Pencarian

Bidadari Penyambar Nyawa 2

Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Bagian 2


begitu Cakra Maut
kembali menempel di pergelangan tangan kanan
Bayu. Laki-laki bertubuh besar yang tadi menjadi lawan Brata Sena itu langsung
menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan gencar, setelah memberi
perintah pada dua orang anak buahnya untuk
menghadapi Brata Sena.
Sedangkan laki-laki bungkuk yang menjadi lawan Sendang Dulur juga bermaksud
menghabisi Pendekar Pulau Neraka secepatnya. Namun sebelum niatnya sampai, mendadak sebuah
bayangan telah menghadangnya.
"Semua Kawanan Alap-alap Panah Beracun
akan mampus di tanganku!"
*** 5 Orang tua bertubuh kecil dan bungkuk itu terkejut. Cepat busur panahnya
dikibaskan untuk
menghalau serangan yang baru muncul.
Trak! Bukan main terkejutnya orang tua itu ketika
merasakan tangannya kesemutan, begitu senjata
busurnya seperti menghantam batu cadas yang
keras luar biasa. Dan lebih terkejut lagi ketika
merasakan sesuatu yang mendesir ke arah lehernya.
Bet! "Uhhh...!"
Orang tua bungkuk itu melangkah ke belakang
dan terus melompat ke samping untuk menghindari sambaran senjata sosok bertubuh
ramping yang menjadi lawannya. Namun, senjata itu terus
mengejarnya seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun untuk bernapas.
Bahkan baru saja kakinya menjejak, ujung senjata itu kembali
menyambar. Seketika dipapaknya serangan itu
dengan ayunan busurnya.
Trak! Untuk kedua kalinya orang tua bungkuk itu
merasakan tangannya kesemutan. Dia menggeram. Dan sebelum sosok bertubuh ramping
itu menyerang, ujung kaki kanannya telah lebih dulu
diayunkan. Seketika sosok bertubuh ramping ini cepat
mengibaskan tangan kirinya. Maka, tiba-tiba sebuah selendang meluncur deras, ke
arah kaki orang tua bungkuk itu. Rrrt!
Bahkan seketika itu pula pergelangan kaki
anak buah Ki Tambak Ireng ini dibelit selendang
yang alot bukan main. Sementara, sosok ramping
itu langsung menghentakkan selendangnya. Akibatnya, tubuh orang tua bungkuk itu
langsung terjajar ke depan oleh sentakan tenaga keras. Dan
belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, satu
tendangan keras menghantam pinggang kirinya.
Desss! "Aaakh...!"
Orang tua itu kontan memekik keras, begitu
pinggangnya terhajar tendangan keras dari sosok
ramping ini. Tubuhnya langsung terjungkal dan
bergulingan di tanah. Namun tubuhnya kembali
tertahan, bahkan kembali tersentak ke arah sosok
ramping itu, karena selendang lawannya masih
membelit kakinya.
Orang tua itu tidak kehilangan akal. Segera saja busur di tangannya dilemparkan,
sehingga melesat cepat ke arah sosok ramping yang terus
membetotnya. Namun, sosok ramping itu telah sigap. Pedang di tangan kanannya
cepat dikibaskan, memapak luncuran busur panah itu.
Trak! Senjata busur orang tua bungkuk itu berhasil
ditangkis hingga terpental jauh. Sedangkan tubuhnya terus saja meluncur ke arah
sosok ramp- ing yang siap dengan hujaman senjatanya. Sehingga....
Bresss...!"
"Aaa...!"
Pedang di tangan sosok bertubuh ramping itu
terus menderu keras, menembus dada kiri lakilaki bungkuk ini tanpa tertahankan
lagi disertai jeritan menyayat. Darah tampak membasahi dadanya. Jantung orang tua itu kontan
pecah tertembus ujung pedang pendek milik sosok yang
ternyata seorang gadis bertubuh ramping. Wanita
bertopeng kayu di wajahnya itu memandangi
mayat orang tua bungkuk itu tanpa mempedulikan sekitarnya.
"Hei" Bukankah dia Bidadari Penyambar Nyawa"!" teriak seseorang, begitu
mengenali gadis
bertopeng itu. Anak buah Ki Tambak Ireng yang lain tampak
terkejut. Namun, mereka tidak punya waktu lagi
untuk berdiam diri, karena gadis bertopeng itu telah melesat membawa serangan
ganas. "Alap-alap keparat! Mampuslah kalian sekarang! Yeaaa...!"
"Hei"!"
Bukan main terkejutnya anggota Kawanan
Alap-alap Panah Beracun itu mendapat serangan
mendadak begitu. Namun beberapa orang masih
sempat melepaskan anak-anak panah beracun ke
arah gadis bertopeng itu.
Ser! Ser! Namun, dengan tangkas gadis itu memutar pe-
dangnya, merontokkan anak panah beracun yang
menyerangnya. Diiringi bentakan, ujung selendang di tangan kirinya langsung
dikibaskan menyambar ke arah para pemanah.
Tarrr! "Aaakh...!"
"Hiyaaat...!"
Ujung selendang yang terlihat lemas itu jadi
berubah kaku keras bagai sebatang baja. Dan
tanpa ampun lagi, para pengikut Kawanan Alapalap Panah Beracun tersambar
selendang itu. Dua orang seketika terlempar beberapa langkah
dari tempatnya semula, dengan tubuh remuk.
Tewas! Sedangkan yang lain mampu menyelamatkan diri walaupun dengan pontang-
panting. Namun gadis bertopeng itu agaknya tidak memberi sedikit kesempatan pada mereka.
Begitu melihat mereka sibuk menyelamatkan diri, tubuhnya
langsung melesat sambil memutar pedangnya.
Trak! Trak! Beberapa orang mencoba menangkis sabetan
pedang itu. Namun begitu selendang gadis yang
dijuluki Bidadari Penyambar Nyawa itu ikut bicara, tak ada yang bisa
mencegahnya. Brettt! Crasss! "Aaakh...!"
Pekik kematian kembali mengiringi beberapa
Kawanan Alap-alap Panah Beracun yang tewas
disambar selendang gadis itu. Sementara yang
lainnya berusaha menangkis dengan senjata bu-
sur. Namun, selendang itu kembali berbicara. Tubuh mereka berpelantingan ke
tanah dengan keras. Siapa pun yang berusaha melepaskan diri,
maka gadis itu akan mengejarnya. Akibatnya, mereka betul-betul tidak berdaya.
Melihat dari tindakannya, gadis bertopeng itu
agaknya mendendam pada Kawanan Alap-alap
Panah Beracun. Sehingga tidak seorang pun dibiarkan hidup atau melarikan diri.
Dia mengamuk sejadinya. Dengan kepandaian serta kelincahannya yang luar biasa,
dalam waktu singkat
saja semua kawanan itu tewas menemui ajalnya
secara mengerikan.
"Mampuslah kalian semua!" dengus Bidadari
Penyambar Nyawa bernada dingin. Matanya yang
tajam memandangi sisa gerombolan yang tinggal
seorang lagi. Dia adalah lawan Pendekar Pulau
Neraka. Bidadari Penyambar Nyawa hendak bergerak
menyerang. Namun, niatnya segera diurungkan,
karena orang itu telah menjadi bulan-bulanan
pemuda berbaju kulit harimau. Ketika memperhatikan sekilas, dia menduga kalau
pemuda itu mungkin mempunyai dendam tersendiri terhadap
kawanan ini. Nyatanya serangan-serangan pemuda itu tampak bukan main-main.
Lawannya sampai dibuat terjajar beberapa kali tanpa kenal ampun. Dan ketika
orang itu berusaha bangkit, senjata yang berada di pergelangan tangan pemuda
ini melesat cepat Langsung disambarnya tenggorokan orang itu tanpa ampun. Orang
itu kontan memekik tertahan. Tubuhnya langsung ambruk
dengan leher hampir putus mengucurkan darah
segar. Melihat keadaan itu, gadis bertopeng itu langsung melompat ke atas, hendak pergi
dari situ. Namun Ki Aria Depa yang sejak tadi terkesima
melihat sepak terjang gadis itu, segera terjaga.
"Lekas kejar, dan tangkap wanita itu...!" teriak
Ki Aria Depa pada anak buahnya.
Brata Sena dan Sendang Dulur langsung melompat mengejar, diikuti prajurit
kadipaten. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau yang
memang Bayu tetap tegak berdiri di tempatnya
dengan wajah tak mengerti. Matanya memandang
sekilas ke arah lenyapnya gadis bertopeng tadi,
kemudian menyambar Tiren sahabatnya yang
berteriak-teriak dan berlari kecil ke arahnya.
*** Ki Aria Depa yang masih terluka dalam, berdiri
tegak mematung memandang para prajurit kadipaten. Kemudian, dia mengeluh pendek.
Wajahnya terlihat muram, ketika melangkah mendekati
kudanya. "Sebenarnya sia-sia mereka mengejarnya. Aku
saja tak mampu. Apalagi mereka...," gumam panglima kadipaten ini pendek.
"Bukankah gadis bertopeng itu telah menolong
kalian" Lalu, kenapa kau begitu bernafsu hendak
menangkapnya?"
"Hei"!"
Ki Aria Depa terkejut dan cepat menoleh, ketika seseorang menyahuti kata-
katanya. Wajahnya
tampak cerah, kemudian menjura hormat pada
Bayu yang berada di dekatnya sambil menggendong Tiren.
"Pendekar Pulau Neraka.... Aku berterima kasih yang sedalam-dalamnya atas
pertolonganmu. Maafkan. Pikiranku kacau, sehingga sampai melupakan kehadiranmu...."
"Lupakanlah, Kisanak...," desah Bayu.
"Ehm.... Namaku Aria Depa," kata Ki Aria Depa
cepat. "Hm, Ki Aria Depa. Kau boleh memanggilku
Bayu. Sepanjang jalan, banyak kudengar berita
tentang sepak terjang wanita bertopeng itu. Tapi
apa yang dilakukannya hari ini aku jadi bingung.
Kenapa pihak kadipaten ingin menangkapnya"
Bukankah dia telah menolong kalian tadi?" tanya
Bayu. "Ini memang sulit dijelaskan. Dan kurasa, dia
bukan bermaksud menolong. Tapi, memang
mempunyai dendam tersendiri terhadap Kawanan
Alap-alap Panah Beracun," jelas Ki Aria Depa.
"Apakah kalian semua merasa yakin kalau wanita itu yang berjuluk Bidadari
Penyambar Nyawa?"
"Aku bahkan pernah beberapa kali berusaha
menangkapnya. Namun sayang, kepandaiannya
terlalu tinggi. Sehingga, sulit bagiku untuk meringkusnya," jelas Ki Aria Depa,
terus terang. "Hm.... Kalau begitu, apakah pihak kadipaten
merasa yakin kalau selama ini dia memang melakukan kesalahan?"
"Bayu.... Bidadari Penyambar Nyawa bukanlah
tokoh baik-baik. Aku tidak tahu banyak tentang
dirinya. Demikian juga semua orang di kadipaten
ini. Semula perbuatannya kelihatan terpuji karena banyak membantai perampok dan
penjahat. Tapi lama-lama perbuatannya semakin membabi
buta. Dia membunuh semua laki-laki yang tak
disukainya," jelas panglima itu.
"Apakah kau yakin kalau itu adalah perbuatannya?"
"Bidadari Penyambar Nyawa biasanya sering
menampakkan diri, bila menewaskan seseorang.
Sehingga, banyak yang melihat perbuatannya.
Namun hingga saat ini, tidak ada seorang pun
yang mampu mencegahnya."
Bayu mengangguk-angguk kecil mendengar
penuturan laki-laki itu.
"Ki, kurasa cukuplah penjelasan yang kau berikan. Kalau demikian, aku mohon
diri...." Bayu
mohon pamit. "Eh, maaf Bayu. Kalau tidak keberatan, sudilah
mampir di kadipaten bersamaku. Adipati Wiriaraja tentu senang sekali mendapat
kunjunganmu...," usul panglima itu.
"Maafkan aku, Ki. Aku masih banyak urusan.
Sampaikan saja salam hormatku pada Adipati Wiriaraja. Nah, aku mohon diri...."
"Sayang sekali, Bayu...," desah Ki Aria Depa.
Bayu baru saja hendak berbalik, tapi panglima
itu tiba-tiba ambruk. Maka buru-buru Pendekar
Pulau Neraka memeriksa laki-laki itu.
"Hm.... Kau keracunan hebat, Ki...," desis Bayu
seraya meraba tubuh Ki Aria Depa yang mulai
dingin bagai es.
"Oh! To..., tolong bawa aku ke kadipaten...," keluh Ki Aria Depa, lemah.
"Tenanglah. Nah, berbaringlah sambil melemaskan semua otot tubuhmu. Aku akan
berusaha mengeluarkan racun yang bersarang di tubuhmu," sahut Bayu tanpa
mempedulikan katakata Ki Aria Depa.
Bayu lalu mengangkat laki-laki itu dan dibawanya ke bawah pohon. Disandarkan
laki-laki itu di bawah pohon. Kemudian ditotoknya beberapa
jalan darah di sekitar jantung, agar racun itu tidak sampai menyebar. Lalu Bayu
berpindah ke belakang, dan langsung menempelkan telapak


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya ke pinggang Ki Aria Depa.
Seketika Ki Aria Depa merasakan hawa panas
berputar melalui pinggangnya, yang kemudian
berkumpul di perut. Hawa panas itu memang merangsang hawa murni di bawah
perutnya, untuk
menekan peredaran darahnya. Dan ketika kedua
telapak tangan Bayu telah berpindah ke tengkuk,
laki-laki itu tak mampu lagi menguasai rasa mual
dan sakit yang hebat. Dorongan dari bawah perutnya, laksana lahar gunung yang
akan termuntahkan.
"Hoeeeekh...!"
Ki Aria Depa memuntahkan darah kental ber-
warna kehitam-hitaman dari mulutnya. Tubuhnya langsung mengejang beberapa kali,
namun dengan sigap Bayu mengurut bagian dada. Sehingga rasa sakit yang dirasakan laki-
laki itu sedikit berkurang. Namun demikian, Ki Aria Depa
masih tetap memuntahkan darah kental. Lamakelamaan, darah kental kehitaman itu
berubah merah. Telapak tangan kiri Bayu kini melekat
kuat di ubun-ubunnya. Sementara, telapak tangan kanannya menempel erat di dada
kiri. Hal itu berlangsung beberapa saat.
Ketika Ki Aria Depa mulai memuntahkan darah
segar dari mulutnya, Bayu menghentikan pengobatannya.
"Syukurlah.... Racun yang mengendap di tubuhmu telah keluar. Meski sebagian
kecil masih tersisa, namun lewat latihan pernapasan dan
meminum ramuan-ramuan, kau akan kembali
seperti sediakala...," jelas Bayu.
Ki Aria Depa menarik napas panjang, lalu memusatkan hawa murninya. Kemudian
dihelanya napas perlahan-lahan. Wajahnya terlihat pucat
dan tubuhnya terasa letih bagai tidak bertulang.
Ki Aria Depa telah kehilangan banyak darah akibat racun yang keluar lewat
muntahan darah tadi. Dan tiba-tiba laki-laki itu bersujud di hadapan
Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu.... Aku berhutang nyawa padamu. Aku
tidak tahu, bagaimana harus membalas budi
baikmu. Namun, penuhilah permintaanku untuk
kujamu di kediamanku," kata Ki Aria Depa me-
mohon. "Ki Aria Depa.... Jangan terlalu bersikap demikian terhadapku. Aku tidak
menentukan mati hidupmu. Yang kulakukan hanyalah sekadar meringankan beban
penderitaanmu. Itu pun hanya
semampuku sebagai seorang manusia. Nah, janganlah terlalu berlebihan. Bangunlah,
Ki...," ujar
Bayu. "Aku tidak bangun sebelum kau menyetujui
permintaanku. Penuhilah permintaanku. Sekali
saja...," desah laki-laki itu.
Bayu menghela napas pendek, kemudian mengangguk pelan.
"Oh! Terima kasih, Bayu. Aku akan merasa
mendapat kehormatan luar biasa atas kedatanganmu," kata Ki Aria Depa gembira.
Baru saja Ki Aria Depa ingin bangkit, para prajurit kadipaten telah kembali.
Brata Sena dan Sendang Dulur menghadap padanya dengan wajah muram.
"Maafkan kami, Ki. Kami tidak mampu menangkap gadis itu," lapor Brata Sena,
lesu. Ki Aria Depa hanya tersenyum.
"Sudahlah, Brata Sena. Aku tahu, kau telah
bertugas dengan baik dan sepenuh hati. Kelihaiannya memang bukan tandinganmu.
Bahkan juga bukan tandinganku. Tidak kusalahkan bila
kau gagal meringkusnya. Nah, sekarang mari kita
kembali ke kadipaten untuk melaporkan peristiwa
ini kepada Adipati Wiriaraja. Bawa serta mayatmayat temanmu. Kita akan mengubur
mereka se- layaknya," ujar Ki Aria Depa bijaksana.
"Baik, Ki...," sahut Brata Sena cepat.
Bayu sebenarnya enggan memenuhi undangan
Ki Aria Depa, karena mengetahui kalau nantinya
toh harus berkunjung ke kediaman Adipati Wiriaraja. Namun pemuda itu tak punya
pilihan, ketika
melihat sikap Ki Aria Depa.
*** "Kisanak.... Sungguh suatu kehormatan bagi
kadipaten ini. Khususnya, bagiku atas kunjunganmu...," sambut Adipati Wiriaraja
disertai senyum lebar pada Pendekar Pulau Neraka di depan
pendopo rumahnya.
"Kanjeng Gusti Adipati.... Bukankah sebaliknya
hamba yang merasa mendapat kehormatan dapat
diterima baik oleh Kanjeng Adipati?" sahut Bayu,
seraya membalas salam hormat Adipati Wiriaraja.
"Ah! Ternyata kau pandai merendahkan diri.
Silakan, Kisanak," lanjut Adipati Wiriaraja mengajak tamunya untuk masuk ke
pendopo utama. Mereka kemudian berjalan bersama, diikuti Ki
Aria Depa di belakang. Kini mereka tiba di ruang
pendopo yang amat luas dan tertata indah. Bayu
benar-benar mengagumi tata ruangan ini.
"Silakan, Kisanak," Adipati Wiriaraja mempersilakan Bayu untuk duduk.
Mereka semua yang ada di ruangan ini segera
duduk bersama-sama.
"Kisanak.... Aku telah mendengar tindakanmu
yang telah membantu kadipaten ini. Dan aku
sungguh berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan Aria Depa. Perbuatanmu
sungguh terpuji...," kata Adipati Wiriaraja, begitu duduk di
kursinya. "Kanjeng Gusti, apa yang hamba lakukan bukanlah sesuatu yang istimewa. Rasanya,
belum pantas menerima pujian setinggi langit itu...,"
elak Bayu, merendah.
Adipati Wiriaraja belum sempat melanjutkan
pembicaraannya, ketika Kunti Kameshawara
muncul bersama seorang pelayan yang menghidangkan teh hangat.
"Kisanak, perkenalkan. Ini putriku. Namanya
Kunti Kameshawara...," ujar Adipati Wiriaraja,
memperkenalkan putrinya.
"Hm.... Sungguh cantik putri Kanjeng Gusti...,"
puji Bayu, langsung berdiri dan menjabat tangan
gadis itu. Mereka saling berpandangan beberapa saat.
Tidak sebagaimana layaknya gadis-gadis yang
pernah ditemuinya. Kunti Kameshawara justru
balas tersenyum dengan bola mata berbinarbinar.
"Kisanak. Kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Kunti
Kameshawara, seraya
melepaskan jabatan tangannya.
"Agaknya begitulah orang-orang memanggilku...," sahut Bayu tenang, dan segera
duduk kembali. "Kudengar namamu sering disebut-sebut sebagai pendekar nomor satu yang tidak
terkalahkan. Telah lama sekali aku ingin bertemu denganmu.
Namun, agaknya baru hari ini keinginanku terpenuhi. Maka tentu saja ini
merupakan suatu keberuntungan bagiku," kata Kunti Kameshawara.
"Kunti, aku hanya manusia biasa seperti orang
kebanyakan. Dan rasanya orang terlalu berlebihlebihan bila menganggap pendekar
nomor satu yang tiada tandingannya. Seperti pepatah, di atas
langit masih ada langit. Dan aku bukan salah satu dari langit itu. Aku hanya
setinggi rumput di
antara rimba pepohonan yang menjulang tinggi
dan besar," balas Bayu, merendah.
"Hm.... Agaknya. Kisanak memang suka merendah. Namun, hal itu tidak mengurangi
hasratku untuk menimba pengalaman darimu...,"
sahut Kunti Kameshawara.
"Maafkan kalau aku tidak mengerti maksud
pembicaraanmu, Kunti...," sahut Bayu dengan
dahi berkerut, mendengar kata-kata Kunti Kameshawara.
"Terus terang, aku ingin mendapat sedikit pengalaman darimu," sahut Kunti
Kameshawara, langsung menepuk tangannya.
