Pencarian

Hantu Lereng Lawu 1

Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu Bagian 1


Pendekar Pedang Matahari 1 Kelabang Ireng
HANTU LERENG LAWU Oleh Werda Kosasih
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Werda Kosasih Serial Pendekar Perisai Naga
dalam episode: Hantu Lereng Lawu
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Bulan purnama mengintip di balik mendung.
Tak seperti biasanya jika bulan purnama tiba, kali ini Desa Sanareja tak ubahnya
sebuah kuburan tua.
Sunyi dan senyap. Sejak matahari tenggelam, pendu-
duk desa itu pantang keluar dari rumah mereka. Me-
reka berusaha sebisa mungkin agar cepat tertidur.
Akan tetapi, bagaimana mungkin bisa tidur jika hati
dan pikiran mereka dicekam ketakutan"
Ki Linggar, demang di desa itu, melangkah
mondar-mandir di pendopo rumahnya. Sesekali saja le-
laki berusia enam puluh tahun itu mengintip ke hala-
man sambil menajamkan pendengarannya.
''Kenapa tak kau biarkan saja Perdopo dan Sa-
radan berjaga-jaga di sini, Ki?" kata Nyai Demang memecah keheningan. Sudah
beberapa lama perempuan
itu duduk meringkuk di sudut pendopo sambil me-
mandangi gerak-gerik suaminya.
' Untuk apa" Mengantarkan nyawa?" jawab Ki
Linggar tanpa mengalihkan pandang matanya yang
menghunjam ke lantai.
' Lalu, apa kau bisa menghadapi orang-orang
itu seorang diri?"
"Aku tidak akan menghadapi mereka dengan
kekerasan! Kekerasan hanya akan mengundang cela-
ka!" "Apa yang akan kau perbuat?"
"Ya, apa yang harus aku perbuat" Ki Linggar
alias Ki Demang Sanareja menanyai dirinya sendiri
Mungkinkah aku mampu menghadapi kemarahan
Hantu Lereng Lawu hanya dengan permintaan maaf
ku" Tetapi, untuk melawannya seorang diri, apa mod-
alku" Jangan lagi aku melawannya seorang diri, se-
dangkan seandainya seisi desa ini aku kerahkan untuk mengeroyoknya pun belum
tentu bisa menang. Dan,
sudah pasti Hantu Lereng Lawu datang bersama anak
buahnya! Ki Demang Sanareja menghela napas berat
sambil menengadahkan wajahnya ke langit langit pen-
dopo. Namun, bukan lagi anyaman bambu yang terli-
hat di sana, melainkan gambaran yang mengerikan.
Tergambar di langit-langit pendopo itu sejumlah pen-
duduk desa yang terkapar bermandikan darah!
Ya, itulah yang akan terjadi jika mereka ku ke-
rahkan untuk melawan Hantu Lereng Lawu beserta
anak buahnya, pikir lelaki tua itu seraya kembali me-langkahkan kakinya.
' Tidak seharusnya kau menanggung perkara ini
seorang diri," kata Nyai Demang meneruskan.
' Sebaiknya Nyai tidur saja. Biarlah aku sendiri
yang menghadapi mereka."
"Aku tidak akan tidur jika aku belum melihat
kau selamat!" sahut Nyai Demang.
' Nyai, aku memang mungkin tidak akan sela-
mat. Tetapi, Nyai harus tetap selamat demi anak kita."
"Apa kau pikir mereka akan puas dengan mem-
bunuh kau seorang?"
Ki Demang Sanareja menarik napas. Serta-
merta terngiang kembali di telinganya ancaman Hantu
Lereng Lawu tujuh hari yang lalu, ' Kalau memang da-
lam tujuh hari ini kau belum menyerahkan orang yang
membunuh anak buahku, kau sekeluarga yang akan
ku basmi, Demang Goblok!"
"Para peronda itu seharusnya ikut bertanggung
jawab. Siapa tahu sebenarnya mereka yang membu-
nuh...!" ' Mereka tidak mungkin bisa mengalahkan anak
buah Hantu Lereng Lawu! Apalagi sampai membunuh!"
tukas Ki Demang Sanareja.
'Tapi, apa mungkin ada orang dari desa lain
yang membuang mayat itu ke desa kita?"
' Mungkin saja! Karena orang itu ketakutan jika
harus berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu?"
''Pengecut!"
Ki Demang Sanareja tak lagi menyahuti ucapan
istrinya. Dan, seperti yang dipikirkan pada malam-
malam sebelumnya, ia kembali memeras otak, menca-
ri-cari siapa kira-kira orang yang telah melancarkan fitnah itu" Siapa pengecut
itu" Bagaimana mungkin ia berani mencurigai seseorang jika nyatanya ia merasa
tidak pernah menyakiti hati seseorang, apalagi memu-
suhi. Suara burung emprit gantil semayup terbawa
angin. Bulu kuduk suami istri itu merinding. Sudah
menjadi kepercayaan penduduk di desa itu bahwa jika
terdengar kicau burung emprit gantil maka kematian
akan mewarnai malam! Dan, jantung Ki Demang Sana-
reja hampir copot ketika tiba tiba terdengar suara ke-tukan di pintu.
' Siapa?" sapa Ki Demang Sanareja.
' Saya, Ki. Saradan!" jawab Saradan agak berbi-
sik. Cepat-cepat Ki Demang Sanareja membuka pin-
tu. ' Bukankah sudah kubilang agar kau tidak ke-
luar rumah?" bentak Ki Demang Sanareja begitu ber-
hadapan dengan Saradan.
' Saya dipaksa Perdopo, Ki. Saya disuruh me-
nemaninya mencegat mereka di mulut desa...."
' Cari penyakit!" tukas Ki Demang Sanareja.
' Sekarang juga suruh Perdopo pulang!"
' Sekarang Perdopo sedang berkelahi melawan
mereka, Ki."
"Apa?" Mata Ki Demang Sanareja membelalak.
Sungguh, ia tidak mengira Perdopo akan senekat itu.
Memang Perdopo memiliki ilmu silat yang cukup lu-
mayan. Tetapi, apalah artinya jika harus berhadapan
dengan Hantu Lereng Lawu dan anak buahnya"
' Perdopo...."
' Pasti mati!" sergah Ki Demang Sanareja.
''Sekarang, pulanglah jika kau ingin selamat.
Mudah-mudahan saja mereka cukup puas telah mem-
bunuh Perdopo."
' Tapi, bagaimana mungkin kami tega melihat Ki
Demang menjadi tumbal desa ini?"
' Kalau aku lari dari desa ini, seisi kampung ini
akan dihabisi! Mengerti" Kalau memang kalian tidak
tega melihat aku dan keluargaku mati, seharusnya ka-
lian tidak bawa kemari mayat itu! Kenapa baru seka-
rang kau pikirkan tentang keselamatanku sekeluarga?"
Saradan menundukkan kepala sambil mere-
mas-remas sarung yang dikalungkan di lehernya.
' Kalau memang kau ingin membantuku, pergi-
lah ke dalam. Bantu Nyai Demang membawa Joko lari
dari desa ini. Tak usahlah kau pikirkan keselamatan-ku. Ini sudah menjadi
tanggung jawabku sebagai de-
mang di desa ini."
"Tak akan ada yang bisa lari dari desa ini, Ki
Demang!" Tiba-tiba saja salah seorang anak buah Han-
tu Lereng Lawu telah berdiri di reg kademangan itu.
' Kebo Dungkul!" seru Ki Demang Sanareja da-
lam hati. la paham betul siapa yang sedang dihada-
pinya. Inilah orang kedua dalam kelompok orang-orang sesat yang dipimpin Hantu
Lereng Lawu! Dan, sebelum
Ki Demang Sanareja mengucapkan sepatah kata pun
untuk menyambut kedatangan Kebo Dungkul, dua
orang anak buah Hantu Lereng Lawu yang lain muncul
di belakang Kebo Dungkul. Salah seorang dari mereka
menyeret mayat Perdopo seperti halnya menyeret gede-
bok pisang. Kebo Dungkul tertawa. Lalu katanya, ''Sebe-
narnya kami datang bukan untuk membunuh orang-
orangmu, Ki Demang. Tetapi, agaknya kau telah per-
siapkan cecurut ini untuk menyambut kami di mulut
desa. Untuk itu, sebagai imbalan atas keberanian ka-
lian melawan kami, terpaksa kami harus membasmi
seisi desa ini!" Berkata begini Kebo Dungkul lantas meraba senjata yang
melingkar di lehernya, seuntai rantai yang pada salah satu ujungnya terkait
sebuah mata kapak selebar telapak kaki orang dewasa.
