Pencarian

Tinju Topan Dan Badai 1

Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai Bagian 1


TINJU TOPAN DAN BADAI Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Tinju Topan dan Badai
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Lembah Gunung Tangga Langit yang memang in-
dah masih pula diwarnai tumbuhan beraneka pesona.
Tapi pada kenyataannya, lembah yang ter-letak di sebelah selatan kaki Gunung
Tangga Langit ini tidak
pernah didatangi manusia. Jalan menuju ke lembah
itu saja sudah sangat sukar dilalui. Selain tebing-
tebingnya yang curam, tanahnya pun mudah sekali
longsor. Tak heran kalau hanya tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi saja
yang mampu sampai di sa-na. Dan pada pagi hari ini, di tengah lembah Gunung
Tangga Langit terlihat dua sosok tubuh yang tengah
berdiri berhadapan. Melihat dari sikap dan pandang mata, jelas mereka
menunjukkan permusuhan. Bahkan tampaknya sudah siap saling serang.
"Hm..., Dewa Elang Hitam! Apakah kau sudah
siap menandingi 'Jurus Tinju Topan'-ku...?" tanya salah seorang.
Dia memiliki perawakan sedang, namun agak
bongkok. Meskipun wajahnya sudah lebih dari tujuh
puluh tahun, tapi sinar matanya demikian tajam.
Mendengar tantangan yang jelas-jelas sangat
memandang rendah, sosok berperawakan jangkung
yang dipanggil Dewa Elang Hitam memperdengarkan
suara tawa mengejek. Kendati sinar matanya menyi-
ratkan ketersinggungannya, namun tidak berusaha di-
perlihatkannya.
"Heh heh heh..., Pedang Tujuh Lautan. Seharus-
nya tidak perlu berkata demikian. Toh aku tidak
mungkin berdiri di depan hidungmu, kalau Kitab Tinju Badai yang ada di tanganku
belum sempurna kupela-
jari. Tapi menurut hematku, pertarungan di antara ki-ta tidak perlu terjadi,
Bukan karena takut, tapi aku memiliki pemikiran lebih jernih ketimbang otak
udangmu. Sebaiknya, serahkanlah Kitab Tinju Topan
kepadaku. Setelah itu, baru kau akan kuberikan kitab yang ada padaku. Bagaimana"
Bukankah ini jalan
yang paling baik?" usul Dewa Elang Hitam, yang berusia sekitar tujuh puluh lima
tahun itu. "Hua ha ha...!"
Mendengar perkataan Dewa Elang hitam, laki-
laki yang dipanggil Pedang Tujuh Lautan tertawa terbahak-bahak. Tentu saja suara
tawa yang sangat tidak enak di telinga ini membuat kening Dewa Elang Hitam
berkerut tak senang. Mulutnya cemberut menyiratkan
perasaannya yang terpengaruh oleh suara tawa Pedang Tujuh Lautan.
"Dewa Elang Hitam!" sentak Pedang Tujuh Lautan, Tiba-tiba menghentikan tawanya.
Sepasang ma- tanya menatap tajam, disertai senyum memuakkan.
"Perkataan itu sudah kau ucapkan sejak lima tahun yang lalu! Tapi sama sekali
tidak kusangka kalau sampai hari ini kau masih saja mengatakannya. Dan aku
bukannya tidak menyetujui usulmu. Tapi justru kau
sendirilah yang tidak mau menjalankannya dengan
baik, sesuai perkataanmu! Coba keluarkan kitab yang ada padamu dan berikan
kepadaku. Apakah kau bersedia...?"
'Tidak! Kau yang lebih dulu harus menyerahkan
Kitab Tinju Topan kepadaku. Bam kemudian, aku
akan memberikan kitab ini kepadamu! Kalau tidak, lebih balk kitab ini kusimpan
sampai mati!" tegas Dewa Elang Hitam menolak usul Pedang Tujuh Lautan.
Tentu saja Dewa Elang Hitam tidak ingin kakek
bertubuh bongkok itu menipunya mentah-mentah.
Maka tak heran bila ia berkeras mempertahankan ki-
tabnya, sebelum Pedang Tujuh Lautan lebih dulu me-
nyerahkan Kitab Tinju Topan.
"Kalau begitu, sebaiknya Kita tentukan dengan
pertarungan...!" tukas Pedang Tujuh Lautan geram.
Kemudian langkahnya langsung bergeser ke kanan, se-
telah menyimpan kitab ke dalam pakaiannya.
"Memang begitu seharusnya...!" balas Dewa Elang Hitam tidak mau kalah. Wajahnya
langsung berubah beringas. Malah kakinya sudah bergeser, mem-
persiapkan kuda-kudanya. Siap untuk bertarung mati-
matian! "Huh! Jadi aku dibawa ke tempat celaka ini
hanya untuk menyaksikan kalian dua orang kakek
bertengkar memperebutkan dua kitab butut! Benar-
benar dunia sudah gila...!"
*** Saat kedua laki-laki tua itu sudah siap saling ge-
brak, terdengar suara lantang dan jernih. Maka seketika keduanya menghentikan
gerakan dan menoleh ber-
samaan. "Maaf, aku harus pergi! Kalian boleh bertengkar sampai mampus!" rutuk seorang
laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun.
Bocah yang semula duduk di atas sebuah batu
berjarak tiga tombak dari ajang pertarungan, langsung saja melompat turun.
Gerakannya cukup lincah dan
ringan, menandakan bahwa dia bukan seperti bocah
kebanyakan, dan jelas memiliki ilmu silat lumayan.
"Bocah, tunggu...!"
Ketika melihat bocah laki-laki itu sudah bergerak
hendak meninggalkan tempat, Dewa Elang Hitam ber-
seru mencegah. Tubuhnya cepat melayang bagaikan
terbang di atas permukaan tanah. Dan tahu-tahu, te-
lah tiba di dekat bocah itu.
Bukan hanya Dewa Elang hitam saja yang berge-
rak melesat mencegah kepergian bocah itu. Pedang Tujuh Lautan pun sudah pula
bergerak dengan kecepa-
tan luar biasa. Dan tahu-tahu, dia telah berdiri di samping kanan bocah itu.
"Bocah! Mengapa kau berkata demikian" Apa
kau tidak tahu, siapa kami ini...?" tegur kakek bongkok itu, dingin dan agak
menyombongkan diri.
"Aku tahu!" tukas bocah itu cepat tanpa merasa gentar sedikit pun. Bahkan
ditentangnya pandangan
mata Pedang Tujuh Lautan dengan berani. "Kalian adalah dua orang kakek sinting
yang memperebutkan
kitab butut dan tidak ragu-ragu mengadu nyawa
hanya karena persoalan kecil!"
"Eh"!"
Kata-kata bocah Itu tentu saja membuat Pedang
Tujuh Lautan dan Dewa Elang Hitam terperangah den-
gan wajah berubah. Selama ini, mereka belum pernah
menerima hinaan semacam itu. Siapa yang tak kenal
Dewa Elang Hitam dan Pedang Tujuh Lautan" Mereka
adalah tokoh tingkat tinggi, bahkan diakui sebagai datuk-datuk persilatan. Tapi
kini, mereka dihina sedemikian rupa oleh seorang bocah! Padahal, jangankan
bocah, tokoh-tokoh persilatan ternama pun akan berpikir seribu kali bila
menghina kedua orang kakek itu.
"Dengar, bocah! Kami berdua adalah tokoh-tokoh persilatan yang nyaris tidak ada
tandingannya di ko-long langit ini, Dan kalau kami mau, sekali sentuh sa-ja,
nyawamu pasti melayang ke neraka. Jadi, sebaik-
nya jaga mulutmu...!" dengus Pedang Tujuh Lautan, langsung menyombongkan diri
sambil memandang wa-
jah bocah itu dengan sorot mata bagai hendak meni-
kam jantung. "Oh, begitu?" tukas bocah laki-laki berwajah ba-gus itu tanpa mengalihkan
tatapannya pada mata Pe-
dang Tujuh Lautan. "Aku tidak percaya! Kalau benar kalian berdua datuk-datuk
persilatan, mengapa hanya karena kitab-kitab butut itu harus saling bunuh" Apa
artinya sebuah kitab, bila dibandingkan nyawa manusia" Kalau hanya sebuah kitab,
semua orang tentu bi-sa menulisnya. Tapi, nyawa manusia" Siapa yang bisa
membuatnya, selain sang Maha Pencipta yang menguasai dan member! kehidupan
kepada seluruh penghuni
jagad raya ini...."
Entah siapa yang mengajari, nyatanya hebat se-
kali ucapan bocah lelaki berusia sepuluh tahun itu.
Sehingga orang-orang sakti seperti Dewa Elang Hitam dan Pedang Tujuh Lautan
sampai tercengang mendengarnya. Kalau saja tidak mendengar sendiri, tentu mereka
tidak akan percaya. Tapi nyatanya bocah ini berpandangan luas. Bahkan manusia
dewasa pun, jarang
yang berpikiran seluas itu. Inilah yang membuat kedua tokoh sakti itu kagum akan
kecerdasan serta keberanian bocah lelaki ini.
"Kau tidak tahu, bocah...," kata Dewa Elang Hitam, setelah cukup lama terdiam
karena ucapan bocah itu. Suara laki-laki bertubuh jangkung itu tidak keras.
Bahkan terdengar lembut. Kini matanya baru terbuka kalau bocah itu tidak bisa
dianggap sembaran-
gan. Bahkan baru disadari kalau tubuhnya memiliki
susunan tulang yang demikian sempurna. Tentu bila
ditangani orang pandai, kelak akan menjadi seorang
pemuda perkasa yang sulit dicari tandingannya. Itulah yang membuat Dewa Elang
Hitam tidak lagi berkata
keras. "Bocah! Kau kira kedua kitab ini tidak ada gunanya bagi kami" Kau salah
besar! Dengar! Kedua ki-
tab ini sangat didambakan seluruh orang persilatan.
Makanya, kami berdua harus menyembunyikan diri
dari kejaran mereka. Bahkan pertemuan hari ini pun
tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh persilatan. Kalau
mereka sampai tahu, sudah pasti mereka akan saling bersaing untuk memperebutkan
kitab yang ada di tangan kami. Perlu kau ketahui, bila isi kedua kitab ini
digabung, lalu dipelajari seseorang, maka dapat dipas-tikan orang itu akan
menjadi jago nomor satu di ko-
long langit! Nah, apakah kau masih juga menganggap
kami bodoh dan kedua kitab ini tidak berharga sama
sekali?" jelas Pedang Tujuh Lautan panjang lebar. Memang, tentu saja dia tidak
sudi dikatakan sebagai kakek sinting yang rela bertaruh nyawa demi mempere-
butkan sebuah kitab butut tak berguna.
Bocah laki-laki itu terdiam setelah mendengar-
kan penjelasan Pedang Tujuh Lautan. Tampaknya,
otaknya sangat cerdas, sehingga seluruh perkataan
Pedang Tujuh Lautan telah dapat dimengerti. Dan kini la terpaksa diam. Namun
demikian, dalam hatinya tetap tidak menyetujui pertaruhan nyawa, yang hanya
karena sebuah kitab.
