Pencarian

Pusaka Bukit Cangak 1

Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak Bagian 1


PUSAKA BUKIT CANGAK Oleh Werda Kosasih
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Werda Kosasih Serial Pendekar Perisai Naga
dalam episode: Pusaka Bukit Cangak 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Desa Majamulya dalam beberapa hari ini nampak sibuk berdandan. Di mulut desa itu
didirikan gapura yang terbuat dari bambu apus. Janur kuning berjuntaian
menghiasi gapura itu. Gardu-gardu peronda
pun nampak semarak sebab dikapur putih pada
keempat dindingnya. Tak ketinggalan regol di kademangan, pagar-pagar dari rumah
ke rumah, pohonpohon besar yang berjajar di pinggiran jalan, tak luput
dari jamahan tangan-tangan terampil yang ditugaskan
menyemarakkan Desa Majamulya beserta isinya.
Apabila nanti matahari terbenam di ufuk Barat
maka obor-obor akan menerangi jalan besar yang
membelah desa itu. Dan, di samping kiri maupun kanan pintu rumah penduduk akan
diterangi dengan
lampu teplok. Tak seorang pun penduduk desa yang
berani membangkang dalam menerima perintah dari Ki
Langendriya, demang di desa itu. Mereka tahu siapa Ki
Langendriya ini.
Ki Langendriya, selain sebagai demang yang berilmu silat tinggi, juga adik
kandung Adipati Sorengdriya, penguasa Kadipaten Banyuasin. Lelaki berusia empat
puluh tahun itu bertubuh gempal dengan
otot menyembul di tangan maupun betisnya. Wajahnya
di penuhi dengan rambut. Baik cambang, jenggot, kumis, alis, bahkan rambut dalam
lubang hidung tumbuh subur dan tak pernah dipangkas. Sepasang matanya yang lebar
mengesankan bahwa pemiliknya selalu siap marah kapan saja. Hidungnya pesek,
serasi dengan bibirnya yang tebal. Jika tertawa, akan nampak giginya yang besar-besar
mirip mata kampak.
Jika wajah Ki Langendriya ini dibandingkan
dengan wajah Adipati Sorengdriya, sungguh tidak pantas jika mereka berdua
disebut kakak-beradik. Ki Langendriya barangkali lebih pantas sebagai tukang
jagal daripada sebagai adik kandung seorang priyayi dari
Kadipaten Banyuasin. Betapa tidak! Perempuan mana
yang tidak terpesona melihat ketampanan wajah Adipati Sorengdriya" Wajah yang
dihiasi dengan sepasang
mata yang menyorotkan kewibawaan, hidung mancung, kumis terpelihara rapi, dan
dagu mengkilat berwarna kebiru-biruan. Dan, wajah yang tampan itu masih didukung
oleh pakaian yang mewah. Sebagai seorang adipati, tentu saja ia mampu membeli
pakaianpakaian yang tersulam benang emas Terlebih Kadipaten Banyuasin terbilang
makmur. Dan, kesibukan di Desa Majamulya ini berhubungan dengan rencana kunjungan
Adipati Sorengdriya ke desa itu. Sebenarnya, kunjungan Adipati
Sorengdriya kali ini bukan atas kehendak adipati itu
sendiri, melainkan kehendak Ki Langendriya. Demang
Desa Majamulya itu ingin memamerkan tingkatan ilmu
silatnya kepada Adipati Sorengdriya.
''Kalau Kakang Adipati tahu bahwa ilmu silatku
pilih tanding, sudah pasti akulah yang akan menggantikan kedudukannya sebagai
adipati. Maksudku, nanti
jika Kakang Sorengdriya sudah tidak menjadi adipati, "
kata Ki Langendriya kepada Jata Gimbal orang kepercayaannya
''Lalu, siapa saja yang akan Ki Demang undang
dalam adu kesaktian nanti?" tanya Jata Gimbal.
''Siapa saja boleh datang. Tetapi, kau tahu siapa yang bakal bisa menandingi
ilmu silatku?" kata Ki
Langendriya seraya tertawa tergelak-gelak.
Jata Gimbal manggut-manggut memaklumi, la
tahu, ilmu silat Ki Langendriya memang pilih tanding.
Tak percuma Ki Demang Majamulya ini berguru kepada Eyang Kuranda Geni dari Bukit
Cangak, ia langsung mendapatkan kedudukan sebagai demang di Desa Majamulya.
Beberapa orang penjahat berusaha menyatroni Desa Majamulya, tetapi tak seorang
pun dari mereka mampu menandingi ilmu silat Ki Langendriya.
Namun begitu, Jata Gimbal juga sangsi, bisakah Ki Demang Majamulya ini
menandingi pendekar
macam Pendekar Perisai Naga" Bagaimanapun juga
harus diakui bahwa Pendekar Perisai Naga bukanlah
lawan yang bisa diremehkan, la pernah membunuh
Mahesa Lawung, orang kepercayaan Adipati Sorengdriya.
"Ki Demang," kata Jata Gimbal tak bisa menahan kecemasan hatinya.
"Ada apa" Kau bisa menemukan nama yang sekiranya bisa menggetarkan perasaanku?"
sahut Ki Langendriya sambil menyibakkan kumis yang menutupi bibirnya.
''Maafkan saya jika apa yang saya katakan ini
tidak benar menurut Ki Demang ..."
''Katakanlah," tukas Ki Langendriya.
"Ki Demang barangkali pernah mendengar cerita tentang Pendekar Perisai Naga?"
"Ya. Kenapa?"
"Apakah sekiranya ia akan datang dalam adu
kasekten nanti?"
''Kenapa kalau dia datang" Kau khawatir aku
kalah menghadapinya?"
''Saya dengar dialah yang membunuh orang kepercayaan Kanjeng Adipati. "
''Mahesa Lawung maksud mu?"
''Benar, Ki Demang."
"Ha ha ha! Tentu saja dia bisa merobohkan
Mahesa Lawung! Kalaupun Mahesa Lawung masih hidup, sepuluh Mahesa Lawung aku
sanggup menghadapi!" Jata Gimbal manggut-manggut sekalipun tidak
dalam hati ia tidak bisa membenarkan ucapan Ki Demang Majamulya ini. Sepuluh
Mahesa Lawung"
"Hei, Gimbal!"
"Ya, Ki?"
''Mahesa Lawung bisa menjadi orang kepercayaan Kakang Adipati bukan karena ilmu
silatnya tinggi! Mengerti?"
"Jadi, karena apa, Ki?"
''Karena Kakang Adipati kasihan melihatnya
harus menghidupi sembilan orang anak! Kau tahu tidak apa pekerjaan Mahesa Lawung
sebelum bertemu
dengan Kakang Adipati?"
'Tidak, Ki."
''Pendulang emas di kali-kali! Nah, hanya orang
tolol yang menganggap Mahesa Lawung berilmu tinggi!
Buktinya, waktu itu dia tidak mampu mengalahkan
Kebo Dungkul. Padahal Kebo Dungkul akhirnya mati
di ujung senjata seorang gadis dari Karang Bolong.
Nah, bagaimana kau bisa menganggap Pendekar Perisai Naga mampu mengalahkanku?"
Sebenarnya Jata Gimbal masih ingin membantah, tetapi ditahan-tahan. Ia tetap
manggut-manggut
meski dalam hati bertanya-tanya, ''Kalau memang Mahesa Lawung dulunya hanya
seorang pendulang emas
di kali, untuk apa ia memiliki ilmu silat" Lagi pula,
bukankah Mahesa Lawung tidak pernah takut menghadapi Kebo Dungkul" Bukankah ia
hanya takut jika
harus berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu?"
"Jata Gimbal!" sentak Ki Langendriya.
"Ya, Ki Demang?"
"Bagaimana persiapan kita untuk menyambut
kedatangan Kakang Adipati?"
"Saya rasa sudah tidak ada lagi kekurangan,
Ki." ''Bagus! Nanti aku mintakan untukmu hadiah
dari Kakang Adipati!"
''Terima kasih, Ki. Tetapi, lebih baik Ki Demang
periksa semuanya dulu. Saya khawatir ada yang masih
kurang menurut Ki Demang."
"Aku percaya kau tahu bagaimana kehendakku. Nah, tugasmu selanjutnya adalah
mempersiapkan kebutuhanku. Carilah kembang tujuh rupa bakal memandikan senjataku. Jangan lupa
siapkan juga kemenyan yang paling baik. Setelah itu, pergilah ke Desa
Kuwung, katakan kepada calon istriku agar siap aku
jemput besok sore. Paham?"
