Pencarian

Hantu Lereng Lawu 2

Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu Bagian 2


Pendekar Pedang Matahari 2 Misteri Batu Mustika
tinggi. Tanpa memiliki tenaga dalam yang sempurna,
mustahil! ia bisa memutar rantai berkapak sebesar itu.
Maka Sekar Arum mulai mempergencar seran-
gan balasan. Tombak pendek bermata dua di tangan-
nya berkali kali mengancam dada dan leher lawan.
Akan tetapi, Kebo Dungkul selalu berhasil melindungi sekujur tubuhnya dengan
putaran rantainya. Sesekali
saja mata kapak itu balas menyerang.
Melihat pertahanan lawan yang begitu ketat,
Sekar Arum merasa perlu mengeluarkan jurus pa-
mungkasnya. Inilah Jurus Mengail Mangsa Keluar Sa-
rang! Sekar Arum mundur beberapa langkah, kemu-
dian merendahkan kedua lututnya dan menunggu se-
rangan lawan. Ketika Kebo Dungkul terpancing untuk
menyerang, ketika itulah Sekar Arum melenting ke
udara dan turun dengan tikaman tombak ke arah leher
belakang lawan.
'Trang!" Sekar Arum terkejut bukan kepalang sebab ada
senjata lain yang membentur mata tombak pendeknya.
Sewaktu ia sudah kembali berdiri di atas kuda-
kudanya, ia melihat seseorang telah berdiri di depan Kebo Dungkul.
"Ha-ha-ha! Gadis kecil bernyali besar Bagus!"
kata Hantu Lereng Lawu seraya menyarungkan pedang
ke sarungnya. Untuk sejenak Sekar Arum memeras otak. Ia
memang pernah mendengar cerita tentang lelaki yang
berpakaian serba hitam, berdahi lebar, dan berambut
kemerah merahan ini.
'Tentu kau yang bernama Hantu Lereng Lawu!"
ujar gadis itu setelah ingat siapa lelaki yang tengah dihadapinya ini.
"Ha-ha-ha, benar dugaanmu, Anak Manis. Aku-
lah Hantu Lereng Lawu yang tentunya pernah disebut-
sebut oleh gurumu!"
' Jangan pongah! Guruku takkan sudi mengin-
gat-ingat namamu yang hanya bisa menakut-nakuti
orang yang tidak ber-Tuhan itu!" sahut Sekar Arum seraya mencibir.
"Waii, tambah cantik kalau kau mencibir begi-
tu, Anak Betari. Ha-ha ha!"
''Sepuasmulah kau tertawa sebelum kau kuki-
rim ke liang kubur dan kau tidak akan bisa lagi mem-
buka mulut!"
"Ya, ya, ya, aku memang paling suka menda-
patkan gadis cantik yang galak dan sombong seperti-
mu. Eh, siapa namamu?"
"Tak perlu aku menyebutkan namaku! Kalau
memang kalian hendak mengeroyokku, keroyoklah!
Dan, aku yakin kalian memang hanya berani main ke-
royok!" Hantu Lereng Lawu memandang Kebo Dungkul,
kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak. Bahkan
tiga anak buahnya yang tadi terlongong-longong meli-
hat kehebatan Sekar Arum, kini ikut tertawa.
' Sebelum kami mengeroyokmu, aku lebih dulu
ingin mengujimu, pantas tidak kami ini mengeroyok-
mu. Majulah, Gadis Bengal!" tantang Hantu Lereng
Lawu seraya mencabut kembali pedang di pinggang-
nya, 'Pantang bagiku untuk menyerang lebih dulu!
Majulah kalau memang kau ingin mati mendahului
anak buahmu!"
' Mulutmu memang lebih cocok dicium pedang!"
ujar Hantu Lereng Lawu sambil mengayunkan pe-
dangnya. Sekar Arum tidak gegabah membenturkan
tombak pendeknya untuk menangkis serangan lawan.
la yakin, ilmu silat Hantu Lereng Lawu berada setingkat di atas Kebo Dungkul.
Sudah barang tentu tenaga
yang dialirkan ke pedang itu lebih dahsyat dibandingkan tenaga Kebo Dungkul.
Maka gadis itu menarik kaki kanannya ke bela-
kang sambil merundukkan kepalanya. Pedang lebar
bermata dua itu berdesing sejengkal di atas kepala gadis itu. Kesempatan ini
dipergunakan oleh gadis itu
untuk membalas serangan. Namun, di luar dugaan ge-
rak pedang itu berbalik dan kini mengancam lutut ga-
dis itu. Terpaksa Sekar Arum membatalkan serangan
balasannya. Ia harus melenting ke udara agar lututnya tidak terbabat.
"Ilmu silatmu memang lumayan bagus, Anak
Manis. Tetapi, aku ingin tahu apakah nafasmu sebaik
ilmu silatmu!" Berkata begini Hantu Lereng Lawu me-
mutar pedangnya hingga tak terlihat lagi bentuk pe-
dang itu. Sekar Arum hanya melihat sinar kebiru-
biruan yang membentuk payung di atas kepala lawan.
Inilah Jurus Pedang Penangkal Hujan, pikir ga-
dis itu selintas. Untuk selanjutnya, ia harus secepat-
nya berloncatan ke kanan-kiri lawan agar tubuhnya tidak terpotong-potong.
Melihat gadis itu tak punya peluang untuk
mengirimkan balasan, Hantu Lereng Lawu semakin
bersemangat memburunya, ia memang belum ingin
melukai gadis itu. Ia hanya ingin menguji sejauh mana murid Ki Sempani itu
menguasai jurus-jurus pernapasan. Dari penjelasan gurunya, Hantu Lereng Lawu ta-
hu persis kelemahan ilmu silat dari Bukit Karang Bo-
long ini. Mereka hanya mengandalkan kecepatan me-
nyerang dan kelincahan menghindari tanpa memperhi-
tungkan kesempurnaan pernapasan. Apalagi gadis ini
masih begitu belia, dan pasti belum berpengalaman
bertempur sampai puluhan jurus. Terbukti, sewaktu
melawan Kebo Dungkul tadi, gadis itu buru-buru men-
geluarkan jurus pamungkasnya.
"Akh!" jerit Sekar Arum sambat memegangi ce-
lana pangsinya yang robek di bagian paha. Kulit pa-
hanya yang putih mengintip membuat Hantu Lereng
Lawu dan anak buahnya bersamaan menelan ludah.
"Itu peringatan kecil buatmu, Gadis Bengal! '
ujar Hantu Lereng Lawu seraya tertawa terbahak-
bahak. 'Iblis Mata Bakul! Kalau memang kau mengaku
lelaki, bertempurlah secara jantan!" pekik Sekar Arum.
''Nafasmu tinggal satu-satu, bagaimana mung-
kin aku tega melawanmu, Manis" Tanganmu pun ha-
rus memegangi sebelah pahamu. Apa tidak sebaiknya
kau lepaskan saja celanamu?"
''Iblis cabul!" sergah Sekar Arum sambil menje-
jak tanah lalu tubuhnya terbang ke atas kepala lawan.
Namun, sewaktu tombak pendek di tangannya hendak
menghujam ubun-ubun lawan, kembali pedang di tan-
gan Hantu Lereng Lawu memayungi kepala itu.
"Tring!"
Sedikit sekali ujung tombak pendek itu beradu
dengan pedang Hantu Lereng Lawu, tetapi getaran
yang menjalari tangan gadis itu mampu membuat ba-
hu gadis itu seakan somplak.
Sekar Arum berdiri di atas kuda-kudanya sam-
bil menahan rasa nyeri hebat di bahunya. Kalau saja ia tidak harus memegangi
celana pangsinya yang robek,
pastilah tangannya secara refleks akan memijat-mijat bahu itu.
' Sekarang, bisa kau teruskan pekerjaanmu,
Kebo Dungkul!" kata Hantu Lereng Lawu sebelum me-
ninggalkan tempat itu sambil tertawa puas.
Kebo Dungkul mengusap kumisnya dengan
punggung tangannya. Ia tahu, gadis itu sekarang tak
akan segarang tadi. Bahu kanannya tidak akan bisa
lagi mendukung permainan tombak pendek di telapak
tangan gadis itu. Kalau saja gadis itu tidak memiliki tenaga dalam yang lumayan,
tentu sudah copot engsel
tulang bahunya. Kebo Dungkul sendiri pernah mera-
sakan hebatnya Jurus Pedang Penangkal Hujan. Kare-
na jurus itu pula maka ia terpaksa bertekuk lutut di depan Hantu Lereng Lawu.
