Pencarian

Tokoh Buronan 2

Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan Bagian 2


berjaga di depan pintu tendanya. Dilihatnya kedua prajurit itu tengah merunduk
dengan pedang terhunus. Wajah mereka tampak tegang.
"Hamba tidak tahu pasti, Tuan Senapati. Jeritan itu datang dari tenda sebelah
selatan...," lapor salah seorang dari mereka dengan napas agak memburu. Mereka
rupanya cukup terkejut oleh jeritan itu.
"Hm.... Kalian tetap di sini. Jangan pergi ke mana-mana sampai aku kembali..."
Sebelum gema suaranya lenyap, tubuh Senapati Sura Wijaya telah berkelebat dari
hadapan kedua prajurit itu. Dan terus bergerak ke arah selatan.
Dalam selisih waktu yang tidak lama, dari tenda besar tempat Senapati Gunawali
berada, berkelebat sesosok bayangan. Senapati Sura Wijaya langsung mengenali
rekannya. "Sepertinya suara jeritan itu datang dari anggota pasukan kita, Kakang Senapati"
Entah apa yang telah terjadi...?" ujar Senapati Gunawali agak memperlambat
larinya ketika melihat bayangan Senapati Sura Wijaya berkelebat ke arah yang
sama. Senapati Sura Wijaya tidak menjawab. Ia sendiri belum tahu apa yang telah
terjadi. Akhirnya, mereka pun tiba di tempat kejadian.
"Apa yang terjadi...?" tanya Senapati Sura Wijaya ketika tiba di tempat itu, dan
melihat para prajuritnya tengah bersiaga seperti berjaga-jaga terhadap sesuatu.
"Kami tidak tahu, Tuan Senapati. Tapi, delapan prajurit yang tengah berjaga kami
temukan tewas dengan tubuh tertembus pisau terbang. Menurut dugaan hamba,
pasukan kita telah diserang dengan curang...," lapor seorang lelaki jangkung
berpangkat perwira.
Wajahnya tampak agak lega ketika dua senapati yang menjadi pimpinannya tiba di
tempat itu. "Kurang ajar...! Jadi kita telah diintai penjahat-penjahat tengik itu...!?"
geram Senapati Sura Wijaya sangat marah.
"Bawa dua puluh orang prajurit, dan cepat ikut aku...!" Senapati Gunawali cepat
mengambil tindakan. Dengan membawa enam batang obor, senapati muda itu memimpin
dua puluh orang prajurit untuk memeriksa tempat yang dicurigai.
"Kalian berdua cepat periksa dua arah lainnya! Bawa dua puluh orang prajurit.
Ingat! Jangan bertindak gegabah. Beri tanda jika di antara kalian ada yang
menemukan sesuatu. Tentunya yang mencurigakan...!" Senapati Sura Wijaya memberi
perintah kepada dua orang perwira, yang langsung mematuhi dan bergegas
melaksanakan perintah itu.
Senapati Sura Wijaya sendiri tetap berjaga-jaga di tempat itu sambil menunggu
laporan. Diperintahkannya para prajurit untuk segera menyingkirkan mayat kawan-
kawan mereka yang tewas terkena serangan gelap.
Tidak berapa lama kemudian, yang ditunggu-tunggu kembali. Namun tak satu pun
yang menemukan penyerang gelap itu. Sehingga, Senapati Sura Wijaya menjadi geram
bukan main. Ia merasa telah dipermainkan musuh-musuhnya.
"Apakah tak satu pun dari kalian yang dapat mengira-ngira ke mana perginya
manusia licik itu...?" tanya Senapati Sura Wijaya menatap dua orang perwiranya
dan Senapati Gunawali berganti-ganti.
"Kakang Senapati. Menurut dugaanku, penyerang gelap itu semula berada di
selatan. Dari jejak-jejak yang mereka tinggalkan di atas rumput, kemungkinan
besar mereka melarikan diri ke arah selatan," ujar Senapati Gunawali memberikan
laporan atas penemuannya.
"Hm.... Jika demikian, sekarang juga kita harus melakukan pengejaran. Kalau
tidak, mereka akan pergi jauh dan kita sulit menemukannya kembali!" Senapati
Sura Wijaya segera memerintahkan pasukannya untuk bersiap.
"Tapi Kakang Senapati, kita memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk membongkar
tenda-tenda ini..," tukas Senapati Gunawalil mengingatkan.
"Kita tinggalkan saja.... Mmm, tidak. Sebaiknya kalian berdua memimpin dua puluh
orang prajurit untuk membongkar semua tenda. Setelah itu kalian harus menyusul
ke selatan...."
Akhirnya Senapati Sura Wijaya menunjuk dua orang perwira untuk tinggal dan
memimpin pasukan membongkar tenda.
"Perintah siap hamba laksanakan. Tuan Senapati...!" sahut kedua perwira itu
tanpa membantah. Kemudian bergegas membawa dua puluh orang prajurit untuk segera
melaksanakan perintah Senapati Sura Wijaya.
Sementara Senapan Sura Wijaya memerintahkan seluruh pasukan untuk ikut
bersamanya melakukan pengejaran. Malam itu juga mereka bergerak ke selatan
dengan menunggang kuda. Mereka berlari di bawah penerangan obor yang dipegang
rombongan terdepan dan belakang.
*** "Aaa...!"
Lelaki berkumis lebat berteriak kesakitan sambil bergulingan di tanah berumput
yang basah oleh embun. Wajahnya berkerut-kerut menahan sakit yang luar biasa
pada sekujur tubuhnya.
"Kalau kau tetap tidak mau menunjukkan tempat persembunyian Setan Jari Api, aku
akan terus menyiksamu...," kata pemuda tampan berjubah putih yang duduk di atas
batu bersama seorang dara jelita berpakaian serba hijau. Siapa lagi pasangan
muda itu kalau bukan Panji dan Kenanga. Mereka tengah berusaha mengorek
keterangan dari lelaki berkumis lebat.
"Aku tidak tahu...! Tobaaat..!" teriak lelaki berkumis lebat terus bergulingan
kesakitan. Tapi meskipun begitu, ia masih belum juga mau menyerah dan membuka
mulut untuk mengatakan tempat persembunyian Setan Jari Api, yang merupakan datuk
kaum sesat di daerah itu.
Panji terus menyiksa lelaki berkumis lebat yang masih juga membandel. Totokan
yang mendatangkan rasa nyeri dan ngilu di sekujur tubuhnya ternyata tidak
berhasil membuka mulut tokoh sesat itu. Kalau tidak mengingat pentingnya
keterangan yang harus didapat, rasanya Panji tidak sampai hati melakukan
penyiksaan seperti itu. Tapi melihat kebandelan lelaki berkumis lebat, Panji
terpaksa mendiamkannya sampai orang itu mau memberikan keterangan.
Sayang lelaki berkumis lebat itu masih juga keras kepala. Padahal siksaan itu
sangat menyakitkan. Bahkan bisa mengakibatkan kematian yang mengerikan. Panji
tentu saja belum menginginkan tawanannya tewas. Maka ketika darah mulai keluar
dari hidung lelaki berkumis lebat itu, cepat ia melakukan totokan untuk
melenyapkan penderitaan tokoh sesat itu.
"Ouhhh...!"
Lelaki berkumis lebat menggeliat dengan helaan napas panjang yang berat. Sekujur
tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Tulang-tulangnya seperti dilolosi.
Jangankan untuk berdiri, mengangkat kepalanya pun ia tidak mampu.
"Sebaiknya kalian bunuh saja aku.... Percuma semua ini kalian lakukan. Aku tetap
tidak akan mengatakan di mana Setan Jari Api berada...," ujar lelaki berkumis
lebat terputus-putus. Tampaknya ia masih sulit mengatur napasnya yang memburu.
"Hm.... Aku tidak akan menyiksamu lagi, Kisanak. Kau akan kulepas dan boleh
pergi ke mana kau suka...," Panji rupanya telah mendapat jalan keluarnya.
Perkataan Panji membuat lelaki berkumis lebat kaget. Diliriknya wajah pemuda
tampan berjubah putih itu untuk memastikan apakah ucapan pemuda itu sungguh-
sungguh. "Mengapa kau hendak membebaskan aku, Kisanak...?" tanyanya penasaran dan belum
yakin sepenuhnya akan keputusan yang diambil Panji.
"Sebenarnya aku yakin kau mengetahui tempat persembunyian pimpinanmu itu.
Tapi karena kau takut terhadap hukuman Setan Jari Api, maka kau tetap
bersikeras, meskipun siksaan yang kuberikan sangat menyakitkan. Terpaksa aku
harus mencari sendiri manusia jahat itu...," jelas Panji tersenyum seraya
memberikan sebutir pil untuk melenyapkan rasa sakit, dan memulihkan tenaga.
"Tapi mengapa kau membebaskan aku...?"
Kembali lelaki berkumis lebat itu mendesak, meski tidak menolak pil pemberian
Pendekar Naga Putih. Karena ia yakin obat itu tidak akan mencelakakannya.
"Ketahuilah, Kisanak. Bila kami berhasil menemukan tempat persembunyian Setan
Jari Api, akan kukatakan kau yang memberitahukannya..," Panji menjelaskan jalan
keluar yang baru diperolehnya.
"Ah..."!"
Jawaban Panji membuat wajah lelaki berkumis lebat menjadi pucat. Bahkan sampai
mengeluarkan keringat dingin. Jelas lelaki berkumis lebat itu sangat takut
kepada Setan Jari Api yang merupakan datuk sesat paling kejam dan tidak kenal
ampun. "Selamat tinggal, Kisanak...," pamit Panji tanpa mempedulikan betapa lelaki
berkumis lebat sangat ketakutan.
"Tunggu...!"
Karena takutnya, lelaki berkumis lebat melupakan rasa lelahnya, ia bergegas
bangkit dan mengejar Panji dengan langkah terseok-seok.