''Paham, Ki. Kalau begitu, saya permisi mengerjakan perintah Ki Demang sekarang
juga." "Pergilah. Ini, berikan kepada istrimu biar ia
tahu bahwa kau bekerja padaku tidak sia-sia," kata Ki
Langendriya sambil mengangsurkan beberapa keping
uang. Berseri-seri wajah Jata Gimbal ketika melangkah meninggalkan kademangan. Dan, Ki
Langendriya tertawa terbahak-bahak memandangi langkah lelaki
yang dipercayainya itu. Bukan langkah Jata Gimbal
yang membuatnya gembira, melainkan karena ia mulai
membayangkan pertemuannya besok sore dengan
Sunti, gadis yang akan diperistrinya. Kembang Desa
Kuwung ini sebenarnya lebih pantas menjadi anak Ki
Demang Majamulya ketimbang menjadi istri. Usia gadis itu belum lagi mencapai
lima belas tahun sementara usia Ki Langendriya tak kurang dari empat puluh
tahun. Belum lagi jika dilihat dari wajah mereka. Banyak penduduk desa yang
diam-diam mengumpama-
kan Ki Langendriya sebagai tapir, dan Sunti sebagai
burung gelatik. Bagaimana mungkin seekor tapir hendak mengawini seekor gelatik"
Akan tetapi, di hadapan Ki Demang Majamulya
ini, mereka tetap saja mengatakan bahwa Sunti memang hanya pantas dipersunting
demang kaya-raya
macam Ki Langendriya ini. Tentu saja mereka takut
untuk mengatakan hal yang sebenarnya sebab mereka
masih ingin tinggal di Desa Majamulya. Pernah ada
yang menertawakan keinginan Ki Langendriya mengawini Sunti, seketika itu juga
lelaki itu diusir dari Desa
Majamulya. Sunti Memang gadis desa yang lugu, yang tidak
mengerti di mana letak indahnya sebuah perkawinan.
Ia percaya saja sewaktu ayahnya mengatakan bahwa
menjadi istri demang adalah karunia. Apalagi demang
yang memiliki ilmu silat tinggi dan juga kaya-raya. Tak
sekelumit pun terpikirkan oleh Sunti bahwa perangai
Ki Langendriya sangatlah buruk sebagai suami. Tak
pernah terpikirkan olehnya bahwa selayaknya ia mendapatkan jodoh pemuda yang
berwajah tampan. Sekalipun ia merasa senang jika berdekatan dengan Perdapa,
salah seorang pemuda di desanya, ia tak pernah
berpikir bahwa sesungguhnya rasa senang berdekatan
inilah bibit cinta.
Akan tetapi, Perdapa bertekad bahwa ia harus
bisa mengawini Sunti. Maka pemuda desa ini geram
bukan kepalang sewaktu mendengar kabar bahwa gadis yang dicintainya itu akan
dipersunting Ki Demang
Majamulya. la sudah mencoba membujuk Sunti agar
menolak pinangan demang tua bangka itu, namun gadis itu menggelengkan kepala.
"Kau takut jika Ki Demang marah?" kata Perdapa.
''Bukan hanya Ki Demang yang marah. Orang
tuaku juga akan mengusirku pergi dari rumah," jawab
Sunti. "Kau bisa pulang ke rumahku. Orang tuaku
pasti mau menerimamu."
"Apa kata orang-orang di desa ini kalau aku
tinggal di rumahmu?"
''Kalau begitu...." Perdapa tidak berani meneruskan ucapannya. Selama ini ia
belum pernah mengetahui perasaan Sunti terhadapnya. Mereka berdua
memang bergaul akrab setiap hari, tetapi mereka belum pernah membicarakan cinta.
''Kalau aku kawin dengan Ki Demang, aku tetap
akan menjadi temanmu, Perdapa," kata Sunti polos.
''Maksudku, aku... aku...." Lagi-lagi suara Perdapa terputus di kerongkongan.
Hampir saja ia mengatakan, "Aku juga ingin mengawinimu. "
Pembicaraan mereka pada akhirnya tidak
menghasilkan jalan keluar yang diharapkan Perdapa.
Sunti, gadis desa itu, terlalu lugu untuk diajak bertenggang rasa. Terlalu bodoh
untuk menangkap isyarat
cinta. Maka Perdapa memikirkan cara lain untuk
menggagalkan perkawinan Sunti dengan Ki Langendriya la mulai berpikir untuk
mengenyahkan demang
Desa Majamulya itu. Untuk menjalankan rencana ini,
ia merasa harus berguru kepada seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tetapi,
kepada siapa ia harus berguru" Ia memang pernah mendengar cerita tentang
Pendekar Perisai Naga, tetapi ia tidak tahu bagaimana
caranya untuk bisa menemui pendekar yang suka berkelana itu. Pernah ia bertanya
kepada teman-teman
seusia-nya, namun hanya cemooh dan ejekan yang didapatkannya.
Akhirnya Perdapa memutuskan untuk pergi da-
ri desanya, dan tidak akan kembali sebelum memiliki
ilmu silat yang bisa menandingi ilmu silat Ki Demang
Majamulya yang lebih senang dipanggil Ki Langendriya
itu. Tentu ia lebih senang dipanggil dengan nama aslinya sebab ia ingin diingat
sebagai adik kandung Adipati Sorengdriya.
*** Setelah mendapatkan kembang tujuh rupa
yang terdiri atas kembang cempaka kuning, mawar
merah, mawar putih, melati, kenanga, menur, dan kenikir, Jata Gimbal merendam
bunga-bunga itu ke dalam air yang diambilnya dari tujuh sumber air pula. Ini
memang pesan wanti-wanti dari Ki Langendriya. Tak
pernah ditanyakannya kepada Ki Langendriya kenapa
air itu harus diambilnya dari tujuh sumber air. Ia memang merasa tak perlu tahu.
Dan, tanpa ditanyakan
pun, kalau memang itu bukan rahasia, sudah pasti Ki
Langendriya akan bercerita. Seperti halnya kenapa
senjata yang berupa keris luk tujuh itu harus dimandikan air kembang, Ki
Langendriya pernah bercerita
kendatipun Jata Gimbal tidak pernah mengusut.
''Keris ini keris warisan tujuh turunan. Sejak
zaman Kerajaan Majapahit, keris ini selalu dimandikan
dengan air kembang tujuh rupa. Dengan memandikan
keris ini berarti aku menghormati Ki Sumping Sedapur
yang mendiami keris ini. Dari penghormatan tadi, aku
akan mendapatkan imbalan dari Ki Sumping Sedapur.


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia akan membantuku jika aku menghendaki sesuatu,"
tutur Ki Langendriya menjelaskan.
Dan, Jata Gimbal pun tahu kenapa keris itu tidak pernah dipakai untuk membunuh.
Padahal Ki Langendriya menyebut keris itu sebagai senjata. Konon
bau darah adalah pantangan Ki Sumping Sedapur.
Alasannya, ia sudah terbiasa mencium bau harum
bunga tujuh rupa maka ia tidak mau membaui amis
darah. Terlebih darah manusia.
Lagi pula, Jata Gimbal juga tahu bahwa Ki
Langendriya memang tak membutuhkan senjata dalam
menaklukkan lawan-lawannya. Ki Demang Majamulya
ini telah memiliki senjata yang disebutnya Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih.
Apa pun yang teremas
tangan Ki Langendriya yang telah dilambari dengan jurus ini akan lumat ibarat
buih dalam genggaman!
Selesai menyiapkan air kembang, Jata Gimbal
bergegas pergi ke Desa Kuwung untuk menemui Sunti,
calon istri Ki Demang Majamulya. Menemui Kembang
Desa Kuwung ini adalah pekerjaan yang menyenangkan bagi Jata Gimbal. Betapa
tidak! Kedatangan di
rumah Sunti selalu disambut dengan hormat oleh
orang tua Sunti. Tak beda dengan penghormatan yang
diberikan kepada Ki Demang Majamula. Orang tua
yang selalu hidup dalam kemelaratan itu memang selalu berharap agar nantinya
anak gadisnya mendapat jodoh orang kaya. Maka ia seperti mendapatkan durian
runtuh sewaktu Ki Langendriya menyatakan hendak
memperistri Sunti.
''Mudah-mudahan saja Ki Demang tidak kecewa
menjadi menantu duda seperti saya," kata lelaki berusia tiga puluh lima tahun
itu. Dan, ucapan ini sudah yang keempat kalinya
didengar oleh Jata Gimbal. Duda beranak satu itu
agaknya masih saja menyesali kepergian istrinya
menghadap Gusti Kang Murbeng Dumadi.
"Ki Demang tidak pernah mempersoalkan mertuanya duda atau bukan, Kang. Yang
penting Sunti tidak menolak lamarannya," kata Jata Gimbal seraya
menyeruput kopi yang tersedia.
''Syukurlah kalau begitu. Sebab, saya pernah
mendengar ada calon temanten yang...."
