Pencarian

Siluman Kera Sakti 3

Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Bagian 3


Mematuk Elang dalam Mega ini.
Akan tetapi, kali ini Pendekar Perisai Naga merasa benar-benar berhadapan dengan
siluman. Tak sekalipun lecutan cambuk yang telah dilambari dengan
Jurus Mematuk Elang dalam Mega itu mengenai sasaran. Setiap sosok lawan yang
diincarnya ternyata sosok
semu. Di manakah sesungguhnya Ki Buyut Senggana
berada" "Ha-ha-ha! Cambuk kambingmu tak ada artinya bagiku, Pendekar Perisai Naga!" ejek
Ki Buyut Senggana. Suara orang sesat itu menggema dan berjalan
mengitari tubuh Joko Sungsang. Anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini
mencoba memburu suara-suara itu dengan lecutan cambuknya, tetapi lagilagi tempat
kosong yang terpatuk bola berduri di ujung
cambuk itu. ''Kerahkan seluruh jurus cambukmu, Bocah
Gunung! Aku memang ingin melihatmu memamerkan
jurus-jurus ciptaan gurumu! Aku tahu, kau tidak berani menyongsong Ajian
Brajamusti-ku! Kau pergunakan cambukmu sebab kau takut membentur Ajian
Braja-musti!"
'Tutup mulutmu, Buyut Senggana!" sergah Joko Sungsang geram. Kini ia merasakan
kepalanya mulai berkunang-kunang melihat bayangan hitam yang
mengitarinya. Masih ditambah lagi dengan ejekanejekan yang memualkan.
'Tetapi, aku tidak akan membunuhmu, Anak
Muda! Aku dengar kau menyebut-nyebut Ki Sumping
Sedapur, bukan" Nah, bolehlah keris itu kau tukarkan
dengan nyawamu!"
''Jangan berangan-angan, monyet tua!" sahut
Joko Sungsang. Lalu, tubuh murid Wiku Jaladri ini
melenting ke udara, dan kembali Cambuk Perisai Naga
meledak. "Apa bedanya kau menyerangku dari langit dan
dari bumi" Jangan kau buang-buang tenagamu, bocah
dungu!" Kemarahan Joko Sungsang seolah mampu
memecahkan dadanya. Selain ia kesal mendengar ejekan-ejekan itu, ia juga malu
sebab disadarinya bahwa
Wiku Jaladri berada tak jauh dari tempat itu.
Desss! Sebuah tendangan tiba-tiba saja menghantam
punggung Joko Sungsang. Tubuh anak muda dari Desa Sanareja itu terguling guling
di tanah. Tendangan
itu memang tak membuat cedera pada tubuhnya. Tetapi, rasa sakit di lekuk hati
semakin membuat murid
Wiku Jaladri ini kalang-kabut.
"Itu tadi hanya sekadar peringatan, bocah bengal! Sudah kukatakan bahwa aku tak
akan membunuhmu, bukan" Tetapi, kalau memang kau tidak mau
menukarkan keris luk tujuh itu dengan nyawamu, terpaksalah Ajian Brajamusti akan
meleburkan tubuhmu!"
"Buyut Senggana! Keluarkan Ajian Brajamustimu! Mari, kita lihat siapa yang akan
lebur dalam adu
kesaktian ini!" teriak Joko Sungsang seraya menerapkan ilmu Pukulan Om bak Laut
Selatan. ''Katakanlah bahwa kau tidak mau menyerahkan keris luk tujuh itu, barulah aku
terpaksa tega membunuhmu!"
"Kau tidak akan mendapatkan pusaka itu dan
tidak akan mampu membunuhku, lutung!" Semakin
gusar Joko Sungsang dibuatnya.
''Bantai saja, Guru! Soal keris luk tujuh itu,
saya berjanji akan menemukannya!" teriak Danyang
Kumbayana dari pinggir ajang pertarungan.
"Diam kau, Kumbayana! Lihat saja apa yang bisa diperbuat murid dari Padepokan
Jurang Jero ini!"
bentak Ki Buyut Senggana.
"Aku sudah siap mengadu jurus andalan kita,
buyut lutung!" sahut Joko Sungsang.
''Baiklah! Kau memang terlalu bodoh, Pendekar
Perisai Naga!" kata Ki Buyut Senggana seraya menerjang dengan tangan kanannya
yang telah dilambari
Ajian Brajamusti.
Pada saat yang mendebarkan ini, tiba-tiba telinga Joko Sungsang mendengar
bisikan Wiku Jaladri,
''Gunakan Jurus Naga Melilit Gunung, Joko!"
Secepat kilat Joko Sungsang memutar Cambuk
Perisai Naga. Cambuk kulit ular itu meliuk-liuk memagari tubuh Joko Sungsang:
Bola berduri yang tergantung di ujung cambuk itu meraung-raung.
Srettt! Tubuh Ki Buyut Senggana yang meluncur dari
arah belakang Joko Sungsang, tanpa ampun lagi terlilit
Cambuk Perisai Naga. Namun, orang sesat ini benarbenar menguasai tata gerak
kera. Tak begitu sulit baginya membebaskan diri dari belitan Cambuk Perisai
Naga. *** "Kau bisa menangkal Ajian Brajamusti, tidak
berarti kau berani melawan, bukan?" ejek Ki Buyut
Senggana lagi. Joko Sungsang tak mempedulikan ejekan itu.
Kesempatan yang hanya beberapa detak jantung ini
dimanfaatkan dengan baik olehnya. Sekali lagi Cambuk Perisai Naga itu meledak,
dan bola berduri di
ujung cambuk itu menyambar pelipis Ki Buyut Senggana.
"Hiyaaa!" W Buyut Senggana membuang tubuhnya ke samping sehingga bola yang mirip
buah kecubung itu mendesing di samping telinganya.
Dukkk! Tumit Joko Sungsang bersarang dipunggung
lawan sebelum lawan menyadari posisinya. Hal ini
memang sudah dalam perhitungan Joko Sungsang.
"Bedebah! Kuhancurkan tubuhmu sekarang juga!" seru Ki Buyut Senggana setelah
melenting bangkit
Tendangan anak muda itu memang tak dirasakannya
sama sekali. Namun, kemarahan tiba-tiba memacu jalan darahnya menuju kepala.
''Omong kosong!" sahut Joko Sungsang. "Sejak
tadi kau ingin menghancurkan tubuhku, tetapi kapan
itu terjadi, kakek pikun?"
Hampir saja Danyang Kumbayana bergerak maju jika tidak diingatnya pesan gurunya.
Ejekan Joko Sungsang membuat guru dan murid serentak naik pitam. Danyang Kumbayana mengaku
bahwa ilmu silat
Pendekar Perisai Naga sudah sampai pada tataran tertinggi. Akan tetapi, ia juga
melihat bagaimana anak
muda berpakaian serba putih itu kebingungan menghadapi Jurus Siluman Kera Sakti,
dan takut menyongsong Ajian Brajamusti.
Lagi-lagi tubuh Ki Buyut Senggana mengitari
Joko Sungsang. Dan, pada puncaknya, tak akan nampak lagi sosok orang tua itu
bagi mata lawan. Joko
Sungsang hanya dapat melihat tembok berwarna hitam mengurung dirinya.
Sebelum pandangannya mulai berkunangkunang, Joko Sungsang secepatnya memutar
cambuknya yang dilambari dengan Jurus Naga Melilit Gunung. Maka yang nampak di
mata Danyang Kumbayana hanyalah sinar hijau-kebiru-biruan yang terkurung
sinar hitam pekat.
