Penguasa Gunung Lanang 2
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang Bagian 2
reng dengan itu, kedua belas orang yang mengikuti la-
rinya Pedang Siluman Darah tiba. Pedang Siluman Da-
rah seketika berkelebat, dan tiba-tiba telah berada dalam genggaman tuannya Jaka
Ndableg. "Kau... kau Pendekar Pedang Siluman Darah!"
memekik tertahan Datuk Luluhung Begeg, setelah ta-
hu siapa pemilik pedang itu. Kini ia sadar, kalau pe-
dang yang telah menyerangnya tak lain senjata pusaka
yang telah mengguncangkan dunia persilatan yaitu
Pedang Siluman Darah.
"Kenapa, Datuk Iblis! Untung kau bertemu den-
ganku di sini. Kalau tidak! Pedang Siluman Darah ini
akan menghisap darahmu yang busuk itu. Hem, kare-
na aku menghormati Bupati Kencana Wungu, hingga
aku tak sampai menghukum mu."
Tubuh Datuk Luluhung Begeg seketika menggi-
gil, setelah tahu Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Si-
luman Darah. Segera Datuk Luluhung Begeg jatuhkan
diri dan menangis meminta ampun.
"Tobat, jangan bunuh aku. Aku menyerah."
"Benarkah kau bertobat, Datuk?" tanya Jaka
Ndableg tak mau percaya begitu saja.
"Ingat olehmu, Datuk. Bila kelak kau mengu-
langi perbuatanmu, niscaya aku tak akan segan-segan
membunuhmu. Dan Pedang Siluman Darah inilah
yang akan menghisap darahmu."
Hari itu juga, Datuk Luluhung Begeg ditangkap
dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Kete-
nangan Kadipaten Kencana Sari pun tampak kembali
seperti sediakala. Tak ada lagi teror yang mereka taku-ti, tak ada lagi korban-
korban gadis yang diambil da-
rahnya. Apakah benar Kadipaten Kencana Sari tenang"
Setelah menyelesaikan urusan Datuk Luluhung Begeg,
segera Jaka pamit untuk melakukan pengembaraan-
nya. *** 5 Tiga Bulan Kemudian...
Seorang wanita muda dan cantik siang itu ber-
jalan menyusuri jalanan Kadipaten Kencana Sari. Diti-
lik dari pakaian yang dikenakan dan pedang yang ter-
gantung di pundaknya, jelas gadis itu adalah orang
persilatan. Gadis itu berjalan dengan santai, lalu ma-
suk ke sebuah kedai yang tak jauh darinya berjalan.
Kedatangannya di kedai seketika menjadi per-
hatian seluruh pengunjung kedai yang semuanya laki-
laki. Namun bagaikan tak menggubris, gadis itu tenang
saja dan mengambil duduk. Suaranya yang nyaring
seketika terdengar berkumandang ketika gadis cantik
jelita itu berseru memanggil pelayan kedai.
"Pelayan, bawakan aku nasi dan lauk pauk-
nya!" "Baik, Den ayu."
Gadis itu kembali acuh, duduk memandang ke
depan. Tengah gadis itu duduk sendirian, dari luar ke-
dai dua orang lelaki bertampang menyeramkan dengan
muka ditumbuhi cambang bawuk masuk ke kedai. Ke-
dua lelaki itu menyapukan pandangannya ke segenap
ruangan. Seketika keduanya tersenyum, manakala di-
lihatnya seorang gadis duduk sendirian. Serta merta
keduanya segera menghampiri.
"Bolehkah kami duduk, Nona?" tanya seorang
di antara keduanya.
Gadis itu seketika menengok ke asal suara itu,
dan dengan suara dingin menjawab. "Boleh..."
Mata gadis itu menyudut, menjadikan keinda-
han bagi yang melihatnya. Hal itu juga menjadikan da-
da kedua lelaki bertampang menyeramkan seketika
dag dig dug. Kedua lelaki itu segera duduk di samping
kiri dan kanan, mengapit sang gadis yang tampaknya
acuh dan tenang.
"Boleh kami kenal namamu, Nona?" kembali le-
laki tadi bertanya.
Si gadis seketika memandang tak berkedip pa-
da lelaki itu. Hatinya seketika bergumam, "Hem, orang-orang macam ini harus aku
pergunakan sebaik-
baiknya." "Kenapa terdiam, Nona?" tanya lelaki itu mengulang. "Ooh, maaf," menjawab si
gadis, kali ini senyumnya mengembang makin menjadikan kedua lelaki
bertampang brangasan itu deg-degan hatinya. Kedua-
nya menyangka kalau gadis itu memang benar-benar
mengijinkan keduanya mengenal dirinya. Kedua lelaki
itu tak menyadari makna dari senyuman maut si ga-
dis. Senyuman yang tersembunyi sebuah harapan. Ya,
harapan untuk menjadikan keduanya sebagai budak-
budaknya. "Namaku Dewi Sariti," mengenalkan Sariti na-
manya. "Waladalah, cocok dengan wajahnya. Nama
kami Sepasang Buaya Merah. Aku bernama Catil
Buaya, sedang adik seperguruanku bernama Catul
Landak." Gadis itu kembali tersenyum, kini senyumnya
makin melebar seperti sengaja dikembangkan. Hal itu
makin menambah kecantikan Sariti, menjadikan ke-
dua Buaya Merah makin tak mampu untuk memben-
dung rasa yang ada di hatinya. Tangannya yang jail,
telah gatal untuk colak colek. Hal ini memang sangat
diharapkan oleh Sariti. Maka ketika Catil Buaya hen-
dak mencolek miliknya yang sensitif, sekonyong-
konyong Sariti kibaskan tangan dengan cepat. Keleba-
tan tangan Sariti begitu cepat, sehingga tak mampu
Catil Buaya mengelakkannya. Tiba-tiba tangan Sariti
telah mencengkeram tangannya, lalu bagaikan benda
ringan dihempaskan tubuh Catil Buaya tinggi besar
itu. "Gedebug..."
Melotot mata Catul Landak menyaksikan hal
itu. Namun Catul Landak tak dapat berbuat apa-apa,
manakala dengan cepat Sariti telah menghempaskan
dirinya jatuh terlentang bagaikan sehelai daun lontar
yang dihempaskan.
"Kau... Bedebah! Rupanya kau ingin main-main
dengan Dua Buaya Merah. Hem... bersiaplah, hiat...!"
menggeram marah Catil Buaya. Seketika tubuhnya
bangkit, berkelebat menyerang pada Sariti yang masih
tersenyum. Manakala serangan Catil hendak sampai
dengan mengegoskan tubuh yang langsing itu Sariti
mengelak dan tanpa dapat dicegah kakinya mengang-
kat menendang muka Catil Buaya.
"Splak...! Splak...! Splak...!"
Tiga kali tendangan beruntun menghantam
muka Catil Buaya, yang seketika itu sempoyongan
dengan hidung dan mulut keluarkan darah. Melihat
kakak seperguruannya terluka, dengan nekad Catul
Landak bangkit seraya langsung menyerang dengan
senjatanya Duri Buaya.
"Aku bikin kulitmu yang mulus itu bergedel,
Gadis Sundel!"
"Hi, hi, hi... Buktikanlah kalau kau mampu,
Catul?" berkata Sariti dengan senyum meremehkan.
Tubuhnya yang ramping berkelebat memapaki seran-
gan tersebut. Belum juga serangan Catul sampai, Sari-
ti dengan segera hantamkan pukulan yang disaluri te-
naga dalam. Karena Batul tengah dilanda emosi, se-
hingga serangan tersebut tak mampu ia elakan. Tu-
buhnya seketika terhempas terbang bagai ditiup angin
prahara, dan jatuh membunyikan suara gedebug.
Sariti tersenyum, berjalan menghampiri kedua-
nya yang jatuh terduduk. Senyumnya masih mengem-
bang, bahkan kini makin lebar. Hal itu makin menja-
dikan kedua Buaya Merah merandek marah, yang
dengan mendengus segera berkelebat menyerang ba-
reng. Diserang begitu rupa tidak menjadikan Sariti
bingung atau takut. Bahkan dengan senyum yang ma-
sih mengembang Sariti berkelit balik menyerang. Kaki
dan tangannya bergerak cepat laksana baling-baling
yang ditiup oleh angin kencang. Hal itu menjadikan
kedua Buaya Merah tersentak, melompat mundur.
"Kita hadapi dengan ilmu Buaya, Catul."
"Ayo, kakang, hiat..!"
"Buaya Merah Mencari Mangsa, hiat...!"
"Hi, hi, hi... Buaya ompong, akan aku hadapi
dengan ini," bersamaan dengan habisnya suara Sariti, tiba-tiba tubuh Sariti
bergerak bagaikan anak panah
yang dilepaskan dari busurnya. Tubuh Sariti seketika
terbelah, menjadi dua, kemudian tiga, empat... Sepu-
luh Sariti kini muncul. Hal itu menjadikan kedua mu-
suhnya bingung untuk menyerang yang mana. Semu-
anya sama, semuanya tersenyum ke arah kedua lelaki
bertampang menyeramkan.
"Hi, hi, hi... Masihkah kalian tak mau mengakui
kekalahan kalian?" tanya sepuluh gadis cantik itu bareng, menjadikan gema yang
berkepanjangan.
"Baiklah kami menyerah," menjawab Catil
Buaya. "Bagus! Mulai sekarang akulah ratumu, pa-
ham!" membentak gadis itu dengan angkuhnya. "Juga semua yang ada di dalam kedai
ini, sejak saat ini kalian harus mengakui aku sebagai pimpinan kalian. In-
gat! Bila ada yang berani membantah maka hadiahnya
akan seperti ini, hiat...!" Sang gadis kiblatkan telapak tangannya ke seseorang
yang sedari tadi memandangnya yang duduk di sudut ruangan. Seketika bersa-
maan dengan selarik sinar putih keluar dari telapak
tangan si gadis, melengking pula orang tersebut. Orang itu akhirnya terdiam mati
dengan tubuh meleleh bagaikan malam terkena api. Itulah ajian Lebur Raga.
Bergidig semua yang menyaksikan, mata mereka melo-
tot. Bau daging terbakar, seketika menyengat hidung
menjadikan yang tak kuat menahannya muntah-
muntah. Sariti kembali duduk dengan tenangnya, me-
nyantap makanan yang telah disediakan dengan la-
hapnya. Ia tak lagi memperdulikan pada semua pen-
gunjung kedai, yang dengan takut-takut memperhati-
kan dirinya. Tengah Sariti menyantap makannya, terdengar
seruan orang di luar kedai.
"Kanjeng Bupati Kencana Wungu datang...!"
Serta merta seluruh yang berada di dalam kedai
keluar, tak luput juga Sariti. Ditinggalkannya maka-
nan, dan segera berkelebat ke luar. Ia ingin tahu ba-
gaimana tampang Bupati Kencana Wungu, yang menu-
rut desas desus sangat tampan dan penuh kewiba-
waan. Dari kejauhan nampak dua lelaki tampan du-
duk di atas kuda-kuda mereka, sementara di bela-
kangnya berjalan puluhan prajurit mengiringi. Seren-
tak seluruh rakyat jongkok menyembah sembari surut
minggir memberikan jalan. Kencana Wungu duduk di
atas dengan senyumnya, di samping kanan duduk di
atas kuda Prakoso Suryo sang pimpinan prajurit yang
sekaligus adik seperguruannya.
Ketika keduanya sampai de depan kedai, seren-
tak seluruh pengunjung kedai yang telah keluar jong-
kok menyembah seraya keluarkan sanjungan.
"Sejahtera bagi baginda Kanjeng Bupati kencan
Wungu!" "Terimakasih... Sejahtera pula untuk kalian,
rakyatku!" menjawab sang Bupati sembari lemparkan senyum manis. Namun seketika
senyumnya menghilang, berganti dengan kerutan di dahinya manakala di-
lihatnya seorang wanita muda cantik berdiri. Wanita
muda cantik itu tidak jongkok seperti yang lain, tapi
berdiri dengan angkuhnya bahkan tersenyum seenak-
nya. Mata gadis itu memandang tajam tak berkedip,
memandang pada Kencana Wungu. Para prajurit yang
melihat hal itu seketika berkelebat mendatangi gadis
cantik itu bermaksud menangkapnya, manakala Ken-
cana Wungu telah mendahului berseru.
"Biarkan, Prajurit-prajuritku!"
Tersentak seluruh prajurit mendengar hal itu.
Mereka tak mengerti kenapa Bupatinya melarang un-
tuk menangkap gadis liar dan angkuh itu. Kencana
Wungu telah turun dari kuda, menghampiri gadis can-
tik itu yang masih berdiri memandangnya tajam
menghunjam. "Siapakah nona ini" Sepertinya nona orang ba-
ru di sini."
"Kaukah Bupati Kencana Wungu itu!" balik bertanya gadis cantik itu, menjadikan
seluruh mata melo-
tot kaget tak percaya kalau gadis itu akan nekad bera-
ni bertanya lancang. Seluruh rakyat seketika mengger-
tuk, kesal dan jengkel melihatnya.
"Gadis sombong! Lancang benar mulutmu!"
"Sudahlah, rakyatku. Janganlah kalian me-
mendam rasa benci atau marah. Aku tak apa, dan
maklum akan hal itu. Siapa nama nona?" tanya Ken-
cana Wungu seraya datang menghampiri.
Gadis itu tersenyum memandang pada Kencana
Wungu. Matanya menatap sayu, sepertinya mengata-
kan sesuatu maksud agar Kencana Wungu mau men-
gerti dan memahami arti tatapan itu. Hati Kencana
Wungu seketika terpanah, bergetar mendengungkan
sebuah kalimat merdu.
"Kenapa nona terdiam?" ulang Kencana Wungu
bertanya. "Ti-tidak. Aku terpana memandangmu," terba-
ta-bata gadis itu menjawab, menjadikan Kencana
Wungu makin melebarkan senyumnya. Sementara
sang gadis pun tersenyum, mengulaskan sebuah pe-
mandangan indah di bibirnya. "Nama hamba, Sariti...
Dewi Sariti."
Kepala Kencana Wungu mengangguk-angguk
mengerti. "Dapatkah nona nanti datang ke Kadipaten?"
"Adakah saya bersalah, Kanjeng?" tanya sang
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis dengan takut-takut, menjadikan Kencana Wungu
kembali mengulas senyum. Ditajamkan matanya me-
natap sang gadis, yang seketika itu tertunduk. Entah
apa yang menjadikannya tertunduk, yang semula be-
rani menentang pandang.
"Aku tak dapat menjawabnya sekarang, tapi
nanti di Kadipaten kau akan aku beritahukan," menjawab Kencana Wungu. "Ayo Dinda
kita lanjutkan perjalanan."
"Daulat, Kanda. Prajurit... Kita teruskan perja-
lanan!" berseru Prakoso Suryo memerintah. Seketika
itu pula mereka pun bergerak kembali, meninggalkan
tempat itu, meninggalkan Sariti yang memandang ke-
pergian mereka dengan sejuta perasaan yang melekat
di hatinya. * * * Kuda-kuda yang ditumpangi mereka berjalan
lambat, hal itu memang disengaja agar mereka dapat
bercakap-cakap. Kencana Wungu tampak tercenung di
atas kudanya, menjadikan Prakoso yang mengiringinya
seketika mengajukan pertanyaan.
"Kenapa gerangan kanda melamun" Sepertinya
kanda memikirkan sesuatu. Apakah gadis itu yang
kanda tengah pikirkan?"
"Ah..." melenguh Kencana Wungu. "Kau tahu saja, Dinda."
"Dinda hanya menebak, sebab dinda perhatikan
kanda melamun sejak kanda menghampiri gadis itu.
Kenapa, Kanda...?"
Kencana Wungu sesaat menarik napas, me-
mandang pada Prakoso dengan bibir terurai senyum.
Dan dengan malu-malu, Kencana Wungu menjawab.
"Entahlah, Dinda. Sejak melihatnya hati kanda seketika itu pula telah terpanah
oleh cinta."
"Ah..." kini Prakoso yang melenguh, yang seketika mengundang perhatian Kencana
Wungu bertanya.
"Kenapa, Dinda" Sepertinya kau merasa berat."
"Entahlah, Kanda. Aku hanya merasakan sesu-
atu yang tak enak bila kanda harus dengan gadis itu,"
menjawab Prakoso Suryo. "Di samping liar, sorot matanya nakal. Apakah sorot mata
itu tidak ada maksud
sesuatu di baliknya" Entahlah, Kanda."
"Ah, kenapa kau mesti memikirkan itu semua,
Dinda. Mungkin sorot mata itu karena ia baru saja tu-
run gunung," berkata Kencana Wungu beralasan. "Bukankah dulu kita waktu pertama
kali turun gunung
juga seperti macan...?"
Seketika itu kedua kakak beradik seperguruan
itu pun bergelak tawa, lalu dengan segera dipacunya
kuda-kuda yang mereka tumpangi.
* * * Tersentak Kencana Wungu dan Prakoso Suryo
manakala dilihat oleh keduanya bahwa gadis itu telah
berada di halaman Kadipaten. Gadis itu tersenyum
manakala melihat kedatangan mereka, sepertinya
memberikan gambaran sesuatu. Ya, sesuatu yang tak
dapat dijawab oleh kedua kakak beradik yang tak me-
naruh sakwasangka buruk. Apalagi Kencana Wungu,
serta merta ia segera turun dari atas kudanya meng-
hampiri si gadis.
"Kapankah nona datang?" tanya Kencana Wun-
gu. "Dari tadi," menjawab Sariti dengan bibir masih terurai senyum, senyum yang
mampu menggetarkan
dada setiap lelaki. "Sejak aku melihat Baginda, entah karena apa hatiku seketika
ingin selalu melihat wajah
Baginda. Apakah ini yang dinamakan tak bertepuk se-
belah tangan, Tuan...?"
