Pencarian

Tragedi Gunung Langkeng 1

Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng Bagian 1


TRAGEDI GUNUNG LANGKENG Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit Dila-
rang mengcopy atau memperba-
nyak scbagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit 1 Suasana pagi di Gunung Langkeng terasa
sejuk dan menyegarkan. Kicauan murai yang ber-
loncatan dari dahan ke dahan, semakin menyema-
rakkan suasana pagi itu. Hembusan angin pun si-
lir-silir lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Sayangnya, suasana pagi yang hening itu dirusak
oleh bentakan-bentakan nyaring yang menggetar-
kan lembah. Gumpalan-gumpalan kabut yang me-
nyelimuti puncak Gunung Langkeng seketika
buyar akibat sambaran angin keras yang mener-
panya. Di atas puncak gunung itu ternyata dua
sosok tubuh tengah bertarung sengit. Jelas sekali kalau kedua sosok tubuh itu
berusaha saling menjatuhkan.
"Sambutlah 'Pukulan Memecah Badaiku,
Panggali...! Heaaattt..!"
Dibarengi bentakan nyaring yang meme-
kakkan telinga, tubuh orang itu meluruk maju
disertai putaran kedua tangannya.
Wuttt! Wuttt! Angin keras bertiup kencang akibat puta-
ran sepanjang tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi itu. Dari putaran tangan yang demikian cepat dan hampir tidak
terlihat mata, terlontar pukulan-pukulan maut yang sangat berba-
haya. Kehebatan ilmu 'Pukulan Memecah Badai',
memang tidak bisa dianggap enteng. Jangankan
terkena pukulan. Bahkan anginnya saja, sudah
dapat membuat roboh pohon sepelukan orang de-
wasa. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya seran-
gan yang dilakukan orang itu.
Namun, lelaki muda berusia sekitar lima
betas tahun yang dipanggil Panggali tidak terlihat gentar sedikit pun! Melihat
datangnya sambaran
pukulan yang membuat rambut berkibar, tubuh-
nya segera digeser doyong ke kanan. Gerakannya
juga diikuti langkah kaki kanan yang terayun berputar dan membuat lompatan
kecil. Sambil me-
lompat, kaki kirinya terayun menggunakan jurus
'Tendangan Angin Topan'.
"Awas kepalamu, Kuncara!" seru Panggali mengingatkan.
Mengetahui serangannya tidak membawa
hasil, lelaki muda yang berusia sebaya Panggali itu menarik pulang serangannya.
Dan itu pun masih
dibarengi liukan tubuhnya, menggunakan kuda-
kuda rendah yang tertumpu pada kaki kanan.
Maka, tendangan Panggali pun hanya menyambar
angin kosong. Kuncara yang semula berniat mengirimkan
serangan balasan, bergegas melempar tubuhnya
jauh ke belakang. Dan memang, jurus 'Tendangan
Angin Topan' yang dimainkan Panggali memang
hebat sekali. Sepasang kakinya terus berputar melakukan serangkaian tendangan
yang menderu- deru. Seolah-olah, kedua kakinya tidak pernah
menyentuh permukaan tanah. Benar-benar se-
buah jurus tendangan hebat dan sesuai dengan
namanya. Karena tidak juga mendapat kesempatan
balas menyerang, kesabaran Kuncara pun hilang.
Dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya,
tangan kanan pemuda itu terangkat untuk me-
nangkis tendangan yang mengancam batang le-
hernya. Dan....
Wuttt... Plakkk!
"Uhhh...!"
Kuncara mengeluh pendek. Tangkisan itu
rupanya telah membuatnya cukup menderita ke-
rugian. Keadaannya yang tidak menguntungkan,
membuat tubuhnya terdorong hingga setengah
tombak. Dan sebelum kuda-kudanya sempat ter-
kuasai, sebuah tendangan keras telah membuat
lelaki muda berwajah keras itu terjungkal ke belakang. Buggg!
"Hugkh...!"
Akibat tendangan keras itu, Kuncara ter-
lempar bergulingan sampai tiga tombak jauhnya.
"Kuncara...!"
Panggali berlari menghambur ke arah tu-
buh Kuncara yang tergeletak lemah.
"Kau.. tidak apa-apa, Kuncara...?" tanya Panggali, cemas. Cepat tubuhnya
membungkuk, dan memeriksa tubuh Kuncara.
"Tidak perlu khawatir, Panggali. Meskipun
tendanganmu tadi cukup keras, namun tidak akan
membuatnya terluka parah," tiba-tiba saja seorang kakek berusia sekitar tujuh
puluh tahun telah
berdiri di belakang Panggali.
"Eyang...," sapa Panggali, begitu mengetahui kakek yang berdiri di belakangnya.
Cepat pemuda itu menjatuhkan diri, berlu-
tut di depan kakek yang tersenyum lembut sambil
mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan ber-
warna putih. "Eyang...!"
Kuncara yang semula rebah itu pun, lang-
sung bangkit saat melihat kedatangan gurunya.
Kemudian, ia pun berlutut di samping Panggali.
"Bagaimana, Kuncara...?" tanya kakek itu seraya tersenyum lembut sambil mengusap
rambut kedua orang muridnya.
"Tidak apa-apa, Eyang. Hanya masih tersi-
sa sedikit rasa sesak. Untunglah tendangan itu tidak terlalu keras. Kalau saja
Panggali menambah
sedikit tenaganya, mungkin aku akan mengalami
luka parah," sahut Kuncara sambil menyeringai karena rasa nyeri yang mengganggu
pernafasan-nya. "Hm.". Coba kulihat...," pinta kakek itu sambil membungkuk dan
meraba dada Kuncara.
Kening kakek itu terlihat agak berkerut ke-
tika memeriksa luka akibat tendangan Panggali.
Dipijatnya perlahan-lahan bagian dada Kuncara
yang terdapat luka memar berwarna kebiruan.
"Hm.." Untunglah tubuhmu sempat terlin-
dungi oleh tenaga dalam. Sehingga, yang kau deri-ta hanya luka memar saja dan
tidak sampai melu-
kai bagian dalam tubuhmu," gumam kakek itu
sambil bergerak bangkit. "Teruskanlah latihan kalian. Gerakan-gerakan kalian
sudah jauh lebih
baik, dan tinggal menyempurnakannya saja."
Sebentar mata tua itu menatap kedua
orang muridnya, kemudian kakek itu melangkah
meninggalkan kedua orang remaja yang menjadi
muridnya. "Kau mendapat kemajuan yang pesat seka-
li, Panggali. Padahal, beberapa hari yang lalu kepandaian kita masih seimbang.
Tapi hari ini, aku benar-benar tidak sanggup menandingimu. Apakah Eyang Sanca
Wisesa memberi petunjuk kepa-
damu?" tanya Kuncara menyelidik.
Panggali yang ditatap sedemikian rupa oleh
saudara seperguruannya, hanya tersenyum diser-
tai helaan napas beratnya. Kakinya melangkah
perlahan-lahan ke arah sebuah batu besar yang
tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Setelah keduanya duduk saling berhada-
pan, Panggali memandangi wajah Kuncara sebe-
lum menjawab pertanyaan.
"Hhh.... Sebenarnya kau tidak akan begitu
mudah terkena tendanganku, kalau saja suka me-
nuruti nasihat Eyang Sanca Wisesa untuk selalu
menyempurnakan ilmu-ilmu yang diturunkan ke-
pada kita. Aku memang meminta petunjuk beliau
setiap kali mendapatkan ilmu baru yang tidak be-
gitu kupahami. Nah! Kalau kau pun ingin mempe-
roleh kemajuan sepertiku, maka rajin-rajinlah me-latihnya," jelas Panggali
sambil tersenyum menatapi wajah Kuncara yang terlihat menunduk.
"Jadi dengan kata lain, kau tidak suka bila aku sering bermain di dalam hutan
setelah selesai berlatih" Hhh ... Aku pergi ke dalam hutan untuk menghilangkan
kejenuhan, Panggali. Apakah kau
tidak merasa bosan dengan kegiatan kita selama
ini" Setiap hari hanya berlatih dan mengerjakan hal-hal yang membosankan!
Rasanya, aku sudah
tidak bisa bertahan lebih lama lagi di tempat sepi dan terpencil seperti ini,"
sahut Kuncara, agak kesal mendengar nasihat Panggali kepadanya.
