Pencarian

Si Gila Dari Muara Bangkai 1

Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai Bagian 1


SI GILA DARI MUARA
BANGKAI Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Si Gila Dari Muara Bangkai
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Seorang bertubuh tegap terbungkus pakaian
ketat berwarna hijau tampak berdiri tegak di sebuah batu besar sambil menatap ke
arah muara yang berair keruh di bawahnya. Rambutnya yang
panjang berkibar-kibar dipermainkan angin. Sebilah golok yang tajam berkilat
berada tepat di mukanya. Untuk sesaat terlihat, perhatiannya seperti
terpusat pada satu arah. Lalu....
"Yeaaa...!"
Tubuh laki-laki berusia sekitar dua puluh dua
tahun itu berkelebat cepat. Dan seketika golok di
tangannya menyambar kesana kemari sedemikian
hebatnya. Crak! Crok! Seketika air yang mengalir di hadapannya terlihat keruh. Lalu beberapa ekor ikan
dan kepiting tampak mengambang ke atas dalam keadaan terbelah dua. Tubuhnya kemudian kembali
melesat ke tempat semula, tanpa pernah terjeblos ke dalam air.
"Hup!"
Pemuda berbaju hijau itu mendaratkan kakinya di atas tanah. Dan matanya langsung
memandang ke bawah, seperti tidak percaya dengan
apa yang telah diperbuatnya itu. Kemudian terlihat bibirnya tersenyum-senyum
sendiri, lalu menggaruk-garuk rambutnya yang kusut masai
seperti telah lama tidak tersentuh air.
"Hei" Aku telah berhasil! Aku telah berhasil
memecahkan jurus 'Golok Angin'...!" teriak pemuda itu girang.
Kemudian kembali pemuda itu bergerak cepat,
menebas apa saja yang ada di sekitarnya. Suaranya lantang bergema dalam teriakan
keras yang membahana ke sekeliling tempat itu.
"Yeaaa...!"
Tras! Cras! Beberapa cabang pohon tampak berjatuhan
menjadi potongan-potongan kecil, begitu terkibas
goloknya. Demikian juga helai-helai dedaunannya. Lalu ketika tubuhnya berkelebat
lagi, beberapa ekor ikan dan kepiting yang berada di muara
itu langsung mengambang ke permukaan air dalam keadaan terbelah dua.
Ilmu golok pemuda itu mengandalkan kecepatan gerak yang hebat dengan tebasan-
tebasan saling menyilang. Lalu tebasan itu bergerak ke arah
yang berlawanan secara tidak terduga. Sehingga,
tubuh pemuda itu bagai terbungkus kelebatan goloknya sendiri.
Sebentar kemudian pemuda itu menutup jurusnya dan berhenti bergerak. Matanya
memandang ke sekeliling dengan wajah puas. Lalu bibirnya tersenyum-senyum
sendiri. "Ha ha ha...! Tidak sia-sia aku tinggal di tempat ini, selama sepuluh tahun!
Tunggulah kalian,
Manusia-manusia Keparat! Aku akan datang menagih hutang nyawa istri dan anak-
anakku. Siapa pun yang terlibat di dalamnya, akan mendapat
balasan yang menyakitkan dari Darmo Gandul!
Kalian telah membuatku terhina. Dan ini hanya
akan terbalas dengan nyawa kalian...!" teriak pemuda itu seraya tertawa lebar
dengan suara nyaring.
Kemudian terlihat pemuda yang bernama
Darmo Gandul itu menekuk wajahnya. Seraut bias kekejaman seperti menyatu dalam
guratan wajahnya. Goloknya lantas disimpan di pinggang.
Kemudian, kembali matanya memandang batu
besar yang berada pada jarak lima langkah di depannya. Lalu pikirannya
dipusatkan barang beberapa saat. Kini dia menarik napas panjang, seraya
membuka satu jurus. Kedua tangannya sudah
bergerak menyilang di depan dada. Sebentar kemudian, tangannya bergerak ke arah
pinggang. Dan mendadak saja, pemuda itu menghentakkan
kedua tangan ke depan.
"Yeaaa...!"
Jderrr! Brukkk! Batu sebesar kerbau di hadapan pemuda itu
kontan hancur berantakan menjadi kerikil dihantam pukulan maut yang terlontar
dari telapak tangannya yang disorongkan ke depan.
"Hua ha ha....! Hei! Pukulanku pun ternyata
sangat hebat! Ah! Sungguh dahsyat. Ha ha ha...!
Mereka akan mendapat ancaman hebat dariku!"
celoteh Darmo Gandul, bicara sendiri sambil tertawa-tawa seperti orang kurang
waras. Setelah puas tertawa, Darmo Gandul melompat lincah dari sebuah batu ke batu
lainnya. Ke- mudian dia berlari kencang, ke arah hutan kecil
yang tidak begitu jauh dari tempatnya tadi.
Beberapa saat pemuda itu berhenti, dan langsung memandang ke satu arah. Pada
jarak sepuluh langkah di depannya, terlihat sebuah gundukan tanah makam yang
agak besar. Dan di sebelahnya, terdapat dua buah gundukan tanah makam yang
berukuran lebih kecil. Dihampirinya
perlahan-lahan, lalu bersimpuh di antara ketiga
makam itu. Wajahnya terlihat muram. Dan untuk
beberapa saat kepalanya tertunduk lesu.
"Minarni, maafkan kakangmu yang tidak
mampu melindungimu...," ujar Darmo Gundul
bernada duka. "Tapi aku berjanji, manusiamanusia keparat itu akan mampus di
tanganku. Jaga anak kita baik-baik, ya" Katakan pada mereka, jangan nakal-nakal. Ah! Kalau
mereka dewasa, tentu akan gagah sepertiku. Dan si kecil
yang baru kau lahirkan, akan secantik dirimu...."
Darmo Gandul kembali terdiam, kemudian
mendadak berdiri tegak. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu dengan sorot
buas. Sesaat dia
menggeram, kemudian mencabut goloknya.
"Yeaaaa...! Mampuslah kalian! Mampusss...!
Yeaaaa....!"
Crok! Cras! Pemuda itu berteriak-teriak garang sambil
menebas ranting-ranting kayu di sekitarnya. Sebentar saja, terlihat semak-semak
berserakan tidak karuan seperti bekas dilanda topan.
Tras! Bruakkk! Pohon-pohon kecil tumbang disapu goloknya.
Demikian juga dedaunan. Darmo Gandul mengamuk hebat untuk beberapa saat Kemudian
diiringi satu lengkingan panjang, tubuhnya berkelebat
cepat dari tempat itu, menerobos hutan di sekitarnya...
Alam kembali tenang. Hewan-hewan kecil yang
tadi bersembunyi di sekitarnya kembali menampakkan diri, setelah ketakutan
melihat keganasan
lelaki itu! *** Beberapa petani yang tengah menggarap sawah ladang di pagi hari yang cerah ini
tampak tersentak kaget, ketika sesuatu melintas di pematang bagai sapuan angin kencang.
Dedaunan bergoyang-goyang dan ratusan ekor bebek yang berkumpul ribut mencari
makan, mendadak hening.
Lalu binatang-binatang itu terpaku beberapa saat
lamanya. "Astaga! Apa itu yang barusan lewat"!" desis
seseorang sambil membuka topi bambunya.
"Datangnya dari arah muara!" sahut kawannya di sawah sebelah.
"Muara" Muara Bangkai"! Hiii! Mungkin penunggu tempat itu yang sedang
berkeliaran!" sahut seorang wanita setengah baya dengan wajah
ketakutan. "Husy, kamu ada-ada saja!" umpat laki-laki
yang menyangkut caping bambunya.
"Bisa jadi, Kang Karjo!" timpal seorang kawan-
nya yang berdiri tidak jauh darinya.
"Bisa jadi bagaimana, Gimin?" tanya laki-laki
bercaping yang dipanggil Kaijo.
"Eeeh! Memangnya Kakang belum tahu
keangkeran Muara Bangkai itu?" sahut laki-laki
yang bernama Gimin balik bertanya.
Karjo menggeleng.
"Wah! Kang Karjo ketinggalan berita. Kata
orang-orang tempat itu ada penunggunya. Makhluk halus barangkali. Tidak ada
seorang pun yang berani datang ke sana. Belum lama ini kerbaunya Pak Somad kesasar ke sana.
Eh, kemudian ditemukan Kang Sujo telah menjadi bangkai
dan tinggal tulang-belulangnya saja. Kang Sujo
sempat melihat sekelebatan sesuatu yang berbentuk manusia. Dia tidak berani
memastikan dan langsung pulang buru-buru!" jelas Gimin.
Karjo termanggu mendengar penjelasan kawannya. Sekilas dia memandang ke
sekelilingnya. Tampak beberapa orang mulai meninggalkan sawah ladang dengan terburu-buru.
"Eh! Kang Dima, Pak Dudung, mau ke mana"!"
teriak Karjo. "Pulang, Jo! Ngeri... soalnya takut menjadi
korban penghuni Muara Bangkai itu!" sahut mereka takut-takut.
Dan ketika melihat Gimin langsung ikut angkat kaki dari tempatnya, Karjo pun
mengikuti dari belakang. Sementara istrinya telah lebih dulu
meninggalkannya.
Sebentar saja, persawahan itu terlihat sepi.
Dan mereka yang tadi berada di tempat ini, berduyun-duyun meninggalkannya untuk
kembali ke rumah masing-masing. Namun baru saja tiba di
pinggiran desa, tampak ramai sekali orang berlari
ke sana kemari sambil menjerit-jerit ketakutan.
"Lari! Lariii...! Ada orang gila mengamuk...!"
"Orang gila"!"
Salah seorang dari mereka, yang kembali dari
sawah termangu. Sementara yang lainnya bergegas melihat apa yang tengah terjadi.
Namun mereka dibuat terkejut sendiri, ketika
melihat banyak mayat-mayat bergelimpangan di
sana-sini. Tampak seorang pemuda berambut
panjang dan acak-acakan tengah berjalan tenang
sambil menggerogoti buah-buahan di tangannya.
Di pinggangnya terselip sebilah golok yang agak
panjang. Melihat wajahnya yang kotor dan pakaian hijaunya yang robek di sana-
sini, maka sepintas saja bisa diduga kalau pemuda itu adalah
seorang gembel.
"Ha ha ha...! Rasakan sendiri kalau hendak
mencari penyakit denganku. Kalian akan mampus! Padahal aku hanya minta sedikit
makanan. Tapi, kenapa kalian malah mengusirku seperti
anjing"!" kata pemuda itu sambil tertawa-tawa.
Pemuda gembel itu terus tertawa-tawa kegirangan melihat mayat-mayat yang
bergeletakan di
dekatnya. Lalu tanpa mempedulikan keadaan di
sekelilingnya, dia melenggang pergi dari tempat
itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah,
mendadak beberapa orang pemuda desa mengha-
dang. Rata-rata wajah mereka garang penuh kemarahan dengan masing-masing
menggenggam sebilah golok tajam terhunus.
