Pencarian

Pusaka Bukit Cangak 2

Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak Bagian 2


akan sedungu Kebo Dungkul, bukan?" ejek Ki Langendriya sambil mengamati gerak
kaki dan tombak gadis
itu. ''Majulah, dan kau akan terjerumus ke pintu
neraka!" pancing Sekar Arum agar lawan menyerangnya.
Ki Demang Majamulya ini tahu pasti tingkatan
ilmu silat Kebo Dungkul. Dan, ia merasa bahwa ilmu
silatnya berada beberapa tingkat di atas ilmu silat
anak buah Hantu Lereng Lawu itu. Namun begitu, ia
tidak berani gegabah menghadapi Jurus Memancing
Mangsa Keluar Sarang yang bakal dilancarkan lawan.
Oleh sebab itu, ia pun sigap menerapkan Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih untuk
menyongsong aji
pamungkas gadis itu.
Kedua aji pamungkas telah siap diadu. Lima
orang anak buah Ki Demang Majamulya menahan napas. Mereka bukan hanya sekali
pernah melihat kedahsyatan aji pamungkas yang dilancarkan Ki Langendriya. Mereka
mulai membayangkan bagaimana tangan atau kaki gadis berpakaian serba putih itu
hancur lebur oleh genggaman telapak tangan Ki Demang Majamulya. Betapa mengecewakan
jika gadis secantik itu
harus kehilangan salah satu kaki atau tangannya!
Tak jauh dari tempat kelima lelaki itu berdiri
menahan napas, Gagar Mayang pun sibuk menaksirnaksir akibat dari bentrokan kedua
ajian pamungkas
itu nantinya. Kemungkinan besar tombak pendek gadis
itu berhasil bersarang di tubuh Ki Langendriya. Akan
tetapi, bukan tidak mungkin telapak tangan Ki Langendriya pun berhasil menyambar
tangan ataupun kaki gadis itu. Betapa tidak! Jika gadis itu berhasil
menghunjamkan tombak pendeknya, berarti telapak
tangan Ki Langendriya pun akan mampu menggapai
tangan yang memegang tombak pendek itu. Artinya,
gadis itu harus kehilangan sebelah tangannya kendatipun ia mampu membunuh
lawannya. "Ini tidak boleh terjadi!" kata hati Gagar
Mayang. Ia merasa harus menolong Sekar Arum dari
ancaman Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih. Ia
tidak ingin melihat gadis murid Ki Sempati itu kehilangan sebelah tangannya. la
memaklumi bahwa gadis
bertombak pendek itu masih terlalu hijau untuk malang-melintang di rimba
persilatan. Yang pasti, ia tahu
bahwa gadis itu bukan orang sesat yang pantas dicelakakan.
Mengingat semuanya itu, Gagar Mayang secepatnya menarik seruling bambu
wulungnya, dan ditiupnya seruling itu. Maka terdengarlah alunan tembang Megatruh
mewarnai ketegangan yang ada.
"Gagar Mayang...?" desis Ki Langendriya sembari menoleh ke arah datangnya suara
seruling. Sepasang telapak tangan yang semula telah siap membentengi tubuhnya,
tiba-tiba merosot turun. Getar asmara
yang tiba-tiba menyelinap di lekuk hati lelaki itu membuyarkan Jurus Dewa
Menggenggam Buih.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sekar
Arum. Begitu melihat lawan lengah, ia menggenjotkan
kakinya ke tanah, dan melentinglah tubuhnya yang
mungil itu ke udara. Setelah sekali berjumpalitan di
udara, tubuh itu pun meluncur deras dengan tombak
terjulur lurus ke punggung Ki Langendriya.
''Desss!" Tubuh Ki Langendriya terpental maju beberapa
langkah. Bukan oleh dorongan tombak Sekar Arum,
melainkan oleh tendangan kaki Gagar Mayang. Gadis
murid Eyang Kuranda Geni ini tidak tega melihat Ki
Demang Majamulya harus mati tanpa perlawanan. Ini
jelas tidak adil!
''Perempuan keparat! Sejak tadi aku sudah
mengira bahwa kau bersekongkol dengan kambing
bandot itu!" sungut Sekar Arum sambil bersiap-siap
menghadapi Gagar Mayang.
''Terserahlah anggapanmu. Yang jelas, aku tidak ingin melihat pendekar beraliran
lurus macam kau
berlaku kejam, membunuh lawan yang tidak berdaya!"
sahut Gagar Mayang.
"Tak perlu banyak alasan! Sekarang, kaulah
musuhku, iblis betina!" sahut Sekar Arum seraya menerjang Gagar Mayang dengan
kombinasi tusukan
tombak dan tendangan kaki kanannya.
Gagar Mayang yang sudah menduga bakal
mendapat serangan, dengan tenang memiringkan tubuhnya ke kanan dan secepat kilat
menyabetkan seruling bambu wulungnya ke kaki Sekar Arum yang
mengancam lututnya.
''Tasss!" Tak sempat lagi Sekar Arum menarik kaki kanannya untuk menghindari sabetan
seruling itu. la
hanya sempat membuang tubuhnya mengikuti arah
sabetan senjata lawan agar tidak terlampau telak seruling itu membentur
betisnya. "Tak perlu kau bergulingan di tanah! Aku sengaja tidak melambari serulingku
dengan tenaga dalam!" kata Gagar Mayang.
Merah wajah Sekar Arum dibuatnya. Kali ini ia
bukannya marah, melainkan malu atas kebebelannya
sendiri. Untuk kesekian kalinya gadis berpakaian serba jingga itu menunjukkan
sikap bersahabat. Tak ada
sama sekali sikap bermusuhan muncul di lekuk hati
gadis dari Bukit Cangak ini.
"Ya, kalau saja gadis ini menganggapku sebagai
musuh, sudah pasti sabetan serulingnya tadi akan
mematahkan tulang keringku," kata hati Sekar Arum
sebelum memutuskan untuk pergi meninggalkan ajang
pertarungan. Melihat gadis itu melesat pergi, Ki Langendriya
melompat hendak mengejar, tetapi sekali lagi Gagar
Mayang berhasil membendung niat jahat lelaki ini.
Dengan sekali lompat, Gagar Mayang telah menghadang langkah Ki Demang Majamulya.
"Aku juga tidak ingin melihatmu berbuat sewenang-wenang, Ki Demang!" seru Gagar
Mayang sebelum telapak kakinya kembali menyentuh tanah.
*** 3 Sepuluh tahun yang lalu, ketika untuk pertama
kalinya Ki Langendriya menginjakkan kakinya di Bukit
Cangak, Gagar Mayang belum lagi berusia sepuluh tahun. Gadis kecil itu lebih
suka berlari-lari mengejar
belalang ketimbang belajar ilmu silat, Ki Langendriya
sendiri sangat menyesali sikap Gagar Mayang yang kecil yang seolah-olah tak
peduli pada apa yang diajarkan Eyang Kuranda Geni kepada murid-muridnya.
Kalaupun ada kelebihan pada diri Gagar
Mayang, yakni kepandaiannya meniup seruling. Eyang
Kuranda Geni sendiri heran memikirkan keanehan gadis kecil ini. Bukankah aneh
jika ada gadis kecil yang
lebih menyukai seruling ketimbang boneka kayu"
Tak ada hari yang dilewatkan Gagar Mayang
kecil tanpa tiupan serulingnya. Dan, selalu setiap harinya ia menyenandungkan
tembang Megatruh. Ki
Langendriya yang sebelumnya tak pernah mempedulikan tembang tersebut, akhirnya
bisa mendendangkannya.
Bukan tidak beralasan jika Gagar Mayang teramat menyukai serulingnya. Baginya,
seruling itulah
pengganti teman bermainnya sehari-hari Satu-satunya
teman bermain telah meninggalkannya untuk selamalamanya. Bocah gembala yang
bernama Nimpuna,
yang mati terpatuk ular gadung, menghadiahkan seruling bambu wulung itu kepada
Gagar Mayang. Sehari setelah rela kehilangan seruling, bocah gembala itu
pun harus rela kehilangan nyawanya.
''Kalau saja kau tidak mendendangkan tembang
Megatruh, tidak akan aku mengenalimu lagi, Mayang,"
kata Ki Langendriya setelah tersadar dari lamunannya.
"Tak ada yang berubah pada diriku, Ki Demang," kata Gagar Mayang.
''Bagaimana tidak" Dulu kau tak pernah peduli
pada olah kanuragan. Tetapi, sekarang kau pendekar
pilih tanding! Apa jadinya jika tadi kau tidak menendang ku sewaktu gadis itu
menerjang ku dengan aji
pamungkasnya!"
''Tanpa suara seruling ku, kau pun tidak akan
lengah, Ki Demang."
''Mayang, tak perlu kau memanggilku 'Ki Demang'. Panggil aku 'Kakang' sebab aku
saudara tuamu dalam perguruan," sahut Ki Langendriya.