"Bukan begitu maksudku, Kuncara. Aku
sama sekali tidak merasa keberatan terhadap apa
yang kau lakukan selama ini. Tapi karena kau
yang meminta, maka kukatakan apa adanya. Ju-
ga, tidak baik mengungkapkan perasaan itu. In-
gatlah! Betapa besar budi yang dilimpahkan Eyang Sanca Wisesa. Ia telah bersusah
payah mendidik kita selama ini. Dan itu bukan untuk kepentingan beliau, melainkan untuk diri
kita sendiri. Lagi pu-la, kalau kepandaian kita sudah cukup, eyang
pasti mengizinkan kita untuk turun melihat dunia ramai. Jadi, simpanlah rasa
jenuhmu itu. Dan kalau ingin cepat melihat dunia ramai, rajin-rajinlah berlatih.
Dengan begitu, kau bisa lebih cepat meninggalkan tempat ini," Panggali
menasihati. Di wajahnya terbayang kecemasan melihat betapa
Kuncara hanya menunduk seperti tidak sudi men-
dengarkan ucapannya.
Agak lama kedua orang remaja itu diam,
terbawa alam pikiran masing-masing. Suasana
pun mendadak hening. Hanya desir angin lembut
yang mendesau lirih menerpa tubuh mereka.
"Aku ingin menenangkan pikiran...."
Mendadak saja Kuncara bangkit dari du-
duknya. Dan, tanpa menunggu jawaban dari
Panggali, tubuhnya sudah melesat ke arah mulut
hutan. "Hhh...."
Panggali hanya dapat menghela napas me-
mandangi punggung Kuncara yang hanya tinggal
baying-bayang samar. Pandangan matanya terus
saja mengikuti gerak tubuh saudara seperguruan-
nya yang semakin mendekati mulut hutan.
"Anak itu aneh sekali. Entah apa yang di-
cari di dalam hutan lebat itu" Dan apa lagi yang harus kukatakan pada eyang,
apabila beliau me-nanyakannya" Selama ini, aku memang berbohong
dengan mengatakan kalau Kuncara lebih suka
berlatih di Hutan Langkeng. Tapi, bagaimana ka-
lau tanpa sepengetahuanku eyang telah mengeta-
huinya lebih dulu" Ahhh.... Bagaimana seharus-
nya aku menjelaskan hal ini, agar Kuncara tidak
mendapat marah dari eyang?" keluh Panggali dengan wajah bingung.
Karena tidak tahu apa yang harus diper-
buatnya, maka Panggali pun menyalurkannya me-
lalui latihan. Selesai berlatih, dia pergi ke sungai untuk membersihkan
tubuhnya. Kini Panggali telah siap untuk pulang ke pondok, yang letaknya cukup jauh dari
tempat latihannya.
*** Kuncara, pemuda berusia tujuh belas ta-
hun itu berlari menerobos semak belukar. Makin
lama, langkahnya semakin jauh memasuki hutan
lebat hingga tak berapa lama kemudian, ia tiba di sebuah tempat yang agak
terbuka. Ke tempat itulah biasanya pemuda itu menyepi untuk mene-
nangkan pikirannya.
Begitu tiba di depan pondok yang memang
sengaja dibuatnya, Kuncara tidak segera masuk.
Ia duduk termenung di puncak anak tangga yang
menuju pintu. Sesekali, terdengar helaan napas
berat yang mewakili kegundahan hatinya.
Sepertinya, Kuncara belum bisa menerima
kekalahannya tadi oleh Panggali. Menurutnya, ia
tidak pernah malas berlatih. Pemuda itu tadi sengaja tidak membantah nasihat
Panggali, karena tidak ingin perang mulut dengan saudara sepergu-
ruan satu-satunya. Lagi pula kalau mencoba
membantah, pasti Panggali yang pandai bicara itu akan dapat mengalahkannya. Dan
hal itu tentu akan lebih menyakitkan hati.
"Hhh.... Eyang memang pilih kasih. Beliau
pasti memberi petunjuk-petunjuk padanya untuk
dapat mengalahkan aku. Ah, eyang telah bertin-
dak tidak adil!" desah pemuda remaja itu geram, sambil meninju telapak tangannya
keras-keras. Kuncara memang sadar kalau Panggali le-
bih dekat dengan gurunya. Dia sering membantu
Eyang Sanca Wisesa dalam tugas sehari-hari. Ti-
dak seperti dirinya, yang lebih suka bermain dan jarang berbicara kepada eyang
gurunya. Kalaupun
berbicara, pasti hanya nasihat-nasihat membo-
sankan yang akan diterima. Itu yang paling tidak disukai. Dan itu pula yang
membuatnya lebih se-
nang menyendiri di dalam Hutan Langkeng ini.
"Yahhh.... Di sini lebih tenang dan hening.
Tidak seperti berada dekat eyang ataupun Pangga-
li. Bosan rasanya mendengar nasihat dan petuah
yang hanya itu-itu saja," gumam Kuncara yang segera bangkit dan melangkahkan
kakinya menuru-
ni anak tangga.
Kakinya terus melangkah sambil menenga-
dahkan kepala memandangi alam sekelilingnya.
Sesekali, ditendangnya batu-batu kecil yang bera-da di ujung kakinya. Langkahnya


Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus terayun semakin menjauhi pondok yang dibuatnya sendiri.
Dan pemuda itu belum akan kembali ke tempat
tinggal gurunya apabila sinar matahari masih setia menyinari permukaan bumi.
Begitulah yang diper-buatnya hampir setiap hari. Tapi, tidak jarang ia pulang
dengan membawa kayu bakar untuk menyenangkan hati eyang gurunya maupun Panggali.
Wajah tampan dan bersih itu kembali murung ke-
tika teringat saudara seperguruannya. Terbayang kembali ketika tubuhnya terkena
tendangan telak
Panggali. Teringat akan hal itu, Kuncara langsung meraba dadanya perlahan.
"Hm.... Sudah tidak terasa sakit. Dan luka
memarnya pun sudah mulai pudar. Ah! Rupanya
Eyang Sanca Wisesa pandai pula mengobati. Apa-
kah kepandaian itu diturunkan juga kepada Pang-
gali" Hm.... Aku harus mencari keterangan ten-
tang hal ini. Kalau ini memang benar ilmu itu diturunkan kepadanya, jelaslah
kalau eyang me-
mang pilih kasih," kembali berbagai dugaan memenuhi benak Kuncara. Wajah tampan
itu tampak termenung dan terangguk-angguk.
Pikiran-pikiran jelek itu tanpa sadar telah
membuat Kuncara kehilangan kepekaan dirinya.
Sehingga, ia sama sekali tidak menyadari adanya
sepasang mata yang menatap dari balik pepoho-
nan. Sejenak mata bulat dan bening itu berpu-
tar merayapi sekelilingnya. Setelah memastikan
kalau pemuda itu memang berada seorang diri,
maka dia segera menampakkan diri.
*** "Ehem...! Apa yang tengah dilamunkan,
Cah Bagus..." Sepertinya, kau tengah dilanda ke-
resahan?" tegur suara merdu bernada genit dari pemilik mata bulat itu.
Tentu saja teguran itu membuat Kuncara
terkejut setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya berbalik, langsung menatap tajam ke
arah si em- punya suara. Keterkejutan di mata pemuda itu berubah
menjadi kekaguman yang tidak bisa disembunyi-
kan. Sebab, orang yang menegurnya ternyata seo-
rang wanita yang cantik molek. Apalagi, wanita
cantik itu melangkah menghampiri disertai leng-
gak-lenggok yang sangat memikat! Pinggulnya
yang seperti menari-nari itu membuat Kuncara ja-
di tak sadar menelan ludahnya sendiri.
"Si... siapa... kau, Nyai...?" tanya Kuncara tergagap.
Pemuda remaja itu benar-benar terpesona
oleh penampilan dan gaya wanita cantik yang pe-
nuh daya pikat itu. Sehingga, sepasang mata pe-
muda itu tak juga beralih dari pinggul padat dan berbentuk indah. Akibatnya hati
Kuncara bagai melambung di awang-awang.
"Hik hik hik...! Cah Bagus, kau lupa kalau
belum menjawab pertanyaanku" Tapi, itu tidak
apa-apa. Aku memang suka kepadamu. Maka, bi-
arlah pertanyaanmu itu kujawab," suara genit yang mendayu-dayu itu kembali
mengusik kete-nangan Kuncara.
