Pencarian

Siluman Kera Sakti 2

Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Bagian 2


itu membatalkan serangannya. Sebagai gantinya, ia
memanfaatkan tali gendewanya untuk membendung
putaran seruling lawan.
Srettt! Gagar Mayang merasakan serulingnya terbelit
tali baja. Padahal ia menyadari bahwa tali yang membelit serulingnya tentulah
tali yang membentang pada
gen-dewa itu. Namun, gadis itu tak mau berpikir panjang. Ia secepatnya
menjatuhkan diri sambil menghentakkan seruling bambu wulungnya.
Desss! Gagar Mayang berhasil menyapu kaki lawan,
tetapi kaki itu bagaikan tonggak yang terpancang puluhan meter ke tanah.
"He-he-he! Kalau saja tidak kau terapkan Jurus
Tambak Segara-mu, sudah pasti kakimu yang indah
itu akan patah," ujar lelaki itu.
Matahari mulai mengintip di ufuk timur. Kini
Gagar Mayang bisa melihat wajah lawannya. Di luar
dugaannya jika nyatanya lelaki bergendewa itu berusia
tak kurang dari enam puluh tahun. Sebagian rambut
gondrongnya memutih. Bahkan alis matanya yang
rimbun telah hampir semuanya memutih. Kakek itu
berpakaian compang-camping. Tetapi, kain yang membebat pinggulnya nampak indah
dan baru. "Hmmm, habis sudah waktu yang kurencanakan," kata kakek bergendewa itu sebelum
kemudian merapatkan kedua belah telapak tangannya ke dada.
"Nah, sekaranglah saatnya aku meringkusmu dan
membawamu pulang ke padepokan, Cah Ayu. Bersiaplah jika kau masih percaya pada
keampuhan Jurus
Tambak Segara-mu. "
Tiba-tiba tubuh kakek itu bergetar hebat. Dan,
dari getaran itu muncul udara yang menyesakkan napas. Gagar Mayang mencoba
melawan pengaruh udara
itu dengan tenaga murninya. Ia merasakan udara seakan berdebu. Tenggorokan
kering dan panas. Tersengal-sengal napas gadis itu. Bukit dadanya nampak
naik-turun. Ia mencoba menerjang kakek berilmu aneh
itu, tetapi udara yang keluar dari tubuh kakek itu seolah menahannya.
Dalam keputusasaannya, Gagar Mayang sertamerta melihat getaran tubuh kakek itu
melambat dan kemudian berhenti sama sekali. Bersamaan dengan itu
pula berhentilah tiupan udara yang menyesakkan dada.
"Hmmm, agaknya tua bangka itu masih hidup,"
keluh kakek bergendewa itu sambil mempertajam pendengarannya.
Gagar Mayang kebingungan menatap lawannya.
Kenapa kakek itu tiba-tiba menghentikan ilmu sihirnya" Namun, kemudian Gagar
Mayang menemukan
jawabannya. Samar-samar terdengar olehnya suara
burung emprit gantil. Suara burung itulah yang agaknya mengganggu pendengaran
kakek bergendewa itu.
"Aneh, " kata hati gadis itu. ''Kenapa ia harus
takut mendengar suara burung emprit gantil" Atau,
karena ia terlalu percaya bahwa burung itu lambang
kematian?"
"Kau masih beruntung, Cah Ayu. Tetapi, keberuntungan tak selamanya mengikuti
langkahmu!" Berkata begini, kakek bergendewa itu lantas menjejak tanah dan
kemudian hilang ditelan kerimbunan pepohonan.
'Tak kusangka kau berhasil membuatnya lari
tunggang-langgang," kata seseorang di belakang gadis
itu. Gagar Mayang menoleh sembari menyilangkan
seruling bambu wulungnya di dada.
"Oh, kau, Pendekar Perisai...."
''Panggil aku Joko Sungsang," tukas Joko
Sungsang cepat.
''Tidakkah dia lari karena suara burung emprit
gantil?" tanya Gagar Mayang masih dengan dahi berkerut-kerut.
"Ya. Dan, dia mengira gurumulah yang menirukan suara burung itu."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Kau dengar apa katanya sebelum ia pergi?"
"Ya. Ia bilang, 'Hmmm, agaknya tua bangka itu
masih hidup'."
''Sekarang kau tahu siapa yang dimaksudkan
dengan 'tua bangka' itu, bukan?"
Gagar Mayang hanya manggut manggut.
''Dialah yang bergelar si Pemanah Sakti Bertangan Seribu, seperti yang
diceritakan Ki Sempani beberapa hari yang lalu. Kau ingat?"
"Ya, ya. Sekarang aku baru ingat. Sewaktu
menghadapinya, pikiranku memang buntu dan emosiku tak terkendali lagi. Lumrah
jika aku lupa."
"Dan, aku memaklumi kenapa kau terbakar
emosi dalam menghadapinya. Padahal itu memang dikehendakinya. "
''Maksudmu?"
"Dia berhasil membuatmu terbakar kemarahanmu sendiri. Dalam keadaan seperti itu,
kau tidak akan mampu mengatur pernafasanmu untuk melawan
Ajian Lesus Beracun darinya."
"Kau terlalu banyak tahu tentang isi rimba persilatan. Aneh. Padahal usiamu tak
jauh berbeda dari
usiaku. Pantas jika kau dijuluki...."
'Tunggu dulu!" tukas Joko Sungsang. ''Semua
cerita aku dapatkan bukan dari pengalaman malangmelintang di rimba persilatan,
Gagar Mayang. Sebenarnya kau pun bisa berbuat sepertiku. Aku hanya
mengumpulkan cerita-cerita dari orang-orang tua macam Ki Sempani."
''Baiklah. Aku berhutang nyawa kepadamu. Terima kasih. " Gagar Mayang hendak
berlalu, tetapi Joko Sungsang sigap menghadang.
''Gagar Mayang, bagiku tak ada utang-piutang
nyawa. Kakek itu belum tentu berhasil membunuhmu.
Aku pun tidak akan menakut-nakutinya dengan suara
burung emprit gantil jika tidak aku lihat kau kurang
mawas diri. Maksudku, semula aku yakin kau bisa
menangkal Ajian Lesus Beracun tadi. Tetapi, kemudian
aku ingat bahwa kau sedang dilanda kesedihan...."
"Jadi, kau sudah tahu nasib buruk yang menimpa guruku?" sahut Gagar Mayang
kaget. "Aku terlambat menyusulmu. Tetapi, aku sempat melihat bagaimana kau bertemu
dengan jasad gurumu untuk terakhir kalinya."
"Padahal aku sangat membutuhkan bantuanmu mengenali jejak pembunuh keparat itu.
Aku percaya, Pendekar Perisai Naga akan mengenali siapa
pembunuh Eyang Guru dari luka di tubuhnya."
"Aku bukan Ki Sempani atau orang-orang sakti
yang setingkat dengannya, Gagar Mayang. Bagaimana
mungkin aku bisa menunjuk siapa pemilik tombak
yang menewaskan gurumu" Gurumu tewas karena tusukan tombak dari arah belakang."
''Bagaimana kau bisa tahu" Bukankah itu karena kau memang orang sakti?"
"Aku sempat memeriksa jenazahnya sewaktu
kau mengambil air untuk membersihkannya."
Gadis itu terdiam, la mulai bertanya-tanya, kenapa anak muda ini tega melihatnya
dari jarak jauh
sewaktu ia sibuk mengubur jenazah Eyang Kuranda
Geni" ''Apalagi kau sendiri pernah bercerita bahwa
Jurus Tambak Segara hanya bisa melindungi bagian
depan tubuh si pemiliknya. Ya, sesuai dengan nama
jurus itu sendiri. Tambak memang hanya mampu
membendung bahaya dari arah depan."
"Ya. Kalau saja mereka tidak berbuat licik,
mustahil mereka bisa menewaskan Eyang Guru!" sahut Gagar Mayang geram.
"Ini berarti peringatan buatmu, Gagar Mayang.
Kau sedang berhadapan dengan sekelompok orangorang licik. "
"Jangan lagi hanya sekelompok manusia licik!
Iblis yang paling licik pun akan aku hadapi!"
