Pencarian

Penguasa Gua Barong 3

Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong Bagian 3


dang Cantikawerdi seraya membuka jurus pamung-
kasnya. 'Gurumu memang pernah meremukkan tulang
lengan kiriku sepuluh tahun yang lalu dengan jurus
yang sama! Tetapi, jangan harap jurus warisan guru-
mu itu kini bisa menyentuh kulitku! Nah, mulailah!"
Klabang Seketi membuka lima jari tangannya yang te-
lah dialiri ajian Lintah Sayuta. Hanya dengan ajian itu maka ia berharap bisa
menyedot senjata lawan yang
berbahaya itu. Maka jari-jari tangan yang terkembang itu pun bergerak-gerak
cepat memagari sekujur badan.
Sekali saja toya gadis itu menyentuh jari-jari tangan itu, ajian Lintah Sayuta
akan menyedotnya.
Toya dewondaru di tangan Endang Cantikawer-
di mulai bergerak aneh. Kadang terlihat memutar, lalu tiba-tiba berubah menjadi
menusuk-nusuk Meski ia
belum kenyang pengalaman di dunia persilatan, ia ta-
hu bahwa lawannya kali ini berusaha merebut toya
dewondaru di tangannya. Oleh sebab itu, Endang Can-
tikawerdi secepat kilat menarik senjatanya begitu terasa ujung senjata itu
bersentuhan dengan jari-jari tangan Klabang Seketi.
Kini gerakan toya itu lebih sering mengarah ke
kaki lawan ketimbang ke dada ataupun kepala. Ke-
mungkinan untuk meraih toya itu ke arah bawah lebih
sulit dibandingkan dengan menangkap ujung toya
yang menjulur di depan dada maupun kepala.
Kemudian Endang Cantikawerdi mulai melan-
carkan gerak tipu untuk mengecoh lawan. Ia julurkan
toyanya ke arah tulang kering lawan, tetapi secepat kilat ujung toya yang lain
menyabet dari arah atas.
' Srettt!"
Kembali lengan baju kiri Klabang Seketi melilit
ujung toya dewondaru. Di luar dugaan Endang Canti-
kawerdi bahwa Klabang Seketi akan mempergunakan
lengan bajunya untuk menjemput serangan inti yang
direncanakannya.
"Kau akan mencoba menjejak punggungku lagi,
Bocah Denok?" kata Klabang Seketi sambil menahan
tarikan toya yang terbelit lengan bajunya.
Endang Cantikawerdi tak mungkin berbuat bo-
doh Lawan sudah bisa membaca apa yang akan dila-
kukan nya. Sudah pasti orang tua penguasa Gua Ba-
rong itu mempersiapkan sesuatu untuk melindungi
punggung nya. Tetapi, untuk meladeni adu tenaga da-
lam tarik menarik ini, jelas ia tak akan mampu mengalahkan tenaga tokoh hitam
yang sudah berpengalaman
di dunia persilatan itu.
"Kalau kau tidak mau lagi membebaskan toya-
mu dari lengan bajuku, biarlah aku yang melakukan-
nya!" Berkata begini, Klabang Seketi menarik lengan
bajunya kuat kuat sementara tangan kanannya den-
gan cepat menjulur ke arah dada Endang Cantikawer-
di. ' Wuttt! Wurrr!"
Dalam keadaan terpojok, Endang Cantikawerdi
ingat sesuatu yang kemungkinan bisa menyelamatkan
dirinya dari sambaran jari-jari maut itu, tanpa harus kehilangan toya
dewondarunya. Sebenarnya, ia bisa
saja berkelit atau berjumpalitan ke belakang untuk
menghindar. Tetapi, gerak menghindar ini harus men-
gorbankan toya dewondarunya. Tanpa melepaskan
senjata di tangannya, tidak mungkin ia bisa menghin-
dari serangan lawan. Padahal, untuk menangkis se-
rangan lawan pun baginya tidak mungkin. Menangkis
berarti menyerahkan tangannya untuk disedot ajian
Lintah Sayuta! Mengingat ini semua, Endang Cantikawerdi se-
cepat kilat menaburkan pasir beracun ke arah kaki lawan Akan tetapi, bukan
namanya Klabang Seketi jika
mudah terkecoh gerakan lawan. Pengalaman mengha-
dapi Cekel Janaloka sepuluh tahun yang lalu mem-
buatnya semakin berhati-hati dalam menghadapi la-
wan. Maka orang tua dari Gua Barong itu melenting ke udara begitu dilihatnya
tangan kiri Endang Cantika-
werdi bergerak menaburkan sesuatu. Sambil berjum-
palitan inilah Klabang Seketi menghentakkan lengan
kiri bajunya bersamaan dengan hentakan tangan ka-
nannya yang telah mencengkeram ujung toya dewon-
daru. Hentakan yang begitu kuat membuat tubuh
Endang Cantikawerdi terhuyung-huyung dan kemu-
dian bergulingan di tanah. Dan, sebelum la melenting bangkit, sebuah totokan di
punggungnya membuat tubuhnya kejang. Gadis itu hanya mampu menggerak-
gerakkan bola matanya, tanpa daya untuk bangkit
berdiri. "He-he-he, akhirnya berhasil juga aku menebus kekalahanku sepuluh tahun
yang lalu!" ujar Klabang
Seketi sambil menimang-nimang toya dewondaru di
tangannya. ' Bunuhlah aku kalau memang kematianku se-
bagai tujuan balas dendammu!" sergah Endang Canti-
kawerdi pasrah.
Ya, gadis itu memang tak berharap ada seseo-
rang yang bisa menyelamatkannya dari ancaman Kla-
bang Seketi. Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Na-ga telah pergi jauh
meninggalkan Desa Karangreja. Selesai berlatih, anak muda Itu pamit untuk pergi
me- nengok ibunya di Desa Dadapsari Apalagi yang bisa di-perbuat gadis itu kecuali
pasrah" *** 7 Tawa Klabang Seketi kembali membahana. Se-
perti tawa hantu di sela-sela cuatan batu nisan di pe-
kuburan. Lalu kata orang sesat dari Gua Barong itu,
' Membunuhmu katamu" Ho-ho-ho! Kau pikir aku se-
bodoh yang kau kira" Membunuhmu adalah pekerjaan
yang paling muda. Seperti membalikkan telapak tan-
gan! Tetapi, bukan itu maksudku, Cah Ayu. Kau boleh
mati setelah aku menangkap bocah lancang yang me-
lukai anak buahku di kedai minum itu! Nah, sebaiknya kau beristirahat dulu di
Gua Barong, sambil menunggu penolongmu itu muncul menyelamatkanmu!"
' Iblis licik! Nama besarmu memang hanya pan-
tas untuk menakut-nakuti tikus, Klabang Seketi!" ge-
ram Endang Cantikawerdi.
'Tak usahlah kau memancing kemarahanku.
Aku tidak akan marah sekalipun kau meludahi muka-
ku. Kalaupun aku marah, aku tetap ingat bahwa aku
harus membiarkan mu hidup sampai nanti dewa pe-
nyelamat-mu datang ke Gua Barong!"
' Kembalikan toyaku jika kau memang merasa
tak terkalahkan oleh ku!"
"He-he-he! Kau kira toya ini berguna buatku"
Tetapi bagaimana mungkin kau bisa memainkan Jurus
Toya Sakti Pengusir Malaikat jika menggerakkan tan-
gan saja kau tidak bisa" Nah, cobalah kau terima
toyamu!" kata Klabang Seketi seraya melemparkan
toya dewondaru ke sisi tubuh Endang Cantikawerdi.
Endang Cantikawerdi menggigit bibirnya kuat-
kuat untuk melampiaskan kemarahan yang membakar
hati-nya. Marah bukan karena ia dikalahkan oleh
orang tua dari Gua Barong itu. Kalah menghadapi Kla-
bang Seketi, baginya bukan hal yang memalukan. Jan-
gan lagi dirinya, sedangkan seandainya Cekel Janaloka masih hidup pun tak akan
mampu melawan tokoh hitam guru Bajra Luwuk ini. la marah sebab Klabang
Seketi merencanakan menjebak Joko Sungsang. Oh,
betapa licik orang orang dari golongan hitam!
"Lho, kenapa tak kau ambil senjata andalan-
mu" Bukankah aku sudah memberikan apa yang kau
minta?" ejek Klabang Seketi.
