Pencarian

Tongkat Delapan Naga 1

Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga Bagian 1


TONGKAT DELAPAN NAGA Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Tongkat Delapan Naga
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Di tengah padang rumput yang luas dan sunyi, dua
sosok bayangan melesat dengan kecepatan tinggi. Me-
reka seperti tengah berlomba dan saling mengungguli dalam ilmu meringankan
tubuh. Kelihatan betapa keduanya sama-sama mengerahkan segenap kemam-
puan untuk dapat mencapai sebuah tanah perbukitan
di depan mereka.
"Haiiittt..!"
Ketika tinggal beberapa tombak lagi keduanya men-
capai bukit, tiba-tiba sosok yang berlari di sebelah kanan memekik nyaring.
Tubuhnya yang pendek gemuk
melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali.
Kemudian menjejakkan kaki dengan ringan di atas ta-
nah. "Ha ha ha...! Ternyata ilmu meringankan tubuhku
masih lebih unggul daripada kau, Kakang...!"
Sosok gemuk pendek itu tertawa gelak, hingga perut
buncitnya tampak berguncang. Wajahnya tampak ber-
seri-seri, merasa bangga karena berhasil mencapai bukit itu lebih dulu daripada
kawannya. Sosok kedua yang bertubuh tinggi kurus dan ber-
mata sayu, memang kalah cepat dengan kawannya.
Kendati perbedaannya hanya sekejapan mata, ia tetap tiba belakangan. Disambutnya
kekalahan itu dengan
senyum getir. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulutnya.
Kedua sosok tubuh yang telah tiba di kaki bukit itu sama-sama menjatuhkan diri
di atas rerumputan kering. Wajah keduanya tampak agak memerah dan dipe-
nuhi peluh. Mereka telah berlomba menempuh jarak
yang cukup jauh. Kendati demikian, deru napas mere-
ka terdengar tidak memburu. Hal itu menandakan
bahwa kedua orang itu memang telah terlatih dengan baik.
Plok! Plok! Plok!
Saat keduanya tengah melepaskan kelelahan, tiba-
tiba terdengar suara tepukan yang mengandung keku-
atan tenaga dalam tingkat tinggi. Karuan saja mereka tersentak kaget, dan segera
menolehkan kepala ke
arah suara tepukan itu. Dan..., betapa terkejut hati keduanya ketika melihat
seorang bertubuh jangkung
dengan kumis lebat telah berdiri tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.
"Hua ha ha...! Hebat..., hebat! Suatu ilmu merin-
gankan tubuh yang mengagumkan. Tapi sayang masih
terlalu mentah...!"
Sambil berdiri dan menatap penuh ejekan, sosok
bertubuh jangkung melontarkan kata-kata yang jelas
memandang rendah kedua orang itu.
Meskipun kata-kata itu jelas merupakan sebuah
penghinaan, keduanya masih tetap tenang dan berdiri sambil menatap sosok
jangkung itu dengan penuh
perhatian. Kemudian terdengar ucapan yang membuat
sosok jangkung mengerutkan kening agak heran.
"Hm..., kata-katamu sungguh tepat sekali, Ki- sa-
nak! Kami memang tak bermaksud memamerkan ke-
pandaian yang tak seberapa ini di hadapanmu. Kalau
boleh tahu, siapa Kisanak ini" Dan ada keperluan apa menghampiri kami...?"
Sosok tinggi kurus bermata sayu berkata sambil
menatap tajam sosok di depannya, seakan hendak
mengenali siapa sebenarnya sosok jangkung itu.
Lelaki bertubuh jangkung dan berkumis lebat yang
berusia sekitar enam puluh lima tahun itu tertegun
beberapa saat. Dirinya sama sekali tak menduga akan
mendapat jawaban seperti itu Sehingga untuk bebera-
pa saat lamanya, ia hanya berdiri mematung karena
kehilangan kata-kata. Hal itu tak berlangsung lama.
Karena kemudian terdengar suaranya yang menggele-
gar penuh ejekan.
"Hua ha ha...! Apa kalian tak akan lari terbirit-birit kalau ku perkenalkan nama
besarku?" Seketika itu juga wajah kedua lelaki pendek gemuk
dan si tinggi kurus bermata sayu berubah merah pa-
dam mendengar ucapan bernada menghina itu. Kedu-
anya saling bertukar pandang sejenak dengan tangan
terkepal. Kemudian kembali berpaling kepada lelaki tua bertubuh jangkung dan
berkumis tebal yang masih tertawa terbahak-bahak.
"Maafkan kami yang tak mengenal nama besarmu,
Ki! Maklumlah kami hanya perantau yang memiliki se-
dikit bekal untuk menjaga diri," ujar lelaki tinggi kurus. "Dan karena takut
kemalaman di jalan, maka ka-
mi harus mempercepat perjalanan dengan berlomba."
Lelaki tinggi kurus bermata sayu berusaha mene-
kan kemarahan dalam dadanya. Biar bagaimanapun
dirinya tak ingin bertindak ceroboh. Sebab hatinya
menduga kalau lelaki berwajah kasar yang mengha-
dang mereka bukan orang sembarangan. Terbukti so-
sok bertubuh jangkung itu dapat membaca ilmu me-
ringankan tubuh, bahkan melontarkan hinaan.
"Hua ha ha...! Tokoh-tokoh Perguruan Gunung
Sumbing mengaku perantau kemalaman! Kalau begitu,
aku, Tongkat Delapan Naga akan segera mencarikan
tempat untuk kalian beristirahat..!"
Begitu Ucapannya selesai, sosok jangkung berkumis
lebat yang mengaku berjuluk Tongkat Delapan Naga
itu langsung melesat ke depan dengan kecepatan kilat Dan sebatang tongkat kepala
naga di tangan kanannya
meluncur ke depan. Suara bergemuruh yang timbul
dari lesatannya menandakan betapa kuat tenaga sakti yang terkandung dalam
hantaman tongkat hitam itu.
Whuttt...! Dua orang lelaki yang memang merupakan tokoh-
tokoh Perguruan Gunung Sumbing itu cepat melompat
ke belakang. Keduanya langsung berpencar ke kiri kanan, bersiap untuk menghadapi
serangan selanjutnya.
Mereka sadar bahwa Tongkat Delapan Naga bukanlah
sekadar menggertak saja.
"Hati-hati, Adi Gumilang...!"
Lelaki tinggi kurus bermata sayu mengingatkan ka-
wannya. Dari serangan tongkat kepala naga barusan,
ia tahu betapa kuat tenaga dalam Tongkat Delapan
Naga itu. Lelaki pendek gemuk yang bernama Gumilang
hanya mengangguk tipis. Lalu tanpa banyak bicara lagi tangannya meloloskan
sebatang golok besar yang pada bagian punggungnya bergerigi.
Bwet! Bwettt..!
Gumilang memutar-mutar golok besarnya hingga
menimbulkan suara berkesiutan. Menilik dari caranya, jelas Gumilang seorang yang
ahli dalam permainan il-mu golok. Tak mengherankan karena lelaki gemuk itu
termasuk salah seorang tokoh Perguruan Gunung
Sumbing. Tadi pun Gumilang sudah memperlihatkan kelebi-
han dengan mengalahkan kawannya dalam ilmu lari
cepat. Padahal lelaki tinggi kurus bermata sayu yang bernama Gompala itu kakak
seperguruannya. Namun
Gompala hanya memiliki kelebihan dalam hal pengua-
saan ilmu tenaga dalam.
"Haaattt..!"
Disertai teriakan keras, Gumilang menerjang maju.
Golok besarnya berkelebatan cepat membentuk gulun-
gan sinar yang menderu-deru.
Untuk sesaat Tongkat Delapan Naga dibuat kagum
oleh kehebatan ilmu golok lawannya. Bibirnya bergerak membentuk senyum mengejek.
Kemudian dengan sebuah gerakan cepat, tubuhnya yang jangkung bergerak menyelinap
di antara sambaran sinar golok Gumilang.
Gerakan Tongkat Delapan Naga memang hebat bukan
main! Gumilang sama sekali tak berhasil menyarang-
kan golok besarnya ke tubuh lawan. Sebab, sebelum
ujung goloknya datang menyambar, sosok Tongkat De-
lapan Naga telah lebih dulu lenyap dari pandangan
mata. Sehingga, Gumilang tampak bagaikan mengejar
bayangan goloknya sendiri.
"Hea...!"
Melihat kawannya mulai kewalahan, Gompala pun
tak tinggal diam. Diiringi pekikan nyaring, tubuhnya melesat ke tengah arena.
Tangan kanannya yang
menggenggam sebatang pedang, langsung melancar-
kan serangan kilat yang mengarah bagian-bagian ter-
lemah di tubuh lawan.
Wut! Wuttt..! Trak! Trakkk...!
"Heh!"
Dua kali sambaran pedang Gompala dapat digagal-
kan oleh tongkat hitam lawannya. Akibat benturan itu tubuh Gompala tergetar
mundur sampai beberapa
langkah. Wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri
pada lengannya. Untung genggamannya sangat kuat
Kalau tidak, pasti pedang di tangannya terlepas saat Tongkat Delapan Naga
menangkisnya. "Satu...!"
Wuttt..! Tongkat Delapan Naga yang berhasil memukul
mundur Gompala, tiba-tiba membentak keras. Disusul
dengan sambaran tongkatnya memburu tubuh pendek
gemuk Gumilang.
Blukkk...! "Hukh...!"
Gumilang yang tak sempat menyadari datangnya
ancaman ujung tongkat dengan kecepatan tinggi itu,
terpental deras dengan tubuh membungkuk. Ujung
tongkat lawan menghantam telak perut buncitnya.
Hingga, Gumilang terbanting ke tanah, tak sanggup
mempertahankan kuda-kudanya.
"Hua ha ha...!"
Tongkat Delapan Naga tertawa parau. Sesaat kemu-
dian tubuhnya kembali menerjang sambil menghan-
tamkan tongkat dari atas ke bawah, sebelum Gumilang sempat berdiri tegak.
"Hah...?"
Prakkk...! Malang nian nasib Gumilang. Belum lagi sempat
menyadari bahaya, tahu-tahu kepalanya terhantam
tongkat lawan. Pukulan tongkat yang dikerahkan den-
gan tenaga dalam itu langsung mengakibatkan kepa-
lanya retak. Darah segar pun mengalir membasahi ke-
pala seiring tubuhnya yang terbanting ke rerumputan.
Seketika itu pula Gumilang tewas.
"Adi Gumilang..."!"
Gompala memekik dengan wajah pucat Tubuhnya
menggigil melihat Gumilang terkapar berlumuran da-
rah. Dia telah menduga apa yang dialami kawannya.
"He he he...! Sudah kubilang kalau aku akan mengi-
rim kalian berdua ke akherat..," ujar Tongkat Delapan Naga dengan tertawa
terkekeh-kekeh, yang bagi Gompala tentu saja terdengar menyakitkan.
