Pencarian

Tumbal Perkawinan 2

Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Bagian 2


kecantikan dan senyum manis Sari Asih.
"Ya, Tuhan.... Makhluk yang kau ciptakan ini benar-benar tiada cacatnya. Rasanya
aku mudah sekali jatuh cinta terhadap seorang dara seperti dia...," gumam
Sasmita sambil menatapi daun pintu pondok yang telah tertutup itu.
Teringat akan pesan Sari Asih, pemuda itu segera melangkah ke samping pondok, ia
sepertinya sudah cukup hafal dengan kebiasaan para pemburu yang selalu
menyiapkan kayu bakar di samping pondok. Harapan Sasmita memang tidak sia-sia.
Ia melihat ada setumpuk kecil kayu bakar sisa para pemburu yang pernah
melewatkan malam di pondok itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera mengumpulkan kayu bakar.
Lalu, dibuatnya sebuah api unggun yang cukup besar, tidak sulit memang bagi
seorang ahli silat untuk membuat api. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, Sasmita
membuat api guna menyalakan kayu-kayu bakar itu dengan api unggun.
Sebentar saja terlihat lidah api menjilat-jilat kian kemari, dan sesekali menari
tertiup angin. Tidak berapa lama kemudian, muncul Sari Asih membawa ayam hutan yang bulunya
sudah dibuang, dan diberi bumbu penyedap. Rupanya dara cantik manis itu telah
merebus kedua ekor ayam itu, yang terlihat masih mengepulkan asap tipis, dan
berwarna kekuningan.
"Ah, kau ternyata pandai memasak. Asih. Baru setengah matang, harumnya sudah
membuat cacing-cacing di perutku memberontak...," puji Sasmita sambil menggerak-
gerakkan hidungnya persis seperti kucing mencium ikan asin.
Tingkah pemuda itu membuat Sari Asih terkekeh lirih. Sehingga menampakkan rongga
mulutnya yang kemerahan serta giginya yang putih laksana untaian mutiara. Dan,
untuk kesekian kalinya, Sasmita merasakan dadanya berdebar menyaksikan
pemandangan itu.
"Eh, kau kenapa, Sasmita...?" tegur Sari Asih yang menghentikan tawanya ketika
melihat pemuda gagah itu tampak terbengong-bengong dengan mulut terbuka.
"Eh, oh..., tidak.... Tidak apa-apa...," sahut Sasmita yang menyadari
ketololannya. Segera saja ia memperbaiki sikapnya.
Sari Asih yang sempat menangkap getar-getar asmara pada sepasang mara pemuda
itu, berpura-pura bodoh. Dara cantik manis itu langsung saja duduk di samping
Sasmita, dengan tangan kanan masih memegang ayam hutan yang siap dibakar.
"Biar aku saja yang mengerjakannya...," pinta Sasmita untuk menghilangkan
kekakuan sikapnya.
Sari Asih tidak menolak, ia menyerahkan kedua ekor ayam hutan itu kepada Sasmita
yang sudah mengangsurkan tangannya.
Setelah itu, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Mereka seperti
terhanyut dalam alam pikirannya masing-masing. Sasmita sendiri sampai tidak
sadar kalau ayam yang dibakarnya telah gosong sebagian. Maka, meledaklah tawa
kedua orang muda itu ketika mencium bau hangus yang menusuk hidung mereka.
"Ah, untunglah belum seluruhnya terbakar hangus...," ujar Sasmita seraya menatap
Sari Asih penuh penyesalan.
Gadis cantik itu sendiri hanya tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa. Sari Asih
langsung saja mengambil dan mencicipinya pada bagian yang tidak hangus. Sasmita
meniru perbuatan dara cantik itu. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika
mendapat kenyataan bahwa ayam bakar itu ternyata sangat gurih dan nikmat Sari
Asih sendiri hanya tersenyum melihat anggukan kepala pemuda itu.
Sebentar saja, suasasana menjadi hening. Baik Sasmita maupun Sari Asih sama-sama
menikmati makanan itu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya dada mereka yang
bergemuruh setiap kali bertemu pandang.
18 "Ke mana tujuanmu sekarang, Asih...?" tanya Sasmita saat keduanya melangkah
meninggalkan hutan pagi itu.
Tampaknya mereka sudah semakin akrab, meskipun belum lama saling mengenal. Hal
itu dikarenakan keduanya merasa cocok, dan memiliki banyak persamaan.
"Hm..., sudah hampir satu tahun aku bertualang. Rasanya aku sudah rindu kepada
ayahku. Jadi..., aku berniat hendak menjenguk beliau...," sahut Sari Asih tanpa
mengalihkan tatapan matanya yang tertuju lurus ke depan.
"Ah, kebetulan sekali kalau begitu...," ujar Sasmita sambil menatap wajah cantik
di sebelahnya. "Aku ingin sekali berkenalan dengan orangtuamu. Tentu saja kalau
kau tidak keberatan...."
"Jangan, Sasmita. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa setelah bertemu ayahku.
Ibuku sendiri sudah lama meninggal...," sahut Sari Asih seolah merasa khawatir
kalau Sasmita tidak suka bergaul dengannya lagi setelah mengenal siapa ayahnya.
Itulah sebabnya Sari Asih berusaha menolak permintaan sahabat barunya itu.
"Asih,... Aku tidak peduli siapa ayahmu, atau bagaimanapun buruknya sikap
beliau. Jadi..., tidak ada alasan bagimu untuk merasa takut aku tidak menyukai
orangtuamu...," Sasmita tetap bersikeras hendak mengenal orangtua Sari Asih.
Gadis cantik itu hanya bisa menghela napas panjang. Setelah mengenal Sasmita, ia
sadar kalau pemuda itu memiliki kemauan yang keras. Buktinya pemuda itu terap
saja membuntutinya walaupun sudah diberi peringatan keras.
"Terserah kaulah. Satu hal yang perlu kau ketahui. Ayahku selalu berbicara apa
adanya. Bahkan tidak jarang ia menghina seseorang di depan orang itu sendiri.
Kalau suka, ia langsung mengatakannya. Demikian juga sebaliknya. Jadi,
penolakanku tadi bukan karena aku tidak suka kau berkenalan dengan ayahku, tapi,
aku takut kalau kau tersinggung karena ucapan-ucapan ayahku yang kurang berkenan
di hatimu...," ujar Sari Asih mengingatkan sifat orangtuanya kepada Sasmita.
Sasmita mengangguk-angguk memaklumi penolakan dara cantik itu.
"Kau tidak usah khawatir, Asih. Aku sudah hampir satu tahun lebih melakukan
petualangan. Dan aku sering menjumpai orang-orang yang mempunyai sifat aneh.
Jadi, rasanya aku tidak akan terkejut bila berjumpa dengan orangtuamu. Apalagi
kau telah berbaik hati memberitahukannya...," ujar Sasmita yang sepertinya terap
ingin bertemu orangtua Sari Asih.
Ucapan itu membuat Sari Asih berpaling dan menatap mata sahabatnya lekat-lekat.
Seolah-olah ia ingin menilai kebenaran ucapan Sasmita melalui sepasang mata yang
merupakan jendela hati itu.
"Terserah kaulah...," desah Sari Asih ketika ia melihat sinar kejujuran dan
kesungguhan di mata sahabatnya itu.
"Terima kasih, Asih...," ujar Sasmita gembira.
Pemuda itu langsung memegang kedua bahu Sari Asih. Sehingga, dara cantik itu
terlihat agak kaget, dan melangkah mundur dua tindak. Seolah-olah ia merasakan
sesuatu yang aneh dari sentuhan tangan pemuda itu di bahunya.