"Gembel busuk! Kau kira bisa seenaknya bisa
pergi dari sini"! Huh! Kau harus membayar nyawa
mereka dengan nyawamu!" bentak salah seorang
pemuda yang bertubuh besar dengan pipi gemuk.
"He he he...! Hei, Babi Busuk! Minggatlah dari
sini. Dan, jangan cari penyakit kalau tidak ingin
mampus seperti mereka!" hardik pemuda gembel
itu sambil tertawa mengejek.
"Kurang ajar! Kau kira aku takut denganmu,
he"! Mampuslah kau!" geram pemuda bertubuh
besar itu, langsung menyabetkan goloknya ke
arah pemuda gembel itu.
Bettt! "Uts!"
Cras! "Aaa...!"
Cepat sekali pemuda gembel itu bergerak melompat ke samping kanan, menghindari
tebasan golok pemuda gemuk ini. Bahkan dia langsung
menyabetkan goloknya.
Kontan terdengar pekikan nyaring, sambaran
golok pemuda gembel itu mengenai sasaran dengan telak. Pemuda gemuk itu
terhuyung-huyung
ke belakang dengan tangan memegangi dahi. Goloknya pun sudah terlepas dari
genggaman. Pada
dahinya terlihat bekas tebasan golok lawan yang
terus membelah mukanya. Darah terus mengucur
deras membasahi tanah ketika tubuhnya ambruk
tak berdaya. "Hei"!"
Kawan-kawan laki-laki gemuk itu tersentak
kaget melihat teman mereka tewas dalam waktu
singkat Bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana pemuda gembel itu mencabut
golok dan langsung menebas kawan mereka. Bahkan pada
saat dia menyarungkan kembali goloknya, tidak
ada seorang pun yang mampu melihatnya.
"Hi hi hi...! Babi busuk! Kenapa malah tertidur
di situ" Bukankah kau akan membunuhku" Hi Hi
hi...! Ayo, bangunlah. Bunuhlah aku!" teriak pemuda gembel itu sambil tertawa


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejek. "Kurang ajar! Keparat jahanam! Akan kubalaskan kematian Ludiro!" dengus seorang
pemuda bertubuh agak kurus. Padahal kawan-kawannya
yang lain mulai ciut nyalinya, melihat apa yang
telah dilakukan si gembel itu.
"Hi hi hi...! Kenapa marah-marah, tolol"! Kau
hendak membalas kematian si gemuk tolol itu"
Ayo, serang aku!" sahut pemuda gembel itu tenang dan tetap tertawa mengejek.
"Setan! Terima kematianmu, yeaaa...!"
Orang bertubuh agak kurus itu langsung melesat dengan kibasan golok terhunus,
lumayan cepat gerakannya. Namun pemuda gembel itu tetap tenang-tenang saja. Tapi sedikit
lagi senjata orang kurus itu hendak membabat lehernya, dia
sedikit mengegos ke kanan.
Begitu serangan itu luput, pemuda gembel
langsung menghantam ke arah dada.
Debb! "Aaaa...!"
Pemuda bertubuh kurus itu kontan memekik
tertahan begitu dadanya mendapat satu pukulan
telak dari pemuda gembel itu. Tubuhnya langsung
terjungkal beberapa langkah ke tanah dalam keadaan luka dalam. Tulang dadanya
hancur remuk! Agaknya, pukulan pemuda gembel itu telah disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sehingga, laki-laki kurus itu tak mampu dikalahkannya. Pemuda gembel itu
memandang tajam pada laki-laki
itu. Kemudian, tatapan matanya beredar ke sekeliling.
"Siapa lagi yang mau menggangguku" Ayo,
maju!" sentak pemuda gembel itu melotot garang.
Beberapa pemuda desa itu kini betul-betul
ciut nyalinya. Dan begitu mendengar bentakan
nyaring, perlahan-lahan mereka beringsut kemudian kabur secepatnya dari tempat
ini. "Ha ha ha...! Dasar pengecut-pengecut hina.
Larilah kalian sejauh-jauhnya dari sini!" ujar pemuda gembel itu sambil
terkekeh-kekeh. Dia berlalu dengan langkah tenang meninggalkan tempat
itu, seperti tidak ada kejadian apa-apa.
*** Siang ini matahari tidak terlalu garang bersinar. Namun jalan yang dilalui
sebuah rombongan
orang berkuda terasa sangat teduh. Karena, di kiri dan kanan terbentang jajaran
pepohonan lebat
yang menaungi. Seorang pemuda yang berkuda di depan sesekali melirik ke belakang, ke sebuah
kereta kuda yang dijaga ketat oleh beberapa orang berkuda di
kiri, kanan, depan, dan belakang. Kemudian kudanya dihela perlahan-lahan.
Melihat dari gerakgeriknya, agaknya dia yang memimpin rombongan
itu. Ketika mereka melintasi jalan yang sudah
tampak sepi, salah seorang anak buahnya memacu kudanya. Langsung dibarenginya
langkah kuda pemuda pemimpin rombongan itu.
"Kakang Darsono, tempat ini agak sepi. Sebaiknya kita berhati-hati...."
Pemuda yang dipanggil Darsono tersenyum
kecil. "Adi Gundala..., kau tidak usah merasa cemas
begitu. Aku hafal daerah ini. Dan rasanya tidak
ada yang akan mengganggu kita," sahut Darsono.
"Aku mengerti, Kang. Tapi perasaanku sejak
tadi gelisah. Tidak ada salahnya kalau kita waspada. Siapa tahu ada kejadian
yang tidak terduga..." kata pemuda bernama Gundala itu.
Darsono berpikir sesaat, kemudian kembali
tersenyum. "Hm.., apa yang kau katakan memang tidak
salah. Kita dalam perjalanan mengawal putri Adipati Buntaran. Dan sudah
selayaknya bertanggung jawab penuh atas keselamatannya. Nah, katakan pada yang
lain agar berwaspada...!" kata
Darsono memberi perintah.
"Baik, Kang...!" sahut Gundala cepat seraya
membalikkan tali kekangnya. Lalu dia memberi
perintah pada yang lain.
Dalam sekejap, rombongan yang berjumlah lebih dari dua belas orang itu bersiaga
di tempat masing-masing. Dan merasakan suasana yang
sedikit tegang, sosok tubuh ramping yang berada
dalam kereta kuda menjadi heran. Lalu disibaknya tirai jendela keretanya.
Ternyata dia adalah
seorang gadis cantik bermata jeli. Sepasang alisnya yang tebal, memberi isyarat
pada seorang pengawal yang berada di samping keretanya.
"Pengawal, apa yang sedang terjadi" Kenapa
Kakang Gundala memberi perintah pada kalian
untuk berwaspada" Apakah kita sedang menghadapi musuh?" tanya gadis itu lembut.
"Ampun, Kanjeng Putri Nirmala. Sebenarnya
tidak ada apa-apa. Gundala hanya memberi perintah agar kami tetap waspada. Sebab
walaupun suasana kelihatan tenang, siapa tahu ada kejadian yang tidak terduga," sahut
pengawal itu. Mendengar penjelasan itu, gadis cantik yang
bernama Nirmala mengangguk tenang. Kemudian,
kembali ditutupnya tirai jendela kereta.
Namun baru saja mereka berjalan kurang dari
dua puluh tombak, mendadak Darsono memberi
isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan
laju kuda masing-masing. Melihat hal ini, Gundala langsung memacu kuda
mendekatinya. Dan dia
melihat tempat itu telah dikepung sekawanan perampok yang bersenjata lengkap.
Tiga orang yang
agaknya bertindak sebagai pimpinan, berdiri te-
gak di depan pada jarak lima tombak.
"Kakang Darsono, siapa mereka ini?" tanya
Gundala, sedikit cemas.
"Entahlah, Adi Gundala. Setahuku, daerah ini
bukan sarang perampok. Namun melihat gelagat,
agaknya mereka berniat jahat terhadap kita...."
"Hati-hati, Kakang! Jumlah mereka banyak
sekali...!"
Darsono diam termangu, menunggu tindakan
apa yang dilakukan kawanan itu. Tampak tiga
orang yang menghadang di depan mereka melangkah pelan mendekati. Kemudian ketika
telah berjarak lima tombak langkah ketiga orang itu
berhenti. Seorang yang berperut besar dan bercambang bawuk tebal mendekati. Di
pinggangnya banyak terselip pisau kecil. Wajahnya seram dengan sepasang mata merah menyala.
Apalagi, ketika memandang ke arah Darsono.
"Turun kalian semua!" bentak laki-laki berwajah seram itu agak serak.
Darsono tersenyum kecil. Kemudian sebelah
tangannya diangkat untuk memberi isyarat pada
anak buahnya, agar jangan menuruti perintah
orang itu. "Kisanak! Siapakah kalian, dan apa yang dikehendaki dari kami?" tanya pemuda ini
ramah pada lelaki bertubuh gemuk dan besar itu.
"Bangsat! Kau kira bisa bertingkah di hadapan
Perampok Pisau Terbang, he"! Kuperintahkan sekali lagi, turun kalian semua!
Tinggalkan segala
barang berharga yang kalian bawa, dan pergilah
dari tempat ini secepatnya kalau ingin selamat!"
hardik orang bertubuh besar itu, mengancam.
"Hm. Agaknya kalian adalah kawanan rampok
yang menamakan diri Perampok Pisau Terbang.
Apakah saat ini aku tengah berhadapan dengan
Satwa Manggala?" tanya Darsono, ingin memastikan.
"Bocah ingusan! Kau telah mengenalku. Nah,
sekarang apakah kau ingin coba-coba bertingkah
di hadapanku"!" dengus Ketua Perampok Pisau
Terbang yang dikenal sebagai Satwa Manggala
semakin galak. "Ki Satwa Manggala! Kemashyuran namamu
sering kudengar. Dan, siapa yang ingin berani
mencari gara-gara denganmu" Tapi saat ini, kami
tengah mengemban tugas dari Adipati Buntaran.
Jadi, harap kalian tidak mengganggu kami...."
"Setan! Dikira dengan membawa-bawa nama
adipati sial itu, aku akan takut, heh"! Sekalipun
kalian tengah mengemban tugas dari raja, apa
peduliku" Lekas tinggalkan barang-barang berharga yang dibawa, dan pergilah dari
sini kalau masih ingin hidup!"
"Ki Satwa Manggala, sayang sekali, kami tidak
bisa menuruti keinginanmu. Maaf..., ini adalah
tanggung jawab. Dan walau bagaimanapun, kami
tidak bisa berbuat seenaknya. Harap kau mengerti dan tidak memaksa...," sahut
Darsono pelan. "Keparat! Kalau begitu, mampuslah kalian...!"
bentak Ki Satwa Manggala seraya melompat menyerang Darsono.
Begitu melihat ketuanya bergerak menyerang,
maka sepuluh anggota Perguruan Pisau Terbang
serentak menyerang rombongan itu. Maka pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.
Meski anak buah Darsono berjumlah sedikit, namun langsung mengadakan perlawanan gigih.