Pedang Tujuh Lautan mengangguk puas, ketika
melihat bocah itu diam. Dan kakek bongkok ini sema-
kin bertambah kagum, karena bocah lelaki berusia sepuluh tahun itu sepertinya
telah mengerti tentang persoalan orang-orang rimba persilatan.
"Bagus kalau kau mengerti, Bocah. Nah, seka-
rang saksikanlah pertarungan kami yang mempergu-
nakan jurus-jurus dari kitab di tangan kami masing-
masing," ujar Pedang Tujuh Lautan. Sepertinya kakek
bongkok itu belum melupakan keinginannya untuk
mendapatkan Kitab Tinju Badai demi melengkapi jurus yang telah dipelajari dari
kitab di tangannya.
"Dan kami memerlukan orang ketiga untuk me-
nentukan, siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.
Itu sebabnya, kami membawamu ke tempat ini. Ru-
panya kami memang tidak salah pilih. Karena, ternya-ta kau bocah luar biasa dan
berpandangan luas...,"
sambung Dewi Elang Hitam.
"Lalu mengapa aku yang dipilih" Bukankah se-
baiknya kalian menculik tokoh persilatan yang pasti akan jauh lebih mengerti
daripada aku?" tanya bocah laki-laki itu tak mengerti.
"Karena kami tidak ingin ada seorang tokoh pun yang menyaksikan ilmu-ilmu
dahsyat yang kami pelajari dari kitab pusaka ini. Dan kami rasa, kau pun sudah
lebih dari cukup. Yang penting, ada orang ketiga di antara kami..," jawab Dewa
Elang Hitam. Kemudian bocah itu dipondongnya dan didudukkannya di atas
batu yang letaknya agak jauh dari ajang pertarungan.
Selain ada dorongan kuat untuk menyaksikan
bagaimana kehebatan ilmu-ilmu yang dipelajari kedua orang kakek itu dari kitab,
bocah ini pun sadar kalau tidak mungkin dapat lolos dari tangan mereka. Maka, ia
pun duduk tenang menyaksikan pertarungan yang
bakal dimulai. Sementara, dua datuk persilatan itu telah berdiri
berhadapan dalam jarak kurang dari dua tom-bak. Ma-
ta satu sama lain saling mencorong dengan tajamnya.
Dan..., "Haaaattt..!"
*** Disertai sebuah bentakan nyaring, kakek bong-
kok yang berjuluk Pedang Tujuh Lautan segera mem-
buka serangan pertamanya. Tubuhnya bergerak ke de-
pan dengan langkah-langkah menyilang sangat cepat
Seolah, tubuhnya telah berubah jadi puluhan banyak-
nya. Sehingga, sulit diterka arah mana yang menjadi sasaran serangannya.
"Hm...."
Kakek jangkung berjuluk Dewa Elang Hitam
hanya memperdengarkan suara menggumam dingin.
Dan sebelum serangan Pedang Tujuh Lautan tiba, se-
pasang tangannya cepat diputar melebar. Maka seketi-ka berhembus tiupan angin
keras yang membuat pe-
pohonan di sekitarnya berderak ribut. Kemudian tu-
buhnya melesat ke depan, menyambut serangan Pe-
dang Tujuh Lautan.
Plakkk, plakkk!
Dalam gebrakan pertama saja, kedua pasang
tangan yang sama-sama terlindungi tenaga dalam dah-
syat sudah saling berbenturan keras. Akibatnya tubuh keduanya bergetar mundur
dan saling mengakui dalam hati kehebatan tenaga dalam masing-masing.
Untuk beberapa saat, kedua tokoh sakti itu kem-
bali saling pandang sambil mengatur langkah. Dan la-gi-lagi Pedang Tujuh Lautan
membuka serangannya.
Whuttt..! Kali ini serangan Pedang Tujuh Lautan lebih he-
bat Sepasang tangannya yang membentuk kepalan,
berputaran cepat dan saling susul-menyusul menuju
sasaran. Pedang Tujuh Lautan menamakan jurus ini
adalah ' Jurus Tinju Topan Pemecah Langit' yang telah disempurnakannya.
Hebat luar biasa jurus milik Pedang Tujuh Lau-
tan ini, sehingga seolah-olah ajang pertarungan bagai


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlanda topan mengerikan. Dan dari setiap lontaran pukulannya mendesir angin
tajam berciutan, menandakan betapa hebatnya tenaga dalam Pedang Tujuh
Lautan ini. Tapi yang dihadapi kakek bongkok itu kali ini
bukanlah tokoh sembarangan yang' bisa dilumpuhkan
begitu saja. Selain telah memiliki kesaktian luar biasa, Dewa Elang Hitam pun
sudah pula meyakini 'Jurus
Tinju Badai Menggulung Jagad'. Sehingga, sama sekali hatinya tidak gentar untuk
menghadapi gempuran hebat lawannya.
Dalam sekejap saja, kedua tokoh sakti itu sudah
saling gempur dengan hebatnya. Ajang pertarungan
kini jadi porak-poranda oleh lontaran pukulan yang
menimbulkan angin keras laksana amukan badai to-
pan. Tidak sedikit pepohonan yang tumbang akibat
sambaran angin pukulan nyasar.
"Aaahh...! Tidak kusangka, kalau kedua orang kakek itu benar-benar memiliki
kesaktian seperti de-wa! Sayang, dalam usia setua itu mereka masih saja
dikuasai nafsu serakah, sehingga ingin diakui sebagai orang nomor satu di
kalangan persilatan. Benar-benar menyedihkan...," desah bocah laki-laki itu.
Semula, dia duduk dalam menyaksikan pertem-
puran itu dengan jarak cukup jauh. Namun kini, tu-
buhnya telah bergeser dari tempatnya. Karena, di tempat semula ia masih
merasakan kuatnya sambaran
angin pukulan kedua orang kakek itu. Maka dipu-
tuskannya untuk menyingkir dan menyaksikan perta-
rungan dari tempat yang lebih jauh dan terhindar dari bahaya.
Sementara itu pertarungan tampaknya semakin
hebat dan mulai mencapai puncaknya. Gerakan mere-
ka sekarang tak ubahnya dua bayangan iblis yang ten-
gah bertarung, karena sudah tidak bisa lagi ditangkap oleh mata biasa. Bahkan
sulit ditentukan, siapa sebenarnya sekarang yang tengah terdesak.
"Heaaaattt..!"
"Hyaaattt..!"
Ketika pertempuran sudah memasuki jurus yang
kedua ratus, Pedang Tujuh Lautan maupun Dewa
Bang Hitam sama-sama mengeluarkan pekik melengk-
ing yang menggetarkan lembah Gunung Tangga Langit
Kemudian tubuh keduanya sama-sama melesat ke
udara, dengan kecepatan luar biasa. Dan....
Blarrrr...! Tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang lengan
yang sama-sama mengandung tenaga dalam dahsyat
itu saling berbenturan dengan hebatnya. Akibatnya
bumi sekitar tempat itu jadi bergetar laksana diguncang gempa.
Akibat yang dialami kedua orang tokoh sakti itu
pun cukup membuat hati mengkelap. Mereka sama-
sama terlempar ke belakang bagaikan daun-daun ker-
ing yang diterbangkan angin. Dan kedua tokoh itu terus meluncur menumbangkan
beberapa batang pohon,
untuk kemudian terbanting jatuh ke semak-semak.
Apa yang dialami Pedang Tujuh Lautan rupanya
masih jauh lebih baik ketimbang Dewa Elang hitam.
Kalau laki-laki tua bongkok itu jatuh ke semak-semak, tubuh Dewa Bang Hitam
malah tergelincir dan terus
bergulingan menggilas semak-semak. Rupanya, di ba-
lik semak-semak itu terdapat sebuah dataran yang lebih rendah, sehingga kakek
jangkung itu akhirnya ter-hempas di depan sebuah mulut goa yang tidak begitu
besar. Nasib sial yang menimpa Dewa Elang Hitam, ten-tu saja sama sekali tidak
diketahui lawannya. Karena
keadaan Pedang Tujuh Lautan saat ini memang cukup
parah. Darah yang berkali-kali menyembur dari mu-
lutnya, menandakan kalau kakek bongkok itu telah
menderita luka dalam yang parah. Sehingga, ia hanya bisa duduk bersandar di
batang pohon dengan napas
tersengal satu-satu.
*** 2 "Aaaahhh...?"
Bocah laki-laki yang menjadi satu-satunya saksi
dalam pertarungan Pedang Tujuh Lautan melawan
Dewa Elang Hitam berseru ngeri dengan wajah pucat
dan muka terbelalak. Untuk beberapa saat ia tidak ta-hu, apa yang harus,
diperbuat. Dia hanya bisa meno-
leh ke kiri-kanan. Wajahnya menggambarkan perasaan
bingung yang amat sangat Ia tidak tahu siapa di anta-ra kedua kakek itu yang
harus lebih dulu dilihat keadaannya.
Cukup lama juga bocah itu kebingungan sampai
akhirnya memutuskan untuk melihat keadaan kakek
jangkung yang dikenal berjuluk Dewa Elang Hitam.
Apalagi keadaan Pedang Tujuh Lautan masih dapat
terlihat meski tidak jelas, seberapa parah luka yang diderita. Dan menurutnya,
lebih baik melihat keadaan Dewa Elang Hitam yang telah lenyap ditelan semak
belukar. Ketika berhasil menerobos semak-semak dan melihat tubuh Dewa Elang
Hitam tergeletak di depan sebuah mulut goa agak jauh di bawahnya, tanpa ragu la-
gi bocah itu pun bergegas turun. Kendati agak sulit
dan harus berpegangan pada akar-akar pohon yang
mencuat keluar di dinding tebing. la sama sekali tidak takut Kekhawatirannya
terhadap nasib kakek jangkung itu membuat takutnya terlupakan.
"Sungguh menganggumkan... "! Kau benar-benar
bukan bocah sembarangan...!" puji Dewa Elang Hitam, walau nafasnya terengah.
Kakek jangkung itu benar-benar tidak menyang-
ka kalau bocah ini akan berani dan sanggup menuruni tebing, demi untuk melihat
keadaannya. "Kakek Jangkung, bagaimana keadaanmu...?"
tanya bocah itu. Matanya langsung menatap wajah
Dewa Elang Hitam disertai rasa kecemasan. Dan tentu saja, ini membuat kakek
jangkung itu tersenyum.
"Anak baik.... Coba ceritakan padaku, bagaimana keadaan Pedang Tujuh Lautan.
Apakah lukanya juga
parah sepertiku?" Dewa Elang Hitam malah balik bertanya. "Aku belum
menanyakannya. Dan lebih dulu, aku ingin melihat keadaanmu, Kek," sahut bocah
itu sejujurnya.
"Bodoh! Seharusnya lihat dulu keadaan keparat
bongkok itu! Baru kemudian, melihat keadaanku.
Dengan demikian, kau bisa menceritakan bagaimana
keadaannya di atas sana...," maki Dewa Elang Hitam gusar. Kelihatannya ia memang
sangat penasaran untuk mengetahui keadaan lawannya.
"Huhhh!"
