Pencarian

Pemanah Sakti Bertangan Seribu 3

Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu Bagian 3


kita yang masih betah bersembunyi itu!"
Kecuali Ki Sadak Kinang sendiri, semua mata
memandang berkeliling. Mereka mencari-cari siapa kiranya dan di mana orang-orang
yang disebut tamu itu
bersembunyi. Kemudian mereka pun ingat ucapan
orang berkedok itu sebelum meninggalkan ajang pertarungan. Orang berkedok itu
pergi lantaran ia merasa
bakal ada orang yang hendak menggantikannya menghadapi Ki Sadak Kinang maupun
Gagak Lamatan. Dan, begitu orang berkedok itu melompat pergi,
Joko Sungsang dan Gagar Mayang memang sudah
bersiap-siap muncul dari tempat persembunyiannya.
Mereka sama sekali tidak mengira jika ternyata orang
berkedok itu melihat kehadiran mereka berdua. Hal ini
semakin meyakinkan mereka berdua bahwa orang
berkedok itu memang orang sakti yang pilih tanding.
Tentang siapakah sebenarnya orang sakti berkedok ini,
Joko Sungsang dan Gagar Mayang belum bisa memastikan. Mereka berdua menyesal
datang terlambat Kalau saja mereka tadi datang lebih awal, mereka akan
bisa melihat bagaimana orang berkedok itu menjatuhkan lima orang kaki-tangan
Gagak Lamatan. Dengan
melihat jurus-jurus yang dilancarkan orang berkedok
itu sewaktu merobohkan lawan-lawannya, mereka
akan bisa mengira-ngira siapakah sebenarnya orang
sakti berkedok itu.
Joko Sungsang melompat mendahului Gagar
Mayang. "Kau rupanya, Pendekar Perisai Naga?" sambut
Gagak Lamatan seraya melompat maju.
"Hm..., inikah Pendekar Perisai Naga yang kesohor itu?" kata Ki Sadak Kinang
menimpali. ''Kenapa
tak kau ajak sekalian temanmu itu untuk menghadapi
kami" Apa kau pikir kami masih layak mengeroyok
mu?" ''Akulah yang bertanggung jawab mengamankan desa ini, Ki Sadak Kinang," jawab
Joko Sungsang tanpa mempedulikan Gagar Mayang muncul atau tidak.
''Akulah yang paling bertanggung jawab, Pendekar Perisai Naga!" sahut Gagar
Mayang sambil melompat keluar dari tempatnya bersembunyi.
''Biarkan kami menghadapi cecurut-cecurut ini,
Kiai," kata Gagak Lamatan seraya memberikan isyarat
kepada satu-satunya orang kepercayaannya yang masih tersisa.
''Bagus!" ujar Ki Sadak Kinang.- "Aku juga ingin
melihat sampai berapa jurus kalian berdua mampu
menghadapi Pendekar Perisai Naga! Hei, Gadis Kecil!
Tidakkah lebih baik kita menonton pertarungan yang
pasti mendebarkan ini?" Ki Sadak Kinang memandang
ke arah Gagar Mayang.
''Jangan berlagak bijaksana, Ki Sadak Kinang!
Akulah lawanmu jika kau memang datang untuk
membela punggawa-punggawa kadipaten yang keblinger ini!" sergah Gagar Mayang.
''Jaga mulutmu, Perempuan Liar!" hardik Gagak Lamatan berang.
"Bukankah kalian yang liar" Tunjukkan bukti
bahwa kalian datang atas perintah Adipati Sorengdriya!"
''Cukup!" Ki Sadak Kinang maju dua langkah.
'Tak perlu kalian adu mulut! Kalian datang ke sini bukan untuk adu mulut, bukan"
Nah, Gagak Lamatan,
mulailah! Kalau kau takut menghadapi Pendekar Perisai Naga, lawanlah Gadis
Cantik itu!"
"Ki Sadak Kinang!" sahut Gagar Mayang. "Kau
datang ke sini karena kau menginginkan Ki Sumping
Sedapur! Karena itu, kaulah lawanku! Tak ada pilihan
lain!" ''Dasar mulut kotor!" sergah Gagak Lamatan
sambil mengayunkan pedang kembarnya.
Singngng! Singngng! Trakkk!
Dua sabetan pedang kembar itu dengan mudah
bisa dihindari Gagar Mayang. Malahan dengan cepat ia
mengirimkan serangan balasan. Namun, Gagak Lamatan ternyata sudah
memperhitungkan serangan balasan dari lawan. Begitu pedang kembarnya menyambar
angin, ia segera memutar pedang di tangan kanannya
untuk menutupi pinggang yang pasti terancam seruling bambu wulung itu.
Gagar Mayang melompat surut. Benturan pedang pada serulingnya dirasakannya mampu
mencopot pergelangan tangannya. la segera sadar bahwa Gagak
Lamatan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya. Maka secepatnya gadis itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melambari gerakan serulingnya.
Dalam pada itu, Joko Sungsang masih menunggu apa yang bakal diperbuat guru
Adipati Sorengdriya itu. Sekalipun sisa kaki-tangan Gagak Lamatan membantu
mengeroyok Gagar Mayang, ia tak perlu
merasa cemas. Mereka berdua tidak akan mampu
mengungguli gadis dari Bukit Cangak itu. Setelah
mendapat gemblengan dari Wasi Ekacakra, gadis itu
bukan lagi tandingan orang-orang yang berilmu setingkat dengan Gagak Lamatan.
Joko Sungsang pernah dengan mudah merobohkan Gagak Paningal maka
ia bisa mengukur kemampuan Gagak Lamatan. Kalaupun Gagak Lamatan lebih matang
daripada Gagak Paningal, paling hanya beberapa tingkat di atasnya.
'Tidakkah kau perlu membantu teman gadismu
itu, Pendekar Perisai Naga?" usul Ki Sadak Kinang tiba-tiba.
''Seharusnya kau lebih bisa melihat siapa yang
bakal unggul, Ki Sadak Kinang," jawab Joko Sungsang
datar. "He he he, tentu saja! Lalu, apa yang bakal kita
perbuat kalau memang kita sudah tahu salah satu di
antara mereka tidak memerlukan bantuan?"
''Tidakkah kau ingin segera membawa Ki Sumping Sedapur ke hadapan Adipati
Sorengdriya, Ki Sadak
Kinang?" ''Jangan kau hubung-hubungkan kedatanganku ke sini dengan Anakmas Adipati,
Pendekar Perisai
Naga!" ''Kenapa tidak" Bukankah kau guru Adipati Sorengdriya" Bukankah Gagak Lamatan
orang kepercayaan Adipati Sorengdriya?"
''Cukup! Kalau memang kau yang menyimpan
keris luk tujuh itu, serahkan kepadaku dan aku jamin
desa ini akan aman!"
''Kalau begitu, kita perlu buktikan siapa yang
pantas mengamankan desa ini, Ki Sadak Kinang," sahut Joko Sungsang.
"Itu lebih bagus! Daripada kita menonton pertarungan yang ternyata tidak menarik
itu! Nah, bersiaplah, Pendekar Perisai Naga!"
Wusss! Wusss! Dua tendangan Ki Sadak Kinang memaksa Joko Sungsang harus melenting ke udara.
Dan, sewaktu kakinya kembali menjejak tanah, sebuah gada yang
terbuat dari batu karang mengancam kepalanya. Hal
ini sudah ada dalam perhitungan Joko Sungsang.
Hampir saja gada itu meremukkan batok kepalanya
kalau ia tidak sigap melompat ke samping.