Tak berapa lama kemudian, keluar seorang pelayan yang membawakan dua bilah
pedang. Kunti Kameshawara mengambil sebuah, dan segera diberikan kepada Bayu. Sementara,
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum kecil. Dia mengerti, apa
yang diinginkan gadis itu.
"Kunti, kudengar kau memiliki kepandaian hebat. Tentu aku bukan tandinganmu.
Bagaimana kalau aku mengaku kalah saja padamu?" sahut
Bayu, mencoba menolak halus.
"Hm.... Kau seorang pendekar nomor satu. Mana mungkin bisa begitu. Lagi pula,
yang kuinginkan bukan soal kalah dan menang. Tapi, apakah
kau sudi memberi pelajaran bagiku untuk menambah wawasanku," sahut Kunti
Kameshawara, cerdik. Gadis itu kemudian memandang ke arah ayah
angkatnya, disertai senyum manis.
"Bukankah Ayahanda menyetujuinya?" tanya
gadis itu. Adipati Wiriaraja hanya tersenyum.
"Putriku ini memang tidak pernah merasa cukup dengan kepandaiannya. Aku memang
selalu mengajarkannya untuk tidak selalu bangga dengan apa yang dimilikinya. Tapi dalam
hal ini, tentu saja lain. Kisanak tentu lelah. Dan rasanya, tidak baik memaksa
tamu kalau memang sedang
tidak berkenan...," ujar Adipati Wiriaraja, bijaksana.
Bayu tersenyum. Kata-kata Adipati Wiriaraja
terdengar bijaksana. Namun sesungguhnya Bayu
tahu kalau dirinya disindir. Dan secara tidak
langsung, adipati itu merestui kehendak putrinya.
Maka seketika Bayu berdiri seraya menerima pedang yang diulurkan padanya.
"Kalau keinginanmu demikian, baiklah. Tapi
jangan tertawakan kalau aku membuat kesalahan...," desah Bayu merendah.
*** 6 "Silakan, Kunti...," kata Bayu seraya menancapkan pedang di ujung kakinya.
Mereka kini memang telah berada di halaman rumah Adipati
Wiriaraja. "Apakah kau akan menghadapiku tanpa senjata?" tanya Kunti Kameshawara.
"Bukankah kita tidak hendak saling melukai?"
sahut Bayu sambil tersenyum.
"Terserahmu saja. Tapi aku benar-benar ingin
mendapat pelajaran darimu."
"Kalau demikian, silakan saja. Jangan sungkan-sungkan. Kalau aku memerlukannya,
tentu akan kugunakan...."
"Baiklah. Sekarang, lihat serangan!" bentak
Kunti Kameshawara, langsung memasang kudakudanya. Kemudian gadis itu melompat
menyerang Bayu dengan ujung pedang berputar-putar
menyambar ke arah wajah.
Bayu bergerak ke kiri dan kanan, lalu menunduk. Dan dia terus bergerak ke
samping, untuk menghindari sambaran senjata gadis itu. Sedangkan Kunti Kameshawara segera
berputar dengan
kepalan tangan kiri menghantam ke arah dada
kanan pemuda itu. Bayu mencoba memapak disertai cengkeraman tangan pada tangan
gadis itu. Namun gadis itu cepat mengebutkan tangannya.
Plak! "Hih!"
Baru saja kedua tangan mereka beradu, secepat itu pula Kunti Kameshawara
mengayunkan pedang ke arah leher.
"Uts!"
Bayu cepat mendongak, dan terus melompat.
Namun gadis itu terus mengejar disertai satu tendangan keras. Bukan main
terkejutnya Bayu merasakan angin serangan laksana hantaman godam ke arahnya.
Maka sambil memutar tubuh,
telapak tangan kirinya disorongkan untuk memapak pukulan jarak jauh yang
dilepaskan gadis itu.
Pyarrr...! Serangkum angin kencang berputar di tempat
itu, ketika pukulan mereka bertemu. Dan bagi
yang melihat pertandingan itu, terasa bagai tertampar mukanya akibat dahsyatnya
angin serangan kedua orang yang tengah bertarung. Adipati
Wiriaraja sendiri sampai menggeleng lemah dengan wajah khawatir.
"Kenapa dengan putriku" Dia bukannya ingin
mendapatkan pelajaran, tapi benar-benar menginginkan pertarungan hidup dan
mati...," desis
Adipati Wiriaraja berkali-kali menghela napas
pendek. "Apakah tidak sebaiknya dihentikan saja, Kanjeng Adipati?" sahut Ki Aria Depa.
"Menurutmu, sebaiknya bagaimana...?"
"Kanjeng Gusti Adipati, Pendekar Pulau Neraka
memanglah orang baik dan pembela kebenaran.
Namun siapa pun tahu kalau dia pun terkenal kejam dan tidak segan-segan
menghabisi orang
yang bermaksud mencelakainya. Dan apa yang
kita saksikan saat ini, Gusti Kunti mencoba mencelakakannya," kata Ki Aria Depa
lagi. "Hm.... Kalau demikian, perintahkanlah mereka untuk menghentikan permainan ini!"
"Baik, Gusti. Berhentiii...!"
Ki Aria Depa berteriak, memerintahkan mereka
untuk menghentikan pertarungan. Namun, Kunti
Kameshawara malah terus mencecar tanpa mempedulikan teriakan itu.
"Paman, jangan khawatir. Aku tidak apaapa...!"
Sebenarnya Bayu sendiri bukannya tidak menyadarinya. Serangan-serangan gadis itu
memang dahsyat dan seperti hendak membunuhnya. Kalau sedikit saja lengah, niscaya bukan
tidak mungkin nyawanya akan melayang. Bayu mendengus kesal. Gadis itu benar-benar
ingin mengumbar segala kepandaiannya untuk menjatuhkannya.
"Hup!"
Bayu melompat ke atas dengan tubuh berputar
bagai gasing. Sementara Kunti Kameshawara


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejar, dan sudah langsung mengayunkan pedang.
Kunti Kameshawara gembira ketika melihat
keadaan Bayu. Kelihatannya, kali ini pemuda itu
tidak akan luput dari serangannya. Kalau tidak
tewas, tentu akan celaka terkena sambaran salah
satu pedangnya. Namun apa yang terjadi" Ketika
pedangnya berusaha menebas, Pendekar Pulau
Neraka cepat mengangkat tangan kanannya.
Dan.... Trang! Trang! Senjata gadis itu rupanya membentur benda
keras di tangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga
membuat percikan bunga api. Bahkan tangan
Kunti Kameshawara kontan terasa kesemutan,
serta telapak tangannya terasa perih.
"Yeaaa...!"
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu
juga Bayu melompat cepat menyambar gadis itu.
Kunti hanya terkesiap, buru-buru mengayunkan
pedang. Namun ternyata dia hanya menyambar
angin, karena Pendekar Pulau Neraka telah berkelebat cepat beberapa saat,
sebelum pedangnya tiba.
Gadis itu langsung berbalik kembali mengayunkan pedang. Namun gesit sekali Bayu
berkelit dan menyelinap ke bawah samping kirinya
seraya melepaskan tendangan keras.
"Uts!"
Kunti Kameshawara terkejut bukan main, dan
cepat melompat ke atas. Pedangnya langsung dikibaskan ke bawah, namun Bayu
seperti mengikutinya. Pendekar Pulau Neraka bahkan lebih dulu telah berada di
atas kepalanya dengan tibatiba.
"Hih!"
"Yeaaa...!"
Dengan gemas Kunti Kameshawara mengayunkan pedangnya menghantam Bayu. Namun Pen-
dekar Pulau Neraka seperti lenyap dari pandangannya, karena telah berkelebat
demikian cepat.
Bahkan tiba-tiba gadis itu merasakan angin sambaran di kepala. Rambutnya sampai
berkibarkibar dan kepalanya terasa berdenyut kencang.
Padahal serangan Pendekar Pulau Neraka belum
lagi tiba. Dan sebelum menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba Bayu berkelebat
cepat menyambar
ikat kepala dan ikat pinggang gadis itu hingga lepas. Lalu sebentar saja,
Pendekar Pulau Neraka
telah berdiri tegak pada jarak lima langkah di hadapannya, dengan ikat kepala
serta ikat pinggang
gadis itu telah berada dalam genggamannya.
"Kunti, kurasa cukuplah pelajaran yang kau
terima hari ini," kata Bayu, datar.
*** Kunti Kemeshawara agaknya tidak bisa menerima kekalahannya begitu saja. Tanpa
berkata apa-apa lagi, gadis itu berlari kencang dan menghilang di balik tembok. Bayu
hanya melirik sekilas, kemudian melangkah pelan mendekati Adipati Wiriaraja.
"Kanjeng Gusti Adipati, maafkan kelancangan
hamba...," ucap Bayu, memberi hormat.
Adipati Wiriaraja tersenyum.
"Bayu.... Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mari
kita kembali duduk dan berbincang-bincang. Tidak usah merisaukan putriku.
Adatnya memang keras, karena terlalu dimanja selama ini. Tapi,
sebentar lagi dia tentu akan baik kembali...," ki-
lah adipati itu.
"Kanjeng Adipati, rasanya hamba tidak bisa
berlama-lama di sini. Masih banyak yang harus
hamba kerjakan di luar sana. Kalau Kanjeng Gusti tidak keberatan, hamba ingin
mohon diri. Terima kasih atas kemurahan hati Kanjeng Gusti...,"
ucap Bayu. "Hm.... Kenapa mesti terburu-buru" Bukankah
kita belum banyak bertukar cerita" Aku masih
senang duduk dan berbincang-bincang denganmu."
"Maafkan hamba, Kanjeng Gusti. Sebenarnya
pun hamba ingin lebih lama di sini. Namun karena ada sesuatu yang harus
dikerjakan, maka
hamba tidak bisa memenuhi keinginan Kanjeng
Gusti," sahut Bayu sedikit berbohong, menolak
halus permintaan Adipati Wiriaraja.
"Ah! Sayang sekali kalau demikian. Tapi, baiklah. Kalau memang keperluanmu amat
mendesak, aku pun tidak bisa menghalanginya. Namun ada
satu keinginanku padamu, Bayu. Maukah kau
menolongku?"
"Pertolongan apakah yang bisa hamba lakukan?"
"Soal wanita yang menyebut dirinya Bidadari
Penyambar Nyawa...."
"Bidadari Penyambar Nyawa" Apa yang harus
hamba lakukan?"
"Aku ingin kau meringkus wanita itu untukku!"
"Kanjeng Gusti.... Bukannya hamba menolak.
