Pencarian

Bidadari Selendang Ungu 1

Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu Bagian 1


BIDADARI SELENDANG UNGU Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Bidadari Selendang Ungu
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Wanita bongkok itu berlari seperti Kancil, me-
lompat menuruni lembah dan mendaki bukit di Pegu-
nungan Penangunggungan yang letaknya di sebelah
Selatan kota Surabaya. Tongkat di tangan kanannya
merupakan sebuah tumpuan, mana kala ia hendak
melompat. "Hoop, ya...!"
Tubuh bongkok itu dengan ringan melompat
dari tebing satu ke tebing lainnya. Hal itu menunjuk-
kan betapa ilmu meringankan tubuhnya telah menca-
pai tarap yang sempurna.
Di atas sebuah bukit ia berdiri memandang ke
sebuah kampung yang terpapar di muka. Kampung
itulah yang hendak ia tuju, bernama kampung Wates.
Manakala ia memandang kampung itu, seketika piki-
rannya melayang jauh. Tak terasa matanya berkaca-
kaca seperti hendak menangis.
Angannya kembali menyusut ke belakang pada
dua puluh lima tahun yang silam. Pada kejadian yang
sampai sekarang membekas di tubuhnya.
Kala itu seorang pemuda mengaku-aku sebagai
adik seperguruan datang ke gubugnya.
Pemuda itu sungguh tampan raut mukanya
hingga membuat bunga-bunga desa Wates banyak
yang senang. Mereka berusaha mengambil hati Loh
Gantra, namun sejauh itu Loh Gantra seperti berusaha
menolak. Loh Gantra merupakan pemuda supel, ramah
tamah dan suka bergaul. Tak aneh jika Loh Gantra
banyak yang menyukai termasuk dirinya. Suatu hari
manakala mereka tengah berlatih ilmu silat, tiba-tiba
Loh Gantra bertanya: "Kakang ayu, bilakah kakang ayu pernah jatuh cinta?"
Tersentak Sandi Antini mendengar pertanyaan
Loh Gantra hingga dengan segera ia menghentikan la-
tihannya. "Apa maksud pertanyaanmu, Loh?"
"Tidak apa-apa, Kakang ayu. Aku hanya ber-
tanya," jawab Loh Gantra.
"Apakah kau tengah jatuh cinta, Loh?" Sejenak Loh Gantra memandang ke arahnya
dengan takut-takut. Hal ini menjadikan Sandi Antini mengernyitkan
keningnya. Dan mana kala Loh Gantra mengangguk
lemah, Sandi Antini kembali bertanya.
"Bila kau merasakan cinta, apakah kau tahu
arti sesungguhnya dari cinta itu, Loh?"
Loh Gantra untuk kedua kalinya hanya me-
mandang pada Sandi Antini.
"Kenapa kau memandangku begitu, Loh" Apa-
kah kau baru sekali ini melihatku?"
Untuk ketiga kalinya Loh Gantra hanya terdiam
memandang tajam pada Sandi Antini, sepertinya Sandi
Antini merupakan orang asing di dalam benaknya. Hal
itu makin membuat Sandi Antini bingung.
"Loh, kau jangan membuat aku makin tak
mengerti. Kalau ada sesuatu yang ingin kau katakan
padaku, katakanlah!"
Mendengar ucapan Sandi Antini, seketika ke-
ringat dingin mengalir deras membasahi kedua peli-
pisnya. Matanya yang sedari tadi menatap tajam pada
Sandi Antini, seketika berubah redup. Dari sela-sela
sudut matanya, meleleh butiran-butiran kristal putih.
Trenyuh hati Sandi Antini melihat Loh Gantra
menangis, walau ia tak mengerti apa yang ditangisi
Loh Gantra, namun hatinya sebagai seorang wanita
mengerti apa yang dirasakan oleh adik seperguruan-
nya. Dan oleh karena ia telah tahu hal sebenarnya
yang telah tersirat di hati Loh Gantra menjadikan pe-
rasaannya seketika menjerit. "Ampun Guru! Adakah semua ini merupakan hukuman
bagiku" Pantaskah,
kalau aku membiarkan adik seperguruanku menderita,
karena sesuatu yang kini berbunga di hatinya" Dan
apakah aku tak berdosa bila melayani cintanya?"
Walaupun hati kecilnya menjerit, namun seba-
gai seorang pendekar pantang baginya untuk menun-
jukkan hal sebenarnya. Maka dengan keteguhan prin-
sip, Sandi Antini pun kembali berkata.
"Katakanlah, Loh! Katakanlah! Siapakah bunga
yang telah menyentuh hatimu?"
Loh Gantra tak segera menjawabnya, malah
kembali ia memandang tajam pada Sandi Antini. Sete-
lah beberapa saat kedua kakak beradik seperguruan
itu saling pandang terdengarlah suara Loh Gantra le-
mah berkata: "Ampun, Kakang Ayu. Mungkin akulah
adik yang tak tahu diri. Kalau boleh adik berterus terang, bunga yang telah
menyentuh hatiku tak lain dan
tak bukan ayulah orangnya."
Bagai tersengat kala. Seketika Sandi Antini
membelalakkan matanya, walau ia sebenarnya telah
menyadari dari semula. Perasaannya sebagai seorang
wanita, menjadikannya merasa terharu. Kebimbangan,
terharu, senang, beraduk menjadi satu di hatinya. An-
tara perasaan di hatinya dengan, kenyataan, menjadi-
kan Sandi Antini bingung harus memilih. Maka hanya
dengan berlari pergi ke gubugnya yang dapat ia laku-
kan sebagai tumpuhannya.
Tercengang Loh Gantra melihat itu hingga ia
untuk sesaat hanya memandang dan memandang ke-
pergian kakak seperguruannya. Setelah tersadar dari
ketidak mengertiannya, Loh Gantra segera mengikuti
langkah kakak seperguruannya, masuk ke dalam gu-
bug Di dalam gubug ditemuinya Sandi Antini yang
tengah duduk merenung menunduk muka dan meno-
pang dagu. Perlahan Loh Gantra berjalan mendekat,
sampai-sampai tak terdengar langkah kakinya.
Dengan tangan yang agak bergetar karena ge-
metar, Loh Gantra lembut mengusap pundak Sandi
Antini. Namun begitu, usapan itu terasa juga oleh
Sandi Antini. Seketika Sandi Antini memandang ke
arah Loh Gantra yang tertunduk tak berani menantang
pandangannya. "Kakang Ayu, apakah kakang ayu marah pada-
ku" Apakah salah bila aku mencintaimu, Kakang?"
tanya Loh Gantra perlahan, yang dijawab dengan ge-
lengan kepala oleh Sandi Antini. Perlahan namun pas-
ti, kedua kakak beradik seperguruan itu saling pan-
dang. Tak terasa benih cinta bertaburan di hati kedu-
anya. Walau hanya lewat tatapan mata, keduanya te-
lah mengerti segalanya. Mengerti apa dan untuk apa
mereka dipertemukan.
Lembayung senja telah merona, mengiringi la-
rian waktu bagaikan memburu. Meredup bayang-
bayang pepohonan, menyanyi riang burung pulang
kandang. Ketika perahu nelayan berlabuh, berlabuh
juga cinta di hati mereka.
* * * Hari-hari mereka lalui bersama dengan segala
suka dan duka. Kesepian hati yang dulu mereka alami,
kini tak ada lagi, berubah menjadi tembang-tembang
dengan syair cinta.
Pagi itu keduanya tampak tengah berlatih silat,
maka kala terdengar suara suitan yang melengking ke-
ras. Suitan itu menggema di bebatuan, menjadikan
keduanya seketika menghentikan latihannya.
"Siapakah yang sepagi ini telah berbuat begitu,
Kakang Sandi?" tanya Loh Gantra, seraya matanya tajam memandang pada arah asal
suara itu. "Entahlah... Tapi yang jelas orang itu hendak
berbuat jahat. Maka berhati-hatilah," jawab Sandi Antini, dengan siaga menghunus
pedang dari sarungnya
yang tergantung di pinggang. "Hoi! Siapa Ki Sanak yang sepagi ini telah
bercanda?"
Tak ada jawaban yang terdengar, hanya desau
angin pagi saja yang bergesek dengan daun-daun
bambu. Membeliak mata Sandi Antini dan Loh Gantra,
demi tak ada jawaban dari orang yang bersuit.
"Suuiitt...!"
Untuk kedua kalinya terdengar suara suitan.
Loh Gantra yang berjiwa panas dengan penuh
kekesalan membentak: "Setan alas! Rupanya ia sengaja hendak mempermainkan kita!"
Srang! Dihunusnya pedang. Dengan langkah mantap
bagaikan seorang prajurit perang yang gagah berani,
Loh Gantra bermaksud mendatangi asal suara itu ka-
lau saja Sandi Antini tak segera mencegahnya.
"Jangan, Loh!"
"Tapi mereka sangat keterlaluan, Kakang."
"Biarkan, apa yang hendak mereka mau."
"Keresek! Keresek!" Terdengar suara daun-daun kering diinjak.
Sandi Antini seketika memasang telinganya ta-
jam-tajam mengintai. "Hem, ada sekitar sepuluh
orang," gumamnya dalam hati. Tangannya yang meng-genggam pedang, senantiasa siap
siaga "Suuuiiittt!"
Suitan ketiga terdengar bersamaan dengan ber-
kelebatnya sosok-sosok tubuh dari balik semak-semak
yang langsung mengurung keduanya.
Terbelalak mata Sandi Antini dan Loh Gantra
mana kala melihat orang-orang bercadar seperti ninja.
Mata keduanya menatap tajam bagaikan hendak me-
nembus cadar-cadar yang menutupi wajah kesepuluh
orang yang mengurungnya.
"Siapa kalian!" membentak Sandi Antini.
Bukannya jawaban kata-kata yang diterima
Sandi Antini dari kesepuluh orang yang mengepung-
nya, namun jawaban dari pertanyaannya adalah kele-
batan babatan golok di tangan kesepuluh orang itu.
"Awas, Loh!" seru Sandi Antini, tatkala sebuah golok berkelebat mengarah ke arah
mereka. Dengan gesit Loh Gantra segera berkelit menghindar. Namun
belum juga Loh Gantra menjejakkan kakinya di tanah,
orang yang tadi menebaskan golok kembali mencer-
canya. Dengan agak repot Loh Gantra berjumpalitan
mengandalkan saltonya untuk dapat menghindari se-
rangan itu. Begitu ada kesempatan, Loh Gantra dengan se-
gera balik menyerang. Kaki dan tangannya berkelebat
dengan cepat, menghantam dan menendang musuh-
nya. Seketika terpentallah tubuh orang yang menye-
rang itu membentur pohon dengan kerasnya. Lalu mati
dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya.
Belum juga Loh Gantra dapat mengatur napas
seketika teman orang yang mati berkelebat dengan ce-
pat membabatkan golok ke arahnya.
Loh Gantra tersentak melototkan mata marah.
Hampir saja kepalanya tertebas golok, kalau saja Loh
Gantra tidak segera merunduk.