Joko Sungsang menghela napas panjang. la
merasa tak perlu membantah ucapan gadis itu. Sepenuhnya ia sadari bahwa gadis
itu sedang tidak menentu perasaannya. Siapa pun yang menentangnya akan
menjadi lawannya, pikir Joko Sungsang.
"Lalu, kau sekarang juga...?"
''Ya. Lebih cepat lebih baik! Sebelum kolong
langit ini dipenuhi manusia-manusia berjiwa iblis, aku
harus bertindak!" Gagar Mayang menukas dan kemu-
dian berkelebat pergi.
''Keras hati, juga tinggi hati, " kata Joko Sungsang sambil memandangi gadis
berpakaian serba jingga yang semakin jauh meninggalkannya.
*** 4 Berbagai perasaan menyesaki dada Gagar
Mayang. Bukan saja rasa sedih karena kematian kakek
yang sekaligus gurunya. Bukan juga hanya rasa dendam terhadap musuh gurunya.
Melainkan juga rasa
bingung menghadapi ulah Pendekar Perisai Naga.
Ya, kenapa ia tega menonton dari kejauhan sewaktu aku menangisi mayat Eyang
Guru" Tidakkah ia
mempunyai perasaan belas kasihan" Atau, karena ia
memang menganggapku tak perlu dikasihani" Karena
aku baru saja dikenalnya" Karena aku bukan Endang
Cantikawerdi ataupun Sekar Arum"
Itukah sebenarnya Pendekar Perisai Naga yang
kesohor itu" Hmmm, ternyata ia tak lebih baik dari
orang sesat yang paling kejam! Apalah bedanya pembunuh Eyang Guru dengan seorang
pendekar dari golongan lurus yang tega melihat kekejian berlangsung di
depan matanya! Apalah artinya nama harum yang di
sandangnya jika nyatanya ia masih membeda-bedakan
orang yang layak ditolongnya! Dasar pendekar mata
buaya! Lumrah jika Gagar Mayang tidak mengerti kenapa Joko Sungsang alias Pendekar
Perisai Naga tega
menontonnya menangisi mayat Eyang Kuranda Geni.
Lumrah jika gadis itu kemudian menilai buruk tingkah
laku Pendekar Perisai Naga terhadapnya. Sebab, gadis
itu memang tidak tahu apa yang tengah dipikirkan Joko Sungsang sewaktu melihat
gadis itu tengkurap di
atas mayat kakeknya.
Joko Sungsang memang hampir saja menghampiri gadis itu dan membantu merawat
mayat Eyang Kuranda Geni. Akan tetapi, serta-merta ia ingat
pesan maupun nasihat dari orang-orang sakti yang
pernah menggemblengnya.
Bahkan sebelum Joko Sungsang meninggalkan
Padepokan Karang Bolong, Ki Sempani sempat berpesan, ''Dekati jika ia jauh, dan
jauhi jika ia terlalu dekat
dengan Anakmas. Itulah yang paling baik Anakmas lakukan untuk menolong gadis-
gadis seusia Sekar Arum
maupun Gagar Mayang ini. Di dunia ini, Gagar Mayang
hanya memiliki Eyang Kuranda Geni. Kini nyawa orang
tua itu tengah diincar dari segala penjuru. Kalau memang Gusti Allah menghendaki
Eyang Kuranda Geni
tewas di tangan lawan, kita inilah yang wajib meneruskan usahanya membimbing
Gagar Mayang, cucu
tunggal yang dikasihinya. Membimbing tidak berarti
kita harus menolongnya setiap ia mendapatkan kesulitan. Kesulitan selalu
diperlukan manusia untuk menggembleng diri agar matang. Hanya kesulitan yang
akan mendatangkan kematianlah yang harus kita tepiskan
darinya." Joko Sungsang manggut-manggut mengenangkan kembali pesan-pesan dari orang sakti
di Padepokan Karang Bolong itu. Maka ia pun kemudian berjanji
kepada dirinya sendiri untuk semakin berhati-hati dalam melindungi Gagar Mayang.
Selama ini ia merasa
gagal membimbing Sekar Arum sebab ia terlalu cepat
mencemaskan keselamatan gadis itu. Ia terlalu cepat
memberikan pertolongan jika gadis itu dalam kesuli-
tan. Seiring dengan pesan Ki Sempani, Joko Sungsang terus mengekor langkah Gagar
Mayang, tetapi dengan pesan kepada dirinya sendiri, ''Dekati jika ia
jauh, jauhi jika ia terlalu dekat."
Kini tugas mengawasi Sekar Arum telah selesai.
Kejadian yang hampir saja menewaskan gadis itu
agaknya berhasil mengilas kekeras hatian gadis itu
(Baca juga: ''Penguasa Bukit Cangak"). Akan tetapi, lepasnya Sekar Arum dari
tanggung jawabnya, tidak berarti Joko Sungsang bisa seenaknya mengembara. Kini
tugas baru harus dijalaninya.
"Aku berani memastikan bahwa kakek gadis itu
tak mungkin lagi pergi menyusul cucunya ke dunia
ramai. la sengaja bersembunyi di Bukit Cangak sebab
ia sudah bosan membunuh. Oleh sebab itu, aku ikut
merasa senang jika Anakmas bersedia melindungi gadis itu dari ancaman orang-
orang serakah yang mengincar Ki Sumping Sedapur," kata Ki Sempani setelah
Gagar Mayang mohon diri dari hadapannya.
''Tetapi, sebenarnyalah saya sendiri masih memerlukan perlindungan, Kiai," kata
Joko Sungsang sejujurnya.
''Itikad baiklah yang akan melindungi Anakmas
dari segala macam mara-bahaya. "
''Apakah berarti Gagar Mayang tidak memiliki
itikad baik, Kiai?" Joko Sungsang mencoba mencari
kejelasan. 'Tentu saja la memiliki itikad baik, Anakmas. la
beritikad baik ingin menjauhkan Ki Sumping Sedapur
dari jangkauan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Hanya saja, sikap tinggi hati dan kurang berhati-hatilah yang kadang
mengundang bencana."
Ya, contohnya sikap yang selama ini ditunjuk-
kan oleh Sekar Arum, pikir Joko Sungsang seraya melenting dan hinggap di sebuah
dahan pohon. Lamunan
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini seketika buyar demi dilihatnya
Gagar Mayang menghentikan langkahnya.
Dari tempatnya bersembunyi, Joko Sungsang
bisa melihat bagaimana gadis dari Bukit Cangak itu
mengedarkan pandang matanya, mencari-cari seseorang yang dicurigai
membuntutinya. Legalah hati Joko Sungsang setelah melihat
Gagar Mayang duduk bersandar di bawah pohon dan
kemudian meniup serulingnya.
'Pantas jika ia mendapat julukan Megatruh,"
kata hati Joko Sungsang sambil menikmati tembang
Megatruh yang mengalun dari seruling bambu wulung
itu. *** Tak jauh dari Gagar Mayang dan Joko Sungsang berada, dua orang lelaki kasar
bersamaan menggemeretakkan gigi mereka. Suara seruling itu membuat mereka merasa


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terganggu. "Bisa gagal rencana kita gara-gara gembala keparat itu, Kakang," kata lelaki
yang lebih muda sambil
meraba hulu pedangnya.
"Aku tetap akan mencegat di sini. Pergilah sebentar, dan bunuh gembala lancang
itu!" perintah lelaki yang lebih tua.
''Secepatnya aku kembali ke sini, Kakang!" kata
lelaki yang lebih muda sambil melompat pergi.
Seperti memburu kijang, lelaki itu berjalan ke
arah datangnya suara seruling. Sudah tergambar dalam benaknya bagaimana nasib
gembala sial itu nanti.
Namun, sewaktu melihat siapa yang sedang meniup
seruling, lelaki itu terpaku di tempatnya berdiri. Matanya yang merah membulat
dan mulutnya yang lebar
menganga. "Peri apa bidadari?" kata lelaki itu sambil melangkah hati-hati mendekati Gagar
Mayang. ''Berhenti di tempatmu, Kisanak!" bentak Gagar
Mayang meski tidak menoleh ke arah lelaki itu.
"He-he-he! Ternyata manusia biasa yang tengah
aku hadapi," katanya seraya memelintir kumis.