"Kau masih tetap mengandalkan cambuk gembalamu, bocah dungu?" kata Ki Buyut
Senggana mulai mengejek. Dan, sesungguhnyalah ejekan-ejekan ini termasuk dalam rangkaian Jurus Siluman
Kera Sakti. Tujuan ejekan-ejekan ini tidak Iain adalah untuk mengacaukan
pendengar lawan. Hanya sewaktu menghadapi
Eyang Kuranda Geni lah Jurus Siluman Kera Sakti tak
banyak bermanfaat.
Untuk menghindari belitan cambuk lawan, Ki
Buyut Senggana menggenjot tanah dan tubuhnya melejit ke udara. Hanya lewat atas
maka ia yakin bisa
menabrak lawan dengan Ajian Brajamusti!
Kalau saja tidak sedang menghadapi Jurus Siluman Kera Sakti, sudah pasti Joko
Sungsang akan melihat bagaimana lawan melenting ke udara. Namun
kali ini pandang mata Joko Sungsang seolah tertutup
kabut berwarna hitam. Tak nampak olehnya sama sekali bayangan lawan yang
berjumpalitan di atas kepalanya. Bahkan sewaktu Ki Buyut Senggana menukik
sambil mengayunkan telapak tangan kanannya yang
telah dilambari Ajian Brajamusti, Joko Sungsang tetap
belum menyadari maut mengancam jiwanya.
Singngng! Sepotong ranting meluncur bagai anak panah
ke arah Ki Buyut Senggana. Desingan ranting ini bukan saja mengagetkan Ki Buyut
Senggana, melainkan
juga memancing perhatian Joko Sungsang agar menengok ke atas.
Tarr! Tarrr! Tarrr!
''Jahanam keparat!" rutuk Ki Buyut Senggana
setelah mendaratkan kakinya di tanah. Hampir saja
bola berduri di ujung Cambuk Perisai Naga memecahkan kepalanya.
''Keluar dari persembunyianmu, tikus sawah!"
Joko Sungsang cepat tanggap. Ia tahu siapa
yang telah menggagalkan serangan Ki Buyut Senggana
dari udara tadi.
"Buyut Senggana! Kita orang-orang tua punya
cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah! Tak perlulah kau pamerkan ilmu
silumanmu di depan anakanak kemarin sore! Aku tunggu kau di Bukit Cangak
kapan saja kau bersedia, Buyut Senggana!"
''Sekarang juga ku tantang kau, keparat!" sahut
Ki Buyut Senggana seraya memburu ke arah datangnya suara.
Joko Sungsang melepas begitu saja kepergian
lawan. Ia tahu, semuanya memang sudah direncanakan oleh Wiku Jaladri. Bahkan ia
juga tak peduli ketika Danyang Kumbayana menyusui gurunya mengejar
Wiku Jaladri. *** 7 Tak ada yang bisa dikerjakan Joko Sungsang
kecuali kembali ke Desa Dadapsari. Ia tak merasa kecewa sekalipun ia gagal
membunuh guru dan murid
dari Rawa Genjer itu. Malahan ia harus bersyukur telah lolos dari ancaman Jurus
Siluman Kera Sakti yang
belum diketahui cara menangkalnya itu. Setidaknya,
kalau saja tidak hadir Wiku Jaladri di tempat pertarungan itu, Joko Sungsang
terpaksa harus mengadu
Ajian Brajamusti dengan Ilmu Pukulan Ombak Laut
Selatan. Tetapi, apalah artinya jika ia tidak berhasil
memenangkan adu kesaktian itu" Bukankah di situ telah bersiap-siap Danyang
Kumbayana untuk membela
gurunya" ''Memang benar kata Guru," kata hati Pendekar
Perisai Naga. ''Bahwa di kolong langit ini tidak ada ilmu yang tak tertandingi.
Semua yang ada di kolong
langit ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Yang tak
tertandingi hanyalah kekuasaan yang datang dariNya."
Joko Sungsang memperlambat langkahnya. Ia
mendengar suara telapak kaki seseorang berusaha
menyusul langkahnya. Masihkah Ki Buyut Senggana
penasaran ingin membunuhku" Murid Wiku Jaladri ini
menaksir-naksir seraya menoleh ke belakang.
''Guru...!" Joko Sungsang buru-buru hendak
berlutut. ''Berdirilah," sahut Wiku Jaladri mencegah Joko
Sungsang yang hendak berlutut di depan kakinya.
"Maafkan atas kebodohan saya, Guru."
''Kebodohan yang mana" Kau bukannya bodoh,
Joko. Kau hanya belum mengerti. Jurus Siluman Kera
Sakti tidak bisa kau hadapi dengan ketajaman matamu. Semakin kau memperhatikan
gerak lawan, semakin kepalamu berkunang kunang. Itulah yang memang
dikehendaki Jurus Siluman Kera Sakti. "
''Saya benar-benar lupa menggunakan Jurus
Naga Melilit Gunung, Guru. Saya hanya ingat jurusjurus yang pernah menewaskan
musuh-musuh...."
"Itu pun tidak benar," tukas orang tua yang lebih mirip mayat hidup itu. ''Bukan
jurus itu yang bisa
menangkal Jurus Siluman Kera Sakti. Jurus Naga Melilit Gunung hanya berguna
untuk memagarimu dari
serangan gelap Ajian Brajamusti. Seharusnya kau ingat mempergunakan panca
inderamu yang lain jika
kau gagal mempergunakan penglihatanmu, Joko."
''Maksud Guru, saya harus mempergunakan
pendengaran saya?" tebak Joko Sungsang.
''Tepat sekali dugaanmu. Hanya dengan pendengaranmu yang tajam kau bisa tahu ke
arah mana harus melecutkan cambukmu. "
''Terima kasih atas petunjuk Guru," sahut Joko
Sungsang merasa lega.
"Itu belum cukup, Joko. Kau tidak akan bisa
mempertajam pendengaranmu jika kau masih mempedulikan ejekan-ejekan yang
menyakitkan hatimu. " '
"Ah, saya memang belum seperti yang Guru harapkan," sesal Joko Sungsang.
''Umurmu jauh lebih muda dariku, Joko. Aku
memaklumi Jika hatimu akan mudah terbakar. Sudahlah, tak perlu kau sesali apa
yang pernah kau alami. Penyesalan hanya akan mengendorkan keinginanmu untuk
menggapai sesuatu. Berapa kali aku wantiwanti kepadamu, Joko?" Agak meninggi
suara Wiku Jaladri sehingga Joko Sungsang tertunduk.
Kemudian orang sakti dari Padepokan Jurang
Jero itu sekali lagi menegaskan bahwa masih banyak
tugas mulia yang harus dijalankan Joko Sungsang.
''Hanya kau yang bisa mewakiliku menunaikan
tugas itu, Joko. Kau tahu, aku tidak menurunkan il-
muku kepada orang lain kecuali kau seorang. Ini memang beban beratmu sebagai
murid tunggal Padepokan Jurang Jero," kata orang tua yang lebih mirip
mayat hidup itu.
''Saya bangga menjadi murid tunggal Kiai," ujar
Joko Sungsang sengaja mengganti sebutan 'Guru'
menjadi 'Kiai'. Beberapa tahun tidak berkumpul dengan Wiku Jaladri, ia lupa
bahwa orang tua itu lebih
senang dipanggil 'Kiai' daripada 'Guru'.