Kedua sisi mata kapak berkilat tertimpa cahaya
obor yang baru saja diselipkan Saradan di tiang regol.
Karena cahaya obor ini pula maka Ki Demang Sanareja
mengenali wajah Kebo Dungkul dan kedua kaki-
tangannya. Wajah wajah yang tidak bersahabat.
Meskipun sudah sering mendengar cerita tentang se-
pak terjang Kebo Dungkul, baru kali ini Ki Demang
Sanareja melihat dengan mata kepala sendiri wajah
itu. Mata yang merem sebelah itu dinaungi alis yang
tebal. Hidung yang menjulur di sela-sela alis mata itu lebih mirip gagang golok.
Bibirnya yang tebal tak bisa terkatup jika tidak dipaksakan, sebab terganjal dua
buah gigi yang menjorok keluar.
' Tunggu apa lagi kalian?" bentak Kebo Dungkul
kepada dua lelaki yang berdiri di kanan-kirinya. "Bunuh seisi rumah ini sebelum
mereka coba-coba melari-
kan diri!"
' Sabar, Kisanak," kata Ki Demang Sanareja
sembari menghadang langkah kedua anak buah Hantu
Lereng Lawu itu.
"Ada apa lagi, Ki Demang?" tanya Kebo Dung-
kul seraya melangkah maju.
' Kalau memang kalian belum puas membunuh
Perdopo, bunuhlah aku. Tetapi, jangan ganggu anak
dan istriku.' ' Terlalu enak buatmu, Ki Demang! Ayo, tunggu
apa lagi?" Kebo Dungkul melotot ke arah dua kaki-
tangannya. Dan, karena Ki Demang Sanareja tetap ti-
dak mau minggir, seperti dikomando kedua lelaki itu
bersamaan mengirimkan tendangan ke arah dada lela-
ki tua itu. "Augh!" Ki Demang Sanareja terlempar dan ja-
tuh terjerembab.
"Ki Demang!" Saradan berlari hendak meno-
long, tetapi secepat kilat Kebo Dungkul mengayunkan
rantai berkapak ke arah lehernya.
' Laknat!" kutuk Ki Demang Sanareja setelah
melihat Saradan berkelojotan dengan leher hampir pu-
tus. Darah menyembur dari leher lelaki itu.
"Kau pun akan bernasib sama dengannya sete-
lah nanti kau dengarkan jerit kematian anak dan is-
trimu, Ki Demang," ujar Kebo Dungkul sambil menga-
lungkan kembali rantai berkapaknya ke leher.
Sementara itu, Nyai Demang menjerit-jerit
sambil mengejar lelaki yang membopong Joko Sung-
sang ke halaman. Kebo Dungkul tertawa-tawa me-
nyaksikan pemandangan yang menurutnya menggeli-
kan itu. 'Binatang!" Dengan sisa tenaga yang dimili-
kinya, Ki Demang menerjang Kebo Dungkul. Akan te-
tapi, apalah arti serangan lelaki setengah tua yang tidak mengenal ilmu silat
itu bagi Kebo Dungkul! Hanya
dengan menggerakkan leher sedikit, terbanglah mata
kapak yang menggantung di leher Kebo Dungkul.
"Crak!"
Mata kapak itu melabrak pelipis Ki Demang
Sanareja. Melihat suaminya tersungkur dengan pelipis terbelah, Nyai Demang
menjerit dan jatuh pingsan.
' Bunuh mereka!" perintah Kebo Dungkul kepa-
da kedua kaki-tangannya sebelum kemudian menghi-
lang di kegelapan malam.
Joko Sungsang meronta-ronta dalam dekapan
lelaki berbibir sumbing itu sambil memanggil-manggil ayah-ibunya. Kedua
tangannya memukuli wajah lelaki
itu. "Anak setan!" bentak lelaki itu seraya men-
gangkat tinggi-tinggi bocah berumur sepuluh tahun
itu. Ketika tubuh bocah itu hendak dihempaskan ke
tanah, tiba-tiba terdengar ledakan cambuk, dan lelaki berbibir sumbing itu
terpelanting. Untuk sejenak teman si Sumbing terpana me-
mandangi seorang kakek-kakek berpakaian serba pu-
tih yang telah berdiri di samping tubuh Nyai Demang
sambil membopong Joko Sungsang.
"Wiku Jaladri...?" desis lelaki itu sambil me-
langkah mundur.
Namun, sewaktu ia hendak membalik langkah
dan kabur, sekali lagi cambuk di tangan Wiku Jaladri meledak. Pedang yang tadi
siap ditebaskan ke leher
Nyai Demang itu, kini menembus leher tuannya.
* * * "Joko.... Ke mana, anakku" Ke mana Joko?"
rintih Nyai Demang begitu siuman.
Dari sekian banyak orang yang mengerumu-
ninya, tak seorang pun bisa memberikan jawaban.
Dan, mereka memang tidak tahu di mana Joko Sung-
sang. Masih hidupkah atau sudah matikah" Sewaktu
mereka beramai-ramai keluar dari rumah masing-


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing, karena mendengar suara kentongan, mereka
tak melihat seorang pun berkelebat di halaman kade-
mangan. Bahkan semula mereka mengira Nyai De-
mang pun sudah tak bernapas lagi.
' Kenapa kalian semua diam saja?" bentak Nyai
Demang marah. ' Kami... kami tidak tahu di mana Den Joko,
Nyai," jawab salah seorang penduduk.
' Kalian memang hanya tahu enaknya saja! Ka-
lian tidak mau tahu bagaimana harus menghadapi
orang-orang jahat itu! Kalian biarkan suamiku yang
sudah tua bangka itu menghadapi mereka seorang di-
ri!" Dengan langkah terhuyung, Nyai Demang mende-
kati tubuh suaminya yang terbujur kaku. Nyai Demang
menekap mulutnya begitu melihat pelipis Ki Demang
yang menganga. Kemudian ia ingat bagaimana kapak
Kebo Dungkul terayun dan melabrak pelipis itu.
"Nyai..?"
"Diam kau! Tak sudi aku mendengarkan oce-
hanmu!" sergah Nyai Demang sebelum lelaki yang ber-
diri di belakangnya menyelesaikan ucapannya.
"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Nyai
Demang. " ' Siapa" Pembunuh itu" Masih kurang puas su-
dah membunuh suamiku dan menculik anakku?"
"Dia bukan pembunuh itu. Nyai. Dia seorang
kakek-kakek. Kami semua memang belum pernah me-
lihatnya. "
Kerumunan penduduk desa itu tersibak. Seper-
ti ada tenaga gaib yang mendorong mereka untuk me-
nyingkir. Kemudian seorang kakek-kakek berusia tidak kurang dari delapan puluh
tahun berjalan mendekati
Nyai Demang. Seperti terkena sihir, tak seorang pun mampu
membuka mulut. Bahkan Nyai Demang sendiri pun
merasa tenggorokannya tersumbat sesuatu. Mata pe-
rempuan itu terbelalak memandangi orang asing yang
lebih mirip mayat hidup itu. Betapa tidak! Lelaki tua itu berpakaian serba
putih. Sekujur rambut yang
nampak pun seputih kapas. Dari alis, kumis, jenggot, dan rambut di kepalanya
putih mengkilap. Rambut
gondrong itu dibiarkan tergerai digerak-gerakkan an-
gin. ' Kakek ini siapa?" tanya Nyai Demang yang
hanya berhenti di tenggorokan. Akan tetapi, lelaki tua serba putih itu seperti
mendengar apa yang terungkap di hati Nyai Demang.
' Nyai Demang tidak perlu tahu siapa saya. Te-
tapi, sayalah yang membawa anak Nyai Demang. Ini
saya lakukan demi kebaikan, demi keselamatan anak
itu. Percayalah, anak Nyai akan aman berada di pade-
pokan saya. Suatu ketika nanti, Nyai akan bisa berte-mu dengannya. Hanya saja,
untuk sementara waktu
ini sebaiknya Nyai jangan menemuinya. Malahan saya
anjurkan agar Nyai mengungsi dari desa ini."
Tanpa memberikan kesempatan bagi penden-
garnya untuk bertanya, lelaki tua yang berpakaian
serba putih itu melesat. Jubah putih yang dikenakan-
nya berkepak bagaikan sayap bangau raksasa.
"Dia bisa terbang!" bisik Nyai Demang kepada
dirinya sendiri. Dewakah dia" Atau jin" Tetapi, tidak mungkin dia itu setan
maupun iblis. Dia tidak jahat.