Terbelalak dan makin melebar saja mata Ken-
cana Wungu kaget, demi mendengar penuturan Sariti
yang polos. Dengan tanpa malu-malu Kencana Wungu
segera menggandeng tangan Sariti, masuk ke dalam
rumahnya. Prakoso Suryo hanya mampu geleng-
gelengkan kepala melihat hal itu, lalu ia pun segera
berlalu menuju ke rumahnya.
Kedua orang itu telah dibuai cinta, yang meng-
gayut dan mengukir di hati mereka. Kencana Wungu
nampak tersenyum, memapah langkah Sariti menuju
ke kursi, keduanya hanya terdiam dan diam, saling
pandang penuh arti. Lama hal seperti itu keduanya la-
kukan, sampai-sampai mereka tak menyadari kalau
tangan-tangan mereka saling berkait, saling remas
dengan bibir terurai senyum.
"Apakah yang hendak Kanjeng Bupati katakan
padaku?" tanya Sariti tiba-tiba, menjadikan Kencana Wungu seketika mendesah.
Sementara mata keduanya
masih saling tatap, seakan membersitkan benang-
benang cinta. "Apakah dinda belum mengerti juga?" balik bertanya Kencana Wungu, menjadikan
Sariti seketika
berbinar-binar matanya disebut dinda. Ah, kata sebu-
tan itu sungguh merdu didengar di telinganya, menja-
dikan Sariti seketika itu melayang sukmanya terbang
ke alam yang indah.
"Kanda..." mendesah Sariti terbata.
"Benar, Dinda. Sebut aku dengan sebutan itu,
sungguh aku merasakan kebahagiaan bila kau mau
menyebutkan sebutan Kanda padaku untuk sela-
manya." "Benarkah, Kanda?"
"Benar, Dinda. Sungguh aku mencintaimu se-
jak melihatmu tadi."
"Oooh, Kanda..." Sariti melenguh manja, men-
jadikan Kencana Wungu tak alang kepalang seketika
itu pula bagaikan hilang keseimbangan tubuhnya.
Kencana Wungu segera berdiri dari duduknya, me-
langkah mendekati Sariti.
"Maukah kau menjadi istriku, Dinda?"
"Dengan senang hati, Kanda..."
Mendengar jawaban itu, seketika tanpa sadar
Kencana Wungu dekap tubuh Sariti. Perlahan dide-
katkan mukanya, lalu hidungnya dan yang terakhir
bibir mereka berkait.
*** 6 Jaka Ndableg tersenyum melihat kera-kera
yang berloncat-loncatan dari satu pohon ke pohon
lainnya, saling canda ria. Tingkah kera-kera itu sangat lucu, mengundang gelak
tawa bagi yang melihatnya.
Melihat kera-kera itu yang bebas berkeliaran
dengan hati riang, menjadikan Jaka teringat pada di-
rinya. Dirinya juga bebas berkeliaran. Bedanya kalau
kera-kera itu tak ada yang mengusik, sedang dirinya
banyak musuhnya.
"Sungguh bahagianya kera-kera itu," gumam
Jaka. Pagi itu terasa sejuk, angin bertiup sepoi-sepoi menerpa daun-daun. Rambut
Jaka yang gondrong
nampak tergerai, beterbangan dihempas angin. Untung
saja Jaka mengenakan ikat kepala, kalau tidak mung-
kin rambut-rambutnya akan berantakan.
Dengan menggeleng-gelengkan kepala melihat
kera-kera yang lucu, Jaka segera mengambil sebuah
buah mangga dan dilemparkannya ke arah kera-kera
tersebut. "Ini untuk kalian, hoop!"
Setelah memberikan mangga tersebut pada ke-
ra-kera yang seketika itu berebutan Jaka segera mene-
ruskan langkah kakinya berlalu meninggalkan hutan.
Pikirannya tak tentu arah, ke mana saja hati nura-
ninya mengajak. Ke situ pula Jaka membawa tubuh-
nya. * * * Manakala Kencana Wungu tak ada di rumah,
diam-diam istrinya yang bernama Sariti atau Dewi
Kencana Wungu mencari di mana adanya penjara ba-
wah tanah yang digunakan untuk memenjarakan Da-
tuk Luluhung Begeg.
Hari itu ketika sang Bupati menghadap baginda
Raja, Dewi Kencana Wungu kembali mencari di mana
adanya penjara bawah tanah. Telah hampir seluruh
ruangan itu ia selidiki namun tak ada tanda-tanda ia
bakal menemukannya.
"Mungkinkah di belakang rumah?" tanyanya
dalam hati. Segera Dewi Kencana Wungu berkelebat ke be-
lakang rumahnya. Dicarinya pintu yang berada di ba-
wah tanah, yang memungkinkan untuk menembus
penjara tersebut. Namun kembali ia menemukan kega-
galan, karena ia tak mendapatkannya.
"Hem, sungguh-sungguh sulit. Kenapa aku ti-
dak menanyai Kencana Wungu saja?" mengeluh Dewi
Sariti. "Tapi... apakah nanti ia tidak curiga" Ah, benar.
kalau aku menanyakannya, bisa-bisa aku yang ditang-
kap karenanya. Hem, aku tak boleh putus asa dulu.
Aku harus tetap mencari sampai ketemu."
Habis menggumam begitu, Sariti kembali men-
cari di mana adanya pintu masuk menuju ke penjara
bawah tanah. Seluruh ruangan rumah telah ia cari,
namun belum juga diketemukannya. Hampir saja Sari-
ti putus asa, manakala matanya seketika melihat se-
suatu keganjilan di halaman belakang rumah. Pohon
pisang itu berdiri, namun daun-daunnya tak menghi-
jau seperti daun pohon pisang lainnya.
"Hem, mungkin itu tempatnya. Coba aku perik-
sa." Segera Sariti mengambil sekop, dan digalinya
tempat itu. Belum begitu dalam ia menggali, tiba-tiba
sekop yang digunakannya membentur betonan.
"Duk, duk, duk!"
"Hem, ini dia."
Perlahan-lahan Sariti membuka pintu yang ter-
buat dari betonan, yang menutupi lobang pintu.
"Hooop... ya!"
Betonan itu pun akhirnya terangkat, bersa-
maan dengan mentalnya tubuh Sariti. Saat itu juga,
sepuluh tombak berkelebat mengarah Sariti yang ter-
sentak kaget, lemparkan tubuh ke samping menghin-
dar. "Huh, benar-benar bahaya kalau aku tak hati-
hati," mengeluh Sariti dalam hati. Perlahan ia bangkit, lalu mendekati lubang
yang menganga. Langkahnya
begitu hati-hati, takut kalau-kalau jebakan akan da-
tang menyerang lagi.
Sariti mengambil sebongkah batu, dicobakan-
nya batu itu. Tak ada apa-apa yang menyerang batu
itu. Setelah yakin benar bahwa sudah tak ada jebakan,
Sariti perlahan-lahan menuruni tangga yang ada di si-
tu. Dengan terlebih dahulu menengok kanan kiri,
Sariti segera menuruni anak tangga ke bawah. Gelap
keadaan di bawah hingga Sariti harus tertatih-tatih
melangkah. "Adakah ayah mendengar suaraku?"
Tak ada jawaban.
Sariti kembali melangkah maju perlahan, ma-
kin ke dalam dan ke dalam. Sesaat Sariti berdiri mena-
jamkan mata untuk dapat melihat di tempat gelap itu
dan kembali ia berseru:
"Ayah... di mana kau?"
"Aku di sini, Anakku," terdengar jawaban dari seorang lelaki. "Terus kau
melangkah maju! Kalau kau melihat cahaya, maka di situlah aku."
Sariti segera menuruti, ia melangkah perlahan
dalam gelap. Dicarinya ruangan yang bercahaya, se-
suai dengan perintah ayahnya. Tak lama kemudian Sa-
riti pun akhirnya menemukan tempat itu.
"Ayah!" Sariti memekik, manakala dilihat olehnya seorang lelaki tua dan tampak
makin tua saja ter-
kurung dalam jeruji besi.
"Apakah ayah tak mampu membuka jeruji itu?"
"Mana mungkin, Anakku." melenguh Datuk Lu-
luhung Begeg. "Tangan kananku puntung, Anakku!"
"Puntung!" memekik kaget Sariti demi menden-
gar hal itu. "Siapa yang telah melakukannya, Ayah"
Kencana Wungukah?"
"Bukan, Anakku." menjawab Datuk Luluhung
Begeg, menjadikan Sariti kembali bertanya ingin tahu
siapa adanya yang telah berani memutungi tangan
ayahnya. "Lalau siapa, Ayah" Biar aku yang akan meng-
hukumnya!"
Datuk Luluhung Begeg seketika menarik nafas.
Ditatapnya wajah anaknya yang tegang. Ia maklum be-
tapa sang anak sangat mencintainya. Namun untuk
mengatakan siapa adanya orang yang telah mencela-
kainya sungguh berat. Bukannya apa, sang Datuk tak
ingin anaknya harus menghadapi resiko. Melihat
ayahnya hanya terdiam, Sariti pun mendesaknya.
"Siapa, Ayah" Kenapa ayah sepertinya jeri?"
"Anakku. Tangan ayah ini ditebas oleh senjata
pusaka milik siluman." Akhirnya Datuk Luluhung Begeg menjawabnya, menjadikan
Sariti tersentak kaget.
"Siluman..." Jadi ayah telah bertarung dengan
siluman?" "Bukan itu, Anakku. Ayah tertebas oleh senjata
pusaka seorang Pendekar yang namanya akhir-akhir
ini tengah menjadi bahan ucapan. Kau kenal dia,
nak?" Sesaat Sariti terdiam sembari kerutkan kening mengingat-ingat siapa
gerangan Pendekar Pemilik Senjata Siluman. Namun sekian lama ia mengingat, tak
juga ia mengenalinya hingga akhirnya ia pun menge-
luh. "Aku tak mengerti, Ayah."
Datuk Luluhung Begeg tersenyum.
"Pendekar itu masih muda. Mungkin sebaya
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan dirimu." menjelaskan Datuk Luluhung Begeg.
"Dan senjata pusaka itu adalah sebuah Pedang yang mampu mengeluarkan darah bila
berhadapan dengan
musuh..." "Pendekar Pedang Siluman Darah!" memekik
Sariti memotong ucapan ayahnya.
"Benar anakku. Memang Pendekar itulah yang
telah melakukannya, ia juga mengancam akan mem-
basmi kita, bila kita melakukan kejahatan lagi. Itulah kenapa ayah pasrah
mendekam dalam penjara bawah
tanah yang pengap ini."
Tergetar Sariti mendengar ucapan ayahnya
yang bernada sedih. Darahnya seketika mendidih dan
mendidih, bergetar-getar laksana badai. Seketika itu
pula, dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman
muncul. Dendam untuk dapat membalas segala yang
pernah dilakukan pendekar itu pada ayahnya, sehing-
ga tanpa sadar Sariti berseru lantang
"Aku akan balas semua ini, Ayah! Akan aku
puntungi leher Pendekar Pedang Siluman Darah!"
"Anakku!" tersentak kaget Datuk Luluhung Be-
geg mendengar sumpah anaknya. Hampir saja Lulu-
hung Begeg menangis. Ya, Datuk Luluhung Begeg se-
dih. Ia tahu bahwa pendekar muda itu sangat susah
dikalahkan. "Percuma, Anakku. Dia bukan pendekar
sembarangan apalagi senjatanya."
"Tidak, Ayah! Tekadku untuk membalas semua
ini akan aku laksanakan. Aku tak akan membiarkan
pendekar sok ingin mencampuri urusan orang lain."
Menggerutuk ucapan Sariti, sampai-sampai gi-
gi-giginya beradu. "Sekarang ayah menepi, akan aku hancurkan jeruji besi ini."
Datuk Luluhung Begeg tak dapat menolak per-
mintaan anaknya, segera sang Datuk menurut menepi.
Sejurus kemudian...
"Hiat! Aji Lebur Raga!"
"Duar! Duar! Duar!"
Tiga kali berturut-turut terdengar ledakan dah-
syat. Bersamaan dengan itu, besi-besi penutup ruan-
gan seketika hancur patah-patah terhantam ajian Le-
bur Raga. Hal ini menjadikan mata Datuk Luluhung
Begeg melotot kaget. Ia tak menyangka kalau anaknya
mampu memiliki ajian yang sungguh-sungguh dah-
syat. Serta merta Datuk Luluhung Begeg memeluk tu-
buh anaknya dan menangis.
"Sudahlah, Ayah. Jangan kau menangis. Kini
ayah telah bebas."
"Tapi artinya kebebasanku kalau tetap diburu
oleh pihak Bupati Kencana Sari, Anakku?"
"Jangan pikirkan itu. Malam nanti aku akan
membuat segalanya berubah," menjawab Sariti beru-
saha menenangkan ayahnya. "Ayah bersembunyilah,
pergilah ayah ke Gunung Lanang dan temui anak bua-
hku. Katakan pada mereka ayah adalah ayahku. Ayah
Penguasa Gunung Lanang!"
"Tapi, apa yang hendak kau lakukan, Nak?"
tanya Datuk Luluhung Begeg dengan mata menyipit.
"Tak usahlah ayah banyak tanya dulu. Waktu-
ku tak ada lagi, sebab sebentar lagi suamiku akan da-
tang." "Jadi... Kau istri Kencana Wungu?" tanya Datuk Luluhung Begeg kaget,
dijawab dengan anggukkan kepala oleh Sariti. Setelah kedua bapak dan anak itu
kembali berpelukan, Datuk Luluhung Begeg pun sege-
ra pergi meninggalkan penjara bawah tanah untuk
mencari tempat yang ditunjukkan oleh anaknya yaitu
Gunung Lanang. Tak ia sangka, kalau Penguasa Gu-
nung Lanang yang ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan
adalah anaknya sendiri...
* * * "Baru datang, Kakang?" sapa Sariti dengan se-
nyum manis, manakala menyambut kedatangan sua-
minya yang mengangguk sembari tersenyum. Dipa-
pahnya tubuh Sariti masuk ke dalam.
Sariti masih tersenyum, menuruti ajakan sua-
minya dengan perasaan berkecamuk. Perasaan den-
dam, seketika berperang dengan perasaan kasih. Ya,
benih dari Kencana Wungu telah tersebar di rahimnya.
Tapi bila mengingat ayahnya, segera pikiran lain dihi-langkan. Ditekannya
perasaan yang satu. Dendam. Ya,
dendam pada Kencana Wungu suaminya. Juga den-
dam pada Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Malam ini aku akan menjadikan Kadipaten ini
geger!" berkata Sariti dalam hati, sementara ia masih tetap melayani apa yang
tengah dilakukan suaminya.
Dibalasnya permainan cinta Kencana Wungu. Ketika
Kencana Wungu terhanyut, tiba-tiba Sariti mendorong
tubuh Kencana Wungu dengan kasar, menjadikan
Kencana Wungu tersentak kaget.
"Kenapa, Dinda" Kenapa berbuat begitu?" tanya Kencana Wungu tak mengerti.
Matanya memandang
tak berkedip, tajam bagaikan menggores ulu hati. Bi-
birnya memang masih tersenyum, tapi senyum itu ada-
lah senyum sinis.
"Kau harus mati, Wungu. Kau harus mati ma-
lam ini!" Habis berkata begitu Sariti melompat, men-
gambil pedangnya yang tergantung. Tersentak kencana
Wungu melihat istrinya tiba-tiba liar dan ganas. Ken-
cana Wungu menyangka itu karena pengaruh sang
bayi, sehingga ia pun membiarkannya. Maka manakala
Sariti tebaskan pedang tak ayal lagi, pedang itu mem-
babat puntung lehernya.
"Aaaahhh!" memekik Kencana Wungu.
Tubuhnya seketika ambruk bersamaan dengan
menggelindingnya kepala. Ambruk dengan darah men-
cuat dari leher yang putung.
Tertawa bergelak-gelak Sariti melihat hal itu.
Dari sela-sela bibirnya, terbersit sebuah kata-kata, sebelum ia pergi
meninggalkan Kadipaten. "Tunggulah nanti olehmu, Pendekar Pedang Siluman Darah.
Aku akan mengadakan perhitungan denganmu, hi, hi, hi..."
7 Esok paginya.....
Tersentak melotot mata Prakoso melihat apa
yang terjadi. Dilihatnya tubuh kakak seperguruannya
telah mati dengan kepala terpenggal. Tanpa dapat
mencegah, menangislah Prakoso Suryo seketika.
"Di manakah Kanda Dewi?"
Segera Prakoso Suryo tinggalkan tubuh kakak-
nya mencari Dewi Sariti. Segenap penjuru rumah dije-
lajar, tak ditemukan. Prakoso Suryo lari ke belakang,
tak juga ia menemukan.
"Kurang ajar! Ternyata iblis betina itu yang te-
lah berbuat semuanya?" menggerutuk marah Prakoso
Suryo. "Prajurit!"
"Daulat, Tuan!" menjawab Prajurit.
"Sinting kalian! Cepat ke mari!"
Dengan rasa takut, Prajurit itu segera datang
menghampiri Prakoso Suryo.
"Ada apa, Ketua?"
"Dungu! Apakah kalian tadi malam tidak meli-
hat apa-apa, hah!"
Pucat pasi seketika wajah prajurit itu menden-
gar teriakan ketuanya, prajurit itu tahu kalau ketuanya telah marah, dan ia pun
telah tahu apa yang bakal
terjadi bila ketuanya marah. Maka dia hanya mampu
diam dan diam, tanpa berani berkata-kata.