Sasmita sendiri langsung menarik kedua tangannya dari bahu Sari Asih. Ia pun
merasakan adanya getaran yang terasa nikmat menjalari kedua lengannya saat
menyentuh bahu dara cantik itu. Kejadian itu membuat keduanya seperti terkena
sihir. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiri saling berpandangan tanpa tahu
harus bersikap bagaimana.
"Maaf, Asih. Aku..., benar-benar gembira sekali mendengar jawabanmu...," ujar
Sasmita yang lebih dulu dapat menguasai keadaan.
Sasmita langsung saja minta maaf, meskipun ia sendiri tidak tahu untuk apa
permintaan maafnya itu.
Tapi, paling tidak ucapannya telah membuat kekakuan di antara mereka kembali
lenyap. "Kau ini aneh, Sasmita. Aku sama sekali tidak melihat kesalahanmu, mengapa kau
minta maaf...?"
tegur Sari Asih seraya melangkah menyusuri jalan berbatu.
"Yah..., untuk apa saja yang kau anggap salah...," sahut Sasmita sekenanya.
Karena ia sendiri pun tidak tahu untuk apa ucapan maafnya tadi. Sari Asih
sendiri sama sekali tidak menuduh perbuatan pemuda itu merupakan suatu
kesalahan. Sesaat kemudian keduanya tertawa karena merasa aneh dan lucu dengan
tingkah mereka berdua tadi.
Kali ini mereka tidak lagi banyak berbicara. Dan, untuk mempercepat perjalanan,
mereka mulai menggunakan ilmu lari masing-masing. Sasmita yang sadar bahwa
sahabatnya seperti hendak menguji ilmu larinya, sengaja tidak mengerahkan
seluruh kekuatannya. Ia hanya menjajari langkah Sari Asih, takut kalau-kalau
dara cantik itu tersinggung bila ia mendahuluinya.
Sementara Sari Asih sendiri menyadari kelebihan pemuda tampan yang menarik
hatinya itu. Ia melihat Sasmita selalu saja berada di sebelahnya, tanpa
kelihatan lelah. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu larinya,
sampai-sampai butir-butir keringat menghiasi keningnya. Napasnya pun agak
memburu. Tetapi, napas pemuda itu sama sekali tidak terlihat memburu. Bahkan
wajah tampannya tetap tenang dihiasi senyum gembira. Tentu saja semua kenyataan
itu membuat Sari Asih semakin kagum.
Setelah setengah harian lebih melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari
cepat, keduanya tiba di kaki Gunung Buntar. Kini mereka berlari menuju sebelah
Barat kaki gunung itu.
"Ayah..., aku pulang...!" seru Sari Asih ketika mereka tiba di dekat sebuah
pondok kayu sederhana, tempat tinggal orangtua Sari Asih.
Seorang lelaki berwajah brewok berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri di
ambang pintu dengan senyum lebar, ia mengembangkan sepasang lengannya menyambut
tubuh Sari Asih yang sudah langsung memeluk tubuh lelaki gemuk itu erat-erat.
"Asih, Anakku...," desah lelaki brewok itu seraya menciumi rambut putrinya.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka seperti melupakan kehadiran Sasmita yang
berdiri penuh haru menatap pertemuan ayah dan anak itu. Sekilas terlintas
keinginannya untuk menemui kedua orangtuanya di Bukit Harimau Putih.
"Eh"! Siapakah pemuda gagah yang datang bersamamu itu, Asih" Dari mana dia
berasal" Siapa gurunya, dan siapa pula orangtuanya?" lelaki gemuk berwajah
brewok itu memberondongkan pertanyaan kepada putrinya, sambil merenggangkan
pelukannya ketika sepasang matanya menangkap sosok Sasmita yang tersenyum dan
mengangguk penuh hormat.
"Ah, aku sampai terlupa...!" seru Sari Asih sambil melepaskan diri dari pelukan
ayahnya. Dara cantik manis itu langsung menyeret lengan Sasmita dan dibawanya ke hadapan
ayahnya. "Ayah, pemuda ini sahabatku. Ia bernama Sasmita. Mengenai pertanyaan-pertanyaan
Ayah, biarlah ia sendiri yang menjawabnya. Silakan, Sasmita. Inilah
orangtuaku...," ujar Sari Asih dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh
kegembiraan. Sepertinya dara cantik itu memang sangat bahagia sekali.
"Paman, aku bernama Sasmita. Sedangkan guruku adalah ayahku sendiri yang dikenal
berjuluk Pendekar Macan Sakti. Maaf kalau kedatanganku telah mengganggu
pertemuan antara keluarga...," dengan membungkuk hormat Sasmita menjawab
pertanyaan-pertanyaan lelaki gemuk brewok itu. Suaranya mantap dan tegas,
meskipun tidak menghilangkan kesan hormatnya kepada ayah Sari Asih.
"Ha ha ha...! Putra Pendekar Macan Sakti datang bersama putriku" Benar-benar
luar biasa sekali!" ujar lelaki brewok itu seraya tertawa terbahak-bahak ketika
mengetahui siapa pemuda gagah yang datang bersama putrinya. "Hei, Anak Muda. Kau
pasti suka terhadap putriku yang cantik manis itu, bukan" Aku senang..., aku.
senang. Ha ha ha...! Calon menantuku benar-benar tidak mengecewakan! Hai,
Pendekar Macan Sakti, aku suka berbesan denganmu...!"
Setelah berkata demikian, lelaki gemuk berwajah brewok itu menari-nari
kegirangan. "Ayah...!" Sari Asih yang sama sekali tidak menduga kalau ayahnya sampai berkata
demikian, menjadi merah wajahnya.
Dara cantik itu merasa malu sekali mendengar ucapan ayahnya yang langsung
menjodohkan ia dengan Sasmita. Bukan karena ia merasa tidak suka terhadap pemuda
gagah itu. Tapi, ia sendiri belum mengetahui isi hati Sasmita. Hal itulah yang
membuat Sari Asih terisak, dan langsung berlari meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...! Kejarlah, Sasmita! Ayo, kejar calon istrimu itu. Bujuk dia, dan
bawa kemari! Kau pasti suka kepadanya, bukan" Kalau tidak, kau akan kubunuh
karena telah berani datang bersama putriku...!" ujar lelaki brewok itu kepada
Sasmita yang terkejut melihat Sari Asih berlari meninggalkan tempat itu. Ia
maklum akan perasaan Sari Asih. Karena ia sendiri merasa jengah mendengar ucapan
lelaki brewok itu yang seolah-olah menelanjangi dirinya.
Sasmita tertegun sesaat. Setelah itu, ia melesat mengejar Sari Asih yang lenyap
di balik timbunan pepohonan. Pemuda itu melihat dara cantik yang menarik hatinya
itu tengah menangis. Gadis itu duduk di sebuah batu besar seraya menundukkan
kepalanya. Perlahan Sasmita melangkah mendekati sambil berusaha menekan langkah
kakinya agar tidak mengganggu dara cantik itu. Kemudian, ia duduk di sebelah
dara cantik itu tanpa bersuara.
"Asih..., aku maklum kau tentu merasa malu dengan ucapan ayahmu. Biarlah
kesempatan ini kupergunakan untuk menyampaikan perasaan hatiku yang mungkin
telah dapat kau duga. Ucapan ayahmu sama sekali tidak salah, Asih. Aku memang
mencintaimu. Aku suka kepadamu, dan ingin sekali berdekatan. Itulah sebabnya
mengapa aku selalu membuntutimu, meski telah kau beri peringatan keras. Kuharap
pengakuanku ini bisa mengurangi beban yang saat ini menekan hatimu...," perlahan
sekali kata-kata itu meluncur dari bibir Sasmita.