"Hm.... Mengapa mengejarku, Kisanak" Bukankah aku telah membebaskanmu"
Kau boleh pergi ke mana kau suka...," Panji membalikkan tubuh. Pemuda itu
berpura-pura bodoh. Padahal ia merasa gembira pancingannya berhasil.
"Mengapa kau tidak bunuh saja aku..." Untuk apa kebebasan ini kalau jiwaku
terancam maut..?"
Lelaki berkumis lebat menjatuhkan tubuhnya, memeluk kedua kaki Panji.
Suaranya sangat memelas. Kegarangannya lenyap tanpa bekas. Sekarang tak ubahnya
searang perempuan lemah yang merengek minta dikasihani. Dia lupa akan
kekejamannya pada orang banyak.
"Maaf, aku tidak bisa meluluskan permintaanmu...," ujar Panji. Lalu melepaskan
kedua kakinya dari pelukan lelaki berkumis lebat. Dan kembali melangkah bersama
Kenanga. Lagi-lagi lelaki berkumis lebat itu mengejar. Kali ini ia terpaksa mengalah
kepada pasangan pendekar muda itu.
"Baiklah. Aku akan memberitahukan di mana Setan Jari Api berada. Percuma kalian
memberikan kebebasan padaku, kalau jiwaku terancam maut..," ujar lelaki berkumis
lebat terpaksa menyerah. Karena bebas pun percuma. Setan Jari Api pasti akan
mencarinya setelah pemuda berjubah putih itu menemukan tempat persembunyian
datuk sesat itu.
"Hm.... Kalau sejak tadi kau mengatakan, tentu penderitaan yang menyakitkan itu
tidak akan kau terima...," ujar Panji seraya tersenyum penuh kemenangan. "Nah!
Sekarang katakan, di mana tempat persembunyian Setan Jari Api...?"
"Setan Jari Api berada di...," ucapan lelaki berkumis lebat itu terputus.
Karena.... Siuuut, siuuut...!
Suara sambaran angin tajam yang bercuitan menyentakkan ketiga orang itu.
Benda-benda bersinar putih meluncur datang mengancam mereka.
"Awasss...!"
Panji yang tahu mereka diserang secara licik, cepat mengingatkan. Pendekar Naga
Putih menghindari dua pisau terbang yang mengarah jalan darah kematian di
tubuhnya. Demikian pula Kenanga. Dara jelita itu menepiskan dua batang pisau yang
mengancam leher dan kepalanya. Sedangkan dua lainnya dihindari dengan melompat
tinggi ke udara. Sehingga baik Panji maupun Kenanga dapat terhindar dari
serangan maut itu. Tapi....
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kematian lelaki berkumis lebat. Tubuh kekar itu terjungkal ke
belakang. Empat batang pisau terbang menancap di tubuh dan tenggorokannya. Tanpa
ampun lagi, lelaki itu tewas seketika!
"Kurang ajar...!"
Panji marah melihat lelaki berkumis lebat tidak bernyawa lagi. Cepat tubuhnya
melesat dengan kecepatan tinggi menuju arah datangnya pisau-pisau terbang yang
diduganya mengandung racun mematikan. Tapi....
Siuuut, siuuut...!
Suara berkesiutan kembali datang mencegah perbuatan Panji. Enam buah cahaya
putih meluncur mengancam enam jalan darah kematian Pendekar Naga Putih.
"Licik...!" umpat Panji seraya mengibaskan lengannya dengan pengerahan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'.
Siuuut, siuuut...! Suara sambaran angin tajam yang berciutan, mengiringi pisau-
pisau terbang yang mengancam Pendekar Naga Putih, Kenanga dan lelaki berkumis
tebal. "Awaaas...!" Pendekar Naga Putih yang tahu mereka diserang secara licik, cepat
memperingatkan. Mereka bergerak cepat menghindar.
Dari suara desingannya, Pendekar Naga Putih tahu kalau senjata beracun itu
digerakkan oleh kekuatan tenaga dalam hebat la tidak meremehkannya begitu saja.
Trak, trak...! Terdengar suara benda berpatahan. Disusul runtuhnya keenam batang pisau terbang.
Lengan Panji yang berubah sekeras baja telah membuat senjata maut itu gagal
menunaikan tugas majikannya.
Setelah berhasil meruntuhkan senjata lawan, Panji kembali melesat ke arah semak-
semak di depannya. Lapisan kabut putih bersinar keperakan berpendar melindungi
sekujur tubuhnya. Itu dilakukannya untuk berjaga-jaga jika penyerang gelap itu
hendak menyambutnya dengan lemparan pisau-pisau beracun.
Ternyata pisau-pisau terbang itu tidak datang lagi. Bahkan pemilik pisau tidak
nampak batang hidungnya. Padahal baru beberapa saat yang laki pisau-pisaunya
masih datang menyambut tubuh Panji.
"Hei..."!
Telinga Panji yang tajam menangkap gerakan halus beberapa tombak di depannya.
Sayang Pendekar Naga Putih hanya melihat sosok bayangan samar yang semakin jauh.
Pemuda tampan itu menghela napas kecewa. Ia sadar mengejar sosok itu hanya
pekerjaan sia-sia. Selain cukup jauh, pemilik pisau terbang beracun itu pun
tampaknya seorang tokoh yang ahli ilmu meringankan tubuh. Maka Pendekar Naga
Putih memutuskan tidak melakukan pengejaran.
6 "Bagaimana, Kakang...?" sambut Kenanga ketika kekasihnya datang menghampiri.
"Hhh.... Entahlah. Tampaknya pemilik pisau terbang beracun itu bukan tokoh
sembarangan. Selain memiliki kepandaian melempar pisau, ia pun dapat bergerak
secepat terbang...," sahut Panji menghela napas panjang.
"Sayang sekali, Kakang. Orang ini pun tidak bisa kita harapkan lagi...," lanjut
Kenanga seraya menatap mayat lelaki berkumis tebal yang wajahnya berubah
kehitaman. "Racun Ular Tanah...," desis Panji melihat keadaan mayat lelaki berkumis lebat
Pemuda itu termenung, berusaha mengingat tokoh sesat yang menggunakan racun itu.
"Mungkinkah yang melakukan serangan barusan...."
"Raja Pisau Terbang...," tukas Panji memotong. Tampaknya mereka mempunyai dugaan
yang sama. "Bukankah Raja Pisau Terbang seorang datuk sesat di empat penjuru" Kalau benar
tokoh itu yang melakukan serangan, berarti tokoh-tokoh sesat di empat penjuru
telah bergabung...," ujar Kenanga yang kelihatan agak kaget dengan dugaannya
itu. Sebab jika perkiraan itu benar, berarti mereka akan berhadapan dengan
lawan-lawan berat.
"Hm...."
Panji bergerak bangkit dan berdiri tegak dengan tatapan jauh ke depan. Dugaan
itu mencemaskan hatinya. Kalau benar datuk-datuk sesat itu telah saling bantu,
tentu prajurit Kerajaan Bungaran akan menghadapi bahaya besar. Bukan mustahil
para prajurit yang tengah memburu Setan Jari Api akan menemui celaka di tangan
tokoh-tokoh sesat yang kejam dan licik. Apalagi mereka belum tahu keadaan Setan
Jari Api saat ini.
"Untuk membuktikaan dugaan itu, bagaimana kalau kita mendatangi tempat kediaman
Raja Pisau Terbang...?" usul Kenanga ketika melihat kekasihnya termenung.
Dara jelita itu tidak tahu kalau Panji bukan sedang memikirkan bahaya yang akan
dihadapinya, tapi nasib tentara Kerajaan Bungaran.
"Aku pun sudah memikirkan tindakan itu. Tapi, yang saat ini tengah kupikirkan
adalah bahaya yang akan menimpa tentara Kerajaan Bungaran. Kalau sampai kedua
tokoh sesat itu bersatu, celakalah mereka!" tukas Panji, membuat Kenanga
mengerutkan kening.
Dara jelita itu tampak sedikit terkejut.
"Kalau begitu, kita harus segera menemui Senapati Sura Wijaya, Kakang. Hal ini
harus kita beritahukan kepada beliau...."
Kembali Kenanga mengajukan usul. Rupanya dara jelita itu pun tidak hanya
memikirkan keselamatan diri sendiri. Buktinya ia masih memikirkan bahaya yang
mengancam tentara Kerajaan Bungaran.
"Benar. Kita harus mengingatkan Senapati Sura Wijaya Tapi, ada baiknya kita
buktikan dahulu semua ini. Baru kemudian kita menemui beliau...," ujar Panji
tidak berani melaporkan sesuatu yang belum dibuktikan kebenarannya.
"Itu lebih baik, Kakang...," Kenanga sangat setuju dengan ucapan kekasihnya
"Mari kita segera berangkat..."
"Tapi ingat! Kita hanya sekadar membuktikan, bukan hendak menyerang...," Panji
mengingatkan sebelum mereka menyatroni tempat kediaman Raja Pisau Terbang.
"Aku akan ingat nasihatmu, Kakang...," sahut Kenanga. Hingga Panji tidak lagi
khawatir kekasihnya akan melakukan tindakan di luar rencana. Karena dara jelita
itu terkadang tidak bisa mengendalikan perasaannya bila melihat kekejaman atau
ketidakadilan berlangsung di depan matanya. Dan itu seringkali terjadi.


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah merasa yakin Kenanga akan dapat menahan diri, pasangan pendekar muda itu
bergerak menuju selatan. Raja Pisau Terbang tinggal di sekitar wilayah itu.
Baru beberapa saat mereka berlari, tiba-tiba Panji menahan langkahnya.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda dalam jumlah banyak,
arahnya dari belakang mereka.
