Pencarian

Cinta Memendam Dendam 2

Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam Bagian 2


akan marah bila mengerti tingkah laku anak buahnya.
Namun sebagai seorang pendekar Jaka dengan segera
berusaha menyadarkan sahabatnya dengan berkata.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Seperti juga
dengan aku, aku pun sangat menyesalkan tindakan-
nya. Kalau saja tak keburu kau datang, entah sudah
bagaimana aku ini. Mungkin tanganku akan terlalu telengas padanya yang terlalu
angkuh dan sombong,
atau barangkali Pedang Siluman Darah telah menghi-
sap darahnya. Ah, sudahlah. Tak perlu kita masalah-
kan, yang penting sekarang dia mau mengakui segala
tindakannya. Kita tunggu saja apa yang bakal ia lakukan pada gadis itu. Kalau
ternyata dia melakukannya dengan tak baik, maka aku pun tak akan segan-segan
untuk menurunkan tangan."
Sodra Jurnawa terdiam menurut apa yang dikata-
kan Jaka. Keduanya kembali melangkah menuju ke
kediaman Sodra Jumawa. Walau pikiran mereka dili-
puti segala masalah Warakas, namun keduanya nam-
pak tenang bahkan tiada ekspresi di wajah mereka tentang kekalutan.
*** Sulastri terus berlari dengan menangis. Langkah-
nya begitu cepat, sepertinya dibantu oleh tenaga lain.
Sulastri terus menjerit-jerit dan terkadang-kadang me-nyumpah-nyumpah nama
Warakas. Mungkin saking
terpukulnya, sehingga Sulastri pun berlari bagaikan kesetanan. Ditambah lagi
dengan dendam yang melanda di hatinya, menjadikan Sulastri tak menghiraukan
panggilan seseorang yang berada di belakangnya. "Sulastri... Tunggu...!"
Sulastri sesaat menengok ke belakang, lalu ketika
dilihatnya siapa adanya orang yang memanggilnya Su-
lastri bukannya berhenti dari larinya bahkan makin
mempercepat. "Lastri... Aku Warakas kekasihmu...!"
"Percuma kau menyebut-nyebut aku kekasih, ib-
lis! Aku tak perlu kau. Aku perlu mati untuk dapat
menyekik lehermu. Ingat itu Warakas, aku akan mati
dan datang untuk menuntut balas atas segala apa
yang telah kau lakukan. Aku tak rela kalau cintaku
kau sia-siakan!"
"Aku minta maaf, Lastri...!"
"Tidak! Minta maaflah nanti kalau kita sudah sa-ma-sama di akherat sana!" pekik
Sulastri histeris. Ia menangis dan terus berlari bagaikan tak mengenal ca-pai.
Kejar mengejarpun terus berjalan, sepertinya kedua orang itu tak ada yang mau
mengalah. Warakas terus memacu kudanya agar berlari ma-
kin cepat. Namun sepertinya Sulastri pun makin cepat pula berlari, sehingga
jarak keduanya bukan makin
lama makin pendek malah makin melebar dan jauh sa-
ja. "Sulastri... Awas di depanmu jurang!" seru Warakas manakala melihat jurang
telah menganga di hada-
pan Sulastri. "Aku tak perduli! Biar aku mati saja!"
"Jangan, Lastri! Jangan...!"
Warakas seketika berkelebat mencoba mengha-
langi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Warakas
telah melompat dengan cepat, dan berdiri di hadapan Sulastri. Melihat hal itu,
tiba-tiba Sulastri yang telah kalap menggeram marah. Dengan didahului pekikan,
Sulastri seketika tanpa disadari menyerang Warakas.
Tersentak Warakas mendapat serangan tersebut,
seketika Warakas pun berkelit mengelakkannya. Na-
mun sungguh tak diduga oleh Warakas, kalau Sulastri akhirnya benar-benar nekad.
Tanpa ampun lagi, seketika tubuh Sulastri melayang jatuh ke dalam jurang
dengan diikuti oleh pekikannya yang menyayat. "Aaaa-aahhhhh...!"
Warakas sejenak terpaku diam, sebelum akhirnya
menjerit seraya memburu ke bawah jurang. "La-
striiii...!" Warakas seketika tercenung sembari meman-
dang ke bawah jurang, di mana tubuh Sulastri hilang jatuh ke bawah. Maka dengan
lesu Warakas pun segera kembali meninggalkan jurang itu, menghampiri ku-
danya yang masih berdiri menunggu tuannya.
"Maafkan aku, Lastri," keluh Warakas penuh sesal. "Sungguh aku telah berdosa
besar padamu..."
Dituntunnya sang kuda melangkah meninggalkan
jurang itu, jurang yang telah menelan tubuh Sulastri bekas kekasihnya. Perasaan
Warakas seketika gundah, tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana nanti
menceritakan pada Pendekar Pedang Siluman Darah" Bagai-
mana pula ia harus mempertanggung-jawabkan" Bila
mengingat itu semua, seketika Warakas pun menangis.
Dan dengan langkah gontai bagaikan tak bersemangat
Warakas pun terus menuntun kudanya melangkah
pergi.... *** 5 Setelah mendengar penuturan dari Warakas ten-
tang apa yang dialami Sulastri, Jaka Ndableg pun segera meminta pamit pada
temannya yaitu Sodra Ju-
mawa untuk meneruskan pengembaraannya. Niat Ja-
ka yang utama, adalah menyelidiki apakah ucapan
Warakas benar adanya" Kalau ternyata kematian Su-
lastri yang menjatuhkan diri ke jurang itu atas kekerasan, maka Jaka tak akan
segan-segan lagi berbuat
menurunkan tangan telengas pada Warakas seperti di-
katakan oleh Sodra Jumawa.
"Aku pamit undur. Sodra."
"Ah, mengapa terburu-buru, Jaka?" tanya Sodra seakan tak ingin pertemuan itu
segera berakhir dengan
perpisahan. Rasa kangennya pada Jaka yang menjadi
sahabatnya belum terlunasi. Namun Sodra Jumawa
maklum siapa adanya Jaka, yang memang dipenuhi
dengan segala macam masalah dunia persilatan. "Ya, begitulah seorang pendekat
sepertinya. Tak ada waktu sesaat pun baginya untuk dapat mengasoh. Segala
waktu diserahkan untuk kepentingan orang banyak.
Sungguh aku merasa kagum padanya. Dialah seorang
pendekar sejati, yang mengutamakan kepentingan
orang banyak di atas kepentingan diri sendiri," gumam Sodra Jumawa dalam hati.
"Kau tahu sendiri apa yang telah menjadi kebiasaanku Sodra?"
"Oh, aku mengerti. Kebiasaanmu adalah mengu-
tamakan kepentingan orang banyak di atas kepentin-
gan diri sendiri. Kau rela berkorban untuk ketentraman dunia, walau nyawamu
sebagai taruhannya."