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mam-
pus!" memaki Loh Gantra setelah terlepas dari maut.
Bagaikan banteng ketaton, Loh Gantra melesat mener-
jang orang itu.
Sementara itu, Sandi Antini yang dikeroyok
tampak bagaikan tak kerepotan melayani serangan-
serangan musuhnya. Tubuhnya yang ramping berkele-
bat-kelebat menghindari serangan yang dilancarkan
oleh musuh-musuhnya.
"Siapa kalian! Jangan sampai kalian mati den-
gan tanpa nama!"
Namun seperti semula, bukannya kata-kata ja-
waban dari pertanyaannya, melainkan tebasan dan tu-
sukan golok. Kesabaran Sandi Antini seketika hilang,
berubah menjadi kegusaran merasa ucapannya tak di-
gubris oleh orang-orang bercadar itu. Dengan menden-
gus terlebih dahulu, Sandi Antini segera balik menye-
rang dengan Pedang Dewi di tangannya.
Bagaikan Dewi Kematian, setiap kelebatan pe-
dang di tangan Sandi Antini menjadikan jerit kematian yang melolong panjang.
Jurus-jurus Pedang Dewi yang
dimainkan Sandi Antini begitu cepat. Musuh-
musuhnya kelabakan bingung, manakala pedang di
tangan Sandi Antini bergulung cepat laksana kincir.
Sebuah sinar putih berkilauan keluar dari pedang yang tertimpa sinar matahari,
menyilaukan mata musuh-musuhnya.
Tercengang orang-orang bercadar itu menyak-
sikan permainan pedang Sandi Antini. Hal itu tidak
disia-siakan oleh Sandi Antini yang dengan segera
membabatkan pedangnya. Maka seketika itu jerit ke-
matianpun kembali menggema.
"Aaaaahhhhhh!"
Dalam sekejap dua orang bercadar itu ambruk
dengan leher puntung dari tubuhnya, terbabat oleh
Pedang Dewi. Bergidik keempat orang bercadar lainnya
menyaksikan hal itu. Namun belum sempat mereka


Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbuat apa-apa, pedang di tangan Sandi Antini kem-
bali berkelebat dan kembali meminta nyawa. Kembali
dua orang lainnya ambruk dengan keadaan seperti ke-
dua temannya yang terdahulu, putung kepalanya dan
mati. Kedua orang yang masih hidup hendak melari-
kan diri, ketika dengan segera Sandi Antini merogoh
sesuatu dari balik bajunya. Secepat kilat dari tangan Sandi Antini mendesing
benda-benda kecil, memburu
dua orang yang tengah berlari.
"Aaaaaahhhh...!"
Ambruk seketika kedua orang itu dengan tubuh
membiru bagaikan kena racun, jarum-jarum kecil me-
nancap di pundak mereka. Tersenyum puas Sandi An-
tini melihat hasil yang diperolehnya, lalu dengan santai dihampiri Loh Gantra
yang juga telah membereskan
musuh-musuhnya.
"Siapa kira-kira mereka ini, Kakang?" tanya Loh Gantra sembari menjejakkan kaki
ke tubuh musuhnya
yang telah mati.
"Dilihat dari pakaian mereka adalah anak buah
Tongkat Putih. Tapi aku tak yakin kalau Tongkat Putih yang melakukan ini semua,"
jawab Sandi Antini ragu, menjadikan Loh Gantra seketika memandangnya dengan
kening berkerut.
"Maksud, Kakang?"
"Aku rasa ada orang yang sengaja ingin menga-
du domba."
"Siapakah kira-kira orang tersebut, Kakang?"
"Entahlah. Setahuku, aku tak punya musuh.
Namun entah memang ada seseorang yang sengaja
memusuhiku dengan maksud-maksud tertentu."
"Mungkin ada orang yang tahu kalau kakang
Ayu memiliki kitab Selendang Ungu," berkata Loh Gantra yang seketika itu membuat
Sandi Antini membela-
lakkan mata kaget.
"Bagaimana mungkin Loh Gantra mengerti ka-
lau aku mempunyai kitab Selendang Ungu" Apakah
guru menceritakannya?" bertanya-tanya hati Sandi Antini. Matanya yang lentik
dengan bulu mata panjang-
panjang, menatap tajam tak berkedip pada Loh Gantra
yang seketika tertunduk.
Merasa dipandang begitu rupa oleh Sandi Anti-
ni, Loh Gantra mengeluh dalam hati. "Ah, kenapa aku mengatakannya" Sungguh
bodohnya aku. Kalau Sandi
Antini mengerti bahwa aku sebenarnya bukan adik se-
perguruannya. Gagallah segala rencanaku untuk me-
rebut Kitab Selendang Ungu dari tangannya. Kenapa
Nyi Mayang Sari belum datang-datang?"
"Loh, apakah guru telah mengatakannya pada-
mu bahwa aku mempunyai kitab Selendang Ungu?"
Tersentak Loh Gantra ditanya seperti itu. Den-
gan mata terbelalak, Loh Gantra menjawab dengan
terbata-bata. "Be, benar."
"Hai! Kenapa kau, Loh" Sepertinya kau kaget?"
tanya Sandi Antini seraya menyipitkan mata, manaka-
la mendengar ucapan Loh Gantra yang tergagap seperti
ketakutan. "Mati aku!" mengeluh Loh Gantra dalam hati, namun dengan segera dicobanya untuk
tenang. Dengan bibir mencoba tersenyum, Loh Gantra berkata:
"Ah, tidak! Aku hanya terpana dengan kecantikan kakang ayu saja, hingga aku
begitu gugup mana kala ka-
kang ayu bertanya padaku."
"Ah! Kau bisa saja, Loh," mendesah Sandi Antini dengan bibir terurai senyum. Hal
itu menjadikan Loh Gantra tenang kembali hatinya. Maka dengan se-
gera, kembali Loh Gantra berucap menjadikan Sandi
Antini hanya mampu mengeluh. Tak kuasa mendengar
ucapan Loh Gantra yang begitu membuatnya terlena.
"Benar, Kakang Ayu. Sungguh aku berkata se-
benarnya Kakang ayu memang cantik jelita."
"Ah, Loh...!"
Bagaikan seorang anak kecil yang ditimang,
Sandi Antini segera mendekati Loh Gantra. Dan den-
gan penuh perasaan direbahkannya kepala di pundak
Loh Gantra yang menerimanya dengan bibir terse-
nyum, walau hatinya berkata lain. "Hem, masuklah kau dalam perangkapku. Orang
bodoh! Maka aku mau
denganmu yang janda?"
Dibimbingnya Sandi Antini, berjalan menuju ke
dalam gubug dengan bercanda ria keduanya saling
memadu kasih. *** 2 Ketika senja hari telah tiba dan bias merah
menggambar di langit sebelah barat, Loh Gantra berja-
lan mengendap-endap, pergi meninggalkan gubug yang
mereka tempati.
Setelah celingukan sesaat, Loh Gantra segera
berkelebat pergi dengan menggunakan ilmu larinya.
Sesekali ia kembali menengok ke belakang, lalu
kembali berlari mana kala dilihatnya tak ada orang
yang mengikutinya.
"Ku harap Sandi Antini tidak segera bangun,"
berkata Loh Gantra dalam hati sembari mempercepat
larinya. Selang tak beberapa lama kemudian, Loh Gan-
tra telah sampai pada sebuah gubug dekat kali yang
berada di dalam hutan Cemara Sundul.
"Sampurasun... Nyi!"
"Rampes! Kaukah itu, Loh?" terdengar suara
wanita menyahuti.
"Benar, Nyi," jawab Loh Gantra.
Tak berapa lama antaranya, seorang wanita se-
tengah baya nampak keluar dari gubug. Bibirnya teru-
rai senyum, memandang genit pada Loh Gantra.
"Ayo, masuk!" mengajak wanita yang bernama
Nyi Mayang Sari, diikuti oleh Loh Gantra di belakang-
nya. Lalu dengan segera ditutupnya pintu bilik yang
meninggalkan suara berderit.
"Apakah kau telah mengetahui, di mana ia me-
nyimpan kitab itu, Loh?" tanya Nyi Mayang Sari.
"Belum, Nyi."
"Bodoh! Kenapa kau begitu lama" Apa saja
yang kau kerjakan di sana" Apakah kau hanya berme-
sra-mesraan dengan dia saja hingga kau lupa pada tu-
gasmu?" mendengus Nyi Mayang Sari penuh kekece-
waan dan rasa cemburu.
"Ah, Nyi. Kenapa kau begitu cemburu?"
"Aku tidak cemburu, Loh. Tapi kalau kau terje-
rat olehnya, bagaimana mungkin kau akan menjalan-
kan rencana kita dengan baik" Kau mesti ingat, bahwa
dia masih begitu cantik walau usianya sama dengan-
ku. Aku khawatir kau lalai dengan tugasmu," berkata Mayang Sari, menjadikan Loh
Gantra tersenyum-senyum sendiri. Di peluknya tubuh Mayang Sari, men-
jadikan Mayang Sari terdiam.
"Jangan khawatir, Nyi. Percayalah padaku,
bahwa aku hanya mencintaimu seorang," bisik Loh
Gantra di telinga Mayang Sari yang seketika menatap-
nya penuh arti. Tak berapa lama kemudian kedua
orang itu akhirnya terlarut dalam alunan cinta bersa-
ma dengan datangnya malam.
Entah apa yang keduanya lakukan yang pasti
hanya desah-desah, dan lenguhan Nyi Mayang Sari
memecah keheningan.
Tak berapa lama setelah keduanya hening, ter-
dengar kembali Nyi Mayang Sari berkata: "Hati-hati, Loh. Jangan kau sampai
terperangkap olehnya. Ingat!
Rencana kita untuk mendapatkan Kitab Selendang
Ungu, harus berhasil."
"Baik, Nyi. Kapankah kau akan datang?" tanya Loh Gantra yang tampak dengan
terburu-buru membe-tulkan celananya, hingga mau tak mau Nyi Mayang
Sari yang melihatnya tersenyum geli. "Aku pergi dulu, Nyi." "Ya... Aku akan
datang ke tempatmu bila kau telah mendapat keterangan mengenai Kitab tersebut,"
menjawab Nyi Mayang Sari.
Dengan segera Loh Gantra berkelebat pergi,
meninggalkan Nyi Mayang Sari yang mengikuti keper-
giannya dengan senyum mengembang di bibir.
Sandi Antini yang baru terjaga dari tidur ter-
sentak kaget mana kala dilihatnya Loh Gantra tak ada.
Dengan segera Sandi Antini bergegas bangkit dari ti-
durnya, berjalan menuju keluar mencari Loh Gantra.
Sesampainya di luar, dilihatnya Loh Gantra tengah
duduk-duduk melamun seorang diri dalam gelapnya
malam. "Sedang apakah kau di luar malam begini,
Loh?" tanya Sandi Antini sembari berjalan menghampi-
ri Loh Gantra. Bagaikan tersentak kaget, Loh Gantra segera
menengok sembari lemparkan senyum. "Ah, rupanya
kakang ayu. Kaget aku dibuatnya. Sudah puaskah ti-
durnya?" "Ooh... puas sekali, Loh," mendesah Sandi Antini. "Dari mana kau, Loh?"