"Kau masih merasa sebagai murid Eyang Ku-
randa Geni, Ki Demang?" kata Gagar Mayang sinis.
''Kenapa tidak, Mayang" Melihat kecantikanmu
sekarang ini, malahan aku merasa sedang berada di
Bukit Cangak! Kau dengan seruling itu membuatku
terlempar ke masa lalu. Lima tahun lebih aku tak menengok Bukit Cangak. Lima
tahun yang lalu, sewaktu
aku meninggalkan Bukit Cangak, kau memang belum
secantik sekarang ini, Mayang. Kau juga belum tertarik
untuk berlatih silat sekalipun hampir setiap hari, selama lima tahun, kau selalu
melihatku jungkir-balik
digembleng Eyang Kuranda Geni. Tetapi, malam ini,
tanpa sasmita yang aku terima dalam mimpi, aku melihatmu telah menyandang
kecantikan serta ketangkasanmu memainkan seruling itu. Bukan hanya pandai
meniup, tapi kau juga pandai menjadikannya senjata.
Bisa dibayangkan nasib betis gadis liar itu jika tadi
kau sungguh-sungguh mempergunakan serulingmu
sebagai senjata andalan...!"
"Ya!" tukas Gagar Mayang tawar. ''Sayangnya,
aku bukan Ki Demang yang selalu punya pikiran mencelakakan orang yang tidak
berdosa!" Kaget bukan kepalang Ki Langendriya mendengar ucapan adik seperguruannya ini.
"Tak perlu lagi Ki Demang menutup-nutupi siapa diri Ki Demang yang sebenarnya,"
lanjut Gagar Mayang. ''Mayang, aku benar-benar tidak mengerti apa
yang kau bicarakan ini."
"Dan, kedatanganku di Desa Majamulya ini,
bukan atas kehendakku. Bukan karena aku kangen
bertemu dengan saudara seperguruan. Bukan! Aku datang dengan membawa purba
wasesa dari Eyang Kuranda Geni, Ki Demang," sahut Gagar Mayang tanpa
mempedulikan kekagetan Ki Langendriya.
''Jangan membuatku bingung, Mayang. Kalau
memang aku dianggap salah sebab belum pernah menengok Guru selama ini, aku akan
tebus kesalahanku
tadi secepatnya. Tetapi, jangan paksa aku pergi sekarang ini. Kau melihat
sendiri bagaimana keadaan Desa
Majamulya dalam beberapa hari ini. Esok malam aku
harus menerima tamu agung dari Kadipaten Banyuasin, Mayang."
"Itu bukan urusan Eyang Kuranda Geni. Juga
bukan urusanku, Ki Demang. Aku datang bukan untuk menjemputmu, apalagi memaksamu
pergi ke Bukit Cangak. Aku datang untuk mengambil Ki Sumping Sedapur yang telah kau curi!"
Merah-padam wajah Ki Demang Majamulya
mendengar ucapan Gagar Mayang kali ini. Ia memang
mengaku telah mencuri keris luk tujuh milik Eyang
Kuranda Geni itu. Tetapi, semudah itukah Gagar
Mayang hendak mengambilnya"
''Gagar Mayang!" sentak Ki Langendriya sambil
menggebrak meja. ''Rupanya kau tak beda dengan gadis liar yang tinggi hati itu!
Kau adik seperguruanku,
tetapi sikapmu terhadapku seperti guru yang hendak
menghukum murid-muridnya yang durhaka! Aku ingatkan kau, Mayang. Semasih aku
bisa memaafkan kelancanganmu, hargailah maksud baikku menyenangkanmu! Jangan
paksa aku harus berbuat kejam terhadap saudara seperguruanku!"
Gagar Mayang tersenyum tipis. Bibirnya yang
indah itu semakin nampak mempesona. Meski gadis
ini dibesarkan di sebuah bukit, tak berarti ia merasa
bodohkan perawatan tubuh dan wajahnya. Dengan
ramuan dedaunan yang tumbuh di Lereng Bukit Cangak, ia selalu melulur kulitnya
agar niscaya nampak
mulus. Kulitnya yang kuning langsat disadarinya se-
bagai daya tarik bagi lawan jenisnya. Matanya yang
bulat dan jernih itu selalu dijaganya agar tak terlalu
lama terbakar matahari. Dan, keinginan belajar ilmu
silat putih sesungguhnya berangkat dari keinginan untuk menyempurnakan bentuk
tubuhnya yang menggiurkan. Bukit dadanya yang menonjol menjadi semakin
kencang sebab ia selalu berusaha sesering mungkin
naik-turun bukit. Kebiasaan naik-turun bukit ini pula
yang semakin memperindah bentuk betisnya. Betis
bunting padi!. "Apa dengan senyummu itu berarti kau menerima tawaran kebaikanku, Mayang?" tanya
Ki Langendriya melihat senyum manis di bibir gadis itu. Lalu,
demang mata keranjang ini pun tak bosan-bosannya
menelan air liur yang dirasakannya semakin encer.
"Ki Demang...."
'Tidakkah kau bisa memanggilku 'Kakang',
Mega-truh?" tukas Ki Langendriya sengaja mengingatkan nama julukan Gagar Mayang.
Tentu saja dengan harapan gadis itu akan teringat keakraban mereka
berdua masih sama-sama menghuni Bukit Cangak.
"Dulu, aku malah memanggilmu 'Paman', bukan?" jawab Gagar Mayang.
"Ya, tetapi waktu itu kau masih pantas menjadi
kemenakanku!"
Gagar Mayang mencibirkan bibirnya. Ki Langendriya semakin tergoda oleh bentuk
bibir itu. Lima
tahun yang lalu, sebelum ia meninggalkan Bukit Cangak, ia merasa kasmaran
melihat gadis ini. Hampir saja ia mengurungkan niatnya pergi dari Bukit Cangak
kala saja hatinya tidak tergoda melihat keris luk tujuh
yang dihuni oleh Ki Sumping Sedapur. Melihat keris
itu, selalu terngiang kembali kata-kata Eyang Kuranda
Geni, ''Keris ini sengaja aku sembunyikan di Bukit
Cangak sini. Tak sedikit orang-orang dari golongan hitam yang menginginkannya.
Padahal mereka tidak tahu faedah dari keris ini. Mereka hanya pernah mendengar
cerita bahwa mendiang Ki Sumping Sedapur
adalah senopati pilih tanding pada Zaman Majapahit.
Mereka hanya berharap bahwa dengan memiliki keris
ini maka mereka akan mewarisi ilmu kasekten yang
dimiliki Ki Sumping Sedapur pada masa hidupnya. "
"Ki Demang," kata Gagar Mayang memenggal
lamunan Ki Langendriya.
''Katakanlah apa yang bisa kau lakukan untuk
membahagiakanmu, Mayang," kata Ki Langendriya
sambil merasakan debar jantungnya yang semakin


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengguncang dada. Baru saja, tanpa disengaja mata
dua demang itu menangkap bukit kembar yang menjulang dalam balutan warna jingga
itu. Sebelum gadis itu
berumur lima belas tahun, bukit itu memang sudah
mulai nampak subur. Kalau saja ia tak ingat bahwa
gadis ini cucu angkat Eyang Kuranda Geni, sudah sejak lima tahun yang lalu Ki
Langendriya ingin mengelus bukit dada itu.
''Sebelum Ki Demang berniat membahagiakanku, bukankah lebih baik Ki Demang lebih
dulu membalas kebaikan hati Eyang Kuranda Geni?" kata Gagar
Mayang setelah melipat lututnya untuk menutupi tonjolan kembar di dadanya. Gadis
ini sepenuhnya sadar
bahwa kebanyakan lelaki selalu terbeliak melihat bukit
dada yang subur dan kenyal.
"Itu juga sudah aku pikirkan, Megatruh. Tetapi,
bukankah yang sedang aku hadapi sekarang adik se
perguruanku?"
''Apakah berarti Ki Demang pernah berpikir untuk mengembalikan Ki Sumping
Sedapur?" "Megatruh, lupakanlah keris yang tak berguna
itu. Janganlah pertemuan ini kita rusak dengan pembicaraan yang mewakili
kepentingan Guru...."
"Ki Demang, ketahuilah bahwa Ki Demang tak
lagi berhak menyebut Eyang Kuranda Geni sebagai
guru semenjak Ki Sumping Sedapur lenyap dari kamar
semadi Padepokan Bukit Cangak! Dan, aku tidak akan
berpanjang-lebar membujuk Ki Demang agar mengembalikan keris itu. Aku masih
menghormati pangkat
demang di desa ini. Aku masih memberikan kesempatan bagi Ki Demang untuk bertemu
dengan Adipati Sorengdriya. Tetapi, jangan coba-coba Ki Demang memindahkan Ki
Sumping Sedapur dari kademangan ini
sebelum aku datang ke sini lagi!"
