Pencarian

Hantu Lereng Lawu 3

Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu Bagian 3


Pendekar Pedang Matahari 3 Iblis Bukit Setan
Wadas Gempal. Semakin ia menemukan alasan untuk
mengkhianati Adipati Sorengdriyo.
' Kedatanganmu di Lereng Lawu tidak disertai
kereta pengangkut barang, Mahesa Lawung" Apakah
ini berarti Adipati Sorengdriyo sudah berani menen-
tangku?" tanya Hantu Lereng Lawu sebelum Mahesa
Lawung selesai mengatur napas.
' Begini, Ki Lurah. " Mahesa Lawung berusaha
meredakan nafasnya yang memburu.
' Bukan kami berniat menentang Ki Lurah. Kali
ini kami memang gagal memungut hasil bumi di Desa
Cemara Pitu, Ki Lurah."
' Kalau memang kau menemukan kesulitan,
kenapa kau tidak minta bantuan ke sini" Ingat, jangan coba-coba membodohiku,
Sapi Tolol!" sergah Hantu Lereng Lawu.
' Harap Ki Lurah bersabar. Saya belum menje-
laskan kenapa kali ini kami gagal mengeruk hasil bumi Desa Cemara Pitu, Ki
Lurah...."
' Katakan cepat! Kau tahu aku sedang ada tamu
agung" Jangan buang-buang waktuku hanya karena
aku harus mengubur mayatmu!" tukas Hantu Lereng
Lawu semakin gusar.
"Ki Lurah, sebenarnya kami hendak membunuh
manusia yang menjadi penghalang di Desa Cemara Pi-
tu itu. Tetapi, kami juga takut berbuat lancang. Karena itulah kami memutuskan
untuk melapor lebih dulu
kepada Ki Lurah."
"Kau memang bosan hidup!" bentak Hantu Le-
reng Lawu seraya mengangkat tangannya hendak
menghancurkan kepala Mahesa Lawung. Namun, den-
gan sigap tangan Empu Wadas Gempal mencekal tan-
gan muridnya ini.
' Sabar, Pragosa! Sabar. Beri dia kesempatan
untuk bicara lebih panjang lagi," kata Empu Wadas
Gempal menengahi.
"Ki Lurah, manusia yang menjadi penghalang
kami kali ini tidak lain adalah Pendekar Perisai Naga,"
lanjut Mahesa Lawung dengan badan gemetaran.
' Pendekar Perisai Naga?" Hantu Lereng Lawu
menoleh ke arah gurunya.
' Lalu, kenapa tidak kau coba menghadapinya"
Kau takut mendengar nama besarnya" Ha-ha-ha, da-
sar sapi!" ujar Empu Wadas Gempal sambil memegangi
perutnya yang diguncang tawa.
' Bukan begitu, Ki Lurah Sepuh. Kami sengaja
tidak meladeninya sebab ada pesan dari Pendekar Pe-
risai Naga yang harus kami sampaikan kepada Ki Lu-
rah." 'Pesan" Pesan apa?" sahut Hantu Lereng Lawu.
' Pendekar Perisai Naga menantang Ki Lurah
pada malam purnama bulan ini di mulut Desa Cemara
Pitu!" "Ha-ha-ha, ho-ho ho, he-he-he, dasar tolol!" La-gi-lagi Empu Wadas Gempal
memegangi perutnya yang
turun-naik. ' Gembala kambing itu mengira kita takut
menghadapi Perisai Naganya yang kesohor itu, Guru. "
Hantu Lereng Lawu pun tertawa tergelak-gelak
' Kesohor bagi anak-anak kemarin sore macam
orang dari Kadipaten Banyu Asin ini, bukan" Ha-ha-
ha!" Mahesa Lawung mengumpat-umpat dalam hati
dianggap sebagai anak kemarin sore. Namun, ia hanya
berani menggerakkan bola matanya, melirik Empu
Wadas Gempal yang masih saja tertawa. Baru kali ini
ia bertemu muka dengan orang sakti dari Hutan Keta-
pang itu. Selama ini ia hanya mendengar cerita dari
Adipati Sorengdriyo.
Memang, selama Hantu Lereng Lawu merajale-
la, belum pernah gurunya ini turun tangan memban-
tunya. Karena memang Hantu Lereng Lawu belum
pernah menjumpai kesulitan. Pendekar-pendekar dari
golongan putih merasa jerih berhadapan dengan
orang-orang sesat dari Lereng Lawu ini, yang menye-
barkan maut dari desa ke desa. Baru sekarang ini
muncul Pendekar Cambuk Naga di dunia ramai.
* * * Sosok Empu Wadas Gempal tak jauh berbeda
dengan sosok muridnya. Mereka sama-sama berperut
buncit, berkepala botak, dan berambut merah serta jarang. Bahkan keduanya sama-
sama suka bicara kasar
sambil tertawa. Yang membedakan mereka berdua, se-
lain usia juga pakaian yang mereka kenakan. Empu
Wadas Gempal memakai jubah merah dan celana
pangsi merah pula, sedangkan Hantu Lereng Lawu
berpakaian serba hitam dan serba kedodoran.
Hantu Lereng Lawu menghentakkan kakinya ke
lantai. Hampir saja Mahesa Lawung terjengkang sebab
ia merasakan lantai itu bergetar hebat.
"Ada lagi pesan dari gembala kambing itu?"
tanya Hantu Lereng Lawu.
"Ya, ya, ya, Ki Lurah!" Mahesa Lawung men-
gangguk dalam-dalam. ' Katanya, Ki Lurah jangan
sampai datang seorang diri!" Sengaja Mahesa Lawung
memancing agar Hantu Lereng Lawu melibatkan gu-
runya dalam pertempuran antara hidup dan mati me-
lawan Pendekar Perisai Naga nanti.
' Maksudmu, dia ingin aku dan Guru menge-
royoknya?"
' Begitulah pesannya, Ki Lurah. Dia memang ke-
lihatan pongah sekali. Padahal, kalau saja saya tidak harus menyampaikan pesan
ini kepada Ki Lurah, pasti
sudah saya kirim ke neraka dia!"
"Apa kau pikir kau lebih hebat dari aku" Apa
perlu kubelah tubuhmu agar bacotmu tidak bisa see-
naknya bicara?" Mata Hantu Lereng Lawu semakin
memerah. ' Bukan, bukan begitu, Ki Lurah. Maksud
saya...." "Ha-ha-ha, he-he-he, ho-ho-ho!" Tawa Empu Wadas Gempal menghapus
ketegangan yang terjadi.
' Cacing tanah berangan-angan bisa menelan ular be-
ludak! Kau pikir Pendekar Perisai Naga bisa kau usir dengan pedang curian
milikmu itu" Kau lebih pantas
menyandang golok pemotong daging, Balung Sapi!"
" Setan alas! Mahesa Lawung kembali men-
gumpat dalam hati. Dianggapnya dia tak pantas me-
nyandang pedang yang kebetulan memang mirip den-
gan pedang milik Hantu Lereng Lawu.
' Mahesa Lawung!"
"Ya, Ki Lurah?"
' Suruh Adipati Sorengdriyo mengajak orang-
orang Banyu Asin melihat bagaimana aku mencincang
Pendekar Perisai Naga!"
"Baik, Ki Lurah."
* * * Kedatangan Kebo Dungkul sehari setelah keda-
tangan Mahesa Lawung di Lereng Lawu membuat ke-
marahan Hantu Lereng Lawu semakin menjadi-jadi.
Kebo Dungkul pun melapor bahwa Pendekar Perisai
Naga telah datang ke Desa Sanareja dan menculik Tri-
nil. ' Jadi, kenapa kau biarkan saja dia pergi, Kebo
Dungu?" sergah Hantu Lereng Lawu menyahut
"Aku sendiri kebetulan tidak di sana, Kakang.
Kalaupun aku di sana, belum tentu juga aku melihat-
nya. " ''Matamu yang sebelah masih bisa melihat atau tidak, Kebo Dungkul!"