"Apakah telinga kalian yang jaga telah tuli
hingga tidak mendengar keributan, hah! Atau kalian
memang sengaja bersekongkol dengan iblis wanita itu,
jawab!" "Am-ampun, Ketua. Sungguh kami tak berani
berkata bohong pada Ketua. Me-me-mang kami men-
dengarnya, namun kami menyangka suatu pertengka-
ran biasa. Dan-dan ketika kami menanyai sang Dewi,
dia hanya menjawab bahwa dia akan pergi keluar se-
bentar," menjawab prajurit terbata-bata.
"Hem, sekarang juga beritakan pada seluruh
rakyat bahwa kadipaten tengah berkabung!" perintah
Prakoso Suryo. Ia menyadari betapa pun para prajurit-
nya tak dapat disalahkah. Mereka sangat menjunjung
tinggi tatakrama dan etika. Manalah mereka berani
bertindak ceroboh, sedang yang ribut adalah gustinya.
"Daulat, Ketua."
"Lakukanlah sekarang juga. Beritahu pada se-
genap penduduk bahwa Kanjeng Bupati meninggal di-
bunuh oleh Iblis Betina itu!"
"Daulat, Ketua," menjawab prajurit.
"Kau...." menunjuk Prakoso Suryo pada prajurit
lainnya. "Daulat, Ketua."
"Periksa tahanan, segera!"
Sang prajurit yang diperintah dengan segera
melaksanakan tugas mereka masing-masing. Ada yang
mengurusi mayat sang Bupati, mengurusi penyebaran
pengumuman dan ada pula yang melihat tahanan ba-
wah tanah. Tak begitu lama kemudian, prajurit yang
diperintah melihat tahanan telah kembali dengan mata
menggambarkan ketakutan. Hal itu menjadikan Prako-
so Suryo seketika kerutkan kening, dan bertanya.
"Ada apa, Prajurit?"
"Ketiwasan, Ketua" menjawab prajurit itu.
"Ketiwasan..." Ketiwasan bagaimana maksud-
mu?" "Tahanan itu telah pergi," menjawab sang pra-
jurit dengan takut, kalau-kalau ketuanya bakal marah.
"Edan! Kalau begitu jelas iblis betina itu kam-
brat Datuk Luluhung Begeg!" bergumam Prakoso
Suryo gusar. "Cari mereka sampai ketemu, lakukan
cepat!" "Daulat, Ketua," menjawab kesepuluh prajurit.
Setelah menyembah hormat, kesepuluh prajurit
itu tanpa membuang-buang waktu lagi segera menja-
lankan perintah. Mereka memacu kudanya laksana
angin, cepat memburu bagaikan desingan anak panah
yang diluncurkan dari busurnya.
Jaka yang saat itu hendak menuju ke Kabupa-
ten untuk silaturahmi pada Kanjeng Adipati Kencana
Wungu dan adiknya Prakoso Suryo seketika hentikan
langkah, manakala dilihat segerombolan penduduk
tengah berkerumun mengerumuni seseorang. Segera
Jaka berkelebat menuju ke arah situ.
Tersentak Jaka mendengar pengumuman yang
dibacakan oleh salah seorang prajurit Bupati yang ia
kenal bernama Jambe Lanang, yang isinya memuat be-
rita duka kematian sang Bupati. Setelah Jambe La-
nang membacakan pengumuman, segera Jaka berseru
memanggilnya. "Jambe Lanang, tunggu..."
Jambe Lanang yang merasa namanya ada yang
memanggil hentikan langkah. Dibalikkan tubuhnya
menghadap pada suara itu berasal, ia begitu tersentak
manakala tahu siapa adanya yang telah memanggil
namanya. Tanpa sadar Jambe Lanang bergumam me-
nyebut nama pemuda itu.
"Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah, kebe-
tulan." "Benarkah apa yang kau bacakan tadi, Jambe?"
tanya Jaka ingin memastikan, yang di angguki oleh
Jambe Lanang dengan mata terurai menangis. Melihat
hal itu, trenyuh hati Jaka seketika. Ia telah maklum
kalau seluruh rakyat benar-benar kehilangan seorang
pimpinan yang baik, yang bijaksana dan mementing-
kan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendi-
ri. "Sudahlah, Jambe. Ayo kita ke Kadipaten,"
mengajak Jaka. Keduanya segera meninggalkan kerumunan
orang yang juga meneteskan air mata. Mereka merasa-
kan betapa Kadipaten akan hilang pamornya bila tidak
dalam genggaman dua saudara itu. Dengan berlari-lari
keduanya segera menuju ke Kadipaten.
Tak berapa lama kemudian Jaka dan Jambe
Lanang telah sampai di Kadipaten. Kadipaten saat itu
tengah benar-benar berkabung atas wafatnya sang
Bupati, sehingga kedatangan Jaka dan Jambe Lanang
tidak mengusik mereka yang tengah dirundung lara.
Mereka saat itu tengah menangis dan menangis, me-
nangisi 1uka cita sang Bupati.
"Sampurasun..." menyapa Jaka, yang seketika
itu mengejutkan Prakoso Suryo. Prakoso Suryo seketi-
ka menengokkan muka, dan ia tersentak berbaur rasa
senang demi melihat siapa gerangan orang yang da-
tang. Dengan mengelap air matanya yang merembes
keluar, Prakoso Suryo segera menghampiri Jaka.
"Aku turut berduka cita, Prakoso."
"Ah, terimakasih, Tuan Pendekar," menjawab
Prakoso Suryo. "Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang te-
lah terjadi hingga sampai kejadian seperti ini?" Jaka bertanya. Dilangkahkan
kakinya menuju ke sesosok
tubuh yang terbaring bertutup kain. Perlahan kain pe-
nutup itu dibukanya, dan...! Jaka seketika melototkan
mata, manakala melihat gerangan apa yang ia saksi-
kan. Kepala Bupati sahabatnya, puntung dari tubuh.
Tanpa sadar, Jaka menggumam dengan gigi bergeme-
retukkan menahan marah. Walaupun Bupati Kencana
Wungu bukan sanak kandungnya, namun Bupati ini
telah mengangkat dirinya sebagai saudara. Ditambah
lagi dengan guru Kencana Wungu yang telah memin-
tanya untuk melindungi kedua muridnya.
"Gusti Allah... Sungguh perbuatan keji."
"Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya
pada Kyai Basofi" Oh, sungguh aku adalah orang yang
telah melalaikan amanat," mengeluh Jaka dalam hati.
Matanya memandang tak berkedip berkaca-kaca.
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa pelaku semua ini, Prakoso?" tanyanya
kemudian. "Anak Datuk Luluhung Begeg," menjawab Pra-
koso Suryo, menjadikan Jaka tersentak hampir me-
lompat mundur mendengar penuturan Prakoso.
"Edan! Jadi Datuk Iblis itu mempunyai seorang
anak?" menggerutu Jaka kesal. "Lalu kenapa sampai
anak Datuk Iblis dapat menyusup ke mari?"
Prakoso Suryo yang ditanya sesaat tercenung
diam. Dihelanya napas perlahan, lalu dengan suara
yang serak karena menangis Prakoso Suryo pun men-
ceritakannya. "Setelah kita dapat menangkap Datuk Lulu-
hung Begeg, seperti yang engkau ketahui sang Datuk
kami penjarakan di penjara bawah tanah."
"Benar. Lalu...?"
"Tiga bulan kemudian, ketika kami tengah me-
lakukan perjalanan keliling wilayah untuk melihat-
lihat keadaan wilayah, kami menemui seorang gadis
yang memandang pada kami dengan pandangan ang-
kuh di depan sebuah kedai. Gadis itu yang kami keta-
hui bernama Dewi Sariti rupanya telah memasang jerat
cinta di hati kanda Kencana Wungu, sehingga kanda
Kencana Wungu pun jatuh cinta saat itu pula. Mu-
lanya aku bermaksud menghalangi karena menurut
pendapatku dia bukan orang baik-baik. Namun kanda
Kencana Wungu menentang pendapatku. Yang lebih
aneh, gadis itu telah tiba lebih dahulu di sini menda-
hului kami. Saat itu juga, kakanda Kencana Wungu
menjadikan gadis itu istrinya. Dan terjadilah bencana
ini." Jaka terdiam mendengarkannya, kepalanya te-
rangguk-angguk, tangannya dipotongkan pada tangan
yang lain menyangga dagu, lalu kembali Jaka membu-
ka kain penutup mayat. Seketika hatinya menggelegar
marah, sehingga tiba-tiba Jaka bergumam.
"Aku akan mencari kedua iblis itu. Akan aku
buat perhitungan dengannya. Nah, Prakoso aku tak
dapat mengikuti pemakaman kakakmu, aku harus se-
gera meringkus dua iblis itu."
Bersamaan dengan habisnya ucapannya, Jaka
tiba-tiba telah berkelebat pergi meninggalkan Kadipa-
ten yang tengah dirundung duka untuk mencari dua
iblis anak bapak.
"Dasar iblis. Sudah aku ancam masih saja ne-
kad. Hem, dikira aku akan membiarkan begitu saja,
enak saja, memangnya aku ini apa?" bergumam Jaka
sembari terus berlari entah untuk ke mana, yang jelas
di hatinya hanya ada satu tujuan yaitu mencari orang
yang telah membunuh Kencana Wungu.
* * * Ketika Jaka tengah berlari memburu waktu, ti-
ba-tiba langkahnya dikejutkan oleh suara rintihan dari seseorang. Jaka yang
mendengar seketika itu juga
mencarinya. Tak berapa lama kemudian, Jaka telah
dapat menemukan orang yang tengah merintih itu.
Tubuh orang itu terdapat banyak luka bekas aniaya.
Jaka gelengkan kepala melihat hal itu seraya meng-
hampiri. "Ki sanak, kenapa kau" Kenapa kau tergeletak
di sini dengan luka-luka macam begini?"
Orang yang luka-luka itu perlahan membuka
matanya, memandang pada Jaka. Dan tiba-tiba orang
itu menyebut nama Jaka, yang menjadikan Jaka ter-
sentak kaget. "Kau menyebut namaku, Ki sanak?" tanya Jaka
heran. "Bu-bukan. Bukan kau. Aku-aku adalah praju-
rit Kabupaten Kencana Sari. A-aku dan kawan-
kawanku telah dibantai oleh seseorang yang mengaku
bernama Jaka Sedaya." Berkata lelaki prajurit itu me-
nerangkan. "Entah karena apa, tiba-tiba ia telah me-
nyerang pada kami."
"Apa kau tak tahu masalahnya?"
"Ti-tidak. Di-dia hanya menyebut nama De-
Dewi Sariti Iblis durjana yang telah membunuh kan-
jeng Bu-pa-ti..." orang itu akhirnya terkulai lemas, ma-
ti. "Hem, rupanya sang iblis bukannya sendirian.
Ternyata dia memiliki anak buah juga. Aku harus
mencegah segala tindakannya. Hiaaat..."
Setelah membaringkan tubuh lelaki itu yang
ternyata prajurit Kadipaten Kencana Sari, Jaka Ndab-
leg segera kembali berkelebat pergi mencari siapa
adanya orang-orang yang telah berbuat sadis. Memang
telah ia ketahui bahwa orang-orang itu adalah anak
Datuk Luluhung Begeg, yang ia kenal. Mampukah Ja-
ka mencari mereka" Ikuti terus kisah ini sampai tun-
tas... *** 8 Gunung lanang...
Puncak Gunung Lanang dari kejauhan tampak
menjulang tinggi seperti hendak mencakar langit, tam-
pak tenang dan sunyi. Namun bila kita melihat apa
yang ada di situ, kita akan dihadapkan pada sebuah
pemandangan yang sangat mengerikan.
Malam bulan purnama telah datang, bersama
semilirnya angin malam yang terasa menyengat kulit
menggigilkan sumsum. Seorang gadis perawan tampak
tergeletak di atas sebuah batu yang berbentuk pipih
panjang. Mata gadis itu sayu, sepertinya tak ada gai-
rah lagi untuk memandang atau untuk berbuat lain. Ia
seperti telah pasrah pada nasibnya, yang akan me-
renggut usianya hanya sampai pada malam itu saja.
Dari tempat lain, terdengar suara orang-orang
tengah berdoa dengan cara mereka. Tangan mereka di-
angkat tinggi-tinggi, lalu menari-nari. Orang-orang itu kebanyakan laki-laki,
ditambah dengan seorang wanita
yang kita kenal sebagai Sariti. Sariti tampak duduk
dengan agungnya di atas singgasananya. Ya, dialah
penguasa Gunung Lanang. Apa yang tengah Sariti la-
kukan" Seperti ayahnya Datuk Luluhung Begeg, Sariti
pun menganut ilmu sesat dari raja iblis Kongkong Ba-
long. Raja Iblis penguasa Gunung Lanang yang dengan
senangnya menerima Sariti menjadi murid. Segala ke-
saktian telah dilimpahkan raja Iblis itu pada Sariti
dengan imbalan Sariti harus mengorbankan seorang
gadis setiap bulan purnama.
Sepertinya malam itu, Sariti dan pengikut-
pengikutnya pun tengah melakukan upacara sakral
tersebut. "Wahai para pengikutku. Dengan cara seperti
inilah, kita akan selalu diindungi oleh Penguasa Gu-
nung Lanang. Malam ini adalah malam korban bagi
Penguasa Gunung Lanang. Apakah kalian telah meme-
riksa benar-benar akan keperawanan gadis itu?" terdengar suara Sariti berkata.
Suaranya menggema,
menjadikan sebuah gaung yang sangat menggetarkan
jantung yang mendengarnya.
"Sudah, Ketua..." menjawab para pengikutnya.
"Nah, sesaat lagi malam akan datang. Kalian
persiapkan segalanya, aku akan datang menemui ka-
lian nanti, lakukanlah!"
Tanpa banyak membantah, semua anggotanya
segera menyembah dan bergegas pergi meninggalkan
Sariti seorang diri. Sariti sunggingkan senyum, lalu
tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... Akulah yang kelak menjadi pim-
pinan dunia. Aku tak akan ada tandingannya. Hem,
tinggal menyingkirkan Jaka Ndableg atau Pendekar
Pedang Siluman Darah saja, semuanya akan beres.
Hua, ha, ha..."
Tengah Sariti tertawa-tawa seorang diri, dari
pintu lain keluar seorang pemuda datang menghampi-
rinya. Sariti tersenyum manakala tahu siapa adanya
pemuda itu, lalu dengan suara manja Sariti memanggil
nama pemuda itu.
"Jaka... Kemarilah, sayang?"
Pemuda yang bernama Jaka itu perlahan me-
langkah menghampiri. Wajahnya tampan, namun ada
goresan yang menunjukkan sebuah kekerasan di pipi
sebelah kirinya. Jaka melangkah bagaikan robot, men-
dekati Sariti yang tersenyum. Makin lama makin dekat
dan dekat. Sariti yang tak tahan lagi dengan nafsunya, ser-
ta merta menarik tangan Jaka. Di tempat itu pula, ke-
duanya segera bergumul saling rengkuh.
Sementara di tempat lain, anak buah Penguasa
Gunung Lanang nampak tengah menjalankan apa
yang menjadi perintah ketuanya. Mereka menggotong
tubuh seorang gadis, yang dibawanya ke luar.
Gadis itu digeletakkan terlentang, dengan tan-
gan dan kaki diikat tali. Mulut semua orang bertudung
hitam itu nampak komat kamit, sepertinya tengah
membaca mantra.
Bulan perlahan bergeser ke arah barat, mengi-
kuti pergeseran waktu. Dari rumpun bambu agak jauh
dari mereka melakukan upacara sakral, sepasang ma-
ta mengawasinya dengan tajam. Mata itu tak berkedip,
memandang tajam pada orang-orang bertudung. Pemi-
lik mata itu seketika membatin diliputi seribu macam
pertanyaan. "Sungguh-sungguh kejadian setahun terulang
lagi. Apakah pelakunya sama yaitu Datuk Luluhung
Begeg juga" Aku tak boleh membiarkan begitu saja.
Aku harus bertindak! Tapi aku akan melihat dulu apa
yang akan mereka lakukan."
Upacara sakral itu terus berjalan. Sepertinya
orang-orang bertudung itu tak mengetahui bahwa ke-
giatannya telah diintai oleh sepasang mata tajam, setajam burung rajawali kala
mengintai mangsa.
"Wahai Penguasa Gunung Lanang... wahai Pen-
guasa Gunung Lanang... malam ini, kami sengaja kor-
bankan untukmu seorang gadis perawan... semoga,
kau mau menerimanya... datanglah... datanglah...!"
Terdengar suara seseorang yang berdiri paling
tengah menyeru doa menjadikan orang yang mengin-
tainya hampir tertawa demi mendengar bacaan doa
yang seperti menyanyi.
"Edan! Rupanya mereka telah dikuasai oleh ib-
lis!" membatin pengintai itu dengan mata yang tetap tajam. "Apakah mereka juga
tak sadar dengan apa
yang mereka lakukan" Sepertinya memang ya."
"Wahai Penguasa Gunung Lanang, terimalah
persembahan kami untukmu." Habis ucapan ketua
upacara sakral itu, mereka semua menyanyi-nyanyi
dan berjoget-joget persis orang gila, mengitari tubuh
gadis yang terbaring itu.
Lelaki yang mengintai seketika berkelebat cepat
dan tahu-tahu tubuh gadis itu telah berada dalam bo-
pongannya. Tersentak semua yang tengah mengikuti
upacara itu, demi melihat seorang pemuda yang tak
lain Jaka Ndableg telah berani lancang mengambil ca-
lon korbannya. "Bedebah! Kau berani menghina Penguasa Gu-
nung Lanang. Siapa kau adanya, Anak muda!" mem-
bentak ketua upacara dengan geramnya.
