Pencarian

Pemanah Sakti Bertangan Seribu 2

Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu Bagian 2


ke tempat itu pada tengah malam untuk berlatih olah
kanuragan maupun kesaktian. Itulah sebabnya kenapa tak seorang pun penduduk Desa
Dadapsari tahu bahwa Wasi Ekacakra memiliki ilmu silat yang tinggi.
Mereka hanya tahu bahwa orang tua yang berikat kepala Jumputan itu punya
keahlian mengusir penyakit
sawan. Semula Gagar Mayang juga merasa tidak aman
berlatih di tempat Itu. Namun, setelah Wasi Ekacakra
membeberkan cerita perihal tempat itu, gadis itu bisa
berlatih dengan pikiran kosong.
Wasi Ekacakra sengaja membiarkan tempat itu
dikelilingi tumbuh-tumbuhan berduri. Malahan banyak dedaunan yang gatal luar
biasa jika menyentuh
kulit Untuk melewati pagar hidup ini, dibuatlah lorong
kecil yang menyerupai jalan babi hutan. Dan, untuk
melewati lorong itu harus pula meniru babi hutan, merangkak.
Matahari tinggal separuh bulatan sewaktu Gagar Mayang hampir menyelesaikan
latihannya. Kali ini
ia khusus berlatih gerak-gerak dasar ajian 'Ismu Gunting' dan jurus 'Tambak
Segala', la berusaha mengga-
bung jurus pertahanan dan jurus serangan itu. la merasa pasti bahwa gabungan
kedua jurus itu akan lebih
berbahaya bagi lawan.
Suara telapak kaki yang menghentak-hentak
tanah inilah yang menarik perhatian Endang Cantikawerdi.
"Ada yang berlatih silat di balik tanaman berduri ini?" tanya Endang
Cantikawerdi kepada dirinya
sendiri. Kemudian ia mencari-cari sela-sela pohon perdu itu yang mungkin bisa untuk
mengintip. Tak nampak sama sekali sebab pohon-pohon perdu itu terlalu
rimbun. Setelah berjalan mengitari tempat itu, barulah
ditemukannya lorong yang mirip jalan bagi babi hutan.
Gadis itu pun merangkak masuk. Bibirnya menyunggingkan senyum begitu dilihatnya
siapa yang tengah
tekun berlatih silat.
Akan tetapi, Endang Cantikawerdi tidak mau
mengganggu gadis dari Padepokan Bukit Cangak itu. la
tunggu hingga Gagar Mayang menyelesaikan latihannya.
''Jurus-jurus yang luar biasa!" puji Endang
Cantikawerdi. "Oh, kau...?" Ada kekecewaan menggeremati lekuk hati Gagar Mayang. Usahanya
menghindari gadis
bertoya itu ternyata gagal.
"Aku tadi mencarimu ke pondok Kiai Wasi Ekacakra."
Hampir saja Gagar Mayang menyahut, "Ya, aku
tahu." Syukurlah ia masih mengendalikan lidahnya.
"Kau tahu aku tinggal di sana?" kata Gagar
Mayang setelah untuk sejenak bingung menanggapi
ucapan Endang Cantikawerdi.
''Kedatanganmu ke Desa Dadapsari tentu saja
menarik perhatian orang banyak. Hampir semua orang
di desa itu tahu bahwa Kiai Wasi Ekacakra ketamuan
gadis cantik yang berilmu silat mumpuni!"
"Ah, apalah artinya aku jika dibandingkan dengan kau," sahut Gagar Mayang.
"Jangan merendahkan diri. Baru saja aku melihatmu melatih jurus-jurus yang
menurutku aneh dan
langka. " "Itu tak seberapa jika dibandingkan dengan jurus-jurus toyamu."
"Ah, sudahlah. Kita bisa bicarakan soal itu lain
waktu. Sekarang, aku ingin sekali mendapat keterangan langsung darimu." Endang
Cantikawerdi tak sabar
lagi menunggu. Ia harus secepatnya mendengar kabar
tentang Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga.
"Kau sudah mendengar berita tentang hilangnya Pendekar Perisai Naga?"
"Ya. Tetapi, hanya dari mulut orang-orang yang
belum bisa aku percaya. Mereka sendiri tidak yakin
akan kebenaran berita itu. Karena itulah mereka menyebut namamu."
''Kenapa dihubung-hubungkan dengan namaku?"
"Ada di antara mereka yang melihat kau berbicara dengan orang berkedok di
pinggiran kali...."
'Tidak mungkin!" tukas Gagar Mayang.
''Kenapa tidak" Orang itu setiap malam berada
di pinggir kali untuk memasang bubu. Lagi pula, yang
perlu kita bicarakan bukan itu. Kalau memang benar
apa yang dikatakan pencari ikan itu, artinya kau tahu
di mana Pendekar Perisai Naga berada."
"Guru... eh, maksudku Kiai Wasi Ekacakra saja
tidak tahu ke mana Pendekar Perisai Naga menghilang.
Apa lagi aku?" Gagar Mayang masih mencoba merahasiakan siapa Wasi Ekacakra
sekarang ini bagi dirinya.
''Jadi, benar berita bahwa Pendekar Perisai Naga hilang?" Suara Endang
Cantikawerdi berubah sendu.
''Begitulah. Dan, belum diketahui apakah dia
masih hidup atau sudah mati," jawab Gagar Mayang
dengan ketus. Diam-diam gadis ini kesal sebab Endang
Cantikawerdi begitu ingin tahu nasib Pendekar Perisai
Naga. "Mudah-mudahan ia selamat," kata Endang
Cantikawerdi. ''Baiklah, aku kira cukup. Terima kasih. "
"Kau..." Maksudku, kau tahu kira-kira ia berada di mana?" tanya Gagar Mayang
membuat langkah
Endang Cantikawerdi terhenti.
"Aku akan mencoba menengoknya ke Jurang
Jero atau Karang Bolong."
''Tidak mungkin dia di sana."
''Kenapa?" Endang Cantikawerdi membalik badan. Tiba-tiba ia curiga, jangan-
jangan gadis di depannya itu berdusta.
"la dalam keadaan terluka dan tidak mungkin
beranjak dari tempatnya berbaring jika tidak ada orang
yang menggendongnya."
"Terluka" Siapa yang bisa melukainya?"
''Gagak Paningal la terkena pedang beracun milik Gagak Paningal."
'Tidakkah Kiai Wasi Ekacakra bisa memberinya
obat penawar?"
"Justru sewaktu aku pergi mencari obat itulah
tiba-tiba dia hilang dari tempatnya berbaring."
''Kenapa tak kau paksa agar orang berkedok itu
berbicara Jujur?"
"Dia bukan tandinganku. Dia orang sakti yang
setingkat dengan Kiai Wasi Ekacakra, Ki Sempani,
atau guru Pendekar Perisai Naga."
Endang Cantikawerdi manggut-manggut Gadis
itu mulai menerka-nerka siapa di antara orang-orang
sakti itu yang mungkin menculik Pendekar Perisai Naga.
*** Di sebuah gua yang jauh dari kesibukan orangorang desa, bahkan tak pernah
terjamah oleh orangorang rimba persilatan, Joko Sungsang alias Pendekar
Perisai Naga tergeletak tak berdaya. Luka di betis kanannya telah sembuh dan
bahkan pulih seperti sediakala. Akan tetapi, totokan-totokan pada tubuhnya
membuat Joko Sungsang tak mampu menggerakkan
sekujur anggota badannya. Tangan dan kakinya seolah
beku. Hanya mata dan mulut yang masih mampu digerakkannya. Maka ia tetap bisa
melihat orang berkedok
yang selama ini menawannya, la juga masih bisa menanggapi ucapan-ucapan orang
berkedok itu. Akan tetapi, yang lebih banyak dilakukan Joko
Sungsang adalah berpikir. Sudah beberapa hari ia
memikirkan nasibnya yang begitu konyol. la dibiarkan
menggeletak tak berdaya oleh orang berkedok yang
menawannya. Kalau memang orang berkedok itu menginginkannya, kenapa ia tidak
dibunuh saja" Lagi pula, kenapa orang berkedok itu mengobati luka di betis
kanannya" "Aku tidak ingin melihatmu mati digerogoti racun warangan ular belang itu,
Pendekar Perisai Naga,"
jawab orang berkedok itu setiap Joko Sungsang bertanya kenapa ia dibiarkan tetap
hidup. 'Tetapi, kenapa tak kau biarkan aku pergi dari
gua terkutuk ini?" tanya Joko Sungsang pada kesempatan lain.
