Pencarian

Tragedi Gunung Langkeng 2

Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng Bagian 2


sukar sekali bernapas...," rintih Kenanga lirih. Se-ringai kenyerian tampak
tergambar nyata di wajah jelita itu.
Sosok bayangan putih yang memang Panji
itu bergegas mengeluarkan obat dari dalam bunta-
lan pakaiannya.
"Telanlah obat ini. Mudah-mudahan dapat
mengurangi rasa nyeri di dalam dadamu," ujar Panji lembut.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga yang
memang percaya penuh akan kepandaian keka-
sihnya langsung menelan obat pemberian Panji.
"Nah! Sekarang, istirahatlah. Agar, tena-
gamu pulih," ujar pemuda tampan itu lagi dengan suara tetap tenang, seolah-olah
sama sekali tidak merasa khawatir akan luka dalam yang diderita
kekasihnya. *** Sejak melihat adanya sosok bayangan pu-
tih yang menyelamatkan lawannya, Nyai Kalawi-
rang sudah dapat menilai kehebatan si penolong
itu. Untuk menghadapi dara jelita itu saja, ia sudah harus menggunakan ilmu
andalannya. Takut
kalau-kalau sosok berjubah putih yang sudah pas-
ti kepandaiannya berada di atas gadis itu menda-
tangkan kesusahan, maka Nyai Kalawirang segera
berkelebat meninggalkan tempat itu bersama Kun-
cara. Dan tentu saja hal itu dilakukan dengan
berbagai pertimbangan. Antara lain, takut rencana yang telah disusun berbulan-
bulan gagal hanya
karena terlalu menuruti amarah.
Itulah sebabnya, mengapa ketika Panji me-
noleh ke arah tempat Nyai Kalawirang berdiri, ia sudah tidak melihat wanita
genit itu lagi.
"Hm.... Rupanya ia telah meninggalkan
tempat ini selagi aku sibuk mengurusi Kenanga.
Entah siapa wanita cantik itu" Melihat akibat ten-dangannya tadi, aku yakin
kalau dia bukan orang
sembarangan. Kalau tidak, sulit rasanya bagi wa-
nita itu untuk dapat mengalahkan Kenanga," gumam Panji, setelah mengedarkan
pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Ke mana wanita cabul itu, Kakang...?"
tanya Kenanga sambil melangkah menghampiri
Panji. Rupanya, dia sudah sembuh dari rasa sakit akibat tendangan Nyai
Kalawirang tadi.
Pendekar Naga Putih yang tengah terme-
nung memikirkan siapa adanya wanita cantik itu,
tersentak dari lamunan. Kepalanya segera ditolehkan ke belakang. Senyumnya
mengembang ketika
melihat gadis jelita itu tengah melangkah ke arahnya. "la sudah pergi. Bagaimana
dengan luka-mu" Apakah sudah benar-benar sembuh...?" tanya Panji tetap berdiri
di tempatnya menunggu kedatangan kekasihnya.
"Sudah tidak terasa nyeri lagi, Kakang.
Hanya tinggal luka memar yang tidak perlu dik-
hawatirkan. Dalam beberapa hari, pasti akan hi-
lang dengan sendirinya," sahut Kenanga tersenyum manis.
Wajah jelita itu nampak sudah segar keme-
rahan. Pertanda Kenanga sudah benar-benar se-
hat. "Sekarang marilah kita duduk. Ceritakan-
lah..., mengapa kau sampai bertarung dengan wa-
nita itu" " pinta Panji yang segera melangkah ke arah sebuah batu pipih dekat
pohon besar. Kenanga yang masih merasa penasaran
atas kekalahannya, segera menceritakan awal mu-
la pertarungan tadi. Sedangkan Panji hanya men-
dengarkan tanpa memotong cerita.
"Begitulah, Kakang. Walaupun sejak semu-
la sudah aku duga kelihaian wanita genit itu, namun sama sekali tidak kusangka
kalau sedemi- kian hebatnya. Melihat dari tingkah laku dan il-
mu-ilmunya yang ganas dan penuh tipu daya licik
itu, aku dapat menilai kalau wanita itu pasti tokoh sesat yang amat jahat,"
jelas Kenanga menutup ce-ritanya. "Hm.... Kalau begitu, penyebab perkelahian
tadi hanya salah paham saja. Sudahlah. Urusan
ini tidak perlu diperpanjang lagi. Sebaiknya, kita teruskan saja perjalanan
kita," ajak Panji yang segera bangkit dari duduknya.
"Tapi, Kakang. Rasanya hatiku masih be-
lum puas atas kekalahanku tadi. Ingin sekali aku membalasnya untuk meruntuhkan
kesombongan wanita genit itu," Kenanga masih mencoba membantah, karena rasa penasarannya.
"Sudahlah, Kenanga. Tidak ada gunanya
menuruti hawa amarah. Kekalahan merupakan
sesuatu yang wajar. Dan lagi, kita sama sekali tidak mempunyai urusan dengan
kedua orang itu.
Kepergian wanita genit itu tadi sudah merupakan
isyarat kalau dia tidak ingin bermusuhan dengan
kita," bujuk Panji sambil membelai lembut punggung kekasihnya. Kemudian,
ditariknya lengan
gadis jelita itu untuk pergi meninggalkan kaki Gunung Langkeng.
Karena tidak ingin berbantahan dengan
kekasihnya, maka Kenanga tidak menolak ajakan
Panji. Meski dengan hati kurang puas, kakinya
pun mulai melangkah menjauhi tempat yang telah
meninggalkan kenangan pahit baginya.
*** 4 "Mengapa harus melarikan diri seperti
orang pengecut Nyai?" tanya Kuncara.
Pemuda itu merasa tidak suka atas perbu-
atan itu. Saat itu mereka sudah berada di depan
pondok yang terdapat di tengah Hutan Langkeng.
"Hm.... Jangan bodoh, Kuncara. Perbuatan
ini bukan berarti pengecut. Tapi, itu menandakan kepintaran kita," bantah Nyai
Kalawirang agak ketus.
Rupanya wanita tokoh sesat ini pun tidak
suka dicap sebagai pengecut. Hal itu tersirat jelas pada wajahnya yang cemberut.
"Menandakan kepintaran..." Apa maksud
Nyai?" desak Kuncara.
Pemuda itu memang belum mengerti, ke
mana maksud perkataan Nyai Kalawirang. Dita-
tapnya wajah wanita genit itu lekat-lekat dengan sinar mata penuh tuntutan.
"Ah! Bodoh sekali kau, Kuncara. Meskipun
aku belum tahu secara pasti, tapi jelas ada ke-
mungkinan kalau sosok bayangan putih yang me-
nolong gadis jelita itu memiliki kepandaian tinggi.
Kalau aku sampai bertarung dengannya, tentu
akan memakan waktu lama. Lalu, bagaimana ka-
lau pertarungan itu sampai terdengar gurumu"
Nah! Bukankah hubungan kita akan diketahui gu-
rumu dan saudara seperguruanmu yang bernama
Panggali itu" Kau suka kalau mereka mengetahui
hubungan kita?" jawab Nyai Kalawirang mengajukan alasannya.
Mendengar penjelasan itu, wajah Kuncara
yang semula menyimpan penasaran menjadi pu-
cat. Ia benar-benar tidak berpikir sampai sejauh itu. Tentu saja ucapan Nyai
Kalawirang membuat-
nya tersadar dan merasa bersalah.
"Maafkan aku, Nyai. Kau benar. Kalau
sampai guru atau Panggali mengetahui hubungan
kita, tentu beliau akan marah sekali," sesal Kuncara menyadari kebodohannya.
Melihat pemuda itu menundukkan wajah-
nya dengan penuh penyesalan, maka sikap Nyai
Kalawirang kembali berubah lunak. Dibelainya
rambut kepala dan wajah pemuda remaja itu lem-
but. Dibisikkannya kata-kata yang membuat Kun-
cara mengangkat wajahnya.
"Sudahlah! Jangan bersedih, Kuncara. Le-
bih baik tunjukkan ilmu 'Pukulan Memecah Badai'
dan 'Tendangan Angin Topan' yang diajarkan gu-
rumu. Aku akan mencoba menunjukkan kelema-
han-kelemahan gerakanmu, agar kau tidak kalah
apabila bertarung melawan Panggali," bujuk Nyai Kalawirang mengajukan usul,
bernada lembut.
"Ah! Kau benar, Nyai. Aku harus dapat
menunjukkan kepada Eyang Sanca Wisesa kalau
bisa sebaik Panggali," tegas Kuncara, mantap.