' Maksudku, dia datang langsung ke kamar dan
membawa pergi Trinil...."
' Bedebah! Bosan hidup! Apa dia pikir aku takut
menghadapi Perisai Naga" Tiga puluh tahun yang lalu
memang Perisai Naga membuatku hampir mampus.
Sekarang" Ah, kenapa bulan purnama tak kunjung da-
tang!" omel Hantu Lereng Lawu berkepanjangan.
"Tak perlu Kakang Pragosa maju. Serahkan ke-
padaku jika memang dia berani muncul lagi ke Desa
Sanareja."
' Otak kerbau! Enak saja kau bicara! Jangan la-
gi menghadapi Pendekar Perisai Naga, sedangkan
menghadapi murid Ki Sempani saja kau hampir mod-
ar!" sergah Hantu Lereng Lawu.
' Yang datang bukan si Tua Bangka itu, Kakang.
Hanya muridnya, anak ingusan yang bernama Joko
Sungsang itu."
"Apa" Jadi, bukan Wiku Jaladri?"
' Menurut cerita yang aku dengar, dia memang
bersenjatakan cambuk, tetapi usianya tidak lebih dari dua puluh tahun."
'Ya, tetapi sama saja! Wiku Jaladri akan menu-
runkan semua ilmu yang dimilikinya kepada murid
tunggalnya. Kalau tidak, tidak akan dia berani menan-tangku bertarung hidup dan
mati malam purnama
nanti!" 'Jadi, Kakang Pragosa sudah bertemu dengan
anak ingusan itu?"
' Sekarang dia yang menguasai Desa Cemara Pi-
tu. Baru kemarin Mahesa Lawung datang ke sini mem-
berikan laporan. Sekaligus ia menyampaikan pesan
bahwa Pendekar Perisai Naga yang ingin bertarung
denganku di Desa Cemara Pitu purnama nanti."
Kebo Dungkul mengusap-usap mata kapaknya.
Lalu katanya, ' Kalau saja Kakang Pragosa mengizin-
kan, biarlah aku yang menghadapi anak demang itu.
Dan, seharusnya akulah yang ditantang sebab aku
yang menghabisi nyawa Ki Demang Sanareja."
' Sudah kubilang, dia bukan lawanmu. Kalau
saja aku tidak memperdalam Jurus Bidadari Mengurai
Benang Kusut, belum tentu aku bisa mengalahkannya.
Tetapi, lihat saja nanti. Kalau memang kau lebih pantas bertanding dengannya,
biarlah aku jadi penonton.
Sekarang, lebih baik kau pergi ke Banyu Asin. Pasti-
kan bahwa Adipati Sorengdriyo tidak akan mengkhia-
nati kita."
' Mengkhianati kita" Kenapa Kakang Pragosa ti-
ba-tiba berpikiran begitu?"
'Tak perlu banyak pertanyaan! Berangkatlah ke
Banyu Asin, dan katakan kepada Adipati Sorengdriyo
bahwa aku menghendaki kehadirannya purnama nanti
di Desa Cemara Pitu!"
* * * Dalam pada itu, perjalanan Joko Sungsang me-
nuju Desa Dadapsari kembali terhalang. Kali ini ia harus turun tangan
memberantas ketidakadilan. Bukan-
kah tidak adil jika ada seorang gadis belia dikeroyok puluhan lelaki" Dan, Joko
Sungsang semakin ingin secepatnya turun tangan begitu mengenali siapa sesung-
guhnya gadis berpakaian serba putih dan bersenjata-
kan tombak pendek bermata dua itu!
Akan tetapi, serta-merta ia menjadi bimbang. Ia
khawatir, jangan-jangan gadis itu justru tersinggung menanggapi pertolongannya.
Toh dia masih kelihatan
perkasa menghadapi lawan lawannya. Sepintas kilas
tadi, Joko Sungsang mendengar teriakan lelaki yang
memakai ikat kepala berwarna merah itu. Lelaki ber-
senjatakan trisula itu menyebut-nyebut nama Adipati
Sorengdriyo. Berarti, mereka jelas ada hubungannya
dengan Mahesa Lawung. Mereka termasuk punggawa
Kadipaten Banyu Asin yang bertugas memungut upeti
dari desa ke desa. Tetapi, bagaimana bisa bentrok dengan murid Ki Sempani"
Joko Sungsang memang tidak tahu apa yang
terjadi sebelum Sekar Arum bertarung melawan anak
buah Mahesa Lawung ini. Sewaktu ia tiba, pertarun-
gan sudah lewat beberapa jurus. Bahkan Sekar Arum
telah mengeluarkan tombak pendeknya. Ini berarti il-
mu silat tangan kosong gadis itu tak mungkin diperta-
hankan lagi. Siapa sebenarnya orang-orang yang menge-
royok Sekar Arum ini" Mereka tak lain adalah anak
buah Kebo Dungkul yang telah bergabung dengan
anak buah Mahesa Lawung. Mereka memang ditu-
gaskan merampas hasil bumi Desa Pilangsari. Akan te-
tapi, kali ini mereka tidak hanya ingin mengambil upe-ti, melainkan juga ingin
menodai anak gadis Ki Wase-
so, demang desa itu. Sewaktu mereka menyeret gadis
malang itulah Sekar Arum lewat dan menghadang me-
reka, 'Anjing anjing keparat! Mau kalian apakan ga-
dis itu?" tegur Sekar Arum mengejutkan mereka.
Untuk sejenak mereka membeliakkan mata.
Mereka seolah tidak percaya pada pandang mata me-
reka sendiri. Seorang gadis cantik, berpakaian celana pangsi putih, baju putih,
dan pinggulnya terbungkus
kain parang rusak begitu tenang menghadang puluhan
lelaki seorang diri. Tanpa senjata pula.
"Ha-ha ha, ada yang lebih cantik dan menggi-
urkan datang tanpa kita undang!" kata lelaki berikat kepala merah, pimpinan
rombongan itu. "Ya, aku datang memang untuk menggantikan
gadis itu," kata Sekar Arum. ''Lepaskan gadis itu, dan keroyoklah aku!"
"Oh, bidadariku yang cantik, tak perlu kami
mengeroyokmu. Aku akan memiliki mu untuk kujadi-
kan istri. Mereka tidak akan mungkin berani meng-
ganggumu, Cah Ayu," sahut lelaki berikat kepala me-
rah itu. 'Sebelum kau memperistri aku, sebutkan na-
mamu supaya aku bisa mempertimbangkan lamaran-
mu," kata Sekar Arum sembari maju mendekati lelaki
itu. ' Namaku" Oh, seluruh desa di tlatah Banyu
Asin ini tahu siapa Carang Gupita, Cah Manis. Dan,
namamu?" "Aku akan menyebutkan namaku jika kau bisa


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyentuh tubuhku!"
"Apa" Ha-ha-ha! Gampang sekali persyaratan-
nya, Cah Denok" Nah, diamlah biar aku gendong kau
pulang ke Banyu Asin!" Carang Gupita maju selangkah
dan merentangkan kedua belah lengannya. Akan teta-
pi, sebelum tangan itu menyentuh tubuh Sekar Arum,
sebuah tendangan membuat lelaki itu terpelanting.
"Peri busuk! Rasakan trisulaku!" Carang Gupita
bangkit dan langsung menyerang dengan senjatanya
yang tadi diselipkan di pinggang. Namun, untuk kedua kalinya lelaki itu
merasakan derasnya tendangan tumit mungil gadis itu. Kalau saja ia tidak
memiliki sedikit ilmu kekebalan, sudah pasti tubuhnya luluh-lantak
dibuatnya. Melihat Carang Gupita kewalahan menghadapi
lawan, mereka yang tadinya menjadi penonton seren-
tak mengurung Sekar Arum. Lebih dari dua puluh le-
laki bersenjatakan golok dan tombak mengeroyok gadis keluaran Padepokan Karang
Bolong itu. * * * 9 Sekar Arum tak mungkin terus-menerus meng-
hindari serangan. Untuk itu, ia meloloskan tombak
pendeknya yang tersembunyi di balik kain parang ru-
sak yang membalut pinggulnya. Beberapa golok ter-
pental begitu beradu dengan tombak pendek bermata
dua yang berputar mirip baling baling itu. Dan, para pengeroyok yang kehilangan
golok itu semuanya merasakan nyeri yang menyerang bahu kanan mereka.