Sepeninggal tamu aneh itu, mereka ramai
membicarakan lelaki tua yang bisa terbang itu. Mulut mereka yang tadi terkunci
oleh wibawa lelaki serba putih itu baru bisa terbuka setelah mata mereka tak
melihat lagi sosok berwarna putih itu.
* * * 2 Siapa mengira bahwa di kedalaman jurang yang
semestinya hanya menghidupi binatang berbisa Itu
tinggal dua sosok manusia! Satu orang berusia tak kurang dari delapan puluh
tahun, dan satu lagi seorang bocah yang paling banyak berusia sepuluh tahun.
Mereka berdua tak lain dan tak bukan adalah Wiku Jala-
dri dan Joko Sungsang.
Udara gunung yang begitu dingin, binatang
berbisa yang melata-lata setiap saat, atau kepekatan malam tak mereka hiraukan.
Belum lagi mengingat
bahwa di jurang itu tak akan mereka jumpai makanan
yang semestinya dimakan manusia. Mereka berdua
hanya mengandalkan kebiasaan. Kalau memang sudah
terbiasa dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang
bakal menghidupi makhluk tersebut. Begitulah nasihat yang ditanamkan oleh Wiku
Jaladri kepada Joko
Sungsang. "Buah-buahan, dedaunan, dan daging ular
yang ada di sekitar kita inilah yang akan menghidupi kita," kata Wiku Jaladri
menambahkan. Sehari-dua hari Joko Sungsang memang tidak
mau menyentuh santapan yang terhidang di depannya.
Sebagai anak demang, ia sudah terbiasa makan enak.
Tetapi, di jurang ini, ia diharuskan makan buah yang tidak manis dan tidak
pernah dikenalnya. Ada juga
daging, tetapi bukan daging kambing atau sapi.
"Di sini tidak mungkin kita bertemu dengan
kambing atau sapi. Di sini hanya ada ular," kata Wiku Jaladri sebab tahu apa
yang sedang dipikirkan Joko
Sungsang. Udara dingin membuat perut bocah berusia se-
puluh tahun itu semakin melilit-lilit. Sementara itu, tenaganya sudah jauh
menurun. Ia hanya bisa duduk
bersandar di dinding gua.
"Aku membawamu ke sini agar kamu tetap hi-
dup, Joko. Tetapi, kalau kamu tidak mau mengisi pe-
rutmu, bagaimana bisa hidup?"
' Saya mau pulang ke kademangan!" sahut Joko
Sungsang. Di sana tidak ada siapa-siapa Kamu melihat
sendiri bagaimana orang-orang jahat itu membunuh
ayah dan ibumu. Kamu mau hidup sendirian di desa
itu" Orang-orang di desa itu sudah mengungsi semua-
nya ke desa-desa lain. Dan lagi, apa kamu bisa naik ke atas sana" Jurang ini
jauh lebih dalam dari sumur di kademangan. Bagaimana kamu bisa pulang?"
' Tapi, kenapa Kiai bisa naik-turun?"
Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh menden-
gar kepolosan bocah itu.
' Nanti aku tunjukkan bagaimana dan kenapa
aku bisa naik-turun jurang ini. Makanlah dulu biar
kamu bisa melihat aku terbang!"
' Terbang" Kiai bisa terbang" Terbang seperti
burung?" "Ya. Terbang seperti burung. Kamu juga bisa
kalau kamu mau aku ajari. Mau?"
Joko Sungsang mengangguk. Tiba-tiba saja
muncul kegembiraan di hatinya. Enak sekali kalau bi-
sa terbang seperti burung, pikir bocah polos itu.
' Kalau begitu, kamu harus makan biar bisa
berlatih terbang. Kalau kamu tidak punya tenaga se-
perti sekarang ini, tidak mungkin kamu bisa berlatih terbang. Ayo, makanlah.
Memang tidak enak. Tapi, la-ma-lama nanti kamu bisa merasakan enaknya daging
ular dan buah-buahan itu."
Ragu-ragu Joko Sungsang meraih sepotong
daging ular panggang. Tapi, setelah lidahnya menyen-
tuh daging itu, ia pun dengan lahap menyantapnya.
"Nah, enak bukan?" Wiku Jaladri terkekeh-
kekeh. Kemudian, sambil menatap Joko Sungsang
yang sedang menikmati daging ular, Wiku Jaladri ber-
cerita panjang-lebar tentang kejahatan orang-orang
yang membunuh Ki Demang Sanareja dan istrinya.
Sengaja lelaki tua itu membenarkan anggapan bocah
itu bahwa ibunya pun terbunuh. Joko Sungsang me-
mang tidak mengira bahwa ibunya malam itu hanya
pingsan karena ngeri menyaksikan kening Ki Demang
Sanareja yang terbelah kapak. Jika bocah itu tahu
bahwa ibunya masih hidup, sudah barang pasti tak
mau ia tinggal di gua bersama kakek-kakek yang be-
lum pernah dikenalnya itu.
''Kiai sudah membunuh mereka, kenapa saya
harus takut" Kenapa orang-orang harus mengungsi?"
Wiku Jaladri manggut-manggut sambil tertawa terke-
keh-kekeh. Malam itu Joko Sungsang memang tidak
melihat bahwa Kebo Dungkul melesat pergi. Dan, tentu saja bocah yang masih polos
itu tidak mengira bahwa
Kebo Dungkul hanyalah salah satu dari orang-orang
jahat yang berilmu tinggi.
' Mereka jumlahnya banyak, Joko. Aku hanya
membunuh dua orang saja malam itu. Dua orang yang
tidak memiliki ilmu silat yang sempurna "
'Tapi Kiai juga tidak punya ilmu silat. Kiai
membunuh mereka hanya dengan ular "
Lagi-lagi Wiku Jaladri terkekeh mendengarkan
kepolosan ucapan bocah itu. Ya, sudah barang tentu
bocah itu mengira Wiku Jaladri malam itu memegang
seekor ular. Sebab cambuk yang dipegang Wiku Jala-
dri memang terbuat dari kulit ular Dan, itulah yang
oleh kalangan persilatan dikenal dengan nama 'Perisai Naga'. Tentu pula Joko
Sungsang belum bisa berpikir bahwa tanpa disentuh ilmu silat yang tinggi maka
Perisai Naga tidak akan berguna, apalagi bisa untuk
membunuh. "Ya, aku membunuh mereka dengan ular. Teta-
pi, ular mati," kata Wiku Jaladri.
'Ular mati?" Secara refleks mata Joko Sungsang
menatap cambuk yang melilit di pinggang Wiku Jaladri
' Cambuk ini aku bikin dari kulit ular, Joko Te-
tapi, kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini tidak akan bisa
membunuh." Berkata begini Wiku Jaladri mengurai Perisai Naga dari pinggangnya
dan mengulurkan kepada Joko Sungsang.
'Panjang sekali Pasti ularnya besar sekali. Kiai
bisa membunuh ular besar" Tidak takut dimakan?"
Joko Sungsang bertanya sambil meneliti cambuk di
tangan Wiku Jaladri.
' Cambuk ini kubuat dari kulit ular, Joko. Teta-
pi kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini tidak akan bisa membunuh!"
Wiku Jaladri menunjuk-
kan PERISAI NAGA-nya pada Joko Sungsang.
' Kiai bisa membunuh ular besar?" Joko Sung-
sang bertanya sambil memperhatikan cambuk itu tan-
gannya. "Ya, ularnya besar sekali. Lebih besar dari po-
hon itu," kata Wiku Jaladri seraya menunjuk sebatang pohon yang nampak dari
dalam gua. "Ular naga?"
"Ya, ular naga kalau dalam dongeng. Oleh ka-
rena itu, cambuk ini aku namakan PERISAI NAGA."
' Saya ingin melihat lagi Kiai memainkan Perisai
Naga ini. Juga ingin melihat Kiai terbang," kata Joko Sungsang. Seperti halnya
bocah-bocah kecil seusianya, tentulah senang melihat sesuatu yang menakjubkan,
yang tidak mungkin bisa mereka lakukan.
Wiku Jaladri menggandengnya keluar dari gua.
Dibawanya Joko Sungsang ke tanah yang sedikit la-
pang yang dipagari pohon-pohon besar dan menjulang
tinggi. "Di sini aku berlatih terbang, " kata Wiku Jaladri.