Hampir sebulan lebih Kebo
Dungkul harus menggendong tangannya akibat rantai
berkapak yang dipegangnya membentur pedang yang
diputar Hantu Lereng Lawu.
Sekar Arum mundur beberapa tindak. Ia men-
coba memainkan tombak pendeknya dengan tangan
kiri sementara tangan kanannya yang nyeri dipergu-
nakan untuk memegangi celana pangsinya yang robek.
Diam-diam ia mengutuk Hantu Lereng Lawu yang tadi
telah menyelamatkan Kebo Dungkul dari tikaman
tombak di leher belakangnya.
"Hei, kenapa kalian diam saja" Ringkus gadis
bengal ini!" perintah Kebo Dungkul kepada tiga orang anak buahnya.
Mereka bertiga bergerak mengurung Sekar
Arum. Meski hanya dengan tangan kiri, gadis itu ter-
nyata masih mampu membuat mereka bertiga kucar-
kacir. Ketiganya terlempar begitu golok di tangan mereka membentur tombak pendek
di tangan gadis itu.
"Huh! Kalian memang hanya pantas mencuri
kayu di hutan!" dengus Kebo Dungkul. Lalu katanya
kepada Sekar Arum, "Sekali lagi aku beri kau waktu
untuk berpikir, Cah Ayu. Kau pilih mati terbelah kapakku, atau kau pilih
menuruti kemauanku...."
' Jangan berangan-angan, Kebo Dungu!" sergah
gadis itu. ''Selama napas ku masih ada, tak akan aku mengaku kalah! Majulah,
biar kurobek perutmu yang
buncit itu!"
"Wah, betul-betul bosan hidup rupanya! Tapi,
terlalu enak buatmu jika kau mati tanpa memberi ku
kenikmatan lebih dulu. Nah, bersiaplah! Keluarkan il-mu yang kau warisi dari
gurumu!" Kebo Dungkul men-
gembangkan tangannya dan menubruk gadis itu.
Sekar Arum memagari dirinya dengan putaran
tombak pendeknya. Akan tetapi, di luar dugaannya ji-
ka ternyata Kebo Dungkul menarik kembali dua tan-
gannya dan sebagai gantinya kaki kanannya mener-
jang betis indah gadis itu. Gerakan itu begitu cepat dan di luar dugaan Sekar
Arum. Tak pelak lagi betis
gadis itu terdorong dan gadis itu bergulingan di tanah.
Sewaktu ia hendak melenting bangun, tiba-tiba mata
kapak yang tadi menggantung di leher lawan sekarang
telah menempel di lehernya.
"Ha-ha-ha! Pengalamanmu baru secuil, tetapi
kesombonganmu segerobak, Gadis Bengal!"
Sekar Arum hendak menikamkan tombak pen-
deknya ke leher Kebo Dungkul yang hanya beberapa
jengkal jaraknya dari wajahnya, tetapi secepat kilat ti-ga buah golok menahan
tangan kiri gadis itu.
' Sekali lagi kau mencoba melawan, kapak ini
akan memenggal lehermu, Cah Manis," kata Kebo
Dungkul seraya menekankan mata kapaknya lebih
kuat lagi. "Lebih baik leherku terpenggal daripada terja-
mah tanganmu yang menjijikkan!" sahut Sekar Arum
sebelum menggerakkan tumitnya ke lutut Kebo Dung-
kul. "Ha-ha-ha! Sudah kubilang, terlalu enak buat-
mu mati sebelum kami berempat bisa menikmati tu-
buhmu yang mulus ini!" Dengan mudah Kebo Dungkul
menguasai kaki kanan gadis itu. Kini tangan kirinya
bersiap-siap merobek krah baju gadis itu.
' Bunuhlah aku jika kau merasa...."
"Ha-ha-ha! Hi-hi-hik! Ho-ho-hok!" Mereka be-
rempat tertawa bersamaan.
"Nah, mari kita lihat apakah dada gadis ini se-
keras hatinya!" Kebo Dungkul mencengkeram krah ba-
ju gadis itu. Akan tetapi, sebelum tangan itu menarik robek krah baju itu, tiba-
tiba ada benda cair melabrak matanya yang melek. Bau amis menyelinap ke lubang
hidung, pandangan Kebo Dungkul gelap gulita. Satu-
satunya mata yang berfungsi telah tertutup kuning telur yang lengket.
Ketiga anak buah Kebo Dungkul menoleh ke
arah datangnya telur ayam itu. Sementara itu Kebo
Dungkul menyumpah-nyumpah sambil membersihkan
lumuran kuning telur di matanya.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sekar
Arum. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menjejakkan
kakinya dan berjumpalitan ke belakang.
' Bangsat tengik! Kalau memang pendekar seja-
ti, hadapi Kebo Dungkul! Jangan hanya main lempar
dari persembunyian!" tantang Kebo Dungkul meski
matanya belum jelas memandang sekeliling.
Tiga orang anak buah Kebo Dungkul yang tadi
menyerbu ke dalam kedai, satu per satu terlempar ke-
luar sambil memegangi leher. Tak lama kemudian me-
reka berkelojotan dan terkulai lemas.
''Tunggu, Kisanak!" desis Sekar Arum seraya
memburu bayangan putih yang melesat ke arah bela-
kang kedai. * * * 5 Kebo Dungkul tak bisa menebak siapa manusia
yang telah membunuh ketiga anak buahnya itu. Se-
waktu ia berhasil menjernihkan pandang matanya, di
tempat itu tak ada lagi seorang pun yang bisa ditanyai.
Ia hanya bisa menatap ketiga mayat yang lehernya
hampir putus. Akan tetapi, ia bisa memastikan bahwa pembu-
nuh ketiga anak buahnya itu orang yang berilmu ting-
gi. Dalam sekejap pembunuh itu bisa menguasai golok-
golok lawan dan menggorokkan ke leher-leher lawan-
nya. Dan, dengan ilmu setannya pembunuh itu mam-
pu melemparkan kuning telur mentah tanpa menyer-
takan putih telurnya. Tentulah bukan dengan tangan,
melainkan dengan mulut!
Sementara Kebo Dungkul memutar otaknya
mencari-cari jawaban, Sekar Arum pun belum berhasil
menemukan orang yang telah menolongnya. Selain ia
ingin mengucapkan terima kasih, ia juga ingin berke-
nalan dengan pendekar berilmu tinggi itu. Meskipun
ketiga anak buah Kebo Dungkul bukan lawan yang be-
rarti, tak akan dalam sekejap terbunuh jika tidak oleh seseorang yang berilmu
tinggi. Lagi pula, baru kali ini Sekar Arum gagal mengejar bayangan yang sempat


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak di mata. Di Pantai Selatan, ia sudah terbiasa berkejaran dengan burung
walet. Dan, tadi pun ia
mengerahkan Jurus Walet Menyambar Mangsa sewak-tu mengejar bayangan serba putih itu. Toh dia tidak
berhasil menyusul!
' Dalam dunia persilatan, hanya ada satu orang
yang ilmu meringankan tubuhnya tak tertandingi!"
Mengiang kembali kata-kata Ki Sempani di telinga ga-
dis itu. 'Pendekar Perisai Naga! Ya, tak salah lagi!" desis Sekar Arum
menyimpulkan. Tetapi, bukankah dia sudah terbunuh oleh
Empu Wadas Gempal dan Hantu Lereng Lawu tiga pu-
luh tahun yang lalu" Gadis itu kembali diliputi keraguan. Atau, mungkinkah dia
tadi murid pendekar sakti itu" Ah, menurut cerita Guru, Pendekar Perisai Naga
tak pernah mau mengangkat siapa pun menjadi mu-
ridnya. Sampai kemudian ia tewas oleh kelicikan Em-
pu Wadas Gempal. Lalu, siapa pendekar budiman yang
telah menolongku tadi"
Dan, gadis itu semakin sangsi sebab ia tadi tak
mendengar suara lecutan cambuk seperti yang pernah
diceritakan Ki Sempani.
Gadis itu melangkah sambil terus memikirkan
pendekar berpakaian serba putih yang hanya selinta-
san dilihatnya tadi. Bukan hanya pakaiannya yang
berwarna putih, melainkan rambutnya pun berwarna
putih. Artinya, pendekar tadi memang sudah lanjut
usia. Setidaknya seusia dengan Ki Sempani.
Sekar Arum memang bocah kemarin sore yang
belum berpengalaman di dunia persilatan. Lima belas
tahun yang lalu, ia bahkan belum ada di bumi ini. Ia masih dalam kandungan
ibunya. Umur sebelas tahun,
mulailah ia mengenal jurus-jurus silat sebab kedua
orang tuanya menyerahkannya kepada Ki Sempani.