''Malahan kalau Kang Jiwo kepingin kawin lagi,
Ki Demang pasti sanggup mengawinkan Kang Jiwo,"
tukas Jata Gimbal seraya tertawa.
''Saya kawin lagi" Walah, walah! Hidup sendirian saja kembang-kempis, malahan
suruh menghidupi istri!"
"Lho, kalau Ki Demang sudah menjadi menantu
Kang Jiwo, jangan khawatir lagi soal uang, Kang. Kepingin apa saja tinggal pesan
ke kademangan. Lha
wong saya saja yang bukan apa-apanya selalu dicukupi kebutuhan saya dan anak
istri saya kok."
''Saya percaya. Tetapi, sampai saat ini, saya belum ada keinginan untuk kawin
lagi. Rasanya saya belum melupakan almarhumah istri saya. Dan, saya juga
masih ingat pesan istri saya sebelum meninggal. Saya
harus membesarkan Sunti dulu. Saya harus membahagiakan anak gadis kami yang
hanya semata wayang.
Saya tidak boleh mementingkan kebutuhan pribadi
saya sebelum saya bisa membahagiakan Sunti."
"Artinya, kalau Sunti sudah jadi istri Ki Demang, Kang Jiwo boleh kawin lagi,
bukan?" sahut Jata
Gimbal sambil tertawa.
"Ya, tetapi saya masih takut. Saya masih sering
bermimpi bertemu dengan istri saya."
Jata Gimbal tertawa. Akan tetapi, dalam hati ia
memuji kesetiaan lelaki itu terhadap almarhumah istrinya. Lelaki langka,
pikirnya. Kalau saja aku yang ditinggal mati istriku, tak perlu menunggu
tahunan. Mungkin sebelum empat puluh hari menjadi duda, aku
sudah kawin lagi!
''Semenjak Ki Demang melamar Sunti saja istri
saya tidak lagi mengganggu tidur saya. Mungkin di sana ia merasa bahagia,"
lanjut ayah Sunti.
"Oh, tentu. Tentu arwah istrimu ikut senang
melihat Sunti bakal menjadi istri demang!" Jata Gimbal menimpali.
*** Keluar dari rumah orang tua Sunti, Jata Gimbal melangkah ringan sambil tertawa-
tawa dalam hati.
la mulai membayangkan betapa girang hati Ki Langendriya mendengar berita yang
dibawanya nanti. Dan, jika Ki Demang Majamulya itu tengah girang hati maka
hadiah pun akan mengalir. Jata Gimbal tahu bahwa
puncak kegembiraan Ki Langendriya adalah bila Sunti
bersedia dibawa pergi Ke Desa Majamulya. Meski gadis
itu menolak sewaktu dilamar, tidak berarti ia mudah
diajak pergi keluar dari halaman rumahnya. Ada saja
alasan gadis itu untuk menolak ajakan Ki Langendriya.
Namun, alasan yang paling sering didengar Jata Gimbal adalah karena gadis itu
belum sah menjadi istri Ki
Demang Majamulya.
"Nah, sekarang ia bersedia. Tentu saja ini semua berkat bujukanku yang manjur!
Entahlah, hadiah
apa yang bakal aku terima dari Ki Demang," kata hati
Jata Gimbal sambil mencemplak kudanya.
Seperti kesetanan Jata Gimbal memacu kuda
yang ditungganginya. Namun, begitu keluar dari mulut
Desa Kuwung, tiba-tiba ia dipaksa harus menarik tali
kekang kuda dan kuda itu pun berhenti. Merah mata
Jata Gimbal memandang anak muda yang menghadang langkah kudanya. Berkali-kali ia
berkunjung ke Desa Kuwung, baru kali ini ada manusia yang berani
menghadangnya dengan sikap menantang.
'Turun dari kudamu kalau tidak ingin kupatahkan kaki kudamu!" hardik anak muda
yang menghadangnya.
"Hei, kau pikir kau ini sedang menghadapi siapa?" Jata Gimbal tak mau kalah
gertak. ''Bukankah kau orang suruhan demang mata
keranjang itu?"
"Hati-hati kalau bicara, bangsat!" sergah Jata
Gimbal seraya melompat turun dari punggung kudanya.
''Haruskah aku memanggil bandot tua itu 'Ki
Lurah'?" "Kau memang sudah bosan hidup!" sahut Jata
Gimbal sambil melolos pedang dari sarungnya. ''Langkahi dulu mayatku sebelum kau
menghina Ki Demang
Majamulya!" Jata Gimbal mengayunkan pedangnya ke
arah leher anak muda yang menghadangnya.
"Crang!"
Begitu cepat anak muda itu menghunus golok
yang terselip di pinggang dan membenturkannya pada
mata pedang yang mengancam lehernya. Bunga api
berpijaran. Jata Gimbal mengayunkan pedangnya lagi.
Kini pedang itu terarah ke betis lawan. Namun, kembali golok di tangan anak muda
itu membenturnya.
''Katakan siapa namamu sebelum aku benarbenar memenggal lehermu, jahanam
keparat!" bentak
Jata Gimbal seraya mengurai rantai yang semula melingkari pinggangnya. Kini
pedang itu berpindah ke
tangan kiri sedangkan rantai yang salah satu ujungnya
dilengkapi sebuah jangkar itu berputar-putar di tangan
kanan. "Kau kira dengan rantaimu itu kau bisa merebut golokku" Kita lihat saja siapa
yang lebih dulu bakal kehilangan senjata!"
"Aku tanya siapa namamu! Katakan jika kau
memang tidak takut menghadapi Ki Demang nantinya!"
''Semua orang di desa ini tahu siapa aku. Akulah yang seharusnya melamar Sunti!
Hanya karena aku tidak bisa memeras penduduk desa seperti majikanmu maka aku terpaksa
menangguhkan lamaranku.
Nama-ku Perdapa! Nah, pergilah dan sampaikan kepada Ki bandot tua bahwa aku...."
''Wuuut! Wuuut!"
Rantai berujung jangkar itu tak memberikan
kesempatan bagi Perdapa untuk meneruskan ucapannya. Terpaksa ia melompat ke
samping kanan sambil
merunduk. Ia tahu, jangkar itu tak mungkin disambut
dengan goloknya. Jata Gimbal memang berharap golok
di tangan lawan menyongsong serangannya sehingga
dengan mudah dikaitnya dengan jangkar di ujung rantainya.
"Crang!"
Pedang yang menyusul ayunan rantai berjangkar itu kembali bertemu dengan golok
di tangan Perdapa. Tak ada jalan lain bagi Perdapa kecuali harus
menangkis sabetan pedang yang hampir saja merobek
pinggangnya. Namun, Jata Gimbal agaknya tak mau lagi
memberikan kesempatan kepada lawannya. Hampir gelap. Ia harus secepatnya
mengakhiri pertarungan itu.
la yakin, sudah sejak tadi Ki Langendriya menunggunya di kademangan. Kalau
sampai ia pulang terlambat, tak akan ada lagi hadiah-hadiah yang sudah ada
dalam benaknya. Maka ia mempergencar seranganserangannya. Kombinasi jurus pedang
dan ayunan rantai berjangkar mengurung tubuh Perdapa. Anak
muda itu merasa kewalahan menghadapi serangan
ganda yang tak diduga-duga ini. Sekalipun ia bisa
mengandalkan kelincahan untuk menghindar, ia tahu
tak mungkin terus-menerus menghindari serangan lawan. Untuk mengurangi serangan-
serangan itu, sesekali ia menusukkan goloknya. Namun, ini pun tidak
menolongnya. Golok yang terjulur itu hampir-hampir
terkait jangkar di ujung rantai yang selalu siap menangkis.
Perdapa semakin terdesak mundur. Jangan lagi
berharap bisa merobohkan lawan, sedangkan untuk
maju selangkah pun ia tak menemukan peluang. Kini
ia menyadari bahwa orang suruhan demang Desa Majamulya ini ternyata punya ilmu
silat yang lumayan.
Kombinasi pedang dan rantai berjangkar itu menunjukkan bahwa pemiliknya sudah
berpengalaman memainkannya. Gerak pedang dan rantai berjangkar itu
bisa saling mengisi kekosongan sehingga Perdapa benar-benar tak menemukan
peluang untuk masuk menyerang.
"Aku ingin melihat apa yang bisa kau lakukan
jika napasmu terkuras, bocah dungu!" ejek Jata Gimbal sambil terus mendesak.