' Tapi, tempatnya becek sekali, Kiai. Seperti
tempat mandi kerbau," kata Joko Sungsang sambil
mencari-cari tanah yang agak kering dan kuat untuk
berpijak. Untuk merangsang minat bocah itu berlatih si-
lat, Wiku Jaladri sengaja memamerkan ilmu silat yang dimilikinya. Dengan sekali
lecutan, Perisai Naga berhasil menumbangkan sebatang pohon gundul sebesar
tubuh Joko Sungsang.
"Nah, kamu bisa duduk di pohon itu," kata Wi-
ku Jaladri sambil menuding pohon yang baru saja
tumbang. Joko Sungsang terbelalak melihat keajaiban
yang terjadi di depan matanya. Maka masih dengan
mulut ternganga dan mata terbelalak, bocah itu meng-
hampiri pohon tumbang yang melintang tak jauh dari
tempatnya berdiri.
' Masih ingin melihat permainan Perisai Naga?"
tanya Wiku Jaladri sambil menahan tawa.
Joko Sungsang menggeleng. Tiba-tiba saja ada
rasa takut menjalari rongga dadanya. Takut jika semua pohon di sekitarnya
tumbang dan menimpanya.
"Mau melihat bagaimana aku terbang?"
Cepat-cepat Joko Sungsang mengangguk.
' Brebet!" Hanya terdengar suara jubah yang di-
kenakan Wiku Jaladri yang bertabrakan dengan angin
gunung. Tiba-tiba saja lelaki tua berjubah putih itu telah berada di dahan salah
satu pohon yang tingginya
tak kurang dari lima tombak.
Makin lebar mulut Joko Sungsang ternganga.
' Tapi, bagaimana Kiai nanti turun?" katanya
cemas. Seperti burung bangau turun ke punggung ker-
bau, seperti itulah Wiku Jaladri turun dari dahan pohon dan hinggap di pohon
tumbang yang diduduki Jo-
ko Sungsang. ' Kiai tidak punya sayap, tetapi bisa terbang,"
desah Joko Sungsang sambil memandang kagum ke
arah Wiku Jaladri.
' Kalau kamu senang, kamu juga bisa, Joko. "
' Senang sekali kalau bisa terbang. Saya mau
belajar. Tapi, bagaimana caranya, Kiai?"
' Sebelum berlatih terbang, kamu harus lebih
dulu berlatih silat "
' Berlatih silat" Apa burung-burung itu juga
berlatih silat?"
Wiku Jaladri menepuk-nepuk bahu bocah itu.
"Burung, capung, dan sebangsanya bisa ter-
bang karena kodrat. Tetapi, manusia kalau ingin bisa terbang harus berlatih.
Nah, sekarang kita istirahat dulu. Besok baru kita mulai berlatih."


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' Saya mau sekarang, Kiai," bantah Joko Sung-
sang. 'Tubuhmu belum kuat untuk berlatih. Kamu
harus lebih banyak lagi makan daging ular dan buah-
buahan. Sekarang ini tubuhmu masih lemah karena
dua hari kamu tidak mau makan. Selain itu, kamu ju-
ga harus makan sebanyak banyaknya supaya tubuh-
mu jadi kuat. "
* * * Sebelum siang hari, matahari tak pernah bisa
nampak dari kedalaman jurang itu. Kalaupun nampak
pada siang hari, hanyalah samar-samar karena kabut
tebal menghalangi pandangan. Udara pagi begitu din-
gin menggigit. Namun begitu, Joko Sungsang nekat
mengajak Wiku Jaladri berlatih silat. Semangat yang
meluap-luap dalam dada bocah itu mampu mengalah-
kan dinginnya udara pagi di gunung itu.
' Berani kamu masuk ke lumpur itu?" Wiku Ja-
ladri menunjuk kubangan berlumpur yang mirip ku-
bangan kerbau. "Kata Kiai, kita mau latihan silat?" Joko Sung-
sang bertanya tidak mengerti.
' Sebelum berlatih silat, kamu harus berlatih
melawan udara dingin di gunung ini. Ayo, mencebur ke lumpur itu."
Berjingkat Joko Sungsang melangkah mende-
kati kubangan berlumpur.
' Lompat!" teriak Wiku Jaladri.
Joko Sungsang melompat, dan tertancaplah tu-
buhnya di dalam lumpur pekat itu hingga leher.
' Kiai, saya tidak bisa bergerak!"
' Kamu harus mencoba bergerak. Nah, terus!
Terus! Meloncat-loncat ke atas!"
' Tidak bisa, Kiai!"
' Dicoba! Jangan bilang 'tidak bisa'! Dulu aku
juga tidak bisa terbang!" kata Wiku Jaladri memberi-
kan semangat. Joko Sungsang dengan sekuat tenaga mencoba
meloncat-loncat Akan tetapi, sekujur tubuhnya seperti terhimpit. Jangan lagi
untuk meloncat ke atas, sedangkan untuk bergerak ke samping saja berat sekali.
' Tidak bisa, Kiai!" keluh Joko Sungsang. Na-
mun, kepada siapa dia harus mengeluh" Wiku Jaladri
tidak nampak lagi. Entah menghilang ke mana.
Joko Sungsang melihat-lihat ke atas. Barangka-
li saja orang tua itu ada di pohon. Tak ada. Ke mana dia" Bagaimana aku keluar
dari lumpur ini kalau tidak ditolong Kiai"
' Kiai! Kiai! Jangan tinggalkan saya!" teriak Joko
Sungsang. Namun, ia tidak mendengar jawaban dari
Wiku Jaladri. la hanya mendengar gema suaranya
sendiri. Joko Sungsang mencoba melangkah. Tidak bi-
sa. Lumpur itu menggigitnya. Ia terengah-engah keha-
bisan tenaga. la marah kepada orang tua yang tega
menyiksanya itu. Dalam marahnya, ia mencoba meng-
gerakkan kaki dan tangannya. Bisa!
"Nah, sudah mulai bisa bergerak kamu, Joko!"
Joko Sungsang terkejut. Ia menoleh ke arah da-
tangnya suara. la melihat Wiku Jaladri menimang-
nimang Perisai Naga di tangannya. Ia bangga menda-
patkan pujian dari gurunya itu. Guru" Ya, dia memang guruku, pikir Joko
Sungsang. ' Sekarang, cobalah meloncat-loncat!" teriak Wi-
ku Jaladri. Joko Sungsang mencoba meloncat. Sedikit saja
tubuhnya bergerak ke atas. Tak sampai sejengkal. Pa-
dahal, di luar lumpur, ia bisa meloncat setinggi pinggang. 'Cukup! Besok bisa
dicoba lagi!" Berkata begini Wiku Jaladri lantas melayang sambil menggerakkan
Perisai Naga. Seperti seekor ular, cambuk itu membelit tubuh Joko Sungsang. Dan,
sekali hentak tubuh bocah
itu terlontar ke dalam pelukan gurunya.
Setelah diturunkan dari gendongan Wiku Jala-
dri, Joko Sungsang langsung berlutut sambil berucap,
' Sudilah Kiai mulai hari ini menyebut saya sebagai
murid. Dan, bolehkah kiranya saya menyebut Kiai
dengan sebutan guru'?"
Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh. Anehnya,
tawa orang tua itu kali ini menimbulkan getaran se-
hingga tubuh Joko Sungsang terjengkang.
"Bangunlah, Joko. Tak usah kamu berlutut se-
perti menghadap Kanjeng Ratu. Aku memang gurumu.
Tetapi, aku lebih senang jika kamu menyebutku 'Kiai"
saja. Sekarang, pergilah ke sungai dan bersihkan ba-
danmu." ' Terima kasih, Guru... eh, Kiai!" Joko Sungsang
bangkit dan berlari-lari menuju sungai.
Berendam di kedalaman sungai, Joko Sungsang
masih penasaran untuk berlatih. Ia mencoba melon-
cat-loncat. Lebih ringan dibandingkan dengan melon-
cat-loncat di lumpur. Lebih ringan dan lebih tinggi lon-catannya. Jika ia
berdiri biasa, permukaan air sungai menggapai dagunya. Akan tetapi, sewaktu dia
meloncat, permukaan air sungai turun hingga pusarnya.
Maka semakin bersemangat Joko Sungsang berlatih
meloncat-loncat di air.
Tiba kembali di dalam gua, ia melihat Wiku Ja-
ladri sedang menumpuk ranting-ranting kering. Baru
kali ini ia menyadari bahwa di dasar jurang ini tak
mungkin bisa mendapatkan api Lalu dari mana Kiai
bisa memperoleh api"
' Kamu bisa menyalakan kayu bakar ini, Joko?"
tanya Wiku Jaladri seakan tahu apa yang tengah dipi-
kirkan bocah itu.
"Di mana kita bisa mendapatkan api, Kiai?" ba-
lik Joko Sungsang bertanya. Kini tubuhnya menggigil.
Setelah tidak bergerak-gerak, dan dirasakannya udara gunung yang dingin.
Terlebih ia dalam keadaan basah
kuyup. Wiku Jaladri mengurai Perisai Naga dari ping-
gangnya. Matanya yang hanya berupa garis itu mena-
tap batu hitam di samping tumpukan ranting kering.
Ketika ujung Perisai Naga menyentuh batu hitam itu,
keluarlah pijaran api.
Baru kali ini Joko Sungsang mengamati benda
yang menghiasi ujung Perisai Naga. Seperti batu, tetapi bukan batu. Benda yang
berbentuk bulat dan berduri
mirip buah kecubung itu berwarna hijau-kebiru-
biruan. "Itu namanya batu cincin," kata Wiku Jaladri.
"Batu cincin?"
"Ya, seperti yang menghiasi cincin ayahmu."
Joko Sungsang mengangguk kecil-kecil. Kem-
bali tangannya meraba-raba bulatan berduri itu. Meski terbuat dari batu cincin,
duri-duri itu setajam ujung jarum. Bagaimana membuatnya" Dan, bagaimana kalau
mengenai kepala orang"
Maka Joko Sungsang ingat dua orang jahat
yang mati di ujung Perisai Naga itu. Pasti karena leher mereka tergores duri-
duri ini, pikir bocah itu menyimpulkan.
' Cepat keringkan pakaianmu, Joko. Mumpung
api masih besar," anjuran Wiku Jaladri memenggal
lamunan Joko Sungsang.
Joko Sungsang membentang baju satu-satunya
yang dimiliki itu di dekat api. Pikirannya kembali melayang-layang. Semakin
banyak hal-hal yang tidak di-
ketahuinya, yang harus ditanyakan kepada orang tua
sakti ini. * * * 3 Tiga puluh tahun sudah orang-orang dari dunia
persilatan melupakan Wiku Jaladri. Khususnya dari
golongan hitam, mereka menganggap bahwa pendekar
yang bersenjatakan cambuk kulit ular sanca itu sudah tewas di dasar jurang. Tiga
puluh tahun yang lalu,
Empu Wadas Gempal bersama anak buahnya berhasil
mengurung Wiku Jaladri dan menggiring ke bibir ju-
rang. Lalu, dengan serangan serentak mereka mende-
sak Wiku Jaladri. Tak ada jalan lain bagi Wiku Jaladri kecuali menceburkan diri
ke jurang. ' Mereka tidak menyangka bahwa dengan cam-
buk ini aku bisa menyelamatkan diri," kata Wiku Jaladri lebih lanjut.
' Bagaimana cara Kiai menyelamatkan diri?"
tanya Joko Sungsang.
' Seperti inilah caraku menyelamatkan diri."
Berkata begini Wiku Jaladri menjejakkan kedua ka-
kinya ke tanah dan tubuhnya melenting hingga pucuk
sebuah pohon. Sewaktu tubuhnya melayang turun la-
gi, secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke sebuah dahan. Cambuk itu melilit
ketat dahan pohon sehingga Wiku Jaladri bisa bergelayutan.
Joko Sungsang pun mengerti kenapa gurunya
waktu itu tidak remuk terhempas batu cadas di dasar
jurang. 'Sejak itulah aku kemudian memutuskan un-
tuk tinggal di dasar jurang ini," kata Wiku Jaladri setelah duduk kembali di
depan Joko Sungsang ' Berarti
waktu itu Kiai belum bisa...?"
"Ya! Waktu itu ilmu meringankan tubuh belum
aku perdalam. Keadaan yang memaksaku harus mem-
perdalam ilmu meringankan tubuh seperti yang kau
pelajari sekarang ini. Tanpa bisa meringankan tubuh
sesempurna mungkin, tak akan dapat kita keluar dari
dasar jurang ini, Joko," tukas Wiku Jaladri.
' Apakah kemunculan Kiai di dunia ramai ma-
lam itu akan menyadarkan para pendekar bahwa Kiai
ternyata masih hidup" Maksud saya, apa mungkin ada
yang mengenali Kiai malam itu di kademangan?"
' Sudah pasti, Joko. Luka yang diakibatkan lili-
tan Perisai Naga mudah dikenali orang-orang dari ka-
langan persilatan. Jangan lagi Empu Wadas Gempal
sendiri, sedangkan muridnya pun akan tahu bahwa
kaki-tangannya mati karena Perisai Naga. Hantu Le-
reng Lawu akan terbeliak melihat leher kedua anak
buahnya yang tersayat bola berduri ini," jelas Wiku Jaladri seraya menimang-
nimang bola berduri yang
menghiasi ujung Perisai Naga.
' Apakah Kiai yakin Kebo Dungkul akan mene-
mukan mayat kedua orang kaki-tangannya itu?"
' Kenapa tidak" Kau pikir orang-orang desa
sempat mengubur kedua mayat itu" Setelah mengubur
jenazah ayahmu, mereka semua bergegas pergi me-
ninggalkan Desa Sanareja. Mereka tahu apa yang bak-
al menimpa desa itu jika Hantu Lereng Lawu tahu ke-
dua orang anak buahnya tidak kembali."
"Bagaimana dengan jenazah ibu saya, Kiai?"
' Ibumu masih hidup, Joko," kata Wiku Jaladri
setelah tertawa terkekeh-kekeh.
' Masih hidup?" Mata Joko Sungsang terbelalak.
' Sebenarnya, malam itu ibumu hanya pingsan.
Kau masih terlalu kecil untuk membedakan orang
pingsan dan orang mati...."
' Lalu, di mana ibu saya sekarang, Kiai?" tukas
Joko Sungsang tak sabar.
' Saatnya belum tiba untuk memberitahu di
mana ibumu sekarang, Joko. Kau tentu akan nekat
mencarinya jika aku menunjukkan di mana ibumu
mengungsi. Bekalmu belum cukup untuk pergi me-
ninggalkan jurang ini, Joko. Bersabarlah. Kepergianmu hanya akan mengantarkan
nyawa." ' Saya sudah mewarisi seluruh ilmu yang Kiai
miliki. Kenapa Kiai mengkhawatirkan saya?"
' Belum semuanya kau miliki. Kalau hanya un-
tuk menghadapi Kebo Dungkul, aku tidak lagi
mengkhawatirkanmu. Tetapi, menghadapi Hantu Le-
reng Lawu dan gurunya, kau masih akan menemui ke-
sulitan. Selama tiga puluh tahun aku memperdalam
ilmu silatku di dasar jurang ini, selama itu pula aku yakin bahwa Empu Wadas
Gempal pun gigih melakukan latihan-latihan."
' Maksud Kiai, Empu Wadas Gempal selalu
membantu muridnya jika muridnya menemui lawan
yang tangguh?"
' Itulah ciri khas orang-orang dari golongan hi-
tam. Mereka bukan saja membela, malahan tidak malu
mengeroyok beramai-ramai."
' Saya paham, Kiai. Tetapi, izinkan saya secepat
mungkin mendapatkan ilmu pamungkas dari Kiai.
Saya belum lega kalau belum melihat keadaan ibu
saya, Kiai."
''Ibumu sehat-sehat saja. Dia dalam perlindun-
gan sahabat baikku. Tak perlu kau terburu nafsu un-
tuk menyelesaikan pelajaran silatmu. Tak akan sem-
purna segala sesuatu yang dipelajari secara terburu-
buru. Apalagi umurmu masih terlalu muda untuk me-
nerima gemblengan yang bertubi-tubi. Baru lima tahun kau belajar ilmu silat di
dasar jurang ini. Dibandingkan dengan waktu yang aku perlukan untuk memper-
dalam jurus-jurus Perisai Naga, apalah artinya" Ber-
sabarlah. Dan, sekali lagi kau camkan, bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang
paling sakti. Di atas yang sakti masih ada yang lebih sakti. Hanya Tuhan yang
paling sakti, yang tak akan tertandingi oleh siapa pun.
Camkan itu. Agar kau tidak gegabah menganggap ilmu
silat yang kau miliki sekarang ini tak ada yang bisa menandingi. "
''Maafkan saya, Kiai. Saya bukannya tidak
mengingat-ingat nasihat Kiai. Saya tadi hanya terdo-
rong oleh rasa kangen saya bertemu dengan ibu saya,
satu-satunya orang tua saya yang masih hidup," kata
Joko Sungsang penuh sesal.
