Pencarian

Siluman Kera Sakti 1

Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Bagian 1


SILUMAN KERA SAKTI Oleh Werda Kosasih
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Werda Kosasih Serial Pendekar Perisai Naga
dalam episode: Siluman Kera Sakti 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Bukit Cangak yang gersang, yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan,
tiba-tiba menjadi pusat perhatian orang-orang dari rimba persilatan.
Mereka, orang-orang dari rimba persilatan, tahu bahwa
di bukit itulah sesungguhnya tersimpan Ki Sumping
Sedapur, keris luk tujuh peninggalan dari Zaman Kerajaan Majapahit.
Maka tidak sedikit orang dari rimba persilatan
yang mendatangi bukit itu, khususnya mereka yang
bernaung di bawah panji-panji golongan hitam. Mereka
merasa harus mendapatkan Ki Sumping Sedapur sebab mereka yakin bahwa dengan
memiliki pusaka itu
mereka akan berhasil merajai dunia persilatan.
Eyang Kuranda Geni, seorang panembahan
yang tinggal di bukit itu, adalah satu-satunya orang
yang harus bertanggung jawab menghadapi mereka
yang menginginkan Ki Sumping Sedapur. Sebab, memang orang tua itulah yang
menyimpan keris luk tujuh itu. Berita ini tersebar semenjak Ki Langendriya
mencuri keris itu, sekalipun pada akhirnya ia tak berhasil memilikinya (Baca
juga ''Pusaka Bukit Cangak").
Kegemparan di dunia persilatan ini memang
sudah diramalkan oleh Eyang Kuranda Geni semenjak
keris Itu hilang dari padepokannya. Bertahun-tahun
sudah keris Itu dilupakan orang banyak. Mereka menganggap bahwa keris pusaka itu
telah musnah dari
muka bumi. Akan tetapi, karena ulah Ki Langendriya
maka Ki Sumping Sedapur kembali dibicarakan orang
banyak. Kembali Eyang Kuranda Geni menyesali tingkah muridnya mencuri pusaka itu. la pun
menyesal te- lah menceritakan perihal keris luk tujuh itu kepada Ki
Langendriya. Sungguh tak disangkanya jika murid terkasihnya itu akan menaruh
perhatian pada Ki Sumping Sedapur, bahkan kemudian berani mencurinya.
Kini akibatnya Eyang Kuranda Geni lah yang
harus menanggung. Dalam beberapa malam ini saja ia
harus berhadapan dengan sepuluh orang dari golongan hitam yang mendatangi
padepokannya. Kembali ia
harus membunuh seperti yang dilakukannya puluhan
tahun yang lalu. Padahal ia bersembunyi di Bukit Cangak karena ia tak mau lagi
berurusan dengan orangorang dari rimba persilatan, dan tak mau membunuh.
Sepuluh orang dari golongan hitam yang terbunuh dalam beberapa malam ini memang
bukan tandingan Eyang Kuranda Geni. Mereka adalah anakanak muda yang belum bisa
mengukur tingkatan ilmu
silat yang dimiliki Eyang Kuranda Geni. Jangan lagi
hanya mereka, sedangkan guru mereka pun belum
tentu bisa menandingi Eyang Kuranda Geni dalam pertarungan hidup dan mati.
Tewasnya sepuluh orang murid dari Perguruan
Sasra Gumbala ini sudah pasti memancing kemarahan
orang pertama dalam perguruan itu. Danyang Kumbayana, guru dari Perguruan Sasra
Gumbala itu, merasa sangat terhina atas kematian sepuluh orang muridnya.
Betapapun ia merasa ditantang oleh Eyang Kuranda Geni, betapapun kemarahan
hampir-hampir memecahkan dadanya, ia tetap ingat untuk tidak bertindak gegabah, la menyadari
siapa yang harus dihadapinya kali ini. Dari cerita yang didengar lewat penuturan
gurunya, Danyang Kumbayana bisa mengukur
tingkatan ilmu silat yang dimiliki Eyang Kuranda Geni.
Terlebih lagi setelah ia melihat kenyataan bahwa sepu-
luh orang muridnya tak seorang pun bisa meloloskan
diri dari Bukit Cangak.
Dendam kesumat tak membuat Danyang Kumbayana lupa diri. Sepenuhnya ia sadari
bahwa tak mungkin baginya mengalahkan Eyang Kuranda Geni
dalam pertarungan satu lawan satu. Meski ia belum
pernah menghadapi, ia tetap giris mendengar kehebatan Jurus Tambak Segara dari
Padepokan Bukit Cangak. Apalagi jurus itu kini diterapkan oleh guru padepokan
itu sendiri. Dan, sampai kapan pun Danyang
Kumbayana tak akan melupakan pesan gurunya sehubungan dengan jurus maut dari
Padepokan Bukit
Cangak itu. Kata gurunya suatu hari," Jangan lagi hanya
sepuluh orang muridmu yang bodoh itu, Kumbayana.
Aku, gurumu, tidak berani memastikan bisa menembus Jurus Tambak Segara yang
diterapkan oleh Eyang
Kuranda Geni!"
Mengingat kata-kata gurunya inilah maka Danyang Kumbayana semakin kecil hati
untuk berhadapan dengan Eyang Kuranda Geni seorang diri. Karena
itu pula, ia memutuskan untuk menghadapi Eyang
Kuranda Geni bersama gurunya. Bagaimanapun juga
ia harus bisa membujuk gurunya untuk bersamasama meluapkan dendam yang
membeludak dalam
dadanya. Ki Buyut Senggana, guru Danyang Kumbayana,
sudah berusaha mengingatkan muridnya agar melupakan dendamnya kepada Eyang
Kuranda Geni. Berbagai dalih dilontarkannya. Akan tetapi, selaras dengan niat
yang menggumpal dalam dadanya, Danyang
Kumbayana tak mau mundur. Malahan ia berkata,
''Kalau memang Guru menegakan sepuluh orang murid saya, apakah berarti Guru juga
akan menegakan saya?" ''Maksudmu?" tanya Ki Buyut Senggana sambil
menaikkan alis matanya yang telah memutih.
''Saya tetap akan berangkat ke Bukit Cangak
meskipun tanpa ditemani Guru," jawab Danyang
Kumbayana. Ki Buyut Senggana menghirup napas dalamdalam. Tak disangkanya jika murid
tunggalnya ini akan nekad pergi meski tanpa restunya. Padahal, ia
tahu apa yang bakal terjadi jika muridnya itu berhadapan dengan Eyang Kuranda
Geni seorang diri. Tak lebih daripada bunuh diri!
''Kumbayana, sekali lagi aku ingatkan bahwa
orang sakti dari Bukit Cangak itu bukan tandinganmu," kata Ki Buyut Senggana.
''Bukankah baru tiga
hari yang lalu aku ceritakan bagaimana murid Padepokan Bukit Cangak telah
berhasil membunuh Ki
Tunggui Wulung" Memang ia telah mendapatkan bantuan dari seorang gadis yang
bernama Endang Cantikawerdi. Tetapi, kedua gadis itu tidak mungkin mampu
melumpuhkan Ki Tunggui Wulung jika bukan karena
mereka berdua memiliki ilmu silat yang pilih tanding.
Nah, pikirkanlah sekali lagi. Itu baru muridnya. Bagaimana dengan gurunya?"
"Saya mengerti, Guru. Tetapi, rasanya saya tidak mungkin membiarkan begitu saja
perbuatan orang
tua itu terhadap murid-murid saya! Bagaimanapun juga saya harus membalaskan
kematian mereka! Terserahlah jika Guru tidak mau ambil peduli terhadap kematian
mereka. Tetapi, saya sebagai guru mereka merasa bertanggung jawab!" sahut
Danyang Kumbayana.
Dan, sewaktu dilihatnya Ki Buyut Senggana tetap diam, maka katanya meneruskan,
"Guru, tidakkah Guru
akan ikut merasa senang jika saya bisa mendapatkan
keris luk tujuh yang disebut-sebut sebagai pusaka peninggalan Zaman Kerajaan
Majapahit itu?"