Meskipun lebih dari lima orang telah meloncat mundur menjauhi arena pertarungan,
tetap saja Sekar Arum
kerepotan menghadapi para pengeroyoknya. Apalagi
mereka yang masih tinggal kini mulai menggunakan
jurus-jurus andalan mereka.
Dua orang pengeroyoknya roboh bermandikan
darah sewaktu gadis itu mengeluarkan Jurus Mengail
Mangsa Keluar Sarang. Tengkuk mereka terhujam
tombak pendek gadis itu.
Inilah jurus yang hampir saja menamatkan ri-
wayat Kebo Dungkul, kalau saja waktu itu tidak da-
tang Hantu Lereng Lawu menolongnya, pikir Joko
Sungsang dari tempat persembunyiannya.
Matahari tinggal separuh bulatan. Sebentar lagi
gelap akan menyelimuti arena pertarungan itu. Maka
gadis itu akan merugi sebab para pengeroyoknya rata-
rata berpakaian hitam. Sementara itu, para penge-
royoknya akan merasa beruntung sebab gadis itu ber-
pakaian serba putih. Kalau saja mereka bertarung di
bawah panas terik, gadis itulah yang beruntung. War-
na putih pakaiannya akan menyilaukan mata lawan-
lawannya. Tetapi, sekarang yang terjadi sebaliknya.
Warna putih itu akan memudahkan lawan-lawannya
untuk mengirimkan serangan menuju sasaran!
Joko Sungsang melihat gadis itu mulai terde-
sak. Putaran tombak pendek gadis itu tak lagi secepat tadi. Patukan-patukan
tombak bermata ganda itu pun
tak lagi mematikan. Napas gadis itu mulai memburu.
Sementara itu, lawan-lawannya punya kesempatan un-
tuk mengatur napas sebab sekarang mereka menye-
rang bergantian.
Joko Sungsang tak lagi mempertimbangkan ke-
tersinggungan gadis murid Ki Sempani itu Maka, se-
waktu mata trisula Carang Gupita hampir menyeruduk
pinggang Sekar Arum secepat kilat ia melayang turun
dari pohon tempat persembunyiannya dan mengirim-
kan tendangan ke bahu kanan Carang Gupita. Tak
mengira bakal menerima serangan dari arah lain, Ca-
rang Gupita tak sempat lagi menghindari. Tak pelak
lagi, tendangan Joko Sungsang membuat tubuh lelaki
itu terpelanting beberapa tombak di sebelah kanan Sekar Arum.
Melihat Carang Gupita terbanting dan tak ban-
gun lagi, para pengeroyok yang lain berlompatan mun-
dur, Mereka menyadari kehadiran lawan baru yang il-
munya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat gadis itu.
Akan halnya Sekar Arum" Hampir saja ia me-
nyerang lelaki lancang yang kini berdiri di sampingnya itu kalau saja ia tidak
mengenali Perisai Naga yang melingkar di pinggang lelaki muda itu.
"Maaf, saya terpaksa lancang membantumu.
Sebentar lagi hari gelap. Warna pakaianmu akan men-
guntungkan mereka," kata Joko Sungsang sebelum
Sekar Arum membuka mulut.
' Terima kasih. Kalau tidak salah, saya sedang
berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga."
' Panggil saja aku Joko Sungsang. Terlalu berat
bagiku menyandang gelar itu," sahut Joko Sungsang
merendah. ' Mari kita bereskan dulu tikus-tikus bau ini,
baru kita teruskan obrolan kita!" kata Sekar Arum seraya kembali memasang kuda-
kuda. Tanpa dikomando, lawan mereka terbagi men-
jadi dua kelompok. Sekelompok mengurung Joko
Sungsang, dan sekelompok lagi tetap mengurung Se-
kar Arum. Kali ini pertarungan tidak lagi seimbang. Selain mereka telah
kehilangan Carang Gupita, tentu sa-ja kehadiran Joko Sungsang membuat mereka
sema- kin sia-sia memeras tenaga. Apalagi mereka menyadari bahwa anak muda yang telah
menjatuhkan Carang
Gupita ini tak mau melukai lawan. Anak muda yang
juga berpakaian serba putih ini hanya berjumpalitan
ke udara untuk menghindari serangan. Kalaupun
membalas menyerang, hanyalah dengan totokan-
totokan yang membuat lengan-lengan mereka kejang
dan tak mampu lagi menggenggam senjata.
' Katakan kepada Mahesa Lawung bahwa kalian
bertemu dengan Pendekar Perisai Naga! Maka kalian
akan mendapatkan ampunan jika kalian kembali ke
Banyu Asin tanpa membawa hasil rampasan!" seru Jo-
ko Sungsang seraya meledakkan Perisai Naga tiga kali.
Sinar hijau-kebiru-biruan menyilaukan mata.
Tak perlu lagi mereka menyangsikan ucapan anak
muda itu. Ya, inilah Pendekar Perisai Naga yang di-
jumpai Mahesa Lawung di Desa Cemara Pitu, pikir me-
reka seraya berlompatan mundur. Dalam sekejap ma-
ta, mereka telah menghilang dari pandang mata Joko
Sungsang dan Sekar Arum.
' Sebaiknya segera kita tinggalkan desa ini sebe-
lum penduduk desa kebingungan menjamu kita," kata
Sekar Arum. "Aku pun berpikiran begitu," sahut Joko Sung-
sang. Dua bayangan putih berloncatan meninggalkan
Desa Pilangsari. Di pinggiran hutan jati yang membentang tak jauh dari Desa
Pilangsari, barulah Joko Sungsang dan Sekar Arum menghentikan langkah mereka.
Sekar Arum duduk menyandar pohon seraya memijit-
mijit bahu kanannya yang terasa nyeri lagi. Baru dis-adarinya bahwa bahu itu
sesungguhnya belum sem-
buh benar. Tenaga Hantu Lereng Lawu memang luar
biasa. Hanya berbenturan senjata saja cukup mem-
buat bahu kanan gadis itu seperti terlepas dari badan.
"Kau sempat terkena pukulan mereka?" tanya
Joko Sungsang. "Ah, tidak. Dan, aku yakin kau pun tahu pe-
nyebab bahu ku sakit hingga sekarang ini," kata gadis itu mengira bahwa Pendekar
Perisai Naga ini sedang
berpura-pura tidak tahu.
' Bagaimana mungkin" Kita baru bertemu seka-
rang...." "Dan, baru sekarang aku bisa mengucapkan terima kasihku atas
pertolonganmu tempo hari," tukas
Sekar Arum. "Oh, ingat aku sekarang! Kau salah mengerti.
Waktu itu bukan aku yang menolongmu...."
'Tak ada duanya Pendekar Perisai Naga di du-
nia ini, bukan?"
'Ya. Memang hanya guruku yang pantas me-
nyandang gelar itu."
"Oh, maaf! Bukan itu maksudku. Maksudku,
siapa lagi kalau bukan kau?" Gadis itu tersipu-sipu, merasa telah menyinggung
perasaan lelaki muda yang
baru saja dikenalnya itu.
"Aku baru saja hendak menjelaskan bahwa Kiai
Wiku Jaladri yang telah menolongmu waktu itu." Sekar Arum semakin malu
dibuatnya. Karena itulah ia hanya
bisa menekap mukanya untuk menutupi wajahnya
yang kian memerah lantaran malu.
"Aku pun membawa salam dari guruku terun-
tuk Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong," lanjut
Joko Sungsang. Kini wajah gadis itu berseri-seri, la merasa
bangga nama gurunya dikenang oleh Pendekar besar
macam Pendekar Perisai Naga dari Jurang Jero.
' Dengan senang hati aku akan menyampaikan-
nya kepada guru jika aku kembali ke Karang Bolong
nanti," kata Sekar Arum.
' Apakah ini berarti aku tidak kau izinkan ikut
ke Karang Bolong?" sindir Joko Sungsang.
' Maksudmu, kau juga ingin bertemu dengan Ki
Sempani?" Semakin berseri wajah gadis itu. Oh, betapa bahagianya berjalan berdua
dengan lelaki ini menuju
Pantai Laut Selatan, pikir gadis itu.
' Kalau memang kau tidak keberatan berjalan
berdua denganku," kata Joko Sungsang.
' Guruku akan senang sekali mendengar kabar
tentang Kiai Wiku Jaladri. Apalagi jika kabar itu diden-garnya langsung dari
mulut murid Pendekar Perisai
Naga sendiri," kata gadis itu sebelum berdiri dan melangkah.
' Kalau begitu, kita bisa bertemu lagi purnama
nanti di Desa Cemara Pitu. Atau, mungkin aku boleh
menemuimu" Di mana?"
Gadis itu berhenti melangkah dan membalik-
kan badannya. ' Kenapa mesti bertemu di Desa Cemara Pitu?"
tanya gadis itu sembari mengerutkan dahi.
' Karena aku ada urusan dengan Hantu Lereng
Lawu di desa itu pada malam purnama nanti. Setidak-
nya, setelah malam itulah aku baru bisa pergi meng-
hadap Ki Sempani."
"Ada urusan apa dengan orang sesat dari Le-
reng Lawu itu?" Semakin dalam kerutan di dahi gadis
itu. "Atas perintahnya, Kebo Dungkul telah mem-
bunuh ayahku."
Sekar Arum manggut-manggut paham. Ia me-
mang tidak meragukan kehebatan ilmu silat anak mu-
da ini. Tetapi, bagaimana seandainya Empu Wadas
Gempal ikut campur dalam pertempuran di Desa Ce-
mara Pitu nanti"
"Baiklah. Kita bisa bertemu di mana saja sete-
lah malam purnama nanti. Tetapi, tentu saja kau yang harus menentukan tempat
pertemuan kita," kata Joko
Sungsang. Betapa pun ia ingin sekali untuk dapat ber-duaan bersama gadis itu
lebih lama lagi, namun kerin-duannya untuk bertemu dengan ibu yang melahirkan-
nya tak bisa dibendungnya lagi.
"Aku akan menemuimu di Desa Cemara Pitu.
Aku kira, aku harus melihat pertarungan pendekar
sakti macam kau dan Hantu Lereng Lawu."
' Jangan terlalu merendahkan diri. Aku sudah
tahu kehebatan ilmu silat Padepokan Karang Bolong,"
sahut Joko Sungsang merasa risih menerima pujian
yang berlebihan.
Kemudian mereka berpisah meski dengan hati
yang berat. Joko Sungsang sendiri mengakui bahwa
hatinya berdesir-desir begitu melihat gadis dari Padepokan Karang Bolong ini.
Namun, ia berusaha men-
campakkan perasaannya terhadap gadis itu. Ia ingat,
masih banyak tugas yang dipikulnya. Seperti yang di-
pesankan Wiku Jaladri kepadanya, ''Kalau memang
kau harus membunuh Hantu Lereng Lawu dan Kebo
Dungkul, jangan karena didasari oleh dendam. Sebab,
tanpa ayahmu terbunuh pun orang-orang macam Han-
tu Lereng Lawu dan Kebo Dungkul memang harus dis-
ingkirkan dari muka bumi. Tunjukkan bahwa kau
membasmi kejahatan bukan karena tuntutan kepen-
tingan pribadimu, melainkan karena memang sudah
menjadi kewajibanmu "
Joko Sungsang mempercepat langkahnya. Kini
tubuhnya seperti bangau yang terbang rendah. Hanya
sesekali saja kedua telapak kakinya menyentuh tanah.
Inilah ilmu meringankan tubuh yang dilatihnya selama hampir lima tahun dalam
kubangan di dasar jurang
itu. Hampir tengah malam sewaktu Joko Sungsang
memasuki Desa Dadapsari. la melihat beberapa orang
peronda malam berjaga-jaga di mulut desa. Tak sulit
baginya untuk menghindarkan diri dari pandang mata
para peronda itu. la toh bisa melintas lewat dahan
yang satu ke dahan yang lain. Setelah melewati gardu peronda itu, barulah ia
melayang turun dan berjalan
sambil merapatkan tubuh ke pagar.
Rumah tempat Nyai Demang mengungsi selama
tujuh tahun itu telah ditemukannya. Inilah tempat ke-diaman Wasi Ekacakra, teman
sejati Wiku Jaladri. Se-
perti halnya yang dilakukan Wiku Jaladri, yang dila-
kukan Wasi Ekacakra juga mengasingkan diri dari du-
nia persilatan, la menyamar menjadi petani di Desa
Dadapsari sebab ia tak ingin lagi terlibat urusan saling bunuh dan saling
mendendam. Sebagai pendekar yang ilmunya setingkat den-
gan Wiku Jaladri maupun Ki Sempani, Wasi Ekacakra
tentu saja mendengar langkah seseorang memasuki
halaman rumahnya. Sekalipun Joko Sungsang telah
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, te-
tap saja getar telapak kakinya dirasakan oleh Wasi


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ekacakra. Namun, mata tajam bekas pertapa itu segera
mengenali Perisai Naga yang melilit di pinggang anak muda yang berpakaian serba
putih ini. Maka Wasi
Ekacakra menarik napas lega sebelum membuka pintu
dan menyapa, ''Selamat datang di pondok saya, Anak-
mas. " Joko Sungsang membatalkan niatnya menyeli-
nap ke balik pohon. Rasa malu karena tertangkap ba-
sah secepatnya ia campakkan. Ia sadar bahwa yang di
hadapinya kali ini bukan sembarang orang yang se-
nang menertawakan orang lain.
' Selamat malam, Kiai. Maafkan saya, Kiai. Te-
tapi, bukan maksud saya...." "
' Saya mengerti, Anakmas. Kakang Wiku Jaladri
sudah berpesan kepada saya tentang kedatangan
Anakmas. Hanya saja saya tidak mengira akan secepat
ini," tukas Wasi Ekacakra. ' Silakan masuk, Anakmas."
'Terima kasih, Kiai. Tetapi, malam sudah mulai
larut. Sebenarnya, kedatangan saya malam ini hanya
ingin memastikan bahwa keadaan Nyai Demang baik-
baik saja."
' Berkat lindungan-Nya, Nyai Demang sehat-
sehat saja, Anakmas. Nyai Demang tentu kaget jika
melihat Anakmas datang menengoknya."
' Tentunya juga atas kemurahan hati Kiai maka
Nyai Demang sehat hingga sekarang ini. Untuk itu,
saya hanya bisa berdoa semoga Gusti Yang Maha
Agung yang akan membalas kemurahan hati Kiai."
' Sudah menjadi kewajiban saya, Anakmas. Apa
pun yang bisa saya lakukan untuk menolong, pasti
akan saya lakukan. Tetapi, kenapa Anakmas seper-
tinya tidak ada waktu untuk bertemu dengan Nyai
Demang walau hanya sebentar?"
' Kiai, maafkan saya. Saya kira, akan lebih ba-
hagia hati Nyai Demang jika saya menemuinya setelah
saya selesai menunaikan tugas-tugas saya. Dan, saya pun akan merasa lebih lega
menemui Nyai Demang setelah tidak ada lagi sesuatu yang mengganggu pikiran
saya. " "Saya bisa memakluminya, Anakmas. Kalau
begitu, dalam beberapa hari ini saya akan menunggu
kedatangan Anakmas kembali. Tetapi, percayalah
bahwa kedatangan Anakmas malam ini tetap akan
saya rahasiakan di depan Nyai Demang. "
' Terima kasih, Kiai. Sekaligus saya minta doa
restu Kiai agar saya tetap bisa kembali menemui Kiai."
Joko Sungsang membungkuk hormat sebelum me-
ninggalkan halaman rumah itu.
* * * Rasa rindu terhadap perempuan yang telah me-
lahirkannya ke dunia ini terpaksa ditahan tahannya.
Entah kenapa, begitu berhadapan dengan Wasi Ekaca-
kra, pikiran Joko Sungsang serta-merta berubah. Tiba-tiba ia sadar bahwa tugas
utamanya bukan menemui
Nyai Demang, melainkan memberantas kejahatan. Lagi
pula, betapa hati perempuan tua itu akan lebih tenteram setelah ia mendengar
bahwa Kebo Dungkul dan
Hantu Lereng Lawu tak mungkin lagi mengganggu ke-
tenangannya. Malam purnama yang dijanjikannya kepada
Hantu Lereng Lawu masih beberapa malam lagi baru
tiba. Joko Sungsang masih memiliki hari-hari untuk
lebih memperdalam ilmu silatnya. Untuk itu ia mencari tempat yang tak mungkin
terjamah kaki manusia.
Sengaja ia memasuki hutan dan mencari tempat ter-
lindung untuk bersemedi. Selain itu ia juga sengaja melatih kembali jurus-jurus
silat maupun jurus jurus Perisai Naga hingga tak selangkah pun gerak yang ter-
lupakannya. Pemusatan pikiran, latihan pernapasan, serta
pengendalian perasaan membuat Joko Sungsang terle-
na pada urusan duniawinya. la tak lagi merasa harus
menunggu-nunggu hingga purnama tiba. Sewaktu
tanpa sengaja pandangan matanya menangkap warna
merah bulan penuh di ufuk Timur, seketika itulah ia
ingat janjinya kepada Hantu Lereng Lawu.
Desa Cemara Pitu seperti desa mati yang tak
berpenghuni Penduduk desa itu telah menutup pintu
rumah masing-masing semenjak matahari tenggelam
sore tadi Seperti yang dipesankan oleh Joko Sungsang kepada mereka, tak seorang
pun diperbolehkan keluar
dari pintu rumah sebelum terdengar ledakan Perisai
Naga sebanyak tujuh kali berturut-turut
Keadaan di bawah tujuh pohon cemara di mu-
lut desa itu seolah-olah mengisyaratkan bahwa tempat itu hanya boleh didatangi
oleh orang-orang yang berilmu silat tinggi. Barang siapa gegabah melintasi
tempat itu maka tak sampai tujuh langkah nyawa mereka
akan melayang. Hanya mereka yang berilmu silat tinggi yang bi-
sa merasakan bahwa tempat itu menyembunyikan le-
bih dari sepuluh sosok tubuh manusia. Kebo Dungkul
menempati semak semak di bagian pojok Barat semen-
tara Mahesa Lawung menempati semak-semak yang
berseberangan jalan. Beberapa langkah dari mulut de-
sa itu telah berjejer anak buah Mahesa Lawung mau-
pun anak buah Kebo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu
Mereka semuanya siap dengan senjata tergenggam erat
di telapak tangan. Joko Sungsang sendiri tidak mengi-ra bahwa kedatangannya
bakal disambut oleh baris
pendem ini. Namun, bukan Pendekar Perisai Naga jika me-
rasa was-was menyadari jumlah orang yang bersem-
bunyi di kanan-kiri jalan di bawah tujuh pohon cemara itu. Dari dengus napas
yang tertangkap oleh telinganya, Joko Sungsang bisa memastikan jumlah mere-
ka yang sedang melakukan baris pendem ini.
Bulan purnama berada dua tombak di atas ca-
krawala. Warna pakaian yang dikenakan Joko Sung-
sang seakan bercahaya tertimpa sinar bulan. Maka
amat mudah bagi Kebo Dungkul dan orang-orangnya
untuk mengawasi bayangan putih di bawah pohon ce-
mara itu Dan, sesungguhnyalah sejak Joko Sungsang
memasuki mulut desa itu mereka sudah tak sabar un-
tuk menyergapnya. Akan tetapi, mereka tetap ingat pesan Hantu Lereng Lawu
sebelum mereka berangkat.
"Tak kuizinkan siapa pun menampakkan diri di
hadapan Pendekar Perisai Naga sebelum aku tiba di
tempat itu!" pesan wanti-wanti Hantu Lereng Lawu
kembali mengiang di telinga mereka.
Kebo Dungkul yang sejak tadi sudah meni-
mang-nimang rantai berkapaknya terpaksa harus me-
nahan diri agar tidak melanggar pesan orang pertama
dari Lereng Lawu itu.
Suasana tetap senyap meski Joko Sungsang
sudah berusaha memancing mereka keluar dari per-
sembunyian. Pendekar Perisai Naga ini sengaja me-
langkah mondar-mandir di dekat semak-semak agar
mereka terpancing untuk membokong. Akan tetapi,
hanya desah angin di rerimbunan daun cemara yang
terdengar mengisi kesenyapan malam di tempat itu.
Kesabaran Joko Sungsang lambat-laun terkikis
habis. Untuk apa ia datang ke tempat itu jika hanya
untuk menjadi tontonan mereka yang berada di tempat
persembunyian" Maka, bersamaan dengan hilangnya
kesabaran di dalam dada, tubuh Joko Sungsang mele-
sat ke udara dan kemudian hinggap di salah sebuah
dahan cemara yang berdaun paling rimbun.
' Sekarang kalian tidak bisa lagi menontonku!
Sebaliknya, akulah yang sekarang jadi penonton!" te-
riaknya dari rimbun daun cemara.
' Bocah sombong! Turunlah sebelum kau jatuh
terhempas pohon cemara ini!" sambut Kebo Dungkul
seraya siap menerbangkan kapaknya ke pohon yang
menyangga tubuh Joko Sungsang
' Begitulah seharusnya kau menyambut tamu
agung, Kebo Dungkul! Kenapa mesti sembunyi-
sembunyi?" Joko Sungsang melayang turun dan men-
darat persis di depan Kebo Dungkul.
"Kau jangan lancang, Kebo Dungu!" Tiba-tiba
terdengar bentakan dari arah lain. Dan, dalam sekejap Hantu Lereng Lawu telah
berdiri di belakang Kebo
Dungkul. * * * 10 "Oh, inikah Hantu Lereng Lawu yang kesohor
itu?" sapa Joko Sungsang sambil meneliti sosok Hantu Lereng Lawu dari ujung
rambut hingga jari-jari kaki.
"Ha-ha-ha, dasar bocah ingusan! Nah, amatilah
supaya kau tidak menyesal di alam kuburmu nanti,
Bocah Gembala Kambing!" Hantu Lereng Lawu sengaja
menghindari bayangan daun cemara agar terlihat jelas oleh mata Pendekar Perisai
Naga. ' Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang
lebih pantas mendahului masuk liang kubur atau ke-
layapan menjadi hantu sepertimu, Hantu Lereng La-
wu." 'Gembel busuk! Langkahi dulu mayatku, baru
kau pantas berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu!"
sahut Kebo Dungkul sambil maju selangkah. Akan te-
tapi, tubuhnya terdorong mundur lagi sebab tangan
Hantu Lereng Lawu sigap menarik bahunya.
' Maafkan kelancangan anak buahku yang be-
lum pernah mendengar kebesaran nama Pendekar Pe-
risai Naga," ujar Hantu Lereng Lawu. ''Namun begitu, terlalu pongah jika kau
hanya datang kemari seorang
diri, Anak Demang!"
' Sejak lima puluh tahun yang lalu, Pendekar
Perisai Naga memang tak pernah berkomplot dengan
siapa pun. Apalagi hanya untuk menghadapi orang se-
sat macam kau, Hantu Lereng Lawu."