Bocah itu kelihatan marah mendengar perkataan
Dewa Elang Hitam. la lantas bangkit berdiri, langsung menatap wajah kakek
jangkung itu dengan sinar mata
berkilat "Dalam keadaan terluka seperti ini, ternyata kau masih dikuasai nafsu
kemenangan! Apakah kau masih
juga belum jera, dan ingin cepat-cepat menghadap ma-laikat maut?" rutuk bocah
itu. "Eh..."!"
Dewa Elang Hitam terperangah mendengar per-
kataan bocah tampan ini. Wajahnya membayangkan
keheranan besar. Baru sekali Ini selama hidupnya, ia dimaki orang. Terlebih,
yang memaki adalah seorang
bocah yang kini berdiri di depannya. Sehingga, untuk beberapa saat Dewa Elang
Hitam tidak bisa berkata-kata. "Bocah! Sebutkan namamu...," pinta Dewa Elang
Hitam begitu tiba-tiba dan agak mengejutkan.
"Namaku Laka Sora...," jawab bocah cerdik dan pemberani itu, meski agak heran.
"Hm.... Laka Sora! Cepatlah berlutut dan menyebut guru kepadaku. Karena mulai
saat ini, kau kua-
ngkat menjadi muridku...," ujar Dewa Elang Hitam.
Mendengar perkataan Dewa Elang Hitam, Laka
Sora tertegun. Namun demikian, ia tidak buru-buru
mengikuti perintah itu. Tapi ketika melihat luka parah kakek jangkung itu
akhirnya, bocah bernama Laka So-ra itu mengikuti permintaan Dewa Elang Hitam.
Apala-gi, tarikan napas kakek itu terdengar berat dan lambat
"Guru.... Aku, Laka Sora mengaturkan hormat..,"
ucap bocah cilik itu. Kata-katanya lantang, namun ter-susun rapi Dan ini membuat
wajah Dewa Elang Hitam
menjadi cerah. "Nah, Laka Sora. Karena sekarang telah menjadi muridku, maka kitab pusaka ini
kuberikan kepadamu.
Tapi kuminta, segera hafalkan isinya diluar kepala. Karena, kitab ini sangat
berbahaya bagi keselamatanmu jika tidak segera dihancurkan...," ujar Dewa Elang
Hitam, segera mengangsurkan kitab butut di tangannya.
"Maaf, Guru. Sebelumnya bolehkah aku menga-
jukan sebuah permintaan...."
Laka Sora tidak langsung menerima. Dan me-
mandang wajah gurunya penuh harap.
"Katakan, apa permintaanmu itu...?"
"Aku ingin melihat keadaan Kakek Pedang Tujuh
Lautan. Ingin kuketahui, bagaimana kesehatannya...,"
jelas Laka Sora, lantang. Hanya saja, wajahnya tetap tertunduk, tidak berani
menentang pandangan mata
laki-laki tua yang kini resmi menjadi gurunya.
"Hm.... Bagaimana kau bisa sampai ke sana, La-
ka Sora" Lihatlah! Tebing ini tidak mungkin dapat di-panjat...," tukas Dewa
Elang Hitam. Sama sekali kakek jangkung itu tidak memperli-
hatkan rasa marah. Bahkan ketika menunjuk ke atas,
bibirnya tersenyum, hendak mendengar jawaban mu-
ridnya. ' Biar bagaimanapun, aku harus melihat keadaan
Kakek Pedang Tujuh Lautan, Guru...," tegas Laka Sora, tanpa ragu sambil
memandang tebing yang bakal di-panjatnya.
Kemudian, Laka Sora memandang wajah gu-
runya. Ketika melihat orang tua itu mengangguk, bergegas dihampirinya tebing di
depannya. Dewa Elang Hitam tersenyum disertai anggukan
kepalanya ketika melihat Laka Sora berusaha meman-
jat tebing dengan berpegangan pada akar pepohonan.
Sepasang matanya memancarkan sinar kekaguman,
melihat muridnya sama sekali tidak putus asa. Bocah itu terus berusaha memanjat,
kendati beberapa kali
tergelincir karena pegangannya pada akar pohon terlepas. "Laka Sora,
kemarilah...!"
Setelah melihat kekerasan hati muridnya yang
pantang menyerah, akhirnya Dewa Elang Hitam berse-
ru memanggil bocah yang masih berusaha keras untuk
dapat mencapai bibir tebing.
Laka Sora yang saat itu baru mencapai satu se-
tengah tombak dari permukaan tanah, bergegas meno-
leh. Kemudian, ia bergegas turun ketika melihat gu-
runya mengulapkan tangan. Begitu sampai di tanah,
segera dihampiri kakek jangkung itu dengan penuh
tanda tanya. "Berdirilah di kedua telapak tanganku...," perintah kakek jangkung itu tegas dan
tidak ingin dibantah. Meski disertai perasaan heran, Laka Sora menuruti juga
perintah gurunya. Dan ia baru mengerti, ketika tahu-tahu saja tubuhnya melambung
ringan ke atas. Rupanya dengan sisa tenaga dalamnya, Dewa
Elang Hitam telah menolong muridnya yang memiliki
hati mulia ini. Dan berkat bantuan kakek jangkung
itu, Laka Sora pun dapat mendarat selamat di atas tebing. Kemudian, bergegas
dihampiri Pedang Tujuh Lau-
tan setelah terlebih dulu menoleh ke arah gurunya dan mengucapkan terima kasih.
*** Apa yang dilakukan Pedang Tujuh Lautan tidak
beda jauh dengan Dewa Elang Hitam. Setelah diminta
untuk memperkenalkan namanya, Laka Sora pun di-
minta untuk bersujud dan menyebutkan kakek bong-
kok itu sebagai guru. Juga Pedang Tujuh Lautan pun
menyerahkan kitabnya, serta meminta agar Laka Sora
menghafal seluruh isinya.
Laka Sora juga melihat kalau luka dalam Pedang
Tujuh Lautan sangat parah. Hanya berkat kesaktian-
nyalah kakek bongkok itu masih dapat bertahan hi-
dup. Melihat kenyataan ini, Laka Sora pun bertekad
untuk mematuhi perintah Pedang Tujuh Lautan.
Bukan main gembiranya hati pedang Tujuh Lau-
tan, mendapat kenyataan kalau Laka Sora sangat cer-
das dan sanggup menghafal dalam waktu singkat.
Dan setelah mendapat wejangan yang berarti dari
gurunya yang kedua, Laka Sora mengajukan permin-
taan untuk melihat Dewa Elang Hitam yang juga telah diceritakannya pada Pedang
Tujuh Lautan bahwa kakek itu telah menjadi gurunya. Pada kenyataannya,
Pedang Tujuh Lautan sama sekali tidak merasa kebe-
ratan. Bahkan membantunya dengan pengerahan te-
naga dalam yang memang luar biasa. Sehingga, Laka
Sora tidak perlu lagi merambat turun seperti tadi. Karena berkat bantuan tenaga
dalam Pedang Tujuh Lau-
tan, tubuhnya dapat meluncur turun tanpa kesuka-
ran. Dan kini dia sudah tiba di dekat Dewa Elang Hitam.
*** Selama berhari-hari, Laka Sora bolak-balik men-
gunjungi kedua orang gurunya sambil menghafal ke-
dua macam kitab pusaka, sampai benar-benar melekat
di kepalanya. Dan hal itu ternyata tidak sulit dilaku-kannya. Sehingga setelah
hampir satu minggu, isi kedua kitab itu pun telah pindah ke dalam kepalanya.
Selain memiliki bakat mengagumkan dalam ilmu
silat, Laka Sora pun memiliki kecerdikan luar biasa. Ia tahu, kedua orang sakti
yang mengambilnya sebagai
murid ini saling bermusuhan satu sama lain Maka
timbul pikiran bocah ini untuk menyatukan kedua
orang gurunya. Maksudnya jika harus pergi mening-
galkan dunia ini, tidak ada ganjalan di hati masing-masing. Dengan pandainya,
Laka Sora mengatakan
kepada Dewa Elang Hitam kalau Pedang Tujuh Lautan
meminta maaf atas kekhilafannya. Tentu saja permin-
taan maaf Dewa Elang Hitam disambut balk oleh Pe-
dang Tujuh Lautan. Begitu pula sebaliknya. Maka kini isi hati kedua orang tokoh
sakti itu merasa lapang.
Terlebih, melihat murid mereka dapat menghafal lebih dari apa yang di
perkirakan. Tentu saja kenyataan ini membuat Dewa Elang
Hitam serta Pedang Tujuh Lautan menjadi gembira
bukan main. "Laka Sora.... Karena seluruh isi kitab ini telah pindah ke dalam kepalamu, maka
sesuai ucapanku,
kitab ini akan ku bakar agar tidak sampai jatuh ke tangan orang lain...," ujar
Dewa Elang Hitam setelah menguji muridnya. Dan ia merasa yakin kalau seluruh isi
kitab benar-benar telah dihafal Laka Sora.
Laka Sora tersenyum sambil menganggukkan


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala. Kemudian diserahkannya Kitab Ilmu Silat Tin-ju Badai Menggulung Jagad ke
tangan gurunya yang
siap dihancurleburkan, dengan menggunakan kedua
tangannya yang terisi tenaga sakti. Tapi....
Whuttt..! Tiba-tiba saja, sebelum kitab pusaka itu hancur
lebur, tahu-tahu angin keras bertiup mengejutkan.
Kemudian disusul oleh meluncurnya sesosok bayan-
gan dengan kecepatan luar biasa. Belum sempat ada
yang menyadari, bayangan itu langsung menyambar
kitab di tangan Dewa Elang Hitam!
"Aaahhh..."!"
Bukan main kagetnya Dewa Elang Hitam. Seketi-
ka wajahnya berubah pucat, karena kitabnya telah terampas oleh sosok bayangan
yang memiliki kecepatan
gerak luar biasa.
*** "Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar, membuat se-
kitar tempat itu bergetar hebat Jelas, betapa hebatnya tenaga yang terkandung di
dalam suara tawa ini.
"Akhirnya Kitab Tinju Badai Menggulung Jagad
jadi milikku...!" kata sosok berpakaian serba hitam.
Meski pakaian sosok itu terlihat masih baru dan terbuat dari kain sutera mahal,
namun dihiasi tambalan di beberapa bagian. Dan Dewa Elang Hitam menjadi
kaget, begitu mengenali siapa orang yang telah me-
rampas kitab dari tangannya.
"Pengemis Tongkat Setan..."!" seru Dewa Elang Hitam.
Wajah kakek jangkung itu kontan berubah pucat
seketika. Karena dikenalinya betul, siapa dan sampai di mana kesaktian tokoh
berpakaian pengemis itu.
"Siapa orang itu, Guru...?" tanya Laka Sora heran, melihat wajah gurunya pucat
karena kehadiran
kakek pengemis itu.
"Laka Sora... cepat segera pergi. Temui gurumu Pedang Tujuh Lautan! Lihat,
bagaimana keadaannya!
Dan jangan kembali ke sini lagi.,.!" tukas Dewa Elang Hitam.