Darsono langsung melompat dari punggung
kudanya, begitu tubuh lawan menerjang. Namun
Ki Satwa Manggala agaknya tidak membiarkannya luput begitu saja. Tubuhnya
langsung melenting ringan dengan kaki melayang menghantam muka. Namun Darsono
tidak kalah gesit
menghindari. Sambil mengegoskan kepala, tubuhnya berbalik. Bahkan kepalan tangan
kirinya dapat melepaskan pukulan ke arah laki-laki seram itu.
"Yeaaaa...!"
Ki Satwa Manggala cepat menangkis dengan
tangan kanannya. Akibatnya benturan keras pun
terjadi. Plakkk! Bahkan kepalan tangan kiri laki-laki bercambang bauk itu langsung menghantam
dada Darsono dengan keras.
Wuk! "Uts!"
Darsono cepat melompat ke belakang dengan
wajah kaget Angin serangan pemimpin perampok
itu kuat bukan main, dan terasa menyambar dadanya dengan kuat. Dan baru saja
hendak memantapkan kedudukannya, serangan Ki Satwa
Manggala kembali datang. Maka cepat pemuda itu
mencabut keris yang terselip di pinggang belakang.
Begitu melihat pemuda itu mencabut senjata,
cepat Ki Satwa Manggala mengimbangi. Tangannya langsung bergerak ke pinggang,
dan langsung bergerak mengibas.
Serr! Ser! Seketika beberapa buah pisau kepala perampok itu meluncur deras menghujani
Darsono. Pemuda itu jadi terkejut berusaha mengelak dari
sambaran hujan pisau yang berseliweran. Namun,
tidak urung sebuah pisau tak mampu dihindarinya. Maka....
Cras! "Oh...!"
Sebuah pisau berhasil merobek bahu kiri pemuda itu. Darsono kontan mengeluh
kesakitan, dan langsung bergulingan menyelamatkan diri
dari sambaran pisau yang masih mengejarnya.
"Hiyaaaa...!"
*** 2 Darsono cepat melenting menjauhi hujan serangan pisau Ketua Perampok Pisau
Terbang. Namun pada saat yang sama mendadak satu hantaman keras mengancam dadanya. Begitu
cepat serangan itu, hingga Darsono tak mampu meng-
hindarinya. Maka....
Diegkh! "Aaakh...!"
Pemuda itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke
tanah disertai muntahan darah segar, begitu dadanya
terhantam tendangan keras Ki Satwa Manggala.
Isi dadanya terasa akan pecah dan nyeri bukan
main. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya
bergetar dan pandangannya berkunang-kunang.
Dan belum juga keadaannya membaik, laki-laki
pemimpin perampok itu sudah kembali menyerangnya!
"Bocah keparat! Rasakan akibat kesombonganmu! Yeaaa...!"
Ki Satwa Manggala langsung melesat, melepaskan tendangan ke dagu. Sementara
Darsono hanya mampu terbeliak lebar. Dan....
Begkh! "Aaaa...!"
Kembali Darsono terjungkal ke tanah disertai
pekik kesakitan, ketika ujung kaki laki-laki setengah baya itu menghantam
dagunya. Beberapa
buah giginya kontan tanggal dan rahangnya seperti mau lepas.
Sementara, begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, Ki Satwa Manggala terkekeh seraya berkacak pinggang.
"Ayo, bangkitlah. Tunjukkan kemampuanmu!"
suara laki-laki itu terdengar sinis.
Darsono merangkak tertatih-tatih, berusaha
bangkit. Namun baru saja kembali berdiri, ujung
kaki Ki Satwa Manggala kembali menghantam.
Untuk ketiga kalinya, pemuda itu terjungkal dan
menjerit keras. Tubuhnya terkapar tanpa daya.
Entah hidup atau mati!
Sementara itu, Gundala benar-benar tidak
berdaya menghadapi keroyokan kedua pembantu
utama Ki Satwa Manggala. Meski telah mengerahkan seluruh kepandaian yang
dimiliki, tetap
saja dia tidak bisa berbuat banyak. Kedua lawan
menyerangnya bertubi-tubi silih berganti.
"Yeaaaa...!"
Salah seorang yang bersenjatakan tombak


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyapu kepala Gundala dengan ujung senjata.
Namun pemuda itu segera melompat ke belakang.
Sementara, orang yang bersenjata golok, telah
siap menyambut dengan tebasannya. Maka terpaksa Gundala menangkis dengan
kerisnya. Trakkk! "Uuh...!"
Seperti yang tadi terjadi, Gundala bisa menduga kalau tidak akan mampu menahan
tenaga yang disalurkan tebasan lawannya. Bahkan kerisnya pun sampai terlepas dari
genggaman! Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, seorang
lawannya melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Gundala menjerit keras dan tubuhnya sempoyongan begitu perutnya mendapat satu
tendan- gan keras. Namun demikian Gundala masih
mampu menjatuhkan diri, untuk menghindari
hunjaman senjata tombak lawannya yang seorang
lagi. Namun, ketika ujung kaki orang bersenjata
tombak menyapu pinggangnya dengan keras, maka terpaksa Gundala melenting ke atas
untuk menghindarinya. Sayang, pada saat itu lawannya
yang bersenjata golok mengayunkan senjatanya
cepat ke lambung. Begitu cepatnya, sehingga
Gundala tidak sempat mengelak. Dan....
"Aaaakh...!"
Gundala menjerit keras, begitu sabetan golok
lawannya menyambar pinggang. Tubuhnya kembali ambruk dengan pinggang robek
lebar. Darah tampak mengucur deras dari lukanya, bercampur
tanah dan debu. Pemuda itu menggelepar-gelepar
beberapa saat menahan sekarat, kemudian diam
tidak berkutik. Mati.
Sisa-sisa rombongan pengawal kereta kuda itu
pun agaknya mengalami nasib sama dengan kedua pimpinannya. Satu persatu mereka
tewas tanpa daya menghadapi perampok yang berjumlah banyak dan memiliki kemampuan
hebat. "Aouw...! Lepaskan akuuu, Keparat! Lepaskaaan...!"
Dalam keadaan demikian, rombongan pengawal itu dibuat terkejut begitu terdengar
jeritan wanita dari dalam kereta. Agaknya beberapa
orang anak buah Perampok Pisau Terbang berhasil menyelinap ke dalam, dan
berusaha menculik
putri Adipati Buntaran. Beberapa orang dari me-
reka berusaha menolong, namun anak buah Perampok Pisau Terbang agaknya tidak
membiarkan begitu saja. Langsung tiga orang dari mereka
menghadang dan menyerang anak buah Darsono
yang berusaha membantu.
"Hentikan langkah kalian. Dan, biarkan mereka bersenang-senang dengan wanita
itu!" hardik
salah seorang dari kawanan rampok.
"Keparat jahanam! Kalian betul-betul kawanan
binatang!" bentak salah seorang dari anak buah
Darsono. "Huh! Apa pedulimu"! Yang jelas, kalian akan
mampus hari ini, yeaaaa...!"
"Huh! Jangan kira kami takut menghadapi kalian! Walaupun harus mati, tapi kalian
tidak dapat menginjak-injak kami seenaknya! Hiyaaa!"
Crab! Crab! "Aaaa...!"
Begitu dua orang pengawal itu hendak bersama-sama menyerang, salah seorang
kawanan rampok mendadak melemparkan beberapa buah
pisau. Serrr! Mereka terkejut dan berusaha menghindar.
Namun, terlambat karena....
Seketika dua orang pengawal memekik kesakitan, ketika pisau itu menghunjam dada.
Mereka kontan terjengkang ke tanah, dengan dada mengucurkan darah.
Begitu melihat kedua kawannya tewas, para
pengawal yang tersentak kaget dan terpaku bebe-
rapa saat Pada saat itulah kawanan perampok itu
melompat menerkam bagai kawanan serigala kelaparan.
"Hiyaaaa...!"
Maka dalam waktu singkat, para pengawal
terbantai satu demi satu disertai jeritan menyayat
Sementara itu beberapa orang anak buah Ki
Satwa Manggala langsung menyeret Nirmala yang
berada di dalam kereta. Gadis itu langsung dibawa ke hadapan Ketua Perampok
Pisau Terbang. Laki-laki berperut gemuk bercambang bauk
tebal itu tersenyum lebar, begitu melihat gadis
cantik bertubuh montok di hadapannya yang meronta-ronta berusaha melepaskan
diri. "He he he...! Jadi, inikah putri Adipati Buntaran itu" Hm... cantik sekali. Dia
sangat cocok untuk jadi istriku...!" Ki Satwa Manggala menyeringai lebar, bagai
anjing liar melihat ayam kampung.
"Rampok keparat! Lepaskan aku! Kalau tidak,
ayahku akan menghukum gantung kalian!" jerit
Nirmala dengan wajah galak, mengancam kawanan rampok itu.
"He, kalian dengar itu" Ayahnya akan menghukum gantung kita!" teriak Ki Satwa
Manggala seraya memandang ke seluruh anak buahnya
dengan senyum mengejek.
Seluruh anak buah laki-laki gendut itu terbahak-bahak mendengar kata-kata
Nirmala. "Hei, Bocah! Di kadipaten sana, kau boleh
berkata begitu. Tapi di sini, hanya ada satu pen-
guasa. Perampok Pisau Terbang! Meski raja sekalipun, harus tunduk di bawah
undang-undang kami!" teriak salah seorang.
"Alam adalah milik orang-orang berhati bersih.
Maka tidak sepatutnya kawanan rampok menguasainya!" sahut sebuah suara, tiba-
tiba. "Hei"!"
*** Semua mata dibuat kaget oleh suara yang begitu keras, dan menggema ke segala
arah. Maka serentak mereka berpaling, ke arah sumber suara. Kini, tampak seorang pemuda
tampan berambut gondrong. Tubuhnya yang tegap, terbungkus
pakaian dari kulit harimau. Pemuda itu berdiri
tegak di belakang para perampok pada jarak tujuh langkah. Sikapnya tenang sekali
dan tidak peduli, ketika beberapa orang anggota Perampok
Pisau Terbang langsung melompat mengurungnya. Apalagi monyet kecil berbulu hitam
yang berada di pundaknya. Binatang itu mengejek-ejek
kawanan rampok ini dengan seringainya yang lucu. Kemudian, dia melompat-lompat
seraya menunjukkan pantatnya berkali-kali.
"Kaaaakh...!"
"Siapa kau, Bocah" Pergilah dari sini. Dan,
jangan cari penyakit selagi punya waktu!" hardik
Ki Satwa Manggala dengan suara menggelegar.
"Hm.... Boleh saja aku pergi. Tapi, kalian harus merasakan dulu, apa yang
dirasakan mereka!" sahut pemuda itu, seraya menuding ke arah
mayat-mayat yang bergeletakan di sekitarnya.
"Keparat! Rupanya kau sengaja datang untuk
mampus, heh"!" geram Ki Satwa Manggala. Langsung tangannya memberi isyarat pada
anak buahnya untuk menghajar pemuda itu.
Beberapa orang anak buah laki-laki gendut itu
langsung melompat menyerang.
