Pencarian

Pemanah Sakti Bertangan Seribu 1

Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu Bagian 1


PEMANAH SAKTI BERTANGAN SERIBU
Oleh Werda Kosasih
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Werda Kosasih Serial Pendekar Perisai Naga
dalam episode: Pemanah Sakti Bertangan Seribu 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Bulan menggantung seolah-olah berada di antara pohon ketapang. Bulatannya mulai
terkikis sebab purnama baru saja berlalu. Maka sinarnya pun tak lagi
benderang. Terlebih awan tipis kadang memintas di
bawahnya. Namun, tidak berarti sinar bulan tak kuasa
menerangi sosok manusia yang berdiri di bawah pohon
ketapang kembar di pinggiran Desa Dadapsari itu. Kebetulan pula sosok manusia
itu mengenakan pakaian
serba putih. Ada benda berkilat di kepala dan pinggangnya. Apabila diraba,
barulah bisa diketahui bahwa
benda berkilat itu terbuat dari kulit ular sanca.
Mengenakan pakaian serba putih, berikat kepala dan bercambuk kulit ular sanca,
menyebabkan lelaki di bawah pohon ketapang itu cepat dikenali orangorang rimba
persilatan. Malahan tidak sedikit penduduk desa yang juga mengenalinya sebagai
Pendekar Perisai Naga. Sudah beberapa malam ini Pendekar Perisai
Naga, atau yang lebih senang dipanggil Joko Sungsang, selalu berada di bawa
pohon ketapang kembar di
pinggiran Desa Dadapsari. Dan, jika terdengar olehnya
langkah-langkah manusia mendekati mulut Desa Dadapsari, Joko Sungsang bergegas
melenting dan hinggap pada salah sebuah dahan yang berdaun rimbun.
Kadang ia sendiri, kadang ditemani seorang gadis yang selalu mengenakan pakaian
serba jingga dan
bersenjatakan sebuah seruling bambu wulung. Inilah
gadis dari Padepokan Bukit Cangak yang sedang mencari-cari orang-orang dari
golongan sesat. Bukan
hanya karena ingin membalas dendam jika mereka
menghendaki kematian gadis ini, melainkan juga karena gadis inilah ahli waris
tunggal Eyang Kuranda Geni,
pemilik sah keris luk tujuh yang dinamai Ki Sumping
Sedapur (Baca juga: ''Siluman Kera Sakti").
Sejak Eyang Kuranda Geni tewas di padepokannya, sejak itu Gagar Mayang alias
Megatruh disatroni orang-orang golongan hitam. Namun, karena Gagar Mayang
berbekal ilmu silat tinggi, tak mudah bagi
lawannya untuk merebut Ki Sumping Sedapur dari
tangan gadis itu. Apalagi gadis itu hampir selalu ditemani Pendekar Perisai Naga
dalam pengembaraannya.
Lewat separuh malam, nampak Gagar Mayang
menghampiri Joko Sungsang di bawah pohon ketapang
kembar itu. Tahu bahwa gadis berpakaian serba jingga
itu yang datang, Joko Sungsang turun dari dahan
tempatnya bersembunyi.
"Ada pesan dari Paman Wasi untukku?" sambut Joko Sungsang.
"Ya. Kata guru, sebaiknya kita tinggalkan saja
pinggiran desa ini. Guru merasa bersalah membiarkan
kita terus-menerus jaga-jaga di sini," jawab Gagar
Mayang dengan suara lesu.
''Kita harus mengembalikan ketenteraman desa
ini seperti semula," kata Joko Sungsang. ''Sebab, garagara kita tinggal di desa
ini maka desa ini menjadi pusat perhatian orang-orang golongan sesat."
"Apa tidak lebih baik kita datangi saja orangorang sesat yang berniat menyatroni
desa ini?" usul
Gagar Mayang. "Itu jelas berlawanan dengan pesan guruku
maupun gurumu, Megatruh."
Berdesir hati Gagar Mayang mendengar Joko
Sungsang memanggilnya 'Megatruh'. Panggilan itu menyebabkannya merasa lebih
dekat lagi dengan anak
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu. Seperti
halnya ia pernah akrab dengan Ki Langendriya beberapa tahun yang lalu. Hanya
saja, terhadap Ki Langendriya gadis itu bisa menyikapinya sebagai kakak
seperguruan. Sementara, terhadap Joko Sungsang, gadis itu
tak mungkin menganggapnya sebagai kakak seperguruan.
Kadang kala, dalam kesendiriannya, Gagar
Mayang suka mengkhayal bagaimana seandainya Joko
Sungsang mencumbunya. Namun, khayalan itu selekasnya buyar demi ia mengingat
Sekar Arum maupun
Endang Cantikawerdi.
"Ah, kenapa di dunia ini harus ada Sekar Arum
dan Endang Cantikawerdi?" keluh Gagar Mayang dalam hati.
"Kau marah karena aku tidak menyetujui
usulmu?" usik Joko Sungsang setelah lama tidak didengarnya Gagar Mayang berkata-
kata. "Ah, tidak, tidak!" jawab gadis itu seraya senyum tersipu. Kalau saja matahari
menggantikan kedudukan bulan, tentulah Joko Sungsang akan melihat
betapa pipi gadis itu memerah dadu.
''Jadi, menurutmu apakah kita lebih baik...?"
'Terserah kau sajalah," tukas Gagar Mayang.
''Kita lihat saja perkembangan suasana dalam
beberapa hari ini. Kalau memang dalam beberapa hari
ini tidak seorang pun datang menyatroni desa ini, kita
ikuti saja petunjuk Paman Wasi. "
Gagar Mayang tak lagi menyahut. Bayangan
Sekar Arum dan Endang Cantikawerdi tak lekang dari
pelupuk matanya. la mencoba membandingbandingkan dirinya dengan kedua gadis itu.
"Ada seseorang mendatangi kita," kata Joko
Sungsang mengejutkan gadis itu. Segera setelah berka-
ta, Joko Sungsang melenting ke dahan tempatnya biasa bersembunyi.
Terlambat Gagar Mayang menggenjotkan kaki
ke tanah. Sosok yang mereka tunggu berbalik langkah
dan melesat. ''Kita ikuti!" bisik Joko Sungsang seraya melesat menyusul langkah orang yang
dicurigainya. Dua
tombak di belakangnya, Gagar Mayang berlari dengan
puncak ilmu meringankan tubuhnya.
Tak sulit bagi mereka berdua mendapatkan
kembali buruan mereka. Di bawah siraman sinar bulan yang meremang, Joko Sungsang
masih bisa mengenali siapa yang berlari tak jauh di depannya.
''Menyesal aku tidak membunuhnya," sesal
anak muda berpakaian serba putih itu.
''Bajang Kerek, maksudmu?" tanya Gagar
Mayang yang telah berlari di samping anak muda itu.
''Agaknya setan itu tak bisa lagi dituntun ke jalan yang lurus!"
'Tapi, kita belum tahu apa maksudnya mendekati Desa Dadapsari," bantah Gagar
Mayang. ''Kalau dia berniat baik, tak perlu dia melarikan
diri." "Dia belum tentu tahu bahwa kitalah yang ditemuinya di bawah pohon ketapang
itu." ''Bajang Kerek tak pernah ketakutan melihat
orang, kecuali melihatku."
"Dia menuju hutan rami!" sahut Gagar Mayang.
''Pasti ada orang yang menunggunya di sana."
Bajang Kerek memperlambat larinya. Ia tidak
yakin ada orang yang membuntutinya. Telinganya tak
mendengar langkah-langkah di belakangnya. Tentu saja, sebab Joko Sungsang maupun
Gagar Mayang tengah menerapkan ilmu meringankan tubuh mereka. Te-
lapak kaki mereka tak ubahnya telapak kaki harimau
yang tengah mengintip mangsa. Lagi pula, ilmu silat
Bajang Kerek belum bisa ditandingkan dengan ilmu silat Joko Sungsang ataupun
Gagar Mayang. Bajang Kerek menghadap seseorang yang duduk di punggung kuda. Tak jelas bagi
mata Joko Sungsang maupun Gagar Mayang siapa yang sedang
menanyai Bajang Kerek. Namun begitu, tidak berarti
telinga mereka tidak mampu menangkap pembicaraan
orang. orang yang mereka curigai itu.