"Gagar Mayang! Sudah aku ingatkan agar kau
mau melupakan keris itu! Ingatlah bahwa aku saudara
tuamu, Megatruh! Bagaimanapun juga, kau tidak akan
bisa berbuat kasar kepadaku!"
Gagar Mayang tak lagi mempedulikan ucapan
Ki Langendriya. Ia bangkit dari duduknya, dan dalam
sekejap mata tubuh gadis itu lenyap dari pandangan
mata Ki Demang Majamulya.
"Dasar bocah gunung! Tidak pernah kenal kenikmatan dunia! Diajak mulia malahan
memilih sengsara! Kita lihat saja siapa yang berhak memiliki keris
luk tujuh itu!" omel Ki Langendriya sambil menggarukgaruk dagunya.
*** Kematian Jata Gimbal membuat Desa Kuwung
sunyi senyap baik siang maupun malam. Penduduk
desa yang biasa berduyun-duyun ke sawah bila mata
hari terbit, kini mereka memilih tinggal di rumah. Ka-
laupun harus mati di tangan Ki Demang Majamulya,
biarlah mati di dalam rumah.
Ada juga penduduk desa yang memilih pergi
meninggalkan desa kelahiran mereka ini. Meski mereka tidak tahu hendak pergi ke
mana, setidaknya mereka tahu bahwa umurnya akan bertambah panjang dalam
pelarian. Malahan ada juga yang memilih mati dimangsa binatang buas di tengah
hutan ketimbang mati di tangan Ki Langendriya.
Ketakutan, keputusasaan, kengerian, dan semacamnya menghantui dada setiap orang
yang menghuni Desa Kuwung. Kalaupun ada penduduk desa itu
yang tidak disergap rasa takut, hanyalah Perdapa. Pemuda desa ini justru
dijalari penyesalan yang tak berkeputusan.
''Kenapa" Kenapa aku terburu nafsu memamerkan ilmu silatku yang baru sekuku
Ireng" Kenapa
aku tidak memperdalam lebih dulu ilmu silat yang diajarkan Kiai Sampur Beludru?"
kalimat-kalimat ini
berlompatan dari mulut Perdapa dalam kesendiriannya.
Pengalamannya berhadapan dengan Jata Gimbal selalu melekat dalam benak. Maka
bayangan gadis berpakaian serba putih yang telah menyelamatkannya
pun muncul di pelupuk mata.
''Kalau saja ilmu silatku setingkat dengan gadis
itu," kata hati Perdapa. Kemudian ia meneruskan
langkahnya menjauhi Desa Kuwung. la berharap, dalam pengembaraannya nanti bisa
bertemu lagi dengan
gadis bertombak pendek itu. Siapa namanya" Sekar
Arum! Hm, nama yang indah. Nama yang tidak bisa
dipisahkan dengan kecantikan si pemilik nama.
Maka, secara tidak sadar Perdapa membandingkan kecantikan Sekar Arum dengan
kecantikan Sunti, gadis pujaan hatinya. Memang lebih cantik Sekar Arum, pikirnya. Tetapi,
untuk apa merindukan bulan jika menggapai pun tak mampu" Lagi pula, bukankan aku
bisa berkenalan dengan Sekar Arum karena
aku memikirkan Sunti!
''Sunti, percayalah bahwa aku akan bisa membebaskanmu dari mulut tapir itu,"
bisik batin Perdapa.
Dan, serta-merta pemuda desa itu menghentikan langkahnya. la melihat sebuah
kedai minum. Sudah hampir setengah hari ia tak membasahi kerongkongannya dengan
air. Lapar masih bisa ditahan. Tetapi, rasa haus begitu menyiksa.
Perdapa mengambil tempat duduk di luar kedai
sebab di dalam kedai tengah terjadi adegan yang memuakkannya, Tiga orang lelaki
kasar sedang berlomba
merayu anak gadis pemilik kedai itu. Bahkan mata
Perdapa sempat melihat tangan salah seorang lelaki itu
menyelusup di balik kain yang membalut pinggul hingga betis gadis itu.
Ingin sebenarnya Perdapa melompat dari tempat duduknya dan menyeret lelaki itu
keluar. Namun, kekalahannya menghadapi Jata Gimbal kembali mendinginkan panas di hatinya.
"Maaf, aku kira ini kedai minuman, bukan
tempat menyalurkan nafsu binatang," tegur seseorang
membuat lelaki berbaju hitam komprang itu melotot.
Perdapa mencari-cari arah datangnya suara.
Lalu nampak olehnya seorang pemuda berpakaian putih dan berikat kepala kulit
ular. ''Pendekar Perisai Naga!" seru Perdapa dalam
dada. Kemudian lanjutnya tetap dalam hati, ''Pergilah
sebelum nyawamu mendahului pergi! Kau tahu siapa
pemuda yang menegurmu, kambing?"
Lelaki berbaju hitam komprang itu mendorong
tubuh anak gadis pemilik warung itu. Lalu, pelahanlahan ia melangkah mendekati
Pendekar Perisai Naga.
Sebilah golok tiba-tiba saja berkelebat.
''Jeppp!" Golok itu menancap sedalam setengah jengkal
di meja, setengah jengkel pula jarak golok itu dari hidung Pendekar Perisai
Naga. "Ha ha ha! Penggal saja lehernya! Kenapa harus
dimaafkan?" kata salah seorang teman lelaki kalap itu.
"Hei, babi hutan! Mintalah maaf sebelum aku
memindahkan golok ini ke dadamu!" hardik lelaki berbaju hitam komprang itu
sambil memegangi gagang golok yang masih bergetar.
Pendekar Perisai Naga berdiri, dan tanpa memandang ke kanan-kiri, ia melangkah
keluar. "Bangsat!" lelaki kalap itu mencabut goloknya
dari meja dan memburu pemuda berpakaian serba putih itu. ''Berhenti! Atau
terpaksa kubelah kepalamu dari belakang, hei!"
Rasa haus tak lagi dirasakan oleh Perdapa. Mata pemuda desa itu nyalang
memandangi Pendekar Perisai Naga yang dikaguminya. Tunggu, apa yang akan
diperbuatnya jika golok itu terayun ke kepalanya, pikir
Perdapa. ''Kisanak, aku ingin mengingatkanmu bahwa
perbuatanmu tadi tak pantas dilakukan oleh manusia.
Tetapi, kenapa Kisanak malah menyuruhku minta
maaf" Bukankah seharusnya Kisanak yang minta maaf
kepada gadis itu?" jawab Pendekar Perisai Naga hanya
dengan menolehkan kepala.
''Hiyaaat!" teriak lelaki itu sambil mengayunkan
goloknya ke kepala Pendekar Perisai Naga.
Apa yang terjadi selanjutnya sudah tergambar
dalam benak Perdapa. Tak bisa diikuti mata ketika ka-
ki kanan Pendekar Perisai Naga berputar dan membabat sepasang betis kekar milik
lelaki bergolok itu. Tibatiba saja mereka yang berada di kedai itu melihat tubuh
lelaki malang itu terbanting ke tanah. Lelaki itu
mencoba bangkit, tetapi golok yang tadi terlepas dari
genggamannya kini menempel di tengkuknya.
Dua orang temannya melompat keluar dari dalam kedai dengan golok di tangan dan
siap menerjang pemuda berikat kepala kulit ular itu. Akan tetapi,
sambil menekan golok di tengkuk lelaki pemilik golok
itu, Pendekar Perisai Naga menghardik, ''Bayar dulu
apa saja yang telah kalian makan! Kalau tidak, kepala
temanmu yang kujadikan alat pembayar!"
"He he he! Cecurut mencoba menggertak macan!" ujar lelaki yang berkumis jarang.
Lagi-lagi Perdapa dan pemilik warung berdecak
kagum melihat reaksi Pendekar Perisai Naga. Tiba-tiba
saja cambuk yang tadi melilit di pinggang pemuda itu
berpindah melingkar di leher lelaki berkumis jarang
itu. Mata lelaki itu melotot memandangi cambuk kulit
ular yang mencekik lehernya.
Dengan tangan kanan menekan golok ke leher
lawan, dan tangan kiri mengendalikan cambuknya,
Pendekar Perisai Naga mengulangi perintahnya, ''Bayar
dulu apa saja yang telah kalian makan! Atau, golok
dan cambukku akan menolong kalian bebas dari urusan bayar-membayar!"
Perdapa sempat menahan tawa. Bebas dari
urusan bayar-membayar" Apalah namanya kalau bukan mati, pikir pemuda Desa Kuwung
itu. Sewaktu ia
menyempatkan diri melirik pemilik kedai itu, ia melihat
mulut orang tua itu menganga. Anak gadisnya sejak
tadi meringkuk di pojok kedai dengan tubuh menggigil.