"Itu urusanku. Mau kau kubunuh atau kulepaskan, atau mungkin kubiarkan kau tetap
menggeletak di situ, itu urusanku."
"Ilmu sifatmu tinggi, tetapi tingkah lakumu tak
lebih dari seorang maling!" kata Joko Sungsang kesal.
"Kenapa kau peduli dengan tingkah laku ku"
Kenapa tak kau pedulikan tingkah lakumu sendiri?"
"Tingkah laku yang mana yang menurutmu salah?"
"Ha ha ha! Tanyalah kepada dirimu sendiri,
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, yang jelas aku tidak suka jika kau menyusahkan
penduduk desa yang tanpa
dosa." "Aku menyusahkan penduduk desa?" kata Joko
Sungsang seraya tertawa.
"Karena kau dan gadismu itu maka penduduk
Desa Dadapsari terancam. Tidakkah itu kau sadari,
Pendekar Perisai Naga?"
"Lalu, kenapa tak kau tangkap sekalian gadis
itu" Bukankah dia yang membawa-bawa Ki Sumping
Sedapur ke Desa Dadapsari?"
"Kau jangan lupa, Pendekar Perisai Naga. Gadis
itu datang ke Desa Dadapsari bukan atas kehendaknya. Bukankah kau yang
membawanya?"
''Gadis itu memerlukan pertolongan Kiai Wasi
Ekacakra! Kalau kau memang sebagai orang sakti, tentu kau kenal siapa Kiai Wasi
Ekacakra."
''Hanya anak bau kencur sepertimu yang
mungkin tidak kenal Wasi Ekacakra. Terbukti, kau belum tahu kenapa orang sakti
itu sekarang memilih
tinggal di Desa Dadapsari ketimbang malang-melintang
di rimba persilatan..."
''Kau anggap aku tidak tahu" Dia menyamar
menjadi petani di desa karena dia sudah bosan dengan
dunia persilatan yang kotor! Dia tak mau lagi menanam permusuhan! Dia tidak mau
membunuh! Dia ingin hidup tenang di Desa Dadapsari! Bukankah itu
yang kau maksudkan?"
"Bagus! Ternyata kau memahami niat baik Wasi
Ekacakra. Tapi, kenapa kau justru merusak maksud
baiknya itu" Kau telah menyusahkannya, bahkan menyusahkan seluruh isi Desa
Dadapsari. Tidakkah kau
sadari bahwa perbuatanmu itu bukan perbuatan seorang pendekar" Sebagai pendekar
yang katanya beraliran lurus, kau bukannya menolong mereka, tetapi malahan
menyusahkan mereka...."
"Tutup mulutmu!" sergah Joko Sungsang.
'Tunggu dulu. Aku belum selesai bicara, Pendekar Perisai Naga. Kalau kau tetap
tidak mau mengakui
sebagai pembawa bencana bagi desa ini, bagaimana
dengan tindakanmu membunuh Gagak Paningal?"
"Oh, kalau begitu, kau lah guru Gagak Paningal!'' sahut Joko Sungsang. "Nah,
kenapa tak kau bunuh saja aku biar arwah muridmu itu...?"
''Pendekar Perisai Naga yang tersohor," tukas
orang berkedok itu, 'Terlalu cetek pemikiran mu kalau
nyatanya kau hanya memikirkan balas dendam. Kau
menganggap aku guru Gagak Paningal dan ingin membalas dendam atas kematian
muridnya" Hm..., sayang
sekali jika seorang Pendekar Perisai Naga masih juga
hatinya diracuni dendam-kesumat.?"
"Aku tak perlu nasihatmu, Orang Sakti!"
"Aku tidak akan menasihati mu, Pendekar Perisai Naga. Aku tahu, gurumu yang
bijak itu sudah ter-
lalu banyak menasihati mu. Aku hanya ingin mengingatkan mu bahwa tindakanmu
membunuh Gagak Paningal akan berakibat buruk bagi penduduk Desa Dadapsari.
Tidakkah kau tahu siapa Gagak Paningal" Tidakkah kau berpikir bahwa Kanjeng
Adipati Sorengdriya akan merasa kehilangan orang kepercayaannya?"
"Itu sudah dalam perhitunganku! Kau kira
hanya kau yang berpikir seperti Itu?"
''Lalu, kau juga siap melawan Kanjeng Adipati
Sorengdriya beserta punggawanya?"
"Itu tidak mungkin terjadi! Adipati Sorengdriya
tak akan membela orang sesat macam Gagak Paningal
atau Mahesa Lawung!"
''Kematian Mahesa Lawung memang masih bisa
diterima oleh Kanjeng Adipati. Lalu menyusul kematian Ki Langendriya, adik
kandung Kanjeng Adipati. Itu
pun masih membuat Kanjeng Adipati berpikir panjang.
Tetapi, atas kematian Gagak Paningal, barangkali Kanjeng Adipati akan merasa
kehilangan wibawanya. Kau
tentunya tidak tahu bahwa kedatangan Gagak Paningal di hutan rami malam itu atas
perintah Kanjeng
Adipati....'' "Kau hanya menebak-nebak, Orang Sakti!" sahut Joko Sungsang menukas.
''Bagaimana jika tebakan ku benar adanya?"
"Aku akan hadapi apa pun yang terjadi!"
''Dengan mengorbankan penduduk Desa Dadapsari yang tidak berdosa?"
'Tutup mulutmu, Orang Sakti!" sergah Joko
Sungsang. Ingin rasanya ia menyumbat mulut orang
berkedok itu dengan bola berduri di ujung cambuknya.
akan tetapi, jangan lagi meringkus orang berkedok itu,
sedangkan untuk menggerakkan jari-jari tangannya
pun ia tak mampu.
"Kau perlu istirahat. Tunggu saja sampai aku
mengambil keputusan," kata orang berkedok itu sebelum melesat ke luar gua.
Joko Sungsang hanya bisa menghirup udara
sepenuh dada, la menyadari, tak ada faedahnya melontarkan kata-kata kotor. Toh
itu tidak akan menolongnya dari keadaannya sekarang.
''Bukankah lebih baik aku berusaha membebaskan diri dari totokan keparat ini?"
katanya dalam hati. "Ah, itu juga tidak mungkin aku lakukan. Bagaimana bisa aku membebaskan
totokan-totokan ini
hanya dengan pandangan mata dan gerak mulutku?"
Seperti yang bisa dilakukannya selama disekap
di dalam gua itu, Joko Sungsang kembali menaksirnaksir siapa sebenarnya orang
berkedok itu. Namun,
ia tetap tak menemukan jawabannya, la hanya bisa
menyimpulkan bahwa orang berkedok itu adalah orang
sakti yang ilmunya setingkat dengan Wiku Jaladri, Ki
Sempani, atau Wasi Ekacakra.
''Mungkinkah orang berkedok itu guru" Ah, tidak mungkin! Guru tidak akan berbuat
sekonyol ini."
Kembali Joko Sungsang berbicara dengan diri sendiri.


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan, bagaimana bisa Joko Sungsang menyimpulkan bahwa orang berkedok itu Wiku
Jaladri, Ki Sempani, atau Wasi Ekacakra" Ia belum mengenali jurus-jurus ilmu silat yang
dimiliki orang berkedok itu.
Selain orang itu menyembunyikan wajahnya di balik
kain hitam, Joko Sungsang juga tidak pernah melihat
orang berkedok itu di tempat terang. Ia selalu berhadapan dengan orang berkedok
itu di tempat gelap.
Bahkan gua tempat mereka sering berbincang-bincang
pun tak tertembus sinar matahari. Jika malam tiba,
orang berkedok itu hanya menyalakan sebuah pelita
kecil dan ditaruh jauh dari pembaringan Joko Sungsang berada.
''Satu-satunya jalan aku harus menantangnya
bertarung agar aku mengetahui aliran ilmu silat yang
ditempuhnya!" kata hati Joko Sungsang memutuskan.