Maka darah Joko Sungsang serta-merta mendidih begitu mendengar nama orang yang
duduk di punggung kuda disebut-sebut oleh Bajang Kerek.
''Gagak Paningal!" desis Joko Sungsang.
''Siapa Gagak Paningal?" tanya Gagar Mayang.
''Orang kepercayaan Adipati Sorengdriya. Dialah yang bersama-sama Ki Langendriya
hampir saja menewaskan Sekar Arum. Kau ingat sewaktu...?"
"Ya." Gagar Mayang menukas. Wajahnya seketika murung. Ingat Sekar Arum berarti
ia ingat kemalangannya sendiri. Ah, kenapa di kolong langit ini ada
gadis yang bernama Sekar Arum"
"Aku harus membalaskan sakit hati Sekar
Arum, " kata Joko Sungsang. Dan, tanpa menunggu
reaksi dari Gagar Mayang, Panji melompat dari persembunyian.
*** Gagak Paningal melompat turun dari punggung
kuda. Tangan kirinya langsung mencengkeram leher
Bajang Kerek Dan, tangan kanannya diangkat tinggitinggi, siap menghancurkan
kepala lelaki malang itu.
''Katakan sekali lagi, apa yang kau lihat di
pinggiran Desa Dadapsari!" hardik Gagak Paningal.
"Ki Lurah, saya tidak berdusta. Saya benarbenar melihat Pendekar Perisai Naga di
sana, " jawab
Bajang Kerek dengan tubuh gemetar. Sesungguhnya,
murid Klabang Seketi ini bukannya takut menghadapi
Gagak Paningal, melainkan takut jika Adipati Sorengdriya nantinya turun tangan.
''Jangan coba-coba membohongiku, Bajang Kerek!" sergah Gagak Paningal seraya
mengayunkan telapak tangan kanannya ke kepala murid Klabang Seketi itu.
Namun, tiba-tiba tangan itu tertahan di atas
kepala Bajang Kerek. Sebuah cambuk berhiaskan bola
berduri membelit pergelangan tangan Gagak Paningal.
Ketika Gagak Paningal menoleh ke belakang, seolah
dalam mimpi ia melihat Pendekar Perisai Naga berdiri
dua tombak di belakangnya.
''Bajang Kerek tidak berdusta, Gagak Paningal,"
kata Joko Sungsang sebelum membebaskan tangan
Gagak Paningal dari belitan cambuk Perisai Naga. "Aku
memang menunggu manusia-manusia sepertimu di
pinggiran Desa Dadapsari. Untuk apa kau mempersoalkan aku di sana atau tidak,
Gagak Paningal?" jawab Pendekar Perisai Naga tiba-tiba.
Setelah mendorong tubuh Bajang Kerek, Gagak
Paningal maju selangkah dan mengelus kumisnya yang
melintang. Betapapun ia pernah mendengar nama besar Pendekar Perisai Naga, ia
merasa perlu menjajaki
sendiri tingkatan ilmu silat pendekar bercambuk ini.
"Aku sering mendengar namamu dipuja-puja
orang banyak, Pendekar Perisai Naga! Tetapi, kau pikir
aku takut menghadapimu?" kata punggawa Kadipaten
Banyuasin itu kemudian.
"Aku memang tak ingin menakut-nakuti...."
''Tutup mulutmu! Dan, pergilah dari hadapanku sebelum kesabaranku hilang, Anak
Muda!" tukas
Gagak Paningal.
"Aneh," kata Joko Sungsang sambil tersenyum.
'Tadi kau bentak-bentak Bajang Kerek karena ia melaporkan bahwa ia melihatku di
pinggiran Desa Dadapsari. Sekarang, setelah kau melihatku sendiri, kau suruh aku
pergi. Bukankah itu berarti kau memang takut berhadapan denganku?"
"Bocah sombong! Kupancung lehermu!" sergah
Gagak Paningal seraya menghunus pedang kembar
yang menggantung di pinggang kanan-kirinya.
Sringngng! Sringngng!
"Kau boleh saja besar kepala karena kau mampu menewaskan Demang Langendriya!
Tetapi, aku bukan manusia dungu macam Demang Langendriya!"
sambung Gagak Paningal sambil menerjang leher dan
lutut Joko Sungsang. Seperti mata gunting pedang
kembar itu menyambar tubuh Joko Sungsang.
Namun, Joko Sungsang bukanlah penduduk
desa yang akan terbelalak menyaksikan permainan
pedang Gagak Paningal. ia sudah bisa menebak ke
mana arah pedang kembar itu. Maka secepat kilat ia
membuang tubuhnya ke samping dan membabat kuda-kuda lawan dengan putaran
kakinya. Begitu cepat serangan balasan yang dilancarkan Joko Sungsang. Tak ada waktu bagi
Gagak Paningal melindungi kaki kanannya dari sambaran kaki lawan.
Desss! Tarrr! Tubuh Gagak Paningal bergulingan di tanah.
Namun, secepatnya ia melenting bangkit dan menyilangkan kedua bilah pedangnya di
depan dada. Rasa
nyeri menggeremeti tulang keringnya, tetap tak dirasakannya. Ia lebih merasakan
telinganya yang berdenging-denging akibat ledakan cambuk yang hampir saja
merobek daun telinganya.
''Seharusnya aku hilangkan daun telingamu,
Gagak Paningal. Bukankah yang namanya burung gagak tidak mempunyai daun
telinga?" ujar Joko Sungsang.
''Bedebah keparat! Jangan berangan-angan
ujung cambuk mu bisa menyentuh kulitku!"
''Kita lihat saja nanti," sahut Joko Sungsang.
'Tidakkah kau melihat bagaimana ujud mayat Ki Langendriya?"
Berdesir hati Gagak Paningal mengingat kematian Ki Langendriya beberapa waktu
yang lalu. Muka
demang yang malang itu habis tercabik-cabik bola berduri yang menghiasi ujung
cambuk Perisai Naga (Baca
juga Pendekar Perisai Naga dalam episode: ''Pusaka
Bukit Cangak"). Dan, ia menyadari bahwa baru saja
cambuk itu berhasil melilit pergelangan tangannya sehingga Gagak Paningal luput
dari bencana. ''Pendekar Perisai Naga, sebenarnya ada urusan
apa maka kau...?"
''Jangan berlagak bodoh, Gagak Paningal," tukas Joko Sungsang sigap. 'Tetapi,
kalau memang kau


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lupa, tidak ada jeleknya aku mengingatkan mu. Kau
masih ingat gadis bertombak pendek yang kau siksa
bersama Ki Langendriya?"
"Dan, kau merasa lebih hebat dari gadis itu?"
selak Gagak Paningal.
"Ya. Setidaknya, aku kakak seperguruan gadis
itu, Gagak Paningal."
''Kerbau yang paling dungu pun tidak akan
mempercayai omong kosong mu! Kau pikir aku tidak
tahu dari mana gadis itu datang" Sejak kapan gadis itu
berguru ke Padepokan Jurang Jero?"
''Hidupmu di lingkungan kadipaten, tetapi pikiranmu tak lebih dalam dari pikiran
babi hutan, Gagak
Paningal," sahut Joko Sungsang.
''Lalu, bagaimana dengan nama besarmu yang
tidak cocok omong kosong mu, Pendekar Perisai Naga?"
"Tak ada faedahnya kita berdebat mulut, Gagak Paningal. Bersiaplah menyusul
Demang Langendriya!" Berkata begini, Joko Sungsang memutar cambuknya.
Terbelalak mata Gagak Paningal menyaksikan
sinar hijau kebiru-biruan yang menutup sekujur tubuh Pendekar Perisai Naga dari
Padepokan Jurang Jero itu. Ia memang sering mendengar kehebatan cambuk yang
terbuat dari kulit ular sanca itu. Tetapi,
sungguh baru kali ini ia melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana cambuk itu seolah berubah menjadi
perisai berwarna hijau kebiru-biruan.