' Tidak berarti aku akan menegaskan keper-
gianmu, Joko. Tetapi, bukan watak ku melindungi mu-
rid dari ancaman musuh. Lagi pula, aku ingin menu-
runkan semua ilmu yang kumiliki kepadamu agar kau
tidak lagi mengharapkan bantuan dariku."
' Apakah berarti nantinya Kiai tidak mau lagi
bertemu dengan saya?"
' Setelah kau pergi nanti, aku tidak ingin lagi
berhubungan dengan manusia mana pun dan siapa
pun. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di dasar
jurang ini. Aku akan menikmati kemerdekaan ku. Aku
merdeka karena aku tak lagi harus memikirkan nasib


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang kecil yang terjajah angkara murka. Aku
sudah mempunyai kau sebagai wakil ku untuk melin-
dungi mereka dari kekejaman orang-orang sesat.
Amalkan ilmu yang kau dapat dariku agar aku nanti
mati dengan membawa pahala. Kau paham, Joko?"
' Paham, Kiai, dan saya tidak akan melupakan
semua nasihat yang Kiai berikan kepada saya." Joko
Sungsang mengangguk dalam-dalam.
* * * Selama puluhan tahun malang-melintang di
dunia persilatan, baru kali ini Hantu Lereng Lawu merasa cemas. Betapa tidak
cemas! Bermimpi pun ia tak
pernah bahwa ia bakal berurusan dengan Wiku Jala-
dri. Ia tahu persis kemampuan Wiku Jaladri dalam
memerangi kejahatan. Tiga puluh tahun yang lalu, ia
tak yakin masih bisa hidup jika tidak ditolong Empu
Wadas Gempal, gurunya. Hampir saja bola berduri di
ujung Perisai Naga membuat otaknya berceceran jika
tidak ada serangan lain yang membuat Wiku Jaladri
menarik kembali Perisai Naganya.
Dan, Hantu Lereng Lawu merasa pasti bahwa
gurunya pun tidak akan mampu menghadapi Wiku Ja-
ladri seorang diri. Karena itulah Empu Wadas Gempal
meminta muridnya untuk membantu menggiring Wiku
Jaladri ke bibir jurang.
Maka dalam kegelisahannya memikirkan ke-
munculan kembali Wiku Jaladri, Hantu Lereng Lawu
merasa perlu menghadap gurunya di Hutan Ketapang.
' Sudah lama kau tidak datang, Pragosa, " sam-
but Empu Wadas Gempal melihat kemunculan Hantu
Lereng Lawu alias Pragosa.
' Maafkan saya, Guru. Saya menemui Guru ka-
rena saya menemui kesulitan."
"Ha-ha-ha! Dasar anak setan, baru mau datang
jika menemui kesulitan! Tapi, coba kalau sedang me-
nemui kenikmatan, mana mau kau menengok ku,
Hantu Ingusan?" Bahu Empu Wadas Gempal naik-
turun diguncang tawanya.
' Maafkan saya, Guru. Bukan saya tidak mau
membagi-bagi kenikmatan kepada Guru. Hanya saja,
saya selalu ingat bahwa guru sudah tak mau lagi men-
gecap kenikmatan duniawi...."
' Bagus! Otakmu ternyata tidak setumpul otak
kerbau!" sahut Empu Wadas Gempal menukas. ''Lalu,
kesulitan apa yang membuatmu terbirit-birit kemari"
Ha-ha-ha, baru kali ini aku melihat hantu ketakutan!
Bukannya menakutkan, tetapi ketakutan! Lucu, bu-
kan?" 'Mungkin Guru tidak percaya bahwa kali ini
saya harus berurusan dengan Wiku Jaladri."
"Apa?" Tiba-tiba paras muka Empu Wadas
Gempal berubah menjadi tegang. "Apa aku tidak salah
dengar?" ' Tidak, Guru. Wiku Jaladri muncul kembali.
Ternyata dia masih segar-bugar, Guru."
"Dia sudah modar di dasar jurang itu, Pragosa.
Ah, kau pasti mimpi!"
' Sungguh, Guru! Dua orang anak buah saya
mati tersayat Perisai Naga."
' Bagaimana kau bisa menyimpulkan bahwa ti-
kus-tikus itu mati di tangan penggembala kambing
itu?" ''Dari luka-luka di leher mereka, saya bisa
mengenali jenis senjata yang melukai leher mereka.
Garis-garis biru di antara sayatan yang memutuskan
urai leher!"
"Kau lihat sendiri luka-luka itu" Atau hanya
dari cerita Kebo Dungu anak buahmu itu?"
' Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri,
Guru." ''Jangan-jangan matamu yang tidak beres"
Atau kepalamu yang lagi puyeng karena kebanyakan
arak?" Secara refleks Hantu Lereng Lawu mengucek-
ngucek matanya.
' Bukannya saya takut menghadapi tua bangka
itu, Guru. Hanya saja, saya merasa perlu menda-
patkan restu dari Guru," kata Hantu Lereng Lawu yang merasa diejek gurunya.
"Ha ha-ha, dasar otak udang! Julukanmu me-
mang membuatmu jadi pongah, Pragosa. Kalau benar
kau harus menghadapi Pendekar Perisai Naga, kau ha-
rus cari nyawa serep! Jangan lagi kau, aku sendiri saja belum tentu bisa
menandinginya."
' Sebenarnya, bukan Wiku Jaladri yang harus
saya hadapi...."
' Lalu, siapa" Arwahnya?" tukas Empu Wadas
Gempal. ''Muridnya. "
''Muridnya" Pendekar Perisai Naga punya mu-
rid" Ha-ha-ha! Sejak kapan manusia sombong itu mau
menurunkan ilmunya?"
"Dia membawa kabur anak Demang Sanareja,
Guru." 'Tapi, tidak akan dijadikan murid!"
' Kenapa tidak, Guru?"
' Kecuali Pendekar Perisai Naga sudah bosan
hidup!" 'Saya tidak mengerti maksud Guru."
"Dia bersumpah tidak akan mengangkat siapa
pun menjadi muridnya sebelum dia tahu ajalnya bakal
datang!" ' Mungkin sekaranglah saatnya dia harus me-
nurunkan ilmu yang dimilikinya kepada muridnya,
Guru. " "Ah, ternyata penggembala kambing itu tidak
mampus," keluh Empu Wadas Gempal sambil menge-
lus-elus perutnya yang buncit. ''Padahal, orang yang paling goblok pun tahu, tak
ada manusia maupun binatang yang bisa keluar dari jurang itu kecuali bisa
terbang. Kalau begitu, tentu selama tiga puluh tahun ini dia berlatih keras agar
bisa naik. Ah, tapi mana mampu dia menandingi jurus-jurus baru ciptaanku"
Ha-ha-ha! Dia pikir, cambuk kambing itu masih bisa
menjerat leherku?"
' Jadi, Guru sudah menciptakan jurus penang-
kal Perisai Naga?" Mata Hantu Lereng Lawu serta-
merta berbinar-binar.
' Sekarang tak perlu aku turun tangan. Cukup
kau sendiri turun menghadapi jurus-jurus cambuk
kambing itu."
' Kalau saja guru tidak datang waktu itu, saya
pasti sudah dikirim ke neraka...."
' Goblok!" sergah Empu Wadas Gempal. ''Tentu
saja kau harus pelajari dulu jurus penangkal cambuk
kambing itu, Hantu Dungu!"
' Terima kasih jika Guru mau menurunkannya
kepada saya. " Hantu Lereng Lawu menunduk dalam-
dalam hingga jidatnya menyentuh tikar pandan yang
mengalasi pantatnya.
"Kali ini latihan yang harus kau jalani tidak en-
teng, Pragosa. Kau harus berpuasa sehari-semalam
sebelum kau berlatih jurus-jurus yang aku maksud-
kan tadi. Aku namakan jurus itu Jurus Bidadari Men-
gurai Benang Kusut. Bagus, bukan, namanya" Ha ha-
ha!" ' Mulai kapan saya bisa berlatih, Guru?" tanya
Hantu Lereng Lawu tak sabar.
' Mulai kapan kau mau berpuasa?"
"Tapi, kalau saya boleh tahu, kenapa malahan
harus mengosongkan perut, Guru" Bukankah kita
memerlukan tenaga besar untuk berlatih keras?"
' Sejak kapan kau berani mengusut gurumu,
Pragosa?" "Oh, maafkan saya, Guru. " Berkali-kali Hantu
Lereng Lawu merundukkan kepalanya.