Perdapa tak sempat lagi menanggapi ucapan
lawan. Baru saja ia hendak membuka mulut, tiba-tiba
pedang lawan menyambar lengan bajunya. Kalau saja
ia terlambat mengegoskan bahu, sudah barang pasti
kulit lengannya akan tersayat mata pedang itu. Maka
Perdapa mulai menyesali kegegabahannya mencari
perkara. Seharusnyalah ia menunda untuk beberapa
hari lagi niatnya menantang Ki Langendriya. Seharusnya ia mendengarkan pesan-
pesan gurunya agar ia lebih rajin berlatih. Seharusnyalah ia percaya bahwa di
muka bumi ini begitu banyak orang yang berilmu silat
mumpuni. Padahal yang dihadapinya sekarang baru
orang suruhan Ki Langendriya. Bagaimana mungkin ia
mampu menghadapi Ki Langendriya jika menghadapi
orang suruhannya saja tak bisa berbuat banyak"
''Brettt! Crasss!"
Perdapa bergulingan di tanah untuk menghindari sambaran jangkar yang hampir saja
mengait lehernya. Pedang di tangan kiri lawan baru saja merobek
celana dan melukai pahanya ketika mata jangkar itu
dengan cepat mengarah ke lehernya. Ia merasakan rasa pedih pada paha kanannya.
Darah bepercikan ke
sana-sini menandakan bahwa luka itu cukup dalam
dan panjang. Perdapa terus bergulingan sambil memutar golok-nya. Kini ia tinggal bisa
mengandalkan kecepatan
berguling agar pedang maupun jangkar di ujung rantai
itu tidak meranjam tubuhnya.
"Ha ha ha! Baru berapa jurus kau belajar silat,
bocah dungu" Kenapa dari tadi hanya bergulinggulingan saja" Tidakkah kepalamu
puyeng?" ejek Jata
Gimbal kegirangan. Sengaja ia mengendorkan serangan.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Perdapa.
Begitu dirasakannya serangan lawan mengendor, cepat-cepat ia bergulingan masuk
ke celah-celah kaki
lawan. Dan, secepat kilat goloknya membabat dua betis yang berada di kanan-kiri
telinganya. ''Srettt!"
Rantai di tangan kanan Jata Gimbal ternyata
lebih cepat membelit pergelangan tangan Perdapa. Lalu, dengan sekali hentak,
lepaslah golok di tangan kanan Perdapa. Dan, sebelum golok itu jatuh ke tanah',
jangkar di ujung rantai itu mengait mata kaki Perdapa.
Satu dari tiga buah mata jangkar itu terasa menghun-
jam di tumit. "Nah, kalau nanti kuhentakkan tangan kananku, tumitmu akan terbelah menjadi dua,
bocah nekad!" kata Jata Gimbal sambil memandangi Perdapa
yang meringis-ringis menahan rasa sakit yang menyengat-nyengat tumit kanannya.
''Bunuhlah aku kalau kau memang bisa melakukannya!" kata Perdapa putus asa.
Memang, tidak mungkin baginya membebaskan tumitnya secara paksa. Terlebih pedang lawan pun
kini telah menempel di
lehernya. ''Membunuhmu berarti menghilangkan rezeki
yang telah nampak di depan mataku, tolol! Kau tahu
maksudku" Kalau aku bisa bawa kau ke hadapan Ki
Demang, dan kukatakan bahwa kau berusaha merebut
Sunti dari sisi Ki Demang, maka aku akan menikmati
hadiah yang tentu banyak sekali. Menikmati hadiah
sambil melihat tubuhmu hancur-luluh oleh Jurus
Tangan Dewa Menggenggam Buih! Paham, bocah goblok?"
''Binatang laknat! Katakan saja bahwa kau tidak akan berani
membunuhku!''.sengaja Perdapa memancing kemarahan Jata Gimbal agar penyiksaan
itu tak akan pernah dialaminya.
''Dukkk!" Satu tendangan kaki Jata Gimbal bersarang di
rahang kiri Perdapa. Seketika itu juga Perdapa merasa
seolah bumi berputar, bintang-bintang berhamburan
di sekeliling kepalanya, dan kemudian gelap!
"Baru sehari belajar silat sudah berani menantang Jata Gimbal!" ujar Jata Gimbal
sebelum kemudian mengikat tangan Perdapa dan menaikkan tubuh
lunglai itu ke punggung kuda. Sebelum pemuda desa
itu sadarkan diri, Jata Gimbal sudah harus tiba di ha-
dapan Ki Langendriya.
Baru saja Jata Gimbal hendak melompat ke


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggung kuda ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan kemudian nampak
seorang gadis berpakaian
serba putih berdiri menghadang. Jata Gimbal menepuk-nepuk leher kudanya sambil
berkata," Tunggu sebentar. Ada gadis cantik yang rupanya tertarik dengan
hadiah yang bakal kudapatkan dari Ki Demang."
"Tak akan kau terima hadiah-hadiah itu, Jata
Gimbal," sergah gadis itu seraya tertawa mengejek.
''Maksudmu, karena kau yang akan mengantarkan bocah dungu itu ke kademangan?"
''Karena kau tak mungkin pergi dari desa ini
tanpa membawa serta nyawamu!"
"Ha ha ha! Rasanya semakin hari semakin banyak Anak Muda yang terburu-buru ingin
memamerkan ilmu silatnya! Bukankah kau juga ingin memamerkan ilmu silatmu!
Sebab, aku yakin kau tidak
punya urusan denganku!"
''Kalau nyalanya aku tahu namamu yang jelek
itu, artinya aku tahu siapa kau dan untuk apa kau
berkunjung ke desa itu! Dan, aku tidak rela jika gadisgadis di desa ini menjadi
korban nafsu binatang manusia untuk macam demangmu itu!"
"Ho ho ho! Rupanya kau iri hati sebab Ki Demang memilih Sunti ketimbang kau,
bukan" Jangan
khawatir! Mataku masih bisa melihat mana yang lebih
cantik antara kau dengan Sunti. Aku tetap memilihmu,
Bocah Ayu. Eh, siapa namamu?"
''Karena kau sebentar lagi masuk kubur, biarlah aku menyebutkan namaku. Namaku
memang tak seburuk namamu, Jata Gimbal! Sekar Arum, itulah
namaku!" ''Biyuh, biyuh! Namamu enak sekali didengar,
Cah Denok. Pantas jika kau dipanggil 'Sekar' atau
'Arum'. Kau memang cantik seperti kembang. Dan,
baumu tentu saja harum. He he he!"
Sekar Arum melesat sambil mengirimkan tamparan ke mulut Jata Gimbal.
''Haiyaaa!" seru Jata Gimbal sambil mencoba
menangkap tangan mungil yang menjulur di samping
telinganya. Namun, dengan cepat Sekar Arum menarik
tangannya dan menyodokkan sikutnya ke pelipis lawan.
''Plakkk!"
Sikut gadis itu bertemu dengan punggung tangan Jata Gimbal. Kaget bukan kepalang
Jata Gimbal merasakan hunjaman sikut Sekar Arum. Tak disangkanya jika sikut yang mungil itu
seolah berubah menjadi besi tumpul. Ia merasakan punggung tangannya
ngilu bukan main.
"Hm, rupanya aku sedang berhadapan dengan
anak buah Nyai Blorong!" ujar Jata Gimbal seraya
kembali mempersiapkan diri.
Namun, sebelum tangan Jata Gimbal berhasil
menarik pedang dari sarungnya, kembali serangan Sekar Arum memaksanya harus
melompat ke samping. la
bahkan harus menjatuhkan tubuhnya ke atas tanah
sebab tiba-tiba saja sebuah tombak pendek bermata
dua berputar menerjang dada dan pinggangnya.
''Benar-benar berbahaya!" kata hati Jata Gimbal setelah kembali berdiri di atas
kuda-kudanya. Kini
kedua tangan orang suruhan Ki Langendriya ini pun
telah menggenggam senjata. Pedang di tangan kiri dan
jangkar berantai di tangan kanan.
Dalam pada itu, Perdapa yang telah siuman
memandang heran ke arah gadis bertombak pendek
yang tengah berhadapan dengan Jata Gimbal. Menya-
dari dirinya tersampir di punggung kuda dengan tangan terikat, ia pun teringat
kejadian yang baru saja
berlalu. "Dan, tentunya gadis itulah yang telah menolongku," kata hati Perdapa. la
mencoba melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, tetapi
ikatan itu begitu kuat. Maka dengan hati-hati ia menggeser tubuhnya sedikit demi
sedikit agar melorot dari
punggung kuda Masih dengan tangan terikat, Perdapa menyaksikan pertarungan antara Jata Gimbal
melawan Sekar Arum. Dengan pedang dan jangkar berantainya, Jata
Gimbal berusaha mengurung tubuh mungil yang terbalut pakaian serba putih itu.
Akan tetapi, gadis bertombak pendek itu agaknya bukan lawan enteng bagi
orang suruhan Ki Demang Majamulya itu. Bak burung
srikatan, gadis itu menyambar-nyambar. Tombak pendek bermata dua itu mematuk-
matuk ganas membuat
Jata Gimbal sering harus mengurungkan serangannya.