Endang Cantikawerdi hanya bisa melirik toya
dewondarunya yang terbujur diam di sisi tubuhnya
Bagaimana mungkin ia meraih senjata itu jika mengge-
rakkan jari-jari tangan pun ia tak mampu! Totokan jalan darah di punggungnya
benar-benar membuat se-
kujur tubuhnya tak berdaya. Hanya tinggal bibir dan
matanya yang mampu ia gerakkan. Maka kemudian ia
ingat bagaimana dulu Empu Wadas Gempal pernah
menotoknya di pinggiran Hutan Ketapang. Kalau saja
waktu itu tidak muncul anak muda yang berpakaian
serba putih itu, entahlah apa yang bakal menimpa di-
rinya. Dan, sekarang anak muda yang bergelar Pende-
kar Perisai Naga itu tak mungkin lagi menolongnya. Tidak juga orang lain
Kalaupun ada penduduk desa yang
melihatnya pun, tidak akan bisa mengubah nasib bu-
ruknya. 'Hampir pagi," desis Klabang Seketi. 'Sebaiknya kita segera pulang ke
Gua Barong, bocah moblong.
Di sana kau akan lebih merasa enak ketimbang harus
tiduran di sini. Hm, terpaksa aku harus membungkam
mulutmu yang cerewet itu biar tidak mengganggu per-
jalanan kita!"
Berdiri bulu kuduk gadis itu begitu mem-
bayangkan tubuhnya berada dalam gendongan orang
tua buntung itu. Tak pernah terbayangkan olehnya
bahwa ia bakal mengalami nasib seburuk ini. Bukan-
kah lebih baik mati daripada digendong manusia jel-
maan iblis ini"
Klabang Seketi mendekati tubuh Endang Can-
tikawerdi. Suara telapak kaki orang sesat dari Gua Ba-
rong itu membuat jantung Endang Cantikawerdi se-
makin menggelepar. Maka gadis itu mencoba sekali la-
gi untuk memancing kemarahan Klabang Seketi. Siapa
tahu kali ini ia lantas dibunuhnya.
' Klabang Seketi! Ujudmu memang manusia, te-
tapi hatimu tidak lebih bersih dari hati babi hutan!
Otakmu tidak lebih baik dari otak kancil! Kau tahu
dongeng binatang yang bernama kancil, bukan" Bina-
tang kecil, tak punya kekuatan, tetapi selalu menang karena punya kelicikan yang
pilih tanding!" ejek Endang Cantikawerdi.
'Terserahlah kau mau bicara apa. Mau kau ka-
takan aku selicik kancil, sedungu kerbau, semalas
buaya, terserah! Apa ruginya aku mendengarkan oce-
hanmu?" sahut Klabang Seketi seraya menjulurkan
tangan tunggalnya hendak meraih pinggang gadis itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Klabang Seketi melompat
ke belakang hingga beberapa tombak. Dan, sewaktu ia
mengamati benda apa yang hampir saja meremukkan
batok kepalanya itu, ia melihat seseorang yang berpakaian serba putih, berambut
putih, jenggotnya pun
menjulur panjang dan berwarna putih pula. Bahkan
alis yang menyilang di atas kedua mata orang aneh itu berwarna putih pula.
' Iblis laknat! Sekalipun seribu mayat hidup se-
pertimu bangkit dari kubur, jangan kira aku takut
menghadapimu, bangkai keparat!" hardik Klabang Se-
keti tanpa mau tahu siapa yang tengah dihadapinya.
Orang tua yang lebih mirip mayat hidup itu tak
menanggapi umpatan Klabang Seketi. Ia malahan me-
munggungi Klabang Seketi sebab ia harus membe-
baskan totokan Jalan darah di punggung Endang Can-
tikawerdi. ' Kembalilah ke kamar tidurmu. Biarkan aku
yang memaksanya pulang ke Gua Barong, " kata orang
tua berpakaian serba putih itu kepada Endang Canti-
kawerdi. ' Bukankah Kiai... guru Pendekar Perisai Naga
dari Padepokan Jurang Jero?" Tiba-tiba Endang Canti-
kawerdi ingat cerita tentang orang tua yang lebih pantas disebut mayat hidup
itu. Orang tua itu, yang tak lain adalah Wiku Jala-
dri, tidak menjawab pertanyaan Endang Cantikawerdi.
Ia memungut toya dewondaru dan menaruh di telapak
tangan gadis pemiliknya itu.
' Pulanglah sebelum aku dikalahkan orang tua
dari Gua Barong itu," kata Wiku Jaladri sambil mendorong tubuh Endang
Cantikawerdi agar cepat pergi.
' Mana mungkin Kiai dikalahkan setan licik
itu?" kata Endang Cantikawerdi membantah. Meski
begitu, ia tak berani menentang perintah orang sakti dari Jurang Jero itu.
Kendatipun ia ingin sekali melihat pertarungan kedua tokoh sakti itu, tetap saja
kakinya melangkah mundur meninggalkan kedua tokoh
dunia persilatan yang telah siap bertarung hidup dan mati itu.
' Nyawamulah yang akan menggantikan nyawa
gadis itu, setan kubur!" seru Klabang Seketi seraya menerjang Wiku Jaladri
dengan jari-jari tangan terkembang,
' Wuttt! Wusss!"
Klabang Seketi terpaksa mengurungkan seran-
gannya sebab tiba-tiba ada angin yang menyambar da-
danya. Orang sesat dari Gua Barong itu merunduk,
kemudian memutar tubuhnya sambil mengirimkan
tendangan ke kaki lawan.
' Desss!" Kini tubuh Klabang Seketi bergulingan ke bela-
kang. Sisi telapak kaki kanannya seolah baru saja
membentur benda keras yang berpegas. Ia mulai ber-
pikir, orang tua yang lebih mirip mayat hidup ini ternyata memiliki ilmu silat
yang sungguh-sungguh sem-
purna. Hanya dengan sedikit memajukan lututnya,
orang tua serba putih itu berhasil melemparkannya.
' Klabang Seketi," kata Wiku Jaladri setelah
berdiri tegak dengan kedua tangan menyilang di dada.
"Orang tua macam kita ini, sudah selayaknya berbuat
kebajikan. Setidaknya, memberikan contoh kepada
yang muda untuk berbuat ksatria. Kau tahu apa yang
kumaksudkan?"
' Peduli setan dengan kebajikan! Apa pedulimu
jika aku berbuat sekehendak hatiku?" sahut Klabang
Seketi gusar. "Kau memang orang tua yang tak pernah mau
menyembunyikan kebodohan. Tetapi, kalau memang
kau ingin aku memaksamu pulang ke Gua Barong, apa
boleh buat! Hanya saja, kau akan menyesal sebab aku
harus melemparkan mu dan tubuhmu akan hancur
sebelum kau menghadapi lawanmu yang sesungguh-


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Bukankah kau harus menghadapi lawanmu pur-
nama besok?"
"Apa itu berarti kau menganggap dirimu lebih
hebat" Kau pikir kau bisa mengatur ku semudah itu?"
"Sudah kukatakan bahwa orang tua macam ki-
ta ini tinggal punya waktu beberapa saat untuk ber-
buat kebajikan, bukan" Apakah namanya kebajikan ji-
ka aku menganggap remeh orang lain?"
"Aku tak butuh nasihatmu! Bersiaplah kembali
ke kuburmu, bangkai laknat!" Kembali Klabang Seketi
menerjang maju. Kali ini ia mengirimkan tendangan
yang dikombinasi dengan sabetan lengan baju kirinya.
' Wuttt! Srettt! Bukkk!"
Dengan menggeser kaki kanannya ke arah de-
pan kaki kirinya, Wiku Jaladri terbebas dari tendangan kaki lawan. Kemudian
secepat kilat tangannya terjulur, meraih lengan baju yang mengancam mukanya, dan
menghentakkannya ke belakang tubuhnya.
Tubuh Klabang Seketi terbanting ke tanah. Se-
telah bergulingan beberapa tombak, tokoh hitam dari
Gua Barong itu melenting dan berdiri di atas kuda kudanya lagi.
"Maaf jika aku tidak bisa melayanimu lebih la-
ma lagi, Klabang Seketi!" kata Wiku Jaladri. "Aku harus menghormati hakmu untuk
menghadapi lawanmu
purnama besok di Lereng Gunung Sumbing"
Dalam sekejap mata, tubuh kurus kering itu te-
lah lenyap dari hadapan Klabang Seketi. Klabang Seke-ti terpaku di tempatnya
memikirkan tingkatan ilmu silat lawan yang tak dikenalnya itu. Ia telah banyak
mengenal tokoh persilatan baik dari golongan hitam
mau pun golongan putih. Akan tetapi, ia belum pernah mendengar cerita tentang
orang tua serba putih yang
lebih mirip mayat hidup itu.
Dalam pada itu, Endang Cantikawerdi begitu
menyesali kepergian Joko Sungsang ke Desa Dadapsa-
ri. Kalau saja anak muda itu mau menunda keper-
giannya semalam saja maka ia akan bertemu dengan
Wiku Jaladri. Endang Cantikawerdi tahu bahwa keper-
gian Joko Sungsang ke Desa Dadapsari juga bertujuan
mencari berita di mana kiranya Wiku Jaladri berada.