Rasanya pemuda itu bukan tengah men-
dengarkan orang berbicara, melainkan seperti
orang yang bernyanyi menghibur hatinya.
Wanita cantik dan genit yang usianya jelas
sudah tidak muda lagi itu, meneruskan langkah-
nya dengan gerakan memikat. Begitu tiba di depan Kuncara, tangannya terulur
menyentuh kedua ba-hu pemuda remaja itu.
"Benarkah kau ingin tahu namaku, Cah
Bagus...?" nyanyian merdu itu kembali membuat Kuncara terlena.
Melihat dari cara maupun gayanya, jelas
kalau wanita cantik itu sangat berpengalaman da-
lam menghadapi laki-laki. Maka, wajarlah kalau
Kuncara hampir tidak berdaya menghadapinya.
"Beb..., benar..., Nyai...," sahut Kuncara sambil berusaha menghindari sentuhan
jemari lentik wanita cantik itu.
Dengan wajah yang kemerahan, pemuda
remaja ini melangkah mundur. Napasnya terasa
sesak, karena degup di dadanya terus memukul
keras. "Ihhh..., mengapa menghindar, Cah Bagus"
Apakah kau tidak suka kepadaku" Ah! Sayang se-
kali! Kalau begitu, biarlah aku pergi saja...?" desah wanita cantik itu merajuk.
Kemudian, dengan gerakan manja dan
amat memikat, wanita cantik yang genit itu berpu-ra-pura membalikkan tubuhnya.
Dia segera me- lenggang meninggalkan Kuncara yang terpaku ba-
gai patung. "Nanti dulu..., Nyai...!" cegah Kuncara yang separuh hatinya sudah terpikat
kecantikan mau-
pun gerak-gerik wanita cantik itu. Sehingga, tanpa sadar kakinya melangkah
mengejar. Kemudian,
tangannya langsung terulur menyentuh bahu wa-
nita itu. "Hm.... Kau ini bagaimana sih, Cah Bagus"
Aku mendekat, kau menghindar. Tapi ketika aku
hendak pergi, kau menahannya. Bagaimana ini?"
ledek wanita itu, dengan lagak genit disertai senyum memikat.
Mendengar teguran itu kesadaran Kuncara kemba-
li pulih. Tangannya segera ditarik, lalu melangkah mundur sejauh empat tindak.
Selebar wajah pemuda itu kembali dironai warna merah. Apalagi
ketika dalam benaknya terlintas bayangan Eyang
Sanca Wisesa dan Panggali. Apa kata guru dan
saudara seperguruannya, bila memergokinya ber-
duaan dengan seorang wanita cantik di tengah hu-
tan" Sudah pasti mereka akan menduga yang ti-
dak-tidak. Mengingat kedua orang itu, hati Kuncara
pun menjadi tegang. Ini tidak boleh sampai dike-
tahui Eyang Sanca Wisesa atau Panggali. Satu-
satunya jalan, wanita genit itu harus diusir pergi sebelum salah satu dari
mereka ada yang memergokinya. Berpikir demikian, Kuncara pun menatap
tajam wanita cantik itu.
"Hm.... Siapa pun adanya kau, sebaiknya
lekas tinggalkan tempat ini! Sadarkah kau, kalau saat ini tengah berada di
daerah kediaman Eyang
Sanca Wisesa" Jadi, sebelum guruku mengeta-
huinya, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini," tegas Kuncara dengan sikap
berubah. "Hei!?"
Tentu saja wanita genit itu terkejut melihat
perubahan sikap Kuncara yang berbalik seperti
memusuhinya. Padahal, jelas-jelas kalau pemuda
itu sudah tergoda olehnya tadi. Entah pikiran apa yang telah mengubah sikapnya.
"Aiiih.... Mengapa kau berbalik mengan-
camku, Cah Bagus" Lagi pula, apa yang harus di-
takuti dari gurumu itu" Kau tidak berbuat apa-
apa, bukan?" bantah wanita cantik itu tersenyum memikat.
Sepertinya ia masih mencoba menaklukkan
Kuncara dengan senyum dan keelokan tubuhnya.
Bahkan sepasang matanya pun mengerling penuh
arti. "Sudahlah! Aku tidak ingin perang mulut denganmu. Sekarang cepat
tinggalkan tempat ini.
Atau, terpaksa aku akan berbuat kasar!" tegas Kuncara dengan sinar mata
mengancam. Tiba-tiba, sikap wanita cantik itu berbalik
ketika mendengar kata-kata Kuncara yang sema-
kin kasar. tingkahnya yang semula penuh daya
pikat, kini berubah galak. Sambil bertolak ping-
gang, wanita cantik itu balas menatap sambil tersenyum mengejek.
"Hm.... Ingin kulihat, sampai di mana kau
bisa memaksa Nyai Kalawirang! Lakukanlah! Jan-
gan hanya bicara saja!" sinis sekali suara wanita cantik yang mengaku bernama
Nyai Kalawirang
itu. Bahkan nada suaranya mengandung tantan-
gan bagi Kuncara.
"Melihat dari sikapmu, aku yakin kau bu-
kan wanita biasa, Nyai. Mungkin kau orang persi-
latan berarti yang sering kudengar dari eyang guruku. Tapi, jangan harap aku
akan gentar meski-
pun kau memang dari kalangan kaum rimba per-
silatan," tegas Kuncara sambil melangkah mundur dan bersiap menghadapi wanita
cantik yang penuh
daya pikat itu.
"Lakukanlah! Jangan hanya. mulutmu saja
yang besar!" kembali Nyai Kalawirang menantang.
Sikapnya tetap tenang. Jelas, dia seorang yang
sangat yakin akan kepandaian yang dimiliki.
"Baik!" dengus Kuncara yang mulai ter-
singgung melihat sikap wanita itu. "Sambutlah serangan ini..., hiaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda
itu bergerak cepat melontarkan serangan berba-
haya. Tapi meskipun hatinya merasa marah, ru-
panya Kuncara masih memandang wanita itu se-
bagai orang yang tidak berbahaya. Maka serangan-
serangannya pun tidak menggunakan tenaga se-
penuhnya. Bettt! Wuttt! Nyai Kalawirang tersenyum mengejek meli-
hat serangan Kuncara. Tubuhnya baru bergerak
pada saat kepalan lawan hampir mengenai tubuh-
nya. Enak saja wanita cantik itu menggeser kaki
kanannya ke belakang disertai tarikan tubuhnya.
Berbarengan dengan itu, tangan kanannya berge-
rak cepat menepiskan pukulan Kuncara.
Plak! "Ugkh...!"
Tangkisan yang kelihatannya perlahan dan
asal gerak saja, ternyata cukup mengejutkan Kun-
cara. Tubuh pemuda itu terdorong balik ke bela-
kang dan hampir terjatuh. Untung saja tubuhnya
buru-buru dilempar dan langsung bersalto di uda-
ra. "Gila! Wanita cantik ini ternyata bukan
orang sembarangan!" maki Kuncara begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah.
Kepalan tangan kanan pemuda itu terasa
linu akibat tepisan telapak tangan Nyai Kalawi-
rang. Namun, Kuncara mencoba menghibur di-
rinya. Diyakini kalau tenaga dalam yang dikerah-
kannya tadi hanya sebagian saja dan belum sepe-
nuhnya. "Bagaimana, Cah Bagus" Apakah masih
bersikeras hendak mengusirku" Dengan kepan-
daianmu yang dangkal itu, jangan harap akan da-
pat mengalahkan Nyai Kalawirang. Lebih baik,
ikutlah bersamaku. Dan kau akan mendapatkan
ilmu-ilmu tinggi yang tidak ada tandingannya,"
bujuk Nyai Kalawirang.
"Hm... Jangan sombong dulu, Nyai. Ilmu
yang kugunakan belum seberapa. Tapi kalau me-
mang kau mampu menjatuhkanku kali ini, mung-
kin tawaranmu akan kupertimbangkan. Syarat-
nya, kau harus mengalahkan aku kurang dari dua
puluh jurus. Bagaimana?" sahut Kuncara. Pemuda itu sepertinya mulai tertarik
mendengar tawaran
Nyai Kalawirang.
Kuncara bukanlah orang bodoh. Melihat
gerakan wanita itu tadi, diyakini kalau kepandaian Nyai Kalawirang sangat
tinggi. Dan kalau ternyata wanita itu mampu menjatuhkannya dalam waktu
kurang dari dua puluh jurus, tidak ada salahnya
wanita genit itu diangkat menjadi guru. Tentu
sangat menyenangkan menjadi murid wanita genit
yang cantik itu.
*** "Hik hik hik...!"
Nyai Kalawirang mengikik gembira men-
dengar syarat yang diajukan Kuncara. la yang su-
dah dapat menilai kemampuan pemuda remaja
itu, tentu saja langsung bisa menebak hasilnya.
Terbayang dalam benaknya, betapa pemuda per-
kasa itu akan bertekuk lutut di bawah telapak kakinya.
"Hik hik hik...! Kalau sudah menjadi mu-
ridku, aku bukan saja akan menurunkan ilmu-
ilmu tinggi kepadamu. Tapi juga suatu ilmu khu-
sus yang tidak akan dapat dilupakan seumur hi-
dupmu," kata Nyai Kalawirang sambil sepasang matanya berkedip-kedip manja.
"Ilmu khusus...?" gumam Kuncara mengulangi ucapan Nyai Kalawirang.
Sebagai seorang remaja hijau dan selama
hidup belum pernah bergaul dengan wanita, tentu
saja Kuncara belum mengerti arah pembicaraan
wanita genit itu.
"Ya! Ilmu yang hanya dimiliki Nyai Kalawi-
rang seorang. Dan ilmu itu akan kuturunkan ke-
padamu, apabila kau mau menjadi muridku,"
kembali wanita genit yang berusia sekitar empat
puluh tahun namun masih cantik itu membujuk
Kuncara. Merasa pening dengan ucapan-ucapan Nyai
Kalawirang yang sama sekali tidak dimengerti, kekesalan Kuncara pun kembali
bangkit. Sambil me-
lakukan gerak pembukaan jurus 'Pukulan Meme-
cah Badai', ia membentak lawannya.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi!
Lebih baik, sekarang bersiap-siaplah menghadapi
seranganku ini!" seru Kuncara mengingatkan.
"Haiiit...!"
Bentakan nyaring berkumandang yang
disusul melesatnya tubuh Kuncara ke arah Nyai
Kalawirang. Bettt! Wuttt! Sepasang tangan pemuda itu bergerak ce-
pat disertai sambaran-sambaran angin tajam yang
menderu-deru. Melihat gerakan tangan dan sambaran an-
gin pukulan yang dilontarkan Kuncara, Nyai Kala-


Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wirang terbelalak kagum. Jelas kalau hatinya sangat terkejut melihat jurus-jurus
yang digunakan pemuda itu. "Aiiihhh.... Inikah jurus 'Pukulan Memecah
Badai' yang menjadi kebanggaan Tua Bangka San-
ca Wisesa itu" Hm.... Aku harus mendapatkan-
nya," gumam Nyai Kalawirang penuh minat. Secara sepintas, terbayang senyum licik
di bibir wanita cantik itu.
Wuuut! Kepalan Kuncara yang menimbulkan angin
berkesiutan dan mengancam lambung, dielakkan
Nyai Kalawirang dengan menarik tubuhnya ke be-
lakang. Saat itu juga, tubuhnya mengegos ke kiri dengan gerakan cepat.
Berbarengan dengan itu,
tangan kanannya bergerak menotok punggung
Kuncara. Cepat dan tangkas bukan main gera-
kannya. Cuiiit! Suara angin berkesiutan yang mengancam
punggungnya, membuat Kuncara sadar akan ada
ancaman pada dirinya. Cepat pemuda itu menja-
tuhkan tubuhnya kedepan, dan langsung bergu-
lingan menjauh.
"Haiiit..!"
Nyai Kalawirang yang tidak ingin memberi
kesempatan bagi lawan untuk menyerang, segera
melesat mengejar Kuncara. Sepasang tangan wani-
ta cantik itu bergerak susul-menyusul dan bertu-
bi-tubi. Tentu saja Kuncara menjadi terkejut setengah mati. Sepasang tangan
lawan yang terus men-
gejarnya, membuatnya tidak mempunyai kesempa-
tan bangkit berdiri. Sehingga, ia hanya dapat bergulingan sambil menghindari
totokan-totokan
yang siap menyambut tubuhnya.
Kesal karena merasa tidak berdaya meng-
hadapi sergapan-sergapan tangan lawan, Kuncara
terpaksa berbuat nekat. Pada jurus kedua belas, ketika jari-jari tangan kiri
Nyai Kalawirang meluncur ke arah tengkuknya, tiba-tiba tubuh pemuda
remaja itu melenting disertai putaran kaki kanannya dalam jurus 'Tendangan Angin
Topan', yang merupakan salah satu ilmu andalan Eyang Sanca
Wisesa. "Heaaat..!"
Bettt! Bettt! Bettt!
Hebat sekali ilmu tendangan yang diguna-
kan Kuncara itu. Sekali melompat saja, sepasang
kakinya telah melakukan serangkaian tendangan
maut dan berbahaya. Rupanya dalam hal penggu-
naan 'Tendangan Angin Topan', Kuncara tidak ka-
lah dengan Panggali. Hanya saja, ia kalah matang karena kurang tekun berlatih.
Meskipun begitu,
gerakan yang dilancarkannya kali ini benar-benar membuat Nyai Kalawirang semakin
kagum. "Aihhh..., ilmu 'Tendangan Angin Topan'.
Hebat... Hebat..!" puji wanita genit itu sambil melompat mundur menghindari
sepasang kaki yang
berputaran cepat bagai baling-baling.
Meskipun mulutnya mengeluarkan pujian,
namun dari caranya menghadapi serangan-
serangan 'Tendangan Angin Topan', Nyai Kalawi-
rang sama sekali tidak mengalami kesulitan. Se-
pasang kakinya bergerak lincah mengikuti lonta-
ran-lontaran kaki lawan. Jelas dari caranya menghadapi serangan itu, ia seperti
sudah mengenal ilmu yang digunakan Kuncara.
Pada saat pertarungan memasuki jurus
yang kedelapan belas, tiba-tiba saja Nyai Kalawirang berseru nyaring disertai
lesatan tubuhnya
yang mengejutkan.
"Haiiit..!"
Berbarengan dengan seruan itu, sepasang
lengannya terkembang ke kiri-kanan. Kemudian,
tubuhnya berputar balik ketika kaki kanan lawan
meluruk ke arah dagunya. Sambil berputar demi-
kian, dengan gerakan aneh sepasang kaki wanita
cantik itu meluncur cepat mengancam lambung
kiri lawan. Dan...
Desss! Desss! "Hugkh...!"
Tubuh Kuncara yang saat itu tengah me-
layang di udara, tersentak balik ketika sepasang kaki Nyai Kalawirang berturut-
turut menghantam
lambungnya. Dan sebelum tubuh pemuda itu
sempat mencium tanah, sebuah totokan lawan te-
lah hinggap di dadanya.
Maka tanpa ampun lagi, tubuh Kuncara
terbanting keras di atas tanah berumput.
Kuncara menggelinjang menahan rasa sa-
kit akibat tendangan dan totokan Nyai Kalawirang yang telak menghantam tubuhnya.
Darah segar mengalir dari sudut bibir, disertai erangan lirih.
"Hik hik hik...! Tubuhmu kuat sekali, Cah Bagus.
Kalau orang lain yang menerima tendanganku,
pasti nyawanya sudah melayang ke akhirat," puji Nyai Kalawirang sambil
melangkahkan kakinya
menghampiri Kuncara.
Namun, Kuncara sudah tidak dapat men-
dengar ucapan wanita cantik itu lagi. Luka dalam yang dideritanya, membuat
pemuda itu tak sadarkan diri. Sementara, cairan merah terus saja mengalir
melalui sela-sela bibirnya.
Nyai Kalawirang, tokoh sesat berkepan-
daian tinggi itu membungkukkan tubuhnya dan
memeriksa luka Kuncara. Wanita cantik namun
memiliki sifat cabul dan kejam itu menyungging-
kan senyum penuh kemenangan dan siasat licik.
Setelah memastikan kalau pemuda remaja
itu benar-benar pingsan, diangkatnya tubuh yang
terkulai lemah itu. Kemudian, dipondong dan di-
bawanya ke dalam pondok milik pemuda itu sen-
diri. *** 2 Matahari sudah semakin naik tinggi ketika
tubuh Kuncara yang terbaring lemah di atas balai-balai bambu itu mulai bergerak
lemah. Tubuh ba-
gian atasnya yang sudah tidak tertutup pakaian
tampak berwarna kemerahan dan dibasahi peluh.