Kenanga yang belum mendengar sesuatu ikut menahan langkahnya, dan menoleh ke
arah Panji dengan kening berkerut. Belum lagi mulurnya terbuka untuk bertanya,
telinganya menangkap suara derap kaki kuda di kejauhan. Sehingga dara jelita itu
tahu apa yang menyebabkan langkah kekasihnya terhenti.
"Siapa mereka, Kakang...?" tanya dara jelita itu seraya melempar pandang ke arah
yang dituju Panji.
"Mungkin para prajurit Kerajaan Bungaran. Atau, siapa tahu Setan Jari Api telah
bergabung dengan Raja Pisau Terbang dan mengundang seluruh golongan hitam untuk
bergabung. Sebaiknya kita menunggu rombongan penunggang kuda itu dari tempat
tersembunyi...," ujar Panji menyahuti ucapan kekasihnya. Setelah berkata
demikian, matanya beredar ke sekeliling tempat itu.
Dan begitu menemukan tempat persembunyian yang cukup baik, Panji segera mengajak
Kenanga. Keduanya berlindung di balik batu besar, menanti pasukan berkuda yang
derapnya telah sampai ke telinga.
Tidak berapa lama kemudian, yang mereka tunggu-tunggu kelihatan. Diiringi derap
bergemuruh, muncullah serombongan besar penunggang kuda. Dari bendera yang
berkibar di kiri dan kanan pimpinan rombongan, Panji dan Kenanga segera
mengenali rombongan itu. Apalagi setelah melihat wajah pimpinan rombongan yang
berjalan paling depan. Keduanya segera melompat keluar dari tempat
persembunyian. "Pendekar Naga Putih..."!"
Kepala rombongan pasukan berkuda yang tidak lain Senapati Sura Wijaya berseru
setengah tak percaya. Wajahnya cerah seketika, ia telah mengenal baik kedua
pendekar muda itu.
"Selamat bertemu lagi, Tuan Senapati...," Panji membungkukkan tubuh memberi
hormat. Senapati Sura Wijaya langsung menghentikan pasukannya, dan melompat turun dari
punggung kuda. Kemudian bergegas menghampiri pasangan pendekar muda itu, yang
berdiri di tepi jalan. Dipeluknya Panji erat-erat sebagai tanda kegembiraan
hatinya. Sehingga, para prajurit yang belum mengenal pemuda tampan berjubah putih itu
memandang heran pada sikap pimpinannya yang kelihatan begitu akrab.
"Senang sekali aku dapat bertemu lagi denganmu. Pendekar Naga Putih," ujar
Senapati Sura Wijaya kemudian menyalami Kenanga. Tentu saja senapati gagah itu
tidak melupakan dara jelita itu. Berkat bantuan mereka berdualah Setan Jari Api
dapat ditawan. Dan itu tidak dilaporkan kepada Prabu Tamanggala karena permintaan Panji dan
Kenanga. Sehingga, para prajurit yang tidak ikut menyerbu Bukit Hitam tidak tahu.
"Aku pun senang dapat berjumpa lagi dengan Tuan Senapati. Tapi, hendak ke
manakah Tuanku dengan membawa pasukan cukup besar seperti ini...?" tanya Panji
mengalihkan perhatian ke barisan prajurit yang masih berada di atas punggung
kuda. Sadar kalau bantuan pendekar muda itu memang sangat diharapkan, Senapati Sura
Wijaya segera menceritakan peristiwa yang menewaskan delapan prajuritnya. Juga
mengenai tujuan perjalanannya.
"Hm...."
Panji bergumam perlahan mendengar penuturan Senapati Sura Wijaya. Ia menduga
pelaku pembunuhan itu kemungkinan besar Raja Pisau Terbang. Karena senjata yang
dipergunakan juga berupa pisau terbang.
"Kau mempunyai dugaan siapa kira-kira pelaku pembunuhan itu, Pendekar Naga
Putih...?" tanya Senapati Sura Wijaya ketika melihat pemuda tampan berjubah
putih itu termenung setelah mendengar ceritanya. Dalam pertanyaan senapati tua
yang gagah itu terkandung harapan. Sebab ia yakin pemuda itu banyak mengenal
orang-orang persilatan.
"Aku memang mempunyai dugaan, Tuan Senapati. Tapi, aku belum bisa
memastikannya...," sahut Panji.
"Siapa, Pendekar Naga Putih" Meskipun baru perkiraan, tapi aku akan
menyelidikinya. Sebab, bukan mustahil dugaanmu tidak keliru...," desak Senapati
Sura Wijaya. Kelihatannya senapati gagah itu menaruh kepercayaan penuh kepada
Pendekar Naga Putih.
"Besar kemungkinan pelaku pembunuhan itu seorang datuk tokoh sesat. Tokoh itu
berjuluk Raja Pisau Terbang. Kami berdua pun hendak menyelidikinya. Karena
menurut kabar yang tersiar di luaran. Setan Jari Api telah diselamatkan kawan-
kawannya dari tiang gantungan. Benarkah demikian, Tuan Senapati...?" jelas Panji
sekaligus hendak mengetahui kebenaran berita itu.
"Berita itu memang benar. Pendekar Naga Putih. Sekarang ini pun aku tengah
memburu Setan Jari Api dan kawan-kawannya. Celakanya iblis itu sangat pandai dan
licin seperti belut. Hingga, sampai saat ini kami belum juga berhasil menemukan
tempat persembunyiannya. Padahal Gusti Prabu Tamanggala telah memberikan ancaman
kepada kami agar jangan kembali sebelum menemukan Setan Jari Api hidup atau
mati. Tampaknya beliau murka dengan kejadian di alun-alun," papar Senapati Sura Wijaya
tanpa bermaksud mengadu. Kalau semua itu diceritakannya, karena ia ingin
menceritakan kebenaran berita yang didengar pemuda itu.
"Jika demikian, jelas Tuan Senapati bersama pasukan tengah dalam tugas yang
berat. Kalau diperkenankan, ingin rasanya hamba ikut menyumbangkan tenaga dan
pikiran untuk ketenteraman negeri dan orang banyak..," tukas Panji menawarkan
diri untuk menolong. Senapati gagah itu tersenyum gembira menyambut uluran
tangan Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, mari kita bersama-sama mendatangi tempat kediaman Raja Pisau
Terbang...," ajak Senapati Sura Wijaya.
"Maaf. Bukannya aku tidak suka melakukan perjalanan bersama-sama, tapi menurut
hamba sebaiknya Tuan Senapati berangkat lebih dulu. Biar hamba berdua menyusul.
Ini hanya untuk berjaga-jaga kalau perjalanan kita diikuti musuh," kata Panji
dengan terpaksa menolak. Sebab baru beberapa saat yang lalu ia diserang orang
yang kemungkinan besar telah cukup lama mengikutinya.
"Baiklah...!"
Senapati Sura Wijaya tidak memaksa. Senapati gagah itu segera melompat ke atas
punggung kuda. Dan rombongan pasukan itu bergerak melewati Panji dan Kenanga
yang mengiringi dengan pandang mata.
Setelah rombongan Senapati Sura Wijaya lewat, pasangan pendekar itu bergerak ke
arah yang berlawanan. Mereka hendak mengambil jalan memutar. Pikiran itu baru
didapat Panji setelah berjumpa dengan rombongan pasukan Senapati Sura Wijaya.
*** Rumah besar yang terletak di tengah hutan kecil itu tampak sepi seperti tidak
berpenghuni. Pagar kayu bulat yang berdiri tegak di sekelilingnya terlihat lapuk
di beberapa bagian. Kelihatan sekali penghuni bangunan itu tidak mempedulikan
kebersihan. Apalagi keindahan. Malah seakan ingin menampilkan keangkeran. Pemilik rumah
besar itu memang bukan orang baik-baik. Namanya sangat ditakuti kalangan rimba
persilatan. Kekejaman serta kepandaian penghuni rumah besar itu sudah sangat terkenal.
Dengan 'Ilmu Pisau Maut'nya, nama tokoh itu semakin melambung. Tidak sedikit orang yang
telah kehilangan nyawa di tangan sosok sesat itu. Sampai orang memberikan
julukan Raja Pisau Terbang kepada pemilik rumah besar besar yang kotor itu. Nama
itu sejajar dengan datuk sesat di empat penjuru.
Kendati rumah besar itu tempat tinggal seorang datuk golongan hitam, namun tidak
terlihat pengikut tokoh sesat itu berjaga-jaga. Para pengikut Raja Pisau Terbang
ditempatkan secara tersembunyi untuk berjaga-jaga di sekeliling bangunan. Boleh
dibilang tidak satu pun orang yang akan luput dari pengawasan penjaga-penjaga
rumah besar itu.
Siapa saja yang datang, kecil kemungkinan lolos dari pengawasan mereka.
Biasanya tempat tinggal Raja Pisau Terbang hampir tidak pernah didatangi orang.
Tapi kali ini ada kekecualian. Pada hari itu tampak serombongan orang bergerak
memasuki kawasan hutan kecil tempat bangunan itu berdiri. Mereka menambatkan
binatang tunggangannya di pepohonan. Kemudian bergerak memasuki hutan.
Ternyata bukan hanya dari arah barat saja mereka datang. Dari tiga arah mata
angin lainnya pun rombongan-rombongan lain bergerak memasuki hutan. Mereka
rupanya hendak mengurung tempat itu. Dugaan itu memang tidak salah. Rombongan
itu adalah pasukan Senapati Sura Wijaya yang dipecah untuk mengepung hutan kecil
itu. Tempat kediaman seorang datuk sesat seperti Raja Pisau Terbang memang tidak
sulit ditemukan. Nama tokoh itu demikian terkenal. Hingga banyak kaum persilatan
mengetahui tempat tinggalnya. Maka Senapati Sura Wijaya pun dapat dengan mudah
menemukannya. Dalam waktu singkat, bangunan tua itu telah terkepung dari empat penjuru. Tapi
meskipun begitu, suasananya tetap tidak berubah. Padahal tidak mungkin penghuni
bangunan itu tidak mengetahui kedatangan tamu-tamu tak diundang itu. Jadi
sungguh aneh jika tidak terlihat kesibukan di dalamnya.
"Raja Pisau Terbang...!" Senapati Sura Wijaya berteriak lantang memanggil datuk
sesat itu. "Kuminta kau segera keluar! Kalau tidak, tempat ini akan kami jadikan
lautan api...!"
Dengan gagah, Senapati Sura Wijaya berdiri menunggu kemunculan datuk sesat itu.
Sepasang matanya menatap pintu gerbang dari kayu bulat. Tapi sampai beberapa
saat, seruan senapati gagah itu tidak mendapat sambutan. Suasana tetap sepi dan
mati. "Bagaimana kalau Raja Pisau Terbang ternyata tidak berada di tempatnya, Kakang
Senapati?" ujar seorang lelaki tegap yang berpakaian sama dengannya. Lelaki
tegap itu adalah Senapati Gunawali yang selalu mendampingi rekannya itu dalam
banyak tugas. "Hm.... Jika benar demikian, kita ratakan saja tempat ini. Tapi menurut
dugaanku, datuk sesat itu berada di dalam bangunan. Siapa tahu mereka tengah
menyusun siasat licik...," tukas Senapati Sura Wijaya.
Mendengar jawaban rekannya, Senapati Gunawali tidak berkata apa-apa.
Pandangannya kembali beralih ke pintu gerbang yang sampai saat itu belum juga
membuka. Dan kelihatannya memang tidak akan pernah terbuka untuk mereka.
"Raja Pisau Terbang! Sekali lagi kuperlngatkan! Tempat ini sudah terkepung
ratusan prajurit kerajaan! Kalau kau tidak ingin tempat ini menjadi abu,
segeralah keluar...!" untuk kedua kalinya Senapati Sura Wijaya berseru lantang.
Kemudian menunggu datuk sesat itu mematuhi perintahnya.
Tapi, untuk kedua kalinya pula teriakan Senapati Sura Wijaya tidak mendapat
tanggapan. Sehingga, kemarahan senapati gagah itu bangkit. Dan ia membuktikan
ancamannya. "Hancurkan pintu gerbang itu...!" perintah Senapati Sura Wijaya setengah
membentak. Langkahnya digeser agak menjauh dari pintu gerbang. Dan....
Brakkk! Pintu gerbang itu ternyata tidak terkunci. Enam orang prajurit terkuat
mendobraknya dengan menggunakan batang pohon, dan pintu gerbang itu langsung
terbuka lebar. Tapi....
Ziiing... ziiing...!
"Aaa...!"
Belasan prajurit yang berdiri beberapa tombak dari pintu gerbang menjerit ngeri.
Tubuh mereka terpelanting roboh dengan tubuh tertembus anak panah. Rupanya pintu
itu dipasangi jebakan yang langsung bekerja begitu pintu dibuka secara paksa.
Hasilnya memang tidak mengecewakan. Belasan prajurit menjadi korban.
"Kurang ajar...!"
Kejadian itu benar-benar membuat darah Senapati Sura Wijaya mendidih. Karena
baik dirinya maupun Senapati Gunawali tidak terlepas dari ancaman anak panah
lawan. Untung mereka masih dapat menyelamatkan diri dengan meruntuhkan masing-masing
tiga batang anak panah yang datang mengancam.
"Serbuuu...!"
Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Sura Wijaya memerintahkan pasukannya menyerbu.
Dan tanpa diperintah dua kali, puluhan prajurit pilihan itu menyerbu masuk ke
dalam bangunan.
Penyerbuan itu bukan hanya datang dari bagian depan bangunan. Dari belakang,
yang juga terdapat pintu gerbang, juga telah dimasuki tentara Kerajaan Bungaran.
Tapi seperti juga di bagian depan, di belakang bangunan itu pun telah jatuh
korban akibat jebakan-jebakan yang dipasang pengikut Raja Pisau Terbang. Semua
jebakan itu mendapatkan hasil memuaskan!
Tapi, bahaya-bahaya maut itu ternyata masih berkelanjutan. Saat pasukan kerajaan
memasuki pekarangan, kembali terdengar jerit kematian menyayat. Banyak di antara
prajurit yang terjebak lubang-lubang maut dengan benda-benda runcing di
dasarnya. Selain itu, masih terdapat serangan ular-ular beracun. Kenyataan itu
di luar perhitungan Senapati Sura Wijaya.
"Mundur...!"
Sadar kalau dibiarkan berlarut-larut akan banyak anggota pasukan mati sia-sia,
Senapati Sura Wijaya segera memerintahkan mundur. Tapi, bukan berarti senapati
gagah itu menyerah. Sama sekali tidak! Justru untuk memperhitungkan langkah
selanjutnya. Karena jebakan-jebakan yang banyak terdapat di sekitar bangunan sedikit pun
tidak pernah diduganya. Sehingga, akibatnya cukup merugikan pasukan kerajaan.
Padahal mereka belum membunuh satu orang pun dari pihak lawan.
Setelah mengalami kejadian yang cukup pahit itu, barulah Senapati Sura Wijaya
sadar kalau tempat yang dimasukinya tidak dapat disamakan dengan tempat lain.
Penghuni rumah besar itu adalah seorang datuk sesat yang licik dan ahli racun.
Senapati Sura Wgaya menyalahkan dirinya yang telah melupakan dua hal itu. Untuk
selanjutnya ia berjanji tidak akan mudah dikelabui lawan yang sampai saat itu
belum juga kelihatan batang hidungnya.
"Lempari bangunan itu dengan obor...!" perintah Senapati Sura Wijaya hendak
membalas kelicikan lawan.
Sebentar saja, puluhan batang obor dengan lidah api yang menjilat-jilat
berhamburan menghujani rumah besar itu. Kobaran api mulai terlihat di beberapa
tempat. Dapat dipastikan bangunan itu akan segera lenyap dilalap si jago merah!
"Hm.... Siapkan anak panah! Bunuh siapa saja yang keluar dari dalam
bangunan...!" perintah Senapati Sura Wijaya seraya tersenyum penuh kemenangan
melihat kobaran api kian membesar. Kali ini ia merasa pasti para penghuni rumah
besar itu akan bermunculan. Mereka tentu tidak ingin dibakar hidup-hidup, hingga
akan memilih keluar daripada terpanggang api.
7 "Seraaang...!"
Melihat belasan orang berlompatan keluar dari dalam bangunan, Senapati Sura
Wijaya segera memerintahkan pasukan panah untuk menyerang.
"Aaa...!"
Beberapa orang berwajah bengis yang sudah pasti pengikut-pengikut Raja Pisau
Terbang menjerit ngeri. Tubuh mereka terjungkal tewas. Sedang sebagian lainnya
berhasil menyelamatkan diri dengan putaran pedangnya. Gerakan mereka sangat
cepat dan kuat.
Hal itu tentu saja tidak aneh. Mereka murid-murid Raja Pisau Terbang yang
kepandaiannya sulit diukur.
"Haaat...!"
Dua belas lelaki kasar itu nekat berlompatan menerjang. Sambaran pedang mereka
menunjukkan kepandaian yang cukup tinggi dan berbahaya. Bahkan beberapa di
antaranya menggunakan jarum-jarum beracun. Sehingga, anggota pasukan Senapati
SuraWijaya berjatuhan tewas terkena jarum beracun.
"Keparat..!" Senapati Sura Wijaya menggeram marah. Langsung saja ia
memerintahkan pasukan perisai dan pedang untuk maju menghadapi serbuan dua belas
tokoh sesat itu.
Pertempuran jarak dekat pun tak dapat dihindari lagi. Kali ini kedua belas
pengikut Raja Pisau Terbang tidak bisa berbuat seenaknya. Bahkan senjata rahasia
mereka tidak berguna lagi. Karena setiap kali dilemparkan, selalu saja dapat
digagalkan pasukan perisai. Hingga akhirnya mereka harus bertarung dengan
mengandalkan ilmu pedang.
Pasukan pedang dan perisai yang telah terlatih dengan baik tentu tidak mudah
dihadapi. Dalam beberapa jurus, korban di pihak lawan mulai berjatuhan.
Breeet, breeet...!
"Aaa...!"
Tiga orang pengikut Raja Pisau Terbang terlempar dengan tubuh bersimbah darah.
Ketangguhan pasukan pedang dan perisai membuat lawan menjadi gentar. Tapi, jalan
untuk melarikan diri sudah tertutup. Mau tidak mau mereka harus melawan sampai
titik darah penghabisan.


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun betapapun mereka berusaha mempertahankan diri, tetap saja tidak sanggup
menghadapi gempuran yang datang terus-menerus laksana gelombang lautan.
Perlawanan mereka pun sia-sia. Kedua belas lelaki kasar itu tergilas habis tanpa
sisa seorang pun. Semuanya tewas di tangan pasukan perisai dan pedang yang
memang sangat tangguh.
Senapati Sura Wijaya heran ketika dari dalam bangunan yang nyaris musnah
terbakar itu tidak ada lagi yang keluar. Tentu saja ia tidak percaya jumlah
pengikut Raja Pisau Terbang hanya sekian saja. Tapi, semua itu terpaksa harus
diterimanya. Karena tidak ada seorang pun yang muncul dari dalam bangunan.
Bahkan setelah seluruh bangunan habis terbakar.
"Gila! Apakah Raja Pisau Terbang memang tidak berada di tempat ini..."!" geram
Senapati Sura Wijaya yang tidak menduga penghuni bangunan besar itu hanya
beberapa belas orang saja. Tapi, kenyataannya memang demikian. Itu hanya
diterimanya meski dengan kekecewaan besar.