Tentu saja kakek jangkung itu cemas akan kese-
lamatan muridnya. Apalagi, Laka Sora telah terlihat oleh Pengemis Tongkat Setan
yang terkenal sangat kejam dan telah bertahun-tahun memburu kitab pusaka
itu. Sebenarnya kalau dalam keadaan biasa, Dewa
Elang Hitam tidak akan secemas itu. Tapi saat ini keadaannya, tidaklah
memungkinkan untuk dapat berta-
rung melawan seorang tokoh seperti Pengemis Tongkat Setan. Tambahan lagi,
pengemis itu merupakan salah
seorang datuk golongan sesat Dan ia tahu, saat ini tidak bakal mungkin dapat
mengatasi kesaktian tokoh
berjuluk Pengemis Tongkat Setan.
"Hm.... Siapa bocah itu, Dewa Elang Hitam?"
tanya Pengemis Tongkat Setan, menatap tajam wajah
Laka Sora. "Kalau ia muridmu, tentu harus kulenyapkan. Karena, tidak boleh ada
seorang pun yang
menguasai 'Ilmu Tinju Badai Menggulung Jagad', ke-
cuali aku. Nah, katakanlah. Apakah kau telah menu-
runkan ilmu itu kepadanya...?"
"Hm.... Gembel gila! Jangan ganggu bocah yang
tidak tahu apa-apa! Meskipun keadaanku terluka, tapi jangan dikira bisa
mengalahkanku begitu saja! Maju-lah biar kuremukkan kepalamu...!" tantang Dewa
Elang Hitam, tanpa mempedulikan pertanyaan kakek
gembel itu. "Kurang ajar...! Tanpa diminta pun, aku akan segera mengirimmu ke neraka...!"
sentak kakek itu.
Bukan lagi gema suaranya lenyap, tubuh Penge-
mis Tongkat Setan telah melesat ke depan membawa
sebuah pukulan maut yang menimbulkan angin keras.
Sepertinya, ia hendak membuat musuhnya tewas den-
gan sekali pukul!
Melihat datangnya serangan maut, Dewa Elang
Hitam tentu saja sadar akan bahaya mengancam. Tapi
karena sudah tidak bisa bergerak menghindar, maka
dengan nekat disambutnya serangan itu.
Plakkk! "Arrrgh...!"
Dewa Elang Hitam memang berhasil mematah-
kan serangan. Tapi untuk itu ia, harus menerima ke-
nyataan pahit Tubuhnya kontan terlempar membentur
dinding baru, kemudian memuntahkan darah segar
dari mulutnya. "Guru..."!"
Laka Sora berlari ke arah gurunya yang tampak
pucat Rupanya, ia masih juga belum rela meninggal-
kan gurunya yang tengah terancam bahaya maut ini.
"Laka Sora, kau belum juga pergi...?" desis Dewa Elang Hitam.
Kelihatannya, kakek jangkung itu marah melihat
muridnya masih berada di tempat ini. Maka tanpa ba-
nyak bicara lagi, dicengkeramnya leher baju Laka Sora, dan dilemparkan sekuat
tenaga. Sehingga, tubuh bocah itu melambung ke atas. Tapi karena tenaga Dewa
Elang Hitam sudah sangat lemah, tubuh Laka Sora ti-
dak sampai ke bibir tebing. Untunglah bocah itu cukup cerdik dan cekatan. Maka
seketika langsung tangannya diulurkan menyambar akar pepohonan yang ber-
sembulan di dinding tebing itu.
Melihat Laka Sora berusaha merangkak naik,
Dewa Elang Hitam berusaha mengalihkan perhatian
Pengemis Tongkat Setan dari sosok muridnya. Seketika dengan nekat diserangnya
kakek gembel itu.
"Sambutlah seranganku, Gembel busuk...!
Haaat..!" Seketika itu juga, tubuh Dewa Elang Hitam men-
celat ke udara. Kedua tangannya bergerak susul-
menyusul, dalam jurus 'Tinju Badai Menggulung Ja-
gad'. Meskipun demikian tenaganya telah jauh berku-
rang, namun kedahsyatan serta kehebatan jurus se-
rangannya masih tetap terlihat membahayakan.
"Cuhhh!"
Pengemis Tongkat Setan meludah dengan sikap
sangat kasar dan menghina. Kemudian tongkatnya di-
putar cepat luar biasa, sehingga lenyap menjadi gulun-gan sinar hitam yang
melebar. Plakkk! Tiba-tiba terjadi benturan ujung tongkat Penge-
mis Tongkat Setan dengan lengan kanan Dewa Elang
Hitam. Dan itu membuat tubuh Dewa Elang Hitam
terpental batik jatuh terjerembab ke tanah. Kembali darah segar termuntah dari
mulut kakek Jangkung
itu. "Haaattt..!"
Sebelum Dewa Elang Hitam sempat bergerak
bangkit, Pengemis Tongkat Setan telah datang menyu-
suli serangannya. Tongkat hitam di tangannya men-
gaung, bagaikan suara ribuan lebah marah. Dan...
Desss...! Tubuh Dewa Elang Hitam terpental deras disertai
jerit kesakitan. Dan tubuhnya kembali terbanting ke tanah dengan napas semakin
berat Hantaman tongkat
itu yang mengenai tubuhnya, membuat luka kakek
jangkung itu semakin bertambah parah.
Tapi Pengemis Tongkat Setan sama sekali tidak
mempedulikan keadaan lawannya. Tawanya terdengar
menggelegar, sebelum tubuhnya kembali melesat un-
tuk segera menghabisi nyawa Dewa Elang Hitam.
Whuttt! Prakh! Kali ini, hantaman tongkat yang berat dan men-
gandung kekuatan hebat itu langsung menghajar ba-
tok kepala Dewa Elang Hitam yang memang sudah tak
berdaya. Seketika terdengar suara berderak keras, dari batok kepala kakek
jangkung yang pecah terkena hantaman tongkat.
Dewa Elang Hitam tokoh sakti yang selama ini
ditakuti lawan, kini menggelepar menyedihkan bagaikan ayam disembelih. Sebentar
kemudian gerakan tu-
buhnya pun terhenti Tewas dengan kepala pecah!
Setelah memperdengarkan suara tawa kemenan-
gannya, Pengemis Tongkat Setan berkelebat lenyap da-
ri tempat itu. Gema tawanya masih terdengar di kejau-han, bagaikan suara iblis
tanpa wujud. *** 3 "Heh heh heh...! Sekarang kau sudah tidak ber-
daya lagi untuk mempertahankan kitab itu, Pedang
Tujuh Lautan. Nah! Bersiaplah menerima kematian-
mu...!" Kata-kata bernada dingin itu keluar dari mulut
seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Wajahnya masih terlihat cantik dengan tubuh langsing padat Tangan kanannya
langsung bergerak, siap me-matahkan batang leher Pedang Tujuh Lautan.
"Langkahi dulu mayatku, Perempuan Iblis!" sahut Pedang Tujuh Lautan.
Agaknya, meskipun sadar kalau dalam keadaan
seperti ini tidak berarti apa-apa, namun Pedang Tujuh Lautan sama sekali tidak
merasa gentar dalam menghadapi kematian.
Whuttt, plakk! Maka Pedang Tujuh Lautan berbuat nekat, me-
mapak tebasan telapak tangan miring perempuan itu
dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Akibatnya, tubuh lelaki tua yang sudah
lumpuh kedua kakinya itu
terpental deras. Kendati demikian, nyawanya masih
berhasil selamat dari ancaman maut
"Haaiiitt..!"
Wanita berpakaian serba hitam berambut riap-
riapan ini sama sekali tidak memberi kesempatan pada Pedang Tujuh Lautan menarik
napas lega. Tubuhnya
kembali meluncur, dengan sebuah tamparan keras
berbau maut! Desss...! Kali ini, Pedang Tujuh Lautan tak mampu lagi
melindungi dirinya. Tamparan keras itu langsung
membuat tubuhnya terlempar disertai muntahan da-
rah. Dan seketika lelaki gagah itu terbanting ke tanah dengan napas terengah.
Dia hanya bisa memandang
lawannya dengan sinar tajam menikam jantung. Malah
ketika wanita itu kembali melesat, Pedang Tujuh Lautan tak bergeming sedikit
pun. Dan.... Bukkk! Lagi sebuah tendangan keras membuat tubuh
Pedang Tujuh Lautan melintir disertai pekik kesakitan.
Darah segar kembali termuntah. Dan kali ini, ia benar-benar sudah dibuat sekarat
oleh perempuan berambut
riap-riapan itu.
Tanpa mempedulikan keadaan laki-laki tua ini,
perempuan cantik berwajah bengis itu langsung saja
membungkuk. Seketika, diangkatnya tubuh Pedang
Tujuh Lautan dengan mencengkeram pakaiannya
menggunakan tangan kanan. Sementara tangan ki-
rinya menggerayang ke batik pakaian Pedang Tujuh
Lautan, mencari benda yang diinginkannya.
"Hih hih hih...!"
Perempuan cantik berwajah bengis itu tertawa
melengking sambil mengangkat sebuah kitab tua da-
lam genggaman tangan kiri. Kemudian, dilemparkan
tubuh Pedang Tujuh Lautan begitu saja tanpa rasa kasihan sedikit pun.
"Guru...!"
Laka Sora yang baru tiba di tempat Itu, terkejut
bukan main ketika melihat keadaan gurunya. Cepat
bocah itu lari memburu, dan bersimpuh di samping
tubuh yang tengah sekarat ini.
"Guru..., bagaimana keadaanmu...?" tanya bocah berusia sepuluh tahun itu, dengan
wajah pucat dilanda kecemasan.
"Laka Sora.... Katakan, bagaimana keadaan De-
wa Elang Hitam...?" tanya Pedang Tujuh Lautan tanpa mempedulikan pertanyaan
muridnya. "Beliau... beliau tewas dibunuh Pengemis Tong-
kat Setan, Guru...," jawab Laka Sora tertunduk sedih, melihat keadaan gurunya
yang tengah sekarat.
Mendengar jawaban muridnya, Pedang Tujuh
Lautan menghela napas berat Tangannya terulur
membelai kepala muridnya yang telah mewarisi dua
ilmu kedigdayaan, tanpa disadari bocah itu sendiri.
"Laka Sora, pergilah dan tinggalkan tempat ini.
Jangan sampai perempuan iblis yang berjuluk Kunti-
lanak Bunga Hitam itu, menjadi curiga dan menang-
kapmu. Sembunyikan dua ilmu mukjizat yang telah
kau pelajari dari kami...," ujar Pedang Tujuh Lautan, lemah dan susah payah.
Tapi sayang, perintah Pedang Tujuh Lautan ter-
lambat Karena tiba-tiba saja, Kuntilanak Bunga Hitam sudah berkelebat, dengan
tangan terulur menjambret
tubuh Laka Sora. Wanita ini tampaknya curiga begitu mendengar bocah itu menyebut
guru kepada Pedang
Tujuh Lautan. Maka, kaget bukan main hati Pedang Tujuh Lau-
tan. Selebar wajahnya langsung pucat seketika. Tapi, sewaktu hendak memaksa
bangkit, darah segar kembali termuntah dari mulutnya. Dan seketika tokoh sak-ti
yang bernasib sial itu roboh, menghembuskan na-
fasnya yang terakhir
*** "Perempuan Jahat! Apa yang hendak kau laku-
kan padaku?"