"Apa kau merasa anak dewa" Kau bukan manusia?" sahut Gagar Mayang.
Lelaki itu meleletkan lidahnya. Jakunnya nampak turun-naik. Otaknya yang cabul
mulai membayangkan bagaimana jika nanti bisa melumpuhkan
gadis berseruling di depannya itu. Tentulah bukit
kembar di dada gadis itu masih kenyal. Tentulah gadis
itu akan tergial gial kegelian ketika bukit kembar itu
terseruduk kumis. Lalu, bibir yang merekah indah itu
akan basah dan hangat untuk dilumat.
''Siapa namamu, Anak Betari" Kenapa kau berada di tempat yang sepi seperti ini?"
Lelaki itu menyarungkan pedangnya kembali. Ia merasa tak perlu
menggunakan pedang untuk bermain cinta dengan gadis cantik ini.
"Aku yang perlu namamu sebab kau yang mendatangiku!" sahut Gagar Mayang ketus.
''Apakah sekiranya namaku akan menambah
cintamu kepadaku" Baiklah. Siapa pun yang pernah
melihatku akan mengabarkan bahwa mereka pernah
bertemu dengan Penguasa Hutan Pinus di Kaki Gunung Wilis alias d Tatsaka Rodra.
Jelas, Dewiku yang
cantik?" Gagar Mayang mencibir, lalu kembali menem-
pelkan serulingnya ke bibir.
"Eh, rupanya namaku malah membuatmu tidak
suka?" ''Biarpun kau mengaku bernama Penguasa Hutan Emas, aku tetap mual melihat
wajahmu! Mengerti?" sergah gadis itu seraya kembali mengalunkan tembang
Megatruh. "Ha-ha-ha! Untunglah aku selalu sabar jika
berhadapan dengan gadis cantik. Kalau tidak, tubuhmu yang molek akan aku rajang
dengan pedangku ini.
Tentu saja setelah aku menikmati tubuhmu lebih dulu,
cah moblong!"
Berrr! Sebatang ranting, kering hampir saja menyambar mata lelaki itu.
''Refleksmu sudah bagus. Tetapi, mulutmu belum pantas bicara seperti tadi!"
Gagar Mayang melenting bangkit dan berkacak pinggang.
''Benar-benar tak tahu diuntung! Hei, anak
gendruwo! Sekali lagi aku peringatkan dengan siapa
kau berhadapan! Berpikirlah sebelum kau menyesal
seumur hidup!"
''Sebelum kau datang pun aku selalu berpikir
bahwa membunuh manusia kotor sepertimu memang
kewajibanku!"
Sringngng! Pedang tipis dan panjang itu mengkilap tertimpa sinar matahari sore. Kemudian
pedang itu berkelebat cepat ke arah leher Gagar Mayang. Namun, dengan
mudah gadis itu menghindari serangan lawan. Dengan
sedikit mendoyongkan kaki kanannya, lewatlah pedang
lawan sejengkal di atas kepalanya.
Dukkk! Kepalan tangan Gagar Mayang mendarat telak
di dada lelaki itu. Terhuyung-huyung tubuh lelaki itu
diiringi lontaran kata-kata kotor. Menyesal ia telah berani gegabah menghadapi
gadis cantik berseruling ini.
Maka lelaki itu memutar pedangnya dan sambil berteriak nyaring, ia menerjang
maju. Tringngng! Pedang tipis itu bertemu dengan seruling bambu wulung di tangan Gagar Mayang.
Sebenarnya bisa
saja gadis itu berkelit menghindar. Dan, Itu lebih mudah dilakukannya. Akan
tetap, tiba-tiba saja muncul
keinginan gadis itu untuk membuat lawannya lebih
berpikir lagi. Seruling setan, pikir lelaki itu sambil melangkah mundur. Terheran-heran ia
memandangi seruling
bambu wulung di tangan gadis itu. Tidakkah ia salah
merasakan bahwa seruling itu tak lebih lunak dari baja putih"
"Nah, bersiaplah. Kini giliranku menyerang,
bukan?" kata Gagar Mayang mengejek.
Dalam pada itu, dari ketinggian pohon yang
menjadi pijakan kakinya, Joko Sungsang tak begitu
mempedulikan pertarungan yang tengah terjadi di bawah. Ia merasa pasti bahwa
Gagar Mayang akan dengan mudah bisa mengatasi pencuri kayu itu. Akan tetapi,
begitu dilihatnya seseorang mendatangi tempat
pertarungan itu, Joko Sungsang mengurai cambuk di
pinggangnya. Bukan berarti ia mencemaskan nasib
Gagar Mayang jika sampai dikeroyok kedua lelaki itu,
melainkan karena Joko Sungsang mengenali lelaki
yang hampir saja melintas di bawahnya.
Srettt! Berrr! Tubuh lelaki yang baru datang ini terbelit Cambuk Perisai Naga dan terbawa
terbang ke dahan tempat
Joko Sungsang berpijak.
"Kau boleh meronta kalau kau ingin kakimu
patah, Bajang Kerek!" bisik Joko Sungsang.
"Kau... kau...?"
"Ya. Kita pernah bertemu di Desa Karangreja.
Lumayan juga ingatanmu, Bajang Kerek."
'Tapi... tapi...."
''Sebaiknya kita menjauh dari sini," tukas Joko
Sungsang sebelum melompat ke pohon lain sambil tetap menarik tubuh Bajang Kerek
dengan juntaian
cambuknya. "Nah, di sini kita lebih aman berbicara."
Pucat pasi wajah Bajang Kerek sewaktu Joko
Sungsang mengencangkan belitan cambuknya. Kulit
ular itu serasa menyengat-nyengat kulit di pinggangnya. Karena itu, ia yakin
bisa ular sanca itu masih
menempel pada kulit ular yang kini telah berubah
menjadi cambuk itu.
"Kau masih ingat kapan kita bertemu terakhir
kali-nya, Bajang Kerek?" tanya Joko Sungsang sambil
tersenyum. Namun, senyuman itu bagi Bajang Kerek
tak ubahnya senyuman Dewa Pencabut Nyawa. la masih Ingat bagaimana anak muda ini
dengan mudah bisa mengalahkan Klabang Seketi (Baca juga: "Penguasa
Gua Barong") di Desa Karangreja.
"Kau masih bisa mendengar suaraku, bukan?"
lanjut Joko Sungsang.
"Ya, ya, ya.... Saya... saya bertemu Tuan di Desa Karangreja... sewaktu Tuan
bertarung melawan...
melawan Ki Lurah Klabang Seketi...."
''Bagus!" 'Tetapi... saya... saya waktu itu tidak ikut campur...."
''Memang Tetapi, apa bedanya kau dengan lurahmu itu" Kalian sama-sama bikin
susah orang lemah. Dan, sampai sekarang pun kau masih betah
menjadi orang sesat. Jangan mungkir! Baru saja aku
menemukan dua orang anak buahmu sedang menelanjangi gadis Desa Kedung Waduk!"
'Tapi... tapi... saya sudah memperingatkan mereka agar... agar tidak berurusan
dengan Tuan...."
''Selama kalian menjadi orang sesat, maka kalian akan selamanya berurusan
denganku! Mengerti?"
Kini mata Joko Sungsang menyala.
''Mengerti, Tuan. Dan... dan mulai detik ini saya
berjanji tidak akan berbuat...."
"Aku tidak menyuruhmu berjanji. Kau memang
harus mati di tanganku, atau di tangan gadis yang sekarang sedang menghajar
temanmu itu. Hanya saja,
nasib baik mungkin masih mengikutimu. Ini tentu saja
untung-untungan, Bajang Kerek."
''Saya bersedia melakukan apa saja untuk
Tuan...." ''Bukan itu maksudku. Nasib baik yang aku
maksudkan adalah jika kau bisa menjawab pertanyaanku. Paham?"
''Paham, paham, Tuan."
"Nah, sekarang katakan apa kerjamu di hutan
sini?" ''Saya sedang mencegat seorang...
"Seorang...." ''Seorang apa" Siapa?" sergah Joko
Sungsang. ''Seorang gadis dari... dari Padepokan Bukit
Cangak..."