"Sudah kuduga, Kakang Senapati. Rasanya tidak mungkin datuk sesat itu lebih suka
terpanggang api daripada menghadapi kita. Kalau melihat sambutan yang kita
terima, rasanya manusia jahat itu memang sudah mempersiapkan segalanya. Buktinya
banyak sekali jebakan yang terpasang...," timpal Senapati Gunawali yang juga
kelihatan sangat kecewa atas kenyataan itu. Sebab korban di pihaknya jauh lebih
banyak daripada di pihak lawan yang hanya beberapa belas nyawa itu.
Tapi, Senapati Sura Wijaya tidak mudah puas. Ia yakin Raja Pisau Terbang berada
di dalam bangunan. Hanya yang tidak dimengerti, mengapa datuk sesat itu tidak
keluar saat banguan terbakar. Maka....
"Bongkar reruntuhan bangunan itu...!" perintah Senapati Sura Wijaya penasaran,
ia ingin melihat kalau-kalau ada penghuni bangunan yang tewas terbakar.
Kendati agak heran, anggota pasukan tidak membantah perintah atasannya.
Mereka membongkar puing-puing bangunan yang beberapa di antaranya masih
mengepulkan asap tipis. Namun tidak sesosok pun terlihat mayat yang terbakar.
Tampaknya di dalam bangunan itu memang tidak ada penghuni lain.
"Hhh...!"
Senapati Sura Wijaya mendesah kecewa. Pasukannya tidak berhasil menemukan
bangkai manusia. Itu membuatnya penasaran.
"Rupanya Raja Pisau Terbang telah mengetahui kedatangan kita, Kakang Senapati.
Ia sengaja mempermainkan kita. Mungkin saat ini ia tengah menertawakan kebodohan
kita...," ujar Senapati Gunawali perlahan dengan nada getir.
"Tidak, Adi Gunawali. Aku yakin Raja Pisau Terbang ada di dalam bangunan saat
kita menyerang. Ingat ular-ular yang menyambut pasukan kita" Nah, itu jelas
merupakan bukti keberadaan Raja Pisau Terbang. Kalau tidak, lalu siapa yang
mengendalikan ular-ular beracun itu?" bantah Senapati Sura Wijaya. Apa yang
dikatakannya memang benar.
Sebab tidak mungkin ular-ular itu datang menyambut tanpa perintah majikannya.
"Kalau begitu, ke mana perginya datuk sesat itu...?" gumam Senapati Gunawali
memandang rekannya.
"Itu yang membuatku tidak habis mengerti...."
"Rasanya tidak mungkin datuk sesat itu dapat meninggalkan tempat ini tanpa
diketahui pasukan kita...," timpal Senapati Gunawali yang rupanya dapat menerima
alasan rekannya.
Satu hal yang membuat kedua senapati itu tidak mengerti, mengapa Raja Pisau
Terbang tidak keluar menyambut mereka" Ke mana perginya datuk sesat yang
terkenal licik itu"
"Sudahlah. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Kita cari perkampungan untuk
melewatkan malam...."
Karena Raja Pisau Terbang tidak dapat mereka temukan, akhirnya Senapati Sura
Wijaya mengajak pasukannya meninggalkan tempat itu. Mereka mencari perkampungan
untuk melewatkan malam. Sebab saat itu matahari sudah semakin condong ke barat.
*** Greeeekkk...! Sepeninggal pasukan Senapati Sura Wijaya, tiba-tiba sebuah batuh pipih yang
berada di antara puing-puing bangunan membuka.
"He he he...!"
Diiringi tawa mengekeh serak, sesosok tubuh tinggi kurus melompat keluar dari
bawah batu pipih itu. Rupanya di bawah batu itu terdapat sebuah ruangan rahasia.
Terlihat masih ada beberapa sosok tubuh lain muncul berturut-turut.
"Sebenarnya aku tidak setuju dengan caramu ini, Raja Pisau Terbang."
Seorang lelaki berperut buncit yang mengenakan baju rompi berkata tak senang.
Wajahnya yang bulat dengan kumis dan alis hitam tebal berbentuk golok tampak
keruh, menandakan kegusaran hatinya.
"He he he...! Setan Jari Api. Orang seperti Senapati Sura Wijaya sekali-kali
memang harus dibuat jengkel. Aku sengaja membuat senapati sombong itu merasa
penasaran. Dan aku puas telah mempermainkannya tadi...," kilah lelaki tua
bertubuh kurus yang ternyata Raja Pisau Terbang. Datuk sesat itu tidak kelihatan
jengkel atau tersinggung oleh ucapan rekannya yang tidak lain Setan Jari Api.
Malah kekehnya masih terdengar meningkahi ucapannya.
"Aku setuju dengan tindakan Paman Raja Pisau Terbang, Guru," timpal sosok lain
yang bertubuh tegap dan memanggil guru kepada Setan Jari Api. "Orang seperti
Senapati Sura Wijaya memang sudah sepatutnya dibuat penasaran dan jengkel."
"Hm...."
Setan Jari Api bergumam datar. Kelihatannya ia belum bisa menerima alasan itu.
Kendati demikian, wajahnya tidak sekeruh tadi. Sebab ia pun memang ingin
mempermainkan Senapati Sura Wijaya. Bahkan telah bertekad melenyapkan senapati
tua itu dengan tangannya sendiri. Tekad itu yang membuat Setan Jari Api tidak
senang dengan perbuatan Raja Pisau Terbang yang dianggapnya tindakan seorang
pengecut. "Baiklah. Kali ini aku memaklumi tindakanmu, Raja Pisau Terbang. Tapi, lain kali
aku tidak mau bersembunyi menghindari mereka...!" ujar Setan Jari Api.
"Guru, pasukan Senapati Sura Wijaya sangat besar dan mereka pasukan yang
terlatih baik. Kita akan mendapat kesulitan besar jika menghadapi mereka secara
terang-terangan...."
Lelaki bertubuh tegap yang berusia sekitar dua puluh sembilan tahun kembali
menimpali ucapan gurunya. Dari ucapan itu dapat ditebak kalau pemuda itu selalu
memperhitungkan segala perbuatannya. Maka ia tidak setuju dengan ucapan gurunya.
"Hm.... Apakah ucapanmu itu merupakan ungkapan rasa takutmu terhadap mereka..."
Katakanlah, Banapati...?" tegur Setan Jari Api tidak senang.
"He he he...! Jelas kau telah keliru menilai muridmu. Setan Jari Api. Kalau
benar Banapati takut, mengapa ia sanggup menyelamatkanmu dari tiang gantungan"
Padahal pekerjaan itu sangat berbahaya dan membutuhkan keberanian yang tidak
kecil...," Raja Pisau Terbang mencela ucapan Setan Jari Api.
Mendengar perkataan itu, Setan Jari Api terdiam. Memang harus diakuinya kalau
perbuatan muridnya sangat berbahaya. Apalagi hukuman dilaksanakan di alun-alun
istana. Banapati jelas bukan murid yang mengecewakan. Buktinya ia berhasil
menyelamatkannya dari hukuman mati itu.
Banapati tertawa pelan melihat gurunya tidak berkata apa-apa. Lelaki muda itu
sedikit pun tidak memperlihatkan sikap hormat. Padahal ia telah dididik sejak
kecil oleh Setan Jari Api. Tapi, bagi kaum golongan sesat itu tidak aneh. Mereka
sudah terbiasa bersikap bebas tanpa mengingat hubungan guru dan murid. Tidak
seperti golongan putih yang sangat hormat dan taat terhadap guru atau ketuanya.
Itu salah satu perbedaan yang mencolok antara golongan hitam dan golongan putih.
"Lalu, apa rencana kalian selanjutnya" Rasanya aku sudah bosan dikejar-kejar
pasukan kerajaan. Apalagi sekarang kesehatanku sudah pulih dan ingin segera
membalas perlakuan Senapati Sura Wijaya dan pasukannya," setelah beberapa saat
terdiam Setan Jari Api kembali berkata seraya menatap ketua orang itu
bergantian. "Tentu saja aku mempunyai rencana yang sangat baik. Tapi, kita harus berhati-
hati! Karena Pendekar Naga Putih telah mencampuri urusan ini. Pendekar itu
merupakan lawan berat bagi kita..," Raja Pisau Trbang mengingatkan rekannya.
Keberadaan pendekar muda yang tersohor itu memang harus mereka perhitungkan.
"Benar, Guru. Keberadaan Pendekar Naga Putih tidak bisa kita abaikan begitu
saja. Bahkan kemungkinan besar ia telah mengetahui kalau kita bergabung dengan Raja
Pisau Terbang," timpal Banapati menetujui.
"Eh"! Bgaimana mungkin Pendekar Naga Putih mengetaui hal ini...?" tukas Setan
Jari Api yang rupanya belum mengetahui persoalan itu. Raja Pisau Terbng memang
belum menceritakan pengalamannya.
Maka tanpa basa-basi lagi, Raja Pisau Terbang segera meceritakan peristiwa yang
dialaminya. Sehingga, kening Setan Jari Api berkerut dalam. Ada kesan gentar
tersirat dalam wajahnya.
"Meskipun pendekar itu tidak sampai memergokiku, bukabn mustahil ia dapat
mengenali pisau-pisau terbang yang kulemparkan saat ia hendak mengorek
keterangan dari salah seorang pengikutku. Karena itu kita harus bersiap-siap
menghadapi kemungkinan munculnya Pendekar Naga Putih. Selain itu ada seorang
dara jelita yang kepandaiannya juga harus kita perhitungkan, ia berhasil
mematahkan serangan pisau terbangku. Padahal hanya tokoh-tokoh tertentu yang
sanggup melakukannya...," jelas Raja Pisau Terbang yang kelihatan bersungguh-
sungguh. Ia telah banyak mendengar sepak terjang pendekar muda itu, yang lebih
banyak menjatuhkan tokoh-tokoh tingkat tinggi golongan hitam.