Karena kecerdikannya, dalam waktu empat tahun ga-
dis kecil itu telah menguasai sebagian besar ilmu silat yang diturunkan oleh Ki
Sempani. Namun demikian, Ki
Sempani tetap menyadari bahwa muridnya ini belum
layak bertanding dengan orang-orang sesat macam Ke-
bo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu.
Sebelum Sekar Arum nekat meninggalkan Pa-
depokan Karang Bolong, sekali lagi Ki Sempani mence-
ritakan jahatnya dunia persilatan agar gadis itu mawas diri. Akan tetapi, darah
muda yang mengalir di tubuh gadis itu membuat gadis itu ingin secepatnya mencoba
ilmu silat yang didapatkannya dari gurunya. Itulah kenapa Sekar Arum sengaja
melintasi kedai yang menjadi tempat mabuk-mabukan Kebo Dungkul dan anak
buahnya. Beruntung sewaktu gadis itu tak lagi berdaya
menghadapi Kebo Dungkul, tiba-tiba muncul Wiku Ja-
ladri menyelamatkannya!
* * * "Ki Sempani memang bukan orang lain bagiku.
Akan tetapi, aku sengaja menghilang dari pandang ma-
ta muridnya agar Ki Sempani tidak kaget mendengar
cerita tentang kemunculanku kembali, " kata Wiku Ja-
ladri setelah menceritakan perihal Sekar Arum, murid Ki Sempani.
' Berarti, Ki Sempani percaya bahwa Kiai sudah
tewas tiga puluh tahun yang lalu?" tanya Joko Sung-
sang. 'Begitulah menurut apa yang aku dengar."
' Karena tidak ingin dikenali murid Ki Sempani
maka Kiai tidak juga membawa-bawa Perisai Naga?"
''Perisai Naga sudah menjadi milikmu, Joko
Dan, sejak kau mewarisi ilmu Perisai Naga, maka kau-
lah yang harus bergelar Pendekar Perisai Naga. "
Joko Sungsang mencium lutut Wiku Jaladri se-
bagai Ungkapan rasa harunya. Saking terharunya,
sampai-sampai lidahnya tak mampu berucap sepatah
kata pun. ' Kebo Dungkul sendiri tidak akan mengenali
aku sore tadi. Sengaja matanya yang tinggal sebelah
itu aku tutup dengan kuning telur ayam yang aku am-
bil dari kedai itu. Hantu Lereng Lawu, bahkan Empu
Wadas Gempal akan bingung mendengarkan laporan
dari Kebo Dungkul."
' Bagaimana jika mereka menganggap Ki Sem-
pani yang mempecundangi Kebo Dungkul, Kiai?"
"Itu sudah ada dalam perhitunganku, Joko.
Aku tidak ingin mereka menaruh dendam kepada Ki
Sempani. Karena itu aku sengaja meminjam golok me-
reka untuk membungkam mulut mereka, anak buah
Kebo Dungkul itu. Empu Wadas Gempal maupun Han-
tu Lereng Lawu tahu persis bagaimana tabiat aneh Ki
Sempani. "
' Tabiat aneh?" Dahi Joko Sungsang berkerut-
kerut. 'Bukankah aneh jika ada orang yang tidak mau melihat musuh bersimbah
darah?" ' Lalu, bagaimana cara dia melumpuhkan mu-
suh-musuhnya, Kiai?"
' Dengan pukulan yang merontokkan isi dada
lawan. Itulah yang dikenal dengan Pukulan Ombak
Laut Selatan!"
Joko Sungsang manggut-manggut paham. Lalu,
katanya, ' Terima kasih, untuk kedua kalinya Kiai sudi membiarkan Kebo Dungkul
tetap hidup."
' Pendekar-pendekar dari golongan putih tidak
akan membunuh lawan yang menjadi musuh bebuyu-
tan pendekar segolongannya. Apalagi Kebo Dungkul
musuh bebuyutan muridku sendiri," sahut Wiku Jala-
dri memberikan penjelasan.
' Maafkan saya, Kiai," sahut Joko Sungsang
dengan perasaan bersalah.
' Sekali lagi aku katakan kepadamu, Joko, bah-
wa setelah kau pergi dari dasar jurang ini, berarti tugas-tugasku sudah aku
limpahkan kepadamu. Dan,
camkan sekali lagi bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang paling sakti. Kau
harus tetap yakin bahwa
masih banyak pendekar yang ilmunya jauh lebih tinggi darimu. Selama kau ingat
pesanku ini, kau tidak akan pongah dalam menghadapi segala macam rintangan."
' Saya akan laksanakan tugas tugas yang telah
Kiai bebankan ke pundak saya. Saya tidak akan seke-
lumit pun melupakan nasihat dan pesan-pesan Kiai."
"Kau bisa menemui ibumu di Desa Dadapsari,
Joko. Di desa itu juga kau akan bertemu dengan Sekar Arum, murid Ki Sempani itu.
Cobalah kau bujuk dia
agar kembali ke Padepokan Karang Bolong. Sifat pon-
gah dan kekerasan hatinya membuatnya hampir saja
celaka." 'Apakah Kiai mengizinkan saya bertemu den-
gan Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong?" tanya
Joko Sungsang ragu-ragu.
' Kunjung-mengunjungi sesama pendekar me-
mang baik sekali. Aku senang sekali jika kau bisa
membawa kabar tentang aku kepada Ki Sempani."
' Saya akan merasa bangga bisa mewakili Kiai
menemui pendekar semacam Ki Sempani. Tetapi, apa
kiranya Ki Sempani masih mau percaya jika saya men-
gaku sebagai murid Kiai" Sebab, seperti yang Kiai katakan bahwa Ki Sempani
sendiri percaya bahwa Kiai
telah tewas."
' Perisai Naga di pinggangmu akan bercerita
tentang siapa kamu meskipun kamu datang ke Karang
Bolong dengan mulut membisu."
"Ah, saya hampir lupa, Kiai," sahut Joko Sung-
sang sambil meraba Perisai Naga yang melingkari
pinggangnya. ' Pergilah, Joko. Tetapi, sebelum kau benar-
benar meninggalkan dasar jurang ini, tutuplah pintu
gua biar aku tenang menghabiskan sisa waktuku di
sini." 'Maksud, Kiai?" Mata Joko Sungsang membela-
lak. ' Jangan seperti anak kemarin sore. Takdir Tu-
han telah menuliskan segalanya tentang kita. Pergilah, dan jangan lagi kau
tambahi beban pikiranmu dengan
memikirkan tentang nasibku di gua ini."
' Kiai...." Joko Sungsang menubruk kedua tela-
pak kaki Wiku Jaladri dan menciumi telapak kaki itu.
* * * Desa Cemara Pitu adalah desa pertama yang
disinggahi Joko Sungsang dalam perjalanannya menu-
ju Desa Dadapsari. Dinamakan Desa Cemara Pitu ka-
rena di ujung jalan yang membelah desa itu tertanam
tujuh batang pohon cemara. Menurut kabar burung,
tujuh pohon cemara itu sudah berumur ratusan tahun
dan tak seorang pun berani mengganggu kelestarian
pohon-pohon itu. Konon, ketujuh pohon itu tak bisa
ditumbangkan oleh tenaga apa pun.
Fajar baru saja merekah ketika Joko Sungsang
memasuki mulut desa itu. Udara pegunungan masih
terasakan oleh Joko Sungsang. Namun, di pagi yang
masih dingin itu, suasana di desa itu tak ubahnya suasana siang hari. Penghuni
desa sudah bertebaran di
sawah-sawah. Seolah-olah mereka telah bekerja bebe-
rapa jam sehingga keringat membuat tubuh mereka
berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
Joko Sungsang menikmati pemandangan pagi
hari di mulut desa yang sudah hampir tujuh tahun tak dinikmatinya. Selama berada
di dasar jurang bersama
Wiku Jaladri, ia hanya bisa menikmati pepohonan
yang menjulang dan dihiasi suara binatang liar dan
buas. Maka Joko Sungsang menghirup napas sepenuh
dada. Ingin ia menghirup udara pagi di desa sepuas-
puasnya. Akan tetapi, keindahan pagi itu rusak oleh da-
tang-nya serombongan orang berkuda. Debu jalanan
mengepul menghalau kabut tipis yang menyelimuti ja-
lanan. Joko Sungsang menyelinap ke balik pohon ce-
mara yang terbesar. Ia tidak ingin kehadirannya di de-sa itu tercium oleh orang-
orang dari kalangan persilatan. Dan, tentunya orang-orang berkuda itu bukan
penduduk Desa Cemara Pitu yang tak mengenal seluk-
beluk dunia persilatan. Mereka pastilah datang dari
suatu tempat dan membawa-bawa nama perguruan
mereka ''Berhenti!" teriak lelaki yang berkuda paling depan memberikan aba-aba
kepada lima orang yang
berkuda di belakangnya.