Tak ada yang bisa dilakukan Gagak Paningal
kecuali menunggu serangan lawan. Baginya, tak ada
lagi peluang untuk menyerang. Putaran cambuk itu
begitu rapat memagari tubuh Joko Sungsang Kalaupun ia nekat menyerang, bukan
mustahil justru pedang kembarnya akan terlilit cambuk lawan.
Dalam pada itu, Bajang Kerek semakin bisa
berpikir jernih. Ia tahu apa yang harus dilakukannya
sebelum pertarungan Gagak Paningal dan Pendekar
Perisai Naga berakhir. Siapa pun yang menang dalam
pertarungan itu, tak akan memberinya kesempatan
untuk hidup. Maka bersijingkat Bajang Kerek meninggalkan tempatnya sendiri. Tak
ada kemungkinan lain
kecuali melarikan diri.
"Mau ke mana, Bajang Kerek?" tanya Gagar
Mayang mengejutkannya.
Untuk sejenak Bajang Kerek mengerutkan dahinya. la merasakan pernah berhadapan
dengan gadis berpakaian serba jingga itu.
"Eh, bukankah kau gadis dari Perguruan Gunung Sumbing?" tanyanya kemudian.
"Bukalah matamu lebar-lebar, Bajang Kerek!
Tidakkah kau bisa membedakan senjata yang dibawabawa gadis Gunung Sumbing itu
dengan senjataku?"
kata Gagar Mayang sambil mengeluarkan seruling
bambu wulungnya dari pinggang.
"Ah, tetapi apa bedanya" Gadis Gunung Sumbing cantik, kau malahan lebih cantik
lagi, Cah Moblong!"
"Dan, kalau aku cantik lalu bisa membuatmu
bernyawa rangkap?"
"He he he, bagaimana kalau kita bersenangsenang saja... eh, siapa namamu?"
''Kalaupun otakmu tumpul buat mengingatingat, setidaknya kau pernah melihat
kawanmu menjadi bangkai di Hutan Pinus itu, Bajang Kerek!"
"Hei, jadi... kau yang membunuhnya" Ah, tak
apalah. Aku masih memaafkanmu asalkan kau mau
menukar nyawanya dengan tubuhmu yang mulus...."
Wungngng! Seruling di tangan Gagar Mayang berkelebat
dan menyambar kepala Bajang Kerek. Namun, murid
Klabang Seketi ini bergeser ke samping dan melindungi
kepalanya dengan punggung tangan kanannya.
Desss! Benturan kedua punggung tangan tak terelakkan ketika Gagar Mayang menyusulkan
pukulan punggung tangannya ke arah kepala lawan. Kaget bu-
kan kepalang gadis itu sewaktu dirasakannya punggung tangannya seolah membentur
batu karang. "Ha ha ha! Agaknya temanmu yang bergelar
Pendekar Perisai Naga itu belum sempat bercerita tentang siapa Bajang Kerek, Cah
Ayu!" ejek Bajang Kerek
Gagar Mayang tak menimpali. Diam-diam gadis
itu menyesal telah bertindak gegabah, meremehkan
lawan. Sama sekali luput dari dugaannya bahwa Bajang Kerek ternyata memiliki
ilmu kekebalan. Namun
begitu, Gagar Mayang tetap bisa mengukur sejauh
mana ilmu kekebalan yang dikuasai lawan. Kalaupun
lawan kebal terhadap pukulan tangan kosong, mustahil tak bisa ditembus dengan
jurus 'Tujuh Bidadari
Pemetik Nyawa'. Maka gadis itu memutar serulingnya.
Tujuh sinar putih menyambar tubuh Bajang Kerek.
"Augh...!" Bajang Kerek melenguh dan tersungkur dengan tubuh hampir terbelah.
''Jangan kau anggap aku kejam, Bajang Kerek!
Sudah berapa kali Pendekar Perisai Naga memaafkanmu, tetapi kau tetap memang
memilih jalan sesat!" kata Gagar Mayang sendu. Ada rasa sesal menggeremati
rongga dada gadis itu. Tak seharusnya ia menurunkan
jurus pamungkas menghadapi Bajang Kerek.
Sementara Gagar Mayang merenungi mayat Bajang Kerek pertarungan antara Joko
Sungsang melawan Gagak Paningal berjalan semakin sengit. Untuk
menghadapi putaran cambuk Perisai Naga, Gagak Paningal terpaksa berkali-kali
berjumpalitan ke belakang.
Sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Putaran cambuk
kulit ular itu semakin
rapat memagari tubuh Pendekar Perisai Naga.
''Memang tepat jika cambuk itu dinamai Perisai
Naga!" kata hati Gagak Paningal.
"Hm... kenapa kau tak bernafsu menyerangku
lagi, Gagak Paningal?" kata Joko Sungsang setelah
menghentikan putaran cambuknya.
Gagak Paningal tidak menimpali. Peluang yang
hanya sekejap ini benar-benar dimanfaatkannya. Dua
buah sinar putih berkelebat ke arah Joko Sungsang.
Inilah jurus 'Pedang Kembar Pembelah Badai'. Benda
apa pun yang menjadi sasaran jurus ini akan terpotong-potong menjadi delapan
bagian. Jangan dikata
tubuh manusia, sedangkan pohon besar pelukan gorila
pun akan terajam.
Wusss! Wusss! Wusss! Desss! Crasss!
Joko Sungsang menggenjotkan kakinya ke tanah sebelum ujung pedang kembar itu
menyentuh kulitnya.
Lalu, sambil menukik turun, ia melecutkan
cambuknya untuk menahan ujung pedang kembar
yang telah siap menyongsongnya. Sewaktu bola berduri di ujung cambuk bertemu
dengan ujung pedang di
tangan kanan lawan inilah Joko Sungsang mengirimkan tumit kaki kanannya ke
punggung lawan.
Tubuh Gagak Paningal terhuyung-huyung, tetapi pedang di tangan kirinya masih
sempat merobek betis Joko Sungsang.
Darah di sekujur tubuh anak muda dari Desa
Sanareja ini seakan naik ke kepala. Gusar bukan kepalang ia menyadari bahwa
pedang lawan berhasil merobek betisnya.
''Bersiaplah menerima ajalmu, Gagak Paningal!"
ujar Joko Sungsang dengan geraham beradu. Sekejap
kemudian, cambuk di tangannya mengurung tubuh
Gagak Paningal. Bola berduri di ujung cambuk ini meraung-raung memekakkan
telinga. Srettt! Crasss!
Gagak Paningal yang masih berusaha menjaga
keseimbangan tubuhnya tak sempat lagi menggerakkan pedang kembarnya ketika tiba-
tiba cambuk Perisai
Naga membelit lehernya. Dan, sewaktu ia berusaha
memangkas cambuk kulit ular itu dengan pedang di
tangan kanannya, bola berduri di ujung cambuk itu
memangkas urat-urat di lehernya.
''Itulah jurus 'Naga Melilit Gunung', Gagak Paningal!" ujar Joko Sungsang.
*** 2 ''Ujung pedang itu beracun!" seru Gagar
Mayang setelah meraba betis kanan Joko Sungsang.
Suhu betis itu menyengat telapak tangannya.
''Warangan ular belang," sahut Joko Sungsang
sambil menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk segenap jaringan di betis kanannya.
"Kau tahu obat penangkalnya?" Gagar Mayang
bertanya cemas. Gadis itu sadar bahwa selama berguru kepada kakeknya maupun Wasi
Ekacakra belum pernah diterimanya ilmu penawar racun warangan.
''Carilah kodok ijo...," kata Joko Sungsang tersendat.
''Kodok ijo" Di mana bisa aku dapatkan binatang itu?" sahut Gagar Mayang
bertambah cemas.
"Tak jauh dari sini ada aliran sungai. Di sanalah kau bisa mendapatkan kodok
ijo...." Berrr! Gagar Mayang melesat ke arah yang ditunjuk
Joko Sungsang. Betapapun ia belum pernah mengala-
mi terkena racun warangan ular belang, setidaknya ia
pernah mendengar cerita betapa ganas racun itu Sebelum pagi, barangkali nyawa
Pendekar Perisai Naga tak
akan tertolong lagi jika tak berhasil ditemukannya obat
penawar racun itu.