"Hhh.... Memang sangat berbahaya kalau membiarkan Senapati Sura Wijaya sampai
dibantu Pendekar Naga Putih. Kita harus mencegahnya...," gumam Setan Jari Api
yang pernah merasakan kepandaian Pendekar Naga Putih. Hingga lelaki gendut itu
agak gelisah saat mendengar Pendekar Naga Putih ikut mencampuri urusan itu.
"Hm.... Menurut perhitunganku, kemungkinan besar pasukan Senapati Sura Wijaya
akan menginap di Desa Kecubung. Ini merupakan kesempatan baik untuk membuat
mereka jera. Paling tidak, kita harus membuat mereka mengerti dengan siapa
mereka berhadapan...," Raja Pisau Terbang mengutarakan rencananya yang telah
dipikirkan jauh sebelum kedatangan pasukan Senapati Sura Wijaya.
"Bagus! Aku pun ingin memberi pelajaran kepada tentara kerajaan agar mereka
tidak meremehkan golongan kita...." Banapati langsung menyatakan persetujuannya.
Ucapan datuk sesat yang setingkat dengan gurunya itu disambut dengan penuh
semangat. "Aku pun setuju!" kata Setan Jari Api. "Malam nanti akan kita buat mereka kalang
kabut!" *** Dua sosok tubuh bergerak cepat memasuki kawasan hutan kecil yang ditumbuhi
pepohonan lebat. Menilik gerakan mereka, tampaknya keduanya memiliki kepandaian
ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Terbukti mereka menyeberangi sungai yang
cukup lebar hanya dengan sekali lompatan saja.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di tempat yang dituju. Kening
keduanya berkerut melihat pemandangan di depan mata mereka, yang kira-kira
berjarak enam tombak lebih.
"Kelihatannya kita terlambat, Kakang...," ujar sosok dara jelita berpakaian
serba hijau kepada kawannya.
"Hm...," pemuda tampan berjubah putih yang berlari di sebelahnya hanya bergumam,
dan semakin mempercepat gerakannya mendekati reruntuhan bangunan yang hangus
terbakar. "Mungkinkah pasukan Senapati Sura Wijaya telah berhasil menemukan tempat
ini...?" desis pemuda tampan berjubah putih yang tak lak lain Panji atau
Pendekar Naga Putih.
Pasangan pendekar muda itu berdiri menatap puing-puing reruntuhan bangunan yang
berwarna hitam. Sekali pandang mereka langsung tahu semua itu pekerjaan Senapati
Sura Wijaya dan pasukannya. Karena di tempat itu terlihat puluhan sosok mayat
prajurit. Sedangkan di pihak lawan ada belasan korban yang jatuh. Semua itu menimbulkan
pertanyaan di hati keduanya.
"Hm.... Tidak kulihat mayat Raja Pisau Terbang di sekitar tempat ini...?" gumam
Panji setelah meneliti seluruh mayat yang bergelimpangan.
"Kau sudah pernah bertemu dengan tokoh itu, Kakang...?" tanya Kenanga menatap
wajah kekasihnya.
"Belum...," sahut Panji singkat.
"Lalu, bagaimana kau bisa mengatakan tidak menemukan mayat Raja Pisau Terbang?"
"Untuk mengetahuinya kita tidak perlu bertemu dengan tokoh itu. Tinggal kita
lihat saja usia mayat-mayat itu. Tidak satu pun yang usianya berada di atas lima
puluh tahun. Sedangkan menurut dugaanku, paling tidak datuk sesat itu berusia sekitar lima
puluh tahun lebih. Selain itu tidak satu pun di antara mayat-mayat itu yang pada
bagian dadanya terdapat tempat untuk menyimpan pisau-pisau terbang. Jelas datuk
sesat itu belum tewas."
"Mungkinkah datuk sesat itu sedang tidak berada di tempatnya saat Senapati Sura
Wijaya dan pasukannya menyerang tempat ini...?" tanya Kenanga lagi.
"Mungkin begitu. Kelihatannya hanya dugaan itulah satu-satunya yang masuk akal.
Sebab, tidak mungkin Raja Pisau Terbang membiarkan begitu saja tempatnya
dimusnahkan orang...," sahut Panji memperkuat dugaan kekasihnya.
"Kalau benar begitu, berarti penyerangan Senapati Sura Wijaya bersama pasukannya
bisa dibilang percuma. Kalau hanya pengikut-pengikut Raja Pisau Terbang yang
mereka bunuh, jelas rugi besar. Apalagi korban di pihak Kerajaan kelihatannya
lebih banyak," ujar Kenanga disertai helaan napas panjang, ia agak kecewa
menemukan tempat kediaman Raja Pisau Terbang dalam keadaan demikian.
Panji menganggukkan kepala. Kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat
itu. Dan melangkah perlahan dengan kepala tertunduk. Pemuda itu tengah berpikir
keras. Entah apa yang dipikirkannya.
"Kita harus mencari di mana pasukan Senapati Sura Wijaya berada, Kakang. Kalau
benar mereka belum menemukan Raja Pisau Terbang atau Setan Jari Api, kemungkinan
besar mereka belum meninggalkan daerah selatan ini. Menurut dugaanku, Senapati
Sura Wijaya akan membangun tenda di sekitar daerah ini...," ujar Kenanga seraya
mengikuti langkah kekasihnya.
"Bisa jadi demikian," sahut Panji kurang bersemangat "Kasihan Senapati Sura
Wijaya. Mungkin saat ini beliau tengah bingung dan putus asa. Tempat
persembunyian Setan Jari Api kembali gelap. Padahal hanya Raja Pisau Terbang
satu-satunya petunjuk yang beliau miliki."
Hal itulah yang tengah dipikirkan Pendekar Naga Putih sejak tadi. Sebab ia pun
mengalami hal serupa, tidak tahu harus ke mana mencari Setan Jari Api yang
menjadi buruan kerajaan itu. Sedangkan petunjuk satu-satunya hanya Raja Pisau
Terbang. Setelah melihat tempat kediaman datuk sesat itu musnah, semuanya pun
kembali gelap. "Lalu, ke mana tujuan kita sekarang, Kakang...?" melihat kekasihnya belum
memiliki rencana, akhirnya Kenanga bertanya tak sabar.
"Sebentar lagi hari akan gelap. Tidak enak rasanya mengganggu Senapati Sura
Wijaya dan pasukannya yang tengah beristirahat..," sahut Panji tanpa memastikan
ke mana ia hendak pergi.
"Jadi...?"
"Sebaiknya kita pergi ke desa terdekat. Besoknya baru kita mencari tempat
Senapati Sura Wijaya dan pasukannya berkemah...." jelas Panji seraya menatap
kekasihnya seolah hendak meminta persetujuan.
"Jika rencana Kakang begitu, aku menurut saja..," tukas Kenanga menyetujui.
"Ayolah kita pergi, sebelum hari menjadi gelap...."
Kenanga pun segera mengayun langkah mengikuti Panji yang sudah
mempergunakan ilmu lari cepatnya mencari desa terdekat. Sebentar saja sosok
keduanya merupakan bayangan samar di kejauhan. Kemudian lenyap.
Sepeninggal Panji dan Kenanga, tempat itu pun kembali sunyi. Hanya hembusan
angin sesekali bertiup keras menemani reruntuhan bangunan tempat tinggal Raja
Pisau Terbang. 8 Di bawah siraman cahaya rembulan yang temaram, tampak tiga sosok bayangan
bergerak memasuki batas Desa Kecubung. Kendati cahaya bulan tidak menerangi bumi
secara penuh, ketiga sosok bayangan itu tidak mendapat kesulitan mengenali
jalan. Mereka memang bukan orang-orang sembarangan, dan dapat menembus keremangan
dengan pandangan mata.
Belum sampai melewati mulut desa, ketiga sosok bayangan itu menghentikan
larinya. Deru napas mereka terdengar halus. Padahal mereka telah berlari cukup
jauh dan menggunakan ilmu lari yang tidak rendah. Satu bukti lagi kalau ketiga
sosok bayangan itu memang bukan orang sembarangan.
"Malam ini Desa Kecubung akan kita bikin geger...!" desis sosok tinggi kurus
yang semula berlari paling depan. Suaranya terdengar penuh semangat, dan
menyembunyikan sesuatu yang berbau maut.
"Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu" Malam sudah semakin larut. Mereka
tentu telah terbuai mimpi indah...," timpal sosok kedua yang berperawakan lebih
pendek sedikit dan berperut buncit Jelas kelihatan ia sudah tak sabar ingin
segera memulai rencana mereka.
"Tenanglah, Guru. Paman Raja Pisau Terbang mempunyai rencana yang bagus sekali.
Aku yakin Senapati Sura Wijaya akan kelabakan seperti kakek-kakek kebakaran
jenggot...," tukas sosok ketiga yang bertubuh tegap dan bersuara agak lantang,


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kendati berusaha ditekan sepelan mungkin. Sosok tegap itu adalah Banapati, murid
Setan Jari Api.
"Hhh...."
Mendengar ucapan muridnya, sosok berperut buncit yang tidak lain Setan Jari Api
mengusap-usap dagunya, ia hanya bergumam pelan tanpa berkata sepatah pun.
"He he he...! Kelihatannya gurumu sudah tidak sabar ingin segera memulai pesta,
Banapati. Bagaimana denganmu sendiri...?" tanya Raja Pisau Terbang terkekeh
melihat tingkah Setan Jari Api yang tidak bisa tenang.
"Memang sebaiknya kita mulai saja. Paman...," sahut Banapati cepat. Sehingga,
Raja Pisau Terbang kembali memperdengarkan kekehnya.
"Ayolah kita mulai..."
Setelah berkata demikian, Raja Pisau Terbang melesat ke arah kanan. Disusul
kemudian dengan Setan Jari Api dan Banapati. Masing-masing mengambil arah yang
berlainan. Entah rencana apa yang hendak mereka jalankan..."
"Kebakaran...! Kebakaraaan...!"