Dalam beberapa jurus, gadis itu telah berhasil membuat lawannya berkali-kali
melompat ke belakang.
Jangkar yang diandalkan bisa mengait senjata lawan
itu, kini tak berdaya menghadapi tombak pendek yang
berputar mirip baling-baling itu. Sementara itu, pedang di tangan kiri Jata
Gimbal pun tak menemukan
peluang untuk menyerang. Pedang itu seutuhnya harus dijadikan perisai selama
Jata Gimbal tak ingin tubuhnya terpatuk mata kembar tombak di tangan gadis
itu. ''Tidakkah kau mau mengaku bahwa kedua
senjatamu tak ada artinya bagiku, Jata Gimbal?" kata
Sekar Arum sambil mengendorkan serangan.
''Betina keparat! Jangan panggil aku Jata Gimbal kalau aku tak bisa
meringkusmu!" teriak Jata
Gimbal berang. ''Kalau memang kau bisa meringkusku, kenapa
kau buang-buang napasmu?" Sekar Arum tersenyum
mengejek. ''Bersiaplah, betina liar!" berkata begitu, Jata
Gimbal mengayunkan jangkar berantainya sekaligus
menusukkan pedang di tangan kirinya ke lambung lawan.
Serangan ganda ini memaksa Sekar Ayu harus
melenting ke udara sambil memutar tombak pendeknya. Begitu ia menjejakkan
kakinya di tanah, ia langsung melancarkan jurus andalan tombak pendeknya.
Maka begitu serangan lawan kembali meluruknya, Sekar Arum berjumpalitan di udara
dan menukik deras
sambil menghunjamkan tombaknya ke punggung lawan.
''Crottt!"
Darah menyembur dari punggung Jata Gimbal.
Orang suruhan Ki Langendriya ini melengkuh pendek,
melangkah tertatih-tatih ke belakang, dan kemudian
roboh dengan mata membeliak.
Mata Perdapa terbeliak pula memandangi tombak pendek yang terbenam di punggung
Jata Gimbal dan tembus persis di tengah-tengah dada. Tombak
yang panjangnya tak lebih tiga jengkal itu seolah-olah
hilang tertelan ketebalan dada Jata Gimbal. Bagaimana mungkin tangan mungil
gadis itu mampu membenamkan tombak itu"
Sudah barang pasti Perdapa heran melihat pemandangan yang ada di depan matanya.
Seumur hidup, belum pernah ia menyaksikan pertarungan hidup
dan mati antara dua tokoh rimba persilatan. Selama
ini ia hanya pernah melihat perkelahian antara dua petani yang berebut air.
Belum pernah juga ia mendengar
cerita tentang aji pamungkas macam Jurus Memancing Mangsa Keluar Sarang ini.
"Kau bisa menolongku membersihkan tombak
itu?" kata Sekar Arum membuat Perdapa tersadar dari
keterpakuannya. Dengan sekali hentak, telunjuk gadis
itu berhasil memutuskan tali yang mengikat tangan
pemuda desa itu.
"Saya?" Perdapa menunjuk dadanya sendiri seraya memandangi ujung tombak pendek
yang mencuat di dada Jata Gimbal. Tak ada lagi ujud tombak Yang
tampak hanyalah benda runcing yang dilumuri warna
merah tua. ''Siapa lagi kalau bukan kau" Atau aku harus
menyuruh kuda itu?" Sekar Arum menahan senyum
memandang wajah pemuda desa yang pucat pasi itu.
"Ya ya ya...." Perdapa melangkah hati-hati
mendekati mayat Jata Gimbal.
"Kau belajar ilmu silat, tetapi sepertinya kau
takut melihat darah. Aneh!" kata Sekar Arum, Lalu,
dengan sekali lompat, ia telah mendahului langkah
Perdapa. Tetapi, ketika hendak meraba ujung tombaknya yang berlumuran darah itu,
ia menjadi ragu. Selama ini berkelana di rimba persilatan, baru kali ini ia
merasa kebingungan memikirkan cara bagaimana
mencabut tombak itu tanpa harus terkena darah lawan. Tadi ia terpaksa melepaskan
tombak itu sebab
pedang Jata Gimbal hampir saja memenggal pergelangan tangan-nya. Dan, kalau saja
Jata Gimbal tidak jatuh telentang, tentulah tombak itu tidak akan terbenam dan
tembus dada. "Biar saya bersihkan dulu," kata Perdapa melihat gadis itu memandang ragu.
Dengan gesit Perdapa
merobek baju Jata Gimbal dan membersihkan ujung
tombak yang mencuat kurang dari sejengkal. Namun,
ketika ia mencoba mencabut tombak Itu, Sekar Arum
mencegahnya. "Aku bukannya takut melihat darah. Hanya saja aku tak mau terlumuri darah
lawanku," kata gadis
itu seraya mencabut tombaknya. Begitu mudahnya
tombak itu tercabut, seolah hanya melolos sebilah pedang dari sarungnya.
''Kalau boleh, biar saya yang membersihkannya," kata Perdapa.
Sekar Arum menggeleng. Kemudian dengan sekali sentak ia berhasil melucuti baju
Jata Gimbal. Lagi-lagi Perdapa terkagum-kagum melihat ulah gadis
yang baru saja dikenalnya ini. Betapa besar tenaga
yang tersimpan dalam tubuh mungil dan mulus itu,
pikir pemuda desa itu.
''Saya akan bangga sekali jika saya boleh tahu
dari perguruan mana...?"
"Aku merasa belum pantas menyebutkan nama
perguruanku," tukas Sekar Arum.
''Selama ini saya sering mendengar nama besar
Pendekar Perisai Naga. Adakah hubungan Kisanak
dengan Pendekar Perisai Naga?" tanya Perdapa dengan
keberanian dilipatgandakan.
''Kenapa kau mengira aku ada hubungan dengan Pendekar Perisai Naga?" Sekar Arum
bertanya sambil mengulum senyum.
"Biasanya, dalam satu perguruan akan mengenakan pakaian yang sama. Dan, saya
dengar bahwa Pendekar Perisai Naga selalu mengenakan pakaian
serba putih. Hanya saja, ia mengenakan ikat kepala
yang terbuat dari kulit ular."
"Dan, senjatanya pun bukan tombak seperti
senjata ku, bukan?"
"Ya. Senjatanya juga terbuat dari kulit ular. Te-
tapi, kenapa dia tidak dijuluki Pendekar Perisai Cambuk Ular, ya?"
"Tak ada lagi waktu buat kita bicara panjanglebar! Tak lama lagi kabar tewasnya
Jata Gimbal akan
terdengar oleh Ki Demang Majamulya. Dan, kau tahu
bagaimana akibatnya" Desa Kuwung bisa-bisa dibakar
habis," sahut Sekar Arum diiring dengan kecemasan
hatinya. ''Tidak mungkin demang mata keranjang itu
membakar desa ini. Ia tahu bahwa tidak mungkin
penduduk desa ini berani membunuh Jata Gimbal.
Mungkin saja berani, tetapi tidak akan bisa! Kambing
Bandot itu...."
''Naikkan mayat Jata Gimbal ke punggung kudanya! Biarlah kuda itu membawanya
pulang ke Majamulya," kata Sekar Arum seolah tidak mempedulikan
ucapan Perdapa.
''Lalu, bagaimana jika demang keparat itu datang ke sini?" tanya Perdapa cemas.
"Bukankah kau yang punya urusan" Kalaupun
aku tadi membunuh Jata Gimbal, karena aku ingin
menolongmu. Untuk apa kau berguru kalau menghadapi Demang Majamulya saja
ketakutan?"
"Ah, kalau saja aku bisa bertemu dengan Pendekar Perisai Naga," gumam Perdapa
dengan rasa penuh pengharapan.
"Nah, apa lagi kau sudah punya angan-angan
menantang Pendekar Perisai Naga!"
''Bukan begitu maksud saya. Maksud saya, kalau diizinkan, saya ingin berguru
dengannya. Saya
memang baru saja berguru kepada seseorang. Tapi,
rupa-rupanya yang saya dapatkan hanyalah ilmu silat
tingkat dasar. Karena kebodohan saya saja makanya
saya sudah berani menantang Jata Gimbal. Tapi, ru-
panya saya masih bernasib baik. Saya tidak terbunuh
oleh Jata Gimbal sebab..." Perdapa tidak meneruskan
ucapannya. Ia menoleh ke sana-sini, tetapi gadis itu
tak nampak lagi. Jangan-jangan dia itu dedemit, pikirnya dengan kuduk merinding.
*** 2 Tidak berarti Sekar Arum tega terhadap pemuda desa yang baru saja dikenalnya
itu. Ia bergegas meninggalkan Desa Kuwung justru karena ia tidak ingin
Ki Langendriya menuntut balas dengan penduduk desa
itu. Ia merasa harus bertanggung jawab sebab Jata
Gimbal tewas olehnya.