"Nah, rupanya kau masih bernasib baik. Tapi,
tunggu dulu! Jangan dulu kau terhibur. Lalu, kenapa,
untuk apa kau mencegat gadis itu" Jangan coba-coba
kau berdusta. Kulit ular ini bisa membedakan ucapanmu yang benar yang bohong.
Mengerti?"
''Mengerti, Tuan. Saya ditugaskan menjaga hu-
tan ini, dan kalau bisa menghalang-halangi gadis itu
supaya tidak sampai ke Rawa Genjer, Tuan."
''Kenapa" Apa orang yang menugasimu itu takut jika gadis itu memetik daun genjer
di rawanya?"
gurau Joko Sungsang.
''Tentu saja bukan karena itu, Tuan." Semakin
lancar Bajang Kerek menjawab.
''Jadi" Karena apa" Dan, siapa orang yang menugasimu itu?"
''Kabar telah menyebar ke mana-mana bahwa
guru gadis itu tewas beberapa malam yang lalu, Tuan.
Ki Danyang Kumbayana dan gurunyalah yang menewaskan orang sakti dari Bukit
Cangak itu, Tuan."
"Oh, rupanya orang-orang sesat itu takut jika
gadis itu menuntut balas ke Rawa Genjer?" Berseri-seri
wajah Joko Sungsang mendengar penuturan terakhir
Bajang Kerek ini. ''Cukup. Dan, kau ternyata memang
bernasib baik. Tetapi, nasib baikmu tidak lama mengikuti langkahmu selama kau
tidak punya keinginan untuk menjadi orang baik-baik. Akulah yang akan
mencincangmu jika aku masih melihatmu bergabung dengan orang-orang sesat. Ingat
itu!" *** Kini tak perlu lagi Joko Sungsang bersembunyisembunyi dalam mengawal langkah
Gagar Mayang, la
harus menampakkan diri dan mengabarkan kepada
gadis itu tentang siapa yang harus menebus kematian
Eyang Kuranda Geni. Namun, sebelum menjumpai Gagar Mayang untuk menyampaikan
kabar yang baru saja didapatkannya dari Bajang Kerek, Joko Sungsang
perlu menaksir-naksir kekuatan orang-orang sesat dari
Rawa Genjer. Sampai detik ini ia baru mendengar ceri-
ta bahwa di Rawa Genjer inilah bercokol orang sesat
yang bernama ki Buyut Senggana yang terkenal dengan Ajian Brajamusti-nya.
"Ki Buyut Senggana tergolong orang sesat yang
mengandalkan tangan kosong sebab ia memiliki Ajian
Brajamusti pada telapak tangan kanannya," tutur Wiku Jaladri beberapa tahun yang
lalu. ''Dalam cerita
pewayangan, ajian ini hanya dimiliki oleh Raden Gatutkaca. Entahlah kenapa Ki
Buyut Senggana menamakan ajian yang dimilikinya sama dengan ajian yang
dimiliki Raden Gatutkaca. Barangkali saja karena ia
mengagumi tokoh Raden Gatutkaca ini."
Tak lupa Wiku Jaladri juga menceritakan perihal Jurus Siluman Kera Sakti yang
dimiliki Ki Buyut
Senggana. Jurus ini diciptakan oleh Ki Buyut Senggana sewaktu ia terdampar di
suatu pulau terpencil dan
hanya berteman puluhan ekor kera. Dari mempelajari
gerak-gerik kera jika sedang berkelahi inilah kemudian
tercipta Jurus Siluman Kera Sakti.
''Adapun nama 'Senggana' itu sendiri juga berarti 'kera'. Sebenarnya ia bernama
Badra Kiswara. Semenjak ia berhasil menciptakan Jurus Siluman Kera
Sakti, ia lalu menjuluki dirinya Ki Buyut Senggana,"
kata Wiku Jaladri menambahkan.
Hampir semua nama orang-orang sakti di rimba
persilatan, baik yang tergabung dalam golongan orangorang sesat maupun orang-
orang lurus, pernah didengar oleh Joko Sungsang lewat penuturan kedua gurunya.
Kalaupun ada yang lupa diceritakan oleh Wiku
Jaladri maka Ki Sempani yang akan melengkapi.
Untuk sejenak Joko Sungsang dihanyut kebimbangan. Benarkah ia harus
mengatakannya kepada
Gagar Mayang" Mampukah gadis itu menghadapi
orang-orang sesat dari Rawa Genjer" Dan, kalau tidak
salah ingat, masih ada murid tunggal Ki Buyut Senggana yang bernama Danyang
Kumbayana. Tentulah Danyang Kumbayana ini yang membokong Eyang Kuranda Geni dari arah
belakang, pikir
Joko Sungsang. Setelah untuk sejenak berbantahan dengan batinnya sendiri, pada akhirnya ia
memutuskan untuk
menemui gadis itu dan mengatakan apa yang harus
dikatakannya. Menurut pertimbangan Joko Sungsang,
lambat atau cepat pastilah Gagar Mayang bakal mengetahui siapa-siapa orang yang
harus bertanggung jawab atas kematian Eyang Kuranda Geni.
Masih dengan melompat dari pohon ke pohon,
Joko Sungsang mendekati tempat Gagar Mayang bertarung dengan kawan Bajang Kerek
tadi. Alangkah kagetnya anak muda ini sewaktu melihat pertarungan
yang masih saja berlangsung. Namun, kemudian ia
memaklumi sebab lawan yang dihadapi Gagar Mayang
bukan lagi lelaki berpedang yang berilmu silat paspasan tadi. Gadis itu kini
tengah menghadapi serangan-serangan seorang perempuan berpakaian kain satin
berwarna ungu tua.
Joko Sungsang mencoba mengingat-ingat pernahkah ia berurusan dengan perempuan
liar ini. Ternyata la merasa pasti bahwa baru kali ini ia melihat
perempuan yang bersenjatakan kipas akar cendana
itu. Perempuan itu bertubuh kurus kering sehingga
pakaian yang dikenakannya nampak kebesaran. Rambutnya telah memutih, tetapi
anehnya wajah perempuan itu belum segaris pun menampakkan kerutmerut. Maka sulit


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi Joko Sungsang untuk menebak
berapa usia perempuan lawan Gagar Mayang itu.
Joko Sungsang mengerutkan dahi sewaktu lawan Gagar Mayang itu berkata,
''Serahkan saja keris
itu, bocah dungu! Kau akan menyesal jika kesabaranku sampai pada batasnya!
Akulah yang paling berhak
menyimpan Ki Sumping Sedapur! Bukan gurumu, bukan pula cecunguk-cecunguk yang
membunuh gurumu! Semua orang tahu bahwa akulah utusan kerajaan
untuk mengembalikan keris itu ke gedung pusaka!"
''Orang yang paling dungu pun akan menertawakan ecehanmu, nenek genit!" sergah
Gagar Mayang sambil menerjang dengan seruling bambu wulungnya.
Joko Sungsang melihat bahwa pertarungan
masih berjalan seimbang. Meski perempuan cantik berambut putih itu telah
melancarkan jurus-jurus andalan kipas-nya, Gagar Mayang nampak masih bisa
menguasai. Sebaliknya, sewaktu Gagar Mayang mengirimkan serangan-serangan balasan dengan
rangkaian jurus-jurus seruling bambu wulungnya, perempuan berambut putih itu pun
tak kerepotan menghindar atau
menangkis. ''Sayang sekali, aku ada janji sebelum senja
nanti!" kata perempuan berambut putih itu sambil melompat mundur beberapa
tombak. "Nah, sekarang
saatnya aku harus memaksamu menyerahkan keris
itu, bocah dungu!"
''Keluarkan segala ilmu demitmu! Aku pun ingin secepatnya melihatmu mampus,
nenek ubanan!"
Gagar Mayang tak kalah gertak.
''Dasar tak bisa dikasih hati!" Berkata begini,
perempuan cantik berambut putih itu melipat kipas
akar cendananya, menudingkan kipas itu ke arah Gagar Mayang, dan kemudian
berteriak nyaring sambil
menerjang. Menyadari bahwa lawan telah mengeluarkan
jurus andalannya, Gagar Mayang pun secepat mene-
rapkan Jurus Tambak Segara untuk menyongsong serangan lawan.