Suasana malam yang hening disentakkan oleh teriakan-teriakan ribut. Di tiga
tempat terlihat kobaran api menjilati beberapa rumah penduduk. Kejadian itu
membuat seisi desa terbangun.
Peristiwa yang sangat mengejutkan dan tidak disangka-sangka itu menggemparkan
penduduk. Mereka berlarian kian kemari. Banyak yang sibuk mengurusi harta
bendanya masing-masing. Hanya sedikit dari mereka yang berusaha memadamkan
kobaran api yang semakin membesar dan menjalar ke rumah-rumah lainnya.
"Kurang ajar...! Kebakaran ini jelas tidak wajar...!"
Di tengah penduduk yang berlarian kian kemari tampak seprang lelaki gagah
berpakaian senapati menggeram sambil mengawasi kejadian di tiga tempat itu. Ia
sendiri tidak bergerak dari tempatnya dan hanya memerintahkan prajurit-
prajuritnya untuk membantu penduduk yang tengah berusaha memadamkan kobaran api
agar tidak semakin menjalar.
"Sebaiknya kita mencari penyebab kejadian ini, Kakang Senapati! Aku yakin
kebakaran ini perbuatan musuh-musuh kita...!" kata sosok lain yang sudah pasti
Senapati Gunawali. Rupanya dugaan mereka tidak berbeda jauh.
Mendengar usul itu, Senapati Sura Wijaya tidak berkata apa-apa. Ia hanya
memberikan isyarat dengan gerakan tangan agar Senapati Gunawali mengikutinya.
Keduanya pun bergerak untuk men cari tahu siapa kira-kira penyebab kebakaran
aneh itu. "Kakang Senapati, lihat...!"
Belum berapa lama mereka berlari, Senapati Gunawali melihat sesosok bayangan
berdiri di bawah sebatang pohon yang berada cukup jauh dari tempat terjadinya
kebakaran. Sosok itu berdiri agak tersembunyi dari penglihatan. Sehingga,
Senapati Gunawali menaruh curiga.
Senapati Sura Wijaya pun melihat sosok bayangan mencurigakan itu. Tanpa banyak
cakap, ia segera melesat mendekati sosok tubuh yang tidak dapat dikenali karena
gelap itu. "Hei, tunggu...!"
Ketika jarak antara mereka tinggal dua tombak lagi, mendadak sosok itu berlari.
Tentu saja Senapati Sara Wijaya dan rekannya kaget. Karena mencegah dengan
seruan sosok itu tidak juga berhenti, maka kedua senapati itu mengejar dengan
menambah kecepatan larinya.
Namun, ternyata sosok tubuh itu tidak mudah dikejar. Gerakannya sangat gesit
Bahkan tidak kalah dengan kecepatan lari Senapati Sura Wijaya dan Senapati
Gunawali. Tentu saja kedua senapati Kerajaan Bungaran itu jengkel dan marah. Mereka pun
sadar sengaja diajak menjauh dari pasukan. Tapi Senapati Sura Wijaya maupun
Senapati Gunawali tidak menjadi gentar. Keduanya terus mengejar dengan
mengerahkan seluruh ilmu lari cepat yang mereka miliki.
Ketika sosok bayangan itu tiba di tepi sungai yang terletak di selatan Desa
Kecubung, mendadak sosok itu menghentikan larinya dan berbalik menunggu
kedatangan kedua pengejarnya.
"He he he...! Kalian benar-benar berani dan ulet. Entah berapa besar hadiah yang
akan kalian terima bila berhasil membawaku ke istana hidup atau mati...?" ejek
sosok gemuk berperut buncit itu dengan sikap menantang.
"Setan Jari Api..."!" desis Senapati Sura Wijaya segera mengenali sosok gemuk
berperut buncit itu. Sosok itu adalah tokoh sesat yang selama ini dicarinya.
Tentu saja senapati gagah itu merasa senang, meskipun ada sedikit kekhawatiran.
"Hm.... Mengapa kalian malah seperti orang melihat setan di siang bolong" Hayo,
tangkaplah! Bukankah aku buronan kalian...?"
Kembali Setan Jari Api menantang, membuat wajah kedua senapati itu merah.
Mereka memang sempat tertegun, tidak menyangka sosok yang dikejarnya Setan Jari
Api. Srattt...! Sinar putih berkilauan susul-menyusul ketika kedua senapati itu mencabut pedang
di pinggangnya. Kemudian merenggang, membentuk kepungan di kiri dan kanan. Jelas
keduanya hendak mengeroyok Setan Jari Api. Karena mereka sadar datuk sesat itu
tidak bisa dibuat main-main.
"Aku harus menangkapmu hidup atau mati, Setan Jari Api...!" ujar Senapati Sura
Wijaya seraya menatap lawannya dengan tajam.
Mendengar ucapan itu, Setan Jari Api tertawa sinis. Tubuhnya bergerak membentuk
kuda-kuda. Kelihatannya datuk sesat itu pun tidak berani memandang rendah kedua
lawannya. Yang dihadapinya adalah senapati-senapati pilihan yang tangguh dari
Kerajaan Bungaran. Kedua orang itu bukan lawan yang ringan bagi Setan Jari Api.
"Biarlah aku yang mulai...! Haaat...!"
Tanpa banyak basa-basi, Setan Jari Api langsung melesat ke arah Senapati Sura
Wijaya yang berada di sebelah kanannya. Kendati serangan itu dilakukan dengan
tangan kosong, namun keampuhannya tidak kalah oleh sebatang pedang. Dan Senapati
Sura Wijaya tidak berani menyepelekan serangan lawan.
"Haiiit...!"
Diawali sebuah seruan nyaring, Senapati Sura Wijaya menggeser tubuhnya dengan
langkah panjang. Kemudian membalas dengan serangkaian serangan yang mendatangkan
angin berciutan. Rupanya begitu bergebrak, senapati gagah itu langsung
mengeluarkan ilmu pedang andalannya. Sehingga dalam waktu singkat keduanya telah
terlibat sebuah perkelahian sengit.
"Yeaaat...!"
Senapati Gunawali pun tidak tinggal diam. Melihat rekannya bertarung mati-
matian, ia segera terjun ke dalam kancah pertaraungan. Setan Jari Api harus
menghadapi dua orang senapati gagah itu!
Dalam jurus-jurus awal, Setan Jari Api agak kewalahan menghadapi gempuran-
gempuran kedua lawannya. Hingga akhirnya datuk sesat itu menggunakan 'Ilmu Jari
Api'nya yang terkenal tangguh dan sangat berbahaya.
Klap! Klap! Sinar merah kebiruan menyambar-nyambar disertai hawa panas menyengat mengancam
tubuh kedua senapati itu. Hingga mereka terpaksa bermain mundur sambil sesekali
menyambut sinar panas itu dengan badan pedang. Dan tangkisan itu malah membuat
tubuh mereka tergetar mundur. Kenyataan itu menandakan tenaga dalam datuk sesat
itu berada dua tingkat di atas mereka.
Tapi walaupun Setan Jari Api melancarkan serangan bertubi-tubi, tetap saja ia
tidak mampu mendesak lawan terus-menerus. Sebab, ia pun harus memperhatikan
perlindungan tubuhnya. Sehingga, kedua belah pihak saling desak bergantian.
Pertarungan pun semakin seru dan menarik Karena kedua belah pihak kelihatan
seimbang! Sayang hal itu tidak berlangsung lama. Karena....
"Guru, aku datang membantu...!"
Belum lagi gema teriakan itu lenyap, si pemilik suara sudah melayang dan
langsung menceburkan diri ke dalam arena pertarungan. Dan begitu kakinya
menyentuh tanah, sambaran pedangnya datang mengancam tubuh Senapati Gunawali.
Senapati bertubuh tegap itu kaget bukan main.
Trang...! Bunga api berpijar menerangi arena sesaat lamanya. Sebab dalam keadaan yang
sulit itu Senapati Gunawali memutar senjatanya untuk memapaki sambaran pedang
lawan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah.
"Hm.... Kau ternyata hebat juga. Senapati...," dengus sosok tegap itu mengejek.
Karena meskipun sangat tipis, tapi jelas kelihatan kekuatan sosok tegap yang tak
lain Banapati itu memang lebih kuat dari Senapati Gunawali. Kemenangan yang
sedikit itu rupanya telah membuat Banapati congkak dan memandang rendah lawan.
Cwiiit... Cwiiit...!
Tanpa mempedulikan ejekan lawan. Senapati Gunawali memutar pedangnya.
Tampaknya senapati bertubuh tegap ini benar-benar mencurahkan pikiran dan
tenaganya untuk bertarung. Dan....
"Haaat...!"
Bersamaan dengan teriakan itu, tubuh Senapati Gunawali melayang ke arah lawan.
Dan Banapati pun segera bergerak menyambut. Pertarungan kembali berlangsung
sengit! *** Sementara itu, Senapati Sura Wijaya harus bertarung mati-matian menghadapi Setan
Jari Api. Akibatnya tentu saja mudah ditebak. Senapati gagah itu segera terdesak
oleh gempuran-gempuran maut lawan. Sehingga, Senapati Sura Wijaya terpaksa
menitikberatkan pada pertahanan daripada penyerangan. Memang hanya itulah yang
bisa dilakukannya untuk mempertahankan nyawanya.
"Haiiit...!"
Saat perkelahian memasuki jurus kelima puluh, Setan Jari Api memekik nyaring
mengejutkan lawannya. Disusul dengan lesatan tubuhnya yang disertai serangan
maut. Rupanya kali ini datuk sesat itu benar-benar hendak menghabisi Senapati Sura
Wijaya. Sementara Senapati Sura Wijaya yang sadar datangnya bahaya maut itu tidak bisa
berbuat lain kecuali memperhebat pertahanannya. Tapi melihat dahsyatnya serangan
Setan Jari Api, kelihatannya Senapati Sura Wijaya sulit untuk menghindar lagi.
Maka.... "Haiiit...!"