Meskipun demikian, Sari Asih dapat menangkapnya dengan jelas. Kemudian, dara
cantik itu memutar tubuhnya, dan menatap wajah Sasmita dengan mata basah.
"Benarkah itu, Sasmita..." Apakah kau hanya sekadar ingin menghiburku" Kau sadar
akan perbedaan kita yang sangat jauh. Aku adalah seorang putri tokoh sesat.
Sedangkan kau adalah putri seorang pendekar besar. Perbedaan itu sangat sulit
untuk ditembus. Kau sadar itu, Sasmita...?" ujar Sari Asih sambil menatap wajah
Sasmita. "Asih.... Setelah kau tahu isi hatiku, apakah kau mau menyambutnya dengan tangan
terbuka. Ucapkanlah pengakuanmu sebelum aku menjawab semua rasa penasaran di hatimu,
Asih...," pinta Sasmita dengan suara berdesah perlahan.
Sepasang mata Sasmita menghunjam tepat di bola mata bening milik gadis cantik
itu. Dan, Sari Asih tahu betapa sepasang mata pemuda itu memancarkan kasih
sayang yang tulus. Sari Asih merasa hatinya segar bagaikan pohon yang disirami
air bening. Perlahan bibir yang merah basah itu merangkai senyum penuh
kebahagiaan. "Aku suka kepadamu. Sasmita. Aku kagum dan..., rasanya tidak bisa kupungkiri
lagi kalau aku juga mencintaimu..., Kakang...," ucap Sari Asih tanpa malu-malu,
seraya membalas tatapan mata Sasmita dengan pancaran kasih yang tulus.
"Asih..., demi kau, demi kebahagiaan kita, halangan apa pun akan kuhadapi. Aku
tidak peduli siapa, atau dari mana kau berasal. Yang jelas, aku mencintaimu apa
adanya. Bukan keluargamu, dan bukan pula hartamu. Aku menginginkan kau,
Asih...," tanpa keraguan lagi, Sasmita memegang kedua bahu dara cantik yang
selama ini dicintainya secara diam-diam itu. Kemudian mendekapnya dengan lembut.
Dikecupnya bibir merah menantang itu dengan segenap perasaan kasih di hatinya.
Sebentar saja kedua insan muda itu terlelap dalam buaian dewi asmara.
*** "Ha ha ha...!" lelaki gemuk brewok yang dalam dunia persilatan dikenal dengan
julukan Setan Gunung Buntar itu tertawa bergelak menyambut kedatangan Sasmita
dan putrinya yang bergandengan tangan.
Jelas sekali tokoh sesat ini sangat gembira melihat pasangan yang menurutnya
sangat cocok dan serasi itu. Keduanya sama-sama memiliki kesaktian, dan sama-
sama cantik dan tampan.
"Kalian benar-benar pasangan yang serasi! Aku merasa sangat gembira, dan
merestui hubungan kalian.
Untuk itu, kau boleh bawa calon istrimu itu ke Bukit Harimau Putih guna meminta
restu dari orang-tuamu, Sasmita. Pergilah sekarang juga agar pernikahan kalian
bisa dipercepat...," ujar Setan Gunung Buntar sambil menghampiri Sasmita dan
Sari Asih. "Terima kasih, Paman. Aku pun telah mengatakan hal itu kepada Sari Asih. Kami
mohon pamit, dan kami akan kembali selekasnya untuk mengabarkan kepada
Paman...," ujar Sasmita yang rupanya memang hendak menghadap ayah dan ibunya di
Bukit Harimau Putih. Hal itu telah dibicarkan bersama Sari Asih sebelum mereka menemui Setan Gunung Buntar. Meskipun
ada sedikit kekhawatiran mengenai tanggapan ayah dan ibunya, namun Sasmita telah
bertekad untuk mempersunting Sari Asih, dara yang telah membuatnya mabuk
kepayang itu. "Bagus..., bagus.... Pergilah, dan cepat-cepat kembali untuk segera merayakan
pernikahan kalian.
Katakan kepada orangtuamu agar pernikahan dilangsungkan di Bukit Harimau Putih.
Ha ha ha...!" ujar Setan Gunung Buntar lagi yang kembali tergelak penuh
kegembiraan. Lelaki brewok itu sama sekali tidak pernah bermimpi kalau ia akan berbesan
dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Macan Sakti itu. Jelas, pernikahan
putrinya akan membuat geger rimba persilatan.
Setelah berpamitan kepada ayah kekasihnya, berangkatlah Sasmita bersama Sari
Asih ke tempat kediaman orangtuanya. Sebagai orang-orang persilatan yang telah
terbiasa melakukan perantauan, tentu saja mereka tidak merasa terlalu lelah,
meskipun belum lama tiba di kaki Gunung Buntar itu. Sepasang insan yang
berbahagia itu bergerak meninggalkan tempat itu diiringi gelak tawa Setan Gunung
Buntar, yang memang hatinya sangat gembira sekali.
Letak Bukit Harimau Putih dengan Gunung Buntar memang tidak terlalu jauh.
Keduanya masih berada di wilayah Selatan. Untuk mencapai Bukit Harimau Putih


Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari tempat tinggal Sari Asih hanya memerlukan waktu satu hari lebih, bila
ditempuh dengan menunggang kuda. Sedangkan bagi orang-orang persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi seperti Sari Asih dan Sasmita, hanya memerlukan waktu
setengah hari. Hal itu disebabkan, selain mereka menggunakan ilmu lari cepat,
juga mampu melakukan perjalanan tanpa mengurangi kecepatan berlari, saat mendaki
dan menerobos semak belukar.
Setelah menginap di sebuah desa untuk melewatkan malam, pagi-pagi sekali Sasmita
dan Sari Asih meninggalkan penginapan untuk menuju Bukit Harimau Putih. Dan,
saat matahari sudah mulai menyinari permukaan bumi, keduanya telah tiba di depan
sebuah bangunan besar yang di sekelilingnya dipagari kayu bulat.
"Inikah tampat tinggal orangtuamu, Kakang...?" tanya Sari Asih dengan suara
lirih. Sepertinya dara cantik itu merasa tegang untuk berhadapan dengan orangtua
Sasmita yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar itu. Sasmita menyadari
ketegangan hati kekasihnya Pemuda itu menggenggam erat jemari Sari Asih seolah-
olah ingin memberikan ketabahan di hati dara cantik itu. Padahal, Sasmita
sendiri merasakan ketegangan yang sama. Hanya saja ia berusaha menyembunyikannya
agar Sari Asih tidak terpengaruh.
"Tenanglah, Asih. Apa pun akan kita hadapi bersama untuk meraih kebahagiaan
kita...," hibur Sasmita menekan ketegangan di hatinya agar suaranya terdengar
tenang. Kemudian, pemuda itu membawa kekasihnya melewati pintu gerbang yang
hanya dijaga oleh seorang pembantu rumah besar itu. Pendekar Macan Sakti tidak
mempunyai banyak murid, karena memang ia tidak menginginkannya. Meskipun
demikian, para pembantunya telah dibekali ilmu kepandaian yang cukup untuk
menjaga rumah besar itu.
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun yang membukakan pintu gerbang untuk majikan
mudanya itu mengangguk hormat kepada Sasmita dan Sari Asih.
"Rupanya Tuan Muda sudah kembali...," sapa lelaki gagah itu dengan senyum lebar.