Namun rasanya hamba tidak patut melakukan-
nya. Bukankah di kadipaten ini masih banyak
orang hebat" Apa jadinya bila hamba yang mengemban tugas ini" Tentu mereka akan
berkecil hati. Sebab, hamba tahu kalau pengabdian prajurit kadipaten ini amat tinggi pada
Kanjeng Gusti. Mereka tentu akan merasa direndahkan. Demikian juga, Kanjeng Gusti akan dituduh
tidak adil," sahut Bayu.
Adipati Wiriaraja tersenyum mendengar penuturan Bayu.
"Benar apa yang kau katakan, Bayu. Namun
dalam hal ini. Kadipaten Baluran telah banyak
kehilangan prajurit gagah berani dalam pertarungan melawan Kawanan Alap-alap
Panah Beracun. Sehingga, kami kekurangan orang untuk menangkap Bidadari Penyambar Nyawa yang
memiliki kepandaian hebat," sahut Adipati Wiriaraja
mengemukakan alasannya.
Bayu kembali tersenyum mendengarnya.
"Kanjeng Gusti Adipati...," panggil Bayu.
"Eh! Bukankah lebih baik kita duduk dulu. Tidak sopan rasanya melayani tamu
berbicara berdiri seperti ini," potong Adipati Wiriaraja cepat.
"Baiklah...," kata Bayu. Segera diikutinya Adipati Wiriaraja yang menuju ruang
pendopo utama. Sebentar saja, mereka sudah kembali duduk
di kursi masing-masing.
"Nah! Silakan lanjutkan kembali. Apa yang ingin kau kemukakan," ujar Adipati
Wiriaraja setelah duduk di kursinya.
Bayu memandang semua yang ada di situ satu
persatu. "Ki Aria Depa.... Kalau memang benar gadis
yang kita temui di sana adalah si Bidadari Penyambar Nyawa, menurut penilaianku
dia mempunyai tandingan hebat di kadipaten ini."
"Maksudmu?" tanya Ki Aria Depa.
Bayu kembali tersenyum.
"Bukankah kepandaian Kunti Kameshawara
cukup hebat" Kanjeng Gusti Adipati dan semua
yang ada di sini bisa melihatnya tadi...," jelas
Bayu. "Putriku memang mempunyai kemampuan
yang lumayan. Namun, dia kurang berpengalaman dan masih mentah. Dalam sekali
gebrak, tentu akan dapat dikalahkan Bidadari Penyambar
Nyawa," sahut Adipati Wiriaraja merendahkan
kemampuan putrinya.
"Bagaimana, Bayu" Apakah kau bersedia
membantu kami?" tanya Ki Aria Depa, setelah
terdiam beberapa saat lamanya.
Bayu menarik napas dalam-dalam, kemudian
menghembuskannya perlahan-lahan. Sekali lagi
dipandangnya ke arah mereka satu persatu.
"Baiklah.... Tampaknya, aku tidak mempunyai
pilihan...," desah Bayu.
"Ah! Kami akan sangat senang atas kesediaanmu, Bayu," kata Adipati Wiriaraja,
merasa lega. "Di manakah hamba bisa menemuinya, Kanjeng Adipati?" tanya Bayu kemudian.
"Itulah yang selama ini amat membingungkan.
Kami sendiri belum tahu, di mana wanita itu bersembunyi. Tapi rasanya tidak
sulit untuk menemuinya. Sebab, dia akan muncul dengan sendirinya," desah adipati
itu. "Maksud Kanjeng Adipati...?" tanya Bayu bingung.
Adipati Wiriaraja menatap singkat ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Lalu perhatiannya beralih ke arah jendela ruangan ini
yang terbuka lebar.
"Ya kuperhatikan selama ini, agaknya Bidadari
Penyambar Nyawa sering muncul bila mendengar
ada pemuda yang banyak dibicarakan orang.
Agaknya dia mempunyai sifat membenci laki-laki.
Dalam hal ini, kemunculanmu di sini cukup menarik perhatian semua orang...."
Bayu tersenyum mendengar kata-kata itu.
"Hamba mengerti maksud Kanjeng Gusti...."
"Syukurlah...," desah Adipati Wiriaraja. Kepalanya lantas mendongak ke atas,
kemudian kembali berpaling pada Bayu. "Sebentar lagi hari mulai gelap. Nanti,
Aria Depa akan menunjukkan
tempat peristirahatanmu, Bayu."
"Terima kasih, Kanjeng Gusti.... Memang,
agaknya aku harus bermalam di sini," desah
Bayu. "Mari, Bayu. Kutunjukkan tempat beristirahatmu...," ajak Ki Aria Depa seraya
beranjak dari duduknya. Mereka lantas memberi salam hormat pada
adipati, sebelum berlalu meninggalkan tempat itu.
Sementara Adipati Wiriaraja memandang mereka beberapa saat, kemudian beranjak
pergi dari sini setelah menghela napas lega.
*** Mendung yang sejak tadi menggumpal berwarna kehitaman, mulai menumpahkan titik-
titik air perlahan-lahan. Senja telah berlalu dan digantikan malam yang gelap bercampur
gerimis. Angin bertiup kencang menggoyang-goyangkan dedaunan di sekitar Desa Jatimakmur.
Dipinggiran desa itu terlihat suatu sosok yang
melompat-lompat ringan menghindari genangan
air hujan di jalan. Di pinggir tegalan sawah yang
semula mengering, dia berhenti dan berteduh di
bawah sebatang pohon berdaun lebat. Tubuhnya
tegap. Kedua tangannya yang bersedakap, mengapit sebilah pedang. Sebuah topi
caping lebar terbuat dari bambu menutupi kepalanya. Orang
itu terdiam beberapa saat, mengawasi sekitarnya
dengan sorot mata tajam. Agaknya, dia bukan saja sekadar berteduh dari siraman
hujan yang sudah turun deras. Mungkin dia tengah menunggu
seseorang. Seekor burung kuntul terbang melintas di depannya disertai teriakan nyaring.
Sementara orang itu tak bergeming dari tempatnya. Bahkan
dia tetap diam, ketika sesosok tubuh ramping melayang turun dengan ringan pada
jarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Orang yang baru
muncul itu mengenakan topi caping berukuran
lebih kecil. Melihat dari potongan tubuhnya yang
ramping, jelas dia adalah seorang wanita. Tampak
sehelai selendang melilit di pinggangnya, dengan
sebilah pedang pendek juga terselip di situ.
"Bagus! Akhirnya kau datang juga memenuhi
tantanganku...!" kata wanita itu, nyaring.
"Huh! Kelelawar Setan Gantung tidak akan
pernah lari! Apalagi hanya untuk menghadapi bocah ingusan macam Bidadari
Penyambar Nyawa...!" balas orang yang berdiri di bawah pohon
itu, sinis. "Segala kelelawar budukan akan bertingkah di
hadapanku. Lekas cabut pedangmu. Dan, berdoalah. Karena, hari ini terakhir
kalinya kau bisa
bernapas!" dengus wanita itu dingin.
"Phuih! Kaulah yang seharusnya berdoa. Hari
ini Bidadari Penyambar Nyawa hanya akan tinggal
nama! Akan kurobek-robek perutmu dengan pedangku...."
"Jangan banyak bicara! Lihat serangan...!" seru
gadis itu, langsung melemparkan capingnya ke
arah laki-laki yang berjuluk Kelelawar Setan Gantung.
Sing! Melihat serangan mendadak ini, Kelelawar Setan Gantung tidak jadi ciut nyalinya.
Langsung dibalasnya dengan melemparkan capingnya pula.
Brakkk! Begitu kedua topi itu beradu, terdengar bunyi
berderak keras. Dari sini bisa dilihat, betapa
kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahkan.
Bahkan kedua caping itu sampai hancur berantakan.
"Yeaaa...!"
Bidadari Penyambar Nyawa langsung menerjang Kelelawar Setan Gantung. Sementara
lakilaki bertubuh tegap itu langsung mencabut pedangnya, dibabatnya wanita itu
dengan gerakan cepat Sring! Wut! Wut! Bidadari Penyambar Nyawa berkelit indah, lalu
melompat ke atas. Gerakannya laksana ombak
bergulung-gulung di lautan. Kemudian ketika tubuhnya melayang turun, Kelelawar
Setan Gantung telah siap menyambutnya. Wanita bertopeng
kayu itu terdengar mendengus sinis. Lalu pedang
pendeknya langsung dicabut untuk menghantam
pedang Kelelawar Setan Gantung.
Sring! Trang! "Uhhh...!"
Terlihat percikan bunga api, ketika kedua senjata beradu. Kelelawar Setan
Gantung mengeluh
tertahan dengan tubuh terjajar dua langkah. Telapak tangannya terasa perih dan
jantungnya berdebar kencang akibat benturan tadi. Disertai
rasa geram, kembali laki-laki itu menerjang Bidadari Penyambar Nyawa dengan
babatan ke arah


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggang. Namun wanita itu begitu gesit melompat ke atas seraya melepaskan
tendangan keras
ke arah muka. "Hiyaaat..!"
Dengan bentakan keras, Kelelawar Setan Gantung membabatkan pedangnya, mengincar
kaki wanita itu yang mengarah ke wajahnya. Sementara, telapak tangan kirinya langsung
menjulur ke arah dada. Cepat-cepat Bidadari Penyambar Nyawa menarik pulang kakinya, yang
kemudian digunakannya untuk memapak tangan kiri laki-laki
itu. Plak! Tubuh wanita itu kontan melintir. Namun tanpa diduga, justru tenaga pelintiran
itu digunakan untuk memutar tubuhnya. Bahkan langsung melepaskan tendangan berputar ke arah
dada. Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main,
namun cepat membungkukkan tubuhnya. Namun
wanita itu tidak tinggal diam. Serangannya segera
dilanjutkan dengan satu tendangan keras ke arah
pinggang. Cepat-cepat laki-laki itu terus melejit ke
kiri, bahkan cepat berbalik menyambar dengan
pedangnya. Namun, tangkas sekali Bidadari Penyambar Nyawa menangkis dengan
senjatanya. Trang! "Uhhh...!"
Kembali Kelelawar Setan Gantung mengeluh
tertahan, begitu senjatanya beradu. Bahkan dia
harus melompat ke belakang, karena harus
menghindari kepalan tangan kanan Bidadari Penyambar Nyawa yang menderu ke arah
dadanya. Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main.
Maka dengan gerakan sebisanya, dia melenting ke
atas. Tapi tanpa diduga, ujung pedang wanita itu
telah menunggunya. Akibatnya...
Crasss! "Aaakh...!"
Paha laki-laki itu kontan tersambar pedang Bidadari Penyambar Nyawa, hingga
menimbulkan luka cukup lebar. Darah pun langsung merembes
keluar. Dan baru saja kakinya menjejak tanah
dengan wajah berkerut menahan sakit, kembali
serangan lawan datang. Buru-buru dia melempar
diri ke samping, menghindari sapuan kaki kanan
Bidadari Penyambar Nyawa.