Maka Sekar Arum berusaha bisa tiba di Desa
Majamulya sebelum kuda yang membawa mayat Jata
Gimbal terlihat oleh Ki Langendriya. Matahari sudah
jauh terbenam di ufuk Barat ketika gadis itu memasuki mulut Desa Majamulya.
Meski langit di ufuk Barat
masih menyisakan warna jingga, obor obor yang berderet di kanan-kiri jalan utama
desa itu telah dinyalakan.
Sekar Arum menyelinap ke balik pohon mahoni
ketika dilihatnya dari jauh dua orang lelaki melangkah
memapasinya. Mereka nampak melangkah tergesagesa. Dan, Sekar Arum pun tahu
kenapa dua orang lelaki ini melangkah tergesa-gesa meninggalkan Desa
Majamulya. Dari pembicaraan mereka berdua yang
sempat didengarnya, Sekar Arum tahu bahwa orangorang inilah yang ditugaskan
menyusul Jata Gimbal ke
Desa Kuwung. ''Seharusnya sebelum sore tadi dia sudah kem-
bali," kata salah seorang dari mereka.
"Ya. Selamanya belum pernah Ki Demang sampai menunggu-nunggu seperti sekarang,"
sahut yang lain-nya. Sekar Arum menarik napas lega begitu kedua
lelaki itu hilang ditelan kelokan jalan. Kembali ia melangkah mendekati
kademangan. Namun, secepatnya
Sekar Arum harus menyelinap ke halaman salah satu
rumah penduduk sebab ia melihat bayangan seseorang
berkelebat mencurigakan. Ketika ia berhasil mendekati
sosok yang mencurigakan ini, nampaklah di depan matanya sosok seorang gadis
berpakaian serba jingga.


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serta-merta rasa benci menggeremeti lekuk hati Sekar
Arum. Gadis yang berpakaian serba jingga itulah yang
membuat hubungannya dengan Joko Sungsang merenggang. Joko Sungsang akhir-akhir
ini lebih memperhatikan gadis murid orang sesat itu ketimbang
memperhatikan adik seperguruannya!
Lalu, Sekar Arum ingat ketika Joko Sungsang
gagal memaksakan diri hendak mengantarnya pulang
ke desa. Toh akhirnya Joko Sungsang malah memilih
menguntit Endang Cantikawerdi ketimbang menguntit
kepergian adik seperguruannya!
Kalau dia memang mencintaiku, pikir Sekar
Arum, sudah seharusnya dia diam-diam mengikutiku
sekali pun aku mengatakan tidak ingin ditemani! Buktinya" Dia malah
menyelamatkan perempuan sesat itu
dari ancaman Klabang Seketi! Padahal, di depanku ia
mengatakan bahwa ia terlanjur menantang Klabang
Seketi pada malam purnama di Lereng Gunung Sumbing. Tapi, kenapa ia membunuh
Klabang Seketi sebelum malam purnama tiba" Kenapa mereka bukannya
bertarung di Lereng Gunung Sumbing" Ya, karena dia
memang lebih mencintai gadis keparat itu ketimbang
aku! (Baca juga Pendekar Perisai Naga dalam episode
'Penguasa Gua Barong').
Akan tetapi, seketika itu juga Sekar Arum ragu.
Meski ia belum melihat wajah gadis berpakaian serba
jingga itu, ia toh melihat senjata yang terselip di pinggang gadis yang
dikuntitnya itu. Gadis itu bukannya
bersenjata toya berwarna merah kecoklat-coklatan,
melainkan bersenjata seruling berwarna hitam bergadis kuning. Seruling bambu
wulung! Mungkin gadis sesat itu berganti senjata" Lalu,
dikemanakan toya yang konon menjadi senjata andalan Perguruan Gunung Sumbing
itu" Barangkali toya
itu patah dan diganti dengan seruling bambu wulung
itu" Tetapi, mana bisa jurus-jurus toya itu disamakan
dengan jurus-jurus senjata pendek"
Sambil bertanya-tanya dalam hati, Sekar Arum
terus menguntit langkah gadis yang mencurigakan itu.
Ia sudah bertekad harus mengetahui apa yang akan
diperbuat gadis berpakaian serba jingga itu di Desa
Majamulya! Oleh Sebab itu, kendatipun gadis yang diikutinya melesat ke arah luar desa,
tetap saja Sekar Arum
menguntitnya. Dan, tekad untuk mengetahui siapa gadis itu semakin membara
setelah ia yakin bahwa yang
sedang diawasinya ini bukanlah Endang Cantikawerdi.
Baru saja gadis itu melintas di dekat salah sebuah obor, dan Sekar Arum sempat
melihat wajahnya. Tak kalah cantik jika dibandingkan dengan Endang Cantikawerdi.
Hanya bedanya, gadis ini berwajah penyabar sedang-kan Endang Cantikawerdi
berwajah bengis!
Sekar Arum cepat-cepat menyelinap di balik
semak-semak begitu dilihatnya gadis berseruling itu
menghentikan langkah dan langsung membalik badan.
Rupanya ia tahu apa yang mengikuti langkahnya. Bisa
dipastikan bahwa gadis berpakaian serba jingga itu
memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau tidak, tak
akan telinganya bisa menangkap langkah Sekar Arum
yang telah menerapkan ilmu meringankan tubuh.
Belum juga Sekar Arum bisa memastikan apa
yang ada dalam pikiran gadis yang diikutinya ini, tibatiba terdengar suara,
''Kisanak yang ada di balik semak-semak, tolong tunjukkan dirimu sebelum aku
terpaksa memaksamu keluar dari persembunyianmu!"
Sekar Arum mendengus kesal. Lalu ia melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Kini ia bahkan yakin bahwa gadis yang tak dikenalnya ini
berilmu lebih tinggi daripada yang dibayangkannya.
''Jangan kau pikir karena aku takut menghadapi seranganmu kalau toh aku keluar
dari persembunyianku!" kata Sekar Arum begitu mendengar suara
tawa gadis berpakaian serba jingga itu.
"Maaf, aku sama sekali tak menganggapmu remeh. Aku tahu tingkatan ilmu silatmu.
Kalau kau tidak berilmu tinggi, tidak akan kau bisa mengikuti
langkah-ku sampai di sini," kata gadis itu.
''Katakan siapa dirimu dan ada keperluan apa
mengendap-endap di Desa Majamulya sini!" hardik Sekar Arum untuk menutupi rasa
malunya. Tentu saja ia
merasa malu tertangkap basah.
''Bukannya kita punya keperluan yang sama"
Kita sama-sama hadir secara sembunyi-sembunyi, bukan" Dan, aku pun berhak
mencurigaimu! Aku juga
berhak menanyakan keperluanmu di Desa Majamulya
sini. Aku tahu, kau juga bukan penduduk desa ini,"
sahut gadis berpakaian serba jingga itu.
''Sekali pun aku bukan penduduk desa ini, aku
berhak menangkapmu dan menuduhmu berniat jahat!"
sergah Sekar Arum.
''Kisanak, aku percaya kau bukan orang jahat
Karena itu pula maka aku memancingmu menjauhi
desa agar pembicaraan kita tidak diketahui penduduk
desa " kala gadis berpakaian serba jingga itu.
Sekar Arum mengernyitkan dahi. Sama sekali
tak disangkanya bahwa gadis itu akan bersikap bersahabat. Atau mungkin
persahabatan itu hanya suatu
tipu muslihat"
''Dari ciri-ciri pakaian maupun senjata yang
terselip di pinggangmu, aku berani memastikan bahwa
kau dari Padepokan Karang Bolong!" lanjut gadis itu
sambil tersenyum.
Kerutan di dahi Sekar Arum bertambah dalam.
Siapakah gadis ini sebenarnya" Sudahkah gadis ini
mengenal Ki Sempani" Tetapi, kenapa Guru tidak pernah bercerita"
"Kau tetap mencurigaiku hendak berbuat jahat
di Desa Majamulya?" lagi-lagi gadis itu yang membuka
suara. "Orang baik-baik tidak akan menutup-nutupi
siapa dirinya!" sahut Sekar Arum masih tetap dengan
sikap memusuhi ''Baiklah kalau itu yang kau inginkan! Namaku
Gagar Mayang. Aku datang dari Bukit Cangak. Kalau
kau kenal Demang Desa Majamulya, aku seperguruan
dengannya...."
"Kalau begitu, kau sama jahatnya dengan demang keparat itu!" tukas Sekar Arum
seraya menerjang gadis itu.