"Keparat! Apa salah kami! Mengapa kau berlaku se-
kejam ini!" pekik Gompala yang dadanya bagai hendak meledak menahankan dendam
dan amarah. "He he he...! Sebaiknya kau bersiap saja untuk me-
nyusul kawanmu.,.!" tukas Tongkat Delapan Naga seo-
lah, tak peduli dengan kemarahan dan rasa penasaran Gompala. Bahkan mulutnya
tersenyum sinis, membuat Gompala tak sanggup lagi menahan kemarahan-
nya. "Sekarang terimalah pembalasanku ini, Iblis Keji!
Heaaa...!"
Dengan kemarahan yang menggelegak, Gompala
menerjang maju. Pedangnya berputaran menimbulkan
gulungan sinar putih yang mengaung bagaikan ratu-
san lebah marah.
Namun Tongkat Delapan Naga menghadapinya
sambil tertawa terkekeh-kekeh, seakan menganggap
remeh lawan. Serangan pedang yang dilakukan Gom-
pala sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuhnya
yang jangkung. Sebab, gerakan Tongkat Delapan Naga
memang cepat luar biasa. Sehingga, meskipun Gompa-
la telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap
saja tak berdaya menghadapi kecepatan gerak lawan.
Bahkan ketika pertarungan menginjak pada jurus ke-
tiga puluh, Gompala tak sempat menghindari sebuah
hantaman tongkat lawan pada tubuhnya.
"Hih...!"
Blukkk...! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu terlempar deras. Darah segar
menyembur dari mulutnya.
Dan sebelum dirinya sempat mengatur keseimbangan,
sebuah pukulan keras menghantam tubuhnya. Seketi-
ka dada Gompala remuk. Mulutnya mengerang mena-
han rasa sakit yang mendera.
"Kau...,"
Gompala tak sempat lagi menyelesaikan ucapannya,
karena tubuhnya ambruk dan langsung tewas.
"Hua ha ha...!"
Tongkat Delapan Naga terbahak-bahak melihat ke-
dua lawannya terkapar tewas berlumuran darah. Se-
saat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan kaki
Bukit Gundul. Hanya gema suara tawanya yang masih
terdengar sayup-sayup.
***

Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinar matahari terasa panas menyengat kulit. Angin
sesekali bertiup kencang membawa hawa pengab,
membuat orang berpeluh. Seorang pemuda tampan
berjubah putih melangkah tenang di bawah terik ma-
tahari. Kakinya mengayun ringan, dan dengan tenang
memasuki mulut Desa Kranggan. Jubahnya yang pan-
jang dan berwarna putih berkibaran tertiup angin
siang itu. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Panji, yang di
kalangan persilatan lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih. Kabar
tentang berbagai peristiwa
yang menimpa kaum persilatan akhir-akhir ini mem-
buat langkahnya sampai ke Desa Kranggan. Sebagai
seorang pendekar, Panji merasa berkewajiban untuk
menyelidiki pelaku dari semua kejadian yang diden-
garnya. Cukup lama Panji menyusuri jalan utama desa itu,
sampai akhirnya menemukan sebuah kedai minum
yang cukup ramai pengunjung. Namun belum sempat
kakinya menyentuh ambang pintu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan kasar.
Mulanya Panji tidak begitu peduli, tapi ketika men-
dengar adanya suara jerit kesakitan di sela bentakan,
ia pun menolehkan kepala. Keningnya berkerut ketika melihat adanya kerumunan
penduduk yang memandang ke satu arah. Merasa penasaran dan ingin tahu, Panji
segera mengayun langkahnya hendak melihat
apa yang menarik perhatian sebagian penduduk desa
itu. Kemudian menyeruak kerumunan untuk melihat
apa yang sedang terjadi.
Beberapa tombak di hadapan Panji tampak seorang
lelaki berwajah kasar tengah membentak-bentak sam-
bil memukuli lelaki lain yang berusia setengah baya.
Lelaki setengah baya yang berpakaian petani miskin
itu menjawab dengan suara gemetar ketakutan. Bebe-
rapa luka memar tampak menghias wajah tuanya, saat
menengadah. Karena saat itu dirinya, tengah berlutut di bawah kaki lelaki
berwajah kasar yang menyiksanya.
Panji yang belum mengetahui duduk persoalannya,
tentu saja tak berani mengambil tindakan. Pemuda
tampan itu berdiri memandang dengan kening berke-
rut penuh perhatian. Namun biar bagaimanapun di-
rinya tentu saja tak setuju dengan perbuatan lelaki kasar itu yang menyiksa
orang semaunya.
"Ingat, Parta! Perbuatanmu ini akan menjadi mala-
petaka bagi seluruh keluargamu!" bentak lelaki kasar itu dengan suara
menggelegar. 'Tapi Tuan, aku betul-betul belum mempunyai uang
untuk membayar hutang-hutang itu. Tolonglah! Beri
aku waktu beberapa hari lagi untuk melunasinya...!"
ujar lelaki setengah baya, yang dipanggil Parta. Suaranya gemetar dan terbata-
bata. Tapi..., Blukkk...! "Aduuuh...! Ampun, Tuan!"
Sebuah tendangan keras menghantam iga Parta.
Karuan saja tubuhnya yang tengah berlutut, langsung terjengkang dan terguling.
Mulutnya meringis-ringis kesakitan sambil memegangi iganya yang terasa remuk.
Dari celah-celah bibirnya tampak mengalir cairan merah. Kendati demikian, lelaki
malang itu tetap tak berani bangkit untuk melawan, bahkan tetap bersimpuh dan
menyembah-nyembah.
"Bangsat! Orang tua keras kepala! Apa kau ingin se-
luruh keluargamu digantung Juragan Labang"! Kau
tahu, sudah berapa lama tak membayar hutang-
hutangmu itu"! Hampir dua bulan, tahu! Dan setiap
kali ditagih, selalu bilang tak punya uang!
Lalu, apa saja kerjamu selama ini, hah!" bentak le-
laki kasar itu semakin geram. Tangannya kembali te-
rangkat siap untuk menghajar orang tua malang itu.
Namun gerakannya terhenti ketika mendengar suara
halus, disusul munculnya seorang gadis manis yang
langsung menghambur ke arah lelaki tua yang tengah
bersimpuh itu. "Ayaaah...!"
Tubuh semampai itu langsung memeluk tubuh Par-
ta yang tengah bersimpuh sambil mengiba-iba. Sejenak mata tua lelaki itu
membelalak kaget. Kemudian berubah diliputi kekhawatiran yang dalam.
"Warti! Mengapa kau kemari, Nak" Tak tahukah
bahwa kedatanganmu justru akan semakin memper-
buruk keadaan" Ya, Tuhan..., selamatkanlah anakku
dari kekejaman orang-orang berhati iblis itu...!" ujar Parta dengan suara
gemetar penuh rasa takut dan cemas.
Kekhawatiran yang ditunjukkan lelaki tua itu tak
berlebihan. Sebab orang yang disebut dengan nama
Juragan Labang oleh lelaki kasar yang menyiksanya
itu, seorang juragan tanah mata keranjang. Apabila
sampai mengetahui bahwa dirinya mempunyai seorang
putri yang masih remaja, terlebih berwajah cantik dan menarik seperti Warti,
juragan tanah itu sudah pasti tak akan tinggal diam. Putrinya jelas bakal
terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Jangankan Warti yang masih
gadis. Wanita bersuami pun, kalau Juragan Labang menginginkan, tak seorang pun
yang bisa menolongnya. Itu sebabnya mengapa petani
tua itu sangat khawatir akan nasib putrinya.
*** 2 'Tidak, Ayah! Aku tak tahan melihat orang-orang ke-
jam ini menyiksamu terus-menerus. Aku..., aku tak
tahan, Ayah!"
Warti, gadis desa berwajah manis berusia sekitar
tujuh belas tahun itu sama sekali tak peduli. Ia me-nangis keras sambil memeluk
tubuh ayahnya disaksi-
kan puluhan pasang mata yang telah menjadi basah.
Mereka tentu saja merasa kasihan melihat kemalangan yang menimpa keluarga itu.
Namun, tak ada yang dapat mereka lakukan, karena tak seorang pun yang be-
rani menentang Juragan Labang. Terlebih lelaki kasar yang melakukan penyiksaan
itu merupakan salah seorang dari sekian banyak tukang pukul yang sangat kejam.
Tidak demikian halnya dengan Warti. Ia yang sela-
ma ini disembunyikan ayahnya dan tak pernah keluar
rumah, sama sekali tak merasa takut Matanya yang
basah, tiba-tiba menatap lelaki kasar yang menyiksa ayahnya. Tatapan mata gadis
itu demikian tajam serta memancarkan kemarahan dan kebencian.
"Kalian manusia berhati iblis yang tak punya pera-
saan! Mengapa sekarang kalian diam" Ayo, bunuh ka-
mi! Siksa kami! Lebih baik mati daripada diperlakukan seperti binatang begini!"
teriak Warti seraya bergerak bangkit dan berdiri dengan sikap menantang.
Semenjak melihat kedatangan Warti yang berwajah
cantik dan bertubuh menggairahkan itu, lelaki kasar, tukang pukul Juragan Labang
yang didampingi dua
orang kawannya, tersenyum licik. Di benaknya seketi-ka terbayang sekantung uang
yang sudah pasti bakal
didapat apabila bisa membawa gadis itu ke hadapan
majikannya. Maka, ia sama sekali tak peduli terhadap caci maki gadis itu. Bahkan
sikap garangnya lenyap
seketika. "He he he...! Anak gadis Pak Tua itu boleh juga, Kakang...," bisik salah seorang
dari kedua kawan lelaki kasar itu. Mulutnya menyeringai dengan sepasang ma-ta
menjelajahi sekujur tubuh Warti.
"Wah, kita bakal mendapat hadiah besar dari Jura-
gan Labang jika dapat membawa gadis itu ke hada-
pannya...!" yang satunya lagi menimpali. Wajahnya
tampak berseri membayangkan uang yang bakal dite-
rima dari majikan mereka.
Sebenarnya tanpa ucapan kedua kawannya pun, le-
laki kasar yang tadi menyiksa orangtua Warti sudah
tahu apa yang harus dilakukannya. Senyumnya tam-
pak semakin lebar ketika mendengar ucapan kedua
kawannya. Perlahan kakinya melangkah menghampiri
Warti dan ayahnya.
"Hm..., Pak Tua! Kalau saja anakmu itu mau datang
menghadap Juragan Labang dan membicarakan masa-
lah hutangmu, kami yakin kau malah akan menda-
patkan keuntungan besar. Selain hutang-hutangmu
lunas, kau pun pasti akan mendapatkan modal besar
untuk membeli bibit-bibit tanaman atau pun peralatan pertanian. Nah, bukankah
kehidupanmu bisa mening-kat lebih baik?"
