Pencarian

Tokoh Buronan 1

Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan Bagian 1


TOKOH BURONAN oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Tokoh Buronan 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Puluhan bayangan hitam bergerak perlahan mendekati kaki Bukit Hitam. Malam yang
pekat karena awan hitam menutupi sang Dewi Malam membuat sosok-sosok itu lebih
leluasa bergerak. Nampaknya alam sangat membantu. Sehingga, sosok mereka tidak
mudah dilihat orang.
Kalau melihat cara puluhan sosok tubuh itu mendatangi Bukit Hitam, tampaknya
mudah ditebak maksud kedatangan mereka. Puluhan sosok tubuh itu jelas tamu-tamu
yang tidak diinginkan kehadirannya oleh penghuni bukit. Apalagi mereka datang
pada malam hari. Saat tiupan angin terasa dingin menyentuh kulit. Tapi, semua
itu sepertinya tidak menjadi halangan. Puluhan sosok tubuh itu terus bergerak
dan mulai mendaki lereng bukit.
Bukit Hitam sendiri kelihatan tidak peduli. Sosoknya tetap tegap, hitam dan
terkesan angker. Terlebih dalam cuaca segelap itu. Semakin nyatalah keangkeran
Bukit Hitam. Setelah beberapa saat mendaki lereng, sosok terdepan yang berperawakan tinggi
besar mengangkat tangan kanannya ke atas. Langkahnya sendiri sudah berhenti.
Tubuhnya agak membungkuk, seperti khawatir kalau terlihat penghuni bukit.
Kemudian laki-laki itu melambaikan tangannya sebagai isyarat untuk berkumpul.
Bagai setan-setan kelaparan yang mencari mangsa, puluhan sosok tubuh itu
berdatangan mendekat dengan tubuh tetap merunduk. Rupanya, lelaki tinggi besar
itu pimpinan mereka.
Setelah seluruh pengikutnya berkumpul, lelaki tinggi besar itu memberi petunjuk
dengan gerakan tangannya. Tidak berapa lama kemudian, puluhan sosok tubuh itu
bergerak menyebar keempat penjuru. Kelihatannya mereka hendak mendaki bukit
dengan cara mengepung.
Puncak Bukit Hitam memang tidak terlalu sulit untuk dicapai. Selang beberapa
waktu kemudian, lelaki tinggi besar yang membawa dua puluh orang pengikut itu
tiba di puncak bukit. Lalu lelaki itu memerintahkan kawan-kawannya bergerak
mendekati bangunan kuno yang kelihatan angker dan nyaris tidak terawat baik. Itu
dapat diketahui dari tembok luarnya yang telah dilapisi lumut dan semak belukar.
Bahkan di beberapa bagian retak dan bolong-bolong. Rupanya bangunan itulah
tujuan mereka. Perhitungan lelaki tinggi besar itu memang sangat tepat. Dalam waktu yang hampir
bersamaan, dari tiga penjuru muncul kelompok-kelompok lainnya. Mereka bergerak
merapat, mengepung bangunan kuno itu dari segala penjuru. Hingga tidak ada jalan
bagi penghuni bangunan untuk meloloskan diri. Jangankan manusia, tikus pun tidak
mungkin dapat meloloskan diri dari kepungan itu. Tiba-tiba....
Byarrr...! Dalam sekejap mata, muncul puluhan batang obor menerangi puncak Bukit Hitam.
Suasana yang semula pekat berubah terang-benderang, tak ubahnya siang hari!
"Setan Jari Api, menyerahlah! Bangunan ini sudah terkepung rapat! Tunjukkan
dirimu sebelum tempat ini kami jadikan lautan api...!"
Lelaki tinggi besar berwajah keras dengan tulang rahang kokoh menandakan
ketegasan wataknya berteriak lantang. Gema suaranya bergaung karena diteriakkan
dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Mustahil jika penghuni bangunan kuno itu
tidak mendengarnya.
Suara teriakan lelaki tinggi besar jelas terdengar oleh penghuni Bukit Hitam.
Itu terlihat dari adanya kesibukan di ruang tengah bangunan kuno. Mereka
kelihatan sangat terkejut, dan tidak menyangka tempat kediaman mereka telah
terkepung musuh.
"Kurang ajar! Siapa mereka yang berani mati mengganggu ketenanganku...!"
Salah seorang dari delapan lelaki yang berada di dalam ruangan itu menggeram
penuh kemarahan. Sementara tujuh orang lainnya saling bertukar pandang sejenak.
Kemudian serentak mengalihkan perhatiannya kepada lelaki gemuk berperut buncit
yang mengenakan rompi. Sehingga, perut buncitnya menonjol keluar.
Wajah lelaki berperut buncit itu tampak bengis dan angker. Kumis dan alis
matanya tebal berbentuk golok, dan agak mencuat ke atas pada ujungnya. Bagian
depan kepalanya botak dan agak berminyak. Hanya di kedua atas telinganya yang
ditumbuhi rambut. Sosok lelaki gemuk itu kelihatan sangat menyeramkan.
"Sejak semula aku sudah menduga perbuatan Kakang pasti akan berbuntut
panjang...," ujar salah seorang dari ketujuh lelaki itu kepada lelaki berkepala
separo botak yang penampilannya sanggup membuat anak-anak lari ketakutan.
"Hm...!"
Lelaki menyeramkan itu menggeram mendengar ucapan salah seorang kawannya.
Sepasang matanya berkilat sekilas, membuat kawan-kawannya melangkah mundur
dengan wajah gentar. Mereka sangat takut pada lelaki angker itu.
Tanpa berkata sepatah kata pun, lelaki berperut buncit itu melangkah lebar
meninggalkan ruangan. Kelihatannya ia hendak mengikuti perintah tamu yang tidak
diundang itu. Agaknya, lelaki kekar itulah yang dijuluki Setan Jari Api.
Langkah Setan Jari Api diikuti ketujuh orang kawannya. Mereka sudah pasti bukan
orang baik-baik. Bahkan ketujuh orang itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat. Setan
Jari Api sendiri seorang datuk sesat yang menguasai golongan hitam di wilayah
barat. Kening Setan Jari Api berkerut, membuat kedua alisnya saling bertaut. Hatinya
yang selama ini tidak pernah mengenal arti kata takut bergetar ketika melihat di
sekeliling bangunan tampak terang-benderang. Kenyataan itu membuatnya sadar
kalau ancaman tadi bukan hanya untuk menakut-nakuti. Tapi sebentar kemudian,
kegeramannya timbul.
"Hei, bukankah kalian begundal-begundal Kerajaan Bungaran" Mau apa kalian malam-
malam datang ke tempat ini..?" teriak Setan Jari Api ketika melihat para
pengepung itu berpakaian prajurit. Ia segera dapat menebak dari mana mereka
datang. Satu hal yang mengejutkan tokoh itu, para prajurit Kerajaan Bungaran
bersenjata lengkap seperti hendak berperang.
Melihat kemunculan lelaki gemuk berwajah angker, lelaki tinggi besar yang
menjadi pimpinan prajurit Kerajaan Bungaran maju beberapa tindak. Pakaian lelaki
tinggi besar itu menunjukkan ia seorang senapati kerajaan.
"Kisanak, kaukah yang berjuluk Setan Jari Api...?"
Tanpa mempedulikan pertanyaan Setan Jari Api, senapati bertubuh tinggi besar itu
mengajukan pertanyaan dengan sikap angker. Ia kelihatan tidak merasa gentar
sedikit pun, walau yang dihadapinya saat itu seorang datuk sesat yang
kekejamannya melewati iblis.
"Keparat busuk! Bukankah kau Senapati Sura Wijaya?" geram Setan Jari Api
menyimpan kemarahannya. "Katakan, apa maksudmu datang malam-malam dengan membawa
pasukan lengkap" Apa kau mempunyai kepentingan denganku...?"
"Hm.... Kau belum menjawab pertanyaanku. Jadi rasanya pertanyaanmu tidak perlu
kujawab...," tukas lelaki tinggi besar yang bernama Sura Wijaya.
Rupanya senapati itu seorang panglima kawakan. Namanya cukup terkenal di negeri
itu, juga di kalangan persilatan. Senapati tua itu banyak memiliki sahabat di
kalangan pendekar. Maka tidak aneh jika Setan Jari Api mengenalnya.
"Keparat! Berani kau berbicara demikian terhadap Setan Jari Api!"
Marah karena merasa dipermainkan, Setan Jari Api segera mengulurkan jari-jari
tangannya ke arah lawan. Seketika terdengar suara angin bercicitan tajam,
pertanda gerakan yang kelihatan biasa-biasa itu mengandung tenaga dalam yang
sangat hebat. Uluran tangan lelaki berperut buncit itu sebuah serangan maut yang sanggup
mencabut nyawa Senapati Sura Wijaya saat itu juga!
"Ahhh..."!"
Mendengar suara angin pukulan berhawa panas itu, Senapati Sura Wijaya kaget
bukan main. Cepat ia melompat mundur sambil mengibaskan lengan kirinya menangkis
serangan licik itu. Dan....
Tasss...! "Akh..."!"
Untuk kedua kalinya Senapati Sura Wijaya memekik kaget. Kali ini bernada
kesakitan. Karena saat lengannya dikibaskan terasa ada hawa panas yang menyengat
kulit. Tangkisannya telah menghancurkan lengan bajunya seperti bekas terbakar.
Kenyataan itu membuat senapati tinggi besar ini kaget bukan main.
"Gila..."!" desis Senapati Sura Wijaya tidak menyangka kalau Setan Jari Api
demikian hebat. Terbukti dalam segebrakan dirinya nyaris kehilangan nyawa!
Sadar kalau Setan Jari Api tidak mungkin bersedia menyerah begitu saja, Senapati
Sura Wijaya segera memerintahkan pasukannya yang memang sudah dipersiapkan
dengan baik. "Pasukan panah, seraaang...!"
Tanpa diperintah dua kali, pasukan panah yang sejak tadi sudah siap langsung
melepaskan anak panahnya.
Zing, zing, zing...!
Puluhan batang anak panah meluncur deras mengancam tubuh Setan Jari Api.
Suasana malam yang semula hening tersentak oleh suara desingan tajam yang
membelah udara.
"Hmh...!"