"Hm..., apakah ayah dan ibuku ada di dalam, Paman...?" tanya Sasmita setelah
berbasa-basi sesaat Kemudian, Sasmita kembali melangkah sambil tetap menggenggam
tangan Sari Aaih ketika penjaga itu memberitahukan bahwa ayah dan ibunya ada di
taman belakang.
"Ayah.... Ibu...," panggil Sasmita ketika ia telah tiba di taman belakang, dan
melihat sosok ayah dan ibunya tengah duduk menikmati belaian angin yang bersilir
lembut. "Sasmita...!" lelaki gagah dan wanita cantik berusia lima puluh tahun dan tiga
puluh delapan tahun itu tersentak kaget ketika melihat putranya telah berdiri
beberapa langkah di dekat mereka. Karena sudah satu tahun lebih Sasmita
merantau, kerinduan kedua orang tua itu telah menutupi kesadarannya bahwa putra
mereka datang bersama seorang gadis berpakaian biru muda yang cantik dan manis.
Nyi Sekar Galung, ibu Sasmita langsung saja memeluk tubuh putra tunggalnya itu
dengan penuh kerinduan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang kelihatan
masih cantik itu sama sekali tidak memperhatikan kehadiran Sari Asih. Lain
halnya dengan Pendekar Macan Sakti yang berdiri dengan kening berkerut menatap
sosok Sari Asih. Lelaki tinggi gagah itu hanya mengangguk sedikit ketika dara
cantik itu tersenyum dan mengangguk hormat kepadanya.
"Sasmita...," panggil Pendekar Macan Sakti dengan suaranya yang berat dan
berpengaruh. Sehingga ibu dan anak yang saling berpelukan itu menoleh ke arah
asal suara. "Ayah...," Sasmita langsung melangkah mendekati ayahnya.
Namun, langkah pemuda itu tertunda ketika melihat tatapan ayahnya yang tertuju
ke arah Sari Asih.
Segera saja Sasmita membawa dara cantik pilihan hatinya itu kepada orangtuanya.
"Asih, inilah kedua orangtuaku. Ayah, Ibu, gadis ini bernama Sari Asih. Ia
sangat gagah dan berbudi luhur. Aku mencintainya, Ayah, Ibu...," ujar Sasmita
memperkenalkan Sari Asih kepada kedua orangtuanya.
Kemudian ia menanti jawaban dari mulut kedua orangtuanya.
"Hm..., orang-orang muda sekarang terlalu cepat mengambil keputusan. Baru kenal
sebentar, sudah melakukan perjalanan bersama-sama. Apa maksudmu membawa dia
kemari. Sasmita" Apakah kau sudah mengenal keluarganya dengan baik...?" tegur
Pendekar Macan Sakti yang memang bersikap keras dalam mendidik putra tunggalnya
itu. Hati Sasmita menjadi tegang. Pemuda itu melirik ke ibunya, seolah-olah meminta
bantuan. Sasmita kembali berpaling menatap ayahnya setelah melihat anggukan
kepala ibunya. "Kami saling mencinta. Ayah. Dan, kami berniat hendak melanjutkan ke pernikahan.
Orangtua Sari Asih sudah merestui hubungan kami," jawab Sasmita tanpa
menyebutkan nama ataupun julukan orangtua kekasihnya. Jelas pemuda itu kelihatan
ragu-ragu untuk memberitahukan perihal orangtua Sari Asih.
"Hm..., bagus kalau kau telah mengenal orangtuanya. Sebutkan julukannya, mungkin
aku kenal dengan orangtua gadis temanmu itu," ujar Pendekar Macan Sakti dengan
suara keras. "Mmm.... Ia..., putri tunggal Setan Gunung Buntar, Ayah," jawab Sasmita
memberanikan diri seraya menggenggam erat jemari tangan kekasihnya.
"Putri tunggal Setan Gunung Buntar" Apa maksudmu, Sasmita" Kau hendak mencoreng
nama ayah dengan mengambil gadis putri tokoh sesat itu sebagai istrimu" Gila!
Bocah gila!" bentak Pendekar Macan Sakti dengan suara menggelegar. Sehingga,
baik Sasmita maupun Sari Asih tergetar mundur dengan wajah pucat.
"Tapi..., Sari Asih sama sekali tidak mempunyai sifat jahat, Ayah. Bahkan ia
selalu bertindak seperti seorang pendekar wanita yang selalu membela kaum lemah.
Itulah sebabnya aku memilih Sari Asih sebagai teman hidupku kelak. Harap Ayah
dan Ibu dapat lebih bijaksana dalam menilai seseorang. Tidak semua keturunan
seorang tokoh sesat mengikuti jejak orangtuanya. Demikian pula dengan para
pendekar beraliran putih, yang bisa saja memiliki putra ataupun putri berhati
jahat seperti seorang tokoh sesat...," Sasmita membantah ucapan ayahnya, dan
membela Sari Asih yang wajahnya memerah akibat ucapan lelaki gagah itu.
Kalau saja orang tua itu bukan ayah dari kekasihnya, rasanya Sari Asih akan
menerjangnya dan bertarung mati-matian.
"Jangan menasihatiku, Sasmita. Aku dan ibumu lebih tahu bagaimana memilihkan
jodoh yang tepat untukmu! Dan kau, Gadis Muda. Sebaiknya pergilah, cari pemuda
lain yang sebanding denganmu," ujar Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas tidak
merestui anaknya berhubungan dengan seorang putri tokoh sesat.
Kalau hal itu sampai terjadi, ia merasa malu terhadap sahabat-sahabatnya yang
sudah pasti akan mentertawakannya.
"Baiklah, Tuan pendekar besar yang berhati bersih seperti malaikat. Aku memang
keturunan orang jahat yang tidak pantas menjadi pendamping putramu. Sekarang aku
pergi. Dan, jangan salahkan aku kalau sampai jatuh cinta dengan putramu. Sebab,
cinta adalah karunia Tuhan, dan bukan kekuasaan manusia...," ujar Sari Asih
dengan sepasang mata yang mulai basah. "Kakang, aku pergi. Semoga kau
mendapatkan seorang gadis baik-baik yang melebihiku..."
Setelah berkata demikian, Sari Asih langsung berbalik meninggalkan tempat itu.
Entah ke mana tujuannya. Yang pasti, hatinya kini telah hancur akibat ulah
orangtua Sasmita yang menganggap dirinya bersih dan berhati seperti malaikat.
23 "Asih, tunggu...!" seru Sasmita yang melihat gadis itu berbalik dan melesat
pergi. Namun, Sari Asih tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari ke luar.
"Sasmita...!" Pendekar Macan Sakti berseru memanggil putranya. Sehingga pemuda
gagah itu terpaksa menunda gerakannya, dan berbalik menatap kedua orangtuanya.
"Ayah dan Ibu ternyata sangat kejam. Sari Asih tentu merasa sakit hati dengan
ucapan Ayah tadi.
Kasihan dia, Ayah. Ia seorang gadis yang baik dan gagah...," ujar Sasmita dengan
suara parau. Wajah pemuda itu tampak pucat dengan sepasang mata yang meredup
bagaikan kehilangan semangat hidup.
"Sasmita. Kau boleh cari gadis mana pun asalkan bukan dari golongan sesat. Dan,
kalau kau tetap menghendakinya, pergilah! Tapi, kami tidak sudi mengakuimu
sebagai putra kami lagi! Jangan bawa-bawa nama kami dalam setiap tindakanmu!"
tegas Pendekar Macan Sakti seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah masuk
rumah. Nampaknya keputusan lelaki gagah itu sudah tidak bisa dirubah lagi.