Oleh karenanya, sewaktu orang berkedok itu
mengunjunginya untuk yang kesekian kalinya, Joko
Sungsang berkata, "Aku tidak menyangka sama sekali
jika di kolong langit ini ada orang sakti yang takut
menghadapi marabahaya."
''Maksudmu?" Orang berkedok itu tertawa lirih.
''Kalau memang kau ingin menguasaiku, kenapa tidak kau berikan kesempatan buatku
untuk melawanmu?"
"He he he! Kau pikir aku ingin sedungu orangorang sesat yang pernah kau kirim ke
neraka" Kalau
memang aku ingin memberimu pelajaran, sebelum Gagak Paningal melabrakmu aku akan
lebih dulu menghadangmu. Tapi, untuk apa" Kau kira aku senang dipuji-puji orang
banyak karena aku bisa mengalahkanmu?"
''Jadi, untuk apa kau menawanku di tempat
terkutuk Ini?" sahut Joko Sungsang dengan geraham
bergemeretak. ''Sudah kukatakan, itu urusanku. Nah, sekarang makanlah. Kemarin kau sudah tidak
mau makan. Selama aku bersedia menyuapimu, jangan kau tolak.
Kecuali kalau memang kau ingin mati kelaparan. Tapi,
lucu sekali jika sampai tersiar kabar bahwa Pendekar
Perisai Naga mati kelaparan. He he he!"
''Jahanam pengecut!" rutuk Joko Sungsang.
''Lebih baik kaubunuh aku daripada kau permainkan
aku seperti ini!"
''Sudah berapa kali aku katakan" Kubunuh
kau, kubiarkan kau mati kelaparan, atau kulepaskan
kau, itu urusanku. Tunggu saja keputusanku, Pendekar Perisai Naga," sahut orang
berkedok itu seraya
menyuapkan nasi merah ke mulut Joko Sungsang.
Kemarahan Joko Sungsang sampailah pada
puncaknya. Karena hanya dengan mulut ia mampu
melawan, maka dengan tenaga dalam yang dimilikinya,
disemburkannya nasi yang menyumpal mulutnya ke
arah muka berkedok itu.
''Hayaaa!" Orang berkedok itu menjatuhkan diri
ke belakang sambil mengirimkan angin dari telapak
tangan kirinya ke arah nasi yang beterbangan di udara.
Melihat lawan begitu cepat menghindari serangan, Joko Sungsang semakin yakin
bahwa orang berkedok itu berilmu yang jauh di atas ilmu silat yang dimilikinya.
Hm..., kalau saja iblis itu tak sempat menghindari, sudah pasti wajah di balik
kedok itu hancur,
pikir Joko Sungsang.
''Bersyukurlah aku bukan orang sesat yang
mudah terbakar nafsu amarah, Pendekar Perisai Naga!" kata orang berkedok itu
sambil menaruh nasi merah beralaskan daun jati yang tadi berada di tangan
kirinya. Terbelalak mata Joko Sungsang melihat nasi di
daun jati itu tidak berserakan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana orang
berkedok itu secepat kilat
bisa memindahkan nasi itu ke tangan kanannya dan
berjumpalitan sambil menyangga nasi dan daun jati
yang teronggok di telapak tangannya.
"Aku percaya orang sakti yang pilih tanding!
Sayang sekali, aku tidak melihat keagungan jiwa se-
perti layaknya jiwa orang-orang sakti!" kata Joko
Sungsang. 'Tidurlah jika kau tidak mau makan. Sebentar
nanti, aku kirim orang yang mau menyuapimu makan," kata orang berkedok itu
seraya melesat pergi.
''Jahanam licik!"
*** 4 Endang Cantikawerdi hampir saja memasuki
kembali mulut Desa Dadapsari ketika dilihatnya
bayangan seseorang berkelebat meninggalkan mulut
desa itu. Begitu cepat bayangan itu berkelebat. Terpaksa gadis dari Gunung
Sumbing itu mengerahkan
segenap kemampuannya meringankan tubuh.
Tetapi, tiba-tiba bayangan yang dikejarnya itu
berhenti. Secepatnya Endang Cantikawerdi menyelinap
ke balik pohon trembesi. Namun, tiba-tiba pula bayangan itu kembali melesat. Ia
sengaja berlari meniti pematang. Endang Cantikawerdi sadar bahwa bayangan
itu ingin menjauhi pepohonan.
"Kau ingin berlomba berlari di pematang denganku?" kata bayangan itu setelah
berhenti dan secepatnya membalik badan.
Endang Cantikawerdi tak bisa menahan kekagetannya.
"Oh, inikah orang berkedok yang diceritakan
Gagar Mayang?" desahnya setelah melihat wajah yang
terbalut kain hitam di depannya.
"Aku sudah tua, Nini! Jangan bisik-bisik berbicara denganku!"
"Baik! Buka kedokmu jika kau tidak ingin kuhancurkan kain penutup wajahmu itu
dengan toyaku"
hardik gadis itu sambil menyilangkan toya dewondarunya di depan dada.
"Hm..., rupanya aku berhadapan dengan murid
Cekel Janaloka! Bagus, bagus! Aku senang kau bisa
mewakili gurumu menghadapiku! Tapi, akan lebih baik
jika aku lebih dulu tahu siapa namamu...!"
''Licik! Kenapa aku harus memberitahukan nama ku jika kau sendiri merahasiakan
siapa dirimu"
Bukalah kedokmu, dan aku akan menyebutkan namaku!"
"Ha ha ha! Kau anak kemarin sore sudah berusaha mengecoh ku" Kalau kau memang
merasa bisa membuka kedok ku, bukalah!"
''Iblis licik! Katakan, di mana kau sembunyikan
Pendekar Perisai Naga sebelum kuremukkan kepalamu!"
''Kalau kau memang bisa meremukkan kepalaku, lebih baik kau lakukan itu daripada
aku harus mengatakan di mana ku sembunyikan Pendekar Perisai Naga, Bocah Sombong!"
Wuttt! Wuttt! Wuttt!
Tiga kali toya berwarna merah-kecoklatcoklatan itu menyambar. Namun, seperti
hilang tertelan bumi, orang berkedok itu menghilang dari hadapan
Endang Cantikawerdi.
"bagus juga permainan toyamu, Perawan Gunung!" kata orang berkedok itu yang
tiba-tiba saja sudah berada di belakang Endang Cantikawerdi.
Secepatnya Endang Cantikawerdi membalikkan
badan. Tak bisa dipungkirinya bahwa lawannya kali ini
bukan sembarang lawan. Tiba-tiba ia bahkan menyadari bahwa yang dihadapinya kali
ini bukanlah orang
sesat seperti dugaannya. Orang berkedok itu terlalu
sabar untuk ukuran orang sesat. Kalau memang ia ingin membalas sabetan toya
tadi, kesempatan itu sudah
didapatkannya. Tetapi, yang dilakukannya justru
hanya menghindar dan menegur dari arah belakang.
"Hei, kenapa tak kau teruskan seranganmu"
Bukankah kau ingin secepatnya meremukkan kepalaku?" ejek orang berkedok itu.
Kalau saja Endang Cantikawerdi belum pernah
menerima gemblengan dari Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga, tentulah
ejekan itu akan membuatnya kalap dan kembali menyerang lebih dahsyat
lagi. Apa yang pernah didapatkannya dari Pendekar
Perisai Naga membuat gadis itu secepatnya bisa mawas diri.
''Kalau begitu, kau tidak akan bisa mencopot
kedok ini dari kepalaku, " kata orang berkedok itu meneruskan.
"Aku mengaku kalah," kata Endang Cantikawerdi seraya membungkuk hormat.
"Lho, kenapa" Tidakkah kau malu terhadap
mendiang gurumu jika kau terlalu cepat menyerah?"
''Terserahlah bagaimana anggapanmu. Tetapi,
aku mengakui bahwa kau bukan tandinganku. Hanya
saja, aku akan merasa bangga jika aku tahu dengan
siapa aku berhadapan," sahut Endang Cantikawerdi
sambil sekali lagi membungkuk hormat.