Lelaki tinggi besar yang mengenakan baju tan-
pa lengan ini agaknya pimpinan rombongan. Sebilah
pedang menyilang di punggungnya. Mata lelaki itu me-
rah seperti mata orang yang tak pernah tidur. Kumis-
nya yang tebal dan panjang dipelintir sehingga mem-
bentuk sumping wayang. Celana pangsi hitam yang di-
kenakannya dihiasi kain berwarna kuning emas. Ada
kesan bahwa dia datang sebagai punggawa kerajaan,
''Kenapa berhenti di sini, Kakang?" tanya lelaki
kedua yang agaknya orang kepercayaan lelaki pertama.
Dua bilah pedang pendek menggelantung di pinggang
kanan-kiri lelaki Ini.
' Kita lihat apakah mereka bekerja bersungguh-
sungguh," jawab lelaki pertama
''Mereka memang bekerja bersungguh-sungguh.
Hanya saja, mereka memang keberatan menyerahkan
hasil sawah mereka kepada kita," kata lelaki kedua.
' Kalau begitu, kita laksanakan saja perintah
Kakang Adipati, Ambil semua kekayaan desa ini! Bu-
nuh dan bakar rumah mereka yang coba-coba mela-
wan!" "Apa tidak sebaiknya sekali lagi kita perin-
gatkan, Kakang?"
Pimpinan rombongan itu tidak lagi mendengar-
kan ucapan orang kedua. Ia langsung berteriak, men-
gerahkan anak buahnya agar menggiring orang-orang
yang sedang bekerja di sawah itu berkumpul di bawah
tujuh pohon cemara itu.
ingin sebenarnya Joko Sungsang tetap men-
dengarkan pembicaraan mereka. Akan tetapi, jika nan-
ti orang-orang itu sudah berkumpul, tentulah salah
seorang dari mereka akan melihatnya bersembunyi di
balik pohon terbesar itu.
Maka dengan Ilmu Harimau Mengincar Kijang,
Joko Sungsang bergeser menjauh tanpa menimbulkan
suara sama sekali. Kemudian ia melenting dan hinggap di dahan yang paling rimbun
daunnya. Orang-orang yang tadi bekerja di sawah mulai
berkumpul dan duduk bersila di depan kuda yang di-
tunggangi pemimpin rombongan berkuda itu.
' Siapa yang dituakan di desa ini?" tanya pimpi-
nan rombongan itu dari punggung kudanya.
Orang-orang yang kini berwajah pucat karena
takut itu saling memandang satu sama lain.
"Kalian ini bisu apa tuli?" bentak lelaki yang
berpedang dua. ' Saya yang paling tua...."'
' Goblok!" sergah pimpinan rombongan sambil
memajukan kudanya sehingga kaki depan kuda itu
hampir menyentuh hidung lelaki tua yang tadi menja-
wab. "Yang dituakan! Bukan yang paling tua!" kata
lelaki berpedang dua memberikan penjelasan.
"Hei, sekarang kamu saja aku tunjuk sebagai
pimpinan kalian semua. Nah, sekarang dengarkan pe-
rintahku. Sebelum tengah hari nanti, kalian sudah harus mengumpulkan seluruh
padi yang ada di lumbung
desa ini. Mengerti?"
"Kami tidak pernah menyimpan persediaan pa-
di." "Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau siang
nanti kalian tidak menyiapkan apa yang aku minta,
aku rata-kan desa ini dengan tanah!" sergah pimpinan rombongan itu seraya
menyepak perut kudanya. Maka
lima kuda yang lainnya memburu derap kuda pimpi-
nan rombongan itu meninggalkan mulut Desa Cemara
Pitu. 'Kenapa tidak kita lawan saja mereka?" Berkata seorang pemuda yang duduk
menyandar pada salah
satu pohon cemara.


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' Kenapa kau tadi diam saja" Bicara jangan asal
buka mulut!" bentak kakek-kakek yang tadi berbicara
dengan orang-orang berkuda itu.
''Sama-sama mati, memang lebih baik kita me-
lawan," sahut lelaki yang tadi duduk di samping ka-
kek-kakek itu. "Kau tidak memikirkan bagaimana nasib anak
dan istrimu di rumah?" sahut yang lainnya lagi.
' Lalu, dari mana kita bisa dapatkan padi se-
lumbung seperti yang mereka inginkan?"
Hening. Mereka semua menekuri tanah. Daun
cemara berdesau-desau. Dan, di antara desau daun
cemara inilah terdengar siulan mirip siulan burung
emprit gantil. Seperti dikomando, mereka semua me-
nengadahkan kepala mencari-cari arah datangnya si-
ulan. Mereka sadar bahwa yang mereka dengar siulan
manusia, bukan siulan burung.
' Gusti Allah!" desis mereka berbarengan sambil
melebarkan mata memandang Joko Sungsang yang ti-
duran di dahan cemara. Besar dahan yang ditiduri
anak muda itu tak lebih besar dari gagang cangkul!
* * * 6 Dari penjelasan penduduk desa, akhirnya Joko
Sungsang tahu siapa mereka yang datang berkuda dan
hendak merampas kekayaan Desa Cemara pitu tadi.
Mereka adalah orang-orang kepercayaan Adipati So-
rengdriyo. Pimpinan rombongan itu bernama Mahesa
Lawung. Di sekitar Kadipaten Banyu Asin, nama Ma-
hesa Lawung memang sangat ditakuti, ilmu silatnya
setingkat di bawah ilmu silat Adipati Sorengdriyo. Namun, kekejamannya dua
tingkat di atas kekejaman
sang adipati. Mengingat kekejaman Mahesa Lawung ini maka
para penduduk Desa Cemara Pitu terpaksa harus me-
nyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada
Adipati Sorengdriyo. Kalaupun sekarang mereka mem-
bangkang, tidak berarti bahwa mereka siap melawan
Mahesa Lawung dan anak buahnya. Mereka kali ini
memang tidak memetik hasil sawah mereka akibat
serbuan hama tikus.
' Akan tetapi, mana mereka mau tahu alasan
kami, Anakmas?" kata lelaki tertua di antara pendu-
duk yang berkerumun di bawah tujuh pohon cemara
itu. ' Kalau begitu, sebaiknya siang nanti tak seo-
rang pun keluar dari rumah. Biar saya yang mengha-
dapi Mahesa Lawung dan kawan-kawannya," kata Jo-
ko Sungsang. ' Mereka orang-orang kejam, Anakmas," kata
seorang lelaki yang berdiri di samping lelaki tua itu.
' Karena mereka kejam maka saya ingin mewa-
kili penduduk desa ini menemui mereka."
' Biar saya membantu Kisanak!" kata seorang
pemuda. Joko Sungsang tahu, inilah pemuda yang tadi
memiliki gagasan untuk melawan para penjarah itu.
' Terima kasih. Tetapi, saya akan mencoba
menghadapi mereka seorang diri. Saya tidak mau me-
libatkan seorang pun penduduk desa ini. Kalaupun
mereka menaruh dendam, biarlah mereka mendendam
kepada saya. Tetapi, saya akan mengusahakan agar
mereka tidak menaruh dendam."
' Berarti, Kisanak harus membunuh mereka
semua!" ' Tidak. Bahkan saya tidak akan melukai mere-
ka jika tidak terpaksa. "
' Mereka tidak akan takut kepada orang asing
seperti Kisanak!"
' Betul, Anakmas. Mereka hanya takut kepada
Hantu Lereng Lawu."
Dahi Joko Sungsang berkerut-kerut. Lalu ka-
tanya, ''Apakah ada hubungannya antara Adipati So-
rengdriyo dengan Hantu Lereng Lawu?"
' Betul, Anakmas. Semenjak Adipati Sorengdriyo
dikalahkan Hantu Lereng Lawu, semenjak itulah hasil
panen kami harus kami serahkan sebagian besar ke
kadipaten. "
' Padahal dulu kabarnya Adipati Sorengdriyo
orang baik-baik dan dicintai rakyat, " sahut pemuda
yang lain lagi.