"Sasmita...," panggil Nyi Segar Galung seraya menyentuh bahu putranya. "Kau
jangan membikin malu keluarga kita. Banyak gadis-gadis pendekar yang cantik dan
gagah melebihi putri tokoh sesat itu. Lupakanlah gadis itu, ia tidak pantas
untuk menjadi istrimu. Kau lihat saja sifatnya yang liar dan berani melawan
ayahmu...."
Nyi Segar Galung membujuk putranya dengan suara yang lemah lembut. Meskipun
demikian, tetap saja wanita cantik itu merendahkan Sari Asih. Sehingga, Sasmita
semakin bertambah kecewa.
"Ibu, cinta tidak bisa dipaksakan. Dan, aku telah mencintainya. Aku tidak akan
bisa melupakan Sari Asih...," desis Sasmita. Tapi, ia sama sekali tak menolak
ketika wanita cantik itu membimbingnya masuk.
"Kau harus bisa melupakannya, Anakku. Ibu akan mencarikan pengganti yang lebih
baik bagimu. Percayalah...," ujar Nyi Segar Galung membujuk putranya agar melupakan putri
tokoh sesat itu.
"Tidak mungkin, Ibu..., tidak mungkin aku bisa melupakannya...," desah Sasmita
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah sedih.
Hati Sasmita terasa nyeri bila teringat betapa hancur hati Sari Asih ketika
mendengar kata-kata ayahnya yang bernada menghina dan merendahkan tokoh sesat.
Tapi, pemuda itu pun tidak ingin membuat kedua orangtuanya menjadi murka dan
tidak lagi mengakui dirinya sebagai anak. Sasmita benar-benar bingung, dan tidak
tahu apa yang harus diperbuatnya.
*** Sari Asih terus berlari dengan wajah bersimbah air mata. Hati dara cantik itu
itu benar-benar merasa remuk. Kalau saja hinaan-hinaan itu datangnya bukan dari
orangtua Sasmita, mungkin ia akan mengadu nyawa dengan orang itu. Tapi, teringat
betapa orang tua itu adalah ayah kandung kekasihnya, Sari Asih tidak bisa
berbuat apa-apa. Rasa takut yang semula mencemaskan hatinya, benar-benar menjadi
kenyataan. Teringat akan nasib buruknya, tangis Sari Asih semakin menjadi-jadi.
Akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon besar.
"Kakang...," desis dara cantik itu seraya menyembunyikan wajah dengan kedua
telapak tangannya.
Butir-butir air bening mengalir dari celah-celah jemari lentik gadis bernasib
malang itu, "He he he...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh yang membuat Sari Asih mengangkat
kepalanya dan menatap ke sekelilingnya. Kedukaan yang dalam membuat
kewaspadaannya berkurang. Sehingga, tahu-tahu saja ia telah dikepung oleh
delapan orang lelaki berpakaian serba hitam.
"Keparat-keparat Gunung Lawa! Untuk apa kalian mengangguku! Pergilah sebelum
kesabaranku hilang dan membasmi kalian semua!" geram Sari Asih menumpahkan
kekesalan serta kekecewaan hatinya kepada delapan orang laki-laki berseragam
hitam, yang tidak lain adalah tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.
"He he he...! Perempuan liar ini benar-benar sombong sekali, ia harus diberi
pelajaran agar lain kali bisa bersikap lebih sopan terhadap orang tua seperti
aku...," ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berusia sekitar lima puluh
lima tahun. Kepalanya yang gundul tampak berkilat tertimpa cahaya matahari.
Kumis dan jenggotnya yang telah memutih terlihat menghias wajahnya. Menilik dari
ucapan dan sikapnya, lelaki ini adalah pimpinan orang-orang berpakaian serba
hitam itu. "Keparat! Rupanya kalian masih saja merasa penasaran dan menaruh dendam
kepadaku! Baiklah. Hari ini juga kita selesaikan persoalan ini...!" Sari Asih
yang merasa benar-benar marah itu segera menghunus pedangnya. Seketika, seberkas
sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Swing...! Dengan menyilangkan senjatanya di depan dada, Sari Asih siap menghadapi
pertarungan. Sepasang matanya yang masih merah karena terlalu banyak menangis
itu menyorot tajam dan bengis. Terlihat pancaran nafsu membunuh pada sepasang
mata dara cantik itu.
"He he he...! Bagus..., ingin kulihat bagaimana permainanmu, dan siapa
sebenarnya orang yang telah mendidikmu. Marilah kita bermain-main sebentar,
Perempuan Liar...," ujar lelaki botak itu terkekeh penuh ejekan.
Pada saat itu seorang lelaki kurus yang dikenali Sari Asih sebagai orang yang
pernah menebarkan racun kepadanya, tampak mendekat dan berbisik kepada lelaki
botak bersenjata tongkat itu.
"Hm..., jangan khawatir. Aku hanya ingin bermain-main sebentar, tanpa harus
membunuhnya...," ujar lelaki berkepala botak itu dengan lagak sombong. Jelas
lelaki tinggi kurus itu hendak mengingatkan pimpinannya untuk menawan gadis muda
itu hidup-hidup.
"Sambut pedangku...!" Sari Asih berteriak tidak sabar. Langsung dia maju
menerjang sambil memutar pedangnya. Terdengar angin berkesiutan saat pedang di
tangan dara cantik itu berubah menjadi gulungan sinar putih yang melindungi
sekujur tubuhnya.
Trang! Trang! "Uhhh..."!"
Sari Asih mengeluh tertahan ketika lawannya memapaki tusukan pedangnya dengan
tongkat. Benturan keras itu membuat tubuhnya terdorong balik. Tentu saja Sari
Asih menjadi terkejut bukan main ketika merasakan kekuatan tenaga dalam lawan.
"He he he...! Mengapa berhenti, Gadis Cantik..." Apakah kau ingin agar aku yang
menyerangmu kali ini...?" ejek lelaki botak yang ternyata memiliki tenaga dalam
yang amat kuat dan berada di atas kekuatan Sari Asih. Setelah berkata demikian,
lelaki botak itu langsung merangsek maju dengan putaran tongkat kayu hitam di
tangannya. Whuttt! Whuttt..!
Kali ini Sari Asih tidak mau lagi bertindak ceroboh. Dara cantik manis itu
bergerak menghindar seraya membalas dengan sabetan pedangnya yang mengaung
tajam. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru.
Merasakan jurus-jurus lawannya benar-benar hebat, Sari Asih mengerahkan segenap
kemampuannya untuk mengimbangi permainan lawan. Sayang, meskipun dara cantik itu
telah menggunakan seluruh kekuatan serta kelincahannya, terap saja ia dapat
didesak oleh lawannya.
Serangan-serangan tongkat hitam lawan benar-benar sulit untuk ditebak. Bahkan,
beberapa kali nyaris tubuh dara cantik itu menjadi sasaran senjata lawan.
Untunglah Sari Asih masih sempat melindungi tubuhnya dengan putaran pedang,
meskipun setiap kali menangkis ia merasakan lengannya nyeri. Namun, dara cantik
itu tetap gigih dalam melakukan perlawanan.
"Haiiit..!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki botak itu berseru sambil mengayunkan tongkatnya,
dan diputar mengincar tubuh lawan. Terdengar suara mengaung tajam saat senjata
itu meluncur ke arah tubuh Sari Asih.
"Hiahhh...!"
Sari Asih membentak sambil menyabetkan senjatanya dengan menarik mundur kaki
kanannya. Trang...! Untuk kesekian kalinya, tubuh dara cantik itu kembali tergetar mundur ketika
menangkis hantaman tongkat lawan. Bahkan, kali ini ia hampir terpelanting saking
kerasnya daya luncur tongkat hitam lawannya.