Semangat pemuda itu terbangkit setelah
mendengar ucapan Nyai Kalawirang. Tanpa me-
nunggu lagi, dia bergegas bangkit dan melangkah
ke depan pondok yang berhalaman luas.
Kuncara berdiri tegak sambil menghem-
buskan napasnya berkali-kali sebelum memainkan
jurus 'Pukulan Memecah Badai'. Sesaat kemudian,
kedua kakinya mulai bergeser ke kiri-kanan mem-
bentuk kuda-kuda bagai menunggang kuda.
"Haiiittt..!"
*** "Bagaimana, Nyai" Apakah jurus-jurusku
tadi sudah cukup baik" Mohon petunjuk dari
Nyai...," pinta Kuncara setelah menyelesaikan latihannya.
Wajah pemuda itu tampak berseri penuh
kebanggaan. Apalagi setelah mendapat pujian dari wanita secantik dan semolek
Nyai Kalawirang.
Jangankan seorang pemuda hijau seperti Kuncara.
Biar lelaki yang memiliki banyak pengalaman pun, akan merasa bangga dipuji
perempuan cantik.
"Gerakan-gerakanmu sudah cukup baik,
Kuncara. Sekarang, marilah kita berlatih bersamasama. Pergunakanlah kedua ilmu
andalanmu itu. Dan aku akan mencoba menutup kelemahan-
kelemahan gerakanmu," ajak Nyai Kalawirang
sambil melangkah ke tengah lapangan rumput itu.
"Dengan senang hati, Nyai...," sambut Kuncara tanpa merasa curiga sedikit pun.
Sepertinya pemuda itu benar-benar telah
menaruh kepercayaan penuh kepada wanita can-
tik yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dengan penuh kegembiraan, Nyai Kalawi-
rang mulai bersiap menghadapi kedua jurus am-
puh Eyang Sanca Wisesa yang diwariskan kepada
Kuncara. Menjelang sore, kedua orang itu baru sele-
sai berlatih. Nyai Kalawirang membiarkan saja ketika Kuncara berpamit hendak
kembali ke tempat
gurunya. Rupanya, wanita cantik itu masih memi-
kirkan jurus-jurus ampuh yang tadi dimainkan
Kuncara. "Nyai, aku pergi dulu...," pamit Kuncara.
Pemuda itu merasa heran melihat Nyai Ka-
lawirang nampak masih termenung bagai patung.
Dihampirinya wanita cantik itu, lalu diulurkan
tangannya untuk menyentuh kedua bahunya.
"Kenapa, Nyai...?" tanya Kuncara cemas melihat wanita cantik itu hanya menunduk
diam. "Oh...! Aku tidak apa-apa, Kuncara. Hanya
merasa agak pening sedikit. Jurus-jurus tadi benar-benar membuat aku pusing,"
sahut Nyai Kalawirang tersentak dari lamunannya. "Pulanglah.
Jangan terlalu mencemaskan diriku,"
"Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu baik-
baik, Nyai," ujar Kuncara lembut.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Kunca-
ra menyempatkan untuk mencium lembut bibir
Nyai Kalawirang yang merah menantang.
Sepeninggal Kuncara, Nyai Kalawirang me-
langkah memasuki pondok. Jurus-jurus ampuh
Eyang Sanca Wisesa masih saja memenuhi be-
naknya. *** 5 Matahari baru saja muncul dan menam-
pakkan kekuasaannya. Saat itu, nampak dua so-
sok tubuh melangkah meninggalkan pondok tem-
pat kediaman Eyang Sanca Wisesa.
Kedua sosok tubuh itu tak lain dari Kunca-
ra dan Panggali. Seperti biasa, setiap pagi mereka selalu berlatih bersama-sama
untuk menyempurnakan ilmu-ilmu mereka.
"Kulihat kemajuan yang kau peroleh sudah
semakin pesat, Kuncara. Bagaimana kalau pagi ini berlatih bersama-sama untuk
melihat kemajuan
kita masing-masing?" usul Panggali yang memang selalu memperhatikan kemajuan
Kuncara. Karena merasa tertarik, maka Panggali
mengajukan usul itu. Dan kata-kata itu berarti
sebuah tantangan bagi Kuncara.
Kuncara yang hampir setengah tahun belakangan
ini bergaul intim dengan Nyai Kalawirang, tentu
saja telah lama menunggu ucapan itu keluar dari
mulut Panggali. Sengaja tantangan itu tidak dikeluarkan lebih dulu, karena takut
kalau-kalau ucapannya akan menimbulkan kecurigaan Panggali.
Maka ketika saudara seperguruannya mengajukan
usul yang memang ditunggu-tunggu, ia pun lang-
sung menerima gembira.
"Baiklah, Panggali. Selama setengah tahun
ini, aku telah berlatih keras sesuai anjuranmu.
Dan rasanya, kali ini aku tidak akan jatuh di tanganmu seperti dulu. Maka
kuharap kau berhati-
hati," sahut Kuncara.
Pemuda itu sudah merasa yakin akan da-
pat mengalahkan saudara seperguruannya kali ini.
Keyakinan itu dikarenakan telah mendapatkan pe-
tunjuk dari Nyai Kalawirang. Hal itu tentu saja
tanpa sepengetahuan Panggali maupun eyang gu-
runya. "Hm.... Bagus. Kalau begitu, kau harus menunjukkan hasil latihanmu selama
setengah tahun ini," tantang Panggali seraya tersenyum lebar.
Panggali sama sekali tidak merasa tersing-
gung atas ucapan Kuncara. Sebaliknya, ia malah
merasa bersyukur kalau saudara seperguruannya
benar-benar telah berlatih keras seperti yang selama ini dianjurkan.
Begitu tiba di tempat mereka biasa berla-
tih, kedua orang pemuda yang usianya sebaya itu


Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri berhadapan dalam jarak dua batang tom-
bak "Bersiaplah, Panggali. Harap berhati-
hatilah...," pesan Kuncara dengan kepala tegak.
Sikap yang ditunjukkan pemuda itu kali
ini, benar-benar angkuh dan memandang rendah
lawan. "Aku sudah siap, Kuncara," sahut Panggali sambil menggeser kedua kakinya
membentuk ku-da-kuda silang.
Sambil merendahkan kedua kakinya,
Panggali mengulur tangan kirinya yang berbentuk
kepalan halus ke arah lawan. Sedangkan tangan
kirinya berada di atas kepala dengan telapak-
telapak terbuka. Itulah pembukaan jurus kedua
dari ilmu 'Pukulan Memecah Badai'.
"Hmh...!"
Kuncara mendengus penuh ejekan melihat
persiapan Panggali. Lalu ia pun membentuk kuda-
kuda rendah dan mempersiapkan jurus
'Tendangan Angin Topan' yang tidak kalah am-
puhnya. "Jaga seranganku, Panggali...! Haaattt...!"
Dibarengi sebuah seruan nyaring, tubuh
Kuncara meluncur cepat bagaikan anak panah le-
pas dari busur.
Bettt! Wukkk! Sepasang kaki Kuncara berputar bagai bal-
ing-baling dan langsung mengirimkan serangkaian
tendangan kilat ke seluruh kelemahan di tubuh
Panggali. "Bagus...."
Sambil berseru memuji, Panggali mengges-
er kaki kirinya ke samping. Tubuhnya meliuk ce-
pat bagaikan seekor ular menghindari penggebuk.
Tangan kanan dan kirinya membarengi dengan
pukulan lurus mengancam dada dan lambung
Kuncara. Hal itu dilakukan Panggali karena telah mengenal betul akan kelemahan
lawan dalam menggunakan ilmu 'Tendangan Angin Topan'.
Tapi, apa yang dilakukan Kuncara benar-
benar membuat Panggali terkejut. Ia yang telah
lama mengetahui kelemahan Kuncara dalam se-
tiap mengeluarkan ilmu tendangan itu, tentu saja menjadi heran melihat kaki
kanan lawan yang
berputar tiba-tiba meluncur turun mengancam be-
lakang lehernya.
Sadar kalau kedudukannya sangat lemah
untuk melakukan tangkisan, maka Panggali
menggulingkan tubuhnya ke kiri. Karena kalau se-
rangan diteruskan, dialah yang akan menderita
kerugian paling parah.
Itulah sebabnya, mengapa ia lebih memilih
menghindari diri.