Bresss! Tubuh keduanya bertabrakan. Kedua ajian andalan beradu. Akibatnya, tubuh
perempuan cantik berambut putih itu terlontar sejauh tujuh tombak, dan
tubuh Gagar Mayang pun bernasib sama.
Tak bisa diikuti pandangan mata ketika tibatiba saja Joko Sungsang turun dari
atas dahan dan menyambar tubuh Gagar Mayang. Hal ini harus dilakukannya sebab ia melihat
luncuran tubuh gadis itu
mengarah ke sumur tua yang menganga tak jauh dari
tempat pertarungan itu.
Dalam pada itu, perempuan cantik berambut
putih itu mencoba bangkit, tetapi tulang-tulang di tubuhnya tak kuasa lagi
menahan berat badan perempuan itu. Sewaktu perempuan itu memaksakan diri
untuk bergerak, darah segar tertumpah dari mulutnya.
*** 5 "Kau harus segera mendapatkan perawatan,
Gagar Mayang," kata Joko Sungsang demi dilihatnya
gadis itu membuka matanya.
''Kenapa aku?" Gadis itu bertanya bingung.
"Kau baru saja bertarung dengan perempuan
berkipas akar cendana, Gagar Mayang. "
Gagar Mayang mencoba mengingat-ingat sesuatu yang lepas dari pikirannya. Sedikit
demi sedikit ia
ingat bagaimana ia merobohkan lelaki berpedang tipis
itu dan kemudian muncul perempuan berambut putih
yang mengaku sebagai utusan dari kerajaan.
''Benarkah perempuan liar itu utusan dari kerajaan?" tanya gadis itu kemudian.
''Orang-orang yang tergabung dalam panji-panji
golongan hitam selalu mengutamakan dusta dalam
mencapai maksud mereka, Gagar Mayang."
"Ya, aku pun berpikiran begitu...."
''Sebaiknya kita segera mencari pertolongan,"
tukas Joko Sungsang.
''Kita kembali ke Karang Bolong?" Mata gadis
itu melebar. Semakin nampak mempesona bagi mata
Joko Sungsang. Mata yang dinaungi bulu-bulu lentik
itu bagaikan telaga jernih yang dinaungi pohon-pohon
perdu. ''Kita ke Desa Dadapsari. Di sana ada Paman
Wasi Ekacakra yang tentu bisa merawat luka dalammu."
"Aku harus secepatnya menemukan pembunuh
jahanam itu!"
''Gagar Mayang, biarlah aku yang mencari biang keladinya sementara kau
beristirahat di Desa Dadapsari." Joko Sungsang terpaksa berbohong demi kebaikan
gadis itu. Terpaksa ia berpura-pura belum tahu
ke mana sesungguhnya gadis itu harus membalas
dendam. "Aku tidak ingin mereka mati di tangan orang
lain!" sahut Gagar Mayang tuntas.
"Ya. Aku menghormati hakmu sebagai pendekar, Gagar Mayang. Aku berjanji hanya
akan mencari biang keladinya. Setelah kutemukan siapa-siapa yang
menewaskan gurumu, aku akan mengabarimu ke Desa
Dadapsari."
Gagar Mayang tidak lagi menyahut. Bagaimanapun juga la merasa harus mempercayai
ucapan anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini.
Lagi pula, anak muda ini telah banyak menolongnya.
"Lalu, bagaimana nasib perempuan liar tadi?"
Tiba-tiba Gagar Mayang ingat kejadian yang menyebabkan ia harus tergeletak tak
berdaya. "Kau telah menewaskannya. Sekalipun ia bisa
menembus Jurus Tambak Segara mu, ia tak kuasa
menerima patukan seruling maut-mu."
''Entah ilmu setan mana yang dimiliki perempuan Bar Itu. Rasanya aku terbanting
ke alam yang gelap sewaktu ia menabrak pertahananku. Perempuan
Itu kurus kering, tetapi berat badannya melebihi berat
badan sepuluh ekor gajah. "
''Nanti bisa kita tanyakan kepada orang sakti di
Desa Dadapsari itu, Gagar Mayang. Kita berangkai sekarang," sahut Joko Sungsang.
"Aku belum bisa berjalan. Tulang-tulangku seperti luluh."
''Bukankah aku bisa mendukungmu" Atau, kau
keberatan bersentuhan denganku?"
Sepasang pipi Gagar Mayang tiba-tiba memerah
dadu. Keberatan" Ah, gadis mana yang tidak senang
dalam gendongan anak muda yang kesohor ini, pikir
gadis itu sambil menundukkan wajahnya.
"Maaf, aku harus menggendongmu, Gagar
Mayang," kata Joko Sungsang sebelum kemudian merengkuh tubuh gadis itu dan
membopongnya. Selama dalam pelukan Joko Sungsang, pikiran
gadis itu dipenuhi berbagai pertanyaan. Kenapa ia
mau menolongku" Kenapa ia mau menggendongku"
Kenapa ia tak sungkan-sungkan memelukku" Kenapa"
Tidakkah ia takut jika gadis yang bernama Sekar Arum
itu melihat" Atau, mungkin gadis yang bernama Endang Cantikawerdi itu" Atau,
sudah terbiasakah ba-
ginya memeluk-meluk
kadangnya"
gadis yang bukan sanak- *** Wasi Ekacakra manggut-manggut setelah memeriksa luka dalam yang diderita Gagar
Mayang. Orang sakti yang menyamar menjadi petani ini tahu
kenapa gadis dari Bukit Cangak ini masih bisa bertahan hidup.
''Kalau saja Nini tidak menerapkan Jurus Tambak Segara, sudah pasti tubuh Nini
hancur luluh. Jurus Tambak Segara memang tidak ada tandingannya.
Ajian kekebalan macam mana pun tidak akan bisa melebihi kekuatan Jurus Tambak
Segara. Tetapi, kita juga jangan mengecilkan kekuatan Ki Sumping Sedapur."
''Maksud Paman?" sahut Joko Sungsang.
''Keris itu juga memberikan kekebalan bagi si
pembawa." Joko Sungsang manggut-manggut. Itulah sebabnya banyak orang rimba persilatan
yang menginginkannya, pikir Pendekar Perisai Naga itu. Dalam pada itu, Gagar
Mayang berpikir lain. Ia menyesali tindakan kakeknya pada malam yang naas itu.
Kalau saja kakeknya menyengkelit keris itu di pinggangnya, tentulah tombak yang
membokongnya tidak akan mempan.
''Sebaiknya Nini istirahat dulu di kamar. Maaf,
saya tidak bisa menyediakan tempat yang layak," kata
Wasi Ekacakra setelah selesai mengobati gadis itu.
Dengan dipapah Joko Sungsang, Gagar Mayang
melangkah menuju kamar yang tersedia. Kembali batin
Gegar Mayang berkecamuk sewaktu lengan anak muda
yang perkasa itu merengkuh tubuhnya. Sungguh, ia
tidak mengira bakal bisa begitu dekat dengan anak
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu.
"Ah, kalau saja di kolong langit ini tidak ada
gadis yang bernama Sekar Arum dan Endang Cantikawerdi," kata batin gadis itu.
Kembali duduk bersila di depan Wasi Ekacakra,
Joko Sungsang merasakan pikirannya lebih terbuka.
Dengan tidak adanya gadis itu di dekatnya, ia akan lebih bebas berbincang-
bincang dengan Wasi Ekacakra.
''Apakah sekiranya Gagar Mayang harus istirahat lama, Paman?" tanya Joko
Sungsang sebelum Wasi
Ekacakra membuka pembicaraan.
''Beberapa hari saja cukup, Anakmas. Tetapi, ia
harus lebih dulu berlatih olah kanuragan agar darah
yang membeku di tubuhnya bisa lancar kembali."
''Paman, jika memungkinkan, saya harap Paman bisa mencegahnya agar tidak buru-
buru meninggalkan pondok Paman ini. "
Wasi Ekacakra tertawa lirih.
''Kenapa saya harus mencegahnya?" tanya
orang tua itu. ''Paman, hati gadis itu sedang dibakar dendam
kesumat. Saya khawatir ia belum bisa menghadapi
musuh besarnya nanti. Paman tentu tahu siapa Penguasa Rawa Genjer."