*** Di Desa Dadapsari yang jauh dari jamahan
orang-orang rimba persilatan, Gagar Mayang dengan
tekun menjalani latihan-latihan yang dicanangkan Wasi Eka-cakra. Kini gadis itu
merasakan perbedaan antara berguru kepada kakeknya dengan berguru kepada
orang yang bukan sanak-kandang-nya. Di hadapan
Eyang Kuranda Geni, masih bisa la menolak latihanlatihan yang dirasanya terlalu
berat. Akan tetapi, di
depan Wasi Ekacakra" Apalagi sekarang ia sudah dipandang memiliki dasar-dasar


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu silat, yang tentunya dipandang pula sebagai gadis yang sudah terbiasa
menjalani latihan-latihan berat. Tak ada lagi alasan bagi Gagar Mayang untuk
mengeluh. ''Berguru kepada kakek sendiri memang ada istimewanya, tetapi juga ada
keburukannya, Nini," kata
Wasi Ekacakra yang seolah bisa membaca jalan pikiran Gagar Mayang.
''Benar apa yang Kiai katakan," kata Gagar
Mayang. ''Syukurlah jika Nini menyadari akan hal itu.
Namun begitu, saya pun tidak akan menyamakan Nini
dengan lelaki. Kodrat Nini sebagai perempuan, ten-
tunya memiliki batas-batas tertentu. Keuletan dan kegesitan adalah dasar utama
bagi perempuan untuk
bertahan. Oleh sebab itu, menurut saya, tidaklah tepat
jika Nini terlalu mengandalkan Jurus Tambak Segara
dalam bertahan. Ada yang tidak Nini mengerti maksud
saya?" ''Saya mengerti, Kiai. Dan, saya memang merasa bersalah bahwa saya telah
memaksakan Eyang
Guru agar menurunkan Jurus Tambak Segara kepada
saya. Tetapi, saya juga tidak melihat jurus andalan
yang tepat bagi saya. Selama ini saya hanya melihat
dan mendengar kehebatan Jurus Tambak Segara di
Padepokan bukit Cangak," kata Gagar Mayang.
"Ada ajian yang lebih tepat bagi Nini Gagar
Mayang. " ''Saya berterima kasih sekali jika Kiai mau menurunkannya kepada saya," sahut
Gagar Mayang bersemangat
"Oh, maksud saya bukan ajian ciptaan saya,
Nini. Ajian yang saya maksudkan juga ciptaan kakek
guru Nini sendiri. Tidakkah Nini Gagar Mayang pernah
mendengar kehebatan Ajian Gajah Meta ciptaan E
yang Kuranda Geni?"
Gagar Mayang menggeleng dengan pandang
mata kaget Bertahun-tahun ia tinggal bersama Eyang
Kuranda Geni, belum sekalipun mendengar perihal
Ajian Gajah Meta ini.
''Gajah Meta, yang juga berarti gajah mengamuk, adalah ilmu pukulan yang sulit
dicari tandingannya. Nah, sebagai seorang perempuan yang memiliki kodrat ringkih
dan lemah lembut, sangat tepat jika
Nini memiliki Ajian Gajah Meta. Tetapi, kalau memang
Nini Gagar Mayang belum pernah menerima dari kakek
guru Nini, tak perlulah terlalu disesali. Mungkin saya
bisa menurunkan satu ajian yang bisa menebus kekecewaan Nini Gagar Mayang...."
'Terima kasih saya tak terhingga jika Kiai mau
menurunkan ajian itu kepada saya," tukas Gagar
Mayang seraya bersujud di depan kaki Wasi Ekacakra.
''Berdirilah, Nini. Dan, saya pesankan agar Nini
tidak berterima kasih kepada saya. Saya hanyalah sebagai perantara untuk
menyampaikannya kepada Nini.
Gusti Yang Maha Agung-lah yang menganugerahkan. "
Lalu, mulailah Gagar Mayang melatih satu ajian
pukulan yang diajarkan oleh Wasi Ekacakra. Ajian
yang menjadi benteng terakhir selama Wasi Ekacakra
malang-melintang di rimba persilatan ini sempat
menggegerkan rimba persilatan. Banyak sudah korban
berjatuhan dengan dada terbelah oleh ajian ciptaan
Wasi Ekacakra ini.
''Saya menamakan ajian ini semata-mata hanya
didasari rasa kagum saya kepada salah seorang ksatria
dalam dunia pewayangan, Nini. Entahlah kenapa saya
memilih sebutan Ajian Ismu Gunting. Padahal saya tidak tahu persis bagaimana
Ajian Ismu Gunting yang
ada dalam cerita pewayangan," tutur Wasi Ekacakra
menjelaskan. "Nama yang sangat cocok, Kiai," puji Gagar
Mayang tulus. ''Mudah-mudahan Nini Gagar Mayang berhasil
mempelajarinya," ucap Wasi Ekacakra.
Pada hari kelima Gagar Mayang menjalani latihan di pondok Wasi Ekacakra,
muncullah Joko Sungsang di tempat gadis itu berlatih. Terkagum-kagum
Pendekar Perisai Naga ini melihat kegigihan Gagar
Mayang dalam berlatih. Meski gadis itu baru saja sembuh dari luka dalam, tetap
saja memiliki kekuatan
jasmani yang luar biasa untuk ukuran seorang gadis.
Seperti burung alap-alap, gadis itu menyambar ke sana-sini. Seperti belalang
gadis itu melenting. Dan, mata Joko Sungsang terbelalak sewaktu telapak tangan
Gagar Mayang menyambar sebatang pohon. Kulit pohon itu robek seolah terletak
sebilah pedang.
"Hmmm, Ajian Ismu Gunting itu telah diturunkan kepadanya oleh Paman Wasi
Ekacakra," pikir Pendekar Perisai Naga.
"Pukulan yang luar biasa!" puji Joko Sungsang
sambil mendekati gadis itu.
''Joko...?" Gagar Mayang menoleh dan matanya
berbinar-binar.
"Aku ikut senang kau telah berhasil melatih
Ajian Ismu Gunting, Gagar Mayang. "
"Belum sepenuhnya berhasil. Pohon itu hanya
robek kulitnya," bantah gadis itu.
"Ya. Tetapi, kulit pohon itu lebih keras dan lebih tebal dibandingkan dengan
kulit manusia, Gagar
Mayang. Bayangkan jika kulit manusia yang tersambar
sisi telapak tanganmu."
'Tapi, kata Kiai, pohon itu harus terbelah menjadi dua...."
"Itu puncak kehebatan Ajian Ismu Gunting,
bukan" Dan, sekarang kau sedang mendaki dari bawah. Tidak akan kau tiba-tiba
berada di puncak tanpa
mendaki dari bawah," tukas Joko Sungsang.
''Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan
semakin bersemangat latihan jika kau menungguiku,
Pendekar Perisai Naga?" Gadis itu tersenyum malumalu.
Bergetar batin Joko Sungsang mendengarkan
kepolosan gadis dari Bukit Cangak ini.
"Aku berjanji akan menungguimu selama berlatih, Gagar Mayang," katanya dengan
pandang mata menghunjam ke bola mata gadis itu.
Gagar Mayang menyibakkan rambutnya yang
terjurai ke dahi. Ia menatap mata Pendekar Perisai Naga, tetapi buru-buru ia
berpaling. Sorot mata anak
muda itu seolah mampu merontokkan jantung hatinya.
''Sudah kau temukan biang keladi itu?" tanya
Gagar Mayang mengalihkan arah pembicaraan.
Joko Sungsang menelan ludah sewaktu melihat
gadis itu mengikat rambut yang semula menutupi lehernya. Kini leher yang jenjang
itu nampak jelas. Dan,
sewaktu mata Joko Sungsang bergeser turun, nampak
olehnya sepasang bukit dada yang terjal.
"Kau tidak mendengar aku bertanya, Pendekar
Perisai Naga?" usik Gagar Mayang.