"Ki Sumping Sedapur?" desah orang tua itu dalam dada. Kemudian tergambar kembali
dalam benaknya peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu. Ia juga
pernah memburu keris pusaka itu. Namun, ia terpaksa
berhenti di tengah jalan sebab seseorang telah membuatnya tak berdaya. Karena
itulah kemudian ia bertekad memperdalam ilmu silatnya. Dan, ia bersumpah
harus bisa menuntut balas kekalahannya waktu itu.
"Dan, inilah kesempatan menuntut balas itu," desah
orang tua itu lagi.
''Kenapa Guru hanya diam saja" Apakah berarti
Guru memang tidak mempedulikan saya" Guru tidak
peduli apakah saya berangkat ke Bukit Cangak atau
tidak?" desah Danyang Kumbayana.
''Tetapi, bisakah aku mengalahkannya" Tidakkah ia juga telah berhasil
memperdalam ilmu silatnya"
Mampukah aku menembus Jurus Tambak Segara yang
tangguh itu?" kata orang tua itu lagi, masih dalam dada.
"Guru, saya tetap berangkat sekalipun Guru tidak ambil peduli," kata Danyang
Kumbayana sambil
bangkit dari duduknya.
''Tunggu!" kata Ki Buyut Senggana.
''Saya tetap akan berangkat sekalipun Guru
meragukan saya bisa menandingi orang tua keparat
itu!" ''Kita berangkat berdua, Kumbayana," sahut Ki
Buyut Senggana.
Wajah Danyang Kumbayana berseri-seri mendengar kesanggupan gurunya ini. Maka
katanya dengan dada membusung, ''Saya percaya, Guru akan
mampu mengirim orang tua pongah itu ke neraka!"
"Kau yang pongah, bukan dia!" kata Ki Buyut
Senggana dengan suara parau. Lalu sambung orang
tua itu lagi, "Kau tak usah ikut campur. Biarlah perkara ini menjadi urusan
kami, orang-orang tua. Kau harus tetap menjaga kelanggengan Perguruan Sasra
Gumbala. "
''Maksud Guru?" sahut Danyang Kumbayana
tak mengerti. "Kau hanya aku izinkan menonton. Dan, kalaupun kau lihat aku terdesak, kau aku
larang untuk membantuku. Mengerti?"
"Guru..."
''Jangan bantah pesanku jika kau tetap ingin
aku berangkat ke Bukit Cangak!" sergah Ki Buyut
Senggana. *** Dalam siraman sinar bulan purnama, Bukit
Cangak nampak angker. Bayangan bukit itu benarbenar mirip burung cangak yang
tengah mengembangkan sayap dan mengangakan paruhnya. Itulah kenapa
bukit itu kemudian dikenal orang sebagai Bukit Cangak. Lain daripada itu, burung
cangaklah yang paling
layak hidup di bukit itu. Akan tetapi, toh pada kenyataannya tak seekor burung
cangak pun nampak berkelebat di bukit itu. Kalaupun bukit itu dianggap pantas
didiami burung cangak, sebab hanya burung cangak
yang pantas pula dihubungkan dengan kematian.
Sebelum Eyang Kuranda Geni tinggal di bukit
itu, memang tak seorang pun berani mendekat. Bukan
rahasia lagi bahwa di bukit itu berdiam sekawanan perampok yang keji dan berilmu
silat tinggi. Bahkan
penduduk desa di kaki bukit itu memilih pergi mening-
galkan rumah mereka ketimbang harus berurusan
dengan sekawanan perampok berdarah dingin itu. Para
perampok itu tak segan-segan membunuh dan menggantung mayat-mayat korban
kekejian mereka di pohon-pohon.
Ketakutan para penduduk desa terhadap bukit
ini justru dimanfaatkan oleh Eyang Kuranda Geni. Tak
seorang pun bisa memberikan keterangan kepada
orang-orang rimba persilatan bahwa di bukit itu berdiam orang sakti dengan
seorang cucunya yang bernama Gagar Mayang.
Apalah artinya para perampok yang hanya bisa
menakut-nakuti penduduk desa itu bagi Eyang Kuranda Geni. Ilmu silat tinggi bagi
ukuran penduduk desa
tadi ternyata tak begitu berarti bagi Eyang Kuranda
Geni. Dalam beberapa gebrakan, tewaslah sekawanan
perampok yang telah bertahun-tahun menjadi momok
bagi penduduk desa di kaki bukit itu.
Untuk beberapa lama Eyang Kuranda Geni
memang tenang berdiam di Bukit Cangak. Akan tetapi,
sejak Ki Langendriya muncul, mulailah orang-orang
mencium keberadaan Eyang Kuranda Geni di bukit itu.
Namun demikian, toh mereka tetap tidak tahu bahwa
Eyang Kuranda Geni membawa serta Ki Sumping Sedapur ke bukit itu. Itulah yang
membuat Eyang Kuranda Geni tetap merasa tenteram tinggal di Bukit
Cangak. Bulan purnama tersaput mendung. Sinarnya
berubah kusam. Namun, kekusaman sinar bulan itu
tak berhasil menyembunyikan dua bayangan yang
mengendap-endap mendekati Padepokan Bukit Cangak. Dan, di dalam pondok yang
beratapkan daun kolang-kaling itu, Eyang Kuranda Geni mendengar langkah-langkah
kaki di sela-sela siur angin serta suara
ranting bergesekan.
''Masih ada lagi orang-orang tolol yang diracuni
hawa nafsu serakah," kata hati orang tua itu sambil
bangkit dari duduknya. Kemudian ia membuka pintu
pondok lebar lebar.
"Ia mengetahui kehadiran kita," bisik bayangan
yang berdiri di depan.
''Apakah membuka pintu berarti mempersilakan tamu?" tanya bayangan yang berdiri
di belakang. ''Kita harus mendatanginya secara terangterangan sebelum ia mempermalukan kita."
''Maksud Guru?"
"Kau tunggu di sini. Biarlah aku yang mendatanginya ke pondok...."
'Tak akan kau temukan benda yang kau cari di
pondokku, Buyut Senggana," tukas Eyang Kuranda
Geni yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang mereka.
"Kau masih mengenaliku, Kuranda Geni?"
tanya Ki Buyut Senggana dengan dada berdeburdebur.
''Sejak sepuluh orang kaki-tanganmu mengotori
bukit ini, aku sudah meramalkan bakal kedatanganmu, Buyut Senggana."
"Percaya atau tidak, kedatanganku ini tidak ada
hubungannya dengan kesepuluh orang tolol itu, Kuranda Geni."
"Maksudmu, kau akan meneruskan urusan kita beberapa tahun yang lalu" Bukankah
sama saja tujuanmu dengan cecurut-cecurut itu" Hmmm, orang setua kau masih juga
terpancing...."
'Tak ada gunanya kita terlalu banyak bicara,
Kuranda Geni. Sekarang, aku ingin melihat apa yang
bisa kau perbuat dengan Jurus Tambak Segaramu.
Bersiaplah!"


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

''Kalau kedatanganmu kemari hanya karena ingin memamerkan ilmu silatmu yang baru
saja kau perdalam, aku hormati niatmu. Tetapi, kalau kau
hanya menginginkan keris luk tujuh itu, percumalah
kau datang jauh-jauh dari Rawa Genjer."
"Kau juga tega membohongiku bahwa Ki Sumping Sedapur tidak lagi kau sembunyikan
di sini" Haha-ha! Aku bukan anak bawang seperti mereka yang
menjadi korban nafsu serakahmu, Kuranda Geni...."
''Memang salahku," tukas Eyang Kuranda Geni.
''Tetapi, sesungguhnyalah orang-orang dari Rawa Genjer itu aku beri kesempatan
untuk pulang dan menyampaikan pesanku. Ya, kalau saja ada di antara mereka yang
bisa kembali ke Rawa Genjer dengan selamat, kau pun akan tahu bahwa keris luk
tujuh itu sudah lenyap dari bukit ini bersama maling yang mencurinya. "
''Cukup! Hentikan bualanmu, dan bersiaplah
menerima seranganku, Kuranda Geni!" hardik Ki
Buyut Senggana seraya mementangkan kedua belah
lengannya. Inilah gerak pembuka Jurus Siluman Kera
Sakti. Eyang Kuranda Geni secepatnya mawas diri. Ki
Buyut Senggana yang dihadapinya sekarang jelas bukan lagi Ki Buyut Senggana yang
dihadapinya beberapa tahun yang lalu. Dilihat dari gerak pembuka Jurus
Siluman Kera Sakti itu, jelas bahwa kemajuan pesat
telah diperoleh Ki Buyut Senggana. Angin yang ditimbulkan oleh rentangan tangan
itu seolah mampu meluruhkan dedaunan yang masih hijau.