Kuncara yang dalam beberapa jurus saja
telah berhasil membuat Panggali kalang kabut tertawa sombong. Untuk menunjukkan
kalau dirinya berada di atas angin, sengaja Kuncara tidak men-
gejar Panggali. Dia malah hanya berdiri tegak menanti saudara seperguruannya
bangkit. "Ilmu apa yang kau pergunakan itu, Kun-
cara" Setahuku, gerak itu sama sekali tidak terdapat dalam jurus 'Tendangan
Angin Topan'" Dari
mana kau mendapatkannya?" tegur Panggali dengan napas agak memburu.
Pemuda itu sadar betul, apabila mengenai
sasarannya, mungkin ia akan mengalami luka
sangat parah. Bahkan mungkin tulang belakang
lehernya akan patah akibat tendangan keras Kun-
cara tadi. "Hm.... Itulah hasil latihanku selama ini.
Sengaja tidak kutunjukkan saat kita berlatih. Ma-ka, wajar saja kalau kau merasa
terkejut sudah-
lah, ayo kita lanjutkan permainan yang menggem-
birakan ini," tantang Kuncara.
Lagak pemuda itu sangat menyakitkan.
Nada suaranya pun terdengar sombong dan sangat
merendahkan Panggali.
Selesai berkata demikian, Kuncara lang-
sung melompat dan melancarkan serangan tanpa
menunggu jawaban Panggali. Sepasang kakinya
kembali melancarkan tendangan-tendangan yang
sangat berbahaya. Karena sasaran yang dituju
adalah jalan-jalan darah besar di tubuh Panggali.
Panggali yang menyadari betapa berbahaya
serangan Kuncara, hanya berusaha menghindar
saja. Namun sesekali sepasang tangannya melun-
cur melakukan balasan. Bahkan tenaga yang dike-
rahkan dalam setiap melakukan serangan bala-
san, dikerahkan seluruhnya. Dan memang, seran-
gan yang dilakukan Kuncara sangat ganas dan
membahayakan. "Haiiittt..!"
Wuttt! Wuttt! Bettt!
Tiga buah tendangan yang dilontarkan
Kuncara secara susul-menyusul dapat dielakkan
Panggali dengan menarik mundur tubuhnya sam-
bil membungkuk. Kemudian, serangan itu diba-
lasnya dengan pukulan dan tusukan jari-jari tan-
gan ke tubuh lawan. Gerakan yang dilakukan
Panggali itu sudah tepat sekali. Karena, saat itu pertahanan lambung dan perut
Kuncara terbuka
lebar. Kuncara yang telah mendapatkan petunjuk
dari Nyai Kalawirang tentu mengetahui bagian terlemah jurus serangannya itu.
Namun, itu memang
disengaja untuk memancing perhatian Panggali.
Maka begitu kedua serangan lawan hampir men-
genai tubuhnya, barulah tubuhnya berbalik dan
melancarkan tendangan berputar secara tak ter-
duga dan.... Buggg! "Huagkh...!"
Dibarengi melontarnya darah segar dari
mulut, tubuh Panggali pun terpental deras ke be-
lakang. Pemuda itu langsung jatuh berdebuk me-
nimbulkan suara keras.
Kuncara berlari menghampiri tubuh Pang-
gali yang tergeletak lemah di atas rerumputan.
"Kau hebat.., Kuncara. Kali ini aku menga-
ku kalah padamu," lirih sekali kata-kata Panggali ketika mengatakan hal itu.
Sedangkan Kuncara hanya tersenyum, lalu
pantatnya dijatuhkan di samping Panggali. Ter-
dengar suara tawanya, menandakan kepuasan ha-
ti pemuda itu. Sepertinya dia benar-benar puas
dengan hasil yang dicapainya itu.
*** "Kuncara.... Bolehkah aku tahu, dari mana
kau mendapatkan gerakan aneh untuk mengisi
kelemahan jurusmu tadi?" tanya Panggali.
Pemuda itu berusaha bangkit meski terasa
sesak. Ditariknya napas menghilangkan rasa se-
sak itu. Untunglah tendangan yang dilancarkan
Kuncara tidak terlampau keras. Selain itu ia pun telah melindungi tubuhnya
dengan pengerahan
tenaga dalam. Sehingga luka yang dideritanya ti-
dak terlalu parah.
"Tentu saja diriku sendiri Panggali. Sejak kekalahanku dulu aku berusaha mencari
penye-babnya. Setelah aku menemukannya, maka ku-
buat gerakan penuh tipu daya untuk menyamar-
kan penglihatan lawan. Dan ternyata aku berhasil gemilang," jawab Kuncara lepas,
tanpa keraguan sedikit pun.
"Hm...," Panggali hanya bergumam lirih sebagai tanda percaya atas keterangan
Kuncara. Sementara, di dalam hati pemuda itu, sa-
ma sekali keterangan saudara seperguruannya ti-
dak dipercayai. Diam-diam Panggali berniat me-
nyelidiki kegiatan Kuncara di Hutan Langkeng.
Karena tempat itulah satu-satunya tempat ber-
main Kuncara selama ini.
Tanpa mempedulikan keadaan Panggali,
Kuncara bangkit dari duduknya dan berlatih se-
perti biasa. Sedangkan Panggali beristirahat untuk memulihkan tenaga dan
menyembuhkan lukanya.
Usai melakukan latihan, Kuncara melang-
kah menghampiri Panggali yang saat itu telah me-
nyelesaikan semadinya.
"Aku pergi dulu, Panggali. Silakan berlatih sepuasmu agar lain kali tidak sampai
terkena tendanganku."
Setelah mengucapkan kata-kata yang
membuat kuping Panggali panas, Kuncara berlalu
menuju ke dalam Hutan Langkeng seperti biasa.
Sepeninggal Kuncara, Panggali termenung
di tempatnya. Setelah menimbang-nimbang, ak-
hirnya diputuskan untuk menyelidiki kegiatan
Kuncara selama ini. Setelah mengambil keputu-
san, tubuh pemuda itu pun melesat menuju Hu-
tan Langkeng. *** Sambil tersenyum-senyum penuh kepua-
san, Kuncara melangkah ringan menuju pondok
yang didirikannya di tengah Hutan Langkeng. Ke-
lihatan sekali pemuda itu merasa gembira telah
berhasil menjatuhkan Panggali.
"Nyai...! Apakah kau ada di dalam...?" seru Kuncara sambil melangkahkan kakinya
mendekati pintu pondok yang tertutup rapat.
Belum lagi kakinya menyentuh anak tang-
ga pertama, sesosok tubuh ramping telah berdiri
di depan pintu pondok.
"Ada apa, Kuncara" Mengapa berteriak-
teriak?" tegur Nyai Kalawirang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Wajah
wanita genit itu kusut masai.
Sambil memamerkan senyumnya yang
memikat, Nyai Kalawirang melangkah menuruni
anak tangga. Wanita cantik itu tidak berusaha
mengelak ketika Kuncara memburunya dan lang-
sung menciumi sambil berbisik parau.
"Aku berhasil, Nyai. Panggali, murid emas
eyang guruku itu telah dapat kujatuhkan. Terima
kasih atas segala petunjuk yang kau berikan ini, Nyai," ucap Kuncara tanpa
melepaskan pelukannya dari tubuh molek itu.
"Hm.... Bagus kalau begitu. Dan mulai se-
karang kau harus mematuhi segala perintahku.
Apakah kau bersedia?" tanya Nyai Kalawirang mulai berani menekan pemuda itu.
"Tentu saja, Nyai. Tapi sekarang aku in-
gin...." Kuncara tidak meneruskan ucapannya.
Langsung dipondongnya tubuh molek yang meng-
gairahkan itu ke dalam pondok.
Nyai Kalawirang tentu saja tahu apa yang
diinginkan pemuda itu. Tapi tidak seperti bi-
asanya, kali ini wanita genit itu berusaha mele-
paskan pelukan Kuncara.
"Jangan sekarang, Kuncara. Hari ini aku
merasa lelah sekali. Lebih baik, nanti saja kalau aku sudah merasa lebih sehat"
elak Nyai Kalawirang. Setelah berkata demikian, wanita cantik itu melangkahkan
kakinya menuruni tangga menuju
halaman depan pondok.
"Baiklah, Nyai. Kalau kau merasa kurang
sehat aku tidak memaksa," sahut Kuncara.
Pemuda itu segera berlari mengikuti lang-
kah kaki Nyai Kalawirang. Lalu, dipeluknya tubuh wanita itu dari belakang.
Kemudian, diajaknya
duduk di atas rerumputan.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan mere-
ka, sepasang mata di balik rimbunan semak belu-
kar menyaksikan semua perbuatan Nyai Kalawi-
rang dan Kuncara dengan sinar mata berkilat.
"Hm.... Siapa pun adanya wanita cantik
yang bersama Kuncara itu, jelas bukan orang
sembarangan. Melihat dari sikap Kuncara yang
begitu manis dan penurut, dapat kuduga kalau di
antara mereka pasti telah terjalin hubungan erat.
Entah sejak kapan Kuncara bergaul dengan wani-
ta cantik yang jelas sangat berbahaya itu?" gumam pemilik sepasang mata di balik
rimbunan semak belukar. Siapa lagi orang itu kalau bukan Pangga-li.
Panggali yang bersifat lebih pendiam dan
memiliki pandangan luas, mulai dapat meraba
perbuatan Kuncara selama ini. Meskipun baru
melihat sekali, namun Panggali sudah dapat me-
nebak kalau wanita cantik yang bersama Kuncara
itu bukan orang baik-baik. Maka, iapun berniat
mengadukan hal itu kepada eyang gurunya.
Setelah mengambil keputusan demikian,
Panggali segera meninggalkan tempat itu dengan
gerakan perlahan. Sebab, sedikit saja menimbul-
kan suara mencurigakan, bukan tidak mungkin
akan terdengar oleh mereka. Sedangkan untuk
menangkap basah perbuatan Kuncara, ia tidak be-
rani karena selain belum tahu bagaimana tangga-
pan Kuncara, wanita cantik itu pun patut diperhi-
tungkan juga. Sebab, bukan tidak mungkin me-
mergoki secara langsung, kedua orang itu akan
mengeroyoknya. Dan itu sama sekali tidak diin-
ginkan Panggali. Maka ia pun mengambil keputu-
san untuk mengadukannya kepada Eyang Sanca
Wisesa. *** "Kuncara, sebaiknya kau pulang sekarang.
Besok, baru kau kembali lagi kemari. Mudah-
mudahan besok rasa lelahku sudah hilang," pinta Nyai Kalawirang sambil mengecup
lembut wajah

Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuncara. "Hhh.... Sebenarnya aku enggan sekali un-
tuk pulang. Lagi pula hari masih siang. Tapi kare-na kau kurang sehat baiklah.
Tapi, besok aku ti-
dak mau ditolak seperti ini lagi" kata Kuncara, dengan wajah kecewa.
"Tentu, Kuncara. Besok diriku kuper-
siapkan sebaik mungkin. Hari ini aku benar-benar tidak ingin diganggu," sahut
Nyai Kalawirang seraya tersenyum lembut.
Setelah menatap lekat-lekat wajah Nyai Ka-
lawirang, Kuncara segera bangkit dan melangkah
meninggalkan tempat itu dengan wajah lesu. Se-
dangkan Nyai Kalawirang hanya menatapi pung-
gung pemuda itu disertai senyum liciknya.
Sepeninggal Kuncara, dari dalam pondok muncul
seraut wajah menyeramkan. Sepasang matanya
yang seperti mata binatang liar, berputar sejenak memeriksa keadaan di
sekelilingnya. Setelah memastikan kalau di tempat itu hanya tinggal Nyai
Kalawirang seorang, barulah kakek berwajah mirip singa jantan itu melangkah
keluar dari dalam
pondok. Nyai Kalawirang menolehkan kepala ketika
telinganya menangkap langkah berat menghampiri
tempatnya. "Hampir saja dia memergoki kita, Nyai. Un-
tunglah dia berteriak sebelumnya. Kalau tidak, entah bagaimana tanggapannya
melihat wanita can-
tik yang diimpikannya berada dalam pelukanku.
Malah bisa jadi dia akan mengamuk dan mening-
galkanmu," kata kakek menyeramkan yang tak
lain dari Singa Gurun Setan. Sambil menjatuhkan
tubuhnya di samping Nyai Kalawirang.
"Hm.... Sebenarnya tidak ada lagi yang per-
lu ditakuti dari pemuda itu. Tapi, alangkah baiknya kalau dia dapat diajak
bekerja sama. Sebab, ia merupakan seorang pembantu yang baik dan bisa
diandalkan. Bagaimana menurutmu, Singa Gurun
Setan?" tanya Nyai Kalawirang mengajukan usul.
"Tapi, apakah tidak terlalu membahayakan,
Nyai" Walaupun telah benar-benar jatuh ke dalam
pelukanmu, kelihatannya pemuda itu masih be-
lum kau kuasai sepenuhnya," sergah Singa Gurun Setan meragu.
"Jangan khawatir. Mulai besok, aku akan
memberikan tekanan-tekanan padanya agar mau
mematuhi segala perintahku. Tapi kalau menolak,
apa susahnya melenyapkan nya?" sahut Nyai Kalawirang yang mulai menunjukkan
sifat aslinya. "Ha ha ha...! Tentu saja tidak sulit, Nyai.
Untuk melenyapkan pemuda itu, bagiku semudah
membalikkan telapak tangan," sambut Singa Gurun Setan terbahak serak.
Mendengar ucapan itu, Nyai Kalawirang
mengikik gembira. Sambil tertawa-tawa kedua
orang tokoh sesat itu bangkit berdiri dan melangkah bergandengan menuju pondok.
Tak lama sete- lah tubuh mereka lenyap di balik pintu, terdengar
tertawa cekikikan yang ditingkahi suara derit balai-balai bambu.
*** Pemuda tampan berusia delapan belas ta-
hun itu melangkah lesu sambil menggendong kayu
bakar di bahu kanannya. Diletakkannya kayu ba-
kar bawaannya di atas tumpukan kayu bakar
lainnya, di samping pondok bambu sederhana.
Baru saja pemuda tampan yang tak lain
dari Kuncara itu duduk melepaskan lelah, tiba-
tiba muncul Panggali menghampiri.
"Kuncara, Eyang Sanca Wisesa memang-
gilmu. Beliau menunggu di ruang tengah," ujar Panggali begitu tiba di depan
Kuncara. Wajah Panggali terlihat tidak ramah dan
seperti tengah menyimpan kemarahan.
"Pergilah dulu, aku segera menyusul," sahut Kuncara tanpa semangat. Kepalanya
tetap sa- ja menunduk seperti enggan menatap wajah sau-
dara seperguruannya.
"Tidak, Kuncara. Eyang menyuruh kita
berdua untuk menghadap sekarang juga," desak Panggali dengan suara yang tidak
enak didengar. Kuncara mengangkat wajahnya mendengar
suara Panggali yang lain dari biasanya itu. Dan
ketika melihat sinar mata saudara seperguruan-
nya, hatinya berdebar tegang. Jelas sinar mata itu menyiratkan rasa muak penuh
hinaan. Tentu saja
hati Kuncara semakin tak karuan. Berbagai du-
gaan semakin memenuhi benaknya.
"Baik, aku segera menghadap...," sahut Kuncara.
Pemuda itu menarik napas berulang-ulang untuk
menenteramkan hatinya yang dipenuhi debar ke-
tegangan. Kemudian, ia bangkit dari duduknya
dan melangkah mengikuti Panggali.
Kuncara yang dapat meraba sikap Pangga-
li, memutar otaknya untuk mengatur siasat licik.
Melihat sikap dan cara Panggali, ia tahu saudara seperguruannya mungkin telah
memergoki ketika
ia sedang bersama Nyai Kalawirang. Hanya itulah
satu-satunya dugaan yang ada dalam hatinya. Se-
bab selain itu, Kuncara merasa yakin tidak mem-
punyai kesalahan lain yang patut ditakuti. Maka, otaknya segera bekerja
mempersiapkan jawaban
apabila dugaannya benar.
"Masuklah...," sambut suara berat dan serak ketika Panggali dan Kuncara memasuki
pon- dok kediaman Eyang Sanca Wisesa.
"Guru... Kami datang menghadap...."
Sambil berkata demikian, Panggali dan
Kuncara menjatuhkan diri, berlutut di hadapan
kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih.
Kakek itu bersila sambil memejamkan mata den-
gan wajah tenang menyiratkan sinar kesabaran.
Saat kedua orang muridnya sudah duduk
bersila di depannya, perlahan Eyang Sanca Wisesa membuka kedua matanya. Begitu
terbuka, sinar mata yang tajam bagai ujung pedang itu langsung
menatap tajam ke bola mata Kuncara.
"Kuncara.... Menurut keterangan Panggali,
kau telah bergaul dengan orang luar. Benar-
kah...?" tanya Eyang Sanca Wisesa langsung tanpa basa-basi lagi.
Seketika Kuncara tersentak. Hampir pasti
dugaannya benar.