"Ouuuhhh...!"
Rintihan lirih yang keluar dari bibirnya ter-
dengar aneh. Perlahan sepasang mata pemuda itu
yang juga telah berwarna merah, mulai bergerak
membuka. Wajahnya yang tampan itu pun telah
dijalari warna merah.
"Kau sudah siuman, Cah Bagus..." Seben-
tar lagi, kita akan mulai pelajaran yang pasti amat kau sukai," kata Nyai
Kalawirang, merayu.
Saat itu Nyai Kalawirang duduk ditepi ba-
lai-balai tempat tubuh Kuncara terbaring. Semen-
tara, pemuda itu terus saja mendesis-desis, menatap sayu ke arah wanita cantik
ini. "Nyai... Kau..., cantik sekali...," desah Kuncara. Nadanya terdengar bergetar
aneh. Sambil berdesah lirih, pemuda itu mengu-
lur tangannya membelai wajah Nyai Kalawirang.
Jemari tangan pemuda itu pun tampak bergetar
dan berkeringat.
Nyai Kalawirang yang sebenarnya seorang
yang memiliki nafsu iblis itu membiarkan saja elusan tangan
Kuncara. Malah, pakaiannya pun dilepaskan. Se-
ketika tampaklah dua bukit ranum yang putih dan
mulus. Dan yang pasti, sanggup membuat mata
Kuncara menari-nari. Desahan napasnya pun se-
perti terengah-engah. Nyai Kalawirang kemudian
menarik tangan pemuda itu ke belahan dadanya.
"Hik hik hik... Marilah, Cah Bagus. Jangan
ragu-ragu. Hari ini aku akan membawamu ke du-
nia lain yang selama ini belum kau temui...," desah wanita Iblis itu, manja.
Sepasang tangan Nyai Kalawirang yang
berkulit halus itu, melingkar di leher Kuncara.
Bahkan, jemari tangannya yang lentik mulai ber-
gerak meraba dan meremas tubuh pemuda itu.
"Aaah...."
Desah yang mengandung nafsu iblis me-
luncur dari bibir Kuncara. Pemuda yang tidak sa-
dar kalau dirinya telah dijelajahi ramuan perang-sang itu langsung menyergap
tubuh molek Nyai
Kalawirang. Langsung digumulinya tubuh tanpa
benang sehelai pun itu penuh nafsu.
Tentu saja Nyai Kalawirang yang memang
sangat menyukai pemuda-pemuda tampan, me-
nyambutnya penuh kehangatan. Tanpa dapat di-
cegah lagi, dua tubuh berlainan jenis itu terus
berpacu dalam birahi di dalam pondok di tengah
Hutan Langkeng.
Di antara desahan napas yang laksana ku-
da pacu itu kadang terdengar tawa mengikik Nyai
Kalawirang. Sementara Kuncara yang dalam pen-
garuh obat keji, bagai tak pernah puas dengan apa yang dilakukannya. Keduanya
baru menghentikan
pergumulan itu saat hari menjadi gelap. Kelelahan
yang sangat, membuat mereka tertidur lelap.
*** "Ouhhh...."
Suara kukuruyuk ayam hutan jantan
membangunkan Kuncara dari tidurnya. Bagaikan
orang yang baru tersadar dari mimpi, pemuda itu
menggosok mata dan memandang berkeliling.
"Aaah...!"
Bagaikan disengat kalajengking, Kuncara
tersentak bangkit dan melompat turun dengan wa-
jah pucat pasi. Sepasang matanya terbelalak lebar, ketika melihat tubuh Nyai
Kalawirang terbaring di sampingnya dalam keadaan polos.
"Apa..., apa yang telah kulakukan...!" Men-
gapa..., mengapa aku tertidur di pondok ini"
Oooh...." Kuncara terduduk lesu ketika melihat kea-
daan dirinya yang tanpa pakaian itu. Ia menatap
berganti-ganti dengan mata terbelalak dan bibir
bergetar. Ditutupinya seluruh wajah disertai keluhan penuh sesal.
"Aihhh, Cah Bagus. Mengapa bersedih...?"
tegur Nyai Kalawirang.
Rupanya dia terbangun ketika mendengar
suara Kuncara. Tanpa malu-malu lagi, jemari tan-
gannya yang lentik dan halus itu bergayut di leher Kuncara. Dibisikkannya kata-
kata mesra yang
membuat tubuh pemuda itu bergetar bagai terse-
rang demam. Kuncara, pemuda polos yang selama hi-
dupnya belum pernah tersentuh wanita itu, lang-
sung menggigil hebat. Apalagi, wanita yang bersamanya adalah orang yang sangat
berpengalaman dalam membawa gairah laki-laki. Maka, pemuda
itu pun kembali terjebak dalam permainan keji
yang menyesatkan.
Perbuatan terkutuk itu kembali terulang.
Mereka kembali saling gumul disertai dengus na-
pas yang berpacu. Kuncara, murid Eyang Sanca
Wisesa, kembali tak mampu menolak bujukan
maupun belaian Nyai Kalawirang. Ia semakin
tenggelam dan bertekuk lutut di bawah kekuasaan
nafsu wanita itu.
Kuncara terkulai lemah setelah melam-
piaskan nafsu yang menyentak-nyentak dalam di-
rinya. Pemuda remaja itu rebah telentang di sisi Nyai Kalawirang yang
memandangnya dengan senyum puas.
*** "Aaahhh...."
Tiba-tiba saja Kuncara tersentak dan mele-
paskan pelukannya pada tubuh Nyai Kalawirang.
Sinar matahari yang menerobos masuk melalui ce-
lah-celah dinding kamar, membuat pemuda itu
tersadar dari keadaannya. Cepat ia bangkit dan
mengenakan pakaiannya.
"Aku harus segera kembali, Nyai. Eyang
Sanca Wisesa dan Panggali tentu tengah mencari-
cariku saat ini. Aku tidak ingin kalau mereka
sampai menengok kemari dan menemukan kita
berdua di tempat ini. Tolong bantu aku mengum-
pulkan kayu bakar, Nyai. Mudah-mudahan alasan
yang kuberikan kepada mereka bisa diterima,"
ujar Kuncara. Napas pemuda itu tampak memburu kare-
na rasa tegang. Wajahnya pun terlihat pucat. Sepertinya ia benar-benar takut
apabila perbuatan-
nya bersama Nyai Kalawirang itu sampai diketahui
salah satu dari kedua orang itu.
Nyai Kalawirang sebenarnya merasa tidak
suka ketika mendengar ucapan Kuncara. Namun
mengingat rencana yang telah disusunnya, maka
dengan gerakan malas ia pun bangkit. Tanpa ber-
kata apa-apa, dibantunya Kuncara untuk men-
gumpulkan kayu bakar.
Tak berapa lama kemudian, pekerjaan me-
reka selesai. Setelah menggabung dan mengikat
kayu bakar itu kuat-kuat, Kuncara membalikkan
tubuhnya. Dipandanginya wajah Nyai Kalawirang,
seolah-olah ingin menyimpan wajah cantik itu da-
lam benaknya. "Aku pergi dulu, Nyai. Hati-hatilah, jangan sampai kehadiranmu diketahui salah
seorang dari mereka," pesan Kuncara dengan napas terengah-engah. Usai berkata demikian,


Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu pun bergegas pergi setelah melihat anggukan dan se-
nyum manis Nyai Kalawirang. Sementara, wanita
cantik itu berdiri tegak menatapi kepergian Kunca-ra. Senyum manis yang menghias
wajahnya, beru-
bah menjadi senyum sinis.
"Hm.... Tunggulah kau, Sanca Wisesa! Tak
lama lagi, aku akan datang mengambil nyawamu!"
desis bibir merah menantang itu dengan sorot ma-
ta mendirikan bulu roma!
*** 3 "Ha ha ha...! Bagus, Nyai! Bagus! Rencana
pertama kita sudah berjalan mulus. Selangkah la-
gi, dendam kita akan terbalas lunas berikut bun-
ga-bunganya!"
Tiba-tiba terdengar tawa serak menggun-
cangkan hutan. Bersamaan dengan itu, berkelebat
sesosok bayangan tinggi besar meluncur turun.
Sepasang kakinya yang besar dan berat mendarat
di atas tanah, di dekat Nyai Kalawirang. Bumi di sekitar tempat itu bagaikan
terguncang ketika kaki kakek bertubuh raksasa itu mendarat.