Menyadari hal ini, Eyang Kuranda Geni sigap
menajamkan pendengarannya. Ia tahu, tak lama lagi
lawan akan bergerak memutar yang akan sulit diikuti
pandangan mata. Jangan dikata dalam suasana remang-remang seperti sekarang,
sedang andaipun mereka harus bertempur siang hari pun Jurus Siluman
Kera Sakti dengan mudah bisa mengelabui mata.
Wusss! Wusss! Wusss!
Danyang Kumbayana sendiri terheran-heran
memandangi apa yang terjadi di depan matanya. Tibatiba saja tubuh gurunya tak
nampak lagi. Ia hanya bisa melihat bayangan hitam memutari tubuh Eyang Kuranda
Geni. Seolah Ki Buyut Senggana berubah menjadi seribu. Sulit dibedakan antara
bayangan dengan
tubuh Ki Buyut Senggana yang sebenarnya.
"Ah, kalau saja aku sudah berhasil mempelajari
jurus ini," kata hati Danyang Kumbayana sambil mencoba menebak-nebak di sebelah
mana sesungguhnya
Ki Buyut Senggana berdiri.
Namun, Eyang Kuranda Geni bukanlah anak
ingusan yang terpaku memandangi ilmu sihir. Ia tetap
bisa membedakan mana yang semu dan mana yang
nyata. Mata tuanya boleh tertipu, tetapi pendengarannya tetap bisa menangkalnya.
''Hiyaaat!" teriak Eyang Kuranda Geni sambil
menerjang bayangan yang berdiri tepat di samping kanannya.
Bresss! Kedua tubuh orang tua renta itu bertabrakan.
Akibatnya, tubuh keduanya terpelanting. Tubuh Ki Buyut Senggana melayang dan
melabrak sebongkah cadas sebesar kerbau. Namun, Jurus Siluman Kera Sakti membuat
tubuhnya lentur mirip tubuh
kera yang terbanting. Ia sempat bersalto sebelum
punggungnya menghantam cadas.
Dalam pada itu, Eyang Kuranda Geni yang tengah menerapkan Jurus Tambak Segara
tak sedikit pun
mengalami cedera ketika tubuhnya membentur pohon
kolang-kaling. ''Semakin mumpuni Jurus Tambak Segaramu,
Kuranda Geni!" ujar Ki Buyut Senggana setelah kembali berdiri di atas kuda-
kudanya. ''Jurus Monyet Mabuk-mu pun cukup membuatku bingung, Buyut Senggana," sahut
Eyang Kuranda Geni. ''Tetapi, waspadalah. Kini giliranku menyerangmu!" kata Ki Buyut Senggana
sebelum kemudian
menerjang Eyang Kuranda Geni dengan tebakan ke
arah dada. Pukulan ini jelas tidak akan berarti bagi
Eyang Kuranda Geni jika saja Ki Buyut Senggana tidak
menerapkan Ajian Brajamusti.
Mawas diri Eyang Kuranda Geni. Beberapa malam yang lalu, ia telah mencicipi
Ajian Brajamusti ini
lewat tangan orang-orang Rawa Genjer. Tak berhasil
mereka menembus Jurus Tambak Segara. Namun, kali
ini pukulan itu datang dari tangan maha guru mereka.
Maka Eyang Kuranda Geni secepatnya berkelit ke
samping dengan satu loncatan.
"Ha-ha-ha! Aku kira kau berani menabrakku
dengan Jurus Tambak Segara mu, Kuranda Geni!" ejek
Ki Buyut Senggana.
Dalam pada itu, Danyang Kumbayana pun tertawa bangga. Ia melihat Jurus Tambak
Segara ternyata
tak bisa diandaikan untuk menghadapi Ajian Brajamusti. Lalu, apa lagi yang akan
diandalkan tua bangka
keparat itu"
''Buyut Senggana, jangan kau cepat besar kepala. Usia lata sudah mendekati
kubur. Tidak seharusnya lata cepat besar kepala. Sikap pongah hanya akan
mengajak kita untuk melupakan Gusti Yang Maha...."
'Tak usah berkotbah, Kuranda Geni!" tukas Ki
Buyut Senggana. "Aku datang ke Bukit Cangak ini bukan untuk mendengarkan
kotbahmu. Dan, aku belum
memikirkan tanah kuburan. Nah, bersiaplah kembali.
Ajian Brajamusti yang akan mengantarmu ke kuburan!"
Eyang Kuranda Geni merunduk sambil menyongsong tendangan lawan yang mengarah ke
betisnya, la tahu bahwa Ajian Brajamusti hanya bisa diterapkan lewat telapak
tangan kanan. Dan, tangan kanan itu kini telah lewat di atas kepalanya. Hawa
panas menyengat tengkuk orang tua penghuni Bukit Cangak
itu. Semakin ia menyadari betapa dahsyat Ajian Brajamusti di tangan kanan Ki
Buyut Senggana. Meski
berjarak sejengkal, tetap saja hawa panas itu menyengat.
Melihat lawan merunduk, Ki Buyut Senggana
secepatnya menarik kembali kaki kirinya sambil
menghunjamkan sisi telapak tangan kanannya ke bawah.
Wusss! Hampir saja telapak tangan kanan orang sesat
dari Rawa Genjer itu menghancurlumatkan kepala
Eyang Kuranda Geni. Pukulan susulan ini memang
sudah diperhitungkan oleh Eyang Kuranda Geni. Maka
ia secepat kilat menarik kuda-kudanya ke samping begitu lawan membatalkan
tendangan kakinya.
Danyang Kumbayana mengerjap-ngerjapkan
matanya. Sungguh, ia tak bisa mengikuti gerakan kedua kakek sakti itu jika
mereka saling menerjang.
Meski la telah bertahun-tahun berguru kepada Ki
Buyut Senggana, baru kali inilah ia menyaksikan pertarungan hidup dan mati
antara Ki Buyut Senggana
melawan musuh yang sejajar dalam tataran ilmu silat.
Kembali Ki Buyut Senggana menerjang maju.
Tubuh orang sesat dari Rawa Genjer itu berkelebat mirip burung alap alap. Akan
tetapi, lawannya kali ini
bukan seperti kebanyakan lawan yang pernah dijumpainya. Eyang Kuranda Geni
seolah menghilang dari
pandang matanya. Serangan beruntun itu kembali
mengenai angin. Malahan tiba-tiba saja serangan balasan hampir saja menyambar
tengkuk Ki Buyut Senggana. Dan, guru Danyang Kumbayana ini terpaksa
bergulingan di tanah untuk menghindari pukulan di
tengkuknya. Namun, sebelum Ki Buyut Senggana melenting
bangkit, sebuah tendangan memburunya.
Desss! Dua tubuh kurus kering itu kembali berbenturan. Eyang Kuranda Geni melompat
mundur dengan kekagetan yang memacu degup jantungnya. Sama sekali tak diduganya bahwa Ki Buyut
Senggana akan mampu menangkis tendangan susulan tadi. Lebih dari
itu, akibat dari benturan yang terjadi, Eyang Kuranda
Geni merasa seolah tulang keringnya patah.
Di pihak lain, Ki Buyut Senggana terlempar beberapa tombak. Tendangan yang
begitu deras dari lawan membuat tubuhnya seolah segumpal kapas yang
diterjang badai. Diam-diam ia bersyukur telah memagari tubuhnya dengan kedua
belah punggung tangannya.
"Guru!" teriak Danyang Kumbayana sambil
memburu tubuh gurunya yang masih bergulingan di
tanah. ''Minggirlah. Aku tidak apa-apa," kata Ki Buyut
Senggana setelah kembali berdiri di atas kudakudanya. Lalu, secepatnya orang tua
dari Rawa Genjer
itu menyalurkan hawa murni dalam tubuhnya untuk
mengatasi kedua tangannya yang serasa tertusuk-
tusuk jarum beracun.