Tanpa rasa gentar sedikit pun, Laka Sora menen-
tang pandangan mata Kuntilanak Bunga Hitam.
Wanita cantik berwatak telengas itu sempat ka-
get melihat keberanian bocah laki-laki ini. Melihat sinar mata penuh teguran ini
mengertilah Kuntilanak
Bunga Hitam mengapa bocah itu menjadi murid Pe-
dang Tujuh Lautan. Selain memiliki keberanian dan
ketabahan, susunan tulangnya pun menunjukkan ba-
kat luar biasa untuk menjadi seorang ahli silat. Sesaat ada rasa kagum di hati
Kuntilanak Bunga Hitam.
"Bocah! Benarkah Pedang Tujuh Lautan adalah
gurumu?" tanya Kuntilanak Bunga Hitam, langsung mengangkat tubuh Laka Sora
tinggi-tinggi. Sehingga, wajah keduanya kini begitu dekat. Dan suara bentakan
itu membuat Laka Sora seperti mendengar leda-
kan petir di telinga. Akibatnya kepalanya pening untuk beberapa saat
"Aku tidak sudi menjawab pertanyaan orang ja-
hat sepertimu!" tukas Laka Sora cepat, dengan suara tinggi Mendengar perkataan


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Kuntilanak Bunga Hitam sama sekali tidak marah. Bahkan bibirnya me-
nyunggingkan senyum licik. Tentu saja Laka Sora
menjadi heran. Padahal, semula ia ingin melihat pe-
rempuan berpakaian serba hitam itu marah.
"Hih hih hih...! Kasihan Pendekar Pedang Tujuh Lautan! Murid yang dibangga-
banggakan ternyata seorang bocah pengecut yang tak sudi mengakui gurunya
sendiri...."
Dengan liciknya, Kuntilanak Bunga Hitam me-
mancing Laka Sora. Sepertinya, perempuan berambut
riap-riapan ini sudah dapat menilai, bagaimana watak bocah itu.
'Perempuan jahat! Siapa bilang aku pengecut"
Kalau kau ingin jawaban dariku, dengarlah. Aku Laka Sora, murid Pedang Tujuh
Lautan dan Dewa Elang Hitam! Nah, apa kau puas?" jawab Laka Sora, lantang.
"Bagus! Nah! Sekarang katakanlah, ilmu apa saja yang sudah diajarkan kedua
gurumu itu?" tanya Kuntilanak Bunga Hitam lagi.
Diam-diam perempuan itu kaget Nyatanya bocah
ini bukan saja menjadi murid Pedang Tujuh Lautan,
bahkan juga menjadi murid Dewa Elang Hitam! Tentu
saja ia menjadi curiga dan menduga, kalau kedua
orang sakti itu telah menurunkan ilmu mukjizat yang selama belasan tahun
dicarinya. Laka Sora terdiam mendengar pertanyaan itu.
Sejenak bocah itu teringat pesan terakhir dari gu-
runya, Pedang Tujuh Lautan. Dan ucapan itu tern-
giang-ngiang di telinganya.
"Sembunyikan dua ilmu mukjizat yang kau pela-
jari dari kami...."
Teringat akan pesan itu, Laka Sora pun bung-
kam. Tapi, Kuntilanak Bunga Hitam tentu saja sema-
kin curiga. "Apakah kau diturunkan pelajaran tentang 'Tinju Topan Pemecah Langit' dari
Pedang Tujuh Lautan dan
'Ilmu Tinju Badai Menggulung Jagad' dari Dewa Elang Hitam?" desah Kuntilanak
Bunga Hitam penuh harap.
Perempuan itu berharap, bila bocah ini mempela-
jarinya, berarti tidak perlu susah-susah mencari Kitab Ilmu Tinju Badai
Menggulung Jagad Karena diyakini,
bocah itu telah mewarisinya dari Dewa Elang Hitam.
Tapi, kali ini Laka Sora tetap bungkam. Bocah
itu sama sekali tidak peduli, meskipun Kuntilanak
Bunga Hitam menyebutnya sebagai pengecut Karena
disadari, hinaan itu hanyalah sebuah siasat untuk
mengorek keterangan.
"Kurang Ajar!"
Plakkk! Saking marahnya, Kuntilanak Bunga Hitam lupa
kalau yang dihadapinya hanyalah seorang bocah. Aki-
batnya, tamparan keras itu membuat Laka Sora ter-
banting keras ke tanah.
Laka Sora merasakan kepalanya berkunang-
kunang. Bumi yang dipijaknya seolah bergoyang-
goyang, membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Tapi,
semua itu malah membuat kening Kuntilanak Bunga
Hitam berkerut Heran bukan main hatinya, melihat
bocah itu tidak tewas. Padahal, tamparannya sanggup memecahkan baru karang
sebesar kerbau bengkak!
Kuntilanak Bunga Hitam sama sekali tidak tahu, kalau hawa mukjizat yang baru
satu minggu dipelajari Laka Sora dari kedua orang gurunya, telah melindungi dari
kematian. Dari sini dapat dilihat betapa hebat dan luar biasanya tenaga mukjizat
yang menjadi dasar pelajaran Ilmu Tinju Topan dan Badai.
Merasa penasaran, Kuntilanak Bunga Hitam se-
gera melangkah maju. Kemudian, dilepaskannya se-
buah tamparan ke kepala Laka Sora.
Whuttt! "Hei..."!"
*** Kuntilanak Bunga Hitam memekik tertahan. Be-
tapa herannya dia, melihat tubuh Laka Sora bergerak aneh. Sehingga, tamparannya
luput! "Hm...." '!
Kuntilanak Bunga Hitam tersenyum iblis. Sadar
kalau bocah itu telah mewarisi ilmu-ilmu mukjizat dari kedua gurunya, maka
kembali diserangnya Laka Sora.
Ini dilakukan untuk memancing dan mempelajari ge-
rakan mengelak bocah itu.
"Nah! Cobalah hindari pukulan ini...!"
Dengan mengurangi tenaga dan kecepatan, Kun-
tilanak Bunga Hitam menyerang Laka Sora. Tapi sebe-
lum serangannya sampai pada sasaran, tiba-tiba ter-
dengar angin keras menyambar. Akibatnya pukulan
perempuan itu menyeleweng. Dan belum juga disadari
apa yang terjadi, berkelebat sesosok bayangan yang
langsung meluncur turun di dekat Laka Sora.
"Kurang ajar! Mengapa kau mencampuri urusan-
ku, Gembel gila!"
Kuntilanak Bunga Hitam terkejut dan marah, ke-
tika mengenali siapa orang yang membuat pukulannya
menyeleweng. Orang itu tak lain Pengemis Tongkat Setan. Rupanya, pengemis gembel
itu memang tengah
mencari-cari perginya bocah yang menjadi murid Dewa Elang Hitam. Dan ketika
melihat bocah itu tengah diserang Kuntilanak Bunga Hitam, cepat di cegahnya.
Jelas saja, ia memang tidak ingin bocah itu jatuh di tangan saingannya. Takut
kalau-kalau Laka Sora itu telah mempelajari Ilmu Tinju Badai Menggulung Jagad
yang kitabnya telah didapat, tentu saja ia tidak ingin bocah itu jatuh ke tangan
Kuntilanak Bunga Hitam.
"Hm..:. Aku tidak mencampuri urusan siapa -
siapa! Hanya saja, aku tidak suka melihat kau hendak melukai seorang bocah!"
jawab Pengemis Tongkat Setan, dengan nada sama tinggi.
Setelah berkata demikian, pengemis itu mengu-
lurkan tangannya hendak menangkap tubuh Laka So-
ra. Namun mesti masih bocah, Loka Sora telah mewa-
risi ilmu-ilmu mukjizat dari kedua orang gurunya. Se-
lain itu kecerdikannya benar-benar luar biasa. Maka serangan itu cepat
dielakkannya dengan langkah-langkah aneh, bahkan berhasil membuat dirinya sela-
mat dari tangkapan Pengemis Tongkat Setan.
"Eh...!"
Pengemis Tongkat Setan tentu saja menjadi kaget
Secepat kilat tubuhnya berbalik, menghadapi Laka So-ra. Tadi ia memang belum
percaya kalau anak itu da-
pat menghindari tangkapannya. Maka niatnya hendak
diulang untuk memastikan, apakah Laka Sora benar-
benar dapat mengelakkan.
"Hm.... Jangan mau enaknya sendiri, Gembel gi-
la...!" Kuntilanak Bunga Hitam tentu saja tidak tinggal diam melihat saingannya
hendak menangkap Laka So-ra. Cepat tubuhnya bergerak dan melepaskan sebuah
pukulan keras dari samping.
Bwettt! Pengemis Tongkat Setan yang semula hendak
menangkap tubuh Laka Sora, bergegas menarik mun-
dur tubuhnya. Dan begitu pukulan perempuan itu le-
wat di depan tubuhnya, langsung dibalasnya dengan
kibasan tongkat.
Whuttt! Sambaran tongkat yang cepat dan kuat diiringi
suara berkesiutan, meluncur ke arah kepala Kuntila-
nak Bunga Hitam. Tapi, tokoh wanita sesat ini sama
sekali tidak gugup. Tubuhnya cepat membungkuk dan
berputar. Kemudian dilepaskannya satu hantaman ke
arah badan tongkat yang menyambar lewat di depan-
nya. Plakk! "Aiiih...!"
Pengemis Tongkat Setan memekik tertahan, keti-
ka luncuran tongkat itu menyambar cepat ke arahnya.
Tapi kekagetan itu hanya sekejap saja, karena kakek gembel itu cepat menguasai
keadaan. Lalu dengan sedikit membungkuk, tongkatnya diputar di atas kepala, dan
kembali menyambar mengancam Kuntilanak Bunga Hitam.
"Bagus...!" puji Kuntilanak Bunga Hitam.
Pertarungan kedua orang tokoh sakti itu terus
berlanjut sengitnya. Kuntilanak Bunga Hitam kini sudah menggunakan senjata
rahasia, berbentuk bunga
melati berwarna hitam. Senjata itu terbuat dari baja pilihan dan telah direndam
dalam ramuan beracun. Be-
gitu cepat senjata rahasia itu dilepaskan, membuat
Pengemis Tongkat Setan sempat menjadi sibuk meng-
halaunya. Tapi, 'Ilmu Silat Tongkat Setan' milik pengemis itu pun membuat
Kuntilanak Bunga Hitam tidak
boleh lengah. Sedikit saja pikirannya terganggu, nis-caya tongkat kakek gembel
itu akan menghajar tubuh-
nya. Dan Kuntilanak Bunga Hitam memang tidak mau
memandang rendah lawan yang kepandaiannya cukup
diakuinya. Sementara pertarungan kedua orang tokoh itu
berlangsung, Laka Sora yang sadar kala dirinya menjadi rebutan, diam-diam
mengambil keputusan untuk
meninggalkan tempat ini. Tubuhnya segera bergerak
mundur perlahan-lahan dan tetap mengawasi kedua
orang yang tengah bertarung. Dan ketika merasa su-
dah agak jauh, tubuhnya berbalik dan melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Tanpa mempedulikan rasa lelah dan tubuh serta
pakaiannya yang tersayat duri dari pohon-pohon di sekitarnya, Laka Sora terus
berlari sekuat tenaga. Beberapa kali ia jatuh terguling terantuk akar pohon yang
mencuat dari dalam tanah. Tapi, bocah itu tidak pedu-
li. Ia ingin berlari sejauh-jauhnya, untuk menghindari kedua orang yang
dianggapnya telah gila itu. Tapi....