' Artinya, Adipati Sorengdriyo diperalat oleh
Hantu Lereng Lawu," sahut Joko Sungsang.
' Tepatnya memang begitu!" Hampir bersamaan
mereka menjawab.
' Saya akan bicara dengan Hantu Lereng Lawu!"
' Apa?" Mata mereka membelalak.
' Tidak berarti saya ini teman Hantu Lereng La-
wu. Tetapi, kebetulan saja saya memang ingin mene-
muinya. Saya ada urusan tersendiri dengan orang se-
sat dari Lereng Lawu itu."
' Barangkali Kisanak mau membalas dendam?"
tanya pemuda yang punya semangat melawan kejaha-
tan itu. 'Ayah saya tewas di tangan anak buah Hantu
Lereng Lawu!" jawab Joko Sungsang dengan geraham
mengeras. "Oooh," desah mereka bersamaan.
Kemudian mereka bubar dan pulang ke rumah
masing-masing atas saran dari Joko Sungsang. Sebe-
lum mereka bubaran, sekali lagi Joko Sungsang berpe-
san agar tidak seorang pun penduduk keluar dari ru-
mah mereka sewaktu rombongan dari Kadipaten
Banyu Asin itu datang.
Joko Sungsang terpaksa menunda perjalanan-
nya hingga siang hari. Ia merasa terpanggil untuk
membantu mengamankan desa itu. Ia tidak ingin desa
itu bernasib sama dengan Desa Sanareja, desa kelahi-
rannya. Kalau benar bahwa Hantu Lereng Lawu dan
anak buahnya mencari-cari Pendekar Perisai Naga se-
perti yang diceritakan Wiku Jaladri, maka urusan dengan Desa Cemara Pitu akan
dilupakannya! Lagi pula, Joko Sungsang merasa pasti bahwa
Adipati Sorengdriyo berbuat demikian karena terpaksa.
Mungkin ia merasa putus asa sebab merasa tidak ada
orang yang berpihak kepadanya.
Matahari persis berada di atas pohon cemara
sewaktu rombongan yang dipimpin Mahesa Lawung
kembali memasuki mulut Desa Cemara Pitu. Mereka
datang dengan kereta kuda yang bakal dipakai untuk
mengangkut hasil jarahan. Rupanya mereka begitu ya-
kin bahwa penduduk Desa Cemara Pitu pasti menye-
diakan hasil bumi yang mereka inginkan.
Tiba-tiba saja derap kaki kuda mereka terhenti.
Mata mereka menengadah ke atas, mengikuti gerak
tubuh Mahesa Lawung yang tiba tiba saja melayang ke
atas dan bertengger di sebuah dahan cemara. Kuda
yang tadi ditungganginya kini melesat tanpa terkendalikan. Mahesa Lawung tidak
gegabah melayang turun
dari dahan pohon itu. Bukan berarti ia takut turun, la pun memiliki ilmu
meringankan tubuh seperti layaknya orang orang dari dunia persilatan. Tak akan
ia merasa ngeri kalau hanya turun dari ketinggian sepuluh tombak. Namun, ia
sadar bahwa kini ia sedang berhadapan dengan lawan yang berilmu tinggi. Entah
den- gan ilmu setan mana, anak muda itu membawanya
terbang dengan lilitan cambuk di leher. Dan, cambuk
itu kini masih melilit lehernya. Dengan sekali hentak, Mahesa Lawung bisa
membayangkan apa yang bakal
menimpa dirinya.
Cambuk milik Joko Sungsang melilit di leher
Mahesa Lawung! Dia tidak berani gegabah terhadap
pemuda itu. Karena dengan sekali hentak, Mahesa La-
wung bisa membayangkan apa yang bakal menimpa
dirinya! 'Anak muda, aku merasa tidak punya urusan
denganmu. Kenapa kau membuat persoalan dengan-
ku?" kata Mahesa Lawung hati-hati.
' Mulai detik ini, kau dan anak buahmu harus
berurusan denganku!" jawab Joko Sungsang. Lalu,
dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata, tiba-
tiba saja cambuk yang tadi melilit leher Mahesa La-
wung telah melingkar di telapak tangan anak muda
itu. ' Apakah tidak lebih baik kita bicara di bawah
agar anak buahku bisa ikut mendengarkan apa yang
kau. bicarakan?"
' Memang sebaiknya begitu," sahut Joko Sung-
sang lalu mendahului melayang turun.
Semua anak buah Mahesa Lawung memundur-
kan kuda mereka ketika anak muda yang berpakaian
serba putih itu mendarat di tanah. Mereka sadar bah-
wa anak muda ini bukan sembarang anak ingusan
seusianya. Apalagi tadi mereka melihat pimpinan me-
reka pun tidak berani gegabah menghadapi anak ingu-
san ini. 'Kisanak, katakan apa maumu dan apa uru-
sanmu sehingga berani menghentikan perjalanan ka-
mi!" kata Mahesa Lawung begitu berhadapan dengan
Joko Sungsang di tanah.
' Bukankah kalian mau mengambil hasil panen
penduduk desa ini?"
"Kalaupun iya, aku kira tidak ada urusan den-
ganmu, Kisanak"
' Justru harus berurusan denganku!" sahut Jo-
ko Sungsang. ' Lihatlah, betapa sepi desa ini. Kalian tak akan menemukan seorang
pun penduduk desa ini.
Mereka semua sudah aku usir dari desa ini Nah, su-
dah jelas, bukan" Desa ini sekarang ada dalam kekua-
saanku'" Meski memiliki rasa cemas berhadapan dengan
Joko Sungsang, di depan anak buahnya yang begitu
memujanya Mahesa Lawung tetap harus menunjuk
kan keberaniannya. Toh kalau memang terjadi perke-
lahian, ia tidak seorang diri menghadapi pendekar ingusan ini..
''Kau pikir aku mempercayai bualan mu" Jan-
gan coba-coba kau menakut-nakuti kami dengan bua-
lan mu itu!" kata Mahesa Lawung seraya meraba ga-
gang pedangnya.
''Kau bilang aku membual?" Berkata begini Jo-
ko Sungsang lalu melecutkan Perisai Naga ke arah tali pedang yang melintang di
dada Mahesa Lawung. Tak
pelak lagi, sarung pedang Mahesa Lawung terjatuh se-
bab tali yang menahannya terputus Kalau saja gagang
pedang itu tidak tergenggam tangan Mahesa Lawung,
tentulah nasib pedang itu akan sama dengan nasib sa-
rungnya ' Bedebah! Berani kau menghinaku!' Mata Ma-
hesa Lawung mendelik Akan tetapi, untuk langsung
menyerang lawannya, ia masih harus berpikir dua kali.
' Serahkan anak tikus ini kepadaku, Kakang"
kata lelaki yang menyandang dua bilah pedang di
pinggulnya. Dengan gesit lelaki itu meloncat dari
punggung kuda dan berdiri gagah di depan Joko Sung-
sang ''Lompati dulu mayatku sebelum kau hinakan
Kakang Mahesa Lawung, Anak Tikus!"
' Kita lihat saja siapa yang pantas jadi anak ti-
kus!" sahut Joko Sungsang setelah melingkarkan Peri-
sai Naga di pinggangnya.
' Bosan hidup!" seru lelaki itu sambil men-
gayunkan dua bilah pedangnya dengan gerakan meng-
gunting. Joko Sungsang melipat lutut kanannya dan
membuang kaki kirinya lurus ke belakang sehingga
dua bilah pedang itu berdesing di atas kepalanya. Sebelum lawan menarik kembali
pedang-pedangnya, se-
cepat kilat Joko Sungsang menggebrak kedua siku la-
wan. "Augh!" Lelaki itu melompat ke belakang dan
kedua pedangnya tergeletak di tanah. Tak kuasa lagi
kedua tangan itu menggenggam pedang.
Melihat orang andalannya patah siku dalam se-
kali gebrak, Mahesa Lawung semakin berhati-hati
menghadapi Joko Sungsang. Namun begitu, tetap saja
ia merasa malu untuk merendahkan diri di depan
anak buah-nya. Maka katanya sambil menimang-
nimang pedang, ''Sebelum aku mencincang tubuhmu,
ada baiknya aku mengetahui siapa namamu, Kisanak"
"Tak perlu kau mencincangku, Mahesa Lawung.
Hantu Lereng Lawu akan marah kepadamu jika kau
lancang membunuh musuh besarnya!"
' Dasar mulut besar!" seru salah seorang anak
buah Mahesa Lawung seraya menusukkan tombak ke
arah dada Joko Sungsang.