' Bersiaplah, Bocah Pongah. Tetapi, ingatlah
bahwa aku bukan cecurut macam Mahesa Lawung
yang kau jumpai di sini beberapa hari yang lalu!" Berkata begini Hantu Lereng
Lawu sambil membuka sepu-
luh jari tangannya dan menerjang dada Joko Sung-
sang. Joko Sungsang merasakan sambaran angin
yang begitu kuat lewat di samping telinga kanannya
sewaktu ia merunduk ke kiri menghindari jari-jari
maut Hantu Lereng Lawu itu. Dan, sebelum ia mengi-
rimkan serangan balasan, dengan cepat jari-jari tangan itu berputar setengah
lingkaran ke arah bawah dan
hampir saja menerjang mukanya.
Murid Wiku Jaladri memang belum berpenga-
laman dalam dunia persilatan. Akan tetapi, setidaknya ia pernah mendengar dari
cerita gurunya bahwa jari-jari tangan Hantu Lereng Lawu ini bukan sembarang
jari. Selain jari-jari itu memang besar dan kuat, masih juga dialiri tenaga
dalam yang sempurna. Dalam arena
pertarungan, jari-jari itu seakan berubah menjadi gar-pu baja yang dilumuri
racun. Jangan lagi sampai jari-jari itu tertanam dalam daging, sedangkan sedikit
goresan pada kulit pun sudah cukup membahayakan.
Oleh sebab itu, Joko Sungsang menjatuhkan
tubuhnya sambil menerjang kaki kanan Hantu Lereng
Lawu. Merasa kaki kanannya terancam, orang sesat
dari Lereng Lawu itu menarik kaki kanannya ke bela-
kang sehingga terpaksa ia menggagalkan serangan be-
rikutnya. ' Lumayan juga ilmu silatmu, Bocah Sanareja!"
ujar Hantu Lereng Lawu.
' Sayang, aku tak banyak waktu untuk mela-
deni bocah ingusan! Nah, bersiaplah menghadapi pe-
dangku!" Melihat lawan sudah menghunus senjata, Joko
Sungsang pun mengurai Perisai Naga dari pinggang-
nya. Tiga puluh tahun yang lalu, Hantu Lereng Lawu
memang merasa cemas menghadapi kehebatan Perisai
Naga. Akan tetapi, sekarang ia malah tertawa-tawa seraya berkata, "Ayo,
seranglah aku dengan cambuk
kambingmu itu, Pendekar Perisai Naga!"
Sungguh, baru kali ini Joko Sungsang men-
jumpai lawan yang berani menertawakan Perisai Na-
ganya. Malahan mengejek sebagai cambuk kambing!
Menggelegak darah muda Joko Sungsang. Maka tanpa
menunggu lawan menyerang, ia mendahului mengi-
rimkan serangan. Dan, inilah Jurus Naga Melilit Gu-
nung. Dengan sekali lecut, Perisai Naga berhasil melilit pinggang Hantu Lereng
Lawu. Sekejap saja cambuk itu
melingkar di pinggang Hantu Lereng Lawu. Sebab, se-
belum Joko Sungsang sempat menghentakkan Perisai
Naganya, tubuh Hantu Lereng Lawu mendahului ber-
putar dan pudarlah lilitan cambuk itu.
Joko Sungsang terpana. Tak disangkanya la-
wan bisa menangkal Jurus Naga Melilit Gunung. Tentu
saja ia tidak mengira bahwa Hantu Lereng Lawu telah
mempelajari Jurus Bidadari Mengurai Benang Kusut
Tak pernah sekelumit pun Wiku Jaladri mengin-
gatkannya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu itu
memiliki jurus penangkal Perisai Naga.
"Ha-ha-ha! Jangan besar kepala karena kau
memiliki Perisai Naga, Bocah Goblok! Nah, sekarang gi-liranku memamerkan
kehebatan pedangku!" Hantu Le-
reng Lawu memutar pedangnya di atas kepala. Pedang
yang berwarna keemasan itu kini berubah bentuk
menjadi payung berwarna kuning menyilaukan. Dan,
putaran pedang itu tiba tiba menerjang leher Joko
Sungsang. 'Tring!" Bunga api berpijaran akibat benturan dua sen-
jata. Sewaktu Joko Sungsang berjumpalitan ke udara
dan mengirimkan balasan ke arah kepala lawan, ketika itulah pedang Hantu Lereng
Lawu memayungi kepalanya. Maka bola berduri Perisai Naga yang hampir
mematuk kepala Hantu Lereng Lawu pun terpental.
''Kau pikir aku begitu bodoh membiarkan batu
akikmu itu menyentuh kepalaku" Ha-ha-ha! Dasar Bo-


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cah Tolol!" ujar Hantu Lereng Lawu.
Dalam pada itu, Kebo Dungkul, Mahesa La-
wung, dan para anak buah mereka begitu terpaku me-
nyaksikan pertarungan yang sedang berlangsung. Se-
makin lama mereka memperhatikan, semakin mereka
terkagum-kagum. Mereka tidak lagi melihat sosok
Hantu Lereng Lawu maupun Joko Sungsang. Mereka
hanya melihat bayangan putih dan bayangan hitam
saling menyerang dengan senjata-senjata yang berwar-
na kuning dan hijau-kebiru-biruan.
Puluhan jurus telah terlewati. Namun, belum
seorang pun di antara mereka berdua kelihatan terde-
sak Joko Sungsang sendiri baru sekarang mengakui
nama besar Hantu Lereng Lawu. Bukan mustahil jika
banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban ke-
ganasan orang sesat dari Lereng Lawu ini. Berkali-kali Joko Sungsang berhasil
melilitkan Perisai Naga ke tubuh lawan, tetapi berkali-kali pula lilitan itu
pudar sebelum ia sempat menghentakkan Perisai Naganya.
'Tong!" Untuk kedua kalinya bola berduri di ujung Pe-
risai Naga membentur payung pedang yang memben-
tengi tubuh Hantu Lereng Lawu. Namun, kali ini tubuh mereka sama-sama surut
beberapa langkah ke belakang. Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat senjata-
senjata mereka beradu. Kalau saja Joko Sungsang ti-
dak tekun melatih pernapasan, sudah barang pasti ia
akan terjengkang dan tidak bangun lagi.
Akan halnya Hantu Lereng lawu" Orang sesat
yang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia
persilatan ini diam-diam memuji kehebatan ilmu silat anak muda dari Sanareja
ini. Diam-diam ia bersyukur
tidak membiarkan Kebo Dungkul coba-coba mengha-
dapi anak muda ini. Maka ia pun mengakui bahwa
anak muda dari Padepokan Jurang Jero ini memang
pantas bergelar Pendekar Perisai Naga!
Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri yang me-
nyerang pangkal lengannya, kembali Hantu Lereng La-
wu menerjang dengan pedangnya. Kali ini pedang itu
tidak lagi berputar. Pedang itu bergerak separuh lingkaran ke kanan-kiri dengan
gerakan menyilang.
Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang kecuali
melenting ke udara sambil melindungi tubuhnya den-
gan putaran cambuknya. Ia yakin, pedang itu bakal
memburunya ke udara. Namun, tanpa diduga-duga,
tangan kiri Hantu Lereng Lawu mengirimkan pukulan
sewaktu Joko Sungsang hampir menjejakkan kakinya
ke tanah. ' Desss!" Tumit Joko Sungsang beradu dengan kepalan
tinju orang sesat dari Lereng Lawu itu. Tubuh Joko
Sungsang berguncangan sementara tubuh Hantu Le-
reng Lawu terlempar beberapa tombak ke belakang.
' Cincang anak ingusan itu!" Perintah Hantu Le-
reng Lawu kepada anak buahnya setelah ia berhasil
berdiri lagi di atas kuda-kudanya.