"Dari tadi aku di sini, Kakang. Sengaja aku du-
duk-duduk di sini menunggui kakang ayu yang tengah
tidur. Aku khawatir kalau-kalau ada orang yang meng-
ganggu kakang ayu," berkelakar Loh Gantra menjadikan Sandi Antini mesem tersipu-
sipu. "Apa yang kau takuti dengan diriku, Loh" Bu-
kankah aku sudah tua" Mana mungkin ada orang
yang mau mengusikku?" tanya Sandi Antini manja
dengan senyum makin melebar di bibirnya.
"Tidak demikian, Kakang. Aku rasa kakang ayu
masih begitu mempesona. Mungkin kalau orang yang
tak mengerti, akan menyangka kakang ayu masih be-
rusia belasan tahun."
Mendengar ucapan Loh Gantra yang men-
dayu-dayu, seketika merona merahlah kedua pipi San-
di Antini. Matanya berkaca-kaca dengan bibir mende-
cap-decap seakan sengaja dipermainkan. Dari mulut-
nya yang mendecap-decap terdengar desahannya yang
lembut. "Ooh, sungguh aku bagaikan hidup di Surga mendengar ucapan-mu, Loh."
Tersenyum Loh Gantra dalam hati, melihat
Sandi Antini telah dapat ia ambil hatinya. Hati Loh
Gantra yang memang mempunyai maksud lain, berka-
ta sendiri penuh kebencian. "Hem, rupanya dengan jalan begini kau dapat
ditundukkan. Kau akan tahu
sendiri nanti, siapa aku se-benarnya"
"Aku rasa, ucapanku hanyalah pernyataan
yang ada di hatiku. Mungkin lelaki lainpun akan sama
mengatakannya seperti apa yang aku katakan," berkata Loh Gantra, makin membuat
Sandi Antini seketika
angannya melayang bagaikan terbang. Ia tak menyada-
ri siapa sebenarnya Loh Gantra, dan apa sebenarnya
yang dituju. Karena terlalu mabuk oleh sanjungan, Sandi
Antini tak dapat lagi mengontrol dirinya. Dengan man-
ja direbahkannya kepala ke dada Loh Gantra yang
hanya dia menerimanya.
Meski di bibir terurai senyum, tapi mimik Loh
Gantra sebenarnya dapat dibaca kalau sebenarnya dia
memendam perasaan permusuhan. Senyumnya meru-
pakan senyum sinis yang sengaja dibuat-buat untuk
menutupi perasaan lain. Tatapan matanya. sebenarnya
tatapan mata melotot. Beruntung mata Loh Gantra
agak lebar hingga hal itu tidak dapat kentara. Dan
mana kala Sandi Antini memandang ke wajahnya, ce-
pat-cepat Loh Gantra segera membuang muka pura-
pura memandang ke langit di mana bulan terpampang
terang. "Loh, sungguh indah malam ini. Apalagi bulan bersinar terang."
"Ya, seterang dan secantik wajahmu, Kakang."
"Ah, kau Loh. Mana mungkin wajahku yang je-
lek ini disamakan dengan bulan" Bukankah Bulan itu
tanda kecantikan, Loh?" tanya Sandi Antini manja.
"Kenapa kau hanya memandang ke Angkasa" Apakah
kau tak senang melihat wajahku, Loh?"
Tersentak Loh Gantra seketika demi mendengar
pertanyaan Sandi Antini yang tak disangka-sangka.
Matanya sesaat membeliak, lalu dengan mencoba ter-
senyum, Loh Gantra berkata terbata-bata.
"Ah, ti-tidak! Aku suka memandang wajahmu,
Kakang. Tapi aku takut kalau-kalau kau marah."
"Ah, Loh," mendesah Sandi Antini sembari tangannya dilingkarkan ke leher Loh
Gantra. Mau tak
mau, akhirnya Loh Gantra harus menurut menatap
wajah Sandi Antini. Perlahan namun pasti, wajah ke-
duanya semakin dekat dan dekat yang akhirnya me-
nyatu. Tengah keduanya melakukan ciuman, seketika
keduanya tersentak oleh suitan.
"Suiiiitttt...!"
Dengan seketika keduanya memandang ke re-
rumputan bambu yang berada di depannya, seraya
melepaskan pelukan mereka.
"Suiiiittt...!"
Kembali terdengar suitan untuk kedua kalinya
hingga membuat Sandi Antini segera bangkit dan me-
mandang tajam dengan pedang siap di tangannya.
Dengan mata memandang waspada pada re-
rumputan bambu, membentak Sandi Antini seketika
itu: "Siapa kau!"
"Ha, ha, ha...! Inikah pendekar wanita yang ke-
sohor dengan julukan Pendekar Pedang Dewi" Hem,
ternyata tak lebihnya dari seorang wanita liar yang su-ka pada lelaki muda,"
mengejek suara wanita, bersamaan dengan berkelebat sesosok tubuh pemilik suara
tersebut. Di belakangnya lima belas orang lainnya
membuntuti. Terbelalak Sandi Antini seketika, mana kala
melihat kehadiran orang-orang itu. Matanya meman-
dang tajam, sementara pedangnya telah tergenggam di
tangan. Ketika Sandi Antini menengok ke Loh Gantra,
betapa ia sangat kecewa, Loh Gantra yang mengaku-
aku sebagai adik seperguruannya dan telah merebut
hatinya, ternyata kini tersenyum sinis padanya. Den-
gan geram, Sandi Antini pun memaki-maki.


Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iblis! Ternyata kau sengaja menjebakku, Loh!
Tak kusangka, kalau kau ternyata ular berbisa!"
Mata Sandi Antini melotot, nafasnya naik turun
menahan gejolak amarah. Bagaikan orang tak bersa-
lah, Loh Gantra seketika menderai tawa sembari ber-
kata mengejek. "Ha, ha, ha.... Sandi Antini. Sekarang kau telah tahu siapa aku
sebenarnya. Nah, katakanlah
di mana kau sembunyikan Kitab Selendang Ungu!"
"Setan alas! Jangan kalian kira aku mudah di-
gertak. Langkahi dulu mayatku, Hiat...!"
Tak terbendung lagi kemarahan Sandi Antini
yang dengan seketika berkelebat menyerang Loh Gan-
tra. Marah karena ternyata mereka menghendaki Kitab
Selendang Ungu, juga marah karena merasa telah diti-
pu mentah-mentah oleh Loh Gantra pria yang telah
dapat mengambil hatinya setelah kematian suaminya
si Pedang Dewa.
Loh Gantra yang sudah mengetahui kehebatan
ilmu pedang Dewi hatinya merasa gentar juga. Dengan
hati-hati sekali, Loh Gantra mengelakkan tusukan pe-
dang yang dilancarkan oleh Sandi Antini.
"Ut! hampir aku menjadi korban," mengeluh
Loh Gantra dalam hati.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya, Loh Gantra segera melompat mundur dan
berseru pada orang bercadar yang seketika menyerang
Sandi Antini. "Serang...!"
Berloncatan kelima belas orang bercadar men-
gepung Sandi Antini, yang kemarahannya telah me-
muncak tak dapat dibendung lagi. Sebelum kelima be-
las pengeroyoknya beraksi, Sandi Antini segera men-
dahuluinya. Pedang di tangannya berkelebat dengan
cepat menimbulkan desingan-desingan yang meme-
kakkan telinga, membuyarkan konsentrasi penge-
royoknya. Maka tanpa ampun lagi, pedang di tangan
Sandi Antini bagaikan Malaikat pencabut nyawa. Se-
tiap kebatannya, mengundang pekik kematian yang
disusul dengan robohnya dua orang musuhnya. Kepala
kedua orang yang terbabat pedang di tangan Sandi An-
tini, menggelinding lepas dari tubuh mereka.
Terbelalak mata wanita yang berdiri berdam-
pingan dengan Loh Gantra, melihat kenyataan di ha-
dapan matanya. "Sungguh ilmu pedang yang sangat
dahsyat. Baru kali ini aku melihat ilmu pedang yang
begitu dahsyat. Sukar diikuti gerakannya karena sak-
ing cepat," membatin wanita itu.
"Percuma kita buang-buang waktu saja, Loh.
Aku rasa, mereka tak akan mampu menghadapinya,"
berkata wanita itu pada Loh Gantra yang tampaknya
juga tengah menghadapi keragu-raguan.
"Apa yang mesti kita lakukan?" tanya Loh Gantra, demi mendengar ucapan Nyi
Mayang Giri. Matanya
terus memandang pada perkelahian itu, seperti takjub
melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang dilakukan
Sandi Antini. Kebimbangan di hatinya kembali timbul,
manakala untuk kedua kalinya ia melihat kelebatan
cepat yang dilakukan oleh Sandi Antini.
Berbareng dengan habisnya pekikan Sandi An-
tini, kembali dua orang anak buahnya ambruk dengan
kepala puntung. Hal itu makin menjadikan rasa tak
percaya diri Loh Gantra, yang di hatinya telah berdesir kebimbangan dan keragu-
raguan. "Mampukah aku menghadapinya" Ah, sungguh
luar biasa."
"Kita tak akan mampu mengalahkannya, Nyi!"
berkata Loh Gantra putus asa.
"Heh, kenapa kau begitu pesimis, Loh?" terhe-
ran-heran Nyi Mayang Sari mendengar ucapan Loh
Gantra. Matanya memandang tajam pada Loh Gantra,
dengan kening tampak mengerut. "Kenapa kau ini,
Loh" Kau takut?"
Loh Gantra hanya mengangguk lemah bagaikan
tak bersemangat.
Matanya memandang pada Nyi Mayang Sari
seakan meminta pengertian. Namun Nyi Mayang Sari
sepertinya tak mau tahu.
"Kalau kau penakut, kenapa kau tak jadi banci
saja?" "Nyi..." Loh Gantra hendak memprotes, ketika Nyi Mayang Sari telah
mendahului berkata lagi;
"Jangan banyak omong! Kalau kau memang ta-
kut menghadapinya, maka aku sendiri yang akan
menghadapinya." Tanpa dapat dicegah, Nyi Mayang
Sari telah berkelebat menyerang Sandi Antini. Mau tak mau, Loh Gantra pun
akhirnya turut menyerang Sandi
Antini. "Bagus! Rupanya kalian masih memiliki rasa belas kasihan hingga tak sia-
sia anak buah kalian mati di tanganku. Nah, karena kalian telah turun, maka ka-
lianlah sebagai pengganti mereka. Hiaatt...!" Berbareng dengan habis ucapannya,
Sandi Antini segera berkelebat dengan pedang di tangannya menyerang Loh Gan-
tra dan Nyi Mayang Sari.