Dari Wasi Ekacara-lah ia berharap berita itu dida-
patkannya. Selain daripada itu, gadis murid Cekel Janaloka
itu juga menyesal tidak bisa menyaksikan pertarungan antara tokoh sakti dari
Padepokan Jurang Jero itu melawan Klabang Seketi. Betapapun ia sering mendengar
cerita tentang kesaktian Wiku Jaladri, ia merasa belum puas jika belum melihat
sendiri bagaimana sepak ter-jang guru Joko Sungsang itu.
Setiba di kamar tidurnya, Endang Cantikawerdi
merasa tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Un-
tuk meneruskan latihan pernapasan, tidak mungkin
lagi sebab pikirannya sudah telanjur bercabang-
cabang. Kejadian yang baru saja dialaminya mem-
buatnya gelisah. Andai saja tidak muncul Wiku Jala-
dri, entah nasib buruk macam apa yang bakal menim-
panya. Yang pasti, orang tua buntung dari Gua Barong itu akan membawanya pergi
dari Desa Karangreja. Tetapi, bukan tidak mungkin Klabang Seketi membu-
nuhnya atau menodainya. Dan, jika ia sampai terta-
wan oleh tokoh hitam itu, berarti keselamatan Joko
Sungsang pun akan terancam, la tahu bahwa anak
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu akan
mengutamakan keselamatan gadis yang harus dito-
longnya ketimbang memikirkan keselamatan dirinya
sendiri. Tanpa melakukan tipu muslihat, tak mungkin
Klabang Seketi bisa mengalahkan Pendekar Perisai Na-
ga, pikir gadis itu. Kalau memang guru Bajra Luwuk
itu tidak takut menghadapi Joko Sungsang, tak perlu-
lah ia berbuat licik. Entahlah cerita apa yang dilaporkan dua orang suruhannya
itu kepadanya sehingga
Klabang Seketi ketakutan menghadapi Joko Sungsang
secara jantan. Terdorong oleh keinginannya untuk menyam-
paikan berita tentang kemunculan Wiku Jaladri di De-
sa Karangreja, Endang Cantikawerdi akhirnya memu-
tuskan untuk pergi ke Desa Dadapsari, menyusul Joko
Sungsang. Maka gadis itu kembali melesat keluar, me-
ninggalkan kamar tidurnya.
*** Nyai Linggar menyambut kedatangan anak
tunggalnya dengan penuh kerinduan. Perempuan tua
itu memeluk Joko Sungsang yang hampir saja tak di-
kenalinya lagi Sepuluh tahun lebih mereka tidak ber-
temu. Sejak Ki Linggar mati terbunuh oleh Kebo Dung-
kul, sejak itulah mereka berpisah. Dan, kalau saja
waktu itu Wiku Jaladri tidak muncul dan membunuh
anak buah Kebo Dungkul, tidak akan mereka sekarang
berangkulan sambil melepaskan rindu.
' Ibu sekarang bisa kembali ke Sanareja, " kata
Joko Sungsang setelah melepaskan pelukannya.
Nyai Linggar menyusut air matanya Air mata
kebahagiaan tentu saja. Lalu kata istri bekas demang itu, ''Rasanya aku tidak
bisa lagi meninggalkan desa ini, Joko. Biarlah aku tetap di sini bersama pamanmu
" Joko Sungsang menoleh ke arah Wasi Ekacakra
' Apakah sekiranya tidak merepotkan Paman?" ka
tanya kemudian.
' Sejak dulu Paman menerima kedatangan ibu-
mu dengan senang hati, Anakmas. Sampai kapan pun
ibu mu ingin tinggal di sini, Paman tetap akan mene-
rima nya dengan senang hati," jawab Wasi Ekacakra.
' Bagaimana kabar Kiai Wiku Jaladri, Joko?"
tanya Nyai Linggar.
' Saya ke sini justru ingin menanyakan tentang
Guru kepada Paman."
"Lho, ada apa dengan Kakang Wiku?" sahut
Wasi Ekacakra kaget
"Sewaktu saya menengoknya ke Jurang Jero,
Guru tidak ada lagi di gua itu. Malahan gua itu sekarang menjadi sarang binatang
melata, Paman. Saya in-
gin mencarinya, tetapi saya tidak tahu harus ke mana mencarinya. Lalu saya
putuskan kemari, barangkali
saja Paman tahu di mana kira-kira Guru berada."
Wasi Ekacakra tertawa lirih. Nyai Linggar dan
Joko Sungsang menatapnya sambil menunggu apa
yang bakal dikatakan teman seperguruan Wiku Jaladri
itu. Tetapi, melihat wajah Wasi Ekacakra yang Cerah, mereka berani berharap
bahwa kabar baik tentang Wi-ku Jaladri-lah yang hendak mereka dengar dari penje-
lasan orang tua sakti dari Desa Dadapsari itu.
"Sejak kami masih sama-sama muda, kelakuan
Kakang Wiku memang sulit dimengerti, " kata Wasi
Ekacakra setelah menyeruput teh gula batunya.
' Maksud Paman, Guru tidak bisa ditebak ke
mana perginya dan kapan kembalinya?" tanya Joko
Sung-sang. "Itu hanya sebagian kecil kelakuan anehnya.
Ah, tetapi tak perlu kita khawatirkan nasibnya, la bisa muncul kapan saja di
antara kita. Lagi pula, ia juga sudah berjanji kepada Paman untuk berkumpul di
sini jika ia telah merasa ajalnya tiba."
' Syukurlah jika itu memang kehendak Guru,"
sahut Joko Sungsang lega.
Nyai Linggar pun ikut bernapas lega begitu
mendengar keterangan dari Wasi Ekacakra. Betapapun
Wiku Jaladri bukan sanak kadangnya, ia merasa ber-
hutang nyawa kepada orang sakti dari Jurang Jero itu.
Masih tergambar di pelupuk mata Nyai Linggar
bagaimana orang tua yang lebih pantas disebut mayat
hidup itu muncul di kademangan dan mengatakan
bahwa Joko Sungsang dalam lindungannya. Nyai Ling-
gar memang tidak melihat bagaimana Wiku Jaladri
merebut Joko Sungsang dari gendongan kaki-tangan
Kebo Dungkul. Tetapi, ia merasa pasti bahwa orang
tua serba putih yang bisa terbang mirip bangau itu
bukan sembarang orang.
' Menurut cerita Guru, Ibu waktu itu pingsan.
Aku mengira Ibu sudah tewas seperti Ayah," kata Joko Sungsang menengok
pengalaman mereka berdua dua
belas tahun yang lalu.
"Ya, Ibu pingsan karena melihat ayahmu tewas
terkena kampak Kebo Dungkul. Tak tahan lagi Ibu me-
lihat luka di pelipis ayahmu yang menganga. Kalau sa-ja Ibu punya kekuatan untuk
melawan, tentulah ma-
lam itu juga Kebo Dungkul tewas di tanganku. "
' Kebo Dungkul sudah tewas, Ibu."
' Siapa yang membunuhnya" Kiai Wiku Jaladri
juga?" 'Kebo Dungkul mati di ujung senjata seorang
gadis dari Padepokan Karang Bolong."
' Pastilah murid Kakang Sempani," sahut Wasi
Ekacakra menimpali
' Benar kata Paman. Dan, sekarang gadis itu te-
lah menjadi adik seperguruan saya, Paman."
' Maksud Anakmas, ilmu silat Padepokan Ka-
rang Bolong juga sudah Anakmas pelajari?"
' Berkat restu dari Guru maka saya pun bergu-
ru kepada Ki Sempani, Paman."
' Paman ikut senang jika Anakmas bisa menya-
tukan ilmu dari Padepokan Jurang Jero dengan ilmu
Padepokan Karang Bolong. Paman tahu bagaimana
hebatnya ilmu tangan kosong dari Padepokan Karang
Bolong. " ' Gabungan ilmu yang Paman maksudkan su-
dah menewaskan tokoh hitam yang bernama Empu
Wadas Gempal dan Ki Danyang Bagaspati alias Selen-
dang Mayat. "
' Benar benar ilmu silat yang pilih tanding!" de-
sis Wasi Ekacakra.
Setelah dirasa cukup pertemuannya dengan
ibunya maupun Wasi Ekacakra, Joko Sungsang pun
berpamitan untuk kembali ke Desa Karangreja. Ia ma-
sih harus menjaga desa itu dari amukan Klabang Se-
keti yang bisa terjadi kapan saja.
