadi bergidik
ketika perhatian para tokoh persilatan kini tertuju kepadanya dan Kuntilanak
Bunga Hitam. Makanya, dia
harus berteriak keras, untuk mengatasi kebisingan.
"Itu hanya akal liciknya untuk mengadu domba
kita! Sudah, jangan buang waktu lagi. Ayo kita rebut bocah itu...!"
Kuntilanak Bunga Hitam yang juga merasa ngeri,
ikut menyangkal ucapan Laka Sora. Kembali dibakar-
nya keinginan tokoh-tokoh persilatan untuk segera
bertindak. Bahkan Kuntilanak Bunga Hitam langsung
memulainya dengan sebuah lompatan panjang, siap
menerkam Laka Sora.
Namun, Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam.
Cepat dilontarkannya pukulan jarak jauh dengan telapak tangan kanan. Maka
serangkum angin menderu
datang, menyambut serangan Kuntilanak Bunga Hi-
tam. Sadar akan kehebatan pukulan itu, Kuntilanak
Bunga Hitam merobah gerakannya. Kemudian tangan-
nya dikibaskan memapak pukulan Pendekar Naga Pu-
tih. Breesshhh...!
Benturan dua gelombang angin pukulan yang
menderu laksana topan, menimbulkan ledakan keras
menggetarkan tanah di sekitarnya. Tubuh Kuntilanak
Bunga Hitam terdorong balik, disertai pekik kekage-
tannya. Memang, dalam melancarkan pukulan jarak
jauh itu, Panji telah mengerahkan seluruh kekuatan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya. Apalagi dia sadar, kesaktian Kuntilanak Bunga
Hitam memang sangat
tinggi. "Dengar, orang-orang serakah...!"
Laka Sora cepat berteriak ketika melihat tokoh-
tokoh persilatan dua golongan yang ingin merebutnya, telah bergerak maju untuk
menggempur. "Kitab 'Ilmu Topan dan Badai' ada pada mereka
berdua!" lanjut bocah itu sambil menunjuk Kuntilanak Bunga Hitam dan Pengemis
Tongkat Setan. "Kalau tidak percaya, silakan kalian menggeledah pakaian me-
reka...!" Kata-kata Laka Sora membuat langkah para to-
koh itu terhenti seketika. Pandangan mereka kini tertuju kepada Pengemis Tongkat
Setan dan Kuntilanak
Bunga Hitam. Melihat kedua gembong tokoh sesat itu
tampak pucat dan gelisah, tahulah mereka kalau bo-
cah itu memang tidak berdusta. Seketika beberapa
orang tokoh golongan putih tampak bergerak menge-
pung kedua gembong kaum sesat itu.
"Kuntilanak Bunga Hitam, Pengemis Tongkat Se-
tan! Ayo kalian perlihatkan kedua kitab itu, dan serahkan kepada kami!" ujar
salah seorang tokoh bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Suaranya
menggelegar menggetarkan jantung, tanda tenaga dalam
yang dimilikinya tidak bisa dipandang rendah.
"Keparat! Hanya ucapan seorang bocah, kau per-
caya"!" geram Pengemis Tongkat Setan dengan sikap menghina.
"Aku tidak akan percaya, sebelum menggeledah
pakaianmu!" desak lelaki berkulit hitam ini.
Sambil berkata demikian, tangan laki-laki itu te-
rulur hendak merobek pakaian Pengemis Tongkat Se-
tan. Plakkk! Kakek gembel ini langsung mengibas tangan ki-
rinya, membuat kedua lengan yang sama berisi tenaga dalam tinggi itu berbenturan
keras. Terdengar dengu-san menghina, dari kakek gembel itu ketika melihat
tubuh penyerangnya terjajar mundur. Saat itu juga,
tongkat di tangannya menyambar datang membabat
batang leher lelaki berkulit hitam legam itu.
Tokoh-tokoh lain yang mulai percaya melihat
Pengemis Tongkat Setan tidak bersedia digeledah, segera menerjang dari kari dan
kanan. Maka terpaksa
kakek gembel itu merobah gerakan tongkatnya, yang
langsung berputar dan menyambut datangnya samba-
ran dua batang pedang yang mengancam tubuhnya.
Benturan ketiga senjata itu tak terhindarkan lagi,
membuat dua orang penyerang terjajar mundur den-
gan wajah pucat. Karena, tenaga dalam Pengemis
Tongkat Setan memang jauh lebih kuat.
"Kalian mencari mati...!" pekik Pengemis Tongkat Setan gusar.
Tongkat laki-laki tua itu kembali menyambar da-
tang, disertai suara bergemuruh. Sehingga delapan
orang yang mengeroyoknya sama-sama melompat
mundur menyelamatkan diri.