Jaka tertawa bergelak, dan dengan suara
menggereng Jaka berseru. "Akulah penguasa Gunung
Lanang. Maka aku berhak membawa korbanku ini.
Bukankah kalian mempersembahkan korban ini un-
tukku" Hua, ha, ha..."
Suara Jaka yang dilandasi dengan tenaga da-
lam, menggema dengan kerasnya. Suara itu menjadi-
kan runtuhan batu-batu yang ada di sekitar Gungung
Lanang, menimbulkan gempa yang dahsyat.
"Bohong! Kau bukan Penguasa Gunung La-
nang. Penguasa Gunung Lanang meminum darah. Tapi
kau, kau tak lebihnya manusia cecunguk yang suka
usilan!" kembali ketua upacara menggeretak marah, merasa Jaka telah
mempermainkannya.
"Hua, ha, ha... kalau itu yang kalian ingini.
Baiklah, memang aku pun sudah haus darah. Ayo,
siapa yang hendak menjadi korbanku."
"Bangsat! Serang cecunguk jelek itu!"
Mendengar ucapan ketua upacara sakral, seke-
tika semuanya berkelebat mengeroyok Jaka Ndableg.
Namun dengan membopong tubuh gadis di pundaknya
sekali pun, Jaka dengan mudah melayani setiap se-
rangan musuh-musuhnya. Bahkan dengan ringan kaki
dan tangannya bergerak cepat.
"Bahaya kalau aku memanggul gadis ini sambil
bertarung. Memang kalau menghadapi kroco-kroco se-
perti ini, mudah ku melayaninya. Namun bila ketuanya
keluar juga Datuk Luluhung Begeg, niscaya aku kere-
potan juga. Baiklah, aku akan menitipkan tubuh gadis
ini pada penduduk, nanti baru aku ke sini lagi," bergumam Jaka dalam hati, dan
dengan segera berkelebat
tinggalkan tempat tersebut.
"Kejar cecunguk itu...!"
"Setan! Aku dikata cecunguk. Ah, biarlah dulu
nanti kalian akan tahu siapa adanya cecunguk ini."
Jaka terus berlari dengan cepat menuruni gunung.
Sementara pengejarnya nampak terus memburu dan
baru setelah melintasi sendang, pengejar-pengejar itu segera balik kembali.
"Syukurlah mereka tak terus mengejar," gumam Jaka sembari terus berlari membawa
tubuh gadis itu.
Jaka berhenti dari larinya tatkala dirasa sudah jauh
meninggalkan Gunung Lanang. Diturunkannya tubuh
si gadis, lalu dibukanya totokan yang ada di leher si gadis yang menjadikannya
tak dapat bicara.
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terimakasih, Tuan. Mungkin bila tuan tidak
menolong saya akan menjadi apa," berkata si gadis yang telah terbebas dari
totokannya. "Ah, tak usah kau pikirkan semua itu. Siapa
namamu?" Gadis itu tersipu-sipu manakala matanya bera-
du pandang dengan mata Jaka. Perlahan-lahan kepa-
lanya menunduk, menyembunyikan apa yang kini be-
rada pada kedua pipinya. Lalu dengan suara lembut si
gadis menjawabnya.
"Nama saya, Leilina."
"Hem..." Jaka menggumam seraya kerutkan
kening mendengar nama gadis yang ditolongnya, men-
jadikan si gadis yang bernama Leilina seketika ber-
tanya. "Kenapa tuan menatapku begitu?"
"Namamu aneh, Nona Leilina. Apakah kau bu-
kan orang asli sini?"
Leilina menggelengkan kepala.
"Jadi orang manakah?"
"Aku...?" tanya Leilina ingin memastikan seraya menunjuk pada diri sendiri.
"Ya, nona..."
"Aku berasal dari Tibet," jawab Leilina, menjadikan Jaka seketika tersentak
kaget menggumam,
mengulang kata-kata akhir yang diucapkan Leilina.
"Tibet...?"
"Ya..."
"Baiklah, Nona Leilina. Kau akan aku titipkan
pada penduduk kampung dulu."
"Lalu tuan mau ke mana?" tanya Leilina terheran-heran,
"Aku hendak kembali ke Gunung Lanang, tem-
pat tadi," menjawab Jaka, yang menjadikan mata Leilina seketika makin menyipit.
"Kenapa nona?"
"Aneh tuan ini," menggumam Leilina makin
menjadikan Jaka tersentak tak mengerti. "Kenapa tuan
yang telah terbebas mau mendatangi tempat itu lagi?"
Jaka hanya gelengkan kepala, dengan senyum
menyungging di bibirnya. Lalu dengan suara pelan Ja-
ka menceritakan apa yang telah menjadi tujuannya
pada Leilina yang seketika itu melotot kaget demi men-
getahui Jaka adanya. Dari bibirnya yang mungil, ter-
bersit seruan kaget. "Jadi tuan seorang pendekar" Ah, sungguh aku bahagia bisa
mengenal tuan."
"Sudahlah, Nona, aku tak ada waktu. Ayo..."
Dengan segera Jaka membopong tubuh Leilina
dan membawanya menuju ke perkampungan pendu-
duk. Setelah menitipkan Leilina pada salah seorang
penduduk yang mau menerimanya, Jaka segera berke-
lebat pergi menuju ke Gunung Lanang.
*** 9 "Sariti... Keluar kau!"
Sariti yang tengah menikmati alunan kasih
dengan seorang pemuda yang bernama Jaka, seketika
tersentak kaget demi mendengar seruan seorang yang
mengenal namanya.
"Hem, siapa orang gila yang nekad, datang ke
mari?" menggerutu Sariti, "Ayo Jaka..."
Dengan ditemani Jaka, Sariti segera bergegas
keluar menemui orang yang berteriak-teriak memang-
gil namanya. Sariti tersentak, manakala dilihatnya seorang pemuda telah berdiri
dengan angkuh memandang
padanya. "Siapa kau!" bentaknya.
"Hua, ha, ha... Iblis betina! Rupanya kau juga
seekor iblis yang suka pada pemuda. Hem, inikah pe-
muda yang mengaku-aku namaku?" bergelak Jaka ter-
tawa, menjadikan Sariti dan pemuda yang berdiri di si-
sinya melotot marah.
"Bedebah! Siapa kau, Pemuda gila!" membentak pemuda yang berdiri di samping
Sariti dengan bengis.
"Akulah Jaka Ndableg, yang namanya kau pa-
kai seenak udelmu!"
"Enak saja kau bicara, Bocah edan! Kuhancur-
kan batok kepalamu, hiaat....!" Jaka yang bergaret bekas luka di pipinya segera
berkelebat menyerang.
Jaka Ndableg tersenyum renyah mendapat se-
rangan itu, ia tak menyangka kalau orang yang tengah
dihadapinya bukan pemuda sembarangan. Pemuda
yang juga bernama Jaka, adalah murid dari seorang
Datuk sesat Bulang Kesupan.
Serangannya begitu keras dan gesit, menjadi-
kan Jaka tersentak kaget. Jaka yang tak mengira ka-
lau pemuda itu tinggi ilmunya, tak sempat lagi menge-
lakkan serangan manakala pemuda itu menghantam-
kan tangannya. Hantaman itu begitu keras, menjadi-
kan Jaka Ndableg sempoyongan ke belakang. Dadanya
terasa agak sesak.
Melihat hal itu, tertawa bergelaklah Sariti yang
menyangka kalau orang yang ditakuti oleh ayahnya
ternyata hanya mempunyai ilmu yang rendah.
"Sungguh bodoh ayah. Ternyata pemuda dungu
seperti ini ia takuti. Hem, belum juga menghadapi aku
dia sudah keok, apalagi nanti menghadapi aku." bergumam Sariti dalam hati.
"Mana gelarmu yang besar itu, Pendekar. Ter-
nyata nama besarmu hanya isapan jempol belaka. Nya-
tanya kosong melompong!"
Jaka hanya meringis dan berusaha bangkit dari
duduknya. Dengan masih menahan sakit, Jaka Ndab-
leg kembali bangkit berdiri. Namun belum juga ia was-
pada tiba-tiba pemuda musuhnya telah mendahului
menyerang. Tersentak Jaka saat itu juga, dan untuk
kedua kalinya Jaka tak sempat mengelakkan tendan-
gan musuh. Tubuh Jaka Ndableg kembali terpental ke bela-
kang. "Bedebah! Jangan berbangga dulu Sariti, aku belum kalah. Mari kita
lanjutkan!" Dengan sekuat tenaga, Jaka segera bangkit dari jatuhnya. Secepat
kilat Jaka berkelebat dengan pukulan tenaga dalamnya.
Kemarahannya yang merasa telah dibakar seketika
meledak, menjadikannya bagai banteng ketaton.
Melihat hal itu, bukannya pemuda musuhnya
takut, bahkan dengan ganda tawa pemuda musuhnya
itu mengejek. "Hua, ha, ha... Rupanya kau masih
mampu, Anak edan. Baik, aku layani apa yang menjadi
sukamu, hiaat...!"
Kedua Jaka itu segera terlibat pertarungan. Ja-
ka Ndableg yang sudah merasakan dua kali hantaman
pemuda itu, tak segan-segan lagi keluarkan segala ju-
rus yang dimiliki. Segala jurus dari keempat gurunya,
mengalir bagaikan air bah silih berganti.
Tersentak Jaka kambratnya Sariti melihat ju-
rus-jurus yang aneh, yang dikeluarkan oleh Jaka
Ndableg. Jurus-jurus Jaka Ndableg tampak kaku, na-
mun angin pukulannya begitu dahsyat. Karena kekua-
tan itulah, menjadikan pukulan dan tendangan Jaka
Ndableg begitu keras.
"Aku leburkan tubuhmu, Iblis!" memaki Jaka
Ndableg marah. Tubuhnya bergerak cepat, berputar laksana
kincir. Tanpa dapat dicegah, kakinya yang membentuk
sebuah senjata menghantam telak tubuh musuh. Tak
ayal lagi, mentallah tubuh musuhnya ke belakang.
"Jangan mau mengalah, Jaka!" berseru Sariti
memberi semangat menjadikan Jaka kambratnya
bangkit dari duduknya dengan penuh percaya diri. Ma-
ta pemuda itu memerah laksana bara api, memandang
tajam ke arah Jaka Ndableg. Lalu dengan didahului
pekikkan, pemuda itu kembali berkelebat menyerang.
Jaka yang tak mau membuang-buang waktu,
segera memapakinya dengan jurus-jurus yang telah Ki
Bayong ajarkan. Maka tak ayal lagi, kedua pemuda
pendekar itu berkelebat saling serang di udara. Kedu-
anya sama-sama tangguh, keduanya sama-sama pen-
dekar yang mumpuni. Keduanya sama-sama Jaka,
yang mempunyai kekuatan sendiri-sendiri.
"Hiat...!"
"Hiat...!"
Jurus demi jurus keduanya lalui dengan cepat,
sepertinya kedua anak muda pendekar itu tak menga-
lami rasa cape sedikit pun. Serangan keduanya masih
tampak keras, dengan disertai jurus-jurus yang keras
pula. Ketika telah mencapai jurus yang kelima puluh,
Jaka Ndableg segera loncatkan diri ke angkasa. Dan
ketika telah mencapai titik kulminasi, Jaka Ndableg
segera menukik ke bawah. Tangannya rapat, memben-
tuk sebuah godam. Seketika memekiklah musuh, den-
gan kepala pecah.
Tersentak Sariti melihat hal itu, serta merta ia
pun berkelebat menyerang Jaka. Diserang begitu ce-
pat, Jaka yang belum sepenuhnya waspada tersentak.
Hampir saja lambungnya kena tendangan, kalau saja
Jaka tak segera egoskan tubuh miring.
"Hem, kebetulan! Memang aku mencarimu. Tak
akan aku biarkan kau hidup, hiat...!"
Dengan segenap amarahnya Jaka segera balik
menyerang. Kali ini tak tanggung-tanggung, jurus dari
keempat gurunya digabung menjadi satu dengan hara-
pan dapat segera mengalahkan Sariti. Namun dugaan-
nya ternyata meleset. Sariti ternyata bukan gadis pen-
dekar sembarangan. Segala jurus-jurus yang Jaka ke-
luarkan sepertinya tak ada arti apa-apa bagi Sariti.
Malah sebaliknya, Jakalah yang terdesak hebat.
Serangan-serangan Sariti begitu keras, menga-
rah pada hal-hal yang mematikan. Jaka tersentak dan
berusaha mengelak manakala pukulan tangan Sariti
yang menari-nari mengarah ke dadanya. Namun se-
rangan itu datang dengan cepat, hingga tak dapat lagi
Jaka mengelakkannya.
"Dug, dug, dug!"
Terdengar tiga kali berturut-turut hantaman te-
lah mendarat di dada Jaka. Seketika Jaka terpental
mundur, dan dari bibirnya meleleh darah segar.
Mata Jaka memandang tajam, sepertinya tak
percaya pada apa yang diterimanya. Sariti kini telah
menghunus pedangnya, siap untuk mengakhiri hidup
pendekar kita Jaka Ndableg. Dan dengan suara lan-
tang Sariti berseru.
"Jaka Ndableg! Hari ini adalah akhir hidupmu.
Pukulan Sekat Nyawa akan menjadikan dirimu tak da-
pat berbuat apa-apa. Hua, ha, ha... Bersiaplah untuk
mati! Kau telah memputungi tangan ayahku, maka ha-
ri ini aku akan melunasi hutang ayah yang telah eng-
kau pinjamkan pada kami sekaligus bunganya. Karena
ayahku kau puntungi tangannya, maka aku pun akan
memuntungi kepalamu."
"Iblis laknat! Jangan kau kira semudah itu,
cuh!" Mendengar makian Jaka Ndableg, seketika ter-
tawalah Sariti bergelak-gelak. Lalu dengan masih ter-
tawa, Sariti kembali menggumam mengejek.
"Sebenarnya sayang, kau gagah. Kalau kau
mau menjadi kekasihku, maka aku akan mengampu-
nimu, bagaimana?"
"Huh... jangan kira aku mau menuruti uca-
panmu yang kotor dan najis itu, Iblis. Aku lebih rela
mati daripada menjadi kekasihmu!"
"Bedebah! Dikasih hati minta rempela. Jangan
menyesal kalau kau telah aku kirim ke neraka sana,
hiaat...!"
Kedua orang itu kembali berkelebat, meloncat
ke udara untuk mengadakan serangan. Jaka yang be-
lum memanggil Ratu Siluman Darah, segera memapaki
serangan pedang di tangan Sariti dengan pukulan Ge-
tih Sakti. "Hiat...!"
"Sroooooot...!"
Terbelalak Sariti melihat cairan merah keluar
dari tangan Jaka, serta merta ia hantamkan ajiannya,
dan...! "Desst....!"
Dua ajian itu bertemu. Getih Sakti yang dilan-
carkan Jaka, nampak berkelebat balik hendak menye-
rang tuannya. Spontan Jaka lemparkan tubuh ke
samping. Hanya beberapa inci saja, ajian Getih Sakti
hampir mengenainya.
"Bedebah! Aku harus memanggil Ratu Siluman
Darah." "Pendekar! Sesaat lagi kau akan mati. Nyawamu tinggal tiga jam saja,
sebab ajian Penyekat Nyawa-
ku telah berjalan. Hua, ha, ha.... kau akan mati den-
gan yang menggidigkan. Lihat di tanganmu, telah tum-
buh bintik-bintik merah. Bintik-bintik itu, sedetik demi sedetik akan membesar
dan besar lalu pecah mengeluarkan binatang menjijikkan."
Jaka tak ambil perduli dengan omongan mu-
suhnya, ia nampak terdiam dengan penuh konsentrasi.
Dari mulutnya, seketika terdengar seruan. "Dening Ra-tu Siluman Darah.
Datanglah!"
Tersentak Sariti atau Penguasa Gunung Lanang
demi melihat apa yang telah terjadi. Di tangan Jaka
Ndableg, kini tergenggam sebilah pedang yang meman-
carkan sinar kuning kemerah-merahan. Dari ujung-
nya, sungguh membelalakkan mata Sariti. Dari ujung
pedang menetes darah membasahi batangnya.
"Pedang Siluman Darah!"
Jaka tak menghiraukan ucapan Sariti, yang
tersentak kaget demi melihat pedang yang tergenggam
di tangannya. Ditusukkannya Pedang Siluman Darah
ke urat nadinya. Jaka menjerit sesaat, dan dari urat
itu mengalir darah hitam tersedot keluar. Saat itu pu-
la, Jaka bagaikan tak mengalami rasa sakit lagi. Ma-
tanya memandang tajam pada Sariti yang masih ter-
diam terbengong menyaksikan apa yang dilakukan Ja-
ka.
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tengah Sariti terdiam bengong, terdengar Jaka
berseru. "Sariti, bersiaplah, hiat...!"
Tersentak Sariti mendapat serangan yang begi-
tu tiba-tiba. Segera ia tebaskan pedang berusaha me-
nangkis, namun gerakannya kalah cepat dengan gera-
kan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka yang seper-
tinya bergerak dengan sendirinya.
Tak ampun lagi, seketika Pedang siluman Da-
rah berkelebat membabat puntung leher Sariti. Sariti menjerit sesaat, lalu diam
dengan kepala puntung.
Jaka terdiam memandang kepala Sariti yang
menggelinding, terus menggelinding jatuh ke bawah ju-
rang. Itulah balasannya, bagi orang yang telah me-
mancung leher Bupati Kencana Wungu. Melihat Sariti
telah mati, segera Jaka berkelebat pergi meninggalkan
Gunung Lanang yang kembali sepi...