Penampilan kakek itu benar-benar menye-
ramkan. Tubuhnya yang kekar berotot dipenuhi
bulu tebal di sekitar dadanya. Wajahnya panjang, dan rambutnya terurai bebas
mirip wajah seekor
singa jantan. Bahkan ketika tertawa, nampak se-
pasang gigi yang menyerupai taring di kiri-kanan mulutnya. Sepasang matanya yang
terbentuk panjang berputar- putar tak ubahnya mata binatang
buas. "Hm.... Singa Gurun Setan, kedatanganmu hanya akan membuat rencana kita
berantakan. Kalau pemuda yang bernama Kuncara itu sampai
melihatmu, mungkin tidak akan pernah datang la-
gi untuk menemuiku. Bahkan, bisa jadi akan
mengadukan keberadaanmu kepada Tua Bangka
Sanca Wisesa itu. Sebaiknya, kau sembunyi saja
dulu. Nanti setelah kita berhasil menguras semua ilmu Sanca Wisesa melalui
pemuda itu, baru kau
boleh menampakkan diri di hadapanku," ketus dan dingin sekali sambutan Nyai
Kalawirang terhadap kakek bertubuh raksasa yang berjuluk Sin-
ga Gurun Setan.
"Ha ha ha... Mengapa mesti marah-marah,
Nyai" Apakah kau khawatir kalau lelaki muda
yang berdaging segar itu kurebut" Jangan takut,
Nyai. Aku sudah paham akan kesenanganmu yang
satu itu. Aku janji, tidak akan mengganggunya,"
tegas Singa Gurun Setan, sama sekali tidak mera-
sa marah melihat sambutan yang tidak menye-
nangkan itu. "Huh! Kalau berani mengganggunya, akan
kurobek perutmu yang dipenuhi daging manusia
itu!" balas Nyai Kalawirang sambil menatap Singa Gurun Setan dengan sinar mata
mengancam. Kakek raksasa itu hanya tertawa berderai
mendengar ancaman Nyai Kalawirang yang mendi-
rikan bulu roma. Singa Gurun Setan yang terkenal sebagai tokoh iblis pemakan
daging manusia itu
melangkahkan kakinya, semakin mendekati Nyai
Kalawirang. Tawa seraknya tetap berkumandang
mengiringi langkahnya.
"Sudahlah, Nyai. Untuk apa kita berteng-
kar" Bukankah kita sudah sepakat untuk saling
membantu dalam menghadapi Sanca Wisesa itu.
Hm.... Kulihat, kepandaian anak muda itu boleh
juga, Nyai. Jurus 'Pukulan Pemecah Badai' dan
'Tendangan Angin Topan'nya lumayan juga. Hanya
saja, masih banyak terdapat kelemahan di sana-
sini. Kau harus dapat membujuk pemuda itu agar
mau memperlihatkan ilmu-ilmunya kepada kita.
Bagaimana, Nyai" Apakah kau yakin bisa membu-
juknya?" tanya Singa Gurun Setan.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu mende-
katkan wajahnya ke wajah cantik Nyai Kalawirang.
Sekilas, terlihat cuping hidung kakek raksasa itu bergerak-gerak ketika mencium
bau harum tubuh
wanita itu "Hm.... Rupanya secara diam-diam kau te-
lah melihat semua perbuatanku, ya" Dan kau
sengaja menantang harga diriku dengan perkataan
konyol itu" Huh! lihat saja nanti! Pemuda itu pasti akan bertekuk lutut dan
menuruti semua yang
kuminta. Kalau kau tidak yakin akan kemampua-
nku, silahkan lihat buktinya nanti!" tandas Nyai Kalawirang.
Wanita cantik itu merasa tersinggung atas
pertanyaan yang bernada menantang tadi. Meski-
pun kata-katanya terdengar ketus, namun wanita
cantik itu lama sekali tidak menghindar ketika
lengan yang besar dan berbulu kasar itu mengelus punggungnya.
Memang aneh dan sukar dimengerti sifat
tokoh-tokoh sesat rimba persilatan. Terkadang
mereka saling bertengkar hanya karena persoalan
sepele. Tapi, tidak jarang pula saling bantu untuk melenyapkan tokoh-tokoh
golongan putih yang
menjadi musuh mereka.
Demikian pula halnya dengan Nyai Kalawi-
rang Meskipun sambutan yang meluncur dari bi-
birnya terasa pedas dan menyakitkan perasaan,
namun sama sekali tidak menghindar ketika ka-
kek bertubuh raksasa itu mulai mencium wajah
dan lehernya. Malah dari kerongkongannya ter-
dengar erangan manja yang mengundang hasrat
"Marilah, Nyai. Sekarang adalah waktu un-
tuk kita berdua...," desah Singa Gurun Setan dengan napas memburu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, dipondong-
nya tubuh molek Nyai Kalawirang dan dibawanya
masuk ke dalam pondok.
Beberapa saat kemudian, yang terdengar
hanyalah tawa manja Nyai Kalawirang dan dengus
napas Singa Gurun Setan.
*** "Hik hik hik... Bagus, Kuncara! Kemajuan
yang kau peroleh sudah cukup pesat. Aku yakin,
tidak lama lagi kau akan dapat menyempurnakan
ilmu-ilmu yang kuturunkan kepadamu itu," seru wanita cantik berpakaian serba
kuning itu dengan
nada agak genit. Siapa lagi kalau bukan Nyai Ka-
lawirang yang tengah menyaksikan Kuncara mela-
tih ilmu-ilmu miliknya.
Hebat sekali kesabaran yang dimiliki wani-
ta cantik itu. Telah hampir tiga bulan Nyai Kalawirang melatih Kuncara dengan
menurunkan ilmu-
ilmunya kepada pemuda remaja itu. Semua itu di-
lakukan demi tercapainya pembalasan dendam
terhadap Eyang Sanca Wisesa yang menjadi mu-
suh lamanya. Nyai Kalawirang berusaha menghindari ke-
curigaan pemuda itu dengan jalan mengajarkan
ilmu yang dimiliki. Dan melalui pemuda itu pula
ilmu-ilmu andalan Eyang Sanca Wisesa dipelajari
untuk mencari kelemahannya. Sebab disadari be-
tul, kalau untuk mengalahkan kakek sakti itu ha-
rus mengetahui ilmu-ilmunya terlebih dahulu. Un-
tuk itulah ia berusaha mengoreknya melalui pe-
muda yang telah ditaklukkannya. Itu pun harus
dilakukan secara bertahap, karena takut-takut
Kuncara jadi curiga. Bahkan kehadirannya di
tempat itu bisa-bisa diketahui Eyang Sanca Wise-
sa. Maka, akan sia-sialah segala jerih-payahnya
selama ini. Pemikiran itu membuat Nyai Kalawirang
demikian tekun dan sabar. Dan ia tidak terburu-
buru untuk meminta Kuncara memperlihatkan il-
mu-ilmu yang dipelajari dari kakek yang digdaya
itu. Kuncara yang telah menyelesaikan latihan-
nya, bergegas melangkah menghampiri Nyai Kala-
wirang. Tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh
wanita cantik itu. Lalu dibelainya lembut rambut indah milik wanita yang tengah
duduk di anak tangga di depan pintu pondok milik Kuncara sen-
diri. "Sabarlah, Kuncara. Kau baru saja selesai
berlatih. Lebih baik, bersihkan dulu tubuhmu.
Kau tahu, bau kecut keringatmu sungguh meng-
ganggu seleraku," tolak Nyai Kalawirang menepiskan jemari Kuncara yang mulai
nakal. "Hm.... Bagaimana kalau kau menemaniku,
Nyai" Ayolah. Bukankah kita hanya berdua di hu-
tan ini?" Ajak Kuncara sambil menarik lengan wanita cantik itu, dan hendak
membawanya pergi
menuju aliran sungai.
"Jangan, Kuncara. Berbahaya! Bagaimana
kalau saudara seperguruanmu memergoki kita"
Kau akan diusir mereka nanti," tolak Nyai Kalawirang. Sebenarnya bukan kepergian
Kuncara yang menimbulkan rasa cemas di hatinya. Sebab, kalau
sampai pemuda itu diusir pergi dari Gunung
Langkeng, bisa hancur rencananya selama ini.
"Mengapa mesti takut, Nyai" Kalau mereka
memang berani mengusirku, aku tidak akan ke-
cewa. Bukankah aku akan selalu bersamamu?"
bantah Kuncara, tak mau kalah. Kembali ditarik-
nya tangan Nyai Kalawirang.
"Tidak, Kuncara! Kalau memang ingin ku
temani, marilah kita pergi ke aliran sungai di kaki Gunung Langkeng ini saja.
Kurasa tempat itu jauh lebih aman," usul Nyai Kalawirang yang tidak kuasa
menolak keinginan Kuncara.
"Begitu pun boleh. Asal bersamamu, di
mana saja aku bersedia, Nyai," sahut Kuncara tanpa berpikir lagi.
"Tunggu dulu, Kuncara...," cegah Nyai Kalawirang ketika melihat adanya
kesempatan baik
untuk melihat, sampai di mana Kuncara bersedia
menuruti permintaannya.
"Ada apa lagi, Nyai...?" Kuncara menoleh ke
arah Nyai Kalawirang yang saat itu juga tengah
menatapnya. Sementara, alis pemuda itu tampak
berkerut. Nyai Kalawirang tidak segera menjawab
pertanyaan Kuncara. Ditatapnya pemuda itu lekat-
lekat, tepat di kedua bola matanya. Sepertinya
wanita cantik itu tengah menilai kesungguhan
Kuncara. "Benarkah kau bersedia ke mana saja asal-
kan bersamaku, Kuncara?" tanya Nyai Kalawirang tanpa senyum. Nada suaranya pun
terdengar me-nuntut jawaban pasti.
"Tentu saja, Nyai. Apakah kau masih mera-
gukan cintaku..?" Kuncara balik bertanya.
Kerutan di kening pemuda itu terlihat se-
makin jelas. Sepertinya, ia masih belum mengerti kemana arah pertanyaan wanita
genit itu. "Hm... Apakah kau bersedia memenuhi se-
gala permintaanku?" desak Nyai Kalawirang tanpa mempedulikan pertanyaan Kuncara.
Sedikit pun tidak diperlihatkan kemanjaannya kali ini. Sehing-ga pemuda itu semakin
kebingungan. "Apa sebenarnya maksudmu, Nyai...?"
"Jawab dulu pertanyaanku. Bersediakah
kau menuruti segala permintaanku?" tegas Nyai Kalawirang tak peduli dengan
kebingungan Kuncara. "Mmm.... Kalau aku sanggup, tentu akan kupenuhi, Nyai. Tapi
coba jelaskan kepadaku, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku," pinta Kuncara
yang sepertinya tidak menyukai sikap Nyai
Kalawirang saat itu.
"Ah, sudahlah. Ayo, kita pergi...," ajak Nyai Kalawirang sambil menarik tangan
pemuda itu. Nyai Kalawirang, iblis betina yang cantik
menyudahi pembicaraan ketika melihat sinar ke-
curigaan di mata pemuda itu. Dengan gerak tubuh
membayangkan kemanjaan dan senyum memikat,
ditariknya pemuda itu menuruni lereng Gunung
Langkeng. Kuncara pun tidak membantah ajakan wa-
nita yang memang telah membuatnya mabuk as-
mara. Ia sudah lupa akan kecurigaannya ketika
melihat sikap wanita cantik itu telah kembali seperti semula. Genit dan penuh
daya pikat. Kedua insan berlainan jenis itu terus berla-
ri menuruni lereng Gunung Langkeng. Sepanjang
perjalanan, tawa dan canda terdengar meningkahi.
Mereka tak ubahnya sepasang insan muda yang
tengah dimabuk asmara.
Matahari naik semakin tinggi. Sinarnya
yang kuning keemasan memancar, mengiringi
langkah kaki dua sosok tubuh. Salah satu di antaranya, adalah seorang pemuda
tampan berwajah
bersih. Rambutnya yang panjang dan hitam dihia-
si ikat kepala berwarna putih. Senyum ramah
yang membayangkan kebesaran jiwanya, senan-
tiasa menghias wajahnya. Sepintas saja, orang sudah dapat menebak akan
kematangan jiwanya.
Sedangkan yang berjalan di sebelah kirinya adalah seorang wanita muda berpakaian
serba hijau. Tubuhnya ramping dan padat berisi. Kulit tubuhnya
yang putih dan halus tampak sangat pas dengan
warna pakaiannya. Hidungnya kecil mancung
dengan sepasang mata yang bersinar cerah bagai-
kan bintang pagi. Bibirnya yang merah segar dan
berbentuk indah, nampak menawan dipandang
mata. Sukar sekali menggambarkan kecantikan
dan pesona yang terdapat pada diri gadis itu. Yang jelas, rasanya tak seorang
lelaki pun sanggup untuk menyimpan kekaguman apabila melihatnya.
"Hhh..., panas sekali udara hari ini. Segar


Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasanya membayangkan berendam di air pegu-
nungan," gumam gadis jelita itu sambil menyusut peluh di keningnya. "Bagaimana
kalau kita beristirahat sejenak di sungai sebelah depan itu, Ka-
kang?" Pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum menatap kawan seperjalanannya.
Sesaat kemudian, tangannya terulur membelai lembut
rambut kepala gadis itu yang tebal dan hitam.
"Kau lelah, Kenanga...?" tanya pemuda
tampan itu lembut dan mengandung rasa cinta
yang dalam. Semua itu jelas terlihat dari sikap dan caranya bertanya.
"Tidak, Kakang. Tapi, suara gemercik air
sungai itu seolah-olah mengundangku untuk me-
nikmatinya. Apakah Kakang tidak merasakan
keinginan seperti Itu?" kilah dara jelita berpakaian hijau itu yang tak lain
adalah Kenanga, kekasih
Pendekar Naga Putih.
"Sedikit," jawab pemuda tampan itu tersenyum menggoda. "Biarlah aku menunggumu
di si-ni."
Pemuda yang sudah pasti Pendekar Naga
Putih itu menghenyakkan pantat di bawah seba-
tang pohon berdaun rindang.
"Tapi.... Mungkin agak lama, Kakang...," jelas suara jelita itu meragu.
Sepertinya ia merasa enggan untuk meninggalkan Pendekar Naga Putih
berlama-lama. "Tidak apa-apa, Kenanga. Biar sampai be-
sok pun, aku akan tetap menunggu," jawab Panji tersenyum lembut
"Kalau begitu, aku akan berendam sampai
besok. Aku pergi dulu, Kakang...," balas Kenanga dengan suara manja. Dan, tanpa
menunggu jawaban dari pemuda itu, Kenanga bergegas menuju
aliran sungai yang hanya beberapa tombak di de-
pannya. Dengan senyum manis yang belum me-
ninggalkan wajahnya, gadis jelita itu melangkah
riang menuruni sungai. Sepasang matanya berpu-
tar mencari tempat yang menurutnya cocok untuk
merendam tubuh. Baru saja beberapa tombak me-
langkah menyusuri tepi sungai, sepasang mata
bintang itu terbelalak kaget.
"Tak tahu malu...!" geram Kenanga dengan suara agak keras dan bernada marah.
Langsung tubuhnya berbalik dan meninggalkan tempat itu
dengan wajah merah.
Dua sosok tubuh polos yang tengah beren-
dam sambil bercanda itu tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Salah seorang
di antaranya bergegas naik. Dia adalah pemuda berwajah tampan.
Jelas ia sangat terkejut melihat kehadiran orang lain yang sama sekali tidak
diduga itu. Lain halnya dengan teman pemuda itu.
Wanita cantik yang berusia sekitar empat puluh
tahun itu memandang marah kepada Kenanga.
Apalagi, umpatan yang terlontar dari mulut gadis berpakaian hijau itu sempat
tertangkap pendenga-rannya. "Hei, tunggu...!" teriak wanita cantik yang tak lain
Nyai Kalawirang itu.
Setelah mengenakan pakaiannya, wanita
genit itu langsung melesat mengejar orang yang
dianggap telah mengganggunya. Tubuh Nyai Kala-
wirang melambung tinggi dan berjumpalitan me-
lewati kepala Kenanga. Dalam sekejapan mata sa-
ja, wanita genit itu sudah berdiri bertolak pinggang menghadang jalan
"Coba ulangi ucapanmu tadi...!" bentak Nyai Kalawirang dengan wajah dingin.
"Ucapan apa..."!" Kenanga tak mau kalah gertak. Kata muaknya semakin menjadi-
jadi melihat kegalakan wanita genit itu.