''Penguasa Rawa Genjer" Tunggu dulu! Jadi,
Nini Gagar Mayang hendak membalas dendam kepada
Ki Buyut Senggana yang bergelar Siluman Kera dari
Rawa Genjer itu?"
''Itulah maksud saya kenapa saya mohon Paman sudi mencegahnya," sahut Joko
Sungsang lega. "Hmmm, memang berat tugas Nini Gagar
Mayang. Ia harus menjaga keris luk tujuh itu dari in-
caran orang-orang sesat. Tapi, mudah-mudahan saja
Ki Buyut Senggana tidak menginginkan keris pusaka
itu. " ''Kenapa Paman bilang begitu" Sudah tentu la
membunuh Eyang Kuranda Geni, kakek sekaligus
guru gadis itu, sebab ia menginginkan Ki Sumping Sedapur, Paman. "
"Itu belum pasti, Anakmas. Sebab, sebenarnya
Ki Buyut Senggana pun memendam dendam terhadap
Eyang Kuranda Geni. Nah, mudah-mudahan saja ia
melabrak ke Bukit Cangak karena dendam itu. "
''Dendam.... Ah, dendam selalu membuat manusia tak pernah damai. Guru mendendam
guru, murid mendendam guru, murid mendendam murid, anak
mendendam pembunuh orang tua...."
"Dan, itu tak berlaku buat Kakang Wiku Jaladri, bukan?" tukas Wasi Ekacakra.
''Betul, Paman. Guru selalu berpesan kepada
saya agar tidak memelihara rasa dendam."
''Baiklah. Kita masih punya waktu untuk bercerita-cerita lebih lanjut.
Sebaiknya, Anakmas sekarang
menemui Nyi Demang."
''Tunggu, Paman. Ada satu lagi yang ingin saya
tanyakan," sahut Joko Sungsang. ''Pernahkah Paman
bertemu dengan si Pemanah Sakti Bertangan Seribu?"
''Dalam kaitannya dengan dendam, ia memang
menyimpan dendam terhadap kakek Nini Gagar
Mayang. Sewaktu mereka masih sama-sama muda, si
Pemanah Sakti Bertangan Seribu pernah dikalahkan
Eyang Kuranda Geni dalam gelanggang adu kesaktian.
Waktu itu ia memang belum bergelar si Pemanah Sakti
Bertangan Seribu. Dengan Ajian Naracabala yang dimilikinya, sudah barang pasti
si Pemanah Sakti Bertangan Seribu merasa akan bisa melumpuhkan Eyang
Kuranda Geni."
Joko Sungsang manggut-manggut paham.
*** Setelah menumpahkan rasa rindunya kepada
Nyi Demang, Joko Sungsang kembali bersila di depan
Wasi Ekacakra, orang sakti yang pernah menyelamatkannya dari ancaman Empu Wadas
Gempal beberapa tahun yang lalu (Baca juga: "Hantu Lereng Lawu").
"Tetapi, si Pemanah Sakti Bertangan Seribu
pastilah lebih menginginkan keris luk tujuh itu ketimbang membalas dendam,"
lanjut Wasi Ekacakra menuturkan.
"Paman, benarkah keris itu pusaka peninggalan
Zaman Kerajaan Majapahit?" tanya Joko Sungsang
menyela. ''Setahu saya, keris itu penemuan Eyang Kuranda Geni. Hanya saja, dari mulut ke
mulut, lalu tersiar kabar bahwa Ki Sumping Sedapur adalah peninggalan Zaman
Kerajaan Majapahit."
''Tetapi, Paman, saya pernah mendengar cerita
bahwa Ki Sumping Sedapur pernah menjadi senapati
Kerajaan Majapahit."
''Saya memang pernah mendengarnya. Tetapi,
untuk memastikan kebenarannya, saya tidak berani.
Tetapi lepas benar atau tidaknya semua cerita yang
pernah kita dengar, kita memang wajib ikut menjaga
keris luk tujuh itu dari incaran orang-orang sesat. Sekalipun Nini Gagar Mayang
yang harus bertanggung
jawab sepenuhnya, tidak ada salahnya jika kita ikut
menjaga." ''Kalau begitu, untuk sementara waktu barang-
kali lebih aman jika keris itu Paman simpan di pondok
ini," usul Joko Sungsang.
''Saya tidak keberatan, Anakmas. Hanya saja,
tidak berarti bahwa Nini Gagar Mayang lepas dari incaran orang-orang sesat itu."
''Kalau Paman setuju, saya akan terus mendampingi Gagar Mayang," kata Joko
Sungsang ragu. Ragu sebab ia sendiri tidak mungkin menyombongkan


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri di depan orang sakti yang menyamar menjadi petani ini.
''Saya percaya Nini Gagar Mayang akan selamat
dalam lindungan Anakmas Joko Sungsang," kata Wasi
Ekacakra tegas.
''Kalau Paman mengizinkan, ada satu permintaan lagi dari saya," ucap Joko
Sungsang seraya menatap tajam mata Wasi Ekacakra.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Anakmas?"
Orang tua itu bertanya dengan senyum terkuak.
''Bukan untuk saya, Paman. Maksud saya, untuk Gagar Mayang. Menurut pertimbangan
saya, Gagar Mayang masih memerlukan gemblengan dari orang
sakti macam Paman."
"He-he-he! Anakmas, apa yang bisa saya berikan kepada anak-anak muda macam
Anakmas dan Nini Gagar Mayang" Saya hanyalah petani bodoh yang
tinggal menunggu ajal."
''Sifat merendahkan diri Paman memang wajib
saya tiru," sahut Joko Sungsang menyusul tertawa.
''Baiklah, jika memang Anakmas percaya saya
bisa menggembleng Nini Gagar Mayang. Tetapi, semuanya tadi juga tergantung Nini
Gagar Mayang. Kalau
memang Nini Gagar Mayang setuju, saya pun tidak keberatan."
''Rasanya saya tengah menemukan durian run-
tuh, Paman." Joko Sungsang menyahut lega.
Pagi hampir menjelang. Beberapa kali Joko
Sungsang nampak menguap. Tetapi, ia mencoba bertahan agar tidak merugi. Bukankah
namanya merugi jika melewatkan begitu saja pertemuan singkat dengan
orang sakti macam Wasi Ekacakra ini"
Namun demikian, Joko Sungsang juga ingat
bahwa si empunya pondok pun perlu beristirahat. Maka ditahan-tahannya keinginan
untuk lebih banyak
berbicara dengan orang tua itu. Sewaktu terdengar
bunyi kentongan dari gardu peronda, Joko Sungsang
pun mohon diri untuk beristirahat.
Ketika matahari belum sepenggalan tingginya,
Joko Sungsang telah bersiap-siap untuk meninggalkan
Desa Dadapsari. Bimbang hati anak muda itu sewaktu
harus berpisah dari Gagar Mayang. Entah apa yang
terjadi pada dirinya, tiba-tiba saja ia merasa berat hati
meninggalkan gadis dari Bukit Cangak itu. Cintakah"
Ah, aku sendiri tidak tahu arti cinta sesungguhnya, pikir Joko Sungsang. Dan,
secara refleks terbayang di
benaknya wajah Sekar Arum dan Endang Cantikawerdi.
Cintakah namanya jika aku nyatanya tidak berat hati meninggalkan Sekar Arum di
Padepokan Karang Bolong" Cintakah namanya jika aku juga tega
melupakan Endang Cantikawerdi" Cintakah namanya
jika nyatanya Sekar Arum selalu berusaha menghindariku" Cintakah namanya jika
Endang Cantikawerdi tiba-tiba ingin bergumul denganku"
''Dingin sekali air di sini," kata Gagar Mayang
yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Joko
Sungsang. "Ya, ya, memang. Bagaimana, Gagar Mayang"
Sudah lebih enak badanmu?" Joko Sungsang bertanya
sambil menghindari tatap mata gadis itu. Tatap mata
yang membuat jantungnya menggelepar.
"Kiai Wasi memang orang sakti yang pilih tanding," kata gadis itu.
"Dan, tentunya kau setuju jika Paman Wasi
menjadi pengganti gurumu?"
Mata Gagar Mayang terbelalak. Bibirnya bergetar ketika la bertanya, ''Maksudmu"
Kiai Wasi ingin
mengangkatku jadi muridnya?"