Tapi tindakan wanita itu ternyata hanya tipuan
belaka. Karena dengan kecepatan dahsyat, Bidadari Penyambar Nyawa melenting ke
atas dan berputaran beberapa kali. Dan begitu meluruk turun, ujung pedangnya langsung
mencecar pinggang laki-laki itu.
Bukan main terkejutnya Kelelawar Setan Gantung. Maka dengan sekuat tenaga, dia
berusaha menghindari serangan. Langsung tubuhnya dijatuhkan ke bawah. Namun, ujung pedang
wanita itu telah lebih dulu menyambar perut. Dan....
Brettt! "Aaakh...!"
Kelelawar Setan Gantung kontan memekik keras, begitu pedang wanita itu menyambar
perutnya. Ususnya langsung terburai disertai muncratnya darah segar. Tubuhnya
seketika ambruk
dan menggelepar tak berdaya. Dan ketika berusaha bangkit berdiri, ujung kaki
Bidadari Penyam-
bar Nyawa telah menghantam telak dada kirinya.
Bugkh! "Aaakh...!"
Kelelawar Setan Gantung hanya mampu berteriak tertahan ketika tubuhnya ambruk
kembali dan diam tak berkutik Mati!
Angin bertiup semilir. Di kejauhan, terdengar
lolongan serigala. Wanita bertopeng itu mendengus dingin, sambil memandangi
tubuh Kelelawar
Setan Gantung yang bersimbah darah bercampur
lumpur. "Mudah-mudahan tadi kau sempat berdoa...."
"Bidadari Penyambar Nyawa, kami akan menuntut balas atas kematian guru kami!"
Tiba-tiba terdengar teriakan membahana, memutuskan gumaman Bidadari Penyambar
Nyawa. *** 7 Beberapa orang bersenjatakan pedang panjang
tiba-tiba berlompatan ke arah Bidadari Penyambar Nyawa dengan wajah garang.
Sementara gadis
bertopeng kayu itu hanya mendengus dingin. Kemudian ujung pedangnya ditudingkan
ke arah mereka. "Hm, kiranya Kelelawar Setan Gantung tidak
lebih dari seorang pengecut! Kenapa kalian tidak
muncul sekaligus saat dia menemui ajalnya" Ayo,
majulah kalian kalau ingin menyusulnya!" tan-
tang wanita bertopeng itu.
"Keparat! Hari ini kau akan mampus!" desis salah seorang seraya melompat
menyerang. "Yeaaa...!"
Tubuh Bidadari Penyambar Nyawa melompat
tinggi, kemudian berputaran di udara. Pedangnya
diayunkan, menangkis kelebatan senjata para
pengikut Kelelawar Setan Gantung.
Trang! Trang! Beberapa buah pedang di tangan para pengikut
Kelelawar Setan Gantung langsung berpentalan
ke udara. Bahkan ujung pedang gadis itu cepat
menyambar mereka.
Bret! "Aaa...!"
Terdengar jeritan nyaring, diikuti ambruknya
tiga sosok tubuh. Galangan sawah di tempat itu
kembali berwarna merah bercampur lumpur. Sementara gadis bertopeng itu lincah
sekali bergerak ke sana kemari bagai burung walet, disertai
sambaran pedangnya yang menimbulkan desir
angin kencang. Dan ketika tiga orang penyerang
meluruk dari tiga arah yang berlawanan, gadis itu
bergerak ke samping disertai kibasan pedang
pendeknya ke segala arah.
Cras! Bret! "Aaa...!"
Tiga orang pengikut Kelelawar Setan Gantung
langsung ambruk bermandikan darah, ketika
ujung pedang Bidadari Penyambar Nyawa menyambar tenggorokan.
Dan baru saja Bidadari Penyambar Nyawa
menjejakkan kedua kakinya di tegalan sawah,
kembali empat orang yang tersisa datang menyerangnya. Sepertinya, mereka tidak
ingin memberi kesempatan sedikit pun baginya untuk bernapas.
"Hup!"
Bidadari Penyambar Nyawa cepat memutar tubuhnya. Pedangnya langsung dikebutkan,
menyambar senjata para pengeroyoknya.
"Yeaaah...!"
Trang! Dua bilah senjata pengikut Kelelawar Setan
Gantung kontan berpentalan terpapak senjata
wanita itu. Bahkan ujung kakinya cepat menghantam dua orang pengikut Kelelawar
Setan Gantung. Terdengar pekik kesakitan ketika mereka
terjungkal dengan rahang patah.
Sementara itu kedua orang yang tersisa segera
menebas pinggang gadis itu. Namun Bidadari Penyambar Nyawa cepat berputaran
bagai gasing dan terus melejit ke atas. Melihat hal ini, kedua
lawannya mengejar. Dan mendadak saja, tubuh
Bidadari Penyambar Nyawa telah menukik tajam,
memapaki serangan mereka.
Trang...! Pedang para pengikut Kelelawar Setan Gantung
kontan terpental dihantam senjata Bidadari Penyambar Nyawa. Dan belum lagi
mereka menyadari apa yang harus dilakukan, ujung pedang wanita bertopeng itu
meluruk ke arah leher.
Cras! "Aaa...!"
Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan
dengan tubuh terjungkal ke tanah. Tampak darah
mengalir dari leher yang nyaris putus.
"Huh! Dasar cacing-cacing busuk tidak berguna. Kalian lebih baik mampus menyusul
gurumu!" dengus wanita itu kesal.
Bidadari Penyambar Nyawa bermaksud menyelipkan kembali pedangnya, namun
pendengarannya yang tajam menangkap suara gemerisik ranting yang amat halus.
Sejenak bibirnya tersenyum
dingin. Dalam hati, dia menghitung jumlah orang
yang tengah mengintai.
"Siapa pun kalian, keluarlah kalau ingin menantangku...!"
Begitu Bidadari Penyambar Nyawa menyelesaikan kata-katanya, mendadak melesat
tiga sosok tubuh ke arahnya. Wanita bertopeng itu hanya
berdiri tegak sambil memperhatikan dengan seksama.
Seorang dari tiga sosok yang baru datang itu
adalah wanita tua. Tubuhnya yang agak bungkuk, tersangga sebatang tongkat hitam.
Baju hitam, amat kebesaran dibanding tubuhnya yang
kecil. Di sebelah kanan wanita tua itu, tampak seorang laki-laki berhidung bengkok.
Sepasang matanya yang sipit, menyorot tajam ke arah Bidadari
Penyambar Nyawa. Sementara yang seorang lagi,
adalah laki-laki berkepala botak. Tubuhnya tinggi
besar, memanggul cangkul di pundaknya. Kedua
laki-laki itu sama-sama berusia sekitar lima puluh tahun.
"Huh! Inikah bocah brengsek yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa"! Cah Ayu!
Kau berhutang satu nyawa pada Nyi Durgandi. Dan hari ini,
kau harus membayarnya!" dengus wanita tua
yang memegang tongkat itu.
"Benar, Nyi Durgandi. Dia memang patut mengenali Ki Kermopati. Aku menginginkan
kepalanya. Sebagai pengganti cucuku yang dibunuh
beberapa minggu lalu!" dengus laki-laki bermata
sipit dan berhidung bengkok yang mengaku bernama Ki Kermopati.
"Semula aku tidak ingin mencampuri urusan
dunia persilatan lagi. Tapi dia memaksaku keluar
dari sarangku setelah putra bungsuku dibunuhnya. Aku telah bersumpah, sebelum
melihat dia menjadi mayat. Yang jelas, Ki Candul Wereng tidak akan berhenti mengejarnya!"
desis orang yang
mengaku bernama Ki Candul Wereng dengan wajah geram.
Bidadari Penyambar Nyawa tertawa kecil untuk
menutupi jantungnya yang berdegup kencang.
Meski belum tahu sampai di mana kehebatan mereka, namun setidaknya dia pernah
mendengar nama-nama itu. Ketiga tokoh itu bukanlah orang
yang sembarangan, karena termasuk angkatan
tua yang kepandaiannya sulit diukur.
*** "Hm.... Agaknya Kelelawar Setan Gantung bu-
kan saja mengundang muridnya ke tempat ini,
tapi juga membawa kalian bertiga sebagai pengawalnya. Sayang, kalian kurang
cepat. Karena mereka semua telah menjadi mayat...," ejek gadis
bertopeng itu sinis.
"Hi hi hi...! Bocah tengil! Jangan anggap remeh
kami! Kelelawar budukan itu memang tolol dan
patut menerima kematiannya!" sahut perempuan
tua yang bernama Nyi Durgandi seraya menunjuk
kedua rekannya itu.
"He he he...! Kelelawar bego itu memang tidak
tahu diri. Dia tidak bisa mengukur, sampai di
mana kemampuannya. Baru menghadapi bocah
bau kencur saja, sudah tak berdaya. Tapi di hadapan kami, jangan kau berlagak
sok jago. Kedatangan kami bukan saja sekadar membalas kematian orang-orang yang
kami cintai, tapi juga ingin
membeset mulutmu yang meremehkan semua laki-laki!" desis Ki Kermopati geram.
"Hei, Orang Tua Busuk! Tidak usah banyak bicara! Cabutlah senjata kalian, agar
lebih cepat kukirim ke neraka!"
Mendengar kata-kata pedas bernada meremehkan dari gadis bertopeng ini, bukan
main kalapnya ketiga orang tua itu.
"Bocah setan! Kubelah kepalamu! Yeaaah...!"
Ki Candul Wereng tidak bisa lagi menahan
amarahnya. Sambil membentak nyaring, dia sudah langsung menyerang wanita
bertopeng itu. Cangkul di tangan Ki Candul Wereng langsung
berkelebat menyambar Bidadari Penyambar Nya-
wa. Maka cepat-cepat gadis bertopeng itu melompat ke belakang. Namun cangkul
laki-laki setengah baya itu terus mengejarnya. Memang sulit diduga gerakan Ki
Candul Wereng yang begitu cepat
dan dahsyat. Untung saja pedangnya masih sempat digerakkan, menangkis cangkul
itu. Trak! "Hih!"
Gadis bertopeng itu terkejut, ketika pedangnya
terasa bergetar hebat akibat benturan dengan
cangkul tadi. "Hiiih!"
Begitu habis berbenturan, kepalan tangan kiri
Ki Candul Wereng menderu keras menghantam
dada Bidadari Penyambar Nyawa. Dengan geraman keras, gadis itu segera menangkap
kepalan Ki Candul Wereng menggunakan telapak tangan
kanannya. Plak! Rrrt! Wanita bertopeng itu merasakan tangannya seperti menahan lontaran batu sebesar
kerbau. Namun, dia terus menggeram. Dan dengan gemas, dicobanya meremas kepalan laki-
laki botak itu sekuat tenaga.