"Oh, ya. Aku sudah mendapatkannya! Ada petunjuk bahwa orang-orang Rawa Genjerlah
yang harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Eyang Kuranda
Geni, kakekmu, " jawab Joko Sungsang setelah mampu menguasai debur jantungnya.
''Rawa Genjer?" Gagar Mayang memicingkan
mata. "Aku pernah mendengar nama tempat itu. Tetapi... ah, kenapa aku sekarang
tidak ingat lagi" Siapa
orang laknat yang tinggal di situ?"
"Ki Buyut Senggana dan seorang muridnya.
Kau pernah mendengar nama Ki Buyut Senggana yang
bergelar Siluman Kera dari Rawa Genjer?"
Gadis itu mengangguk kecil-kecil dengan rahang mengatup erat.
"Aku bahkan sudah sempat terlibat bentrokan
dengan siluman kera itu," sambung Joko Sungsang.
''Jadi, dia sudah tewas di ujung cambukmu?"
Nada kecewa terdengar dalam ucapan gadis itu.
''Tidak semudah itu, Gagar Mayang. Sebalik-
nya, hampir saja aku dipecundangi Jurus Siluman Kera Sakti...."
"Aku tidak percaya!" tukas gadis itu seraya
menggeleng-geleng.
''Apakah kau juga tidak percaya jika aku katakan pengakuan ku ini nanti di
hadapan Paman Wasi,
guru mu?" Gagar Mayang terdiam. Pandang mata gadis itu
terpaku pada awan yang tengah berarak. Kalau Pendekar Perisai Naga saja bisa
dipecundangi, bagaimana
dengan aku" Berkali-kali gadis itu menanyai dirinya
sendiri. "Lalu, bagaimana kau bisa meloloskan diri dari
Rawa Genjer?" tanyanya kemudian semakin penasaran.
"Kali ini bukan suara emprit gantil yang membuat...."
''Gurumu datang menyelamatkanmu?" tebak
Gagar Mayang cepat.
"Dari Guru pula aku tahu bahwa aku telah melakukan kesalahan sehingga aku hampir
saja celaka, Gagar Mayang."
"Kau bisa membentengi dirimu dengan Ilmu
Pukulan Ombak Laut Selatan, bukan?"
''Kalaupun itu aku lakukan, belum jaminan aku
bisa memenangkan pertarungan. Bukan tidak mungkin aku dan lawanku sama-sama
tewas. Padahal bukan itu yang aku inginkan, dan juga kau inginkan, bukan?"
"Aku berterima kasih kau telah membiarkan
musuh besarku tetap hidup, Joko."
"Guru yang mengingatkanku agar membiarkan
Ki Buyut Senggana tetap hidup. Kalau tidak, tentu
Guru sudah melayaninya bertarung hidup dan mati.
Waktu itu Guru hanya memancingnya agar meninggalkan aku. Begitulah kenapa aku
bisa selamat sampai
di sini lagi."
"Aku memang pernah mendengar cerita tentang
keanehan Kiai Wiku Jaladri, gurumu itu. Tak pernah
gurumu mau membunuh lawan yang tidak punya urusan pribadi dengannya."
Joko Sungsang tidak lagi menyahut. Pembicaraan mereka berdua terhenti sebab Wasi
Ekacakra tiba-tiba saja menegur,
''Selamat datang, Anakmas Joko Sungsang."
''Maafkan saya, Paman. Saya langsung melihat
Gagar Mayang berlatih di sini. Seharusnya saya lebih
dulu menemui Paman," kata Joko Sungsang sigap.
''Adakah keharusan yang seperti Anakmas katakan tadi?" Wasi Ekacakra tertawa
terkekeh-kekeh.
Namun, orang tua itu segera menghentikan tawanya
begitu matanya yang tajam melihat sebuah pohon
mengucurkan getahnya.
''Ajian Ismu Gunting yang merobek kulit pohon
itu, Paman," tutur Joko Sungsang setelah melihat arah
pandang mata Wasi Ekacakra.
''Saya sudah pastikan bahwa Nini Gagar
Mayang akan berhasil mempelajari Ajian Ismu Gunting. " Wasi Ekacakra menatap
bangga ke arah Gagar
Mayang. 'Tetapi, Gagar Mayang belum puas karena belum mampu membelah pohon itu, Paman,"
goda Joko Sungsang sambil melirik gadis itu.
Ingin sebenarnya Gagar Mayang menendang betis anak muda itu sekuat-kuatnya.
Namun, dalam hati
saja ia mengancam, "Awas jika kita hanya berdua!"
''Sedikit demi sedikit datangnya kekuatan itu,
Nini. Dengan hasil yang sekarang pun, saya merasa
bangga sekali. Bayangkan jika kulit manusia yang terkena telapak tangan Nini
Gagar Mayang."
'Tadi sudah saya katakan, Paman. Tapi, mungkin Gagar Mayang tidak mau percaya
jika bukan Paman yang mengatakannya."
''Saya tidak mengira jika Tuan Pendekar Perisai
Naga ternyata tukang menggoda perempuan!" sembur
Gagar Mayang kesal.
Mereka bertiga tertawa.
*** 8 Hutan Pinus itu serasa bergetar oleh tawa nyaring seorang perempuan tua yang
tengah mencengkeram leher Bajang Kerek. Untuk kesekian kalinya perempuan tua
berpakaian serba ungu bertanya, "Ayo,
katakan siapa yang telah membunuh murid kesayanganku itu, celeng busuk" Kau
pikir aku tidak bisa
memaksamu agar mengaku?"
''Kaubunuh pun aku tidak akan bisa menjawab,
Nyai...." "Apa" Kau panggil aku 'Nyai'" Kurang ajar!" Perempuan tua yang bersenjatakan
tongkat berkepala
tengkorak monyet itu mendorong tubuh Bajang Kerek.
Satu dorongan yang begitu kuat membuat tubuh lelaki
malang itu terbentur batu cadas dan menggeliat-geliat.
Diam-diam Bajang Kerek bersyukur pernah
mempelajari ilmu kekebalan dari Klabang Seketi. Kalau
tidak, tentulah batu cadas itu akan menghancurkan
kulit di sekujur badannya.
"Ayo, katakan sekali lagi kau tidak tahu! Ku-
hancurkan batok kepalamu dengan batok kepala monyet ini!" Perempuan tua itu
menaruh kepala tongkatnya di dahi Bajang Kerek.
''Saya memang melihat seorang gadis berkeliaran di hutan ini beberapa hari yang
lalu. Tetapi, saya
tidak tahu siapa gadis itu. Bahkan seorang teman saya
juga tak berdaya menghadapi gadis berpakaian serba
jingga itu...."
''Bagus! Bagus! Kau mulai mau jujur, celeng!
Kau sempat melihat pakaian gadis itu, bukan" Tentu
kau juga sempat melihat senjata gadis itu!" tukas perempuan tua yang kehilangan
murid tunggalnya itu.
"Saya... saya tidak melihat gadis itu membawabawa senjata...."
''Bohong!" sergah perempuan tua itu sambil
menekankan ujung tongkatnya ke leher Bajang Kerek.
"Kau boleh berbohong di depan manusia mana pun!
Tetapi, jangan coba-coba membohongi Bidadari Kawah
Singidan! Mengerti?"
''Demi setan yang menghuni hutan ini, saya benar-benar tidak melihat senjata
macam apa yang dipergunakan gadis itu, Sang Bidadari. Tapi, saya tahu
gadis itu begitu akrab dengan Pendekar Perisai Naga. "
Tiba-tiba Bajang Kerek ingat Pendekar Perisai Naga
yang waktu itu berkenan mengampuninya.
''Pendekar Perisai Naga?" Perempuan tua yang
mengaku dirinya Bidadari Kawah Singidan itu memonyongkan mulutnya yang keriput.