Pertarungan kedua tokoh berilmu tinggi ini tentu saja sulit diikuti oleh
penduduk desa. Mereka hanya
bisa melihat bayangan berwarna putih yang berkelebat-kelebat menghindari desakan
bayangan berwarna
coklat-kehitam-hitaman. Oleh karenanya, mereka lebih
memilih menyaksikan pertarungan antara Gagar
Mayang melawan Gagak Lamatan yang dibantu seorang kaki tangannya. Gadis yang
bersenjatakan seruling bambu wulung itu bagaikan burung elang yang
menyambar-nyambar dua ekor ular sanca. Serulingnya
yang berwarna hitam bergulung gulung mengurung
dua orang lelaki punggawa Kadipaten Banyuasin itu.
Dalam pada itu, Joko Sungsang telah mengurai
cambuk Perisai Naga yang semula melilit di pinggangnya. Serangan lawan semakin
dahsyat mengurungnya.
Agaknya Ki Sadak Kinang ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan. Dengan gada
batu karang-nya,
guru Adipati Sorengdriya ini sama sekali tak memberikan kesempatan kepada Joko
Sungsang untuk membalas serangan-serangannya.
Akan tetapi, orang tua yang bergelar Penguasa
Pulau Karang itu secepatnya berjumpalitan ke bela-
kang begitu dilihatnya sebuah bola berduri berwarna
biru kehijau-hijauan berdesing ke arah lehernya.
Tarrr! Tringngng!
Bunga api bepercikan ketika bola berduri di
ujung cambuk itu berbenturan dengan gada di tangan
Ki Sadak Kinang. Orang tua yang telah lama malangmelintang di rimba persilatan
itu mengangakan mulutnya. Diam-diam ia merasa kagum merasakan tenaga
dalam yang tersalurkan lewat cambuk kulit ular itu.
Bola berduri di ujung cambuk yang besarnya tak lebih
dari buah kecubung itu mampu mendorong gada batu
karang sebesar betis orang dewasa. Padahal golok pun
tak akan sanggup berbenturan dengan gada itu.
"Hm..., rupanya kau benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu yang dimiliki Wiku
Jaladri, Pendekar
Perisai Naga!" kata Ki Sadak Kinang setelah menghentikan serangan.
''Itulah kenapa orang-orang rimba persilatan
menamakan gelar Pendekar Perisai Naga kepadaku, Ki
Sadak Kinang," sahut Joko Sungsang.
"Ya. Hanya sayangnya, gurumu tidak menyaksikan bagaimana aku bakal melumpuhkan
jurus-jurus Perisai Naga yang kesohor itu!"
'Tak perlu kau sangkut-pautkan urusanku
dengan guruku. Kau kira kau pantas berhadapan dengan guruku?"
''Bocah lancang!" sergah Ki Sadak Kinang geram. 'Tidakkah kau tahu alasan gurumu
bersembunyi di Jurang Jero" Karena dia takut berhadapan denganku! Kau tahu itu?"
''Sudah kukatakan, jangan sangkut-pautkan
urusanku dengan guruku. Selama aku masih bernapas, pantang bagiku mendengar
mulut orang memfitnah guruku. Mulailah dengan gadamu lagi. Bukankah
kau ingin secepatnya mendapatkan keris luk tujuh
itu" Lihatlah! Gagak Lamatan dan jongosnya itu mulai
terdesak. Sebentar lagi mereka akan menyusul temantemannya...."
''Kaulah yang akan menyusul mereka ke neraka, Bocah Pongah!" tukas Ki Sadak
Kinang sambil kembali menerjang dengan gadanya.
Wungngng! Kini gada itu meraung raung dan semakin kabur diikuti mata penduduk desa yang
berdiri di pinggir
arena pertarungan itu. Malahan lambat-laun raungan
gada itu menyerang telinga mereka. Mereka tidak mengerti kenapa raungan gada itu
membuat gendang telinga mereka seolah pecah. Maka mereka serentak menekap
telinga dengan kedua belah telapak tangan.
''Ajian 'Senggara Macan'," kata hati Joko Sungsang sambil memandang cemas orang-
orang desa yang
tak berdosa itu. Ia tahu, jika nanti sampai pada puncaknya, raungan gada itu
akan benar-benar memecahkan gendang telinga mereka.
Tak sulit bagi Joko Sungsang maupun Gagar
Mayang mengatasi raungan gada yang telah dilambari
dengan ajian 'Senggara Macan' itu. Namun, tidak demikian bagi Gagak Lamatan dan
seorang kaki-tangannya. Dua orang punggawa Kadipaten Banyuasin ini
merasa sangat terganggu mendengar raungan gada milik Ki Sadak Kinang.
"Ki Sadak Kinang!" teriak Joko Sungsang di sela-sela raungan yang memekakkan
itu. ''Tidakkah kau
sadari bahwa Gagak Lamatan dan temannya itu bisa
tewas oleh raungan gadamu?"
''Peduli apa kau" Tanpa ini pun mereka akan
tewas di ujung seruling gadis liar ini! Yang penting bagiku menewaskan orang-
orang bodoh yang seharusnya
kau lindungi itu!" jawab Ki Sadak Kinang seraya mempercepat putaran gadanya.
Tiga orang penduduk desa telah jatuh sambil
tetap menekap telinga. Joko Sungsang belum menemukan cara untuk melindungi
orang-orang yang tidak
berdosa itu dari kebiadaban Ki Sadak Kinang. Ia memang bisa meledakkan cambuknya
untuk menutupi suara raungan gada itu. Tetapi, ia tak mungkin terusmenerus meledak-ledakkan
cambuknya. Suara ledakan cambuk itu tak akan bisa berkesinambungan seperti suara
raungan itu. ''Biadab!" seru Joko Sungsang sambil melecutkan cambuknya yang telah dilambari
jurus 'Mematuk Elang dalam Mega'. Jurus inilah yang barangkali
mampu memaksa Ki Sadak Kinang menghentikan putaran gadanya.
Namun, Ki Sadak Kinang bukankah lawan
tanding yang mudah dikecoh. Orang tua dari Pesisir
Utara itu tetap tak menghentikan putaran gadanya sekalipun ia harus menghindari
patukan bola berduri ke
arah ubun-ubunnya. Dengan dorongan angin yang berasal dari telapak tangan
kirinya, ia mampu mengacaukan luncuran bola berduri itu.
*** 6 Joko Sungsang semakin menyadari bahwa lawannya kali ini memiliki tingkatan ilmu
jauh lebih tinggi dari yang diperkirakannya. Baru kali inilah ia
menjumpai lawan yang mampu menghindari jurus
'Mematuk Elang dalam Mega'. Satu bukti bahwa Ki Sa-
dak Kinang tak bisa lagi disejajarkan dengan Empu
Wadas Gem-pal, Klabang Seketi, ataupun Ki Danyang
Bagaspati. Menyadari bahwa jurus yang dilancarkan gagal,
Joko Sungsang semakin kebingungan memikirkan cara
mengatasi raungan senjata lawan. Jika raungan gada
itu tidak segera dihentikan, sudahlah pasti orangorang desa yang tidak berdosa
Itu akan menemui ajalnya.
"Bagaimana, Pendekar Perisai Naga" Kenapa
kau biarkan saja orang-orang desa itu sekarat" Bukankah kau yang wajib
melindungi mereka?" ejek Ki
Sadak Kinang. Joko Sungsang tidak menanggapi, la tengah
berpikir keras bagaimana cara menghentikan raungan
gada itu. la melihat dua orang penduduk desa mulai
sempoyongan sembari menekap telinga. Tak ada jalan
lain baginya kecuali mengerahkan segala kemampuan
yang dimilikinya. Ia tak yakin bahwa lawan akan
mampu menangkal semua jurus cambuk Perisai Naga.