Lelaki kasar yang semula berwajah bengis dan tak
berperasaan itu, kini berkata manis membujuk. Tentu saja sikap itu dibuat-buat.
Mendengar ucapan tukang pukul Juragan Labang
itu, ayah Warti bukan merasa gembira, tetapi sebaliknya. Wajahnya tampak memucat
dengan mata terbela-
lak lebar menyiratkan rasa takut yang tak dapat disembunyikan. Lelaki setengah
baya itu telah mem-
bayangkan apa maksud lelaki kasar itu. Merasa tak
berdaya, petani tua itu mengalihkan tatapan matanya ke tempat kerumunan
penduduk, seolah hendak meminta pertolongan. Namun setiap wajah yang menda-
pat tatapan matanya, selalu menunduk. Parta memak-
lumi, bahwa tak seorang pun di antara para penduduk yang ingin mencari penyakit
Karena mencampuri urusan itu berarti melawan Juragan Labang.
'Tuan, kasihanilah kami yang miskin ini! Berilah
waktu dua hari! Aku berjanji akan melunasi hutang-
hutangku. Janganlah putri ku yang tak tahu apa-apa, harus dibawa...!" akhirnya
Parta meminta belas kasihan. Sebab dirinya tak bisa mengharapkan bantuan
penduduk yang hanya berkerumun dan menatap pe-
nuh iba. Jawaban tak menyenangkan itu membuat tukang
pukul Juragan Labang menggeram gusar. Wajahnya
yang semula dibuat seramah mungkin, berubah ben-
gis. Bahkan sepasang matanya menyorot tajam menyi-
ratkan ancaman.
"Ah, sudahlah, Kang! Untuk apa melayani monyet
tua tak berguna itu"! Bawa saja anak gadisnya. Kalau ia melawan, biar aku yang
kasih hadiah!" usul salah
seorang tukang pukul Juragan Labang yang berkumis
tebal dan bermata lebar.
"Jangan, Tuan! Kasihanilah kami...!"
Parta tampak semakin gelisah. Dipegangnya lengan
Warti yang juga mulai ketakutan, karena wajah ketiga lelaki kasar itu berubah
garang menakutkan.
"Minggat kau! Tua bangka tak tahu diuntung!" ben-
tak lelaki kasar itu sambil melayangkan pukulan ke
tubuh Parta. Petani malang itu terjungkal ke tanah.
Plakkk...! "Manusia kejam! Iblis...!"
Warti berteriak-teriak dengan air mata berlinang.
Karena marah melihat keadaan ayahnya, tanpa pikir
panjang, gadis cantik itu langsung menyerbu dan me-
mukuli tubuh lelaki kasar yang memukul ayahnya.
Namun apa artinya pukulan seorang gadis lemah
seperti Warti. Pukulan-pukulan itu tentu saja tidak menimbulkan rasa sakit bagi
tukang pukul Juragan
Labang. Lelaki kasar itu kemudian menangkap kedua
tangan Warti. "Lepaskan aku! Kau bukan manusia! Kau pantas-
nya menjadi iblis penghuni neraka jahanam...!"
"Diam!"
Plakkk! Tubuh Warti yang meronta-ronta sekuat tenaga,
langsung terpelanting akibat tamparan keras mendarat di wajahnya. Sebelum gadis
itu sempat bangkit, lelaki kasar itu telah menyeret tangannya dan dipaksa
bangkit. "Suka atau tidak kau tetap akan kubawa mengha-
dap majikanku!" bentak lelaki kasar itu sambil men-
jambak rambut Warti hingga terangkat menatapnya.
Panji yang semenjak tadi mengikuti kejadian itu,
sudah siap untuk menolong ayah-beranak yang ma-
lang itu. Namun niat untuk itu terpaksa diurungkan.
Karena tiba-tiba ada sesosok bayangan putih yang
berkelebat mendahuluinya. Akhirnya Panji memu-
tuskan untuk melihat perkembangan selanjutnya.
"Hei, Anjing-anjing Busuk! Hendak kau bawa ke
mana gadis itu"!" bentak sosok bayangan tadi yang
sudah berdiri dengan kaki terpentang. Jelas kalau ia hendak mencegah perbuatan
tiga orang tukang pukul
Juragan Labang itu.
Panji sempat mengerutkan kening ketika melihat
sosok bayangan putih itu ternyata seorang gadis mu-
da. Ingatannya langsung melayang pada wajah Kenan-
ga, kekasihnya. Sebab, gadis berpakaian serba putih berusia sekitar delapan
belas tahun itu, memiliki wajah cantik dan manis. Namun, sorot matanya tampak
demikian tajam menusuk jantung. Sekilas saja Panji
tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan mampu
menolong Warti dan ayahnya.
Teringat akan Kenanga, Panji pun kembali tersadar
apa yang tengah dilakukannya saat itu. Dirinya dan
Kenanga memang sengaja berpisah untuk menyelidiki
orang-orang yang telah melakukan serangkaian keja-
hatan dengan membunuhi beberapa tokoh persilatan
serta murid-murid perguruan terkenal. Adanya bebe-
rapa kejadian yang berlangsung dalam waktu bersa-
maan, membuat keduanya memutuskan berpisah un-
tuk sama-sama menyelidiki si pembuat kekacauan itu.
Itu sebabnya Pendekar Naga Putih datang seorang diri ke Desa Kranggan.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Sosok bayan-
gan putih yang ternyata seorang gadis muda itu me-
mang bukan wanita sembarangan. Terbukti selain ge-
rakannya sangat cepat tampak sebilah pedang tergan-
tung di punggung. Jelas gadis muda itu dari kalangan
persilatan yang tentu saja memiliki kepandaian. Kalau tidak, mana berani
mencampuri urusan itu.
'Turunkan gadis itu, atau nyawa kalian melayang!"
Gadis cantik berpakaian serba putih itu kembali
membentak galak Jari telunjuknya menuding Warti
yang saat itu berada dalam pondongan salah seorang
tukang pukul Juragan Labang.
"Wah..., Kakang! Gadis desa ini tak ada artinya bila dibandingkan dengannya!"
salah seorang kawan lelaki kasar itu berseru dengan wajah membayangkan kekaguman
yang sangat Kemudian kembali menyambung
ucapannya, "Eh, Nini yang cantik dan manis, apa kau ingin menggantikan gadis ini
untuk kami bawa menghadap Juragan Labang" Kalau kau bersedia, dengan
senang hati gadis ini akan kami bebaskan. Bahkan hutang-hutang tua bangka itu
pun akan kami anggap lu-
nas...!" Rupanya salah seorang dari ketiga tukang pukul


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juragan Labang itu tidak sabar. Tangannya menjulur hendak menangkap lengan
berkulit kuning langsat dan halus milik gadis itu.
Plakkk! "Auuuh...!"
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja lela-
ki yang hendak menangkap tangan gadis cantik berpa-
kaian serba putih itu terpelanting sambil menjerit kesakitan. Tubuhnya
terbanting ke tanah. Dari celah-
celah bibirnya terlihat cairan merah mengalir keluar.
Tampak bibirnya pecah akibat tamparan kilat yang dilancarkan gadis itu.
"Bangsat! Perempuan setan! Kau rupanya mencari
mampus!" sambil membentak penuh amarah, tangan
lelaki berkumis lebat dan bermata lebar itu langsung bergerak mencabut pedang di
punggungnya. Sringngng! Sebentuk sinar putih berkeredep ketika pedang ter-
cabut dari sarungnya. Dan...,
"Haaattt..!"
Wut! Wuttt...! Disertai teriakan nyaring, lelaki berkumis lebat itu bergerak menerjang. Pedang
di tangannya berkelebatan cepat membentak kilatan sinar dan suara berke-
siut. "Hm...,"
Gadis cantik berpakaian serba putih itu hanya
mendengus perlahan. Kakinya bergerak ke kanan,
sambaran pedang itu pun lewat dari sasarannya. Saat itu pula kaki kirinya
bergerak cepat melakukan sebuah tendangan kilat ke perut lawan.
"Heaaa...!"
Bukkk! "Hukh!"
Tendangan kaki mungil itu mendarat telak pada sa-
sarannya. Akibatnya sungguh mengagumkan! Tubuh
lelaki berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar itu terdorong ke belakang lalu
terjungkal ke tanah.
Beberapa saat lamanya, lelaki itu tak mampu bang-
kit Tendangan gadis itu membuat isi perutnya bagai
hendak termuntah keluar. Sehingga, ia hanya bisa meringis dan memandang dengan
sinar mata penuh den-
dam. Kejadian itu tentu saja di luar dugaan dua orang
tukang pukul lainnya. Mereka hampir tak percaya ka-
lau gadis cantik yang kelihatan lemah itu ternyata
sanggup membuat kawan mereka roboh tak berdaya
hanya dengan sekali gebrak!
"Perempuan iblis! Siapa kau sebenarnya" Dan apa
maksudmu mencampuri urusan kami"!" bentak lelaki
kasar itu gusar, penuh kemarahan. Meskipun sebe-
narnya agak gentar, mereka merasa malu untuk me-
nunjukkan kelemahan di depan para penduduk.
"Hm..., kalian ingin kenal siapa aku" Nah, dengar-
lah baik-baik!. Aku Dewi Kematian, yang akan menca-
but nyawa kalian sekarang juga!" gadis cantik berpakaian serba putih itu
menyahut dengan senyum men-
gejek. "Keparat! Tidak peduli siapa pun kau adanya, yang
jelas kau akan menerima akibat dari kelancanganmu
ini!" lelaki kasar bertubuh kekar berotot, yang menjadi pimpinan kedua orang
kawannya, membentak sambil
menggenggam pedang erat-erat Tubuhnya langsung
merangsek maju diikuti kawannya yang juga sudah
menghunus pedang.
"Heaaattt..!"
Wut! Wuttt! Serangan kedua orang tukang pukul Juragan La-
bang itu memang cukup cepat dan kuat Namun tidak
demikian anggapan gadis cantik yang mengaku seba-
gai Dewi Kematian. Dengan hanya menggeser-geser tu-
buhnya, sambaran pedang kedua orang lawannya sela-
lu saja dapat dihindarkan. Bahkan ketika ia mulai-
membalas, kedua orang tukang pukul itulah yang
menjadi kewalahan dibuatnya.
Panji menyaksikan perkelahian itu dengan hati ter-
kejut Hatinya sama sekali tak menyangka, kalau gadis cantik berpakaian serba
putih itu ternyata tokoh yang berjuluk Dewi Kematian. Nama tokoh itu memang
telah cukup lama didengarnya. Sebab, sepak terjang
Dewi Kematian memang membikin penasaran para to-
koh persilatan khususnya golongan putih.