''Izinkan saya membantu Guru," kata Danyang
Kumbayana cemas.
''Sudah kubilang, jangan kau campuri urusan
kami berdua!" sergah Ki Buyut Senggana. ''Bukankah
lebih baik kau mencari keris itu di pondok sana?"
''Cobalah kau masuk ke pondokku, tetapi jangan salahkan aku jika aku terpaksa
mencegahmu dengan kekerasan," ujar Eyang Kuranda Geni.
''Jangan pongah, Kuranda Geni! Kau pikir kau
bisa menghalang-halangi muridku?" sahut Ki Buyut
Senggana seraya menerjang dengan Ajian Brajamusti
lagi. Bersamaan dengan itu, Danyang Kumbayana
melesat ke pondok beratapkan daun kolang-kaling itu.
Namun, sebelum murid Ki Buyut Senggana ini tiba di
ambang pintu, sebutir kerikil menyambar betis kaki
kanannya. ''Aughhh!"
Tubuh Danyang Kumbayana terayun ke belakang dan jatuh terduduk. Meski hanya
sebutir kerikil,
dorongannya begitu kuat dan mengagetkan.
''Bocah tolol!" geram Ki Buyut Senggana kesal.
Selain kesal melihat kesembronoan muridnya, ia juga
kesal sebab serangannya kembali melabrak angin.
Dan, rasa kesal itu berubah menjadi kegusaran setelah
ia menyadari bagaimana Eyang Kuranda Geni bisa
menghindar sambil mengirimkan kerikil ke kaki Danyang Kumbayana.
''Bersyukurlah tanganku hanya bisa menggapai
sebutir kerikil, Buyut Senggana," kata Eyang Kuranda
Geni. ''Persetan dengan ilmu demitmu!" sergah Ki
Buyut Senggana. ''Tetapi, cobalah sekali ini kau meng-
hindar! Dan, jangan coba-coba kau tetap menyimpan
Jurus Tambak Segara-mu yang loyo itu!"
''Menyimpan" Apa maksudmu, Buyut Senggana?"
''Jangan berlagak bodoh! Sejak tadi kau hanya
berkelit sebab kau takut mengadu Jurus Tambak Segara-mu dengan Ajian Brajamusti-
ku! Atau, kau malu
jika nyatanya jurus andalanmu itu tidak berarti lagi
untuk membendung seranganku?"
''Ha ha ha! Bukankah kau tadi sempat memuji
Jurus Tambak Segara ku, Buyut Senggana?"
''Agaknya semakin tua semakin dungu kau, Kuranda Geni! Nah, bersiaplah
menyongsong maut yang
siap menjemputmu!"
"Maut hanya datang dari-Nya, Buyut Senggana.
Tak perlulah kau mengeluarkan seluruh ilmumu untuk membunuhku jika yang di atas
sana memang menghendaki kematianku...."
'Tutup mulutmu, Kuranda Geni! Buka matamu
lebar-lebar, dan terjanglah aku jika memang kau merasa bernyawa rangkap!"
Berkata begini, Ki Buyut
Senggana mulai menerapkan Ilmu Siluman Kera Saktinya.
"Hmmm, kau memaksaku untuk mengadu kesaktian, Buyut Senggana" Baiklah. Memang
tak mungkin bagi kita orang-orang pikun terus-menerus
mengadu napas. Tetapi, tentu saja aku tidak ingin mati
konyol oleh Ajian Brajamusti-mu!"
Gerak memutar Ki Buyut Senggana semakin
lama semakin cepat, dan akhirnya membentuk tembok
hitam yang mengurung Eyang Kuranda Geni. Inilah
puncak Jurus Siluman Kera Sakti. Selain lawan akan
berkunang-kunang dalam memandang, juga akan bingung ke arah mana harus
mengirimkan serangan. Se-
waktu lawan kebingungan inilah Ki Buyut Senggana
akan membokong dari arah belakang dengan Ajian
Brajamusti-nya.
Namun, kali ini lawan Ki Buyut Senggana bukanlah seperti lawan-lawan yang pernah
dijumpainya. Eyang Kuranda Geni adalah tokoh sakti dari golongan
lurus yang sudah bisa disejajarkan dengan Wiku Jaladri, Ki Sempani, ataupun Wasi
Ekacakra. Puluhan tahun yang silam namanya sempat menjadi momok bagi
orang-orang dari golongan hitam. Terlebih lagi, selama
bersembunyi di Bukit Cangak tak ada kegiatan lain kecuali memperdalam ilmu
kanuragan maupun ilmu kesaktian. Jurus Tambak Segara yang pernah menggegerkan
rimba persilatan itu pun sekarang telah mencapai tahap kesempurnaan. Jangan lagi
tubuh manusia, sedangkan sebongkah batu pun akan luluh-lantak
jika membentur tubuh yang telah terlapisi Jurus Tambak Segara ini.
Merasa pasti bahwa Ki Buyut Senggana akan
menyerangnya terlebih dulu, Eyang Kuranda Geni segera menerapkan gabungan Jurus
Tambak Segara dan
Ajian Gajah Meta. Sepasang lengannya terjulur melengkung membentuk sepasang
gading gajah yang siap
melabrak. ''Hiyaaat!" teriak Ki Buyut Senggana sambil
menerjang dari arah belakang lawan dengan Ajian Brajamusti.
Refleks tubuh Eyang Kuranda Geni berbalik
dan menyongsong serangan lawan dengan juluran kedua lengannya. Akan tetapi, di
luar dugaan kedua
orang sakti ini, pada saat yang bersamaan Danyang
Kumbayana menerjang dari arah yang berlawanan
dengan gurunya.
Bresss! Crottt!
Tubuh Ki Buyut Senggana seolah membentur
gading baja. Tubuh orang sesat dari Rawa Genjer itu
terlempar beberapa tombak. Dalam pada itu, tubuh
Eyang Kuranda Geni terdorong mundur beberapa
langkah dengan darah menyembur dari dadanya. Sebuah tombak menembus dada itu
dari arah punggung.
Itulah tombak yang terjulur dari tangan Danyang


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kumbayana. ''Guruuu!" teriak Danyang Kumbayana seraya
mendekati tubuh gurunya yang terbujur di tanah.
Semula Ki Buyut Senggana mencoba bangkit,
tetap tulang-tulang di tubuhnya tak kuasa menyangga
berat badannya. Sekujur tulang di tubuh orang tua itu
seakan lebur oleh gabungan Jurus Tambak Segara dan
Ajian Gajah Meta.
"Guru! Guru! Guru!" Danyang Kumbayana memeluk tubuh gurunya dengan kecemasan
membeludak di dada. "Aku belum mati, Kumbayana," bisik Ki Buyut
Senggana. "Oh, syukurlah. Kita telah memenangkan pertarungan ini, Guru...."
"Ya, karena kau telah melanggar perintahku,"
tukas gurunya. ''Kalau saja bukan karena kau curang,
orang tua sakti itu tidak akan celaka oleh Ajian Brajamusti. Ia terlalu kuat
Jurus Tambak Segara betul-betul
tak tertandingi. Dan, Ajian Gajah Meta-lah yang membantingku sehingga tulang-
tulangku serasa hancur."
"Guru pasti selamat Saya akan merawat Guru
sampai Guru sehat kembali. "
''Sudah kau temukan keris luk tujuh itu?"
''Seperti yang Guru lihat, saya belum berhasil
mencapai pintu pondok itu sewaktu ada benda sebesar
kerikil menghantak betis saya. Untung saya bisa sece-
patnya menguasai kekejangan kaki saya."
"Orang tua itu tidak berdusta, Kumbayana."
''Maksud Guru?"
''Memang benar keris itu tidak berada di sekitar
sini. Kalau memang keris itu ada, pastilah aku bisa
merasakan getarannya."
''Kenapa Guru nekad menyerangnya?"