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Parit Kematian 2 Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Pahlawan Dan Kaisar 11
reng dengan itu, kedua belas orang yang mengikuti la-
rinya Pedang Siluman Darah tiba. Pedang Siluman Da-
rah seketika berkelebat, dan tiba-tiba telah berada dalam genggaman tuannya Jaka
Ndableg. "Kau... kau Pendekar Pedang Siluman Darah!"
memekik tertahan Datuk Luluhung Begeg, setelah ta-
hu siapa pemilik pedang itu. Kini ia sadar, kalau pe-
dang yang telah menyerangnya tak lain senjata pusaka
yang telah mengguncangkan dunia persilatan yaitu
Pedang Siluman Darah.
"Kenapa, Datuk Iblis! Untung kau bertemu den-
ganku di sini. Kalau tidak! Pedang Siluman Darah ini
akan menghisap darahmu yang busuk itu. Hem, kare-
na aku menghormati Bupati Kencana Wungu, hingga
aku tak sampai menghukum mu."
Tubuh Datuk Luluhung Begeg seketika menggi-
gil, setelah tahu Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Si-
luman Darah. Segera Datuk Luluhung Begeg jatuhkan
diri dan menangis meminta ampun.
"Tobat, jangan bunuh aku. Aku menyerah."
"Benarkah kau bertobat, Datuk?" tanya Jaka
Ndableg tak mau percaya begitu saja.
"Ingat olehmu, Datuk. Bila kelak kau mengu-
langi perbuatanmu, niscaya aku tak akan segan-segan
membunuhmu. Dan Pedang Siluman Darah inilah
yang akan menghisap darahmu."
Hari itu juga, Datuk Luluhung Begeg ditangkap
dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Kete-
nangan Kadipaten Kencana Sari pun tampak kembali
seperti sediakala. Tak ada lagi teror yang mereka taku-ti, tak ada lagi korban-
korban gadis yang diambil da-
rahnya. Apakah benar Kadipaten Kencana Sari tenang"
Setelah menyelesaikan urusan Datuk Luluhung Begeg,
segera Jaka pamit untuk melakukan pengembaraan-
nya. *** 5 Tiga Bulan Kemudian...
Seorang wanita muda dan cantik siang itu ber-
jalan menyusuri jalanan Kadipaten Kencana Sari. Diti-
lik dari pakaian yang dikenakan dan pedang yang ter-
gantung di pundaknya, jelas gadis itu adalah orang
persilatan. Gadis itu berjalan dengan santai, lalu ma-
suk ke sebuah kedai yang tak jauh darinya berjalan.
Kedatangannya di kedai seketika menjadi per-
hatian seluruh pengunjung kedai yang semuanya laki-
laki. Namun bagaikan tak menggubris, gadis itu tenang
saja dan mengambil duduk. Suaranya yang nyaring
seketika terdengar berkumandang ketika gadis cantik
jelita itu berseru memanggil pelayan kedai.
"Pelayan, bawakan aku nasi dan lauk pauk-
nya!" "Baik, Den ayu."
Gadis itu kembali acuh, duduk memandang ke
depan. Tengah gadis itu duduk sendirian, dari luar ke-
dai dua orang lelaki bertampang menyeramkan dengan
muka ditumbuhi cambang bawuk masuk ke kedai. Ke-
dua lelaki itu menyapukan pandangannya ke segenap
ruangan. Seketika keduanya tersenyum, manakala di-
lihatnya seorang gadis duduk sendirian. Serta merta
keduanya segera menghampiri.
"Bolehkah kami duduk, Nona?" tanya seorang
di antara keduanya.
Gadis itu seketika menengok ke asal suara itu,
dan dengan suara dingin menjawab. "Boleh..."
Mata gadis itu menyudut, menjadikan keinda-
han bagi yang melihatnya. Hal itu juga menjadikan da-
da kedua lelaki bertampang menyeramkan seketika
dag dig dug. Kedua lelaki itu segera duduk di samping
kiri dan kanan, mengapit sang gadis yang tampaknya
acuh dan tenang.
"Boleh kami kenal namamu, Nona?" kembali le-
laki tadi bertanya.
Si gadis seketika memandang tak berkedip pa-
da lelaki itu. Hatinya seketika bergumam, "Hem, orang-orang macam ini harus aku
pergunakan sebaik-
baiknya." "Kenapa terdiam, Nona?" tanya lelaki itu mengulang. "Ooh, maaf," menjawab si
gadis, kali ini senyumnya mengembang makin menjadikan kedua lelaki
bertampang brangasan itu deg-degan hatinya. Kedua-
nya menyangka kalau gadis itu memang benar-benar
mengijinkan keduanya mengenal dirinya. Kedua lelaki
itu tak menyadari makna dari senyuman maut si ga-
dis. Senyuman yang tersembunyi sebuah harapan. Ya,
harapan untuk menjadikan keduanya sebagai budak-
budaknya. "Namaku Dewi Sariti," mengenalkan Sariti na-
manya. "Waladalah, cocok dengan wajahnya. Nama
kami Sepasang Buaya Merah. Aku bernama Catil
Buaya, sedang adik seperguruanku bernama Catul
Landak." Gadis itu kembali tersenyum, kini senyumnya
makin melebar seperti sengaja dikembangkan. Hal itu
makin menambah kecantikan Sariti, menjadikan ke-
dua Buaya Merah makin tak mampu untuk memben-
dung rasa yang ada di hatinya. Tangannya yang jail,
telah gatal untuk colak colek. Hal ini memang sangat
diharapkan oleh Sariti. Maka ketika Catil Buaya hen-
dak mencolek miliknya yang sensitif, sekonyong-
konyong Sariti kibaskan tangan dengan cepat. Keleba-
tan tangan Sariti begitu cepat, sehingga tak mampu
Catil Buaya mengelakkannya. Tiba-tiba tangan Sariti
telah mencengkeram tangannya, lalu bagaikan benda
ringan dihempaskan tubuh Catil Buaya tinggi besar
itu. "Gedebug..."
Melotot mata Catul Landak menyaksikan hal
itu. Namun Catul Landak tak dapat berbuat apa-apa,
manakala dengan cepat Sariti telah menghempaskan
dirinya jatuh terlentang bagaikan sehelai daun lontar
yang dihempaskan.
"Kau... Bedebah! Rupanya kau ingin main-main
dengan Dua Buaya Merah. Hem... bersiaplah, hiat...!"
menggeram marah Catil Buaya. Seketika tubuhnya
bangkit, berkelebat menyerang pada Sariti yang masih
tersenyum. Manakala serangan Catil hendak sampai
dengan mengegoskan tubuh yang langsing itu Sariti
mengelak dan tanpa dapat dicegah kakinya mengang-
kat menendang muka Catil Buaya.
"Splak...! Splak...! Splak...!"
Tiga kali tendangan beruntun menghantam
muka Catil Buaya, yang seketika itu sempoyongan
dengan hidung dan mulut keluarkan darah. Melihat
kakak seperguruannya terluka, dengan nekad Catul
Landak bangkit seraya langsung menyerang dengan
senjatanya Duri Buaya.
"Aku bikin kulitmu yang mulus itu bergedel,
Gadis Sundel!"
"Hi, hi, hi... Buktikanlah kalau kau mampu,
Catul?" berkata Sariti dengan senyum meremehkan.
Tubuhnya yang ramping berkelebat memapaki seran-
gan tersebut. Belum juga serangan Catul sampai, Sari-
ti dengan segera hantamkan pukulan yang disaluri te-
naga dalam. Karena Batul tengah dilanda emosi, se-
hingga serangan tersebut tak mampu ia elakan. Tu-
buhnya seketika terhempas terbang bagai ditiup angin
prahara, dan jatuh membunyikan suara gedebug.
Sariti tersenyum, berjalan menghampiri kedua-
nya yang jatuh terduduk. Senyumnya masih mengem-
bang, bahkan kini makin lebar. Hal itu makin menja-
dikan kedua Buaya Merah merandek marah, yang
dengan mendengus segera berkelebat menyerang ba-
reng. Diserang begitu rupa tidak menjadikan Sariti
bingung atau takut. Bahkan dengan senyum yang ma-
sih mengembang Sariti berkelit balik menyerang. Kaki
dan tangannya bergerak cepat laksana baling-baling
yang ditiup oleh angin kencang. Hal itu menjadikan
kedua Buaya Merah tersentak, melompat mundur.
"Kita hadapi dengan ilmu Buaya, Catul."
"Ayo, kakang, hiat..!"
"Buaya Merah Mencari Mangsa, hiat...!"
"Hi, hi, hi... Buaya ompong, akan aku hadapi
dengan ini," bersamaan dengan habisnya suara Sariti, tiba-tiba tubuh Sariti
bergerak bagaikan anak panah
yang dilepaskan dari busurnya. Tubuh Sariti seketika
terbelah, menjadi dua, kemudian tiga, empat... Sepu-
luh Sariti kini muncul. Hal itu menjadikan kedua mu-
suhnya bingung untuk menyerang yang mana. Semu-
anya sama, semuanya tersenyum ke arah kedua lelaki
bertampang menyeramkan.
"Hi, hi, hi... Masihkah kalian tak mau mengakui
kekalahan kalian?" tanya sepuluh gadis cantik itu bareng, menjadikan gema yang
berkepanjangan.
"Baiklah kami menyerah," menjawab Catil
Buaya. "Bagus! Mulai sekarang akulah ratumu, pa-
ham!" membentak gadis itu dengan angkuhnya. "Juga semua yang ada di dalam kedai
ini, sejak saat ini kalian harus mengakui aku sebagai pimpinan kalian. In-
gat! Bila ada yang berani membantah maka hadiahnya
akan seperti ini, hiat...!" Sang gadis kiblatkan telapak tangannya ke seseorang
yang sedari tadi memandangnya yang duduk di sudut ruangan. Seketika bersa-
maan dengan selarik sinar putih keluar dari telapak
tangan si gadis, melengking pula orang tersebut. Orang itu akhirnya terdiam mati
dengan tubuh meleleh bagaikan malam terkena api. Itulah ajian Lebur Raga.
Bergidig semua yang menyaksikan, mata mereka melo-
tot. Bau daging terbakar, seketika menyengat hidung
menjadikan yang tak kuat menahannya muntah-
muntah. Sariti kembali duduk dengan tenangnya, me-
nyantap makanan yang telah disediakan dengan la-
hapnya. Ia tak lagi memperdulikan pada semua pen-
gunjung kedai, yang dengan takut-takut memperhati-
kan dirinya. Tengah Sariti menyantap makannya, terdengar
seruan orang di luar kedai.
"Kanjeng Bupati Kencana Wungu datang...!"
Serta merta seluruh yang berada di dalam kedai
keluar, tak luput juga Sariti. Ditinggalkannya maka-
nan, dan segera berkelebat ke luar. Ia ingin tahu ba-
gaimana tampang Bupati Kencana Wungu, yang menu-
rut desas desus sangat tampan dan penuh kewiba-
waan. Dari kejauhan nampak dua lelaki tampan du-
duk di atas kuda-kuda mereka, sementara di bela-
kangnya berjalan puluhan prajurit mengiringi. Seren-
tak seluruh rakyat jongkok menyembah sembari surut
minggir memberikan jalan. Kencana Wungu duduk di
atas dengan senyumnya, di samping kanan duduk di
atas kuda Prakoso Suryo sang pimpinan prajurit yang
sekaligus adik seperguruannya.
Ketika keduanya sampai de depan kedai, seren-
tak seluruh pengunjung kedai yang telah keluar jong-
kok menyembah seraya keluarkan sanjungan.
"Sejahtera bagi baginda Kanjeng Bupati kencan
Wungu!" "Terimakasih... Sejahtera pula untuk kalian,
rakyatku!" menjawab sang Bupati sembari lemparkan senyum manis. Namun seketika
senyumnya menghilang, berganti dengan kerutan di dahinya manakala di-
lihatnya seorang wanita muda cantik berdiri. Wanita
muda cantik itu tidak jongkok seperti yang lain, tapi
berdiri dengan angkuhnya bahkan tersenyum seenak-
nya. Mata gadis itu memandang tajam tak berkedip,
memandang pada Kencana Wungu. Para prajurit yang
melihat hal itu seketika berkelebat mendatangi gadis
cantik itu bermaksud menangkapnya, manakala Ken-
cana Wungu telah mendahului berseru.
"Biarkan, Prajurit-prajuritku!"
Tersentak seluruh prajurit mendengar hal itu.
Mereka tak mengerti kenapa Bupatinya melarang un-
tuk menangkap gadis liar dan angkuh itu. Kencana
Wungu telah turun dari kuda, menghampiri gadis can-
tik itu yang masih berdiri memandangnya tajam
menghunjam. "Siapakah nona ini" Sepertinya nona orang ba-
ru di sini."
"Kaukah Bupati Kencana Wungu itu!" balik bertanya gadis cantik itu, menjadikan
seluruh mata melo-
tot kaget tak percaya kalau gadis itu akan nekad bera-
ni bertanya lancang. Seluruh rakyat seketika mengger-
tuk, kesal dan jengkel melihatnya.
"Gadis sombong! Lancang benar mulutmu!"
"Sudahlah, rakyatku. Janganlah kalian me-
mendam rasa benci atau marah. Aku tak apa, dan
maklum akan hal itu. Siapa nama nona?" tanya Ken-
cana Wungu seraya datang menghampiri.
Gadis itu tersenyum memandang pada Kencana
Wungu. Matanya menatap sayu, sepertinya mengata-
kan sesuatu maksud agar Kencana Wungu mau men-
gerti dan memahami arti tatapan itu. Hati Kencana
Wungu seketika terpanah, bergetar mendengungkan
sebuah kalimat merdu.
"Kenapa nona terdiam?" ulang Kencana Wungu
bertanya. "Ti-tidak. Aku terpana memandangmu," terba-
ta-bata gadis itu menjawab, menjadikan Kencana
Wungu makin melebarkan senyumnya. Sementara
sang gadis pun tersenyum, mengulaskan sebuah pe-
mandangan indah di bibirnya. "Nama hamba, Sariti...
Dewi Sariti."
Kepala Kencana Wungu mengangguk-angguk
mengerti. "Dapatkah nona nanti datang ke Kadipaten?"
"Adakah saya bersalah, Kanjeng?" tanya sang
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis dengan takut-takut, menjadikan Kencana Wungu
kembali mengulas senyum. Ditajamkan matanya me-
natap sang gadis, yang seketika itu tertunduk. Entah
apa yang menjadikannya tertunduk, yang semula be-
rani menentang pandang.
"Aku tak dapat menjawabnya sekarang, tapi
nanti di Kadipaten kau akan aku beritahukan," menjawab Kencana Wungu. "Ayo Dinda
kita lanjutkan perjalanan."
"Daulat, Kanda. Prajurit... Kita teruskan perja-
lanan!" berseru Prakoso Suryo memerintah. Seketika
itu pula mereka pun bergerak kembali, meninggalkan
tempat itu, meninggalkan Sariti yang memandang ke-
pergian mereka dengan sejuta perasaan yang melekat
di hatinya. * * * Kuda-kuda yang ditumpangi mereka berjalan
lambat, hal itu memang disengaja agar mereka dapat
bercakap-cakap. Kencana Wungu tampak tercenung di
atas kudanya, menjadikan Prakoso yang mengiringinya
seketika mengajukan pertanyaan.
"Kenapa gerangan kanda melamun" Sepertinya
kanda memikirkan sesuatu. Apakah gadis itu yang
kanda tengah pikirkan?"
"Ah..." melenguh Kencana Wungu. "Kau tahu saja, Dinda."
"Dinda hanya menebak, sebab dinda perhatikan
kanda melamun sejak kanda menghampiri gadis itu.
Kenapa, Kanda...?"
Kencana Wungu sesaat menarik napas, me-
mandang pada Prakoso dengan bibir terurai senyum.
Dan dengan malu-malu, Kencana Wungu menjawab.
"Entahlah, Dinda. Sejak melihatnya hati kanda seketika itu pula telah terpanah
oleh cinta."
"Ah..." kini Prakoso yang melenguh, yang seketika mengundang perhatian Kencana
Wungu bertanya.
"Kenapa, Dinda" Sepertinya kau merasa berat."
"Entahlah, Kanda. Aku hanya merasakan sesu-
atu yang tak enak bila kanda harus dengan gadis itu,"
menjawab Prakoso Suryo. "Di samping liar, sorot matanya nakal. Apakah sorot mata
itu tidak ada maksud
sesuatu di baliknya" Entahlah, Kanda."
"Ah, kenapa kau mesti memikirkan itu semua,
Dinda. Mungkin sorot mata itu karena ia baru saja tu-
run gunung," berkata Kencana Wungu beralasan. "Bukankah dulu kita waktu pertama
kali turun gunung
juga seperti macan...?"
Seketika itu kedua kakak beradik seperguruan
itu pun bergelak tawa, lalu dengan segera dipacunya
kuda-kuda yang mereka tumpangi.
* * * Tersentak Kencana Wungu dan Prakoso Suryo
manakala dilihat oleh keduanya bahwa gadis itu telah
berada di halaman Kadipaten. Gadis itu tersenyum
manakala melihat kedatangan mereka, sepertinya
memberikan gambaran sesuatu. Ya, sesuatu yang tak
dapat dijawab oleh kedua kakak beradik yang tak me-
naruh sakwasangka buruk. Apalagi Kencana Wungu,
serta merta ia segera turun dari atas kudanya meng-
hampiri si gadis.
"Kapankah nona datang?" tanya Kencana Wun-
gu. "Dari tadi," menjawab Sariti dengan bibir masih terurai senyum, senyum yang
mampu menggetarkan
dada setiap lelaki. "Sejak aku melihat Baginda, entah karena apa hatiku seketika
ingin selalu melihat wajah
Baginda. Apakah ini yang dinamakan tak bertepuk se-
belah tangan, Tuan...?"