Tasss, tasss...!
"Aaakh..."!"
Terdengar suara letupan bagai besi panas dicelupkan ke dalam air. Setan Jari Api
memekik kaget seiring dengan terpentalnya tubuh datuk sesat itu ke belakang.
Dan di depan Senapati Sura Wijaya berdiri tegak seorang pemuda tampan berjubah
putih. Dialah yang telah menyambut 'Ilmu Jari Api' yang digunakan datuk sesat
itu. "Pendekar Naga Putih..."!" Seruan yang bernada berlainan keluar dari mulut Setan
Jari Api dan Senapati Sura Wijaya. Kalau datuk sesat itu terkejut dan agak
tegang hatinya, sebaliknya Senapati Sura Wijaya sangat lega dan gembira melihat
orang yang telah menolongnya.
"Maaf, aku agak terlambat, Paman. Kupikir pasukan kerajaan akan mendirikan tenda
di lapangan terbuka. Bukan menginap di rumah-rumah penduduk desa...," ujar
pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji. Pemuda itu membungkuk hormat
sebelum membalikkan tubuh kembali, menghadapi Setan Jari Api yang tampaknya
sangat benci kepada Pendekar Naga Putih yang dianggapnya pengacau.
"Guru...!"
Kehadiran Pendekar Naga Putih rupanya diketahui Banapati. Lelaki tegap itu
segera melompat mundur meninggalkan lawannya untuk bergabung dengan gurunya.
Banapati sadar Pendekar Naga Putih merupakan lawan terberat. Untuk itu mereka
harus bersatu agar mampu menandingi kepandaian pendekar muda yang tersohor itu.
"Apakah kau tidak bersama Kenanga, Pendekar Naga Putih...?" tanya Senapati Sura
Wijaya heran ketika tidak melihat Kenanga.
"Kenanga tengah menghadapi Raja Pisau Terbang di tempat pasukanmu menginap.
Tuan Senapati. Kami berdua datang karena melihat rumah penduduk terbakar.
Kobaran api itulah yang membuat kami datang ke sini. Syukurlah belum
terlambat...," sahut Panji, membuat senapati tua itu merasa lega. Sebab
pasukannya yang tanpa pemimpin mendapat perlindungan pendekar wanita yang telah
diketahui ketangguhannya. Apalagi Pendekar Naga Putih tidak kelihatan khawatir
ketika mengatakan Kenanga tengah berhadapan dengan Raja Pisau Terbang. Itu jelas
membuktikan pendekar muda itu percaya penuh akan kemampuan kekasihnya.
"Tuan Senapati...," lanjut Panji ketika melihat Setan Jari Api bersama muridnya
sudah siap bertarung. "Perkenankan hamba menangkap manusia sesat itu...."
Senapati Sura Wijaya yang tahu sifat Pendekar Naga Putih langsung mengangguk
setuju. Pemuda tampan itu tidak akan membiarkan kebathilan merajalela. Senapati
Gunawali pun tidak keberatan tugasnya dibantu pendekar muda itu.
Setelah mendapat persetujuan kedua senapati itu, Panji bergerak mendekat, dan
berhenti dalam jarak satu tombak lebih. Ditatapnya kedua sosok lawannya dengan
sorot mata tajam. Terdengar suaranya yang berwibawa.
"Setan Jari Api! Dosa-dosamu telah melewati batas! Sekarang kau harus
mempertanggungjawabkannya. Apa kau sudah siap...?" tanya Panji yang segera
mempersiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk menghadapi guru dan murid itu.
"Keparat sombong! Kurobek mulutmu..!" pekik Setan Jari Api murka. Datuk sesat
itu segera menerjang dengan ilmu andalannya, yang membuat namanya ditakuti
kalangan persilatan.
Melihat gurunya sudah bergerak maju, Banapati tidak tinggal diam. Pedang di
tangannya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan dengungan tajam. Kemudian
melesat dari sebelah kiri disertai sambaran pedangnya yang berkesiutan.
"Hm...."
Menyadari serangan kedua tokoh sesat itu sangat berbahaya, Panji segera
menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian merentangkannya ke kiri dan
kanan. Dan terus bergerak naik ke atas kepala, untuk kemudian ditarik ke sisi
pinggang. "Heaaah...!"
Seiring dengan bentakannya, tangan kanannya bergerak ke atas. Sedangkan tangan
kirinya berada di bawah dengan kedua telapak tangan menghadap ke depan membentuk
cakar naga. Begitu serangan Setan Jari Api dan muridnya tiba, Panji menggeser tubuhnya ke
kanan. Dan sewaktu serangan kedua lawannya luput, sepasang tangannya yang
membentuk cakar langsung menyambar tubuh Banapati yang berada lebih dekat
dengarnya. Bweeet..! Tapi sebagai murid tokoh hebat seperti Setan Jari Api, tentu saja Banapati tidak
bisa dirobohkan hanya dengan sekali gebrak. Bahkan lelaki tegap itu masih sempat
melancarkan tiga bacokan begitu berhasil menghindari sambaran cakar naga lawan.
Sampai-sampai Panji mengeluarkan pujian.
Ketika Pendekar Naga Putih bergerak mundur dengan geseran-geseran langkahnya,
Setan Jari Api melenting ke udara. Dari atas kedua tangannya berputar dan
meluruk bergantian mengancam ubun-ubun Pendekar Naga Putih. Sayang Pendekar Naga
Putih tidak mudah dikecoh. Serangan Setan Jari Api gagal. Bahkan Panji membalas
dengan serangkaian serangan maut.
Senapati Sura Wijaya dan Senapati Gunawali menggeleng-gelengkan kepala melihat
jalannya pertarungan sengit itu. Meskipun kepandaian keduanya sudah terbilang
tinggi, namun menyaksikan pertarungan itu kedua senapati itu menggeser tubuhnya
agar tidak terlalu dekat dengan arena. Batu-batu kecil yang beterbangan terkena
sepakan kaki tokoh-tokoh yang tengah bertarung terasa pedih mengenai tubuh
mereka. Mereka pun terpaksa menyaksikan pertarungan dari jarak tiga tombak. Itu
pun masih harus berlindung di balik sebatang pohon. Karena sambaran pukulan yang
nyasar dapat mengakibatkan luka dalam yang tidak ringan.
Saat itu pertarungan yang sudah menginjak jurus keseratus lima puluh berjalan
semakin cepat. Terlihat jelas Panji mulai menguasai arena. Serangan-serangannya
yang disertai hawa dingin menggigit semakin deras mendesak lawan dan memaksa
kedua tokoh sesat itu terus mundur tanpa memberi peluang untuk balas menyerang.
Bahkan.... Desss...! Hantaman telapak tangan kanan Pendekar Naga Putih yang dilakukan dengan
kedudukan tubuh miring dan kuda-kuda rendah telak menerpa dada kiri Banapati!
Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terjengkang muntah darah.
Derrr! Tubuh Banapati menghantam pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Lalu melorot
jatuh bersamaan dengan bergugurannya dedaunan pohon itu. Murid Setan Jari Api
langsung tewas dengan tulang dada remuk dan jantung membeku.
"Keparat! Kubunuh kau...!"
Murka bukan main Setan Jari Api melihat muridnya tewas. Tanpa mempedulikan
keselamatan nyawanya, datuk sesat itu menerjang dengan serangan-serangan
mautnya! "Haaat...!"
Panji tidak terpancing dengan kemurkaan lawan. Ia tetap tenang menghadapi
gempuran yang agak membabi buta itu. Malah mempergunakan kemarahan lawan dengan
baik. Sehingga....
"Yeaaaah...!"
Bresssh! Setelah menggeser tubuhnya menghindari serangan Setan Jari Api, Pendekar Naga


Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih menghantamkan cakar-cakar naganya ke lingkaran dada Setan Jari Api.
"Aaa...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh datuk sesat itu langsung terlempar deras ke belakang.
Pada lingkaran dadanya terdapat tanda lima jari tangan yang menimbulkan luka
berlubang. Darah segar mengalir dari luka-luka itu. Tubuh gemuk berperut buncit
itu pun ambruk dengan tubuh mengejang. Dari tewas dengan mata melotot! Datuk
sesat itu mati penasaran!
Sesaat setelah Setan Jari Api menghempuskan napas terakhir, terdengar suara
derap langkah orang banyak berlari mendatangi tempat itu. Tidak berapa lama
kemudian, muncullah pasukan Senapati Sura Wijaya dengan membawa obor di tangan.
Suasana di tempat itu seketika menjadi terang benderang.
"Kakang...!"
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau berlari menghampiri Panji yang sudah
berbalik menatap kedatangan pasukan Kerajaan Bungaran.
"Bagaimana dengan Raja Pisau Terbang...?" tanya Panji menyambut kedatangan
kekasihnya. "Aku berhasil mengirimnya ke neraka, Kakang...," jawab Kenanga. Di tangan
kanannya masih tergenggam Pedang Sinar Rembulan yang bernoda darah.
"Syukurlah...," Panji menghela napas ketika melihat dara jelita itu tidak
terluka, kecuali deru napasnya yang masih memburu.
Sementara Senapati Sura Wijaya memerintahkan pasukannya mengurus mayat Setan
Jari Api untuk diperlihatkan kepada Prabu Tamanggala. Kemudian senapati itu
menghampiri Pendekar Naga Putih dan kekasihnya. Tapi sebelum sempat mengucapkan
terima kasih, Panji sudah mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
"Maafkan sikapku yang kurang hormat, Tuan Senapati! Aku harus melanjutkan
perjalanan...!"
Senapati Sura Wijaya hanya bisa menggelengkan kepala menatap sosok yang sebentar
saja lenyap ditelan kegelapan. Satu pelajaran didapatnya, bahwa tidak semua
manusia mempunyai pamrih dalam membantu sesama.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pedang Golok Yang Menggetarkan 2 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Tangan Geledek 11
^