"Kalau memang Anakmas Joko merasa tidak
mungkin menemui Kakang Wiku, tidak ada bedanya
Anakmas datang kepada Paman di sini," pesan Wasi
Ekacakra sebelum melepaskan kepergian Joko Sung-
sang. 'Terima kasih, Paman. Jika Gusti Allah membe-
ri kita panjang umur, suatu ketika pasti saya meminta pertolongan Paman "
Meski dengan air mata berlinang, Nyai Linggar
tetap saja melepaskan kepergian anak tunggalnya itu.
Perempuan tua ini sadar bahwa perjalanan hidup
anak-nya tidak sama dengan perjalanan hidup sua-
minya. Joko Sungsang tetap harus berkelana untuk
mengamalkan ilmu silatnya demi ketenteraman orang
orang lemah yang menjadi incaran para angkara mur-
ka. Berkat nasihat-nasihat dari Wasi Ekacakra, pe-
rempuan tua itu tidak lagi mengkhawatirkan kesela-
matan Joko Sungsang. la sudah bisa menyakini bahwa
mati dan hidup manusia bukan ditentukan oleh ting-
kah manusia itu sendiri, melainkan telah digariskan
oleh Gusti Allah!
*** 8 Sambil melangkah menyeberangi kali, Endang
Cantikawerdi masih terus memikirkan Joko Sungsang
dan Wiku Jaladri. Menurutnya, murid dan guru dari
Padepokan Jurang Jero itu adalah orang-orang yang
aneh Setelah murid dianggap cukup dalam mempelaja-
ri ilmu silat yang diajarkan gurunya, hubungan mere-
ka seakan putus begitu saja. Mereka kembali menjadi
dua orang asing yang saling tidak mengetahui kabar
satu sama lain. Joko Sungsang yang telah mewarisi gelar Pendekar Perisai Naga
itu begitu tega meninggalkan gurunya selama lima tahun lebih tanpa berusaha
mengetahui bagaimana kabar gurunya. Tega atau ka-
rena terlalu patuh memegang pesan gurunya" Dan,
Wiku Jaladri pun seakan tidak ingin tahu bagaimana
polah-tingkah murid tunggalnya di dunia persilatan
Lalu gadis itu juga ingat tentang hubungan an-
tara dirinya sebagai murid dengan Cekel Janaloka se-
bagai guru. Selama menjadi murid Cekel Janaloka, be-
lum pernah sekali pun gadis itu terpisah dari gurunya lebih dari sehari. Kalau
memang Cekel Janaloka harus meninggalkan Perguruan Gunung Sumbing selama
berhari-hari, sudah pasti Endang Cantikawerdi diajaknya serta. Sebaliknya, jika
Endang Cantikawerdi me-
ninggalkan Gunung Sumbing, selalu gurunya mem-
bayang bayangi dari belakang Dan, ini terus berlang-
sung hingga kemudian Endang Cantikawerdi menden-
gar kabar tentang tewasnya Cekel Janaloka di Desa
Gedong Tengen. Namun, betapapun ia merasa selalu dilindungi
oleh gurunya, tetap saja ia merasa perlindungan Joko Sungsang terhadap dirinya
melebihi perlindungan yang
pernah diterimanya dari Cekel Janaloka. Barangkali
wajar jika seorang guru berusaha menyelamatkan mu-
ridnya dari ancaman pihak lawan. Tetapi, wajarkah ji-ka seorang Joko Sungsang
yang baru dikenalnya telah
menyelamatkannya dari ancaman tangan maut Empu
Wadas Gempal dan Singa Laut Utara"
Ya, dua kali aku telah diselamatkan oleh Pen-
dekar Perisai Naga itu, pikir Endang Cantikawerdi.
Dan, untuk ketiga kalinya malahan gurunya yang me-
nolongku dari ancaman Klabang Seketi yang mengeri-
kan itu. Seolah guru dan murid itu telah sepakat un-
tuk bergantian melindungiku. Lalu, kenapa kau ini selalu menjadi beban bagi
orang lain" Dan, kenapa pula Joko Sungsang seakan selalu membayang bayangi
langkah-ku"
Ada desiran halus menjalari lekuk hati gadis itu
manakala ia memikirkan kebaikan Joko Sungsang ter-
hadap dirinya. Namun, gadis itu tidak mempunyai ke-
beranian untuk bertanya kepada dirinya sendiri, ''Cin-takah ia kepadaku?"
Rasa rendah diri menghadapi anak muda yang
bergelar Pendekar Perisai Naga itu lambat-laun me-
mang bisa lenyap dari rongga dada Endang Cantika-


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

werdi. Ia sudah berhasil menghilangkan perasaan
bahwa ia datang dari golongan sesat sementara' Joko
Sungsang jelas-jelas dari golongan lurus. la tak lagi khawatir mendapatkan
julukan sebagai murid orang
sesat dari Perguruan Gunung Sumbing, la merasa pan-
tas untuk mencintai dan dicintai pendekar tersohor
macam Pendekar Perisai Naga.
' Tetapi, bagaimana dengan gadis yang bernama
Sekar Arum itu?" Pertanyaan ini yang tak bisa dihi-
langkan Endang Cantikawerdi.
Meski dalam beberapa hari terakhir ini ia mera-
sa dekat sekali dengan Joko Sungsang, tak sekelumit
pun ia berani berpikir bahwa mereka berdua kelak
akan menjadi sepasang kekasih. Bayangan Sekar
Arum selalu melintas-lintas di pelupuk mata setiap ia menikmati kebahagiaan bisa
berdekatan dengan Joko
Sungsang. Ia merasa pasti bahwa antara Sekar Arum
dan Joko Sungsang telah terjalin hubungan batin yang erat sekali.
Kecamuk dalam hati Endang Cantikawerdi tiba-
tiba terhenti. Gadis itu menajamkan pendengarannya.
Semakin jelas tertangkap oleh telinganya suara suara senjata beradu. Ada
pertarungan seru terjadi tak jauh dari tempatnya berdiri. Maka gadis itu
mengendap-endap mendekati arah datangnya suara. Sekilas-pintas gadis itu
berpikir bahwa telah terjadi perampokan. Akhir-akhir ini memang sering terjadi
perampokan di luar desa. Masih banyak anak buah tokoh hitam yang tetap
nekad menjadi perusuh sekalipun pimpinan mereka
telah tewas di tangan pendekar-pendekar dari golon-
gan lurus. Hanya saja, mereka memang tidak berani
lagi bermarkas di desa desa.
Tebakan Endang Cantikawerdi memang tidak
jauh meleset. Di sana, di bawah pohon trembesi, ten-
gah berlangsung pertarungan antara sekawanan pe-
rampok melawan seorang gadis berpakaian serba pu-
tih. Tak sulit bagi Endang Cantikawerdi untuk menge-
nali siapa gadis yang sedang dikeroyok orang-orang
kasar itu. Baru saja bayangan gadis itu lepas dari benaknya.
' Sekar Arum!" desis Endang Cantikawerdi se-
raya mencari tempat persembunyian yang lebih aman.
Tak ada keinginan Endang Cantikawerdi untuk
ikut terjun dalam kancah pertarungan itu Tak ada alasan baginya untuk mencampuri
urusan mereka. Gadis
Padepokan Karang Bolong itu terlalu perkasa bagi la-
wan lawannya. Dalam beberapa jurus, tombak pendek
di tangan gadis itu telah merobohkan dua orang la-
wannya. "Jahanam keparat!" seru lelaki berikat kepala
abu-abu seraya menusukkan goloknya ke arah dada
Sekar Arum. Akan tetapi, dengan mudah gadis itu mengelak,
dan satu patukan mata tombak membuat lelaki itu ha-
rus membuang tubuhnya ke belakang. Mata Endang
Cantikawerdi terbelalak ketika dilihatnya tendangan
gadis itu bersarang di pinggang lelaki berikat kepala abu abu itu, namun seakan
lelaki itu tak merasakan
kesakitan sama sekali.
"Ha ha ha! Pijatanmu enak juga, bocah ayu bi-
nal!" kata lelaki berikat kepala abu abu itu.
' Rupanya kau belum pernah kenal nama Ba-
jang Kerek, ya?"
' Bajang Kerek?" desis Endang Cantikawerdi.
Rasanya ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut
oleh Joko Sungsang Ah, pastilah lelaki ini yang bersa-ma Bajang Ijo mengeroyok
Joko Sungsang di kedai mi-
num itu! Serta merta darah gadis itu mendidih Kali ini
tak ada yang akan mencegahnya jika ia melabrak lelaki anak buah Klabang Seketi
itu. Maka Endang Cantikawerdi mencengkeram erat erat toya dewondarunya.
Hampir saja ia melompat keluar dari tempat persem-
bunyiannya kalau tidak terjadi sesuatu yang mencegah niatnya. Tiba-tiba saja,
entah dari mana datangnya,
berdiri Joko Sungsang di pinggir ajang pertarungan
itu. Dan, begitu melihat Joko Sungsang muncul, lelaki yang mengaku bernama
Bajang Kerek bergerak mundur. Lalu ia mengisyaratkan sesuatu kepada teman-
temannya agar segera meninggalkan tempat itu.
' Biar aku yang menghadapi anak muda itu,
Kakang!" ujar salah seorang temannya.
' Pergi kataku!" bentak Bajang Kerek seraya
mendahului teman-temannya meninggalkan Sekar
Arum. 'Tahan, Arum!" seru Joko Sungsang demi meli-
hat gadis itu hendak memburu lawan-lawannya.
' Kenapa harus membiarkan mereka pergi?" Se-
kar Arum memandang tak mengerti.
''Untuk apa" Jelas mereka takut menghadapi-
mu. " 'Mereka takut melihatmu! Seharusnya kau
jangan menampakkan diri sebelum aku merobohkan
cecurut yang kebal pukulan tadi!"
"Ia tidak kebal, Arum. Salah seorang temannya
pernah aku lukai dengan jari tanganku."
''Karena itu mereka takut melihatmu! Tetapi,
mereka tidak takut mengeroyokku! Mereka harus dibe-
ri pelajaran agar tidak berbuat seenak perut mereka!"
Endang Cantikawerdi tak tahan lagi menden-
garkan perdebatan Joko Sungsang dan Sekar Arum.
Terlebih ia tak tahan melihat tingkah Sekar Arum yang menurutnya semakin
memuakkan itu. Ingin sebenarnya ia memberi pelajaran kepada gadis itu agar mau
sedikit rendah hati. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin dilakukannya selama di
antara mereka terdapat Joko
Sungsang. Maka Endang Cantikawerdi bergegas mening-
galkan tempat persembunyiannya, la melesat ke arah
Bajang Kerek berlari. Sudah jelas baginya bahwa lelaki berikat kepala abu-abu
itulah yang pernah mencarinya. Kemarahan begitu cepat berkobar di relung hati
gadis itu. Bukan saja marah melihat Bajang Kerek, me-
lainkan Juga marah karena gagal menjumpai Joko
Sungsang. Apa yang direncanakan dari rumah urung
sebab gadis bertombak pendek itu bersama Joko
Sungsang. Padahal ia ingin sekali melihat kegembiraan di wajah Joko Sungsang
sewaktu ia bercerita tentang
kemunculan Wiku Jaladri malam itu.
' Jangan lari, Bajang Kerek!" seru Endang Can-
tikawerdi begitu terlihat sosok orang yang dikejarnya.
Masih sambil berlari, Bajang Kerek menoleh.
Namun, la segera menghentikan langkahnya begitu
melihat siapa yang memanggilnya.
"He he he! rupanya ada juga gadis cantik yang
ingin berkenalan dengan Bajang Kerek!" katanya sem-
bari mengelus cambang yang hampir menutupi seku-
jur bibirnya ' Kalau kau masih waras, dan ingatanmu masih
bisa kau pakai, akulah anak Ki Punjul Weda yang per-
nah kau cari-cari!"
"Oh, ya" Wah, wah, wah! Kenapa aku begitu
bodoh" Ya, aku memang pernah menunggumu di kedai
minum itu! Tetapi, kenapa kau suruh bocah keparat
itu yang menemuiku?"
' Jaga mulutmu, Bajang keparat! Aku tahu, tadi
kau lari terbirit-birit karena kau lihat Pendekar Perisai Naga berdiri di
belakangmu!"
"Ha-ha-ha! Jadi, kau anggap aku takut meng-
hadapi bocah ingusan itu?"
' Dasar mulut kotori" sahut Endang Cantika-
werdi sambil menerjang lelaki itu dengan sabetan
toyanya. Kaget bukan kepalang Bajang Kerek mengha-
dapi serangan yang begitu mendadak dan cepat itu.
Namun, anak buah Klabang Seketi ini masih mampu
berkelit dan bahkan mengirimkan serangan balasan.
'Trakkk!" Ujung toya dewondaru bertemu dengan golok
milik Bajang Kerek. Terbelalak mata Bajang Kerek se-
bab benturan itu menyebabkan ujung goloknya ku-
tung. Sungguh tidak masuk di akal jika toya yang
hanya terbuat dari kayu itu mampu mematahkan go-
lok yang terbuai dari per delman.
Endang Cantikawerdi tertawa dalam hati. Da-
lam gebrakan pertama tadi ia memang langsung men-
gerahkan tenaga dalam dan dipusatkan di ujung
toyanya. Dan, ia memang mengharapkan lawan me-
nangkis toyanya dengan golok.
''Masih juga kau gunakan golokmu yang buruk
itu, Bajang Kerek?" ejek gadis itu sambil mencibir.
' Jahanam keparat!" dengus Bajang Kerek.
''Jangan besar kepala kau, gadis binal! Rasakan jari-jari mautku!"
Endang Cantikawerdi tahu bahwa lawan telah
mengerahkan ajian kekebalan. Untuk itu, ia tak ingin memberikan kesempatan
kepada lawan untuk mem-banggakan ilmu kebal tubuhnya. Maka ia pun menge-
rahkan Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat Inilah ju-
rus andalan yang pernah menewaskan Bajra Luwuk
beberapa waktu yang lalu.
"Ho ho ho! Kucing kelaparan berusaha melawan
rajawali! Minggirlah Bajang Kerek! Kau tak akan mam-
pu menahan Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat!" Ti-
ba-tiba terderu suara dari kerimbunan semak semak.
Lalu, muncullah Klabang Seketi seraya mendorong tu-
buh Bajang Kerek agar menyingkir dari arena perta-
rungan. Tanpa mengulur waktu, Endang Cantikawerdi
langsung memburu Klabang Seketi dengan toyanya. la
tak ingin memberikan peluang bagi orang sesat dari
Gua Barong itu untuk mempersiapkan diri Namun be-
gitu, Klabang Seketi bukanlah Bajang Kerek yang tak
mampu memperhitungkan serangan lawan la tahu
persis bagaimana ganasnya toya di tangan gadis itu ji-ka sudah dilambari jurus
andalannya Gerakan toya itu mirip gerakan ular kobra. Sesekali meluncur mirip
anak panah Dalam pada itu, Endang Cantikawerdi bersikap
lebih hati hati. Tak mau ia tersandung untuk yang kedua kalinya. Pengalaman yang
mengerikan di pinggiran Desa Karangreja itu tak pernah lekang dari benaknya.
Bisa dibayangkan bagaimana nasibnya jika malam itu
Wiku Jaladri tidak muncul menolongnya.
Mengingat itu semua, Endang Cantikawerdi
sangat memperhitungkan gerak lengan kiri baju lawan
yang siap melilit toyanya kapan saja Ia segera memutar toyanya setiap dilihatnya
lengan baju lawan hampir
melilit toya itu Maka pertarungan berjalan semakin
sengit. Klabang Seketi yang telah mengerahkan ajian
Lintah Sayuta semakin geram sebab baik jari jari tangannya maupun lengan kiri
bajunya tak kunjung me-
nemui sasaran. Sementara Endang Cantikawerdi bertarung
sengit melawan Klabang Seketi, tak jauh dari kancah
pertarungan itu, Joko Sungsang masih juga belum
berhasil melunakkan kekerasan hati Sekar Arum. Ga-
dis itu bersikeras mengelana seorang diri sekalipun
Joko Sungsang bersedia menemani.
"Kalau ada apa-apa yang menimpamu, akulah
yang akan dipersalahkan Ki Sempani, Arum. Sejak kita bertemu beberapa tahun yang
lalu, Ki Sempani selalu
meminta ku untuk mengawasi mu...."
' Karena ilmu silatku tidak setinggi ilmu silat
gadis murid orang sesat. itu, bukan?" tukas Sekar
Arum sengit. ' Cantikawerdi maksudmu?"
Sekar Arum tidak menjawab. Ia mulai melang-
kah lagi. Namun, Joko Sungsang sigap mencegat lang-
kah gadis itu. ' Baiklah kalau memang kau membenciku ka-
rena-aku membuat musuh-musuhmu lari," kata Joko
Sungsang kemudian. ''Tetapi, sekali lagi aku ingatkan bahwa sebaiknya kau segera
pulang ke padepokan setelah kau bertemu dengan kedua orang tuamu."
' Kenapa aku harus pulang ke padepokan" Apa
kau dan Guru menganggapku belum pantas berkela-
na" Apa hanya kau yang telah menguasai Ilmu Puku-
lan Ombak Laut Selatan yang pantas berkeliaran ke
sana-sini?"