"Aaahh..."!"
*** Laka Sora yang merasa yakin kalau dirinya akan
dapat terbebas dari kedua orang tokoh sakti itu, tiba-tiba menghentikan larinya.
Sepasang matanya terbelalak, melihat dua sosok tubuh yang berdiri menghadang di
depannya. Mereka adalah Pengemis Tongkat Setan
dan Kuntilanak Bunga Hitam. Rupanya, kedua orang
tokoh sesat itu telah mengetahui kepergiannya. Dan
mereka pun langsung menunda perkelahian, untuk
mengejar Laka Sora.
"Hm..., mau lari ke mana kau, Bocah?" tegur Pengemis Tongkat Setan. Dia berdiri
di sebelah kanan Kuntilanak Bunga Hitam, dalam jarak kurang dari dua tombak.
Kuntilanak Bunga Hitam sendiri sama sekali ti-
dak berbicara. Hanya sepasang matanya saja yang
menyorot tajam seperti hendak menelan wajah Laka
Sora. Tapi bocah ini tidak kehilangan akal. Setelah terdiam sejenak mencari
jalan untuk dapat bebas dari
kedua orang itu, bibirnya pun tersenyum tipis memandang kedua orang tokoh itu
bergantian. "Hm.... Siapakah di antara kalian berdua yang menjadi pemenang pertarungan tadi"
Dan tentu saja aku akan suka ikut dengan salah satu dari kalian.
Tentunya yang lebih sakti...," ujar Laka Sora bersiasat Tapi, ucapan Laka Sora
malah disambut tawa
berkakakan. Sebagai orang-orang golongan sesat, per-kara siasat dan kelicikan
tentu saja mereka adalah ba-pak moyangnya. Maka tak heran mereka kontan terta-
wa begitu mendengar ucapan bocah itu.
Dan setelah tawa itu berhenti, mereka melang-
kah perlahan-lahan mendekati Laka Sora. Sorot mata
mereka jelas mengandung ancaman, dan siap untuk
saling mendahului membekuk Laka Sora.
Melihat gelagat tidak baik, Laka Sora bergerak
mundur-mundur. Kemudian tubuhnya berbalik dan
berlari meninggalkan tempat itu sekuatnya. Tapi.;.,
"Hua ha ha...!"
Pengemis Tongkat Setan tertawa bergelak, dan
tahu-tahu sudah berdiri satu tombak di depan Laka
Sora. "Jangan mimpi dapat lolos dari kami, Bocah!"
ujar Kuntilanak Bunga hitam tersenyum mengejek.
Perempuan bengis namun kelihatan cantik itu
berkacak pinggang di sebelah kiri Pengemis Tongkat
Setan, dalam jarak satu setengah tombak.
Seperti telah sepakat, tiba-tiba kedua orang to-
koh sesat itu bergerak untuk menangkap Laka Sora.
Seolah, keduanya tengah berlomba ketangkasan. Dan
Laka Sora sebagai hadiahnya.
Tapi, saat Laka Sora tengah kebingungan, tiba-
tiba berhembus angin keras yang disusul berkelebat-
nya dua sosok bayangan Seketika, kedua bayangan itu masing-masing langsung
memapak lengan Pengemis
Tongkat Setan dan Kuntilanak Bunga Hitam.
Plakk, plakkk! Terdengar benturan keras, ketika lengan kedua
tokoh sesat itu terasa seperti membentur sebatang be-si. Keduanya mencelat
mundur, sambil memijat lengan masing-masing. Memang, saat berlomba untuk saling
mendahului menangkap Laka Sora, mereka tidak men-
gerahkan banyak tenaga. Sehingga begitu ada yang
menggagalkan, mereka pun kalah tenaga. Apalagi, te-
naga orang yang menggagalkan niat mereka tadi begitu kuatnya.
"Bedebah! Bosan hidup, kau rupanya!" geram Pengemis Tongkat Setan. Seketika
senjatanya disilangkan di depan dada, setelah diputar di atas kepala.
"Hm..., Siapa berani main-main dengan Kuntila-
nak Bunga Hitam...?"
Kuntilanak Bunga Hitam menggeram gusar. Se-
pasang matanya menyorot tajam, ke arah dua sosok
tubuh yang kini berdiri di dekat bocah yang dipere-
butkan itu. *** 4 Sementara dua sosok yang kini sudah berdiri te-
gak itu sama sekali tidak terkejut, ketika Kuntilanak Bunga Hitam menggertak
dengan menyebutkan julu-kannya sendiri. Sikap dua sosok yang ternyata sepa-
sang anak muda itu tetap tenang, meskipun tatapan
kedua tokoh sesat begitu mengiriskan seperti hendak menembus jantung.
"Aku mengenal kalian berdua. Tapi perbuatan
kalian yang hendak mencelakakan bocah, tak bisa ku-
biarkan begitu saja. Seharusnya, kalian sebagai tokoh besar merasa malu dengan
mengeroyok seorang bocah," kata sosok yang berjubah putih,
Tekanan suara pemuda berjubah itu terdengar
mengandung perbawa kuat Bahkan sikapnya tenang,
membuat kedua orang tokoh sesat ini menjadi curiga, dan memperhatikan lebih
teliti. Seolah, mereka hendak mengenali siapa adanya pemuda tampan berjubah pu-
tih itu. Sementara sosok yang berdiri di sebelah pemuda
tampan berjubah putih itu adalah seorang gadis berusia sekitar delapan betas


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun. Agaknya, gadis yang bukan main cantiknya ini hanya berdiam diri saja. Ku-
litnya yang putih terlihat semakin bersinar, karena pakaian hijau yang
dikenakannya demikian pas dengan
warna kulit tubuhnya.
Setelah meneliti ciri-ciri kedua anak muda itu,
balk Pengemis Tongkat Setan maupun Kuntilanak
Bunga Hitam mulai dapat menduga. Kedua tokoh sesat
yang semula saling bersaing ini berpandangan sesaat.
Dan dalam pandang mata yang hanya sekejap, seper-
tinya mereka telah sepakat mengenali, terutama terhadap pemuda tampan berjubah
putih itu. "Hm.... Rasanya aku sudah dapat memastikan
namamu, Kisanak. Kalau tidak salah lihat, kau pasti Pendekar Naga Putih," kata
Kuntilanak Bunga Hitam, tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah
tampan di depannya.
"Dugaanmu tidak salah, Kuntilanak Bunga Hi-
tam. Tapi siapa pun aku, yang jelas akan tetap menentang perbuatan jahat kalian
berdua!" jawab pemuda tampan berjubah putih, yang memang Panji alias Pendekar
Naga Putih. Ucapan terakhir Panji demikian tandas dan te-
gas, menunjukkan sikapnya sebagai ksatria. Sedang-
kan gadis di sebelahnya yang tak lain dari Kenanga, masih terlihat diam. Namun
dari sikapnya, terlihat waspada.
"Tidak peduli apa pun yang kau katakan, Pende-
kar Naga Putih! Yang jelas, kau nyata-nyata hendak
melawan kami, bukan?"
Kali ini Pengemis Tongkat Setan yang berbicara.
Sorot matanya demikian tajam, seolah hendak mene-
lan tubuh Pendekar Naga Putih bulat-bulat!
"Sudah kukatakan, aku akan menentang setiap
bentuk kejahatan. Siapa pun adanya, aku tidak pedu-
li!" tukas Panji kembali menegasi sikapnya.
"Hm.... Kau tahu, apa sebabnya kami mengingin-
kan bocah itu, bukan" Bocah itu adalah murid Pedang Tujuh Lautan dan Dewa Elang
Hitam. Dan dia telah
mewarisi 'Ilmu Tinju Topan dan Badai' yang pernah
menggemparkan dunia persilatan. Kau tentu pernah
mendengar tentang perebutan kedua kitab ilmu mukji-
zat itu, belasan tahun silam. Dan kau juga mungkin pernah dengar, bahwa Pedang
Tujuh Lautan dan Dewa
Elang Hitam merupakan dua sahabat baik sebelum
terjadi perebutan kitab itu.
Sejenak wanita kejam itu menghentikan penjela-
sannya. Entah, apa maksudnya. Mungkin hendak me-
lihat tanggapan Pendekar Naga Putih. Namun nya-
tanya Panji malah manggut-manggut sambil meme-
gangi dagunya. 'Tapi, setelah masing-masing mendapatkan se-
buah, terjadilah permusuhan di antara mereka tanpa
ada seorang pun yang mau mengalah. Kedua kitab itu
apabila digabungkan akan menjadi sebuah ilmu dah-
syat tak tertandingi. Tapi, baik Pendekar Pedang Tujuh Lautan maupun Dewa Elang
Hitam sama-sama bersi-keras ingin merebut kitab masing-masing, sampai ak-
hir hayat mereka. Sekarang, bocah itulah yang menjadi pewaris keduanya. Dan
apabila berita ini sampai tersebar keluar, maka tokoh-tokoh persilatan dari
berbagai aliran akan saling berebutan untuk mendapatkan bocah itu. Maka
kemungkinan besar, kau pun memiliki keinginan yang sama. Dan pasti kau ingin
mengua- sai bocah itu sendiri!"
Kuntilanak Bunga Hitam menghentikan ceri-
tanya. Ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih, seperti hendak membaca apa yang
tergambar di wajah pendekar muda itu.
Sebenarnya apa yang diceritakan Kuntilanak
Bunga Hitam memang sempat membuat Panji maupun
Kenanga kaget bukan main. Mereka memang pernah
mendengar tentang dua kitab itu dari guru masing-
masing. Dan menurut apa yang pernah didengar, ke-
dua kitab kuno itu adalah peninggalan seorang tokoh maha sakti, yang telah
berumur ratusan tahun. Kalau sekarang kedua Ilmu mukjizat itu telah diwarisi
oleh bocah yang mereka tolong, artinya nyawa bocah itu
untuk selanjutnya akan selalu diincar bahaya. Dan
sudah pasti, bocah itu akan menjadi rebutan.
"Aku memang sangat suka ilmu silat. Tapi rasa
suka itu tidak akan membuatku tergila-gila. Sebaliknya, dari apa yang kalian
berdua pikirkan, aku malah merasa kasihan terhadap nasib bocah malang ini. Dia
pasti tidak akan pernah mengalami ketenangan dalam
hidupnya. Dan demi keadilan, nyawaku akan ku perta-
ruhkan demi menyelamatkan bocah ini dari orang-
orang serakah dan gila ilmu silat! Dan karena kedua ilmu mukjizat itu telah
jatuh ke tangan bocah malang ini, menurutku itu memang sudah menjadi kehendak
Tuhan. Dialah yang berkuasa mengatur segalanya...,"
sanggah Panji. "Persetan dengan ocehanmu yang seperti pertapa itu, Pendekar Naga Putih! Apa pun
alasanmu, yang jelas kau hendak menyerakahi bocah itu untuk mencuri
ilmunya!" bentak Pengemis Tongkat Setan dengan amarah meluap. Dan kakinya sudah
melangkah maju,
sambil memutar-mutar tongkat kayu besinya.