Ki Candul Wereng agaknya tidak sudi membiarkan gadis itu berbuat sesuka hatinya.
Maka kaki kanannya segera dilayangkan ke arah pinggang. Namun tangkas sekali Bidadari
Penyambar

Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyawa membabatkan pedangnya yang telah berpindah ke tangan kiri. Ki Candul
Wereng cepat menarik pulang kakinya, sehingga babatan itu
luput dari sasaran. Dan seketika cangkulnya dihantamkan ke kepala gadis itu.
"Huh!"
"Uts!"
Dengan terpaksa Bidadari Penyambar Nyawa
melepaskan kepalan tangannya, dan langsung
melompat ke belakang. Namun Ki Candul Wereng
tidak membiarkannya begitu saja. Begitu wanita
itu mendarat di tanah, langsung dia melesat melepaskan tendangan dahsyat. Namun
Bidadari Penyambar Nyawa cepat memindahkan pedangnya ke tangan kanan, dan langsung
dibabatkan ke arah kaki laki-laki botak itu. Ki Candul Wereng
terpaksa menarik kakinya, dan memapak pedang
itu dengan cangkulnya.
Trang! Kembali Bidadari Penyambar Nyawa merasakan tangannya perih akibat benturan
senjata barusan. Namun disadari kalau kecepatan geraknya
setingkat lebih tinggi dari laki-laki botak itu. Untuk itu, hatinya agak tenang,
sehingga diam-diam
mulai mendikte lawan.
*** "Huh! Dikira aku akan betah berdiam diri saja
menonton pertarungan mereka! Jangan-jangan
malah si botak itu yang lebih dulu mendapatkan
kepalanya. Sia-sia aku datang ke sini," dengus
Nyi Durgandi. Seketika perempuan tua itu melompat tiba-tiba menyerang Bidadari
Penyambar Nyawa. Melihat keadaan itu, agaknya Ki Kermopati tidak mau ketinggalan.
"Brengsek! Jangan serakah kalian! Bisa-bisa
aku tidak kebagian apa-apa!" geram laki-laki berhidung bengkok itu, langsung
melompat pula menyerang Bidadari Penyambar Nyawa.
"Yeaaah...!"
"Setan! Apa-apaan kalian ini"!" rutuk Ki Candul Wereng kesal melihat tindakan
kedua rekannya yang ikut mengeroyok gadis itu.
"Jangan banyak mulut, Botak! Kau kira hanya
kau saja yang punya urusan dengannya" Huh!
Enak saja! Dia juga harus merasakan kemplangan tongkatku ini!" dengus Nyi
Durgandi tak kalah sengit.
"He he he...! Begitu pula aku, Ki Candul. Jangan serakah. Aku pun punya dendam
kesumat pada bocah tengil ini!" timpal Ki Kermopati.
Mendengar jawaban kawan-kawannya, Ki Candul Wereng merasa kesal sekali. Namun
dia tak mampu berbuat apa-apa, karena kedatangan mereka ke tempat ini juga mempunyai
tujuan sama. Membalas dendam pada Bidadari Penyambar
Nyawa! Sementara gadis bertopeng itu bukan main
terkejutnya mendapat keroyokan dari tiga orang
tua ini. Menghadapi Ki Candul Wereng saja, keadaannya sudah payah. Apalagi harus
menghadapi serangan mereka bertiga" Tidak heran kalau dalam waktu singkat saja terdesak
hebat "Yeaaah...!"
Ki Kermopati membentak, langsung mengayunkan tendangan ke dada Bayu. Gadis itu
bermaksud memapak kaki Ki Kermopati dengan
pedangnya. Namun pada saat yang bersamaan,
cangkul Ki Candul Wereng meluruk ke arah
punggungnya. Sementara tongkat Nyi Durgandi
mengancam kepalanya. Dengan terpaksa serangannya. ditarik, dan langsung melompat
ke samping. Dan baru saja kakinya menginjak tanah, Ki
Kermopati sudah mengebutkan tangannya.
"Hiiih!"
Ser! Ser! Mendadak saja beberapa buah pisau sebesar
jari telunjuk mendesing kencang, mengancam Bidadari Penyambar Nyawa.
"Hei"!"
Gadis bertopeng itu terkesiap dan cepat memutar pedangnya untuk menangkis.
Tring! Tring! Baru saja pisau-pisau itu berhasil dirontokkan,
saat itu juga langsung menyusul cangkul Ki Candul Wereng yang menyambar ke
pinggang wanita
bertopeng ini. Bidadari Penyambar Nyawa langsung melejit ke atas, namun tongkat
Nyi Durgandi cepat mengejarnya. Dia berusaha mengelak dengan berputaran di udara seraya
mengebutkan tangkisannya. Seketika pukulan jarak jauh dari
gadis bertopeng itu meluruk ke arah Nyi Durgandi. Namun tangkas sekali Nyi
Durgandi menghindari dengan berputaran pula. Bahkan langsung
membalas dengan sabetan tongkat hitamnya,
yang mengarah ke pergelangan tangan kiri gadis
itu. Wusss! Tak! "Akh...!"
Gadis bertopeng itu menjerit kesakitan begitu
pergelangan tangan kirinya terhantam tongkat hitam Nyi Durgandi. Dan baru saja
Bidadari Penyambar Nyawa itu mendarat di tanah, Ki Kermopati telah menyerang
dengan lemparan pisaupisau kecil yang tajam berkilat. Cepat-cepat gadis
bertopeng itu bergulingan di tanah menghindarinya, sambil memutar pedang. Pada
saat yang sama dia pun harus pula menghindari sambaran
cangkul Ki Candul Wereng. Tak ada pilihan bagi
gadis itu, kembali memapak sambaran cangkul
lebih dahulu. Tapi akibatnya....
Cras! "Uhhh...!"
Bidadari Penyambar Nyawa terpaksa merelakan pinggangnya tersambar salah satu
pisau Ki Kermopati. Untuk kedua kalinya gadis bertopeng
itu mengeluh menahan rasa sakit di pinggangnya
yang langsung mengeluarkan darah. Dan kesempatan itu dipergunakan Nyi Durgandi
sebaikbaiknya untuk menghabisi gadis itu dengan ayunan tongkatnya sekuat tenaga.
"Bocah sombong! Mampuslah kau sekarang!
Yeaaah...!"
Bidadari Penyambar Nyawa terkesiap. Keadaannya betul-betul gawat. Tidak ada lagi
tempat baginya untuk menghindari serangan. Apalagi
pada saat yang bersamaan, kedua kawan Nyi
Durgandi telah siap menghajarnya.
"Hentikan perbuatan kalian...!"
*** "Hei"!"
Ketiga tokoh tua itu terkesiap mendengar bentakan yang tiba-tiba. Dan mereka pun
langsung menghentikan serangan.
"Siapa kau"!" bentak Ki Candul Wereng garang.
"Sebentar. Rasa-rasanya aku pernah melihatmu. Kau..., kau.... Pendekar Pulau
Neraka!" ujar
Ki Kermopati seraya menuding pemuda yang baru
muncul itu. "Pendekar Pulau Neraka" He! Bocah ingusan
mau ikut campur urusanku. Hei, Bocah! Enyahlah kau dari hadapanku. Atau, kau
tidak akan sempat menyesal nantinya!" bentak Nyi Durgandi
geram. "Maafkan kelancanganku. Tapi seperti halnya
kalian, aku pun mempunyai kepentingan sama
pada wanita bertopeng berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa ini. Harap, kalian bisa
mengerti...," sahut pemuda yang memang Bayu dengan
nada agak keras.
"Huh! Persetan dengan segala urusanmu! Pergilah dari sini sebelum kemarahan kami
tertumpah padamu!" sentak Ki Candul Wereng dengan
mata melotot lebar.
"Pendekar Pulau Neraka! Lebih baik turuti saja
kata-kata kawanku ini. Semua ini demi keselamatanmu sendiri!" sambung Ki
Kermopati. "Maafkan. Tapi, aku tetap tidak bisa menuruti
kehendak kalian. Aku mendapat perintah dari
Adipati Wiriaraja untuk meringkus wanita itu dan
membawanya ke kadipaten!" balas Bayu tak mau
kalah. "Kurang ajar! Kau kira kami takut denganmu"!
Phuih! Kalau begitu lebih baik kau mampus!" geram Nyi Durgandi.
Agaknya perempuan tua itu tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia langsung
melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan ayunan
tongkatnya bertubi-tubi. Angin serangannya yang
dahsyat, membuktikan kalau segenap kemampuannya dikerahkan untuk menghabisi
Pendekar Pulau Neraka secepatnya. Setidaknya, Nyi Durgandi menyadari kalau Pendekar Pulau
Neraka bukanlah julukan kosong belaka. Dan tentu saja
dia tidak mau jatuh dalam waktu singkat di depan dua tokoh lainnya yang menonton
pertarungan mereka.
"Uts!"
Bayu dengan sigap melompat ke belakang,
sambil menundukkan kepala ketika tongkat perempuan tua itu menyambar kepalanya.
Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan sedang menari, ketika
ujung tongkat hitam itu kembali menyambarnyambar dada dan perutnya.
"Yeaaa...!"
Seketika ujung kaki kanan Pendekar Pulau Ne-
raka meluncur deras ke arah dada Nyi Durgandi.
Perempuan tua itu mengelak ke kanan, disertai
ayunan tongkatnya ke arah kepala. Bayu cepat
membungkuk begitu serangan tongkat Nyi Durgandi luput dari sasaran, kembali
kakinya menghantam ke arah perut perempuan tua itu.
"Setan!"
Nyi Durgandi memaki geram ketika tubuhnya
melompat ke belakang untuk menghindari tendangan lawan.
"Hei! Apakah kalian tidak punya otak! Lekas
bereskan gadis itu, sementara bocah edan ini bagianku!" lanjut perempuan tua
itu, membentak garang kepada dua kawannya.
Mendengar bentakan Nyi Durgandi, kedua lakilaki itu terkejut. Namun mereka
segera mengalihkan perhatian pada Bidadari Penyambar Nyawa
yang saat itu tengah bersiap pula.
"Yeaaah...!"
Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati melompat
bertarung melakukan serangan gencar ke arah
Bidadari Penyambar Nyawa. Namun....
"Tidak akan kubiarkan kalian mendahuluiku
menangkap gadis itu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang
menggema ke sekitarnya. Bahkan....
Sing! "Hei"!"
*** 8 Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat ke
arah Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati yang
hendak menyerang Bidadari Penyambar Nyawa.