"Hyaaattt..!"
"Yeaaaa...!"
Keinginan untuk mendapatkan kitab yang kini
diyakini memang berada di tangan Pengemis Tongkat
Setan, membuat para tokoh persilatan melupakan na-
ma besar dan kekejaman kakek gembel itu. Mereka
berlompatan maju dengan senjata di tangan. Maka se-
bentar saja, Pengemis Tongkat Setan telah dikeroyok belasan orang tokoh
persilatan, yang rata-rata dari kaum golongan putih.
Kuntilanak Bunga Hitam pun tak luput dari in-
caran tokoh-tokoh persilatan yang menghendaki kitab di tangannya. Sedangkan
nenek yang masih cantik ini, mengamuk mengumbar pukulan-pukulan mautnya
yang mengiriskan. Sehingga lawan-lawannya yang ber-
jumlah belasan orang itu tidak berani bertindak ceroboh. Karena, pukulan nenek
berpakaian serba hitam
ini dapat merenggut nyawa seketika.
Panji dan Kenanga pun tidak terlepas dari orang-
orang golongan hitam, yang tetap menginginkan Laka Sora. Mereka lebih memilih
menghadapi Pendekar Na-ga Putih, ketimbang Pengemis 'Tongkat Setan atau
Kuntilanak Bunga Hitam. Hanya ada beberapa tokoh
golongan hitam saja yang ikut mengeroyok kedua gem-
bong mereka itu. Itu pun hanya berani berada di ba-
gian luar kepungan tokoh-tokoh golongan putih, dan
mencari-cari kesempatan untuk merebut kitab itu.
Tapi Panji, Kenanga, dan dua kakek botak berju-
luk Pendekar Tongkat Kembar dapat menghadapi ser-
buan tokoh-tokoh sesat itu tanpa kesulitan. Dalam belasan jurus saja, mereka
berempat telah merobohkan
dua puluh satu orang lawan. Dan ini tentu saja mem-
buat para pengeroyok menjadi gentar.
"Haiittt..!"
Untuk kesekian kalinya, pukulan dan tendangan
Panji membuat empat orang lawan terjengkang mun-
tah darah. Akibatnya, sisa pengeroyok menjadi pucat, dan langsung mengambil
langkah seribu.
"Hua ha ha...! Pegang..., pegang...!"
Pendekar Tongkat Kembar pun ditinggalkan la-


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wan-lawannya. Kedua kakek botak ini berteriak-teriak menakut-nakuti, membuat
lawan-lawannya semakin
mempercepat larinya.
Hal serupa juga dialami Kenanga. Dua dari enam
orang lawannya yang tersisa, tidak lagi bisa menahan keinginannya untuk
menyelamatkan diri. Mereka berlari tersaruk-saruk, meninggalkan gadis jelita
berpakaian serba hijau ini.
Sementara itu, para pengeroyok Pengemis Tong-
kat Setan tampak sudah banyak yang bergeletakan te-
was. Kakek gembel itu sendiri tampak menderita luka
di beberapa bagian tubuhnya. Gempuran-
gempurannya mulai melemah, kendati masih tetap
berbahaya dan mematikan.
"Yeaaahh...!"
Desss, prakk! Kembali dua di antara sepuluh pengeroyok ter-
lempar tewas. Satu kepalanya pecah tersambar tongkat Sedang satunya lagi
menggelepar dengan dada remuk.
Tapi, semua itu harus dibayar mahal oleh Pengemis
Tongkat Setan. Karena pada saat tongkatnya meminta
korban, dua pengeroyok lain menyarangkan pedang di
punggung dan lambung kakek gembel ini.
"Bangsat..!" maki Pengemis Tongkat Setan, merasakan adanya benda dingin menembus
tubuhnya. Namun sebelum kedua orang lawan itu sempat
mencabut senjatanya, tongkat di tangan kakek ini berputar melingkar. Langsung
dihantamnya tubuh kedua
orang itu hingga remuk.
Pengemis Tongkat Setan sendiri terjajar mundur
dengan napas terengah. Wajahnya tampak mulai pu-
cat. Darah di kedua lukanya masih membanjir keluar, membuat sepasang matanya
menjadi liar. "Jangan harap kalian dapat lolos dari kema-
tian..!" Pengemis Tongkat Setan menggereng ke arah
enam orang sisa pengeroyok. Dan dengan sebuah
lengkingan panjang, tubuhnya melesat disertai puta-
ran tongkatnya yang menderu-deru.
Kembali terdengar jerit kematian susul-
menyusul, ketika tongkat di tangan kakek gembel ini meminta korban. Namun untuk
itu, Pengemis Tongkat
Setan juga menerima tiga bacokan pedang. Seketika,
luka di tubuhnya bertambah.