"Hm..., pantas saja ilmu kepandaianmu sangat tinggi. Rupanya kau memiliki
hubungan dengan Setan Gunung Buntar. Apakah kau murid tunggal tokoh itu...?"
ujar lelaki botak itu yang rupanya sudah bisa mengenali dasar-dasar serta jurus-
jurus yang digunakan Sari Asih.
Kemampuan lelaki berkepala botak itu melihat jurus lawan, jelas mencerminkan
kalau ia bukanlah seorang tokoh sembarangan. Lagi pula, ia tidak merasa gentar
sedikit pun ketika menyebutkan julukan ayah Sari Asih.
"Aku adalah putrinya! Dan, kalau sampai ayahku tahu tentang perbuatan kalian
ini, rasanya beliau pasti akan datang untuk mencabut nyawa kalian semua...!"
gertak Sari Asih yang kali ini terpaksa menggunakan nama ayahnya. Karena selain
lawannya yang berkepala botak itu berkepandaian tinggi, di tempat itu masih pula
terdapat tujuh orang lainnya yang mungkin saja memiliki kepandaian tinggi,
kecuali lelaki tinggi kurus yang pernah bentrok dengannya. Lelaki kurus itu
hanya berbahaya karena memiliki keahlian dalam menggunakan racun. Sedangkan
kepandaian ilmu silatnya masih berada di bawah Sari Asih.
Pandang mata Sari Asih kembali ke sosok lelaki botak bersenjata tongkat hitam
yang menjadi lawanya.
Kakinya melangkah perlahan ketika melihat lawannya telah kembali bersiap untuk
menerjangnya. "He he he...! Jadi kau adalah putri Setan Gunung Buntar" Bagus. Kalau begitu aku
akan menahanmu agar ayahmu datang sendiri untuk mengambilmu dari tangan
kami...," ujar lelaki tua berkepala botak itu yang rupanya tidak gentar sama
sekali, meskipun Sari Asih telah menyebutkan nama ayahnya. Hal ini membuktikan
kepandaian lelaki botak itu jelas tidak berada di bawah tingkat kepandaian
ayahnya. Menyadari hal itu, Sari Asih memutuskan untuk melawan sampai titik


Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darah penghabisan.
Namun, sebelum pertarungan kembali berlanjut, tiba-tiba terdengar suara teguran
yang mengejutkan semua orang di tempat itu.
"Hm..., sungguh tidak adil kalau seorang gadis muda harus menghadapi keroyokan
banyak lelaki gagah...."
Suara perlahan itu terdengar sangat jelas, bahkan sanggup membuat dada orang-
orang yang berada di tempat itu berdebar. Jelas si pengirim suara itu adalah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur!
"Keparat! Siapa berani main-main dengan Ganjalu si Tongkat Iblis! Tunjukkan
rupamu kalau memang kau seorang jantan...!" lelaki berkepala botak yang mengaku
bernama Ganjalu itu berseru keras sambil mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga
suaranya bergema ke empat penjuru. Jelas, lelaki botak yang berjuluk Tongkat
Iblis itu hendak menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, yang memang sangat tinggi
itu. Sambil berteriak demikian, Ganjalu mengedarkan pandangan matanya ke
sekeliling tempat itu. Karena ia sama sekali tidak bisa menebak dari mana suara
teguran itu berasal.
Suasana pun semakin bertambah tegang ketika dari kegelapan bayang-bayang
pepohonan di sebelah kanan Ganjalu, muncul dua sosok tubuh yang melangkah tenang
mendatangi arena pertarungan itu.
"Hm.... Bagaimana, Tongkat Iblis" Apakah kau sudah puas setelah melihat
rupaku...?" tegur sosok tubuh pertama, yakni seorang pemuda tampan mengenakan
jubah panjang berwarna putih.
Wajah pemuda itu tampak tenang tanpa ada sorot kegentaran. Sehingga, Ganjalu dan
kawan-kawannya segera bergabung. Sedangkan di sebelah kiri pemuda tampan itu
tampak seorang gadis berparas jelita berjalan perlahan. Gadis yang sekujur
tubuhnya terbungkus pakaian berwarna hijau itu benar-benar cantik sekali. Tak
ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit. Ganjalu dan ketujuh orang
kawannya terpesona dengan kecantikan gadis berpakaian serba hijau itu.
"Kau..., siapakah, Anak Muda" Rasanya, kami orang-orang dari Perguruan Gunung
Lawa tidak mempunyai urusan denganmu...?" tanya Ganjalu seraya meneliti wajah
dan pakaian pemuda tampan itu. Ia tampak merasa tegang. Pertanyaannya pun
bernada ingin meminta kepastian tentang siapa sesungguhnya pemuda itu.
"Hm..., apalah arti sebuah nama, Ki Ganjalu" Di antara kita memang tidak ada
permasalahan secara langsung, tapi secara tidak langsung kau telah memulai
masalah itu. Sebab, aku paling tidak suka dengan ketidakadilan...," jawab pemuda
tampan itu tegas dan menimbulkan perbawa kuat. Bahkan sorot matanya tampak
mencorong tajam laksana mata seekor naga di kegelapan!
"Anak muda! Jawablah dengan jujur. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" tanya Ki Ganjalu lagi yang kali ini langsung menebak jaridiri pemuda
itu Sebab, tidak banyak pemuda tampan yang ciri-cirinya seperti Pendekar Naga
Putih. Dan, sebagai orang persilatan, ia pun telah lama mendengar nama pendekar
besar itu. Itulah sebabnya mengapa Ki Ganjalu segera menduga kalau pemuda yang
berani menegurnya itu sebagai Pendekar Naga Putih.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Kakinya tampak masih melangkah mendekati ke
arah delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu.
"Baiklah, Ki Ganjalu. Kalau kau memang merasa penasaran, akan kujawab
pertaanyaanmu. Apa yang kau duga, betul sekali. Aku memang Pendekar Naga Putih.
Nah, kuharap kau mau meninggalkan tempat ini, dan persoalan habis sampai di
sini...," ujar pemuda berjubah putih yang tidak lain adaiah Panji. Langkahnya
terhenti dalam jarak setengah tombak dari Ki Ganjalu dan kawan-kawannya. Mereka
tampak berang mendengar ucapan pemuda tampan itu.
"Hm..., Pendekar Naga Putih! Rupanya kau hendak menggertak kami dengan kebesaran
namamu! Tapi, jangan harap kami akan gentar! Orang-orang Perguruan Gunung Lawa
pantang menyerah!" ujar Ki Ganjalu geram sambil memutar tongkat hitamnya, siap
untuk bertarung.
Panji hanya tersenyum melihat Ki Ganjalu yang siap untuk bertempur. Bahkan
ketika tujuh orang tokoh Perguruan Gunung Lawa yang lainnya mulai bergerak
menyebar, pemuda itu pun belum membuat gerakan.
"Biar aku yang memberi pelajaran kepada mereka, Kakang...," pinta dara jeiita
berpakaian hijau yang tak lain adalah Kenanga, kekasih Panji. Sambil berkata
demikian, kaki dara jelita itu melangkah maju, siap menghadapi delapan orang
tokoh Perguruan Gunung Lawa yang hendak mengeroyok kekasihnya.
"Tahan, Kenanga. Biar aku saja yang menghadapi mereka...," cegah Panji yang
mengetahui kalau kedelapan lelaki berseragam hitam itu rata-rata memiliki
kepandaian tinggi.