''Begitulah jika kau tidak keberatan."
"Oh, Gusti Allah Maha Pemurah. Tentu saja
aku senang sekali menerimanya. " Wajah gadis itu kini
sedikit memerah. Rasa gembira yang meluap-luap di
rongga dadanya berhasil mengusir warna pias di wajah
gadis itu. ''Karena itu, untuk sementara waktu kau harus
tetap tinggal di pondok ini. Sayang sekali, aku tidak bisa melihatmu berlatih
dengan Paman Wasi."
"Kau... kau mau pergi?" Wajah cantik Itu kembali memucat.
''Gagar Mayang, seperti yang aku katakan kemarin, aku perlu mencari siapa
manusia laknat yang
telah menewaskan gurumu. Secepatnya aku kembali
ke desa ini, Gagar Mayang."
"Aku akan lebih bersemangat berlatih jika kau
ikut menungguiku," kata gadis itu dengan keberanian
dilipatgandakan.
''Berdoalah agar aku secepatnya mendapatkan
petunjuk tentang kepada siapa kau harus membalas
dendam. Setelah kau sembuh dan siap berlatih,
mungkin aku sudah kembali berada di pondok ini."
"Aku tak akan pergi dari sini sebelum kau datang, Joko Sungsang," sahut gadis
itu dengan suara
parau. "Ada ibuku yang menjadi jaminan bahwa aku
pasti kembali. "
Lalu, kepada Wasi Ekacakra, sekali lagi Joko
Sungsang mengucapkan terima kasih atas kesediaan
orang sakti itu merawat dan menggembleng Gagar
Mayang. ''Kelebihan yang kita miliki akan sia-sia jika kita tidak mau membagi-bagi
kepada orang lain, Anakmas," kata Wasi Ekacakra menanggapi.
''Saya percaya Paman bisa merahasiakan tujuan saya sekarang ini di hadapan Gagar
Mayang," kata Joko Sungsang setengah memohon.
"Yang baik bagi Anakmas, tentu baik pula untuk Nini Gagar Mayang."
*** 6 Selaras dengan namanya, Rawa Genjer memang
dipenuhi oleh tanaman genjer pada permukaannya.
Sinar matahari seolah tak mampu menembus kerimbunan tanaman air itu. Kalaupun
ada tempat yang
agak luang, di situlah tumbuh daun semanggi. Nasib
daun semanggi di rawa ini tak ubahnya nasib penduduk desa di antara orang-orang
sesat yang menamakan diri mereka golongan hitam.
Memasuki kawasan Rawa Genjer, tidaklah semudah memasuki desa ataupun kota.
Banyak sudah manusia yang mati konyol sebelum mata mereka bisa
melihat Rawa Genjer. Berbagai perangkap terpasang di
Jalan-jalan menuju rawa ini. Selain itu, juga penjagaan
begitu ketat. Orang-orang yang haus darah sengaja di-
tugaskan menjaring siapa saja yang ingin mendekati
Rawa Genjer. Akan tetapi, bagi Joko Sungsang yang bergelar
Pendekar Perisai Naga, hambatan-hambatan baik yang
berupa perangkap maupun penjagaan bukanlah hal
yang menyulitkannya. Beberapa buah perangkap yang
meluncur dari atas pohon terbabat habis oleh Cambuk
Perisai Naga. Bahkan tiga orang lelaki yang mencoba membokong Joko Sungsang pun tewas dengan
leher hampir putus. Bola berduri di ujung cambuk kulit ular itu dalam sekejap memotong urat-
urat leher mereka bertiga.
Geram bukan kepalang Danyang Kumbayana
sewaktu menerima pengaduan dari salah seorang murid nya yang berhasil melarikan
diri dari ancaman
Cambuk Perisai Naga.
''Demit keparat! Bosan hidup!" rutuk Danyang
Kumbayana seraya menyambar tombaknya.
''Apakah tidak sebaiknya kita memberitahu Ki
Buyut Senggana, Ki Lurah?"
''Tutup mulutmu! Kau pikir aku tidak mampu
mengambil nyawa si keparat busuk itu?" sergah Danyang Kumbayana.
Seperti harimau mengejar kijang, seperti itulah
Danyang Kumbayana berlari-lari menuju pintu gerbang Rawa Genjer. Di sana,
ditemuinya seorang anak
muda yang tengah melilitkan cambuk ke panggangnya.
"Hei, bocah ingusan! Berani sekali kau masuk
tlatah Rawa Genjer! Sudah rangkap nyawamu?" hardik
Danyang Kumbayana.
Anak muda berpakaian serba putih dan berikat
kepala kulit ular itu menatap Danyang Kumbayana
sambil tersenyum.
''Bukankah orang-orang Rawa Genjer meng-
hendaki Ki Sumping Sedapur?" katanya kemudian.
''Demit, setan, tetekan! Tak usahlah kau menyebut-nyebut nama keris itu jika kau
tak mampu...."
''Sabar, sabar. Bukankah lebih baik kita bicara
dengan hati dan otak yang dingin?" tukas Joko Sungsang.
"Anak Iblis, aku tak butuh ocehanmu! Tengadahlah ke langit, berdoalah agar
nyawamu tidak penasaran!" sahut Danyang Kumbayana sebelum menusukkan tombaknya
ke dada Joko Sungsang.
Seperti kilat tusukan tombak itu datang Namun, Joko Sungsang sudah terbiasa
menghadapi serangan yang datangnya melebihi kilat. Secepatnya ia
merunduk dan menepiskan tombak yang lewat di atas
kepalanya. ''Modar!" seru Danyang Kumbayana sambil
mengirimkan tendangan ke pelipis lawan.
Desss! Danyang Kumbayana mundur tiga langkah
sambil mengaduh. Tak diduga-duganya jika tendangan
itu akan membentur aku lawan yang kerasnya melebihi batu hitam.
''Masih juga kau menolak ocehanku?" kata Joko
Sungsang. ''Katakan siapa namamu sebelum aku benarbenar melumatkan tubuhmu, setan!" sergah
Danyang Kumbayana. "Namaku Joko Sungsang Orang-orang sesat sepertimu sering menyebutku Pendekar
Perisai Naga. Paham?" "Ha-ha-ha! Kau memang pantas menjadi badut,
iblis! Pendekar Perisai Naga, katamu" Hmmm, menakutkan! Tetapi, tak apalah.
Terserahlah kau mau bergelar apa. Tetapi, sebaiknya kau cari gelar lain, yang
lebih bisa diterima nalar!"
"Orang orang malang yang membokongku tadi
mengatakan bahwa punya pemimpin bernama Danyang Kumbayan. Kaukah itu?" Joko
Sungsang meneliti lelaki kasar yang berdiri di hadapannya.
'Tak ada Danyang Kumbayana kecuali yang
menguasai Rawa Genjer sini!"
"Hmmm, namamu juga membuatku pingin tertawa. Kau belum pantas bergelar Danyang
Kumbayana, Tuan. Lebih baik kau cari sebutan yang lain."
'Tutup mulutmu yang lancang itu! Dan, bersiaplah masuk neraka!"
'Tunggu dulu, Danyang Kumbayana. Aku datang ke sini karena ingin menyerahkan Ki
Sumping Sedapur. Tidakkah kau tertarik?"
''Serahkan secepatnya, dan pergilah sebelum
aku berubah pikiran!"
'Tidak semudah itu. Maksudku, aku pasti menyerahkan keris luk tujuh itu dengan
satu syarat. Bagai mana?"
"Kalau kau memang bisa menunjukkan keris
itu, katakanlah syarat yang kau maksudkan!" sahut
Danyang Kumbayana. 'Tetapi, jangan harap kau bisa
pergi dengan selamat jika kau hanya omong kosong1"
"Ki Lurah Danyang Kumbayana, melihat Ki
Sumping Sedapur adalah anugerah dari Nya, tak mudah bagiku menunjukkan keris
pusaka itu kepada siapa saja...."
"Dasar babi dungu!" tukas Danyang Kumbayana sambil menerjang dengan sodokan
gagang tombak nya. Joko Sungsang melenting ke udara, berjumpalitan, dan kemudian turun sambil
melecutkan cambuknya.