"Nampaknya kita harus merebut bocah itu dari
tangannya, Pengemis Tongkat Setan....," gumam Kuntilanak Bunga Hitam.
Perempuan Ini tidak lagi memanggil kakek itu
dengan sebutan gembel gila. Tentu saja, karena ia tidak ingin bermusuhan dalam
keadaan seperti itu.
"Terserah. Aku tidak peduli dengan tuduhan ka-
lian. Dan kalau menghendaki bocah ini, kalian harus melangkahi dulu mayat kami
berdua...!" tegas Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih bersiap untuk
menghadapi pertarungan. Disadari, kedua orang calon lawannya ini adalah tokoh
ternama dari golongan hitam. Bahkan terbilang datuknya kaum sesat.
"Kalau begitu sambutlah seranganku, Pendekar
Naga Putih...! Haaattt...!"
Whukkkk! Pengemis Tongkat Setan sudah langsung mener-
jang Pendekar Naga Putih dengan sambaran tongkat
kayu besinya. Senjata itu meluncur berputar-putar,
menimbulkan tiupan angin menderu-deru. Angin yang
bertiup keras itu membuat pepohonan yang ada dalam
jarak dua tombak, berderak-derak bagaikan dilanda
topan. Tapi, Panji sudah siap menghadapinya dengan
'Ilmu Silat Naga Putih'. Cepat dihindarinya setiap sambaran tongkat yang
mengarah tubuhnya. Bahkan lang-
sung melepaskan serangan balasan yang diiringi! hawa dingin menusuk tulang.
Sebentar saja, kedua tokoh ini sudah terlibat perkelahian sengit yang
mendebarkan. *** Sementara itu, Kuntilanak Bunga Hitam juga ti-
dak tinggal diam. Tokoh wanita sesat ini sudah maju menerjang Kenanga. Sengaja
yang dipilihnya sebagai
lawan bertarung adalah dara jelita itu. Menurut piki-
rannya, gadis itu sudah pasti tidak akan setangguh
Pendekar Naga Putih. Maka begitu melancarkan seran-
gan, Kuntilanak Bunga Hitam sudah mengeluarkan il-
mu andalannya. Ia ingin selekas mungkin merobohkan
dara jelita ini dan segera membawa lari Laka Sora.
Tapi, tentu saja Kuntilanak Bunga Hitam terlalu
gegabah bila menduga dapat mudah merobohkan Ke-
nanga. Kendati kepandaiannya tidak sehebat Panji, ta-pi Kenanga bukan lawan
ringan. Apalagi, gadis itu
pernah membuat geger rimba persilatan, sehingga dijuluki sebagai Bidadari Iblis.
"Haiiittt...!"
Kuntilanak Bunga Hitam mencecar Kenanga
dengan serangkaian pukulan maut Sepasang tangan-
nya bergerak cepat luar biasa, menyambar-nyambar
disertai deru angin pukulan yang keras bukan main.
Tampak sekali tokoh wanita sakti, beraliran sesat ini sudah mengerahkan seluruh
tenaganya, agar dapat
melumpuhkan Kenanga dalam waktu singkat
Tapi bukan main kaget hati Kuntilanak Bunga
Hitam, ketika mendapat perlawanan yang gigih dari
dara jelita itu. Serangan-serangan pertamanya bukan saja dapat digagalkan,
bahkan juga mendapat serangan balasan dari Kenanga. Dan ini sempat membuat
Kuntilanak Bunga Hitam terdesak mundur. Sebenar-
nya, ini terjadi bukan karena kepandaian Kenanga lebih unggul tapi karena wanita
sesat itu terlalu me-
mandang enteng. Dia tidak begitu memperhatikan per-
tahanan diri, akibatnya jadi rugi sendiri.
Whuttt! Sebuah tebasan sisi telapak tangan miring Ke-
nanga cepat dielakkan Kuntilanak Bunga Hitam den-
gan merunduk dan menekuk kedua kakinya. Kemu-
dian tokoh sesat wanita ini melompat berputar, sambil
melancarkan tendangan sepenuh tenaga.
Kenanga segera menarik mundur tubuhnya
hingga doyong ke belakang. Maka tendangan itu me-
mang berhasil dihindarinya. Tapi, betapa kagetnya Kenanga, ketika Kuntilanak
Bunga Hitam masih menyu-
suli dengan serangkaian tendangan cepat dan kuat
Sehingga seolah kedua kaki wanita sesat itu telah berubah menjadi baling-baling.
Karena merasa tak mungkin untuk menghindar,
Kenanga cepat mengangkat tangan kanannya. Lang-
sung ditangkisnya tendangan samping yang mengan-
cam pelipisnya.
Plakk! "Aaaah!"
Kenanga memekik tertahan, karena lengannya
terasa lumpuh untuk sesaat begitu benturan terjadi.
Dari sini bisa diukur kalau kekuatan tenaga dalamnya masih berada di bawah
Kuntilanak Bunga Hitam. Akibatnya, Kenanga kontan terhuyung mundur sampai
hampir satu tombak. Maka kesempatan itu digunakan
Kuntilanak Bunga Hitam sebaik-baiknya.
"Hyaaatt..!"
Sing, sing, sing!
Seiring bentakan keras, Kuntilanak Bunga Hitam
mengebutkan tangannya. Seketika tiga buah sinar hi-
tam meluncur dengan kecepatan laksana sambaran ki-
lat ke arah Kenanga. Rupanya, Kuntilanak Bunga Hi-
tam melepaskan senjata-senjata rahasia yang menjadi ciri khasnya.
Kenanga memang bukan gadis penakut Tapi me-
lihat lesatan tiga sinar hitam yang meluncur bagai kilat diiringi suara
berdesingan, dia agak gugup juga. Untungnya, selama berpetualang bersama Panji,
ia selalu mendapatkan bimbingan dalam menyempurnakan il-
mu silatnya. Terutama sekali, penyempurnaan ilmu
pedang. Sehingga begitu sinar hitam itu mendekat,
dengan gerakan cepat bukan main, Pedang Sinar Bu-
lan yang melibat pinggangnya, diloloskan. Lalu pe-
dangnya langsung dikibaskan menyambut datangnya
senjata-senjata gelap itu.
Trakkk, tring, tring!
Kecepatan dan ketepatan gerak Kenanga mem-
buat ketiga senjata berupa bunga melati berwarna hitam itu berguguran jatuh ke
tanah. Bahkan satu di antaranya terbelah menjadi dua, karena senjata yang
digunakan untuk menangkis memang bukan sembarang
pedang. Kuntilanak Bunga Hitam yang tak menyangka
serangannya akan menemui kegagalan, menjadi gusar
bukan main, Disertai lengkingan panjang yang meng-
getarkan jantung, tubuhnya meluncur cepat dengan
serangan-serangan jauh lebih mengerikan. Memang,
kali ini tokoh sesat wanita ini sudah menggunakan cakar-cakarnya yang berkuku
panjang dan runcing!
Namun dengan Pedang Sinar Bulan-nya, Ke-
nanga menyambut datangnya serangan wanita sesat
itu. Pada pertarungan ini, tampak Kenanga agak lebih tenang. Memang dengan
Pedang Sinar Bulan di tangan
yang memancarkan hawa dingin, kekasih Pendekar
Naga Putih itu bisa mengimbangi permainan Kuntila-
nak Bunga Hitam. Maka kini pertarungan terlihat ma-
sih seimbang, meskipun telah memasuki jurus yang
ketiga puluh. Di arena lain, Panji yang menghadapi gempuran
Pengemis Tongkat Setan, mulai berada di atas angin.
Betapapun hebatnya 'Ilmu Tongkat Setan' yang dimiliki kakek itu, tetap saja
tidak sanggup menandingi kecepatan gerak Pendekar Naga Putih dalam penggunaan
'Ilmu Silat Naga Sakti'. Sosok Panji yang kini hanya berupa bayangan putih saja,
bergerak turun naik. Sepasang tangannya menyambar-nyambar bergantian men-
gincar pertahanan lawan. Kini pemuda itu tak ubah-
nya seekor naga perkasa yang melayang-layang di uda-ra tengah menunjukkan
keperkasaannya. Dan di lain
saat, tubuhnya menukik turun bagaikan hendak melu-
ruk ke dalam bumi. Inilah yang membuat Pengemis
Tongkat Setan menjadi kelabakan. Sehingga, pengemis itu hanya mampu membuat
benteng pertahanan dengan putaran tongkat besinya. Sedangkan untuk mem-
balas serangan, jelas sudah tidak mampu.
"Yeaaahhh...!"
Suatu ketika, Panji melepaskan pukulan jarak
jauh dengan tangan kanannya, tepat begitu meluncur
turun. Kelihatannya, Pendekar Naga Putih hendak
membobol putaran tongkat yang menjadi benteng per-
tahanan lawannya.
Breeshhh.....! "Aaakh..."!"
Pengemis Tongkat Setan terpekik kaget, begitu
pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih tepat menge-
nai bagian tengah senjatanya. Seketika tongkat itu terpental ke udara dalam
keadaan patah menjadi tiga.
Sementara tubuh kakek gembel itu sendiri tampak
terhuyung-huyung dengan wajah memucat.
"Haaaattt..!"
Melihat kakek gembel itu masih belum juga ro-
boh dan kelihatan masih hendak melanjutkan perta-
rungan, Panji langsung melesat cepat bagai kilat. Kedua tangannya menyambar
cepat, melakukan dua kali
tamparan keras ke tubuh pengemis itu.
Plakk, desss! "Ugghhh!"
Kali ini tanpa ampun lagi, tubuh Pengemis Tong-
kat Setan terpelanting dan terbanting keras ke tanah.
Darah segar kontan termuntah dari mulutnya. Hanta-
man Panji memang telak mengenai lambung dan dada
kanannya, sehingga membuat kakek gembel itu tidak
mampu untuk segera bangkit. Nafasnya terasa berat, membuat wajahnya semakin


Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pucat. Cepat kakek itu
mengatur pernafasannya untuk meredakan guncangan
dalam tubuhnya. , Tapi, Panji sudah tidak mempedulikan keadaan lawannya lagi.
Apalagi saat itu kekasihnya tampak tengah berusaha mati-matian menghalau
setiap serangan kuku-kuku runcing Kuntilanak Bunga
Hitam. Jelas, Kenanga tengah terdesak hebat. Malah
mungkin tidak akan mampu bertahan dalam lima ju-
rus lagi "Kuntilanak Bunga Hitam, jaga seranganku...!"
Setelah memberi peringatan agar tidak dituduh
membokong, Panji melayang ke tengah ajang pertarun-
gan. Sepasang tangannya langsung melancarkan se-
rangan kilat, yang membuat Kuntilanak Bunga Hitam
terpaksa melupakan Kenanga. Maka langsung disam-
butnya serangan Pendekar Naga Putih.