Dewi Kematian memang selalu menentang kejaha-
tan. Namun tindakannya terlalu kejam. Tidak aneh
memang kalau tokoh itu dijuluki sebagai Dewi Kema-
tian. Sebab, setiap penjahat yang naas berjumpa dengannya, sudah pasti tak bakal
selamat! Dewi Kematian tak pernah membiarkan setiap pelaku kejahatan hidup
apabila berjumpa dengannya.
"Hm..., siapa sangka tokoh yang memiliki julukan
sedemikian menyeramkan itu ternyata hanya seorang
gadis muda yang berwajah cantik dan manis. Kalau tidak mendengar sendiri,
rasanya aku tak bisa percaya begitu saja...," gumam Panji tanpa mengalihkan
pandangannya dari arena perkelahian.
*** "Hiaaat...!"
Dewi Kematian yang sudah mendesak kedua la-
wannya hingga tak berdaya, tiba-tiba mengeluarkan
lengkingan tinggi yang mengejutkan! Kemudian dis-
usul dengan lesatan tubuhnya yang sulit diikuti mata.
Dan..., Wuttt! Bret! Brettt...!
"Aaa .!"
Terdengar jeritan yang panjang merobek udara
siang. Disusul kemudian dengan robohnya kedua
orang tukang pukul Juragan Labang dengan tubuh
bersimbah darah. Kedua lelaki muda itu seketika te-
was dengan tubuh bagian depan tergores luka meman-
jang seperti bekas sambaran mata pedang. Padahal tak seorang pun melihat adanya
pedang di tangan gadis
cantik berpakaian serba putih itu.
Pendekar Naga Putih yang masih mengawasi gadis
itu tampak tersenyum. Seberapa pun kecepatan gerak
yang dilakukan Dewi Kematian itu tak dapat mengela-
bui matanya. Meski gerakan wanita cantik itu demi-
kian cepat sewaktu mencabut dan menyarungkan pe-
dang, semua dapat dilihat Panji dengan jelas. Dan
memang hanya dirinya seoranglah yang tahu kalau
kedua orang lelaki kasar itu terbunuh oleh tebasan
pedang Dewi Kematian.
Tewasnya kedua orang tukang pukul Juragan La-
bang itu, membuat para penduduk yang berkerumun
merasa ketakutan! Satu persatu mereka bergerak me-
ninggalkan tempat itu. Para penduduk tak ingin terlibat dan terbawa-bawa, karena
tentu saja akan mem-
buat susah hidup mereka.
Dewi Kematian sendiri sama sekali tak peduli. Den-
gan langkah tenang, dihampirinya tukang pukul ber-
kumis tebal yang masih terduduk merasakan sakit pa-
da perutnya. Tanpa berkata sepatah pun, kaki mungil wanita cantik ini langsung
saja bergerak. Bukkk! 'Pergi kau, Anjing Buduk! Laporkan pada majikan-
mu bahwa Dewi Kematian akan berkunjung untuk
mengambil kepalanya!" bentak Dewi Kematian.
Tukang pukul Juragan Labang itu tampak meringis
kesakitan. Terdengar suara rintihan dari mulutnya.
Hati lelaki berwajah kasar itu pun merasa bimbang.
Namun, ketika Dewi Kematian kembali mengulang
bentakannya, langsung saja ia memaksa diri bangkit
Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Dewi Kematian berdiri
terpaku memandangi kepergian lelaki itu. Kendati demikian, telinganya menangkap
gerakan dua orang yang ditolongnya. Kedua anak
dan bapak itu bergerak menghampiri.
"Nisanak..., terima kasih atas pertolonganmu. En-
tah apa yang akan terjadi dengan putri ku tanpa pertolonganmu. Sekali lagi, kami
mengucapkan terima ka-
sih...," ujar Parta dengan terbungkuk-bung- kuk sambil menggandeng tangan
putrinya. "Bangunlah, Paman! Dan kau juga, Adik Manis.
Bangunlah! Yang kulakukan tadi bukan apa-apa. Lagi
pula mereka memang pantas menerima kematian.
Orang-orang seperti itu tak boleh dibiarkan hidup!
Hanya menyusahkan orang lain saja," ujar Dewi Kema-
tian dengan suara dingin.
"Nisanak...," Parta, lelaki tua itu kembali memang-
gil, "Sebaiknya Nini segera meninggalkan desa ini. Ka-mi khawatir orang-orang
tadi akan datang dengan
membawa kawan-kawan mereka yang lain dalam jum-
lah banyak. Tukang-tukang pukul Juragan Labang ra-
ta-rata pandai ilmu silat Terutama sekali orang yang bernama Sarpala. Bahkan
kalau tak salah dijuluki sebagai Golok Tanpa Bayangan. Aku sendiri belum men-
gerti mengapa dijuluki demikian. Yang jelas kami merasa khawatir kalau sampai
Nisanak celaka di tangan mereka...,"
"Hm..., aku memang akan pergi, Paman. Tapi bukan
untuk meninggalkan desa ini. Melainkan untuk men-
gunjungi orang yang bernama Juragan Labang itu!" jelas Dewi Kematian yang tentu-
saja membuat ayah be-
ranak itu merasa terkejut.
'Tapi..., jumlah tukang pukul Juragan Labang san-
gat banyak sekali! Sangat berbahaya kalau Nisanak
yang seorang diri harus menghadapi mereka. Apalagi
mereka orang-orang yang licik dan sangat kejam. Aku bukan hendak menakut-nakuti.
Tapi, sudah ada beberapa orang jago silat mendatangi Juragan Labang un-
tuk meminta agar menghentikan perbuatannya yang
memeras penduduk. Tapi, mereka semua tewas bah-
kan kepalanya digantung di balai desa! Maksudnya
tentu saja agar penduduk semakin takut dan tak be-
rani berbuat macam-macam," Parta menjelaskan den-
gan wajah penuh kecemasan. Kelihatannya lelaki tua
itu tak ingin orang lain mendapat celaka hanya karena membela keluarganya.
"Hm..., jadi orang yang bernama Juragan Labang itu
lintah darat" Dan apa yang menyebabkan mereka me-
nyiksamu seperti ini, Paman?" tanpa mempedulikan
kecemasan petani tua itu, Dewi Kematian malah men-
galihkan pembicaraan.
Secara singkat dan jelas, Parta menceritakan apa
yang menimpa keluarganya, yang juga dialami keba-
nyakan penduduk Desa Kranggan.
"Hm..., kalau begitu Juragan Labang memang perlu
dibasmi...!" gumam Dewi Kematian setelah mendengar
penjelasan petani tua itu. "Dan aku akan berusaha
merubah kehidupan penduduk desa ini, Paman. Nah,
selamat tinggal...!"
Belum lagi Parta sempat berbicara, tahu-tahu saja
sosok Dewi Kematian telah lenyap dari hadapannya. Ia hanya melihat berkelebatnya
bayangan putih dengan
kecepatan yang tak bisa diikuti pandangan matanya.
Dan di kejauhan ia melihat sosok Dewi Kematian yang semakin mengecil.
"Mungkinkah ia seorang dewi yang sengaja diturun-
kan, untuk menolong penduduk Desa Kranggan..-."
Rasanya mustahil kalau seorang manusia dapat
menghilang seperti itu...?" gumam Parta yang hanya
bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh
takjub. Tanpa sepengetahuan Dewi Kematian, sesosok
bayangan putih lainnya bergerak menyusul. Parta dan putrinya hanya merasakan ada
sambaran angin keras
yang membuat pakaian mereka berkibar.
Mereka sama sekali tak tahu kalau angin besar itu
tercipta karena gerakan sosok bayangan putih yang
berkelebat demikian cepatnya.
Bayangan putih yang menyusul Dewi Kematian itu
tentu saja Panji. Ia menyusul karena ingin mengetahui apa yang akan dilakukan
tokoh wanita yang selalu bertindak kejam terhadap para penjahat itu. Selain itu,
ia pun khawatir kalau-kalau Dewi Kematian akan menemui celaka di tangan tukang-
tukang pukul Juragan
Labang, yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi.
Semua itu didengar dari penjelasan Parta.
*** 3 Dewi Kematian yang tengah mencari rumah Jura-
gan Labang tampaknya tidak menemukan kesulitan.
Setelah bertanya pada salah seorang penduduk desa,
gadis cantik itu langsung melesat menuju sebuah bangunan besar dan megah.
"Hm..., ini mencurigakan...," gumam Dewi Kematian
setelah menghentikan langkahnya di depan pintu ger-
bang. Sepasang matanya yang tajam menyapu hala-
man rumah besar itu yang tampak sunyi. Tak seorang
tukang pukul pun terlihat berjaga-jaga.
Sebagai seorang tokoh yang telah cukup banyak
pengalaman, Dewi Kematian bisa menduga akan
adanya persiapan lawan dalam menyambut kedatan-
gannya. Namun mana mungkin Dewi Kematian yang
nama besarnya sanggup membuat ketakutan seorang
penjahat kejam akan merasa gentar. Meskipun sadar
bahwa kesunyian rumah Juragan Labang tidak wajar,
gadis cantik berpakaian putih itu tetap melangkah masuk. Tentu saja
kewaspadaannya tetap dikerahkan,
menjaga kemungkinan yang bakal terjadi.
Wut wut wuttt...!
Ternyata benar dugaan Dewi Kematian. Baru saja
empat langkah dari ambang pintu gerbang, terdengar
suara berdesingan menyambut kedatangannya.
"Hhh...!" Dewi Kematian mendengus. Sepasang ma-
tanya yang tajam menangkap adanya enam batang
tombak meluncur ke arahnya. Namun tak ada gelagat
pada dirinya untuk mengelak. Seolah Dewi Kematian
ingin menunjukkan bahwa dirinya tidaklah mudah un-
tuk dirobohkan dengan serangan gelap seperti itu.
"Hih...!"
Trak! Trak! Trak!
Sekali mengibaskan kedua tangannya yang berkulit
halus, terdengar suara benda berpatahan. Dan keenam batang tombak yang meluncur
ke tubuhnya, langsung


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpentalan ke tanah dalam keadaan patah menjadi
dua. Dari sini dapat dilihat betapa lihai dan kuatnya tenaga dalam Dewi
Kematian. Tampaknya dia sengaja
mempertunjukkan kemampuan itu agar musuh tahu
siapa dirinya. Dan Dewi Kematian jelas tak bisa dipandang sebelah mata!
"Keluarlah, Manusia-manusia Pengecut! Tak ada
gunanya kalian berbuat seperti ini terhadap Dewi Kematian!" tantang gadis cantik
berpakaian serba putih itu. Dewi Kematian sengaja mengerahkan tenaga da-lamnya
hingga suara teriakan itu terdengar bergema
masuk ke seluruh bagian bangunan megah, rumah
Juragan Labang.
Gadis cantik berwajah dingin yang berjuluk Dewi
Kematian ini memang bukan hanya kejam terhadap
orang-orang jahat Ia pun memiliki sifat tinggi hati dan selalu tak sudi
dipandang rendah. Itu sebabnya mengapa ia tidak mengelak dari serangan tombak.