"Bergaul dengan orang luar bagaimana,
Eyang" Aku sungguh belum mengerti maksud per-
tanyaan Eyang itu?" jawab Kuncara berbohong, sambil balas menatap pandangan mata
Eyang Sanca Wisesa. Bahkan tanpa rasa gentar sedikit
pun. Tentu saja hal itu membuat gurunya menjadi
ragu. "Hm.... Coba ceritakan apa yang kau lihat di dalam Hutan Langkeng,
Panggali," pinta Eyang Sanca Wisesa mengalihkan pandangan kepada
Panggali. Sinar mata yang tajam bagai ujung pe-
dang itu, sejenak membuat Panggali gugup.
Setelah menarik napas berulang-ulang,
Panggali segera menceritakan mengenai yang dili-
hatnya tadi pagi. Sedangkan Eyang Sanca Wisesa
mendengarkan dengan kening berkerut.
"Bohong...!" bantah Kuncara dengan suara menggelegar.
Sambil berkata demikian, pemuda itu ber-
gegas bangkit dari duduknya. Dengan wajah me-
rah padam, Kuncara menundingkan telunjuknya
ke wajah saudara seperguruannya.
"Jelas ini fitnah, Eyang. Aku yakin Panggali hanya merasa iri karena pagi tadi
telah kukalah-kan ketika berlatih bersama! Dan rasa iri itu
membuatnya tega melemparkan fitnah kepada ku!"
teriak Kuncara yang menjadi marah bukan main.
"Benar kau kalah berlatih bersama Kunca-
ra, Panggali?" tegur Eyang Sanca Wisesa bernada penuh tuntutan.
Jelas kakek itu merasa tidak senang kepa-
da Panggali. Sebab hal itu tidak diceritakan kepadanya. "Benar, Eyang. Tapi,
kekalahanku itu tidak mutlak. Sebab Kuncara telah menggunakan gerak-gerak aneh
yang asing bagiku. Karena tidak kudu-
ga, maka aku dapat terkena tendangan Kuncara,"
sahut Panggali dengan wajah agak pucat.
Diam-diam hati pemuda itu mengutuk keli-
cikan Kuncara yang ternyata pandai memutarba-
likkan kenyataan. Padahal, selama ini ia mengenal Kuncara sebagai orang yang
jarang berbicara. Kalaupun berdebat dengannya, Kuncara tidak akan
pernah menang. Maka, ia pun heran melihat beta-
pa pandainya pemuda itu hari ini. Sehingga, gu-
runya pun seperti memihak kepada Kuncara. Dan
tentu saja hal itu membuatnya menjadi cemas.
"Tunjukkan gerak-gerak aneh yang dis-
ebutkan Panggali itu, Kuncara," pinta Eyang Sanca Wisesa beralih kepada Kuncara.
Tanpa ragu-ragu lagi, Kuncara segera me-
nunjukkan gerakan-gerakan yang digunakan keti-
ka menjatuhkan Panggali. Melihat betapa gurunya
mengangguk-anggukkan kepala, hati Kuncara pun
menjadi lega. "Hm.... Bagaimana kau dapat memperoleh
gerakan untuk menutup kelemahan permainan ju-
rusmu itu, Kuncara?" tanya Eyang Sanca Wisesa, tanpa nada kemarahan sedikit pun.
"Aku menciptakannya sendiri, Eyang. Piki-
ran itu kudapatkan setelah kalah bertarung den-
gan Panggali pada setengah tahun yang lalu. Apa-
kah perbuatanku itu salah, Eyang...?" tanya Kuncara bagaikan orang tak berdosa.
Senyum pemuda itu mulai mengembang
ketika tidak melihat nada kemarahan lagi dalam
setiap pertanyaan gurunya.
"Sama sekali tidak salah. Bahkan aku me-
rasa bangga dengan apa yang telah kau dapatkan
itu. Sudahlah. Kalian berdua boleh pergi. Aku ingin beristirahat," ujar Eyang
Sanca Wisesa. Setelah berkata demikian kedua mata ka-
kek itu pun kembali terpejam, tanda kalau benar-
benar tidak ingin diganggu.
Melihat sikap Eyang Sanca Wisesa, Kunca-
ra dan Panggali pun bergegas bangkit dan mening-
galkan pondok itu.
Panggali menghentikan langkahnya di depan pintu
pondok. Ditatapinya punggung Kuncara yang tan-
pa banyak cakap lagi langsung meninggalkan pon-
dok Eyang Sanca Wisesa. Diam-diam Panggali ber-
janji untuk menangkap basah Kuncara. Benar-
benar tidak disangka kalau Kuncara akan demi-
kian pandainya mengelak dari pertanyaan gu-
runya. Hatinya benar-benar benci memikirkan ka-
ta-kata Kuncara yang lancar, dengan wajah tanpa
dosa. Apalagi mengingat, betapa ia dibuat malu di hadapan Eyang Sanca Wisesa
tadi. "Hm.... Tunggulah, Kuncara. Aku akan
menangkap basah perbuatanmu yang memalukan
itu!" ancam Panggali seraya mengepalkan tinjunya erat-erat, hingga menimbulkan
suara berkeroto-kan nyaring.
*** "Eyang...!"
Pemuda tampan itu berteriak keras cepat
menuju pondok tempat kediaman Eyang Wisesa.
Begitu tiba di depan pintu pondok, tubuhnya langsung melesat ke dalam.
Eyang Sanca Wisesa yang baru saja me-
langkahkan kakinya mendekati pintu, segera
menggeser tubuhnya agar tidak sampai bertubru-
kan dengan sosok tubuh yang melompat masuk
itu. "Kuncara, ada apa..." Mengapa berteriak-
teriak seperti orang kemasukan setan...?" tegur Eyang Sanca Wisesa begitu dapat
mengenali sosok
tubuh yang hampir menabraknya.
"Eyang! Dugaanku ternyata benar!" sahut Kuncara.
Napas pemuda itu tampak terengah-engah.
Di sudut bibirnya tampak cairan merah mengalir.
Sepertinya, dia telah mengalami luka yang cukup
parah. "Kau terluka, Kuncara...?" tanya kakek itu sambil mengulur tangan hendak
memeriksa luka di tubuh Kuncara.
"Panggali.... Panggali ternyata sengaja me-
lemparkan fitnah keji kepadaku untuk menutupi
perbuatannya. Siang ini, aku memergokinya ten-
gah bermesraan dengan seorang wanita genit be-
rusia sekitar empat puluh tahun. Pasti wajahnya yang cantik itulah, penyebab
jatuhnya Panggali ke dalam pelukan wanita itu. Sayang, Panggali tidak
menghiraukan nasihatku. Mereka berdua menge-royokku. Dan akibatnya, aku
mengalami luka,
Eyang..," lapor Kuncara sambil sesekali menyeringai menekap dadanya.
"Di mana mereka...?" tanya Eyang Sanca Wisesa dengan nada suara yang berusaha
menekan kesabaran.
Namun, wajah kakek itu nampak pucat je-
las hatinya sangat terpukul atas laporan Kuncara.
"Di dalam gua dekat sungai, Eyang...," sahut Kuncara cepat. "Tapi..., wanita
yang bersama Panggali itu lihai sekali, Eyang..."
"Hm.... Kau tinggallah di sini...," ujar Eyang Sanca Wisesa cepat.
Belum lagi Kuncara sempat mengangguk,
tubuh kakek itu telah lenyap dan hanya tampak
bayangannya saja di kejauhan. Senyum iblis pun
tersungging di wajah Kuncara.
"Biar tahu rasa kau, Panggali!" gumam pemuda itu seraya tersenyum penuh
kemenangan. Sementara itu, Eyang Sanca Wisesa telah
berlari cepat menuju aliran sungai. Dalam waktu
yang singkat saja, kakek sakti itu telah tiba di tempat Panggali berada.
Wajah kakek itu berubah merah ketika me-
lihat di depan mulut gua itu terdapat dua sosok
tubuh yang hampir tak berpakaian. Gemetar selu-
ruh tubuh renta itu didera pukulan batin yang
sangat berat. "Panggali..., keluar kau...!" terdengar bentakan menggeledek yang bergetar
keluar dari mu-


Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lut kakek itu. Bagaikan disambar petir, pucat selebar wa-
jah Panggali. Seluruh tubuhnya bergetar ketika
mendengar suara yang amat dikenalnya.
Sedangkan sosok tubuh setengah telanjang
lainnya yang tak lain Nyai Kalawirang, melompat
keluar setelah mengenakan pakaiannya. Dengan
wajah berang, wanita cantik berusia empat puluh
tahun itu langsung menuding wajah Eyang Sanca
Wisesa. "Tua bangka tak tahu adat! Kau rupanya memang senang mengintip perbuatan
orang, ya! Tidak tahu malu!" maki Nyai Kalawirang tanpa ra-sa gentar sedikit pun. Bahkan
pada wajah cantik
itu terlihat senyum penuh ejekan.