Lelaki yang tercekik cambuk memberikan isya-
rat kepada temannya yang masih merdeka agar segera
membayar makanan dan minuman yang telah mereka
makan. Dengan langkah mundur, lelaki yang masih
bebas bergerak itu kembali ke kedai. Hampir saja tubuh lelaki itu membentur
tubuh Perdapa kalau tidak
tangan Perdapa menahan punggungnya.
''Sebaiknya kalian segera pergi. Pendekar Perisai Naga bukan tandingan kalian
bertiga," kata Perdapa kepada lelaki yang hampir menubruknya itu.
''Pendekar Perisai Naga?" ucap lelaki itu sambil
mengangsurkan beberapa keping uang logam kepada
pemilik kedai. Kemudian ia menoleh ke arah Pendekar
Perisai Naga. Barulah ia menyadari ketololannya. Seharusnyalah ia dan teman-
temannya tadi tahu siapa
yang sedang mereka hadapi. Toh mereka bertiga sudah
pernah mendengar cerita tentang pendekar yang berilmu setan ini. Seharusnyalah
mereka tadi mengenali
pendekar itu dari cambuk kulit ular yang melilit pinggang pendekar itu. Mereka
toh pernah mendengar cerita tentang cambuk kulit ular itu. Cambuk itulah yang
telah menewaskan beberapa tokoh hitam yang mereka
kenal. ''Cepatlah kalian minta maaf sebelum Pendekar
Perisai Naga mengirim kalian ke neraka!" kata Perdapa
membuyarkan lamunan lelaki itu.
Lelaki itu tak menyahuti. Bergegas ia melangkah mendekati Pendekar Perisai Naga.
Dan, dengan suara bergetar lelaki itu berkata, ''Maafkan kami bertiga. Benar-benar kami
tidak tahu bahwa kami sedang
berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga."
''Panggil aku 'Joko Sungsang'!" sahut Joko
Sungsang alias Pendekar Perisai Naga seraya membebaskan dua orang lelaki yang
terancam golok dan
cambuknya. Lelaki yang tadi sempat mengayunkan golok ke
kepala Joko Sungsang secepatnya berlutut di depan
kaki Pendekar Perisai Naga sambil berucap, ''Kami
memang orang-orang bodoh, Tuan. Seharusnya sejak
pertama melihat Tuan, kami tahu dengan siapa kami
berhadapan...."
''Berdirilah," kata Joko Sungsang. "Aku bukan
orang yang pantas kau agung-agungkan, apa lagi kau
sembah. Aku hanyalah anak desa yang dibesarkan di
lereng gunung...."
'Tetapi, kami telah bersikap kurang ajar di depan, Tuan. Kami memang pantas
menerima hukuman
dari Tuan," tukas lelaki yang tadi terlilit cambuk, lehernya.
''Bukan aku yang berhak menghukum kalian.
Pemilik kedai dan anak gadisnya itulah yang berhak.
Tetapi, aku percaya mereka akan memaafkan kalian
asal kalian berjanji tidak akan berbuat hina lagi," sahut Joko Sungsang.
''Kami berjanji, Tuan pendekar...."
''Panggil aku 'Joko Sungsang'!" tukas Joko
Sungsang. "Ya, ya, kami berjanji, Tuan Joko Sungsang,"
kata pemimpin ketiganya meralat.
''Sekarang, katakan kalian dari mana dan apa
kerja kalian di desa ini."
''Kami dari Lereng Gunung Bromo, Tuan. Kami
datang ke desa ini hanya karena ingin menyelamatkan
diri. Kami berlindung di desa ini, Tuan."
"Berlindung" Apa tingkah kalian menggoda
anak gadis pemilik kedai itu yang namanya mencari
perlindungan?" sergah Joko Sungsang.
''Kami memang orang-orang bodoh yang tidak
tahu sopan santun, Tuan. Kami memang orang-orang
yang tidak tahu diri...."
''Kenapa kalian harus lari dari Lereng Gunung
Bromo?" sahut Joko Sungsang sebelum lelaki itu meneruskan ucapannya yang penuh
sesal. Lelaki itu memandang kedua orang temannya.
Setelah kedua orang temannya mengisyaratkan sesuatu, lelaki itu menjawab,
''Kami bertiga selama ini mencari makan dengan jalan yang tidak halal. Kami
merampok dan mencuri. Kami lakukan pekerjaan nista itu sebab kami terpaksa harus
melakukannya, Tuan."
''Terpaksa?" sahut Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga.
''Sungguh, Tuan. Kami pernah mencoba hidup
sebagai petani, tetapi kami malahan selalu kekurangan. Kami harus memberikan
lebih dari separuh penghasilan kami sebagai upeti kepada..." Lelaki itu raguragu
untuk menyebutkan nama orang yang dimaksudkannya. Kembali ia memandang kedua
orang temannya.
''Kepada siapa?" desak Joko Sungsang.
"Ki tunggui Wulung...."
'Tunggui Wulung?" Joko Sungsang memeras
otak. Pernah didengarnya cerita tentang Ki tunggui


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulung ini. "Semenjak Ki tunggui Wulung tinggal di Lereng
Gunung Bromo, kami benar-benar kehilangan nafkah.
Menjadi orang baik-baik, kami sengsara. Tetapi, menjadi perampok pun kami tidak
mendapatkan tempat.
Kami bertiga terpaksa lari sebab anak buah Ki tunggui
Wulung mencari kami untuk dibunuh," lanjut lelaki
itu. ''Kalian pulanglah ke desa kalian. Jadilah petani lagi seperti dulu. Aku pun
sebenarnya bisa dengan
mudah membunuh kalian. Tetapi, aku masih memaafkan kalian. Kalian boleh
meneruskan pekerjaan kalian
sebagai perampok asalkan tidak bertemu lagi denganku," kata Joko Sungsang.
"Demi langit, demi bumi, kami berjanji akan
menjadi orang baik-baik lagi, Tuan. Tetapi, untuk
kembali ke Lereng Gunung Bromo, kami tidak punya
keberanian. Mereka tidak mungkin membiarkan kami
bertiga tetap hidup. Mereka tidak akan peduli apakah
kami mau jadi orang baik-baik atau tetap jadi perampok. Atas perintah Ki tunggui
Wulung, mereka harus
tetap membunuh kami bertiga kapan saja kami bisa
mereka temukan."
''Kalau begitu, lebih baik kalian mati di tanganku ketimbang mati di tangan
mereka!" sahut Joko
Sungsang seraya meraba gagang cambuknya.
''Ampunkan kami bertiga, Tuan." Ketiga lelaki
itu langsung berlutut di depan kaki Joko Sungsang.
''Jadi, kalian pilih mati sekarang atau pulang ke
Lereng Gunung Bromo dan kalian belum tentu mati?"
tanya Joko Sungsang sambil menahan-nahan tawa.
Geli juga melihat ketiga lelaki garang itu tiba-tiba ketakutan menghadapi
kematian. Padahal tingkah mereka di dalam kedai tadi seolah mereka tidak bisa
mati! ''Kami lebih baik pulang dan menjadi orang
baik-baik, Tuan...."
''Jangan coba-coba membohongiku!" tukas Joko
Sungsang. ''Jika nanti aku cari kalian ke sana ternyata
tak kujumpai kalian, akan aku cari kalian sampai ke
liang semut sekalipun!"
''Sungguh, Tuan. Kami akan mencoba menghadapi anak buah Ki tunggui Wulung demi
anak-istri kami bertiga, Tuan"
''Kembalilah kalian ke Lereng Gunung Bromo,
dan percayalah bahwa mati atau hidup kalian bukan
anak buah Ki Tunggal Wulung yang menentukan!" kata Joko Sungsang sebelum melesat
pergi dari hadapan
ketiga lelaki itu.
*** 4 Seorang lelaki berpakaian keprajuritan memacu
kuda memasuki Desa Majamulya. Dari pakaian yang
dikenakannya, basa ditebak bahwa lelaki itu salah seorang Punggawa Kadipaten
Banyuasin. Karena itulah
maka tak seorang pun kaki tangan Ki Langendriya berani menghadang laju kuda yang
ditunggangi lelaki itu.
Mereka bahkan membiarkan lelaki itu memasuki halaman kademangan tanpa lebih dulu
turun dari punggung kudanya.
Mendengar derap kaki kuda memasuki halaman kademangan, Ki Demang Majamulya
bergegas keluar dari pendopo. Ia langsung bisa menebak siapa
yang datang dengan berkuda itu. Pastilah dia orang
suruhan Ki Adipati Sorengdriya.
"Adi Gagak Paningal?" sapa Ki Langendriya setelah melihat sosok tubuh yang
memunggungi obor di
regol kademangan itu
"Ya, aku, Kakang Demang," sahut Gagak Paningal.
''Ayolah, kita bicara di pendopo. Aku memang
sedang menunggu-nunggu kabar dari kadipaten. Tidak
biasanya Kakang Adipati membatalkan kunjungannya
tanpa lebih dulu mengirimkan kabar, " kata Ki Langendriya sambil menarik lengan
tamunya. 'Karena sesuatu hal Ki Ageng terpaksa membatalkan kunjungannya kemari, Kakang,"
sahut Gagak Paningal. "Apakah Kakang Adipati mendadak harus
menghadap Kanjeng Sinuhun?"
''Kalau itu penyebabnya, aku sendiri bisa memaklumi, Kakang."
''Lalu, sebab apa?" kejar Ki Langendriya.
Gagak Paningal menarik napas panjang. Terbayang lagi di pelupuk matanya kejadian
siang tadi di alun-alun Kadipaten Banyuasin. Hampir saja ia terbunuh oleh gadis berbaju serba
putih dan bersenjata
tombak pendek itu jika saja Adipati Sorengdriya tidak
segera muncul. ''Apakah ada sesuatu yang menimpa Kakang
Adipati, Adi Gagak Paningal?" usik Ki Langendriya
membuyarkan lamunan Gagak Paningal.
"Oh, tidak, Kakang. Hanya saja, aku heran kenapa kehadiran gadis itu membuat Ki
Ageng tega membatalkan kunjungannya ke desa ini."
''Gadis itu" Siapa gadis yang kau maksudkan,
Adi Gagak Paningal?" Ki Langendriya menggeser duduknya agar lebih dekat kepada
Gagak Paningal.
"Ilmu silat gadis itu memang tinggi. Tetapi, rasanya tidak sepantasnya jika Ki
Ageng langsung menyerah...."
"Menyerah" Maksudmu?" tukas Ki Demang Majamulya kaget.
"Aku tidak tahu apa saja yang dibicarakan Ki
Ageng dengan gadis itu. Tetapi, setelah gadis itu pergi,
tiba-tiba saja Ki Ageng menyuruhku ke sini untuk menyampaikan kabar buruk ini."
"Kau belum menyebutkan siapa gadis itu. Setidaknya, kau pasti bisa menyebutkan
ciri-ciri gadis itu,
Adi Gagak Paningal. Apakah gadis yang kau maksudkan itu berpakaian serba jingga
dan bersenjata seruling bambu wulung?" Ingatan Ki Langendriya langsung
kepada Gagar Mayang.
''Berpakaian serba jingga" Siapa yang kau maksudkan, Kakang?" Gagak Paningal
gantian dilanda kekagetan.
"Aku sendiri tidak tahu siapa gadis itu. Tetapi,
aku pernah mendengar cerita tentang gadis berpakaian
serba jingga ini. Jadi, bukan gadis yang kau lihat di
kadipaten?"
Sudah barang pasti Ki Langendriya tidak mau
menjelaskan siapa sesungguhnya gadis yang berpakaian serba jingga dan bersenjata
seruling bambu wulung itu. Tentu karena ia tidak ingin Gagak Paningal,
atau siapa pun, tahu bahwa ia telah mencuri Pusaka
Bukit Cangak yang bernama Ki Sumping Sedapur itu.
Terlebih ia tidak ingin Adipati Sorengdriya tahu tentang keris luk tujuh yang
selalu dirahasiakannya itu.
Satu-satunya orang yang tahu hanyalah Jata Gimbal.
Kini orang kepercayaannya itu sudah tewas. Rahasia
itu dibawa Jata Gimbal ke alam kubur.
"Aku memang pernah mendengar cerita bahwa
gadis itulah yang membunuh Kebo Dungkul. Tetapi,
apakah berarti gadis itu tak terkalahkan oleh Ki Ageng
Sorengdriya?" kata Gagak Paningal.
''Maksudmu, gadis itu berpakaian serba putih
dan bersenjata tombak pendek?"
''Benar, Kakang. Apa Kakang Demang sudah
pernah bertemu dengannya?"
Lagi-lagi Ki Langendriya merasa perlu berbohong. Sebab, menceritakan Sekar Arum
berarti harus juga menceritakan Gagar Mayang. Dan, ia pun tidak
mungkin menceritakan pertarungannya melawan gadis
bertombak pendek itu. Kalau saja tidak muncul Gagar
Mayang menyelamatkannya, sudah pasti sekarang ia
tak akan mungkin lagi berbicara empat mata dengan
Gagak Paningal.
"Aku kebetulan sedang mencari-cari gadis liar
itu," kata Ki Langendriya dengan perasaan geram. ''Dialah yang telah membunuh
orang kepercayaanku. "
''Maksud Kakang Demang.... Jata Gimbal telah
tewas?" "Ya. Aku memang bermaksud merahasiakan
kematian Jata Gimbal agar Kakang Adipati merasa tenang tinggal di kademangan
sini." ''Kalau begitu, sebaiknya kita cari gadis itu! Aku
pun merasa belum puas bertarung dengannya...." "Adi
Gagak Paningal pernah bertarung dengan gadis binal
itu?" "Ya. Tetapi, sebelum aku berhasil membunuhnya, Ki Ageng muncul dan melerai
kami," jawab Gagak
Paningal untuk menutupi kekalahannya melawan Sekar Arum.
''Kita berangkat sekarang juga! Kita tanyakan
kepada Kakang Adipati, di mana sekiranya kita bisa
menemukan gadis keparat itu!" geram Ki Demang Majamulya.
"Ki Agung tidak mungkin memberi tahu di mana gadis itu berada, Kakang. Malahan
bukan tidak mungkin Ki Ageng akan melindungi gadis itu. Aku melihat sendiri bagaimana Ki
Ageng begitu menaruh hormat kepada gadis itu."
''Benar juga katamu, Adi Gagak Paningal," sahut Ki Langendriya. la pun menyadari
bahwa gadis dari Karang Bolong itu telah dianggap sebagai Dewi Penyelamat oleh
Adipati Sorengdriya. Meski hanya karena gadis itu bisa membunuh seorang Kebo
Dungkul! Ah, tapi mungkin juga karena Kakang Adipati jatuh
hati melihat kecantikan gadis itu, pikir Ki Demang Majamulya selintas-kilas.
"Lalu, bagaimana dengan rencana Kakang Demang mengadakan adu kasekten itu?"
tanya Gagak Paningal mengingatkan.
''Untuk apa" Adu kasekten yang aku rencanakan, semata-mata untuk memberikan
hiburan bagi Kakang Adipati. Kalau nyatanya Kakang Adipati tidak
datang, apalah artinya adu kasekten segala macam?"
jawab Ki Langendriya dengan kekecewaan menggerogoti ulu hati. Betapa tidak!
Gara-gara gadis keparat itu
maka ia gagal menunjukkan ilmu silatnya di depan
Adipati Sorengdriya. Dan, berarti gagal pula rencana
untuk memancing kekaguman Adipati Sorengdriya.
Maka gugurlah harapan untuk bisa menggantikan kedudukan Adipati Sorengdriya di
Kadipaten Bayuasin!
Setelah mengambil Ki Sumping Sedapur dari
tempat persembunyiannya, Ki Langendriya mengiringkan langkah Gagak Paningal
keluar dari pendopo kademangan. Tiba di halaman, ia berpesan kepada petugas
penjaga malam agar lebih memperketat penjagaan.
''Katakan kepada mereka yang hendak mengikuti adu kasekten, bahwa adu kasekten
diundurkan untuk beberapa hari," tambah Ki Langendriya.
"Sendika dhawuh, Ki Demang," kata salah seorang penjaga malam sambil mengangguk
dalam-dalam. Tak lama kemudian nampak dua ekor kuda dipacu meninggalkan Kademangan Majamulya.
Derap kaki kuda itu mengundang tanda tanya di benak para
penduduk desa. Mereka bisa menebak bahwa ketegangan sedang terjadi di desa itu.
Inilah pertama akan terjadinya pertumpahan darah.
Apa yang dipikirkan para penduduk ini tidak
berbeda dengan apa yang sedang dipikirkan Ki Langendriya di punggung kuda.
Demang Desa Majamulya
ini masih ingat ancaman Gagar Mayang tempo hari.
Gadis dari Bukit Cangak itu tidak ingin melihat Ki
Langendriya membawa Ki Sumping Sedapur keluar desa.
Tidak berarti Ki Demang Majamulya ini takut
menghadapi adik seperguruan itu. Kalaupun ia gelisah
memikirkan ancaman dari gadis itu, tidak lain karena
ia sedang bersama Gagak Paningal. Bagaimana jika
gadis itu tiba-tiba menghadangnya dan meminta keris
luk tujuh itu" Bukankah ini berati Gagak Paningal terpaksa tahu perihal Ki
Sumping Sedapur" Dan, jika Gagak Paningal tahu, berarti pula Adipati Sorengdriya
akan tahu. Sebagai adipati yang selalu ingin menjaga
nama baiknya, sudah barang tentu Adipati Sorengdriya
merasa ikut tercoreng mukanya. Bukan tidak mungkin
Adipati Sorengdriya pun menuntut agar Pusaka Bukit
Cangak itu dikembalikan kepada yang berhak.