Kebo Dungkul, Mahesa Lawung, dan sepuluh
orang anak buah mereka langsung mengurung tubuh
Joko Sungsang. Bahkan sebelum Joko Sungsang
bangkit, mereka telah menyerang bersamaan Terpaksa
murid Wiku Jaladri ini bergulingan kembali untuk
menghindari pedang Mahesa Lawung dan rantai ber-
kapaknya Kebo Dungkul yang mengancam tubuhnya.
Keadaan seperti ini memang sudah diramalkan
oleh Joko Sungsang. Tidak akan Hantu Lereng Lawu
berani bertarung satu lawan satu sampai titik darah
penghabisan. Masih untung Empu Wadas Gempal ti-
dak ikut mengeroyoknya.
"Tar! Tar! Tar!"
Perisai Naga meledak tiga kali, dan tiga orang
anak buah Hantu Lereng Lawu terpental dengan ken-
ing menyemburkan darah. Dalam sekejap saja bola
berduri di ujung cambuk itu melibas tiga kening lelaki malang itu.
Melihat tiga anak buahnya tewas, Hantu Lereng
Lawu mulai menerjang Joko Sungsang lagi. Kini Joko
Sungsang merasa kewalahan menghadapi keroyokan
mereka. Untuk menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-
rang diri pun ia merasa harus berjuang mati-matian,
apalagi sekarang ditambahi dengan serangan Mahesa
Lawung dan kebo Dungkul. Bolehlah ujung-ujung
tombak anak buah mereka itu diabaikan. Tetapi, ha-
ruskah Joko Sungsang mengabaikan tiga orang yang
kini telah bergabung itu"
Perisai Naga menyambar-nyambar, tetapi pe-
dang Hantu Lereng Lawu selalu berhasil memagari me-
reka bertiga. Rupa-rupanya Hantu Lereng Lawu hanya
bertugas menangkis serangan, sementara ia menu-
gaskan Mahesa Lawung dan Kebo Dungkul untuk
membalas serangan.
Empat orang anak buah Hantu Lereng Lawu ja-
tuh lagi. Tetapi, hanya itulah yang bisa diperbuat Joko Sungsang. la
menyingkirkan orang-orang bertombak
ini supaya ia lebih bisa konsentrasi menghadapi tiga orang tangguh yang
mengurungnya. Namun, meskipun
akhirnya anak buah Hantu Lereng Lawu maupun anak
buah Mahesa Lawung terkapar semuanya, tetap saja
Joko Sungsang terdesak. Hampir-hampir tiga orang
lawannya ini tak memberinya kesempatan untuk
membalas. Mereka terus menerjang dengan jurus-
jurus yang mematikan.
Joko Sungsang merasakan tenaganya mulai
terkuras. Ke mana pun ia menghindar, salah satu sen-
jata lawan selalu membuatnya. Mereka bertiga seakan
sudah terlatih untuk bersatu mengeroyok. Satu-
satunya kemungkinan adalah menjatuhkan salah satu
dari mereka bertiga terlebih dulu. Dan, tentu saja Mahesa Lawung yang paling
mungkin untuk segera dija-
tuhkan. Mulailah Joko Sungsang mengarahkan seran-
gan cambuknya ke tubuh Mahesa Lawung. Namun, di
luar dugaannya, Hantu Lereng Lawu selalu melindungi
orang kepercayaan Adipati Sorengdriyo itu. Setiap Perisai Naga bergerak melilit,
setiap itu pula tubuh Hantu Lereng Lawu yang terlilit. Sudah pasti tubuh orang
sesat dari Lereng Lawu ini maju dengan Jurus Bidadari
Mengurai Benang Kusut.
Joko Sungsang benar-benar merasakan tena-
ganya terkuras habis. Kalaupun ia masih lincah
menghindari serangan mereka, gerakan menghindar
ini pun semakin menguras tenaganya. Dan, selama
Hantu Lereng Lawu masih ada di antara mereka, maka
Joko Sungsang merasa percuma menyerang.
Dalam keputusasaannya, Joko Sungsang tiba-
tiba melihat bayangan putih menyerang Kebo Dungkul.
Sebelum ia bisa menebak siapa yang muncul memban-
tunya ini, bayangan putih itu berteriak,
' Biarkan aku membalas rasa sakit hatiku, Jo-
ko!" "Arum" Sekar Arum!" desah Joko Sungsang
merasa lega. Bagaimanapun juga kehadiran gadis itu
akan memisahkan Kebo Dungkul dari Hantu Lereng
Lawu dan Mahesa Lawung.
' Rupanya kau melepaskan gadis itu, Kebo
Dungu?" ujar Hantu Lereng Lawu. Ia masih ingat se-
waktu ia berhasil membuat gadis itu tak berdaya beberapa hari yang lalu di depan
kedai itu. "Kau menyesal melepaskan aku waktu itu,
Hantu Keparat?" sahut Sekar Arum.
Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tak
disia-siakan oleh Joko Sungsang. Begitu Kebo Dungkul mulai sibuk menghadapi
serangan tombak pendek di
tangan Sekar Arum, dan perhatian Hantu Lereng Lawu
terpecah, saat itulah Perisai Naga melecut dan melilit leher Mahesa Lawung. Dan,
dengan sekali hentak, Ma-
hesa Lawung tersungkur dengan leher menyemburkan
darah. Bola berduri ujung Perisai Naga membabat
urat-urat leher orang dari Kadipaten Banyu Asin ini.
"Dia memang pantas mati, Bocah Tolol! Tetapi,
ingatlah kau masih harus menghadapiku! Dan, jangan
berangan-angan kau bisa melilitkan cambuk kam-
bingmu ke tubuhku!" teriak Hantu Lereng Lawu seraya
memutar tubuhnya seperti gasing.
Kembali menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-
rang diri, kekacauan pikiran Joko Sungsang mulai bisa teratasi. Dan, melihat
lawannya hanya berbentuk gu-lungan sinar kuning, ia serta-merta ingat latihan-
latihannya di pusaran air kali. Maka ia pun ingat Jurus Mematuk Elang dalam Mega
yang bisa menerobos
pusaran air kali sederas apa pun.
"Berputarlah sepuasmu, Hantu Gasing!" kata
Joko Sungsang sebelum melenting ke udara dan me-
matukkan bola berduri di ujung cambuknya dengan
Jurus Mematuk Elang dalam Mega.
Hampir saja bola berduri itu berhasil menem-
bus putaran tubuh Hantu Lereng Lawu ketika tiba-tiba ada angin kuat melabrak
tubuh Joko Sungsang. Tubuh murid Wiku Jaladri ini terpental dan bola berduri itu
tertarik menjauh dari kepala Hantu Lereng Lawu.
"Ho-ho-ho, he-he-he, hi-hi-hi! Rupanya tua
bangka penggembala kambing itu masih punya jurus
simpanan!" Empu Wadas Gempal memegangi perutnya
sambil menarik-narik kumisnya.
''Selamat datang, Guru," sambut Hantu Lereng
Lawu sambil membungkuk hormat ke arah gurunya.
' Kalau saja aku tidak kebetulan lewat di sini,
kau sudah dikirim ke neraka oleh penggembala muda
itu, Pragosa!" sahut Empu Wadas Gempal.
' Kebetulan lewat" Bilang saja kalian memang
sudah berjanji main keroyokan di sini! Tua bangka tidak tahu diri!" sembur Sekar
Arum setelah berhasil
mengirimkan tumitnya yang mungil ke perut Kebo
Dungkul. Terhuyung-huyung Kebo Dungkul sambil me-
megangi perutnya yang melilit-lilit. Tadi ia memang
lengah sehingga tumit gadis itu berhasil menerjang perutnya. Kehadiran Empu
Wadas Gempal membuyar-
kan konsentrasi Kebo Dungkul.
"Ha-ha-ha! Sesukamulah kau menuduh, Cah
Ayu! Yang pasti, aku datang memang untuk membu-
nuh kalian berdua! Nah, tinggalkan Kebo Dungkul,
dan bantulah Pendekar Perisai Naga menghadapiku!"