Hanya dengan mengegoskan sedikit. badannya,
Joko Sungsang berhasil meloloskan diri dari tusukan
tombak itu. Kemudian, punggung telapak kaki kirinya
bergerak cepat ke arah perut si penyerang.
' Hukkk!" Lelaki bertombak itu tersungkur.
"Kau tetap ingin tahu namaku, Mahesa La-
wung?" tanya Joko Sungsang tanpa mempedulikan la-
wan yang tengkurap di samping kaki kirinya, ''Atau,
kau sendiri juga ingin menyerangku seperti kedua
anak buahmu yang bodoh itu?"
"Kau sudah tahu namaku, sudah selayaknya
jika aku pun tahu namamu!"
"Aku akan berterima kasih sekali jika kau mau
menyampaikan pesanku kepada Hantu Lereng Lawu.
Katakan kepadanya bahwa Pendekar Perisai Naga me-
nunggunya di sini pada malam purnama bulan ini!"
' Pendekar Perisai Naga?" desis salah seorang
anak buah Mahesa Lawung.
' Tunggu!" katanya seraya maju beberapa lang-
kah. ''Senjata yang kau miliki memang mengingatkan-
ku pada cerita tentang Pendekar Perisai Naga. Tetapi, jangan kau pikir kami akan


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu saja mempercayai ucapanmu!"
"Aku tidak akan memaksa kalian untuk per-
caya. Hanya saja, jika kalian tetap ingin membunuhku, sama halnya kalian
menghina Hantu Lereng Lawu.
Sudah kukatakan bahwa Hantu Lereng Lawu meng-
hendaki nyawaku, bukan?"
' Pendekar Perisai Naga sudah mampus di Ju-
rang Jero puluhan tahun yang lalu! Bagaimana mung-
kin kau mengaku ngaku sebagai Pendekar Perisai Na-
ga?" kata Mahesa Lawung. Serta-merta ia ingat penje-
lasan dari Adipati Sorengdriyo tentang Pendekar Perisai Naga.
"Apa kalian dan orang orang yang menyebar ce-
rita itu menemukan mayatnya?" balik Joko Sungsang.
"Ya. Tetapi, pendekar itu umurnya sudah lebih
dari empat puluh tahun sewaktu menghilang dari du-
nia persilatan! Kau" Aku kira tak lebih dari usia anakku!" "Apa salahnya jika
aku mewarisi namanya" Toh aku mewarisi ilmu silatnya. Juga mewarisi Perisai Na-
ga! Menurutku, hanya orang yang memegang Perisai
Naga yang berhak mengaku sebagai Pendekar Perisai
Naga!? Hening sejenak. Mahesa Lawung dan anak
buah-nya mulai dilanda keraguan. Kalau benar yang
mereka hadapi ini Pendekar Perisai Naga, memang me-
reka harus menyampaikan berita ini kepada Hantu Le-
reng Lawu. Tetapi, kalau anak muda ini hanya mem-
bual" "Nah, aku tidak punya banyak waktu untuk berbicara dengan kalian. Kalau
memang kalian hendak
nekat mengeroyokku keroyoklah! Tetapi, jangan me-
nyesal jika kalian dicincang Hantu Lereng Lawu. Itu
pun kalau kalian selamat dari cambukku!" gertak Joko Sungsang.
"Bukan aku takut menghadapimu, Kisanak.
Aku akan tetap mencarimu jika ternyata kau hanya
membual! Aku anggap bahwa sebenarnya kau tidak
berani menghadapiku maka lalu kau karang cerita ten-
tang Pendekar Perisai Naga tadi!" kata Mahesa Lawung seraya memberikan isyarat
kepada anak buahnya agar
bergerak pergi.
* * * Joko Sungsang tersenyum-senyum memandan-
gi kepergian mereka. Kemudian ia meledakkan Perisai
Naga tiga kali sebagai isyarat agar para penduduk desa keluar dari persembunyian
masing-masing Setelah mereka berkumpul dengan wajah terkagum kagum, Joko
Sungsang berkata,
' Sekarang desa ini tidak akan mereka ganggu
lagi. Hanya saja, saya mohon izin menemui mereka lagi di sini pada malam purnama
bulan ini. Maaf, saya harus secepatnya melanjutkan perjalanan.
"Anakmas, apakah tidak sebaiknya Anakmas
istirahat dulu barang semalam di desa ini agar kami
bisa menjamu Anakmas?" kata lelaki tertua itu mewa-
kili penduduk desa,
' Terima kasih, Ki Mungkin lain waktu saya bisa
mampir lagi untuk menikmati keindahan pemandan-
gan di sini "
' Kami sungguh berhutang budi kepada Anak-
mas" 'Saya pun sangat senang menerima keper-
cayaan dari penduduk desa ini, Ki. Maaf jika saya terpaksa mengecewakan penduduk
desa ini dengan me-
nolak jamuan makan". Joko Sungsang tak lagi me-
nunggu reaksi mereka. Sekali berkelebat, ia telah
menghilang dari pandang mata penduduk desa itu
' Sejak Pendekar Perisai Naga menghilang, baru
kali ini muncul pendekar budiman lagi," kata lelaki tertua itu seperti berbicara
kepada dirinya sendiri.
' Atau, siapa tahu dia tadi murid Pendekar Peri-
sai Naga?" sahut yang lain.
"Kalau memang benar dia murid Pendekar Peri-
sai Naga, artinya tidak benar berita yang aku terima ti-ga puluh tahun yang lalu
" ' Berita apa yang kau dengar, Ki?" tanya pemu-
da yang memiliki semangat juang itu.
' Menurut kabar, Pendekar Perisai Naga tewas
di tangan Hantu Lereng Lawu...."
' Gusti Allah! Lagi-lagi Hantu Lereng Lawu!" de-
sah pemuda itu sambil mengepalkan tinjunya.
''Mudah-mudahan saja anak muda tadi bisa
membuktikan bahwa Pendekar Perisai Naga masih hi-
dup sampai detik ini. Dan, kalau saja Adipati So-
rengdriyo tahu, ia akan memiliki keberanian untuk
melawan orang sesat dari Lereng Lawu itu."
* * * 7 Adipati Sorengdriyo memicingkan mata men-
dengarkan penjelasan dari Mahesa Lawung tentang
munculnya Pendekar Perisai Naga. Ia tidak begitu saja mempercayai laporan itu.
Namun, untuk membantah,
ia pun tidak berani. Dalam hatinya timbul harapan, ji-
ka benar Pendekar Perisai Naga masih hidup, artinya ia akan terlepas dari
cengkeraman Hantu Lereng Lawu.
Sudah bisa dipastikan bahwa kemunculan Pendekar
Perisai Naga berarti kematian bagi Hantu Lereng Lawu.
"Sekarang, coba kau ceritakan bagaimana ciri-
ciri anak muda itu," kata Adipati Sorengdriyo penasaran. "ia berpakaian serba
putih, rambut digelung
kecil di atas kepala, memakai ikat kepala kulit ular, dan bercambuk kulit ular
juga, Kakang Adipati,' jawab Mahesa Lawung.
''Ciri-cirinya memang mirip dengan ciri-ciri Wi-
ku Jaladri" Adipati Sorengdriyo manggut-manggut "Te-
tapi, bisa saja setiap orang meniru pakaian orang lain.
Tetapi, tunggu! Kau perhatikan bagaimana ujud cam-
buk kulit ular yang dibawanya?"
"Bagaimana tidak aku perhatikan, Kakang Adi-
pati" Cambuk itu sempat melilit leherku dan bola berduri di ujungnya seperti
menggigit-gigit urat leher-
ku...." 'Bola berduri itu berwarna hijau-kebiru-
biruan?"tukas Adipati Sorengdriyo
' Benar, Kakang Adipati. Dan, bola itu juga yang
memutuskan tali pengikat pedangku. Anehnya, bola
berduri Itu seperti tidak menyentuh dadaku."
' Kalau begitu, sudah pasti dia murid Wiku Ja-
ladri! Ya, tidak akan ada lagi manusia yang bersenjatakan Perisai Naga kalau
bukan orang yang berhubun-
gan erat dengan Wiku Jaladri alias Pendekar Perisai
Naga!" Akhirnya Adipati Sorengdriyo berani mengambil kesimpulan.
"Lalu, menurut Kakang Adipati, langkah apa
yang harus kita ambil" Maksudku, apa kita harus me-
nyampaikan pesan itu kepada Hantu Lereng Lawu,
atau...?" ' Atau kau pilih dicekik Hantu Lereng Lawu!"
tukas Adipati Sorengdriyo kesal ''Tentu saja harus secepatnya kita sampaikan
berita ini kepada orang sesat itu! Dengan begitu, secepatnya pula kita akan
terbebas dari cengkeramannya Lawung.