Dewi Kematian tak perlu menunggu lama atas sam-
butan lawan-lawannya. Sebab beberapa saat kemu-
dian, belasan sosok tubuh berloncatan dari sekelilingnya. Sehingga, dalam waktu
singkat dirinya sudah ter-kepung belasan orang tukang pukul yang rata-rata
bertampang bengis.
"Hmh!"
Dewi Kematian mendengus. Diperhatikannya satu
persatu para tukang pukul Juragan Labang sambil
menghitung jumlah mereka. Tanpa rasa gentar sedikit pun gadis cantik itu berdiri
tegap di tengah kepungan musuh-musuhnya.
"Hua ha ha...! Sungguh tak kusangka kalau musuh
yang bakal kita hadapi hanyalah seorang gadis muda
yang berwajah cantik dan bertubuh menggiurkan! Ka-
lau sejak semula aku tahu, tentu aku akan menyam-
butnya di dalam kamar yang indah dan harum!"
Seorang lelaki tinggi kekar berkepala botak mengki-
lat, tertawa meremehkan. Bahkan melontarkan ucapan
yang tentu saja maknanya dapat ditangkap oleh Dewi
Kematian. Namun untuk perkataannya itu ternyata harus di-
bayar cukup mahal. Sebab, baru saja ucapannya sele-
sai, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat dengan kecepatan tinggi, hingga
sulit untuk ditangkap secara jelas. Dan...,
Plak! Plakkk...!
"Augh...!"
Luar biasa memang kecepatan gerak yang dimiliki
Dewi Kematian. Lelaki botak bertubuh kekar berotot
itu tak sanggup menyelamatkan mulutnya dari dua
kali tamparan keras, yang membuatnya terpekik kesa-
kitan. Bahkan tubuh lelaki kekar itu terbanting ke tanah dengan kerasnya.
Lelaki kekar berkepala botak mengkilat itu menga-
duh-aduh sambil memegangi mulutnya dengan kedua
tangan. Tamparan itu bukan hanya membuat bibirnya
pecah berdarah. Empat buah giginya langsung tanggal seketika. Karuan saja
kejadian tak terduga ini membuat yang lainnya terkejut setengah mati! Sungguh
mereka tak menyangka kalau gadis cantik berwajah
dingin itu, ternyata dapat bergerak secepat sambaran kilat! Kejadian itu membuat
mereka sadar kalau Dewi Kematian memang tak bisa dianggap remeh.
"Hm..., masih adakah yang ingin menyambutku di
dalam sebuah kamar yang indah dan harum?" tanya
Dewi Kematian seraya mengedarkan pandangan men-
gawasi pengepungnya dengan senyum mengejek.
Sadar bahwa gadis muda itu bukanlah orang sem-
barangan, tak seorang pun yang sudi membuka mulut
mendengar tantangan Dewi Kematian. Namun bukan
berarti mereka merasa gentar dan membiarkan wanita
cantik itu bebas berbuat sekehendak hatinya. Bahkan kepungan semakin rapat.
Belasan senjata terhunus
siap menggempur Dewi Kematian.
"Serbuuu...! Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Seorang lelaki berpakaian serba hitam memekik
nyaring. Tubuhnya langsung bergerak menerjang Dewi
Kematian dengan sambaran pedang. Kawan-kawannya
yang lain juga tak lagi merasa tertarik terhadap kecantikan maupun keindahan
tubuh Dewi Kematian.
"Heaaa...!"
Wut! Wuttt..! "Hait! Heaaa...!"
Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi
Kematian menghindari setiap tebasan senjata para
pengeroyok. Tubuhnya berkelebatan cepat di antara ki-
latan-kilatan sinar pedang yang berdesingan membu-
ru. Sejauh itu, tak satu pun mata pedang dapat me-
nyentuh tubuhnya. Jangankan untuk dapat melu-
kainya, untuk menyentuh ujung pakaiannya pun tak
dapat mereka lakukan. Sebab, gerakan yang dilakukan gadis cantik itu selalu
dapat mendahului kecepatan
sambaran senjata lawan.
"Haiiit! Heaaa...!."
Setelah dalam belasan jurus hanya menghindar
dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi Ke-
matian merasa tak cukup. Diiringi teriakan keras dan melengking, tubuhnya
bergerak lebih cepat, sambil
melontarkan pukulan ke tubuh lawan-lawannya.
Bukkk! Plakkk...!
"Aaakh...!"
Pekik kesakitan seketika terdengar. Tiga orang pen-
geroyok terjungkal ke tanah terkena pukulan yang dilancarkan Dewi Kematian.
"Hueh...!"
"Hukh...!"
Ketiga orang berpakaian hitam itu berkelojotan di
tanah. Dari mulut mereka keluar darah segar. Sesaat kemudian ketiganya tewas
dengan mata membeliak.
Tampaknya pukulan yang dilancarkan Dewi Kematian
tak tanggung-tanggung. Tak mengherankan kalau ke-
tiga lelaki yang terkena pukulan itu langsung muntah darah bahkan tewas
seketika. "Heat..!"
Tiba-tiba terdengar suara pekikan keras menggele-
gar. Dewi Kematian yang tengah sibuk melancarkan
pukulan dan tendangan kepada lawan- lawannya sem-
pat tersentak. Sesosok bayangan kehitaman berkelebat cepat, memasuki arena
pertarungan dan langsung melancarkan serangan.
Bwet! Bwettt! Dewi Kematian tersentak ketika mendengar adanya
sambaran angin keras menderu ke tubuhnya. Disadari
kalau serangan ini tak dapat disamakan dengan para
pengeroyoknya yang lain. Maka dengan cepat dibalik-
kan tubuhnya dan menyambut serangan itu dengan
tangkisan kedua tangannya yang telah diisi tenaga dalam.
Dukkk! Plakkk! Dewi Kematian kembali dilanda rasa kaget! Betapa
tidak" Tangkisan yang dilakukan membuat kuda-
kudanya tergempur mundur sampai dua langkah.
Tampaknya serangan yang dilakukan sosok bayangan
itu sangat kuat Kedua lengannya dirasakan bergetar
hebat, hingga meninggalkan rasa nyeri.
Bukan hanya Dewi Kematian yang merasa terkejut
Penyerangnya pun tak kalah kaget. Selain serangannya dapat digagalkan, sosok
tubuh berpakaian hitam terlontar deras ke belakang. Namun dengan cepat dirinya
berusaha memperbaiki keseimbangan dengan melakukan salto, lalu meluncur turun.
Melihat dari raut wajahnya yang meringis, dapat ditebak kalau pembokong licik
itu merasa linu pada kedua lengannya.
Perkelahian tertunda sesaat Sosok jangkung yang
tingginya melebihi ukuran biasa, menatap tajam wajah Dewi Kematian yang juga
menatapnya. Tampaknya kedua tokoh itu hendak mengukur kekuatan lawan mela-
lui tatapan mata masing-masing.
*** "Hm..., kau pasti orang yang berjuluk Golok Tanpa
Bayangan!" Dewi Kematian membuka suaranya yang
bening namun terasa dingin, membuat bulu kuduk
meremang. "Sungguh tak kusangka kalau orang yang berjuluk
Dewi Kematian adalah seorang gadis muda yang cantik menggiurkan. Semula, kukira
seorang nenek tua yang
sudah bau tanah...!" sosok jangkung terbungkus pa-
kaian serba hitam itu menukas, juga dengan suara
dingin dan terkesan merendahkan. Tampaknya lelaki
jangkung ini tak ingin menunjukkan bahwa ia sedikit gentar setelah merasakan
betapa kuat tenaga dalam
Dewi Kematian. "Aku meragukan julukanmu yang berlebihan itu,
Kisanak! Buktikanlah bahwa kau memang memiliki il-
mu golok yang hebat laksana tanpa bayangan...!" tantang Dewi Kematian dengan
nada sinis. Dan..., entah kapan tangannya bergerak, tiba-tiba saja di tangan
gadis cantik berwajah dingin itu telah tergenggam sebatang pedang. Sinar pedang
itu sanggup membuat bulu
kuduk meremang. Jelas senjata di tangan Dewi Kema-
tian bukan sembarang- an pedang.
"Hmh...!" Golok Tanpa Bayangan mendengus kasar.
Sekali tangan bergerak, golok di pinggangnya telah
pindah ke tangan kanan. Gerakan tokoh jangkung itu
begitu cepat Caranya mencabut senjata pun, menun-
jukkan bahwa dirinya seorang ahli ilmu golok yang
tangguh. "Kau jangan mimpi dapat berbuat sekehendak ha-
timu di tempat ini, Dewi Kematian! Kedatanganmu sa-
ma saja dengan ular menghampiri penggebuk!" ujar
Golok Tanpa Bayangan dengan senyum mengejek.
"Buktikan! Haiiittt..!"
Wung! Wungngng!
Tanpa banyak cakap, Dewi Kematian melesat diser-
tai kibasan pedangnya yang begitu cepat Seketika terdengar suara mengaung
bagaikan dengung ratusan le-
bah yang marah. Suara ini jelas menandakan bahwa
Dewi Kematian tidak ingin menganggap remeh dan
main-main dalam melancarkan serangan.
Golok Tanpa Bayangan pun bukan tak tahu kalau
lawan kali ini dihadapinya sangat lihai dalam ilmu pedang. Matanya sempat
melihat gulungan sinar dari putaran pedang yang sangat cepat dan berubah-ubah
itu. Maka, ia pun tak segan-segan segera mengeluarkan
kepandaian yang membuat namanya terkenal di ka-
langan persilatan itu.
"Heaaa...!"
Trang! Trangngng...!
Wut! Wuttt..! Bunga api memercik ketika kedua senjata saling
berbenturan keras. Dewi Kematian agak kaget ketika
mencium adanya bau busuk memuakkan berasal dari
golok lawan. Tahulah gadis cantik ini kalau senjata lawan ternyata mengandung
racun jahat yang berba-
haya. Dan itu membuat kemarahannya semakin me-
muncak! "Hiaaa...!"
Setelah mengetahui bahwa senjata lawan mengan-
dung racun yang berbahaya, Dewi Kematian semakin
memperhebat serangan pedangnya. Sehingga, kali ini
Golok Tanpa Bayangan terpaksa harus bermain mun-
dur. Sebab, lawannya benar-benar tak ingin memberi
peluang kepadanya untuk membangun serangan. Ten-
tu saja hal itu membuatnya tambah penasaran dan
marah! Meskipun salah satu tampak terdesak, pertarungan
itu tampak indah. Sinar senjata mereka yang bergu-
lung-gulung saling tindih, merupakan sebuah peman-
dangan yang sungguh mengagumkan. Apalagi sesekali
masih diselingi dengan pijaran bunga api, saat kedua senjata saling berbenturan
keras. Membuat pertempu-
ran itu tak membosankan untuk disaksikan.