Terbelalak dan makin melebar saja mata Ken-
cana Wungu kaget, demi mendengar penuturan Sariti
yang polos. Dengan tanpa malu-malu Kencana Wungu
segera menggandeng tangan Sariti, masuk ke dalam
rumahnya. Prakoso Suryo hanya mampu geleng-
gelengkan kepala melihat hal itu, lalu ia pun segera
berlalu menuju ke rumahnya.
Kedua orang itu telah dibuai cinta, yang meng-
gayut dan mengukir di hati mereka. Kencana Wungu
nampak tersenyum, memapah langkah Sariti menuju
ke kursi, keduanya hanya terdiam dan diam, saling
pandang penuh arti. Lama hal seperti itu keduanya la-
kukan, sampai-sampai mereka tak menyadari kalau
tangan-tangan mereka saling berkait, saling remas
dengan bibir terurai senyum.
"Apakah yang hendak Kanjeng Bupati katakan
padaku?" tanya Sariti tiba-tiba, menjadikan Kencana Wungu seketika mendesah.
Sementara mata keduanya
masih saling tatap, seakan membersitkan benang-
benang cinta. "Apakah dinda belum mengerti juga?" balik bertanya Kencana Wungu, menjadikan
Sariti seketika
berbinar-binar matanya disebut dinda. Ah, kata sebu-
tan itu sungguh merdu didengar di telinganya, menja-
dikan Sariti seketika itu melayang sukmanya terbang
ke alam yang indah.
"Kanda..." mendesah Sariti terbata.
"Benar, Dinda. Sebut aku dengan sebutan itu,
sungguh aku merasakan kebahagiaan bila kau mau
menyebutkan sebutan Kanda padaku untuk sela-
manya." "Benarkah, Kanda?"
"Benar, Dinda. Sungguh aku mencintaimu se-
jak melihatmu tadi."
"Oooh, Kanda..." Sariti melenguh manja, men-
jadikan Kencana Wungu tak alang kepalang seketika
itu pula bagaikan hilang keseimbangan tubuhnya.
Kencana Wungu segera berdiri dari duduknya, me-
langkah mendekati Sariti.
"Maukah kau menjadi istriku, Dinda?"
"Dengan senang hati, Kanda..."
Mendengar jawaban itu, seketika tanpa sadar
Kencana Wungu dekap tubuh Sariti. Perlahan dide-
katkan mukanya, lalu hidungnya dan yang terakhir
bibir mereka berkait.
*** 6 Jaka Ndableg tersenyum melihat kera-kera
yang berloncat-loncatan dari satu pohon ke pohon
lainnya, saling canda ria. Tingkah kera-kera itu sangat lucu, mengundang gelak
tawa bagi yang melihatnya.
Melihat kera-kera itu yang bebas berkeliaran
dengan hati riang, menjadikan Jaka teringat pada di-
rinya. Dirinya juga bebas berkeliaran. Bedanya kalau
kera-kera itu tak ada yang mengusik, sedang dirinya
banyak musuhnya.
"Sungguh bahagianya kera-kera itu," gumam
Jaka. Pagi itu terasa sejuk, angin bertiup sepoi-sepoi menerpa daun-daun. Rambut
Jaka yang gondrong
nampak tergerai, beterbangan dihempas angin. Untung
saja Jaka mengenakan ikat kepala, kalau tidak mung-
kin rambut-rambutnya akan berantakan.
Dengan menggeleng-gelengkan kepala melihat
kera-kera yang lucu, Jaka segera mengambil sebuah
buah mangga dan dilemparkannya ke arah kera-kera
tersebut. "Ini untuk kalian, hoop!"
Setelah memberikan mangga tersebut pada ke-
ra-kera yang seketika itu berebutan Jaka segera mene-
ruskan langkah kakinya berlalu meninggalkan hutan.
Pikirannya tak tentu arah, ke mana saja hati nura-
ninya mengajak. Ke situ pula Jaka membawa tubuh-
nya. * * * Manakala Kencana Wungu tak ada di rumah,
diam-diam istrinya yang bernama Sariti atau Dewi
Kencana Wungu mencari di mana adanya penjara ba-
wah tanah yang digunakan untuk memenjarakan Da-
tuk Luluhung Begeg.
Hari itu ketika sang Bupati menghadap baginda
Raja, Dewi Kencana Wungu kembali mencari di mana
adanya penjara bawah tanah. Telah hampir seluruh
ruangan itu ia selidiki namun tak ada tanda-tanda ia
bakal menemukannya.
"Mungkinkah di belakang rumah?" tanyanya
dalam hati. Segera Dewi Kencana Wungu berkelebat ke be-
lakang rumahnya. Dicarinya pintu yang berada di ba-
wah tanah, yang memungkinkan untuk menembus
penjara tersebut. Namun kembali ia menemukan kega-
galan, karena ia tak mendapatkannya.
"Hem, sungguh-sungguh sulit. Kenapa aku ti-
dak menanyai Kencana Wungu saja?" mengeluh Dewi
Sariti. "Tapi... apakah nanti ia tidak curiga" Ah, benar.
kalau aku menanyakannya, bisa-bisa aku yang ditang-
kap karenanya. Hem, aku tak boleh putus asa dulu.
Aku harus tetap mencari sampai ketemu."
Habis menggumam begitu, Sariti kembali men-
cari di mana adanya pintu masuk menuju ke penjara
bawah tanah. Seluruh ruangan rumah telah ia cari,
namun belum juga diketemukannya. Hampir saja Sari-
ti putus asa, manakala matanya seketika melihat se-
suatu keganjilan di halaman belakang rumah. Pohon
pisang itu berdiri, namun daun-daunnya tak menghi-
jau seperti daun pohon pisang lainnya.
"Hem, mungkin itu tempatnya. Coba aku perik-
sa." Segera Sariti mengambil sekop, dan digalinya
tempat itu. Belum begitu dalam ia menggali, tiba-tiba
sekop yang digunakannya membentur betonan.
"Duk, duk, duk!"
"Hem, ini dia."
Perlahan-lahan Sariti membuka pintu yang ter-
buat dari betonan, yang menutupi lobang pintu.
"Hooop... ya!"
Betonan itu pun akhirnya terangkat, bersa-
maan dengan mentalnya tubuh Sariti. Saat itu juga,
sepuluh tombak berkelebat mengarah Sariti yang ter-
sentak kaget, lemparkan tubuh ke samping menghin-
dar. "Huh, benar-benar bahaya kalau aku tak hati-
hati," mengeluh Sariti dalam hati. Perlahan ia bangkit, lalu mendekati lubang
yang menganga. Langkahnya
begitu hati-hati, takut kalau-kalau jebakan akan da-
tang menyerang lagi.
Sariti mengambil sebongkah batu, dicobakan-
nya batu itu. Tak ada apa-apa yang menyerang batu
itu. Setelah yakin benar bahwa sudah tak ada jebakan,
Sariti perlahan-lahan menuruni tangga yang ada di si-
tu. Dengan terlebih dahulu menengok kanan kiri,
Sariti segera menuruni anak tangga ke bawah. Gelap
keadaan di bawah hingga Sariti harus tertatih-tatih
melangkah. "Adakah ayah mendengar suaraku?"
Tak ada jawaban.
Sariti kembali melangkah maju perlahan, ma-
kin ke dalam dan ke dalam. Sesaat Sariti berdiri mena-
jamkan mata untuk dapat melihat di tempat gelap itu
dan kembali ia berseru:
"Ayah... di mana kau?"
"Aku di sini, Anakku," terdengar jawaban dari seorang lelaki. "Terus kau
melangkah maju! Kalau kau melihat cahaya, maka di situlah aku."
Sariti segera menuruti, ia melangkah perlahan
dalam gelap. Dicarinya ruangan yang bercahaya, se-
suai dengan perintah ayahnya. Tak lama kemudian Sa-
riti pun akhirnya menemukan tempat itu.
"Ayah!" Sariti memekik, manakala dilihat olehnya seorang lelaki tua dan tampak
makin tua saja ter-
kurung dalam jeruji besi.
"Apakah ayah tak mampu membuka jeruji itu?"
"Mana mungkin, Anakku." melenguh Datuk Lu-
luhung Begeg. "Tangan kananku puntung, Anakku!"
"Puntung!" memekik kaget Sariti demi menden-
gar hal itu. "Siapa yang telah melakukannya, Ayah"
Kencana Wungukah?"
"Bukan, Anakku." menjawab Datuk Luluhung
Begeg, menjadikan Sariti kembali bertanya ingin tahu
siapa adanya yang telah berani memutungi tangan
ayahnya. "Lalau siapa, Ayah" Biar aku yang akan meng-
hukumnya!"
Datuk Luluhung Begeg seketika menarik nafas.
Ditatapnya wajah anaknya yang tegang. Ia maklum be-
tapa sang anak sangat mencintainya. Namun untuk
mengatakan siapa adanya orang yang telah mencela-
kainya sungguh berat. Bukannya apa, sang Datuk tak
ingin anaknya harus menghadapi resiko. Melihat
ayahnya hanya terdiam, Sariti pun mendesaknya.
"Siapa, Ayah" Kenapa ayah sepertinya jeri?"
"Anakku. Tangan ayah ini ditebas oleh senjata
pusaka milik siluman." Akhirnya Datuk Luluhung Begeg menjawabnya, menjadikan
Sariti tersentak kaget.
"Siluman..." Jadi ayah telah bertarung dengan
siluman?" "Bukan itu, Anakku. Ayah tertebas oleh senjata
pusaka seorang Pendekar yang namanya akhir-akhir
ini tengah menjadi bahan ucapan. Kau kenal dia,
nak?" Sesaat Sariti terdiam sembari kerutkan kening mengingat-ingat siapa
gerangan Pendekar Pemilik Senjata Siluman. Namun sekian lama ia mengingat, tak
juga ia mengenalinya hingga akhirnya ia pun menge-
luh. "Aku tak mengerti, Ayah."
Datuk Luluhung Begeg tersenyum.
"Pendekar itu masih muda. Mungkin sebaya
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan dirimu." menjelaskan Datuk Luluhung Begeg.
"Dan senjata pusaka itu adalah sebuah Pedang yang mampu mengeluarkan darah bila
berhadapan dengan
musuh..." "Pendekar Pedang Siluman Darah!" memekik
Sariti memotong ucapan ayahnya.
"Benar anakku. Memang Pendekar itulah yang
telah melakukannya, ia juga mengancam akan mem-
basmi kita, bila kita melakukan kejahatan lagi. Itulah kenapa ayah pasrah
mendekam dalam penjara bawah
tanah yang pengap ini."
Tergetar Sariti mendengar ucapan ayahnya
yang bernada sedih. Darahnya seketika mendidih dan
mendidih, bergetar-getar laksana badai. Seketika itu
pula, dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman
muncul. Dendam untuk dapat membalas segala yang
pernah dilakukan pendekar itu pada ayahnya, sehing-
ga tanpa sadar Sariti berseru lantang
"Aku akan balas semua ini, Ayah! Akan aku
puntungi leher Pendekar Pedang Siluman Darah!"
"Anakku!" tersentak kaget Datuk Luluhung Be-
geg mendengar sumpah anaknya. Hampir saja Lulu-
hung Begeg menangis. Ya, Datuk Luluhung Begeg se-
dih. Ia tahu bahwa pendekar muda itu sangat susah
dikalahkan. "Percuma, Anakku. Dia bukan pendekar
sembarangan apalagi senjatanya."
"Tidak, Ayah! Tekadku untuk membalas semua
ini akan aku laksanakan. Aku tak akan membiarkan
pendekar sok ingin mencampuri urusan orang lain."
Menggerutuk ucapan Sariti, sampai-sampai gi-
gi-giginya beradu. "Sekarang ayah menepi, akan aku hancurkan jeruji besi ini."
Datuk Luluhung Begeg tak dapat menolak per-
mintaan anaknya, segera sang Datuk menurut menepi.
Sejurus kemudian...
"Hiat! Aji Lebur Raga!"
"Duar! Duar! Duar!"
Tiga kali berturut-turut terdengar ledakan dah-
syat. Bersamaan dengan itu, besi-besi penutup ruan-
gan seketika hancur patah-patah terhantam ajian Le-
bur Raga. Hal ini menjadikan mata Datuk Luluhung
Begeg melotot kaget. Ia tak menyangka kalau anaknya
mampu memiliki ajian yang sungguh-sungguh dah-
syat. Serta merta Datuk Luluhung Begeg memeluk tu-
buh anaknya dan menangis.
"Sudahlah, Ayah. Jangan kau menangis. Kini
ayah telah bebas."
"Tapi artinya kebebasanku kalau tetap diburu
oleh pihak Bupati Kencana Sari, Anakku?"
"Jangan pikirkan itu. Malam nanti aku akan
membuat segalanya berubah," menjawab Sariti beru-
saha menenangkan ayahnya. "Ayah bersembunyilah,
pergilah ayah ke Gunung Lanang dan temui anak bua-
hku. Katakan pada mereka ayah adalah ayahku. Ayah
Penguasa Gunung Lanang!"
"Tapi, apa yang hendak kau lakukan, Nak?"
tanya Datuk Luluhung Begeg dengan mata menyipit.
"Tak usahlah ayah banyak tanya dulu. Waktu-
ku tak ada lagi, sebab sebentar lagi suamiku akan da-
tang." "Jadi... Kau istri Kencana Wungu?" tanya Datuk Luluhung Begeg kaget,
dijawab dengan anggukkan kepala oleh Sariti. Setelah kedua bapak dan anak itu
kembali berpelukan, Datuk Luluhung Begeg pun sege-
ra pergi meninggalkan penjara bawah tanah untuk
mencari tempat yang ditunjukkan oleh anaknya yaitu
Gunung Lanang. Tak ia sangka, kalau Penguasa Gu-
nung Lanang yang ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan
adalah anaknya sendiri...
* * * "Baru datang, Kakang?" sapa Sariti dengan se-
nyum manis, manakala menyambut kedatangan sua-
minya yang mengangguk sembari tersenyum. Dipa-
pahnya tubuh Sariti masuk ke dalam.
Sariti masih tersenyum, menuruti ajakan sua-
minya dengan perasaan berkecamuk. Perasaan den-
dam, seketika berperang dengan perasaan kasih. Ya,
benih dari Kencana Wungu telah tersebar di rahimnya.
Tapi bila mengingat ayahnya, segera pikiran lain dihi-langkan. Ditekannya
perasaan yang satu. Dendam. Ya,
dendam pada Kencana Wungu suaminya. Juga den-
dam pada Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Malam ini aku akan menjadikan Kadipaten ini
geger!" berkata Sariti dalam hati, sementara ia masih tetap melayani apa yang
tengah dilakukan suaminya.
Dibalasnya permainan cinta Kencana Wungu. Ketika
Kencana Wungu terhanyut, tiba-tiba Sariti mendorong
tubuh Kencana Wungu dengan kasar, menjadikan
Kencana Wungu tersentak kaget.
"Kenapa, Dinda" Kenapa berbuat begitu?" tanya Kencana Wungu tak mengerti.
Matanya memandang
tak berkedip, tajam bagaikan menggores ulu hati. Bi-
birnya memang masih tersenyum, tapi senyum itu ada-
lah senyum sinis.
"Kau harus mati, Wungu. Kau harus mati ma-
lam ini!" Habis berkata begitu Sariti melompat, men-
gambil pedangnya yang tergantung. Tersentak kencana
Wungu melihat istrinya tiba-tiba liar dan ganas. Ken-
cana Wungu menyangka itu karena pengaruh sang
bayi, sehingga ia pun membiarkannya. Maka manakala
Sariti tebaskan pedang tak ayal lagi, pedang itu mem-
babat puntung lehernya.
"Aaaahhh!" memekik Kencana Wungu.
Tubuhnya seketika ambruk bersamaan dengan
menggelindingnya kepala. Ambruk dengan darah men-
cuat dari leher yang putung.
Tertawa bergelak-gelak Sariti melihat hal itu.
Dari sela-sela bibirnya, terbersit sebuah kata-kata, sebelum ia pergi
meninggalkan Kadipaten. "Tunggulah nanti olehmu, Pendekar Pedang Siluman Darah.
Aku akan mengadakan perhitungan denganmu, hi, hi, hi..."
7 Esok paginya.....
Tersentak melotot mata Prakoso melihat apa
yang terjadi. Dilihatnya tubuh kakak seperguruannya
telah mati dengan kepala terpenggal. Tanpa dapat
mencegah, menangislah Prakoso Suryo seketika.
"Di manakah Kanda Dewi?"
Segera Prakoso Suryo tinggalkan tubuh kakak-
nya mencari Dewi Sariti. Segenap penjuru rumah dije-
lajar, tak ditemukan. Prakoso Suryo lari ke belakang,
tak juga ia menemukan.
"Kurang ajar! Ternyata iblis betina itu yang te-
lah berbuat semuanya?" menggerutuk marah Prakoso
Suryo. "Prajurit!"
"Daulat, Tuan!" menjawab Prajurit.
"Sinting kalian! Cepat ke mari!"
Dengan rasa takut, Prajurit itu segera datang
menghampiri Prakoso Suryo.
"Ada apa, Ketua?"
"Dungu! Apakah kalian tadi malam tidak meli-
hat apa-apa, hah!"
Pucat pasi seketika wajah prajurit itu menden-
gar teriakan ketuanya, prajurit itu tahu kalau ketuanya telah marah, dan ia pun
telah tahu apa yang bakal
terjadi bila ketuanya marah. Maka dia hanya mampu
diam dan diam, tanpa berani berkata-kata.