Kaget juga hati Setan Jari Api melihat serangan itu. Apalagi jarak pasukan panah
dengan tempatnya berdiri hanya terpaut beberapa tombak. Sadarlah datuk sesat itu
kalau Senapati Sura Wijaya benar-benar telah siap menghadapinya.
Setan Jari Api tidak mau ceroboh menghadapi ancaman maut itu. Cepat kedua
tangannya disilangkan di depan dada. Kemudian diputar sedemikian rupa, saat
puluhan batang anak panah itu tiba semakin dekat.
"Heaaah...!"
Seketika itu juga, angin keras berhembus pertanda datuk sesat itu menggunakan
tenaga dalam untuk mematahkan serangan anak panah lawan.
Trak, trak, trak...!
Beberapa batang anak panah yang mengenai lengannya langsung runtuh dalam keadaan
patah! Sisanya terpental ke kiri dan kanan dilanda angin keras yang timbul dari
putaran kedua tangan datuk sesat itu. Gempuran pertama pasukan Kerajaan Bungaran
gagal! "Pasukan perisai dan pedang, maju...!"
Melihat serangan pasukan panah gagal, Senapati Sura Wijaya segera
memerintahkan pasukannya yang lain untuk maju menggempur!
"Heaaat...!"
"Haaat...!"
Belum lagi gema perintah Senapati Sura Wijaya lenyap, kedua pasukan yang
diperintah sudah berlompatan maju. Jumlah mereka tidak kurang tiga puluh orang.
Sebagian menghunus pedang, dan sisanya menggunakan perisai dari rajutan akar
pohon. Jangan dipandang ringan kemampuan kedua pasukan itu. Selain merupakan pasukan
khusus, anggota pasukan juga bukan orang lemah. Kepandaian silat mereka cukup
tinggi. Terlebih dalam bentuk pasukan yang kini maju menerjang Setan Jari Api.
Kehebatannya jangan diragukan lagi. Jarang ada tokoh yang sanggup menghadapi
pasukan itu. Setan Jari Api kelihatannya tidak mengecilkan pasukan yang tengah menyerangnya
itu. Ia telah mendengar kehebatan pasukan perisai dan pedang. Datuk sesat itu
tahu perisai dari rajutan akar pohon itu sanggup meredam pukulan yang mengandung
tenaga dalam. Sedangkan pasukan pedang, merupakan orang-orang terlatih yang
menggunakan ilmu pedang gabungan, yang bila dimainkan bersama-sama dalam jumlah
cukup sangat sulit dicari kelemahannya.
"Haiiit...!"
Dengan geseran langkah yang kokoh, Setan Jari Api bergerak mundur menghindari
sambaran pedang yang datang mengancam tubuhnya. Kemudian balas menyerang dengan
pukulan dan tamparannya yang menimbulkan suara mencicit tajam. Tapi....
"Heaaa...!"
Dua orang anggota pasukan perisai melompat maju menyambut pukulan datuk sesat
itu. Sedangkan dua orang anggota pasukan pedang yang menjadi sasaran serangan
datuk itu melompat mundur. Sehingga....
Duggg, duggg...!
"Hei..."!"
Setan Jari Api yang hanya baru mendengar kehebatan pasukan perisai tidak menarik
serangannya. Akibatnya, kedua pukulan datuk sesat itu berhasil ditangkis perisai
lawan. Setan Jari Api baru merasakan keampuhan perisai lawan, ia dapat merasakan
betapa tenaga pukulannya bagai menghantam benda kenyal yang membuat tenaganya
berbalik. Datuk itu tampak kaget, dan baru percaya akan kehebatan pasukan
perisai. Kendati demikian, Setan Jari Api tidak merasa gentar. Bahkan ia merasa
kepandaiannya seperti mendapat sebuah ujian berat Maka serangan-serangannya
kembali datang menderu-deru, membuat pertarungan berjalan seru dan mendebarkan!
Sementara itu, tujuh orang pengikut Setari Jari Api kelihatan agak terkejut
menyaksikan pemimpinnya dikeroyok puluhan orang yang menggunakan perisai dan
pedang. Tapi sebelum niat mereka untuk membantu Setan Jari Api terlaksana, tiba-
tiba terdengar teriakan keras yang membuat mereka mencabut senjata masing-
masing. "Tangkap ketujuh orang itu! Bunuh kalau mereka membandel...!"
Perintah itu datang dari seorang senapati lain yang usianya lebih muda dari
Senapati Sura Wijaya. Setelah berseru demikian, tubuhnya melayang diikuti tiga
puluh orang anggota pasukannya.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah di dekat ketujuh orang pengikut Setan Jari Api,
senapati muda itu langsung melancarkan serangan dengan pedangnya.
Bweeet, bweeet...!
Sekali bergerak pedang di tangannya melancarkan empat serangan berbahaya. Dari
sambaran angin pedangnya yang berdesing nyaring, tampaknya senapati muda itu
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Dua lawan yang menjadi sasaran
serangannya berlompatan mundur, dan membalas begitu serangan luput. Sebentar
saja pertarungan pun berlangsung sengit!
Sementara lima tokoh sesat lainnya telah pula mengamuk menghadapi keroyokan tiga
puluh prajurit pilihan yang berkepandaian cukup tinggi. Dalam beberapa jurus
saja, tokoh-tokoh sesat itu dapat didesak mundur oleh pasukan Kerajaan Bungaran!
Breeet...! "Aaa...!"
Beberapa belas jurus kemudian, korban di pihak tokoh sesat mulai jatuh. Empat
orang temannya kelihatan terkejut bukan main. Mereka tidak mengira pasukan itu
ternyata sangat tangguh dan tidak dapat disamakan dengan pasukan biasa.
Jatuhnya korban di pihak Setan Jari Api membuat datuk sesat itu menjadi kalap.
Serangan-serangannya semakin bertambah hebat! Bahkan mulai melancarkan ilmu
andalan yang jarang dipergunakan untuk menghadapi pasukan perisai dan pasukan
pedang yang telah membuatnya kerepotan.
"Haiiit...!"
Kilatan-kilatan cahaya kemerahan yang menyebarkan hawa panas memenuhi arena
pertarungan. Tampaknya Setan Jari Api tidak mau tanggung-tanggung lagi dalam
bertindak. Ketangguhan ilmunya memang nyata terlihat. Dua orang anggota pasukan
pedang terpental roboh mandi darah terkena sambaran jari-jari tangan datuk sesat
itu. "Kurang ajar...!"
Senapati Sura Wijaya tentu tidak bisa berpangku tangan melihat keganasan ilmu
Setan Jari Api. Saat itu juga tubuh lelaki tinggi besar itu melayang ke arah
pertempuran. "Haaat...!"
Cwiiit, cwiiit, cwiiit...!
Ujung pedang Senapati Sura Wijaya terpecah menjadi tiga ketika menyerang Setan
Jari Api. Tampaknya senapati tua itu telah menggunakan ilmu andalannya untuk
menghadapi datuk sesat yang hebat itu.
"Bagus...!" puji Setan Jari Api ketika melihat ujung pedang lawan langsung
mengincar tiga jalan darah kematian di tubuhnya.
Tentu saja Setan Jari Api tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran ujung pedang
lawan. Cepat-cepat tubuhnya berkelit, kemudian melancarkan serangan maut dengan
'Ilmu Jari Api'nya.
Kali ini, kendati Senapati Sura Wijaya dibantu kedua pasukannya, Setan Jari Api
tidak dapat didekati dengan mudah. Beberapa anggota pasukan yang nekat langsung
roboh terguling dengan tubuh mandi darah. Memang hebat ilmu datuk sesat itu!
Sehingga, lawan-lawannya mulai dilanda kegentaran. Setan Jari Api tidak ubahnya
malaikat maut yang siap mencabut nyawa mereka.
"Hiaaa...!"


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk kesekian kalinya, Setan Jari Api kembali melancarkan serangan maut.
Sehingga... Bresss...! "Aaa...!"
Enam orang anggota pasukan Senapati Sura Wijaya menjerit ngeri! Tubuh mereka
terpental dua tombak lebih terkena gempuran pukulan jarak jauh datuk sesat itu,
yang telah menggunakan seluruh tenaga untuk menggempur para pengeroyoknya.
"Iblis gila...!"
Senapati Sura Wijaya benar-benar dibuat kaget oleh sepak terjang datuk sesat
itu, yang memang sangat menggiriskan. Lelaki tinggi besar itu mulai ragu
tugasnya bisa berhasil. Kalau melihat kedahsyatan ilmu lawan, rasanya kecil
sekali kemungkinan untuk dapat melumpuhkan Setari Jari Api.
Tapi meskipun keyakinannya mulai goyah. Senapati Sura Wijaya tidak putus asa.
Ia lebih suka tewas di tangan datuk sesat itu daripada tugas yang dibebankan di
pundaknya gagal.
"Haaat...!"
Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Senapati Sura Wijaya kembali menggempur
Setan Jari Api. Senapati itu dibantu enam orang perwira, dan anggota pasukan
perisai serta pasukan pedang yang masih tersisa.
Datuk sesat berwajah angker itu tampak tidak merasa gentar. Serangan-serangannya
terus mengalir bagai gelombang laut yang ganas dan mematikan! Hingga pertarungan
semakin bertambah seru.
Lewat beberapa belas jurus, Setan Jari Api melihat suatu peluang baik. Maka,
sebuah pukulan telapak tangan segera disarangkan ke tubuh Senapati Sura Wijaya.
Akibatnya.... Plak! "Hugkh...!"
Tubuh senapati itu terpental memuntahkan darah segar. Pakaian pada bagian
dadanya menghitam dan hancur seperti terbakar. Bahkan sampai menembus kulit,
hingga dagingnya seperti luka bakar.
"Tamat riwayatmu, Panglima Tolol...!"
Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk bangkit, Setan Jari Api sudah
menyusuli dengan serangan mautnya untuk menghabisi nyawa Senapati Sura Wijaya.
Tubuh lelaki gendut itu melayang dengan serangan mematikan. Tapi....
"Yeaaat..!"
Breshhh...! Pada saat kematian siap menjemput Senapati Sura Wijaya, tiba-tiba melayang
sesosok bayangan yang sekujur tubuhnya terbungkus lapisan kabut putih keperakan.