' Arum, kalaupun aku bersedia menemanimu
pulang ke desa kelahiranmu, tidak berarti aku
mengkhawatirkan mu tidak mampu menghadapi ba-
haya. Sungguh, aku ingin juga berkenalan dengan ke-
dua orang tuamu, Arum."
' Buat apa" Bukankah kau telah berkenalan
dengan orang tua gadis Gunung Sumbing itu?"
Ingin sebenarnya Joko Sungsang tertawa, tetapi
ditahannya. Sekarang barulah ia tahu kenapa Sekar
Arum bersikap senyil terhadapnya. Cemburu atau apa-
lah namanya Tetapi, yang pasti Sekar Arum tidak me-
nyukai kehadiran Endang Cantikawerdi di antara me-
reka berdua. ''Arum, tinggal semalam lagi bulan purnama
akan tiba. Cobalah kau tunda dulu kepentingamnu Se-
tidaknya, biarkan aku mengantarmu sebelum aku ha-
rus bertarung hidup dan mati dengan Klabang Seketi."
Sekar Arum menoleh begitu Joko Sungsang menyebut
nyebut nama Klabang Seketi Ia pernah mendengar ce-
rita tentang orang buntung dari Gua Barong ini. Tak
bisa diremehkan begitu saja sebab Klabang Seketi
memiliki ilmu kekebalan tubuh.
' Maksudmu, kau menantang Klabang Seketi
pada purnama nanti?" tanya gadis itu setelah untuk
sejenak merenung.
' Hanya agar dia tidak salah alamat dalam me-
lampiaskan dendam," jawab Joko Sungsang alias Pen-
dekar Perisai Naga
' Apakah kau mempunyai urusan dengan orang
sesat dari Gua Barong itu?"
' Salah seorang muridnya aku kalahkan bebe-
rapa hari yang lalu."
Sekar Arum menundukkan wajahnya. Bagai-
manapun kesalnya hati gadis itu, tetap saja ia merasa tidak tega mengecewakan
hati Joko Sungsang. Kalau


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja Joko Sungsang menang dalam pertarungan hidup
dan mati melawan Klabang Seketi nanti, memang tidak
ada masalah. Tetapi, kalau sampai ia terbunuh"
' Mati dan hidup manusia ada di tangan Gusti
Allah. Rezeki dan maut datangnya tak bisa kita ramalkan. Oleh sebab itu, jangan
sekali-sekali merasa bah-wa ilmu silat kalian tak ada yang bisa menandingi Tak
ada ilmu apa pun yang tidak tertandingi di dunia ini,"
pesan Ki Sempani terngiang kembali di telinga Sekar
Arum. "Aku akan datang purnama nanti," kata gadis
itu pada akhirnya.
' Jadi, kau tetap tidak memperbolehkan aku
mengantarmu menemui kedua orang tuamu?"
''Katakan di mana aku harus menemuimu pada
malam purnama nanti!" sahut Sekar Arum tanpa
mempedulikan pertanyaan Joko Sungsang.
"Kau bisa menemuiku di Lereng Gunung Sumb-
ing, Arum," jawab Joko Sungsang setelah menghela
napas panjang. ' Bukankah itu wilayah Perguruan Gunung
Sumbing?" ' Perguruan Gunung Sumbing tidak ada lagi
semenjak Cekel Janatoka tewas Arum."
' Masih ada ahli warisnya yang wajib memeliha-
ra kelanggengan perguruan orang sesat itu!"
"Aku hanya ingin mencari tempat yang paling
tepat untuk bertarung hidup dan mati. Jadi, tak ada
hubungannya dengan Perguruan Gunung Sumbing.
Bukankah Gunung Sumbing bukan hanya milik orang-
orang Perguruan Gunung Sumbing?"
"Ya Aku akan ke sana purnama nanti!" sahut
Sekar Arum seraya melompat pergi.
Tak ada lagi alasan bagi Joko Sungsang untuk
mencegah kepergian gadis itu seorang diri. Maka ia
terpaksa menegakkan kepergian gadis itu sambil ber-
doa dalam hati, "Semoga kau dalam lindungan-Nya, Arum.
*** Joko Sungsang melesat berlawanan dengan
arah kepergian Sekar Arum Tak ada tujuan lain kecua-
li ingin melacak kepergian Endang Cantikawerdi. Meski Kembang Desa Karangreja
itu bersembunyi sewaktu
menyaksikan pertarungan Sekar Arum melawan Ba-
jang Kerek dan kawan kawannya, sepintas kilas Joko
Sungsang melihatnya. Karena itulah ia buru-buru me-
nampakkan diri sebelum gadis itu turun ke kancah
pertarungan membantu Sekar Arum. Joko Sungsang
memaklumi betapa Sekar Arum tidak mudah meneri-
ma pertolongan dari siapa pun sebelum ia merasa ter-
desak oleh lawan. Terlebih pertolongan dari Endang
Cantikawerdi yang tak disukainya. Salah-salah mala-
han bisa timbul pertarungan segi tiga antara Sekar
Arum, Bajang Kerek dan kawan-kawannya, serta En-
dang Cantikawerdi Kalau ini sampai terjadi, jelas tidak mudah bagi Joko Sungsang
untuk mengatasinya.
Belum seratus tombak Joko Sungsang melang-
kah, telinganya telah mendengar suara tawa Klabang
Seketi. Dan, suara tawa itu jelas menandakan bahwa
orang sesat dari Gua Barong itu tengah unggul dalam
sebuah pertarungan. Maka Joko Sungsang melenting
ke sebuah dahan, mencari-cari arah suara tawa Kla-
bang Se-keti. ' Jahanam licik!" desisnya begitu melihat siapa
yang sedang dipecundangi Klabang Seketi dan Bajang
Kerek. Endang Cantikawerdi bergulingan di tanah ka-
rena desakan Klabang Seketi sementara Bajang Kerek
siap menerkam tubuh gadis itu. Untuk menghalau Ba-
jang Kerek, gadis itu memutar toya dewondarunya
Akan tetapi lengan kiri baju Klabang Seketi berhasil melilit pergelangan kaki
gadis itu. Untuk menjaga ke-seimbangan tubuhnya akibat hentakan lengan baju
itu, Endang Cantikawerdi terpaksa menghentikan pu-
taran toyanya Ketika itulah Bajang Kerek menyarang-
kan tendangan ke punggung gadis itu
' Desss!" Tendangan telak itu membuat tubuh Endang
Cantikawerdi terlempar beberapa tombak Tubuh gadis
itu terbanting ke tanah, dan sebelum ia menguasai
keadaan, secepat kilat lengan baju Klabang Seketi me-nyerobot toya dewondarunya.
Ha ha-ha! Kau lebih menawan jika tanpa me-
nyandang toya ini, Cah Ayu!" ujar Klabang Seketi se-
raya meleletkan lidah di bibir.
"Jahanam busuk! Sebelum nyawaku melayang,
aku tidak akan mengaku kalah melawan binatang-
binatang macam kalian! " sergah Endang Cantikawerdi
dengan kemarahan mendesak ubun-ubun
"Binatang" Ha ha ha! Kalau aku binatang, tak
akan timbul keinginanku untuk memondongmu, Cah
Moblong!" sahut Bajang Kerek diiringi tawa gurunya.
Lalu, dengan gerak serentak guru dan murid itu me-
langkah maju mendekati Endang Cantikawerdi yang
telah kehilangan separuh tenaganya.
' Biar ku ikat dia dengan lengan bajuku, baru
kau bisa membopongnya, Bajang goblok!" kata Klabang
Seketi sambil mengibas-ngibaskan lengan kiri bajunya.
Akan tetapi, sewaktu lengan baju Itu meluncur
ke arah pinggang gadis itu, tiba-tiba terdengar ledakan cambuk, dan lengan kiri
baju Klabang Seketi berham-buran dalam ujud serpihan-serpihan.
Terbelalak mata Klabang Seketi dan Bajang Ke-
rek memandangi siapa yang berdiri di samping Endang
Cantikawerdi. Meski mereka pernah mendengar nama
besar Pendekar Perisai Naga, baru kali Ini mereka bisa bertatap muka.
' Bukankah aku sedang berhadapan dengan
Pendekar Perisai Naga?" tanya Klabang Seketi sambil meneliti anak muda
berpakaian serba putih dan mengikat rambut di kepalanya dengan kulit ular sanca
itu. "Siapa pun boleh memberikan julukan apa saja
buatku. Tetapi, namaku Joko Sungsang!" jawab Joko
Sungsang. "He he-he, tak salah lagi! Memang sering aku
dengar bahwa Pendekar Perisai Naga lebih senang di-
panggil dengan nama pemberian orang tuanya!"
"Ki Lurah, inilah anak muda yang melukai Ba-
jang Ijo malam itu!" bisik Bajang Kerek.