"He he he! Aneh, aneh! Ada juga di kolong langit
ini anak muda yang begitu rendah hati. Kau belum
mengeluarkan jurus-jurus maut toyamu, tetapi tibatiba kau mengaku kalah! Lalu,
bagaimana bisa kau
membebaskan Pendekar Perisai Naga jika kau tak berani menghadapiku?"
''Sekarang aku sadari bahwa jiwa Pendekar Perisai Naga aman dalam perlindungan
orang bijak sepertimu. Ah, sayang sekali aku tidak bisa mengetahui
dengan siapa aku berhadapan. Maaf, jika aku kurang...."
''Tunggu dulu, Nini," tukas orang berkedok itu.
''Dari mana Nini tahu bahwa Pendekar Perisai
Naga masih hidup" Tidakkah Nini mendengar bahwa
anak muda itu terluka oleh pedang beracun milik Gagak Paningal?"
''Karena aku merasa pasti bahwa kaulah yang
telah membawa pergi Pendekar Perisai Naga dari hutan
rami itu!"
"Kau juga merasa pasti bahwa aku tidak membunuhnya?"
''Kalau kau memang senang membunuh orang
yang tidak berdaya, tentu juga sudah kau lakukan terhadapku. "
Dahi di balik kedok kain hitam itu berkerutkerut. Tak disangkanya bahwa kali ini
ia akan berhadapan dengan gadis pintar dan rendah hati. Padahal,
tidak disangkalnya bahwa gadis bertoya itu memiliki
ilmu silat yang tinggi. Dan, kalau saja gadis itu mau
menyerangnya dengan jurus-jurus toya dewondarunya,
belum tentu ia bisa bertahan hanya dengan berkelit
menghindar. Untuk sejenak orang berkedok itu kebingungan
menghadapi Endang Cantikawerdi. la ingin membuka
penyamarannya di depan gadis itu, tetapi ia merasa itu
akan menggagalkan rencananya. Namun, untuk bertahan pada penyamarannya, ia
sadari bahwa gadis itu
terlalu cerdik.
''Kenapa diam" Sudahkah kau sadari bahwa
sesungguhnya aku bukan lawanmu?" Kini giliran Endang Cantikawerdi mendesak orang
berkedok itu. "Ya, kau memang bukan lawanku. Kau masih
bisa mengalahkanku jika kau lancarkan jurus-jurus
toya maut mu itu...."
"Bukan itu maksudku," tukas Endang Cantikawerdi cepat "Aku tahu, kau bukan orang
sesat yang harus aku musuhi. Kau orang sakti dari golongan lurus yang justru harus
melindungi orang lemah sepertiku ini. Bahkan kau masih merasa perlu melindungi
Pendekar Perisai Naga yang kesohor itu...."
''Cukup!" sergah orang berkedok itu. ''Sayang,
aku tak ada waktu untuk berbicara banyak denganmu.
Mudah-mudahan di lain kesempatan kita masih bisa
bertemu!" ''Tunggu!" Endang Cantikawerdi mencoba
menghadang langkah orang berkedok itu, tetapi sebuah sambaran angin membuat
gadis itu harus membuang tubuhnya ke samping. Dan, sewaktu ia melenting berdiri,
tak dilihatnya lagi bayangan orang berkedok itu.
Maka gadis itu hanya bisa menggelenggelengkan kepala sambil membanting napas.
Percuma ia mengejar bayangan serba hitam itu jika memang
yang dikejarnya sudah bertekad meninggalkannya.
"Ya, ilmu meringankan tubuhnya hanya mungkin ditandingi oleh orang sakti macam
Kiai Wiku Jaladri," kata hati gadis itu sambil mengayun langkah.
*** Sejak kemunculan Endang Cantikawerdi di Desa Dadapsari, hati Gagar Mayang
berkepanjangan dira-
jam kegelisahan. Gelisah sebab memikirkan apa yang
mungkin terjadi jika Pendekar Perisai Naga bertemu
kembali dengan gadis dari Gunung Sumbing itu.
"Ya, bukan tidak mungkin Pendekar Perisai Naga melupakan ku setelah bertemu
kembali dengan gadis bertoya itu," kata hati Gagar Mayang.
Dan, diakuinya bahwa setelah Eyang Kuranda
Geni pergi untuk selama-lamanya, tak ada lagi tempat
bersandar baginya. Kesedihan atas meninggalnya
Eyang Kuranda Geni berangsur-angsur lenyap dari hatinya sebab ia berada di
antara Wasi Ekacakra dan
Pendekar Perisai Naga.
"Tetapi, haruskah aku bertahan tinggal di desa
ini jika Pendekar Perisai Naga telah meninggalkan desa
ini?" Gadis itu menanyai dirinya sendiri.
Maka, untuk mencari jawabannya, ia mencoba
mengenangkan kembali peristiwa yang menyebabkannya harus tinggal di Desa
Dadapsari. Akan tetapi, sebelum gadis itu mendapatkan gambaran yang gamblang,
sebuah bayangan berkelebat mengejutkannya.
"Nah, ketemu lagi kita, Bidadari Bukit Cangak!"
kata bayangan itu setelah menjejakkan sepasang kakinya di tanah.
"Kau Pemanah Sakti Bertangan Seribu?" sambut Gagar Mayang sembari bangkit dari
duduknya. "Hm..., kau sudah tahu namaku?"
"Ya. Burung emprit gantil yang kau takuti itulah yang menyebut-nyebut
namamu...."
"Ha ha ha! Kau berusaha membesarkan nyalimu dengan menyebut-nyebut tua bangka
penghuni Jurang Jero itu?" tukas Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
'Tidakkah kau akui bahwa wajahmu pucat begitu aku sebut-sebut...?"
'Tutup mulutmu, Bocah Lancang!" sergah Pemanah Sakti Bertangan Seribu. "Dan, kau
pikir kali ini aku akan membiarkanmu hidup" Sekalipun kau serahkan keris luk tujuh itu dengan
suka rela, aku tak
akan mengampuni lagi!"
"Aku tidak butuh pengampunanmu dan aku tidak akan pernah menyerahkan Ki Sumping
Sedapur kepadamu, Kakek Serakah!"
''Bosan hidup!" hardik Pemanah Sakti Bertangan Seribu seraya menyabetkan
gendewanya dengan
kecepatan yang sulit diikuti mata.
Trakkk! Trakkk!
Gagar Mayang kehilangan kesempatan untuk
berkelit. Maka dibenturnya gendewa itu dengan seruling bambu wulungnya. Bergetar
hebat telapak tangan
gadis itu. Namun, cucu sekaligus murid Eyang Kuranda Geni ini sejak berhadapan


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kakek-kakek
yang menamakan dirinya Pemanah Sakti Bertangan
Seribu itu telah merangkai serulingnya dengan jurus
'Tambak Segara'. Tidak mengherankan jika benturan
yang terjadi tidak membuatnya cedera.
Justru sebaliknya, Pemanah Sakti Bertangan
Seribu kaget bukan kepalang merasakan telapak tangan-nya seolah terkelupas. Tak
disangka-sangkanya jika nyatanya gadis dari Bukit Cangak itu telah menguasai
jurus 'Tambak Segara' hampir pada tingkat kesempurnaan.
''Bagus! Bagus!" serunya setelah berhasil menguasai rasa nyeri yang menyerang
telapak tangannya.
'Tak percuma aku memburumu, Bocah Ayu! Nyatanya
kau telah mewarisi semua ilmu yang ada pada kakekmu!"
''Jangan pongah, Kakek Jompo! Kau kira hanya
Kiai Wiku Jaladri yang pantas menghadapimu?"
"Ha ha ha! Kau terlalu mendewa-dewakan tua
bangka itu, Gadis Dungu! Apa yang mesti aku takutkan" Andaipun ia datang dengan
muridnya yang bergelar Pendekar Perisai Naga, tak setapak pun aku meninggalkan
tempat ini!"
''Omong kosong!" sergah Gagar Mayang. "Aku
tahu apa yang tersimpan di balik rambutmu yang putih itu! Langkahi dulu mayatku,
barulah kau berangan-angan berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga!"
''Besar mulut! Bersiaplah merangkak ke liang
kuburmu!" sahut Pemanah Sakti Bertangan Seribu seraya menerjang dengan tendangan
beruntun. Wusss! Wusss! Desss!