Benturan keras pun tidak dapat dielakkan lagi. Tubuh Setan Jari Api terjajar
mundur agak terhuyung. Jelas datuk sesat itu kalah tenaga dalam benturan tadi.
2 "Bangsat...!"
Setan Jari Api menggeram marah. Kendati benturan itu tidak membuatnya terjatuh,
namun cukup mengejutkannya. Dengan mata berapi-api, datuk sesat itu memandang ke
depan, setelah memperbaiki kedudukan kuda-kudanya.
Sepasang mata Setan Jari Api menyipit ketika melihat sosok tubuh terbungkus
kabut putih bersinar keperakan. Sosok itu berdiri tegak membelakangi Senapati
Sura Wijaya yang tengah bangkit berdiri. Kening senapati tua itu tampak agak
berkerut melihat sosok yang berdiri hanya beberapa langkah di depannya.
Sementara sosok yang sekujur tubuhnya dilapisi kabut putih bersinar keperakan
kelihatan demikian tenang. Ia tidak terpengaruh oleh tatapan mata Setan Jari Api
yang jelas-jelas menunjukkan kemurkaan.
"Siapa kau, Kisanak...?" tegur Setan Jari Api yang tidak berani memandang remeh
sosok berjubah putih. Suaranya mengandung keraguan. Seolah khawatir dugaan yang
ada di kepalanya benar. Sebagai tokoh ternama dalam kalangan rimba persilatan,
tentu saja Setan Jari Api cukup banyak mengenal tokoh-tokoh yang setingkat
maupun di atasnya.
Ciri-ciri tokoh di depannya itu pernah sampai ke telinganya.
"Hm...."
Sosok berjubah putih itu bergumam pelan, kemudian bergerak maju beberapa
langkah. Sikapnya yang penuh kewaspadaan menunjukkan sosok itu tidak mau
meremehkan Setan Jari Api.
"Setan Jari Api...," ujar pemuda tampan berjubah putih dengan nada tenang.
"Apakah dosa-dosamu yang telah banyak masih hendak kau tambah lagi" Sadarkah kau
bahwa dengan membunuh senapati itu dosamu semakin tidak berampun" Sebaiknya kau
menyerah secara baik-baik. Dengan begitu, mungkin pihak kerajaan akan
meringankan hukumanmu...."
"Hmh...!"
Mendengar nasihat pemuda tampan itu, Setan Jari Api menggeram marah. Datuk sesat
itu merasa tersinggung, karena ucapan pemuda itu dianggapnya sebagai suatu
penghinaan, ia sungguh tidak bisa menerimanya.
Senapati Sura Wijaya yang berada di belakang pemuda tampan itu segera mendekat,
ia yakin nyawanya telah diselamatkan pemuda itu. Apalagi setelah mendengar
ucapannya. Semakin yakinlah Senapati Sura Wijaya kalau pemuda berjubah putih itu
berada di pihaknya. Maka tanpa ragu lagi, ia melanjutkan ucapan penolongnya.
"Apa yang dikatakan Kisanak ini benar, Setan Jari Api. Seandainya kau mau
menyerah tanpa melawan, aku akan memintakan keringanan hukuman pada sang Prabu.
Aku yakin beliau mau mempertimbangkannya...," ujar Senapati Sura Wijaya kemudian
melempar pandang ke arah penolongnya.
Sosok pemuda tampan berjubah putih itu pun mengalihkan pandang. Hingga kedua
pasang mata itu bertatapan sekilas. Pemuda itu tersenyum menganggukkan kepala
melihat wajah senapati gagah itu menggambarkan rasa heran yang sangat. Senapati
Sura Wijaya memandang tidak percaya.
"Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang namanya telah
menggetarkan jagat...?" ucap Senapati Sura Wijaya ragu.
Mendengar pertanyaan itu, pemuda berjubah putih yang memang Panji,
melebarkan senyum. Tampaknya ia tidak merasa heran kalau senapati gagah itu
segera bisa menebaknya. Sebagai senapati tua yang banyak pengalaman, tentu
Senapati Sura Wijaya telah mendengar julukannya. Panji pun tersenyum sebagai
jawabannya, ia menganggukkan kepala dengan penuh hormat.
"Maafkan kelancanganku. Tuan Senapati...," ujar Panji, karena telah mencampuri
urusan itu. Senapati Sura Wijaya menggeleng dengan senyum lebar. Segera disalaminya pemuda
tampan berjubah putih itu dengan hangat.
"Ternyata cerita yang tersebar selama ini memang tidak berlebihan. Kau benar-
benar seorang pendekar muda yang patut menjadi teladan tokoh-tokoh persilatan.
Meski nama besarmu bergaung menggetarkan jagat, ternyata tidak membuatmu
terbius. Aku sungguh kagum kepadamu, Pendekar Naga Putih...," kata Senapati Sura
Wijaya mendengar ucapan pemuda itu. Kerendahan hati Panji telah menumbuhkan
kekaguman dalam hati senapati tua ini.
Setan Jari Api yang merasa diremehkan menggeram marah. Kedua orang itu seperti
tidak mengindahkan keberadaannya. Pembicaraan kedua orang gagah itu pun terhenti
seketika. Dan berpaling menatap datuk sesat itu.
Namun, sebelum ketiga orang itu sempat membuka suara, mereka dikejutkan oleh
jerit kematian yang melengking nyaring. Langsung saja ketiganya menoleh ke arah
asal jeritan. Senapati Sura Wijaya dan Setan Jari Api mengerutkan kening melihat sesosok
bayangan hijau tengah menghajar sisa pengikut datuk sesat itu. Tampaknya sosok
bayangan hijau itu berpihak kepada prajurit kerajaan yang memang tengah
menggempur tokoh-tokoh sesat itu. Peristiwa itu menimbulkan perasaan yang
berlainan bagi Setan Jari Api dan Senapati Sura Wijaya. Senapati tua yang gagah
itu menarik napas lega. Sedangkan Setan Jari Api semakin menjadi-jadi murkanya.
"Setan keparat...!" umpat Setan Jari Api menggigil saking marahnya. "Kaulah
penyebab semua ini, Pendekar Naga Putih. Kau akan menanggung akibatnya...!"
Senapati Sura Wijaya melintangkan pedangnya di atas kepala dengan kuda-kuda
rendah dan kedudukan menyamping. Karena saat itu Setan Jari Api tengah mengempos
semangatnya, siap menerjang maju. Tapi, gerakan senapati gagah itu buru-buru
dicegah Panji. "Maaf, Tuan Senapati. Biarlah aku mencoba menghadapi Setan Jari
Api...," pinta Panji dengan sikap hormat tanpa terkesan hendak meremehkan
Senapati Sura Wijaya.
Senapati Sura Wijaya pun tahu diri. Sadar kalau dirinya bukan tandingan Setan
Jari Api, senapati tua itu pun mengangguk dan bergerak mundur beberapa langkah.
"Hati-hati, Pendekar Naga Putih. Datuk sesat itu sangat berbahaya...," pesan
Senapati Sura Wijaya kepada Panji yang tentu saja tidak meremehkan nasihat itu.
Panji pun tahu kalau yang dihadapinya seorang tokoh tingkat tinggi golongan
sesat. "Terima kasih, Tuan Senapati...," kata Panji yang sudah melangkah maju, siap
menghadapi Setan Jari Api.
"Hmh...!"
Setan Jari Api menggeram melihat pemuda tampan berjubah putih itu telah siap
menghadapinya. Sadar kalau lawannya kali ini seorang pendekar muda yang nama
besarnya telah menggetarkan rimba persilatan, datuk sesat itu langsung
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Akibatnya sangat hebat! Daun-daun di sekitar tempat datuk sesat itu berdiri
berguguran. Pengerahan tenaga Setan Jari Api benar-benar menggetarkan jantung.
Datuk sesat itu tengah mempersiapkan diri untuk bertarung mati-matian!
Demikian pula Pendekar Naga Putih. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya langsung
dikerahkan untuk menghadapi gempuran datuk sesat itu. Tubuh pemuda itu telah
diselimuti lapisan kabut putih bersinar keperakan. Panji telah siap bertarung
dengan tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Haaat...!"
Setan Jari Api rupanya sudah tidak sabar untuk segera memulai pertarungan.
Dengan sebuah pekikan dahsyat, tubuh lelaki gemuk itu melayang ke arah lawan.
Dalam gebrakan pertama ia langsung melancarkan serangkaian serangan berbahaya.
Sasarannya bagian-bagian mematikan di tubuh lawan.
"Haiitt...!"
Panji pun tidak mau menunggu serangan lawan datang. Saat itu juga, tubuhnya
berkelebat dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Gerakannya demikian
cepat, seperti hendak mengimbangi permainan lawan. Sebentar saja, kedua tokoh
itu telah terlibat sebuah pertarungan mendebarkan.
Bweeet, bweeet...!
Dalam jurus-jurus awal, Setan Jari Api demikian gencar melancarkan serangan.
Pukulannya datang bertubi-tubi dengan diiringi hawa panas yang menyengat kulit.
Untunglah tubuh Panji dilindungi lapisan kabut yang memancarkan hawa dingin
menggigit. Kalau tidak, bukan mustahil tubuh Pendekar Naga Putih sudah melepuh
oleh hawa panas yang muncul dari setiap serangan Setan Jari Api.
Ketika pertarungan berjalan semakin jauh, Panji mulai membangun serangan.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga mulai menunjukkan keampuhan.
Sehingga, serangan balasan pemuda tampan berjubah putih itu sempat membuat Setan
Jari Api kewalahan. Datuk sesat itu terpaksa bermain mundur sambil mencari
kesempatan untuk balas menyerang.
Panji tentu saja tahu apa yang ada di pikiran lawan. Maka, ia semakin
mempergencar serangan-serangannya. Sehingga kesempatan yang ditunggu-tunggu
Setan Jari Api hampir tidak pernah ditemukan. Bahkan tokoh sesat itu semakin
sibuk menghindar dan menangkis serangan Pendekar Naga Putih.
"Bedebah! Bocah keparat...!"
Jengkel bukan main hati datuk sesat itu melihat kesempatan yang dinantinya tidak
juga terlihat. Makiannya mulai terdengar sesekali. Sebab ia terus dipaksa
bermain mundur, tanpa diberi kesempatan membangun serangan.
"Heaaah...!"
Karena peluang yang ditunggunya tidak juga terbuka, Setan Jari Api terpaksa
bertindak nekat. Saat pertarungan menginjak jurus ketujuh puluh lima, datuk
sesat itu membentak nyaring seraya melompat panjang ke belakang. Dan begitu
kakinya menginjak tanah, tubuhnya kembali melesat ke depan.
"Haaat...!"
Sambil memekik parau, datuk sesat itu mendorong kedua tangannya ke depan.
Whusss...! Serangkum angin panas yang sanggup menghanguskan pohon besar berhembus ke arah
Pendekar Naga Putih. Dapat dibayangkan betapa mengerikan serangan yang
dilancarkan Setan Jari Api. Sehingga, orang-orang yang berada dalam jarak satu
setengah tombak dari tempat itu langsung berlompatan mundur. Tubuh mereka bagai
terpanggang bara api.
Panji pun sadar akan datangnya bahaya yang mengancam. Cepat kedua tangannya
diputar bersilangan di depan dada. Saat berikutnya....
"Heaaat...!"
Pendekar Naga Putih melesat ke depan menyambut gempuran Setan Jari Api Sepasang
tangannya didorong ke depan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan',
sampai tiga perempat bagian lebih. Itu dilakukan Panji mengingat kepandaian
lawan memang tidak bisa dianggap main-main. Dan....
Blarrr...! Luar biasa! Ledakan yang memekakkan telinga terdengar saat dua gelombang tenaga
raksasa saling berbenturan di udara. Dua jenis tenaga yang berlainan sifat itu
membuat hawa panas dan dingin silih berganti berhembus di sekitar arena
pertarungan. Bahkan ledakan itu masih disertai kepulan asap tebal yang membuat arena
pertarungan menjadi gelap untuk beberapa saat.
"Aaa...!"
Setan Jari Api yang merasakan kedahsyatan benturan itu menjerit ngeri. Tubuh
datuk sesat itu terlempar balik sejauh empat tombak lebih. Dan terus menghajar
sebatang pohon sepelukan lelaki dewasa, hingga tumbang seketika. Sekujur tubuh
datuk sesat itu masih dipenuhi hawa tenaga andalannya.
Krakkk...! Seiring robohnya pohon besar itu, tubuh Setan Jari Api terbanting ke tanah.
"Huagkh...!"
Darah kental kehitaman langsung termuntah keluar dari mulut Setan Jari Api.
Wajah tokoh menggiriskan itu tampak pucat. Untuk beberapa saat lamanya ia tidak
sanggup bangkit.
Sementara yang dialami Panji tidaklah separah Setan Jari Api. Meskipun benturan
itu sempat membuat tubuhnya terdorong, namun ia dapat menguasai keseimbangan
tubuhnya. Dengan sebuah putaran manis, daya dorong benturan itu dapat
dipatahkan. Dan Panji meluncur turun tanpa mengalami luka sedikit pun. Kecuali kuda-kudanya
terlihat agak goyah saat kedua kakinya menjejak tanah.
Ketika melihat lawannya masih belum mampu bangkit. Panji melesat ke depan bagai
seekor burung yang terbang melayang. Lalu meluncur turun tepat di hadapan Setan
Jari Api. Tanpa membuang-buang waktu, Panji langsung menotok lumpuh tubuh lawan.
Hingga datuk sesat itu lemas dan tidak mampu lagi menggerakkan anggota tubuhnya.
Melihat akhir pertarungan itu, Senapati Sura Wgaya segera memerintahkan para
prajuritnya untuk menahan Setan Jari Api. Sementara senapati tua itu mendekat
Panji dan dara jelita berpakaian serba hijau. Dara jelita itu adalah Kenanga,
yang selalu menyertai kepergian kekasihnya.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Jasamu tidak kecil kepada kerajaan kami.
Kuharap kau bersedia menyertai kami ke kotaraja...."
Senapati Sura Wijaya menjabat tangan Panji erat-erat. Kemudian berpaling ke arah
Kenanga. "Jasamu pun tidak kalah besar, Nisanak...?"
Kenanga hanya tersenyum saat senapati tua itu menjabat tangannya. Hatinya merasa
lega telah dapat membantu Senapati Sura Wijaya. Sebab gadis ini tahu senapati
tua itu seorang pembesar yang baik dan jujur.
"Tanpa bantuan Tuan Senapati beserta para prajurit yang gagah berani itu, mana
mungkin kami dapat menaklukkan Setan Jari Api dan kawan-kawannya...," tukas
Kenanga, tidak ingin jika senapati tua yang gagah itu membesar-besarkan bantuan
mereka berdua dengan melupakan pasukannya sendiri.
Senapati Sura Wijaya mengangguk-anggukkan kepala dengan kekaguman yang semakin
kental. Ucapan dara jelita itu menunjukkan kerendahan hati seorang pendekar
sejari. Kenyataan itu membuatnya semakin bangga. Memang orang-orang seperti
merekalah yang dibutuhkan orang banyak.
"Kalian berdua benar-benar pendekar sejati, yang tidak menjadi lupa karena
pujian dan sanjungan. Aku sungguh bangga terhadap kalian...," kata Senapati Sura
Wijaya kagum. "Kuharap Tuan Senapati tidak membuat kepala kami menjadi besar. Apa yang kami
lakukan sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah. Kami yakin pendekar-pendekar
lain pun akan melakukan hal serupa...," tanggap Panji, membuat senapati tua itu
tertawa perlahan.
"Hm.... Bagaimana dengan tawaranku, Pendekar Naga Putih" Apakah kalian tidak
keberatan ikut ke kotaraja bersama kami...?" Senapati Sura Wijaya mengingatkan
Panji dan Kenanga akan ucapannya tadi.
Panji maupun Kenanga tidak segera menjawab. Keduanya saling bertukar pandang
sesaat, seperti hendak meminta pendapat satu sama lain. Kemudian kembali menatap
Senapati Sura Wijaya yang tengah menunggu jawaban mereka.


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Sebenarnya kami tidak ingin merepotkan Tuan Senapati. Tapi, rasanya
tidak sopan kalau kami menolak usul itu. Lagi pula kami ingin menuntaskan
pekerjaan ini. Hanya saja kami mempunyai usul. Itu pun kalau Tuan Senapati tidak
merasa keberatan...," ujar Panji.
"Mmm.... Apa yang hendak kau usulkan, Pendekar Naga Putih" Tidak usah segan-
segan untuk mengatakannya...," ucap Senapati Sura Wijaya agak heran.
"Tidak banyak, Tuan Senapati. Kami hanya ingin agar setibanya di kotaraja, Tuan
Senapati memperbolehkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak ingin terlalu
merepotkan...," jawab Panji mengutarakan usulnya.
"Ha ha ha...!"
Senapati Sura Wijaya tertawa mendengar usul Pendekar Naga Putih. Kelihatan
senapati tua ini telah mempunyai rencana dengan pasangan pendekar muda itu.
Ucapan Panji membuatnya sadar kalau rencananya jelas sulit untuk terwujud.
"Pandanganmu sungguh tajam, Pendekar Naga Putih. Sebenarnya aku memang hendak
membawa kalian menghadap sang Prabu. Tapi, karena kau sudah mengatakannya lebih
dulu, baiklah, aku menerima usul itu...," Senapati Sura Wijaya terpaksa
membatalkan rencananya untuk membawa pasangan pendekar muda itu ke hadapan
penguasa negeri.
"Terima kasih atas kebaikan Tuan Senapati...," ujar Panji tersenyum.
Pendekar Naga Putih memang telah menduga apa yang akan dilakukan Senapati Sura
Wijaya, bila mereka tiba di kotaraja. Janji senapati tua itu membuat Panji
merasa lega. Ia tidak ingin mendapat pujian atau hadiah atas apa yang telah
dilakukannya. "Kalau begitu, bisakah kita segera berangkat...?" tanya Senapati Sura Wijaya
kepada pasangan pendekar muda itu, yang tersenyum lebar.
"Terserah kehendak Tuan Senapati. Kami hanya menurut bagaimana baiknya saja...,"
tukas Panji yang merasa kagum atas kerendahan hati senapati tua yang gagah itu.
Sebab pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu. Sebagai seorang senapati, lelaki
tua itu bebas berbuat semaunya. Tapi, Senapati Sura Wijaya bertanya kepada
mereka. Pertanyaan itu jelas menunjukkan rasa hormat dan segannya terhadap
mereka berdua. Untuk kedua kalinya Senapati Sura Wijaya memperdengarkan tawanya tanpa ragu.
Kali ini agak pelan dibanding tawanya yang pertama. Tampaknya senapati gagah itu
sangat gembira dengan jawaban Panji.
"Ayo kita berangkat...," Senapati Sura Wijaya segera memerintahkan pasukannya
meninggalkan tempat itu.
Sebentar kemudian, puncak Bukit Hitam kembali sunyi. Yang tinggal hanya sosok-
sosok mayat ditemani hembusan angin dingin menjelang fajar.
3 Pagi belum lama datang menggantikan tugas sang Malam. Sinar matahari pun belum
menghangatkan seluruh permukaan bumi. Namun, penduduk kotaraja sudah berduyun-
duyun mendatangi alun-alun istana Kerajaan Bungaran. Kendati agak berdesakan,
namun keadaan itu tidak membuat mereka mengeluh. Hari itu akan ada peristiwa
penting yang hendak mereka saksikan.
Di tengah alun-alun tampak berdiri sebuah panggung yang cukup lebar. Di atasnya
terdapat sebuah tiang kokoh yang pada bagian atasnya terlihat tali gantungan. Di
sebelah tiang, berdiri seorang lelaki kekar bercambang bauk yang hanya
mengenakan celana panjang hitam. Bagian atas tubuhnya polos tanpa baju. Menilik
sikapnya yang angker, dapat ditebak lelaki kekar menyeramkan itu seorang algojo.
Tidak berapa lama kemudian, seorang lelaki gegah berpakaian senapati bergerak
naik ke atas panggung. Langkahnya tegap dengan wajah penuh wibawa, membuat semua
mata tertuju ke arah sosok lelaki gagah itu. Lelaki itu adalah Senapati Sura
Wijaya. Setelah membungkuk hormat ke sebelah kanan panggung, tempat para pembesar
kerajaan serta Prabu Tamanggala duduk, Senapati Sura Wijaya berbalik menghadap
penduduk kotaraja yang kelihatan sudah tidak sabar ingin segera menyaksikan
peristiwa itu. "Wahai rakyat Kerajaan Bungaran yang tercinta...!" Senapati Sura Wijaya memulai
pengumumannya dengan suara lantang. "Pada pagi ini akan dilaksanakan hukuman
terhadap seorang penjahat besar yang memiliki dosa tak berampun. Selain telah
banyak menyusahkan orang, dia pun telah membunuh seorang senapati kerajaan serta
beberapa perwira di perbatasan. Untuk itu, kami telah memutuskan akan menghukum
gantung, agar menjadi contoh bagi penjahat-penjahat lainnya."
Sampai di situ, Senapati Sura Wijaya menghentikan ucapannya. Kemudian menoleh ke
arah Prabu Tamanggala. Setelah mendapat isyarat anggukan kepala dari penguasa
Kerajaan Bungaran, Senapati Sura Wijaya mengalihkan perhatiannya ke belakang
panggung. Dan memerintahkan prajuritnya agar membawa naik penjahat yang hendak
dihukum gantung.
Pada saat empat orang perwira naik ke atas panggung membawa seorang lelaki gemuk
berperut buncit, penduduk saling menjulurkan kepala hendak melihat penjahat itu.
Terdengar suara makian di sana-sini, hingga suasana menjadi ribut. Suara-suara
itu baru lenyap setelah Senapati Sura Wijaya mengangkat kedua tangannya ke atas.
Suasana kembali tenang. Senapati Sura Wijaya kemudian memerintahkan agar hukuman
segera dilaksanakan. Dan memberikan isyarat kepada empat orang perwira itu untuk
menyingkir ke tepi panggung.
Lelaki kekar bercambang bauk yang akan melaksanakan hukuman menyeret orang yang
tidak lain Setan Jari Api. Tokoh itu kelihatan tidak berdaya. Wajahnya pucat.
Cairan merah tampak di sudut bibirnya. Sesekali terdengar tokoh itu terbatuk.
Rupanya luka dalam yang dideritanya karena bertarung dengan Pendekar Naga Putih
semakin parah. Bahkan tubuh datuk sesat itu kelihatan lemah. Hingga Senapati Sura Wijaya tidak
khawatir jika datuk sesat itu akan mengamuk. Keadaan Setan Jari Api tidak
memungkinkan untuk bertarung. Lelaki gemuk itu tidak membantah saat tubuhnya
ditarik ke tiang gantungan.
Tali gantungan yang tebal dan kuat telah melingkari leher Setan Jari Api. Algojo
pelaksana pun sudah bergerak menyingkir dua tindak. Tangannya yang kekar
menggenggam sebatang kayu yang akan membuka lantai panggung di bawah kaki Setan
Jari Api. Dan saat algojo itu siap menarik kayu bulat yang digenggamnya,
mendadak... "Aaa...!"
Di empat penjuru terdengar jerit kematian susul-menyusul. Tubuh-tubuh penduduk
tampak beterbangan bagai diamuk angin topan. Karuan saja suasana yang semula
tegang menjadi ribut dan sukar dikendalikan. Penduduk yang semula berkerumun
berlarian kian kemari.
Tali gantungan yang tebal dan kuat telah melingkari leher Setan Jari Api. Algojo
pelaksana pun sudah bergerak menyingkir dua tindak. Tangannya yang kekar
menggenggam sebatang kayu yang akan membuka lantai panggung di bawah kaki Setan
Jari Api. Dan saat algojo itu siap menarik kayu bulat yang digenggamnya,
mendadak.... "Bawa Gusti Prabu Tamanggala ke dalam istana! Kawal dengan ketat!"
Senapati Sura Wijaya langsung bertindak cepat. Lalu memerintahkan pasukan yang
telah bersiap di sekitar alun-alun untuk segera mengatasi kekacauan itu. Sadar
bahwa keributan itu perbuatan kawan-kawan Setan Jari Api, maka diperintahkannya
agar hukuman segera dilaksanakan.
"Algojo, lanjutkan hukuman! Cepat...!"
Tanpa membuang-buang waktu, algojo bercambang bauk itu segera menarik kayu bulat
yang dipegangnya dengan menekan ke bawah. Seketika itu juga, lantai di bawah
Setan Jari Api terbuka lebar. Namun sebelum tubuh datuk sesat itu terperosok ke
bawah membuat lehernya tercekik tali gantungan, tiba-tiba....
"Haiiit...!"
Sesosok bayangan hitam melesat dengan kecepatan tinggi. Dengan pedang di tangan,
tali gantungan dibabat putus! Dan tubuh Setan Jari Api disambarnya dengan cepat.
Kejadian yang hanya sekejap mata itu tidak bisa dicegah Senapati Sura Wijaya dan
algojo bercambang bauk. Sehingga Setan Jari Api lolos dari kematian!
Perbuatan sosok terbungkus pakaian hitam, yang wajahnya sebagian tertutup kain
hitam, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sebelum semua yang berada di atas
panggung sadar akan perbuatannya, pedang sosok berpakaian serba hitam sudah
menyambar perut algojo brewok yang masih terkesima. Dan....
Breeet..! "Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh algojo brewok itu tersungkur ke bawah panggung
bermandikan darah segar. Perutnya robek oleh sambaran pedang sccok berpakaian
hitam yang memondong Setan Jari Api di bahu kirinya.
"Keparat! Tangkap pengacau itu...!" Senapati Sura Wijaya berteriak memerintahkan
empat perwira yang masih terkesima. Sementara senapati gagah itu sudah melompat
maju dengan pedang di tangan.
Whuuut...! Sambaran pedang Senapati Sura Wijaya dapat dielakkan lawan dengan melompat ke
bawah panggung. Cepat senapati itu melompat mengejar. Sayang ia mengalami
kesulitan. Sosok berpakaian serba hitam bergerak menyelinap di antara penduduk
yang berlarian tak tentu arah.
"Bangsat..!" maki Senapati Sura Wijaya geram bukan main.
Tentu saja Senapati Sura Wijaya tidak ingin mencelakakan penduduk dengan
pedangnya. Apalagi buruannya demikian licik. Akibatnya, tidak sedikit korban
berjatuhan. Sebab sosok berpakaian serba hitam mengibaskan pedangnya membunuhi penduduk.
Suasana yang demikian kacau dan semrawut membuat Senapati Sura Wijaya dan
pasukannya nyaris tidak berdaya. Pintu keluar yang telah diperintahkan untuk
ditutup jebol. Karena penjahat-penjahat yang jumlahnya cukup banyak itu
menggunakan penduduk untuk menerjang keluar. Hingga para prajurit terpaksa
menyingkir. Mereka tentu saja tidak ingin membunuh penduduk yang tidak berdosa.
Akhirnya pengacau-pengacau itu dapat melarikan diri dengan cara menyebar.
Bukan main geramnya hati Senapati Sura Wijaya. Kendati korban pihak pengacau
telah belasan orang, tetap saja ia gagal mencegah mereka melarikan Setan Jari
Api. Padahal tokoh itu harus mereka tangkap kembali.
Di beberapa tempat pertempuran masih berlangsung. Para pengacau yang terkepung
prajurit kerajaan lebih memilih mati daripada ditawan. Mereka bertarung seperti
orang yang hilang ingatan, hingga tidak peduli lagi dengan nyawa mereka.
Kenyataan itu membuat para prajurit kerajaan kewalahan. Sampai akhirnya mereka
terpaksa membunuh pengacau-pengacau itu.
"Gila! Entah berapa banyak orang-orang golongan sesat yang memasuki kotaraja!
Kelihatannya mereka telah merencanakan kekacauan ini dengan matang!" geram
Senapati Sura Wijaya yang merasa nyaris tidak berdaya menghadapi pengacau-
pengacau itu. Tapi Senapati Sura Wijaya tidak bisa menyalahkan penduduk yang ketakutan, hingga
membuat pihak kerajaan ragu untuk bertindak. Maka meskipun di pihak pengacau
tidak sedikit yang menjadi korban, Setan Jari Api dapat mereka selamatkan dari
hukuman. Padahal itu yang paling penting.
Senapati Sura Wijaya hanya bisa membanting kaki dengan wajah berang.
Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu untuk melapor kepada Prabu Tamanggala,
setelah memerintahkan para prajuritnya membersihkan alun-alun dari puluhan mayat
yang berserakan.
"Senapati Gunawali. Bawa seratus orang prajurit pilihan untuk mengejar pengacau-
pengacau yang berhasil melarikan Setan Jari Api. Aku akan menyusul setelah
melaporkan kejadian ini kepada Gusti Prabu...," kata Senapati Sura Wijaya
sebelum pergi. "Baik, Kakang Senapati...," tukas senapati muda yang berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Maka tanpa banyak tanya, Senapati Gunawali segera menyiapkan
pasukan. Kemudian bergegas melakukan pengejaran dengan menunggang kuda.
*** "Bagaimana semua ini bisa terjadi, Sura Wijaya" Apa kau tidak mempersiapkan
pasukan di sekeliling alun-alun untuk berjaga-jaga?" tegur Prabu Tamanggala
dengan kening berkerut. Nada suaranya jelas menggambarkan kekecewaan yang dalam.
"Ampun, Gusti Prabu...."
Senapati Sura Wijaya bersimpuh beberapa langkah di depan Prabu Tamanggala.
Senapati tua yang gagah itu kelihatan agak pucat. Kepalanya tertunduk dengan
kedua tangan menangkup di atas kepala.
"Sebenarnya semua ini sudah hamba perhitungkan. Tapi, kawan-kawan Setan Jari Api
telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Mereka sengaja membuat
kekacauan dengan membunuhi penduduk yang memadati alun-alun. Karena tidak ingin
mencelakakan penduduk, hamba gagal mencegah kepergian mereka, Gusti Prabu. Hamba
mengaku salah, dan siap menerima hukuman....," Senapati Sura Wijaya tetap
menundukkan kepala, tidak berani menatap Prabu Tamanggala.
"Hmh...!"
Prabu Tamanggala mendengus kesal mendengar laporan Senapati Sura Wijaya.
Meskipun alasan itu dapat diterima akal, namun tetap saja penguasa Kerajaan
Bungaran itu merasa kecewa. Penjahat besar yang siap menjalani hukuman mati
dapat diselamatkan kawan-kawannya.
"Ampun, Gusti Prabu...."
Seorang lelaki tua yang tangan kanannya memegang tongkat, dan berdiri di sebelah
kanan Prabu Tamanggala membuka suara.
"Hm...," Prabu Tamanggala hanya bergumam, tanpa berpaling kepada lelaki tua
penasihat kerajaan itu.
"Sebenarnya penjahat besar seperti Setan Jari Api tidak perlu dihukum dengan
cara demikian. Apalagi dengan mempertontonkan di hadapan penduduk. Terbukti apa
yang menjadi kekhawatiran hamba menjadi kenyataan...," ujar orang tua berjenggot
putih itu menjelaskan.
"Hm... Mengapa tidak sejak semula kau bersikeras dengan pendirianmu itu, Paman"
Bukankah kau telah menyetujui keputusan rapat" Mengapa baru sekarang kau berubah
pikiran...?" tegur Prabu Tamanggala dengan nada tak senang.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba terpaksa mengalah dalam rapat. Karena sebagian besar
para pembesar setuju dengan pendapat Senapati Sura Wijaya, yang ingin memberikan
contoh kepada penjahat-penjahat lainnya. Padalah perbuatan itu jelas mengundang
bahaya yang tidak kecil," jelas lelaki tua itu lagi membela diri. Seolah hendak
menimpakan kesalahan kepada Senapati Sura Wijaya. Karena hukuman itu memang atas
usulnya. "Ampun, Gusti Prabu.,.," Senapati Sura Wijaya tentu saja tidak bisa menerima
tuduhan yang dilemparkan penasihat kerajaan itu. Maka ia menjawab dengan
lantang. "Apa yang hamba usulkan memang merupakan jalan yang terbaik. Dengan menghukum
Setan Jari Api di hadapan rakyat kemungkinan besar kaum golongan sesat tidak
akan berani lagi meremehkan petugas-petugas kerajaan. Dan akan menjadi contoh
yang baik bagi penjahat-penjahat lainnya. Karena bila hukuman itu berhasil kita
laksanakan, kaum golongan sesat tidak akan berani lagi membantai orang-orang
kita. Maaf kalau hamba terpaksa kembali mengulangi ucapan hamba...."
"Tapi, Gusti Prabu..."
"Sudah! Tidak ada gunanya lagi kalian berbantahan!" tegas Prabu Tamanggala
memotong kalimat penasihatnya. Sehingga, lelaki tua itu tidak berani melanjutkan
ucapannya. Prabu Tamanggala bangkit dari kursinya. Setelah mengedarkan pandangan ke
sekeliling ruangan, terdengar ucapannya.
"Sura Wijaya. Sekarang juga bawa pasukan secukupnya! Cari dan bunuh Setan Jari
Api di tempat! Tidak perlu lagi diberi kesempatan manusia jahat itu hidup!"
Setelah berkata demikian, Prabu Tamanggala bergegas meninggalkan ruangan.
Semua pembesar kerajaan bersimpuh dengan kedua tangan ditangkupkan di atas
kepala. "Baik, Gusti Prabu. Titah Paduka akan segera hamba laksanakan...," sahut
Senapati Sura Wijaya tegas. Kemudian bangkit dan meninggalkan ruangan, setelah
sosok Prabu Tamanggala lenyap di balik pintu.
Para pembesar Kerajaan Bungaran bergegas pergi. Kebanyakan dari mereka lebih
berpihak kepada Senapati Sura Wijaya daripada penasihat kerajaan. Maka tak satu
pun dari mereka menyempatkan diri mengerling kepada lelaki tua yang berdiri
tegak memandangi kepergian mereka. Tubuh lelaki tua itu baru bergerak ketika
ruangan telah sepi.
4 "Heran, belakangan ini aku sering melihat rombongan prajurit berkuda berkeliaran
ke desa-desa" Mungkinkah ada kerajaan lain yang hendak merebut negeri ini...?"
desah seorang lelaki berwajah kehitaman. Kemudian meneguk teh di hadapannya.
Lelaki tua berwajah tirus yang duduk di sebelah orang itu menoleh sekilas.
Wajahnya ikut dipalingkan ke jalan utama desa. Tapi wajah itu sedikit pun tidak
mencerminkan rasa heran. Sepertinya tidak merasa aneh dengan pemandangan itu.
"Jadi kau belum tahu penyebabnya...?" tanya lelaki tua berwajah tirus yang kumis
dan jenggotnya tumbuh tak beraturan.
"Memangnya ada apa...?"
Lelaki berwajah kehitaman menoleh pada kawannya. Kelihatannya ia memang tidak
tahu penyebab prajurit berkuda sering terlihat berkeliaran di desa-desa, seperti
yang saat itu disaksikannya.


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm...."
Lelaki tua berwajah tirus tidak segera menjawab. Dihirupnya teh hangat. Saat itu
mereka sedang berada di sebuah kedai minum.
Kendati lelaki berwajah kehitaman sudah tidak sabar ingin segera mendapat
jawaban, ia tidak mendesak. Ditunggunya lelaki tua berwajah tirus menghabiskan
sisa teh hangatnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Sebenarnya para prajurit berkuda itu bukan hendak berperang, atau berjaga-jaga
terhadap serangan dari luar. Mereka sedang mencari seorang penjahat besar yang
selamat dari tiang gantungan...," jelas lelaki tua berwajah tirus. Ditariknya
napas dalam-dalam seraya mengeluarkan lintingan rokok kawung dari dalam kantung
bajunya. "Merokok..?" lelaki tua berwajah tirus menawarkan lintingan rokok kawung
lainnya. "Tidak. Terima kasih...," sahut lelaki berwajah kehitaman yang berusia kira-kira
empat puluh tahun. Kepalanya menggeleng sambil tetap mengawasi lelaki tua
berwajah tirus yang sibuk dengan rokok kawungnya. Kelihatannya ia berpura-pura
tidak tahu kalau lelaki berwajah kehitaman tengah menunggu kelanjutan ceritanya.
Setelah menyedot rokoknya dalam-dalam dengan sebuah tarikan panjang, lelaki tua
berwajah tirus menghembuskan asap tebal dengan helaan napas berat.
"Bagaimana penjahat besar itu bisa selamat dari tiang gantungan, Kisanak" Apa
kesalahan penjahat itu sampai harus dihukum gantung?"
Karena kelanjutan cerita yang dinantinya tak kunjung datang, lelaki berwajah
kehitaman akhirnya tidak sabar.
"Kau benar-benar tidak tahu...?" tanya lelaki tua berwajah tirus menegasi,
berpura-pura bodoh. Padahal ia sengaja menggantung ceritanya agar lebih menarik.
"Tentu saja aku tidak tahu. Kalau tahu, buat apa aku menunggu Kisanak sejak
tadi...?" tukas lelaki berwajah kehitaman penasaran. Ingin mengetahui penyebab
prajurit berkuda datang ke desa tempat tinggalnya yang terpencil dan jauh dari
keramaian. "Sebagai pedagang keliling, aku cukup tahu banyak kejadian yang terjadi di
negeri ini. Aku bisa mengetahui peristiwa yang terjadi, kendati letaknya cukup
jauh dari desa yang terpencil ini...."
"Aku tahu, Kisanak! Tapi bukan cerita itu yang ingin kudengar. Kelanjutan
ceritamu tentang penjahat besar yang berhasil lolos dari tiang gantungan yang
ingin kuketahui...," potong lelaki berwajah kehitaman. Ia kelihatan agak
jengkel. "He he he...! Sabar, Kisanak. Cerita yang menarik itu pasti akan
kulanjutkan...,"
tukas lelaki tua yang mengaku pedagang keliling seraya terkekeh pelan. Kemudian
kembali menghisap rokoh kawungnya dengan nikmat. Dibiarkannya lelaki berwajah
kehitaman menunggu beberapa saat.
"Kabarnya penjahat besar itu sangat pandai. Kau tahu apa yang membawanya ke
tiang gantungan...?" lelaki tua berwajah tirus melanjutkan ceritanya.
"Tidak...," sahut lelaki berwajah kehitaman seraya menggelengkan kepala kuat-
kuat. "Ia telah membantai seorang senapati kerajaan! Juga beberapa perwira dan puluhan
prajurit! Bayangkan betapa hebatnya kepandaian penjahat besar itu. Kalau tidak
salah, penjahat besar itu seorang tokoh sesat yang mempunyai banyak pengikut.
Kendati demikian, Senapati Sura Wijaya yang terkenal gagah perkasa berhasil
melumpuhkannya.
Meskipun harus dibantu puluhan prajurit serta se-napati-senapati lainnya. Sayang
pada saat pelaksanaan hukuman kawan-kawan penjahat besar itu datang mengacau.
Dan berhasil menyelamatkan penjahat itu yang kalau tidak salah berjuluk Setan
Jari Api...,"
pedagang keliling itu menghentikan ceritanya. Dan kembali menghisap rokok dengan
tarikan napas panjang.
"Maaf, Kisanak. Boleh kami bergabung dengan kalian...?"
Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh suara halus di belakang mereka. Cepat
keduanya menoleh.
Tampaklah sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang berwarna putih.
Pemilik tubuh itu seorang pemuda tampan yang tersenyum ramah.
Di sebelahnya berdiri seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang juga
tersenyum pada kedua lelaki itu.
"Boleh kami bergabung..?" pemuda tampan berjubah putih mengulangi permintaannya.
Karena kedua lelaki itu masih tertegun menatap mereka berdua.
"Oh, silakan... silakan...," sahut lelaki tua berwajah tirus menyadari sikapnya
yang ketololan.
"Terima kasih...," ucap pemuda tampan berjubah putih. Lalu menarik dua buah
kursi untuk duduk dirinya dan temannya.
"Kudengar Paman tadi menyebut-nyebut penjahat besar yang kalau tidak salah
berjuluk Setan Jari Api. Benarkah...?" pemuda tampan berjubah putih membuka
percakapan ketika melihat kedua lelaki itu langsung terdiam.
Ucapan pemuda tampan itu tidak mendapat sambutan. Bahkan lelaki tua berwajah
tirus yang tadi bercerita dengan penuh semangat kelihatan agak gelisah, ia
merasa curiga dengan pemuda tampan serta dara jelita itu.
"Tidak perlu takut, Paman," ujar pemuda tampan berjubah putih, yang agaknya tahu
perasaan lelaki tua berwajah tirus. "Kami bukan kawan Setan Jari Api. Kami
justru terkejut mendengar cerita Paman bahwa Setan Jari Api berhasil lolos dari
tiang gantungan.
Padahal setahu kami, penjahat besar itu berbahaya sekali. Kalau benar berhasil
diselamatkan kawan-kawannya, berarti malapetaka bagi orang banyak...."
"Bahaya bagi orang banyak"! Apa maksudmu, Anak Muda...?" tanya lelaki berwajah
kehitaman kaget.
"Tentu saja," tukas pemuda tampan itu cepat. "Sebab bukan tidak mungkin penjahat
besar itu akan menumpahkan kemarahannya dengan melakukan kekacauan."
"Wah! Kalau benar demikian, bisa-bisa orang yang tidak bersalah akan celaka...."
Kali ini pedagang keliling yang menimpali. Rupanya ia pun sangat terkejut dan
tidak menyangka kelanjutan kejadian itu akan membahayakan nyawa orang banyak.
Namun sebelum pemuda tampan berjubah putih menimpali, tiba-tiba terdengar jerit
kematian yang ditingkahi teriakan-teriakan parau dan derap kaki kuda. Keempat
orang itu terkejut setengah mati.
"Celaka! Mungkin ini merupakan awal dari dugaanmu, Anak Muda!" desis lelaki tua
berwajah tirus ketika menyaksikan serombongan penunggang kuda datang mengacau
desa. Beberapa penduduk roboh bermandikan darah.
Kendati sempat terkejut, pemuda tampan berjubah putih kelihatan tenang.
Bersama dara jelita berpakaian serba hijau, ia melangkah ke luar kedai. Tidak
seperti pedagang keliling dan lelaki berwajah kehitaman yang menghambur dan
menyembunyikan diri. Tampaknya mereka tidak ingin menjadi korban amukan
rombongan berkuda itu.
"Kita harus mencegah mereka sebelum korban jatuh semakin banyak, Kakang...,"
ucap dara jelita berpakaian serba hijau yang kelihatan tidak merasa gentar.
Kendati para penunggang kuda itu rata-rata berwajah bengis dan membunuh tanpa
kenal ampun. Pemuda tampan berjubah putih tidak menyahut. Tapi dari sikapnya jelas terlihat
kaiau ia tidak akan berpangku tangan melihat kekejaman para penunggang kuda itu.
"Hm.... Ke mana perginya rombongan prajurit berkuda yang tadi lewat di depan
kedai...?" desah pemuda tampan berjubah putih mengedarkan pandangan ke
sekeliling tempat itu. Namun sepanjang jalan utama desa tidak ditemukannya
bayangan prajurit penunggang kuda.
"Mungkin rombongan prajurit itu hanya sekadar lewat Kakang. Barangkali mereka
sekarang telah jauh meninggalkan desa," dara jelita berpakaian serba hijau
menimpali ucapan kawannya.
Mendengar ucapan itu, pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji, segera
menjejak tanah. Seketika itu juga tubuhnya melayang.
"Ha ha ha...! Ayo, bunuh siapa saja yang kita temui...!"
Seorang lelaki berkumis lebat anggota rombongan penunggang kuda berteriak-teriak
sambil tertawa terbahak-bahak. Pedang di tangannya diayunkan ke kiri dan kanan,
ke arah penduduk desa yang berlarian ketakutan. Namun....
Plak! "Akh..."!"
Suara tawa lelaki berkumis lebat langsung terputus. Tubuhnya terlempar dari
punggung kuda ketika sesosok bayangan putih melancarkan tamparan ke punggungnya.
"Bedebah...!" lelaki berkumis lebat memaki. Cepat ia melenting bangkit meski
punggungnya masih terasa ngilu bukan main. Pedang yang terjatuh segera
diambilnya. Sepasang matanya berputar dengan sorot bengis!
"Hm.... Kau harus hentikan perbuatan biadab ini, Manusia Kejam...!" desis Panji
yang telah berdiri di hadapan pimpinan gerombolan itu. Rupanya Panji yang tadi
melancarkan tamparan ke punggung lelaki berkumis lebat.
"Kurang ajar...!"
Bukannya mematuhi ucapan Panji, lelaki berkumis lebat malah bertambah marah.
Tanpa banyak cakap, langsung saja ia melompat disertai kelebatan pedangnya.
Bwettt...! Melihat datangnya serangan yang kelihatan cukup mengandung tenaga dalam kuat,
Panji menarik kaki kanannya ke samping. Dengan tubuh miring, serangan pedang
lawan berhasil dihindarkan. Lalu Panji bergerak mundur dengan kening berkerut.
"Hm.... Kalau melihat gerakanmu, aku yakin kau bukan perampok biasa. Menurut
dugaanku, kau pasti mempunyai hubungan dengan Setan Jari Api...," ujar Panji
seraya menatap wajah lelaki berkumis lebat. Dugaan itu langsung muncul begitu
melihat gerakan lawan yang menunjukkan orang itu berilmu cukup tinggi. Bukan
pasaran seperti kepala rampok yang pernah dihadapinya.
"Kalau aku memang mempunyai hubungan dengan Setan Jari Api, kau mau berbuat apa,
Bocah Ingusan! Apa kau hendak menangkapku?" ejek lelaki berkumis lebat,
memandang remeh pemuda tampan berjubah putih itu. Ia menganggap keberhasilan
menghindar Pendekar Naga Putih hanya suatu kebetulan. Tampaknya ia belum sadar
kalau pemuda di hadapannya seorang tokoh persilatan yang telah mengguncangkan
jagat dengan ilmu-ilmu mukjizatnya.
"Hm.... Jika benar begitu, aku akan memaksamu untuk menunjukkan tempat
persembunyian datuk sesat itu...," jawab Panji dengan sorot mata tajam, membuat
lawannya mundur beberapa langkah. Sinar mata pemuda itu menggetarkan hatinya.
"Keparat! Rupanya kau ingin mencari mampus...!" geram lelaki berkumis lebat
kembali mengibaskan pedangnya bersilangan. Dan...
"Haaat...!"
Disertai sebuah teriakan panjang, pimpinan pengacau itu kembali menerjang Panji.
Serangannya kali ini tampak lebih cepat dan ganas. Lelaki berkumis lebat
menghendaki nyawa Pendekar Naga Putih!
Belum lagi serangan lelaki berkumis lebat sampai, tiba-tiba terdengar pekikan
yang susul-menyusul. Dua sosok bayangan datang dengan serangan yang tidak kalah
berbahaya dengan serangan lelaki berkumis lebat. Jelas kehadiran mereka hendak
mengeroyok Panji. Dan Panji yang sadar ketiga pengeroyoknya tokoh-tokoh sesat
yang cukup lihai, segera menyambutnya dengan hangat. Sebentar saja keempatnya
telah terlibat sebuah perkelahian yang cukup seru!
*** Di bagian lain, dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga,
tengah bertarung dengan belasan penunggang kuda. Meskipun hanya mengandalkan
tangan dan kakinya, dara jelita itu tidak menjadi gentar. Serangan-serangannya
datang laksana sambaran kilat di angkasa, membuat beberapa lawannya terpelanting
dari punggung kuda.
"Haiiit...!"
Tubuh dara jelita itu melenting ke udara saat empat batang pedang datang
mengancam tubuhnya. Dari atas ia mengirimkan tendangan ke arah dua penyerangnya.
Desss, desss...!
Tanpa ampun lagi, dua orang pengeroyok yang terkena tendangan Kenanga pada
punggungnya langsung terguling. Kendati tidak sampai tewas, namun membuat mereka
terbatuk hebat.
"Yeaaat..!"
Menyaksikan ketangguhan dara jelita berpakaian serba hijau, mereka tidak mau
main-main lagi. Disertai teriakan keras yang susul-menyusul, para pengacau itu
berloncatan turun dari atas punggung kuda. Kemudian bergerak membentuk lingkaran
mengepung Kenanga.
"Tangkap perempuan liar itu hidup-hidup untuk permainan kita nanti malam...!"
Seorang pengepung yang bertubuh kekar memberi perintah kepada kawan-kawannya.
Usai berkata demikian, tubuhnya melayang disertai kelebatan senjata yang
mendatangkan deruan angin tajam.
"Hm...."
Kenanga menyadari para pengeroyoknya memiliki kepandaian cukup tinggi, maka
gadis jelita itu pun menyiapkan jurus-jurusnya. Kenanga siap menyambut serangan
para pengeroyoknya yang datang menyerbu bagai sekelompok anjing liar.
Meskipun harus menghadapi keroyokan dalam jumlah cukup banyak, tapi semua itu
tidak membuat Kenanga kewalahan. Dengan kelincahan tubuhnya, dara jelita itu
membuat lawan-lawannya kelabakan. Karena setiap kali pedang datang menyambar,
tubuh dara jelita itu sudah lenyap begitu saja. Sehingga, serangan para
pengeroyoknya hanya mengenai angin kosong. Bahkan serangan balasan Kenanga
berhasil mengenai dua orang pengeroyoknya hingga terjungkal muntah darah. Dan
tidak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya. Kejadian itu membuat para
pengeroyoknya tidak lagi berani memandang remeh.
"Kurang ajar! Perempuan liar itu memang tidak boleh diberi hati!" geram seorang
pengacau yang terkejut menyaksikan sepak terjang Kenanga.
"Sebaiknya lenyapkan saja perempuan liar itu...!" timpal yang lainnya
mengingatkan. Mereka baru sadar kalau dara jelita itu sangat berbahaya.
"Hmh...."
Kenanga hanya mendengus melihat lawan-lawannya berubah pikiran. Kalau tadi ia
hanya sekadar membuat pingsan lawannya, kali ini dara jelita itu tidak lagi
memberi hati. Begitu tangannya bergerak, tahu-tahu sebilah pedang yang berhawa dingin telah
tergenggam. "Majulah, Manusia-manusia Tengik. Kali ini aku akan mengirim kalian ke
neraka...!" desis Kenanga seraya mengibaskan pedangnya hingga menimbulkan suara
bercicitan menyakitkan gendang telinga.