Kedua orang tua itu tersentak kaget. Namun Ki
Candul Wereng yang memang berangasan, sudah
langsung mengibaskan cangkulnya untuk memapak Cakra Maut.
Krakkk! "Heh"!"
Begitu senjatanya beradu, Ki Candul Wereng
jadi terkejut sendiri. Cangkulnya ternyata putus
disambar cahaya putih keperakan milik Pendekar
Pulau Neraka. Dan belum lagi habis rasa kagetnya, senjata maut itu telah
berbalik menyerang.
Terpaksa Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati
berjumpalitan menghindarinya.
Sementara, Nyi Durgandi juga menyadari kehebatan senjata Pendekar Pulau Neraka.
Maka ketika Cakra Maut kembali melesat ke arah pemiliknya, perempuan tua itu langsung
mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah Pendekar
Pulau Neraka. Dengan begitu, diharapkan Bayu
akan kehilangan keseimbangan. Sehingga, senjatanya itu tidak mampu ditangkap.
"Hiiih!"
Namun agaknya Pendekar Pulau Neraka telah
membaca gerakan Nyi Durgandi. Maka cepat dia
melompat dua langkah. Sementara tangan ka-
nannya yang terkembang cepat dihentakkan. Seketika telapak tangan Pendekar Pulau
Neraka melesat angin kencang yang bergulung-gulung
menghantam Nyi Durgandi.
Nyi Durgandi terkejut setengah mati. Untuk
menghindar rasanya memang tak mungkin. Maka
segera telapak kirinya dikerahkan pula. Seketika
dari situ menderu angin kencang yang memapak
pukulan! Glarrr! Terdengar benturan dahsyat ketika pukulan
masing-masing beradu. Tubuh perempuan tua itu
kontan bergetar hebat akibat kuatnya benturan
kedua pukulan mereka beradu. Bukan itu saja.
Nyi Durgandi pun merasakan dirinya seperti dihantam badai gelombang yang
membuatnya terhuyung-huyung ke belakang oleh tenaga dorongan dahsyat
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Dengan mudah Pendekar Pulau Neraka menangkap kembali Cakra Mautnya yang melesat
pulang. Nyi Durgandi menggeram. Bahkan langsung menyerang kembali dengan
pengerahan seluruh kemampuannya.
Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu.
Ketika serangan datang kembali, cepat tangan
kanannya dikibaskan.
Sing! "Hei"!"
Cakra Maut langsung mendesing kencang ke
arah Nyi Durgandi dengan kecepatan bagai kilat
Perempuan tua itu terkesiap, lalu buru-buru
menggulingkan tubuhnya. Sementara tangan kanannya cepat mengibaskan tongkat
hitamnya untuk menangkis Cakra Maut. Dan....
Tras! "Yeaaah...!"
Nyi Durgandi tidak terlalu terkejut, begitu senjatanya putus disambar Cakra Maut


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun yang membuatnya terkejut, ternyata Pendekar Pulau
Neraka tiba-tiba saja telah meluruk ke arahnya.
Padahal, dia baru saja bisa bernapas lega setelah
berhasil menghindari senjata maut itu. Begitu cepat gerakan Pendekar Pulau
Neraka, sehingga
terpaksa Nyi Dugandi harus menangkisnya.
Plak! Wanita tua itu kontan merasakan tangannya
linu akibat benturan tangan barusan. Dan belum
lagi mempersiapkan pertahanan untuk menghindari serangan berikut, satu sodokan
keras tibatiba menghajar telak dadanya.
Duk! "Aaakh...!"
Nyi Durgandi menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjungkal ke tanah dan bergulingan disertai
muntahan darah segar.
"Aku tidak bermaksud mencelakakanmu, Nyi.
Tapi karena kau membandel, maka terima saja
akibatnya! Tinggalkan gadis bertopeng. Dan, pergilah dari tempat ini. Aku tidak
main-main dengan kata-kataku!" dingin terdengar suara pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Nyi Durgandi mengeluh pelan menahan geram.
Tentu saja dia akan malu besar di hadapan kedua
kawannya, karena dicundangi sedemikian rupa.
Namun mendadak saja Ki Candul Wereng melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Huh! Bocah bau kencur saja ingin bertingkah
di hadapanku! Kau akan mampus lebih dulu di
tanganku!"
"Hm!"
Bayu hanya mendengus dingin. Tubuhnya lantas bergerak ke samping menghindari
satu hantaman bertenaga dalam tinggi. Sementara tangan
kirinya bergerak menghantam untuk menjajal kekuatan tangan Ki Candul Wereng.
Plak! "Uhhh...!"
Ki Candul Wereng jadi mengeluh pelan, ketika
kedua tangannya terhantam sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka. Bisa dirasakan
kalau tenaga dalam pemuda itu kuat bukan main. Namun mana sudi kelemahannya ditunjukkan di
depan pemuda ini" Tanpa mempedulikan rasa sakit di lengannya, kembali
dihantamnya dada Pendekar Pulau Neraka dengan tendangan menggeledek berisi
tenaga dalam penuh.
"Hiiih!"
Pendekar Pulau Neraka cepat berbalik ke kanan untuk menghindari tendangan lawan.
Dan bersamaan itu juga kaki kanannya langsung menyapu kepala Ki Candul Wereng.
"Uts!"
Wusss! Cepat-cepat orang tua itu menundukkan kepala, kemudian melompat ke belakang.
Sementara Bayu sudah menjejakkan kaki ke tanah. Lalu, tubuhnya melenting dan langsung
meluruk deras dengan kedua kaki bergerak menggunting silih
berganti menyambar kepala Ki Candul Wereng.
Bukan main kagetnya orang tua itu melihat serangan aneh dari Pendekar Pulau
Neraka. Kedua kaki Bayu terus saja mengikutinya dengan serangan-serangan gencar. Dan ini
membuat Ki Candul
Wereng kewalahan. Orang tua itu berusaha menangkis secara berturut-turut.
Plak! Plak! Namun kedua kaki Pendekar Pulau Neraka
yang berturut-turut menghantam pinggang kiri
dan kanan terasa keras bukan main. Wajah Ki
Candul Wereng kontan meringis menahan sakit
akibat benturan barusan. Bahkan tubuhnya
sampai terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi
keseimbangan tubuhnya sempurna, kedua kaki
Pendekar Pulau Neraka telah bergerak menggunting lehernya erat-erat.
Tap! "Hiiih!"
Bukan main kagetnya laki-laki tua itu, mendapati lehernya telah terjepit kedua
kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun Ki Candul Wereng tidak
kurang akal. Langsung dihantamnya dada Bayu
sekuat tenaga. Sayang, Bayu pun agaknya telah
memperhitungkannya. Bahkan kedua kakinya
yang menjepit leher Ki Candul Wereng, langsung
dipererat dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya.... Kreeek! "Aaa...!"
*** Ki Candul Wereng menjerit panjang ketika
ujung lehernya patah digunting kaki Pendekar
Pulau Neraka. Dan dengan mudah Bayu mendorongnya ke belakang, dan langsung
melompat menjauhi Ki Candul Wereng. Sementara orang tua
itu langsung terjungkal ke tanah dan menggelepar-gelepar tidak berdaya dengan
mulut mengeluarkan darah segar. Tidak lama kemudian, tubuhnya diam tak berkutik.
Mati! "Biadab!" sentak Ki Kermopati, geram.
Bayu berpaling dan menatap tajam ke arah laki-laki tua yang mengeluarkan
bentakan barusan.
"Aku tidak pernah main-main dengan katakataku! Pergilah kalian selagi masih ada
kesempatan!" dengus Pendekar Pulau Neraka dingin.
Kata-kata Pendekar Pulau Neraka terdengar
menghina. Hal itu karena dia tahu betul, siapa
mereka bertiga. Ke Kermopati dan Ki Candul Wereng adalah dua tokoh hitam yang
sering berbuat sesuka hatinya kepada orang-orang tak berdosa.
Sedangkan Nyi Durgandi adalah tokoh yang tidak
jelas golongannya. Namun siapa pun tahu, wanita
itu memang ugal-ugalan. Dia suka berbuat menu-
rut hawa nafsunya saja, tapi di sisi lain suka pula
membantu orang yang lemah.
Sementara itu, Nyi Durgandi dan Ki Kermopati
berpandangan sesaat. Meski geram dan mendendam setengah mati, namun keduanya
menyadari kalau bukanlah tandingan pemuda itu.
"Pendekar Pulau Neraka! Hari ini kau boleh
menepuk dada. Tapi lain kali, kami akan membuat perhitungan denganmu!" dengus
Nyi Durgandi seraya melesat pergi dari tempat itu, diikuti
Ki Kermopati. Bayu menatap dingin ke arah mereka. Kemudian kepalanya berpaling ke arah gadis
bertopeng yang masih tetap tegak berdiri di tempatnya.
"Sekarang urusan kita berdua! Kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hadapan Adipati Wiriaraja!" kata Bayu,
dingin. "Huh! Kau kira demikian mudahnya membawaku ke sana"!" dengus gadis bertopeng
yang terkenal sebagai Bidadari Penyambar Nyawa.
"Suka atau tidak, aku telah berjanji pada Adipati Wiriaraja untuk membawamu ke
hadapannya. Dan janji seorang pendekar harus dipenuhi,
apa pun rintangannya!" tegas Pendekar Pulau Neraka.
"Hebat! Setelah menolongku, kini kau hendak
menangkapku dan menyerahkannya ke Adipati
Wiriaraja untuk diadili?" sahut gadis itu, sinis.
"Jika saja aku belum berjanji untuk menyerahkanmu hidup-hidup, tentu sudah sejak
tadi ku- biarkan kau dikeroyok tiga orang tadi. Dan aku
tinggal menunggu hasilnya saja!" kata Bayu, enteng.
"Huh! Jadi kau berharap bisa menangkapku
hidup-hidup, lalu mendapat hadiah dari adipati
itu?" sindir wanita bertopeng itu.
"Aku tidak mengharapkan hadiahnya!"
"Lalu, apa yang kau inginkan setelah menangkapku?"
"Agar orang sepertimu tidak berkeliaran, membuat keonaran di mana-mana dengan
segala dendammu yang aneh!"
"Dendam aneh"! Tentu saja, karena kau tidak
mengalami bagaimana pahitnya hidup sengsara!
Tidak punya kedua orangtua maupun saudara.
Bahkan menjadi permainan laki-laki diperkosa
beramai-ramai dan dianiaya...!" Bidadari Penyambar Nyawa berteriak kalap dengan
suara mengandung dendam hebat
Bayu tertegun mendengar kata-kata gadis itu.
Lewat celah sepasang mata topeng yang dikenakan gadis itu, bisa terlihat
kesedihan di bola matanya yang berair.