Lagi-lagi Gagar Mayang dipaksa memagari tubuh-nya dengan jurus 'Tambak Segara'.
Tendangan yang beruntun itu memang berhasil dihindarinya.
Akan tetapi, sabetan gendewa yang mengarah ke pinggangnya memaksa gadis itu
harus membentur punggung tangan lawan dengan sisi telapak tangan kirinya.
Gagar Mayang berjumpalitan ke belakang. la
harus membuat jarak agar mendapatkan kesempatan
untuk mengatasi rasa ngilu yang menyerang pergelangan tangan kirinya. Namun,
ternyata lawan memburunya dengan sambitan anak panah.
Trakkk! ''Bagus!" seru Pemanah Sakti Bertangan Seribu
ketika dilihatnya anak panah itu tertepiskan seruling
di tangan kanan gadis itu. 'Tetapi, kita lihat saja apa
yang bisa kau perbuat dengan serulingmu kali ini!"
"Naracabala!" kata hati Gagar Mayang demi dilihatnya lawan menaruh beberapa anak
panah pada gendewanya. ''Walet terbang pun tak akan lolos dari anak
panahku, Bocah Bengal!" kata Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu sambil menarik tali busur panahnya. Lima
batang anak panah siap meluncur.
Gagar Mayang memutar seruling bambu wulung-nya. Namun, ia tak mengira bahwa dua
anak panah tertuju pada sepasang kakinya, la memang belum
pernah menghadapi ajian 'Naracabala'. Ia hanya pernah mendengar cerita bahwa
Pemanah Sakti Bertangan Seribu mampu melepaskan puluhan anak panah
dalam sekejap mata.
''Sungguh sayang, anggota tubuhmu yang
menggairahkan itu harus tertembus anak panahku,
Bocah Ayu!" ujar Pemanah Sakti Bertangan Seribu
dengan keyakinan bisa menembus sepasang betis gadis itu dengan anak panahnya.
Lima anak panah meluncur bersamaan ke arah
betis hingga dahi Gagar Mayang. Putaran seruling gadis itu memang berhasil
menepiskan tiga anak panah
yang mengancam dada leher dan dahinya. Akan tetapi,
dua anak panah lagi luput dari tangkisan seruling.
Crasss! Crasss!
Gagar Mayang melenting ke udara begitu dirasakannya sepasang anak panah merobek
kulit pada sepasang betisnya. Pada saat tubuh gadis itu mengambang di udara inilah Pemanah
Sakti Bertangan Seribu mengirimkan totokan ke punggung gadis itu.
Gagar Mayang menggeliat. Namun, kemudian
dirasakannya sekujur tubuhnya kejang. Maka tubuh
yang kaku itu meluncur deras ke tanah. Sia-sia usaha
gadis itu untuk mempersiapkan kuda-kuda kakinya.
Akan tetapi, sebelum tubuh gadis itu terbanting
ke tanah, sebuah bayangan berkelebat menyambar.
''Iblis keji!" ujar orang berkedok Itu sambil masih membopong tubuh Gagar Mayang
yang kejang. "Ha ha ha! Bersyukurlah kau, Bocah Ayu! Untunglah ada badut yang
menyelamatkanmu!" kata Pemanah Sakti Bertangan Sakti dengan sikap memandang
sebelah mata terhadap orang berkedok yang menolong Gagar Mayang.
''Julukanmu memang hanya pantas untuk menakut-nakuti anak-anak kemarin sore,
Jahanam!" sergah orang berkedok itu gusar.
''Bukan kedokmu itu yang patut untuk menakut-nakuti anak-anak kemarin sore?"
balas Pemanah Sakti Bertangan Seribu mengejek.
''Sayang sekali, aku tidak ada waktu untuk melayani panah iblismu! Tetapi, kalau
kau memang ingin
melihatku menandingi ajian 'Naracabala'mu, tunggulah aku di Bukit Cengcorang
purnama besok!" kata
orang berkedok itu sebelum melesat pergi sambil tetap
membopong tubuh Gagar Mayang.
''Mampuslah kau purnama besok, Badut Pengecut!" teriak Pemanah Sakti Bertangan
Sakti membahana.
*** Gagar Mayang membuka matanya setelah kesadarannya pulih kembali. Entah berapa
lama ia pingsan dalam gendongan orang berkedok itu. Satu pijitan
di leher membuat gadis itu kehilangan kesadarannya.
Dan, Gagar Mayang tidak bisa menebak tujuan orang
berkedok itu membuatnya pingsan. Toh sebenarnya
tanpa dibuat pingsan pun ia tak mungkin lagi melawan.
Namun, kemudian gadis itu menemukan jawabannya setelah ia merasa bisa
menggerakkan kaki dan
tangannya. Orang berkedok itu telah membebaskannya
dari totokan Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
''Pastilah ini dilakukannya sewaktu aku masih
pingsan," kata hati gadis itu. ''Tetapi, di manakah aku
sekarang ini. Begitu gelap tempat ini."
Gagar Mayang tak mampu melihat apa pun
yang ada di sekelilingnya. Namun, hidungnya yang tajam mampu mencium bau uap
pelita yang agaknya baru saja dimatikan.
''Gagar Mayang, kau dengar suaraku?"
Secara refleks Gagar Mayang melompat menjauhi suara yang memanggilnya.
''Siapa kau?" hardiknya.
"Kau jangan terlalu banyak bergerak, Megatruh.
Kedua betismu terluka."
''Siapa kau" Jangan coba-coba menakut-nakuti
ku!" "Tidakkah kau mengenali suaraku?" Agak berteriak Joko Sungsang.
''Pendekar Perisai Naga?" kata gadis itu setelah
mengingat-ingat milik siapa suara itu. Maka dadanya
pun berdebar hebat.
''Panggil aku 'Joko Sungsang', Megatruh," sahut
Joko Sungsang dari tempatnya terbaring tak berdaya.
"Gua ini terlalu gelap. Maaf jika aku hampirhampir tak mengenalimu. Di manakah
kau" Dan, kenapa kau tidak mau mendekatiku?"
''Sudah lebih dari lima hari orang berkedok itu
membiarkanku terbaring tak berdaya, Megatruh. Kemarilah. Tolong bebaskan totokan
di punggungku...."
''Keparat!" tukas Gagar Mayang seraya melangkah setapak demi setapak menuju arah
suara Joko Sungsang. "Dia bukan orang jahat seperti yang kita duga,
Gagar Mayang. Tadi pun dia telah mengobati luka di
betismu. Kau bisa menyalakan pelita di ujung kakiku?"
"Dari mana aku mendapatkan api" Nantilah kita pikirkan. Sekarang, aku harus
lebih dulu membebaskan mu dari totokan keparat itu. Maaf," kata Gagar
Mayang seraya membalik tubuh Joko Sungsang dan
membebaskan totokan di punggung anak muda itu.
'Terima kasih, Gagar Mayang. Sekarang, carilah
pelita itu, biar aku menyiapkan api. "
''Dari mana kau dapatkan api?" Gadis itu meraba-raba ujung pembaringan Joko
Sungsang. ''Guruku pernah mengajari ku bagaimana cara
membuat api," jawab Joko Sungsang. Kemudian ia
mengumpulkan ranting-ranting kering yang ada di dalam gua itu, dan ditumpuknya
di sebuah batu. Ketika
kemudian terdengar ledakan cambuk Perisai Naga, ketika itulah api bepercik dan
membakar ranting kering
yang menimbuni batu.
"Aku lupa kalau kau masih menyimpan cambuk Perisai Naga," kata Gagar Mayang
sambil menyulut pelita dengan sebatang ranting yang ujungnya menyala.
''Itulah kenapa aku katakan bahwa orang berkedok itu bukanlah orang jahat
seperti yang kita kira.
Ia membiarkan cambukku tetap melilit di pinggang. Ia
juga mengobati lukaku dan juga luka di betismu. Bahkan ia setia menyuapku selama
aku menjadi tawanan
di gua ini."
"Kau bisa menebak siapa kira- kira orang berkedok itu?"
Joko Sungsang hanya menjawab dengan gelengan kepala.
''Setidaknya, orang berkedok itu memiliki ilmu
setingkat dengan guru kita," kata Gagar Mayang.
"Dan, bukan tidak mungkin ia salah seorang
dari orang-orang sakti yang kita kenal."
"Ya. Tapi, siapa" Kiai Wiku Jaladari" Ki Sempani" Kiai Wasi Ekacakra" Atau
mungkin masih ada
orang sakti yang belum aku kenal?"
"Aku bisa memastikan bahwa dia bukan guruku."
''Juga tidak mungkin Kiai Wasi Ekacakra!" sahut gadis itu menimpali.
'Tanpa menjajaki ilmu silatnya, kita tidak akan
mungkin mendapatkan Jawaban yang pasti. Baiklah.
Secepatnya kita harus meninggalkan gua terkutuk ini.
Bosan rasanya aku berhari-hari tinggal di tempat keparat ini!"
Mereka berdua berlompatan ke luar gua. Sinar
matahari menyergap. Joko Sungsang mengerjapngerjapkan matanya. Entah sudah
berapa hari ia tidak
melihat matahari.
''Hampir semalam suntuk aku pingsan, " kata
Gagar Mayang. "Ya. Agaknya darah terlalu banyak mengucur
dari luka di betismu sehingga kau pingsan."
"Orang berkedok itu yang membuatku pingsan.
Ah, syukurlah dia bukan tokoh sesat. Tetapi, tunggu!"
Gagar Mayang tiba-tiba ingat sesuatu.
"Kenapa, Megatruh?" Joko Sungsang memandang gadis itu dengan dahi berlipat
lipat. "Aku ingat! Ya, kita akan tahu siapa orang berkedok itu purnama besok!"
''Kenapa purnama besok?"
"Ya. Ia menantang Pemanah Sakti Bertangan
Seribu purnama besok di Bukit Cengcorang. Nah, den-
gan melihat tata gerak ilmu silatnya, bukankah kita
akan bisa menebak siapa dia sesungguhnya?" Wajah
Gagar Mayang berseri-seri.
"Itu memang yang aku tunggu-tunggu," sahut
Joko Sungsang. ''Bahkan seandainya sekarang dia ada
di antara kita, aku ingin menantangnya untuk mengetahui tata gerak ilmu
silatnya. "
''Jadi, selama ini dia tak memberimu kesempatan untuk melawannya?"
''Itulah yang membuatku tidak mengerti. Ia menawanku, mengobati lukaku,
membiarkanku tetap hidup, tetap tidak memberiku kesempatan untuk pergi
dari gua keparat itu. Aku tidak mengerti kenapa ia
berbuat aneh seperti itu."
'Tidakkah kau pernah memancing-mancingnya
dengan...?"
"Ya," sahut Joko Sungsang menukas. 'Tetapi, la
hanya mengatakan bahwa ia tidak senang kita melibatkan penduduk Desa Dadapsari
ke dalam urusan kita.la juga menyebut-nyebut Adipati Sorengdriya. "
"Mungkinkah orang berkedok itu salah seorang
punggawa Kadipaten Banyuasin?"
''Tidak mungkin. Aku tahu persis orang-orang,
yang berdiri di belakang Adipati Sorengdriya. "
"Bagaimana dengan guru Adipati Sorengdriya
sendiri?" "Aku belum pernah mendengar cerita tentang
orang yang kau maksudkan. Pernahkah kau mendengar Adipati Sorengdriya berguru
kepada seseorang?"
"Ya. Eyang guru pernah bercerita kepadaku.
Kau pernah mendengar nama Ki Sadak Kinang?"
*** 5 Ki Sadak Kinang mengelus-elus jenggotnya
sambil mendengarkan penuturan Gagak Lamatan.
Orang tua yang hanya memiliki rambut pada dagunya
itu menahan-nahan kemarahan. Terlihat dari gerahamnya yang terkatup rapat-rapat.
Cerita tentang Ki
Sumping Sedapur memang menggembirakannya. Akan
tetapi, cerita tentang tewasnya Gagak Paningal membuatnya berkali-kali
menggemeretakkan giginya yang
tinggal delapan biji.
''Sayang sekali, Anakmas Adipati Sorendriya
bukanlah orang yang bisa kita ajak bicarakan masalah
ini," kata orang tua itu kemudian. "Tetapi, tidak berarti
kita harus berpangku tangan, Gagak Lamatan. Kita
harus bergerak meskipun tanpa dukungan Anakmas
Adipati Sorengdriya!"
''Betul, Kiai. Saya dan beberapa punggawa Kadipaten Banyuasin selalu siap
menerima perintah dari
Kiai," sahut Gagak Lamatan.
"Kau tahu pasti siapa yang membunuh Gagak
Paningal" Maksudku, benarkah keparat itu si Pendekar Perisai Naga?"
"Benar, Kiai. Dari luka di leher Adi Gagak Paningal, jelas bahwa bola berduri di
ujung cambuk Perisai Naga itulah yang menewaskannya."
Orang tua berwajah bayi itu manggut-manggut.
Kalau saja ia tidak berjenggot, tentulah orang akan
menganggapnya bayi raksasa. Bentuk yang ada di sekujur tubuhnya serba bulat.
Pipinya bulat. Hidung bulat. Dagu bulat. Perut bulat. Juga betis dan lengan
tangannya. Dan, orang yang melihatnya pun tidak
akan percaya bahwa Ki Sadak Kinang sering bertapa.
Meski tubuh dan wajahnya menyerupai bayi, Ki
Sadak Kinang bukanlah tokoh sesat yang boleh diremehkan. Sepanjang Pesisir Utara
pernah dijelajahinya.
Para perampok dan orang rimba persilatan yang tinggal di Pesisir Utara tak
mungkin tak mengenalnya. Selain dikenal sebagai Dewa Laut Utara, ia juga dikenal
sebagai Penguasa Pulau Karang. Senjatanya yang berbentuk gada dan terbuat dari


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu karang itulah yang
membuatnya dijuluki Penguasa Pulau Karang.
"Jadi, apa yang harus kami persiapkan, Kiai?"
tanya Gagak Lamatan sewaktu lama tak didengarnya
Ki Sadak Kinang berucap.
''Siapkan orang-orangmu. Tapi, ingat! Jangan
sampai kau ambil orang-orang kepercayaan Anakmas
Adipati Sorengdriya. Mengerti?"
''Mengerti, Kiai. "
''Setelah kita berhasil membunuh Pendekar Perisai Naga, barulah kita buka mata
Anakmas Adipati
Sorengdriya, biar dia tahu bahwa Pendekar Perisai Naga bukan manusia yang pantas
disegani. Nah, berangkatlah. Kepung Desa Dadapsari. Bunuh semua orang
yang mencoba melawan! Paham?"
''Paham, Kiai. Tetapi, bagaimana dengan Wasi
Ekacakra, Kiai?" tanya Gagak Lamatan ragu-ragu.
"Tolol! Kau pikir aku melepaskan kalian begitu
saja" Sudah pasti tua bangka itu jadi santapanku!"
sergah Ki Sadak Kinang.
"Dan, kalau tidak salah, memang orang tua itulah yang sekarang menyimpan Ki
Sumping Sedapur,
Kiai." ''Siapa pun yang menyimpan, dialah orang pertama yang harus kita musnahkan!
Ingat itu! Dan, ingat
juga, jangan sampai kau lukai gadis yang menggebukmu tempo hari. Aku tidak ingin
melihat tubuh halus
gadis itu tergores sedikit pun. Seleraku bisa hilang.
Tangkap hidup-hidup gadis itu!"
Gagak Lamatan mengangguk dalam-dalam
kendati pun dalam hatinya mengumpat-ngumpat tak
karuan. Betapapun ia takut menghadapi Ki Sadak Kinang, tetap saja ia tak rela
jika gadis cantik berpakaian
serba jingga itu menjadi santapan setan yang bersarang di lekuk hati orang tua
berwajah bayi itu.
Tak terhitung lagi jumlah gadis desa yang menjadi korban nafsu hewani Ki Sadak
Kinang. Dan, tak
terhitung pula istri orang-orang yang dijadikan gundik.
Bahkan istri Adipati Sorengdriya pun diincar-incarnya.
Kalau saja tidak diingatnya bahwa Adipati Sorengdriya
murid kesayangannya, sudah barang pasti akan dipaksa menyerahkan istrinya.