"Hm.... Rupanya kau, Nyai Kalawirang, Ma-
sih belum jera juga setelah ku pecundangi pada
waktu yang lalu. Sebaiknya pergi, dan tinggalkan tempat ini sebelum kesabaranku
habis!" ancam Eyang Sanca Wisesa.
Sama sekali orang tua itu tidak mempedu-
likan Nyai Kalawirang. Karena saat itu perhatiannya lebih tertuju kepada
Panggali. "Huh! Tua bangka sombong! Kau akan ra-
sakan bagianmu nanti!"
Setelah mengeluarkan ancaman itu, tubuh
Nyai Kalawirang langsung melesat pergi. Dari ke-
jauhan, lapat-lapat terdengar tawanya yang me-
nyebalkan. Eyang Sanca Wisesa sama sekali tidak
mempedulikan kepergian Nyai Kalawirang. Sepa-
sang mata kakek itu sudah terhunjam ke sosok
tubuh Panggali yang seluruh tubuhnya gemetar
bagai orang terserang demam. Sekilas, terlihat wajah kakek itu menyeringai
menahan rasa nyeri di
dadanya, menyaksikan kelakuan murid ter-
sayangnya. Sepertinya, jiwa kakek itu telah terpukul hebat.
*** Panggali berdiri dengan wajah tertunduk
pucat. Tidak ada bantahan sedikit pun yang ter-
lontar dari mulutnya. Sebab disadari sepenuhnya
kalau bantahan itu tidak akan dapat melunakkan
hati kakek yang berhati keras dan tegas dalam
melatih dirinya dan Kuncara. Hanya ia tidak men-
gerti, mengapa semua itu harus dilakukannya"
"Kau sadar atas kesalahanmu, Panggali...?"
tegur Eyang Sanca Wisesa dengan suara parau.
Dari tekanan nada suaranya, jelas kalau
kakek itu berusaha menekan kemarahannya.
"Tapi, Eyang...."
"Sebaiknya segera angkat kaki dari tempat
ini. Jangan coba membela diri. Karena, mata kepa-laku sendiri yang telah
menyaksikan perbuatan-
mu! Mudah-mudahan setelah kau terjun ke dalam
dunia ramai, sifat busukmu itu berubah," geram Eyang Sanca Wisesa. Suaranya
terdengar mengge-letar menekan kepedihan hatinya.
"Ampunkan aku, Eyang.... Jagalah diri
Eyang baik-baik...," rintih Panggali dengan suara parau.
Hati pemuda itu benar-benar sedih men-
dengar kata-kata guru yang disayanginya. Sadar kalau perbuatannya tidak mungkin
dapat pengampunan, maka Panggali hanya dapat bersujud
di bawah kaki kakek itu.
"Pergilah. Simpan nasihatmu itu untuk di-
rimu sendiri...," sahut Eyang Sanca Wisesa mengangkat wajahnya menatap langit
biru yang jernih.
Dari kerut-kerut di wajahnya, jelas sekali
kalau kakek itu amat terpukul atas perbuatan
Panggali. Terdengar helaan napas berat mewakili
kepedihan hatinya.
"Eyang...."
Panggali mengangkat tubuhnya bangkit.
Dengan mata basah, pemuda itu membalikkan tu-
buhnya. Kemudian, ia langsung berlari mening-
galkan puncak Gunung Langkeng. Baru beberapa
langkah berlari, Panggali membalikkan tubuhnya.
Dipandanginya wajah Eyang Sanca Wisesa dari ke-
jauhan. Sepasang mata basah itu terus berputar
mengelilingi sekitar puncak itu. Sepertinya, semua kenangan di dalam benaknya
ingin disimpan di
hati. Setelah puas memandangi semua yang ada di
sekitar puncak Gunung Langkeng, Panggali me-
mutar tubuhnya. Kemudian, dia melangkah gontai
menuruni lereng gunung.
"Ahhh, Panggali... Kau benar-benar telah
mengecewakan aku...," bisik kakek itu lirih penuh kedukaan.
Dipandanginya punggung pemuda itu den-
gan perasaan tak menentu. Lama setelah bayan-
gan Panggali menghilang di balik tikungan jalan, barulah Eyang Sanca Wisesa
memutar tubuh dan
meninggalkan tempat itu.
"Uhhh...."
Baru beberapa tindak kakinya melangkah,
terlihat wajah kakek itu menyeringai sambil me-
nekap dadanya. Rupanya pukulan batin itu ter-
lampau berat bagi orang setua Eyang Sanca Wise-
sa. Kedukaan kembali timbul, mengingat murid
satu-satunya yang diharapkan dapat meneruskan
ilmunya, ternyata telah melakukan perbuatan
rendah dan memalukan. Betapa sangat menya-
kitkan. Eyang Sanca Wisesa menghentikan lang-
kahnya sejenak. Ditatapnya cakrawala, sambil
menghirup udara sebanyak-banyaknya. Baru sete-
lah itu langkahnya dilanjutkan menuju pondok.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Eyang
Sanca Wisesa, sepasang mata basah menatapinya
dari balik sebatang pohon besar. Terdengar kelu-
han lirih dari mulut pemuda itu.
"Ampuni aku, Eyang,... Aku telah meng-
hancurkan harapan dan cita-citamu selama ini...,"
desah pemuda itu pilu.
Setelah bayangan kakek itu lenyap, baru-
lah tubuhnya berputar meninggalkan puncak Gu-
nung Langkeng tempat ia dididik sejak berusia li-ma tahun. Dari langkah kakinya
yang gontai, jelas pemuda itu mengalami pukulan batin atas kejadian tadi.
Sedangkan di tempat lain, di balik rimbu-
nan semak belukar, tampak dua sosok tubuh me-
natap gembira. Terdengar kekeh serak dan genit
dari mulut keduanya. Mereka tak bin adalah Singa Gurun Setan dan Nyai Kalawirang
yang merasa bangga melihat keberhasilan siasatnya itu. Mereka pun segera melesat
pergi setelah tubuh Eyang Sanca Wisesa dan
Panggali lenyap dari pandangan.
*** Dengan wajah harap-harap cemas, Kunca-
ra berlari-lari kecil memasuki Hutan Langkeng.
Ketika Eyang Sanca Wisesa terlihat kembali den-
gan wajah membayangkan kedukaan, pemuda itu
sudah hampir memastikan kalau rencananya ber-
hasil baik. Maka bergegas ditemuinya Nyai Kalawirang. Pemuda tampan itu sempat
tertegun meli- hat Nyai Kalawirang ternyata telah berdiri me-
nunggunya di depan pondok. Dan yang membuat
wajahnya seketika masam adalah, adanya seorang
kakek raksasa berwajah menyeramkan berdiri di
samping wanita cantik itu. Dengan dada terbakar
rasa cemburu, Kuncara menatap tajam ke arah
kakek berwajah singa itu.
"Hik hik hik..! Mengapa kau terlihat tidak
begitu gembira, Kuncara" Bukankah rencana yang
kita buat semalam sudah berhasil dengan baik"
Apa lagi yang dirisaukan?" tegur Nyai Kalawirang.
Wanita itu berpura-pura tidak mengetahui
perasaan Kuncara. Dengan langkah yang dibuat-
buat didekatinya Kuncara.
"Siapa kakek muka singa itu, Nyai" Selama
ini aku belum pernah melihatnya" Mengapa tahu-
tahu berada di tempatku ini?" bisik Kuncara tanpa berusaha menyembunyikan
perasaan cembu-runya.
Sepasang mata pemuda itu tetap mengawasi Singa
Gurun Setan dengan sinar mata menyelidik. Se-
pertinya, Kuncara hendak menilai hubungan anta-
ra kakek itu dengan Nyai Kalawirang.
"Ah! Aku sampai lupa!" seru wanita genit itu berpura-pura sambil menampar
keningnya perlahan. "Dia adalah sahabat baikku yang berjuluk
Singa Gurun Setan. Perlu kau ketahui, Kuncara.
Kami adalah dua orang sahabat yang pernah dipe-
cundangi gurumu pada sepuluh tahun yang lalu.
Sekarang, kami sudah merasa cukup kuat untuk
melakukan pembalasan kepadanya. Nah kau boleh
pilih. Ikut bersamaku, atau ingin membela eyang
gurumu itu?"