* * * 4 Nama jurusnya memang enak didengar. Akan
tetapi, latihan-latihan yang harus dijalani Hantu Lereng Lawu sungguh tidak
mengenakkan. Orang sesat
yang sudah terbiasa makan enak ini bukan saja mera-
sa tersiksa karena harus berpuasa sehari-semalam se-
belum berlatih, melainkan juga harus jungkir-balik sebab kehilangan keseimbangan
badan. ' Begitulah kenapa kau harus berpuasa, Prago-
sa. Kalau saja perutmu penuh makanan, kau akan le-
bih tersiksa lagi. Kau akan muntah-muntah dan lemas
sebab tiba-tiba kehilangan tenaga. Nah, mulailah berputar lagi," ujar Empu Wadas
Gempal sebelum mena-
rik tambang yang melilit sekujur tubuh muridnya.
Begitu tambang ditarik, berputarlah tubuh
Hantu Lereng Lawu. Semakin lama putaran itu sema-
kin lamban, dan kemudian Hantu Lereng Lawu ter-
jengkang. "Ha-ha-ha! Ada juga setan yang bisa terjeng-
kang!" ejek Empu Wadas Gempal dengan perut ber-
guncang-guncang.
' Bagaimana bisa membalas serangan kalau ak-
hirnya terjengkang begini, Guru?" tanya Hantu Lereng Lawu betul-betul tidak
memahami maksud gurunya
membuatnya seperti gangsingan.
' Goblok! Dungu!" sergah Empu Wadas Gempal
gusar, "Tentu saja kau harus berlatih terus hingga kau tidak terjengkang, Hantu
Dungu Lereng Lawu!*'
Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, kemba-
li Hantu Lereng Lawu melilitkan tambang ke sekujur
badannya. Lalu, kembali Empu Wadas Gempal mena-
rik tambang itu kuat-kuat. Kembali tubuh Hantu Le-
reng Lawu seperti diputar angin puyuh.
"Nah, setelah kau nanti tidak merasa puyeng,
barulah kau melatih memutar badanmu tanpa harus
ditarik tambang," kata Empu Wadas Gempal setelah
Hantu Lereng Lawu berdiri sempoyongan.
Meski belum mengerti makna dari gerakan
memutar itu, Hantu Lereng Lawu tetap dengan rajin-
nya berlatih, la tahu, gurunya tidak akan memberikan penjelasan sebelum ia
menguasai jurus yang harus di-pelajarinya.
Seperti halnya yang dialami Hantu Lereng La-
wu, gerakan meloncat-loncat di lumpur lima tahun
yang lalu pun tidak dipahami maknanya oleh Joko
Sungsang. Setelah ia berhasil keluar dari lumpur
hanya dengan satu loncatan, barulah Wiku Jaladri
memberikan penjelasan. Karena itulah Joko Sungsang
semakin gigih berlatih ilmu meringankan tubuh itu.
Ternyata, tanpa tubuhnya terhimpit lumpur, ia begitu ringan menerbangkan
tubuhnya dan hinggap di sebuah dahan yang berketinggian tak kurang dari lima
tombak. Berbekal kemampuan meringankan tubuh in-
ilah Joko Sungsang mulai melatih diri menghadapi se-
rangan. Hampir segala jenis senjata dipergunakan oleh Wiku Jaladri untuk
menyerang Joko Sungsang.
Kelincahan menghindari serangan saja tak cu-
kup sebab kelincahan akan dibatasi oleh kekuatan fi-
sik. Oleh sebab itu, Wiku Jaladri pun mengajarkan bagaimana Joko Sungsang harus
melatih pernapasan.
Latihan pernapasan yang teratur dan benar akan me-
lahirkan tenaga dalam. Dan, tenaga dalam inilah yang harus dipergunakan untuk
membentur serangan lawan sekaligus mengirim serangan balasan.
Lima tahun sudah Joko Sungsang menggem-
bleng diri di bawah bimbingan Wiku Jaladri. Kegigi-
hannya berlatih membuat Joko Sungsang begitu cepat
menguasai setiap jurus baru yang diajarkan oleh gu-
runya. 'Jurus-jurus tangan kosongmu memang sudah
bisa diandaikan, Joko. Akan tetapi, untuk Jurus Perisai Naga masih harus tetap
kau latih. Belum semua
Jurus Perisai Naga kuajarkan. Karena itu maka aku
masih menahan kepergianmu dari dasar jurang ini"
"Saya paham, Kiai Dan, kalau Kiai tidak kebe-
ratan, sudilah kiranya Kiai mengajarkan sisa-sisa Jurus Perisai Naga yang belum
saya pelajari. ' Jurus Mematuk Elang dalam Mega ini sesung-
guhnya tidak berat melatihnya. Hanya saja sangat
memerlukan ketekunan. Ketekunan inilah yang akan
menentukan cepat atau lambatnya keberhasilanmu
berlatih. Nah, kau lihat ikan di dasar sungai itu!" Wiku Jaladri menunjuk seekor
ikan di dasar air sungai yang bening. "Saya sudah melihatnya, Kiai," kata Joko
Sungsang. 'Mungkin tidak kau mengambil ikan itu tanpa
memberinya kesempatan untuk bergerak?"
"Itu ikan hidup, Kiai. Mana mungkin?"
''Mungkin! Lihatlah," kata Wiku Jaladri seraya
melecutkan Perisai Naga. Bola berduri di ujung cam-
buk itu membelah air sungai dengan kecepatan yang
sulit diikuti mata. Kepala ikan hancur diterjang batu cincin berduri itu. Ikan
mengambang tanpa kepala.
Joko Sungsang manggut-manggut kagum. Jan-
gan lagi ikan di kedalaman sungai, sedangkan misal-
nya ikan itu menggeletak di tanah pun belum tentu
kena aku bidik dengan ujung Perisai Naga, pikirnya.
"Nah, mulailah berlatih!" Wiku Jaladri men-
gangsurkan Perisai Naga kepada Joko Sungsang.
Mulailah Joko Sungsang membidik ikan-ikan
yang berseliweran di kedalaman sungai dengan ujung
Perisai Naga. Namun, berkali-kali dicobanya, berkali-kali ia hanya bisa membuat
air beriak dan ikan-ikan
itu berlari menyelamatkan diri. Baru pada hari ketu-
juh, Joko Sungsang berhasil melecut seekor ikan.
"Ah, tapi ikan ini tadi hanya sejengkal di bawah
permukaan air," keluhnya dalam hati "Guru bisa
menghancurkan kepala ikan yang berada satu tombak
di bawah permukaan air. Aku pun harus bisa!"
Tak kurang dari tiga bulan Joko Sungsang baru
berhasil menghancurkan kepala ikan di dasar sungai
dengan ujung Perisai Naga. Rasa lega menyejukkan
dada anak muda ini.
' Tetapi, itu belum cukup," kata Wiku Jaladri.
"Kau baru bisa membunuh ikan yang tidak bergerak.


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak beda dengan menyerang benda mati. Kau tahu,
bukan, maksudku?"
' Saya mengerti, Kiai. Musuh yang saya hadapi
tentu saja tidak akan diam seperti ikan itu. Artinya, saya harus berlatih
membidik ikan yang sedang berlari-larian."
* * * Hampir enam tahun Hantu Lereng Lawu me-
nunggu kemunculan Joko Sungsang. Dan, selama itu
pula Kebo Dungkul menjelajahi desa-desa untuk me-
nemukan anak ingusan yang bakal menjadi duri di
mata itu. Bahkan sepulang Hantu Lereng Lawu dari
Hutan Ketapang setelah mempelajari jurus baru dari
gurunya, Kebo Dungkul sengaja membuat keonaran di
sana-sini untuk memancing kemunculan Wiku Jaladri.
Desa Sanareja yang dibakar enam tahun yang
lalu, kini telah menjadi tempat iseng bagi lelaki ber-duit. Tempat pelacuran
merangkap sebagai tempat per-
judian ini sengaja dibuka di Desa Sanareja oleh Kebo Dungkul sebab ia merasa
sakit hati gagal membunuh
Joko Sungsang dan Nyai Demang. Bahkan bekas ka-
demangan itu sekarang menjadi tempat tinggal salah
seorang gundik Kebo Dungkul.