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ke-
tiga puluh, terlihatlah betapa Dewi Kematian masih
jauh lebih unggul ketimbang lawannya. Terbukti sinar lingkaran pedang semakin
mendesak sinar golok lawan yang kian menyempit. Bahkan Golok Tanpa Bayangan
tak mampu melancarkan serangan balasan. Yang da-
pat dilakukan hanya membuat benteng pertahanan
sekuatnya agar tak sampai celaka oleh pedang gadis
cantik berwajah dingin itu.
"Shaaah...!"
Di saat merasa benar-benar sudah tak berdaya
menghadapi gempuran lawan, mendadak Golok Tanpa
Bayangan membentak sambil mengebutkan sapu tan-
gan berwarna hijau. Seketika itu pula mengepulkan
asap kekuningan yang berbau harum memabukkan.
Rupanya tokoh jangkung itu mulai berbuat curang
dengan menebarkan bubuk beracun ke arah lawannya.
"Bangsat licik..!"
Dewi Kematian mencaci maki kelicikan Golok Tanpa
Bayangan. Tubuhnya tampak terhuyung. Racun ber-
bau harum itu telah membuat kepalanya pening. Dan
pandangannya pun kabur. Hingga, sosok lawan seolah
menjadi banyak dalam pandangannya.
"Hih...!"
Trangngng! "Uuuh...!"
Kendati demikian, Dewi Kematian masih sempat
menyambut datangnya sambaran golok lawan yang
mengancam tubuhnya. Namun tangkisan itu membuat
kepalanya dirasakan kian berat Hingga tubuhnya
kembali terjajar mundur. Terdengar keluhan lirih dari mulutnya.
'Pergilah menghadap malaikat maut, Perempuan
Liar...!" Golok Tanpa Bayangan yang merasa gembira meli-
hat keadaan lawan, kembali melesat melanjutkan se-
rangannya. Tubuhnya meluncur ke depan dengan ma-
ta golok siap menghunjam perut Dewi Kematian!
Whuttt..! Plakkk...! "Aaakh...!"
Belum sampai mata golok itu menemui sasarannya,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan
Golok Tanpa Bayangan. Tu-
buh lelaki jangkung itu pun terpental disertai pekik kesakitannya.
Sedangkan sosok bayangan putih itu langsung me-


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyambut tubuh Dewi Kematian, yang telah sempoyon-
gan hampir jatuh ke tanah. Tampaknya racun wangi
yang ditaburkan Golok Tanpa Bayangan benar-benar
telah merasuk ke tubuh gadis cantik itu.
"Keparat! Siapa kau..." Berani bertingkah di hada-
pan Golok Tanpa Bayangan?" Golok Tanpa Bayangan
menatap tajam pemuda tampan berjubah putih yang
ternyata Panji.
"Hm..., siapa pun adanya aku, yang jelas perbuatan
curangmu tak bisa dibiarkan, Golok Tanpa Bayangan!"
tukas Panji yang tengah memondong tubuh Dewi .
Kematian. "Kurang ajar! Habisi pemuda itu...!" teriak Golok
Tanpa Bayangan ditujukan kepada para tukang pukul
lain yang sejak tadi hanya diam menyaksikan perta-
rungan itu. Karena merasa tersinggung mendengar ja-
waban Panji, Golok Tanpa Bayangan langsung melesat
maju menyerang, diikuti para anak buahnya. Dalam
sekejap belasan tukang pukul Juragan Labang menge-
royok Panji, si Pendekar Naga Putih.
"Seraaang...!"
"Hiaaa...!"
Plak! Bukkk! Kendati hanya menggunakan satu tangan, sekali
bergerak Panji mampu memapak dan menghantam la-
wan. Tiga orang anak buah Golok Tanpa Bayangan se-
ketika terpelanting. Sedangkan serangan Golok Tanpa Bayangan sendiri dapat
dielakkan dengan menggeser
dan memiringkan tubuh. Kemudian langsung mengi-
rimkan sebuah tendangan kilat ke perut lelaki jang-
kung itu. Wuttt..! "Aaakh..."!"
Golok Tanpa Bayangan tersentak kaget ketika meli-
hat betapa cepatnya tendangan yang dilancarkan pe-
muda itu. Gerakan itu jauh lebih cepat daripada yang dilakukan Dewi Kematian.
Sadar kalau dirinya terancam bahaya, lelaki jangkung itu langsung melempar-
kan tubuhnya ke belakang untuk menyelamatkan diri.
"Gila..."! Pemuda keparat itu jauh lebih lihai ketimbang Dewi Kematian"! Hm...
siapa lagi pemuda itu...?"
desis Golok Tanpa Bayangan setelah meluncur turun
dengan selamat Wajahnya masih pucat, karena rasa
terkejutnya belum hilang akibat serangan balasan
yang dilancarkan Panji.
Keterkejutan itu tampaknya tak hanya melanda Go-
lok Tanpa Bayangan, melainkan semua tukang pukul
Golok Tanpa Bayangan yang ada di tempat itu. Mereka merasa kecut juga
menyaksikan kemampuan yang di-perlihatkan Panji. Sehingga mereka hanya berani
mengepung dari jarak agak jauh.
Panji berdiri tegak mengawasi lawan-lawannya. Ke-
tika melihat mereka belum menunjukkan gerakan, dis-
empatkan matanya melirik wajah Dewi Kematian. Ha-
tinya menjadi cemas ketika melihat betapa wajah cantik itu kini tampak semakin
memucat Bahkan ada
warna kehijauan yang masih samar. Sadarlah Panji
bahwa keadaan Dewi Kematian cukup gawat!
"Hua ha ha...! Perempuan kejam itu tak akan sela-
mat dari 'Racun Kelabang Hijau', Pemuda Keparat! Tak seorang pun yang dapat
menyembuhkannya. Dan kau
boleh tangisi kekasihmu yang malang itu...!"
Golok Tanpa Bayangan tertawa bergelak ketika me-
lihat kecemasan membayang di wajah Panji.
"Manusia keji...!" desis Panji yang tentu saja merasa geram terhadap Golok Tanpa
Bayangan Namun dirinya
memutuskan untuk cepat meninggalkan tempat itu.
Hatinya khawatir kalau racun yang telah merasuk ke tubuh Dewi Kematian akan
semakin bertambah parah.
Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Panji langsung
berkelebat meninggalkan halaman depan kediaman
Juragan Labang.
Golok Tanpa Bayangan tentu saja tak bisa berbuat
apa-apa. Karena sebelum dia sempat melakukan pen-
gejaran, bayangan Panji sudah jauh meninggalkan pin-tu gerbang. Sehingga, lelaki
jangkung itu cuma bisa membanting kakinya ke tanah karena kesal.
*** 4 Pendekar Naga Putih terus berlari meninggalkan
Desa Kranggan, membawa tubuh Dewi Kematian.
Sampai di sebuah hutan kecil dihentikan larinya. Kemudian dilanjutkan dengan
langkah perlahan sambil
mencari tempat yang cocok untuk mengobati Dewi
Kematian yang terserang racun ganas.
Setelah agak jauh memasuki hutan itu, akhirnya
Panji menemukan sebuah pondok yang terbuat dari
kayu yang keadaannya sudah tak layak untuk dihuni.
Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa di dalam
pondok itu tak ada siapa-siapa, Panji membawa masuk Dewi Kematian. Di atas
sebuah balai bambu yang masih cukup baik, direbahkan gadis itu dengan tubuh
tertelungkup. Pendekar Naga Putih memejamkan mata untuk
memusatkan pikirannya sejenak. Kemudian diulurkan
kedua telapak tangan dan ditempelkan pada punggung
Dewi Kematian. Sementara tubuhnya sendiri telah terbungkus sinar kuning yang
menebarkan hawa panas.
Sinar itu berasal dari 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'
yang dikerahkannya. Panji memang bermaksud me-
mindahkan kekuatan itu guna mengobati tubuh gadis
yang terserang racun.
Tidak lama kemudian, setelah seluruh tenaga muk-
jizat itu pindah ke tubuh Dewi Kematian, Panji pun
melepaskan telapak tangannya, la menunggu beberapa
saat sampai sinar kuning keemasan yang kini menye-
limuti tubuh Dewi Kematian lenyap. Jika sinar itu lenyap berarti tenaga
mukjizatnya benar- benar telah merasuk ke tubuh gadis cantik yang masih terkulai
lemas itu. Panji tak perlu menunggu terlalu lama untuk meli-
hat Dewi Kematian sadar dari pingsannya. 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi' bekerja cepat mengusir racun yang terisap gadis itu.
Dengan sabar Panji memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuh Dewi Kema-
tian. Dilihatnya ada uap tipis berwarna kehitaman keluar dari ubun-ubun Dewi
Kematian. Uap tipis itu perlahan-lahan lenyap, menandakan bahwa hawa bera-
cun telah terusir keluar dari dalam tubuh gadis cantik
berwajah dingin itu.
Namun lenyapnya hawa beracun itu bukan berarti
bahwa Dewi Kematian telah pulih. Kendati bahaya su-
dah lewat, tenaga gadis itu belum seluruhnya pulih.
"Emhh... uhh...!" Dewi Kematian menggeliat perla-
han. Dari mulutnya terdengar desahan. Perlahan-
lahan tubuhnya hendak bangkit, tapi tak mampu ka-
rena tenaganya masih terlalu lemah. Samar-samar ma-
tanya yang bening menangkap ada bayangan putih
duduk tak jauh dari tempat pembaringannya.
"Si... apa..., kau...?" tanya Dewi Kematian dengan
suara lemah Keningnya tampak berkerut Dan sepa-
sang matanya menyiratkan kecurigaan.
Panji merasa belum perlu untuk memberikan jawa-
ban. Bergegas ia bangkit dan melangkah mendekati te-pi pembaringan. Di tangannya
tergenggam sebutir pil berwarna putih salju, yang berkhasiat untuk memulihkan
tenaga. "Kau tak perlu banyak bicara dulu, Nisanak! Se-
baiknya telanlah pil ini guna memulihkan tenagamu.
Percayalah, aku tak punya maksud apa-apa selain
menolongmu...!" ujar Panji seraya menyodorkan pil itu ke mulut Dewi Kematian.
Dewi Kematian tampaknya tak begitu saja langsung
percaya. Matanya menatap tajam wajah Panji, meski-
pun hanya tampak samar-samar. Wajah Panji terse-
nyum ramah dan menyiratkan satu ketulusan. Hal itu
pula membuat Dewi Kematian membuka mulutnya
menerima pil pemberian Panji.
"Nah, sekarang pusatkanlah pikiranmu seperti bi-
asa jika melakukan semadi. Hal itu dapat membantu
daya kerja obat tadi...!" jelas Panji seraya menatap wajah gadis cantik di
depannya. Tanpa ragu-ragu Dewi Kematian menuruti perintah
Panji. Sebab dirinya merasakan ada hawa hangat yang mulai menjalar ke bagian
dalam sekujur tubuhnya,
beberapa saat setelah pil berwarna putih salju itu memasuki kerongkongan.