"Tahan! Tunggu dulu penjelasanku!" seru Gagar
Mayang setelah berjumpalitan di udara untuk menghindari tendangan serta tusukan
tombak pendek yang
mengancamnya. "Sudah jelas bagiku manusia macam apa kau!
Tak ada orang baik-baik seperguruan dengan orang
sesat!" sergah Sekar Arum sambil kembali melancarkan serangan.
Akan tetapi, kembali Gagar Mayang dengan
mudah menghindari serangan tombak yang mengarah
ke dadanya. Gadis itu melipat kaki kanannya dan menarik kaki kirinya ke
belakang. Begitu tombak pendek
itu lewat di atas kepalanya, ia menyambar kaki Sekar
Arum dengan sapuan kakinya.
Sekar Arum melenting sambil menghunjamkan
tombak pendeknya ke leher Gagar Mayang. Untuk
menghemat tenaga, Gagar Mayang terpaksa menangkis
tombak pendek itu dengan seruling bambu wulungnya.
''Trakkk!"
Kaget bukan kepalang Sekar Arum merasakan
tenaga dalam yang tersalur lewat seruling bambu wulung itu. la memang sudah
mengira seruling itu dilambari tenaga dalam jika terjadi bentrokan senjata.
Akan tetapi, ia tidak menyangka bahwa tenaga dalam
gadis itu begitu sempurna. Dan, kalau saja ia tidak
mengerahkan tenaga dalam sewaktu menyerang tadi,
sudah pasti tombak pendeknya akan terlepas dari
genggaman tangannya.
''Kita akan kehilangan waktu banyak untuk
perkelahian yang tak berarti ini!" kata Gagar Mayang
setelah melompat mundur beberapa tombak, ''Kalau
kau memang masih bersikeras ingin mengalahkanku,
kita bisa meneruskan perkelahian ini nanti setelah
urusan kita di Desa Majamulya selesai! Bagaimana?"
''Katakan saja bahwa kau ingin meminta pertolongan saudara seperguruanmu itu
untuk bersamasama meringkusku!" dengus Sekar Arum.
''Untuk apa aku memancingmu menjauhi desa
kalau memang aku berniat meringkusmu" Bukankah
lebih mudah jika aku menyerangmu di dekat kademangan tadi?" Gagar Mayang
menyimpan kembali senjatanya di pinggang.
Benar juga kata gadis itu, pikir Sekar Arum Ya,
kalau memang ia berniat mencelakakanku, pastilah ia
justru memancingku agar masuk ke halaman kademangan, dan kemudian bersama-sama
Ki Langendriya maka ia akan dengan mudah meringkusku.
''Kisanak, terus terang saja, kedatanganku ke
Desa Majamulya untuk mencegah perbuatan sewenang-wenang Ki Demang Majamulya Kami
memang saudara seperguruan. Tetapi, Demang Majamulya telah
menyalahgunakan ilmu silatnya untuk berbuat sewenang-wenang. Nah, kalau kau
percaya dengan penjelasanku ini. Sebaiknya kita harus secepatnya kembali ke
kademangan Tetapi, kalau kau tetap tidak mempercayaiku, biarlah aku
mendahuluimu!' ''Tunggu!" cegah Sekar Arum. "Aku menyetujui
usulmu. Kita tunda perkelahian kita sampai urusan kita di Desa Majamulya
selesai!" *** Di Pendopo Kademangan Desa Majamulya, Ki
Langendriya semakin gelisah menunggu kemunculan
Jata Gimbal. Meski ia telah menyuruh Kentus dan
Kampret untuk menyusul Jata Gimbal ke Desa Kuwung, tetap saja ia mengkhawatirkan
keselamatan orang kepercayaannya itu. Jika benar Jata Gimbal celaka di tangan seseorang,
apalah arti ilmu silat yang
dimiliki Kentus dan Kampret bagi lawan yang telah
mencelakakan Jata Gimbal itu!
Maka Ki Langendriya melompat dari tempat
duduknya begitu terdengar bunyi kentongan dipukul
berkepanjangan. Itulah pertanda bahwa telah ditemukan mayat seseorang yang mati
terbunuh! Dan, sebelum ia sempat bertanya kepada para peronda yang
tengah bertugas, terdengar derap kaki kuda semakin
mendekati kademangan. Dari sinar obor yang mengapit
jalan menuju kademangan itulah Ki Langendriya mengenali tubuh Jata Gimbal yang
tersampir kaku di
punggung kuda. ''Jahanam!" geram Ki Langendriya sambil mengepalkan tangannya. Rahangnya
mengencang, dan terdengar suara gigi bergemeretak.
''Seseorang telah membunuh Ki Jata Gimbal, Ki
Demang," lapor Kampret yang berlari menyusul langkah kaki kuda.
''Kenapa kau biarkan jahanam itu lolos?" sergah Ki Langendriya.
''Kami berdua belum sampai ke Desa Kuwung
ketika kami lihat kuda Ki Demang membawa tubuh Ki
Jata Gimbal," jawab Kentus yang tengah sibuk mengatur napas.
Ki Langendriya memeriksa luka di dada Jata
Gimbal. Luka yang berawal dari punggung dan tembus
ke dada. Mata Ki Langendriya terbeliak memandangi
luka yang mendatangkan maut bagi orang kepercayaannya itu.
''Sekarang juga kita cari jahanam itu di Desa
Kuwung!" kata Ki Langendriya seraya memutuskan tali
yang mengikat mayat Jata Gimbal di punggung kuda.
Setelah dua orang penduduk desa membawa
mayat Jata Gimbal ke pendopo kademangan, Ki Langendriya mencemplak kudanya dan
memacunya menuju Desa Kuwung.
Dalam pada itu, di luar mulut desa, Gagar
Mayang dan Sekar Arum tengah bersitegang untuk
menentukan siapa yang berhak lebih dulu berhadapan
dengan demang Desa Majamulya itu.
"Aku yang membunuh Jata Gimbal! Tentu aku
pula yang dicari Demang Langendriya!" kata Sekar
Arum. ''Tetapi, aku yang lebih dulu tiba di desa ini!
Aku yang terlebih dahulu harus berurusan dengan
demang di desa ini!" bantah Gagar Mayang
''Kalau begitu, kita tentukan saja siapa yang keluar sebagai pemenang dl antara
kita berdua, maka dialah yang lebih dulu boleh berurusan dengan demang
keparat itu!"
''Kita telah sepakat untuk menunda urusan kita
berdua! Sebaiknya, kita undi saja...."
''Tidak! Aku paling benci dengan segala macam
undian!" tukas Sekar Arum sambil menggeleng. "Kita
tetap harus berhadapan!"
Gagar Mayang tidak langsung menyahut. Ia
mengerutkan dahi sejenak, lalu katanya, ''Bagaimana
kalau kita berlomba mengejar kuda yang membawa Ki
Demang" Siapa yang lebih dulu tiba di depan kuda itu,
dialah yang berhak berurusan dengan Ki Demang!"
''Jangan menyesal jika aku yang lebih dulu
mendapatkannya!" sahut Sekar Arum yakin. Ia merasa
pasti bisa mengalahkan kecepatan berlari gadis yang
baru saja dikenalnya ini. Selama berbulan-bulan ia
pernah berlatih berlari mengejar ombak di Pesiar Laut
Selatan. Apalah artinya jika hanya mengejar seekor
kuda" ''Kita tunggu sampai kuda itu melintas! Setelah
kuda melewati pohon trembesi itu, barulah kita berpacu mengejarnya! Bagaimana?"
Sekar Arum mengangguk seraya menajamkan
pendengarannya. Samar-samar terdengar derap kaki
kuda yang dinaiki Ki Langendriya. Tak lama lagi kuda
itu akan melintas di depan mereka berdua. Dan, Sekar
Arum merasa pasti bisa mendahului gadis dari Bukit
Cangak ini. Dalam hal mengadu ilmu meringankan tubuh, ia baru mengaku kalah jika
harus berlomba melawan Joko Sungsang. Dan, agaknya tidak ada seorang
pun tokoh rimba persilatan yang mampu menandingi
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Joko Sungsang.
Terkecuali, tentu saja, Wiku Jaladri!
Pada saat yang bersamaan, Gagar Wayang berpikir lain dalam menghadapi adu ilmu
meringankan tubuh melawan gadis dari Padepokan Karang Bolong
itu. Gadis yang memang berpembawaan rendah hati ini
tidak berani gegabah menyepelekan ilmu meringankan
tubuh gadis murid Ki Sempani itu. Betapa pun gadis


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Padepokan Karang Bolong itu kelihatan angkuh, ia
tidak berani menuduh bahwa keangkuhan gadis itu
hanya untuk menutupi kekurangannya. Meski baru
sedikit, tadi telah dijajakinya ilmu silat gadis itu.
''Kalau memang gadis ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, tidak akan ia
berhasil menyusul hingga
luar desa," kata Gagar Mayang kepada dirinya sendiri.