"Hei! Rupanya Pendekar Perisai Naga suka juga
menyamar menjadi petani" Benar begitu, Anak Muda?"
"Akulah yang menantangmu besok purnama
naik di Lereng Gunung Sumbing."
"Ha-ha-ha! Nama besarmu sebanding dengan
kesombonganmu, Anak Muda! Tetapi, tak apalah aku
merasa mendapat kehormatan jika bisa menandingi
mu!" 'Klabang Seketi, kembalikan toya dewondaru
itu kepada pemiliknya, dan kita bertemu lagi di lereng Gunung Sumbing purnama
nanti." ' Kenapa mesti menunggu bulan purnama"
Apakah ilmu silatmu takut dengan sinar matahari?"
' Maksudmu, kita bisa tuntaskan urusan kita
sekarang juga?"
"Kau sudah mengutungkan lengan bajuku.
Tentu saja kau tidak akan membiarkanmu pergi begitu
saja, Anak Muda! Kecuali jika kau bisa menyulap len-
gan bajuku ini menjadi utuh kembali!"
' Bersiaplah, Klabang Seketi," kata Joko Sung-
sang seraya melilitkan cambuk Perisai Naga ke ping-
gang nya. ' Kenapa kau malu mempergunakan senjata-
mu" Aku bisa menggunakan toya ini untuk menandin-
gi cambuk ularmu itu, Anak muda!"
' Sudah kukatakan, kembalikan toya itu kepada
pemiliknya, Klabang Seketi!" hardik Joko Sungsang
' Baiklah! Akan lebih mulia jika aku bisa mem-
bunuh Pendekar Perisai Naga dengan tangan kosong
ku!" Berkata begini Klabang Seketi lantas mengang-
surkan toya dewondaru kepada Endang Cantikawerdi
Setelah itu, secepat kilat ia menerjang Joko Sungsang
dengan lima jari kanannya terkembang.
Angin panas yang keluar dari kelima jari tangan
itu menyadarkan Joko Sungsang bahwa tokoh hitam
dan Gua Barong itu telah menerapkan ajian Lintah
Sayuta yang diandalkannya. Maka Joko Sungsang pun
tidak berani gegabah menyepelekan serangan lawan.
Ia bergerak merunduk sambil menjulurkan tin-
junya ke perut Klabang Seketi.
' Wuuut! Wusss!"
Kedua serangan itu sama-sama mengenai tem-
pat kosong. Kemudian kembali Klabang Seketi mener-
jang. Kali ini ia menggeram disertai tendangan kaki ke arah pelipis Joko
Sungsang. Dengan gesit Joko
Sungsang memiringkan tubuhnya ke kiri. Namun, se-
cepat kilat tangan kanan Klabang Seketi menjulur ke
arah paha kanannya. Angin panas terasa menyengat
kulit ketika lima jari maut Itu setengah jengkal melewati paha kanannya. Joko
Sungsang bisa membayang-
kan akibatnya jika kelima jari tangan lawan berhasil mencengkeram pahanya. Dalam
beberapa tarikan napas, sejuta lintah seolah menyerbu tubuh yang ter-
cengkeram kelima jari tokoh hitam dari Gua Barong
itu. Maka sejuta lintah itu akan menguras habis darah yang terkandung dalam
tubuh mangsanya.
Melihat pertarungan kedua tokoh sakti dari
rimba persilatan itu, Bajang Kerek hampir-hampir tak sempat mengerdipkan mata.
Dalam mimpi pun belum
pernah ia menyaksikan pertarungan seseru itu. Dan,
semakin lama tubuh kedua pendekar berlawanan ali-
ran itu semakin tak nampak ujudnya. Yang nampak
tinggal bayangan berwarna putih bersih dan bayangan
berwarna kelabu saling menyambar.
Tak jauh dari tempat Bajang Kerek terlongong-
longong, Endang Cantikawerdi pun merasa kagum
menyaksikan pertarungan kedua tokoh rimba persila-
tan itu. Hanya saja, ia masih bisa mengikuti gerak tangan dan kaki Joko Sungsang
maupun Klabang Seketi.
Dari itu, diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dalam
beberapa hari terakhir ini ia sempat memperdalam il-
mu silatnya di bawah bimbingan Pendekar Perisai Na-
ga. Malahan ia sudah memulai mempelajari jurus ju-
rus dari Padepokan Jurang Jero Dan, kalau saja ma-
lam itu tidak muncul Bajang Ijo dan Bajang Kerek di
kedai minum itu, tentulah mereka berdua hingga seka-
rang masih berkutat dengan latihan-latihan yang ke-
tat. "Dukkk!"
Tumit kaki kiri Joko Sungsang bersarang di pe-
rut Klabang Seketi. Akan tetapi, penguasa Gua Barong itu bukannya mengaduh,
melainkan malah tertawa geli
mirip orang digelitik.
Menyadari bahwa lawan telah mengerahkan il-
mu kebalnya, Joko Sungsang melompat mundur bebe-
rapa tombak dan mempersiapkan ilmu andalan Pade-
pokan Karang Bolong. Hanya dengan Ilmu Pukulan
Ombak Laut Selatan maka ia akan mampu menembus
benteng lawan. Melihat gerak tangan dan kaki Joko Sungsang
yang aneh itu, Klabang Seketi semakin mawas diri. Ia memang pernah mendengar
kebesaran nama Pendekar
Perisai Naga, tetapi ia tak pernah tahu jurus andalan macam apa yang bakal
dilancarkan anak muda itu
tanpa cambuk di tangannya. Maka Klabang Seketi ba-
ru menyadari bahwa lengan kiri bajunya tak bisa lagi membantunya sewaktu ia
ingin merangkapi ajian Lintah Sayutanya dengan lengan baju itu. Untuk itu, ia
terpaksa menggunakan ikat kepalanya sebagai ganti
lengan kiri bajunya yang telah hancur tercabik cabik ujung cambuk.
Berkenit dahi Endang Cantikawerdi melihat to-
koh hitam dari Gua Barong itu mengikatkan ikat kepa-
lanya ke pergelangan tangan kanannya. Begitu tangkas gerakan itu meskipun hanya
dilakukan dengan gigi.
Gadis itu semakin jeli mengamati gerak tangan kanan
Klabang Seketi. Juntaian ikat kepala itu ternyata selalu menyusul gerakan jari
jari tangan yang gagal me-
nemui sasaran. ' Srettt!"
"Awas, Joko!" teriak Endang Cantikawerdi tak
bisa ditahan ketika terlihat olehnya ikat kepala itu berhasil membelit
pergelangan tangan kiri Joko Sungsang. Joko Sungsang harus memutar tubuhnya di
udara untuk bisa melepaskan lilitan ikat kepala di pergelangan tangannya. Dan.
ketika kakinya kembali
menginjak tanah, di telapak tangan kanan anak muda
itu telah tergenggam gagang cambuk yang terbuat dari batu hitam. Sementara itu,
bola berduri berwarna hijau-kebiru biruan tergenggam di telapak tangan yang
lain. Melihat lawan telah bersiap-siap dengan cam-
buk andalannya, Klabang Seketi berpikir dua kali un-
tuk kembali menerjang. Ia mulai membayangkan, apa
jadinya jika bola berduri di ujung cambuk itu nanti
menyambar kepala atau anggota tubuhnya yang lain.
Kalau nyatanya jalinan benang saja bisa tercabik, bagaimana nasib daging tubuh
yang sempat tersambar
benda aneh itu"
"Ha-ha-ha! Rupanya kau tak tahan juga meng-
hadapiku hanya dengan tangan kosong, Pendekar
sombong!" gertak Klabang Seketi berusaha mengecil-
kan tekad juang lawan. Kemudian ia membuka telapak
tangannya, menarik hingga dada, dan mendorongnya
kuat-kuat ke depan.
' Wusss!" Angin panas begitu dahsyat menyambar dada
Joko Sungsang. Namun, gerak telapak tangan Klabang
Seketi ini begitu cepat terbaca olehnya la pastikan
bahwa tokoh hitam berlengan tunggal itu hanya akan
melawannya dari jarak jauh. Oleh sebab itu, begitu
nampak gerak telapak tangan lawan, Joko Sungsang
membuang tubuhnya ke samping sembari melecutkan
cambuk kulit ularnya. Bola berduri yang mirip buah
kecubung itu menyambar pergelangan tangan Klabang
Seketi. 'Brettt!"


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Klabang Seketi berhasil membebaskan perge-
langan tangannya dari sambaran ujung cambuk Joko
Sungsang, tetapi ikat kepala yang terjuntai di pergelangan tangan itu masih
terburu. Kembali Klabang Se-
keti harus melihat senjata serepnya tercabik-cabik.
' Setan, gendruwo, demit, kuntilanak, sundel
bolong!" sumpah serapah tokoh hitam dari Gua Barong
itu berloncatan dari mulutnya.