Panji tersenyum lega melihat Dewi Kematian menu-
ruti petunjuknya tanpa ragu. Tubuhnya bangkit lalu
melangkah menjauhi balai bambu tempat gadis itu
terbaring. Perlahan kakinya berjalan mendekati am-
bang pintu. Dengan sabar pendekar muda berwajah
tampan itu menunggu pulihnya kekuatan Dewi Kema-
tian. Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di ambang
pintu rumah itu tiba-tiba tersentak lalu bangkit berdiri. Matanya yang tajam
melihat ada sosok bayangan
berkelebat menuju pondok tempatnya berada. Hatinya
terkejut demi menyadari bahwa yang datang itu orang yang memiliki ilmu
kepandaian sangat tinggi. Hal itu diketahui dari gerakan yang sama sekali tak
tertangkap pendengarannya. Padahal seharusnya Panji sudah
bisa menangkap suara langkah sebelum melihat
orangnya. Sosok bayangan yang kini tiba-tiba telah berdiri di depan Panji sangat
mengagumkan. Selain itu Panji belum tahu secara jelas, apakah yang datang kawan
atau lawan. Maka, dengan cepat tubuhnya melesat turun
dari pondok menyambut kedatangan sosok bayangan
itu. "Kisanak siapa..." Ada keperluan apa datang ke tempat ini?" meskipun
diliputi rasa curiga, Panji tetap menyapa dengan bahasa halus dan sopan. Bahkan
di-bungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat
Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki tua me-
megang tongkat berkepala naga, tak segera menjawab
pertanyaan Panji. Sepasang matanya yang lebar dan
selalu bergerak liar, menatap sosok pemuda tampan
yang menyapanya. Mulutnya tampak menyeringai
aneh, membuat Panji curiga dan bersikap waspada.
"Heh heh heh...! Kau lucu sekali!"
Lelaki tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil mem-
perhatikan Panji. Belum juga terdengar jawaban atas pertanyaan pemuda tampan
berjubah putih itu. Mulutnya masih terus tertawa-tawa, seakan benar-benar merasa
lucu melihat sosok Panji.
Pendekar Naga Putih sama sekali tak merasa ter-
singgung dengan sikap lelaki tua itu. Sebab dirinya telah maklum, banyak tokoh
kaum rimba persilatan
yang memiliki sikap aneh. Bahkan mendekati kegilaan.
Sehingga dia hanya tersenyum dan menghela napas
perlahan-lahan. Ditatapnya sosok lelaki tua bertongkat kepala naga itu dengan
pandangan penuh selidik.' Hatinya kembali dilanda keterkejutan ketika mulai
dapat menduga siapa sebenarnya lelaki tua yang berdiri di hadapannya itu.
"Maaf, Orang Tua! Kalau aku tak salah duga, bu-
kankah kau Tongkat Delapan Naga yang kesohor
itu...?" ujar Panji mencoba menerka lelaki tua bertongkat kepala naga itu. Ciri-
ciri lelaki tua yang berdiri di hadapannya memang sama dengan tokoh sakti itu.
Pendekar Naga Putih semakin kaget Karena dirinya
telah mendengar bahwa Tongkat Delapan Naga sudah
lama menghilang dari dunia persilatan. Namun seka-
rang tahu-tahu muncul di hadapannya. Semua ini
membuat dirinya berpikir.
"Huah hah hah...! Kau tak salah, Bocah! Aku me-
mang yang dijuluki Tongkat Delapan Naga, dan akan
segera menjadi jago nomor satu di kolong langit! Huah hah hah...!"
Lelaki tua itu terbahak-bahak kegirangan ketika
mendengar pemuda tampan di depannya telah men-
genal siapa dirinya. Dan itu membuat hatinya semakin merasa bangga akan
ketenaran namanya.
Sebenarnya hati Panji hampir percaya kalau lelaki
tua yang berdiri di depannya sebenarnya tokoh sakti berjuluk Tongkat Delapan
Naga. Namun keraguan menyelinap di hatinya ketika melihat sikap kakek itu yang
tidak pantas ditunjukkan seorang tokoh tua dari golongan pendekar. Ucapan lelaki
tua itu menunjukkan
kesombongan yang seharusnya dijauhi oleh tokoh-
tokoh golongan putih. Ini yang membuat Panji mulai
meragukan keaslian Tongkat Delapan Naga.
"Hm..., kau kelihatannya meragukan nama besarku,
Bocah...?" tukas Tongkat Delapan Naga yang telah
menghentikan tawanya dan menatap wajah Panji den-
gan sorot mata menikam jantung.
Belum sempat Panji memberikan jawaban, tiba-tiba
kakek tua itu sudah mengayunkan tongkat kepala na-
ganya menyerang Panji.
"Hei..."!"
Panji tentu saja kaget melihat serangan mendadak
yang sama sekali tak disangkanya itu. Karena me-
nyangka bahwa Tongkat Delapan Naga hanya sekadar
ingin mengujinya, Panji mencoba mengelak dengan
lompatan ke samping. Namun serangan itu ternyata terus berkelanjutan. Bahkan
mendengar deru suara
sambaran angin yang berkesiutan, sadarlah Panji ka-
lau serangan itu sangat berbahaya dan bisa mengan-
cam keselamatan jiwanya.
'Tongkat Delapan Naga, harap jangan main-
main...!" seru Panji mengingatkan lelaki tua itu.
"Hua hah hah...!"
Tongkat Delapan Naga sama sekali tak menanggapi,
justru tertawa terbahak-bahak. Bahkan serangan
tongkatnya tampak semakin diperhebat. Hal itu mem-
buat Panji sedikit kewalahan, untuk menghindari
sambaran tongkat yang berbahaya itu.
"Heeaaa...!"
Wuutt! Bweettt..!
Panji terus melompat ke sana kemari menggunakan
kelincahannya untuk mengelakkan sambaran tongkat
lawan. Namun hal itu tentu saja sangat berbahaya baginya. Sehingga sesekali
dicobanya menangkis tongkat lawan. Bahkan melepaskan serangan saat benar-benar
merasa terdesak.
"Hih...!"
Plakk! Wutt! Tangkisan telapak tangan Panji memang berhasil
membuat sambaran tongkat itu menyeleweng dari sa-


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sarannya. Namun dirasakan ada hawa panas menyen-
gat telapak tangannya. Sedangkan tongkat kepala naga itu sudah melesat dan
kembali mengancam dadanya
dengan kecepatan tinggi!
"Celaka...!" desis Panji terkejut.
"Heaa...!"
Tak ada jalan lain bagi Panji kecuali mengelak.
Dengan pekikan nyaring tubuhnya melenting ke udara.
Setelah melakukan putaran beberapa kali, tubuh pe-
muda berjubah putih itu meluncur dan mendarat di
tanah. "Gerakan yang bagus...!" terdengar Tongkat Delapan
Naga memuji gerakan Panji. "Kau ternyata cukup pan-
dai untuk menghadapiku, Bocah!" lanjutnya yang kini semakin bersemangat untuk
melanjutkan pertarungan.
'Tunggu, Tongkat Delapan Naga..;!" sebelum lelaki
tua itu memulai serangannya kembali, Panji mengang-
kat tangan dan berseru mencegah.
"Heh heh heh...! Kau takut menghadapiku?" ejek
Tongkat Delapan Naga sembari memperdengarkan ke-
kehnya yang parau.
'Tidak pernah ada kata takut dalam pikiranku,
Tongkat Delapan Naga. Tapi, aku tak ingin bertarung tanpa sebab. Apalagi aku
sekarang ingat bahwa kau
seorang tokoh terhormat dari sebuah perguruan," tu-
kas Panji menatap wajah lawan. "Dan aku pun rasanya dapat menduga mengapa kau
meninggalkan perguruan
dan berkeliaran sampai ke tempat ini. Bukankah kau
ingin menyelidiki kekacauan yang terjadi di kalangan persilatan" Hal ini tentu
saja tak sulit untuk ditebak.
Karena hampir semua tokoh persilatan saat ini merasa berkewajiban untuk
meredakan kekacauan yang tengah terjadi. Jadi jelas, tak ada gunanya kita
lanjutkan perkelahian ini!" tandas Panji tegas.
"Heh heh heh...! Itu menurutmu, Bocah! Tapi, bagi-
ku pertarungan ini sangat perlu, bahkan harus dilanjutkan! Kulihat kau bukan
merupakan lawan yang
mudah untuk dirobohkan. Hal ini membangkitkan se-
mangatku Untuk merobohkanmu. Sebaiknya kau ber-
siaplah menghadapi seranganku...!" sahut Tongkat Delapan Naga yang tetap
bersikeras melanjutkan perta-
rungan. "Orang Tua! Kuharap kau tak terlalu memaksakan
kehendak! Sebagai tokoh terhormat yang nama besar-
mu sudah sangat kesohor, tak sepantasnya kau bersi-
kap seperti ini. Masih banyak hal yang lebih penting ketimbang perkelahian ini.
Apalagi kita tokoh segolongan. Kalau hal ini sampai tersebar di kalangan
persilatan, bukankah kita hanya akan menjadi bahan terta-
waan dan cemoohan orang banyak" Karena sementara
yang lain sibuk mencari penyebab kekacauan, kita ma-
lah bertarung dengan orang sendiri. Tanpa sebab yang jelas lagi. Bukankah hal
ini sangat memalukan?" Panji masih tetap bertahan tak ingin pertarungan tanpa
gu-na itu berkelanjutan.
"Heh heh heh...! Sebuah nasihat yang sangat bagus,
Bocah! Tapi, yang jelas aku akan tetap menyerangmu.
Jadi tak ada gunanya kau berbicara lagi...,"
Dan, baru saja perkataan itu selesai diucapkan, tu-
buh Tongkat Delapan Naga sudah melesat cepat sambil membabatkan tongkatnya.
Wutt! Wrrets! Daun-daun kering dan debu beterbangan saat tong-
kat berkepala naga di tangan lelaki tua itu menderu-deru begitu cepat Sadar
bahwa lawannya tak mungkin
dapat dinasihati, tidak ada jalan lain bagi Panji kecuali membela diri. Dan
dengan sangat terpaksa dirinya me-ladeni kakek yang dianggapnya sinting dan gila
nama besar itu. Sebab, ia tentu saja tak ingin mati di tangan kakek yang
berjuluk Tongkat Delapan Naga itu.
Pertarungan sengit pun tak terelakan. Sambaran
tongkat berkepala naga itu benar-benar membuat Panji kewalahan. Hal itu
disebabkan karena dirinya tak bersungguh-sungguh dalam menghadapi lawannya. Se-
hingga, tentu saja pemuda itu terdesak hebat Sebab, ilmu tongkat kakek itu
benar-benar hebat dan sangat berbahaya!