"Rupanya kau bisa bercanda juga, Sodra" Apakah kau tak menjadi dagelan. Ha, ha,
ha...." Sodra Jumawa hanya dapat geleng-geleng kepala
mendengar ucapan Jaka yang bercanda. Maka tak ayal
lagi, kedua sahabat itu akhirnya tumpahkan gelak tawanya menjadikan ruangan itu
seketika seperti terbelah oleh gelak tawa mereka.
"Baiklah, Jaka. Aku tak dapat mencegahmu, ka-
rena aku tahu kau bukan milikku seorang. Kau adalah seorang pendekar penegak
kebenaran dan keadilan,
jadi kau adalah milik masyarakat. Aku hanya dapat
mengiringi dengan doa, semoga kau selalu dalam lin-
dungan Gusti Allah dan selalu dalam kemenangan-
nya." "Terima kasih, Sodra."
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, tanpa
sepengetahuan Sodra secepat kilat Jaka berkelebat.
Hal itu menjadikan Sodra seketika terjengah heran.
Mata Sodra seketika mencari-cari, namun ternyata Ja-ka telah jauh
meninggalkannya. Tinggallah Sodra yang hanya dapat geleng kepala.
Jaka terus berlari dengan tujuan mencari jurang
yang telah dikatakan oleh Warakas. Tengah Jaka ber-
lari, tiba-tiba dia dikejutkan oleh desingan ratusan anak panah yang mengarah ke
arahnya. Serta merta
Jaka lemparkan tubuh ke atas untuk menghindar.
"Monyet-monyet gudigan! Siapa yang telah bertindak seperti monyet?" ngerompil
Jaka sewot. Tangannya secepat kilat berkelebat, dan ditangkapnya puluhan
anak panah yang mendesing-desing tertuju ke arah-
nya. "Hei... kalau kalian memang monyet, keluarlah!"
"Hua, ha, ha... Jadi kau kira aku ini monyet! Cuih!
Kau pun tak lebih dari kunyuk!" bentak seorang lelaki pendek dengan kepala
gundul yang tiba-tiba berkelebat dari semak-semak.
Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, manakala
melihat tubuh kate di hadapannya. Orang kate itu lu-cu, berbadan kelewat gendut
dan kepala botak ditam-
bah lagi dengan matanya yang besar bagaikan mata
buta. "Anak edan! Apa perlumu tertawa, hah!" kembali manusia kate itu membentak,
manakala tahu bahwa
Jaka mentertawai dirinya. Hal itu menjadikan Jaka
malah ganda tawa, lalu dengan terpingkal-pingkal Ja-ka pun berkata mengejek.
"Duh... duh! Kalau kau mau marah-marah, per-
cuma saja. Mendingan kau mendaftarkan diri saja pa-
da PT ABC, siapa tahu tubuhmu yang kerdil nan lucu
itu dapat dimanfaatkan untuk iklan!"
"Bedebah! Lancang kau berucap, Anak Siluman!"
"Hua, ha, ha... Kau lucu, Oom kerdil," gelak Jaka tertawa seraya berkata.
"Tubuhmu kelewatan. Sudah pendek, eh malah gemuknya bukan main. Kau persis
kodok bangkong, hua, ha, ha...."
"Bangsat! Kucincang tubuhmu, Anak Edan!"
"Suiit...!"
Lelaki cebol gemuk yang mirip raksasa matanya
seketika membunyikan suitan. Maka dari balik semak-
semak keluarlah puluhan cebol mengepung Jaka. Jaka
yang dasarnya ndableg, seketika tertawa bergelak.
"Hua, ha, ha.... Rombongan tuyul dari mana ka-
lian?" "Edan! Kau terlalu meremehkan kami! Apakah
kau belum tahu siapa kami, Anak edan!"
"Wuah, aku tahu nama julukan kalian. Kalian
mendapat julukan di dunia persilatan. Seratus Tuyul Pencuri Uang yang bau air
kencing. Hua, ha, ha...!"
"Slompret! Anak edan ini tak perlu dikasih hati.
Serang!" Mendengar komando itu, secepat kilat puluhan
orang kate lucu berkepala botak dan bermata lebar itu menyerang Jaka. Senjata
mereka yang berbentuk arit
pendek atau parang, berkelebat-kelebat dengan gera-
kan-gerakan tak beraturan tampaknya. Namun gera-
kan-gerakan itu bila dipahami benar-benar akan men-
jadikan sebuah gerakan yang sangat berbahaya. Gera-
kan yang kaku itu, selalu membawa angin besar me-
nerpa pada tubuh dan wajah Jaka.
"Wadaow, kenapa tuyul-tuyul ini galak amat, sih"
Apakah kalian tak pernah makan sesaji?" mengomel Jaka dengan gelak tawanya,
menjadikan ketiga puluh
tuyul yang bergelar Tri Dasa Buta Kuntet makin me-
rengkah marah. Mereka tanpa banyak bicara lagi terus berusaha merangsek Jaka.
Hampir saja Jaka keteter
oleh serangan mereka yang datangnya bertubi-tubi dan silih berganti.
"Edan! Kenapa kalian anak kecil sudah berani kurang ajar, hah! Apa kalian belum
pernah dikasih pela-
jaran" Nih, aku berikan pelajaran tata krama pada kalian!" Setelah berkata
begitu, secepat kilat Jaka berkelebat bagaikan seekor burung Srigunting.
Tangannya menyambar-nyambar, dan...
"Tap...."
Tangan Jaka seketika bergerak cepat menangkap
kepala salah seorang dari kate-kate itu. Tak ampun la-gi, dibawanya tubuh kate
itu ke atas dan dipelintirnya kumis kate itu. Maka menjeritlah kate itu karena
kumisnya tercabut dari tempatnya.
"Tobat...!"
"Hua, ha, ha... Siapa lagi yang ingin mengikuti kursus mencuri kelapa?" ledek
Jaka dengan ndableg-nya, sepertinya ia tak merasa sungguh-sungguh berkelahi.
Sementara kate yang kumisnya telah lepas, nampak berguling-guling sembari
memegangi kumisnya
yang tinggal sebelah. Air matanya mengalir deras, rasa sakit yang teramat sangat
melanda tubuhnya. Makin
marahlah kate lainnya melihat hal itu, yang dengan
segera kembali mengurung Jaka Ndableg.
"Wah, rupanya kalian menginginkan mainan be-
rupa kepiting. Oh... memang menurut cerita, tuyul su-ka kepiting. Baiklah, aku
akan memberi kalian seekor kepiting. Nah, ini yang pertama!"
Ditangkapnya seorang lagi kate itu, lalu dengan
tangan membentuk capit dipelintirnya leher kate itu.
Menjeritlah seketika sang kate, sampai-sampai lehernya berbunyi, "Kretek!".
"Kurang ajar! Kau harus mampus, Anak edan!"
membentak marah ketua kate itu, demi melihat anak
buahnya dua orang menggerung-gerung kesakitan. Pa-
rang di tangannya berkelebat cepat, hampir saja membabat tubuh Jaka kalau saja
Jaka tidak waspada.
"Ampun, Oom Tuyul! Kenapa kau galak amat,
sih..." Apakah kau kurang sesaji" Nah, aku akan
memberimu sesaji berupa nasi salak!"
Habis berkata begitu Jaka segera kembali berkele-
bat dengan cepat. Dikiblatkan tangan kanannya den-
gan jari-jari membuka, lalu dengan cepat tangan itu bergerak. Namun belum juga
tangan Jaka menghantam kening ketua kate, tiba-tiba seseorang berkelebat
menghadangnya. "Dessst...!"
Jaka segera tarik undur serangan, manakala
bayangan itu menghantam tangannya. Tangan Jaka
seketika kesemutan, terhantam oleh sebuah pukulan
oleh bayangan orang tersebut yang kini telah berdiri dengan senyum sinis
padanya. Tersentak Jaka Ndableg, manakala tahu siapa
adanya orang yang datang dan telah memukul tangan-
nya hingga kesemutan. Karena sudah mengenal siapa
adanya orang yang datang, serta merta Jaka berseru.
"Datuk Tuyul Setan! Rupanya kaulah biang dari
semua ini. Hem, apa maksudmu memerintah pada
anak buahmu si Tuyul Tri Dasa Buta Kuntet menye-
rangku?" "Hua, ha, ha... Jaka Ndableg, aku ingin melihat sebagaimana ilmu yang kau miliki
sebagai seorang
pendekar yang ditakuti oleh para tokoh golongan sesat.
Aku ingin mengujimu, Ndableg!"
"Hem, rupanya kau tak lebih dari seorang pengecut! Kenapa tidak kau sendiri yang
menghadapiku?"
bentak Jaka marah. merasa kalau dirinya telah ditipu mentah-mentah oleh Datuk
Tuyul Setan. Namun Datuk Tuyul Setan bukannya gentar mendengar benta-
kan Jaka, bahkan sebaliknya sang Datuk tertawa re-
nyah.

Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah aku kini telah menghadapimu?"
"Apa maumu, Datuk Iblis?"
"Mauku..." Kau harus melepaskan gelarmu seba-
gai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadi-
lan. Biarkan kami golongan hitam bertindak sesuai
dengan kemauan kami!"
"Apa kau kira semudah itu, Datuk?"
"Kenapa tidak" Kami akan membuktikannya,
Anak muda!"
"Jangan mimpi, Datuk! Jangankan untuk menuju
cita-citamu, untuk bernapaspun kalian akan senen
kemis," ejek Jaka, menjadikan sang Datuk seketika menggeram marah. Maka dengan
didahului dengan
bentakan sang Datuk seketika berkelebat menyerang.
Tubuhnya yang kecil cebol, layaknya seekor katak melompat menangkap nyamuk. Ya,
memang sang datuk
tengah menggunakan jurus Kodok Bangkong Menang-
kap Nyamuk. Jurus itu merupakan jurus andalan para
kate, sebab jurus tersebut merupakan jurus yang sangat ampuh. Jarang musuh dapat
lolos dari sergapan
jurus tersebut. Tapi Jaka bukanlah pendekar semba-
rangan. Percuma ia digembleng oleh lima guru sekaligus. Empat gurunya merupakan
tokoh-tokoh yang
pernah merajai dunia persilatan. Apalagi Ki Bayong
yang terkenal dengan julukan Pendekar Hati Suci,
sungguh tak ada tandingannya pada masa itu. Belum
lagi gurunya dari alam siluman yang datang bila di-
panggil dengan bentuk pedang pusaka. Maka mengha-
dapi gempuran Datuk Tuyul Setan yang menggunakan
jurus Kodok Bangkong Menangkap Nyamuk, tak men-
jadikan Jaka keteter. Bahkan Jaka dengan masih ber-
gelak tawa ria melayainya. Tarian-tarian tangan Jaka yang mengeluarkan jurus
Kupu-Kupu Berbisa didikan
Nyi Rukmini, menjadikan pudar jurus Kodok Bang-
kong. Terperanjat kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat
apa yang telah terjadi. Jurus yang diandalkan oleh
hampir seluruh tokoh kate, ternyata dapat dengan
mudah dihancur-leburkan oleh pendekar muda yang
bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Maka makin
gusarlah Datuk Tuyul Setan menerima hal itu.
"Jangan bangga dulu, Anak muda! Aku belum ka-
lah!" "Aku tak merasa bangga," jawab Jaka tenang.
"Ini untukmu! Hiat...!"
Selarik sinar hitam berkelebat cepat, keluar dari
telapak tangan Datuk Tuyul Setan. Sesaat Jaka tersentak mundur, lalu dengan
segera elakkan pukulan itu.
"Wah, bagaimana kalau kau dijadikan tukang pa-
nah kerajaan" Mungkin kau akan salah sasaran. Atau
mungkin temanmu sendiri yang terkena. Lihat...!"
Memang benar apa yang dikatakan Jaka, pukulan
Datuk Tuyul Setan yang bernama ajian Lutuk Gayung
melesat beberapa jengkal dari tubuh Jaka dan meng-
hantam telak pada anak buahnya. Seketika ketiga
anak buahnya menjerit, lalu mati dengan tubuh mem-
biru. Tubuh mereka terkena racun yang paling ganas, yaitu racun Kecubung Ungu.
"Ah, ternyata Datuk Iblis ini memiliki racun Kecubung Ungu. Kalau saja aku tak
cepat menghindar,
sungguh berbahaya," keluh Jaka dalam hati. Dan Jaka pun untuk kedua kalinya
tersentak kaget, manakala
sebuah pukulan serupa kembali berkelebat ke arah-
nya. Karena untuk mengelakkannya tak mampu, serta
merta dengan tanpa perhitungan lagi Jaka hantamkan
ajian Getih Sakti.
"Sreet...!"
"Crooot...!"
"Blum!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua ajian
itu bertemu di udara. Kedua orang pemiliknya seketika terpental ke belakang
namun sungguh menjadikan Ja-
ka parah menerimanya. Dari mulut pendekar kita, me-
leleh darah kehitam-hitaman. Rupanya racun Kecu-
bung Ungu yang di-lontarkan bersamaan dengan ajian
Lutuk Gayung, menghantam tubuhnya. Tanpa ayal la-
gi, tubuh Jaka seketika itu terkena racun ganas. Melihat Jaka dalam keadaan
luka, meledaklah tawa Datuk
Tuyul Setan. "Hua, ha, ha... ternyata ilmumu hanya sekuku hitam, Anak muda! Dengar olehmu,
kau akan mati da-
lam waktu tiga jam apabila kau tak segera menyem-
buhkannya dengan obat penawar yang aku miliki. Ma-
ka itu, aku ingin jawabanmu. Maukah kau menjadi
anggota Persekutuan Iblis" Jawab olehmu! Bila kau
menolak, maka kematian-lah yang akan kau alami.
Tapi bila kau menerima, aku akan memberikan obat
penawarnya pada dirimu!"
Jaka terdiam menahan sakit yang teramat sangat.
Denyut jantungnya memburu liar, bagaikan aliran da-
rahnya merambah cepat. Keringat dingin mengucur
dari seluruh tubuhnya, sampai-sampai baju yang di-
kenakan basah kuyup. Baju berwarna perak yang di-
hadiahkan oleh ayahnya, seketika itu basah kuyup.
"Ooh Gusti Allah, apakah aku akan mati di tangan Datuk Iblis ini?" keluh Jaka
dalam hati. Matanya makin lama makin suram, berkunang-kunang untuk melihat.
Manakala tubuh Jaka hendak jatuh, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat dan menyambar tubuh itu.
Tersentak kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat
seseorang cebol seperti dirinya telah mengangkat tubuh Jaka dan membawanya
pergi. Maka dengan mem-
bentak Datuk Tuyul Setan pun segera berkelebat men-
gejarnya. "Bedebah! Siapa kau" Jangan lari!"
Namun bagaikan tak mendengar bentakan sang
Datuk, tubuh cebol itu terus saja berlari membawa tubuh Jaka yang tergeletak
pingsan. Walaupun tubuh-
nya cebol, namun larinya begitu cepat hingga dalam
sekejap saja tubuh cebol itu telah jauh meninggalkan Datuk Tuyul Setan bersama
anak buahnya yang terus
mengejar. "Bedebah! Kita telah kehilangan jejaknya!" gerutu Datuk Tuyul Setan, manakala
tak lagi dilihatnya orang cebol yang dikejarnya. "Siapakah dia adanya...?"
"Entahlah, Tuan. Tubuh orang itu seperti kita,"
jawab ketua Tri Dasa Buto Kuntet. "Apakah tidak mungkin teman kita sendiri yang
bermaksud menguasai rencana kita?"
Sang Datuk manggut-manggut mendengar penu-
turan anak buahnya. Matanya masih memandang ke
bawah jurang di mana orang kate seperti dirinya yang membawa tubuh Jaka
berkelebat. Dengan tanpa hasil,
Datuk Tuyul Setan akhirnya kembali berkelebat pergi meninggalkan jurang di
depannya untuk kembali menemui rekan-rekannya sesama golongan.
"Ayo kita balik! Siapa tahu memang dia rekan ki-ta!" "Daulat Gusti," jawab
seluruh anak buahnya hormat. Maka dengan diiringi anak buahnya yang masih
hidup, sang Datuk kembali melangkah pergi mening-
galkan tempat itu sekaligus meninggalkan mayat-
mayat anak buahnya yang bergelimpangan. Dan tega-
lan itu pun kembali sepi, bagaikan tiada kehidupan di situ. Apakah pendekar kita
dapat tertolong nyawanya"
Nah, ikuti terus bab selanjutnya...!
*** 6 Di pagi yang cerah, terdengar seruan seseorang
berteriak-teriak memecahkan keheningan pagi. Orang
itu adalah seorang gadis muda yang tengah mendalami ilmu silat. Gadis itu tak
lain daripada Sulastri adanya yang terjatuh di dalam jurang. Duduk di hadapannya
agak jauh, seorang wanita tua renta yang tak lain gurunya bernama Eyang Silir.
"Hiat...!"
Tubuh Sulastri berkelebat cepat laksana seekor
tupai yang lincah, hinggap dari satu pohon bambu ke pohon bambu yang lainnya.
Pedang di tangannya bergerak cepat, membabat pohon-pohon bambu itu yang
seketika puntung terpangkas oleh tebasan pedang tersebut. Wajah sang guru nampak
bahagia, menyaksi-
kan kemajuan muridnya yang begitu pesatnya.
"Bagus, Lastri! Ulangi lagi dari mula!" seru sang guru memberi semangat. Lastri
sesaat menjura hormat, lalu kembali ia pun membuka jurus yang telah ia pelajari.
Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa Lastri yang telah jatuh ke bawah
jurang tahu- tahu hidup" Nah, marilah kita kembali ke kejadian
itu.... Setelah menyerang Warakas yang telah mengece-
wakan hatinya, Sulastri nekad menceburkan dirinya
ke jurang yang curam dan terjal. Tujuannya hanya sa-tu, mati. Ya, menurutnya
dengan mati bunuh diri ar-
wah nya akan penasaran dan dapat menuntut balas.
Sulastri seketika pejamkan mata, siap untuk menyam-
but elmaut. Tapi ajal bukanlah kuasa manusia macam
Sulastri, maka ketika Sulastri melayang ke bawah, seketika sebuah bayangan
berkelebat menangkap tu-
buhnya. Bayangan itu yang ternyata milik seorang nenek sakti, meluncur membawa
tubuh Sulastri yang
pingsan menuju ke pondoknya. Diberinya Sulastri ob-
at, sedang kandungan Sulastri ternyata telah kegugu-
ran. Mungkin kandungan itu telah terbentur-bentur
oleh bebatuan yang menerjal.
Nenek sakti yang bernama Eyang Silir, seketika
merasa iba melihat Sulastri. Maka manakala Sulastri telah sadar dari pingsannya,
Eyang Silir Kuning pun menanyai kenapa Sulastri sampai berbuat nekad hendak
bunuh diri. "Saya telah frustasi, Eyang. Saya... saya telah di-kecewakan oleh seorang lelaki
yang telah merenggut
kehormatan saya. Lelaki itu sungguh sangat saya cintai...."
"Bodoh! Mana ada cinta sejati!" bentak Eyang Silir Kuning, sepertinya marah demi
mendengar penuturan
Sulastri. Hal itu menjadikan Sulastri kaget bercampur dengan heran tak mengerti.
"Kenapa karena itu kau hendak bunuh diri?"
"Saya... saya sudah tak kuat menanggungnya,
Eyang! Saya tak mempunyai pilihan lain kecuali mati bunuh diri, agar arwahku
penasaran yang akhirnya
nanti dapat menuntut balas pada orang-orang yang telah membuatku menderita."
"Pikiran picik!" kembali Eyang Silir Kuning membentak. "Apa kau kira dengan
berbuat begitu bebanmu akan enteng" Huh, dasar anak total! Malah dengan
berbuat begitu, bebanmu makin bertumpuk. Di dunia
kau menderita, sedang di akherat kau akan merana
tak diterima oleh Sang Pencipta!"
Sulastri seketika terdiam demi mendengar penu-
turan Eyang Silir Kuning. Dirasakan olehnya memang
benar akan apa yang telah dikatakan oleh Eyang Silir Kuning. Tak terasa air
matanya meleleh deras, sepertinya hendak membuang segala derita.
"Kau tahu siapa adanya Warakas itu?" tanya Eyang Silir, menjadikan Sulastri
seketika mendongak-kan mukanya memandang pada si Eyang. Sesaat sete-
lah terdiam memandang pada Eyang Silir, Sulastri akhirnya hanya menggeleng
kepala. "Warakas itu bukanlah kemenakan Kyai Safei. Dia adalah seorang yang disuruh oleh
gurunya Datuk Lingo Ketek untuk mengacaukan kerajaan dengan cara
menyamar sebagai kemenakan Kyai Safei. Karena gu-
runya tokoh sesat seperti diriku, hingga ia pun akhirnya jadilah tokoh sesat
pula. Memang di antara kami, yaitu aku dan Datuk Lingo Ketek terjadi
perselisihan. Aku memang kurang sepaham dengan cara-caranya.
Karena kekurang-sepahaman itulah, menjadikan diri-
ku dengan dirinya selalu bertentangan. Kami seringkali bersitegang, namun untuk
menentukan pertarungan
antara kami belum juga terlaksana. Karena di samping kami sealiran, juga kami
selalu dihalangi oleh teman-teman kami. Maka itulah, kau jangan kaget kalau
tindakan Warakas bukanlah tindak orang yang baik. Kau
yang bodoh! Kenapa kau mudah percaya dengan
rayuan lelaki. Aku pun dulu seperti dirimu. Aku juga korban dari kebiadaban
lelaki!" Eyang Silir sesaat menghentikan ucapannya. Dari matanya yang telah
tua mengalir air mata. Eyang Silir menangis manakala mengingat pengalaman
hidupnya. "Kenapa Eyang menangis?" tanya Sulastri agak memberanikan diri manakala melihat
Eyang Silir menangis.
Eyang Silir seketika tersentak, menghapus air ma-
tanya seraya memandang pada Sulastri. Ditatapnya lekat-lekat wajah Sulastri,
sepertinya ingin memperbandingkan duka yang ada di wajah Sulastri dengan duka
yang ada di wajahnya. Setelah sekian lama terdiam
dengan mata menatap Sulastri, Eyang Silir pun kem-
bali berkata. "Nasibmu seperti aku, Lastri. Aku pun dulu ter-makan oleh rayuan lelaki yang tak
lain dari gurunya
Warakas!" Terbelalak Sulastri seketika manakala mendengar
penuturan Eyang Silir. Namun belum sempat Sulastri
bertanya, Eyang Silir telah mendahuluinya bercerita tentang kehidupannya.
"Lima puluh tahun yang lalu, kala aku masih remaja seorang pemuda bernama Briah
Sumenep datang ke tempatku. Dia datang baik-baik padaku dan menya-
takan cintanya yang tulus. Sebagai seorang gadis lugu, aku pun menerima
cintanya. Mulanya aku tak melihat
adanya tanda-tanda kalau dia akan buruk padaku. Ke-
tika cinta terus berjalan, aku pasrahkan segenap jiwa dan ragaku hanya untuk dia
seorang. Sampai akhirnya kehormatanku pun terenggutnya. Aku seperti dirimu,
pikiranku oleng tak tentu. Dan aku pun nekad hendak membunuh diri. Namun niat
itu aku urungkan, karena
aku merasa sia-sia bila sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran harus
mengalah begitu saja. Aku pun saat itu mencari guru, dengan tujuan kelak aku
akan menuntut balas. Maka dengan segala daya dan upaya,
aku pun mencari guru yang benar-benar sakti yang
dapat memberiku ilmu tinggi. Lama aku mencari seo-
rang guru, hingga akhirnya aku hampir putus asa. Dalam keputusasaanku, aku
mendapat petunjuk dari su-
ara gaib agar aku mengabdi pada seorang tokoh sesat bernama Datuk Walabar.
Mulanya aku bimbang, sebab
keluargaku semua menjadi seorang pendeta. Tapi ma-
nakala aku kembali ingat pada dendam, akupun mem-
bulatkan tekad!"
"Lalu Eyang berguru juga?" tanya Sulastri.
Eyang Silir Kuning mendesah sesaat. Ditariknya
napas panjang-panjang, dan ditatapnya sejenak wajah Sulastri yang kini agak
tenang dari ketegangan. Setelah kembali menarik napas berat, Silir Kuning pun
kembali berkata.
"Ya, aku hari itu juga berangkat menemui Datuk Walabar. Betapa aku saat itu


Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kebimbangan untuk memilih. Apakah aku terus mengikuti keluargaku
menjadi Pendeta, atau aku harus menjadi seorang to-
koh sesat yang bakal mampu membalas sakit hati pa-
da Briah Sumenep yang telah mengecewakan aku. Ak-
hirnya dorong-an untuk membalas dendam itulah yang
aku pilih. Lima tahun aku berguru pada Datuk Wala-
bar. Lima tahun pula aku digembleng dengan beraneka macam ilmu. Namun hatiku
seketika menjerit kembali, manakala guruku yang aku hormati mengkoyakkan
segalanya. Malam naas itu, kehormatanku kembali te-
renggut oleh guruku sendiri. Aku pasrah, ya pasrah
segalanya. Demi .. cita-citaku, aku telah mengorbankan segala yang aku miliki.
Akhirnya, aku berangga-
pan bahwa semua lelaki itu sama tak lebihnya dari
buaya. Di situlah dendamku pada semua lelaki tum-
buh. Setelah aku merampungkan seluruh ilmu yang
diajarkan oleh Datuk Walabar, aku bunuh guru biadab itu. Entahlah, saat itu aku
tak merasakan adanya takut. Yang ada dalam benakku hanya satu, menghan-
curkan setiap lelaki. Karena lelaki bagiku hanya bajin-gan. Aku terus berkelana
mencari korban dengan ha-
rapan dapat bertemu Briah Sumenep. Karena kekeja-
manku, sampai-sampai banyak korban laki-laki di tanganku. Aku pun saat itu
mendapat julukan Dewi Bun-
ga Malam Kematian. Nama besarku makin hari makin
melambung, namun harapanku untuk menjumpai
orang yang bernama Briah Sumenep tak aku temui.
Ternyata Briah Sumenep adalah nama samaran. Nama
aslinya Suntoro atau Datuk Lingo Ketek. Setelah aku mendapatkan nama asli Briah
Sumenep, aku pun segera memburunya. Namun manakala aku telah berte-
mu dengannya, rasa cintaku kembali tumbuh. Entah
karena apa, aku tak berani menyakitinya walau dia te-
lah menyakiti diriku. Itulah makanya aku bersumpah, bahwa kelak setelah aku
mengangkat murid maka mu-ridkulah yang akan membalaskannya. Namun ternyata
aku menemukan dirimu yang juga senasib denganku.
Tapi tak apa, kau harus mampu membasmi keturunan
Lingo Ketek. Basmi Warakas, biar gurunya aku yang
akan tangani bila memang ia turut campur. Kini aku
sudah tua, maka tak ada lagi istilah kasihan. Dia telah membuatku menderita,
merasa rendah diri hingga aku
tak nikah sampai sekarang!"
"Jadi... jadi... Eyang mau mengangkatku menjadi muridmu?"
"Benar, Lastri. Aku akan turunkan segala ilmu
yang aku miliki untuk membalas segala kekesalan ha-
tiku sekaligus kekesalan dan dendam hatimu pada
murid Lingo Ketek. Kau mau, Lastri?"
Mendengar pertanyaan Eyang Silir Kuning yang
memintanya untuk menjadi murid, seketika Sulastri
jatuhkan diri menyembah. Dari mulutnya yang berge-
tar keluar ucapan yang seperti sumpah.
"Baiklah, Guru. Aku akan menjadi muridmu yang
baik. Kelak aku akan membalas segala apa yang per-
nah guru alami juga dengan diriku. Aku akan menum-
pas segala cucu dan anak murid Lingo Ketek!"
"Bagus! Tak sia-sia aku menemukan dirimu. Nah, mulai besok aku akan menurunkan
segala ilmu yang
aku miliki!"
Maka sejak saat itu Sulastri pun digembleng oleh
Eyang Silir Kuning yang menjadi gurunya. Seorang datuk sesat yang nasibnya
seperti nasib dirinya sendiri.
*** Jaka Ndableg yang dilarikan oleh seorang kate da-
lam keadaan pingsan masih pingsan saat itu juga. Kate
yang menolongnya tampak masih agak cemas melihat-
nya, walau pil pemunah racun itu telah ia minumkan
pada Jaka. Memang racun Kecubung Ungu merupakan
racun yang ganas. Racun itu cepat reaksinya bila tidak segera mendapat
pertolongan. "Hem, pendekar muda ini pun mengalami hal se-
rupa. Sungguh suatu racun yang sangat membahaya-
kan. Keterlaluan Datuk Tuyul Setan, aku harus men-
cegahnya agar tidak terus berlarut-larut. Orang akan menyangka kalau akulah
pelaku semuanya. Oh, Datuk
Tuyul Setan harus secepatnya aku cegah! Kalau tidak, maka korban demi korban
akan selalu berjatuhan,"
gumam lelaki kate itu yang berdiri di samping tubuh Jaka.
Perlahan mata Jaka Ndableg membuka, ia siuman
dari pingsannya. Matanya memandang satu persatu
apa saja yang berada di ruangan itu, lalu akhirnya terpaut pada wajah lelaki tua
yang berdiri di sampingnya dengan tubuh pendek. Lelaki tua kate itu tersenyum,
menjadikan Jaka yang telah tahu siapa adanya lelaki kate itu balas tersenyum
sembari berkata.
"Terima kasih atas segala pertolonganmu, Ki. O
ya, siapakah namamu, Ki?" tanya Jaka.
Lelaki tua kate itu tersenyum melebar, lalu den-
gan masih memandang pada Jaka yang terbaring, Le-
laki tua kate itu pun berkata: "Namaku yang rendah dan kerdil sekerdil tubuhku,
Loras Jingga atau sering orang menyebutku Pendekar Kate dari Matahari."
Terbelalak mata Jaka mendengar nama dan julu-
kan orang yang telah menolongnya. Tidak disangka-
sangka, kalau akhirnya ia harus menjumpai Pendekar
Kate yang sudah terkenal. Serta merta Jaka bangkit
dari tidurnya seraya menjura hormat berkata.
"Ooh, maafkan atas segala tingkahku pada Pendekar Kate!"
"Siapakah adanya engkau, Anak muda?" tanya Kate Dari Matahari setelah untuk
sesaat mengangguk-anggukkan kepala. "Dan kenapa pula kau harus beru-rusan dengan
Datuk Iblis itu?"
"Aku yang bodoh dan telah dapat dikalahkan oleh Datuk Tuyul Setan bernama Jaka
Ndableg...."
"Jaka Ndableg,.."!" tersentak Pendekar Kate Matahari demi mendengar nama Jaka
Ndableg, sampai-
sampai tubuhnya yang kerdil itu melompat karena ka-
getnya. "Jadi... jadi kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah itu, Anak muda?"
"Itulah adanya, Ki."
Makin kaget saja Kate Matahari setelah pasti bah-
wa pendekar itu adalah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Maka tanpa sungkan-sungkan ia pun segera men-
jura hormat. "Ooh, sungguh mata tuaku tak dapat membeda-
kan dengan baik. Ternyata aku terlalu bodoh. Aku
sungguh-sungguh tak menyadari, kalau ternyata orang yang aku tolong adalah
seorang pendekar kelas wahid yang namanya tengah menggemparkan dunia persilatan
dengan senjata pusakanya!"
"Ah, tak usahlah Ki Kate terlalu merendah. Bila dibandingkan dengan namamu yang
agung, namaku belum ada sekuku hi tarn," balas Jaka. "Oh ya, Ki. Ta-hukah kau di mana kediaman
Datuk Tuyul Setan" La-
lu apakah penangkal dari racun Kecubung Ungu...?"
Seketika Pendekar Kate Matahari terdiam mana-
kala mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jaka.
Nafasnya mendesah berat, sementara matanya terpe-
jam. Setelah berbuat begitu agak sedikit lama, tiba-tiba Pendekar Kate Matahari
menangis. Hal itu menjadikan Jaka seketika tersentak tak mengerti, dan bertanya.
"Kenapa Ki Kate menangis" Adakah aku telah berbuat kekeliruan yang menyinggung
perasaan Ki Kate"
Atau mungkin ucapanku telah membuat Ki Kate tere-
nyuh...?" "Bukan itu yang aku tangisi. Aku menangisi tentang racun Kecubung Ungu. Sungguh
aku ini telah berdosa besar...."
"Hei, apa maksudmu, Ki?" tanya Jaka bingung.
"Racun Kecubung Ungu adalah hasil ciptaanku.
Maka sungguh aku sangat menyesal telah semena-
mena memberikan pada Datuk Tuyul Setan, kalau ak-
hirnya digunakan untuk kejahatan dan pemuas ambi-
sinya yang ingin merajai golongan sesat. Mungkin tak akan lama lagi, para Datuk
akan bertarung satu sama lainnya."
Terbelalak mata Jaka mendengar penuturan Kate
Matahari, sekaligus ia jadi tahu akan apa yang tengah bergolak di antara pada
datuk sesat yang selalu ber-lomba untuk saling menyatakan dirinya yang paling
sakti. Nah, untuk mengetahui apa yang akan dilaku-
kan oleh para datuk sesat, silahkan anda baca seri
Pendekar Pedang Siluman Darah berikutnya yang ber-
judul: Pertarungan Dua Datuk.
"Hem, akan ramai akibatnya kalau sampai benar-
benar terjadi!" gumam Jaka.
"Ya, mereka akan saling mengadu kesaktian un-
tuk memperebutkan jabatan sebagai ketua datuk."
"Apakah tak ada faktor lain yang mengakibatkan mereka saling tuduh menuduh, Ki?"
tanya Jaka mencoba ingin tahu.
"Maksudmu, pendekar?"
"Mungkin ada faktor lain di antara mereka. Misal-nya saja perselisihan yang
menyangkut diri mereka."
"Memang ada. Seperti Datuk Lingo Ketek dan
Eyang Silir Kuning. Keduanya terdapat sengketa masalah cinta. Keduanya dulu
sewaktu muda pernah men-
jalin cinta, namun akhirnya Lingo Ketek mengkhianati
cinta Eyang Silir Kuning setelah dirinya merusak kehormatan Eyang Silir Kuning!"
"Wuah, kalau begitu mereka terpentok masalah
cinta?" tanya Jaka seperti berbicara pada diri sendiri.
"Ooh, sungguh dunia ini penuh keanehan. Sampai-sampai mereka selalu terjerat
oleh iblis. Cinta... Ah, mengapa semua gara-gara cinta banyak orang menderita
dan putus asa" Seperti temanku, dia pun gara-
gara cinta akhirnya mengalami hal yang tragis, mati menceburkan diri ke jurang!"
Pendekar Kate Matahari hanya dapat mendesah
panjang, dengan sekali-kali mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia pun tak habis pikir, mengapa orang-
orang selalu melakukan kesalahan-kesalahan" Menga-
pa kadang para wanita tak mau menyadari segala apa
yang bakal terjadi" Kalau sudah begini, apakah dapat menutupi segala
kenyataannya"
"Jaka, kalau kau ingin menyelesaikan masalah
mu dengan Datuk Tuyul Setan, akupun ingin meminta
tolong padamu. Mintalah padanya Kitab Racun Kecu-
bung Ungu. Dulu dia meminta padaku dengan menan-
gis-nangis. Aku tak tega melihatnya, sehingga aku tak memikir untuk apa kitab
tersebut. Baru kini aku sadari, kalau hal itu bila didiamkan berlarut-larut
sangat bahaya. Ingat, kalau kau menghadapi racun Kecubung
Ungu lagi, usahakan dirimu jangan menapak di tanah.
Sebab ajian itu tak akan mempan pada orang yang ka-
kinya berada di atas angin!"
"Baiklah, Ki. Aku akan berusaha mengambil kitab tersebut. Aku mohon pamit!" Jaka
segera menjura hormat, yang dibalas dengan menjura juga oleh Pendekar Kate
Matahari. Namun betapa kagetnya Pende-
kar Kate Matahari, manakala ia menegakkan kepa-
lanya ternyata Jaka Ndableg telah tak ada di hadapannya.
"Sungguh pendekar aneh," gumam Kate Matahari seraya gelengkan kepala, lalu
setelah itu ia pun berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
*** 7 Jaka yang telah sembuh dari pengaruh racun Ke-
cubung Ungu segera berkelebat pergi meninggalkan
Kate Matahari untuk kembali meneruskan pengemba-
raannya. Ia juga hendak mencari Datuk Tuyul Setan
yang telah dapat menjatuhkan dirinya. Namun bukan
karena itu tujuan Jaka, tapi Jaka kini mengemban tugas dari Kate Matahari untuk
meminta Kitab Racun
Kecubung Ungu. Sebuah kitab ilmu silat yang dicam-
pur dengan obat-obatan milik Kate Matahari. Kalau kitab itu tak segera diamankan
dari tangan Datuk Tuyul Setan, niscaya dunia persilatan khususnya para tokoh-
tokoh persilatan akan menjadi korban. Apalagi akan
diadakan pertarungan antar datuk untuk mencari seo-
rang pimpinan bagi golongan hitam.
"Aku harus dapat mengambil kitab tersebut. Kalau sudah mendapatkan kitab itu,
maka aku akan menuju
ke kerajaan yang aku dengar kini dalam keadaan gon-
cang. Kerajaan dalam keadaan yang gawat oleh pembe-
rontakan. Hem, siapakah yang menjadi biang pembe-
rontakan di kerajaan?" gumam Jaka dalam hati.
Dengan menggunakan ajian Angin Puyuhnya Jaka
berkelebat dengan cepat laksana angin berlari entah ke mana. Namun seketika
langkahnya terhenti, manakala
di hadapannya serombongan pasukan kerajaan tiba-
tiba menghadangnya.
"Mau apa mereka dengan diriku?" tanya Jaka pa-
da diri sendiri.
"Berhenti!" menyuruh ketua prajurit yang ternyata bukan Warakas adanya. Jaka
segera menurut dan
menghentikan langkahnya. "Kaukah yang bernama
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
Ditanya begitu rupa, seketika Jaka mengerutkan
keningnya. Ia tak habis pikir, mengapa orang-orang
kerajaan yang telah mengenalnya tiba-tiba saja menanyakan siapa adanya dirinya"
Jaka tersenyum, dipan-
dangi satu persatu dari mereka. Saat itu juga Jaka tak mengenali satu di antara
mereka yang benar-benar
prajurit. "Hem, prajurit-prajurit gadungan," gumam Jaka dalam hati.
"Ada keperluan apa Ki Sanak sekalian mencegah
perjalananku?"
"Aku tanya, apakah, kau Jaka Ndableg" Bukan
malah kau yang balik bertanya, Anak sundel!" bentak ketua prajurit gadungan itu
marah, namun Jaka yang
dasarnya ndableg bukannya ketakutan terkencing-
kencing, bahkan Jaka tertawa bergelak-gelak menden-
gar gertakan ketua prajurit.
"Hua, ha, ha... Kau bukan ketua prajurit kerajaan, apa hakmu menanyai aku?"
"Setan belang! Akan ku lumatkan dirimu yang
sombong!" "Huh, omonganmu bikin perutku mulas saja. Kau
tak lebihnya dari lalat-lalat kotor. Untuk itu, sepantas-nya kau aku singkirkan
agar perutku bisa sembuh
kembali!" Tak alang kepalang marahnya pimpinan prajurit
gadungan itu mendengar ucapan Jaka yang mengang-
gap dirinya seekor lalat yang menjijikkan. Pimpinan prajurit gadungan itu
mendengus marah, lalu dengan
membentak dia berseru.
"Anak Edan! Jangan salahkan kalau kami meren-
cah tubuhmu. Serang...!"
Mendengar komando dari pimpinannya, seketika
kelima puluh prajurit-prajurit gadungan itu berkelebat menyerang Jaka dengan
serempak. Tombak-tombak


Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berada di tangan mereka bergerak laksana hen-
dak menyate tubuh Jaka.
"Waduh.... kenapa aku hendak kalian jadikan
sate?" seru Jaka seraya melompat menghindar. "Eit, meleset. Kau ternyata belum
bisa menjadi pesate pro-fesional. Nih, aku ajari kalau ingin tahu!"
Setelah berkata begitu, segera Jaka merampas
tombak orang tersebut yang tersentak dan berusaha
mempertahankan. Namun hentakan tangan Jaka yang
membetot lebih keras, menjadikan tombak itu seakan
membetot tangan prajurit gadungan yang melenguh
kesakitan. Belum juga prajurit itu dapat menguasai di-ri, Jaka dengan segera
cocokkan ujung tombak pada
mata prajurit tersebut. Tak ayal lagi, prajurit itu me-lengking kesakitan,
menjerit-jerit dengan tangan mendekap matanya yang melelehkan darah. Mata kanan-
nya hilang, tercocok tombak di tangan Jaka.
"Nah, kalian lihat. Aku akan mengambili satu persatu mata kalian, yang akan
kujadikan sate nikmat
sate mata manusia. Ayo, siapa lagi yang dengan suka rela mengorbankan matanya
sebelah?" Mendengar seruan Jaka, bukannya mereka takut.
Bahkan sebaliknya, mereka nampak makin beringas
menyerang. Melihat hal itu, serta merta Jaka mem-
buang tombak di tangannya dan memapaki serangan
tersebut. Melihat Jaka tak bersenjata, makin meledaklah
keberanian para prajurit gadungan itu. Tak ayal lagi, mereka dengan ganas
mencerca Jaka dengan tombak
siap menghunjam tubuh pendekar kita. Namun begitu
Jaka nampak masih tenang, bahkan dengan ketawa-
tawa Jaka melayani mereka.
"Wah, rupanya kalian orang udik, hingga kalian tak pernah merasakan nikmatnya
Kue Molen. Apakah
kalian ingin menikmati kue molen" Baik, ini aku be-
ri...!" Habis berkata begitu Jaka segera kiblatkan tangannya yang mengepal pada
musuh. Tangannya berge-
rak cepat, dan...
"Dug, dug, dug, dug...!"
Empat kali berturut-turut terdengar hantaman
tangan Jaka, dan empat kali pula terdengar pekikan
orang yang terkena hantaman. Mereka seketika men-
dekap mukanya, sementara dari hidung mereka keluar
cairan merah. Ya, hidung mereka berdarah, terhantam pisang molen Jaka yang
keras. "Hua, ha, ha... Siapa lagi" Nanti kalau kau yang menjadi ketua, aku ada sedikit
permainan untukmu!"
"Bedebah! Jangan kira aku akan mengalah pada-
mu, Kunyuk!" bentak ketua prajurit gadungan, menjadikan Jaka tergelak tawa.
"Hua, ha, ha... kau rupanya pintar ngomong.
Mengapa tidak menjadi penjual obat saja?" ledek Jaka.
"Bangsat! Aku cincang tubuhmu! Serang...!"
Kembali sisa-sisa mereka berkelebat menyerang
Jaka, yang dengan segera berkelit dari tusukan tom-
bak. Kaki dan tangan Jaka berkelebat cepat, menen-
dang dan menghantamkan pisang molen pada musuh-
musuhnya. Tak ayal lagi, musuh-musuhnya satu per-
satu menjerit dibuat tersungkur mencium tanah. Tinggallah ketuanya yang nampak
gemetaran, namun Jaka
yang telah gedeg tak mau ambil perduli. Karena merekalah langkahnya untuk
mengejar Datuk Tuyul Setan
terhenti. "Nah, karena tinggal dirimu, maka aku akan
memberikan sebuah permainan!"
Habis berkata begitu, Jaka segera totok urat tu-
lang pimpinan prajurit gadungan yang seketika itu
ngeduprak duduk tak dapat bergerak. Habis melaku-
kan itu Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan
pimpinan prajurit itu yang tak mengerti. Tak lama kemudian, Jaka telah kembali
dengan tangan membawa
beberapa lembar daun yang banyak ulatnya.
"Nah, inilah permainanku bagi orang yang suka
menipu! Ulat-ulat daun inilah yang akan menggigit tubuhmu sedikit demi sedikit!"
Terbelalak mata lelaki itu mendengar ucapan Ja-
ka, namun untuk berbuat apa-apa ia tak mampu se-
bab tubuhnya telah ditotok urat tulangnya.
"Jangan...! Ampunilah aku! Jangan kau buat aku terkencing-kencing ketakutan...!"
pinta lelaki itu dengan ketakutan. Namun Jaka hanya tersenyum sembari
gelengkan kepala. Perlahan Jaka melangkah mendeka-
ti tubuh lelaki itu yang tengah menggejubrak. Satu
persatu daun itu ditaruhnya di tubuh orang tersebut.
Tak ayal lagi, lelaki yang tadi membentak berani seketika keluar keringat
dinginnya deras membasahi tu-
buh. Dan yang lebih dari itu, seketika dari miliknya keluar cairan yang baunya
minta ampun. "Uh, kenapa kau kayak anak kecil?" sentak Jaka merasa bau yang menusuk hidung ke
luar dari tubuh
lelaki itu yang gemetaran. Lelaki itu menangis, tak mampu lagi mempertahankan
diri dan pingsan.
Melihat lelaki itu pingsan, segera Jaka yang me-
mang ndableg berkelebat pergi meninggalkannya un-
tuk meneruskan tujuannya mencari Datuk Tuyul Se-
tan. Tengah Jaka berlari hendak meneruskan lang-
kahnya, tiba-tiba ia teringat pada pimpinan prajurit tadi. "Ah, kenapa aku
dungu" Kenapa aku membiarkan
segera kejadian berlalu begitu rupa" Hem, akan aku
tanyakan pada lelaki itu!"
Segera Jaka balik menuju ke tempat yang tadi.
Langkah larinya dipercepat, sehingga dalam waktu
yang relatif singkat Jaka pun telah sampai kembali ke tempat itu. Tubuh lelaki
itu masih pingsan, sementara ulat-ulat daun telah hilang dari tubuhnya. Dengan
segera Jaka menempeleng pipi lelaki itu, yang seketika tersentak bangun kaget.
"Kau...?" lelaki itu tergagap sadar.
"Ya, aku. Aku akan mengampunimu. asalkan kau
mau mengatakan siapa adanya dirimu dan siapa pula
yang menyuruhmu!"
Lelaki itu sesaat menatap Jaka lekat, lalu dengan
mendesah panjang lelaki itu pun akhirnya berkata.
"Namaku Jarang Legong. Aku disuruh oleh....
Akh...!" Lelaki yang bernama Jaran Legong seketika me-
mekik, manakala sebuah benda berkelebat ke tubuh-
nya. Benda yang berupa belati berkepala burung gagak menancap di punggungnya.
Seketika tubuh Jaran Legong membiru, bagaikan terkena racun jahat.
Jaka tersentak kaget melihat hal itu, seketika Ja-
ka berkelebat mencari siapa adanya orang yang telah berbuat begitu. Namun
ternyata orang yang berbuat
itu telah berlalu meninggalkan tempat-nya. Segera Ja-ka memburu mengejar,
digunakan ajian Angin Puyuh-
nya hingga Jaka pun berkelebat bagaikan angin.
"Berhenti kau!" seru Jaka manakala dilihatnya seseorang berlari di depannya.
Orang itu seketika menghentikan langkahnya, berdiri menghadapi Jaka. "Kaukah
yang telah melemparkan pisau itu?"
Ditanya begitu bukannya orang bertopeng itu
menjawab, malah orang bertopeng itu seketika men-
dengus dan berkelebat menyerang Jaka. