Pencarian

Warisan Terkutuk 2

Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk Bagian 2


itu. Ucapannya membuat
saudara-saudaranya terdiam memikirkan keanehan
sikap mendiang ayah mereka.
"Hhh.... Entah apa yang sudah diperbuat ayah se-
masa mudanya dulu. Beliau pasti mempunyai alasan
kuat. Sayang yang disembunyikan selama hidup malah
diketahui orang lain. Menurutku, Ki Sutra dan kawan-
kawannya pasti mempunyai hubungan erat dengan
masa lalu ayah. Ini yang perlu kita ketahui...," ujar Bangga Pasa, setelah
mendengar pendapat saudara-saudaranya.
"Hm.... Sebenarnya aku lebih cenderung untuk
mencari warisan itu lebih dulu. Baru kemudian kita
pikirkan langkah selanjutnya. Bagaimana...?" usul
Yudha Pasa setelah mereka terdiam beberapa saat.
Narasumi langsung menoleh ke arah Bangga Pasa.
Kelihatannya ia menyerahkan keputusan kepada ka-
kaknya yang menjadi perwira kerajaan itu. Gadis can-
tik ini memang lebih dekat dan lebih percaya kepada
kakaknya yang ketiga daripada yang lainnya.
"Hm...!"
Bangga Pasa tidak segera memutuskan. Lelaki ting-
gi besar ini terdiam beberapa saat memikirkan jalan
terbaik untuk semuanya.
"Bagaimana, Sumi...?" Bangga Pasa menoleh kepa-
da adiknya, dan menanyakan pendapat gadis itu.
"Aku menyerahkan keputusan padamu, Kakang.
Kalau saja sejak semula kita bicara seperti ini, rasanya perkelahian yang hampir
menewaskanku tadi tidak
perlu terjadi...," jawab Narasumi sambil menyindir kakak tertuanya.
Tadi Yudha Pasa memang menjumpainya dalam
keadaan marah dan berwajah masam. Sehingga gadis
itu tidak senang dan merah kepada kakak tertuanya
itu. Kalau sekarang ia setuju, itu karena mereka mem-bicarakannya dengan baik-
baik dan secara kekeluar-
gaan. Itu sebenarnya yang diinginkannya.
"Nah! Jika demikian, mari sekarang kita periksa
kamar ayah...."
Bangga Pasa menyetujui usul kakaknya. Karena
Narasumi telah menyerahkan persoalan ini kepadanya.
Sementara ia sendiri memang ingin menyelidiki kebe-
naran isi surat gelap itu.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas bangkit
dan melangkah lebar meninggalkan ruang tengah ini.
Tidak ada lagi ketegangan di antara mereka. Walau
masih terselip sedikit ganjalan di hati Narasumi. Tapi, gadis cantik itu tidak
berkata apa-apa.
Bangga Pasa menghentikan langkah tepat di depan
kamar ayahnya. Kendati sudah diceritakan Narasumi,
tetap saja ia menggeleng-gelengkan kepala melihat isi kamar berantakan. Kemudian
lelaki tinggi besar itu
melangkah masuk dengan hati-hati, diikuti yang lain-
nya. "Mari kita periksa seluruh isi kamar ini. Tapi ingat, kita harus merapikannya
kembali...," ujar Bangga Pasa memimpin saudara-saudaranya.
Mulailah mereka memeriksa seluruh isi kamar. Se-
tiap jengkal tidak mereka lewati. Bahkan dinding-
dinding kamar mereka periksa seluruhnya. Sebab,
mungkin saja masih ada kamar lain di balik dinding-
dinding itu. "Tidak ada...," desis Yudha Pasa setelah memeriksa
hampir seluruh isi kamar, dan tidak menemukan apa
yang dibayangkannya. Jangankan tumpukan harta,
sebutir permata pun tidak. Lelaki gemuk itu merasa
kecewa sekali. "Ayah tidak bodoh...," gumam Bangga Pasa yang ju-
ga tidak menemukan sesuatu yang berharga di kamar
itu. Ucapan itu membuat yang lainnya menoleh dan
menatap lelaki tinggi besar itu meminta penjelasan.
"Apa maksudmu, Bangga...?" tanya Yudha Pasa pe-
nasaran. Sebab adiknya itu sudah melangkah keluar
kamar. Ia pun bergegas mengikuti.
"Mengapa kita begitu tolol! Sudah pasti ayah akan
menyembunyikannya di tempat lain, yang tidak diduga
siapa pun!" jawab Bangga Pasa tanpa menghentikan
langkahnya. Lelaki itu kembali ke ruang tengah rumah besar ini.
"Lalu di mana...?" tanpa sadar Yudha Pasa melon-
tarkan pertanyaan bodoh itu. Karena ia benar-benar
merasa kecewa. "Aku tidak tahu. Sebaiknya malam ini kita mengi-
nap. Besok baru kita mengadakan pencarian besar-
besaran. Kita geledah seluruh ruangan dan setiap
jengkal tanah di sekitar bangunan ini. Kalau benar warisan itu ada, aku yakin
kita pasti menemukannya...,"
jawab Bangga Pasa bersemangat
"Kalau begitu, sebaiknya aku segera beristirahat...,"
ujar Yudha Pasa dan bergegas meninggalkan tempat
itu. Lelaki gemuk itu menuju kamarnya tempat dahulu
ia tinggal. Kamar itu memang dibiarkan kosong seperti kamar-kamar lainnya.
Walaupun selalu dibersihkan
pelayan keluarga itu.
Sepeninggal Yudha Pasa, Rengga pun minta diri un-
tuk beristirahat Kemudian Bangga Pasa menyusul. Na-
rasumi segera bangkit dan melangkah ke kamarnya.
Sehingga, ruangan itu kembali sunyi seperti biasa.
*** Malam semakin larut Udara di luar terasa dingin
menyentuh kulit Angin sesekali berhembus keras
membawa titik-titik air. Meskipun begitu, hujan tidak juga turun. Mendung memang
tidak begitu tebal.
Dalam cuaca seperti itu ternyata masih ada juga
orang yang berkeliaran di luar rumah. Meskipun gera-
kan mereka cukup cepat dan sulit dikenali, tapi jelas ketiga sosok tubuh yang
berlari itu adalah manusia,
bukan hantu atau sebangsanya. Tujuan mereka ada-
lah rumah besar milik Ki Ganda Pasa yang terpencil
dan tersembunyi.
Dengan ringan dan hampir tidak mengeluarkan
bunyi, ketiga sosok itu bergerak mendekati jendela
kamar salah seorang putra Ki Ganda Pasa. Ketiganya
berhenti sebentar mengawasi sekeliling. Merasa aman, lelaki pertama mencoba
membuka jendela kamar itu
secara paksa, meski tetap menimbulkan kesan hati-
hati sekali. Tapi penghuni kamar itu bukan orang sembaran-
gan. Yudha Pasa yang semula tertidur lelap tersentak bangkit ketika mendengar
suara yang mencurigakan.
Dan.... "Kurang ajar...!" desis lelaki gemuk itu geram ketika melihat daun jendela
kamarnya perlahan membuka.
Baru saja ia hendak melompat turun dari atas pemba-
ringan, tiba-tiba melesat sebentuk benda kecil panjang ke arahnya.
"Haiiit..!"
Dengan sigap Yudha Pasa mengelak sambil mengu-
lurkan tangannya yang terlindung lilitan pakaian. Sekali sambar, benda kecil
panjang itu terjatuh ke lantai.
Ternyata benda itu hanya sebatang ranting sebesar jari kelingking!
Yudha Pasa semula hendak mengejar penyerang ge-
lap itu, tapi gerakannya ditunda, la melihat ada benda putih yang digunakan
untuk membungkus ranting pohon itu. Langsung saja disambarnya ranting itu.
Kening lelaki gemuk itu berkerut ketika mendapati
kain putih bertuliskan beberapa baris kalimat Cepat
dibukanya gulungan kain itu. Dan dibacanya perlahan.
Kalau kau menginginkan bagian yang lebih besar
dari warisan Ki Ganda Pasa, temui kami di batas Desa Koneng....
"Hm...."
Yudha Pasa meremas kain di tangannya. Pesan da-
lam kain itu sangat singkat, dan tanpa nama pengirim.
Hingga lelaki gemuk itu penasaran. Apalagi tulisan itu menyebutkan tentang
warisan. Maka tanpa banyak
cakap lagi, Yudha Pasa segera berkemas untuk meme-
nuhi pesan itu. Bayangan warisan yang memenuhi pi-
kirannya membuat Yudha Pasa langsung menyelinap
keluar tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Se-
bentar saja lelaki gemuk itu sudah melesat menuju
tempat yang tertulis di dalam sobekan kain yang masih berada dalam genggaman
tangannya. Perbatasan Desa Koneng tidak terlalu jauh. Dalam
waktu singkat, Yudha Pasa sudah tiba di tempat yang
dituju. Ia menghentikan langkah dan memandang ber-
keliling. Tak ada seorang pun di tempat itu.
"Hm.... Kau benar-benar bernyali naga, Yudha Pasa!
Aku kagum kepadamu. Itu sebabnya aku memilihmu
untuk bergabung...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat. Yudha Pasa
segera menoleh dengan sikap waspada. Jari-jari tan-
gannya meraba gagang pedang di pinggangnya.
"Siapa kau...?" bentak Yudha Pasa ketika melihat
tiga sosok bayangan muncul dari balik semak-semak
di kanannya. "Tidak perlu setegang itu, Yudha Pasa. Kami men-
gundangmu dengan niat baik...."
Kembali suara berat itu terdengar. Dan ketika keti-
ga orang itu sudah dekat, Yudha Pasa segera mengena-
li mereka sebagai orang-orang yang datang mencari
ayahnya. Dari cerita adik perempuannya, ia tahu salah satu dari mereka bernama
Ki Sutra. Tapi ia tidak bisa menebak yang mana orang itu.
"Hm.... Kalian rupanya...," desis Yudha Pasa tanpa
rasa gentar sedikit pun.
Lelaki gemuk itu sangat membanggakan kepan-
daiannya. la merasa yakin dapat mengatasi ketiga lela-ki tua itu. Keyakinan itu
pulalah yang menjadi salah satu alasan ia datang memenuhi undangan mereka.
"Bagus kalau kau mengenali kami, Yudha Pasa.
Dengan demikian kita bisa membicarakan urusan den-
gan baik-baik...," sahut lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, yang tidak
lain Ki Sutra. Lelaki itu selalu mewakili kedua kawannya untuk berbicara.
"Hm.... Apa maksud pesanmu...?" tanya Yudha Pasa
dengan sikap tetap waspada. Sebab bukan tidak
mungkin mereka hendak mencelakakannya.
"Kami ingin menawarkan kerja sama yang akan
menguntungkanmu, Yudha Pasa. Kami jamin kau ti-
dak akan kecewa...," jawab Ki Sutra seraya tertawa
perlahan. Yudha Pasa tidak segera menanggapi. Ia menggeser
langkahnya sambil tetap mengawasi ketiga orang itu.
Tatapan matanya demikian tajam. Seolah hendak me-
nilai Ki Sutra dan kawan-kawannya.
"Kerja sama bagaimana...?" tanya Yudha Pasa sete-
lah puas meneliti ketiga lelaki tua itu. Walau sudah
dapat menduga tujuan ketiga orang itu, Yudha Pasa
masih ingin mendengar penjelasan yang lebih terperin-ci. "Ketahuilah, Yudha
Pasa. Warisan ayahmu tidak
akan habis walaupun kau hambur-hamburkan seu-
mur hidup. Karena itu kami menawarkan kerja sama
kepadamu. Kami yakin kau pasti akan bersedia...," jawab Ki Sutra yang rupanya
tidak meragukan peni-
laiannya terhadap Yudha Pasa. Tentu saja untuk itu ia tidak bertindak ceroboh.
Jauh-jauh hari ia telah menyelidiki kehidupan serta sifat putra sulung Ki Ganda
Pasa itu. Tanpa setahu Yudha Pasa, Ki Sutra dan kawan-kawannya selalu membayangi
lelaki gemuk itu.
Mendengar keterangan warisan ayahnya, dada Yud-
ha Pasa berdebar. Ia sungguh tidak menyangka kalau
peninggalan ayahnya demikian banyak. Terbayang di
benaknya kemewahan dan kesenangan hidup. Tapi
Yudha Pasa mencoba menahan diri, dan pura-pura ti-
dak peduli. "Dari mana kau mengetahuinya" Aku sendiri seba-
gai putra sulungnya tidak pernah mengetahui warisan
yang demikian banyak itu. Bahkan aku masih mera-
gukan keberadaan warisan ayah," tukas Yudha Pasa
dengan liciknya, sekaligus hendak mencari keterangan lebih pasti dari ketiga
lelaki tua itu.
"Kau tidak perlu mengetahuinya. Yang jelas, berita
harta melimpah itu bukan karangan kami. Untuk apa
kami berbohong dan bersusah-payah mencari ayahmu
sampai bertahun-tahun. Sebaiknya kau putuskan sa-
ja, apakah tawaran kami diterima?" tanya Ki Suta me-
minta kepastian.
"Hm.... Mengapa kalian tidak ambil sendiri" Dengan
kepandaian kalian, rasanya tidak akan ada sesuatu
yang dapat menghalangi tindakan kalian.,.?" ujar Yud-
ha Pasa yang sebenarnya merasa heran dengan tawa-
ran itu. "Karena kami tidak ingin berurusan dengan pihak
kerajaan. Kau pasti tahu apa yang kami maksud?" ja-
wab Ki Sutra yang kelihatan benar-benar menghendaki
Yudha Pasa berada di pihaknya.
"Maksudmu, kau takut berhadapan dengan adikku
yang menjadi perwira kerajaan...?" tanya Yudha Pasa
agak heran. Tapi, ia segera dapat memaklumi kekhawatiran ke-
tiga lelaki tua itu. Sebab kalau sampai berurusan dengan adiknya, mereka bertiga
bisa menjadi buruan ke-
rajaan. Itu jelas tidak mereka inginkan.
"Benar...," sahut Ki Sutra tanpa ragu-ragu.
"Ketahuilah, Yudha Pasa. Bila harta itu sampai di-
temukan adikmu yang perwira, kemungkinan besar
warisan ayahmu akan diserahkan untuk kerajaan. Itu
berarti kau akan mendapatkan bagian yang tidak sebe-
rapa. Lain halnya jika kau bergabung dengan kami. Ki-ta hanya berempat Sedangkan
seandainya dipecah
menjadi sepuluh bagian pun, tidak akan habis sampai
tujuh turunan. Nah, bagaimana pendapatmu...?" kali
ini yang berbicara Ki Wargana. Lelaki tua itu tidak sabar dengan bantahan-
bantahan maupun pertanyaan
lelaki gemuk itu. Sehingga nada ucapannya tidak enak di telinga.
Mendengar perkataan Ki Wargana, Yudha Pasa ter-
menung. Apa yang dikhawatirkan lelaki tua itu men-
dekati kebenaran. Jika warisan ayahnya sampai demi-
kian banyak, bukan tidak mungkin Bangga Pasa me-


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyerahkannya ke kerajaan. Dan ia akan mendapat se-
kadarnya saja. Yudha Pasa tidak menginginkan hal itu terjadi.
"Jika aku memutuskan untuk bekerja sama dengan
kalian, apa yang harus kulakukan...?" tanya Yudha
Pasa masih belum memutuskan akan menerima usul
Ki Sutra atau tidak.
"Tidak sulit Jauhkan adikmu dari rumah itu. Kau
bisa membohongi mereka dengan mengatakan warisan
itu hanya omong kosong. Atau kalau kau ingin lebih
aman, bunuh saja ketiga saudaramu itu. Dengan begi-
tu, kita akan lebih aman untuk mencari warisan men-
diang ayahmu...," ujar Ki Sutra.
Yudha Pasa tersentak kaget.
"Itu kalau kau ingin bagian seperti yang kami ta-
warkan. Jika keberatan, kami pun tidak akan memak-
sa...," Ki Wargana menimpali, membuat Yudha Pasa
semakin bingung.
"Apakah tidak ada cara lain yang lebih aman...?"
Yudha Pasa agaknya keberatan untuk melenyapkan
saudara-saudaranya. Lelaki gemuk ini masih ragu me-
nerima tawaran yang menggiurkan itu.
"Tidak. Sekarang kau harus memutuskan! Ikut ber-
gabung dengan kami dan memperoleh segala impian-
mu, atau tidak sama sekali!" tandas Ki Sutra tidak sabar melihat sikap Yudha
Pasa. "Tapi...."
"Cukup! Sekali lagi kami beri kesempatan! Kami
akan melakukannya walaupun tanpamu...!" tegas Ki
Sutra tidak bisa ditawar lagi. Yudha Pasa dipaksa
mengambil keputusan saat itu juga.
"Baik! Aku bersedia."
Akhirnya Yudha Pasa menyanggupi untuk berga-
bung dengan Ki Sutra dan kawan-kawannya. Ia me-
mang tidak mempunyai pilihan lain. Apa yang selama
ini menjadi impiannya akan segera terwujud bila ia
bergabung dengan ketiga lelaki tua itu.
"Bagus! Sekarang kembalilah, dan laksanakan tu-
gasmu dengan baik," perintah Ki Sutra, seraya terse-
nyum penuh kemenangan.
"Bagaimana caranya aku melenyapkan mereka...?"
tanya Yudha Pasa, sebelum beranjak pergi dari tempat itu. "Mudah saja. Beri
saudara-saudaramu racun yang
dapat melenyapkan kekuatan tenaga dalam mereka.
Dengan begitu, tugasmu tidak akan menjadi berat
Nah, terimalah...."
Ki Sutra melemparkan kantung kain yang berisi
bubuk beracun. Dan Yudha Pasa menyambutnya tan-
pa ragu. "Semoga kau berhasil, Yudha Pasa...."
Selesai berkata demikian, ketiga lelaki itu berkele-
bat dan lenyap ditelan kegelapan malam. Sedang Yud-
ha Pasa pun kembali ke tempat kediaman ayahnya.
*** 6 Tiba di kamarnya, Yudha Pasa tidak dapat lagi me-
mejamkan mata. Walaupun sudah merebahkan tu-
buhnya di atas pembaringan, matanya tidak juga mau
terpejam. Pikirannya tidak bisa tenang. Otaknya beker-ja keras mencari cara
seperti yang telah disepakati
bersama Ki Sutra dan kawan-kawannya. Bayangan hi-
dup mewah rupanya lebih kuat menguasai hati Yudha
Pasa. Sehingga, ia menyanggupi untuk melenyapkan
adik-adik kandungnya.
Dengan perasaan gelisah, lelaki gemuk itu bangkit
dan duduk termenung di atas pembaringan. Dikelua-
rkannya kantung berisi racun yang didapat dari Ki Su-
tra. Dan menimang-nimangnya dengan pikiran mene-
rawang. "Hm.... Terlalu mencurigakan bila ketiga saudaraku
tewas keracunan dalam waktu bersamaan. Tidak! Aku
tidak akan menggunakan racun ini. Lebih baik aku
mencari jalan lain yang tidak terlalu menyolok...," gumam Yudha Pasa berbicara
sendiri. Setelah mengambil keputusan, Yudha Pasa turun
dari pembaringan. Dibukanya daun jendela lebar-
lebar. Merasa yakin tak seorang pun mengetahui per-
buatannya, dilemparkannya kantung berisi racun itu
sekuat tenaga. Lalu kembali merebahkan diri sambil
memikirkan cara lain untuk melenyapkan saudara-
saudaranya. Sampai fajar datang menjelang, Yudha Pasa tetap
tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Tapi ia su-
dah bisa bernapas lega. Jalan yang dicarinya sudah ditemukan. Tinggal pengaturan
pelaksanaannya yang te-
rasa masih agak berat
Saat matahari menampakkan sinarnya, Yudha Pasa
bergegas meninggalkan kamar. Lalu membersihkan
tubuh dan menuju ruang tengah. Lelaki gemuk itu du-
duk menunggu saudara-saudaranya sambil menikmati
hidangan yang disediakan pelayan keluarga mereka.
Tidak berapa lama kemudian, ketiga saudaranya
muncul. Wajah mereka kelihatan segar dan cerah. Ti-
dak sedikit pun nampak sisa-sisa perselisihan di anta-ra mereka.
"Wah! Kelihatannya kau sudah cukup lama me-
nunggu kami, Kakang...," sapa Bangga Pasa dan Reng-
ga Pasa. Keduanya langsung mengambil tempat duduk
di kiri dan kanan kakak tertua mereka.
Narasumi hanya mengangguk dan tersenyum kecil
ketika Yudha Pasa melempar pandang ke arahnya. Se-
perti juga Bangga dan Rengga, gadis itu langsung me-
narik kursi di sebelah kakaknya yang nomor tiga.
"Dengan sangat menyesal aku terpaksa tidak bisa
ikut bersama kalian mencari warisan itu. Aku baru ingat kalau hari ini ada janji
dengan teman dagangku.
Kuharap kalian dapat memaklumi...."
Yudha Pasa membuka suara setelah mereka berem-
pat berkumpul di ruang tengah. Dengan pandainya ia
memasang wajah penuh sesal, membuat yang lainnya
saling bertukar pandang.
"Tidak mengapa, Kakang Yudha. Dan sebaiknya kau
ditemani Kakang Rengga. Aku khawatir musuh-musuh
kita mengintai gerak-gerik kita semua. Dengan berdua kita akan lebih kuat
menghadapi lawan...," ujar Bangga Pasa yang dapat memaklumi kepentingan kakak
su- lungnya. Mendengar usul Bangga Pasa, tentu saja Yudha Pa-
sa sangat senang. Ia langsung menoleh ke arah Rengga Pasa, seolah hendak melihat
tanggapan adiknya.
"Bagaimana, Rengga...?" tanya Yudha Pasa meminta
jawaban. "Tentu aku bersedia menemanimu, Kakang," sahut
Rengga Pasa cepat Kemudian berpaling menatap Bang-
ga Pasa dan Narasumi. "Tapi kuingatkan kepada kalian untuk menyisihkan bagianku
bila warisan itu kalian
temukan...."
Bangga Pasa dan Narasumi hanya tersenyum sam-
bil menggelengkan kepala. Tapi akhirnya mereka men-
gangguk, menyetujui permintaan kakak keduanya itu.
"Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang ju-
ga...," pamit Yudha Pasa. Lalu melangkah keluar dan
melompat ke atas punggung kuda.
Rengga Pasa melakukan hal yang sama. Dan tak
lama kemudian, keduanya bergerak memacu kuda
masing-masing meninggalkan Bangga Pasa dan Nara-
sumi, yang menatap kepergian mereka sampai lenyap
di kejauhan. *** "Mengapa mengambil jalan ini, Kakang" Bukankah
akan memakan waktu lebih lama untuk tiba di ru-
mahmu...?" tanya Rengga Pasa mengingatkan kakak-
nya mengambil jalan yang jarang dilalui orang. Lelaki tegap itu mengira kakaknya
mungkin keliru.
"Aku harus menemui kawan dagangku dulu, Reng-
ga. Setelah itu, baru kita ke rumahku...!" seru Yudha Pasa menyahuti tanpa
menghentikan lari kudanya
yang menerobos semak belukar. Saat itu mereka me-
lewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditum-buhi pepohonan dan rumput
liar. Mendengar jawaban itu, Rengga Pasa tidak berkata
lagi. Itu berarti kakaknya tidak lupa. Tapi memang dis-engaja. Maka ia segera
membedal kudanya agar tidak
tertinggal terlalu jauh.
Yudha Pasa membedal kudanya dengan kecepatan
tinggi. Tidak peduli jalan yang dilaluinya terlalu sempit Ketika menoleh ke
belakang dan adiknya tidak terlihat, ia segera membelokkan kudanya menerobos
semak-semak. Dan lenyap dalam kelebatan pepohonan.
Perbuatan Yudha Pasa itu tidak diketahui Rengga.
Sehingga, ia terus melarikan kudanya menyusuri jalan kecil itu. Lelaki tegap ini
baru merasa heran ketika tiba di sebuah lapangan rumput yang cukup luas.
Bayangan kakaknya tidak terlihat Cepat Rengga menarik tali kekang kudanya.
Binatang itu meringkik keras sebelum berhenti berlari.
"Aneh! Ke mana perginya Kakang Yudha Pasa..."
Meskipun ia melarikan kudanya secepat angin, seha-
rusnya masih tampak bayangannya di depan sana. Ka-
rena tempat ini cukup terbuka...," desis Rengga Pasa, memutar binatang
tunggangannya sambil memandang
berkeliling. Tapi tetap saja ia tidak menemukan sesosok makhluk pun di sekitar
tempat itu. "Haaat...!"
Belum lagi Rengga Pasa terbebas dari rasa heran,
tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh
dengan pedang di tangan.
Maksudnya sudah jelas hendak mencelakakan lelaki
tegap itu. Bwettt...! "Haiiit..!"
Sadar kalau dirinya terancam maut, Rengga Pasa
tidak tinggal diam. Cepat ia melompat dari atas punggung kuda, dan berputaran
beberapa kali di udara se-
belum meluncur turun.
Usaha itu ternyata belum juga bisa membebaskan-
nya dari incaran maut Sinar pedang penyerang gelap
itu terus mengejar ke mana tubuhnya pergi. Lelaki tegap itu kelabakan
menyelamatkan diri dari serangan
pedang lawan. Hingga....
Bret..! "Aaakh..."!"
Sebuah tebasan menyilang yang dilancarkan penye-
rang gelap itu tidak sempat dielakkan Rengga Pasa.
Tubuh lelaki tegap itu melintir dan terhuyung ke belakang. Darah segar memercik
membasahi rerumputan.
Pada bagian iga lelaki itu terdapat luka memanjang
yang cukup dalam.
"Keparat busuk...!" desis Rengga Pasa tidak dapat
menahan rasa geramnya. Tangan kanannya bergerak
cepat meloloskan pedang di pinggangnya dan menyi-
langkannya di depan dada. Siap menghadapi lawan.
"Mampus...!"
Sosok yang sebagian wajahnya terlindung kain hi-
tam itu kembali menerjang dengan ganasnya. Tam-
paknya ia memang hendak melenyapkan nyawa Reng-
ga Pasa. "Hei..."!"
Rengga Pasa berseru heran melihat gerakan lawan.
Jurus-jurus yang dipergunakan telah dikenalnya den-
gan baik. Sayang ia tidak diberi kesempatan untuk
berbicara. Serangan-serangan yang demikian gencar
itu membuat Rengga Pasa menelan rasa penasaran-
nya, dan mulai mengadakan perlawanan.
Terjadilah perkelahian seru yang cukup menegang-
kan. Keduanya saling gempur dengan hebat untuk
menundukkan lawan. Kelebatan sinar pedang mereka
terkadang diselingi benturan keras yang menimbulkan
percikan bunga api. Walaupun pada setiap benturan
Rengga Pasa lebih kuat, namun gerakan lawan ternya-
ta jauh lebih cepat Sehingga ia tetap saja terdesak oleh gempuran-gempuran lawan
yang memang tidak main-main.
Cappp...! Ketika pertempuran memasuki jurus keempat pu-
luh tiga, Rengga Pasa kecolongan! Luka yang dideri-
tanya sangat membahayakan nyawa. Ujung pedang
lawan menancap dalam di sebelah kiri dadanya dan
langsung menembus jantung!
"Aaargh...!"
Rengga Pasa meraung keras saat lawan menarik pu-
lang senjatanya. Darah segar membanjir keluar dari
luka di tubuh lelaki tegap itu. Belum lagi menyadari keadaannya, pedang lawan
kembali berkelebat Kali ini
merobek perutnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh
Rengga Pasa ambruk berkelojotan bagai ayam disem-
belih. Sebentar kemudian, diam tak bergerak lagi. Ma-ti! Sosok bercadar hitam
itu tertawa dingin melihat mayat lawannya. Kaki kirinya bergerak perlahan mem-
balikkan tubuh yang menelungkup itu.
"Kau adalah korban pertamaku, Rengga Pasa...,"
desis sosok itu kembali memperdengarkan tawa din-
ginnya. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melesat
pergi meninggalkan mayat Rengga Pasa.
*** "Hhh.... Mungkin warisan itu tidak pernah ada, Ka-
kang," desah Narasumi seraya menghela napas pan-
jang. Wajah cantiknya kelihatan lelah. Tampak sekali ka-
lau gadis cantik itu merasa kecewa. Warisan yang dicarinya belum juga ditemukan.
Meskipun sudah hampir
separo tempat itu mereka jelajahi, tapi hasilnya tetap nol!
"Sabarlah, Sumi! Bukankah belum seluruhnya tem-
pat ini kita periksa. Aku yakin warisan itu kemungkinan besar ada. Hanya kita
belum menemukan tempat-
nya saja...," sahut lelaki tinggi besar yang tidak lain Bangga Pasa. Ia
menghibur adiknya yang kelihatan


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai putus asa.
Narasumi yang semula hendak menyahuti ucapan
kakaknya, mendadak berdiri sambil menengadahkan
kepala. Gadis cantik itu tengah memasang indera pen-
dengarannya. Ternyata bukan hanya Narasumi saja
yang berbuat demikian. Bangga Pasa pun menghenti-
kan pekerjaannya, karena telinganya menangkap se-
suatu. "Suara derap kaki kuda..."!" desis Bangga Pasa se-
raya menoleh ke arah Narasumi. Kebetulan gadis can-
tik itu pun tengah memandang kakaknya. Sehingga,
mereka saling berpandangan sesaat
Bangga Pasa mendahului adiknya melesat ke hala-
man depan. Saat itu mereka tengah berada di bagian
belakang rumah. Di belakang lelaki tinggi besar itu Narasumi menyusul. Keduanya
seperti berlomba untuk
segera tiba di halaman depan.
"Kakang Yudha..."!" seru Bangga Pasa ketika meli-
hat seorang penunggang kuda melesat memasuki ha-
laman rumah besar itu. Cepat ia memburu. Karena di-
lihatnya wajah kakak sulungnya itu agak pucat dan
pakaiannya lusuh. Tentu saja ia merasa heran.
Narasumi yang tiba belakangan juga terheran-heran
melihat kemunculan Yudha Pasa. Menurut perhitun-
gan, kakak sulungnya itu baru akan kembali sore nan-
ti. Tapi ternyata Yudha Pasa sudah kembali. Dan da-
lam keadaan yang mengherankan.
"Ada apa, Kakang" Dan..., ke mana Kakang Reng-
ga...?" tanya Bangga Pasa begitu kakaknya melompat
turun dari punggung kuda. Kening lelaki tinggi besar itu berkerut dalam ketika
melihat tubuh Yudha Pasa
limbung saat menjejakkan kaki di tanah. Jelas, kakak sulungnya itu sedang dalam
keadaan tidak sehat
"Celaka, Adi Bangga...! Adi Rengga tewas...! Musuh-
musuh kita ternyata membayangi dan mengawasi ge-
rak-gerik kita. Mereka menghadang di tengah hutan.
Aku berhasil meloloskan diri. Sedangkan Adi Rengga..."
Yudha Pasa tidak melanjutkan kalimatnya. Nafas-
nya terdengar memburu. Lelaki gemuk itu menjatuh-
kan tubuhnya dan bersandar pada sebatang pohon.
Yudha Pasa kelihatan sangat lelah.
"Keparat..! Sudah kuduga kalau mereka masih te-
rus mengincar kita...!" geram Bangga Pasa sangat ma-
rah mendengar kematian Rengga Pasa. Sepasang ma-
tanya berkilat penuh dendam kesumat
Lain halnya dengan Narasumi. Gadis cantik itu ti-
dak berkata apa-apa. Hatinya sempat terpukul men-
dengar keterangan kakak sulungnya. Walaupun ia ti-
dak menyukai Rengga, namun tetap saja ada rasa se-
dih saat mendengar kematiannya.
"Hm.... Aku akan mencari mereka! Akan kubunuh
manusia-manusia jahat itu...!" desis Bangga Pasa yang belum juga reda
kemarahannya. Lelaki tinggi besar itu tampaknya akan segera membuktikan
ucapannya. Langkahnya terayun menghampiri kuda Yudha Pasa.
"Jangan bertindak bodoh, Bangga! Mereka cukup
banyak, dan rata-rata berilmu silat setingkat dengan kita. Bahkan beberapa di
antaranya berkepandaian
tinggi...!" cegah Yudha Pasa menghadang langkah
adiknya. "Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini, Kakang
Bangga! Mereka pasti akan menghadang dan membu-
nuhmu, seperti yang dilakukan terhadap Kakang
Rengga! Sebaiknya kita tetap bergabung di rumah ini
dan menghadapi segala sesuatunya bersama-sama...,"
Narasumi pun berusaha mencegah kepergian Bangga
Pasa. Sehingga lelaki tinggi besar itu menahan kepergiannya.
Bangga Pasa terdiam beberapa saat seperti tengah
merenungkan sesuatu. Kemudian menatap kedua sau-
daranya berganti-ganti. Kelihatannya ia sudah menda-
pat jalan keluar yang cukup baik.
"Mmm.... Begini saja. Kalian berdua tetap tinggal di sini. Aku akan pergi ke
kotaraja untuk mengambil beberapa orang pasukanku. Dengan begitu, kita akan le-
bih kuat menghadapi mereka...," ujar Bangga Pasa
mengusulkan. "Tapi..., bagaimana kalau mereka menghadang-
mu...?" bantah Narasumi, tidak begitu setuju dengan
usul Bangga Pasa.
"Jangan khawatir, Sumi. Aku bisa menjaga diri...,"
jawab Bangga Pasa pasti. Lelaki tinggi besar itu menghampiri kuda Yudha Pasa
yang ditambatkan di pohon.
Kemudian melompat naik ke atas punggung kuda hi-
tam itu. "Kakang...."
Narasumi masih berusaha mencegah kepergian
Bangga Pasa. Gadis cantik itu berlari menghampiri kakaknya yang sudah siap untuk
berangkat Bangga Pasa menatap Narasumi sesaat Kemudian
membedal kudanya setelah melempar senyum kepada
gadis cantik itu. Sebentar saja binatang itu telah melesat meninggalkan Narasumi
dan Yudha Pasa yang
hanya bisa menatap kepergian saudaranya.
Setelah kuda hitam itu hilang dari pandangan, Na-
rasumi bergerak dari tempatnya. Ia langsung melang-
kah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh kepada
kakak sulungnya. Yudha Pasa sendiri tidak mempedu-
likan sikap gadis itu. Ia bergerak menuju belakang rumah setelah sosok Narasumi
lenyap di balik pintu.
Beberapa saat kemudian, muncul tiga sosok tubuh
yang langsung melangkah masuk ke halaman rumah
besar itu. Mereka adalah Ki Sutra dan kawan kawan-
nya. Rupanya mereka sudah cukup lama mengintai
dari tempat tersembunyi. Dan baru keluar begitu
Bangga Pasa pergi meninggalkan kedua saudaranya.
Brakkk! Tanpa basa-basi lagi, Ki Sutra menendang hancur
pintu rumah besar itu. Kemudian ketiga orang itu ber-
loncatan masuk ke dalam rumah. Tampaknya mereka
tidak main sembunyi lagi. Karena Bangga Pasa yang
mereka segani sudah pergi dari rumah itu.
"Hei! Siapa kalian..."! Mengapa merusak pintu ru-
mah ini..."!" seorang lelaki kurus yang tidak lain Ramin, berteriak menyongsong
kedatangan Ki Sutra dan
kawan-kawannya.
Ki Sutra rupanya merasa tidak perlu menjawab
dengan mulut Tangannya langsung bergerak cepat
Dan.... Breeet..! Tanpa ampun lagi, tubuh Ramin terjungkal mandi
darah. Lehernya hampir putus terkena sambaran pe-
dang Ki Sutra. Ramin tewas seketika itu juta.
"Bangsat kejam...!"
Narasumi bergegas keluar dari kamar ketika men-
dengar jerit kematian tukang kebunnya. Betapa terke-
jutnya gadis itu menyaksikan tubuh Ramin tergeletak
tewas. Dan ia sangat marah ketika melihat pelaku
pembunuhan itu.
"He he he...! Kau pun akan mengalami nasib serupa
setelah tubuh molekmu kami nikmati bersama-sama.
Semua ini kami lakukan sebagai pembalasan atas
pengkhianatan ayahmu kepada kami...," ujar Ki Sutra
seraya menatap wajah dan tubuh Narasumi dengan
liar. Kemudian bergerak maju, diikuti kawan-
kawannya. Srat..! Tanpa banyak cakap lagi, Narasumi mencabut pe-
dang di pinggangnya. Semula ia ingin mengetahui
maksud ucapan Ki Sutra. Tapi melihat mereka berge-
rak maju, Narasumi membatalkan niatnya. Pedangnya
melintang di depan dada, siap menghadapi keroyokan
ketiga lelaki tua itu.
Sebetulnya Narasumi bisa saja berteriak memanggil
Yudha Pasa. Namun itu tidak dilakukannya. Sebab
menurutnya suara teriakan Ramin pasti terdengar ka-
kak sulungnya. Ia yakin Yudha Pasa akan segera tiba
sebelum ia roboh di tangan lawan-lawannya. Hingga
Narasumi tidak berteriak meminta bantuan kakaknya
untuk menghadapi Ki Sutra dan kawan-kawannya.
*** 7 "Heaaa...!"
Ki Sutra memulai serangan dengan serangkaian
pukulan tangan kosong yang menimbulkan deruan an-
gin keras. Serangannya jelas tidak main-main. Ki Sutra langsung mengerahkan
seluruh tenaganya dalam serangan pertama itu.
Narasumi sadar kepandaiannya masih berada di
bawah Ki Sutra. Gadis itu segera menggeser tubuhnya
sambil mengibaskan pedang untuk bertahan. Sehing-
ga, serangan lawan dapat terbendung dan tidak terlalu mendesaknya. Bahkan gadis
itu sempat melancarkan
serangan balasan dengan kecepatan yang mengagum-
kan. Namun betapapun hebatnya gadis cantik itu mem-
buat pertahanan, tetap saja ia kewalahan menghadapi
keroyokan tiga lawan tangguh seperti Ki Sutra dan kawan-kawannya. Ketika
pertarungan berjalan beberapa
belas jurus, Narasumi tidak mampu lagi melakukan
serangan balasan. Gadis itu terus terdesak mundur ke sudut ruangan.
Sadar dirinya terancam bahaya maut, akhirnya Na-
rasumi berteriak memanggil kakak sulungnya. Karena
sampai saat itu Yudha Pasa tidak muncul memban-
tunya. Padahal menurut perhitungannya perkelahian
itu sudah pasti terdengar kakak sulungnya.
"Kakang Yudha...! Bantu aku...!" teriak Narasumi
sekuat tenaga. Gadis itu benar-benar sudah tidak ber-daya menghadapi keroyokan
lawan-lawannya.
Tapi harapan Narasumi tidak terkabul. Yudha Pasa
tidak juga muncul, meskipun ia sudah berteriak berka-li-kali. Gadis cantik itu
pun mulai gelisah. Dan itu membuatnya lengah. Sehingga....
Desss....! Sebuah tendangan keras membuat tubuh Narasumi
terguling. Gadis itu berusaha bangkit meskipun lam-
bungnya terasa nyeri. Tapi....
Plak! Tamparan keras pada bahu kanannya membuat Na-
rasumi terhuyung limbung. Pedangnya terlepas dari
genggaman. Dara cantik itu pun tidak mempunyai per-
tahanan lagi untuk menghadapi serangan lawan. Se-
dangkan saat itu Ki Sutra sudah meluncur datang
dengan totokan melumpuhkan.
"Ahhh..."!"
Gadis cantik itu menahan jeritannya. Ia tahu Ki Su-
tra bermaksud melumpuhkannya. Dan ia sudah mem-
bayangkan yang akan menimpa dirinya bila sampai
tertawan ketiga musuh ayahnya itu. Tapi karena kea-
daan tubuhnya tidak mungkin mengadakan perlawa-
nan, Narasumi hanya bisa memejamkan mata saat se-
rangan Ki Sutra datang.
Maka.... "Haiiit..!"
Pada saat yang menegangkan itu, mendadak berke-
lebat sesosok bayangan putih memapaki serangan Ki
Sutra. Demikian cepatnya gerakan sosok bayangan pu-
tih itu berkelebat, sehingga tidak tertangkap mata Ki Sutra dan kawan-kawannya.
Dan.... Plak, desss...!
"Hugkh...!"
Hebat dan cepat bukan main gerakan sosok bayan-
gan putih itu. Ia bukan hanya mampu menggagalkan
serangan Ki Sutra. Bahkan masih sempat menyarang-
kan hantaman telapak tangan kanannya ke dada lelaki
tua itu. Akibatnya tubuh Ki Sutra terjengkang ke belakang, dan jatuh membentur
kedua kawannya yang be-
rada di belakangnya. Tak ayal lagi, tubuh ketiga lelaki tua itu jatuh saling
tumpang tindih!
Kejadian yang sangat tidak disangka-sangka itu
tentu saja membuat Ki Sutra dan kawan-kawannya
terkejut bukan main. Cepat mereka berloncatan bang-
kit untuk melihat siapa yang telah berani menggagal-
kan perbuatan mereka.
Alangkah kagetnya hati ketiga orang itu ketika me-
lihat sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdi-
ri tegak di depan Narasumi. Wajah ketiganya menjadi
pucat bagai kertas! Mereka kenal betul siapa pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Pendekar Naga Putih...!" desis Ki Sutra hampir
berbarengan dengan kawan-kawannya. Tanpa sadar
ketiganya melangkah mundur. Jelas mereka merasa
gentar pada Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Narasumi pun terkejut dan heran ketika mendengar
seruan kaget Ki Sutra dan kawan-kawannya. Senyum-
nya terlukis ketika ia membuka matanya dan menjum-
pai sesosok tubuh terbungkus jubah panjang putih
berdiri tegak membelakanginya. Narasumi tahu peno-
longnya adalah Panji yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih. Kemunculan pemuda tampan itu membuat Nara-
sumi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Ia tahu pasti Panji tidak akan datang seorang diri. Du-gaannya memang tidak
meleset. Beberapa langkah dari
tempatnya, tampak seorang dara jelita berpakaian ser-ba hijau tengah berdiri
menyandarkan tubuhnya pada
tiang pintu. "Kenanga...!" seru Narasumi dengan suara haru
bercampur gembira. Gadis cantik itu melebarkan se-
nyumnya ketika melihat Kenanga tersenyum manis
kepadanya. "Hm.... Dugaanku ternyata tidak meleset. Kalian
pasti kembali ke tempat ini. Setelah aku mencari-cari dan tidak menemukan jejak
kalian, aku yakin kalian


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti masih berada di sekitar daerah ini. Itu sebabnya aku kembali ke tempat
ini. Syukurlah kedatanganku
belum terlambat...," ujar Panji dengan suara dan sikap yang tenang. Walaupun
begitu, sikap maupun sorot
mata pemuda itu memancarkan perbawa yang sangat
kuat. Hingga Ki Sutra dan kedua kawannya bertambah
gentar. "Mengapa kau selalu mencampuri urusan kami,
Pendekar Naga Putih" Bukankah di antara kita tidak
ada persoalan...?" tegur Ki Sutra yang merasa penasaran dengan campur tangan
pendekar muda itu.
"Hm.... Setiap kejahatan adalah persoalanku. Suka
atau tidak, aku akan selalu menentang setiap tindak
kejahatan. Itu sebabnya aku mencampuri urusan
ini...," sahut Panji, membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya kembali melangkah mundur beberapa tin-
dak. "Keparat! Kalau begitu, terimalah hadiah kami...!"
sambil berkata demikian, Ki Sutra mengibaskan tan-
gan kanannya ke arah Panji.
Whusss...! Kibasan tangan lelaki setengah baya itu bukan
sembarangan. Begitu tangan Ki Sutra mengibas, bu-
buk-bubuk kuning berbau harum menyengat hidung
bertebaran di sekitar ruangan itu.
"Lari...!" perintah Ki Sutra kepada kawan-
kawannya. Kesempatan itu dipergunakan mereka untuk mela-
rikan diri. Sebab saat itu Panji tengah sibuk mengusir bubuk beracun yang
memenuhi hampir seluruh ruangan.
"Mau lari ke mana kalian..."! Jangan harap kali ini
aku akan melepaskan begitu saja...!" seru Panji-
Pendekar Naga Putih menerobos bubuk beracun
yang berupa asap itu, sambil mengibaskan lengannya
ke kanan dan kiri. Tapi....
"Kakang, Narasumi...!"
Melihat Panji hendak mengejar Ki Sutra dan kawan-
kawannya, Kenanga segera berseru. Kenanga melihat
gadis cantik itu tersengal-sengal dan berdiri ter-
huyung. Jelas, Narasumi telah menghisap bubuk bera-
cun yang ditebarkan Ki Sutra.
Teriakan Kenanga memaksa Panji menahan langkah
dan menunda niatnya mengejar Ki Sutra. Pemuda itu
segera berbalik. Ia lupa kalau di dalam ruangan itu
ada Narasumi yang tentu saja menghisap racun yang
ditebarkan Ki Sutra.
Panji agak khawatir melihat Narasumi terhuyung
limbung seperti orang mabuk. Cepat disambarnya tu-
buh gadis cantik itu. Dan dibawanya keluar dari ruangan yang telah dipenuhi
racun. Sebab Panji belum bisa memastikan jenis racun yang digunakan Ki Sutra.
Kenanga bergegas mengikuti langkah kekasihnya.
Walaupun cukup mengerti tentang racun, tapi ia be-
lum mengenal jenis racun yang terhisap Narasumi.
Maka Kenanga tidak berani bertindak ceroboh yang bi-
sa mengakibatkan kematian gadis cantik itu. Itu se-
babnya Kenanga memanggil kekasihnya, agar melupa-
kan Ki Sutra dan mengurusi Narasumi lebih dulu.
"Bagaimana keadaannya, Kakang..." Apa racun itu
bisa mengakibatkan kematian segera...?" tanya Kenan-
ga, menemani mengobati Narasumi.
Wajah Narasumi kelihatan sudah berubah pucat.
Racun itu ternyata menyebar cukup cepat ke seluruh
tubuh korbannya. Gadis cantik itu sudah tidak sadar-
kan diri saat Panji merebahkannya di atas rerumputan di halaman depan rumah
besar itu. "Racun ini memang cukup berbahaya. Ia akan me-
munahkan tenaga dalam secara perlahan. Kemudian
membuat korbannya menderita sesak napas yang ber-
kepanjangan. Hingga akhirnya membawa pada kema-
tian...," jawab Panji setelah memeriksa keadaan Narasumi. Pemuda itu sudah
menotok beberapa bagian tu-
buh Narasumi untuk mencegah penyebaran racun.
"Apa masih bisa diselamatkan...?" tanya Kenanga
lagi. Diam-diam gadis ini ngeri juga mendengar cara
kerja racun itu.
"Meskipun agak parah, aku yakin Narasumi masih
bisa ditolong dan sembuh seperti sediakala. Tapi gadis ini harus beristirahat
beberapa hari. Tenaga dalamnya tidak bisa langsung pulih...," jelas Panji.
Kenanga mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Berapa lama ia baru akan sadar dari pingsannya,
Kakang...?" tanya Kenanga setelah terdiam beberapa
saat memandangi wajah cantik yang malang itu. Ke-
nanga kelihatan sangat prihatin dengan nasib gadis
cantik itu. "Hanya beberapa jam saja. Sebaiknya kau bawa ga-
dis ini ke kamarnya. Rebahkan tubuhnya di atas pem-
baringan. Tidak lama lagi ia pasti sadar. Aku telah
memasukkan pil penawar racun ke dalam mulut-
nya...," jawab Panji. Kemudian bangkit untuk memberi kesempatan kepada Kenanga
membawa Narasumi ke
kamarnya. "Kenanga...," panggil Panji saat gadis jelita itu hendak membawa masuk tubuh
Narasumi yang ada dalam
gendongannya. "Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga, menoleh ke
arah kekasihnya.
"Keadaan Narasumi sudah tidak terlalu mengkha-
watirkan lagi. Kuminta kau menjaganya sampai ia sa-
dar. Kemudian berikan pil ini yang harus segera ia telan setelah sadar dari
pingsannya. Aku hendak menge-
jar Ki Sutra dan kawan-kawannya. Mereka perlu diberi pelajaran agar jera...,"
ujar Panji seraya menyerahkan dua butir pil berwarna putih, yang merupakan obat
lu-ka dalam sekaligus penawar racun.
"Baik, Kakang. Hati-hati! Ki Sutra dan kawan-
kawannya sangat licik...," ujar dara jelita itu mengingatkan kekasihnya agar
tidak bertindak ceroboh.
"Jangan khawatir. Aku akan ingat pesanmu. Nah!
Aku pergi dulu," ujar Panji. Kemudian berkelebat mengejar ketiga musuh keluarga
Ki Ganda Pasa. Sepeninggal Panji, Kenanga melangkah masuk ke
dalam rumah besar itu. Dua pelayan wanita menyam-
but kedatangan Kenanga dengan wajah cemas dan ke-
lihatan pucat. Mereka tidak berkata apa-apa. Hanya
menunjukkan kamar majikannya ketika Kenanga
mengatakan hendak membawa Narasumi ke kamar-
nya. *** Rombongan berkuda itu bergerak cepat melintasi ja-
lanan lebar. Lalu menyeberangi sungai. Penunggang
kuda terdepan seorang lelaki tinggi besar berwajah keras dan mengenakan pakaian
perwira. Sikapnya tam-
pak berwibawa. Lelaki tinggi besar itu adalah Bangga Pasa.
Di belakang perwira tinggi itu terlihat selusin pe-
nunggang kuda berpakaian prajurit Rupanya Bangga
Pasa berhasil tiba di kotaraja dan membawa selusin
anak buahnya untuk ikut membantu menghadapi mu-
suh-musuh keluarganya.
Ketika tiba di pertigaan jalan, Bangga Pasa memba-
wa pasukannya mengambil jalan ke kanan. Namun
perwira itu membatalkan niatnya ketika melihat empat sosok bayangan berlari di
belakangnya. Merasa curiga, lelaki tinggi besar itu memutar kudanya, dan
memerintahkan para prajuritnya mengambil jalan ke kiri untuk mengejar keempat
sosok tubuh itu.
Kecurigaan Bangga Pasa semakin besar ketika me-
lihat keempat sosok tubuh itu menambah kecepatan
larinya. Sepertinya mereka tahu ia bersama pasukan-
nya hendak mengejar. Maka Bangga Pasa pun me-
nambah kecepatan lari binatang tunggangannya.
"Heaaa, heaaa...!"
Bangga Pasa mencambuk kudanya berkali-kali.
Hingga binatang itu melesat secepat terbang. Dan kening perwira tinggi besar itu
agak berkerut, ketika jarak di antara mereka semakin bertambah dekat, ia seperti
mengenal salah satu dari keempat orang di depannya
itu. Apakah penglihatanku tidak salah"! Yang berlari di sebelah kiri seperti
Kakang Yudha Pasa. Lalu, siapa ketiga orang itu" Mengapa mereka
menghindariku..." Bi-
sik batin Bangga Pasa heran dengan sikap keempat so-
sok tubuh mencurigakan itu.
"Kakang Yudha...!"
Setelah jarak di antara mereka hanya tinggal bebe-
rapa tombak lagi, Bangga Pasa merasa yakin kalau sa-
lah seorang dari mereka adalah kakak sulungnya. Ma-
ka ia segera berseru memanggil.
Hei...! Bukankah ketiga orang itu musuh-musuh ke-
luargaku" Tidak salah lagi! Mereka pasti Ki Sutra dan kawan-kawannya. Tapi,
mengapa Kakang Yudha bersama mereka..." Tersentak hati Bangga Pasa saat
mengenali tiga orang lainnya. Kenyataan itu semakin
membuatnya penasaran.
"Berhenti...!"
Lelaki bertubuh gemuk yang berlari di sebelah kiri
dan agak tertinggal dari tiga orang lainnya berteriak-teriak memaki sambil
mencabut pedangnya. Lelaki
gemuk yang memang Yudha Pasa itu ternyata sedang
mengejar tiga orang itu. Ia terus berteriak-teriak sambil berlari.
Kerutan di kening Bangga Pasa mengendur. Teria-
kan itu ia kenal betul. Ia merasa pasti kalau lelaki gemuk itu kakak sulungnya,
la baru mengerti, mengapa
kakaknya berada di antara mereka. Rupanya Yudha
Pasa tengah mengejar Ki Sutra dan kawan-kawannya
yang melarikan diri.
"Kakang, jangan biarkan mereka lolos...!" seru
Bangga Pasa. Lelaki tinggi besar ini akhirnya berhasil menyusul
keempat orang itu dan melewatinya. Bangga Pasa me-
mutar binatang tunggangannya untuk menghadang Ki
Sutra dan kawan-kawannya.
"Hm.... Sekarang kalian tidak mungkin dapat lari
dariku...," ujar Bangga Pasa, setelah melompat turun dari punggung kuda seraya
menghunus senjata.
Ki Sutra, Ki Wargana, dan Ki Rayoang terpaksa
menghentikan larinya. Mereka berdiri tegak di antara Bangga Pasa dan Yudha Pasa.
Kedua kakak beradik
itu telah menghunus senjata dan siap bertarung.
"Adi Bangga! Mereka baru saja mendatangi rumah
kita. Untung aku berhasil mengejar mereka. Hayo, kita habisi mereka...!" seru
Yudha Pasa segera bergerak
menggeser langkahnya, melihat lawan-lawannya telah
meloloskan senjata.
Bangga Pasa menganggukkan kepala. Kemudian
memerintahkan pasukannya yang baru tiba untuk
mengepung ketiga musuh keluarganya. Jalan untuk
lolos bagi Ki Sutra dan kawan-kawannya benar-benar
telah tertutup.
"Hm.... Kalian kira dapat menundukkanku begitu
saja! Jangan gembira dulu, Putra-putra Pengkhianat!
Justru kalianlah yang mengantarkan nyawa kepada
kami...!" ejek Ki Sutra yang tidak merasa gentar meski harus menghadapi belasan
orang lawan. Lelaki setengah baya itu merasa yakin dapat mengalahkan lawan-
lawannya. Ki Sutra memberikan isyarat kepada kawan-
kawannya untuk saling beradu punggung. Mereka
tampaknya telah siap menghadapi Bangga Pasa dan
yang lainnya. *** 8 "Haaat..!"
Ki Sutra langsung melancarkan serangan. Lelaki
tua berperawakan gagah itu melesat dengan disertai
tebasan pedang yang menimbulkan suara berdesing
tajam. Bangga Pasa yang merasa geram pada Ki Sutra, ju-
ga tidak mau main-main. Tubuhnya langsung bergerak
ke depan menyambut serangan lawan. Sehingga dalam
waktu singkat, keduanya telah bertarung sengit
Dalam jurus-jurus awal, Ki Sutra langsung mende-
sak lawan dengan serangan gencar. Sinar pedangnya
berkelebatan menyilaukan mata. Disertai desingan
yang menusuk telinga. Agaknya lelaki tua itu tidak ingin memberikan kesempatan
kepada lawan untuk
mengembangkan permainan.
Apa yang dilakukan Ki Sutra menampakkan hasil.
Dalam beberapa jurus saja, Bangga Pasa terdesak oleh kurungan sinar pedang
lawan. Lelaki tinggi besar itu hanya bisa bertahan dengan memutar senjatanya
mengelilingi tubuh, dan bermain mundur. Semakin
lama tekanan lawan semakin berat
"Yeaaah...!"
Memasuki jurus kesepuluh, Ki Sutra kembali mem-
bentak dengan disertai tusukan ujung pedang yang
mencoba membongkar benteng pertahanan lawan.
Bweeet...! Disertai kilatan cahaya putih yang menyilaukan ma-
ta, ujung pedang Ki Sutra meluncur lurus ke arah da-
da Bangga Pasa. Dari suara desingannya, dapat dike-
tahui kalau Ki Sutra mengerahkan hampir seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya. Jelas serangan itu sangat
berbahaya. Tapi kali ini Bangga Pasa berbuat nekat Karena me-
rasa tertekan oleh serangan lawan yang laksana air
bah, ia pun membentak sambil mengibaskan pedang-
nya dari atas ke bawah. Bangga Pasa sengaja mema-
paki tusukan pedang lawan dengan sekuat tenaga.
Whuuut.., trang...!
Tangkisan yang dilakukan Bangga Pasa berhasil
dengan baik. Ia bukan hanya berhasil mematahkan se-
rangan maut itu. Bahkan sanggup membuat pedang
lawan terpental balik. Hingga ia merasa lega. Sebab
kekuatan lawan ternyata masih berada di bawahnya.
Tapi.... Swiiit...!

Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang diduga Bangga Pasa ternyata meleset Pe-
dang yang terpental balik itu tiba-tiba berputar. Kemudian bergerak menyilang
mengancam tenggorokan-
nya. Lelaki tinggi besar itu kaget bukan main.
"Akh..."!"
Bangga Pasa memekik tertahan ketika mata pedang
lawan datang menyambar. Untunglah pada saat yang
gawat itu ia sempat melempar tubuhnya ke belakang.
Kemudian berputaran di udara beberapa kali. Dan me-
luncur turun dalam jarak yang cukup jauh dari tempat lawannya berada.
Ki Sutra yang merasa yakin kepandaiannya berada
di atas Bangga Pasa, kembali menerjang maju. Dan te-
tap melancarkan serangan gencar ketika perwira tinggi besar itu melakukan
perlawanan. Pertarungan pun
kembali berlanjut
Sementara itu, Ki Wargana dan Ki Rayoang berta-
rung menghadapi pengawal-pengawal Bangga Pasa.
Kedua lelaki tua yang masih terlihat gagah itu menga-muk hebat dengan sambaran
senjatanya yang mem-
bawa hawa maut. Sehingga, kedua belas prajurit itu tidak mau bertindak ceroboh
menghadapi kedua lawan
mereka. Tidak jauh dari arena pertempuran Yudha Pasa
berdiri memperhatikan pertarungan-pertarungan maut
itu. Terkadang ia memperhatikan jalannya perkelahian Ki Sutra dan Bangga Pasa.
Di saat lain sepasang ma-
tanya tertuju ke arah perkelahian Ki Wargana dan Ki
Rayoang yang tengah berjuang menghadapi keroyokan
dua belas prajurit kerajaan. Sampai sejauh itu, ia belum melakukan sesuatu untuk
membantu adiknya.
Sementara Bangga Pasa semakin terdesak hebat
oleh gempuran lawan. Meskipun sesekali melepaskan
serangan balasan, namun tetap saja perwira itu harus bermain mundur kalau tidak
ingin celaka di ujung senjata lawan.
Desss...! "Aaakh...!"
Entah untuk yang ke berapa kali, tendangan Ki Su-
tra membuat Bangga Pasa terguling. Walaupun begitu,
perwira tinggi besar itu berusaha bangkit dengan
menggigit bibir menahan nyeri. Secara kebetulan, ia jatuh tidak jauh dari tempat
Yudha Pasa berdiri menon-
ton perkelahian lain. Tentu saja Bangga Pasa heran
melihat sikap kakaknya.
"Kakang Yudha! Mengapa kau diam saja" Ayo. Ban-
tu aku menghadapi manusia jahat itu...!" seru Bangga Pasa jengkel. Sambil
berseru, perwira itu menggeser
langkahnya ke arah Yudha Pasa.
Namun apa yang dilakukan Yudha Pasa sebagai ja-
wabannya sungguh sangat mengejutkan! Pada saat tu-
buh Bangga Pasa tinggal beberapa tindak lagi, tiba-tiba tangan kanan lelaki
gemuk itu mengibas dengan gerakan menyilang. Jelas, lelaki itu hendak
mencelakakan adik kandungnya sendiri!
"Kakang..."!"
Bangga Pasa terbelalak bagai melihat hantu di siang
bolong. Untuk sesaat perwira itu hanya bisa terpaku.
Apa yang dialaminya seperti mimpi yang paling buruk
dalam hidupnya.
Crattt...! "Aaakh...!?"
Tanpa ampun lagi, tubuh Bangga Pasa melintir
dengan dada bagian atas terobek pedang Yudha Pasa.
Darah segar mengalir turun. Disertai rasa perih yang membuat perwira tinggi
besar itu menggigit bibir kuat-kuat. Untung luka itu tidak terlalu dalam. Sebab
pada saat-saat terakhir ujung pedang itu menyambar, Bangga Pasa masih sempat
memiringkan tubuhnya sedikit.
Kalau tidak, kemungkinan besar perwira itu langsung
tewas. Karena, serangan itu dilancarkan dengan sepe-
nuh tenaga oleh Yudha Pasa.
"Kakang..."! Kau..."!"
Dengan wajah sebentar pucat sebentar merah,
Bangga Pasa memandang wajah kakaknya yang terse-
nyum mengejek. Sadarlah perwira tinggi besar itu ka-
lau Yudha Pasa tidak lagi berdiri di pihaknya. Jelas, lelaki gemuk itu telah
memusuhi saudara-saudaranya
sendiri karena menginginkan kesenangan hidup.
"Bagus, Yudha...! Kau benar-benar tidak membuat
kami merasa menyesal telah mengajakmu bekerja sa-
ma...!" terdengar pujian bernada parau yang ditujukan kepada Yudha Pasa.
Mendengar ucapan itu, Bangga Pasa menoleh ke be-
lakang. Wajahnya semakin merah padam karena ma-
rah yang menggelora di dalam dada. Ucapan yang dike-
luarkan Ki Sutra merupakan bukti kalau kakak su-
lungnya telah berpihak kepada lawan. Ia pun sadar
semua itu dilakukan Yudha Pasa karena hati yang se-
rakah. Sikap Yudha Pasa membuat hati perwira tinggi
besar itu terasa nyeri. Benar-benar sebuah kenyataan pahit yang harus
ditelannya. "Hm.... Aku mengerti sekarang...," desis Bangga Pa-
sa, menatap kakak sulungnya dengan sinar mata pe-
nuh kebencian. "Ceritamu mengenai Rengga pasti
hanya bualan kosong. Aku yakin kaulah yang telah
membunuhnya, Yudha Pasa...!"
Bangga Pasa baru mengerti sekarang. Ia yakin ke-
matian Rengga karena dibunuh Yudha Pasa. Semua
itu dapat ditebaknya setelah melihat kakak sulungnya itu memihak kepada musuh.
Hingga Bangga Pasa merasa benci.
"He he he...! Sayang kau terlambat mengetahuinya,
Adi Bangga. Sebentar lagi kau akan kuantarkan me-
nyusul Rengga ke alam baka...," Yudha Pasa memper-
dengarkan tawa iblisnya tanpa terbersit rasa penyesalan sedikit pun. "Kau benar-
benar iblis, Yudha...!" geram Bangga Pasa. Ia tidak mau menyebut 'kakang' ke-
pada Yudha Pasa. Lelaki gemuk yang serakah itu tidak pantas menjadi saudara
kandungnya. "Hm.... Apa lagi yang kau tunggu, Yudha" Ayo. Ha-
bisi saudaramu yang sombong itu...," Ki Sutra mema-
nas-manasi Yudha Pasa agar segera melenyapkan adik
kandungnya. Ki Sutra memang tidak perlu mengulangi ucapan-
nya. Begitu mendengar perkataan Ki Sutra, Yudha Pa-
sa menggerakkan pedangnya, siap menerjang Bangga
Pasa. Bayangan kesenangan hidup telah membuat ma-
ta dan hati Yudha Pasa buta.
"Haaat..!"
Disertai pekikan keras, tubuh Yudha Pasa melayang
ke arah adik kandungnya. Pedang di tangannya berke-
lebatan dengan serangkaian serangan maut yang me-
matikan. Yudha Pasa telah bertindak menjadi iblis kejam. Ia rela disuruh
melenyapkan saudaranya oleh
musuh-musuh keluarganya sendiri.
Melihat kakak sulungnya sudah tidak bisa disadar-
kan lagi, Bangga Pasa segera menggerakkan pedang-
nya menyambut serangan kakak kandungnya. Dalam
waktu singkat kedua kakak beradik itu telah saling
gempur bagai dua orang musuh bebuyutan!
Ki Sutra tertawa tergelak menyaksikan jalannya
pertarungan. Dan ketika melihat kedua kawannya mu-
lai dapat menguasai arena, tawanya semakin keras
dan berkepanjangan. Ia yakin sebentar lagi Bangga Pa-sa bersama sisa prajuritnya
akan segera lenyap dari
muka bumi. Perkiraan Ki Sutra ternyata tidak meleset. Setelah
beberapa saat tawanya lenyap, enam orang sisa praju-
rit Bangga Pasa melolong ngeri. Tubuh mereka berkelojotan mandi darah. Di tengah
arena tampak Ki Warga-
na dan Ki Rayoang tertawa tergelak. Kemenangan telah mereka capai dengan baik
Sementara Bangga Pasa yang bertarung melawan
Yudha Pasa kelihatan mulai kewalahan melawan ka-
kak kandungnya. Tapi bukan pekerjaan mudah bagi
Yudha Pasa untuk segera menundukkan perwira itu.
Kepandaian mereka tidak berselisih jauh. Kalaupun
dalam beberapa belas jurus ia dapat mendesak adik-
nya. Itu terjadi karena Bangga Pasa telah lelah dan dalam keadaan kurang baik.
Dan sebelumnya telah ber-
tarung mati-matian melawan Ki Sutra.
Berbeda dengan Yudha Pasa. Lelaki gemuk itu da-
lam keadaan tubuh yang masih segar. Sehingga den-
gan kekuatan yang utuh ia dapat melancarkan seran-
gan yang membuat Bangga Pasa terdesak hebat.
"Mampus...!"
Sambil membentak, Yudha Pasa menyabetkan pe-
dangnya dengan gerakan miring. Senjata itu meluncur
berdesing mengincar tubuh Bangga Pasa.
Crattt...! "Aaakh...!"
Bangga Pasa memekik ketika pedang lawan mero-
bek lambung. Meskipun sudah berusaha mengelak,
tapi senjata Yudha Pasa masih melukai nya. Gerakan
Bangga Pasa memang menjadi lambat karena lelah dan
luka-luka yang dideritanya.
Melihat tubuh adiknya terjatuh, Yudha Pasa tetap
tidak tergerak hatinya. Bahkan ia melompat setinggi
bahu sambil membacokkan pedangnya dengan sepe-
nuh tenaga. Bwettt..! Disertai kilatan cahaya putih, suara mengaung ta-
jam itu datang siap membelah tubuh Bangga
Pasa! "Haaat..!"
Pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan
Bangga Pasa, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring yang menggetarkan jantung!
Kemudian.... Plak! "Akh..."!"
Yudha Pasa menjerit tertahan. Mendadak sesosok
bayangan putih menangkis sambaran pedangnya. Tu-
buh lelaki gemuk itu terjengkang ke belakang. Sedangkan pedangnya terlepas dari
genggaman dan terpental
entah ke mana. Sosok berjubah putih yang meluncur dengan kece-
patan laksana sambaran kilat itu menjejakkan kedua
kakinya di tanah. Gerakannya demikian ringan dan
nyaris tanpa suara. Sosok itu berdiri tegak di depan Bangga Pasa yang tergeletak
lemas karena terlalu banyak kehilangan darah.
"Hm.... Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih...!" ge-
ram Ki Sutra ketika mengenali orang yang telah meng-
gagalkan serangan Yudha Pasa. Kembali lelaki tua itu terkejut melihat kemunculan
pendekar muda yang tersohor itu.
"Dan lagi-lagi kau masih juga belum jera, Ki Sutra!
Sayang setelah hari ini petualanganmu akan berak-
hir...," tukas sosok berjubah putih yang memang Panji.
Ditatapnya wajah Ki Sutra dengan sinar mata tajam,
hingga dada lelaki tua itu berdebar lebih kuat dari biasanya.
"Kepung dan bunuh pendekar usilan itu...!" perin-
tah Ki Sutra kepada kawan-kawannya termasuk Yudha
Pasa. Tanpa diperintah dua kali, ketiga lelaki itu langsung bergerak menyebar. Mereka
menggenggam senjata,
termasuk Yudha Pasa yang telah menemukan senja-
tanya kembali. Panji tersenyum tipis melihat keempat lawannya
mulai membentuk kepungan. Tubuh pemuda itu sedi-
kit pun tidak bergeser dari tempatnya. Tapi ia telah siap menghadapi keroyokan
empat orang lawannya.
"Yeaaah...!"
Ki Sutra memulai serangan dengan bacokan pe-
dang. Disertai suara berdesing tajam, senjata itu berkelebat cepat mengancam
tubuh Pendekar Naga Putih.
Belum lagi serangan Ki Sutra tiba pada sasaran, ti-
ga orang lainnya sudah berlompatan menyerang Panji.
Mereka hendak mencincang tubuh pendekar muda itu
dalam serangan pertama.
"Hm...."
Panji memperdengarkan gumaman tak jelas. Kemu-
dian menggeser langkahnya saat tebasan pedang Ki
Sutra datang. Dan terus bergerak ke kiri dan kanan
dengan geseran kuda-kuda mantap untuk menghinda-
ri serangan tiga pengeroyok lainnya.
"Heaaah...!"
Setelah memberi kesempatan menyerang beberapa
jurus kepada lawannya, Panji mulai melancarkan se-
rangan balasan dengan kecepatan yang sulit diikuti
mata. Keempat pengeroyok itu kalang-kabut menyela-
matkan diri dari hujan serangan Pendekar Naga Putih.
Melihat kepandaian pemuda berjubah putih itu, Ki
Sutra sadar ia tidak mungkin dapat menang. Meskipun
mengeroyok bersama-sama kawannya. Pikiran itu
membuat Ki Sutra mulai menggunakan keahliannya
dalam hal racun.
"Terimalah kematianmu, Pendekar Naga Putih...!"
bentak Ki Sutra seraya mengibaskan lengan kirinya.
Dan.... Whusss...! Asap kekuningan menghalangi pandangan Panji ke-
tika Ki Sutra mengibaskan sehelai kain hitam yang ta-hu-tahu telah tergenggam di
tangan kirinya.
"Manusia keji...!" desis Panji sambil melompat mun-
dur dan mengibaskan kedua tangannya. Asap keku-
ningan itu membuat kedua matanya terasa panas dan
pandangannya menjadi kabur. Racun itu memang di-
maksudkan untuk mengaburkan pandangan lawan.
Sehingga Panji menjadi agak sibuk.
Dengan kedua mata terpejam, Pendekar Naga Putih
berlompatan mundur menghindari sambaran senjata
lawan. Walaupun hanya menggunakan pendengaran,
ternyata Panji masih tetap tangguh dan tidak mudah
dilukai. Kenyataan itu membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya penasaran.
"Kali ini kau pasti mampus, Pendekar Naga Pu-
tih...!" Karena penasaran, Ki Sutra kembali merogoh kan-


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tung kain di pinggang kirinya. Kemudian mengibaskan
lengannya dengan sekuat tenaga ke arah Panji.
Serrr, serrr...!
Puluhan jarum-jarum hitam yang halus berdesin-
gan mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Kali ini
Ki Sutra yakin pemuda tampan berjubah putih itu pas-
ti tidak akan selamat. Selain senjata rahasia itu dile-paskan dalam jumlah
banyak dan menutup semua ja-
lan keluar, suara jarum-jarum beracun itu pun sangat halus. Nyaris ditelan
desingan senjata mereka.
Tapi Ki Sutra terlalu menganggap enteng pendekar
muda itu. Lelaki tua itu agaknya belum banyak men-
dengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih. Se-
hingga, ia merasa sangat yakin akan dapat meroboh-
kan Panji dengan mengandalkan senjata rahasianya.
"Hm...."
Panji hanya bergumam ketika mendengar desiran
lembut di antara desingan pedang lawan-lawannya.
Pemuda itu langsung dapat menebak kalau Ki Sutra
telah menggunakan senjata rahasia yang sangat kecil
bentuknya. Sadar akan bahaya yang mengancam kese-
lamatan dirinya, Pendekar Naga Putih mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk melindungi selu-
ruh tubuhnya. Seketika itu juga, tampaklah kabut bersinar putih
keperakan menyebar dan melindungi sekujur tubuh
Panji dalam jarak beberapa jengkal. Munculnya sinar
putih keperakan itu disertai dengan hembusan hawa
dingin menusuk tulang dan getaran gelombang tenaga
dalam yang amat kuat! Sehingga....
"Aaah..."!"
Ki Sutra hampir tidak percaya dengan kejadian
yang disaksikannya. Jarum-jarum beracun yang dile-
paskan dengan sekuat tenaga itu langsung berjatuhan
ke tanah ketika menyentuh kabut bersinar putih kepe-
rakan yang berpendar mengelilingi sekujur tubuh Pen-
dekar Naga Putih. Bahkan gelombang hawa dingin
yang menyebar membuat tubuh mereka menggigil ke-
dinginan. Semua itu benar-benar di luar perhitungan-
nya. Sampai-sampai Ki Sutra terpaku dibuatnya.
"Haiiit..!"
Setelah jarum-jarum beracun itu runtuh ke tanah,
Panji memekik nyaring, membuat lawan-lawannya ter-
jajar mundur dengan wajah menyeringai. Pekikan itu
membuat dada mereka terasa nyeri. Sebelum keempat
orang itu menyadari keadaannya, tahu-tahu....
Plak, desss...!
Ki Wargana dan Ki Rayoang terjengkang keras me-
muntahkan darah segar. Telapak tangan Panji telah
menggedor dada mereka. Karuan saja nyawa mereka
melayang seketika itu juga!
Tinggallah Ki Sutra dan Yudha Pasa yang kaget bu-
kan main menyaksikan kejadian itu. Sebab, Pendekar
Naga Putih hanya menggunakan pendengarannya saja
dalam melancarkan serangannya. Sampai saat itu ke-
dua matanya masih tetap terpejam rapat
Bukkk! "Hugkh...!"
Kali ini tubuh Yudha Pasa yang terbanting keras ke
tanah. Tendangan yang dilontarkan Panji membuat le-
laki gemuk itu terbatuk hebat memuntahkan darah
segar. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian diam ti-
dak bergerak lagi. Mati!
"Sekarang terimalah bagianmu, Ki Sutra...!" seru
Panji seraya bergerak maju ke arah Ki Sutra.
Sebisanya Ki Sutra melompat menghindari serangan
pemuda itu. Tapi...