Bersamaan dengan robohnya tubuh pengeroyok
terakhir, Pengemis Tongkat Setan tampak terjajar limbung. Sosok kakek gembel ini
terlihat sangat mengerikan, karena hampir seluruh tubuhnya bersimbah da-
rah. Dan tubuhnya yang berdiri goyah disangga den-
gan tongkatnya.
Di lain tempat, keadaan Kuntilanak Bunga Hitam
juga tidak lebih baik Bahkan seiring robohnya lawan terakhir, tubuh nenek ini
pun tersungkur ke tanah
dengan napas satu-satu. Pada beberapa bagian tu-
buhnya, terdapat luka yang mengalirkan darah tak
henti-henti. Beberapa saat kemudian, nafasnya pun
putus meninggalkan raganya yang penuh luka menge-
rikan. Beberapa saat setelah Kuntilanak Bunga Hitam menghembuskan napas
terakhir, Pengemis Tongkat
Setan tampak tak sanggup lagi berdiri lebih lama. Tubuhnya melorot jatuh, dengan
tangan masih tetap
menggenggam tongkat Sesaat kemudian, kakek gembel
ini pun menghembuskan napas penghabisan, dengan
mata membelalak. Rupanya dalam saat-saat terakhir
rohnya masih tetap penasaran! Dan dalam saat terak-
hirnya, baik Pengemis Tongkat Setan maupun Kunti-
lanak Bunga Hitam, tampak menggenggam erat kitab
masing-masing. Melihat hal ini Panji, dan yang lain hanya bisa
menghela napas melihat mayat-mayat korban nafsu
serakah itu. Kemudian mereka melangkah mengham-
piri mayat kedua orang gembong kaum sesat itu, lalu mengambil kitab dalam
genggaman masing-masing.
"Hendak kau apakan kedua kitab ilmu mukjizat
itu, Pendekar Naga Putih...?" tanya salah seorang dari Pendekar Tongkat Kembar,
ketika melihat pemuda itu
mengambil kitab dari tangan Pengemis Tongkat Setan
dan Kuntilanak Bunga Hitam.
"Karena sudah ada pewarisnya, kurasa sebaik-
nya kedua kitab ini dimusnahkan agar tidak mengun-
dang malapetaka baru," jawab Panji.
Tampak sekali kalau Pendekar Naga Putih me-
nyesal atas semua peristiwa berdarah yang diaki-
batkan kedua kitab di tangannya.
Sementara beberapa orang tokoh persilatan yang
berada di pihak Panji, sama sekali tidak memberikan tanggapan. Mereka sama-sama
terdiam. Bahkan tetap
tak terdengar suara, sewaktu Panji mengerahkan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'-nya yang langsung
membakar kedua kitab ilmu mukjizat itu hingga han-
cur menjadi debu.
"Rasanya, tugasku sudah selesai sekarang. Dan
kalian tidak keberatan kalau aku mohon diri..," ujar Panji. Pendekar Naga Putih
memang merasa tidak perlu lagi mengantarkan Laka Sora. Adanya Pendekar Tongkat
Kembar, menurutnya sudah lebih dari cukup.
"Tidak, Pendekar Naga Putih. Tugasmu belum
tuntas!" Tiba-tiba salah seorang dari kakek botak yang
berjuluk Pendekar Tongkat Kembar berkata lantang,
membuat kening Panji berkerut
"Benar, timpal kakek botak yang satunya. "Kau tetap harus mengantarkan Laka Sora
sampai ke hadapan ayahnya. Anak ini tetap menjadi tanggung jawab-
mu, sampai berada di tangan ayahnya."
"Aku pun ingin agar Paman Panji dan Bibi Ke-
nanga singgah ke rumahku dan berjumpa kedua
orangtua ku. Kuharap, Paman dan Bibi tidak membua-
tku kecewa. Kalau kalian tidak bersedia, aku akan tetap berlutut di tempat
ini...," ujar Laka Sora.
Langsung saja bocah itu menjatuhkan diri berlu-
tut di depan Panji dan Kenanga. Perbuatan itu, mem-
buat pasangan pendekar muda ini tersenyum. Betapa
cerdiknya Laka Sora!
Panji dan Kenanga mengangkat bangkit tubuh
bocah cerdik itu. Mereka memang merasa tidak mem-
punyai pilihan lain Maka diputuskannya untuk men-
gantarkan Laka Sora sampai ke tangan orangtuanya.
SELESAI Scan by Clickers
Edited by Culan Ode
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Misteri Lukisan Tengkorak 8 Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet Si Dungu 4
^