Maka segera dipersiapkannya jurus 'Membendung Badai Menjala Ikan'.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar alunan seruling. Joko Sungsang menoleh ke arah
Gagar Mayang. Baru dilihatnya bahwa gadis itu telah kehilangan kedua orang lawannya. Dan, kini
barulah ia ingat bahwa
suara seruling bambu wulung itu akan mampu mengatasi raungan gada di tangan Ki
Sadak Kinang. ''Iblis laknat!" geram Ki Sadak Kinang begitu


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari bahwa gadis itu mampu menaklukkan
raungan gadanya dengan tiupan serulingnya. Dan, kegeraman itu semakin menjadi-
jadi sewaktu dilihatnya
dua orang punggawa Kadipaten Bayuasin yang tadi
mengeroyok gadis itu telah terbujur kaku di tanah.
''Masihkah kau ingin meneruskan niatmu mencari Ki Sumping Sedapur, Ki Sadak
Kinang?" kata Joko
Sungsang. ''Setan! Kau pikir kau dengan gadis itu akan
mampu merobohkanku" Hei, Gadis Setan! Bantulah
Pendekar Perisai Naga yang mulai ketakutan menghadapiku!"
Gagar Mayang tak menyahut. Ia tahu bahwa
orang sakti dari Pesisir Utara itu hanya ingin menghentikan tiupan serulingnya.
Ia harus tetap mengalunkan tembang megatruh itu sampai kemudian Ki
Sadak Kinang menghentikan raungan gadanya.
'Teruskan tiupan serulingmu, Megatruh!" kata
Joko Sungsang sebelum melenting ke udara, menghindari sambaran gada ke arah
lututnya. Wungngng! Srettt!
Cambuk Perisai Naga berhasil melilit gada batu
karang itu. Namun, guru Adipati Sorengdriya ini memang bukan lawan yang mudah
ditaklukkan. Begitu
dirasakannya sesuatu membelit gadanya, secepat kilat
ia menghentakkan gada di tangan kanannya. Bersamaan dengan itu, ia juga
mengirimkan tendangan ke
dada Joko Sungsang.
Desss! Dua tenaga yang sama-sama telah dilambari
dengan ajian bertemu. Di luar dugaan Ki Sadak Kinang, ternyata Pendekar Perisai
Naga menguasai ilmu
'Pukulan Ombak Laut Selatan'. Selama ini ia hanya
mendengar cerita tentang kehebatan jurus-jurus cambuk yang terbuat dari kulit
ular sanca itu. Oleh karenanya, ia sama sekali tidak mengira bahwa tendangannya
akan disongsong dengan sisi telapak tangan kiri anak muda dari Desa Sanareja
itu. Di lain pihak, Joko Sungsang pun tak kalah
kaget sewaktu membentur tumit lawan yang mengarah
ke dadanya. Begitu dahsyat sehingga ia terpental beberapa tombak ke belakang.
Tak terbayangkan oleh Joko
Sungsang apa yang akan terjadi seandainya ia tak melamban tubuhnya dengan ilmu
'Pukulan Ombak Laut
Selatan'. Tertatih-tatih Ki Sadak Kinang bangkit. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh
Joko Sungsang. Sebelum guru Adipati Sorengdriya itu berdiri tegak di atas
kuda-kudanya, sekali lagi cambuk Perisai Naga dilecutkannya dan membelit kaki
kiri lawan. Dan, sebelum
sempat memutar gadanya, sebuah sentakan membuat
Ki Sadak Kinang terpelanting. Tubuh gemuk itu
pun terbanting di tanah.
Gagar Mayang menghentikan tiupan serulingnya. Gada batu karang itu tak mungkin
lagi meraungraung mencari korban. Baru saja Ki Sadak Kinang
dengan sisa tenaga yang dimilikinya menyambit gada
itu ke arah kepala Joko Sungsang. Namun, Joko
Sungsang alias Pendekar Perisai Naga telah memperhitungkan serangan terakhir
orang tua Penguasa Pulau
Karang ini. Murid Wiku Jaladri sekaligus murid Ki
Sempani itu berjumpalitan ke udara.
"Kau telah kehilangan senjata dan kedua telapak kakimu, Ki Sadak Kinang," kata
Joko Sungsang setelah berdiri kembali di hadapan Ki Sadak Kinang.
Orang tua berwajah bayi itu mendengus, "Kau
akan menyesal jika nanti Adipati Sorengdriya tahu apa
yang telah kau perbuat terhadapku, Pendekar Perisai
Naga!" ''Kalau memang muridmu itu mendukung rencanamu merampok Ki Sumping Sedapur,
kenapa tak kau ajak menyertaimu" Kenapa kau bawa orang dungu
macam Gagak Lamatan" Bukankah Adipati Sorengdriya membawahi pasukan segelar
sepapan?" ejek
Gagar Mayang. ''Kalian memang orang-orang muda yang terlalu
cepat besar kepala! Sekalipun kedua telapak kakiku
tak kuat lagi menyangga badanku, lihatlah apa yang
bisa kalian lakukan terhadapku!" Berkata begini, Ki
Sadak Kinang bangkit dan bertelekan pada kedua lututnya.
"Ki Sadak Kinang, kami tak pernah merasa
memusuhimu. Kami hanya tidak ingin melihat desa ini
menjadi korban orang-orang serakah yang menginginkan Ki Sumping Sedapur. Kami
tetap memberimu kesempatan untuk meninggalkan desa ini. Bukankah sejak dulu kami
selalu menaruh hormat kepada Adipati
Sorengdriya?" kata Joko Sungsang.
''Kalian benar-benar akan menyesal tidak
membunuhku sekarang juga!" sahut Ki Sadak Kinang
seraya mengerahkan segenap kemampuan yang masih
tersisa untuk bisa meninggalkan desa itu.
Sambil memandangi kepergian orang tua berwajah bayi itu, Gagar Mayang
menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Dia memang orang sakti yang pilih tanding,"
kata Joko Sungsang. "Bayangkan, hanya dengan mengandalkan lutut ia mampu melesat
pergi secepat itu. "
''Kalau dia pilih tanding, bagaimana dengan
kau" Tidakkah kau sadari bahwa kau telah mengalahkannya?"
'Tidak." Joko Sungsang menggeleng.
"Hm..., kau bukan saja pilih tanding dalam ilmu kanuragan, melainkan juga dalam
merendahkan hati!" Gagar Mayang menahan-nahan senyum.
"Bagaimana dengan tiupan serulingmu yang telah membantuku tadi?"
"Aku bukannya ingin membantumu. Aku hanya
ingin menyelamatkan orang-orang desa yang tidak
berdosa itu. Aku tahu, kau tidak akan bisa sepenuhnya menghadapi Ki Sadak Kinang
jika perhatianmu
terpecah menjadi dua. Itulah yang sesungguhnya berlangsung. Bagaimana bisa kau
merasa aku telah membantumu?"
''Sudahlah. Lebih baik kita membantu mereka
mengurus teman-teman mereka yang...."
''Tidak!" tukas Gagar Mayang. "Kau harus mengakui bahwa kau telah menaklukkan Ki
Sadak Kinang!"
"Ya. Tetapi, hanya Ki Sadak Kinang yang bisa
menghindari jurus 'Mematuk Elang dalam Mega', Gagar Mayang. "
''Sudah kukatakan tadi, kau tidak akan bisa
menghadapinya dengan sempurna jika pikiranmu terpecah menjadi dua. Jadi, bukan
Ki Sadak Kinang yang
mumpuni, melainkan jurus-jurus Perisai Nagamu kurang sempurna!"