Pendekar Naga Putih bukan tidak percaya dengan kemampuan kekasihnya. Tapi, ia
khawatir kalau-kalau Kenanga akan menurunkan jurus maut dalam menghadapi
keroyokan. Hal itulah yang membuat Panji mencegah keinginan kekasihnya. Sebab,
untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa itu, sulit sekali
untuk tidak menurunkan jurus maut. Kekhawatiran akan nasib orang-orang Perguruan
Gunung Lawa itulah yang membuat Panji tidak mengabulkan permintaan Kenanga. Dan,
dara itu itu pun tahu jalan pikiran kekasihnya.
Kenanga sama sekali tidak membantah. Pedang Sinar Bulan yang semula hampir
terlolos dari pinggangnya, kembali dilibatkan. Dara jelita itu pun melangkah
mundur membiarkan kekasihnya menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung
Lawa. Sari Asih terlihat berdiri di tepi arena. Gadis berparas cantik manis itu sempat
terkejut ketika mengetahui pemuda yang menolongnya ternyata seorang pendekar
besar yang sangat terkenal dan ditakuti.
Nama Panji bukan hal yang asing di telinga Sari Asih. Ayahnya sendiri setingkah
mengungkapkan kekaguman dan kegentarannya terhadap pemuda berjuluk Pendekar Naga
Putih itu. Diam-diam dara cantik itu merasa beruntung dapat berjumpa dengan
pendekar besar yang sangat terkenal itu. Sebab, ayahnya sendiri belum pernah
berjumpa dengan tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu.
Sepasang mata bening Sari Asih bergerak mengikuti langkah kaki pemuda tampan
berjubah putih itu, yang telah bersiap untuk menghadapi pertarungan. Pancaran
kekaguman semakin terlihat jelas dari sorot matanya, ia melihat pemuda itu
sangat gagah dan kokoh kuda-kudanya. Sari Asih pun rasanya tak keberatan dengan
julukan yang diberikan kepada pemuda itu. Sebab, sosok pemuda tampan berjubah
putih itu persis laksana seekor naga yang gagah perkasa!
"Mungkinkah ia akan mempergunakan ilmu-ilmu mukjizatnya yang terkenal itu untuk
menghadapi lawan-lawannya" Hm..., ingin kulihat dengan mata kepala sendiri ilmu
pendekar muda itu yang kabarnya sangat jarang menemui tandingan...," gumam Sari
Asih yang rupanya telah mendengar tentang ilmu-ilmu mukjizat yang dimiliki
Pendekar Naga Putih. Hatinya berdebar agak tegang ketika membayangkan ilmu-ilmu
langka yang kemungkinan akan disaksikannya.
Sementara saat itu Panji sudah bersiap menghadapi keroyokan delapan orang tokoh
Perguruan Gunung Lawa. Menyadari lawan-lawannya cukup berbahaya, Panji
mempersiapkan kuda-kuda yang kokoh dan terlihat sangat kuat Pemuda itu menanti
lawan memulai serangan
*** "Heaaat..!"
Ganjalu berteriak nyaring membuka serangan. Tubuhnya yang gemuk itu melesat
seperti terbang dengan disertai putaran tongkatnya, yang menimbulkan deruan
angin tajam. Panji sendiri sama sekali belum bergerak. Pemuda itu menanti hingga
serangan lawan tiba.
Bettt...! Dengan sikap tenang, Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ke kanan
menghindari sambaran tongkat lawan. Kemudian memutar langkahnya setengah
lingkaran ketika dari sebelah kanannya datang sambaran pedang yang berdesing
tajam. "Hait...!"
Plak! Plak! Dua buah sambaran pedang itu langsung dipapaki dengan telapak tangan. Akibatnya
kedua orang pengeroyok itu terpelanting karena kuatnya tangkisan Pendekar Naga
Putih. Panji sendiri tidak mau berusaha untuk mengejar. Sebab, pada saat itu
para pengeroyok yang lainnya sudah menerjang dengan serangan-serangan maut.
Bahkan, Panji mencium adanya racun-racun ganas yang mengiringi serangan-serangan
para pengeroyoknya.
"Hm..., manusia-manusia keji...," desis Panji
Pendekar Naga Putih geram setelah mengetahui lawan-lawannya menggunakan racun-
racun ganas dalam menyerang. Hal itu memang tidak terlalu mengejutkan, karena
Panji telah lama mendengar bahwa Perguruan Gunung Lawa banyak mempunyai ahli-
ahli racun. Itulah sebabnya perguruan itu dianggap sebagai kaum golongan sesat.
Karena kaum golongan putih sendiri sangat menentang penggunaan racun dalam
pertempuran. Setelah mengetahui keganasan racun-racun yang dipergunakan lawannya, Panji mulai
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang segera saja menyelimuti sekujur tubuhnya.
Sehingga, racun-racun yang digunakan lawan tidak bisa menembus benteng
pertahanan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang mengelilingi tubuh
Pendekar Naga Putih.
Sadar bahwa para pengeroyoknya adalah orang-orang yang berbahaya dan berhati
kejam, Panji segera mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Hawa dingin mulai
berhembus menghantam balik hawa beracun yang memenuhi arena pertempuran. Bahkan,
Panji kini mulai melakukan tekanan-tekanan berat kepada lawan-lawannya.
"Hait..!"
Si Tongkat Iblis dan kawan-kawannya benar-benar terkejut ketika melihat tubuh
Pendekar Naga Putih berkelebat laksana bayangan hantu! Jangankan untuk melukai
tubuhnya, menyentuh jubah pemuda itu pun tak mampu mereka lakukan. Setiap kali
senjata mereka berkelebat, selalu saja menghantam angin kosong. Sebab, tubuh
pemuda itu telah berkelebat lenyap di antara sambaran-sambaran senjata lawan.
"Uhhh..."!"
Dua orang pengeroyok yang rupanya memiliki tenaga dalam paling rendah, mulai
mengeluh kedinginan. Serbuan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka membuat
gerakan menjadi kaku, dan tidak lagi segesit semula. Sehingga, kedua orang itu
tak mampu lagi untuk menghindari tamparan telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Plak! Bukkk! "Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terlempar ke belakang, dan
jatuh dengan tubuh menggigil laksana orang terserang demam. Sebentar saja kedua
orang itu telah menggeletak pingsan. Mereka tak sanggup mengusir hawa dingin
yang menyiksanya.
"Bangsat..!"
Tongkat Iblis yang menjadi pimpinan kawan-kawannya itu menjadi geram bukan main.
Meskipun demikian, ia tidak mampu berbuat banyak. Jangankan untuk menekan lawan,
untuk melindungi dirinya sendiri saja ia sudah kewalahan. Tokoh berkepala gundul
itu hanya bisa menggertakkan gigi, ketika melihat dua orang kawannya kembali
terlempar keluar dari arena pertarungan. Kini ia hanya tinggal berempat dengan
tiga orang kawannya yang masih dapat bertahan dari tekanan Pendekar Naga Putih.
"Yeaaa...!"
Kemarahan dan rasa penasaran memenuhi dadanya, membuat Ki Ganjalu menjadi nekat.
Tongkat hitam di tangannya diputar sedemikian rupa dengan pengerahan seluruh
tenaga dalamnya. Seketika terdengarlah suara mengaung tajam, yang timbul dari
bulatan sinar hitam akibat putaran tongkat Ki Ganjalu.
Panji menggeser ke kanan dengan lompatan pendek ketika tongkat hitam lawan
mengancam tubuhnya.
Kemudian la langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah iga lawannya.
Gerakan yang cepat laksana sambaran kilat itu, tak sempat lagi dielakkan Ki
Ganjalu. Sehingga....
Desss...! "Huakhhh...!"