"Nah, tahulah aku


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang. Pastilah pendekar dari Jurang Jero itu yang
membunuh muridku. Hi-hi-hi! Kalau begitu, kaulah
yang harus menggantikan muridku melayaniku seharihari, Bocah Bagus!"
''Sang Bidadari bisa memaksa Pendekar Perisai
Naga agar menunjukkan siapa gadis yang berpakaian
serba jingga itu," usul Bajang Kerek dengan harapan
mendapatkan pengampunan dari nenek keriput yang
merasa dirinya secantik bidadari itu.
"Hei, berani kau mengajari aku" Tutup mulutmu!" Bidadari Kawah Singidan
menghentakkan kaki
kanannya ke tanah. Bajang Kerek merasakan getaran
tanah yang didudukinya.
Tenaga dalam nenek keriput itu memang mumpuni sekali, pikir Bajang Kerek. Maka
ia bersyukur bahwa nenek yang tak mampu dilawannya itu tadi
hanya menotok jalan darahnya, tidak membunuhnya.
"Hei, jangan melamun, tokek hutan! Sekarang,
kubebaskan totokan jalan darahmu. Kubur baik-baik
mayat busuk muridku ini. Setelah itu, baru kau bebas
mencuri kayu lagi. Mengerti?"
''Mengerti, Sang Bidadari," ucap Bajang Kerek
dengan hati sejuk bukan kepalang. Tidak disangkanya
Bidadari Kawah Singidan akan membiarkannya tetap
hidup. "Kau tahu di mana Pendekar Perisai Naga berada sekarang ini?" tanya perempuan
tua itu setelah
membebaskan totokan jalan darah di bahu Bajang Kerek.
''Kalau tidak salah dengar, Pendekar Perisai
Naga membawa gadis itu ke Desa Dadapsari, Sang Bidadari."
"Aku tak perlu menungguimu menggali kubur
untuk muridku. Tetapi, jika sepulangku dari Desa Dadapsari nanti kulihat tulang-
belulang muridku masih
tergeletak di sini, kuhancurkan kepalamu dengan
tongkatku ini. Ingat itu!"
Wuttt! Tubuh Bidadari Kawah Singidan berkelebat,
dan dalam sekejap mata tak nampak lagi oleh mata
Bajang Kerek. Hanya bau wewangian kembang kenanga yang masih tertinggal dan
tersedot hidung murid
Klabang Seketi itu.
''Mudah-mudahan kau modar dicekik Cambuk
Perisai Naga, nenek peyot!" ujar Bajang Kerek. Dalam
hati saja sebab ia takut jangan-jangan perempuan tua
itu bertelinga seribu.
*** Tak sampai separuh malam Bidadari Kawah
Singidan sudah tiba di mulut Desa Dadapsari. Desa
yang selama bertahun-tahun aman dan tenteram itu
tiba-tiba digemparkan oleh teriakan melengking perempuan tua berilmu sesat ini.
Penduduk desa yang
berumah tak jauh dari mulut desa itu berlarian ke luar
rumah dan mencari arah datangnya lengkingan. Namun, yang mereka temui membuat
mereka bergegas
kembali masuk rumah dan mengunci pintu rapatrapat.
"Para peronda itu tewas dengan kepala remuk!"
kata seorang lelaki kepada istrinya sambil menyorong
meja ke pintu. "Perampok, Kang?" tanya istrinya.
''Sudah, jangan banyak omong! Masuklah ke
kamar, temani anakmu!" sergah lelaki itu.
Kemudian lelaki itu menempelkan telinganya
pada lubang di pintu. Terdengar samar-samar suara
perempuan iblis itu tertawa-tawa dan berkata, "Ayo,
siapa yang paling sakti di desa ini, keluarlah! Aku tahu, di desa ini ada
pendekar yang berilmu setan! Ayo,
keluarlah kau, Pendekar Perisai Naga!"
''Suara perempuan, Kang" Dia cari Pendekar
Perisai Naga, Kang! Siapa itu Pendekar Perisai Naga?"
"Hei, belum masuk ke kamar juga kau?" bentak suaminya semakin kesal.
"Ayo, keluarlah, Pendekar Perisai Naga! Atau,
kau memilih aku musnahkan desa ini?" teriak Bidadari
Kawah Singidan membuat lelaki yang sedang memarahi istrinya itu hampir pingsan.
Suara itu begitu dekat
dengan pintu rumahnya.
Namun, kemudian lelaki itu mengelus dada sebab didengarnya suara seseorang
menjawab, ''Akulah
orang yang kau cari, nenek biadab! Jangan kau usik
orang-orang yang tidak berdosa!"
"Hi-hi-hik! Bagus, bagus! Ternyata nama besarmu cocok dengan tanggung jawabmu,
Pendekar Perisai Naga! Hi-hi-hik! Ayo, majulah bersama-sama dengan gadismu yang
lancang itu!"
"Aku tidak mengerti kenapa kau mencariku,
Nenek...."
''Kurang ajar!" tukas Bidadari Kawah Singidan
sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala Joko Sungsang. ''Berani kau memanggilku
'Nenek', hei?"
Tongkat berkepala tengkorak monyet itu memburu Joko Sungsang yang berjumpalitan
ke belakang. ''Bagaimana aku bisa memanggil namamu jika
kau tidak pernah memperkenalkan diri?" jawab Joko
Sungsang sambil terus berjumpalitan ke belakang.
Sengaja ia menghindar menjauh agar perempuan jahanam itu mengejarnya, dan mereka
akhirnya menjauhi rumah-rumah penduduk desa.
''Bedebah busuk! Keluarkan cambukmu yang
kesohor itu! Jangan hanya menghindar, bocah sableng!" Bidadari Kawah Singidan
menghentikan serangannya, la merasa bahwa lawan hanya ingin mempermainkannya.
Boleh jadi, meremehkannya.
"Aku belum mengenalmu, Bibi! Tentu saja aku
belum pernah menanam permusuhan denganmu!"
"Apa" Kau panggil aku 'Bibi'" Sejak kapan aku
jadi gundik pamanmu, bocah edan?"
''Katakan namamu agar aku bisa memanggilmu...!"
''Dasar pendekar gadungan! Jangan berlagak
kau tidak mengenal Bidadari Kawah Singidan kalau
kau memang bukan pendekar gadungan!" sahut Bidadari Kawah Singidan menukas.
"Oh, kaukah yang bernama Bidadari Kawah
Singidan yang kesohor itu?" kata Joko Sungsang untuk melegakan perempuan tua
renta itu. "Nah, mana gadismu yang berani berurusan
dengan muridku itu" Ayo, kalian majulah bersamasama! Jangan pikir aku hanya
berani bertarung dengan Pendekar Perisai Naga satu lawan satu!"
Kini Joko Sungsang tahu kenapa perempuan
tua ini mencarinya. Tentulah perempuan ini guru perempuan berkipas akar cendana
yang tewas di Hutan
Pinus itu, pikir Joko Sungsang. Dan, gadis yang dicarinya" Sudah pasti Gagar
Mayang. "Kau budeg, he?" sentak Bidadari Kawah Singidan.
"Kau salah alamat jika mencari gadis itu ke desa sini, Bidadari Kawah Singidan!
Gadis itu memang
pernah mampir ke desa ini, tetapi sekarang sudah
kembali ke padepokannya!"
''Kau pikir aku tidak bisa memaksamu menunjukkan di mana gadis itu bersembunyi?" Bidadari Kawah Singidan memutar tongkatnya. Tengkorak monyet
di ujung tongkat itu menjerit-jerit.
Wungngng! Wungngng!