Kuntilanak Bunga Hitam yang merasa tetap pal-
ing hebat, segera mengangkat kedua tangannya. Cepat dipapakinya tamparan dan
dorongan tangan Panji, sehingga kedua pasang lengan itu saling bertemu.
Plakk! Plakkk! Terdengar suara nyaring, sehingga membuat u-
ara sekitar bergetar akibat benturan yang terjadi. Dan Kuntilanak Bunga Hitam
benar-benar harus menerima
kenyataan pahit Tangkisan itu justru membuat kedua
lengannya terasa dingin, bagaikan terbungkus salju
tebal. Kuda-kudanya pun tergempur, membuat tubuh-
nya terhuyung-huyung sampai setengah tombak lebih.
"Hahhh!"
Sambil membentak nyaring, Kuntilanak Bunga
Hitam mengerahkan hawa murni untuk mengusir ha-
wa dingin yang membekukan kedua lengannya. Kemu-
dian, kembali dia bersiap untuk menghadapi Pendekar Naga Putih!
Kuntilanak Bunga Hitam belum juga memulai se-
rangan. Ia hanya bergerak melangkah ke kiri dan ka-
nan dengan sorot mata tertuju lurus pada sepasang
bola mata Pendekar Naga Putih. Tampak wajahnya
memancarkan keraguan menghadapi lawan yang di-
perkirakan berkepandaian sangat tinggi ini.
Terlebih, ketika melihat tidak nampaknya batang
hidung Pengemis Tongkat Setan. Tahulah Kuntilanak
Bunga Hitam kalau kakek gembel itu tentu telah pergi setelah dikalahkan Pendekar
Naga Putih. "Hm.... Sayang, aku tidak mempunyai banyak
waktu untuk bermain-main denganmu, Pendekar Naga
Putih. Biarlah lain kali kita lanjutkan pertarungan ini...," ujar Kuntilanak
Bunga Hitam. Rupanya, wanita itu menyadari kalau keadaan-
nya yang tidak menguntungkan. Apalagi, di situ masih ada dara jelita berpakaian
serba hijau yang cukup
tangguh, selain Pendekar Naga Putih. Maka dengan liciknya ia mengajukan alasan
untuk menunda perkela-
hian. Panji hanya tersenyum mendengar alasan Kunti-
lanak Bunga Hitam. Tentu saja, Pendekar Naga Putih
bukanlah anak kecil yang bisa dikelabuhi dengan alasan gombal wanita itu. Tapi
dia sama sekali tidak mencegah ketika Kuntilanak Bunga Hitam melesat pergi
meninggalkan tempat itu.
"Mengapa kau biarkan iblis wanita itu pergi, Kakang" Lain kali dia pasti akan
membuat masalah lagi
dengan kita...," tanya Kenanga.
Gadis itu memang merasa penasaran terhadap
Kuntilanak Bunga Hitam. Karena, ia nyaris dibuat celaka kalau saja Panji tidak
keburu membantu. Padahal semula kekasihnya diharapkan akan memberi hajaran
kepada wanita tokoh sesat itu. Mendapat kenyataan
ini, Kenanga jadi kecewa melihat tokoh sesat itu di-biarkan pergi begitu saja.
"Untuk apa memaksa lawan yang sudah tidak in-
gin bertempur, Kenanga. Bagaimana kalau wanita itu tidak melakukan perlawanan
saat kuserang" Kemudian, seranganku malah mengenai sasaran dan mene-
waskannya" Bukankah aku akan menyesal dan berdo-
sa seumur hidup?" bantah Panji.
Kenanga hanya menggelengkan kepala, tak bisa
membantah. Kemudian pandangannya dialihkan ke
arah tempat bocah yang mereka tolong itu berada. Dan hatinya merasa lega, ketika
melihat bocah itu muncul dari balik semak-semak, dan terus melangkah menghampiri
Panji dan Kenanga.
*** 5 "Aku Laka Sora, menghaturkan hormat kepada
Paman dan Bibi berdua yang telah sudi menolongku.
Aku berjanji, kelak akan membalas budi baik ka-
lian...," ucap bocah itu sambil merangkapkan kedua tangannya dan membungkuk
hormat ketika tiba di depan Panji dan Kenanga.
Kenanga dan Panji merasa kagum melihat sikap
dan tutur kata bocah yang seusia demikian sudah
mengenal tatakrama demikian halus. Ucapannya ini
terdengar sopan penuh rasa hormat Sikapnya pun de-
mikian halus. Dan ini membuat sepasang pendekar
muda ini tersenyum.
"Anak baik, dengarlah," ujar Kenanga disertai senyum seraya mengelus rambut
kepala Laka Sora pe-
nuh kasih. "Sebagai manusia, kita wajib saling tolong menolong. Dan apa yang
kami berdua lakukan tadi,
jangan dianggap sebagai budi yang harus dibalas. Kalau menolong orang dengan
mengharapkan balasan,
itu tidak berarti sama sekali. Kau mengerti...?"
'Terima kasih, Bibi. Nasihat itu akan kusimpan
dalam hati agar dapat selalu kuingat...," ujar Laka So-ra. Bocah itu langsung saja merasa suka kepada
Kenanga. Dan ia jadi terharu, merasakan belaian pe-
nuh kasih sayang yang dapat dirasakan dari telapak
tangan wanita cantik jelita bagai bidadari itu.
"Laka Sora.... Apakah kau masih mempunyai
orangtua?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih langsung menatap wajah
bocah lelaki itu disertai perasaan kasihan. Apalagi mulai saat ini Laka Sora
akan menjadi rebutan kaum persilatan. Memang, telinga orang-orang persilatan tak
ubahnya hidung seekor anjing. Dan Panji tahu pasti, berita tentang bocah yang
telah mewarisi 'Ilmu Tinju Topan dan Badai' akan segera menggegerkan rimba
persilatan. "Masih, Paman...," sahut Laka Sora.
Terus terang, bocah ini tidak bisa menyembunyi-
kan kekagumannya kepada lelaki tampan berjubah pu-
tih, yang didengarnya berjuluk Pendekar Naga Putih.
Apalagi, penolongnya ini berkepandaian hebat luar biasa, sehingga mampu
mengalahkan dua orang jahat
yang saling memperebutkan dirinya tadi. .
"Katakan, siapa mereka" Dan, di mana tempat
tinggalnya" Kami berdua akan mengantar kamu sam-
pai tiba di rumah orangtua mu dengan selamat," lanjut Panji. Tentu saja,
Pendekar Naga Putih mengambil keputusan untuk mengantarkan bocah itu, tanpa
peduli akan halangan yang bakal dijumpainya dalam perjala-
nan. "Ayahku memiliki sebuah perguruan yang terle-tak di dekat Desa Simpang,
Paman. Tapi aku tidak ta-hu, harus lewat mana untuk menuju desa itu. Yang
Jelas, kedua orang yang kemudian menjadi guruku, telah menculik dan membawaku
pergi selama kurang le-
bih tujuh hari...," jawab Laka Sora. Kelihatannya, bocah itu agak bingung
setelah memberi keterangan ke-
pada Pendekar Naga Putih.
Mendengar jawaban Laka Sora, Panji dan Kenan-
ga termenung beberapa saat Mereka berusaha mengin-
gat, kalau-kalau mereka pernah melewati desa itu selama berpetualang. Tapi
meskipun berusaha keras
mengerahkan ingatan untuk mengetahui letak Desa
Simpang, pada akhirnya mereka berdua yakin kalau
belum pernah mendengar atau melewati desa itu.
"Apa nama perguruan yang dipimpin ayahmu itu,
Laka Sora?" tanya Panji, mencari cara lain. Ia berharap, nama perguruan yang
dipimpin orangtua bocah
ini cukup terkenal. Sehingga, dapat ditentukan arah tujuan dengan pasti.
'Perguruan ayah, bernama Harimau Putih, Pa-
man. Apakah Paman pernah mendengarnya?" tanya
Laka Sora, berharap penolongnya mengenal perguruan
yang dipimpin orangtuanya.
"Hhh.... Sayang, aku belum pernah mendengar-
nya, Laka Sora. Sudahlah tidak perlu dipusingkan.
Dan untuk mencari desa tempat tinggalmu, kita bisa
mencari keterangan dari pedagang-pedagang keliling.
Biasanya, mereka banyak tahu tentang nama-nama
desa...," ujar Panji ketika tidak juga tahu, di mana adanya Perguruan Harimau
Putih. Laka Sora tidak banyak bertanya lagi ketika Ke-
nanga menuntun tangannya meninggalkan tempat itu.
Dan bocah itu merasa aman berada dalam perlindun-
gan dua orang penolongnya yang sangat digdaya ini.
*** Hari masih pagi. Sinar matahari belum seluruh-
nya jatuh menghangati permukaan bumi. Semilir angin pun masih terasa agak
dingin. Panji, Kenanga, dan La-ka Sora yang memasuki sebuah desa yang cukup pa-
dat penduduknya, sudah langsung singgah di kedai
makan di tepi jalan.
Panji memilih tempat agak ke sudut. Kemudian,
dipesannya makanan kepada seorang pelayan yang da-
tang menghampirinya. Pelayan itu bergegas me-
nyiapkan pesanan untuk tiga orang tamunya.
"Sudah dua hari kita melakukan perjalanan. Tapi keterangan tentang Desa Simpang
atau Perguruan Harimau Putih, sama sekali belum didapatkan. Bahkan,
beberapa orang pedagang keliling yang kita tanyai, ju-ga belum pernah
mendengarnya...," tutur Kenanga membuka percakapan. Tapi dalam nada suaranya sa-
ma sekali tidak mencerminkan keluh.
"Mungkin Desa Simpang masih sangat jauh dari
tempat ini. Apalagi bila mengingat Pendekar Pedang
Tujuh Lautan dan Dewa Elang Hitam yang sampai
memerlukan waktu tujuh hari untuk membawa pergi
Laka Sora. Jadi bisa disimpulkan, Desa Simpang tentu masih sangat jauh dari
sini. Toh yang penting, kita ti-
dak terburu-buru dalam melakukan perjalanan," sahut Panji perlahan. Dia memang
tidak ingin kalau pembi-caraan ini sampai mengganggu orang-orang yang se-
dang makan. Pembicaraan terhenti ketika pelayan kedai da-
tang membawa makanan pesanan Panji. Tepat ketika
pelayan itu menyelesaikan tugasnya, mereka makan
dengan tenang tanpa berbicara lagi.
Tak lama mereka makan. Begitu selesai, Panji
segera beranjak untuk membayar semua makanan
yang dipesan. Baru setelah itu mengajak Kenanga dan Laka Sora untuk segera
melanjutkan perjalanan.
Ketika tiba di luar kedai, mereka berpapasan
dengan empat orang lelaki yang semuanya berpakaian
coklat tua. Keempat orang yang hendak memasuki ke-
dai ini, seketika menghentikan langkah. Langsung mereka menatap sepasang
pendekar muda itu, serta Laka Sora dengan kening berkerut.
"Kisanak, tunggu sebentar...!"
Tiba-tiba salah seorang yang berkumis lebat ber-
seru, mencegah langkah ketiga orang yang sejak tadi diperhatikannya.
Medali Wasiat 12 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Kuda Binal Kasmaran 3
^