''Karena aku ingin menebus kekalahanku beberapa tahun yang lalu. Ah, orang tua
sepertiku ternyata
sulit juga melupakan dendam. "
''Kalau begitu, sebaiknya kita segera meninggalkan bukit bangkai ini, Guru,"
sahut Danyang Kumbayana seraya memanggul tubuh gurunya dan menyambar tombak yang
mencuat di dada Eyang Kuranda Geni.
*** 2 Padepokan Karang Bolong semakin jauh di belakang Joko Sungsang. Lebih dari
sepuluh hari ia berada di padepokan itu. Kesempatan berdekatan dengan
Ki Sempani maupun Sekar Arum ini tak disia-siakan
oleh Joko Sungsang. Kepada Ki Sempani, ia bisa lebih
banyak meminta gemblengan lahir dan batin. Adapun
terhadap Sekar Arum, ia mendapatkan kesempatan
untuk meluruskan persoalan yang selama ini melahirkan jarak bagi mereka berdua.
Tak ada yang perlu dipikirkan Joko Sungsang
tentang bagaimana hasil pertemuannya kembali dengan Ki Sempani. Anak muda yang
bergelar Pendekar
Perisai Naga ini hanya bisa mengucap syukur atas apa
yang didapatkannya dari orang sakti di Padepokan Karang Bolong itu.
Akan tetapi, berdekatan dengan Sekar Arum selama beberapa hari ternyata membuat
Joko Sungsang semakin tidak bisa memahami perangai gadis itu.
Cemburukah gadis itu" Akhirnya Joko Sungsang toh
tidak berani memastikan, la merasa bahwa dirinya tak
pantas dicintai gadis secantik Sekar Arum. la merasa
tak pantas dicemburui!
Joko Sungsang menghentikan langkahnya. Ia
memandang hamparan sawah di sebelah kanannya.
Padi mulai menguning. Tak lama lagi penduduk desa
akan menyambut musim panen. Mereka akan bersuka
cita. Boleh jadi mereka akan mengundang kelompok
tayub untuk pesta mereka.
"Ah, tetapi sekarang hampir tidak ada lagi suasana desa bersuka cita dalam
menyambut musim panen," bantah batin anak muda itu sendiri.
Ya, ia memaklumi bahwa kejahatan selalu
mengintip-intip di balik penderitaan penduduk desa.
Hukum rimbalah yang wajib menentukan siapa yang
harus berpesta pora dalam menyambut panen.
"Bisa jadi, musim panen berarti penderitaan
baru bagi mereka," kata Joko Sungsang lagi, dalam hati.
Selintas saja anak muda dari Desa Sanareja ini
memikirkan nasib penduduk desa. Ketika matanya
menangkap sosok seorang gadis desa melintas di pematang sawah, maka ia pun
kembali ingat Sekar
Arum. Juga Endang Cantikawerdi. Dan, yang baru saja
dikenalnya, gadis dari Bukit Cangak yang bernama
Gagar Mayang. Ya, ketiga gadis inilah yang akhir-akhir
ini sering melintas di benaknya. Benar-benar ia tak
pernah mengira bahwa perkenalannya dengan ketiga
gadis itu menimbulkan beban pikiran baginya.
Sekar Arum, barangkali memang masih menjadi tanggung jawabnya. Sebagai saudara
seperguruan di Padepokan Karang Bolong, Joko Sungsang merasa
bahwa ia harus ikut menanggung hitam-putihnya gadis itu. Sifat keras kepala
gadis itu sudah sering memusingkan kepala Joko Sungsang.
Bagaimana dengan Endang Cantikawerdi" Gadis itu pun menimbulkan masalah
tersendiri, pikir Joko Sungsang sembari melompat ke pematang sawah.
Kalau saja aku bisa membalas cinta gadis itu, sudah
barang pasti tidak ada masalah.
Joko Sungsang kembali menghentikan langkah.
Telinganya yang tajam menangkap suara jerit seseorang. Jerit seorang wanita!
Gadis yang baru saja lewatkah yang menjerit"
''Jahanam kotor!" rutuk Joko Sungsang begitu
melihat apa yang terjadi di pinggiran desa itu. Seperti
melayang, tubuh Pendekar Perisai Naga ini melesat ke
pinggiran desa. Gusar bukan kepalang hati anak muda
ini melihat dua orang lelaki kasar tengah berusaha
menelanjangi seorang gadis desa.
"Ha-ha-ha! Walaupun kulitmu hitam, tetapi
bersih dan menggairahkan, Cah Denok!" kata lelaki
yang meringkus kedua tangan gadis itu.
"Ya. Dan...." Lelaki yang satunya lagi meleletkan lidah sambil memandangi bukit
kembar di dada gadis itu. ''Lepaskan gadis itu, babi dungu!" hardik Joko
Sungsang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang
mereka. "Apa?" Lelaki yang meringkus tangan gadis itu
menoleh. "Ho-ho-ho! Rupanya kau kepingin juga menikmati kembang Desa Kedung
Waduk ini, celeng?"
''Lepaskan sebelum aku harus memaksa kalian
melepaskannya! "
Kedua lelaki itu tertawa bersama. Bahunya terguncang-guncang. Bahkan salah
seorang dari mereka
terbatuk-batuk saking kerasnya tertawa.
Ctarrr! Sebuah ledakan cambuk menghentikan tawa
mereka berdua. Lebih dari itu, mata mereka berdua
terbeliak sebab menyadari ikat kepala yang mereka
pakai berhamburan di udara dalam ujud serpihan.
"Tikus keparat!" geram lelaki yang memegangi
kedua lengan gadis itu sambil mendorong minggir tubuh gadis itu. Bersamaan
dengan itu, lelaki yang satunya lagi sudah menghunus pedang dan langsung
menusukkan ke leher Joko Sungsang.
Srettt! Wuttt! Cpakkk!
Pedang itu pun melayang di udara dan jatuh
menancap di tengah sawah.
"Kau memang pandai memainkan cambukmu,
bangsat! Tetapi, jangan kau kira aku tidak bisa mematahkan batang lehermu!"
hardik lelaki yang kehilangan
pedang. Kini kedua tangannya membentuk cakar dan
terayun ke kepala Joko Sungsang.
Begitu cepat ayunan tangan lelaki berangasan
itu. Tetapi, kali ini yang menghadapi serangan itu Joko
Sungsang alias Pendekar Perisai Naga. Kecepatan ayunan tangan itu belum bisa
dibandingkan dengan kecepatan belitan Cambuk Perisai Naga. Jangan dikata
hanya kecepatan gerak tangan, sedangkan kecepatan
lemparan pisau belati pun akan terburu oleh kilatan
Cambuk Perisai Naga.
Srettt! Kini giliran Joko Sungsang tertawa-tawa melihat ulah lelaki berangasan itu
mencoba melepaskan
belitan cambuk pada kedua pergelangan tangannya.
''Keparat!" Teriak temannya sambil menerjang
dengan sabetan golok.
Wuttt! Dukkk! Joko Sungsang melenting sambil menghunjamkan tumitnya ke pundak lelaki bergolok
itu. Lelaki itu
terhuyung-huyung dengan leher kejang dan mata
mendelik. Melihat temannya tak lagi berdaya, lelaki yang
tangannya terbelit cambuk itu mulai berpikir. Kini ia
tidak lagi berusaha berontak. Ia menuruti saja tarikan
cambuk Joko Sungsang. Semakin lama lelaki itu memandang cambuk yang melilit
pergelangan tangannya,
semakin paham pula ia dengan siapa sedang berhadapan.
''Pendekar Perisai Naga...?" ujar lelaki itu dalam
hati. "Nah, agaknya kau sudah menyerah. Dan, pantang bagiku menyerang lawan yang sudah
tidak berdaya," kata Joko Sungsang seraya melepaskan cambuknya dari pergelangan
tangan lelaki itu.
Lelaki itu secepatnya bersujud di depan kaki
Joko Sungsang sambil berucap, ''Maafkan kami, Tuan
Pendekar. Kami memang orang-orang bodoh yang tidak
tahu diri dengan siapa kami berhadapan. Maafkan
kami...." ''Sudahlah. Berdirilah. Aku bukan orang yang
pantas kau sembah."
''Terima kasih, Tuan. Tapi, benarkah Tuan yang
bernama Pendekar Perisai Naga?" Takut-takut lelaki
yang kini berwajah pias itu bertanya.