"Yeaaaa...!"
Serr! Beberapa orang di antara mereka sudah langsung menggunakan senjata rahasia
berupa pisaupisau kecil yang menyambar cepat sekali. Namun
pemuda berpakaian dari kulit harimau itu hanya
tersenyum kecil, kemudian bergerak cepat sekali.
Sehingga seketika dia seperti lenyap dari pandangan. Bahkan tahu-tahu saja,
terdengar pekik kesakitan dari beberapa orang anak buah Ki Satwa
Manggala. Tiga orang dari mereka terjungkal
muntah darah! Dan ini membuat para perampok
menghentikan. serangan untuk sementara.
"Setan! Siapa kau"!" hardik Ki Satwa Manggala
mulai berhati-hati melihat sepak terjang pemuda
itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum
sinis. "Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka...!" sahut pemuda itu pelan.
Namun, cukup didengar mereka yang berada di tempat itu.
"Apa"! Pendekar Pulau Neraka...?"
Ki Satwa Manggala tersentak kaget. Demikian
pula seluruh anak buahnya. Siapa yang tidak
akan kenal nama besar Pendekar Pulau Neraka"
Sosok pemuda tampan yang belakangan ini
menggegerkan rimba persilatan dan sangat ditakuti orang-orang seperti mereka.
Tapi Ki Satwa Manggala cepat menutupi rasa
terkejutnya. Kini, raut wajahnya kembali seperti
semula. Dalam keadaan begitu, mana mau keterkejutan hatinya ditunjukkan di depan
anak buahnya. Maka sambil menyungging senyum
yang tidak kalah sinisnya, dia bertolak pinggang.
Langsung ditudingnya pemuda yang tak lain Bayu
Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
"He, Bocah! Siapa pun dirimu, mau Pendekar
Pulau Neraka atau dedemit dari neraka, pergilah
dari tempat ini! Paling tidak selagi aku masih
mengampuni jiwamu!"
"Aku tidak butuh ampunan! Tapi begitu kalian
merasakan penderitaan yang mereka alami, maka
saat itu juga aku akan pergi dari sini. Tanpa disuruh!" sahut Bayu dingin.
"Hm.... Kalau begitu, jelas. Kau memang ingin
mampus, Bocah. Maka jangan salahkan aku nantinya," ancam Ki Satwa Manggala,
sinis. Kembali tangannya memberi isyarat pada dua orang anak
buahnya, "Kebo Wungu dan Danang Selaksa! Beri
pelajaran pada bocah sombong ini!"
Kedua anak buah Ki Satwa Manggala yang
bersenjata tombak dan golok itu terdiam beberapa
saat dengan wajah ragu.
"Kalian dengar perintahku"!" hardik Ki Satwa
Manggala, berang.
"Dengar, Ki. Tapi...," Kebo Wungu yang bersenjata tombak hendak mengemukakan
alasan, namun.... "Cepat laksanakan...!" potong laki-laki gendut
itu dengan bentakan menggelegar.
"Baik..., baik, Ki," sahut keduanya serentak.
Dengan ragu-ragu terpaksa Kebo Wungu dan
Danang Selaksa membuka jurus. Mereka langsung berputar mengelilingi Bayu.
Agaknya, keduanya sadar kalau bukanlah tandingan Pendekar
Pulau Neraka. Namun begitu, mereka lebih takut
lagi terhadap Ki Satwa Manggala. Sehingga tidak
heran bila segenap kemampuan yang dimiliki
langsung dikerahkan ketika melompat menyerang
pemuda itu. "Yeaaa....!"
"Hup!"
Bayu berkelit dengan melompat ke atas ketika
mendapat serangan dari dua arah. Sebelah kakinya ditekuk menghindari tebasan
golok, sementara kepalanya merunduk untuk menghindari sapuan tombak Kebo Wungu.
Kemudian tubuhnya
berputaran indah di udara dan mendarat manis
di tanah. Kebo Wungu dan Danang Selaksa cepat
mengejar dengan serangan-serangan maut. Namun gesit sekali pemuda itu mengelak
mengegoskan tubuhnya.
"Uts...!"
Begitu habis mengegos, Pendekar Pulau Neraka cepat membuat jarak dengan membuat
salto beberapa kali. Dan begitu menjejak tanah, dia
langsung berbalik. Lalu seketika, tangan kanannya dikibaskan. Maka saat itu juga
melesat Cakra Mautnya yang merupakan senjata andalannya.
Singngng! Cakra Maut melesat bagaikan kilat ke arah
dua anak buah Ki Satwa Manggala itu. Danang
Selaksa sempat menjatuhkan diri menghindari.
Namun, Kebo Wungu berada dalam keadaan yang
sulit Dia tidak sempat menghindar, namun mencoba menangkis dengan tombaknya.
Tras! Cras! "Aaaa...!"
Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan semua
yang berada di tempat itu. Tombak Kebo Wungu
putus dan Cakra Maut terus meluncur deras merobek dadanya. Kebo Wungu menjerit
menyayat, dan kontan terjungkal ke tanah. Tepat ketika Kebo Wungu tak berkutik lagi. Bayu
kembali mengangkat tangannya. Maka, Cakra Maut kembali
melesat pulang ke tangannya.
"Hei"!"
"Keparat!" maki Ki Satwa Manggala geram.
Laki-laki gendut itu kemudian melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil
melemparkan senjata rahasianya.
Serr! Set! "Huh!"
Bayu hanya mendengus kecil, kemudian mengibaskan tangan kanannya.
Singngng! Cakra Maut yang baru saja menempel di per-
gelangan tangan Bayu kembali melesat memapak
senjata rahasia Ki Satwa Manggala.
Trass! "Uts!"
Pisau-pisau yang dilemparkan Ketua Perampok Pisau Terbang itu langsung hancur
berantakan. Bahkan senjata Pendekar Pulau Neraka nyaris merobek lehernya, kalau
dia tidak buru-buru
menjatuhkan diri.


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiyaaaa...!"
Bayu agaknya tidak sudi lagi memberi kesempatan pada laki-laki gendut itu.
Begitu Ki Satwa
Manggala menjatuhkan diri menghindari senjatanya, saat itu juga tubuhnya melesat
menyerang. Sementara tangan kanannya menangkap senjatanya yang bergerak pulang ke
tempatnya. *** Ki Satwa Manggala terkejut bukan main, dan
tidak sempat menghindar. Terpaksa tendangan
Pendekar Pulau Neraka yang berisi tenaga dalam
cukup sempurna ditangkis.
Plakkk! "Hiiih!"
Pergelangan tangan laki-laki gendut itu terasa
remuk ketika menahan tendangan Bayu. Namun
begitu serangan susulan Pendekar Pulau Neraka
masih sempat dihindarinya dengan mengegos ke
kanan. Sementara Bayu cepat berbalik. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras
menyapu pinggang Ki Satwa Manggala. Namun, laki-laki
gendut itu cepat melompat ke atas menghindari.
Melihat hal ini Pendekar Pulau Neraka cepat melenting mengikuti. Kepalan kirinya
langsung dikibaskan ke arah dada. Dan untung saja, Ki Satwa
Manggala masih sempat menangkis.
Plakk! Benturan keras terjadi, sehingga membuat Ki
Satwa Manggala terjajar. Dan belum lagi dia
mampu menguasai diri, ujung kaki Pendekar Pulau Neraka telah menghantam ke arah
perut Begitu cepat gerakannya, sehingga laki-laki itu tidak
mampu berbuat apa-apa.
Dukkk! "Aaaakh...!"
Ki Satwa Manggala memekik kesakitan, ketika
tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.
"Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka terus melesat menyerang ketika kedua kakinya baru saja
menjejak tanah. Melihat itu tentu saja para anak buah Ki
Satwa Manggala tidak tinggal diam. Sementara
mereka langsung menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tapi, Bayu agaknya tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja. Maka ketika
mengetahui kalau anak buah laki-laki gendut ini hendak membokongnya, tangan
kanannya kembali dikibaskan.
Seketika Cakra Maut melesat ke arah anak
buah Ki Satwa Manggala. Sehingga....
Tras! Cras! Brett!
"Aaaa...!"
Terdengar pekik kesakitan ketika senjata maut
Pendekar Pulau Neraka memapas lawan-lawan
yang mencoba mendekatinya. Padahal perhatian
Pendekar Pulau Neraka sendiri terus tertuju pada
pemimpin perampok itu. Tubuh mereka kontan
terjungkal. Dua orang robek perutnya, sementara
seorang lagi lehernya nyaris putus.
Sementara itu Ki Satwa Manggala cepat menangkis tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Wajahnya kontan berkerut menahan sakit, ketika
kedua kaki dan tangan mereka berbenturan.
Bayu terus mengejar dengan hantaman kepalan
tangan kiri ke arah dada Ki Satwa Manggala. Laki-laki itu segera melompat ke
belakang. Namun
tubuh Bayu telah lebih dulu berjumpalitan dengan melepaskan satu pukulan ke arah
dada. Begkh! "Aaaakh...!"
Ki Satwa Manggala memekik kesakitan begitu
dadanya telak sekali terhantam pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya
tersungkur sejauh
sepuluh langkah sambil memuntahkan darah segar. Sedangkan Bayu berjumpalitan
kembali sambil menangkap Cakra Maut yang tadi dilepaskannya. Dan begitu tangan kanannya
mengibas kembali, Cakra Maut kembali melesat ke arah
anak buah Ki Satwa Manggala yang langsung menyerang dengan pisau-pisau kecil
mereka. Sing! Tras! Breet! "Aaaa...!"
Korban kembali berjatuhan di pihak kawanan
Perampok Pisau Terbang. Kali ini, lima orang
langsung terjungkal tewas dengan leher nyaris
putus. Danang Selaksa mencoba membokong,
pada saat Bayu tengah bergerak untuk menangkap senjatanya yang berbalik pulang.
"Yeaaaa...!"
"Uts...!"
Dengan cepat pemuda itu mengegoskan kepala. Kemudian tangan kanannya bergerak
menangkis kepalan tangan kiri Danang Selaksa.
Plakkk! Danang Selaksa langsung melenguh kesakitan, ketika menangkis tadi. Namun ujung
kaki kirinya cepat mencoba menghantam lambung Pendekar Pulau Neraka. Bayu segera
melompat ke atas menghindarinya sembari menangkap kembali
Cakra Mautnya yang melesat ke arahnya.
Begitu Cakra Maut kembali ke pergelangan
tangannya, saat itu juga Bayu melepaskannya.
Seketika Cakra Maut melesat, menderu keras ke
arah Danang Selaksa. Laki-laki itu terkesiap, dan
mencoba menangkis dengan goloknya.
Trang! Namun golok itu putus disambar senjata Cakra Maut Bahkan senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka tenis menyambar lehernya.
"Aaaa....!"
Danang Selaksa hanya mampu memekik ter-
tahan. Tubuhnya kontan ambruk dengan darah
muncrat membasahi tanah.
Kini beberapa orang dari kawanan rampok itu
terkejut dan ragu-ragu menyerang Bayu. Namun
sebagian masih tetap tidak peduli. Mereka segera
menyerang dengan amarah meluap-luap.