''Hamba mengaku kalah, Nini Pendekar," kata
Joko Sungsang sambil membungkuk hormat.
Hampir saja Gagar Mayang mencubit lengan
anak muda yang dikaguminya itu kalau tidak disadarinya beberapa pasang mata
orang desa tengah mengawasi mereka berdua.
''Urusan kita belum selesai!" Gagar Mayang melompat mendahului Joko Sungsang,
mendekati orangorang desa yang tengah sibuk mengurusi teman-teman
mereka yang telanjur menjadi korban keganasan ajian
'Senggara Macan'.
Sambil tertawa-tawa, Joko Sungsang menyusul
langkah gadis dari Bukit Cangak itu. Diakuinya, jika
dibandingkan dengan Sekar Arum maupun Endang
Cantikawerdi, Gagar Mayang memang memiliki banyak
kelebihan. Namun, lamunan Joko Sungsang tentang ketiga gadis yang dikenalnya itu segera
terputus oleh kehadiran Wasi Ekacakra di tempat itu. Dengan mimik
muka ketakutan, petani tua yang selalu mengenakan
ikat kepala kain jumputan itu menanyakan peristiwa
apa yang baru saja terjadi di mulut desa itu. Hanya
Joko Sungsang dan Gagar Mayang yang mengetahui
bahwa orang sakti yang menyamar menjadi petani itu
tengah bersandiwara, berpura-pura.
''Maafkan saya, Guru...."
''Jangan panggil aku seperti itu, Nini," tukas
Wasi Ekacakra sambil mengedarkan pandang matanya
ke sekeliling. "Ki Sadak Kinang, Paman, " kata Joko Sungsang untuk mengalihkan perhatian orang-
orang desa terhadap sikap Gagar Mayang yang mencurigakan mereka. Lalu katanya sambil
menoleh ke arah Gagar
Mayang, 'Tidakkah kau lihat bahwa yang datang Paman Wasi Ekacakra?"
''Rembulan agak tertutup mendung," alasan
Gagar Mayang sambil berpura-pura melihat ke langit.
Dan, melihat rembulan yang hampir bulat penuh, gadis itu lantas ingat apa yang
harus dikerjakannya dalam waktu dekat ini. Ia ingat pertarungan yang
akan terjadi di Bukit Cengcorang purnama nanti. Ia
dan Joko Sungsang telah sepakat untuk mengintip
pertarungan hidup dan mati antara orang berkedok
melawan Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
"Kau ingat rencana kita purnama nanti?" bisik
Gagar Mayang tak sabar.
"Ya. Sebaiknya segera kita selesaikan pekerjaan
ini, dan kita bisa segera membicarakan rencana kita
dengan Paman Wasi," jawab Joko Sungsang berbisik
pula. Kemudian mereka berdua dengan cekatan
membantu Wasi Ekacakra menyadarkan lima orang
penduduk desa yang masih pingsan itu. Mereka bersyukur sewaktu mereka tidak
melihat darah mengalir
dari telinga orang-orang yang menjadi korban kebiadaban Ki Sadak Kinang itu.
''Syukurlah kau cepat meniup serulingmu, Gagar Mayang," kata Joko Sungsang tak
bisa ditahantahan.
Malam hampir larut. Joko Sungsang dan Gagar
Mayang duduk bersila menghadapi Wasi Ekacakra.
Mereka berdua baru saja menyampaikan maksud mereka mengintip pertarungan hidup
dan mati antara
orang berkedok dan Pemanah Sakti Bertangan seribu.
''Pertarungan itu pasti akan berjalan seru," kata
Wasi Ekacakra. ''Tidak bisakah Guru menemani kami menyaksikan pertarungan itu?" tanya Gagar
Mayang. "Ya, kami tentu akan lebih mudah menerkanerka siapa orang berkedok itu jika
Paman menyertai
kami," kata Joko Sungsang menimpali.
''Lebih baik kalian saja yang berangkat. Seperti
yang sudah sering kalian dengar dari ceritaku, aku
akan tetap bersembunyi dari pandang mata orangorang rimba persilatan."
''Kita hanya akan mengintip dari kejauhan,
Guru," sahut Gagar Mayang.
"Ya, saya yakin orang berkedok atau Pemanah
Sakti Bertangan Seribu tidak akan mengetahui kehadiran kita, Paman...."
''Anakmas," tukas Wasi Ekacakra, ''Kadang
yang terjadi justru di luar dugaan kita. Aku khawatir,
jangan-jangan orang berkedok itu hanya ingin memancing kehadiran kita di tempat
itu." "Kalaupun benar, bukankah kita bertiga siap
menghadapi mereka berdua, Guru?" sahut Gagar
Mayang cepat. ''Justru itu yang tidak aku kehendaki, Nini. Ah,
sudahlah. Aku rasa cukup kalian berdua yang mendatangi Bukit Cengcorang. Dalam
beberapa hari ini aku
masih harus menenteramkan suasana desa ini. Penduduk desa ini akan banyak
bertanya tentang kalian.
Apalagi mereka merasa telah kalian lindungi dari bencana sore tadi."
Gagar Mayang melirik Joko Sungsang. Gadis
itu merasa tak mungkin memaksa gurunya ikut ke
Bukit Cengcorang. Namun, ia tetap berharap Joko
Sungsang bisa membujuk orang sakti yang menyamar
menjadi petani itu.
''Paman, maafkan kami jika kedatangan kami di
desa ini hanya mendatangkan persoalan bagi Paman
dan segenap penduduk desa ini," kata Joko Sungsang.
''Semua yang terjadi di kolong langit ini sudah
ada yang mengatur, Anakmas. Sudahlah. Sebaiknya
kalian berdua segera istirahat. Bulan purnama tak lama lagi akan datang. Kalian
harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi kemungkinankemungkinan
yang terjadi di luar dugaan kalian." Wasi
Eka-cakra mendahului bangkit dari duduknya.
''lstirahatlah. Aku merasa kepanasan. Biar aku
mencari angin di luar lebih dulu," kata Joko Sungsang
kepada Gagar Mayang.
"Aku juga kepanasan," kata Gagar Mayang seraya menyusul langkah Joko Sungsang
keluar. Mereka berdua duduk di bawah pohon sawo.
Sinar bulan tak mampu menembus kerimbunan pohon
sawo Itu. Maka Joko Sungsang tak bisa melihat kekecewaan yang mewarnai wajah
gadis dari Bukti Cangak
itu. "Aku merasa guru agak aneh," kata Gagar
Mayang memecah kebisuan sesaat.
"Aneh" Apa maksudmu?"
"la tak seramah hari-hari sebelumnya. Bahkan
menurutku, Eyang Wasi Ekacakra tak lagi suka berbicara dengan kita."
"Itu hanya dugaanmu, Gagar Mayang."
''Dugaan" Tidakkah kau merasakan bagaimana
sikap guru sebelum desa ini diserbu orang-orang sesat?"
''Mungkin memang ada yang sedang dipikirkannya. Setidaknya, Paman Wasi merasa
ikut bertanggung jawab dengan adanya Ki Sumping Sedapur di
rumahnya. Tak usah terlalu kau risaukan. Yakinlah
bahwa bukan karena kita maka Paman Wasi berubah
sikap." Gagar Mayang tak lagi menyahut. Ia menengadahkan kepalanya. Seekor kelelawar
menabrak kerimbunan daun sawo.
''Kita lihat saja apa yang terjadi di Bukit Cengcorang purnama nanti," kata Joko
Sungsang meneruskan.