''Kenapa kau mengira begitu?" balik Joko Sungsang bertanya.
"Anu, Tuan.... Emmm, cambuk Tuan itu bu-
kankah terbuat dari kulit naga" Eh, maksud saya...
kulit ular sanca?"
Joko Sungsang tidak mendengarkan ucapan lelaki itu. la tengah menoleh ke arah
teman lelaki itu
yang tertotok jalan darah di bahunya. Lalu, dengan satu rabaan, lelaki itu pun
terbebas dari penderitaannya.
Seperti halnya yang dilakukan temannya, lelaki
itu pun cepat-cepat bersujud di depan kaki Joko Sungsang.
''Saya bersedia menerima hukuman apa saja
asalkan Tuan tidak membunuh saya," ucap lelaki itu
dengan suara tersendat isak.
"Hmmm, tidakkah kau ingat bagaimana tadi
kau tertawa-tawa mempermainkan gadis itu?" Joko
Sungsang menuding gadis desa yang masih duduk meringkuk di dekat pagar.
''Sungguh, Tuan. Saya baru sekali ini berbuat
kurang ajar terhadap perempuan. Sumpah, Tuan...."
''Bohong!" teriak gadis itu tiba-tiba. Melihat penolongnya berhasil menaklukkan
dua orang lelaki kasar itu, serta-merta muncul keberanian gadis itu untuk angkat
suara. Kalaupun ia harus tetap duduk meringkus, sebab ia harus menutupi kedua
bukit dadanya yang tak lagi tertutupi. Kain tua yang tadi membungkus bukit dada
itu tercabik-cabik oleh tangantangan kasar kedua lelaki berangasan itu.
''Kenapa kau tidak pulang saja?" tanya Joko
Sungsang kepada gadis itu.
''Saya... saya...." Gadis itu kebingungan harus
berkata apa. la memandang bahu kanan-kirinya bergantian.
''Berikan bajumu kepadanya," perintah Joko
Sungsang kepada lelaki yang baru saja berdiri.
Ragu-ragu lelaki itu mencopot baju yang dike-
nakannya. Berat hati sebab baju itu baru saja didapatnya dari orang kaya yang
dibelanya. Tetapi, begitu
melihat Joko Sungsang memegang bola berduri di
ujung cambuknya, lelaki itu bergegas mencopot bajunya.
''Pakailah!" ujar lelaki itu sambil melemparkan
bajunya ke arah gadis desa itu.
''Ambil baju itu, dan berikan dengan sopan. Hei,
kalian berdua juga harus minta maaf kepadanya. Mengerti?" tegur Joko Sungsang.
''Mengerti, Tuan," jawab mereka berdua bersamaan. Merunduk-runduk mereka
melintas di hadapan
Pendekar Perisai Naga.
Joko Sungsang tertawa dalam hati melihat gadis itu memberengut ketika menerima
baju dari lelaki
yang hampir saja mencelakakannya itu.
''Kami minta maaf. Kami bersumpah di hadapan Tuan Pendekar Perisai Naga, kami
tidak akan berbuat cabul lagi kepada gadis-gadis desa ini...."
''Hanya gadis-gadis di desa ini?" tukas Joko
Sungsang. "Eh, maksud kami... semua perempuan di bumi
ini, Tuan," sahut lelaki yang tadi terbelit cambuk pergelangan tangannya.
'Pergilah."
'Terima kasih, Tuan...."
"Hei, bukan kalian yang aku suruh pergi! Gadis
itu yang aku suruh pergi!" sergah Joko Sungsang.
''Dasar otak kerbau!" omel gadis itu sebelum
beringsut pergi.
Kedua lelaki itu duduk bersila di depan Joko
Sungsang. Mata mereka menghunjam ke tanah. Ingin
sebenarnya mereka melihat lebih jelas wajah pendekar
yang kesohor ini, tetapi mereka takut jika nanti beradu
pandang. ''Kulihat desa ini seperti milik kalian berdua.
Sedari tadi belum nampak seorang pun penduduk desa
lewat di sini selain gadis itu. Kenapa?" tanya Joko
Sungsang sambil mengedarkan pandang matanya ke
kejauhan. Kedua lelaki itu bersipandang. Lalu, salah seorang dari mereka mengangkat
wajahnya dan berkata,
"Tuan Pendekar...."
''Jangan panggil aku 'Tuan Pendekar'!" tukas
Joko Sungsang. ''Namaku Joko Sungsang, tanpa 'tuantuan-an'."
"Ya, ya, ya... tapi, emmm, ya, ya...." Lelaki itu
menggamit temannya.
''Begini, Tu.... Eh, maksud kami, desa ini memang dalam pengawasan kami.
Penduduk desa tidak


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan berani keluar dari rumah tanpa izin dari kami
berdua...."
''Siapa yang menyuruh kalian berbuat begitu"
Dan, kenapa penduduk desa harus bersembunyi di
rumah?" tukas Joko Sungsang.
''Kami hanya melaksanakan tugas dari Ki Lurah
Bajang. " ''Bajang" Bajang Kerek maksudmu?" Alis Joko
Sungsang terangkat.
"Betul, Tuan.... Eh, ya, Ki Lurah Bajang Kerek."
Joko Sungsang menghela napas. Anak muda ini
masih ingat siapa Bajang Kerek yang ditakuti kedua lelaki di depannya itu.
"Hmmm, Bajang Kerek. Menyesal aku tidak
membunuhnya waktu itu," kata Joko Sungsang dalam
dada. ''Memang kami pernah mendengar cerita tentang... dari Ki Lurah Bajang Kerek,"
kata lelaki yang
bergolok. ''Cerita tentang apa?"
''Tentang...." Lelaki itu menunjuk Joko Sungsang dengan ibu jarinya.
"Ya, aku tahu siapa lurahmu itu. Tetapi, berjanjilah bahwa kalian tidak akan
melapor kepadanya
tentang pertemuan kita sekarang ini. Mengerti?"
''Mengerti." Keduanya mengangguk dalamdalam.
''Sekarang, pergilah ke rumah lurah kalian. Ingat, suatu ketika nanti aku akan
cari kalian di rumah
lurah kalian. Mengerti?"
Kembali keduanya mengangguk. Dan, lama kedua lelaki itu menunduk sambil menunggu
pesanpesan berikutnya dari Pendekar Perisai Naga. Akan tetapi, tak lagi
terdengar suara pendekar kesohor itu Sewaktu mereka berdua memberanikan diri
mendongak, tempat itu sudah kosong.
"Kau lihat ke mana dia pergi?"
"Kau tahu sendiri, aku juga menundukkan kepala."
"Wah, betul-betul pendekar itu punya ilmu demit! Kalau tidak, mana mungkin bisa
menghilang begitu saja?"
Di atas mereka, di sebuah dahan pohon trembesi, Joko Sungsang tersenyum geli
mendengarkan pembicaraan kedua lelaki itu.
*** Kalau saja tak ada tugas penting dari Ki Sempani, ingin sebenarnya Joko Sungsang
mendatangi Ki Lurah Bajang Kerek secepatnya. Ingin ia melihat bagaimana wajah Bajang Kerek
sewaktu bertatap mata
dengannya. Masihkah anak buah Klabang Seketi itu
teringat kejadian beberapa tahun yang lalu di Desa Karangreja" (Baca juga:
"Penguasa Gua Barong").
Namun, bagi Joko Sungsang, menjumpai orang
macam Bajang Kerek hanyalah tugas sampingan. Kini
ia harus menjalankan tugas utamanya setelah keluar
dari Padepokan Karang Bolong.
"Mudah-mudahan Gagar Mayang selamat sampai Bukit Cangak. Tetapi, tidak berarti
kita menyepelekan ilmu silat gadis itu, ada baiknya Anakmas menyusul gadis itu
ke Bukit Cangak. Kita tahu bahwa Ki
Sumping Sedapur mulai dibicarakan lagi di kalangan
orang-orang dari golongan sesat," kata Ki Sempani malam tadi, sebelum
mempersilakan Joko Sungsang beristirahat.
"Ilmu silat gadis itu begitu mengagumkan,
Kiai," kata Joko Sungsang.