"Ut...! Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra mempe-ringatkan Nyi Mayang Sari yang
dengan segera menge-
lakkan serangan Sandi Antini, sembari mendengus
marah. "Huh, Setan alas! Hampir saja aku dibikin sate!" Belum juga keduanya
dapat mengatur napas, dengan segera Sandi Antini kembali menyerang. Pe-
dang di tangannya bergerak dengan cepat berdesing-
desing mengarah pada kedua musuhnya yang dengan
segera berkelebat menghindar. Namun tak ayal, anak
buah merekalah yang menjadi penggantinya. Enam
orang yang tengah berdiri tertegun menyaksikan perta-
rungan itu, tak mampu mengelakkan serangan Sandi
Antini yang begitu cepat tanpa dapat diduga.
"Bedebah! Karena kau telah membunuh anak
buahku, maka sebagai balasannya kau harus mati!
Bersiaplah! Hiat...!" mendengus Nyi Mayang Sari marah, dengan segera berkelebat
memapaki serangan
Sandi Antini dengan jurus-jurus Gagak Hitamnya.
Melihat, kambratnya telah menyerang, Loh
Gantra yang semula ragu segera berkelebat membantu
dengan jurus Lutungnya. Perpaduan jurus Gagak Hi-
tam Mematuk Cacing dengan jurus Lutung Memetik
Buah begitu serasinya. Gerakan-gerakan keduanya si-
lih berganti, membuat Sandi Antini nampak kebingun-
gan. Jurus-jurus pedangnya terkecoh, oleh gerakan-
gerakan kedua musuhnya yang begitu cepat dan keras.
"Ah...!" memekik Sandi Antini sembari melompat mundur, mana kala dirasakannya
samberan tan- gan Nyi Mayang Sari ke arah perutnya.
Namun tak urung bajunya terobek pada bagian
perutnya. Sobekan kain itu begitu lebarnya, menjadi-
kan perut Sandi Antini nampak. Dengan berusaha me-
nutupi lobang bajunya, Sandi Antini membentak sem-
bari menyerang.
"Bedebah! Jangan harap kalian akan mampu
mendapatkan kitab itu. Hiat...!"
Dengan tangan kiri memegangi sobekan kain di
perutnya, Sandi Antini yang marah menyerang mem-
babi buta dengan pedang Dewinya. Hal itu menjadikan
serangan-serangannya ngawur dan tak terarah lagi
membuat kedua musuhnya dengan mudah mengecoh
serangannya, bahkan kini dia sendiri yang terdesak.
"Menyerahlah! Dan berikan kitab Selendang
Ungu itu pada kami, maka kami akan mengampuni-
mu!" berseru Loh Gantra nampak berani, setelah dapat mendesak Sandi Antini.
"Benar! Serahkan kitab itu pada kami, maka
kami akan mengampuni nyawamu," menambahkan Nyi
Mayang Sari dengan senyum sinis, dan terus mende-
sak Sandi Antini yang makin mundur.
"Pantang bagiku untuk menyerah sebelum
menjadi mayat. Hiat...!"
Sandi Antini mencoba mendobrak desakan me-
reka, tapi bagaikan karang, keduanya nampak tak ter-
goyahkan. Bila Sandi Antini menyerang, keduanya se-
gera memencar hingga Sandi Antini hanya menusuk
angin belaka. Dan bila serang Sandi Antini telah berla-lu, maka keduanya dengan
bergantian balik menye-
rang. "Iblis! Terpaksa aku harus mengadu jiwa dengan mereka" membatin Sandi
Antini. Maka dengan penuh kenekadan dan spekulasi, Sandi Antini kembali
menyerang. Kali ini makin dipercepat jurus-jurusnya,
hingga pedang di tangannya bergerak begitu cepat
membentuk gulungan sinar putih menderu-deru me-
nyerang kedua musuhnya.
"Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra memperin-
gatkan pada kambratnya, yang hampir saja lengah
termakan serangan tipuan yang dilancarkan Sandi An-
tini. Tersentak Nyi Mayang Sari manakala pedang
Sanci Antini berkelebat dengan cepat ke arahnya. Den-
gan segera diegoskan tubuhnya ke samping, pedang
itu dapat dielakkannya dan hanya berjarak sekuku jari
saja lewat di samping kirinya. Namun betapa terkejut
dan marahnya Nyi Mayang Sari seketika itu, ketika di-
rasakannya hawa dingin menyentak kulit perutnya.
Ketika ia melihat ke bagian perut, tampaklah pakaian-
nya robek lebar. Geramlah Nyi Mayang Sari seketika,
lalu dengan mendengus ia pun segera balik menye-
rang. "Huh, perempuan tak tahu diri. Mampus saja kau. Hiat...!"
Sandi Antini yang saat itu tengah mencecar Loh
Gantra, tak menyangka kalau Nyi Mayang Sari menye-
rangnya. Maka ketika dirasakan hembusan angin di
belakangnya, Sandi Antini segera tebaskan pedang ke
belakang. Namun hal itu menjadikan fatal baginya, se-
bab Loh Gantra yang telah mengetahui gerakannya se-
gera mendahului menyerang.
"Hiaaattt...!"
Tendangan Loh Gantra yang begitu cepat dan
keras, tak mampu lagi ditangkis atau dielakannya.
Maka tak ayal lagi, tubuh Sandi Antini seketika me-
layang jatuh ke dalam jurang yang telah menganga di
belakangnya dengan meninggalkan lengkingan pan-
jang. "Aaaaahhhhh...!!!"
Tercenung keduanya memandang ke bawah ju-
rang yang dalam, yang telah menelan tubuh Sandi An-
tini. Setelah sesaat keduanya hanya terdiam, terdengar kembali Nyi Mayang Sari
berkata: "Loh, apakah kau tahu di mana ia menyimpan kitab itu?"
"Tidak, Nyi. Aku belum menanyakannya ketika
kau tiba-tiba datang." kata Loh Gantra, membuat Nyi Mayang Sari tampak kecewa.
"Percuma usaha kita, Loh!"
"Belum, Nyi. Mari kita geledah gubugnya," ber-
kata Loh Gantra mengajak, yang dengan segera diikuti
oleh Nyi Mayang Sari dan sisa-sisa anak buahnya yang
masih hidup. Mereka pun dengan segera menggeledah
setiap pelosok rumah itu, dengan harapan Kitab Se-
lendang Ungu berada di situ. Namun sejauh mereka
menggeledah, tak ditemukannya apa yang mereka cari.
Hingga dengan penuh kekecewaan, dibakarnya
gubug itu oleh mereka yang segera pergi meninggalkan
tempat itu dengan perasaan kecewa.
*** 3 PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH atau
Jaka Ndableg saat itu tengah berlari menuju ke arah
Timur, dalam usahanya memburu gerombolan Loreng
Ireng yang telah merajalela sejak kepergian sahabatnya yaitu Sandi Antini yang
bergelar Pendekar Pedang De-wi.
"Hem, ke mana sebenarnya Sandi Antini" Apa-
kah mungkin ia sengaja menghilang" Ah, aku tak ya-
kin kalau dia menghilang, tentu ada apa-apa yang ter-
jadi," bergumam Jaka Ndableg sembari terus berlari.
Karena menggunakan ajian Angin Puyuh, Pendekar ki-
ta Jaka Ndableg tak begitu lama kemudian telah sam-
pailah di desa Wates. Dicarinya gubug yang dulu men-
jadi tempat kediaman Sandi Antini, namun kini gubug
itu telah tak ada.
"Hem, mungkin ini juga perbuatan orang-orang
Loreng Ireng. Sungguh perbuatan biadab!" menggera-tak hati Jaka, demi dilihatnya
pondok sahabatnya te-
lah rata dengan tanah habis terbakar.
Ketika Jaka tengah termenung sendirian den-
gan memandangi bekas gubug Sandi Antini, tiba-tiba
terdengar olehnya desingan anak panah mengarah ke
arahnya. Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa,
bersalto untuk menghindari serangan tersebut.
"Kupret! Rupanya ada tikus-tikus di sini. Hei...
Ke luar kalian!" membentak Jaka marah.
Namun jawaban dari bentakannya, adalah ke-
lebatan pukulan anak panah yang kembali menderu-
deru menyambut tubuh Jaka yang hendak injakkan
kaki di atas tanah. Hal itu menjadikan Jaka gusar dan marah, "Monyet...! Ke luar
kalian, atau aku bumi han-guskan tempat kalian dengan api. Hah...!"
Mendengar bentakan Jaka, seketika lima belas
orang berkelebat ke luar dari semak-semak rumpun
bambu. Kelima belas orang itu mukanya tertutup ca-
dar, persis Ninja. Melihat hal itu, Jaka yang dasarnya ndableg hanya tertawa
seraya berkata:
"Wow... Rupanya aku mendapat sambutan dari
orang-orang yang sok ikut-ikutan kaya orang asing.
Apa kabar Ninja-ninja edan?"
"Slompret...! Rupanya kau pun ingin seperti
temanmu yang telah terjatuh ke dalam jurang," meng-geretak pimpinan orang-orang
bercadar, menjadikan
Jaka seketika melototkan mata bercampur marah demi
mendengar keterangan pimpinan orang bercadar itu.
"Setan alas, jadi kaliankah yang telah membuat
kerusuhan dan sekaligus membunuh sahabatku. Baik,
mari kita main-main sesaat! Bersiaplah. Hiat...!"
Jaka yang telah marah manakala mendengar
bahwa Sandi Antini telah diperdayai oleh mereka, me-
nyerang dengan tak memberi kesempatan sekalipun.
Darahnya sangat mendidih, laksana Kawah Chandra
Bilawa tempatnya memperoleh Pedang Siluman Darah.


Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Serang...!" berseru pimpinan orang-orang bercadar, yang seketika dijalani oleh
keempat belas anak buahnya. "Jangan biarkan Pendekar Edan ini lolos.
Bunuh bila perlu!"
"Enak saja kalian ngebacot! Apakah kalian ini
kue lezat" Nih, kue untukmu..." Jaka segera kibaskan tangan yang menutup jari-
jarinya ke arah salah seorang pengeroyoknya.
Karena saking cepatnya gerakan Jaka, sampai-
sampai musuh yang dicerca tak mampu untuk menge-
lakkannya. Hal itu menjadikan tangan Jaka yang diali-
ri tenaga dalam, tepat menyodok mulutnya. Seketika
menjeritlah orang itu, mulutnya mengeluarkan darah
dengan gigi-giginya rontok.
"Siapa lagi yang mau kue molen?" berkata Jaka ngebanyol.
"Setan! Kau harus membayar atas kematian sa-
lah seorang anak buahku!"
"Oh... Rupanya kau pimpinannya. Nah, untuk
kalian yang tinggal empat belas akan aku hadiahkan.
Ini...!" Bersamaan dengan ucapannya Jaka segera hantamkan bogem mentahnya. Semua
musuh-musuhnya tersentak dan berusaha tebaskan golok, namun sece-
pat itu pula Jaka tarik kembali tangannya dan sodok-
kan kakinya. Melengking tiga orang musuhnya, ter-
hantam anunya oleh kaki Jaka. Ketiga orang itu ber-
putar-putar, sembari memegangi telor mereka yang
bagaikan remuk.
"Aduhhh... Telorku pecah...!"
Jaka tertawa bergelak-gelak melihat ketiga
orang pengeroyoknya menggerung-gerung menahan
sakit, lalu ambruk pingsan. Orang-orang yang lainnya, terbengong kaget. Melihat
hal itu, Jaka tidak menyia-nyiakan waktu. Dengan cepat dihantamnya kesebelas
musuhnya dengan tangan yang telah dialiri tenaga da-
lam membuat kesebelas musuhnya tersentak dan be-
rusaha mengelak. Namun ternyata serangan Jaka lebih
cepat hingga tak ayal lagi mereka seketika menjerit,
ambruk dengan darah meleleh dari sela-sela mulutnya.
Sesaat Jaka memandang tubuh-tubuh mereka,
lalu dengan segera Jaka pun berkelebat pergi mening-
galkan tempat itu untuk mencari keberadaan teman-
nya Sandi Antini yang kata mereka terjatuh ke dalam
jurang. *** Setelah sekian lama pingsan dalam jurang,
Sandi Antini akhirnya sadar. Dibukanya mata lebar-
lebar dan tampaklah olehnya pemandangan yang tera-
sa asing. "Oh, apakah aku telah mati?" tanya Sandi Antini dalam hati.
Kembali ia memandang sekelilingnya, yang
tampak hanyalah hamparan rumput menghijau. Di sisi
kanannya ia tergeletak, tampak sebuah telaga yang
jernih airnya. "Di manakah aku" Apakah aku kini berada di
Surga?" Dicubitnya lengan tangannya keras-keras.
"Ooh! Sakit. Berarti aku masih hidup." Dengan merangkak-merangkak Sandi Antini
berusaha mendekat ke telaga di sampingnya. Dicobanya untuk bangkit, namun
seketika itu ia menjerit karena punggungnya
terasa sakit. Hingga Sandi Antini pun akhirnya am-
bruk lagi. "Ooh, kenapa dengan punggungku?"
Diraba punggungnya. Seketika itu pula Sandi
Antini menjerit manakala mendapatkan punggungnya
kini tak rata lagi.
"Tidak! Aku tidak mau bungkuk! Hu, hu, hu!"
Sandi Antini pun seketika itu menangis, meratapi di-
rinya. Mungkin karena lelah menangis atau karena te-
kanan jiwanya yang dahsyat akhirnya ia kembali ping-
san. Ketika Sandi Antini kembali sadar dan membu-
ka matanya ia terkejut manakala mendapatkan dirinya
telah berada di sebuah gubug. Matanya yang bengkak
akibat terlalu banyak menangis memandang bingung
pada seluruh ruangan rumah gubug itu.
"Di mana pula aku ini?"
Ketika Sandi Antini tengah dilanda kebingun-
gan tentang di mana dirinya kini berada. Tampak seo-
rang lelaki tua berjalan masuk dan tersenyum ke
arahnya. "Siapakah kakek ini?" tanya Sandi Antini, yang dijawab dengan senyuman oleh si
kakek. Lalu dengan
senyum masih melekat di bibirnya si kakek berjalan
menghampiri pembaringan Sandi Antini.
"Tiga hari tiga malam kau pingsan, Nak. Siapa-
kah dirimu" Dan kenapa kau berada di bawah ju-
rang?" "Nama saya Sandi Antini, Kek. Saya terjatuh ke jurang karena saya tak
dapat menghindari serangan
musuh," menjawab Sandi Antini dengan air mata berlinang menjadikan kakek itu
turut terharu, hingga ma-
ta tuanya yang sipit itu tampak berkaca-kaca.
"Kalau begitu kau habis berkelahi, Nak?"
"Benar, Kek," menjawab Sandi Antini. "Aku dikeroyok oleh mereka, yang
menginginkan kitab Selen-
dang Ungu. Mulanya aku mampu mengimbangi seran-
gan-serangan mereka. Namun ternyata mereka berilmu
cukup tinggi dan licik."
Kakek itu tampak mengangguk-anggukan kepa-
la memandang dengan mata berkaca-kaca. Dipan-
dangnya Sandi Antini yang nampak meringis menahan
sakit di punggungnya, hatinya membatin. "Kasihan anak ini, ia akan cacat seumur
hidupnya. Sungguh-sungguh perbuatan yang keji."
"Nak, mungkin sudah menjadi suratan takdir
kalau kau harus menerima kenyataan ini. Ketahuilah
olehmu, bahwa kau akan menjadi bungkuk. Aku telah
berusaha mengobatinya namun ternyata tak mampu,"
berkata kakek itu dengan nada sedih, sepertinya ia
sendiri yang menanggung.
Sandi Antini hanya terdiam dengan mata mene-
teskan air mata. Ia menangis manakala teringat pada
Loh Gantra. Dendamnya mengalir bagai air bah. Kece-
wa dan marah beraduk menjadi satu, membuat Sandi
Antini menyesali kebodohannya. Kenapa dulu ia ter-
buai oleh rayuan-rayuan Loh Gantra yang ternyata
musuhnya" Bila ingat semua itu dendamnya makin
deras membara bagaikan bunga api yang siap memba-
kar. "Sudahlah, Nak. Jangan terlampau risaukan hal itu. Yang penting kau masih
dikarunia umur panjang. Meski cacat, kau tak usah berkecil hati," berkata kakek
tua itu mencoba menghibur.
"Sekarang beristirahatlah dahulu agar tubuh-
mu tidak begitu lemah. Oh, ya namaku yang bodoh ini
Wara Sumena."
Terbeliak Sandi Antini seketika, manakala
mendengar orang tua itu menyebutkan namanya.
Hingga saking kagetnya Sandi Antini seketika mende-
sah. "Ah, tak kusangka kalau akhirnya aku dapat bertemu dengan tokoh persilatan
sepertimu. Terimalah
salam hormatku, Kek!"
"Ah, sudahlah. Kini kau istirahatlah dulu, aku
mau mencari makan untuk kita."
Tanpa menunggu jawaban dari Sandi Antini,
Wara Sumena segera berkelebat pergi untuk mencari
makanan. Sandi Antini merasa bersyukur dapat ber-
temu dengan orang aneh itu. Jarang tokoh silat yang
satu itu mau menolong orang lain kalau tidak atas ke-
mauannya sendiri. Karena tingkahnya yang aneh itu,
menjadikan orang-orang persilatan menyebutnya Pen-
dekar Linglung. Ilmunya yang tinggi dan wataknya
yang angin-anginan, menjadikan orang segan dengan-
nya. "Ah, sungguh beruntung aku. Tak kusangka akhirnya aku dapat menjumpai tokoh
silat yang aneh ini.
Sepertinya ia benar-benar ingin menolongku," berkata Sandi Antini dalam hati
dengan bibir tersenyum, seakan sakitnya hilang seketika.
Sejak saat itu Sandi Antini berada di gubug
Pendekar Linglung. Ia diangkat murid oleh Pendekar
Linglung yang entah karena apa mau menjadikan di-
rinya murid. Hari-hari mereka lalui dengan latihan-
latihan memperdalam ilmu silat. Tampaknya Pendekar
Linglung ingin menjadikannya seorang pendekar yang
dapat disejajarkan dengan pendekar golongan atas.
Hingga dengan tanpa sungkan-sungkan Pendekar Lin-
glung memberikan segala ilmu yang dimilikinya pada
Sandi Antini. Dua puluh lima tahun sudah Sandi Antini hi-
lang dari dunia persilatan, digembleng oleh Pendekar
Linglung yang menggemblengnya dengan penuh perha-
tian. Segala ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Linglung telah seluruhnya dikuasai
oleh Sandi Antini.
*** Dengan tubuhnya yang bengkak, Sandi Antini
bermaksud membalas kekalahan dua puluh lima ta-
hun yang lalu. Dengan modal ilmu yang diturunkan
oleh Pendekar Linglung, Sandi Antini segera mencari
dua musuh bebuyutan.
"Hem, dua puluh lima tahun aku menderita
oleh tingkah mereka. Kini saatnya aku akan memba-
laskan kekalahanku. Hiat...!"
Dihentakkan tongkatnya ke tanah, yang seketi-
ka itu melentingkan tubuhnya. Tubuh yang bongkok
itu tampak berkelebat, bersalto di udara dan akhirnya turun dengan sempurna
tanpa goyah sedikitpun.
Sesaat mata Sandi Antini celingukan, meman-
dang sekelilingnya. Ia tampak waspada kalau-kalau
anak buah Loh Gantra telah mengetahui kehadiran-
nya. Namun ketika ia ingat keadaan tubuhnya, Sandi
Antini hanya mesem menggerutu dalam hati. "Bodoh, aku ini. Mana mungkin mereka
mengenali diriku lagi?"
Dengan tenang Sandi Antini terus melangkah
memasuki perbatasan hutan Cemara Sundul. Ketika
Sandi Antini berjalan dengan santai seketika telin-
ganya mendengar suara bergemeresak. Segera Sandi
Antini menghentikan langkahnya dan memandang ta-
jam pada semak-semak di mana suara itu berasal.
"Kresek!"
Menyudut mata Sandi Antini memandang ke
tempat di sampingnya. Tongkatnya dengan segera di-
angkat, menuding ke arah semak-semak. "Satu... 2, 3, 4... Ah, ada 20 orang.
Ternyata anak buah Loh Gantra
dan Mayang Sari makin banyak saja jumlahnya,
Hem..." Dengan berkelebat cepat, Sandi Antini menyo-dokkan tongkatnya ke arah
semak-semak di hadapan-
nya. Seketika terdengar suara jeritan melengking, bersamaan dengan ambruknya
seseorang yang bersem-
bunyi. Dada orang itu tampak bolong dengan darah
menyembur deras. Rupanya tongkat Sandi Antini telah
menusuknya. Tubuh itu kelojotan sesaat, sebelum ak-
hirnya melayang nyawanya.
Melihat kenyataan itu, sembilan belas orang
lainnya dengan segera berkelebat bareng mengurung
Sandi Antini. Salah seorang yang rupanya pimpinan,
membentak dengan penuh amarah. "Siapa kau, Kuntilanak!" "Hi, hi, hi! Kau telah
tahu aku kuntilanak, kenapa kau tidak segera memerintah anak buahmu un-
tuk minggat!" jawab Sandi Antini tenang, bahkan tersenyum meringis yang
menjadikan pimpinan orang-
orang bercadar itu melototkan mata.
"Kuntilanak! Rupanya kau belum tahu siapa
kami," mendengus marah pimpinan orang-orang ber-
cadar. Bagaikan melihat anak kecil saja, Sandi Antini kembali tersenyum sembari
berkata mengejek.
"Siapa kalian adanya, aku tak perduli. Aku
hanya ingin lewat, kenapa kalian mengganggu?"
"Sundel Belong! Katakan siapa dirimu adanya,
sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu yang buruk
itu!" membentak marah pimpinan orang bercadar dengan garangnya.
"Nama" Bukankah kau telah sedari tadi me-
nyebutkan namaku" Hi, hi, hi...!" tertawa Sandi Antini mengejek menjadikan ketua
orang-orang bercadar makin bertambah marah. Maka dengan geram, ia berusa-
ha memerintah pada kedelapan belas anak buahnya.
"Serang...!"
Mendengar komando itu seketika kedelapan be-
las orang anak buahnya berkelebat menyerang Sandi
Antini. "Trang...!"
Terdengar suara beradunya benda yang terbuat
dari besi, mana kala tongkat di tangan Sandi Antini
berbenturan menangkis golok-golok di tangan musuh-
musuhnya. Sandi Antini berkelebat dengan cepat sembari
memutar tongkatnya yang bergulung-gulung memben-
tuk suatu lingkaran. Terbelalak mata kesembilan belas musuhnya manakala melihat
hal itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja
oleh Sandi Antini, yang dengan segera menghantam-
kan pangkal tongkatnya yang berputar cepat pada mu-
suh-musuhnya. Seketika enam orang menjerit sembari
memegang kepalanya, lalu akhirnya ambruk dengan
kepala pecah. Mata pimpinan orang-orang bercadar itu mem-
belalak, tersengat juga hatinya. Namun belum juga ia
mampu menguasai diri dari serangan yang dilancarkan
Sandi Antini, seketika ia dikejutkan oleh jeritan yang melengking dari anak
buahnya. "Aaaaahhh...!"
Lima orang anak buahnya kembali bergelim-
pangan menemui ajalnya dengan perut robek, terbeset
ujung tongkat Sandi Antini. Kini anak buahnya tinggal 7 orang delapan dengannya.
Walau ia bergidig juga, tapi karena ia telah di-
percaya sebagai pimpinan mau tak mau ia harus dapat
menunjukkan sikap kepemimpinannya. Maka dengan
mendengus marah, pimpinan orang-orang bercadar itu
segera turut menyerang Sandi Antini yang tampak me-
nari-nari mengejar sembari menghindari serangan me-
reka. "Sundel Bolong! Jangan kau bangga dulu, teri-
malah kematianmu!"
Berkelebat-kelebat golok di tangan pimpinan


Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang bercadar itu, mencoba mencerca tubuh Sandi
Antini. Namun bagaikan tak ada artinya, golok itu
hanya mendapatkan angin belaka.
Sandi Antini yang tak ingin membuang-buang
waktu, tanpa banyak bicara terus membalik menye-
rang mereka. Tongkatnya begitu cepat bergerak hingga
sukar untuk diikuti. Tongkatnya bergerak bagaikan
ular yang hidup, mematuk-matuk pangkal dan ujung
tongkat silih berganti. Hanya dalam waktu tiga puluh
jurus saja, ketujuh orang bercadar itu dapat dengan
segera dijatuhkannya.
Terbelalak mata pimpinannya menyaksikan hal
itu. Hatinya seketika mengkerut, hilang keberanian-
nya. Pimpinan orang-orang bercadar hendak pergi
meninggalkan tempat itu, manakala Sandi Antini ber-
seru sembari melompat mengejar.
"Hai, mau lari ke mana kau, kampret!"
Pimpinan orang bercadar itu tersentak meng-
hentikan langkahnya, karena tiba-tiba Sandi Antini telah berdiri menghadang.
Dengan tubuh gemetar, lelaki itu jatuhkan diri
bersujud meminta ampun.
"Ampunilah aku. Aku hanya diperintah," men-
giba lelaki itu dengan keringat dingin bercucuran
membasahi kedua keningnya. Tubuhnya gemetaran
bagaikan menghadapi Malaikat Almaut.
"Siapa yang memerintahmu!" membentak Sandi
Antini, menjadikan lelaki itu makin tambah ketakutan.
Dengan terbata-bata lelaki itu berkata menjawab.
"A-aku di-diperintah oleh pimpinanku."
"Siapa pimpinanmu" Dan apa maksud
pimpinanmu menyuruh kalian mencegatku?"
"Sebenarnya pimpinan menyuruh kami untuk
mencegat semua orang yang melewati hutan Cemara
Sundul. Kami tak mengenalmu dan itu tak penting ba-
gi kami. Kalau kau ingin tahu siapa pimpinan kami,
pimpinan kami bernama Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari atau bergelar Sepasang Iblis dari Cemara Sundul."
"Hem, benar juga dugaanku," berkata Sandi
Antini dalam hati.
"Nah, kau aku bebaskan. Siapa namamu?"
"Nama saya, Lontar," jawab Lontar dengan mimik muka cerah, karena ternyata
wanita bungkuk itu
mau mengampuni dirinya. Dengan terlebih dahulu
menjura hormat, Lontar hendak berkelebat pergi ma-
nakala Sandi Antini berseru memanggilnya. "Tunggu!"
Lontar dengan segera menghentikan langkah-
nya, diam di tempatnya.
Dengan terbungkuk-bungkuk, Sandi Antini se-
gera mendekati Lontar yang masih berdiri mematung
sembari berkata: "Katakan pada kedua pimpinanmu, bahwa aku Sandi Antini
menunggunya di Lembah Berkala Darah."
"Lembah Berkala Darah" Di mana itu?" tanya
Lontar terheran-heran mendengar ucapan Sandi Anti-
ni. Setahunya, tak ada lembah di gunung Penanggun-
gan yang bernama begitu. "Apakah ini orang sinting?"
berkata Lontar dalam hatinya.
"Jangan banyak tanya! Katakan saja pada ke-
dua pimpinan kalian bahwa aku Sandi Antini menung-
gunya di Lembah Berkala Darah, mengerti!"
"Me-mengerti," jawabnya terbata. Dengan tanpa banyak kata lagi Lontar segera
berkelebat pergi menghilang di antara pepohonan hutan Cemara Sundul,
meninggalkan Sandi Antini yang juga segera bergegas
pergi. *** Lembah Berkala Darah merupakan lembah
yang terletak di sebelah Timur desa Wates. Seorang
wanita bungkuk yang tak lain Sandi Antini adanya
tengah duduk di sebuah batu. Matanya memandang
pada bekas-bekas rumahnya yang telah dibakar oleh
Loh Gantra dan Mayang Sari.
Di situ dulu ia tinggal, di situ juga kenangan
pahit dan manis ia dapati. Kenangan manis bersama
Loh Gantra yang pintar merayu hingga ia terlena. Ke-
nangan pahit setelah ia tahu siapa sebenarnya Loh
Gantra yang mengaku-aku adik seperguruannya.
"Loh Gantra! Betapa liciknya orang itu," mendesis Sandi Antini penuh kemarahan,
tatkala mengenang
semua kejadian yang ia alami. Tak disadari, tongkat di tangannya ditekan
menghunjam masuk ke bumi, menjadikan lobang dalam manakala tongkat itu kembali
dicabut. Selang beberapa lama kemudian manakala hari
telah berganti senja, tampak serombongan orang berja-
lan mendekat ke arahnya. Ketika orang-orang itu se-
makin dekat, jelas terlihat olehnya siapa orang yang
berjalan paling muka. Lelaki setengah baya dengan
rambut campur hitam dan putih, adalah Loh Gantra
adanya. Sementara wanita tua seumurnya yang berja-
lan di sisi Loh Gantra tak lain Nyi Mayang Sari.
"Hem, rupanya mereka datang juga," mendesah Sandi Antini seraya bangkit dari
duduknya. Matanya
memandang tajam pada Loh Gantra yang baginya me-
rupakan orang yang harus bertanggung jawab atas
semua yang terjadi pada dirinya.
Kedua orang yang berjalan paling muka, sesaat
memandang padanya, lalu tampak Loh Gantra menen-
gok ke belakang di mana Lontar berdiri sembari ber-
tanya: "Mana orang yang kau maksudkan, Lontar?"
"Itu dia orangnya, Pemimpin," menjawab Lontar sembari menunjukkan telunjuknya
pada Sandi Antini
yang tampak tersenyum sinis hingga menjadikan Loh
Gantra dan Nyi Mayang Sari seketika itu menyipitkan
mata tak percaya dan mendesah.
"Ah, kau jangan bercanda, Lontar!" bentak Nyi Mayang Sari jengkel, tak percaya
bahwa wanita bungkuk yang berdiri di hadapannya adalah Sandi Antini
adanya. Belum juga keduanya percaya, terdengar seke-
tika suara Sandi Antini menyapa: "Selamat bertemu kembali, Loh" Rupanya Yang
Wenang masih memberikan kemurahanNya hingga kita dapat bertemu kemba-
li. Kau mungkin tak mengenali diriku lagi, karena aku kini berbeda dengan dua
puluh lima tahun yang silam
ketika dengan liciknya kau berpura-pura mengaku
adik seperguruanku."
Terbelalak mata keduanya mendengar ucapan
Sandi Antini. Walaupun begitu, keduanya masih tam-
pak tak percaya. Maka dengan membentak, Lon Gan-
tra bertanya: "Siapa kau! Aku tak percaya kalau Sandi Antini yang telah jatuh ke
dalam jurang masih hidup!
Mungkin kau hanya ingin membuat persengketaan
dengan kami dan mengaku-aku Sandi Antini. Apa
maksudmu sebenarnya"!"
Dibentak begitu rupa Sandi Antini hanya terse-
nyum sinis. Dan dengan mencibirkan bibir Sandi Anti-
ni berkata: "Loh Gantra dan kau Nyi Mayang Sari, ma-na keberanian kalian yang
sudah tersohor itu" Tak
aku sangka, kalau kalian hanya omongnya saja yang
besar. Nyatanya, kalian hanya sebangsa kecoa busuk!"
Merah padam muka kedua pimpinan Loreng
Ireng mendengar kata-kata Sandi Antini yang terasa
pedas. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari membe-
lalak, melotot penuh kemarahan.
"Setan busuk! Kalau kau memang Sandi Antini,
harusnya kau menyadari bahwa kami masih berada di
atasmu dalam hal ilmu kanuragan. Nah, sekarang se-
rahkan kitab Selendang Ungu itu pada kami. Kalau ti-
dak...!" "Kalau tidak, mau apa kau, Loh?" berkata Sandi Antini, memotong ucapan
Loh Gantra. Bibirnya ma-
sih menyungging senyum sinis, menjadikan Loh Gan-
tra makin marah.
"Kalau tidak. Maka ini untukmu! Hiat...!"
Dengan seketika Loh Gantra berkelebat menye-
rang Sandi Antini, dibantu oleh Nyi Mayang Sari. Dis-
erang bersamaan oleh kedua tokoh Loreng Ireng, men-
jadikan Sandi Antini nampak agak kerepotan juga.
Dengan melentingkan tubuhnya ke angkasa, Sandi An-
tini melompat mundur menghindar dari serangan me-
reka sesaat. Lalu dengan segera, tongkat di tangannya digerakkan dengan
cepatnya. Hingga membuat suatu
gulungan besar, yang segera melindungi dirinya.
Terbelalak mata kedua pimpinan Loreng Ireng
menyaksikan permainan tongkat wanita bongkok itu.
Permainan tongkat wanita bongkok itu. Mengingatkan
mereka pada jurus Pedang Dewi. Kini mereka yakin,
kalau memang wanita bongkok itu tak lain dari Sandi
Antini adanya. Maka tak sungkan-sungkan lagi, kedu-
anya segera mengomando anak buahnya untuk turut
membantu. "Serang...!"