"Aku yakin orang berkedok itu bisa mengatasi
Pemanah Sakti Bertangan Seribu," kata Gagar Mayang.
''Mudah-mudahan saja pertarungan itu berjalan
seperti yang kita harapkan. Kalau tidak, kita akan gagal mengetahui siapa orang
berkedok itu."
Sebelum Gagar Mayang menimpali, tiba-tiba
mereka berdua dikejutkan oleh suara kentongan di kejauhan. Suara kentongan yang
menandakan adanya
kerusuhan. ''Dari arah Desa Magersari," kata Joko Sungsang.
"Jauh dari sini?"


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

''Melewati satu desa lagi."
''Kita lihat apa yang terjadi di sana?"
"Kau perlu istirahat, Gagar Mayang."
"Dan, kau?"
"Aku bisa istirahat di mana saja. Di atas pohon
pun jadilah. Nah, beristirahatlah. Biar aku yang menengok ke sana."
Sebenarnya gadis itu masih ingin membantah,
tetapi kemudian ia ingat sikap Wasi Ekacakra. Orang
tua itu baru saja juga menyuruhnya beristirahat.
"Desa ini pun masih perlu dilindungi. Aku ke
sana, dan kau tetap beristirahat sambil berjaga-jaga di
sini. Bagaimana?"
''Pergilah. Aku yang akan menjelaskan kepada
guru jika nanti guru menanyakanmu. "
''Secepatnya aku kembali," kata Joko Sungsang
sebelum melesat pergi.
Sepeninggal Joko Sungsang, Gagar Mayang
masih tetap terpaku di bawah pohon sawo itu. Ia memang merasa letih, tetapi ia
memilih berjaga-jaga barangkali kerusuhan itu merembet ke Desa Dadapsari.
Dan, siapa tahu kerusuhan di Desa Magersari itu
hanya untuk mengalihkan perhatian para petugas
ronda di desa lain.
Sementara itu, setelah jauh dari Gagar Mayang,
Joko Sungsang mulai memikirkan kecurigaan gadis itu
terhadap sikap Wasi Ekacakra akhir-akhir ini. Sejauh
yang diketahuinya, Wasi Ekacakra memang tak pernah
bersikap aneh seperti akhir-akhir ini. Dan, Joko Sungsang tidak yakin bahwa
orang tua bijak itu tengah
mencemaskan nasib desanya yang terancam.
Maka sambil melangkah, benak Pendekar Perisai Naga ini dipenuhi pertanyaan-
pertanyaan. Namun,
seribu pertanyaan, bahkan sejuta pertanyaan, tak satu
pun bisa terjawab.
Suara kentongan yang semakin jelas menyadarkan Joko Sungsang dari lamunannya. Ia
mempercepat langkah. Ia kemudian mendengar jerit dan tangis
para perempuan Desa Magersari. Dan, sewaktu ia mulai memasuki desa, dilihatnya
kerumunan penduduk
desa di depan banjar desa.
Joko Sungsang secepatnya tahu apa yang harus dilakukannya, la tak mungkin
menyeruak kerumunan orang-orang desa itu. Ia orang asing di desa
itu. Bukan tidak mungkin ia malahan akan dituduh
sebagai salah seorang perusuh. Mengingat ini semua,
Joko Sungsang bergegas menyelinap di balik pepohonan. Lalu, dengan langkah
bersijingkat, ia mendekati
kerumunan orang-orang desa itu.
"Kau tahu siapa gadis itu, Kang?" kata salah
seorang penduduk desa sambil menyeret temannya keluar dari kerumunan.
"Tak ada yang tahu siapa dia. Dia datang seperti setan, dan pergi seperti
kuntilanak." Temannya menjawab dengan bahu terangkat.
"Untung gadis itu segera datang. Kalau tidak,
entahlah nasib anak-anak kita."
"Aku heran, kenapa iblis itu menculik anakanak kecil" Untuk apa?"
''Mungkin benar kata Ki Jagabaya. Mungkin
memang ada ilmu hitam yang cara mempelajarinya
dengan mengorbankan anak-anak yang tidak berdoa.
Bagaimanapun juga Ki Jagabaya sedikit-banyak tahu
asam garamnya rimba persilatan ..."
"Ah, tapi dia pingsan begitu terpukul iblis bertopeng itu!" tukas temannya.
"Itu bukan pukulan. Itu namanya totokan jalan
darah. Kau lihat waktu gadis berpakaian serba jingga
itu meraba tengkuk Ki Jagabaya?"
"Ya. Setelah itulah Ki Jagabaya bisa bangun."
"Gadis itu telah membuka jalan darah di tengkuk Ki Jagabaya yang tertotok iblis
itu." "Gadis berpakaian serba jingga?" tanya Joko
Sungsang dalam hati. "Hm..., rupanya gadis itu menemukan jejakku. Ah, dia memang
gadis yang...." Pembicaraan batin Joko Sungsang terputus. Ia melompat dari
tempatnya bersembunyi begitu terlihat olehnya sebuah bayangan berkelebat di
antara pohon kluwih.
Seolah terbang, Joko Sungsang mengejar bayangan
yang mencurigakan itu.
*** 7 Dalam jarak beberapa tombak, tahulah Joko
Sungsang bahwa bayangan yang dikuntitnya ternyata
seorang perempuan. Dan, sewaktu bayangan itu tertimpa sinar rembulan, Joko
Sungsang bahkan berani
memastikan siapa yang tengah dikuntitnya.
''Cantikawerdi, tunggu!" seru Joko Sungsang.
Gadis berpakaian serba jingga itu, yang tak lain
adalah Endang Cantikawerdi, membalik badan dengan
dada berdesir. Ia sangsi, benarkah ia mendengar suara
Pendekar Perisai Naga"
''Joko Sungsang?" kata gadis itu setelah melihat
pakaian serba putih yang dikenakan laki-laki yang
menegurnya. ''Kebetulan jika kau masih berada di desa ini.
Aku baru saja merencanakan hendak mencarimu,
Cantikawerdi," kata Joko Sungsang sembari melangkah maju.
''Syukurlah kau selamat tak kurang suatu apa.
Aku memang merasa bahwa berita yang aku dengar itu
hanya isapan jempol," kata gadis itu lega.
"Kau sudah mendengar bahwa aku diculik
orang berkedok?"
"Ya. Dan, itu tentu tidak benar!"
"Itu bisa kita bicarakan nanti setelah urusan
kita di desa ini selesai."
''Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
''Suara kentongan itu yang mengundangku. Tetapi, aku merasa lega setelah
mendengar pembicaraan
penduduk desa ini bahwa kau ada di desa sini. Sebenarnya apa yang terjadi,
Cantikawerdi?"
''Kita harus memberantas para penculik bayi
itu!" ''Penculik bayi?"
"Ya. Beberapa orang bertopeng telah berhasil
menculik beberapa bayi dari desa ini."
''Orang bertopeng?" Seketika Joko Sungsang ingat orang berkedok yang menawannya
beberapa hari yang lalu. Adakah hubungannya dengan para penculik
bayi itu" "Ya. Tetapi, aku sudah berhasil memaksa salah
satu dari mereka untuk mengaku. Mereka mengaku
dari Lembah Pare Anom. "
''Untuk apa mereka harus menculik bayi-bayi
itu?" ''Seperti dugaan hampir setiap orang, mereka
se-dang memperdalam ilmu sesat yang syarat utamanya harus memakan jantung bocah
di bawah umur lima tahun. "
"Binatang!" rutuk Joko Sungsang. "Dan, kaulepaskan begitu saja binatang keparat
itu?" ''Sengaja aku lepaskan supaya tantanganku bisa sampai kepada guru mereka. Kau
pernah dengar nama Pemanah Sakti Bertangan Seribu?"