"Ya. Tetapi, Anakmas jangan lupa bahwa manusia dikodratkan mudah menjadi pongah.
Pengalaman pun ikut menentukan sifat manusia, Anakmas.
Maksudku, pengalaman malang-melintang di rimba
persilatan belum dimiliki oleh Gagar Mayang. Anakmas
bisa mengerti?"
''Saya mengerti, Kiai."
"Nah, kalau begitu tidak salah jika aku meminta Anakmas membayangi Gagar Mayang
pulang ke Bukit Cangak. "
''Apakah Kiai izinkan juga saya menemui Eyang
Kuranda Geni, guru Gagar Mayang?"
''Kenapa mesti minta pertimbangan" Sudah
pasti semuanya terserah Anakmas. Apakah Kakang
Wiku juga melarang Anakmas menemui saya di sini
waktu itu?" Ki Sempani tertawa terkekeh-kekeh.
Di sinilah letak perbedaan Ki Sempani dengan
Guru, pikir Joko Sungsang. Ki Sempani murah tawa,
sedangkan Guru hampir tak pernah tertawa seumur
hidupnya. *** 3 Gagar Mayang menjerit dan menubruk tubuh
Eyang Kuranda Geni yang telah kaku. Gadis itu menggoyang-goyang tubuh kaku itu,
seolah tidak percaya
bahwa bau busuk yang diciumnya datang dari tubuh
gurunya, yang juga kakeknya.
''Eyang, siapa yang melakukan semua ini,
Eyang" Siapa" Katakanlah, Eyang, biar aku yang
menghukumnya. Katakan, katakan! Eyang jangan
hanya diam saja," rintih Gagar Mayang sambil menciumi telapak tangan kakeknya.
Sewaktu kemudian disadarinya bahwa kakeknya sudah menjadi mayat, gadis itu pun
menjerit sejadi-jadinya. Jerit berkepanjangan yang membuat seekor
burung hantu terbang dari tempatnya berpijak. Lama
Gagar Mayang tengkurap di atas tubuh kakeknya yang
kaku dan berbau busuk. Lama gadis itu tak bisa berpikir apa yang harus
diperbuatnya di dunia ini tanpa
Kakek di sampingnya. Sejak kecil ia bersandar pada
kekuatan kakeknya. Bahkan ia tidak tahu siapa orang
tuanya. la hanya tahu bahwa kakeknyalah yang menghidupinya hingga ia menjadi
gadis yang matang.
''Eyang, Guru, bagaimana aku harus hidup
tanpa Eyang" Tanpa Guru?" rintih gadis itu lagi.
Namun begitu, betapapun kesedihan menguras
air mata Gagar Mayang, betapapun ia merasa du-
nianya kiamat, tetap saja Gagar Mayang adalah gadis
Padepokan Bukit Cangak yang tegar. Seperti terbangun dari mimpi buruk, gadis itu
melenting bangkit ketika seekor kelelawar melintas di atas kepalanya. Maka
pecahlah kepala binatang malam itu terpatuk seruling
bambu wulung yang tiba-tiba saja sudah tergenggam
di tangan kanan gadis itu.
''Binatang celaka, kau telah menggugah aku dari ketololan!" sesal gadis itu
sambil membuang bangkai
kelelawar itu jauh-jauh. "Ya, siapa pun yang berbuat
biadab ini, akulah musuhmu!"
Segera Gagar Mayang mengubur jenazah Eyang
Kuranda Geni di dalam pondok beratapkan daun kolang-kaling itu. Setelah cukup
lama menekuri kuburan
tak bernisan itu, Gagar Mayang mengatur jalan pernapasan untuk mengusir
kesedihan yang membuntu
otaknya. Akan tetapi, setelah selesai bersemadi, gadis itu
tetap belum bisa menemukan, bahkan mencurigai,
siapa yang harus menerima dendam murid Padepokan
Bukit Cangak itu.
"Ah, tetapi aku masih punya mata, hidung, dan
telinga," kata gadis itu. "Tak ada seorang pun manusia
di kolong langit ini yang bisa menyembunyikan bau
busuk. Tak ada orang jahat yang bisa menyembunyikan kejahatannya. Betapapun
keparat itu bersembunyi
di liang semut, aku akan bisa menjumpainya!"
Ki Sumping Sedapur yang tadi sudah siap dipamerkan di depan kakeknya, kembali
diselipkannya di pinggang. Ia menyadari bahwa hanya keris itulah
yang bisa membantunya mencari pembunuh kakeknya. Apa lagi tujuan pembunuh itu
kalau bukan mencari Ki Sumping Sedapur, pikir Gagar Mayang sambil
melangkah meninggalkan Padepokan Bukit Cangak.
Sengaja Gagar Mayang merambahi desa ke desa
agar secepatnya mendapatkan petunjuk tentang siapa
pembunuh Eyang Kuranda Geni. Kabar buruk biasanya akan lebih cepat tersebar.
Lalu, gadis itu diamdiam menyesali kecongkakannya beberapa hari yang
lalu d Padepokan Karang Bolong. Betapa tidak congkak! Kalau saja ia tidak
menolak ditemani Pendekar
Perisai Naga pulang ke Bukit Cangak, tentulah pembunuh keparat itu akan segera
dikenalinya. ''Sudah pasti Pendekar Perisai Naga akan mengenali jejak pembunuh jahanam itu,"
kata hati Gagar
Mayang. Fajar hampir merekah di ufuk timur. Bukit
Cangak tinggal menyerupai segunduk tanah berwarna
hitam. Sekali lagi Gagar Mayang memandangi bukit itu
dari kejauhan. Ia merasa pasti bahwa ia harus sering
mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Eyang Kuranda Geni itu.
Werrr! Gagar Mayang membuang tubuhnya ke tanah
sambil memutar seruling bambu wulungnya. Hampir
saja sebatang anak panah menembus lehernya.
"Jahanam! Keluarlah dari persembunyianmu
sebelum aku memaksamu menampakkan diri!" teriak
gadis itu lantang.
"Ha-ha-ha! Ternyata aku salah sangka! Aku kira aku tengah memanah seekor kijang,
tetapi nyatanya
burung walet yang aku temui!" sahut seorang lelaki
sambil melompat keluar dari balik pohon.
Lelaki itu bertubuh raksasa. Rambutnya yang
panjang dibiarkan terburai-burai. Sebuah gendewa
tergenggam di tangan kirinya sementara tangan kanannya sibuk mengusap-usap
kumisnya. Namun, kurang jelas bagi pandang mata Gagar
Mayang bagaimana wajah lelaki itu. la hanya bisa melihat samar-samar di bawah
keremangan bulan yang
tinggal sepotong.
"Aku tak mengenalmu, tetapi tiba-tiba saja kau
menghendaki nyawaku! Tetapi, jangan kau kira aku
takut berurusan denganmu!" Gagar Mayang melangkah maju menyongsong langkah
lelaki asing itu.
"Lumrah jika kau tidak mengenalku. Dan, itu
tak perlu buatku. Bagiku, yang pasti aku bisa membalaskan dendamku. Bukankah kau
ahli waris tunggal
kakek keparat penghuni Bukit Cangak itu?"
"Jahanam! Kau pikir mulutmu yang kotor itu
pantas untuk menyebut-nyebut nama guruku?"
"Ha-ha-ha! Rupanya aku sedang berhadapan
dengan bidadari bermulut kotor!"
Singngng! Singngng! Trakkk!
Dua sabetan seruling beruntun menerjang lelaki bergendewa itu. Namun, lelaki itu
agaknya sudah menebak bakal datangnya serangan. Hanya saja, ia tidak menyangka bahwa cucu
Eyang Kuranda Geni ini
ternyata memiliki kecepatan serangan yang luput dari
dugaan. Maka lelaki itu terpaksa harus menangkis serangan yang ketiga dengan
gendewa panahnya.
Bergetar hebat seruling di telapak tangan Gagar
Mayang menerima benturan gendewa itu. Gadis itu
merasakan telapak tangannya seperti terkelupas. Panas dan nyeri. Maka
disadarinya bahwa lawan yang
sedang dihadapinya memiliki tenaga dalam yang sempurna.
"Hmmm, kenapa tak kau keluarkan Jurus
Tambak Segara-mu, Nini?" ejek lelaki bergendewa itu.