Dua buah sabetan tongkat menerjang kepala
dan dada Joko Sungsang. Murid Wiku Jaladri itu
membuang tubuhnya ke belakang, tetapi sebuah tusukan ujung tongkat yang lain
memburunya. Trakkk! Bunga api bepercikan ketika ujung tongkat itu
tertepis gagang Cambuk Perisai Naga. Baru disadari
oleh Joko Sungsang bahwa di ujung tongkat yang berlawanan dengan tengkorak
monyet itu terdapat sebuah
pisau bergerigi.
Beberapa kali serangannya mengenai angin, Bidadari Kawah Singidan semakin geram.
Kini bukan tongkatnya saja yang mengurung Joko Sungsang, melainkan juga jari-jari tangan
kirinya yang dilengkapi
dengan kuku-kuku beracun.
Sedikit kewalahan Joko Sungsang menghadapi
serangan lawan yang dahsyat dan bertubi-tubi, la tahu, Bidadari Kawah Singidan
ingin secepatnya mengakhiri pertarungan. Namun, ia juga harus terus menuntun
perempuan sesat ini lebih jauh lagi dari mulut
desa. Ada tempat bertarung yang lebih cocok dan jauh
dari penglihatan penduduk desa. Ke sanalah Joko
Sungsang menuntun lawannya pergi menjauhi Desa
Dadapsari. "Hi-hi-hik! Ada juga pendekar yang hanya berani bertarung di tanah lapang!" ejek
Bidadari Kawah Singidan. "Di sinilah tempat kita, orang-orang rimba persilatan, Nek...."
''Bedebah! Masih juga kau memanggilku 'Nenek'!" Bidadari Kawah Singidan
menggerakkan tangan
kirinya. Tringng! Tringngng!
Secepat kilat Joko Sungsang melecutkan cambuk-nya untuk menangkis paku-paku
beracun yang ditebarkan lawan. Lambat-laun ia merasa tak mungkin
lagi menghadapi perempuan sesat ini hanya dengan
tangan kosong. Tiga senjata sekaligus telah dipergunakan lawan, yakni tongkat,
kuku beracun, dan baru saja paku beracun.
"Nah, terus terang aku lebih senang melawan
cambukmu daripada harus melihatmu terus-menerus
menghindar, Pendekar Perisai Naga!" ujar Bidadari
Kawah Singidan seraya kembali menyerang Joko
Sungsang dengan tongkat dan kuku-kuku jari tangan
kirinya. Semakin sengit pertarungan antara mereka
berdua. Jurus-jurus Cambuk Perisai Naga bertemu
dengan jurus-jurus tongkat yang begitu matang dan
membahayakan. Sesekali Joko Sungsang merasa terdesak sebab lawan telah sampai
pada puncak tataran
ilmu hitamnya. Paku-paku beracun itu semakin sering
berhamburan, dan kuku-kuku beracun itu pun selalu
siap merangkapi serangan tongkat bermata pisau bergerigi itu.
Tringngng! Tringngng! Trakkk!
Dua batang paku beracun berhasil ditepis oleh
bola berduri di ujung Cambuk Perisai Naga. Akan tetapi, sabetan tongkat
berkepala tengkorak monyet itu
hampir saja meremukkan pelipis Joko Sungsang. Syukurlah anak muda dari Padepokan
Jurang Jero itu
masih bisa menahan sabetan tongkat itu dengan gagang cambuk-nya.
Benturan gagang cambuk dan tongkat ini
membuat Bidadari Kawah Singidan melompat mundur.
Tak disangkanya jika benturan itu menyebabkan pergelangan tangannya nyeri.
''Pantas kau bergelar Pendekar Perisai Naga,
Anak Muda! Pertahananmu memang mirip pertahanan
seekor naga!" ujar perempuan dari Kawah Singidan itu.
Joko Sungsang tak menanggapi ocehan perempuan sesat itu. la pun sebenarnya kaget
merasakan akibat dari benturan senjata lawan. Tenaga dalam perempuan sesat itu begitu
sempurna. Rasanya tak
mungkin lagi membiarkan perempuan itu memamerkan seluruh ilmu setannya.
"Aku harus menyudahi pertarungan ini sebelum Paman Wasi Ekacakra terpaksa
menyusul ke sini,"
kata hati Joko Sungsang.
Maka anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu tidak membuang-buang
kesempatan yang
hanya sepersekian kerjap mata itu. Sewaktu lawan melompat mundur, Joko Sungsang
langsung memburunya dengan tendangan yang telah dilambari dengan
Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan. Begitu cepat tendangan itu menghunjam ke arah
pinggang lawan. Akan
tetapi, Bidadari Kawah Singidan bukanlah gadis ingusan yang baru saja turun
gunung. la adalah salah seorang tokoh hitam yang telah kenyang makan asam
garamnya rimba persilatan. Melihat bayangan serba putih itu melenting, secepat
kilat ia pun menggenjot tanah dan berjumpalitan di atas kepala Joko Sungsang.
Srettt! Crasss!
Di luar dugaan Bidadari Kawah Singidan, ternyata Cambuk Perisai Naga sigap
mengubernya ke udara. Seperti ular kelaparan, cambuk itu melilit leher
dan langsung mematuk. Tubuh perempuan sesat itu
terbanting dan menggelosor di tanah dengan leher
hampir putus. ''Cepat tinggalkan tempat ini dan susul Nini
Gagar Mayang ke Rawa Genjer, Anakmas Joko Sungsang!" kata Wasi Ekacakra
mengejutkan Joko Sungsang.
''Bagaimana itu bisa terjadi, Paman?" tanya Jo-
ko Sungsang hampir tak percaya pada pendengarannya.
"Tak ada waktu lagi untuk bercerita, Anakmas.
Maaf, saya tidak bisa menyusul Nini Gagar Mayang sebab saya harus menenangkan
perasaan seluruh penghuni desa ini. Yang pasti, seseorang telah menyebarkan
berita bahwa Ki Sumping Sedapur berada di desa
ini. Setidaknya ada yang melihat Nini Gagar Mayang
memasuki desa ini."
''Maafkan kami, Paman. Benar-benar kami tidak menghendaki desa ini diinjak-injak
orang-orang sesat." ''Belum terlambat, Anakmas. Saya masih bisa
menenangkan hati mereka."
''Kalau begitu, saya berangkat sekarang juga,
Paman." ''Kebenaran akan selalu menjaga langkah
Anakmas dan Nini Gagar Mayang," kata Wasi Ekacakra
sambil menepuk-nepuk pundak Joko Sungsang.
Dengan mencurahkan seluruh kemampuan meringankan tubuh yang dimilikinya, Joko
Sungsang berlari menyusul Gagar Mayang ke Rawa Genjer. Sama
sekali tak dipahaminya kenapa gadis itu tiba-tiba nekad melesat ke Rawa Genjer.
Tidakkah ia sadar bahwa
ilmu silatnya belum memadai untuk berhadapan dengan Ki Buyut Senggana" Memang,
baru saja ia mendapatkan tambahan Ajian Ismu Gunting dari Wasi Ekacakra. Tetapi,
itu tidak berarti ia bisa melepaskan diri
dari kelicikan Siluman Kera dari Rawa Genjer alias Ki
Buyut Senggana ataupun muridnya.
Sementara Joko Sungsang merambahi hutanhutan serta desa-desa, Gagar Mayang
memang tengah bertarung mati-matian melawan Danyang Kumbayana.
Diam-diam gadis itu bersyukur bahwa guru
dan murid itu tidak maju bersamaan mengeroyoknya.