Tanpa kekerasan, sulit bagi Kebo Dungkul dan
kawan-kawannya untuk mendapatkan perempuan de-
sa yang mau dilacurkan. Untuk itu, beberapa hari se-
kali mereka menyerbu desa-desa untuk menculik ga-
dis-gadis desa yang berparas cantik. Tak seorang pun penduduk desa yang berani
mencegah perbuatan Kebo
Dungkul dan kawan-kawannya ini. Mencegah berarti
menyerahkan nyawa. Mereka lebih memilih menyerah-
kan anak gadis atau saudara mereka daripada menye-
rahkan nyawa. Akan tetapi, suatu hari terjadi sesuatu yang
membuat alis Kebo Dungkul turun naik. Matanya yang
melek sebelah itu mengerjap-ngerjap seolah tidak percaya pada apa yang
dilihatnya. Betapa tidak! Salah
seorang kaki tangannya berkelojotan di tanah hanya
karena tertendang tumit mungil seorang gadis yang
hendak ditangkapnya.
Gadis itu berusia tak lebih dari lima belas ta-
hun. Parasnya cantik, kulit kuning langsat, rambut
tersanggul di atas kepala dengan tusuk konde bambu
melintang. la mengenakan pakaian serba putih dengan
kain parang rusak melilit pinggulnya. Menilik dari pakaian yang dikenakannya,
jelas gadis itu bukan gadis desa pada umumnya. Setidaknya, pastilah ia pernah
hidup di sebuah padepokan.
Kebo Dungkul mengamati gadis itu dari ujung
rambut hingga ujung kaki. Sewaktu tadi kaki tangan-
nya mencegat gadis itu, Kebo Dungkul memang tidak
menaruh perhatian, la sedang menikmati sebotol arak
di kedai itu. Kalau saja sejak tadi ia memperhatikan gadis itu, sudah pasti ia
tidak akan membiarkan kaki-tangannya menghadapi gadis itu seorang diri.
"Hei, Anak Bidadari! Katakan siapa namamu
sebelum aku berlaku kasar terhadapmu. Dan, kalau
memang kau datang dari kahyangan, katakan kau
anak betari siapa," ujar Kebo Dungkul sambil mengu-
sap sisa arak di kumisnya yang mirip buntut bajing
itu. Gadis itu mencibirkan bibirnya yang mungil.
Matanya yang bulat berputar putar menghitung sejum-
lah lelaki yang telah mengurungnya Merasa dilirik oleh gadis itu, secara tidak
sadar mereka mundur selangkah. "Hei, kenapa kalian seperti anak ayam melihat
elang betina?" bentak Kebo Dungkul kepada anak
buahnya. ' Jangan kau salahkan mereka, Kebo Dungkul!
Mereka memang bukan tandinganku!" kata gadis itu
seraya mengulum senyum.
"Anak Setan!" Kebo Dungkul meloncat dari
tempat duduknya dan langsung berhadapan dengan
gadis itu. "Kau sudah mengenal namaku. Seharusnya
kau hati-hati berucap di depanku, Monyet Betina!"
"Hi-hi-hik, kenapa aku harus takut berkoar di
depan Kebo Dungu?"
"Ular Betina, katakan namamu dan siapa gu-
rumu sebelum mata kapakku ini menoreh noreh tu-
buhmu yang mulus!" Kebo Dungkul mengurai rantai yang digelayuti kapak yang
melingkari lehernya. Terdengar suara gemerincing.
"Tak perlu nama. Tak perlu kau tahu siapa gu-
ruku! Aku tidak ingin namaku nanti akan membuat
gurumu lari terbirit-birit ke hutan untuk bersem-
bunyi...!"
' Haram jadah!" sergah Kebo Dungkul seraya
memutar rantai berkapaknya ke arah leher gadis itu.
Akan tetapi, dengan sikap tenang gadis itu me-
rundukkan kepala sambil berkelit ke samping kanan
Kebo Dungkul. Lalu, secepat kilat kakinya yang mungil menerjang pinggang lelaki
bermata satu itu.
"Ngekkk!" Kebo Dungkul terhuyung ke kiri Sete-
lah kembali memasang kuda-kuda, kembali ia ber-
sumpah-serapah sambil mengirimkan serangan bertu-
bi-tubi. ' Trang! Trang! Trang!" Bunga api berpercikan
akibat dua senjata yang sama-sama terbuat dari logam itu beradu. Seperti tangan
tukang sulap, tiba-tiba saja tangan gadis itu sudah memegang tombak pendek
bermata dua. Kebo Dungkul mundur beberapa langkah. Ia
merasakan telapak tangannya pedih, seolah-olah ran-
tai yang digenggamnya menggigit telapak tangan itu.
Maka ia semakin sadar bahwa gadis yang dihadapinya
ini bukan sembarang pesilat. Sama halnya yang dira-
sakan gadis itu. Barulah ia mengakui bahwa lawannya
kali ini bukan sembarang penjahat. Kalau saja ia tadi tidak mengerahkan tenaga
dalam, sudah barang pasti
tombak pendek di tangannya itu akan terpental.
Gadis itu lebih waspada menunggu serangan
lawan berikutnya. Apalagi lima orang anak buah Kebo
Dungkul mulai bergerak menyerang. Sewaktu ia me-
nangkis dua bilah golok yang mengarah ke perutnya,
tiba-tiba kapak berantai itu mengarah ke pelipisnya.
Terpaksalah gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke bela-
kang sambil memutar tombak pendeknya untuk me-
lindungi kepalanya. Tak sia-sia ia memutar senjatanya sebab secepat kilat kapak
berantai milik Kebo Dungkul berbalik dan menghujam ke muka gadis itu. Untuk
kedua kalinya dua senjata itu beradu.
Setelah gadis itu kembali berdiri di atas kuda-
kudanya, dua bilah golok membabat lehernya dari
arah belakang. Gadis itu merunduk sembari memutar
kuda-kudanya, dan seperti baling-baling tombak pen-
dek bermata dua di tangannya merobek pinggang dua
orang pembokongnya sekaligus.
Melihat dua orang anak buahnya tersungkur
bermandikan darah, Kebo Dungkul berteriak parau,
' Mundur! Terlalu sombong dia untuk dikeroyok!" Tiga
lelaki bergolok itu berloncatan mundur. Mereka paham bahwa Kebo Dungkul ingin
mencincang gadis itu seorang diri.
' Sundel Bolong! Kau telah membunuh dua
orang-ku! Tetapi, jangan dulu pongah! Mereka memang
hanya penebang kayu yang tak pernah berhadapan
dengan setan betina macam kau! Dan...."
"Dan, kau memang hanya pantas mengepalai
pencuri kayu di hutan, Kebo Dungkul!" tukas gadis itu seraya tertawa mengikik.
' Kuberi kau kesempatan untuk menyebutkan
namamu sebelum kucincang tubuhmu yang montok
itu, Anak Setan Belang!" Kini Kebo Dungkul lebih berhati-hati mengendalikan
kemarahannya, la tahu, gadis itu sengaja memancing kemarahan agar serangannya
jadi asal-asalan.
' Bukannya sebaliknya, Kebo Dungu" Kau yang
akan mampus dengan membawa namaku" Sibakkan
rambut gembelmu itu agar kupingmu bisa mendengar!
Katakan kepada malaikat penjaga kuburmu bahwa
aku, Sekar Arum, yang mengirimmu ke kubur!"
"Ha-ha-ha! Namamu memang enak untuk di-
cium! Tetapi, sebentar lagi hanya cacing tanah yang
mau mencium bangkaimu, Sundel Bolong!"
' Kerahkan seluruh ilmu dedemitmu, aku siap
menangkalnya, Kebo Picak!"
Mendengar cacat sebelah matanya disebut-
sebut, Kebo Dungkul tak mampu lagi menahan kema-
rahannya. Picak yang berarti mata rusak memang le-
bih menyakitkan dibandingkan dengan istilah buta,
' Takkan kubiarkan darahmu tumpah di tanah,
Iblis Betina!" seru Kebo Dungkul sambil mengayunkan
kapak berantainya.
' Memang darahku tak akan pernah tumpah!"
jawab Sekar Arum sambil berjumpalitan di udara.
''Akan ku hisap pula sumsum tulangmu!" Ka-
pak berantai Kebo Dungkul menyusul gerak Sekar
Arum di udara, tetapi untuk kesekian kalinya hanya
menimbulkan suara berdesing.
Selama menjadi murid Ki Sempani, baru kali ini
Sekar Arum menemukan lawan yang tangguh. Ia baru
percaya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu ini me-
mang bukan hanya mengandalkan keseraman wajah-
nya, melainkan juga memiliki ilmu silat yang cukup
Bunga Penyebar Maut 1 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Ksatria Negeri Salju 6
^