Nyai Kalawirang tanpa tedeng aling-aling
lagi menekan Kuncara. Melihat dari sikap dan na-
danya berbicara, jelas wanita genit itu merasa yakin kalau Kuncara akan lebih
memilihnya. Untuk beberapa saat lamanya, Kuncara
termenung. Meskipun sudah lama merasa tidak
suka kepada gurunya, namun untuk memilih ke-
dua hal tersebut, ia masih merasa ragu.
"Mengapa harus melawan guruku, Nyai"
Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja me-
ninggalkan tempat itu tanpa mengganggu beliau"
Aku akan turut ke mana kau pergi, Nyai,"
Akhirnya setelah berpikir beberapa saat
lamanya, keluar juga ucapan dari mulut Kuncara.
Tapi sayang, ucapan itu sama sekali tidak menye-
nangkan hati Nyai Kalawirang.
"Tidak bisa, Kuncara. Bila ingin ikut ber-
samaku dan tetap menjadi kekasihku, harus terle-
bih dahulu membalaskan sakit hati yang selama
ini membuatku tersiksa. Kalau tidak mau, boleh
pergi ke mana saja kau suka. Tapi ingat! Jangan
campuri dan halangi niatku ini!" ancam Nyai Kalawirang mulai menunjukkan
keaslian sifatnya.
"Ha ha ha...! Sebaiknya kita tak usah
membuang-buang waktu lagi, Nyai. Ini adalah saat yang paling tepat untuk
melakukan pembalasan.
Si tua bangka itu pasti sekarang tengah memikir-
kan murid kesayangannya. Kesempatan sebaik ini
tidak boleh dilewatkan begitu saja."
Singa Gurun Setan yang semenjak tadi
hanya diam membisu, mulai angkat bicara. Sete-
lah berkata demikian, kakinya melangkah mende-
kati Nyai Kalawirang.
"Hm.... Rupanya kaulah yang menghasut
Nyai Kalawirang untuk memusuhi guruku, Kakek
Jelek! Keparat, Kubunuh kau...!" bentak Kuncara melampiaskan kemarahannya kepada
Singa Gurun Setan.
Kemudian tubuh pemuda itu langsung me-
lesat, siap melontarkan serangan maut kepada
Singa Gurun Setan.
"Kuncara.... Tahan...!"
Melihat Kuncara telah melompat dan hen-
dak menyerang Singa Gurun Setan, Nyai Kalawi-
rang membentak dan langsung melompat meng-
hadang pemuda itu.
"Mengapa, Nyai"! Biar kubunuh orang yang
telah menghasutmu ini!" seru Kuncara dengan wajah pucat.
Hati pemuda itu benar-benar telah jatuh ke
dalam perangkap cinta Nyai Kalawirang. Akibat-
nya, terpaksa Kuncara menahan serangannya dan
berdiri menatap wanita itu dengan wajah sedih.
"Kuncara! Selain kau tidak bakal menang
melawan Singa Gurun Setan, aku pun tidak akan
membiarkan perbuatanmu itu!" bentak Nyai Kalawirang. Sama sekali hati wanita itu
tidak tersentuh dengan pandangan penuh kasih dari Kuncara.
"Nyai..., kau..., kau tidak mencintaiku la-
gi...?" tanya Kuncara lirih dan parau.
Dalam ucapan pemuda itu terkandung kepedihan
yang mendalam. Jelas, kalau Kuncara benar-benar
mencintai Nyai Kalawirang. Entah cinta karena
nafsu atau memang ucapan itu keluar dari hatinya
yang tulus. "Tentu saja aku masih mencintaimu, Kun-
cara. Tapi kalau benar-benar mencintaiku, kau
harus menuruti semua kata-kata dan perintahku!
Kalau tidak, aku tidak akan sudi melihat wajahmu lagi!" sahut Nyai Kalawirang.
Sepertinya Nyai Kalawirang masih memer-
lukan tenaga pemuda itu untuk kepentingannya.
Itulah sebabnya, ia masih berusaha membawa
Kuncara ke pihaknya. Kalau tidak, tentu pemuda
itu sudah dibunuhnya sejak tadi.
Perasaan cinta dan ingin selalu berdekatan dengan Nyai Kalawirang, ternyata
telah membutakan mata
Kuncara. Padahal, selama ini ia diasuh Eyang
Sanca Wisesa. Dan perasaan cinta itu pulalah
yang membuat Kuncara terpaksa mengikuti ke-
mauan wanita genit hamba nafsu itu.
"Baiklah, Nyai. Aku akan mematuhi segala
perintahmu, asalkan kita tetap bersama," sahut pemuda itu mengambil keputusan.
"Nah! Begitu baru bagus...," seru Nyai Kalawirang gembira.
Dan, tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tu-
buh Kuncara erat-erat.
"Mari kita pergi...," lanjut wanita itu sambil melangkah meninggalkan Hutan
Langkeng. Kuncara pun melangkah di belakang Nyai Kalawirang.
Singa Gurun Setan tertawa terbahak-bahak
melihat keberhasilan Nyai Kalawirang. Tanpa ba-
nyak cakap lagi, ia pun segera mengiringi di belakang kedua orang itu.
*** "Hai...! Tua bangka Sanca Wisesa! Keluar
kau...! Aku Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Se-
tan datang menagih hutang!" terdengar seruan keras yang ditujukan kepada


Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghuni pondok di
tengah puncak Gunung Langkeng itu.
Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Setan,
berdiri berdampingan dengan sikap pongah. Se-
dangkan Kuncara berdiri di belakang kedua tokoh
sesat itu dengan wajah agak pucat. Biar bagaima-
napun, pemuda itu masih merasa ragu untuk me-
nyakiti gurunya. Tapi, perasaan cintanya terhadap Nyai Kalawirang, telah
membuatnya menjadi sesat.
"Hm.... Nyai Kalawirang, Singa Gurun Se-
tan. Rupanya kalian yang datang," sambut kakek renta yang tak lain dari Eyang
Sanca Wisesa. Namun, mata tua itu sejenak tertegun me-
lihat Kuncara di antara mereka. Sekali pandang
saja, kakek itu sadar kalau ia telah melakukan kesalahan besar dengan
mempercayai murid yang
dididiknya sejak berusia lima tahun itu.
"Kuncara.... Kiranya apa yang dikatakan
Panggali bukan hanya fitnah belaka. Kau..., kau
telah tersesat dengan bersekutu kepada mereka.
Kembalilah, Kuncara. Jangan ikuti hawa nafsumu.
Kau akan menyesal nanti," bujuk Eyang Sanca Wisesa dengan wajah semakin berduka.
Baru saja ia mengusir pergi Panggali, kini
muncul Kuncara murid yang tinggal satu-satunya
itu. Dan kedatangan pemuda itu sudah jelas bu-
kan dengan niat baik. Maka semakin berdukalah
hati kakek renta itu. Dan ia pun sadar kalau ke-
matiannya sudah berada di ambang pintu.
"Jangan dengarkan ocehan tua bangka
bermulut palsu itu, Kuncara. Ingatlah! Tua bangka itu telah berlaku tidak adil.
Dia lebih menyayangi Panggali daripada dirimu. Maka, sudah sepatutnya
kakek bermulut palsu itu dibinasakan!" bujuk Nyai Kalawirang berbisik di telinga
Kuncara. Karena, ia merasa khawatir kalau-kalau pendirian pe-
muda itu menjadi berubah.
Setelah berkata demikian, Nyai Kalawirang
segera melompat ke hadapan Eyang Sanca Wisesa.
Perbuatan itu diikuti Singa Gurun Setan. Kedua
tokoh sesat itu menatap penuh dendam ke arah
lawannya. "Bersiaplah untuk menerima pembalasan
kami, Sanca Wisesa...!" bentak Nyai Kalawirang sambil melolos sebuah cambuk
berpucuk sembilan.
Jtarrr! Cterrr!
Terdengar ledakan-ledakan keras ketika
Nyai Kalawirang melecutkan cambuk mata sembi-
lannya berkali-kali di udara. Tenaga yang dikerahkannya tidak kepalang tanggung.
Memang, wanita itu sadar betul kalau lawannya bukanlah orang
sembarangan. Singa Gurun Setan tidak ketinggalan. Ka-
kek bertubuh raksasa dan berwajah menyeramkan
itu pun sudah pula mempersiapkan ilmu andalan-
nya yang amat mengerikan. Kuku-kuku jari tan-
gannya tampak bergetar dan mengepulkan uap ti-
pis dan berbau busuk. Menilik dari bau yang di-
timbulkannya, jelas kuku-kuku Singa Gurun Se-
tan mengandung racun jahat yang mematikan.