Belum juga Ki Langendriya menemukan jalan
keluar untuk mengatasi kegelisahannya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat.
Lalu nampak sosok seorang gadis menghadang laju kuda mereka. Maka Ki
Langendriya langsung mengenali siapa yang mencegat
mereka dengan seruling menyelinga di depan bibir itu.
''Inikah gadis yang Kakang maksudkan?" tanya
Gagak Paningal setelah mengamati warna pakaian gadis itu. Dari tebaran sinar
bulan yang hampir purnama, warna jingga itu cukup menyala.
"Ya. Tetapi, sebaiknya Adi Gagak Paningal tetap
saja meneruskan perjalanan. Biar aku sendiri yang
menghadapi gadis ingusan ini," kata Ki Langendriya
agak berbisik. ''Kakang, kita perlu waktu banyak untuk men-
cari gadis bertombak pendek itu. Bukankah sebaiknya
aku membantumu membereskan gadis ini?"
''Tidak. Cukup aku sendiri yang menghadapinya!"
"Ya, sebaiknya Kisanak meninggalkan kami
berdua. Ini urusan pribadi kami berdua. Tentunya Ki
Demang merasa malu jika Kisanak tahu urusan kami!"
sahut Gagar Mayang.
'Tidak! Urusan Kakang Demang juga urusanku!" sergah Gagak Paningal.
"Lho, apa Kisanak mau aku tuduh pula sebagai
pencuri keris itu?"
''Jangan dengarkan ocehannya, Adi Gagak Paningal!" sahut Ki Langendriya, seraya
memajukan kudanya. Lalu hardiknya, ''Gagar Mayang! Bukankah sudah kuperingatkan
agar kau tidak mencampuri urusanku?"
''Mencampuri" Bukankah ini memang urusan
kita berdua, Ki Demang?"
''Kisanak, aku tidak mau tahu dengan urusan
kalian! Tetapi, sekarang ini kami sedang terburu-buru!
Minggirlah sebelum aku terpaksa memaksamu minggat
dari tempatmu berdiri!" hardik Gagak Paningal.
"Adi Gagak Paningal, teruslah berjalan! Biarlah
aku sendiri yang mengurusnya!" kata Ki Langendriya.
"Benar kata Ki Demang. Tentu dia akan bisa
dengan mudah membunuhku sebab aku hanyalah
adik seperguruannya!" sahut Gagar Mayang.
Gagak Paningal semakin tidak mengerti. Namun, ia memutuskan untuk berlalu.
Bagaimanapun juga ia percaya bahwa Ki Demang Majamulya akan
sanggup menghadapi gadis itu seorang diri. la juga


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir, barangkali mereka berdua memang harus bicara empat mata. Sebagai
sahabat, ia harus menghar-
gai hak seorang sahabat untuk merahasiakan sesuatu.
''Baiklah, Kakang. Aku berangkat lebih dulu.
Hati-hatilah, Kakang," kata Gagak Paningal sebelum
kembali memacu kudanya.
Begitu derap kaki kuda Gagak Paningal lenyap
dari pendengaran, Ki Langendriya melompat turun dari
punggung kudanya. Tak ada jalan lain baginya kecuali
harus menghadap Gagar Mayang dengan kekerasan.
"Gagar Mayang, sekali lagi aku peringatkan
agar kau tidak...."
"Cukup!" tukas Gagar Mayang. ''Seribu kali kau
peringatkan aku, tak akan aku mengubah niatku mengambil kembali Ki Sumping
Sedapur, Ki Demang!"
''Kalau begitu, terpaksa kita harus buktikan
siapa yang lebih pantas memiliki Ki Sumping Sedapur!"
kata Ki Langendriya seraya memasang kuda-kuda.
''Bersiaplah, Ki Demang!" sahut Gagar Mayang
sambil menyilangkan seruling bambu wulungnya di
dada. Kemudian tubuh gadis itu secepat kilat menerjang sambil menotokkan
serulingnya ke leher Ki Langendriya.
Kaget juga Ki Langendriya menerima serangan
yang begitu cepat dan mematikan itu. Namun begitu,
dengan sigap ia memiringkan tubuhnya ke kiri dan
tangan kanannya meraih seruling yang menjulur di
depan matanya. 'Tasss!" Di luar dugaan Ki Langendriya jika seruling itu
berbalik arah dan membentur tulang lengannya. Karuan saja demang Desa Majamulya
itu meringis menahan sakit. Dalam hati ia bersyukur bahwa tadi ia sudah
mengerahkan tenaga dalam sewaktu seruling gadis itu mematuk punggung lengannya.
Dalam pada itu,
Gagar Mayang menyadari bahwa sabetan serulingnya
tidak berarti bagi tangan Ki Langendriya. Ini Memang
disengaja. Ia sengaja tak melambari seruling bambu
wulungnya dengan tenaga dalam ketika membenturkan ke tangan kakak seperguruannya
itu. la hanya ingin memperingatkan agar Ki Langendriya lebih berhatihati dalam
menghadapinya. Bagaimanapun juga Gagar
Mayang bukan perempuan sesat yang senang melihat
lawannya cepat roboh. la masih tetap berharap bisa
mendapatkan Ki Sumping Sedapur dengan jalan damai.
''Lumayan juga agaknya ilmu silatmu, Megatruh!" kata Ki Langendriya untuk
menutupi kecemasannya.
"Ki Demang bisa bayangkan bagaimana seandainya pukulan seruling tadi aku lambari
dengan ajian Seruling Dewa Pencabut Nyawa!" sahut Gagar Mayang.
''Seruling Dewa Pencabut Nyawa?" tanya Ki
Langendriya kepada dirinya sendiri. la masih ingat cerita tentang kedahsyatan
ajian ini. Jangan lagi tangan
manusia yang tersentuh ajian itu, sedangkan pohon
pun bisa tumbang.
"Apa Ki Demang tetap bersikeras ingin memiliki
keris itu?" tanya Gagar Mayang begitu melihat Ki Langendriya termangu-mangu.
''Gagar Mayang, jangan cepat tinggi hati. Aku
tahu bagaimana dahsyatnya ajian Seruling Dewa Pencabut Nyawa. Tetapi, lupakah
kau bahwa aku pun
memiliki Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih?" kata Ki Langendriya.
"Ya. Dan, gadis bertombak pendek itu hampir
saja menjadi korban keganasan jurus andalanmu, Ki
Demang. Tetapi, syukurlah aku masih...." Gagar
Mayang tidak meneruskan ucapannya sebab tiba-tiba
terdengar tawa seorang di belakang punggungnya.
"Kelinci manis berhadapan dengan tikus sawah
untuk memperebutkan keris pusaka! Lucu, lucu! Ha
ha ha!" kala seorang kakek berusia tak kurang dari tujuh puluh tahun.
"Ki tunggui Wulung...?" desis Ki Langendriya
spontan. "Ha ha ha! Syukurlah kau sudah kenal namaku, Demang Goblok! Kalau begitu,
serahkan saja keris
pusaka itu kepadaku, dan kau boleh mengambil gadis
cantik itu!"
''Lancang mulut!" sergah Gagar Mayang. "Apa
kau yakin namamu bisa menakut-nakutiku" Pernah
aku mendengar namamu, tetapi hanya karena kau tamak di Kaki Gunung Bromo sana!"
"He he he! Maki-makilah aku sepuasmu, Cah
Ayu. Setelah itu, kau juga tahu akibat dari mulut kotormu!" lalu, kata Ki
Tunggui Wulung kepada Ki Langendriya, "demang bandot, bunuhlah gadis bengal itu
supaya aku tidak harus tega mencekik perempuan
yang tidak berdaya!"
''Kakek jompo! Kalau memang kau merasa bisa
membunuhku, kenapa harus minta tolong Ki Demang"
Ayo, buktikan bahwa nama tunggui Wulung bukan
hanya pantas untuk menakut-nakuti para petani di
Lereng Gunung Bromo!" sahut Gagar Mayang berang.
"Ho hooo! Ini baru namanya timun musuh duren!" ujar Ki Tunggui Wulung seraya
menerkam tubuh mungil yang berdiri tiga tombak di depannya.
Akan tetap, seruling di tangan Gagar Mayang
tiba-tiba berputar dan mengeluarkan suara desingan.
Seketika itu pula tubuh gadis itu lenyap dari pandangan mata Ki tunggui Wulung
sebab tertutup gulungan
warna hitam. ''Haiyaaa!" seru Ki tunggui Wulung sambil
membuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari
tusukan seruling yang mengarah ke dadanya. Namun,
begitu tubuh kurus kering itu berdiri di atas kudakuda kembali, sambaran angin
paras membuat Gagar
Mayang harus menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan ke samping kanan Dan, sebelum
ia melenting bangkit, sebuah tendangan mendatar mengancam kepalanya
''Singngng! Singngng!"