"Hm.... Bagaimana aku bisa mempercayai katakatamu" Sejak gadis kecil kau hidup
di kadipaten. Tentunya kau sudah bergelimang kebahagiaan....," gumam pemuda itu.
Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka,
kini ganti gadis bertopeng itu yang tertegun. Ditatapnya pemuda itu dalam-dalam.
"Siapa! Apa maksud kata-katamu"!"
"Tentu saja dirimu!"
"Tidak! Maksudku, dari mana kau bisa menduga kalau aku hidup di kadipaten?"
Bayu tersenyum halus. Kini dimengerti, apa
maksud pertanyaan gadis bertopeng itu.
"Semua orang mungkin bisa kau tipu. Termasuk, aku tadinya. Namun kau membuat
kesalahan besar. Aku tahu persis, siapa wajah cantik di
balik topeng itu!" sebut Bayu menekankan.
"Kau..., kau..."!"
"Ya! Aku tahu kalau Bidadari Penyambar Nyawa adalah putri Adipati Wiriaraja
sendiri. Tapi, aku tidak mengerti. Alasan apa yang menyebabkan kau berbuat seperti ini...."
"Dari..., dari mana kau...?"
Bidadari Penyambar Nyawa kembali tertegun.
Namun tiba-tiba....
"Huh! Kau bisa saja berkata sesuka hatimu.
Tapi, tidak mungkin bisa menjebakku!" sentak
gadis itu. Suaranya terdengar sinis.
"Kau memang bisa berkata begitu. Tapi telah
kukatakan, kau membuat kekeliruan besar. Tadinya aku tidak menyangka. Pada saat
tengah berjalan-jalan keluar dari kamar, kulihat sebuah
bayangan melesat keluar dari kamarmu. Maka
buru-buru aku ke sana, karena menyangka ada
seseorang pencuri berusaha menyelinap. Tapi,
ternyata aku salah duga. Ternyata yang kudapatkan bukan pencuri, melainkan
seorang wanita.
Lalu kulihat ke dalam kamarmu. Dan kau ternyata tidak ada. Kemudian kuikuti arah
kepergian- mu, dan sampailah di tempat ini," jelas Bayu.
Lagi-lagi gadis bertopeng itu tertegun. Kali ini,
dia tidak bisa lagi menutupi dirinya di depan pemuda itu.
"Kenapa kau melakukan perbuatan-perbuatan
seperti itu?" desah Bayu, mulai lunak.
Terdengar gadis itu menarik napas panjangpanjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Aku telah berkata yang sesungguhnya, mengapa membunuh orang-orang yang tidak
kusukai. Perlu kau ketahui, aku bukanlah putri kandung
Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja. Kalau ada lelaki
yang kuhormati, hanyalah beliau. Karena, Kanjeng Gusti Adipati Wiriarajalah yang
telah mengangkatku dari lembah nista. Aku memang putri
angkatnya sejak berusia lima belas tahun...," tutur Bidadari Penyambar Nyawa,
lirih. Gadis itu terdiam. Dan Bayu pun ikut membisu. Untuk sesaat mereka terjebak dalam
kesunyian. Hujan telah lama reda dan menggenangi
sawah-sawah di sekitar tempat itu yang semula
kering kerontang. Suara unggas malam yang terbang melintasi sesekali terdengar.
"Biar bagaimanapun, kau harus bertanggung
jawab atas perbuatanmu di hadapan ayah angkatmu. Kau telah membuat susah
hatinya...," suara Bayu kembali terdengar.
Gadis itu membuka topeng kayu di wajahnya.
Sehingga, kini terlihat seraut wajah cantik Kunti
Kameshawara yang tersenyum kecil tanpa makna.
"Tidak!" tegas gadis itu.
*** Bayu tidak terlalu terkejut mendengar jawaban
gadis itu. Namun sikapnya mulai bersiap, ketika
Kunti Kameshawara menudingkan pedang dengan
gerakan siap hendak menerjangnya.
"Kunti, jangan memaksa...," teriak Bayu mengingatkan.
"Sekian lama aku berguru untuk membalaskan
dendam berkarat di hatiku pada semua laki-laki
yang kurang ajar dan tidak kusukai. Sebagian
dendamku sudah terbalaskan. Namun masih banyak yang belum kuselesaikan. Aku
tidak akan berhenti, sebelum mereka semua lenyap dari muka bumi ini! Tidak seorang pun yang
bisa menghalangi niatku! Tidak juga kau!" tuding Bidadari
Penyambar Nyawa ke arah Pendekar Pulau Neraka dengan ujung pedangnya.
"Kalau demikian, tidak ada jalan lain bagiku.
Suka atau tidak, kau akan kupaksa menghadap
ayah angkatmu!" sahut Bayu menegaskan.
"Kau boleh membawa mayatku! Atau, kau yang
akan mampus di tempat ini!" dengus Kunti Kameshawara lantang.
Gadis itu sudah bersiap akan menyerang, namun....
"Anakku, Kunti.... Hentikan perbuatanmu...!"
Tiba-tiba terdengar suara halus mencegahnya.
Begitu mereka berpaling, tampaklah Adipati Wiriaraja serta Ki Aria Depa yang
didampingi kedua
anak buah terdekatnya. Tanpa ada yang tahu,
mereka telah berada di tempat itu. Melihat keha-
diran mereka, Kunti Kameshawara cepat menjura
hormat. "Ayahanda, kenapa bisa berada di sini...?"
Adipati Wiriaraja tersenyum.
"Bayulah yang memberitahukannya padaku.
Ketika kau tengah bertarung melawan muridmurid Kelelawar Setan Gantung, Bayu
kembali ke kadipaten. Dia tahu, pertarungan akan berlangsung lama. Apalagi, dia juga
melihat kehadiran tiga tokoh tua yang telah menunggumu di balik
semak-semak...," jelas Adipati Wiriaraja, seraya
melangkah mendekati.
"Ayahanda, jangan mendekat!"
Kunti Kameshawara berseru keras memperingatkan, melihat adipati itu melangkah
pelan mendekatinya.
"Kenapa, Anakku...?"
"Aku tidak pantas menjadi anakmu. Selama
ini, kau selalu memberi kasih sayang. Namun balasan yang kau terima adalah
kesusahan akibat


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbuatanku. Aku betul-betul anak tidak tahu diri dan tidak tahu berterima
kasih...," kata Kunti
Kameshawara, terdengar lirih.
"Anakku.... Setiap kesalahan besar yang diperbuat manusia selalu ada jalan
keluarnya. Yakni,
dengan kembali ke jalan yang benar dan bertobat.
Demikian juga denganmu. Aku dan ibumu akan
selalu mengganggapmu sebagai anak kami sendiri, dan akan tetap menghasihimu...,"
bujuk ayah angkat Kunti Kameshawara.
"Tidak! Aku tidak bisa membalas kebaikan ka-
lian berdua. Maafkan anakmu yang tidak berbakti
ini, Ayahanda. Juga sampaikan permintaan
maafku pada ibu. Aku belum sempat membalas
kebaikan kalian...," kembali terdengar suara lirih
Kunti Kameshawara.
"Kunti Kameshawara, Anakku.... Kembalilah ke
kadipaten. Ibumu sangat mengkhawatirkan keadaanmu...," bujuk adipati itu.
"Tidak! Aku tidak akan kembali lagi ke kadipaten. Maafkan aku Ayahanda...."
Begitu menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba
saja gadis itu mengangkat pedang pendeknya.
Dan dengan gerakan cepat, pedang itu langsung
dihujamkan ke jantungnya, tanpa ada yang bisa
mencegahnya. Crab! "Akh...!"
"Kunti! Oh, tidaaak...!"
Adipati Wiriaraja terkejut bukan main melihat
apa yang dilakukan putri angkatnya. Bayu sudah
melompat hendak mencegah, namun pedang di
tangan Kunti Kameshawara lebih cepat lagi bergerak. Disertai keluhan pelan,
gadis itu ambruk ke
tanah dengan darah menetes pelan di sudut bibirnya.
Adipati Wiriaraja cepat menghambur, menghampiri anak angkatnya yang telah ambruk
di tanah. Langsung dia berjongkok, dan menarik tubuh Kunti Kameshawara. Langsung
tubuh ramping itu disandarkan di paha kirinya.
"Anakku.... Kenapa kau harus melakukan-
nya...?" tanya Adipati Wiriaraja dengan suara pilu.
"Aku..., aku tidak punya pilihan lagi, Ayahanda. Aku tidak bisa menghapus
dendamku.... Se...,
sedangkan kau pasti tidak suka dan melarangku,
setelah mengetahui siapa sebenarnya aku. Dan...,
dan aku tidak mungkin bisa membantah per...,
perkataanmu. Maka, inilah jalan terbaik bagiku.
Maafkan aku, Ayah...," kata gadis itu terbatabata.
Dan sebentar saja Kunti Kameshawara mengejang, lalu terkulai lemah. Rupanya,
nyawa langsung melayang dari tubuhnya. Adipati Wiriaraja
tertunduk lesu sambil membelai-belai pipi anak
angkatnya. "Anakku.... Maafkan ayahmu yang tidak bisa
meredamkan dendammu. Aku memang bukan
orangtua yang baik, karena tidak mampu mendidikmu. Beristirahatlah dengan
tenang, Kunti Kameshawara...."
Suasana kembali hening beberapa saat, sebelum Adipati Wiriaraja membopong putri
angkatnya. Kepalanya lantas hendak berpaling untuk
mengucapkan terima kasih pada Pendekar Pulau
Neraka, namun....
"Ke mana dia?" tanya Adipati Wiriaraja, ketika
mendapatkan Pendekar Pulau Neraka tidak lagi
berada di tempatnya.
Ki Aria Depa menggeleng. Demikian pula kedua
anak buahnya. Rupanya, mereka semua tidak ada
yang tahu, ke mana Bayu pergi.
"Mungkin dia telah pergi, selagi. kita sibuk
memperhatikan Kunti Kameshawara. Atau juga,
karena dia tidak ingin mendapat pamrih atas apa
yang telah dilakukan pada kita. Namun walau bagaimanapun, aku amat berterima
kasih. Dan suatu saat bila bertemu kembali, akan kusampaikan
sendiri rasa terima kasihku padanya...," gumam
Adipati Wiriaraja pelan.
Malam pun semakin merambat bersama dingin. Unggas malam tidak terlihat terbang.
Mungkin hinggap mencari mangsa, atau juga telah lelah terbang ke sana kemari.
Yang terasa hanya
sunyi, seperti apa yang dipapakan. Terutama di
dada Adipati Wiriaraja.
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan: Clickers PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
Pedang Keadilan 1 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Hikmah Pedang Hijau 8
^