''Jurus Tambak Segara bukan untuk melawan
cecurut seperti kau!" sergah Gagar Mayang.
Lalu, berputarlah seruling bambu wulung di
tangan gadis itu, dan terdengarlah suara meraungraung.
''Bersiaplah untuk menebus kelancangan mulutmu, iblis!" seru Gagar Mayang seraya
kembali menerjang.
Sinar hitam bergulung-gulung mengurung tubuh lelaki bergendewa itu. Dan, dari
ketujuh lubang seruling itu meluncur sinar putih yang menyilaukan
mata. Inilah Jurus Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa! Jurus yang khusus diciptakan
oleh Eyang Kuranda Geni
bagi murid yang sekaligus cucunya.
"Hup! Hiyaaa!" Lelaki bergendewa itu melenting
ke udara dan hinggap di sebuah dahan. Namun, Gagar
Mayang agaknya telah kehabisan kesabarannya. Lagi
pula, gadis ini semakin mencurigai bahwa lelaki inilah
manusia yang harus bertanggung jawab atas tewasnya
Eyang Kuranda Geni. Setidaknya, pastilah dia ini salah
satu di antara mereka!
Ketujuh luncuran sinar yang menyilaukan mata
itu memburu ke udara dan menyantap dahan yang
semula menjadi tempat bertengger lelaki bergendewa
itu. Kraaak! Bresss!
Dahan sebesar kaki gajah itu terbelah dan meluncur jatuh dengan membawa serta
segerobak daun.
''Mengerikan!" ujar lelaki bergendewa itu dari
arah belakang Gagar Mayang. Kini lelaki itu bertengger
di sulur sebesar ibu jari yang terpentang dari pohon
satu ke pohon lainnya.
Gagar Mayang menyadari bahwa usahanya
memburu lawan dengan Jurus Tujuh Bidadari Pemetik
Nyawa ternyata akan tetap sia-sia. Perasaan malu, marah, sakit hati teraduk
menjadi satu di rongga dada
gadis itu. Akan tetapi, ia tetap menyadari bahwa
menghadapi lawan dengan emosi sama halnya bunuh
diri. Selain daripada itu, ia pun cepat-cepat mawas diri. Sudah jelas bahwa
lelaki itu memang bukan tandingannya. Mustahil lawan akan mampu menghindari
Jurus Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa jika tidak berilmu
silat jauh di atas tingkatan ilmu silat yang dimilikinya.
''Kisanak," kata Gagar Mayang kemudian, "Aku
belum mengaku kalah. Tetapi, aku merasa percuma
melawanmu sebab aku merasa tidak pernah berurusan
denganmu!"
Lelaki bergendewa itu melayang turun sambil
tertawa tergelak-gelak.
"Ya, aku pun belum merasa memenangkan pertarungan ini," katanya seraya
menyelempangkan gendewanya di dada.
''Sebenarnya, bisa saja aku tidak mempedulikan kedatanganmu. Tetapi, karena aku
memerlukan petunjuk, apa pun yang terjadi aku harus menghadapimu!"
''Bagus! Kau tentu mencari petunjuk siapa yang
telah mengirim gurumu ke neraka, bukan?"
"Iblis seperti kau inilah yang pantas menjadi


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghuni neraka!" sahut Gagar Mayang sigap.
"Kau ini membingungkan, Cah Ayu. Kau bilang
tak pernah berurusan denganku, tetapi kau ingin
menghadapiku. Atau, kau kira akulah pembunuh gurumu itu?"
'Tak ada alasan untuk tidak mencurigaimu!
Sudah jelas bahwa kau tengah memendam dendam
terhadap guruku!"
"Ha-ha-ha! Rupanya kau masih belum bisa
menggunakan otak jernihmu, Nini. Kalau memang aku
yang menewaskan gurumu, untuk apa lagi aku menginginkan nyawamu" Kau pikir aku
takut jika kelak
kau membalas dendam" He-he-he! Tak ada yang perlu
aku takutkan di kolong langit ini. Dan, aku juga tidak
takut mati asalkan aku mati tanpa membawa dendam...."
''Bicaramu semakin sulit dimengerti!" tukas Gagar Mayang.
"Singkatnya begini saja, " sahut lelaki bergendewa itu. ''Kalau kau mau
mempercayaiku, bukan aku
yang membunuh gurumu, yang juga kakekmu itu. Justru aku datang terlambat. Aku
datang dan gurumu
sudah terkapar di depan pondoknya. Tapi, begitu aku
melihatmu, aku tidak lagi menyesali keterlambatanku.
Bagiku, sama saja membunuh guru atau muridnya. Itu
pun masih bisa aku tawar. Mau tahu seperti apa tawaranku?"
Gagar Mayang tak menanggapi. Diam-diam ia
telah mempersiapkan diri untuk kembali bertarung.
Tak ada jalan lain kecuali menghadapi orang asing ini
sampai pada batas kemampuan. Maka gadis itu mulai
mengerahkan Jurus Tambak Segara sebagai benteng
pertahanannya. "Kenapa diam?" sambung lelaki bergendewa itu.
''Dengarlah. Aku akan membiarkanmu pergi mencari
pembunuh kakekmu, jika kau dengan suka rela menyerahkan keris luk tujuh di
pinggangmu itu. Mengerti" Setuju?"
''Ucapanmu enak didengar, tetapi ternyata keluar dari hatimu yang serakah!"
sergah Gagar Mayang.
''Jangan besar kepala! Kalau memang tujuanmu ingin
memiliki Ki Sumping Sedapur, kau harus melangkahi
mayatku!" "Eh, ladalah! Setan mana yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran, Nini?"
''Sejak semula aku tak pernah berubah pikiran!
Kalaupun aku tadi bersikap lunak terhadapmu, sebab
aku hanya ingin keterangan siapa kau sebenarnya! Kini sudah jelas, dan aku siap
memusnahkan khayalanmu untuk bisa memiliki Ki Sumping Sedapur!"
"Hmmm, pantas jika kau masih ada hubungan
darah dengan Kuranda Geni!" Lelaki itu manggutmanggut. ''Baiklah. Aku tak mau
banyak kehilangan
waktu. Sekarang, sekehendakmulah kalau memang
kau menolak tawaranku. Hanya saja, perlu kau tahu
bahwa aku pantang menyerang perempuan terlebih
dulu!" "Dasar iblis pongah!" hardik Gagar Mayang
sambil mengirimkan tendangan sekaligus totokan seruling ke leher lawan.
Namun, lagi-lagi serangan gadis itu hanya
membentur angin. Hampir tak bisa diikuti mata ke
arah mana lawan berkelit. Dan, tiba-tiba saja Gagar
Mayang merasakan sambaran angin dari arah punggungnya.
Wusss! Singngng!
Dengan satu putaran seruling, terbebaslah gadis itu dari sambaran gendewa lawan.
Akan tetapi, gendewa itu seolah ular berkepala dua. Susulmenyusul ujung gendewa memburu ke
mana pun Gagar Mayang membuang tubuhnya.
"Aku ingin tahu bagaimana jika kau kehabisan
napas, gadis bengal!" ujar lelaki bergendewa itu sambil
terus menyerang. Kini sodokan-sodokan gendewa itu
semakin cepat dan membahayakan.
Trakkk! Trakkk! Trakkk!
Tiga kali gendewa itu membentur seruling yang
memagari tubuh Gagar Mayang. Bersyukurlah gadis
itu sebab ia telah menerapkan Jurus Tambak Segara
sehingga telapak tangannya tak lagi bergetar dalam
mengadu tenaga dalam dengan lawan.
"He-he-he! Rupanya aku salah sangka! Tak bisa
lagi kau aku ajak bermain-main, Cah Ayu!" Berkata
begini, lelaki bergendewa itu meloncat mundur dan
menyilangkan gendewanya di depan dada. Kemudian
kedua kakinya menggenjot tanah, dan tubuh raksasa
itu melenting ke udara.
Gagar Mayang secepatnya memutar seruling
bambu wulungnya di atas kepala. Lelaki bergendewa
Pedang Bunga Bwee 4 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Jari Maut Pencabut Nyawa 3
^