"Yeeaahhh...!"
Tongkat Delapan Naga yang tahu kalau lawan tak
bersungguh-sungguh, semakin bernafsu melancarkan
serangan. Tongkatnya yang berkepala naga berkeleba-
tan menyambar secepat kilat memburu sasarannya.
Panji mau tak mau mengeluarkan ilmu andalannya
guna mengatasi gencarnya serangan lawan. Kalau ti-
dak, dirinya bisa celaka, bahkan mungkin tewas di
tangan Tongkat Delapan Naga yang semakin ganas da-
lam melancarkan serangannya itu.
"Heaa...!"
Whuukkkk! Memasuki jurus yang kelima puluh, tongkat berke-
pala naga menyambar datar mengarah pinggang la-
wan. Dengan cepat Panji menggeser tubuh sambil me-
nepiskan tongkat dengan kibasan tangan kirinya yang sudah dilindungi 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'.
"Hih...!"
Takkkk! "Heh..."!"
Tongkat Delapan Naga terpekik kaget Sambaran
tongkatnya berhasil dipapaki lawan hingga menyele-
weng ke samping. Di samping itu lengannya dirasakan tergetar disertai ada hawa
dingin menyusup melalui
tongkatnya. Kejadian ini membuat Tongkat Delapan
Naga melompat mundur sejauh satu tombak. Sepasang
matanya yang tajam menatap sosok lawan seolah baru
sekarang menyadari siapa sebenarnya pemuda tampan
berjubah putih yang menjadi lawannya itu.
"Hm..., Bocah! Kaukah yang dijuluki sebagai Pende-
kar Naga Putih" Bukankah jurus-jurus yang kau per-
gunakan adalah 'Ilmu Silat Naga Sakti'?" tanya Tongkat Delapan Naga dengan mata
membelalak. "Hmmm..., aku tahu tangkisanmu tadi memakai 'Tena-
ga Sakti Gerhana Bulan', bukan" Benar-benar hebat,
membuat aku semakin bersemangat untuk mengalah-
kanmu," lanjutnya seraya menatap tajam wajah Pen-
dekar Naga Putih, seakan ingin meyakinkan dugaan-
nya. "Kau tidak salah, Orang Tua. Meskipun julukan
Pendekar Naga Putih tak ada artinya jika dibandingkan dengan nama besar Tongkat
Delapan Naga, tapi begitu-
lah orang-orang menjuluki aku. Dan harap kau berse-
dia, mengakhiri perkelahian ini setelah mengetahui nama julukan yang kosong
itu...," sahut Panji seolah ingin membuang rasa bangga meski nama julukannya
telah sampai pula ke telinga tokoh sakti itu. Malah pendekar muda itu meminta
agar perkelahian yang
menurutnya tak berguna segera dihentikan.
"Sudah, tak perlu banyak cakap lagi! Aku tak akan
berhenti sebelum merobohkanmu, Pendekar Naga Pu-
tih! Bayangkan, betapa dunia persilatan akan geger ji-ka mendengar bahwa
pendekar muda yang dibangga-
banggakan tokoh persilatan ternyata roboh di tangan Tongkat Delapan Naga! Jadi
percuma saja kau minta
aku menyudahi perkelahian yang akan membuat na-
maku semakin menjulang ini...!" bantah Tongkat Delapan Naga yang justru semakin
bersikeras hendak me-
robohkan lawan. Apalagi setelah tahu bahwa yang di-
hadapinya ternyata Pendekar Naga Putih. Seorang to-
koh muda yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia
persilatan dengan sepak terjang yang bertujuan mene-gakkan kebenaran.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Tongkat Delapan
Naga memutar senjatanya yang membuat sekitar tem-
pat itu bagai dilanda angin ribut Bahkan pondok tempat Panji meninggalkan Dewi
Kematian, tampak berde-
rak-derak bagaikan hendak roboh. Tentu saja hal itu membuat Panji merasa cemas.
Karena khawatir terhadap keadaan pondok yang
hampir ambruk oleh angin putaran tongkat lawan,
Panji segera melompat mundur menaiki tangga. Na-
mun, baru saja mendaratkan kakinya, terdengar se-
buah suara halus bernada dingin yang ditujukan ke-
pada Tongkat Delapan Naga.
"Hm..., bagus sekali perbuatanmu, Tongkat Delapan
Naga! Sebagai seorang tokoh yang mempunyai nama
besar, perbuatanmu benar-benar memalukan dan
mencemarkan nama Perguruan Bukit Dewa! Tak dapat
kubayangkan, betapa hancurnya hati Ki Sela Panda,
kakak seperguruanmu. Apa yang membuatmu beru-
bah menjadi iblis kejam yang memiliki keinginan gila untuk menjadi tokoh nomor
satu di rimba persilatan"
Kau benar-benar sinting, Tongkat Delapan Naga!"
Suara itu ternyata milik Dewi Kematian yang telah
berdiri di ambang pintu pondok. Pendekar Naga Putih terkejut, lalu menatap wajah
gadis cantik itu dengan penuh kecemasan. Sebab, ucapan itu jelas dapat
menimbulkan kemarahan Tongkat Delapan Naga.
Namun ternyata Tongkat Delapan Naga sama sekali
tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, walau
mendapat kecaman yang pedas dari Dewi Kematian.
Lelaki tua itu hanya terkekeh perlahan, tapi terasa menggetarkan dada, karena
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
"Hm..., siapa kau, Anak Manis" Lancang benar mu-
lutmu di depanku?" tanya Tongkat Delapan Naga den-
gan suara tak menunjukkan kemarahan. Sepasang
matanya meneliti sosok Dewi Kematian dengan penuh
selidik. "Aku Dewi Kematian yang akan segera mengakhiri
petualangan jahatmu! Aku datang mewakili eyang gu-
ruku, Eyang Guna Wisesa untuk menghukum mu! Kau
tentu kenal dengan guruku itu!" sahut Dewi Kematian memperkenalkan nama
sekaligus gurunya.
Pendekar Naga Putih merasa heran bukan main ke-
tika melihat betapa wajah Tongkat Delapan Naga tam-
pak berubah pucat Dan menduga bahwa kakek itu
pasti mengenal orang yang bernama Eyang Guna Wi-
sesa. Karena saat Dewi Kematian menyebutkan nama
itulah wajah Tongkat Delapan Naga berubah. Keliha-
tannya lelaki tua itu menjadi gentar mendengar nama guru Dewi Kematian.
"Kau..., kau murid tua bangka Guna Wisesa...?" de-
sis Tongkat Delapan Naga seraya bergerak mundur.
Kepalanya menoleh ke sana kemari memperhatikan
sekelilingnya. Sepertinya merasa khawatir kalau-kalau Eyang Guna Wisesa berada
di sekitar tempat itu.
"Hi hi hik! Kau kelihatannya takut kalau-kalau
eyang guruku berada di sekitar tempat ini, Tongkat Delapan Naga! Kurasa guru
pasti akan datang ke tempat ini untuk menghukum dirimu...."
Dewi Kematian tertawa mengejek. Dan sengaja me-
nakut-nakuti tokoh itu dengan mengatakan bahwa gu-
runya akan muncul untuk menghukum Tongkat Dela-
pan Naga. Ucapan Dewi Kematian ternyata ditanggapi dengan
sungguh-sungguh oleh Tongkat Delapan Naga. Terlihat lelaki tua itu semakin
gelisah dan terus bergerak mundur sambil memperhatikan sekelilingnya. Dan menda-
dak tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Keli-
hatannya Tongkat Delapan Naga benar-benar ketaku-
tan terhadap Eyang Guna Wisesa, hingga melarikan di-ri. Dewi Kematian tertawa
mengiringi kepergian kakek sakti itu. Tinggal Panji yang menatap bingung, karena
tak tahu kenapa Tongkat Delapan Naga yang begitu
sakti itu ketakutan setengah mati. Pendekar Naga Putih hanya bisa menatap sosok
Tongkat Delapan Naga
yang semakin jauh. Kemudian ganti menatap Dewi
Kematian yang masih tertawa terpingkal-pingkal, melihat tingkah kakek itu yang
baginya sangat lucu.
*** 5 "Aku tak mengerti, mengapa lelaki tua itu begitu ketakutan setelah mendengar
nama gurumu, Dewi Kema-
tian," ujar Panji setelah sosok Tongkat Delapan Naga tak lagi terlihat Dan tawa
gadis cantik berwajah dingin itu pun telah terhenti.
'Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Terima
kasih atas pertolonganmu. Aku benar-benar merasa
bangga karena seorang pendekar besar sepertimu ter-
nyata masih menaruh perhatian kepada orang seperti-
ku. Kau pun tak perlu heran mengapa aku bisa men-
genalmu. Sebab, secara samar-samar tadi aku men-
dengar Tongkat Delapan Naga menyebut nama julu-
kanmu," ujar Dewi Kematian. Semua ucapannya be-
lum merupakan jawaban bagi pertanyaan Panji. Tam-
paknya gadis cantik berwajah dingin itu tak ingin segera memberikan jawaban.
Bahkan tampak kakinya me-
langkah menuruni tangga. Kemudian duduk di atas
sebatang pohon tua yang tumbang.
Panji pun melangkah mengikuti Dewi Kematian,
dan ikut duduk di dekat gadis cantik berpakaian serba putih itu. Sesaat ada
kekaguman dalam hatinya melihat kecantikan wajah Dewi Kematian yang tengah me-
natap lurus ke depan. Seolah gadis itu tak sadar bah-wa Panji tengah
memperhatikannya dan menunggu
jawaban. "Guruku, Eyang Guna Wisesa adalah paman guru
dari Ki Sela Panda yang menjadi Ketua Perguruan Bu-
kit Dewa, dan juga termasuk Paman Guru Tongkat De-
lapan Naga. Dia pernah memberi didikan kepada ke-
dua orang yang terhitung kakak seperguruanku itu,
kendati hanya beberapa macam ilmu. Baik Ki Sela
Panda maupun Tongkat Delapan Naga telah mengang-
gap guruku sebagai pengganti orangtua mereka. Selain itu, Eyang Guna Wisesa juga
termasuk satu-satunya
sesepuh Perguruan Bukit Dewa yang masih hidup.
Semua tokoh perguruan sangat menaruh hormat dan
merasa segan kepada beliau. Kendati beliau sendiri
sudah memutuskan untuk tak mencampuri urusan
perguruan. Bahkan sangat jarang sekali berkunjung ke Bukit Dewa. Boleh dikatakan
nyaris tak pernah. Namun beliau tetap dianggap sebagai sesepuh yang kata-katanya
ditaati, bahkan kuasa menjatuhkan hukuman
terhadap murid yang menyeleweng. Mungkin itu se-
babnya mengapa Tongkat Delapan Naga sangat takut
Kedele Maut 19 Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk Kisah Para Pendekar Pulau Es 19
^