Ah, tetapi apalah bedanya jika sang guru dengan mulut kotornya selalu
melontarkan kata-kata yang menyakitkan telinga. Entah sudah yang keberapa


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalinya orang tua jahanam itu berkata, ''Ingat, Kumbayana!
Jangan lukai gadis cantik itu! Ingatlah bahwa di Rawa
Genjer sini tak ada seorang pun makhluk yang bernama perempuan! Apalagi
perempuan secantik dan semulus gadis itu!"
''Percayalah, Guru! Saya akan berhasil meringkusnya dan sekaligus menjadikannya
teman tidur!"
sahut Danyang Kumbayana.
''Kalian memang binatang-binatang kotor!" sergah Gagar Mayang sambil kembali
memutar seruling
bambu wulungnya.
Berkali-kali seruling itu menyambar tubuh Danyang Kumbayana. Namun, sebanyak itu
pula seruling itu membabat angin. Seperti siluman kera, Danyang
Kumbayana selalu berhasil menghindari serangan
yang bertubi-tubi menerjangnya.
"Kau akan mendapatkan istri yang cantik dan
mulus, dan aku akan mendapatkan keris luk tujuh itu,
Kumbayana!" seru Ki Buyut Senggana lagi.
''Kalian majulah bersamaan! Untuk apa kalian
ngoceh yang bukan-bukan kalau nyatanya kalian tidak
bisa meringkusku?" sahut Gagar Mayang.
''Meringkusmu" Itu pekerjaan sepele, Cah Ayu!
Kami memang sengaja ingin melihatmu kehabisan tenaga sehingga kau tidak akan
berontak lagi sewaktu
muridku menikmati tubuhmu!" jawab Ki Buyut Senggana.
'Tutup mulutmu yang kotor dan majulah, siluman lutung!" sergah Gagar Mayang
semakin terbakar
hatinya. ''Mulutmu yang indah itu tidak pantas buat
memaki, Bidadariku!" kata Danyang Kumbayana setelah berhasil menghindari totokan
seruling ke arah bahu-nya.
Gagar Mayang benar-benar merasa dipermainkan oleh guru dan murid itu. Tetapi,
apa yang bisa diperbuatnya kecuali menyerang dan menyerang" Jurus
Tambak Segara tidak mungkin diterapkannya sebab
lawan tak pernah mau menyerang. Ajian Ismu Gunting
hanya akan merobek angin sebab lawan terlalu gesit
menghindar. Rangkaian jurus-jurus seruling bambu
wulung itu hampir tidak berarti sebab lawan selalu
waspada untuk menghindar. Dan, Gagar Mayang merasakan setiap serangannya tidak
mapan sebab perasaannya terganggu oleh ocehan-ocehan kotor guru dan
murid itu. Tak ada jalan lagi bagi gadis itu kecuali membalas membakar hati lawannya. Maka
kata gadis itu kemudian, ''Danyang Kumbayana yang perkasa! Kau tentu
akan berhasil meniduriku jika kau mampu sekali saja
menyentuh kulitku!"
"Apa?" Danyang Kumbayana melompat mundur
mendekati gurunya. ''Guru dengar apa yang dikatakan
calon istri saya tadi?"
"Ya. Dia memang terlalu pongah! Dia kira, kau
tidak akan bisa membalas serangan-serangannya!"
'Tapi, bagaimana kalau dia cedera, Guru?"
"He-he-he! Kenapa tiba-tiba kau jadi dungu,
Kumbayana" Bukankah aku tahu bagaimana cara
memulihkan tubuh mulus itu dari cederanya?"
"Terima kasih, Guru. Saya akan bikin gadis itu
merengek-rengek mohon ampunan!" kata Danyang
Kumbayana seraya mempersiapkan sebuah serangan.
Berbunga-bunga hati Gagar Mayang melihat
pancingannya berhasil. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya. Maka Gagar
Mayang pun secepatnya menerapkan Ajian Ismu Gunting yang baru saja
didapatkannya dari Wasi Ekacakra. Kini ia bisa mempraktekkan ajian itu tanpa
harus mengorbankan sebatang pohon pun.
''Pegang janjimu, Cah Ayu!" seru Danyang
Kumbayana sebelum berkelebat menerjang dengan
pukulan beruntun. Sengaja ia tidak melambari pukulan itu dengan Ajian Brajamusti
agar gadis yang digandrunginya itu tetap bisa tertolong.
Wuttt! Wuttt! Crasss!
Dua buah pukulan berhasil dihindari dan lewat
di atas tengkuk Gagar Mayang. Dan, sewaktu Danyang
Kumbayana belum menyadari ke mana arah gadis itu
menghindar, tiba-tiba sebuah ayunan telapak tangan
membelah dadanya.
''Aughhh!" Danyang Kumbayana melenguh
sambil terhuyung-huyung melangkah ke belakang.
Lalu, satu tendangan memutar mengenai betis
murid Ki Buyut Senggana itu. Tubuh Danyang Kumbayana terjengkang dan menggelosor
di tanah dengan
dada terbelah. ''Ajian Ismu Gunting...?" ujar Ki Buyut Senggana setelah meneliti luka di dada
muridnya. ''Kau kira hanya Ajian Brajamusti yang bisa
mengirim nyawa muridmu ke neraka, Buyut Senggana?" ejek Gagar Mayang.
''Sundel bolong busuk! Ku potong-potong tubuhmu yang mulus itu sebagai tebusan
atas kelancanganmu, gadis setan!" sergah Ki Buyut Senggana seraya
menerjang Gagar Mayang dengan totokan ke arah sepasang lengan gadis itu.
Namun, orang sesat berilmu siluman itu semakin menyadari bahwa gadis yang
dihadapinya tak sejinak yang dibayangkannya. Dengan lincahnya, gadis itu
berkelit sambil memutar seruling bambu wulungnya
untuk memagari sekujur tubuhnya dari serangan balik
lawan. Singngng! Hampir saja kaki Ki Buyut Senggana terpatuk
seruling di tangan Gagar Mayang kalau saja ia tak siap
menarik kembali kakinya yang hendak menyerimpung
kaki gadis itu.
''Iblis laknat! Sejak semula aku sudah mengira
bahwa kau sewaktu-waktu bisa berubah menjadi demit! Tetapi, ingatlah bahwa Rawa
Genjer tempat bersarangnya para siluman!" Berkata begini, Ki Buyut Senggana
mulai mengeluarkan Jurus Siluman Kera Saktinya.
''Menyingkirlah, Gagar Mayang!" Tiba-tiba sebuah bayangan putih memaksa gadis
itu keluar dari
arena pertarungan.
''Pendekar Perisai Naga, biarkanlah aku menghadapi siluman keparat itu!" seru
Gagar Mayang setelah menyadari kehadiran Joko Sungsang.
"Kau telah menebus kematian gurumu, Gagar
Mayang. Ingatlah bahwa gurumu tewas oleh tusukan
tombak dari arah belakang."
''Apakah tidak sebaiknya kalian maju bersamasama mengeroyokku?" sahut Ki Buyut
Seriggana seraya berlarian kencang mengitari Joko Sungsang.
''Berkata-katalah sepuasmu, Buyut Senggana!
Sampai mulutmu berbusa sekalipun aku tidak akan
terkecoh!" jawab Joko Sungsang. Setelah itu, sambil
mengingat-ingat pesan gurunya, Joko Sungsang mulai
memasang telinganya, mendengarkan setiap jengkal
langkah kaki lawan.
Gagar Mayang yang semula masih ingin membantah ucapan Pendekar Perisai Naga kini
terbungkam diam. Kini disadarinya bahwa Ki Buyut Senggana memang bukan tandingannya. Di
mata gadis itu, tak
nampak lagi sosok orang tua renta yang tadi mengejeknya dengan kata-kata
menjijikkan. Yang nampak
hanyalah benda hitam yang membentuk lingkaran dan
mengurung sosok putih Joko Sungsang.