Empu Wadas Gempal mendorongkan kedua telapak
tangannya, dan angin yang keluar dari telapak tangan itu menjauhkan tubuh Kebo
Dungkul dari hadapan
Sekar Arum. ' Kalaupun kami harus mati, kami memilih mati
secara ksatria! Pantang bagi kami main keroyokan se-
perti orang-orangmu!" sergah Sekar Arum.
' Kalau begitu, hadapilah aku, Gadis Bengal!"
Berkata begini, Hantu Lereng Lawu langsung mengha-
dang di depan murid Ki Sempani.
"Kau merasa pernah mengalahkanku, Hantu
Keparat" Tetapi, kali ini, jangan harap pedangmu itu bisa menyentuh pakaianku!
Bersiaplah sebelum tom-bakku memburaikan ususmu!" Sekar Arum memutar
tombak pendeknya. Dua mata tombak itu berkilauan
tertimpa sinar bulan.
' Tunggu apa lagi, Bocah Bagus" Kawanmu su-
dah mulai menyerang, kenapa kau masih juga beku?"
ujar Empu Wadas Gempal sambil mengirimkan angin
telapak tangannya ke arah Joko Sungsang.
Meski sudah berusaha berkelit, tetap saja Joko
Sungsang merasakan sambaran angin dari telapak
tangan tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini. Bahkan
hembusan angin itu sempat membuat ikat kepalanya
terbang. "Nah, kalau saja aku mengeluarkan seluruh te-
nagaku, kepalamulah yang terbang, Anak Demang!"
Joko Sungsang merasa tidak mungkin meng-
hadapi kakek sakti ini hanya dengan tangan kosong.
Maka ia bersiap-siap dengan Perisai Naga tergenggam
erat di tangannya.
''Cobalah kau serang aku dengan jurus baru
ciptaan gurumu itu! Aku memang belum tahu nama
jurus itu, tetapi aku bukan Hantu Dungu yang tak
kenal semedi itu, Bocah Ingusan!"
"Ya! Dan, tidak seharusnya kau mencampuri
urusan bocah-bocah ingusan, Wadas Gempal!" Tiba-
tiba terdengar jawaban seseorang dari kerimbunan
daun cemara. Empu Wadas Gempal membatalkan serangan-
nya, ia menoleh ke arah datangnya suara seraya men-
girimkan serangan jarak jauh. Terdengar suara dahan
berderak patah, dan nampaklah sesosok tubuh me-
layang turun dan mendarat di depan Joko Sungsang.
"Maaf, Anakmas. Orang tua dari Hutan Keta-
pang ini memang bukan lawan kalian berdua," kata
Wasi Ekacakra sambil menoleh ke belakang.
"Ho-ho-ho! Kau rupanya! Aku memang sudah
lama menunggumu, Ekacakra! Hanya sayangnya, di
sini ada anak-anak ingusan yang tidak tahu urusan ki-ta berdua! Baik, ini memang
bukan urusan tua bangka
seperti kita! Urusan kita bisa kita selesaikan lain waktu!" Empu Wadas Gempal
berjumpalitan ke belakang
dan menghilang di kerimbunan semak-semak.
"Nah, Anakmas Joko Sungsang, saya harus te-
tap mengawasi kepergian kakek dari Hutan Ketapang
itu. Selesaikanlah urusan kalian berdua!"
"Terima kasih, Kiai," ucap Joko Sungsang sam-
bil membungkuk hormat. Dan, sewaktu ia menenga-
dahkan mukanya, petani tua dari Desa Dadapsari itu
telah menghilang dari pandang matanya.
Melihat gurunya kabur, Hantu Lereng Lawu
memberikan isyarat kepada Kebo Dungkul agar cepat-
cepat meninggalkan gadis murid Ki Sempani itu. akan
tetapi, Joko Sungsang telah menghadang dengan puta-
ran Perisai Naganya.


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' Urusan kita belum selesai, Hantu Lereng La-
wu!" kata Joko Sungsang kembali bersiap-siap dengan
Jurus Mematuk Elang dalam Mega yang tadi digagal-
kan oleh Empu Wadas Gempal.
' Jangan besar kepala, Anak Demang! Kau kira
cambukmu masih bisa melecutku tanpa kehadiran gu-
ruku?" 'Cobalah kau berputar lagi, dan aku memang
tidak akan melilitkan cambukku ke tubuhmu! Tetapi,
bola di ujung cambuk inilah yang pasti memecahkan
tengkorak kepalamu!"
' Pergilah ke neraka menyusul kedua orang tua-
mu!" Hantu Lereng Lawu memutar tubuhnya dengan
pedang menyilang di dada.
Karena tak mau lagi menguras tenaga, Joko
Sungsang pun langsung menerapkan Jurus Mematuk
Elang dalam Mega. Bersamaan dengan itu, Sekar Arum
melenting ke atas kepala Kebo Dungkul dan ketika tu-
run... crasss! Tombak pendek bermata dua itu menan-
cap di tengkuk Kebo Dungkul.
Kebo Dungkul tersungkur dengan leher bolong
tertusuk tombak pendek murid Ki Sempani. Dan, di
hadapan Joko Sungsang pun, Hantu Lereng Lawu ter-
jerembab setelah tubuhnya limbung dan kepalanya pe-
cah terpatuk batu cincin berduri di ujung Perisai Naga.
Sekar Arum dan Joko Sungsang tersenyum le-
ga. Serentak mereka menyimpan senjata masing-
masing ke pinggang. Lalu, Joko Sungsang mendahului
membuka suara, ' Sekarang kita ke Padepokan Karang Bolong?"
' Nanti, setelah kau berhasil mengalahkanku!"
jawab Sekar Arum seraya mendahului melompat me-
ninggalkan tempat berbau amis darah itu.
Bukan Pendekar Perisai Naga jika dalam seke-
jap mata tidak bisa menyusul langkah gadis itu! Itu
pun dilakukannya setelah terlebih dulu ia memungut
ikat kepalanya yang tadi tercampakkan oleh sambaran
angin telapak tangan Empu Wadas Gempal.
"Kau belum cerita kenapa kau pergi dari Ka-
rang Bolong, Arum," kata Joko sungsang sambil berlari di samping gadis murid Ki
Sempani itu. Gadis itu melirik, dan kemudian jawabnya, ' Ka-
lau saja aku tidak bertemu dengan Pendekar Perisai
Naga, mungkin aku tetap tidak menyadari bahwa ilmu
silatku masih memalukan di dunia persilatan!"
"Ah, aku tidak melihat kelemahan ilmu silatmu.
Jangan terlalu merendahkan diri, Arum. Aku yakin, Ki Sempani tidak mungkin mau
membawa seluruh ilmunya ke liang kubur."
' Akulah yang keras kepala. Guru belum menu-
runkan semua ilmunya kepadaku, tetapi aku berkeras
pergi dari padepokan. " Wajah gadis itu kini tertunduk.
Pandang matanya yang semula galak menjadi sayu.
Joko Sungsang menghela napas lega. Ia merasa
tega sebab gadis ini menyadari kekeliruannya. Lalu dia pun melihat penduduk Desa
Cemara Pitu mulai berke-luaran dari rumah mereka masing-masing. Sebelum
para penduduk desa tersebut sempat mengucapkan te-
rima kasih, Joko Sungsang dan Sekar Arum telah ber-
kelebat meninggalkan mereka.
' Kalian kubur mayat-mayat itu dengan baik!
Dan sekarang kalian bisa menikmati hasil panen sen-
diri tanpa diganggu lagi!" Joko Sungsang mengirimkan suaranya dari jarak jauh
pada penduduk desa yang
sedang bergembira itu.
SELESAI https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Avicke
Kisah Pendekar Bongkok 8 Pedang Medali Naga Karya Batara Dendam Iblis Seribu Wajah 22
^