Kembali seruling bambu wulung di tangan Gagar Mayang berputar untuk menghadang
serangan lawan.
"Desss!"
Di luar dugaan gadis itu tubuh Ki tunggui Wulung tiba-tiba berjumpalitan di
udara dan dengan deras kedua tumitnya meluncur ke arah perut. Maka Gagar Mayang
terpaksa menyongsong hunjaman tumit
lawan dengan kedua tumitnya pula. Pertemuan kedua
pasang tumit ini membuat tubuh Ki Tunggui Wulung
terlempar beberapa tombak. Meski begitu, orang tua
dari Lereng Gunung Bromo ini bisa mendarat dengan
luwes. Ia hanya merasakan sepasang tumitnya sedikit
kesemutan. Sebaliknya, setelah berdiri kembali di atas kuda-kuda kakinya, Gagar Mayang
merasakan seolah kedua tumitnya pecah. Lebih dari itu, tulang punggungnya pun
terasa ngilu Seolah-olah ia baru saja menahan hempasan sekarung pasir besi.
"Hm, rupanya kau lebih keras dari ketimun,
Bocah Manis!" kata Ki Tunggui Wulung.
"Dan, mana duri duren yang kau andalkan, kakek jompo?" sahut Gagar Mayang
sekalipun diam-diam
ia mengakui bahwa lawannya kali ini bukan semba-
rang orang jahat. Meski ia tadi telah melambari kedua
tumitnya dengan Jurus Tambak Segara, toh kedua
tumit lawan mampu menembus pertahanannya. Tak
bisa dibayangkan bagaimana nasib sepasang tumit
mungil-nya andai saja ia tak mawas dalam menyongsong serangan tadi. Luncuran
tubuh kurus kering itu
ternyata memiliki daya hempas yang luar biasa.
Mendengar ucapan Gagar yang sungguh meremehkan itu, Ki Tunggui Wulung berang
bukan kepalang. Terlebih ia melihat gadis itu mampu menahan
hunjaman sepasang tumitnya. Dan, ia pun menyadari
betapa berbahayanya seruling bambu wulung di tangan gadis itu. Oleh sebab itu,
orang sesat dari Lereng
Gunung Bromo ini tak ingin lagi bermain-main dengan
gadis dari Bukit Cangak itu. la bertekad harus secepatnya menyelesaikan
pertarungan. Ia ingat bahwa ia
pun masih harus menghadapi demang dari Desa Majamulya untuk mendapatkan Ki
Sumping Sedapur.
Maka sewaktu untuk kesekian kalinya orang
tua itu menyerang Gagar Mayang, tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam
sebuah trisula. Tombak pendek bermata tiga itu menghunjam cepat ke arah leher
Gagar Mayang. Pada saat yang sama, dari telapak tangan kiri Ki Tunggui Wulung
berhembus angin panas
dan menerpa lutut gadis dari Bukit Cangak itu.
''Wusss! Trakkk!"
Karena tidak mungkin menghindar ke bawah,
Gagar Mayang melambung ke udara sembari menangkis trisula lawan dengan
serulingnya. Benturan trisula
dengan seruling ini bukan saja menimbulkan suara
yang memekakkan telinga, melainkan juga membuat
tubuh Gagar Mayang terlontar hampir tujuh tombak.
Lagi-lagi Jurus Tambak Segara yang disalurkan lewat
seruling bambu wulung itu tertembus tenaga dalam Ki
Tunggui Wulung.
''Bungkamlah mulutmu untuk selamanya, bocah lancang!" ujar Ki Tunggui Wulung
sambil memburu Lawan dengan julukan angin telapak tangan kirinya.
Melihat maut mengancam Gagar Mayang, Ki
Langendriya secepatnya tanggap apa yang bakal terjadi
berikutnya. Setelah gadis itu roboh, tentu saja Ki
Tunggui Wulung akan membalik badan untuk membereskanku, pikir demang Desa
Majamulya itu. Maka Ki
Langendriya melompat ke punggung kudanya, dan
berniat meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Ia
begitu yakin bahwa perhatian Ki Tunggui Wulung masih terpaku pada tubuh Gagar
Mayang. ''Jangan minggat, demang goblok!" seru Ki
Tunggui Wulung seraya melontarkan pukulan jarak
jauh ke kaki kuda Ki Langendriya.
Tak pelik lagi, kuda itu tersungkur dan tubuh
Ki Langendriya terpelanting dari punggung kuda. Dan,
sewaktu Ki Langendriya mendaratkan kakinya di tanah, di luar dugaannya trisula
Ki Tunggui Wulung begitu cepat menempel di punggungnya.
''Sedikit saja kau bergerak, tubuhmu akan terbelah menjadi dua, demang maling!"
ancam Ki Tunggui
Wulung sebelum kemudian menotok jalan darah di
punggung Ki Demang Majamulya.
Seketika tubuh Ki Langendriya kejang. Dan,
begitu trisula yang menempel di punggungnya ditarik
oleh pemiliknya, tubuh itu pun terjengkang dan membujur lurus di tanah.
Merasa telah mampu menguasai Ki Demang
Majamulya, orang sesat dari Lereng Gunung Bromo itu
pun kembali menoleh ke arah Gagar Mayang. Namun,
mata sipit orang tua itu serta-merta melebar. Tak dili-
hatnya lagi tubuh gadis itu di tempatnya tadi berbaring. Padahal ia yakin gadis
itu sudah tidak berdaya lagi
untuk bangkit, terlebih melarikan diri.
"Iblis laknat! Setan mana pun yang telah merebut mangsaku, tolong tampakkan
dirimu!" teriak Ki
Tunggui Wulung lantang.
*** 5 Tak ada sahutan yang menjawab teriakan Ki
Tunggui Wulung. Orang tua penguasa Lereng Gunung
Bromo itu hanya mendengar gaung teriakannya sendiri. Ia menajamkan pandang
matanya, tetapi tak sedikit
pun nampak gerak mencurigakan di sekelilingnya.
Bahkan gerak daun tersapu angin pun tak ada. Begitu
juga sewaktu ia menajamkan pendengarannya, tak sekelumit pun suara langkah atau
pun desah napas seseorang tertangkap oleh telinganya, kecuali desah napas Ki
Langendriya. "Bedebah! Terkutuk! Pengecut!" sumpahserapah berloncatan dari mulut orang tua
itu. Meski begitu, dalam hati ia pun dilanda rasa cemas. Ia berpikir, jangan-jangan ada
seorang sedang mengintipnya.
Dan, siapa pun orang itu, tentulah orang yang berilmu
tinggi. Kalau tidak, mustahil dalam sekejap bisa mengambil dan menyembunyikan
tubuh gadis berseruling
itu. Andaipun orang itu langsung pergi, setidaknya
akan terlihat kelebatnya. Tetapi, ini tidak terjadi. Jangan di-kata kelebat
sosok tubuh seorang, sedangkan
suara telapak kaki pun tak selintas pun terdengar. Padahal orang itu harus
membopong tubuh gadis berna-
ma Gagar Mayang itu.
Mata Ki Langendriya berputar-putar, ikut mencari-cari di mana kira-kira penolong
Gagar Mayang itu
berada. Diam-diam ia pun berharap bakal mendapatkan pertolongan dari entah siapa
itu. la berani memastikan bahwa orang yang telah menolong Gagar
Mayang ini tentulah berilmu silat di atas tingkatan ilmu silat Ki Tunggui
Wulung. "Sekali pun kau bisa ambles bumi, suatu ketika
aku akan bisa mencincangmu, iblis!" teriak Ki Tunggui
Wulung lagi membuyarkan angan-angan Ki Demang
Majamulya. Merasa pasti bahwa orang yang dicarinya tak
lagi berada di sekitar tempat itu, penguasa Lereng Gunung Bromo itu kembali
menghampiri tubuh Ki Langendriya yang terbujur tak berdaya di tanah. Lalu,
dengan sekali berkelebat, tangan kanan orang sesat
dari Gunung Bromo itu telah menggenggam keris luk
tujuh yang diingininya.
"Ha ha ha! Akhirnya kau jatuh ke tanganku, Ki
Sumping Sedapur!" kata Ki Tunggui Wulung sambil
menimang-nimang keris pusaka Bukit Cangak itu.
Ki Demang Majamulya menyumpah-nyumpah
da-lam hati. Tak disangkanya bahwa keris luk tujuh
itu akan jatuh ke tangan orang sesat macam Ki Tunggui Wulung. Maka kembali ia
ingat kata-kata Eyang
Kuranda Geni, la menyesal telah mencuri keris pusaka
itu dari Bukit Cangak. Kalau saja keris itu tidak dicurinya dari ruang semadi
Eyang Kuranda Geni, mustahil
Ki Tunggui Wulung bisa mendapatkannya!