Gagak Lamatan pernah mendengar cerita bahwa kesukaannya menikmati daun muda
itulah yang membuat Ki Sadak Kinang pun awet muda.
Setelah Gagak Lamatan menghilang dari hadapannya, Ki Sadak Kinang bergegas
menghampiri gadis
desa yang baru saja diserahkan oleh orang-orang suruhannya. Sambil tertawa-tawa
ia mendekati gadis
yang meringkuk ketakutan di pojok kamar itu.
"Kau jangan membuang-buang waktuku. Aku
harus segera pergi. Sebentar lagi kau akan melihat kepala Pendekar Perisai Naga,
Cah Moblong," ujar Ki Sadak Kinang seraya merangkak di ambin bambu itu.
Gadis itu menggigil ketakutan. Namun, ia tidak
punya keberanian untuk melawan orang tua yang berilmu setan itu. Melawan berarti
menyerahkan nyawa
sendiri maupun nyawa kedua orang tuanya. Maka gadis itu hanya bisa mengucurkan
air mata ketika Ki Sadak Kinang mulai melucuti pakaiannya.
"He he he! Kau kurus, tetapi inimu besar sekali,
Nduk," kata orang berkepala gundul itu sembari membelai bukit dada gadis itu.
Gadis itu menggelinjang kegelian, la ingin menjerit minta tolong, tetapi
ditahan-tahannya. Ia takut jika tangan orang sesat itu tiba-tiba menimpa
kepalanya. Pernah ia melihat tangan itu bisa memecahkan
batu hitam yang menjadi landasan mencuci pakaian di
kali. Gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat sewaktu
tubuh gemuk itu mulai menindih tubuhnya yang kurus. la mencoba mengalihkan rasa
sakit yang menyerang bagian tubuhnya yang paling rahasia. Ia membentur-bentur
kepalanya ke dinding kamar. Ternyata
dinding itu hanya terbuat dari anyaman bambu.
Maka gadis itu tak kuasa lagi menahan jeritnya
sewaktu Ki Sadak Kinang menggigit puncak bukit dadanya kuat-kuat.
"Ha ha ha" Rupanya kau pun menikmati ya?"
kata Ki Sadak Kinang setelah melepaskan gigitannya.
Tak lama kemudian, ia meninggalkan kamar itu dengan tubuh bermandikan keringat.
''Saya telah mengumpulkan orang-orang yang
bisa kita percaya, Kiai," sambut Gagak Lamatan di halaman rumah.
"Dungu! Kenapa tak langsung berangkat" Kau
tunggu pendekar ingusan itu minggat dari Desa Dadapsari?" hardik Ki Sadak
Kinang. ''Maafkan saya, Kiai. Saya hanya ingin menyampaikan pesan Kakang Adipati untuk
Kiai." ''Pesan apa lagi" Kenapa tidak kau katakan kepadanya bahwa aku lagi banyak
urusan" Goblok!"
''Kakang Adipati hendak menyampaikan berita
penting malam nanti, Kiai."
"Malam nanti urusan malam nanti! Mengerti?"
sahut Ki Sadak Kinang sambil melompat ke punggung
kuda yang telah tersedia.
Berlari-lari Gagak Lamatan menghampiri orangorang kepercayaannya yang menunggu
di pintu gerbang kadipaten. Mereka terpaksa harus jalan kaki sebab mereka harus
menempuh Jalan pintas agar tidak
kedahuluan Ki Sadak Kinang. Jalan pintas menuju
Desa Dadapsari itu memang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Ini pun hanya
bisa dilakukan oleh
orang orang yang berilmu silat cukup tinggi. Itulah kenapa Gagak Lamatan hanya
membawa orang-orang
kepercayaannya yang memiliki ilmu meringankan tubuh mendekati taraf sempurna.
Untuk mendaki serta
menuruni bukit yang terjal itu, ilmu meringankan tubuh sangatlah diperlukan.
Matahari baru saja tenggelam ketika rombongan yang dipimpin Gagak Lamatan tiba
di mulut Desa Dadapsari. Melihat rombongan orang-orang berpakaian
keprajuritan ini, penduduk Desa Dadapsari yang kebetulan berada di jalan
secepatnya minggir dan berdiri
dengan kepala tertunduk.
''Bagus! Kalian ternyata masih mengenali kami,
punggawa Kadipaten Bayuasin!" kata Gagak Lamatan
dengan dada membusung.
Tak seorang pun penduduk desa yang berjajar
di pinggir jalan itu membuka suara. Mereka memang
tidak diizinkan menjawab jika tidak dikehendaki oleh
ketua rombongan punggawa Kadipaten Banyuasin itu.
Mereka tidak ingin dianggap lancang dan kemudian diganjar dengan injakan kaki
kuda. Dan, karena kali ini
rombongan itu datang tanpa berkuda, tentulah pedang
yang akan langsung berbicara.
matan. ''Siapa Jagabaya di desa ini?" tanya Gagak La-
"Ki Jagabaya sedang pergi ke hutan, Gusti," jawab salah seorang lelaki yang
berdiri di pinggir jalan
itu. ''Kalau begitu, panggil Wasi Ekacakra! Suruh ia
menghadap aku sekarang juga!"
Lelaki yang tadi menjawab menoleh ke kiri, menatap temannya yang berdiri dengan
tubuh menggigil.
"Hei, kau dengar perintahku?" Tiba-tiba saja
pedang yang tadi tergantung di pinggang kanan Gagak
Lamatan telah menempel di pundak lelaki malang itu.
"Sendiko dhawuh, Gusti," jawab lelaki itu seraya berlari-lari menuju rumah
kediaman Wasi Ekacakra.
*** Di rumah Wasi Ekacakra, lelaki itu hanya menjumpai Nyai Linggar. Tak dilihatnya
Wasi Ekacakra. Juga tak nampak gadis berseruling yang sering terlihat
berjalan bersama Wasi Ekacakra.
"Apa ada bayi yang terkena sawan?" tanya Nyai
Linggar seperti biasanya. Ya, biasanya Wasi Ekacakra
memang dibutuhkan penduduk desa untuk mengobati
anak-anak yang terkena penyakit sawan.
''Tidak, Nyai. Ada punggawa kadipaten yang
mencarinya. "
''Punggawa kadipaten" Kadipaten Banyuasin?"
Mata Nyai Linggar terbelalak. Ketakutan tiba-tiba menguak ketenangannya.
Beberapa hari yang lalu ia mendengar kabar bahwa Joko Sungsang membunuh salah
seorang punggawa Kadipaten Banyuasin. Sekarang
mereka mencari Wasi Ekacakra" Duh, Gusti Allah!
''Sebaiknya Nyai segera lari dari rumah ini. Sebentar lagi mereka pasti
mendatangi rumah ini kalau
saya katakan apa adanya, Nyai," pesan lelaki itu sebelum meninggalkan Nyai
Linggar. Keringat dingin membasahi sekujur badan istri
bekas demang itu. Ia tahu, tak akan ada orang yang
melindunginya jika orang-orang dari Kadipaten Banyuasin itu mencelakainya. Joko
Sungsang sudah lama tidak muncul. Wasi Ekacakra hanya muncul nanti
bersamaan terbitnya matahari di ufuk timur. Dan, Gagar Mayang tidak diketahui
pula ke mana perginya.
Perempuan tua itu benar-benar tidak tahu apa
yang harus dikerjakannya. Lari seperti yang dipesankan lelaki tadi" Atau tetap
tinggal di rumah itu sambil
menunggu bencana yang mengincarnya" Pergi mencari
Gagar Mayang di tempat biasa berlatih silat" Tapi, di
mana gadis itu berlatih"
Nyai Linggar hanya berjalan mondar-mandir di
dalam rumah itu sambil menekan-nekan dadanya yang
tipis. Detak jantungnya semakin lama semakin kencang. Dadanya yang tinggal
tulang iga dan kulit itu
seolah hendak pecah. Mata perempuan tua itu mulai
berkaca-kaca. Ingatannya melayang kembali pada peristiwa puluhan tahun yang
lalu. Mayat Ki Demang
Linggar yang tergeletak dengan pelipis terbelah terbayang lagi di pelupuk
matanya. Wajah Kebo Dungkul
yang menakutkan itu membuat tubuh perempuan tua
itu menggigil. Namun, sewaktu ia ingat orang tua yang
berpakaian serba putih, yang mampu terbang seperti
burung bangau itu, hatinya sedikit terhibur (Baca juga:
''Hantu Lereng Lawu").