"Hm.... Selain usilan, rupanya kau pun
seorang pengecut yang tidak mau mengakui uca-
panmu!" ejek Nyai Kalawirang dengan nada sangat menghina.
Sekilas sepasang mata Kenanga menyi-
ratkan kemarahan mendengar hinaan Nyai Kala-
wirang. Ditentangnya pandangan mata wanita ge-
nit itu tanpa kegentaran sedikit pun.
"Dengar, Nisanak! Aku sudah berusaha un-
tuk tidak mencampuri urusanmu dengan mening-
galkan tempat ini. Tapi, ternyata kau sengaja hendak mencari gara-gara. Kau
memang tidak tahu
malu! Itulah makianku tadi, kalau kau memang
ingin mendengarnya lagi!" sahut Kenanga menantang. "Kurang ajar! Kurobek
mulutmu, Manusia Lancang!" bentak Nyai Kalawirang marah.
Begitu ucapannya selesai, tubuh wanita genit itu langsung meluruk dengan sebuah
tamparan keras.
Wuuuttt! "Hm.... Tidak semudah itu, Nyai...," ejek Kenanga yang langsung menggeser
tubuhnya doyong ke belakang.
Begitu tamparan Nyai Kalawirang lewat tu-
buhnya dilempar ke belakang sejauh dua tombak
"Tunggu...!" seru Kenanga disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, suaranya
sempat membuat Nyai Kalawirang tertegun sejenak.
Meskipun demikian, Nyai Kalawirang tidak
sudi untuk menghentikan serangannya. Memang,
dengan luputnya tamparan itu telah membuat
kemarahannya semakin menggelegak.
"Coba kau tahan yang ini..!" seru Nyai Ka-
lawirang semakin bernafsu.
Bettt! Wuttt! Rupanya serangan yang dilancarkan iblis
betina itu sudah tidak main-main lagi. Sepasang
tangannya bergerak cepat saling susul. Sambaran
angin pukulannya pun menderu tajam, membuat
pakaian Kenanga berkibar dibuatnya.
Tapi, lawan yang dihadapinya kali ini bu-
kanlah gadis sembarangan. Kenanga yang sadar
kalau wanita cantik itu memiliki kepandaian ting-gi, mulai mengeluarkan
kepandaiannya. Tubuhnya
yang ramping itu bergerak cepat menghindari se-
rangan-serangan gencar Nyai Kalawirang. Bahkan
gadis jelita itu mulai membangun serangan yang
tidak kalah cepat dan berbahaya. Sehingga perta-
rungan berlangsung semakin ramai dan sengit.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Pertempu-
ran yang semula berlangsung di tepi sungai, terus bergeser semakin menjauhi
sungai. "Haiiittt..!"
Memasuki jurus yang ketiga puluh, tiba-
tiba Nyai Kalawirang berseru nyaring disertai pengerahan tenaga dalam. Seiring
seruannya, gerakan wanita genit itu pun berubah. Tubuhnya yang
ramping padat itu mulai meliuk-liuk bagaikan
seekor ular besar. Kedua kakinya melangkah
aneh. Terkadang wanita cantik itu seperti tak peduli akan datangnya sambaran
pukulan lawan. Tapi di lain kesempatan, tubuhnya melom-
pat-lompat ganas bagai seekor kuda liar.
"Aihhh...!"
Kenanga berseru tertahan ketika hampir
saja sambaran tangan kanan lawan mengenai le-
hernya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang dan
langsung melakukan beberapa kali salto di udara.
Kedua kakinya mendarat, ketika jarak di antara
mereka terpisah sekitar tiga batang tombak jauhnya. "Mau lari ke mana kau,
Keparat! Tak seorang pun yang dapat hidup setelah berani meng-
hina Nyai Kalawirang!" bentak wanita genit itu yang segera mengejar Kenanga
dengan serangan-serangan aneh dan membingungkan.
"hhhhmm...."
Kenanga yang saat itu tengah menyiapkan
jurus 'Bidadari Menabur Bunga', sama sekali tidak mempedulikan ucapan Nyai
Kalawirang. Ia hanya
bergumam perlahan sambil menggerakkan sepa-
sang tangan menyilang di depan dada.
Sejurus kemudian, tubuh dara jelita itu
melesat cepat disertai putaran tangannya yang
membentuk bulatan-bulatan di udara. Dan dari
bulatan-bulatan itu terkadang menyembul totokan
maupun tusukan jari-jari tangan yang mengincar
kelemahan-kelemahan di tubuh Nyai Kalawirang.
Bettt! Wuttt! "Haiiit..!"
Nyai Kalawirang sempat terkejut melihat
kehebatan dan kecepatan gerak lawan. Sambil
berseru nyaring, dipapaknya tusukan jari-jari tangan lawan yang tahu-tahu saja
telah mengincar
tenggorokan. Plakkk! Benturan telapak tangan yang menimbul-
kan ledakan keras itu membuat tubuh keduanya
terjajar mundur ke belakang.
"Uhhh...!"
Dara jelita berpakaian hijau itu mengeluh
lirih. Tangkisan yang dilakukan Nyai Kalawirang
membuat tulang lengannya terasa nyeri dan linu.
Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga
dalam wanita genit itu ternyata masih berada di
atas kekuatannya. Tentu saja hal itu membuatnya
terkejut. Nyai Kalawirang sendiri sempat merasa
terkejut melihat kekuatan tenaga dalam lawannya.
Tentu saja hal itu membuatnya semakin penasa-
ran. Maka tanpa memberi kesempatan kepada la-
wannya untuk bersiap, tubuh wanita genit itu
kembali meluncur dengan serangan-serangan
aneh dan ganas.
"Yeaaat..!"
Bettt! Wuttt! Sekali melompat Nyai Kalawirang langsung
melontarkan serangkaian serangan mematikan.
Gerakan tangan dan kakinya yang memiliki peru-
bahan tak terduga, membuat Kenanga sibuk
menghalaunya. Sehingga dalam beberapa jurus
saja, gadis itu terdesak hebat.
"Ihhh...."
Kenanga memekik tertahan ketika hampir
saja tusukan jari tangan Nyai Kalawirang hampir
mengenai pelipisnya. Untunglah tubuhnya masih
sempat dimiringkan ke kanan. Sehingga tusukan
jari tangan lawan hanya lewat beberapa jari di
samping kepalanya.
Namun, serangan Nyai Kalawirang kali ini
memang benar-benar hebat. Tusukan jari-jari
yang semula meluncur lurus itu berbalik dan ber-
putar mengancam leher lawan dengan tebasan sisi
telapak tangan. Bahkan tanpa tanggung-tanggung
lagi, wanita genit itu membarenginya dengan se-
buah hantaman telapak tangan ke dada.
Tentu saja Kenanga yang tak menyangka
perubahan gerak lawan itu menjadi terkejut setengah mati. Cepat tubuhnya
diliukkan membuat ge-
rak setengah melingkar dengan kuda-kuda ren-
dah. Sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka melekat di sisi pinggang, siap melontarkan serangan balasan.
Sayang, wanita genit yang licik itu sudah
dapat meraba gerakannya. Kedua serangan yang
ternyata hanya merupakan gerak tipu itu, menda-
dak ditarik pulang. Kemudian, tubuhnya langsung
berputar dan mengirim sebuah tendangan keras
ke arah dada lawan.
Desss! "Hugkh...!"
Tendangan yang tak terduga itu, tentu saja
tak mungkin dielakkan Kenanga. Maka tanpa da-
pat dicegah lagi, tubuh dara jelita itu terjengkang ke belakang. Pada saat tubuh
dara jelita itu melayang di udara, sesosok bayangan putih berkele-
bat bagai kilat dan langsung mengulur tangan
menangkap tubuh Kenanga.
Tappp! Begitu tubuh Kenanga berada dalam pon-
dongannya, sosok bayangan putih itu langsung
melenting dan melakukan beberapa kali salto se-
belum mendaratkan kakinya ke tanah.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, so-
sok bayangan putih itu, mendaratkan kakinya di
atas tanah. Direbahkannya tubuh dara jelita itu di atas rerumputan tebal.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya sosok bayangan putih itu, lembut dan
penuh kece- masan. Dihapusnya lelehan darah yang mengalir
di sudut bibir Kenanga dengan jemari tangan.
"Dadaku... sakit sekali, Kakang. Rasanya
Dendam Iblis Seribu Wajah 10 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Bersatu Padu 5
^