''Benar-benar ilmu siluman," kata gadis itu
dengan hati berdebar-debar.
Dalam pada itu, melihat lawan sudah sampai
pada puncak Jurus Siluman Kera Sakti-nya, Joko
Sungsang secepat kilat mengurai Cambuk Perisai Naga
dari pinggangnya, dan melecutkan ke arah suara terakhir yang didengarnya.
Srettt! Wusss! Kaget bukan kepalang Ki Buyut Senggana merasakan belitan cambuk di panggangnya.
Akan tetapi, kekagetan itu justru mendatangkan tenaga berontak
yang luar biasa buatnya. Dengan sekali putaran yang
berlawanan arah dengan lilitan cambuk, Ki Buyut
Senggana terbebas dari lilitan Cambuk Perisai Naga.
"Aku ingin tahu apakah lecutan cambukmu
hanya kebetulan berhasil menyentuhku, Pendekar Perisai Naga!" ujar Ki Buyut
Senggana sebelum kembali
berputar mengitari tubuh lawannya.
"Kau berhasil menangkal Jurus Naga Melilit
Gunung, Ki Buyut Monyet!" puji Joko Sungsang tulus.
''Jangan sembrono hanya karena kau punya
sedikit keahlian memainkan cambuk, Pendekar Ingusan! Tahukah kau bahwa
sebenarnyalah aku hanya
ingin berhadapan dengan gurumu yang pikun itu?"
Tertawa dalam hati Joko Sungsang mendengar
ejekan lawan. Kini sepenuhnya disadari bahwa ejekanejekan itu merupakan
rangkaian Jurus Siluman Kera
Sakti. Mempedulikan ejekan-ejekan itu berarti menulikan telinga sendiri.
Menulikan telinga berarti merelakan nyawa untuk dijadikan korban kedahsyatan
Ajian Brajamusti. Kini Joko Sungsang tak lagi menyiapkan Jurus
Naga Melilit Gunung, melainkan menggantikannya
dengan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Dan, merasa pasti lawan telah melambari
tangan kanannya
dengan Ajian Brajamusti, maka Joko Sungsang pun
menyiapkan ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan dan
dipusatkannya pada kedua tumitnya.
Tarrr! Srettt! Desss!
Ki Buyut Senggana menguningkan pukulan
yang siap diayunkan ke punggung lawan sebab tibatiba matanya yang tajam
menangkap kilatan birukehijau-hijauan mematuk kepalanya. Sulit diikuti mata
Gagar Mayang ketika tiba-tiba saja tangan kanan Ki
Buyut Senggana berhasil menangkap bola berduri yang
hendak mematuk kepalanya.
Reaksi Ki Buyut Senggana ini memang sudah
ada dalam benak Joko Sungsang. Ia pastikan bahwa
dengan lambaran Ajian Brajamusti maka orang sesat
Itu akan berani menangkap bola berduri di ujung
cambuknya. Sewaktu dirasakannya ada tarikan pada
cambuknya, Joko Sungsang sigap menggenjot tanah
dan berjumpalitan di udara. Sewaktu meluncur turun,
tumit Pendekar Perisai Naga ini dengan telak bersarang
di punggung Ki Buyut Senggana.
Tubuh orang sesat penghuni Rawa Genjer Itu
terpelanting dan jatuh menimpa mayat Danyang Kumbayana. Ia berusaha melenting
bangkit, tetapi tulang
punggungnya tak lagi menopang gerak tubuh Itu. Sa-
ma sekali tak dimengerti oleh Ki Buyut Senggana bahwa tulang punggungnya luluh-
lantak oleh Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan yang tersalur pada sepasang
tumit Pendekar Perisai Naga.
''Kutunggu jika kau memang masih bisa memamerkan ilmu siluman kera-mu, Buyut
Senggana!"
Kini giliran Joko Sungsang melontarkan ejekan.
Ki Buyut Senggana hanya bisa melenguh dan
kemudian terkapar dengan kepala terkulai.
*** ''Terima kasih atas pertolonganmu, Joko Sungsang," ucap Gagar Mayang sambil
melangkah menjajari langkah Joko Sungsang.
''Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu, Gagar Mayang," jawab anak
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu.
''Terima kasih untuk apa?" Gagar Mayang bertanya bingung.
"Kau beri aku kesempatan untuk menebus kekalahanku."
"Ah, maksudmu, kau pernah dikalahkan Ki
Buyut Senggana?"
"Ada rahasia yang belum aku ketahui waktu
itu. Kau sendiri pasti tidak mengira bahwa ejekanejekan yang dilontarkan Ki
Buyut Senggana tadi merupakan rangkaian dari Jurus Siluman Kera Sakti."
"Ah!"
''Waktu itu aku belum selesai bercerita sewaktu
tiba-tiba Paman Wasi Ekacakra mendatangi kita di
tempat latihan, bukan?"
"Ya. Jadi, rahasia apa yang kau maksudkan tadi?"
''Menghadapi Jurus Siluman Kera Sakti bukan
harus dengan mata, melainkan dengan telinga. Tanpa
pendengaran yang baik, kita tidak akan tahu dimana
sebenarnya sosok lawan yang asli berada. "
''Syukurlah kau datang memperingatkan ku"
kata gadis itu sambil membayangkan apa yang terjadi
seandainya ia nekad melawan Ki Buyut Senggana.
''Sekarang giliranmu bercerita, kenapa kau bisa
secepat ini berada di Rawa Genjer," sahut Joko Sungsang mengusut.
"Sepulangku dari tempat latihan, aku bertemu
dengan seseorang yang menyampaikan pesan Ki Buyut
Senggana. Di situlah kegagalanku menghadapinya.
Aku terlalu cepat naik darah sewaktu membaca tulisan
yang terkirim untukku. Karena itu pula aku tidak pedulikan lagi kau bahkan Kiai
Wasi, guruku. Aku begitu
yakin akan bisa mengalahkan Ki Buyut Senggana dengan ajian tambahan yang
dahsyat, Ismu Gunting. "
''Sekarang aku baru ingat, siapa yang menyebar
kabar bahwa kita berdua berada di Desa Dadapsari.
Hmmm, menyesal aku membiarkan Bajang Kerek tetap
hidup!" geram Joko Sungsang.
''Untuk apa menyesal" Semuanya sudah berhasil kita atasi," kata Gagar Mayang
tanpa sedikit pun
kecurigaan. ''Tidak seharusnya kita mengusik ketenangan
Paman Wasi Ekacakra yang telah bertahun-tahun bersembunyi di Desa Dadapsari,
Gagar Mayang. Bukankah dengan adanya kejadian ini, Desa Dadapsari akan
menjadi pusat perhatian. orang-orang rimba persilatan".
"Oh, betapa dungunya aku...." Gadis itu menepak dahinya sendiri.
"Mudah-mudahan saja Paman Wasi betul betul
bisa menghilangkan jejak Bidadari Kawah Singidan di
desa itu."
"Siapa itu Bidadari Kawah Singidan?"
"Guru perempuan liar berkipas akar cendana
yang tewas terpatuk seruling maut-mu di Hutan Pinus.
Dia mencarimu ke Desa Dadapsari bersamaan kepergian mu ke Rawa Genjer."
"Ah, kalau begitu, akulah yang berdosa terhadap Kiai Wasi dan penduduk Desa
Dadapsari," sesal
gadis itu. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Avicke


Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Misteri Dendam Berdarah 1 Gento Guyon 11 Bidadari Biru Kisah Membunuh Naga 29
^