"Bocah Keparat, mampus kau...! Yeaaa...!"
"Aaaa...!"
Bayu agaknya tidak mau bertindak kepalang
tanggung. Begitu tangan kanannya dikibaskan,
Cakra Mautnya langsung melesat memapaki serangan.
Singngng! Cras! Brett! Kembali terdengar pekik kematian yang diiringi robohnya beberapa orang anak buah
kawanan rampok. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka
kembali meminta korban. Ketika beberapa orang
kembali menyerang, maka Cakra Maut Pendekar
Pulau Neraka tenis menyambar-nyambar.
"Pendekar Pulau Neraka! Hentikan perbuatanmu...!"
Terdengar suara serak yang berteriak mencegah pembantaian itu.
"Hmmm...!"
Bayu menoleh dan tersenyum sinis ke arah Ki
Satwa Manggala yang berteriak mencegahnya. Lalu dia melompat kecil, menangkap
Cakra Maut yang melesat ke arahnya.
*** 3 Pendekar Pulau Neraka menatap Ki Satwa
Manggala dalam-dalam.
"Kenapa?" tanya Bayu bernada dingin.
Ki Satwa Manggala bangkit perlahan-lahan
sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri dengan tangan kirinya.
"Kuakui kekalahan kami. Dan, tidak perlu lagi
kau membantai anak buahku. Sudah cukup korban yang kau timbulkan...," pinta Ki
Satwa Manggala, lemah.
"Hm.... Tadi kudengar ada nada kesombongan
pada kata-katamu. Apakah Perampok Pisau Terbang saat ini telah menjadi
pengecut?" ejek Bayu.
"Pendekar Pulau Neraka! Kau boleh berkata
apa saja saat ini. Tapi, aku lebih mengutamakan
keselamatan anak buahku. Suatu saat, aku akan
menagih persoalan ini berikut bunganya!" dengus
Ki Satwa Manggala dengan hawa amarah menggelora mendengar kata-kata Bayu.
"Kisanak! Kapan saja kau hendak menagih hutang atas persoalan ini, aku akan
bersedia melunasinya sampai tuntas!" sahut Bayu mantap.
Ki Satwa Manggala menoleh sekilas ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian tangannya
memberi isyarat pada sisa anak buahnya, untuk
segera berlalu dari tempat ini. Maka begitu orangtua itu, berbalik dan melangkah
pergi, sisa anggota Perampok Pisau Terbang segera mengikutinya.
Bayu masih sempat memperhatikan beberapa
saat sampai kawanan itu lenyap dari penglihatannya. Lalu kakinya melangkah pelan
mendekati gadis yang nyaris menjadi korban kebiadaban
kawanan tadi. Tampak wajah gadis itu masih pucat menahan rasa ketakutan. Bayu
tersenyum dan mencoba meyakinkan lewat raut wajahnya
kalau tidak bermaksud jahat padanya.
"Nisanak, siapakah namamu" Namaku, Bayu.
Dan, jangan khawatir. Aku tidak bermaksud jahat
padamu...," ujar Bayu ramah.
Gadis itu memperhatikan beberapa saat Sepertinya, dia hendak meyakinkan pada
dirinya kalau apa yang dikatakan pemuda itu memang
benar. "Aku..., aku Nirmala, putri Adipati Buntaran
dari Kadipaten Karang Wates...," sahut gadis itu,
masih dilanda ketakutan.
"Hm, Nirmala.... Kini kau boleh kembali ke
tempatmu...," ujar Bayu, seraya hendak berbalik
dari melangkah pergi.
"Eh! Kisanak sendiri hendak ke mana?" tanya
Nirmala buru-buru, ketika melihat Bayu hendak
melangkah. "Aku hendak melanjutkan perjalanan...."
"Tunggu!" cegah Nirmala tiba-tiba, "Aku takut
pulang seorang diri. Kau lihat" Semua pengawalku tewas oleh mereka. Bersediakah
kau mengantarkanku sampai di kadipaten" Ayahku tentu
akan memberi hadiah yang banyak atas bantuan
yang kau berikan padaku...."
"Aku tidak mengharapkan hadiah atas apa
yang kulakukan padamu, Nirmala!" sahut Bayu
menegaskan. "Eh! Bukan maksudku menyepelekan bantuan
yang kau berikan. Tapi, anggaplah sebagai rasa
terima kasihku. Apa pun yang kau inginkan,
ayahku pasti akan mengabulkannya!" bujuk gadis
itu. Bayu tersenyum kecil.
"Baiklah. Aku akan mengantarkanmu sampai
di kadipaten. Tapi, ingat! Aku tidak akan mengharapkan hadiah apa-apa atas apa
yang kuperbuat hari ini terhadapmu!" tegas Bayu kembali.
Wajah gadis itu tampak berseri, seketika pemuda itu langsung berbalik dan
berjalan ke arah
kereta. Bergegas gadis itu mengikuti di belakangnya. Sebentar saja Pendekar
Pulau Neraka sudah
melompat ringan ke atas kereta kuda. Rupanya
Bayu hendak bertindak sebagai kusir menggantikan kusir yang telah tewas.
Sementara monyet
kecil yang tadi sempat menyelamatkan diri, kini
telah langsung melompat ke sampingnya. Binatang itu seketika berjingkrak-
jingkrak, sambil
mengeluarkan suara melengking.
"Yeaaa...!"
Bayu menghela kencang kedua kuda yang
menarik kereta, begitu Nirmala telah berada di
dalamnya. Seketika hewan-hewan itu berlari,
dengan kecepatan bagai dikejar setan. Nirmala
tersentak kaget. Nyaris gadis itu terjerembab di
dalam kereta, kalau tidak cepat berpegangan.
"Bayu! Perlahan-lahan sedikit mengendalikannya. Aku bisa terjatuh!" jerit
Nirmala. Bayu terkekeh pelan. Kemudian, kuda-kuda
itu mulai dikendalikan agar berlari dengan kecepatan biasa. Kini Nirmala
menghela napas lega.
Namun demikian, bukan berarti hatinya bisa tenang. Hatinya malah mulai
mencurigai pemuda
itu. Jangan-jangan malah pemuda itu akan membawanya ke suatu tempat Lalu..., ah!
Dia tidak mampu membayangkan kejadian buruk yang
bakal menimpanya! Tidak terasa, diam-diam gadis
itu berdoa di dalam hati.
Sementara Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak banyak bicara, dia diam
membisu selama dalam perjalanan. Padahal gadis itu telah mencoba untuk mengajaknya bicara.
Namun, Bayu hanya menjawab sepatah atau dua patah kata saja. Dan hal ini membuatnya merasa
sungkan untuk terus mengajak bercakap-cakap.
Kalau ada satu hal yang membuat gadis itu
merasa tenang, adalah karena rasa aman dalam
hatinya. Meskipun seorang diri, namun Nirmala
bisa melihat bagaimana Bayu mengalahkan kawanan Perampok Pisau Terbang yang
justru telah menewaskan seluruh para pengawalnya. Dan apa
yang diduga memang tidak berlebihan. Tidak ada
satu gangguan pun yang dialami, sejak pemuda
itu memegang kendali kereta kudanya.
Menjelang sore, kereta kuda yang ditumpangi
Nirmala memasuki kadipaten dan terus melaju ke
tempat kediaman Adipati Buntaran di tengah ko-
ta. Tidak lama kemudian, kereta kuda itu berhenti tepat di pintu gerbang
kadipaten. Nirmala menunggu beberapa saat, agar Bayu membukakan
pintu kereta baginya. Hal itu memang biasa dilakukan oleh para kusir keretanya
yang lain. Namun untuk beberapa lama, tidak terdengar suara
apa pun. Gadis itu jadi kesal sendiri. Segera dibukanya pintu kereta, lalu
kepalanya mendongak


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke tempat kusir berada. Namun dia terpaku sendiri jadinya. Ternyata Pendekar
Pulau Neraka hilang dari tempatnya berada!
*** Beberapa pengawal kadipaten yang melihat
ada kereta kuda milik kadipaten berhenti di pintu
gerbang, bergegas menghampiri. Dan mereka segera memberi penghormatan, ketika
melihat siapa yang turun dari kereta kuda.
"Kanjeng Gusti Ayu Nirmala, terimalah salah
hormat kami...!" kata salah seorang.
"Kalian lihat pemuda itu?" Nirmala malah bertanya.
"Pemuda" Pemuda yang mana, Kanjeng Gusti?" tanya seorang pengawal dengan wajah
bingung. "Pemuda tampan berambut panjang, memakai
baju dari kulit harimau" Dia bersama seekor monyet kecil berbulu hitam!" jelas
gadis itu. Beberapa pengawal memperhatikan ke sekitar
tempat itu, kemudian menggeleng lemah. Sementara seorang pengawal segera
melangkah mema-
suki rumah kediaman adipati, begitu menyadari
kalau putri junjungannya, Adipati Buntaran kembali hanya seorang diri.
"Kanjeng Gusti. Kami tidak melihat siapasiapa bersamamu...."
"Mustahil! Dia yang menyelamatkan aku dari
kawanan Perampok Pisau Terbang, dan mengantarkanku hingga tiba di sini!" tandas
Nirmala dengan wajah bingung tidak mengerti. Para pengawal yang berada di tempat itu
kembali dibuat bingung oleh kata-kata Nirmala. Dua orang dari
mereka langsung melompat ke punggung kuda
dan memeriksa di sekitarnya.
"Kanjeng Gusti Ayu, silakan masuk! Ayahanda
telah menunggu-nunggu sejak tadi...," kata seorang pengawal yang tadi memasuki
rumah berhalaman luas ini, dan melaporkan pada Adipati
Buntaran. Gadis itu melangkah perlahan. Wajahnya masih menampakkan kebingungan. Ke mana
gerangan pemuda yang bernama Bayu tadi"
Belum juga putri Adipati Buntaran itu masuk
ke rumahnya, seorang lelaki setengah baya tampak tergopoh-gopoh menghampiri
diiringi beberapa orang pengawal.
"Nirmala, anakku. Kau tidak apa-apa"!" tanya
laki-laki yang tak lain Adipati Buntaran dengan
wajah semburat kegembiraan.
Langsung dipeluknya Nirmala dengan perasaan haru. Dan gadis itu pun membalasnya
dengan hangat. "Ayah cemas ketika para pengawal melaporkan
kau kembali seorang diri! Ke mana para pengawal
yang menyertaimu?" tanya Adipati Buntaran.
"Ayahanda, ceritanya panjang. Lebih baik, kita
bercakap-cakap di dalam saja...," sahut Nirmala.
"Oh, tentu saja. Nah, mandilah lebih dulu.
Dan bersihkan tubuhmu, lalu makanlah. Kemudian baru setelah itu temui ayah di
balairung utama!" Nirmala mengangguk cepat. Sementara dua
orang wanita setengah baya yang merupakan para
pengasuhnya sejak kecil, buru-buru mengiringinya ke salah satu ruangan dari
gedung di dalam
kadipaten ini. *** Adipati Buntaran duduk di kursi besar di
ujung ruangan balairung utama. Di sebelahnya
terlihat seorang wanita setengah baya berwajah
cantik dan berpakaian mewah, didampingi seorang gadis cantik berpakaian indah.