' Mungkin celana pangsimu bisa kau perguna-
kan sebagai ganti ikat kepalamu, Klabang Seketi?" ejek Joko Sungsang membuat
Endang Cantikawerdi tertawa mengikik.
' Bocah sombong! Kerahkan semua jurus cam-
buk-mu, dan kau akan tahu dengan siapa kau berha-
dapan!" ujar Klabang Seketi dengan muka memerah.
Lalu, dalam beberapa helaan napas, warna merah di
wajah orang tua buntung itu menjalar ke leher, lengan, dan akhirnya menyatu
dengan warna merah di telapak
tangan. Inilah aji pamungkas yang hanya bisa keluar
jika pemiliknya dilanda rasa putus asa.
"Ajian Klabang Dahana" desis Joko Sungsang
dalam hati Maka ia ingat penuturan Ki Sempani ten-
tang ajian ini. Jangan lagi tubuh manusia sampai tersentuh, sedangkan pohon pun
bila tersentuh seketika
bisa hangus. Dan, jika ajian ini dibarengi dengan ajian Lintah Sayuta, maka
jadilah arang pohon itu.
Joko Sungsang yang semula hendak memper-
gunakan Jurus Naga Melilit Gunung, terpaksa mengu-
rungkannya. Celaka jika sampai cambuk kulit ularnya
berubah menjadi arang Karena itu ia harus mengha-
dapi ajian Klabang Dahana itu dengan jurus gabungan
antara Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan dengan Ju-
rus Mematuk Elang dalam Mega la merasa pasti bahwa
bola berduri yang terbuat dari batu cincin itu tak akan hangus oleh sengatan
Klabang Dahana.
Dan, sewaktu Klabang Seketi menerjang maju
dengan cakaran jari jari tangannya, Joko Sungsang
menyongsongnya dengan Jurus Mematuk Elang dalam
Mega. Bola berduri berwarna hijau kebiru biruan itu
bagai kilat menyambar telapak tangan Klabang Seketi.
Akibat benturan batu cincin melawan telapak tangan
itu sungguh mengejutkan Endang Cantikawerdi dan
Bajang Kerek. Ada percikan api berwarna biru muda
menyilaukan mata keduanya.
Klabang Seketi menarik mundur telapak tangan
nya. Sengatan bola berduri itu serasa membelah tela-
pak tangannya ia membuang telapak tangannya ke be-
lakang berbarengan dengan tendangan kaki kirinya
mengarah ke lengan Joko Sungsang yang terjulur
''Desss'" Benturan punggung telapak kaki dan lengan
kanan itu tak bisa dielakkan Dua ajian yang melamban kedua anggota tubuh itu
beradu Cambuk di tangan
Joko Sungsang terlepas sebab telapak tangan yang
menggenggamnya seketika kejang. Akan tetapi, secepat kilat tangan kiri Joko
Sungsang menyambar gagang
cambuk itu kembali Dan, secepat kilat pula tangan kiri Joko Sungsang melecutkan
cambuk itu. 'Tasss!" Kini bola berduri di ujung cambuk itu mematuk
bahu kanan Klabang Seketi. Tubuh tokoh hitam ber-
lengan tunggal itu terhuyung-huyung Dan, sebelum
tubuh Itu tersangga kuda-kuda kembali, tumit Joko
Sungsang melabrak dada yang tak lagi terlindungi itu.
Tangan kanan Klabang Seketi memang tak bisa lagi
melindungi dada sebab sengatan bola berduri di bahu
kanan itu membuat sekujur tangan itu lumpuh
' Desss! Huuukkk!"
Kini tubuh Klabang Seketi terpelanting ke bela-
kang dan membentur pokok pohon tanjung Seketika
itu juga pohon itu hangus tersentuh ajian Klabang Dahana yang masih tersisa.
Melihat lawan tak bergerak lagi, Joko Sungsang
mencengkeram lengan kanannya, tubuhnya pelahan
turun, dan akhirnya ia terduduk dengan berlandaskan
kedua tulang keringnya.
Terlonjak Cantikawerdi dari tempatnya duduk,
dan dengan sekali lompat ia berhasil menahan tubuh
Joko Sungsang agar tidak roboh.
"Kau masih tahan, Joko?" tanya gadis itu ce-
mas. "Tak apa apa. Aku hanya sedikit lemas Sentu-
han kaki jahanam itu seolah menyedot separuh darah
yang ada di tubuhku "
' Lintah Sayuta !" Berdesah Endang Cantika-
werdi. Lalu gadis itu menoleh ke arah Klabang Seketi.
Tubuh orang tua itu tak lagi merah. Kini justru memu-
cat seputih telapak kaki.
'Tak kau kejar Bajang Kerek?" tanya Joko
Sungsang. "Ah! Kenapa aku lupa melihat-lihat cecurut
itu?" Endang Cantikawerdi mengedarkan pandang ma-
tanya, tetapi tak dilihatnya bayangan orang yang dicarinya.
' Biarlah ia tetap hidup. Mudah-mudahan ia sa-
dar untuk kembali menjadi orang baik-baik," kata Joko Sungsang sebelum bersila
dan berniat memusatkan
hawa murni untuk melawan cedera di lengan kanan-
nya. "Jangan kau lawan dengan hawa murnimu, Jo-ko. " Suara ini begitu lirih,
tetapi bagai petir bagi telinga Joko Sungsang. Suara yang selama ini sangat
dike- nalnya. Suara yang selalu bernada sabar dan pasrah.
"Guru. ..!" seru Joko Sungsang seraya berlutut
di depan kaki Wiku Jaladri.
"Bangunlah. Gadis ini bisa menolong menyem-
buhkan lengan kananmu," kata Wiku Jaladri sambil menunjuk Endang Cantikawerdi
"Saya, Kiai?" Endang Cantikawerdi menganga-
kan mulutnya. "Pasir kepundan Gunung Sumbing itu bisa me-
nyedot getah lintah yang menempel di lengan Joko
Sungsang," jelas Wiku Jaladri.
Endang Cantikawerdi memandang Joko Sung-
sang. Gadis itu seolah tidak percaya pada apa yang dikatakan guru Joko Sungsang
itu. "Kau bawa pasir itu?" tanya Joko Sungsang
dengan pandang mata penuh harap.
Endang Cantikawerdi mengangguk seraya men-
gambil kantong yang selalu disembunyikan di balik
kain lereng yang membalut pinggulnya. Kemudian dis-
erahkannya kantong kain berisi pasir beracun itu ke-
pada Wiku Jaladri.
' Hanya telapak tanganmu yang tahan terhadap
racun pasir ini, bukan?" Wiku Jaladri membuka kan-
tong dan menyodorkan kepada Endang Cantikawerdi.
"Balurkan ke lengan Joko Kerahkan tenaga dalam yang pernah kau pelajari dari
gurumu." Endang Cantikawerdi dengan cekatan menja-
lankan perintah orang tua yang lebih mirip mayat hi-
dup itu. Dalam pada itu, Joko Sungsang sedikit demi
sedikit mulai merasakan pulihnya tenaga pada lengan-
nya. Dimulai dari ujung jari-jari tangannya, kemudian naik ke pergelangan
tangan, dan akhirnya menjalar
hingga bahu. ' Cukup," kata Joko Sungsang.
' Tunggu!" seru Wiku Jaladri. ''Sekarang saat
mengerahkan hawa murni dalam tubuhmu."
Joko Sungsang kembali bersila, memejamkan
mata, dan mulailah mengatur pernapasan. Setelah
hawa murni berkumpul dalam rongga dadanya, ia me-
nyebarkannya ke bahu kanan dan kiri. Endang Canti-
kawerdi terlonjak sebab tiba-tiba ada hawa dingin me-nolak telapak tangannya
yang masih menempel di len-
gan anak muda itu.
' Cukup," kata Wiku Jaladri.
Endang Cantikawerdi dan Joko Sungsang ber-
samaan menarik napas lega. Lalu keduanya meman-
dang Wiku Jaladri sambil menunggu perintah orang-
tua itu selanjutnya.
Akan tetapi, Wiku Jaladri hanya berkata,
''Orang-orang sesat semakin menjamur. Kalian yang
masih muda harus memanfaatkan tenaga muda kalian
untuk berlatih sekeras mungkin."
Dengan wajah tertunduk, Joko Sungsang dan
Endang Cantikawerdi menunggu kelanjutan nasihat
itu. Akan tetapi, lama sekali Wiku Jaladri tetap ter-diam. Sewaktu mereka berdua
mendongak, mereka
hanya melihat segumpal awan yang tadi terhalang tu-
buh orang tua serba putih itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Avicke
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Sumpah Palapa 28 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Pedang Ular Emas 1
^