Darah segar langsung menyembur dari mulut Ki Ganjalu. Tubuh gemuk itu sendiri
terlempar sejauh satu setengah tombak. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh tua
berkepala botak itu pun tidak mengetahui lagi keadaan sekelilingnya. Ki Ganjalu
pingsan dengan luka dalam yang cukup parah.
Melihat pimpinannya telah menggeletak pingsan, tiga orang tokoh lainnya
berloncatan mundur dengan wajah pucat. Panji tidak berusaha mengejar. Pemuda
tampan itu hanya berdiri tegak menatapi ketiga orang lawannya yang sepertinya
sudah kehilangan keberanian untuk melanjutkan pertarungan.
Untuk beberapa saat lamanya suasana menjadi hening. Ketiga tokoh Perguruan
Gunung Lawa itu mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari jalan untuk lolos.
Panji yang dapat menebak gelagat itu, melangkah maju beberapa tindak. Sehingga
membuat ketiga lawannya surut ke belakang. Jelas mereka merasa gentar dengan
Pendekar Naga Putih.
28 "Kisanak...," ujar Panji seraya menatap wajah ketiga orang lawannya. "Aku sama
sekali tidak mempunyai permusuhan dengan orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa.
Untuk itu, kalian bawalah kawan-kawan kalian yang tertuka, dan segera tinggalkan
tempat ini. Sampaikan kepada Ketua Perguruan Gunung Lawa agar tidak
memperpanjang urusan ini"
Ketiga orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu kelihatan sangat terkejut. Mereka
sama sekali tidak menyangka kalau Panji akan melepaskan mereka begitu saja.
Sejenak ketiganya saling bertukar pandang, sepertinya belum yakin akan ucapan
yang barusan mereka dengar dari mulut pemuda tampan itu.
"Hm..., apa lagi yang kalian tunggu" Kakang Panji sudah bermurah hati kepada
kalian, mengapa tidak segera meninggalkan tempat ini...?" ucap Kenanga, yang
sudah melangkah maju dan berdiri di samping kekasihnya. Sepasang mata dara
jelita itu tampak berkilat, menyiratkan ancaman. Sehingga, ketiga orang tokoh
Perguruan Gunung Lawa itu kembali menatap Pendekar Naga Putih, seolah-olah
mereka hendak meminta kepastian.
"Pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang terluka...," ucap Panji melenyapkan keraguan
di hati ketiga orang itu.
Dan tanpa banyak cakap, ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa bergegas meninggalkan
tempat itu dengan membawa kawan-kawan mereka yang tertuka.
"Husy..., husy...!"
Sari Asih yang sejak tadi memendam kejengkelannya kepada orang-orang dari
Perguruan Gunung Lawa, mengejek dengan mengusir ketiga orang itu seperti
mengusir ayam. Sehingga, ketiga orang itu semakin mempercepat larinya. Gadis
cantik itu tertawa geli penuh kepuasan. Pandangannya baru beralih kepada Panji,
setelah bayangan orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu lenyap dari pandangannya.
"Pendekar Naga Putih, aku Sari Asih mengucapkan banyak terima kasih atas
pertolonganmu. Aku telah lama mendengar nama besarmu. Senang sekali aku dapat
berjumpa dengan seorang pendekar besar yang telah menggegerkan rimba persilatan.
Aku benar-benar kagum dan hormat kepadamu...," ucap Sari Asih seraya membungkuk
hormat. Kemudian, kembali kepalanya diangkat dan matanya meneliti wajah pemuda
tampan yang telah menolongnya itu.
"Nisanak jangan terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan barusan, juga dilakukan
tokoh-tokoh persilatan golongan putih lainnya yang berjiwa pendekar. Jadi, kau
tidak perlu merasa telah berhutang budi kepadaku...," ujar Panji seraya
tersenyum. Pendekar Naga Putih juga merasa kagum dengan gadis muda yang gagah
dan berani itu.
"Benar apa yang dikatakan Kakang Panji, Sari Asih," timpal Kenanga yang rupanya
tertarik dengan dara cantik manis itu. "Kalau aku boleh tahu, mengapa kau sampai
bentrok dengan mereka?"
"Ah, hanya kesalahpahaman saja. Senang sekali dapat berjumpa dan berkenalan
dengan kalian. Sayang aku harus segera pergi...," pamit Sari Asih yang
sepertinya tidak ingin melibatkan orang lain dalam persoalannya. Karena,
menurutnya memang tidak perlu. Sebab, ia sendiri sama sekali tidak merasakan
bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah berkata demikian,
Sari Asih membalikkan tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat itu.
Panji dan Kenanga hanya bisa menatap kepergian dara cantik itu dengan helaan
napas perlahan.
Keduanya memaklumi mengapa dara cantik itu tidak mengungkapkan masalahnya.
Mereka tahu masalah yang dihadapi gadis itu merupakan persoalan ptibadi. Hanya
saja mereka harus lebih berhati-hati. Sebab, bukan tidak mungkin orang-orang
Perguruan Gunung Lawa masih merasa penasaran dan mendendam atas kejadian tadi.
Setelah bayangan Sari Asih lenyap dari pandangan, pasangan pendekar muda itu
segera bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.
*** Dua sosok bayangan itu bergerak cepat melintasi padang rumput yang cukup luas.
Menilik dari cara mereka berlari, jelas kedua sosok bayangan itu merupakan
orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi.
Bahkan kaki-kaki mereka seperti udak pernah menyentuh permukaan tanah. Tentu
sosok itu memiliki ilmu lari cepat yang sukar diukur.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun mulai menyeberangi sungai kecil yang
melintang memotong jalan menuju kaki Gunung Buntar. Jelas, tujuan mereka adalah
Gunung Buntar, yang menjulang tinggi ke angkasa itu.
Setelah menyeberangi sungai, kedua sosok bayangan itu terus bergerak menuju ke


Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelah Barat kaki Gunung Buntar. Langkah keduanya agak diperlambat, ketika di
sebelah depan mereka samar-samar terlihat sebuah pondok sederhana dikelilingi
pepohonan rindang.
"Setan Gunung Buntar! Tunjukkan rupamu, aku ingin berjumpa denganmu...!" sosok
pertama yang ternyata adalah seorang lelaki gagah berusia separuh baya itu,
berteriak mengguntur. Menilik dari raut wajahnya yang gelap, mudah diketahui
kalau lelaki gagah itu tengah memendam kemarahan.
Sedangkan sosok kedua adalah seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh
delapan tahun. Wajah cantik itu pun tampak tidak sedap untuk dipandang. Kulit
wajahnya yang kemerahan, pertanda bahwa wanita cantik itu tengah memendam rasa
penasaran dan kemarahan yang siap meledak.
"Ah, rupanya Pendekar Macan Sakti dan istrinya yang datang berkunjung.
Silakan..., silakan...,"
seorang lelaki yang juga berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk dan berwajah
brewok muncul dengan wajah cerah menyambut kedatangan kedua tamu itu. Namun,
wajah cerah itu terlihat berubah ketika menyaksikan sikap serta raut wajah kedua
tamunya itu tampak berang.
"Hm..., kau jangan berpura-pura bodoh, Setan Gunung Buntar! Aku datang untuk
menjemput putraku, yang telah kau guna-gunai agar tertarik dengan putrimu yang
liar dan jahat itu! Kembalikan putraku, dan jangan coba-coba main gila
denganku...!" geram lelaki gagah yang ternyata adalah Pendekar Macan Sakti
dengan sepasang mata tajam. Jelas kedatangan kedua tokoh sakti itu bukanlah
berniat baik. "Apa maksudmu, Pendekar Macan Sakti" Kau jangan sembarangan menuduhku! Aku sama
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 7 Pedang Keadilan Karya Tjan I D Memburu Iblis 11
^