Sementara berjejer ke kiri dan kanannya duduk bersila para
abdi setia. Di antara mereka, terlihat dua orang
panglima utama yang berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Mereka adalah Ki Dipati Unus dan Ki
Soma Nagara. Adipati Buntaran sengaja mengumpulkan para
perwiranya di ruangan ini, untuk membahas apa
yang telah menimpa putrinya sore tadi. Kedatangannya seorang diri tanpa diiringi
para pengawal, sudah membuat teka-teki yang mencurigakan.
Sekaligus, membuat cemas hatinya.
Dan ketika Nirmala menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya, semua orang
yang berada dalam ruangan mendengar dengan seksama. Beberapa kali Adipati Buntaran
tampak mengerutkan rahang, menahan amarah.
"Kurang ajar! Kawanan rampok itu agaknya
patut mendapat hajaran yang setimpal!" geram
Adipati Buntaran sambil mengepalkan kedua tangannya.
Laki-laki itu lalu memandang ke arah dua
panglimanya. "Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus! Besok
pagi-pagi sekali, siapkan pasukan pilihan. Dan,
gempur kawanan rampok itu. Sapu bersih mereka
dan jangan sisakan seorang pun!"
"Ampun, Kanjeng Gusti Adipati. Segala titah
akan hamba kerjakan secepatnya!" sahut Ki Dipati Unus.
"Maaf, Kanjeng Gusti. Bukan hamba bermaksud hendak lancang. Namun, bukankah para
kawanan rampok itu telah mendapat hukuman yang
setimpal dari pemuda yang telah diceritakan Gusti Ayu Nirmala tadi" Tentu saat
ini mereka tengah
bersembunyi, mereka pasti menduga kalau Kanjeng Gusti akan mengejar mereka. Maka
menurut hemat hamba, pekerjaan mencari-cari mereka
akan sia-sia saja. Bahkan bukan tidak mustahil,
pada saat banyak pengawal di kadipaten ini dikerahkan untuk mencari, mereka
tiba-tiba datang
menyerbu tempat ini," saran Ki Soma Nagara.
"Hm...," Adipati Buntaran berpikir sesaat, kemudian mengangguk pelan. "Apa yang
kau katakan terakhir memang benar, Ki Soma Nagara.
Namun, aku tetap memutuskan untuk mengirim
beberapa orang pilihan untuk menghajar mereka!"
"Ampun, Gusti Adipati. Sekali lagi, bukan
hamba hendak melangkahi keputusan. Namun
kalau Kanjeng Gusti tetap hendak mengirim beberapa orang untuk menyapu bersih
mereka, menurut hemat hamba itu bukanlah keputusan bijaksana. Sebab, kita tidak
tahu, sampai di mana kekuatan mereka. Bila yang dikatakan Gusti Ayu
Nirmala benar bahwa pemuda itu telah banyak
menewaskan para perampok itu, bukan berarti
kekuatan mereka lemah. Malah bisa jadi mereka
tidak membawa serta seluruh kekuatannya saat
itu. Dan kalau Kanjeng Gusti mengirimkan hanya
beberapa orang saja, hamba khawatir malah kita
yang akan tunggang-langgang...."
Adipati Buntaran kembali tercenung mendengar nasihat salah seorang panglimanya.
Apa yang dikatakan Ki Soma Nagara memang benar, serba
masuk di akal. Dia memandang laki-laki itu dengan seksama.
"Lalu menurutmu, langkah apa yang terbaik
untuk menghajar mereka?" tanyanya.
Ki Soma Nagara berpikir sesaat, kemudian
memandang Nirmala.
"Gusti Nirmala, siapa pemuda yang kau katakan telah menolongmu?"
"Kalau tidak salah, namanya Bayu. Ya, Bayu!
Aku ingat "Begitu dia menyebutkan namanya,"
sahut Nirmala. "Bayu" Hm..., bagaimana ciri-cirinya?" tanya
Ki Soma Nagara lagi.
"Dia masih muda. Dan..., tampan. Lalu rambutnya panjang dan memakai baju dari
kulit harimau. Dan senjatanya, aneh. Sebab, bisa melesat
cepat dari pergelangan tangannya, lalu kembali ke
tempatnya semula...," jelas Nirmala.
"Cakra Maut! Astaga, pasti pemuda itu Pendekar Pulau Neraka!" desis Ki Soma
Nagara, kaget "Ah! Benar sekali, Paman! Aku ingat betul saat
itu kepala perampok itu menyebutkannya demikian. Siapa sebenarnya Pendekar Pulau
Neraka itu, Paman?" tanya Nirmala.
Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam beberapa saat
"Gusti Nirmala, dia adalah seorang pendekar
hebat berkepandaian amat tinggi. Jarang ada
orang yang mampu mengalahkannya. Suatu keberuntungan bagimu bisa bertemu
dengannya...,"
sahut Ki Soma Nagara.
"Ki Soma Nagara, kembali kepada persoalan
semula. Apakah kau mempunyai cara untuk
mengatasi kawanan perampok itu?" tanya Adipati
Buntaran kembali.
Namun belum sempat Ki Soma Nagara menjawab, terdengar jeritan keras dari arah
luar. Mereka yang berada di ruangan itu tersentak kaget.
Seketika Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus
langsung melompat keluar.
*** Di halaman luas depan rumah Adipati Buntaran, tampak seorang pemuda berpakaian
compang-camping seperti pengemis tengah terkekehkekeh kegirangan melihat
beberapa mayat para
pengawal kadipaten tergeletak bermandikan darah. Beberapa orang pengawal sudah
mengurungnya, namun ragu-ragu untuk menyerang
kembali. Seperti yang disaksikan sendiri, kecepatan bergerak pemuda berambut
panjang dan awut-awutan itu luar biasa. Entah bagaimana caranya, dia mampu mencabut golok
dan menebas dahi lawan, lalu menyarungkan kembali goloknya,
dalam sekelebatan saja.
"Ha ha ha...! Lho" Lho.... Kenapa pada tidur"
Bukankah tadi kalian hendak meringkusku" Ayo,
bangun! Bangun, Geblek! Dan kalian, kenapa diam saja" Ayo tangkap aku! Ringkus
dan cincang seperti cacing! Hi hi hi...! Dasar kantung-kantung
tai tidak berguna!" celoteh pemuda gembel itu
sendiri sambil menuding-nuding ke arah mayat
yang bergeletakan, lalu ke arah para pengawal
kadipaten yang masih mengurungnya.
"Orang sinting keparat! Kau kira kami takut,
heh"! Mampus kau sekarang!" geram pengawal
itu. Dengan cepat pengawal itu melompat dan menerkam, dengan senjata tombak yang
diputar sedemikian rupa seperti kitiran.
"Yeaaa...!"
Melihat kawannya melompat, tiga orang pen-
gawal lain langsung melompat, seraya menghunuskan senjata golok panjang yang
tajam berkilat.
"Hi hi hi...! Dasar cecurut bau! Kalian kira bisa
berbuat apa terhadapku, heh"!" sahut pemuda
pengemis itu sambil terkekeh-kekeh mengejek.
"Uts!"
Begitu senjata pengawal menyambar tubuhnya, pemuda gembel itu cepat melompat ke
atas dan berputaran beberapa kali. Dan diiringi bentakan nyaring, pengemis itu
meluruk turun dengan
sabetan goloknya yang cepat bagai kilat
"Hiyaaaa...!"
Crasss! "Aaaa...!"
Cepat sekali golok itu menebas dahi keempat
lawannya, sehingga sulit diikuti pandangan mata
biasa. Bahkan keempat lawannya sama sekali tidak menyadari kalau pemuda gembel
itu mencabut senjata. Dan tiba-tiba saja mereka merasakan
sakit luar biasa di dahi. Keempat orang itu memekik menyayat, dengan pandangan
menjadi gelap. Tubuh, mereka seketika roboh bermandikan
darah. "Gila!" desis para pengawal lain dengan wajah
kaget dan mata terbelalak.
"Hi hi hi...! Ayo! Siapa yang hendak berlomba
ke neraka" Aku akan senang hati mengirim kalian
ke sana! Ayo! Yang paling cepat, itu yang paling
baik. Atau kalian ingin bersama-sama"!" sentak
pemuda gembel itu terus terkekeh-kekeh, begitu
mendarat di tanah. Matanya langsung beredar keliling, seperti menantang.
Kemudian terlihat raut wajah gembel itu berubah garang seraya melangkah ke arah
para pengurungnya dengan sikap mengancam. Namun sebelum bertindak lebih jauh.
"Kisanak, hentikan perbuatanmu...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan, membuat pemuda gembel itu
berpaling, Tampak Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus telah
berdiri tegak di depan para pengawal seraya memandang pemuda gembel itu dengan
sorot mata tajam. Wajah mereka tampak garang, memendam
amarah meluap-luap melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman ini.
"Siapa kalian, Monyet buduk"!" hardik pemuda gembel itu seenaknya.
"Kisanak. Hati-hati bicaramu, dan jaga lidahmu! Kau tengah berhadapan dengan
kedua panglima kadipaten!" ujar Ki Soma Nagara, dingin.
"Puiih! Kenapa aku harus berhati-hati kepada
dua ekor monyet buduk! Heh"! Tidak usah banyak bicara. Suruh si keparat Buntaran
itu keluar! Aku hendak mengambil kepalanya!" desis
pemuda gembel itu dengan suara garang.
"Kisanak! Kau sungguh keterlaluan...!"
"Setan belang, monyet buduk, kadal bengkak...! Tutup mulut busukmu itu! Suruh
keluar si Buntaran keparat itu! Katakan padanya, Darmo
Gandul alias si Gila dari Muara Bangkai, menagih
hutang nyawa istri dan anaknya! Ayo! Atau,
kuundang pantat kalian...?" potong pemuda yang
ternyata Darmo Gandul dan berjuluk si Gila dari
Muara Bangkai dengan suara menggelegar memekakkan telinga.
"Hm. Kau semakin keterlaluan, Kisanak. Aku
tidak bisa membiarkan perbuatanmu yang seenaknya saja...!" desis Ki Dipati Unus
tidak dapat menahan amarahnya lagi.
Namun sebelum kedua orang itu mencabut
senjatanya, Darmo Gandul telah melompat menyerang diiringi bentakan nyaring.
"Yeaaaa...!"
"Uts!"
Kedua panglima kadipaten itu tersentak kaget
melihat gerakan si Gila dari Muara Bangkai yang
cepat bukan main. Terpaksa keduanya melompat


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke belakang seraya mencabut pedang masingmasing. Namun baru saja mencabut
senjata, mendadak berkelebat angin tajam menyambar.
Buru-buru mereka menangkis
Trangngng! Kedua panglima itu kontan mengeluh kesakitan, ketika senjata mereka seperti
membentur batu cadas yang keras luar biasa. Bahkan sempat
membuat genggaman pada senjata masingmasing nyaris terlepas.
*** 4 "Hiyaaa...!"
Gembel yang menyebut dirinya si Gila dari
Muara Bangkai kembali berkelebat cepat menyerang kedua Panglima Kadipaten Karang
Wates. Sementara beberapa orang para pengawal kadipaten mencoba membokong ke arah
pemuda gembel itu. "Yeaaaa...!"
Namun tanpa berbalik sedikit pun, si Gila dari
Muara Bangkai mengebutkan goloknya ke belakang. Begitu cepat gerakannya,
sehingga para pembokong tak kuasa menghindarinya. Dan....
Trang! Cras! "Aaaa...!"
Dua orang pembokong langsung memekik kesakitan. Tubuh mereka tersungkur dengan
luka di dahi mengucurkan darah segar. Melihat hal ini
kedua panglima kadipaten itu menggeram.
"Gembel keparat! Kau akan rasakan pembalasan kami, yeaaa...!"
Ki Dipati Unus menggeram. Pedangnya segera
diputar sedemikian rupa, menyambar pinggang
Darmo Gandul. Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Soma Nagara langsung
menyerang kembali. "Hup! He he he...! Apa yang kau tebas, Tikus
busuk?" ejek si Gila dari Muara Bangkai setelah
berhasil menghindari serangan Ki Soma Nagara
dengan lompatan indah dan putarkan tubuhnya.
Namun serangan Ki Soma Nagara tidak berhenti sampai di situ saja. Pedangnya
cepat dikelebatkan ke depan, ke arah Si Gila dari Muara
Bangkai. Melihat hal ini, Darmo Gandul tidak gugup. Maka goloknya berkelebat
cepat menangkis
tebasan pedang Ki Soma Nagara yang mencoba
memapas pinggangnya.
Trang! Ki Soma Nagara jadi terjajar dua langkah tepat
ketika Si Gila dari Muara Bangkai mendarat di
tanah. Bahkan pemuda gembel itu langsung melepaskan tendangan geledek yang
begitu cepat. Akibatnya.... Dukkk! "Aaaakh...!"
Ki Soma Nagara menjerit kesakitan, begitu
ujung kaki Si Gila dari Muara Bangkai menggedor
keras dadanya. Tubuhnya kontan terjungkal ke
belakang disertai muntahan darah segar.
"Yeaaa...! Mampus kau...!?"
Geram Ki Soma Nagara mengincar kesempatan
ketika pemuda itu lengah. Pedangnya langsung
berkelebat, menyambar ke arah leher.
"Uts!"
Namun, pemuda yang disangkanya lengah itu
mudah sekali menundukkan kepalanya menghindari tebasan pedang itu. Kemudian
tubuhnya berbalik cepat menyambar pergelangan tangan Ki
Dipati Unus. Tras! "Aaaakh...!"
Panglima Kadipaten Karang Wates itu kontan
memekik, ketika pergelangan tangannya yang
memegang senjata putus disambar golok Si Gila
dari Muara Bangkai.
"Hiiih!"
Darmo Gandul alias Si Gila dari Muara Bangkai mendengus tajam. Tanpa memberi
kesempatan sedikit pun, tubuhnya melompat mengejar
panglima yang terhuyung-huyung. Dan seketika
goloknya kembali berkelebat tanpa mampu dihindari.
Cras! "Aaaa...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat, membelah angkasa yang semula sunyi. Dipati
Unus tidak mampu menghindari golok lawan yang cepat sekali menyambar dahinya. Tubuhnya
langsung terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras
mengiringi tubuhnya yang ambruk di tanah
menggelepar-gelepar.
"He he he...! Siapa yang mau menyusul" Ayo,
cepat! Cepat...!" teriak Si Gila dari Muara Bangkai
sambil memandang lawan-lawannya disertai tawa
mengejek. Ki Soma Nagara dan para pengawal kadipaten
yang tersisa, terpaku beberapa saat Para pengawal itu ragu-ragu untuk menyerang,
dan hanya mampu melirik ke arah panglima kadipaten ini.
Agaknya, mereka menunggu keputusan dari lakilaki itu.
Sedangkan Ki Soma Nagara sendiri melangkah
sambil menahan rasa nyeri di dadanya. Kemudian
langkahnya berhenti di depan pemuda gembel itu
pada jarak lima tombak.
"Kisanak! Di antara kita tidak ada urusan apaapa...."
"Diam mulutmu, Kodok Buduk! Tahu apa kau
dengan segala urusanku"! Panggil si keparat Buntaran, dan menyingkirlah dari
mukaku!" sentak
pemuda gembel itu memotong pembicaraan Ki
Soma Nagara dengan suara menggelegar.
Sementara itu, Ki Soma Nagara berusaha untuk bersabar. Dia mengulur waktu,
dengan mengajak pemuda gembel itu bercakap-cakap. Dan
ketika seorang pengawal yang baru saja kembali
dari dalam bangunan megah itu memberi isyarat,
dia langsung mengerti.
Sementara itu, Adipati Buntaran bukannya tidak mengerti gelagat. Dan ketika
dikabari bahwa,
salah seorang panglimanya tewas, adipati itu segera mengungsikan istri serta
putrinya keluar dari bangunan kadipaten lewat jalan belakang. Lakilaki berusia
lebih dari setengah baya itu menyadari akan kepandaian pemuda gembel yang telah
berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai. Walaupun
seluruh pengawalnya menyerang, rasanya pemuda itu masih mampu mengatasi. Bahkan
mampu menghabisi mereka dengan cepat
Namun, agaknya Si Gila dari Muara Bangkai
bukannya tidak mengerti gelagat. Apalagi ketika
pendengarannya yang tajam mendengar ringkikan
kuda dari arah belakang istana kadipaten. Maka
dengan wajah geram, tubuhnya melompat ke atas
atap istana disertai ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah cukup tinggi.
"Setan Alas! Jangan coba-coba kabur dariku,
heh!" dengus Si Gila dari Muara Bangkai.
"Pemuda gembel! Kau masih berurusan denganku! Jangan coba-coba kabur! Serang
dia...!" teriak Ki Soma Nagara seraya melompat menghadang, setelah memberi perintah pada
sisa pengawal kadipaten. Seketika ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan pula.
*** Darmo Gandul, menggeram melihat Ki Soma
Nagara menghadang. Bahkan langsung menyerangnya. Maka tubuhnya langsung melesat
cepat bagai sapuan angin kencang disertai kelebatan
goloknya yang cepat bukan main. Beberapa orang
pengawal kadipaten langsung roboh sambil memekik kesakitan. Dan ini membuat Ki
Soma Nagara terkejut setengah mati.
"Yeaaaa...!"
Satu sambaran kencang dari Si Gila dari Muara Bangkai mengancam tubuh Ki Soma
Nagara. Maka dengan cepat panglima itu menyabetkan
pedangnya untuk menangkis.
Trang! "Uhh...!"
Tangan Ki Soma Nagara langsung bergetar hebat dan telapak tangannya terasa nyeri
bukan main. Bahkan nyaris pedang dalam genggamannya terlepas, ketika senjatanya beradu
dengan golok Darmo Gandul.
Dan belum juga Ki Soma Nagara mampu menguasai diri, ujung kaki Si Gila dari
Muara Bangkai menghantam ke arah dada. Maka, dengan sebisabisanya panglima itu melompat ke
belakang. Namun Darmo Gandul agaknya tidak sudi memberi
kesempatan pada laki-laki itu lagi. Maka cepat
tubuhnya melesat sambil mengayunkan goloknya,
selagi panglima itu belum mantap keseimbangan
tubuh. Sehingga....
Wusss! Bress! "Aaaa...!"
Ki Soma Nagara kontan memekik kesakitan,
begitu golok Darmo Gandul menyambar batok kepalanya. Tubuhnya langsung
terjungkal roboh
dengan batok kepala nyaris terbelah. Sementara,
tubuh Si Gila dari Muara Bangkai terus melesat
bagai kilat ke belakang, tanpa mempedulikannya.
Namun, sisa para pengawal kadipaten rupanya
terus mengejarnya.
"Buntaran keparat! Kau kira bisa kabur dariku, heh"!" bentak Si Gila dari Muara
Bangkai nyaring begitu melihat sebuah kereta yang berlari
kencang. Maka seketika dikejarnya kereta kuda
itu, disertai ilmu meringankan tubuhnya. Begitu
cepat lesatan tubuh Si Gila dari Muara Bangkai,
sehingga sebentar saja sudah hampir mendekati
kereta kuda itu. Kemudian....
"Heyaaa...!"
Kedua ekor kuda yang menarik kereta langsung meringkik nyaring dengan kedua kaki
depan terangkat tinggi, ketika sebuah tenaga dahsyat
menyentak laju kereta. Bahkan tiba-tiba saja....
Crass! "Hieeee...!"
Kedua ekor kuda itu menggelepar tanpa daya,
ketika kedua kaki depannya terpapas putus oleh
kelebatan senjata Si Gila dari Muara Bangkai.
Sementara kereta yang ditarik terjungkal diiringi
jerit ketakutan penumpang di dalamnya. Sedangkan laki-laki setengah baya yang
tak lain adalah
Adipati Buntaran ikut terjungkal, tak mampu
mengendalikan kereta kudanya. Dia memang bertindak menjadi kusir, untuk
menyelamatkan anak-istrinya. "Kakang...!"
"Ayaaah...!"
"He he he...! Buntaran keparat! Akhirnya kau
harus menerima pembalasan akibat perbuatanmu
terhadap keluargaku tujuh tahun lalu. Hari ini,
kau tidak akan bisa lolos dari tanganku...!" desis
pemuda gembel itu seraya berdiri tegak di depan
tiga orang penumpang kereta kuda yang terjungkal itu. Tawanya panjang menggema
ke seluruh tempat ini penuh rasa dendam dan amarah.
Adipati Buntaran hanya menggigil ketakutan.
Demikian pula kedua wanita yang memeluknya
erat-erat "Si... siapa kau..."!" tanya adipati itu, terga-
gap. "Hei"! Masih berlagak lupa rupanya" Aku
Darmo Gandul, Setan! Tujuh tahun lalu, kau menyuruh beberapa pendekar
mengeroyokku. Mereka menyiksa dan memperkosa istriku beramairamai. Kemudian
anakku pun dibunuhnya. Semua itu karena kau, Keparat! Hari ini pembalasan
telah tiba, dan dimulai darimu. Kau akan menerima buah dari perbuatanmu! Siapa
menabur angin, dia akan menuai badai!" dengus Darmo Gandul dengan wajah kelam.
"Darmo Gandul" Ah, ya...! Aku ingat. Kau adalah perampok yang sering berbuat
kerusuhan. Dan kau juga sering memperkosa gadis-gadis serta wanita-wanita cantik di
kadipaten ini, tanpa
mempedulikan istri orang lain atau bukan!" sahut
Adipati Buntaran berusaha menenangkan diri.
"Phuih! Aku tidak peduli pembelaanmu. Tidak
seharusnya sebagai adipati yang bijaksana kau
berbuat begitu. Kau tidak merasakan, bagaimana
siksaan yang kualami. Dan kini, kau akan merasakannya, Setan! Kau akan
merasakannya, Keparat! Ha ha ha...!"
Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terbahakbahak. Bahkan goloknya langsung
dicabut dengan sikap mengancam. Namun saat itu juga, para
pengawal kadipaten telah berdatangan dan mengepung tempat itu. Bahkan mereka
langsung melompat menyerang Si Gila dari Muara Bangkai.
"Gembel keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!"
"Huh!"
Si Gila dari Muara Bangkai mendengus geram.
Tubuhnya segera melompat cepat sambil mencabut golok, yang langsung dikelebatkan
dengan cepat Srak! Craass! "Aaaa...!"
Dua orang langsung terjungkal roboh tidak
berdaya dengan darah memancur deras dari kening. Kini Si Gila dari Muara Bangkai
mengamuk sejadi-jadinya.
Sementara pada saat itu juga, Adipati Buntaran mencari kesempatan untuk
meloloskan diri,
namun menyuruh Nirmala bergegas lebih dulu.
"Cepat! Selamatkan dirimu, anakku! Lari! Larilah sekuat tenagamu...!" teriak
Adipati Buntaran.
Begitu mendapat kesempatan. Darmo Gandul
melompat cepat untuk menghadang. Namun beberapa orang pengawal mencoba


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghalanginya.
Bukan main geramnya pemuda gembel itu. Seketika goloknya berkelebat cepat
menyambar mereka. Maka kembali terdengar jeritan panjang yang
menyayat "Aaaa...!"
"Hiyaaaa...!"
Darmo Gandul terus berusaha mengejar Nirmala yang berlari kencang meninggalkan
tempat itu. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, melihat ke arah kedua orang tuanya
yang mencoba membantu menghadang pemuda gembel itu. Berat rasa hatinya meninggalkan mereka.
Namun ayahnya terus memaksa. Gadis itu mengerti, apa
yang akan terjadi terhadap kedua orang tuanya.
Dan ini membuat hatinya pilu. Dengan tangis
panjang dan air mata berlinang, gadis itu terus
berlari menyusuri jalan setapak dan menembus
kegelapan malam di balik pepohonan rimbun.
"Darmo Gandul! Kau berurusan denganku!
Jangan ganggu anakku...!" teriak Adipati Buntaran.
Adipati itu cepat mengejar, dan langsung
menghadang Darmo Gandul dengan keris terhunus. Namun, Si Gila dari Muara Bangkai
tentu saja tidak sudi niatnya terhalang. Maka goloknya
langsung dibabatkan, menghadang keris adipati
itu. Trang! Adipati Buntaran terkejut setengah mati. Kerisnya langsung terlepas dari
genggaman dihantam golok Darmo Gandul. Bahkan tubuhnya
sempat terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi
dia sempat menguasai diri, satu tendangan keras
menghantam dadanya.
Dukk! "Aaaakh...!"
Terdengar jeritan kesakitan dari Adipati Buntaran. Laki-laki setengah baya itu
terjungkal ke belakang sambil menyemburkan darah segar dari
mulutnya. "Kakang...!"
Nyai Buntaran langsung menubruk suaminya
yang tengah megap-megap tidak berdaya, disertai
jeritan memilukan.
"Gembel hina, mampus kau...!" bentak sisa
pengawal kadipaten yang semakin kalap melihat
kelakuan Si Gila dari Muara Bangkai.
Darmo Gandul semakin geram. Wajahnya terlihat semakin kelam. Dengan melompat
bagaikan sapuan angin kencang, tubuhnya menyelinap ke
arah para pengawal. Sesaat kemudian, terdengar
pekik kematian yang disusul robohnya tiga orang
lawan. Berikutnya, dua orang kembali roboh. Sementara tubuh pemuda gembel itu
melenting ke arah belakang, ketika dua orang pengawal yang
tersisa menyerbu sekaligus. Lalu....
"Yeaaa...!"
Gras! "Aaaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan, ketika kedua pengawal kadipaten roboh
bersimbah darah
tersabet golok pemuda gembel itu. Darmo Gandul
kini mulai menyarungkan goloknya cepat, kemudian memandang ke arah suami-istri
itu dengan wajah menyeringai.
"Sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa
menolongmu...," ujar Si Gila dari Muara Bangkai,
dingin. "Bunuhlah kami! Bunuhlah kami...! Aku tidak
takut mati...!" teriak Adipati Buntaran kalap.
"Membunuhmu" Membunuh kalian..." Ha ha
ha...! Itu terlalu enak bagimu, Setan! Kau akan
merasakan mati perlahan-lahan dan amat menderita lahir batin...!" teriak Darmo
Gandul terbahak-
bahak. Kemudian Si Gila dari Muara Bangkai menghampiri keduanya perlahan-lahan. Namun
sebelum sempat berbuat sesuatu,
"Gembel hina, hentikan perbuatanmu...!"
"Hei"!"
Terdengar bentakan nyaring, yang membuat
Darmo Gandul tersentak. Dan dia langsung berpaling ke arah datangnya suara.
*** Tepat empat tombak di depan Si Gila dari Muara Bangkai, tegak seorang lelaki
berusia sekitar
empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar, terbungkus pakaian kelabu. Sebilah
pedang, tampak tersampir di punggungnya. Rambutnya yang panjang digelung ke atas. Sambil
melipat kedua tangan di dada, matanya memandang ke arah Si Gila
dari Muara Bangkai dengan sorot tajam menusuk.
"Ah! Aku kenal kau! Aku kenal kau...! Gajah
Bengkak yang sebentar lagi akan menyusul yang
lain. Hi hi hi...! Suatu kebetulan yang amat kuimpikan kau datang ke sini.
Sehingga, aku tidak susah payah lagi mencarimu!" oceh pemuda gembel
itu sambil tertawa kegirangan.
"Kau berani lancang kepada Gajah Lanang,
gembel keparat! Dan, rupanya kau masih hidup
juga, heh"! Hari ini, aku akan membereskanmu
sehingga tidak bergentayangan lagi!" sahut lakilaki bernama Gajah Lanang dengan
nada lantang. "Hi hi hi...! Gajah Bengkak! Bicara apa kau"
Ajal sudah di ambang mata, tapi masih mengoceh
seperti orang gila. Mana kawan-kawanmu yang
lain" Kenapa tidak disuruh ke sini mengeroyokku" Ayo, panggil mereka. Dan,
keroyok aku seperti dulu. Kali ini, lebih mudah dan cepat rasanya
membereskan kalian...!" sahut Si Gila dari Muara
Bangkai. "Phuiih! Menghadapi orang sinting sepertimu,
tidak perlu banyak orang! Cabutlah golokmu, agar
persoalan lebih cepat selesai!" desis Gajah Lanang
seraya meraba gagang pedangnya.
Sring! Gajah Lanang sudah langsung mencabut pedangnya.
"Hi hi hi...! Tujuh tahun lalu saja, kau tidak
akan mampu menghadapiku seorang diri. Sehingga, perlu meminta bantuan kawan-
kawanmu. Apalagi, saat ini. Hi hi hi...! Hei, Buntaran keparat! Sungguh beruntung kecoa
ini datang, sehingga nyawamu bisa sedikit diperpanjang!" ejek
Darmo Gandul terkekeh-kekeh.
"Adipati Buntaran! Tenangkanlah hatimu. Sebentar lagi, keparat ini akan
kumusnahkan dari
muka bumi!" teriak Gajah Lanang.
"Syukur kau cepat datang, Sobat. Gembel busuk ini hampir saja merenggut nyawa
kami...," sahut Adipati Buntaran dengan wajah sedikit lega.
"Hi hi hi...! Bukan hampir, Buntaran goblok!
Tapi, aku hanya meluangkan waktu sedikit. Nah,
Gajah Lanang. Ayo seranglah aku. Dan, buktikan
kata-katamu!" teriak Darmo Gandul menimpali.
"Keparat! Lihat serangan...!" geram Gajah Lanang seraya melompat menyerang.
Namun Darmo Gandul gesit sekali mengelak
dengan meliuk-liuk indah. Sementara derit angin
serangan laki-laki bertubuh besar itu menyapu
seluruh tubuh Darmo Gandul dari kaki hingga
rambut. Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus
meliuk-liuk bagai penari sambil tertawa-tawa keras mengejek. Bukan main panasnya
Gajah Lanang diremehkan demikian rupa. Namun sesungguhnya dia kagum melihat
pemuda gembel itu.
Setelah tujuh tahun berselang, tanpa diduga kepandaian Darmo Gandul maju
demikian pesat.
Buktinya, seluruh kepandaiannya telah dikerahkan namun belum mampu menyentuh
bajunya sekali pun. "Sekarang giliranku, Gajah Lanang! Lihat serangan...!" bentak Si Gila dari Muara
Bangkai. Tring! Secepat kilat Darmo Gandul mencabut golok,
secepat itu pula dikelebatkan ke arah perut Gajah
Lanang. Laki-laki bertubuh besar itu terkesiap
dan cepat menangkis dengan pedangnya.
Trang! Benturan kedua senjata membuat kulit telapak tangan Gajah Lanang terasa perih
dan terkelupas. Dan belum lagi sempat menyadari, mendadak satu tebasan kilat
menyambar dahinya.
Crasss! "Aaaa...."
Gajah Lanang kontan memekik kesakitan dengan tubuh roboh bermandikan darah.
Tangannya terus memegangi luka menganga di dahinya,
sambil menggelepar-gelepar meregang nyawa.
"Hi hi hi...! Mampus kau, mampuss...! He he
he...! Sekarang pertunjukan berikutnya, setan
Buntaran!" teriak Si Gila dari Muara Bangkai
dengan mata memandang tubuh Gajah Lanang.
Tepat ketika tubuh Gajah Lanang diam tak
berkutik lagi, Si Gila dari Muara Bangkai mengalihkan pandangan ke arah Adipati
Buntaran yang belum juga pergi dari tempat ini. Bahkan ketika
pemuda gembel itu melompat ke arah istrinya, dia
hanya terkesiap saja. Cepat sekali Si Gila dari
Muara Bangkai menyambar istri Buntaran, dan
memeluknya erat-erat.
"Aouw! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Keparat...!" teriak wanita itu mencoba
berteriak-teriak
dan melepaskan diri.
"Lepaskan istriku, Keparat...!" teriak adipati
itu, begitu tersadar. Seketika adipati itu melompat
cepat, hendak membebaskan istrinya.
Namun tanpa diduga ujung kaki pemuda itu
menghantam dadanya.
Dukkk! "Aaaakh...!"
Laki-laki setengah baya itu kembali tersungkur disertai muntahan darah kental.
"He he he...! Seharusnya anakmu yang cantik
dan montok itu menjadi bagianku. Tapi, tidak
apa. Karena, istrimu pun masih memenuhi sya-
Misteri Desa Siluman 2 Gento Guyon 13 Dedel Duel Pendekar Bodoh 11
^