Srettt! Dukkk! Tombak di tangan Danyang Kumbayana terbelit
cambuk. Sekuat tenaga Danyang Kumbayana berusaha membebaskan belitan cambuk pada
tombak-nya. Akan tetapi, tiba-tiba sebuah tendangan bersarang di
rusuk kirinya. Tubuh murid Ki Buyut Senggana itu tergulingguling di tanah. Sewaktu berhasil
bangkit dan kembali
berdiri di atas kuda-kudanya, Danyang Kumbayana
melihat tombaknya telah berada di tangan kiri anak
muda berpakaian serba putih itu. Sementara itu, di
tangan kanan anak muda itu terjurai sebuah cambuk
yang terbuat dari kulit ular sanca.
"Kau pernah mendengar cerita tentang cambuk
kulit ular Ini, Danyang Kumbayana?" kata Joko Sungsang sambil mengelus cambuknya
dengan ujung tombak milik lawan.
''Mundurlah, Kumbayana. Dia memang bukan
lawanmu," kata Ki Buyut Senggana yang tiba-tiba saja
sudah berdiri di belakang muridnya.
"Diakah Pendekar Perisai Naga yang pernah
Guru ceritakan?" tanya Danyang Kumbayana kepada
Ki Buyut Senggana.
''Senjata yang digenggamnya memang senjata
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, ia terlalu muda untuk
menyandang gelar itu."
Joko Sungsang mengulum senyum. Masih juga
ada orang yang berpikir bahwa gurulah satu-satunya
Pendekar Perisai Naga, pikirnya sepintas kilas.
"Anak muda, siapakah kau sebenarnya, dan
bagaimana bisa kau mencuri cambuk kulit ular Itu?"
tanya Ki Buyut Senggana.
''Rupanya orang-orang Rawa Genjer punya kebiasaan mencuri senjata orang lain.
Tetapi, sayang tak
bisa mencuri Ki Sumping Sedapur dari Bukit Cangak!"
''Kalau begitu, tentulah kau murid Wiku Jaladri!" sahut Ki Buyut Senggana.
"Kau sudah kenal guruku, Kakek Tua?"
"Guru, izinkan saya menyumbat mulut lancang
itu!" dengus Danyang Kumbayana.
''Kumbayana, kali ini aku tidak lagi memaafkanmu jika kau tidak menuruti
perintahku! Jangan
sekali-sekali kau mencampuri urusanku dengan murid
dari Padepokan Jurang Jero ini. Mengerti?"
Suara itu pelan, tetapi bagi telinga Danyang
Kumbayana bagaikan guntur di musim kemarau. Seraya mundur, Danyang Kumbayana
mengangguk hormat.
"Aku hormati kedatanganmu di Rawa Genjer
sini, Pendekar Perisai Naga! Tetapi, benarkah dugaanku bahwa kau menjadi wakil
gurumu untuk mengadu


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesaktian denganku?" Kembali Ki Buyut Senggana
menoleh kepada Joko Sungsang
"Ki Buyut Senggana, aku pun menaruh hormat
atas kesediaanmu menyambutku Tetapi, Jangan kau
sangkut pautkan kedatanganku Ini dengan kepentinganmu terhadap guruku. Aku
datang untuk membicarakan perihal Ki Sumping Sedapur dan pemiliknya!"
"Aku peringatkan, jangan coba-coba kau campuri urusanku dengan Kuranda Geni,
Anak Muda! Lebih baik kita bicara tentang dosa-dosa gurumu terhadap ku!"
''Urusan orang-orang dari golongan lurus juga
menjadi tanggung jawabku, Ki Buyut Senggana. Tugasku jugalah menjaga Ki Sumping
Sedapur dari tangan kotor kalian orang-orang sesat!"
''Seperti langit dan bumi sifatmu dan sifat gurumu! Tak pernah kulihat Wiku
Jaladri sepongah kau!"
kata Ki Buyut Senggana sebelum mengirimkan serangan pembuka.
Wusss! Wusss! Dua pukulan beruntun menyambar dada dan
leher Joko Sungsang. Namun, dengan merunduk seraya memutar tubuhnya, Joko
Sungsang luput dari
jangkauan tangan orang tua sesat itu. Lalu, dengan
kecepatan yang tak bisa diikuti mata, Joko Sungsang
membabat kaki lawan dengan sapuan kaki kanannya.
''Huppp! Hiyaaa!" seru Ki Buyut Senggana sambil melenting ke udara. Namun,
serangan susulan yang
dilancarkan Joko Sungsang memaksa orang tua itu
harus menyonsong serangan, mengadu tenaga dalam.
Desss! Tubuh Ki buyut Senggana terhuyung-huyung
ke belakang. Dan, mata orangtua itu terbelalak melihat
lawan tak beranjak dari tempatnya berdiri. Seolah
bongkahan karang yang terbentur perahu tubuh anak
muda itu tegar berdiri diam-diam orang sesat ini mengagumi kesempurnaan tenaga
dalam lawan. Di lain pihak, Joko Sungsang kaget bukan kepalang melihat lawan sama sekali
tidak merasakan
akibat benturan yang terjadi. Orang sesat itu memang
sempat terhuyung-huyung, tetapi dengan sigapnya
kembali bersiap diri.
''Tenaga dalammu sangat mumpuni, Anak Muda! Tetapi, cobalah kau songsong Ajian
Brajamusti!"
kata Ki Buyut Senggana seraya mengangkat telapak
tangan kanannya.
Karena tidak ingin mati konyol, Joko Sungsang
segera mempersiapkan diri dengan Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan. Tentulah orang
tua yang bergelar Siluman Kera dari Rawa Genjer ini tidak akan mengira
bahwa Pendekar Perisai Naga sempat berguru ke Pade-
pokan Karang Bolong.
Danyang Kumbayana tertawa-tawa melihat gurunya mulai menerapkan aji
pamungkasnya, la yakin,
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu
sudah barang pasti bakal luluh-lantak. Jangan lagi
hanya tubuh anak muda itu, sedangkan sebongkah
batu pualam pun akan hancur lebur menjadi tepung
jika terpukul Ajian Brajamusti.
Yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaan Ki Buyut Senggana maupun
Danyang Kumbayana. Tiba-tiba Joko Sungsang mengurungkan niatnya
menyongsong Ajian Brajamusti dengan Ilmu Pukulan
Ombak Laut Selatan. Setelah ilmu pukulan yang didapatkannya dari Ki Sempani itu
siap membentengi tubuhnya, serta-merta telinga Joko Sungsang mendengar
bisikan halus. Hampir-hampir ia tidak percaya pada
pendengarannya. Suara itu begitu khas menyelusup
liang telinganya. Suara Wiku Jaladri!
"Kau memang tidak akan celaka membentur
Ajian Brajamusti. Tetapi, apalah bedanya jika kau harus tergeletak untuk
beberapa hari, Joko" Lagi pula,
bukan tugasmu untuk melenyapkan Ki Buyut Senggana! Urungkan niatmu mengadu Ilmu
Pukulan Ombak Laut Selatan dengan Ajian Brajamusti. Pergunakan
cambukmu!" bisik gurunya.
Maka secepatnya Joko Sungsang mengurai
cambuk yang melilit pinggangnya. Melihat lawan mengubah pertahanan, Ki Buyut
Senggana pun menyimpan kembali Ajian Brajamusti-nya. Sebagai gantinya,
orang tua penghuni Rawa Genjer ini menerapkan Jurus Siluman Kera Sakti.
Untuk sejenak Joko Sungsang kehilangan akal
bagaimana melawan Ki Buyut Senggana yang berputar
mengitari dirinya. Semakin lama semakin kencang pu-
taran itu, dan akhirnya sulit untuk menebak di sebelah mana lawan sesungguhnya
berada. Inilah Jurus Siluman Kera Sakti itu, pikir Joko
Sungsang sambil mempersiapkan diri. Dan, tiba-tiba
cambuk di tangannya meledak-ledak. Lecutan-lecutan
yang dilambari dengan Jurus Mematuk Elang dalam
Mega. Joko Sungsang tak ingat lagi sudah berapa
orang tokoh hitam yang tewas oleh dahsyatnya Jurus
Pedang Langit Dan Golok Naga 33 Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Suling Emas 12
^