Gagar Mayang termangu-mangu di pinggiran
sungai. Tempat itu begitu gelap. Sinar bulan tak mampu menembus kerimbunan daun
bambu. Bagaimana
mungkin bisa melihat kodok"
Namun begitu, gadis dari Padepokan Bukit
Cangak itu tak kehabisan akal. Dalam kegelapan, ia
harus menggunakan telinga, bukan mata. Setelah
mempertajam pendengarannya, barulah ia mampu
menangkap suara kodok di kejauhan. Bersijingkat gadis itu mencari arah datangnya
suara. Kecemasan yang semakin menjadi-jadi dalam
hati Gagar Mayang membuatnya kehilangan kesabaran. Dengan seruling bambu
wulungnya yang telah dilambari dengan jurus 'Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa',
gadis itu menyerang beberapa ekor kodok yang tengah
berdendang bersahutan. Seruling berwarna hitam itu
meraung-raung dan dari ketujuh lubangnya keluar sinar putih. Tujuh ekor kodok
terbungkam dan menyembul di permukaan air sungai. Namun, Gagar
Mayang lupa memperhitungkan bagaimana akibat dari
jurus 'Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa'.
Tujuh ekor kodok yang mengapung di permukaan air itu tak menampakkan lagi bentuk
kodok. Gadis itu hanya mendapatkan tujuh keping cacahan daging yang telah hangus
terbakar. "Ya, Allah! Oh, betapa tololnya aku?" keluh Gagar Mayang seraya mencampakkan
ketujuh keping daging kodok di tangannya.
"Ha ha ha! Ada juga rupanya pendekar yang
hanya mampu membunuh kodok dengan ajian pamungkasnya!" Suara seseorang di
seberang sungai
mengejutkan Gagar Mayang.
Gagar Mayang menatap ke arah datangnya suara. Akan tetapi, yang nampak olehnya
hanyalah sesosok manusia yang terbalut pakaian serba hitam. Bahkan wajahnya pun
tertutup kain hitam.
''Jahanam! Kenapa kau campuri urusanku"
Enyahlah sebelum aku terpaksa mengenyahkan mu!"
hardik Gagar Mayang.
''Karena kau memiliki jurus 'Tujuh Bidadari
Pemetik Nyawa' maka kau merasa pasti bisa mengenyahkan ku" Hm..., untuk itukah
kau memperdalam
ilmu silat" Untuk orang-orang yang tidak bersalah sepertiku inilah jurus-jurus
maut mu kau gunakan?"
"Kau bersalah telah mengganggu pekerjaanku,
Muka Buruk!"
"Hei, bagaimana kau tahu mukaku buruk, Gadis Cantik?"
"Kau tidak akan bertopeng jika kau tidak malu
menampakkan wajahmu!"
"Ha ha ha! Aku akan membuka kedokku jika
kau bisa menyentuh seruling mu ke kulitku, Megatruh!".
Terbelalak mata Gagar Mayang menatap orang
berkedok di seberang kali. Dalam hati ia bertanyatanya, ''Siapakah orang
berkedok ini" Kenapa ia tahu
namaku" Bahkan ia tahu julukanku?"
''Jangan kaget, " kata orang berkedok itu meneruskan. "Aku bukan saja tahu
namamu, Megatruh!
Aku pun tahu apa kepentinganmu di pinggir kali ini!
Sayang sekali, kau terlambat bertindak! Temanmu
yang bergelar Pendekar Perisai Naga telah tewas dige-
rogoti racun warangan itu! Bahkan kau tidak akan bisa menemukan mayatnya! Seekor
harimau telah menggondol mayat temanmu itu...!"
"Besar mulut!" tukas Gagar Mayang seraya melompati sungai dan menerjang orang
pendek itu. ''Huppp!" Dengan mudahnya orang berkedok
itu menghindari tendangan sekaligus sabetan seruling
yang mengarah ke dada dan kepalanya.
''Jahanam licik! Ternyata kau hanya berani
menghadapi orang yang sedang terluka! Rasakan batasanku!" Gagar Mayang memutar
serulingnya yang
langsung dilambarinya dengan jurus 'Tujuh Bidadari
Pemetik Nyawa'.
Namun, orang berkedok itu benar-benar memiliki ilmu silat jauh di atas kemampuan
Gagar Mayang. Dengan beberapa kali loncatan, loloslah ia dari serangan tujuh sinar putih yang
meluncur dari ketujuh lubang seruling bambu wulung.
''Sayang, jurus yang begitu dahsyat hanya dipergunakan untuk merusak pepohonan
dan membunuh kodok!" ejek orang berkedok itu dari arah punggung Gagar Mayang.
''Jahanam licik! Sambutlah pukulanku jika kau
memang lelaki jantan!" tantang Gagar Mayang yang kini telah bersiap dengan ajian
'Ismu Gunting'.
"Hei, tunggu! Tidakkah Wasi Ekacakra berpesan kepadamu bahwa ajian 'Ismu
Gunting' bukan ajian
yang bisa dipergunakan kapan saja?" kata orang berkedok itu memperingatkan.
Gagar Mayang terpaku. Betapapun kemarahan
telah memenuhi rongga dadanya, ia tetap terpukul oleh
teguran orang berkedok itu. Serta-merta ia ingat pesan
Wasi Ekacakra berkenaan dengan ajian 'Ismu Gunting'
yang diturunkannya.
''Bagus! Kau ternyata murid yang baik, Gagar
Mayang! Kau tak mau melanggar larangan gurumu


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya karena menuruti nafsu amarahmu! Ajian 'Ismu
Gunting' akan semakin matang bila kau jarang mempergunakannya, Gagar Mayang!
Sebaiknya, ajian itu
akan hambar bila kau terlalu sering membuangnya!"
"Kau memang pintar, tetapi kau besar kepala!"
sergah Gagar Mayang sebelum menusukkan serulingnya ke dada orang berkedok itu.
Wusss! Bresss! Seolah tertiup angin topan, tubuh Gagar
Mayang terpental ke belakang dan terperosok ke semak-semak. Sewaktu gadis itu
melenting bangkit, ia
tak melihat lagi sosok yang terbalut kain serba hitam
itu. ''Jahanam licik! Keluarlah dari persembunyianmu! Ayo, kita tentukan siapa
yang.,.." Gadis itu
tidak meneruskan ucapannya. Seketika ia ingat bahwa
ia harus secepatnya menolong Pendekar Perisai Naga.
Maka ia melesat meninggalkan pinggiran kali itu. Sebelum meneruskan usahanya
menangkap kodok ijo, ia
ingin lebih dulu menengok benarkah Pendekar Perisai
Naga telah lenyap dari tempatnya berbaring. Ia tahu, di
hutan rami ini tidak mungkin ada harimau. Tetapi, ia
juga tidak berani membantah ucapan orang berkedok
itu. Mungkin benar Pendekar Perisai Naga telah lenyap
dari tempat berbaringnya, sekalipun sangat mustahil
digondol harimau.
*** Ditumbangkannya semua pohon rami yang
mungkin menyembunyikan tubuh Pendekar Perisai
Naga. Akan tetapi, gadis itu tetap tak menemukan so-
sok yang dicarinya. Kini Gagar Mayang baru percaya
bahwa Pendekar Perisai Naga telah lenyap dari hutan
rami. Mungkinkah orang berkedok itu yang membawanya pergi" Dan, siapa sebenarnya
orang berkedok itu" Mungkinkah ia tokoh sesat yang menginginkan
kematian Pendekar Perisai Naga" Atau sebaliknya, dia
orang sakti yang ingin menolong" Tetapi, siapa" Wiku
Jaladrikah" Ki Sempani, mungkin"
Kemudian gadis itu ingat Pemanah Sakti Bertangan Seribu yang pernah menyerangnya
di Kaki Bukit Cangak (Baca juga: ''Siluman Kera Sakti"). Namun,
ia pun tidak yakin akan dugaannya. Orang berkedok
itu tak segarang Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
Bahkan balas menyerang pun orang berkedok itu tidak
mau. Orang berkedok itu hanya mau menghindar dan
secara tidak langsung menasihati.