Walaupun dara jelita itu telah menghunus pedang, namun para pengacau kelihatan
tidak merasa gentar. Mereka kembali menerjang dengan serangan-serangan
mematikan. Mereka hendak membuktikan kata-katanya. Tapi....
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Sekali Pedang Sinar Rembulan berkelebat, dua orang pengeroyok langsung
terjungkal roboh dengan luka memanjang. Mereka tewas seketika. Kenanga memang
tidak main-main menghadapi lawan-lawannya. Pedang yang menyebarkan hawa dingin
itu terus berkelebat mencari korban berikutnya.
Kali ini para pengacau itu baru merasa gentar. Sebab dalam beberapa jurus saja,
dara jelita itu mampu merobohkan separo dari jumlah lawan-lawannya. Ternyata
dara jelita yang kelihatan lemah lembut itu merupakan singa betina yang tidak
mudah dipermainkan.
"Lari...!"
Ketika sadar dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak akan sanggup mereka
lawan, para pengacau itu pun segera mengambil keputusan. Sisa orang-orang sesat
yang berjumlah delapan orang itu saling berlomba meninggalkan tempat itu. Mereka
mencari selamat sendiri-sendiri tanpa mempedulikan pemimpinnya yang saat itu
tengah bertarung melawan pemuda tampan berjubah putih.
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manusia-manusia Kejam"! Jangan harap kalian dapat
lolos dari tanganku...!" bentak Kenanga tidak mau membiarkan lawan-lawannya
lolos. Tubuhnya langsung melayang melakukah pengejaran.
Jleg! Bukan main terkejutnya para pengacau itu ketika tahu-tahu sesosok tubuh
berpakaian serba hijau telah berdiri menghadang beberapa langkah di hadapan
mereka. "Ahhh...!"
Rasa takut yang membuat mereka nekat menerjang maju. Tapi Kenanga tidak lagi
memberi hati. Pedang di tangannya mengibas berkali-kali disertai lesatan
tubuhnya. Teriakan-teriakan kematian pun terdengar susul-menyusul. Dalam waktu singkat,
delapan pengacau itu bergelimpangan mandi darah.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Panji pun telah dapat melumpuhkan lawan-
lawannya. Dua di antara para pengeroyoknya telah melayat ke akhirat. Sedangkan
lelaki berkumis lebat, yang diduga Panji pimpinan para pengacau, telah ditotok
lumpuh. Pendekar Naga Putih ingin mengorek keterangan tentang Setan Jari Api.
"Mengapa tidak kau bunuh saja manusia kejam itu, Kakang...?" tanya Kenanga,
melangkah menghampiri Panji dengan kening berkerut. Rupanya dara jelita itu


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat geram terhadap para pengacau yang telah membunuh penduduk yang tidak
berdosa. "Kelihatannya orang ini cukup mengenal Setan Jari Api. Kemungkinan besar kita
dapat mengorek keterangan di mana datuk sesat itu berada...," jelas Panji.
Sementara itu, penduduk yang semula ketakutan satu-persatu muncul dari tempat
persembunyiannya. Mereka sangat bersyukur dan berterima kasih, pada pasangan
pendekar muda itu. Sebab tanpa Panji dan Kenanga, mungkin seluruh penghuni desa
akan dibantai orang-orang kejam itu.
"Tidak kusangka...! Pemuda tampan dan dara jelita itu ternyata pendekar-pendekar
hebat!" Ucapan itu keluar dari mulut lelaki tua berwajah tirus yang tidak lain pedagang
keliling. Ia berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Syukurlah kebetulan mereka singgah di sini. Sehingga, malapetaka bisa
dihindari...," timpal lelaki berwajah kehitaman. Keduanya berdiri di depan pintu
kedai dengan wajah penuh kagum.
"Kenanga, mari kita pergi dari tempat ini...," Panji yang tidak mengharapkan
pujian atas apa yang dilakukannya, segera mengajak dara jelita itu pergi.
"Mari, Kakang,..," sahut Kenanga yang juga tidak ingin direpotkan ucapan-ucapan
terima kasih penduduk desa itu.
Tubuh dara jelita itu melesat mengikuti kekasihnya yang telah bergerak
meninggalkan desa. Sebentar saja tubuh keduanya hanya tinggal bayangan samar di
kejauhan. Penduduk desa pun baru tersadar dari keterpakuannya. Satu persatu mereka
menghampiri sosok-sosok mayat yang bergelimpangan. Ketika salah seorang dari
mereka menemukan dua sosok tubuh yang masih bernapas, langsung saja penduduk
melampiaskan kemarahannya. Kedua orang yang pingsan itu pun pergi menyusul
kawan-kawannya ke akherat.
"Mampus...!" desis seorang penduduk dengan geram. Diinjaknya kepala anggota
pengacau yang bernasib sial itu berkali-kali. Padahal tanpa disiksa lagi orang
itu akan tewas juga. Tapi hal itu tetap saja dilakukan penduduk secara
bergantian. Apalagi mereka yang keluarganya dibantai pengacau-pengacau itu. Hati
para penduduk baru puas setelah kedua orang itu menghembuskan napas dengan wajah
bersimbah darah.
23 "Ke mana lagi kita harus mencari manusia keparat itu, Kakang Senapati" Sudah
berhari-hari kita melakukan pengejaran, dan tidak sedikit orang-orang sesat kita
datangi, tapi sejauh ini hasilnya tetap nihil. Kalau pencarian itu terus
dilanjutkan, rasanya kita tidak akan pernah kembali ke kotaraja...," keluh
seorang laki-laki tegap berpakaian senapati. Wajahnya yang gagah tampak agak
lesu. Ucapan itu jelas menyiratkan rasa putus asanya.
Orang kedua yang juga berpangkat senapati, namun usianya lebih tua dari orang
pertama, menatap kawannya dengan tajam. Kelihatan jelas ia merasa kecewa
mendengar ucapan senapati muda itu.
"Hhh...."
Setelah menghela napas berat cukup panjang, lelaki tua bertubuh gagah itu
bergerak bangkit, dan melangkah keluar tenda. Pandangannya diedarkan ke
sekeliling tempat itu. Tampak puluhan tenda yang lebih kecil dari tendanya
bertebaran di tanah berumput cukup luas yang ditumbuhi satu dua pepohonan.
"Sebagai seorang prajurit, tidak seharusnya ucapan itu keluar dari mulutmu, Adi
Gunawali. Apalagi kau seorang senapati yang memimpin ratusan prajurit. Kuakui
tugas ini sangat berat dan sangat berbahaya. Tapi, semua itu bukan alasan untuk
berputus asa. Anggap saja ini batu ujian bagi kita. Di sini kita harus menunjukkan bahwa
jabatan yang diberikan kepada kita bukan sekadar bermegah-megah. Seharusnya kau
sadar akan hal itu...," ujar senapati gagah yang tidak lain Senapati Sura
Wijaya. Tubuhnya membelakangi Senapan Gunawali, sehingga tidak melihat betapa
wajah senapati muda itu menjadi merah. Ucapan itu membuat semangatnya bangkit
Senapati Gunawali tidak ingin dianggap tidak mampu dan tidak berguna.
"Maafkan aku, Kakang Senapati. Seharusnya memang aku tidak berkata demikian...,"
sesal Senapati Gunawali menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Bagus jika kau telah menyadarinya Adi Gunawali. Jangan sampai ucapan itu
melemahkan semangat pasukan kita. Kalau hal itu sampai terjadi, kemungkinan
besar tugas kita akan gagal...," lanjut Senapati Sura Wijaya Kali ini lelaki tua
itu berbalik, lalu menghampiri rekannya.
"Malam semakin larut. Adi Gunawali. Sebaiknya kau beristirahat agar besok pagi
tubuhmu kembali segar saat kita melanjutkan perjalanan...," Senapati Sura Wijaya
menepuk-nepuk bahu senapati muda itu.
"Baiklah, Kakang. Terima kasih atas nasihatmu...," sahut Senapati Gunawali segera beranjak menuju
tendanya. Mereka memang menempati tenda yang berbeda.
Dua orang prajurit yang berjaga di depan tenda Senapati Sura Wijaya cepat
memberi hormat saat Senapati Gunawali melewatinya. Senapati muda itu hanya
bergumam lirih. Kemudian melangkah lebar menuju tendanya yang sama besar dengan
tenda Senapati Sura Wijaya.
Sepeninggal rekannya. Senapati Sura Wijaya termenung, membiarkan pikirannya
melayang tak tentu tujuan, ia bersama pasukannya yang berjumlah seratus orang
memang tidak berangkat berbarengan dengan pasukan Senapati Gunawali. Senapati
muda itu berangkat lebih dulu untuk mengejar pengacau yang melarikan Setan Jari
Api. Baru kemudian ia menyusul bersama pasukannya. Dan bergabung dengan pasukan
Senapati Gunawali yang kehilangan jejak buruannya. Akhirnya mereka bersama-sama
melakukan pengejaran.
"Hhh...."
Senapati Sura Wijaya menghela napas berat ketika teringat titah Prabu
Tamanggala, yang tidak memperbolehkannya kembali ke istana sebelum berhasil
membawa Setan Jari Api ke hadapannya. Ia sadar bahwa ancaman itu tidak main-
main. Keputusan Prabu Tamanggala membuatnya harus bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan tugas berat itu.
Perjalanan jauh dan cukup lama ini membuat tubuh Senapati Sura Wijaya terasa
lelah ketika mengingatnya. Lelaki tua itu merebahkan tubuh disertai helaan napas
berat. Baru saja senapati gagah itu hendak mengendurkan otot-ototnya, tiba-tiba....
"Aaa...!"
Jerit kematian yang melengking nyaring merobek kesunyian malam, membuat Senapati
Sura Wijaya tersentak bangkit dari tidurnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ia
langsung melompat keluar.
"Apa yang terjadi...?" tanya Senapati Sura Wijaya kepada dua orang prajurit yang
Jodoh Rajawali 22 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Pahlawan Dan Kaisar 25
^