Bagaikan air bah, seketika itu anak buah Lo-
reng Ireng bersamaan menyerang Sandi Antini.
Repot juga Sandi Antini dibuatnya. Karena ter-
lalu banyaknya anak buah Loreng Ireng yang menge-
royoknya hingga perhatiannya yang semula pada dua
pimpinan Loreng Ireng kini terpencar. Meskipun begi-
tu, banyak juga korban berjatuhan dari pihak Loreng
Ireng tersambar tongkatnya yang meliuk-liuk bagaikan
hidup. Karena terlalu repotnya Sandi Antini mengha-
dapi anak buah Loreng Ireng, membuatnya tak mem-
perhatikan kedua pimpinannya. Hingga manakala ke-
dua pimpinan Loreng Ireng menyerangnya berbarengan
Sandi Antini tak mampu mengelakkannya.
"Hah!" pekiknya dengan tubuh terhuyung-
huyung, sementara matanya memandang tajam pada
Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari yang tersenyum-
senyum mengejek.
"Menyerahlah, Sandi!" berkata Loh Gantra dengan senyum melekat di bibirnya.
Menjadikan Sandi An-
tini makin merengkah marah merasa diremehkan. Ma-
ka dengan memekik keras, Sandi Antini berteriak sem-
bari menyerang.
"Bila aku dapat kalian kalahkan lagi, maka aku
bersumpah tidak akan mencampuri urusan persila-
tan!" Bagaikan singa betina kehilangan anak-
anaknya, Sandi Antini menyerang kedua pimpinan Lo-
reng Ireng. Serangannya begitu cepat dan ganas, men-
jadikan Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari harus men-
guras tenaganya untuk mengelakkannya.
Meskipun keduanya mampu mengelakkan se-
rangan Sandi Antini. Namun tak urung anak buahnya
yang terkena. Enam orang seketika melengking, menje-
rit sesaat dan akhirnya ambruk ke tanah dengan ken-
ing bolong. Melihat hal itu, Loh Gantra dan Nyi Mayang Sa-
ri mendengus marah. Bersamaan dengan dengusan-
nya, keduanya segera merapatkan kedua tangannya
menyilang di dada.
Kini gantian Sandi Antini yang terbelalak, ma-
nakala tahu ilmu apa yang tengah dikeluarkan oleh
kedua musuhnya. Saking kagetnya, sampai-sampai
dari mulut Sandi Antini membersit seruan menyebut
nama ilmu itu. "Ilmu Gugur Gunung!"
Belum hilang rasa keterkejutannya. Tiba-tiba
Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari telah melepaskan
ajian Gugur Gunungnya. Beruntung Sandi Antini ma-
sih waspada dan dengan segera mengelit. Tercekam
hati Sandi Antini seketika manakala menyaksikan apa
yang terjadi di belakangnya.
Bukit di belakangnya seketika hancur rata den-
gan tanah. Terhantam ajian Gugur Gunung yang di-
lancarkan oleh kedua musuhnya. "Hem, tak mungkin aku dapat mengalahkan mereka
kalau begini. Aku harus mempelajari kitab Selendang Ungu terlebih dahu-
lu. Ya, hanya dengan ilmu Selendang Ungu saja yang
dapat mengalahkan ilmu Gugur Gunung mereka," berkata Sandi Antini dalam hati.
"Aku belum kalah oleh kalian. Tunggulah dua
atau tiga tahun lagi, aku akan menemui kalian kemba-
li di sini," berkata Sandi Antini sembari berkelebat pergi, meninggalkan tempat
itu tanpa dapat dicegah oleh
kedua musuhnya yang berusaha mengejar.
Walaupun yang dikejar orang berbadan bong-
kok, tapi karena ilmu lari dan ilmu meringankan tu-
buh keduanya masih di bawah Sandi Antini hingga ke-
duanya pun tak mampu mengejar dan kembali dengan
hampa. *** 4 Dibukanya peti berukir gambar-gambar wanita
memakai selendang yang diukir dengan rapi dan tera-
tur. Lukisan itu, sepertinya sebuah gambaran jurus-
jurus silat. Dengan tangan sedikit gemetar, Sandi Antini
membuka peti itu. Tercengang Sandi Antini, sampai-
sampai matanya melotot dan mulutnya ternganga.
"Aaah...!" Ditutupi kedua matanya dengan tangan, manakala sinar kuning
menyilaukan yang keluar
dari kitab itu memancar terang menghantam matanya.
Dengan mata tertutup tangan, Sandi Antini be-
rusaha mengambil kitab dalam peti itu. Namun ketika
tangannya hendak menjamah dirasakan olehnya hawa
panas yang tak terkirakan melebihi bara api. Seketika memekik Sandi Antini
sembari menarik tangannya
kembali. "Bodoh! Buku itu bukan jodohmu," terdengar
suara membentaknya yang ia kenal benar pemilik sua-
ra itu. Pemilik suara itu adalah Eyang gurunya yang
bernama Bagawan Bima Rengka. Maka tanpa banyak
membantah, Sandi Antini segera jatuhkan diri bersu-
jud. "Ampun, Eyang Guru. Sungguh cucumu ini te-
lah bersalah berani membuka peti ini. Cucu siap un-
tuk menerima hukumannya," berkata Antini, menga-
kui kesalahannya.
"Tak mengapa, Cucuku. Memang kau berhak


Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka peti itu, karena kau yang dipercaya untuk
menjaganya. Namun perlu kau ketahui, bahwa Kitab
Selendang Ungu bukanlah jodohmu. Sebab bila Kitab
itu jodohmu, maka kau tak akan mengalami kesulitan
untuk mengambilnya. Aku tahu kalau kau tengah
mengalami kesulitan. Walaupun aku tak dapat me-
nampakkan diri ke dunia, namun dalam alamku aku
mendengar rintihan batinmu. Pergilah kau ke arah Ba-
rat. Di sana kau akan menemukan orang yang berjo-
doh dengan kitab Selendang Ungu. Angkatlah ia seba-
gai murid. Kelak, gadis itulah yang akan mendapatkan
ilmu dari Selendang Ungu. Dan perlu kau ingat. Ba-
rang siapa yang berjodoh dan mau mempelajari kitab
Selendang Ungu, maka kelak dialah yang akan menja-
di tokoh persilatan pilih tanding, sukar untuk dikalahkan." "Baiklah, Eyang
Guru. Cucu akan menjalankan apa yang telah Eyang Guru sarankan. Cucu minta doa
restu," kata Sandi Antini sembari kembali sujud.
"Berangkatlah. Di samping kau mencari anak
tersebut, gunakanlah ilmu yang kau miliki untuk ke-
benaran dan keadilan. Bantulah mereka yang membu-
tuhkan pertolongan darimu, selamat jalan, cucuku."
"Terima kasih, Eyang."
Saat itu juga Sandi Antini segera berangkat
menuju arah yang ditunjukkan oleh Eyang Guru-nya,
setelah terlebih dahulu menyimpan kitab Selendang
Ungu di tempat yang tak mungkin dijamah oleh perha-
tian orang. Maka hari itu juga berangkatlah Sandi An-
tini menuju ke arah Barat. Entah di mana ia akan me-
nemukan gadis petunjuk Eyang Gurunya. Tekadnya
untuk mewariskan ilmu dan kitab Selendang Ungu mi-
liknya telah membulat dalam hatinya. Juga rasa kece-
wanya pada Loh Gantra yang telah menjadikannya ca-
cat, membuat Sandi Antini memantapkan tekadnya.
Dengan harapan, kelak muridnyalah yang akan meng-
hukum kedua orang yang telah membuat tubuhnya
cacat. *** Mentari siang itu tampak begitu menyala hing-
ga terasa menyengat panasnya. Beruntung angin gu-
nung berhembus sepoi-sepoi, menjadikan hawa segar
alami. Telah sehari lamanya Sandi Antini berjalan menyusuri tepian sungai
Brantas yang membentang pan-
jang, membelah dua desa. Sungai Brantas yang pan-
jang dan lebar, bagaikan liku-liku tubuh ular raksasa bila dilihat dari
kejauhan. Tubuhnya yang bungkuk, tidak menjadi peng-
halang baginya untuk dapat melangkah dengan cepat.
Bagaikan kancil saja, tubuh Sandi Antini berkelebat
cepat, berlari menyusuri sungai Brantas.
Sesekali diusapnya keringat yang deras me-
netes di pelipisnya, dikarenakan oleh panasnya mata-
hari siang itu. Namun bagaikan tak mengenal lelah,
Sandi Antini terus berlari dan berlari tiada henti.
Tongkat di tangannya, seperti membantu mempercepat
larinya. Bila tongkat itu dihentakkan, melesatlah tu-
buh Sandi Antini bagaikan anak panah lepas dari bu-
surnya. Tengah ia berlari, seketika langkahnya terhenti manakala tampak tiga
orang lelaki berdiri tegak seperti sengaja menghadangnya. Salah seorang lelaki
itu, tiba-tiba membentaknya. "Berhenti!"
Menurut Sandi Antini berhenti, memandang ta-
jam pada ketiga lelaki di hadapannya yang tertawa
bergelak-gelak dan berkata dengan kata-kata menge-
jek. "Ha, ha, ha...! Sangat disayangkan. Ternyata kita mendapat kambing tua dan
gembel, cepat minggat!"
Tanpa memandang sebelah mata pun pada
Sandi Antini, lelaki bermuka brewokan bermaksud
menyepak Sandi Antini. Dengan segera Sandi Antini
mengegoskan tubuhnya seraya mengayunkan tongkat
di tangannya. "Bletuk!"
"Ah...!" menjerit lelaki berewokan itu sembari memegangi tulang keringnya dengan
tubuh berputar-putar, dan mulut meringis menahan sakit.
Ternyata tongkat di tangan Sandi Antini, telah
menghantam kakinya manakala hendak menyepak.
Terbelalak kedua temannya melihat hal itu. Lalu den-
gan mendengus marah keduanya segera menyerang
Sandi Antini. "Bungkuk jelek! Rupanya kau mempunyai sedi-
kit permainan hingga berani menyakiti salah seorang
dari tiga Begal Kali Brantas!" membentak Begal Panen-gah. Trenyuh hati Sandi
Antini mendengar begal itu
memanggilnya dengan Bungkuk Jelek. Hatinya seketi-
ka menjerit. Hal itu dapat diketahui dari serangannya yang begitu cepat tanpa
mau memberi peluang sedikitpun pada dua orang penyerangnya.
"Kalian telah menghinaku dengan mengatakan
aku Bungkuk Jelek. Kini kalian harus menerima hu-
kuman dariku. Hu, hu, hu!" bagaikan anak kecil Sandi Antini menangis
sesenggukan. Tongkat di tangannya
bergerak dengan cepatnya, berputar-putar laksana bal-
ing-baling. Pertarungan dua lawan satupun berjalan den-
gan serunya. Rupanya kedua begal itu bukan orang-
orang sembarangan yang mudah untuk di jatuhkan.