"Oh, diakah yang menyebarkan ilmu demit itu"
Kalau begitu, kau tak perlu menunggu-nunggunya.
Purnama besok, ia akan datang ke Bukit Cengcorang.
Kita bisa menemuinya di sana."
"Kau juga pernah menantangnya?"
''Orang berkedok yang menawanku itulah yang
menantangnya bertarung hidup dan mati purnama besok."
''Berarti, aku kehilangan kesempatan untuk
menghadapi keparat itu!"
''Kenapa begitu" Sepertinya kau yakin bahwa
orang berkedok itu akan berhasil melumpuhkannya."
"Aku pernah berhadapan dengan orang berkedok itu. Dia orang sakti yang pilih
tanding. Hanya orang-orang macam Kiai Wiku Jaladri yang bisa menandinginya. "
Joko Sungsang menahan kekagetannya. Endang Cantikawerdi pernah bertarung dengan
orang berkedok itu" Kapan" Di mana"
''Sebaiknya kita dahului saja rencana orang
berkedok itu menantangnya. Rasanya aku belum puas
kalau belum meringkus iblis berhati singa itu dengan
tanganku sendiri!" lanjut Endang Cantikawerdi.
Joko Sungsang memahami kegusaran gadis itu.
Namun, ia merasa kecewa bahwa kegusaran itu membuatnya tinggi hati. Bagaimanapun
juga Pemanah Sakti Bertangan Seribu bukan lawan yang bisa dipandang
dengan sebelah mata. Gagar Mayang bahkan hampir
hampir celaka kalau tidak datang orang berkedok itu
menolongnya. ''Cantikawerdi," kata Joko Sungsang setelah
untuk sejenak mereka terdiam, ''Bukan berarti aku
meremehkan ilmu silatmu. Kalaupun aku menolak
usulmu, semata-mata karena aku sendiri yang punya
rencana. Dan, rencanaku hanya akan berhasil jika
orang berkedok itu sudah bertarung melawan Pemanah Sakti Bertangan Seribu."
"Kau masih mendendam orang berkedok itu?"
tanya Endang Cantikawerdi ragu.
"Sama sekali tidak. " Joko Sungsang menggeleng kuat-kuat. ''Tidakkah kau ingin
tahu siapa sebenarnya orang berkedok itu?"
''Kalau benar apa yang pernah kau ceritakan
kepadaku, dia salah seorang dari orang-orang sakti
yang pernah kau ceritakan itu."
"Aku juga berpikir begitu. Begitu pula Gagar
Mayang. Tetapi, bagaimana kita bisa memastikan siapa
salah satu dari mereka itu kalau kita tidak melihat sepak terjang orang berkedok
itu dalam sebuah pertarungan hidup dan mati?"
Berdesir hati Endang Cantikawerdi begitu mendengar nama gadis dari Bukit Cangak
itu disebutsebut oleh Joko Sungsang. Kini baru diingatnya bahwa
akhir-akhir ini Joko Sungsang tinggal berdua dengan
gadis itu di Desa Dadapsari.
"Kau tahu maksudku, Cantikawerdi?" tanya
Joko Sungsang setelah sejenak tidak melihat reaksi
dari gadis itu.
"Ya," jawab Endang Cantikawerdi hambar.
"Dan, kau mendukung rencanaku?"
"Ya." Semakin pelan suara gadis itu.
''Kalau begitu, sebaiknya kita sama-sama ke
pondok Paman Wasi Ekacakra. Kita tunggu purnama
naik...." "Maaf. Aku sendiri ada rencana yang harus aku
kerjakan malam ini," sahut Endang Cantikawerdi menukas. Kini nada suara itu
berubah ketus. ''Boleh aku tahu rencana apa?"
Endang Cantikawerdi tidak segera menjawab, la
merasa kebingungan mencari jawaban. Dan, sesungguhnya ia memang tidak memiliki
rencana apa pun. la
hanya ingin menolak secara halus ajakan Joko Sungsang pergi ke Desa Dadapsari.
Ia tidak ingin bertemu
dengan Gagar Mayang. Sebab, ia yakin Gagar Mayang
pun tidak ingin bertemu dengannya. Buktinya, Gagar
Mayang tidak pernah bercerita kepada Joko Sungsang
bahwa mereka berdua pernah bertemu.
''Baiklah kalau memang aku tidak boleh tahu.
Tetapi, setidaknya kau masih punya waktu menemuiku di Desa Dadapsari," kata Joko
Sungsang. ''Mudah-mudahan aku masih bisa menemui kalian," kata Endang Cantikawerdi dengan
menekankan kata 'kalian'. Joko Sungsang bukan tidak merasakan kekecewaan gadis itu. Ia bisa merasakan
bahwa gadis itu
tidak menyukai Gagar Mayang maupun Sekar Arum.
"Dan, akulah yang membuatnya jadi begitu,"
kata hati anak muda yang bergelar Pendekar Perisai
Naga itu. Maka rasa sesal kembali menyesaki rongga
dadanya. la menyesal kenapa pernah memberikan harapan kepada gadis bekas murid
Cekel Janaloka ini.
"Maaf, aku harus segera pergi," kata Endang
Cantikawerdi sambil memandang bulan yang mulai
condong ke barat.
"Benar-benar kau tidak memerlukan bantuanku, Cantikawerdi?" kata Joko Sungsang
dalam kebingungannya.
''Terima kasih. Aku yakin, aku bisa mengatasinya sendiri." Gadis itu beranjak
pergi tanpa menunggu re-aksi Joko Sungsang.
Dan, sewaktu ia tidak mendengar Joko Sungsang berusaha mencegah kepergiannya, la
semakin yakin bahwa kehadirannya di antara anak muda dan
gadis dari Bukit Cangak memang tak mungkin terjadi.
Boleh jadi, Joko Sungsang memang sudah menjalin
hubungan khusus dengan Gagar Mayang!
Setelah bayangan Endang Cantikawerdi hilang
dari pandang matanya, Joko Sungsang membanting
napas yang sejak tadi ditahan-tahannya. Tiba-tiba ia
merasa dirinya sedungu kerbau.
Ya, kenapa aku tidak bisa menemukan jalan
terbaik untuk menghadapi gadis-gadis itu" Kenapa
aku tidak berani memilih satu di antara ketiganya" Lebih celaka lagi, kenapa aku
tidak bisa berbuat adil terhadap ketiganya" Tentu saja Cantikawerdi gusar
sewaktu aku menyebut-nyebut nama Gagar Mayang atau
Sekar Arum. Aku telah berbuat lebih terhadapnya dibandingkan terhadap Gagar
Mayang maupun Sekar
Arum. Seharusnyalah aku tidak menyebut-nyebut nama gadis lain selama aku
berbicara dengannya.
Joko Sungsang mencoba menepiskan pikirannya yang kacau. Ia berlari sekencang
kijang. Ia berharap, dengan berlari maka pikirannya yang kacau akan
tercampak. Tetapi, itu tidak pernah terjadi. Sewaktu
tiba kembali di pondok Wasi Ekacakra, dan ia harus
melihat Gagar Mayang, ingatan tentang ketiga gadis
yang membingungkannya itu terbesit lagi.
''Beristirahatlah, Anakmas. Purnama nanti tenaga dan pikiran Anakmas sangat
dibutuhkan," tegur
Wasi Ekacakra yang tiba-tiba telah berdiri di belakangnya.