"Apakah telinga kalian yang jaga telah tuli
hingga tidak mendengar keributan, hah! Atau kalian
memang sengaja bersekongkol dengan iblis wanita itu,
jawab!" "Am-ampun, Ketua. Sungguh kami tak berani
berkata bohong pada Ketua. Me-me-mang kami men-
dengarnya, namun kami menyangka suatu pertengka-
ran biasa. Dan-dan ketika kami menanyai sang Dewi,
dia hanya menjawab bahwa dia akan pergi keluar se-
bentar," menjawab prajurit terbata-bata.
"Hem, sekarang juga beritakan pada seluruh
rakyat bahwa kadipaten tengah berkabung!" perintah
Prakoso Suryo. Ia menyadari betapa pun para prajurit-
nya tak dapat disalahkah. Mereka sangat menjunjung
tinggi tatakrama dan etika. Manalah mereka berani
bertindak ceroboh, sedang yang ribut adalah gustinya.
"Daulat, Ketua."
"Lakukanlah sekarang juga. Beritahu pada se-
genap penduduk bahwa Kanjeng Bupati meninggal di-
bunuh oleh Iblis Betina itu!"
"Daulat, Ketua," menjawab prajurit.
"Kau...." menunjuk Prakoso Suryo pada prajurit
lainnya. "Daulat, Ketua."
"Periksa tahanan, segera!"
Sang prajurit yang diperintah dengan segera
melaksanakan tugas mereka masing-masing. Ada yang
mengurusi mayat sang Bupati, mengurusi penyebaran
pengumuman dan ada pula yang melihat tahanan ba-
wah tanah. Tak begitu lama kemudian, prajurit yang
diperintah melihat tahanan telah kembali dengan mata
menggambarkan ketakutan. Hal itu menjadikan Prako-
so Suryo seketika kerutkan kening, dan bertanya.
"Ada apa, Prajurit?"
"Ketiwasan, Ketua" menjawab prajurit itu.
"Ketiwasan..." Ketiwasan bagaimana maksud-
mu?" "Tahanan itu telah pergi," menjawab sang pra-
jurit dengan takut, kalau-kalau ketuanya bakal marah.
"Edan! Kalau begitu jelas iblis betina itu kam-
brat Datuk Luluhung Begeg!" bergumam Prakoso
Suryo gusar. "Cari mereka sampai ketemu, lakukan
cepat!" "Daulat, Ketua," menjawab kesepuluh prajurit.
Setelah menyembah hormat, kesepuluh prajurit
itu tanpa membuang-buang waktu lagi segera menja-
lankan perintah. Mereka memacu kudanya laksana
angin, cepat memburu bagaikan desingan anak panah
yang diluncurkan dari busurnya.
Jaka yang saat itu hendak menuju ke Kabupa-
ten untuk silaturahmi pada Kanjeng Adipati Kencana
Wungu dan adiknya Prakoso Suryo seketika hentikan
langkah, manakala dilihat segerombolan penduduk
tengah berkerumun mengerumuni seseorang. Segera
Jaka berkelebat menuju ke arah situ.
Tersentak Jaka mendengar pengumuman yang
dibacakan oleh salah seorang prajurit Bupati yang ia
kenal bernama Jambe Lanang, yang isinya memuat be-
rita duka kematian sang Bupati. Setelah Jambe La-
nang membacakan pengumuman, segera Jaka berseru
memanggilnya. "Jambe Lanang, tunggu..."
Jambe Lanang yang merasa namanya ada yang
memanggil hentikan langkah. Dibalikkan tubuhnya
menghadap pada suara itu berasal, ia begitu tersentak
manakala tahu siapa adanya yang telah memanggil
namanya. Tanpa sadar Jambe Lanang bergumam me-
nyebut nama pemuda itu.
"Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah, kebe-
tulan." "Benarkah apa yang kau bacakan tadi, Jambe?"
tanya Jaka ingin memastikan, yang di angguki oleh
Jambe Lanang dengan mata terurai menangis. Melihat
hal itu, trenyuh hati Jaka seketika. Ia telah maklum
kalau seluruh rakyat benar-benar kehilangan seorang
pimpinan yang baik, yang bijaksana dan mementing-
kan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendi-
ri. "Sudahlah, Jambe. Ayo kita ke Kadipaten,"
mengajak Jaka. Keduanya segera meninggalkan kerumunan
orang yang juga meneteskan air mata. Mereka merasa-
kan betapa Kadipaten akan hilang pamornya bila tidak
dalam genggaman dua saudara itu. Dengan berlari-lari
keduanya segera menuju ke Kadipaten.
Tak berapa lama kemudian Jaka dan Jambe
Lanang telah sampai di Kadipaten. Kadipaten saat itu
tengah benar-benar berkabung atas wafatnya sang
Bupati, sehingga kedatangan Jaka dan Jambe Lanang
tidak mengusik mereka yang tengah dirundung lara.
Mereka saat itu tengah menangis dan menangis, me-
nangisi 1uka cita sang Bupati.
"Sampurasun..." menyapa Jaka, yang seketika
itu mengejutkan Prakoso Suryo. Prakoso Suryo seketi-
ka menengokkan muka, dan ia tersentak berbaur rasa
senang demi melihat siapa gerangan orang yang da-
tang. Dengan mengelap air matanya yang merembes
keluar, Prakoso Suryo segera menghampiri Jaka.
"Aku turut berduka cita, Prakoso."
"Ah, terimakasih, Tuan Pendekar," menjawab
Prakoso Suryo. "Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang te-
lah terjadi hingga sampai kejadian seperti ini?" Jaka bertanya. Dilangkahkan
kakinya menuju ke sesosok
tubuh yang terbaring bertutup kain. Perlahan kain pe-
nutup itu dibukanya, dan...! Jaka seketika melototkan
mata, manakala melihat gerangan apa yang ia saksi-
kan. Kepala Bupati sahabatnya, puntung dari tubuh.
Tanpa sadar, Jaka menggumam dengan gigi bergeme-
retukkan menahan marah. Walaupun Bupati Kencana
Wungu bukan sanak kandungnya, namun Bupati ini
telah mengangkat dirinya sebagai saudara. Ditambah
lagi dengan guru Kencana Wungu yang telah memin-
tanya untuk melindungi kedua muridnya.
"Gusti Allah... Sungguh perbuatan keji."
"Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya
pada Kyai Basofi" Oh, sungguh aku adalah orang yang
telah melalaikan amanat," mengeluh Jaka dalam hati.
Matanya memandang tak berkedip berkaca-kaca.
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa pelaku semua ini, Prakoso?" tanyanya
kemudian. "Anak Datuk Luluhung Begeg," menjawab Pra-
koso Suryo, menjadikan Jaka tersentak hampir me-
lompat mundur mendengar penuturan Prakoso.
"Edan! Jadi Datuk Iblis itu mempunyai seorang
anak?" menggerutu Jaka kesal. "Lalu kenapa sampai
anak Datuk Iblis dapat menyusup ke mari?"
Prakoso Suryo yang ditanya sesaat tercenung
diam. Dihelanya napas perlahan, lalu dengan suara
yang serak karena menangis Prakoso Suryo pun men-
ceritakannya. "Setelah kita dapat menangkap Datuk Lulu-
hung Begeg, seperti yang engkau ketahui sang Datuk
kami penjarakan di penjara bawah tanah."
"Benar. Lalu...?"
"Tiga bulan kemudian, ketika kami tengah me-
lakukan perjalanan keliling wilayah untuk melihat-
lihat keadaan wilayah, kami menemui seorang gadis
yang memandang pada kami dengan pandangan ang-
kuh di depan sebuah kedai. Gadis itu yang kami keta-
hui bernama Dewi Sariti rupanya telah memasang jerat
cinta di hati kanda Kencana Wungu, sehingga kanda
Kencana Wungu pun jatuh cinta saat itu pula. Mu-
lanya aku bermaksud menghalangi karena menurut
pendapatku dia bukan orang baik-baik. Namun kanda
Kencana Wungu menentang pendapatku. Yang lebih
aneh, gadis itu telah tiba lebih dahulu di sini menda-
hului kami. Saat itu juga, kakanda Kencana Wungu
menjadikan gadis itu istrinya. Dan terjadilah bencana
ini." Jaka terdiam mendengarkannya, kepalanya te-
rangguk-angguk, tangannya dipotongkan pada tangan
yang lain menyangga dagu, lalu kembali Jaka membu-
ka kain penutup mayat. Seketika hatinya menggelegar
marah, sehingga tiba-tiba Jaka bergumam.
"Aku akan mencari kedua iblis itu. Akan aku
buat perhitungan dengannya. Nah, Prakoso aku tak
dapat mengikuti pemakaman kakakmu, aku harus se-
gera meringkus dua iblis itu."
Bersamaan dengan habisnya ucapannya, Jaka
tiba-tiba telah berkelebat pergi meninggalkan Kadipa-
ten yang tengah dirundung duka untuk mencari dua
iblis anak bapak.
"Dasar iblis. Sudah aku ancam masih saja ne-
kad. Hem, dikira aku akan membiarkan begitu saja,
enak saja, memangnya aku ini apa?" bergumam Jaka
sembari terus berlari entah untuk ke mana, yang jelas
di hatinya hanya ada satu tujuan yaitu mencari orang
yang telah membunuh Kencana Wungu.
* * * Ketika Jaka tengah berlari memburu waktu, ti-
ba-tiba langkahnya dikejutkan oleh suara rintihan dari seseorang. Jaka yang
mendengar seketika itu juga
mencarinya. Tak berapa lama kemudian, Jaka telah
dapat menemukan orang yang tengah merintih itu.
Tubuh orang itu terdapat banyak luka bekas aniaya.
Jaka gelengkan kepala melihat hal itu seraya meng-
hampiri. "Ki sanak, kenapa kau" Kenapa kau tergeletak
di sini dengan luka-luka macam begini?"
Orang yang luka-luka itu perlahan membuka
matanya, memandang pada Jaka. Dan tiba-tiba orang
itu menyebut nama Jaka, yang menjadikan Jaka ter-
sentak kaget. "Kau menyebut namaku, Ki sanak?" tanya Jaka
heran. "Bu-bukan. Bukan kau. Aku-aku adalah praju-
rit Kabupaten Kencana Sari. A-aku dan kawan-
kawanku telah dibantai oleh seseorang yang mengaku
bernama Jaka Sedaya." Berkata lelaki prajurit itu me-
nerangkan. "Entah karena apa, tiba-tiba ia telah me-
nyerang pada kami."
"Apa kau tak tahu masalahnya?"
"Ti-tidak. Di-dia hanya menyebut nama De-
Dewi Sariti Iblis durjana yang telah membunuh kan-
jeng Bu-pa-ti..." orang itu akhirnya terkulai lemas, ma-
ti. "Hem, rupanya sang iblis bukannya sendirian.
Ternyata dia memiliki anak buah juga. Aku harus
mencegah segala tindakannya. Hiaaat..."
Setelah membaringkan tubuh lelaki itu yang
ternyata prajurit Kadipaten Kencana Sari, Jaka Ndab-
leg segera kembali berkelebat pergi mencari siapa
adanya orang-orang yang telah berbuat sadis. Memang
telah ia ketahui bahwa orang-orang itu adalah anak
Datuk Luluhung Begeg, yang ia kenal. Mampukah Ja-
ka mencari mereka" Ikuti terus kisah ini sampai tun-
tas... *** 8 Gunung lanang...
Puncak Gunung Lanang dari kejauhan tampak
menjulang tinggi seperti hendak mencakar langit, tam-
pak tenang dan sunyi. Namun bila kita melihat apa
yang ada di situ, kita akan dihadapkan pada sebuah
pemandangan yang sangat mengerikan.
Malam bulan purnama telah datang, bersama
semilirnya angin malam yang terasa menyengat kulit
menggigilkan sumsum. Seorang gadis perawan tampak
tergeletak di atas sebuah batu yang berbentuk pipih
panjang. Mata gadis itu sayu, sepertinya tak ada gai-
rah lagi untuk memandang atau untuk berbuat lain. Ia
seperti telah pasrah pada nasibnya, yang akan me-
renggut usianya hanya sampai pada malam itu saja.
Dari tempat lain, terdengar suara orang-orang
tengah berdoa dengan cara mereka. Tangan mereka di-
angkat tinggi-tinggi, lalu menari-nari. Orang-orang itu kebanyakan laki-laki,
ditambah dengan seorang wanita
yang kita kenal sebagai Sariti. Sariti tampak duduk
dengan agungnya di atas singgasananya. Ya, dialah
penguasa Gunung Lanang. Apa yang tengah Sariti la-
kukan" Seperti ayahnya Datuk Luluhung Begeg, Sariti
pun menganut ilmu sesat dari raja iblis Kongkong Ba-
long. Raja Iblis penguasa Gunung Lanang yang dengan
senangnya menerima Sariti menjadi murid. Segala ke-
saktian telah dilimpahkan raja Iblis itu pada Sariti
dengan imbalan Sariti harus mengorbankan seorang
gadis setiap bulan purnama.
Sepertinya malam itu, Sariti dan pengikut-
pengikutnya pun tengah melakukan upacara sakral
tersebut. "Wahai para pengikutku. Dengan cara seperti
inilah, kita akan selalu diindungi oleh Penguasa Gu-
nung Lanang. Malam ini adalah malam korban bagi
Penguasa Gunung Lanang. Apakah kalian telah meme-
riksa benar-benar akan keperawanan gadis itu?" terdengar suara Sariti berkata.
Suaranya menggema,
menjadikan sebuah gaung yang sangat menggetarkan
jantung yang mendengarnya.
"Sudah, Ketua..." menjawab para pengikutnya.
"Nah, sesaat lagi malam akan datang. Kalian
persiapkan segalanya, aku akan datang menemui ka-
lian nanti, lakukanlah!"
Tanpa banyak membantah, semua anggotanya
segera menyembah dan bergegas pergi meninggalkan
Sariti seorang diri. Sariti sunggingkan senyum, lalu
tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... Akulah yang kelak menjadi pim-
pinan dunia. Aku tak akan ada tandingannya. Hem,
tinggal menyingkirkan Jaka Ndableg atau Pendekar
Pedang Siluman Darah saja, semuanya akan beres.
Hua, ha, ha..."
Tengah Sariti tertawa-tawa seorang diri, dari
pintu lain keluar seorang pemuda datang menghampi-
rinya. Sariti tersenyum manakala tahu siapa adanya
pemuda itu, lalu dengan suara manja Sariti memanggil
nama pemuda itu.
"Jaka... Kemarilah, sayang?"
Pemuda yang bernama Jaka itu perlahan me-
langkah menghampiri. Wajahnya tampan, namun ada
goresan yang menunjukkan sebuah kekerasan di pipi
sebelah kirinya. Jaka melangkah bagaikan robot, men-
dekati Sariti yang tersenyum. Makin lama makin dekat
dan dekat. Sariti yang tak tahan lagi dengan nafsunya, ser-
ta merta menarik tangan Jaka. Di tempat itu pula, ke-
duanya segera bergumul saling rengkuh.
Sementara di tempat lain, anak buah Penguasa
Gunung Lanang nampak tengah menjalankan apa
yang menjadi perintah ketuanya. Mereka menggotong
tubuh seorang gadis, yang dibawanya ke luar.
Gadis itu digeletakkan terlentang, dengan tan-
gan dan kaki diikat tali. Mulut semua orang bertudung
hitam itu nampak komat kamit, sepertinya tengah
membaca mantra.
Bulan perlahan bergeser ke arah barat, mengi-
kuti pergeseran waktu. Dari rumpun bambu agak jauh
dari mereka melakukan upacara sakral, sepasang ma-
ta mengawasinya dengan tajam. Mata itu tak berkedip,
memandang tajam pada orang-orang bertudung. Pemi-
lik mata itu seketika membatin diliputi seribu macam
pertanyaan. "Sungguh-sungguh kejadian setahun terulang
lagi. Apakah pelakunya sama yaitu Datuk Luluhung
Begeg juga" Aku tak boleh membiarkan begitu saja.
Aku harus bertindak! Tapi aku akan melihat dulu apa
yang akan mereka lakukan."
Upacara sakral itu terus berjalan. Sepertinya
orang-orang bertudung itu tak mengetahui bahwa ke-
giatannya telah diintai oleh sepasang mata tajam, setajam burung rajawali kala
mengintai mangsa.
"Wahai Penguasa Gunung Lanang... wahai Pen-
guasa Gunung Lanang... malam ini, kami sengaja kor-
bankan untukmu seorang gadis perawan... semoga,
kau mau menerimanya... datanglah... datanglah...!"
Terdengar suara seseorang yang berdiri paling
tengah menyeru doa menjadikan orang yang mengin-
tainya hampir tertawa demi mendengar bacaan doa
yang seperti menyanyi.
"Edan! Rupanya mereka telah dikuasai oleh ib-
lis!" membatin pengintai itu dengan mata yang tetap tajam. "Apakah mereka juga
tak sadar dengan apa
yang mereka lakukan" Sepertinya memang ya."
"Wahai Penguasa Gunung Lanang, terimalah
persembahan kami untukmu." Habis ucapan ketua
upacara sakral itu, mereka semua menyanyi-nyanyi
dan berjoget-joget persis orang gila, mengitari tubuh
gadis yang terbaring itu.
Lelaki yang mengintai seketika berkelebat cepat
dan tahu-tahu tubuh gadis itu telah berada dalam bo-
pongannya. Tersentak semua yang tengah mengikuti
upacara itu, demi melihat seorang pemuda yang tak
lain Jaka Ndableg telah berani lancang mengambil ca-
lon korbannya. "Bedebah! Kau berani menghina Penguasa Gu-
nung Lanang. Siapa kau adanya, Anak muda!" mem-
bentak ketua upacara dengan geramnya.