Mau tak mau, Sandi Antini harus menguras segala
kemampuannya untuk menghadapi keroyokan kedua-
nya. Jurus demi jurus berlalu dengan cepatnya. Tak
terasa oleh mereka, bahwa mereka telah melangkah
pada jurus yang keenam puluh. Saat itu si brewok te-
lah sembuh dari rasa sakitnya dan langsung memban-
tu kedua orang adik-adiknya hingga makin seru saja
perkelahian itu.
Tongkat di tangan Sandi Antini bergerak makin
cepat dengan menggunakan jurus Pedang Dewi. Bergu-
lung-gulung membentuk sinar hitam yang menutupi
tubuhnya hingga ketiga musuhnya terbelalak kaget.
Dan tiba-tiba ketiganya memekik tertahan sembari ba-
reng melompat mundur.
"Aah...!"
Manakala ketiganya meraba ke perut. Dirasa-
kannya baju yang mereka pakai telah koyak lebar. Se-
ketika menyurutlah keberanian mereka. Dengan penuh
rasa ngeri, ketiganya segera berkelebat pergi mening-
galkan Sandi Antini yang hanya tersenyum.
Tanpa menghiraukan ketiga musuhnya yang
sudah terbirit-birit lari ketakutan, Sandi Antini segera melanjutkan
perjalanannya untuk mencari gadis yang
telah disarankan oleh Eyang Gurunya.
*** Malam begitu gelapnya, tanpa bulan, tanpa bin-
tang yang bergayut di langit. Mendung telah bergayut
sejak sore tadi, menjadikan gumpalan-gumpalan
membentuk lukisan kegelapan di langit.
"Glegar! Glegar! Glegar!"
Berturut-turut petir menggema, memecahkan
keheningan malam menjadikan malam itu makin men-
cekam. Kota Kabupaten yang biasanya ramai oleh lalu
lalang orang yang mengunjungi pasar malam juga para
pedagang malam, kini tampak sepi. Tak ada seorang
pedagang pun yang berjualan, tak ada seorang pun
yang berjalan seperti biasanya untuk melihat-lihat
atau mencuci mata. Hanya desah angin dan rintik air
hujan yang menggema disambung oleh ledakan-
ledakan petir sekali-kali.
Dalam gelap malam itu, tampak sesosok tubuh
wanita bungkuk berlari-lari menghindari air hujan.
Wanita yang tak lain Sandi Antini adanya tampak ber-
lari dengan cepatnya menuju ke sebuah gubug tak
jauh dari rumah kediaman Bupati
"Hujan sialan! Basahlah seluruh pakaianku,"
merengut hati Sandi Antini setelah berteduh. Matanya
memandang tajam pada rumah Bupati yang berada di
mukanya kira-kira dua ratus tombak. Firasatnya yang
tajam bagai ada yang menuntunnya. Menjadikan Sandi
Antini terus melekatkan pandangannya pada rumah
besar itu. Entah oleh sebab apa, seketika hati Sandi Anti-
ni was-was. sepertinya ada kekhawatiran dalam ha-
tinya, manakala memandang pada rumah besar milik
Bupati itu. "Heh, kenapa aku jadi was-was manakala aku
terus memperhatikan rumah Bupati itu?" bertanya-
tanya hati Sandi Antini, sementara matanya terus me-
mandang pada rumah itu. Semakin ia memandang
semakin besar rasa was-was melanda hatinya.
Belum juga ia dapat menenangkan hatinya
yang sedang gundah. Seketika Sandi Andini melo-
totkan matanya manakala dilihatnya lima orang lelaki
berkelebat dengan tubuh ringan berlari menuju ke ru-
mah Bupati. "Aku rasa kelima orang itu tidak bermaksud
baik. Kalau memang dia bermaksud baik, maka tak
mungkin mereka datang malam-malam begini. Aku ki-
ra rasa was-was dalam hatiku cukup beralasan. Hem,
baik aku akan terus mengawasinya," berkata hati Sandi Antini kembali, lalu
dengan menggunakan ilmu me-
ringankan tubuhnya Sandi Antini melompat menuju ke
rumah Bupati. "Prang! Brak!"
Terdengar suara pecahnya daun jendela yang
tak lama kemudian diikuti oleh suara jeritan seorang
wanita. "Tolong, Kakang!"
Mendengar suara jeritan istrinya, serta merta
Bupati Labean bangkit dari tidurnya. Dengan mata
masih agak ngantuk, Bupati Labean bergegas meng-
hunus keris pusakanya.
Tersentak Bupati Labean seketika itu, melihat
istrinya tengah dalam ancaman lima orang yang me-
makai kedok. Geram Bupati Labean, namun ia tak da-
pat berbuat apa-apa.
"Lepaskan istriku! Apapun yang kalian ingin
ambillah! Asal kalian mau melepaskan istriku," berkata Bupati Labean menawarkan
perdamaian pada kelima
tamu tak diundang yang tersenyum sinis sembari ber-
kata: "Aku ingin nyawamu, Labean!"
Melotot mata Bupati Labean mendengar ucapan
salah seorang dari kelima tamunya yang tak diundang,
lalu dengan membentak Bupati Labean yang merasa
direndahkan berkata: "Monyet! Siapa kalian sebenarnya!"
"Kami adalah anak buah Suro Gonggong, bekas
abdimu yang telah kau singkirkan. Untuk itu, ia men-
gutus pada kami untuk menumpasmu, sekalian anak
keturunanmu."
Merah membara muka Bupati Labean marah,
mendengar ucapan tamunya yang ternyata anak buah
Suro Gonggong. Suro Gonggong dulunya adalah ketua
prajuritnya. Berhubung tindakan Suro Gonggong terla-
lu biadab dan telengas suka memeras penduduk ak-
hirnya ia dipecat oleh Bupati Labean.
Kini Suro Gonggong telah mengutus anak
buahnya untuk membunuh keluarga Bupati Labean
yang dianggapnya telah membuat dirinya jadi pen-
gangguran kembali. Di samping itu pula, ambisi Suro
Gonggong adalah ingin menjadikan dirinya Bupati
menggantikan Bupati Labean.
Bersamaan dengan pekikan Bupati Labean
yang hendak menyerang kelima anak buah Suro Gon-
gong, memekik pula istrinya. Tubuh istrinya limbung
dengan dada bolong tertancap keris yang di genggam
oleh salah seorang anak buah Suro Gonggong.
Makin bertambah marah Bupati Labean melihat
istrinya telah mati di tangan kelima orang anak buah
Suro Gonggong. Maka bagaikan banteng ketaton, Bu-
pati Labean segera menerjang kelimanya dengan keris
pusaka Cokro Jinggo di tangannya.
"Bedebah! Kalian harus membayar nyawa istri-
ku," memaki marah Bupati Labean, dibarengi dengan sabetan keris Cokro Jinggo.
Seketika kelima anak buah Suro Gonggong ber-
lompatan, mengelakkan serangan yang dilancarkan
oleh Bupati Labean. Mereka tahu akan kehebatan keris
di tangan Bupati Labean dari Suro Gonggong yang te-
lah memesannya wanti-wanti agar mereka hati-hati
dengan keris itu.
Mendapatkan serangannya hanya mengenai
angin belaka, makin bertambah marahlah Bupati La-
bean. Maka dengan ditambah lipat gandakan seran-
gannya, Bupati Labean mencerca kelima musuhnya si-
lih berganti. Mendengar keributan di ruang tamu, kedua
anak Bupati Labean seketika terjaga dari tidurnya. La-lu dengan mata masih
setengah mengantuk kedua ka-
kak beradik itu berjalan ke luar menuju ke asal suara itu.
"Ibu...!" memekik kedua anak usia belasan tahun itu, manakala melihat tubuh
ibunya telah terkulai di lantai dengan darah yang mengering berserakan di
sekelilingnya. Kedua bocah belasan tahun itu hendak
mendekat ke mayat ibunya, manakala sebuah tendan-
gan menghantam tubuh mereka hingga terpental.
Melihat kedua anaknya jatuh terkena tendan-
gan salah seorang anak buah Suro Gonggong, seketika
Bupati Labean makin marah. Dengan terlebih dahulu
berseru pada kedua anaknya, ia segera meningkatkan
serangannya. "Tinggalkan rumah segera, Anak-anakku! Ce-
pat!" Dengan menurut, kedua anak belasan tahun
kakak beradik itu segera hendak pergi meninggalkan
rumah manakala salah seorang dari kelima anak buah
Suro Gonggong telah mengejar dan menghadang mere-
ka. Bagaikan tak mengenal belas kasihan, keris di
tangannya bergerak cepat menusuk ke arah dua bocah
itu. Bocah perempuan itu sempat menghindar hingga


Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luput dari tusukan keris itu. Namun anak laki-
lakinyalah yang terkena tusukan keris di tangan anak
buah Suro Gonggong yang mendarat tepat di mata ki-
rinya. Seketika bocah laki-laki itu memekik kesakitan dengan tangan mendekap
mata kirinya yang hancur
akibat tusukan keris. Dengan menahan sakit yang tak
terhingga, bocah lelaki itu berlari dengan kencangnya sembari menjerit-jerit
kesaktian. "Aaaaaaaaahhhhh....!"
"Kakang Rangga....!" turut menjerit bocah wanita itu, demi melihat kakaknya
melolong dengan mata
sebelah kiri hancur. Ketika ia hendak mengejar, tiba-
tiba orang yang tadi menusukkan kerisnya ke arah
mata kakaknya menendangnya hingga jatuh tengkurap
dengan muka mencium tanah.
Menangis bocah perempuan itu menahan sakit,
merintih tak dapat bangun kembali. Belum puas lelaki
itu melihat bocah perempuan itu jatuh tersungkur,
serta merta keris di tangannya terangkat dan...
"Mampuslah, kau! Hiat...!"
Hampir saja melayang nyawa bocah perempuan
yang tak berdosa itu di ujung kerisnya, manakala se-
buah bayangan berkelebat sembari menangkis keris
yang tinggal sekuku lagi menusuk tubuh bocah pe-
rempuan itu. "Trang..!"
Gemetar tangan lelaki itu, sampai-sampai keris
yang digenggamnya terpental jauh. Matanya seketika
membeliak kaget manakala tubuh bocah perempuan di
hadapannya telah lenyap. Ketika ia menengok ke
samping kiri, dilihatnya seorang wanita bungkuk ber-
diri sembari tersenyum dengan pundak menggendong
bocah perempuan yang luput dari maut.
"Bedebah! Rupanya hanya seorang bungkuk je-
lek yang ingin mencari mati!" membentak lelaki itu, se-
raya bangkit dan segera memburu orang bungkuk
yang tak lain Sandi Antini adanya.
Mata Sandi Antini seketika melotot marah, de-
mi mendengar ucapan lelaki itu yang mengejeknya
dengan sebutan Bungkuk Jelek. Amarahnya seketika
membakar hatinya yang tak rela dikatakan Bungkuk
Jelek. Bayangan Loh Gantra seketika melekat pada wa-
jah lelaki yang hendak menyerangnya. Maka dengan
menggeram marah, Sandi Antini segera memapaki se-
rangan orang tersebut. Diputarnya tongkat di tangan-
Lambang Naga Panji Naga Sakti 9 Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Beruang Salju 13
^