''Tapi, tahukah orang tua itu kalau sekarang
aku sedang membutuhkan pertolongannya?" bantah
batin Nyai Linggar.
Namun, bencana yang ditunggu-tunggu perempuan istri bekas demang itu ternyata
tak pernah muncul. Gagak Lamatan dan orang-orang kepercayaannya
tak kunjung menghampirinya. Tentu saja sebab mereka sedang sibuk menghadapi
orang berkedok di mulut
desa. Dua orang kepercayaan Gagak Lamatan bahkan
sudah terkapar dengan kepala retak. Baru saja orang
berkedok itu membenturkan kepala mereka ke pohon
ketapang. ''Iblis keparat!" seru Gagak Lamatan seraya
memburu orang berkedok itu dengan pedang kembarnya.
Akan tetapi, kembali Gagak Lamatan harus
mengumpat-umpat. Ujung pedang kembarnya tak sedikit pun bisa menyentuh sasaran.
Orang berkedok itu
bagaikan seekor walet yang tak mungkin tertembus
pedang. ''Jahanam! Berani kau mencampuri urusanku"
Tidakkah kau tahu siapa yang sedang kau hadapi?" teriak Gagak Lamatan setelah
memerintahkan orangorangnya agar menghentikan serangan.
"Kau pun tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, Gagak Lamatan!" ejek orang
berkedok itu sambil membuang sebilah pedang yang berhasil dirampasnya dari
tangan salah seorang kaki-tangan Gagak Lamatan.
''Siapa pun kau di balik kedokmu, aku tidak
akan peduli!" jawab Gagak Lamatan.
''Jadi, untuk apa kau berusaha tahu siapa aku"
Bukankah lebih baik kita teruskan pertarungan kita"
Atau, kau takut kaki-tanganmu habis termakan pohon
ketapang?"
''Babi busuk! Tutup mulutmu! Sekali lagi kuperingatkan bahwa di antara kita
tidak ada urusan! Untuk itu, enyahlah!"
"Ha ha ha! Siapa bilang kalian tidak punya
urusan denganku" Setidaknya, mengamankan desa ini
adalah urusanku. Gagak Lamatan!"
''Kalau begitu, serahkan Wasi Ekacakra dan
Pendekar Perisai Naga kepadaku, dan kau aku maafkan!"
"Aku tidak kenal mereka! Aku hanya tahu bahwa penduduk desa ini memerlukan
ketenteraman! Untuk itu, aku tidak ingin melihat kau dan orangorangmu mengusik
mereka, Gagak Lamatan!"
"Kau memang memilih mati!" sergah Gagak
Lamatan seraya memberikan isyarat kepada orangorangnya agar kembali mengurung
orang berkedok.
Perkelahian satu lawan tujuh kembali berlangsung. Gagak Lamatan dan orang-
orangnya mengeluarkan seluruh kemampuan yang ada. Mereka harus
menghemat waktu sebab mereka masih harus menghadapi Pendekar Perisai Naga, Wasi
Ekacakra, dan kemungkinan gadis bertoya itu.
Akan tetapi, orang berkedok itu memang memiliki ilmu silat jauh di atas
kemampuan mereka. Kedua
orang yang berusaha membokong dari belakang ini tidak mengira bahwa orang
berkedok itu dengan mudah
menghindari dua bilah pedang yang mengarah ke lehernya. Bahkan dengan mudah pula
ia mengirimkan serangan balasan. Dua orang itu menjerit bersamaan
ketika orang berkedok itu menghantamkan kedua belah sisi telapak tangannya ke
leher belakang mereka.
''Bedebah! Rasakan ilmu 'Pedang Mata Gunting
ku, Iblis!" seru Gagak Lamatan seraya menerjang dengan jurus pamungkas ilmu
pedangnya. Melihat lawan telah sampai pada puncak ilmu
pedangnya, orang berkedok itu melenting ke sebuah
dahan. Sewaktu turun lagi, ia telah menggenggam sebatang ranting yang tak lebih
besar dari hulu pedang
Gagak Lamatan. Trakkk! Trakkk! Trakkk!
Tiga bilah pedang terlepas dari tangan anak
buah Gagak Lamatan. Kini orang berkedok itu tinggal
menghadapi Gagak Lamatan dan seorang lagi kakitangan-nya. Ketiga orang yang baru
saja kehilangan
pedang itu berloncatan mundur. Namun, sebelum mereka bertiga berhasil mengatasi
rasa nyeri yang menyerang pergelangan tangan mereka, tiga bilah pedang
yang tadi menggeletak di tanah tiba-tiba terbang satu
persatu dan bersarang di dada mereka.
Orang-orang desa yang menyaksikan pertarungan itu bersamaan membelalakkan mata.


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bermimpi pun mereka tak pernah mendengar cerita tentang
orang-orang sakti dari rimba persilatan yang mampu
merobohkan lawan dalam beberapa gebrakan. Namun,
selama ini mereka menganggap bahwa cerita itu hanyalah cerita yang dibesar-
besarkan. Baru sekarang
mereka mempercayai kebenaran cerita itu setelah mereka melihat bagaimana orang
berkedok itu melontarkan pedang-pedang itu kepada pemiliknya. Hanya
dengan sabetan sebuah ranting maka pedang-pedang
itu meluncur dan menancap persis di ulu hati para
pemiliknya. Maka para petani yang tak mengenal asamgaram-nya rimba persilatan itu merasa
pasti bahwa tak lama lagi Gagak Lamatan akan bernasib sama dengan lima orang anak buahnya
yang konon orang-orang
pilihan itu. Tinggal menunggu kapan orang berkedok
itu kehabisan kesabarannya.
Namun, di sela-sela ketegangan dalam kancah
pertarungan itu tiba-tiba terdengar tawa membahana.
Kemudian menyusul suara yang sangat dikenal deh
Gagak Lamatan. Suara inilah yang membuat wajah
Gagak Lamatan seketika berbinar-binar.
"Ha ha ha! Ada juga tikus-tikus yang mencoba
melawan harimau lapar! Dasar orang-orang dungu! Tidakkah kalian sadari bahwa
yang kalian hadapi bukan
lawan kalian" Dasar Gagak berotak kerbau!" kata Ki
Sadak Kinang sebelum meloncat keluar dari semaksemak.
"Kau, Sadak Kinang," sahut orang berkedok itu
seraya mencampakkan ranting di tangan kanannya.
"Kau mengenaliku" Ya, sebab aku tidak berkedok! Dan, jangan sakit hati jika aku
tidak mengenalmu! Tetapi, dari tata gerakmu setidaknya aku bisa meraba siapa kau
di balik kedokmu-itu!"
"Ki Sadak Kinang, bukan maksudku membingungkan mu. Aku hanya tidak ingin para
punggawa Kadipaten Banyuasin ini tahu wajahku. Kalau saja aku
tahu kau bakal datang, tentulah aku tak memerlukan
kedok ini lagi. "
'Tak apalah! Biarkan kedok itu tetap menutup
wajahmu! Beri aku kesempatan untuk menanggalkan
dari wajahmu!"
"Ki Sadak Kinang, bukan maksudku tidak mau
menjamu kedatanganmu di desa ini. Hanya saja, aku
telah melihat orang yang paling pantas menjamumu.
Semoga di lain waktu kita bisa bertemu lagi!" kata
orang berkedok itu sebelum melompat pergi.
'Tunggu, Keparat!" teriak Gagak Lamatan sambil melompat ke arah menghilangnya
orang berkedok itu. ''Gagak Lamatan! Lagi-lagi kau berbuat bodoh
di depanku! Karena ada aku kau berani mengejarnya,
bukan?" rutuk Ki Sadak Kinang.
'Tetapi, Kiai...?"
''Tidak kau lihat nyawa orang orangmu terbuang sia-sia?" Ki Sadak Kinang
menuding mayat mayat yang bergeletakkan di kanan-kirinya.
"Ya, Kiai."
"Nah, sekarang cobalah kau hadapi tamu-tamu
Pendekar Cacad 3 Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut Legenda Kematian 6
^