' Kakang Adipati yakin anak muda itu akan
mampu menghadapi Hantu Lereng Lawu?"
' Akan kita atur siasat agar dia menang dalam
pertarungan mereka di Desa Cemara Pitu nanti1"
' Siasat?" Mahesa Lawung melongo. Benar be-
nar ia tidak mengerti jalan pikiran Adipati Sorengdriyo ini.
"Aku percaya, Kebo Dungkul tidak akan ber-
diam diri melihat Hantu Lereng Lawu bertarung mela-
wan anak muda itu. Untuk itu, kita harus membuat
siasat agar Kebo Dungkul tidak bisa membantu Hantu
Lereng Lawu."
'Bagaimana jika Empu Wadas Gempal ikut tu-
run tangan, Kakang Adipati?"
Adipati Sorengdriyo seperti tersadar dari mimpi.
Ia menghela napas berat. Angan-angannya untuk bisa
lepas dari cengkeraman orang-orang sesat dari Lereng Lawu itu pun buyarlah.
Bagaimanapun tingginya ilmu
anak muda yang mengaku sebagai murid Wiku Jaladri
itu, tak akan mampu ia menghadapi ilmu iblis Empu
Wadas Gempal. ' Kalaupun kita kerahkan seluruh orang di Ka-
dipaten Banyu Asin, belum tentu bisa membantu mu-
rid Wiku Jaladri itu," jawab Adipati Sorengdriyo lesu.
' Jadi, lebih baik tidak kita sampaikan pesan
murid Pendekar Perisai Naga itu, Kang Adipati?"
' Kalau kau bisa menyediakan padi selumbung,
tak perlu kau sampaikan pesan anak muda itu!" ''Ta-
pi...?" 'Setidaknya, kita bebas upeti bulan ini jika kita laporkan kejadian di
Desa Cemara Pitu tadi kepada
Hantu Lereng Lawu!" sahut Adipati Sorengdriyo menu-
kas. 'Baiklah. Sekarang juga, aku akan pergi ke Le-
reng Lawu, Kakang Adipati," ujar Mahesa Lawung se-
belum mundur dari hadapan penguasa Kadipaten
Banyu Asin itu.
* * * Menjelang matahari tenggelam, Joko Sungsang
tiba di Desa Sanareja, desa kelahirannya. Ia tidak kaget melihat perubahan
suasana desa itu. Wiku Jaladri telah menceritakan apa saja yang terjadi di desa
itu selama Joko Sungsang berada di Jurang Jero. Dan, un-
tuk terakhir kalinya ia mendengar cerita tentang desa itu, yakni sewaktu Sekar
Arum hampir saja terbunuh
oleh Kebo Dungkul.
Langkah Joko Sungsang terhenti, la melihat so-
sok seorang lelaki berjalan menuju luar desa. Bergegas Joko Sungsang menyelinap
ke balik semak-semak. la
ingin tahu lebih dulu siapa lelaki itu. Kalau memang lelaki itu anak buah Kebo
Dungkul, ia merasa perlu
untuk menghindar, la tidak ingin kehadirannya di desa itu tercium oleh orang-
orang dari Lereng Lawu.
Dalam jarak lima tombak, Joko Sungsang bisa
mengenali wajah lelaki itu. la heran, kenapa Kebo
Dungkul membiarkan lelaki ini tetap hidup" Padahal,
menurut kabar yang diterimanya, semua lelaki pendu-
duk asli Desa Sanareja harus mati sebagai tebusan
atas kematian orang orang dari Lereng Lawu yang te-
was di desa itu. Rasa heran ini membuat Joko Sung-
sang muncul dari persembunyiannya dan menghadang
lelaki itu. Lelaki itu ketakutan begitu melihat seseorang
yang tidak dikenalnya menghalang halangi langkah-
nya. Secepatnya ia membalik langkah dan berlari.
Akan tetapi, dengan mudah Joko Sungsang membuat
lelaki itu menghentikan langkah seribunya. Dengan sa-tu loncatan, Joko Sungsang
menotok jalan darah di
punggung lelaki itu sehingga tubuh lelaki itu kejang.
Joko Sungsang memanggul tubuh lelaki itu dan
dibawanya ke tempat sepi, di pinggiran sebuah kubu-
ran tua. Di tempat ini pula Joko Sungsang sering bermain dengan anak-anak
seusianya tujuh tahun yang
lalu. Ia masih ingat, di tempat ini ada rumah kosong yang bisa dipergunakan
untuk berbicara rahasia dengan lelaki yang dipanggulnya itu.
Joko Sungsang mengumpulkan ranting kering
dan membuat perapian sebelum membebaskan toto-
kan di punggung lelaki itu. Begitu merasakan tubuh-
nya kembali normal, lelaki itu hendak berlari lagi. Namun, dengan Perisai
Naganya, Joko Sungsang mena-
han tubuh lelaki itu.
"Kang Dipo tak usah takut. Aku Joko Sungsang
yang hilang dari desa ini tujuh tahun yang lalu," kata Joko Sungsang sambil
membebaskan lilitan cambuk di
pinggang lelaki itu.
"Joko Sungsang" Eh, Den Joko?" Mulut Dipo
menganga. Matanya melebar seolah ia melihat hantu
kuburan tua itu.
"Ya, aku Joko, anak Ki Linggar. Tidak takut kan
sekarang?"
"Oh, syukurlah Den Joko selamat!" Dipo mene-
puk-nepuk dadanya sendiri.
' Bagaimana kabar Kang Dipo" Maksudku, ke-
napa Kang Dipo bebas keluar-masuk desa ini?"
' Ceritanya memalukan sekali, Den. Tetapi, le-
bih baik saya dipermalukan daripada saya mati dan tidak bisa membesarkan anak
saya " ' Jadi, Kang Dipo sudah punya anak7"
' Begitulah, Den. Tetapi, istri saya sekarang ja-
di..." Dipo tidak meneruskan kalimatnya. la menunduk menekuri ranting-ranting
kering yang mulai membara
' Jadi apa, Kang?" desak Joko Sungsang.
"Jadi orangnya Kebo Dungkul, Den."
' Maksud Kang Dipo, ia jadi anak buah Kebo
Dungkul?" ''Bukan, Den. Maksud saya, jadi... jadi perem-
puan nakal yang bekerja untuk Kebo Dungkul."
"Oh, aku mengerti," sahut Joko Sungsang.
"Desa ini sekarang sudah jadi desa maksiat,
Den. " "Aku juga sudah mendengar, Kang. Semua yang
terjadi di desa ini, aku sudah tahu."
'Tetapi, mungkin ada yang belum Den Joko ke-
tahui. Soal Kerpa."
' Kenapa Kang Kerpa?"
' Saya benar-benar tidak mengira dia tega
membuat bencana di desanya sendiri, Den."
"Apa yang diperbuatnya, Kang?"
"Lho, Ki Demang, ayah Den Joko terbunuh tu-
juh tahun yang lalu, itu karena ulah Kerpa. "
' Ayahku dibunuh Kebo Dungkul, Kang. Dan,
malam itu Kang Kerpa tidak ada di kademangan," ban-
tah Joko Sungsang.
' Memang, Den. Mungkin semua orang di desa
ini menganggap bahwa Kerpa sudah mati. Paling tidak, dia pasti juga sudah
minggat dari desa ini. Mungkin hanya saya dan istri saya yang tahu bahwa Kerpa
yang menyebabkan bencana di desa ini. Karena ulah Kerpa
maka Hantu Lereng Lawu menyuruh Kebo Dungkul
membunuh Ki Demang...."
' Maksud Kang Dipo, Kang Kerpa yang menaruh
mayat anak buah Hantu Lereng Lawu malam itu?" tu-


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kas Joko Sungsang menebak.
' Betul sekali, Den. Sebenarnya anak buah Han-
tu Lereng Lawu itu terbunuh di luar desa. Tetap, Kerpa membawa mayat itu ke
mulut desa agar desa ini di-timpa bencana kemarahan Hantu Lereng Lawu."
' Sekarang, di mana Kang Kerpa tinggal, Kang?"
' Dialah sekarang yang dipercaya Kebo Dungkul
untuk menjaga perempuan perempuan nakal di kade-
mangan, bekas rumah Den Joko."