Pada akhirnya, Gagar Mayang memutuskan untuk melaporkan hilangnya Pendekar
Perisai Naga kepada Wasi Ekacakra. Ia berharap, orang sakti yang
menyamar menjadi petani itu bisa memberinya petunjuk ke mana ia harus mencari
Pendekar Perisai Naga.
Menanggapi cerita tentang hilangnya Pendekar
Perisai Naga, Wasi Ekacakra berpesan kepada Gagar
Mayang agar kabar ini tidak sampai ke telinga Nyai
Linggar. ''Apakah sekiranya benar Pendekar Perisai Naga
dalam bahaya, Guru?" tanya Gagar Mayang sambil
mengingat-ingat ucapan orang berkedok di pinggiran
kali itu. ''Kita serahkan saja kepada Gusti Yang Maha
Pengasih. Mati dan hidup manusia ada dalam takdirNya, Nini."
''Bagaimana dengan orang berkedok itu, Guru"
Tidakkah Guru bisa menebak siapa kira-kira orang
sakti yang tak mau menampakkan wajahnya itu?"
''Sulit untuk memastikannya, Nini. Banyak
orang sakti baik yang berilmu sesat maupun yang berilmu lurus. Mereka bisa
muncul kapan saja."
''Tetapi, orang berkedok itu mengenal Guru. la
tahu bahwa ajian 'Ilmu Gunting' saya dapatkan dari
Guru." ''Orang-orang sakti yang setingkat dengan
orang berkedok itu akan mengetahui ajian-ajian baik
yang dipunyai lawan maupun kawan, hanya dari melihat tata gerak mereka, Nini.
Mungkin orang berkedok
itu memang mengenalku. Mungkin juga pernah berhadapan denganku," tutur Wasi
Ekacakra. ''Jadi, menurut Guru, saya harus mencari Pendekar Perisai Naga ke mana?" Gagar
Mayang benarbenar merasa bingung.
"Kalau benar yang menculik Pendekar Perisai
Naga orang berkedok itu, rasanya akan percuma Nini
Gagar Mayang bersusah-payah mencarinya. Bukankah
Nini Gagar Mayang sendiri sudah melihat bagaimana
tingkatan ilmu silat orang berkedok itu?"
''Paling tidak saya harus mengetahui di mana
Pendekar Perisai Naga disembunyikan, Guru. Sekaligus saya ingin memastikan
apakah Pendekar Perisai
Naga masih hidup, atau sudah mati seperti kata orang
berkedok itu."
''Semakin banyak tokoh rimba persilatan yang
memusuhi Pendekar Perisai Naga, Nini. Apalagi, seperti
yang Nini ceritakan tadi, baru saja Pendekar Perisai
Naga membunuh punggawa Kadipaten Banyuasin. Bagaimana jika Kanjeng Adipati
Sorengdriya mengetahui
bahwa Gagak Paningal tewas oleh cambuk Perisai Naga?"
"Tetapi, Pendekar Perisai Naga sendiri pernah
bercerita bahwa Adipati Sorengdriya tak mungkin
mendukung gerakan orang-orang sesat, Guru," bantah
Gagar Mayang. ''Kesabaran manusia ada batasnya, Nini. Aku
malahan tidak setuju jika Pendekar Perisai Naga beranggapan begitu. Tidakkah ia
juga bercerita bahwa
Kanjeng Adipati Sorengdriya pernah tunduk kepada
perintah Hantu Lereng Lawu" Kalaupun dia masih bisa
bersabar mendengar kematian Ki Demang Langendriya, belum tentu ia tetap bisa
sabar mendengar berita tewasnya Gagak Paningal, Nini. "
Mendengar penuturan Wasi Ekacakra, gadis itu
pada akhirnya manggut-manggut menyetujui pendapat
gurunya. "Ah, saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana, Guru," kata Gagar Mayang dalam
kebingungannya yang memuncak.
''Beristirahatlah, Nini. Aku lihat sudah berapa
malam Nini tak sempat memejamkan mata. Bangun tidur nanti, mungkin Nini akan
tahu langkah apa yang
paling baik untuk Nini jalani."
"Guru, bagaimana saya bisa tidur jika pikiran
saya seperti sekarang ini?"
''Baiklah. Kalau memang Nini meminta saran
dariku, sebaiknya Nini tinggal beberapa hari lagi di Desa Dadapsari ini. Syukur-
syukur Nini mau memperdalam apa yang pernah Nini terima dari Eyang Kuranda
Geni maupun dariku. Soal hilangnya Pendekar Perisai
Naga, biarlah aku yang mencari sisik-melik. "
Wajah gadis itu tiba-tiba bercahaya. Kebingungan yang membuntu otaknya seketika
musnah tak berbekas. Maka gadis itu lantas bersujud di depan lutut Wasi Ekacakra sambil
berucap, 'Terima kasih,
Guru. Saya bisa memastikan bahwa Guru akan berhasil menemukan Pendekar Perisai
Naga...." ''Nini Gagar Mayang," tukas Wasi Ekacakra,
''Jangan sekali-sekali Nini melupakan bahwa mati dan
hidup manusia bukan manusia itu sendiri yang menentukan. Aku akan berusaha
mencari Pendekar Perisai Naga, tetapi janganlah Nini mendahului kehendakNya
Berhasil atau tidak usahaku, hanya yang di atas
sana yang menentukan."
''Maafkan saya, Guru."
''Beristirahatlah, Nini. Sejak dari tadi Nyai Linggar menunggu Nini dan Anakmas
Joko Sungsang. Beristirahatlah agar Nini segar-bugar dalam latihan nanti. "
*** Berita tentang hilangnya Pendekar Perisai Naga
ternyata tidak bisa ditutup tutupi oleh Gagar Mayang
maupun Wasi Ekacakra. Salah seorang penduduk desa
yang mendengar percakapan antara orang berkedok itu
dengan Gagar Mayang yang tidak bisa memendam rahasia. Sewaktu ia bercerita
kepada salah seorang temannya di kedai, tak disadarinya bahwa dia telah
menyebarkan berita.
''Bagaimana mungkin kau bisa mendengar
pembicaraan para pendekar itu?" tanya teman yang
lain, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.
''Kamu ini bagaimana" Apa kamu tidak pernah
tahu kalau aku setiap malam memasang bubu di kali
itu" Aku sendiri tadinya juga tidak percaya kalau yang
aku dengar suara orang-orang sakti itu...."
'Terus, setelah kau mengintip mereka" Kau bisa
melihat wajah orang-orang sakti itu?" sahut teman
yang lainnya. ''Kebetulan keadaan di pinggiran kali itu agak
gelap. Tapi, aku bisa memastikan mereka laki-laki dan
perempuan. "
"Lha, iya. Dari suaranya juga semua orang bisa
memastikan kalau mereka laki-laki dan perempuan!
Maksudku, perempuannya seperti apa, laki-lakinya
seperti apa" Sudah tua, apa masih muda?" sahut temannya yang pertama diajak
bicara. "Yang laki-laki hampir tidak kelihatan. Hanya
kelihatan gerak geraknya saja. Sepertinya dia pakai kerudung kain hitam.
Pakaiannya juga hitam. Celana
pangsinya juga hitam."
"Yang perempuan?" kejar teman yang berdiri di
belakangnya tak sabar.
"Yang perempuan sepertinya masih gadis. "
"Hei, bagaimana kau tahu dia gadis atau janda?" ejek salah seorang temannya.
''Sudah, sudah! Kenapa malah membicarakan
gadis dan janda" Kita tadi sedang membicarakan hilangnya Pendekar Perisai Naga.
Kalau memang orangorang berilmu tinggi saja...."
"Oh, aku ingat sekarang!" seru lelaki yang
membawa berita.
"Apa?" Hampir serentak mereka yang mengerumuni lelaki itu bertanya.
"Kata orang yang berkerudung kain hitam itu,
Pendekar Perisai Naga mati dan hilang digondol harimau!"
Semua yang berada di kedai itu tertawa. Mereka tahu pasti bahwa di hutan rami
tak mungkin ada
harimau. Namun, mereka secepatnya menghentikan
tawa mereka ketika terdengar derap kaki kuda mendekati kedai minum itu.