Itulah jurus 'Cakar Siluman Singa' yang membuat
nama kakek raksasa itu amat ditakuti dalam ka-
langan rimba persilatan.
"Hm..."
Melihat kedua orang calon lawannya sudah
mengeluarkan ilmu andalannya masing-masing,
Eyang Sanca Wisesa segera melompat ke halaman
samping pondok.
Begitu sepasang kakinya hinggap di atas
rumput tebal, sepasang tangan kakek itu langsung berputaran hingga menimbulkan
deru angin kuat
Rupanya, ia sudah pula mengeluarkan ilmu
'Pukulan Memecah Badai' yang merupakan salah
satu ilmu andalannya. Dengan ilmu itu pula, pada sepuluh tahun yang lalu Nyai
Kalawirang dan Singa Gurun Setan dapat ditundukkan.
"Majulah kalian...," tantang Eyang Sanca Wisesa dengan suara yang mengandung
perbawa kuat. Biarpun melihat adanya Kuncara di antara
lawannya, namun kakek itu sama sekali tidak me-
rasa gentar. Meskipun bukan tidak mungkin kalau
kedua orang itu telah mempelajari ilmunya melalui Kuncara, tetap saja Eyang
Sanca Wisesa memainkan ilmu andalannya itu.
"Haiiit..!"
Disertai teriakan menggeledek bagai singa
luka, tubuh Singa Gurun Setan melesat dengan
kedua cengkeraman mautnya. Sepasang cakar be-
racun itu menyambar cepat mengarah leher dan
perut Eyang Sanca Wisesa.
Bettt! Wukkk! Cepat kakek itu menggeser tubuhnya,
menghindari cakaran maut lawan. Kemudian, di-
balasnya dengan hantaman telapak tangan kanan
yang langsung mengancam dada Singa Gurun Se-
tan. Wuttt! Hantaman telapak tangan Eyang Sanca Wi-
sesa berhasil dielakkan lawannya. Namun, secepat kilat tubuh kakek itu berputar
disertai sebuah
tendangan kilat yang meluncur deras ke arah dagu Singa Gurun Setan.
Zebbb! "Aaaihhh...!"
Bukan main terkejutnya kakek raksasa itu
melihat serangan yang cepat tak terduga. Untun-
glah ia tidak kehilangan akal. Begitu tendangan
lawan tiba, cepat tubuhnya didoyongkan ke bela-
kang dan langsung melempar tubuh melakukan
beberapa kali salto di udara. Selamatlah kakek raksasa itu dari ancaman ilmu
'Tendangan Angin
Topan' yang digabungkan secara tak terduga den-
gan ilmu 'Pukulan Memecah Badai'. Benar-benar
hebat dan mengejutkan hasil perpaduan kedua il-
mu dahsyat yang dilakukan Eyang Sanca Wisesa.
Kakek sakti dari Gunung Langkeng yang
semula berniat mengejar lawan, cepat melompat
mundur ketika merasakan sambaran angin kuat
disertai ledakan yang mengancam dari samping.
Jtarrr! Cterrr!
Hantaman cambuk yang meledak-ledak
memekakkan telinga itu hanya mengenai angin
kosong. Karena, Eyang Sanca Wisesa telah berge-
rak cepat menjauhkan dirinya dari ancaman cam-
buk maut itu. Bahkan masih sempat melakukan
tusukan jari-jari tangan kiri yang meluncur lurus mengancam tubuh Nyai
Kalawirang. Siuuut! Terdengar suara mencicit tajam ketika jari-
jari tangan Eyang Sanca Wisesa menusuk cepat
bagai kilat. Nyai Kalawirang bergegas menarik
mundur kaki kanannya ke belakang. Sambil ber-
buat demikian, cambuknya dikibaskan langsung
mengancam sembilan jalan darah di tubuh lawan-
nya. Gerakan cambuk itu benar-benar membuat
Eyang Sanca Wisesa kewalahan.
Belum lagi serangan cambuk Nyai Kalawi-
rang sempat dihalaunya, tahu-tahu dari samping
sebelah kanan meluncur cengkeraman Singa Gu-
run Setan. Dari angin sambarannya, dapat ditebak kalau kakek menyeramkan itu
telah mengerahkan
seluruh tenaganya.
Jtarrr! Prattt! Desss! "Aaakh...!"
Meskipun Eyang Sanca Wisesa yang dalam
keadaan terjepit itu mampu menangkis sambaran
cambuk Nyai Kalawirang, namun sebuah tendan-
gan keras telah membuat tubuh kakek renta itu
terjungkal disertai semburan darah segar dari mulutnya. Rupanya cengkeraman yang
dilakukan Singa Gurun Setan hanya merupakan tipuan se-
mata. Akibatnya, tubuh Eyang Sanca Wisesa ter-
jungkal tertendang oleh kakek raksasa yang bersarang tepat di dadanya.
Sedangkan Nyai Kalawirang yang cambuk-
nya sempat ditangkis lawan, terdorong mundur
beberapa langkah ke belakang. Hal itu dikarena-
kan, tenaga dalam yang dimilikinya masih berada
di bawah tenaga dalam Eyang Sanca Wisesa. Na-
mun, wanita cantik yang genit itu memang patut
mendapat pujian. Dorongan tangkisan lawan ter-
nyata dapat dimanfaatkannya sebaik mungkin.
Pada saat tubuhnya terdorong mundur,
wanita cantik itu bergegas memutar tubuh dengan
menyilangkan kaki depan ke belakang. Dan saat
itu juga, tubuhnya yang ramping langsung melesat disertai lecutan cambuknya.
Saat itu, Eyang Sanca Wisesa yang tengah
bergulingan tak sempat lagi untuk menghindari lecutan cambuk Nyai Kalawirang
yang datang ber-
tubi-tubi. Ctarrr! Jterrr!
"Aarghhh...!"
Eyang Sanca Wisesa meraung ketika ujung
cambuk yang runcing itu berkali-kali melecut tu-
buhnya. Tubuh tua itu menggelepar bagai ayam dis-
embelih. Darah pun mengalir dari pakaiannya
yang telah terkoyak, akibat lecutan cambuk yang
mengandung tenaga dalam tinggi.
Belum lagi siksaan itu berakhir, sebuah
tendangan keras dari telapak kaki raksasa milik
Singa Gurun Setan, telah membuat tubuh renta
itu terlontar beberapa tombak.
Bruggg! "Aaahhh...!"
Erang kesakitan meluncur dari mulut ka-
kek renta itu. Wajahnya berkerinyut menahan ra-
sa sakit yang diderita. Tubuh Eyang Sanca Wisesa terkapar lemah, antara sadar
dan tidak. Yang menandakan kalau kakek itu masih tersadar adalah
erangan lirih yang keluar dari bibirnya.
"Hik hik hik...! Kau tidak akan kubunuh,
Tua Bangka! Kematian terlalu enak bagimu!" ejek Nyai Kalawirang.
Wanita itu berdiri tegak di dekat tubuh lemah tak berdaya. Kemudian wanita kejam
itu menolehkan kepalanya ke arah Kuncara yang hanya dapat
memandang dengan wajah pucat
"Kuncara...!" seru Nyai Kalawirang "Cabut senjatamu! Kalau memang benar-benar
ingin ikut bersamaku, buntungi kedua lengan dan kaki ka-
kek ini! Biar dia tidak membahayakan kita di ke-
mudian hari."
Nyai Kalawirang sengaja menyuruh Kunca-
ra untuk melakukan perbuatan itu. Selain hal itu dapat menunjukkan kesetiaan
Kuncara, sekaligus
ingin memukul perasaan musuhnya dengan me-
nyuruh muridnya melakukan penyiksaan. Perbua-
tan itu tentu akan mendatangkan kedukaan besar
bagi Eyang Sanca Wisesa. Benar-benar keji sekali
iblis wanita berwajah cantik itu.
Sedangkan Kuncara sendiri langsung pucat
wajahnya. Pemuda itu tidak mempunyai pilihan
lagi, selain menuruti perintah Nyai Kalawirang.
Karena sudah telanjur basah, maka Kuncara ber-
niat menceburkan dirinya sekaligus. Sambil
menggigit bibirnya kuat-kuat, pemuda itu menca-
but pedang yang terselip di pinggang kanannya.
"Ampuni aku, Eyang...!" gumam pemuda
itu berbisik lirih.
Sebentar kemudian pedang itu diayunkan
Hamukti Palapa 3 Gento Guyon 13 Dedel Duel Kitab Pusaka 11
^