"Hei, demang goblok! Kau kuampuni sebab kau
telah mengambilkan keris ini untukku. Tetapi, jangan
coba-coba melawanku jika kau telah kubebaskan nanti. Ingat, hanya sekali aku
memaafkanmu!" kata Ki
Tunggu Wulung sebelum membebaskan totokkan jalan
darah di punggung Ki Langendriya.
Bekas murid Eyang Kuranda Geni ini bersyukur dalam hati. Memang lebih baik
kehilangan Ki

Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sumping Sedapur daripada kehilangan nyawa. la bahkan tidak menyangka akan
dibiarkan tetap hidup oleh
iblis yang haus darah itu. Ia merasa tidak mungkin
mampu mengalahkan tokoh hitam dari Gunung Bromo
ini. Tadi ia sudah melihat bagaimana Ki Tunggui Wulung dengan mudah bisa
menguasai Gagar Mayang.
Dan, andai saja tidak muncul orang sakti, entah siapa
tadi, sudah barang tentu Gagar Mayang tinggal nama.
Siapakah orang sakti itu sebenarnya" Kenapa
ia tidak berusaha menyelamatkan Ki Sumping Sedapur" Tidakkah ia tahu bahwa Ki
Tunggui Wulung akan
bisa dengan mudah mendapatkan keris pusaka itu dari pinggangku"
Sambil merapihkan pakaiannya, Ki Langendriya
bertanya-tanya dalam hati. Ketika kemudian matanya
mencoba mencuri pandang ke arah Ki Tunggui Wulung, ternyata iblis dari Gunung
Bromo itu telah lenyap entah ke mana. Maka ia semakin yakin bahwa Ki
Tunggui Wulung benar-benar membiarkannya tetap
hidup. Bergegas Ki Langendriya menghampiri kudanya. Meski kini tak ada lagi Ki Sumping
Sedapur pada dirinya, tetap saja ia bertekad meneruskan perjalanannya menyusul Gagak
Paningal. Dendamnya terhadap Sekar Arum semakin menjadi-jadi. Gara-gara
ulah gadis berpakaian serba putih itulah semua rencananya berantakan. Diam-diam
Ki Langendriya heran, kenapa kehadiran gadis itu di Kadipaten Banyuasin
sangatlah berarti bagi Adipati Sorengdriya. Hanya
karena gadis itu telah membunuh Kebo Dungkulkah"
Tidakkah Kakang Adipati tahu bahwa membunuh Kebo Dungkul sama mudahnya dengan
membunuh cacing tanah" Tidakkah Kakang Adipati tahu
bahwa seandainya sekarang ada lima orang macam
Kebo Dungkul maka aku akan bisa membinasakan
mereka" Jangan lagi seorang Kebo Dungkul, sedangkan untuk membunuh Hantu Lereng
Gunung Lawu pun aku tidak menemui kesulitan!
Sambil memacu kudanya, Ki Demang Majamulya terus berbicara kepada dirinya
sendiri. Benar benar ia tidak mengerti kepada Adipati Sorengdriya begitu menaruh hormat kepada
Sekar Arum. Padahal
sudah jelas bagaimana tingkatan ilmu silat gadis dari
Padepokan Karang Bolong itu.
"Huh! Kalau saja malam itu tidak muncul Gagar Mayang, sudah pasti gadis keparat
itu mati di tangan-ku!" geram Ki Langendriya seraya melarikan kudanya lebih
kencang lagi. Jauh sebelum kuda yang membawa Ki Langendriya memasuki gerbang Kadipaten
Banyuasin, Gagak
Paningal telah menyongsongnya.
''Hampir saja aku kembali ke sana. Aku kira,
Kakang Demang menemui kesulitan dalam menghadapi gadis itu," kata Gagak
Paningal. Meski dengan suara yang janggal, Ki Langendriya mencoba untuk tertawa, untuk
menutupi kekecewaan yang menggerogoti hatinya. Lalu, cepat-cepat
ia menanyakan berita tentang Sekar Arum agar Gagak
Paningal tidak terus bertanya perihal Gagar Mayang.
"Aku sudah mendapatkan laporan dari orang
kepercayaanku, Kakang. "
''Jadi, di mana gadis keparat itu berada sekarang?" sahut Ki Demang Majamulya
tak sabar. "Dia telah pergi dari wilayah Banyuasin sini.
Malahan ada salah seorang perempuan yang melihat
sudah berada di Desa Kuwung."
"Apa" Di Desa Kuwung" Untuk apa setan betina itu di sana?" serta-merta Ki
Langendriya ingat Sunti, kembang desa itu.
''Kita akan tahu apa yang diperbuat gadis itu di
sana jika secepatnya kita menyusul ke sana, Kakang."
"Apa kita tidak sebaiknya kita bertemu Kakang
Adipati lebih dulu?"
"Kakang Demang hanya akan menerima kemarahan Ki Ageng. Percayalah. "
''Kalau begitu, kita langsung ke Kuwung saja!"
sahut Ki Demang Majamulya seraya menyemplak perut
kudanya. *** ''Terima kasih atas pertolongan Kisanak. Aku
tidak tahu bagaimana nasibku jika Kisanak tidak datang menyelamatkanku," ucap
Gagar Mayang setelah
dari tempat persembunyian itu tak lagi terdengar suara
teriakan Ki Tunggui Wulung.
"Aku hanya perantara. Yang di atas sanalah
yang telah menyelamatkanmu," jawab Joko Sungsang.
"Dan, kalau memang aku tidak harus membantu lagi,
izinkan aku meneruskan perjalananku."
Kecewa bukan kepalang ,hati Gagar Mayang
mendengar perkataan anak muda yang baru saja menyelamatkannya ini. Padahal ia
berharap anak muda
itu sudi menemani perjalanannya memburu Ki Tunggui Wulung ke Lereng Gunung
Bromo. Entah kenapa
ia ingin sekali mengenal lebih dekat anak muda yang
dicurigainya sebagai Pendekar Perisai Naga itu.
"Maaf, barangkali Kisanak menganggapku ku-
rang sopan. Tetapi, aku akan menyesal sekali jika aku
tidak bisa bercerita kepada Guru tentang Kisanak yang
telah menyelamatkanku," kata Gagar Mayang dengan
pipi memerah dadu.
''Sudah aku katakan bahwa aku hanya sebagai
perantara. Dan, sama sekali aku tidak menganggapmu
lancang. Malahan kurang adil jika aku sudah mendengar namamu, sedangkan aku
tidak mau memperkenalkan diri."
''Dari mana Kisanak mendengar namaku?"
tanya Gagar Mayang kaget.
''Sebelum Ki Tunggui Wulung datang, aku sudah lebih dulu berada di tempat ini.
Jadi, aku mendengar semua pembicaraanmu dengan orang berkuda
yang agaknya seorang demang itu."
''Maksud Kisanak, namaku toh sudah disebutsebut oleh Ki Demang Majamulya?"
''Tepat sekali. Dan, kalau tidak salah, kau bernama Gagar Mayang."
Gagar Mayang mengulum senyum. Rasa malu
dan gembira bercampur menjadi satu di relung hatinya.
''Orang di desaku mengenalku sebagai anak
demang. Mereka yang sudi menyapaku akan memanggilku Joko Sungsang...."
''Alias Pendekar Perisai Naga, bukan?" tukas
Gagar Mayang merasa lega. Lega bahwa dugaannya ternyata benar. Ah, rupanya di
dunia persilatan ini hanya ada satu orang lelaki yang berpakaian
serba pulih dan mengenakan ikat kepala kulit ular
sanca, pikir Gagar Mayang.
Tetapi, sesungguhnya kecurigaan Gagar Mayang bukan berangkat dari pakaian maupun ikat
kepala yang dikenakan Joko Sungsang. Kecurigaan itu
muncul begitu melihat gerakan anak muda ini dalam
menyelamatkannya dari ancaman Ki Tunggui Wulung.
Begitu cepat dan tidak bersuara gerakan itu. Tak
mungkin bisa dilakukan oleh siapa pun yang tidak berilmu silat tinggi. Tidak
berarti bahwa di dunia ini
hanya Pendekar Perisai Naga yang berilmu silat mumpuni. Tetapi, dunia peralatan
telah mengakui bahwa
hanya Pendekar Perisai Naga-lah satu-satunya anak
muda yang telah menerima warisan yang sulit dicari
tandingannya! "Mungkin, lain kali kita masih bisa bertemu lagi," kata Joko Sungsang seraya
melesat pergi. Terpana Gagar Mayang menyaksikan gerakan
anak muda yang menakjubkan itu. Untuk sejenak Gagar Mayang terpaku di tempatnya
berdiri. Tak disangkanya akan secepat itu ia bertemu dengan pendekar
yang telah menggegerkan rimba persilatan itu. Namun,
ia juga tidak mengira bakal secepat itu berpisah dari
pendekar muda yang dikaguminya itu.
Lalu, sambil melangkah, gadis itu mengingatingat kembali apa yang telah
Sepasang Naga Penakluk Iblis 9 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Riwayat Lie Bouw Pek 3
^