''Utusan dari kadipaten!" bisik salah seorang
dari mereka. ''Siapa?" tanya pemilik kedai itu.
Tetapi, siapa yang berani menjawab pertanyaan
pemilik kedai itu" Seolah muncul dari dalam tanah, tiba-tiba saja penunggang
kuda itu sudah berdiri di ambang pintu kedai. Tak seorang pun berani menatap
wajah lelaki yang baru datang ini. Mereka hanya berani
menatap sepasang kaki yang terbalut celana hitam
mengkilat dan dihiasi dengan benang emas.
''Siapa di antara kalian yang tahu di mana Pendekar Perisai Naga berada?" tanya
lelaki pendatang itu.
Suara itu pelan, tetapi bagi mereka yang mendengar tak ubahnya suara petir.
Pandang mata mereka
semakin turun, dan akhirnya menghunjam ke tanah
yang mengalasi kedai itu. Tak seorang pun dari mereka
berani membuka mulut.
''Kalian dengar aku bertanya?" Agak meninggi
suara lelaki di ambang pintu itu.
Masih juga tak ada yang menjawab.
''Binatang!" geram lelaki pendatang itu seraya
meraih leher salah seorang dari mereka. ''Lihat wajahku baik-baik! Dengarkan aku
bertanya! Siapa yang di
antara kalian yang tahu di mana Pendekar Perisai Naga!"
''Saya... saya... saya... tidak tahu, Tuan...."
Plakkk! Lelaki malang itu tersungkur dengan bibir robek.
''Kalau di antara kalian tetap tidak mau menunjukkan di mana persembunyian
Pendekar Perisai
Naga, kupecahkan kepala kalian semua!"
Setiap orang yang mendengarkan ancaman itu
merasa nyawanya sudah bertengger di ubun-ubun.
Mereka tak mungkin luput dari bencana itu sebab
memang tak seorang pun dari mereka tahu di mana
Pendekar Perisai Naga berada. Malahan baru saja mereka membicarakan perihal
hilangnya pendekar bercambuk kulit ular sanca itu.
"Ke sini kamu!"
Kini semuanya memberanikan diri menatap lelaki yang datang berkuda itu. Mereka
semua ingin tahu siapa yang dipanggil lelaki garang itu. Duh. Gusti
Allah, mudah-mudahan bukan aku yang dipanggil
mendekat, pikir mereka bersamaan.
''Saya... saya...?" kata lelaki yang merasa dituding.
"Ke sini!"
''Saya... saya...."
"Terlalu banyak mulut kamu!"
Dan, lelaki matang itu pun tersungkur seraya
memuntahkan darah segar. Sebuah tendangan di dada
mengguncangkan jantungnya.
Keadaan di kedai itu semakin hening. Bahkan
tarikan napas pun hampir tak terdengar dari hidung
mereka. Kalaupun kemudian terdengar suara, tak lain
suara air mendidih di ceret. Pemilik kedai itu tak berani beranjak dari
tempatnya berdiri meskipun air di dalam ceret itu meluap-luap dan menumpahi
sebagian bara api. ''Siapa di antara kalian yang kenal Wasi Ekacakra?" tanya lelaki pendatang itu
kembali memecah keheningan.
"Aku!" jawab seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang lelaki yang
menanyakan Wasi
Ekacakra itu. Orang-orang yang tengah dicekam rasa takut
itu tak bisa mencegah gerak mata untuk tidak melihat
ke luar kedai. Maka mereka bersamaan membelalakkan mata manakala mereka melihat
seorang gadis berpakaian serba jingga, berkacak pinggang, dan menatap
tajam lelaki pendatang yang telah siap membunuh siapa saja itu.
"Kau" Siapa kau" Berani kau bertolak pinggang
di depanku?" Mata lelaki pendatang itu pun melebar.
Ia heran jika di desa itu ternyata dijumpainya gadis
cantik dan pemberani.
''Kau pikir dengan pakaianmu itu kau merasa
menjadi raja?" jawab gadis itu dengan bibir tercibir
mengejek.

Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Tak apalah. Aku maafkan kelancanganmu. Ya,
karena kau memang gadis desa yang tidak mungkin
kenal punggawa kerajaan sepertiku. Tapi, setelah aku
menyebutkan namaku, segeralah kau berlutut dan
memohonlah ampunan ku."
''Katakan namamu biar orang-orang yang tidak
berdosa itu tahu siapa yang telah mengotori desa ini
dengan tingkah lakumu yang memuakkan!"
"Kau, dan cecurut-cecurut itu semua, tentu
pernah mendengar nama Gagak Paningal.!"
"Ya! Yang mayatnya membusuk di hutan rami
itu, bukan?" tukas gadis itu.
"Dan, sebentar lagi tubuhmu yang molek itu
pun akan membusuk!"
"Jadi siapa namamu" Tokek Paningal" Kadal
Paningal?"
''Sayang, mulutmu terlalu indah untuk kurobek-robek! Tapi, sebaiknya kau memang
harus tahu siapa aku yang sebentar lagi berkenan menikmati tubuhmu yang molek, mulutmu yang
indah, dan dadamu
yang subur! Akulah Gagak Lamatan, kakak seperguruan Gagak Paningal!"
''Bersiaplah, Gagak Lamatan! Nikmatilah tubuhku asal kau tidak tersentuh toyaku
ini!" Gadis itu
memutar toya dewondaru yang tadi terselip di pinggangnya.
"Ha ha ha! Cobalah kau mainkan jurus tongkat
pengemis mu itu, Bocah-..."
Wuttt! Trakkk! Sebelum Gagak Lamatan menyelesaikan ucapannya, secepat kilat toya dewondaru di
tangan gadis itu menyambar. Hampir saja kepala punggawa Kadipaten Banyuasin itu remuk kalau
saja ia tidak cepat berkelit. Usaha menghindar itu pun sedikit terlambat.
Toya berwarna merah-kecoklat-coklatan itu masih
sempat membentur salah satu sarung pedang yang
tergantung di pinggang Gagak Lamatan.
"Betina Jahanam!" geram Gagak Lamatan setelah melihat sarung pedangnya hancur.
"Nah, berhati hatilah agar kepalamu tidak bernasib sama dengan sarung pedangmu,
Gagak Lamatan!" ujar gadis bertoya itu.
Sringngng! Sringngng!
Sepasang pedang kembar tergenggam di tangan
kanan dan kiri Gagak Lamatan. Berkilat-kilat tertimpa
matahari sore. Orang-orang yang mengintip dari dalam
kedai minum itu serentak menggigit bibir. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana
nasib gadis berpakaian serba jingga itu nantinya. Sekalipun gadis itu
bersenjatakan toya, mampukah toya itu menyongsong
ketajaman pedang kembar milik Gagak Lamatan"
''Karena bukan kau yang aku cari di desa ini,
aku terpaksa harus menghemat waktuku, Betina Liar!
Tetap, aku pasti memaafkan kelancanganmu asalkan
kau tunjukkan di mana Pendekar Perisai Naga bersembunyi!"
"Eh, sebenarnya siapa yang kau cari, Gagak
Lamatan" Wasi Ekacakra, Pendekar Perisai Naga, atau
kau hanya ingin memamerkan mulutmu yang kotor
itu?" ''Tutup mulutmu!" sergah Gagak Lamatan. "Cepat katakan di mana Pendekar Perisai
Naga, dan di mana Wasi Ekacakra!"
Gadis bertoya itu hanya tersenyum-senyum
sambil menimang-nimang senjata andalannya.
''Baiklah," kata Gagak Lamatan. "Kau tentu tidak akan mau membuka mulut jika kau
belum tahu dengan siapa kau berhadapan!"
"Baru saja kau suruh aku menutup mulut, bukan, Gagak Pikun?"
Singngng! Singngng!
Pedang kembar itu berkelebat begitu cepat. Gerakan dua pedang yang berlawanan
arah itu memaksa
gadis bertoya itu harus berjumpalitan ke belakang. Hilang kesempatan untuk
melindungi tubuhnya dengan
toya dewondarunya. Sabetan pedang kembar itu begitu
kuat dan cepat.
Trakkk! Trakkk!
Melihat lawan menghindar, Gagak Lamatan merasa berada di atas angin. Diburunya
gadis itu dengan
tusukan-tusukan yang mematikan. Sungguh di luar
dugaannya jika gadis itu masih mampu melindungi
dada dan pinggangnya dengan toya berwarna merahkecoklat-coklatan itu. Lebih
kaget lagi, Gagak Lamatan
merasakan sepasang telapak tangannya bergetar hebat, sewaktu toya itu menepis
pedang kembarnya.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan
itu menarik napas lega. Baru saja mereka memejam-
kan mata sebab mereka yakin gadis itu akan tewas di
ujung pedang Gagak Lamatan.
"Oh, Gusti Allah, untung kau selamatkan gadis
itu!" desah pemilik kedai sambil merangkul anaknya.
''Sebaiknya kita melapor," kata lelaki yang berdiri di samping pemilik kedai
itu. ''Melapor ke mana" Ke kadipaten?" sahut temannya.
"Tolol! Kau kira kita bebas keluar-masuk kadipaten" Tentu saja melapor ke Kiai
Wasi!" jawab orang
yang di sebelah pemilik kedai itu.
"Bisa apa Kiai Wasi! Dia memang bisa mengobati anak kecil yang sakit sawan.
Tapi, di sini tak ada
yang sakit sawan. Tolol!"
'Tapi, karena orang dari kadipaten itu mencari
Kiai Wasi makanya gadis itu harus berhadapan dengannya! Kalau orang keji itu
sudah bertemu dengan
Kiai Wasi, tentu gadis itu dibiarkannya pergi...!"
''Alaaah, kita lihat saja siapa yang harus pergi
dari tempat ini!" tukas lelaki yang sejak tadi paling
cermat memperhatikan pertarungan di depan kedai
itu. Sekalipun ia tak bernyali menghadapi Gagak Lamatan, sekalipun keringat
dingin membasahi sekujur
tubuhnya sewaktu mendengar bentakan Gagak Lamatan, la menyimpulkan bahwa gadis
bertoya itu tak
akan mudah dikalahkan punggawa Kadipaten Banyuasin itu. Sedikit ia pernah
belajar ilmu silat dari almarhum ayahnya. Hanya saja, selama ini tak pernah
berani menghadapi lawan yang sekiranya tak mungkin dikalahkan, la memilih lebih
baik hidup dan bisa menghidupi anak istri ketimbang mati konyol dalam
pertarungan! Beberapa jurus telah terlampaui. Belum nampak salah satu dari keduanya berhasil
mendesak la- wan. Gadis bertoya itu sengaja hanya mengimbangi
lawan. Belum dikeluarkannya jurus-jurus toya ataupun jurus-jurus yang
dipelajarinya dari Pendekar Perisai Naga, la hanya mengandalkan kecepatan
berkelit, kecepatan menyerang, dan kekuatan tenaga dalam untuk membentur serangan lawan.
Di lain pihak, Gagak Lamatan mulai hilang kesabaran. Baginya, tak ada faedahnya
melayani lawan yang tidak diharapkannya ini. la datang ke Desa Dadapsari karena ia ingin
membalaskan dendam atas
kematian Gagak Paningal, adik kandung sekaligus
adik seperguruannya. Sudah dipastikannya bahwa Gagak Paningal tewas oleh cambuk
yang berhiaskan bola
berduri itu. Dari mulut ke mulut ia sering mendengar
cerita bagaimana bola berduri di ujung cambuk kulit
ular itu memutuskan urat urat leher.
Maka Gagak Lamatan menggeram sambil memutar pedang kembarnya di samping kanan-
kiri pinggangnya. Inilah gerak pembuka ilmu 'Pedang Mata
Gunting'! Di tangan Gagak Lamatan, pedang kembar
itu seolah menjadi seribu gunting yang siap merobekrobek dari segala arah.
''Sayang, tubuhmu yang molek, mulutmu yang
indah, dan matamu yang menawan itu harus ku serpih-serpih dengan pedang kembar
ku, Perempuan Bengal!" ujar Gagak Lamatan sebelum kemudian berputar mengelilingi tubuh gadis
bertoya itu. Gadis bertoya itu, yang tak lain adalah Endang
Cantikawerdi, secepatnya mawas diri. Tak mungkin lagi baginya untuk menyimpan
jurus-jurus andalan
toyanya. Lawan sudah menerapkan jurus andalannya.
Maka Endang Cantikawerdi memutar toyanya di depan
dada sambil mengangkat tinggi tinggi lutut kanannya.
Lalu, sewaktu pedang kembar di tangan lawan mulai
menerjangnya, gadis itu membungkukkan badan, melipat lutut kirinya sedikit, dan
memutar tubuhnya.
Trangngng! Trangngng! Trangngng!
Bunga api bepercikan dari kedua pedang yang
beradu. Tak sempat terdengar benturan antara toya
dewondaru dengan sepasang pedang itu. Jurus gabungan antara jurus 'Toya Sakti
Pengusir Malaikat' dengan
jurus 'Naga Melilit Gunung' itu berhasil membuat pedang kembar di tangan Gagak
Lamatan tak berdaya.
Dua pedang itu mental bersamaan dan beradu satu
sama lain begitu menyentuh putaran toya dewondaru.
Menyadari bahwa ilmu 'Pedang Mata Gunting'
nya gagal mengurung lawan, Gagak Lamatan berjumpalitan ke belakang. Kini baru
disadarinya bahwa gadis
bertoya itu memiliki ilmu silat yang begitu mumpuni.
Lebih layak disebut ilmu dedemit! Kalau ia biarkan gadis itu menyerang, tak
tahulah apa yang terjadi.
''Karena aku tidak ada urusan denganmu, percumalah aku membuang keringat untuk
menandingimu, Perempuan Setan! Tetapi, aku akan membuat
perhitungan lagi setelah urusanku dengan Pendekar
Perisai Naga rampung!" kata Gagak Lamatan sebelum
kemudian mencemplak kudanya.
Endang Cantikawerdi tertawa geli melihat lawan yang bermulut besar tetapi takut
mati itu. Sebenarnya, bisa saja ia memburu Gagak Lamatan sebelum
kudanya membawanya pergi Namun, Endang Cantikawerdi bukan lagi murid orang sesat
yang berdarah dingin. Tak akan lagi ia menyerang lawan yang tak lagi
melawan. Sikap inilah yang dimiliki Endang Cantikawerdi sekarang ini. Dan, sikap
itu yang memang diharapkan oleh Pendekar Perisai Naga yang pernah
menggemblengnya.
*** 3 Semua orang yang semula berdesakan di dalam
kedai Itu serentak menghambur ke halaman dan kemudian berlutut di depan Endang
Cantikawerdi. Nyawa mereka yang semula bertengger di ubun-ubun telah
kembali pada tempatnya.
'Terima kasih yang tak terhingga kami haturkan ke hadapan sang Dewi," kata salah
seorang lelaki mewakili teman-temannya.
"Ya, karena sang Dewi maka kami masih sempat hidup," kata pemilik kedai itu
menimpali. ''Sang Dewi" Di mana ada sang Dewi?" latah
Endang Cantikawerdi sambil menoleh ke kanan-kiri.
''Padukalah yang kami sebut 'sang Dewi'," kata
pemilik kedai mendahului yang lain.
"Wah, wah, mimpi apa aku" Jangan, jangan!
Berdirilah Paman-Paman sekalian. Aku bukan sang
Dewi. Aku datang dari gunung, bukan dari kahyangan.
Ayo, kita bicara sambil menikmati secangkir teh tubruk!" Endang Cantikawerdi
melangkah menuju kedai.
Lima orang lelaki dan seorang anak berumur
tujuh tahun itu mengangkat kepala, memandang satu
sama lain. "Dia memang gadis yang tidak gila pujian," kata
lelaki yang memimpin acara berlutut itu.
''Jadi, kita harus memanggilnya apa?" tanya
pemilik kedai. ''Panggil saja aku 'Cantikawerdi'!" sahut Endang
Cantikawerdi sambil menoleh. Gadis itu tersenyum se-
bab tiba-tiba ia ingat kebiasaan Pendekar Perisai Naga
berkata, 'Panggil saja aku 'Joko Sungsang'
''Apakah kami tidak lancang jika kami memanggil 'Nini Cantikawerdi'?" tanya
pemilik kedai setelah menyusul langkah gadis itu,
"Aku yang menghendaki, Paman. Dan, aku lebih senang jika Paman-Paman sekalian
mau menganggapku sebagai anak Paman-Paman sekalian." Endang
Cantikawerdi tersenyum lepas.
Gadis itu meneruskan langkahnya. Akan tetapi,
betapa terkejut setelah ia memasuki kedai dan melihat
dua orang penduduk desa tergeletak di lantai." Jadi,
Gagak Lamatan tadi sudah telanjur membunuh dua
orang?" ''Betul, Nini. Hanya karena Adi Merta dan Adi
Garda tak bisa menjawab pertanyaan Gagak Lamatan,"
tutur pemilik kedai itu.
''Apakah di antara Paman-Paman ini memang
ada yang tahu di mana Pendekar Perisai Naga berada?"
''Nini Cantikawerdi," sahut lelaki yang mengaku
mendengar percakapan antara orang berkedok dengan
Gagar Mayang, ''Kami sama sekali tidak tahu di mana
Pendekar Perisai Naga berada. Hanya saja, kami pernah mendengar kabar tentang
pendekar yang katanya
bersenjatakan cambuk kulit ular itu...."
"Berarti Paman tahu!" tukas Endang Cantikawerdi.
Kemudian lelaki itu menceritakan pengalamannya di pinggir sungai beberapa malam
yang lalu, Dengan dahi berkerut-kerut Endang Cantikawerdi mendengarkan cerita
lelaki pemasang bubu itu.
''Apakah gadis itu pakaiannya sama dengan
pakaian yang aku pakai ini, Paman?" tanya Endang
Cantikawerdi sambil mengingat-ingat Gagar Mayang.
''Kurang begitu jelas, Nini. Tapi, jelas pakaiannya bukan hitam atau putih."
"Mungkin Paman melihat gadis itu membawa
senjata?" "Ya. Senjatanya pendek. Seperti seruling...."
"Dan, Paman tahu gadis itu sekarang dimana"
Maksudku, pernahkah gadis itu memasuki desa ini?"
tukas Endang Cantikawerdi.
''Kenapa tidak dari tadi kau katakan bahwa
senjata gadis itu seperti seruling?" sela lelaki yang duduk di sebelah pemilik
kedai. "Aku baru Ingat sekarang."
''Paman pernah melihat gadis berseruling itu?"
Endang Cantikawerdi menoleh kepala lelaki yang duduk di sebelah pemilik kedai.
"Kalau tidak salah lihat mata Paman yang tua
ini, gadis itu pernah jalan bersama Kiai Wasi. "
"Wasi Ekacakra?"
''Betul, Nini."
"Kalau begitu, aku segera ke rumah Kiai Wasi.
Tolong Paman urus baik-baik mayat-mayat itu!" kata


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Endang Cantikawerdi seraya melesat pergi.
''Seperti burung merpati," kata pemilik kedai
itu. ''Apanya?" tanya lelaki di sebelahnya.
''Tiba-tiba saja beleber! Hilang! Wah, kalau saja
aku punya ilmu silat seperti Nini Cantikawerdi itu...."
''Kamu tutup kedai dan kami semua bingung
cari makan!" sahut yang lain diiringi tawa mereka bersama.
Sementara orang-orang di kedai itu sibuk mengurus mayat Merta dan Garda. Endang
Cantikawerdi tengah berbicara dengan Nyai Linggar, ibu Joko Sung-
sang. Kecewa sekali ia tidak bisa menjumpai Wasi
Ekacakra maupun Gagar Mayang.
''Atau, barangkali Bibi tahu di mana Joko
Sungsang?" Tiba-tiba Endang Cantikawerdi sadar
bahwa ia sedang berhadapan dengan perempuan yang
melahirkan Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga.
''Sudah beberapa hari ini Joko Sungsang tidak
menengok Bibi. Kata Kini Gagar Mayang, Joko Sungsang mendapat tugas dari Kiai
Wasi Ekacakra."
Kalau begitu, pikir Endang Cantikawerdi, perempuan ini memang tidak tahu apa
yang sedang terjadi. Hal ini mungkin memang direncanakan oleh Kiai
Wasi Ekacakra. "Apa Nini...?"
''Panggil saya 'Cantikawerdi', Bibi," sahut Endang Cantikawerdi memperkenalkan
diri. "Ya, ya. Maksud Bibi, apa Nini Cantikawerdi
masih saudara seperguruan dengan Nini Gagar
Mayang?" ''Hanya kebetulan saja pakaian kami samasama berwarna jingga, Bibi. Kalau
begitu, saya minta
pamit, Bibi. Saya akan cari Gagar Mayang di sekitar
desa sini."
''Hati-hati, Nini. Akhir-akhir ini banyak orang
sesat yang datang ke Desa Dadapsari sini. "
''Terima kasih, Bibi. Saya mohon doa restu Bibi
agar saya selamat selama berada di desa ini. "
*** Sebenarnya, sewaktu Endang Cantikawerdi bertarung melawan Gagak Lamatan di depan
kedai itu, Gagar Mayang menyaksikan dari balik semak-semak
yang tumbuh di samping kedai. Diam-diam gadis itu
mengagumi jurus-jurus toya yang dimainkan Endang
Cantikawerdi. Jauh lebih matang dibandingkan dengan kemampuan gadis itu beberapa
waktu yang lalu.
Sampai kapan pun, Gagar Mayang tidak akan melupakan jasa baik Endang
Cantikawerdi yang telah membantunya melenyapkan Ki Tunggui Wulung (Baca juga:
''Pusaka Bukit Cangak").
Ingin sebenarnya Gagar Mayang bersahabat
dengan gadis dari Gunung Sumbing itu. Akan tetapi,
ada perasaan lain yang begitu kuat menolak keinginan
itu. la pernah mendengar keluhan Endang Cantikawerdi tentang sikap Pendekar
Perisai Naga terhadapnya. Sejak itulah Gagar Mayang merasa bahwa gadis
bertoya ini tak mungkin bisa dianggap sebagai sahabat.
"Hm. .., kalau saja di dunia ini tidak ada Pendekar Perisai Naga," desah Gagar
Mayang seraya meninggalkan tempat persembunyian.
Setelah jauh dari kedai itu, Gagar Mayang baru
memikirkan ke mana ia harus meneruskan langkah.
Kembali ke pondok Wasi Ekacakra"
"Ah, gadis dari Gunung Sumbing itu tentu sebentar lagi pergi ke sana!" kata
gadis itu. 'Tetapi, haruskah aku meninggalkan Desa Dadapsari" Bukankah
guru berpesan agar aku memperdalam ajian 'Ismu
Gun-ting'?"
Mengingat pesan Wasi Ekacakra inilah maka
Gagar Mayang membatalkan niatnya pergi dari Desa
Dadapsari. Untuk menghindari pertemuannya dengan
Endang Cantikawerdi, gadis itu pergi ke tempat yang
biasa dipergunakan untuk latihan. Di tempat ini ia bisa berlatih dan sekaligus
bersembunyi dari pandang
mata Endang Cantikawerdi.
Tempat itu berupa tanah lapang yang tak lebih
luas dari sepetak sawah. Wasi Ekacakra memilih tempat itu sebagai tempat
berlatih silat sebab tanah lapang itu jarang terjamah penduduk desa. Jauh
sebelum Wasi Ekacakra tinggal di Desa Dadapsari, telah
tersiar kabar bahwa tanah lapang itu angker. Di tempat itu pulalah sering
terdengar suara perempuan menangis. Namun, bagi Wasi Ekacakra, semuanya itu tak
ditakutkannya. la tahu bagaimana cara mengusir
makhluk halus yang berujud perempuan itu.
Setelah memindahkan makhluk halus itu ke
tempat yang lebih jauh, Wasi Ekacakra sering datang
Pedang Kiri 25 Gento Guyon 21 Sang Petaka Pendekar Setia 10
^