Desss...! Hantaman telapak tangan kiri Panji tetap saja ber-
hasil mengenai tubuh lawan. Akibatnya, tubuh Ki Su-
tra terlempar ke belakang dan terjatuh memuntahkan
darah segar. "Hm...."
Panji mendaratkan kedua kakinya tepat di depan
tubuh Ki Sutra yang tengah terbungkuk menahan se-
sak di dada. Tampaknya Pendekar Naga Putih tidak
langsung membunuh lelaki tua itu. Terbukti Ki Sutra
tidak tewas seperti dua orang kawannya.
"Kau... memang hebat, Pendekar Naga Putih...," de-
sis Ki Sutra ketika merasa pendekar muda itu berada
di depannya. Setelah menengadah, Ki Sutra kembali
merunduk sambil menyeringai menahan rasa nyeri di
dada. "Ki Sutra. Sebelum kau tewas, katakanlah apa yang
menyebabkan kau memusuhi keluarga Ki Ganda Pasa"
Mengapa kau tidak percaya orang tua itu sudah me-
ninggal...?"
Rupanya Panji sengaja tidak membunuh Ki Sutra,
karena ingin mendengar alasan lelaki tua itu memusu-
hi keluarga Ki Ganda Pasa.
"Ganda Pasa itu pengkhianat busuk!" umpat Ki Su-
tra. "Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, semasa kami masih berkawan, kami
membawa lari banyak
emas permata dari kerajaan. Semua itu terjadi ketika negeri ini sedang kacau dan
tengah terjadi peperangan besar. Ganda Pasa yang saat itu mendapat tugas untuk
mengawal keluarga raja mengungsi, melarikan ke-
reta berisi benda-benda berharga. Sedangkan kami
yang menyamar sebagai perampok bertarung dengan
pengawal-pengawal sang Prabu. Setelah yakin Ganda
Pasa telah membawa lari kereta itu jauh-jauh, kami
meninggalkan pertarungan. Ternyata Ganda Pasa
mengkhianati kami karena keserakahannya. Ia tidak
menemui kami di tempat yang telah disepakati bersa-
ma...." Ki Sutra menghentikan ceritanya untuk menghela
nafasnya yang sesak. Beberapa kali ia terbatuk keras.
"Lalu, kalian bertiga mencarinya selama puluhan
tahun...?" tanya Panji setelah batuk lelaki tua itu reda.
"Ya. Dan baru sekarang ini kami mengetahui tempat
tinggalnya. Mungkin selama kami melakukan penca-
rian, Ganda Pasa hidup berpindah-pindah. Sehingga
kami sulit sekali mengikuti jejaknya. Keberadaan Gan-da Pasa, kami ketahui
beberapa hari yang lalu. Guru
kami datang dengan luka yang parah hingga mem-
buatnya tewas. Rupanya Guru kami telah bertarung
dengannya. Tapi beliau sama sekali tidak memberi ta-
hu kalau Ganda Pasa pun mendapat luka, yang mem-
bawanya ke liang kubur," jawab Ki Sutra dengan suara yang semakin lemah.
Panji mengangguk setelah mendengar penuturan Ki
Sutra. Terungkaplah rahasia kematian Ki Ganda Pasa
yang selama ini menjadi teka-teki.
"Hm.... Apakah keluarga kerajaan tidak berusaha
melacak harta yang dilarikan Ki Ganda Pasa...?" tanya Panji yang merasa pasti
kalau pihak kerajaan akan
mencari Ki Ganda Pasa yang melarikan kereta berisi
harta tak ternilai itu.
"Tidak. Mereka mengira semua itu perbuatan para
perampok. Selain itu, raja yang berkuasa sekarang tidak tahu-menahu perihal
kereta harta itu. Sedangkan
semua keluarga kerajaan yang berhasil ditawan telah
dibunuh...," jelas Ki Sutra. Lelaki tua itu merebahkan tubuhnya. Nafasnya
terdengar satu-satu.
Melihat penderitaan orang tua itu, Panji merasa ka-
sihan juga. Ia berjongkok dan memeriksa tubuh Ki Su-
tra yang sudah tinggal menunggu ajal.
Bertahanlah, Ki. Aku akan mencoba mengobati-
mu...," ujar Panji tidak tega melihat keadaan lelaki tua itu.
Ki Sutra tersenyum ngeri sambil menggelengkan
kepala. Sebentar kemudian terbatuk hebat dengan
memuntahkan darah segar. Lalu kepalanya terkulai
lemas. Napas orang tua itu telah putus karena luka
dalam yang dideritanya.
Panji menghela napas panjang. Kemudian meng-
hampiri Bangga Pasa yang tengah terbaring di tanah.
Pemuda itu memberikan obat luka dalam. Dan tanpa
berkata apa-apa, dibawanya tubuh Bangga Pasa me-
ninggalkan tempat itu.
*** "Apa yang terjadi, Pendekar Naga Putih...?"
Kedatangan Panji di tempat kediaman Ki Ganda Pa-
sa langsung disambut dengan pertanyaan oleh Nara-
sumi. Gadis cantik itu kelihatan sangat cemas melihat keadaan kakaknya.
"Tenanglah, Sumi...," sambut Panji. Dan melangkah
masuk. Lalu merebahkan tubuh Bangga Pasa di atas
balai-balai terbuat dari bambu.
Bangga Pasa mencoba tersenyum untuk menenang-
kan hati adiknya. Walaupun tubuhnya terasa sudah
agak segar, perwira tinggi besar itu tidak berani bangkit Panji menyuruh agar
tidak boleh bergerak dulu.
"Kakang Yudha ternyata telah berkhianat dan ber-
pihak kepada musuh-musuh kita, Sumi," desah Bang-
ga Pasa perlahan. "Harta warisan yang belum jelas itu sepertinya telah kena
kutuk." Ucapan lelaki tinggi besar itu terdengar penuh pe-
nyesalan. Sebab warisan itu telah membuat mereka,
saudara sekandung, saling bermusuhan. Bahkan sam-
pai ada yang terbunuh.
"Hm.... Jadi kalian belum menemukan warisan itu?"
tanya Panji. "Mungkin warisan terkutuk itu tidak pernah ada...,"
desis Narasumi dengan wajah murung.
"Tidak. Harta itu benar-benar ada. Aku telah men-
dengar kisahnya dari Ki Sutra...," bantah Panji. Lalu menceritakan
pembicaraannya dengan Ki Sutra sebelum orang tua itu tewas.
Bukan main terkejutnya Narasumi dan Bangga Pa-
sa. Mereka sungguh tidak menyangka kalau warisan
yang dicari Ki Sutra dan kawan-kawannya itu merupa-
kan hasil curian. Dan, ayah mereka terlibat di dalamnya. Bahkan memegang peranan
yang sangat penting.
Tahulah mereka mengapa orang tua itu tidak pernah
bercerita mengenai warisan itu.
"Tapi..., di mana ayah menyembunyikannya...?" de-
sah Bangga Pasa, membuat mereka semua termenung.
"Di mana biasanya ayah kalian menyepi...?" tanya
Panji setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Ayah tidak pernah pergi ke mana-mana. Beliau le-
bih sering bersemadi di dalam kamar...," ujar Narasu-mi. "Ikut aku...."
Mendengar jawaban gadis cantik itu, Panji segera
mengajak Narasumi dan Kenanga ke kamar Ki Ganda
Pasa. Tanpa banyak cakap lagi, kedua gadis itu segera mengikuti langkah Panji.
Walaupun sebelumnya telah
memeriksa seluruh kamar ayahnya, Narasumi tidak
membantah. Sebab bisa saja ada yang luput dari me-
reka. Dan mungkin Pendekar Naga Putih lebih teliti
melacak tempat penyimpanan harta warisan itu.
"Setiap sudut di kamar ini sudah kami periksa...,"
ujar Narasumi ketika melihat Panji mulai menggeledah kamar ayahnya.
"Hm...!" Panji menghentikan gerakannya, dan bang-
kit menatap sekeliling ruangan. "Apakah dinding-
dinding ini sudah ada pada saat kalian menempati
rumah ini...?"
Narasumi menggeleng perlahan. Kamar itu memang
tidak ada sebelumnya. Ayahnya sendiri yang mem-
buatnya. Hal itu kemudian diceritakan kepada Panji.
Panji mengangguk-angguk. Lalu melangkah meng-
hampiri dinding kamar ini. Dengan jari-jari tangannya yang mengandung tenaga
dalam, pemuda itu menge-tuk-ngetuk dinding. Kemudian menampar perlahan.
Dinding itu pun retak dan terkelupas. Maka....
"Ahhh..."!"
Narasumi dan Kenanga terbelalak melihat bagian
dalam dinding yang berwarna kuning keemasan. Lapi-
san bagian dalam dinding kamar itu terdiri dari emas!
Rupanya Ki Ganda Pasa menyembunyikan harta cu-
riannya di dalam dinding. Pantas Narasumi dan sauda-
ra-saudaranya tidak menemukan tempat penyimpanan
warisan itu. "Aku yakin semua lapisan dinding kamar ini terbuat
dari emas mumi...," ujar Panji setelah melakukan hal yang sama pada tiga dinding
lainnya. Lapisan bagian
dalam dinding sekeliling ruangan itu memang terdiri
dari emas mumi!
"Hebat sekali cara orangtua mu menyembunyikan
warisannya, Sumi," ujar Kenanga. Gadis itu benar-
benar kagum dengan kecerdikan Ki Ganda Pasa. Se-
bab, tidak akan ada seorang pun yang menyangkanya.
Bagai orang kehilangan akal, Narasumi meraba-
raba lapisan emas yang ada di sekeliling dinding kamar ayahnya. Sampai-sampai
gadis itu tidak sadar kalau
Pendekar Naga Putih dan kekasihnya telah pergi diam-
diam. Kedua pendekar muda itu merasa warisan itu
bukan urusan mereka.
Narasumi hanya bisa menghela napas ketika me-
nyadari di kamar itu hanya tinggal dia seorang. Gadis cantik itu baru sadar
kalau Panji dan Kenanga telah
pergi. Diam-diam Narasumi merasa kagum akan kete-
guhan hati pasangan pendekar muda itu, yang tidak
tergoda oleh harta yang demikian melimpah. Narasumi
sadar kalau Pendekar Naga Putih dan Kenanga bukan
orang-orang serakah yang silau dengan harta. Bahkan
meminta bagian pun tidak!
"Mereka benar-benar orang gagah yang menolong
tanpa pamrih...!" hanya itu yang bisa diucapkan Narasumi dengan menghela napas
panjang. SELESAI Scan by Clickers
Edited by Culan Ode
Pdf by Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
htpp://duniaabukeisel.blogspot.com/


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Document Outline
1 *** *** 2 *** 3 4 *** *** 5 *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** 8 *** SELESAI Pendekar Setia 13 Dewi Ular 84 Racun Kecantikan Kisah Bangsa Petualang 14
^