''Jangan kau bilang rumah kotor itu kademan-
gan lagi, Kang," sahut Joko Sungsang. la tidak rela
nama kademangan dihubung-hubungkan dengan per-
buatan maksiat.
"Oh, maafkan saya, Den. Maksud saya hanya
ingin menjelaskan bahwa rumah Den Joko sekarang..."
"Aku mengerti." Joko Sungsang menepuk bahu
Dipo. 'Saya senang jika Den Joko bisa membalaskan
sakit hati orang-orang sedesa ini kepada Kerpa."
' Maksud Kang Dipo, aku harus membunuh
Kang Kerpa?"
' Begitulah, Den. Saya kira semua penduduk
desa ini mengharapkan kematian Kerpa."
"Dia berbuat seperti itu karena dia ingin hidup,
Kang. Aku tahu, dulu dia sakit hati kepada ayahku sebab ayahku lebih mempercayai
Paman Perdopo. Pa-
dahal Paman Perdopo ilmu silatnya masih kalah se-
tingkat dengan Kang Kerpa."
' Tetapi, menurut pendapat saya, Ki Demang
sudah berbuat adil, Den. Ki Demang memilih Perdopo
sebab Perdopo memang orangnya jujur dan setia."
' Jadi, sekarang dia sudah hidup enak, bu-
kan?" "Hidup enak, tapi di atas kesengsaraan orang sedesa!" kata Dipo dengan
perasaan penuh amarah
dan dendam. ' Sekarang yang penting aku harus menolong is-
tri Kang Dipo keluar dari rumah laknat itu. Siapa na-ma istri Kang Dipo?"
"Oh, terima kasih, Den. Maaf, saya tadi mau la-
ri. Soalnya saya tidak mengenali Den Joko lagi. Untung Den Joko...."
"Aku tanya, siapa nama istri Kang Dipo?" tukas
Joko Sungsang. "Oh, anu, Den... Trinil! Dia dari Desa Cemara
Pitu, Den."
' Kang Dipo tunggu saja di sini. Nanti aku bawa
Yu Trinil ke sini."
''Hati-hati ya, Den?"
Akan tetapi, bayangan Joko Sungsang telah hi-
lang dari pandang mata lelaki itu. Terkagum kagum
Dipo memikirkan ilmu silat Joko Sungsang. Maka dia
merasa pasti, Joko Sungsang akan dengan mudah
membawa Trinil kepadanya.
* * * Tak sulit bagi Joko Sungsang memasuki hala-
man rumah bekas kademangan itu tanpa diketahui
seorang pun. Ia hafal betul keadaan di sekeliling rumahnya itu.
Di regol, tampak orang-orang dari Lereng Lawu
berjaga-jaga. Dua buah obor besar menerangi tempat
itu. Joko Sungsang menyelinap masuk pekarangan le-
wat tembok pagar samping rumah. Kemudian ia me-
layang dan hinggap di bubungan atap rumah. Untuk
sejenak ia menajamkan telinga. Ia mendengarkan sua-
ra-suara yang datang dari pendopo. Memang ada suara
Kerpa di situ. Tetapi, bagaimana ia bisa mengenali suara Trinil"
Joko Sungsang membuka genting tanpa me-
nimbulkan suara. Lalu tampak di matanya pemandan-
gan yang menjijikkan di pendopo itu. Beberapa lelaki minum arak sambil meraba-
raba dada perempuan
yang berada di pangkuan mereka masing-masing.
'Terkutuklah mereka!" rutuk Joko Sungsang
dalam hati. Kemudian ia bergeser, mencari-cari genting yang berada tepat di atas
kamar belakang rumah itu.
Tentulah pemandangan di dalam kamar ini lebih men-
jijikkan lagi, pikirnya sebelum membuka sebuah gent-
ing. Di bawah sana, di tempat tidur yang dulu diti-
duri Joko Sungsang dan Nyai Demang, seorang lelaki
sedang menggumuli seorang perempuan nakal. Tak in-
gin lama-lama Joko Sungsang memandang dua manu-
sia penuh dosa itu. Maka ia melayang turun dan lang-
sung menotok jalan darah di leher lelaki itu.
Lelaki itu menghentikan gumulannya. Ia mera-
sa lehernya kaku sekali dan suara di tenggorokannya
hilang entah ke mana. Perempuan yang tadi meme-
jamkan mata, langsung terbelalak ketika melihat Joko Sungsang berdiri di samping
pembaringan. ' Kenakan pakaianmu dan jangan coba-coba te-
riak!" ancam Joko Sungsang seraya memalingkan wa-
jahnya. Setelah perempuan itu berpakaian, Joko Sung-
sang meraih golok yang tergeletak di meja kecil di sudut kamar itu dan
menempelkannya ke leher perem-
puan itu. ' Siapa namamu?" tanyanya.
"Min... Min... Minten...." Tergagap-gagap pe-
rempuan itu menjawab.
"Aku penggal lehermu dan leher kerbau ini jika
kau mencoba melawan perintahku!" kata Joko Sung-
sang sambil menuding lelaki yang terduduk di pojok
kamar dengan leher dan mulut kejang itu.
Perempuan itu mengangguk berulang-ulang
sambil menggigit bibirnya.
' Panggil ke sini temanmu yang bernama Trinil,
dan jangan coba-coba memberitahu seorang pun ten-
tang kedatanganku di kamar ini. Mengerti?"
Mengangguk lagi perempuan itu. Setelah Joko
Sungsang menunjuk pintu kamar dengan golok di tan-
gannya, perempuan itu setengah berlari keluar menuju pendopo rumah. Tak lama
kemudian ia kembali masuk
kamar dengan menggandeng perempuan yang dimak-
sudkan Joko Sungsang. Dengan sigap Joko Sungsang
menekap mulut Trinil yang hampir saja berteriak ka-
rena ketakutan.
Dengan gerakan yang sulit diikuti mata, Joko
Sungsang membuat ketiganya pingsan, dan kemudian
melayang kembali ke atas genting sambil memanggul
tubuh Trinil. Berseri-seri wajah Dipo memandang kedatan-
gan Joko Sungsang yang memanggul tubuh Trinil. Tak
bisa dibayangkannya bagaimana cara anak muda itu
masuk rumah maksiat itu dan kembali dengan tanpa
menimbulkan keributan.
' Setelah Yu Trinil siuman, bawa secepatnya
pergi dari desa ini, Kang. Dan, untuk beberapa hari ini,
sebaiknya kalian jangan dulu kembali ke rumah ka-
lian. Percayalah bahwa suatu hari nanti desa ini akan terbebas dari bencana,"
kata Joko Sungsang.
"Den Joko mau ke mana?"
"Aku harus menemui Nyai Demang, Kang."
"Di mana sekarang Nyai Demang, Den?"
"Tak usah Kang Dipo tahu. Yang pasti, Nyai
Demang dalam keadaan sehat. Nah, cepat tinggalkan
tempat ini sebelum mereka tahu apa yang terjadi di
kamar belakang itu."
"Baik, Den. Terima kasih, Den. Semoga Gusti
Allah selalu melindungi Den Joko."
* * * 8 Mahesa Lawung memutar otaknya setelah
mendengar pernyataan Adipati Sorengdriyo. Ia tidak
setuju jika kemunculan Pendekar Perisai Naga diper-
gunakan sebagai alasan untuk mengkhianati Hantu
Lereng Lawu. Bagaimanapun tingginya ilmu silat Pen-
dekar Perisai Naga, tetap saja ia bocah ingusan. Tidak akan ia mampu mengalahkan
Hantu Lereng Lawu yang
telah malang-melintang di dunia persilatan selama puluhan tahun.
Kalaupun Wiku Jaladri turun tangan membela
muridnya, belumlah jaminan bahwa Hantu Lereng La-
wu bisa mereka robohkan. Lagi pula, Empu Wadas
Gempal tidak mungkin akan berpangku tangan meli-
hat murid tunggalnya terancam bahaya!
Lebih dari itu, Mahesa Lawung pun sudah te-
lanjur merasakan kenikmatan yang didapatkannya da-
ri hasil kerja sama antara punggawa Kadipaten Banyu
Asin dengan orang-orang Lereng Lawu. Dan, kenikma-
tan itu tak boleh berakhir begitu saja hanya karena
munculnya Pendekar Perisai Naga!
Maka setiba di hadapan Hantu Lereng Lawu,
tangan kanan Adipati Sorengdriyo ini sudah membu-
latkan tekad untuk tetap bekerja sama dengan orang-
orang sesat itu. Apalagi kedatangannya kali ini bersamaan dengan kedatangan Empu
Gajahmada 8 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Pedang Hati Suci 9
^