Jaka tertawa bergelak, dan dengan suara
menggereng Jaka berseru. "Akulah penguasa Gunung
Lanang. Maka aku berhak membawa korbanku ini.
Bukankah kalian mempersembahkan korban ini un-
tukku" Hua, ha, ha..."
Suara Jaka yang dilandasi dengan tenaga da-
lam, menggema dengan kerasnya. Suara itu menjadi-
kan runtuhan batu-batu yang ada di sekitar Gungung
Lanang, menimbulkan gempa yang dahsyat.
"Bohong! Kau bukan Penguasa Gunung La-
nang. Penguasa Gunung Lanang meminum darah. Tapi
kau, kau tak lebihnya manusia cecunguk yang suka
usilan!" kembali ketua upacara menggeretak marah, merasa Jaka telah
mempermainkannya.
"Hua, ha, ha... kalau itu yang kalian ingini.
Baiklah, memang aku pun sudah haus darah. Ayo,
siapa yang hendak menjadi korbanku."
"Bangsat! Serang cecunguk jelek itu!"
Mendengar ucapan ketua upacara sakral, seke-
tika semuanya berkelebat mengeroyok Jaka Ndableg.
Namun dengan membopong tubuh gadis di pundaknya
sekali pun, Jaka dengan mudah melayani setiap se-
rangan musuh-musuhnya. Bahkan dengan ringan kaki
dan tangannya bergerak cepat.
"Bahaya kalau aku memanggul gadis ini sambil
bertarung. Memang kalau menghadapi kroco-kroco se-
perti ini, mudah ku melayaninya. Namun bila ketuanya
keluar juga Datuk Luluhung Begeg, niscaya aku kere-
potan juga. Baiklah, aku akan menitipkan tubuh gadis
ini pada penduduk, nanti baru aku ke sini lagi," bergumam Jaka dalam hati, dan
dengan segera berkelebat
tinggalkan tempat tersebut.
"Kejar cecunguk itu...!"
"Setan! Aku dikata cecunguk. Ah, biarlah dulu
nanti kalian akan tahu siapa adanya cecunguk ini."
Jaka terus berlari dengan cepat menuruni gunung.
Sementara pengejarnya nampak terus memburu dan
baru setelah melintasi sendang, pengejar-pengejar itu segera balik kembali.
"Syukurlah mereka tak terus mengejar," gumam Jaka sembari terus berlari membawa
tubuh gadis itu.
Jaka berhenti dari larinya tatkala dirasa sudah jauh
meninggalkan Gunung Lanang. Diturunkannya tubuh
si gadis, lalu dibukanya totokan yang ada di leher si gadis yang menjadikannya
tak dapat bicara.
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terimakasih, Tuan. Mungkin bila tuan tidak
menolong saya akan menjadi apa," berkata si gadis yang telah terbebas dari
totokannya. "Ah, tak usah kau pikirkan semua itu. Siapa
namamu?" Gadis itu tersipu-sipu manakala matanya bera-
du pandang dengan mata Jaka. Perlahan-lahan kepa-
lanya menunduk, menyembunyikan apa yang kini be-
rada pada kedua pipinya. Lalu dengan suara lembut si
gadis menjawabnya.
"Nama saya, Leilina."
"Hem..." Jaka menggumam seraya kerutkan
kening mendengar nama gadis yang ditolongnya, men-
jadikan si gadis yang bernama Leilina seketika ber-
tanya. "Kenapa tuan menatapku begitu?"
"Namamu aneh, Nona Leilina. Apakah kau bu-
kan orang asli sini?"
Leilina menggelengkan kepala.
"Jadi orang manakah?"
"Aku...?" tanya Leilina ingin memastikan seraya menunjuk pada diri sendiri.
"Ya, nona..."
"Aku berasal dari Tibet," jawab Leilina, menjadikan Jaka seketika tersentak
kaget menggumam,
mengulang kata-kata akhir yang diucapkan Leilina.
"Tibet...?"
"Ya..."
"Baiklah, Nona Leilina. Kau akan aku titipkan
pada penduduk kampung dulu."
"Lalu tuan mau ke mana?" tanya Leilina terheran-heran,
"Aku hendak kembali ke Gunung Lanang, tem-
pat tadi," menjawab Jaka, yang menjadikan mata Leilina seketika makin menyipit.
"Kenapa nona?"
"Aneh tuan ini," menggumam Leilina makin
menjadikan Jaka tersentak tak mengerti. "Kenapa tuan
yang telah terbebas mau mendatangi tempat itu lagi?"
Jaka hanya gelengkan kepala, dengan senyum
menyungging di bibirnya. Lalu dengan suara pelan Ja-
ka menceritakan apa yang telah menjadi tujuannya
pada Leilina yang seketika itu melotot kaget demi men-
getahui Jaka adanya. Dari bibirnya yang mungil, ter-
bersit seruan kaget. "Jadi tuan seorang pendekar" Ah, sungguh aku bahagia bisa
mengenal tuan."
"Sudahlah, Nona, aku tak ada waktu. Ayo..."
Dengan segera Jaka membopong tubuh Leilina
dan membawanya menuju ke perkampungan pendu-
duk. Setelah menitipkan Leilina pada salah seorang
penduduk yang mau menerimanya, Jaka segera berke-
lebat pergi menuju ke Gunung Lanang.
*** 9 "Sariti... Keluar kau!"
Sariti yang tengah menikmati alunan kasih
dengan seorang pemuda yang bernama Jaka, seketika
tersentak kaget demi mendengar seruan seorang yang
mengenal namanya.
"Hem, siapa orang gila yang nekad, datang ke
mari?" menggerutu Sariti, "Ayo Jaka..."
Dengan ditemani Jaka, Sariti segera bergegas
keluar menemui orang yang berteriak-teriak memang-
gil namanya. Sariti tersentak, manakala dilihatnya seorang pemuda telah berdiri
dengan angkuh memandang
padanya. "Siapa kau!" bentaknya.
"Hua, ha, ha... Iblis betina! Rupanya kau juga
seekor iblis yang suka pada pemuda. Hem, inikah pe-
muda yang mengaku-aku namaku?" bergelak Jaka ter-
tawa, menjadikan Sariti dan pemuda yang berdiri di si-
sinya melotot marah.
"Bedebah! Siapa kau, Pemuda gila!" membentak pemuda yang berdiri di samping
Sariti dengan bengis.
"Akulah Jaka Ndableg, yang namanya kau pa-
kai seenak udelmu!"
"Enak saja kau bicara, Bocah edan! Kuhancur-
kan batok kepalamu, hiaat....!" Jaka yang bergaret bekas luka di pipinya segera
berkelebat menyerang.
Jaka Ndableg tersenyum renyah mendapat se-
rangan itu, ia tak menyangka kalau orang yang tengah
dihadapinya bukan pemuda sembarangan. Pemuda
yang juga bernama Jaka, adalah murid dari seorang
Datuk sesat Bulang Kesupan.
Serangannya begitu keras dan gesit, menjadi-
kan Jaka tersentak kaget. Jaka yang tak mengira ka-
lau pemuda itu tinggi ilmunya, tak sempat lagi menge-
lakkan serangan manakala pemuda itu menghantam-
kan tangannya. Hantaman itu begitu keras, menjadi-
kan Jaka Ndableg sempoyongan ke belakang. Dadanya
terasa agak sesak.
Melihat hal itu, tertawa bergelaklah Sariti yang
menyangka kalau orang yang ditakuti oleh ayahnya
ternyata hanya mempunyai ilmu yang rendah.
"Sungguh bodoh ayah. Ternyata pemuda dungu
seperti ini ia takuti. Hem, belum juga menghadapi aku
dia sudah keok, apalagi nanti menghadapi aku." bergumam Sariti dalam hati.
"Mana gelarmu yang besar itu, Pendekar. Ter-
nyata nama besarmu hanya isapan jempol belaka. Nya-
tanya kosong melompong!"
Jaka hanya meringis dan berusaha bangkit dari
duduknya. Dengan masih menahan sakit, Jaka Ndab-
leg kembali bangkit berdiri. Namun belum juga ia was-
pada tiba-tiba pemuda musuhnya telah mendahului
menyerang. Tersentak Jaka saat itu juga, dan untuk
kedua kalinya Jaka tak sempat mengelakkan tendan-
gan musuh. Tubuh Jaka Ndableg kembali terpental ke bela-
kang. "Bedebah! Jangan berbangga dulu Sariti, aku belum kalah. Mari kita
lanjutkan!" Dengan sekuat tenaga, Jaka segera bangkit dari jatuhnya. Secepat
kilat Jaka berkelebat dengan pukulan tenaga dalamnya.
Kemarahannya yang merasa telah dibakar seketika
meledak, menjadikannya bagai banteng ketaton.
Melihat hal itu, bukannya pemuda musuhnya
takut, bahkan dengan ganda tawa pemuda musuhnya
itu mengejek. "Hua, ha, ha... Rupanya kau masih
mampu, Anak edan. Baik, aku layani apa yang menjadi
sukamu, hiaat...!"
Kedua Jaka itu segera terlibat pertarungan. Ja-
ka Ndableg yang sudah merasakan dua kali hantaman
pemuda itu, tak segan-segan lagi keluarkan segala ju-
rus yang dimiliki. Segala jurus dari keempat gurunya,
mengalir bagaikan air bah silih berganti.
Tersentak Jaka kambratnya Sariti melihat ju-
rus-jurus yang aneh, yang dikeluarkan oleh Jaka
Ndableg. Jurus-jurus Jaka Ndableg tampak kaku, na-
mun angin pukulannya begitu dahsyat. Karena kekua-
tan itulah, menjadikan pukulan dan tendangan Jaka
Ndableg begitu keras.
"Aku leburkan tubuhmu, Iblis!" memaki Jaka
Ndableg marah. Tubuhnya bergerak cepat, berputar laksana
kincir. Tanpa dapat dicegah, kakinya yang membentuk
sebuah senjata menghantam telak tubuh musuh. Tak
ayal lagi, mentallah tubuh musuhnya ke belakang.
"Jangan mau mengalah, Jaka!" berseru Sariti
memberi semangat menjadikan Jaka kambratnya
bangkit dari duduknya dengan penuh percaya diri. Ma-
ta pemuda itu memerah laksana bara api, memandang
tajam ke arah Jaka Ndableg. Lalu dengan didahului
pekikkan, pemuda itu kembali berkelebat menyerang.
Jaka yang tak mau membuang-buang waktu,
segera memapakinya dengan jurus-jurus yang telah Ki
Bayong ajarkan. Maka tak ayal lagi, kedua pemuda
pendekar itu berkelebat saling serang di udara. Kedu-
anya sama-sama tangguh, keduanya sama-sama pen-
dekar yang mumpuni. Keduanya sama-sama Jaka,
yang mempunyai kekuatan sendiri-sendiri.
"Hiat...!"
"Hiat...!"
Jurus demi jurus keduanya lalui dengan cepat,
sepertinya kedua anak muda pendekar itu tak menga-
lami rasa cape sedikit pun. Serangan keduanya masih
tampak keras, dengan disertai jurus-jurus yang keras
pula. Ketika telah mencapai jurus yang kelima puluh,
Jaka Ndableg segera loncatkan diri ke angkasa. Dan
ketika telah mencapai titik kulminasi, Jaka Ndableg
segera menukik ke bawah. Tangannya rapat, memben-
tuk sebuah godam. Seketika memekiklah musuh, den-
gan kepala pecah.
Tersentak Sariti melihat hal itu, serta merta ia
pun berkelebat menyerang Jaka. Diserang begitu ce-
pat, Jaka yang belum sepenuhnya waspada tersentak.
Hampir saja lambungnya kena tendangan, kalau saja
Jaka tak segera egoskan tubuh miring.
"Hem, kebetulan! Memang aku mencarimu. Tak
akan aku biarkan kau hidup, hiat...!"
Dengan segenap amarahnya Jaka segera balik
menyerang. Kali ini tak tanggung-tanggung, jurus dari
keempat gurunya digabung menjadi satu dengan hara-
pan dapat segera mengalahkan Sariti. Namun dugaan-
nya ternyata meleset. Sariti ternyata bukan gadis pen-
dekar sembarangan. Segala jurus-jurus yang Jaka ke-
luarkan sepertinya tak ada arti apa-apa bagi Sariti.
Malah sebaliknya, Jakalah yang terdesak hebat.
Serangan-serangan Sariti begitu keras, menga-
rah pada hal-hal yang mematikan. Jaka tersentak dan
berusaha mengelak manakala pukulan tangan Sariti
yang menari-nari mengarah ke dadanya. Namun se-
rangan itu datang dengan cepat, hingga tak dapat lagi
Jaka mengelakkannya.
"Dug, dug, dug!"
Terdengar tiga kali berturut-turut hantaman te-
lah mendarat di dada Jaka. Seketika Jaka terpental
mundur, dan dari bibirnya meleleh darah segar.
Mata Jaka memandang tajam, sepertinya tak
percaya pada apa yang diterimanya. Sariti kini telah
menghunus pedangnya, siap untuk mengakhiri hidup
pendekar kita Jaka Ndableg. Dan dengan suara lan-
tang Sariti berseru.
"Jaka Ndableg! Hari ini adalah akhir hidupmu.
Pukulan Sekat Nyawa akan menjadikan dirimu tak da-
pat berbuat apa-apa. Hua, ha, ha... Bersiaplah untuk
mati! Kau telah memputungi tangan ayahku, maka ha-
ri ini aku akan melunasi hutang ayah yang telah eng-
kau pinjamkan pada kami sekaligus bunganya. Karena
ayahku kau puntungi tangannya, maka aku pun akan
memuntungi kepalamu."
"Iblis laknat! Jangan kau kira semudah itu,
cuh!" Mendengar makian Jaka Ndableg, seketika ter-
tawalah Sariti bergelak-gelak. Lalu dengan masih ter-
tawa, Sariti kembali menggumam mengejek.
"Sebenarnya sayang, kau gagah. Kalau kau
mau menjadi kekasihku, maka aku akan mengampu-
nimu, bagaimana?"
"Huh... jangan kira aku mau menuruti uca-
panmu yang kotor dan najis itu, Iblis. Aku lebih rela
mati daripada menjadi kekasihmu!"
"Bedebah! Dikasih hati minta rempela. Jangan
menyesal kalau kau telah aku kirim ke neraka sana,
hiaat...!"
Kedua orang itu kembali berkelebat, meloncat
ke udara untuk mengadakan serangan. Jaka yang be-
lum memanggil Ratu Siluman Darah, segera memapaki
serangan pedang di tangan Sariti dengan pukulan Ge-
tih Sakti. "Hiat...!"
"Sroooooot...!"
Terbelalak Sariti melihat cairan merah keluar
dari tangan Jaka, serta merta ia hantamkan ajiannya,
dan...! "Desst....!"
Dua ajian itu bertemu. Getih Sakti yang dilan-
carkan Jaka, nampak berkelebat balik hendak menye-
rang tuannya. Spontan Jaka lemparkan tubuh ke
samping. Hanya beberapa inci saja, ajian Getih Sakti
hampir mengenainya.
"Bedebah! Aku harus memanggil Ratu Siluman
Darah." "Pendekar! Sesaat lagi kau akan mati. Nyawamu tinggal tiga jam saja,
sebab ajian Penyekat Nyawa-
ku telah berjalan. Hua, ha, ha.... kau akan mati den-
gan yang menggidigkan. Lihat di tanganmu, telah tum-
buh bintik-bintik merah. Bintik-bintik itu, sedetik demi sedetik akan membesar
dan besar lalu pecah mengeluarkan binatang menjijikkan."
Jaka tak ambil perduli dengan omongan mu-
suhnya, ia nampak terdiam dengan penuh konsentrasi.
Dari mulutnya, seketika terdengar seruan. "Dening Ra-tu Siluman Darah.
Datanglah!"
Tersentak Sariti atau Penguasa Gunung Lanang
demi melihat apa yang telah terjadi. Di tangan Jaka
Ndableg, kini tergenggam sebilah pedang yang meman-
carkan sinar kuning kemerah-merahan. Dari ujung-
nya, sungguh membelalakkan mata Sariti. Dari ujung
pedang menetes darah membasahi batangnya.
"Pedang Siluman Darah!"
Jaka tak menghiraukan ucapan Sariti, yang
tersentak kaget demi melihat pedang yang tergenggam
di tangannya. Ditusukkannya Pedang Siluman Darah
ke urat nadinya. Jaka menjerit sesaat, dan dari urat
itu mengalir darah hitam tersedot keluar. Saat itu pu-
la, Jaka bagaikan tak mengalami rasa sakit lagi. Ma-
tanya memandang tajam pada Sariti yang masih ter-
diam terbengong menyaksikan apa yang dilakukan Ja-
ka.
Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tengah Sariti terdiam bengong, terdengar Jaka
berseru. "Sariti, bersiaplah, hiat...!"
Tersentak Sariti mendapat serangan yang begi-
tu tiba-tiba. Segera ia tebaskan pedang berusaha me-
nangkis, namun gerakannya kalah cepat dengan gera-
kan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka yang seper-
tinya bergerak dengan sendirinya.
Tak ampun lagi, seketika Pedang siluman Da-
rah berkelebat membabat puntung leher Sariti. Sariti menjerit sesaat, lalu diam
dengan kepala puntung.
Jaka terdiam memandang kepala Sariti yang
menggelinding, terus menggelinding jatuh ke bawah ju-
rang. Itulah balasannya, bagi orang yang telah me-
mancung leher Bupati Kencana Wungu. Melihat Sariti
telah mati, segera Jaka berkelebat pergi meninggalkan
Gunung Lanang yang kembali sepi...
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Parit Kematian 2 Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Pahlawan Dan Kaisar 11