"Baik, Paman. Maaf, saya tadi pergi tanpa izin
dari Paman."
"Nini Gagar Mayang telah menceritakannya kepadaku."
*** Bukit Cengcorang tak seperti yang dibayangkan
baik oleh Joko Sungsang maupun Gagar Mayang. Bukit itu hampir gundul sama


Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Sebagian besar dari
bukit itu terdiri dari batu cadas. Sudah barang pasti
tanaman tak subur. Hanya ada satu-dua kelompok semak-semak meranggas.
Bulan begitu bernafsu menerangi bukit itu. Joko Sungsang dan Gagar Mayang akan
dengan mudah mengawasi kehadiran siapa pun di atas hamparan cadas yang terang benderang itu.
Mereka berdua sengaja
datang lebih awal agar bisa melihat siapa yang lebih
dahulu mendatangi tempat itu.
''Sudah seperempat malam kita menunggu," keluh Gagar Mayang.
''Sebelum bulan menghilang, orang masih menyebutnya malam purnama naik, " sahut
Joko Sungsang. ''Jadi, kita menunggu sampai matahari terbit?"
"Tidak. Sebelum matahari terbit, mereka pasti
da-tang." ''Kita terlalu cepat datang. "
''Harus. Kau ingat bagaimana orang berkedok
itu mengetahui kedatangan kita kemarin malam" Itu
karena kita datang setelah orang berkedok itu datang."
"Dan, kau pikir dia tidak akan mengetahui kehadiran kita di sini malam ini?"
"Aku tidak berani memastikan. Nah, lihat siapa
yang datang, " bisik Joko Sungsang menggamit pundak gadis itu.
''Pemanah Sakti Bertangan Seribu!" jawab Gagar Mayang.
''Mudah-mudahan dia benar-benar datang seorang diri."
"Kau khawatir orang berkedok itu dikeroyok?"
''Jika itu memang terjadi, kita terpaksa harus
melibatkan diri. Tetapi, seperti yang terjadi di mulut
desa kemarin malam, orang berkedok itu pastilah meninggalkan tempat ini."
''Kalau begitu, kita biarkan saja dia menghadapi keroyokan. "
Joko Sungsang tak lagi menyahut. Tiba-tiba
suasana di bukit itu dipecahkan oleh tawa seseorang.
''Keluarlah kau dari persembunyianmu, Setan!"
sergah Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
"Ha ha ha! Bagaimana kalau kita undurkan saja pertemuan ini, Pemanah Sakti
Bertangan Seribu?"
''Orang berkedok itu pun sudah datang," bisik
Gagar Mayang tak bisa ditahan-tahan.
"Ya. "
''Kalau kau memang takut menghadapiku,
akui-lah! Tentu aku memaafkanmu, Pengecut Busuk!"
jawab Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
"Bukan soal takut! Hanya saja, aku tidak ingin
pertarungan kita ini dijadikan tontonan!"
''Kau kira aku membawa orang-orangku untuk
menonton" Jaga mulutmu, Setan!"
"Aku tahu kau datang seorang diri! Tetapi, aku
tahu ada yang datang lebih dahulu sebelum kita datang!"
"Dia melihat kita!" kata Gagar Mayang.
''Belum tentu. Mungkin memang ada orang lain
selain kita berdua."
''Peduli Setan Belang!" kata Pemanah Sakti Bertangan Seribu. ''Kalau memang ada
cecunguk yang ingin membelamu, aku pantang mundur!"
''Jangan gegabah, Pemanah Sakti Bertangan
Seribu! Mereka bukan cecunguk seperti katamu! Mereka pendekar-pendekar muda yang
pilih tanding! Kau
pernah dengar nama Pendekar Perisai Naga?"
''Keparat! Dia betul-betul melihat kehadiran ki
rutuk Joko Sungsang.
''Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Gagar Mayang.
"Hei, Pendekar Perisai Naga! Keluarlah dari persembunyianmu!" seru orang
berkedok itu. "Kau tunggu di sini. Biar aku layani apa
maunya!" kata Joko Sungsang seraya melompat keluar
dari tempat persembunyiannya.
"Nah, kau lihat siapa yang berdiri di sampingmu, Pemanah Sakti Bertangan
Seribu?" kata orang
berkedok itu lagi.
''Jahanam! Berani kau mencampuri urusan
orang-orang tua, Pendekar Ingusan?" hardik Pemanah
Sakti Bertangan Seribu.
Kepalang basah, pikir Joko Sungsang. Maka
kata-nya menjawab, "Kau yang menanam urusan denganku, Pemanah Sakti Bertangan
Seribu." "Nah, bertarunglah kalian! Siapa pemenangnya,
dialah yang layak berhadapan denganku!" sela orang
berkedok itu. ''Keluarlah kau, Iblis! Bantulah anak ingusan
ini menghadapiku!"
Tetapi, orang berkedok itu tidak lagi menyahut.
"Aku kira adil," kata Joko Sungsang. "Tak ada
cara lain memancingnya keluar dari persembunyian
kecuali kita harus lebih dahulu berhadapan."
''Bocah pongah!" sergah Pemanah Sakti Bertangan Seribu seraya menerjang Joko
Sungsang. Tak sulit bagi Joko Sungsang menghindari tendangan beruntun yang melabraknya.
Namun, agaknya Pemanah Sakti Bertangan Seribu tidak hanya ingin
menggertak, la benar benar ingin merobohkan Pendekar Perisai Naga secepat
mungkin. Oleh karenanya,
begitu dirasakannya tendangan tendangannya menembus angin, diputarnya gendewa di
tangan kanannya untuk memburu ke arah lawan berkelit.
Wungngng! Wungngng! Tringngng!
Dua sabetan gendewa berhasil dihindari Joko
Sungsang. Akan tetapi, sabetan yang ketiga kalinya tak
mungkin dihindarinya lagi. Tak ada jalan lain kecuali
menepis senjata lawan dengan gagang cambuk Perisai
Naga. ''Pakailah cambukmu sebelum kau menyesal,
Pendekar Perisai Naga!" ujar Pemanah Sakti Bertangan
Seribu setelah melompat mundur dua tombak.
''Akulah yang tahu perlu atau tidak aku menggunakan cambukku!" jawab Joko
Sungsang. ''Bocah pongah! Kau kira aku tidak bisa memaksamu mengeluarkan senjatamu?"
Pemanah Sakti Bertangan Seribu memasang sebatang anak panah pada gendewanya.
Sadar bahwa lawan telah mengeluarkan senjata
andalannya, Joko Sungsang tidak boleh tidak harus
mengurai cambuk di pinggangnya. Luncuran panah itu
mungkin hanya dihindarinya.
Sebatang anak panah meluncur secepat kilat
menyambar. Joko Sungsang memutar cambuknya.
Trangngng! Anak panah itu tepat berbenturan dengan bola
berduri di ujung cambuk Perisai Naga. Patah menjadi
dua. "Tak percuma kau menjuluki senjatamu Perisai
Naga!" kata Pemanah Sakti Bertangan Seribu. "Tapi, lihatlah apakah cambukmu bisa
menjadi perisai menghadapi ajian 'Naracabala'!"
"Betul-betul gila!" dengus Gagar Mayang di
tempat persembunyiannya. Ia tidak mengerti kenapa
Pemanah Sakti Bertangan Seribu begitu bernafsu
membunuh Pendekar Perisai Naga.
"Ada baiknya aku katakan sesuatu sebelum
kau tewas di ujung anak panahku, Pendekar Perisai
Naga!" kata Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
"Aku tahu apa yang kau pendam dalam hatimu.