Mengingat tingkatan ilmu silat yang dimiliki gadis bertombak pendek itu, Gagar
Mayang meragukan
dirinya bisa mengalahkan gadis itu dalam lomba mengejar kuda Ki Langendriya
nanti. Namun, untuk bisa
dikalahkan gadis itu pun, ia tidak yakin. Jadi, kemungkinan yang ada hanyalah
satu: mereka bersamaan dalam mencapai kuda Ki Langendriya nantinya!
Ini berarti akan menimbulkan kesulitan lagi bagi keduanya. Mereka harus kembali
bersitegang memperebutkan hak berurusan dengan Ki Demang Majamulya.
''Kalau begitu, aku harus mengalah agar tidak
timbul kesulitan nantinya," bisik batin Gagar Mayang.
Lebih lanjut gadis murid Eyang Kuranda Geni
ini berpikir, dengan mengalah dalam adu lari cepat
nanti, kemungkinan justru akan menguntungkannya.
Kalaupun gadis Karang Bolong itu nantinya berhasil
merobohkan Ki Langendriya, berarti gadis itu telah
membantunya melenyapkan iblis dalam diri Ki Langendriya. Sebaliknya, jika gadis
bertombak pendek itu
kalah dalam pertarungannya melawan Ki Langendriya,
inilah kesempatan baik untuk menyadarkannya dari
sifat pongahnya.
Maka Gagar Mayang memberikan kesempatan
kepada Sekar Arum untuk melesat lebih dulu sewaktu
kuda yang membawa Ki Langendriya telah melewati
pohon trembesi. Sudah barang tentu Sekar Arum-lah
yang lebih dulu menghadang kuda Ki Langendriya. Sesuai dengan yang
direncanakannya, Gagar Mayang cepat-cepat bersembunyi tak jauh dari punggung Ki
Demang Majamulya. Ia harus rela menjadi penonton dari
tempat persembunyiannya.
Ki Langendriya sekuat tenaga menarik tali kekang kudanya begitu dilihatnya
seorang gadis menghadang di tengah jalan. Meski kemarahannya sudah
sampai di ubun-ubun, ia mencoba untuk menahan diri. Ia pernah mendengar cerita
tentang gadis cantik
yang berpakaian serba putih ini. Terlebih sewaktu
pandangan matanya membentur tombak pendek bermata dua yang terselip di pinggang
gadis itu. "Hei, bukankah kau yang dijuluki Bidadari dari
Karang Bolong?" kata Ki Langendriya setelah turun dari punggung kudanya, sambil
tertawa. "Baru mulutmu yang menyebutku begitu, Ki
Demang," sahut Sekar Arum. ''Tetapi, yang pasti aku
memang dari Padepokan Karang Bolong! Dan, akulah
yang mengirim Jata Gimbal ke kademangan Majamulya!"
''Jahanam keparat! Bosan hidup!" dengus Ki
Langendriya. ''Kau pikir kau masih bisa lolos dari tanganku" Dasar bocah
pongah!" "Ki Demang, aku terpaksa membunuh orang
suruhanmu itu sebab aku tidak ingin melihat orangorangmu mengotori Desa Kuwung!
Setidaknya, aku tidak tega melihat gadis macam Sunti menjadi korban
nafsu hewanmu!"
"Ha ha ha! Rupanya ada juga badut yang berwajah cantik!" Ki Langendriya justru
merasa geli mendengar ucapan gadis berpakaian serba putih itu. Kemarahannya
serta-merta surut. Keinginan untuk
membunuh gadis itu lenyap digantikan oleh keinginan
untuk mencumbu gadis itu. Bukankah gadis lancang
ini nyatanya lebih cantik jika dibandingkan dengan
Sunti". Sebelum Sekar Arum menyahut ucapan Ki Langendriya, tiba-tiba saja lima orang
anak buah Ki Langendriya telah muncul di tempat itu. Mereka telah bersiap-siap
dengan golok telanjang di tangan.
''Kalian jangan sembarangan bertindak! Lawanku kali ini bukan cacing kremi yang
dengan mudah bisa kalian atasi! Mundur!" seru Ki Langendriya kepada
lima lelaki yang telah bersiap-siap menerima perintahnya.
''Kenapa mereka kau suruh mundur, Ki Demang" Tidakkah lebih baik mereka
membantumu mengeroyokku?" ejek Sekar Arum.
"He he he! Kau memang layak memandang sebelah mata kepadaku, Cah Ayu. Aku tahu,
kau pernah merobohkan Kebo Dungkul yang dungu itu. Nah, ba-
rangkali kau kira aku sedungu Kebo Dungkul" Tak
apalah! Kalau saja kau tidak secantik bidadari, sudah
pasti aku marah mendengar ejekan mu!" Ki Langendriya melangkah pelahan mendekati
Sekar Arum. Tangan kanannya memilin-milin kumis.
''Selangkah lagi kau maju, perutmu yang busung itu kurobek-robek, demang
bandot!" hardik Sekar
Arum seraya melolos tombak pendeknya dari pinggangnya.
"Ha ha ha! Dan, kalau aku menuruti kehendakmu, apa berarti kau juga mau menuruti
kehendaku, Cah Denok" Percayalah, aku rela kehilangan Sunti
asalkan kau mau menggantikannya...."
''Dasar kambing bandot!" tukas Sekar Arum
sambil menerjang perut Ki Langendriya dengan tusukan tombak pendeknya.
''Haladalah!" seru Ki Langendriya. Dengan gesit
ia berkelit ke samping, Namun, dengan sigap sisi telapak kaki kanan Sekar Arum
melabrak pinggangnya.
''Desss!" Ki Langendriya meringis menahan rasa mual
yang menjalari perutnya. Mata lelaki itu melebar, Kemarahan yang tadi surut,
kini meluap lagi. Sama sekali tak disangkanya bahwa gadis cantik yang
dihadapinya ini bisa dengan mudah menyentuh tubuhnya.
''Betina keparat! Kau memang tidak pantas dibujuk! Bersiaplah menyusul Jata
Gimbal ke neraka!"
geram Ki Langendriya setelah memperbaiki kudakudanya.
Sekar Arum tak menanggapi. Kembali tombak
pendeknya menjulur cepat. Kini perut buncit Ki Langendriya benar-benar terancam.
Namun, tentu saja Ki
Demang Majamulya ini sudah lebih mawas dibandingkan dalam menghadapi serangan
lawan sebelumnya.
Tak akan ia membiarkan senjata Sekar Arum nyentuh
kulitnya. Betapa pun tombak pendek itu bergerak begitu cepatnya, tetap saja Ki
Langendriya mampu menghindarinya. Tubuh tinggi besar itu seakan hilang dari
pandang mata Sekar Arum. Bahkan dengan tiba-tiba
telapak tangan Ki Langendriya terjulur ke arah pergelangan kaki Sekar Arum.
''Hiyaaa!" seru Ki Langendriya merasa pasti
berhasil mencengkeram pergelangan kaki lawan.
Desiran angin yang menyentuh kulit pergelangan kakinya membuat Sekar Arum
secepat kilat memutar tombak pendeknya untuk melindungi pergelangan kakinya.
Lagi-lagi Ki Langendriya harus melompat
ke samping setelah menarik telapak tangannya.
Diam-diam Sekar Arum mengakui kelincahan
lawannya dalam menghindari setiap serangan. Sungguh tak sesuai dengan tubuhnya
yang mirip gajah. Lalu, ia pun menyadari bahwa jika pada gebrakan awal
tadi Ki Langendriya gagal menghindari tendangan kakinya, bukan sebab ia lengah.
Sikap meremehkan lawan itulah yang membuat Ki Langendriya sempat terhunjam
tendangan! "Cah Denok, sebelum aku menurunkan aji pamungkasku, sebaiknyalah kau menyerah!"
ujar Ki Langendriya. ''Tutup mulutmu, demang bandot!" sergah Sekar Arum berang. Ucapan itu sungguh-
sungguh merupakan penghinaan baginya. la memang pernah mendengar kehebatan Jurus
Tangan Dewa Menggenggam
Buih. Namun, tidak berarti ia harus takut menghadapinya.
"Kau tidak sayang kaki atau tanganmu yang
mulus itu, gadis bengal" Pernahkah kau membayangkan bagaimana jika tangan atau
kakimu remuk?" kata
Ki Langendriya setelah berhasil membebaskan lehernya dari hunjaman tombak lawan.
''Kita lihat saja aji pamungkas siapa yang lebih
unggul!" sahut Sekar Arum seraya mempersiapkan jurus pamungkas tombak pendeknya.
"Ha ha ha! Sudah kukatakan bahwa aku tidak
Pedang Kiri Pedang Kanan 2 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Jangan Ganggu Aku 1
^