Bukankah kau mendendam guruku yang berkali-kali
mengalahkanmu?"
''Itulah kenapa ingin aku buktikan bahwa aku
bisa membunuhmu hanya dalam beberapa gebrakan!"
sahut Pemanah Sakti Bertangan Seribu seraya melepaskan lima batang anak panah
sekaligus. Hampir saja Gagar Mayang berteriak mengingat-kan. Namun, gadis itu melihat Joko
Sungsang melenting sambil memutar cambuk kulit ularnya. Tak sebatang anak panah
pun lolos dari libatan cambuk Perisai Naga.
Diam-diam Pemanah Sakti Bertangan Seribu
kaget melihat kenyataan bahwa lima batang anak panahnya tak berhasil menembus
pertahanan lawan.
Bahkan sebatang anak panah yang menyusul sewaktu
Joko Sungsang berjumpalitan di udara pun berhasil
ditangkap deh tangan kiri anak muda dari Desa Sanareja itu.
''Sekarang giliranku menyerangmu, Pemanah
Sakti Bertangan Seribu!" kata Joko Sungsang sembari
menyiapkan jurus 'Naga Melilit Gunung'.
''Jurus-jurusmu tidak akan lebih baik dari ciptaan gurumu, Bocah Pongah!" sahut
orang sesat dari
Lembah Pare Anom itu seraya tertawa.
Bola berduri di jung cambuk kulit ular itu meraung-raung. Namun, bersamaan
dengan itu, gendewa
di tangan orang sesat bertubuh raksasa itu pun berputar melindungi badan.
Srettt! Cambuk Perisai Naga mulai membelit. Tetapi,
bukan tubuh Pemanah Sakti Bertangan Seribu yang
terbelit, melainkan tali gendewanya.
"Di sinilah ajalmu, Bocah!" teriak Pemanah
Sakti Bertangan Seribu sambil menerjang dengan tendangan kaki kanannya ke arah
kepala lawan. Desss! Joko Sungsang melipat siku tangannya untuk
menjemput telapak kaki lawan yang mengancam kepalanya. Tubuh Pemanah Sakti
Bertangan Seribu terpental beberapa tombak. Dan, tubuh Joko Sungsang pun
terhuyung- huyung ke belakang meski tidak sampai
terjatuh. Merasa bahwa lawan lebih senang membentur
serangan, orang sesat dari Lembah Pare Anom itu tertawa girang. Ia sudah bisa
mengukur kekuatan tenaga
dalam lawan dalam benturan yang baru saja terjadi.
Oleh karenanya, ia segera menyalurkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya pada kedua telapak tangannya.
Ia begitu yakin bahwa benturan yang terjadi nanti
akan melumatkan tubuh anak muda murid Padepokan
Jurang Jero itu.
''Asalmu dari tanah, dan kau juga harus kembali ke tanah, Pendekar Perisai
Naga!" kata orang tua
bertubuh raksasa itu.
Melihat lawan tak lagi menggunakan senjatanya, Joko Sungsang pun segera
menyimpan cambuknya. Ia tahu keinginan lawan mengadu tenaga dalam. Namun begitu,
ia tidak ingin tubuhnya luluhlantak oleh tenaga pukulan yang tersalur pada kedua
telapak tangan lawan.
''Orang tolol itu belum pernah merasakan ilmu
'Pukulan Ombak Laut Selatan'!" dengus Gagar Mayang
di tempat persembunyiannya.
Apa yang dipikirkan gadis itu memang tengah
dipersiapkan Joko Sungsang. Disalurkannya ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'
hanya pada kedua telapak
tangannya. Ia ingin menguji sejauh mana ilmu andalan
dari Padepokan Karang Bolong itu mampu menahan
pukulan dahsyat dari Pemanah Sakti Bertangan Seribu.
Dendam kesumat bercampur kemarahan membuat Pemanah Sakti Bertangan Seribu
kehilangan usaha mawas dirinya. Dengan tubuh raksasa yang dirangkap! segenap tenaga dalam
yang ada, ia merasa
pasti bisa meluluh lantakkan tubuh lawan. Maka sambil berteriak setinggi langit,
ia menerjang Joko Sungsang dengan kedua telapak tangannya.
Desss! Bresss! Akibat benturan kedua pukulan itu sungguh
mengerikan. Tubuh Raksasa Pemanah Sakti bertangan
Seribu seolah membentur tembok beton yang berlapis
baja. Akibatnya, tubuh itu terpental dan terbanting ke
bongkahan cadas. Sebentar saja tubuh raksasa itu
nampak menggeliat, dan kemungkinan diam untuk selamanya.
Dalam pada itu, Gagar Mayang tak ingin melihat tubuh Joko Sungsang membentur
bongkahan cadas yang menghadang di belakangnya. Gadis itu melompat dari tempat
persembunyiannya bersamaan
dengan tubuh Joko Sungsang yang terpelanting ke belakang.
Akan tetapi, dugaan gadis itu ternyata meleset.
Joko Sungsang menjejak bongkahan cadas yang
menghadangnya sebelum Gagar Mayang mendarat di
tempat yang ditujunya.
"Maaf, aku terlalu mencemaskan mu," ujar gadis itu setelah melihat Joko Sungsang
berdiri di atas
kuda-kudanya. 'Terima kasih. Aku tetap menghargai usahamu
menyelamatkanku, Gagar Mayang. Terima kasih," sahut Joko Sungsang.
"Kau tidak apa-apa?"
''Kepalaku sedikit berkunang-kunang. Tenaga
raksasa itu memang luar biasa. Rasanya aku membentur tubuh tiga ekor gajah.
"Tetapi, gajah itu kini tidak berkutik lagi. Tak
ada gajah yang bisa bangkit tanpa tulang penyangga di
tubuhnya. Hm..., Gajah Dungu! Tidakkah ia tahu
bahwa ia sedang berhadapan dengan murid Ki Sempani?"
Joko Sungsang tertawa mendengarkan ucapan
sekaligus sanjungan gadis itu.
''Biarlah aku yang menghadapi orang berkedok
itu kalau dia masih berani muncul!" lanjut Gagar
Mayang. "Kau ingin dijuluki 'murid durhaka'?" Joko
Sungsang menahan tawa.
''Maksudmu?" Gadis itu benar-benar tidak menangkap maksud ucapan Joko Sungsang.
''Sekarang aku berani memastikan siapa orang
berkedok itu. "Kau ingat bagaimana Pemanah Sakti Bertangan Seribu takut mendengar suara emprit
gantil?" "Ya. Lalu?"
''Artinya, tidak mungkin ia berani menghadapi
guruku dalam pertarungan hidup dan mati. Nah, sudah jelas bahwa orang berkedok
itu bukan Kiai Wiku
Jaladri, bukan?"
''Bagaimana dengan Ki Sempani?"
"Ki Sempani tak akan tahu bahwa kita akan berada di tempat ini dan datang lebih
awal." ''Maksudmu, Guru... eh, Kiai Wasi Ekacakra...?"
''Hanya Patrian Wasi Ekacakra yang tahu rencana kita mendatangi bukit ini, Gagar
Mayang Dan, itulah jawabannya kenapa kau melihat sikap Paman
Wasi Ekacakra akhir-akhir ini berubah "
''Gusti Allah! Betapa tololnya aku?" Gadis itu
menekap wajahnya dengan dua telapak tangannya.
Akan tetapi, Joko Sungsang bisa melihat bagaimana bibir gadis itu menahan
senyuman.

Pendekar Perisai Naga 6 Pemanah Sakti Bertangan Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Avicke
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Pedang Hati Suci 8 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Golok Halilintar 4
^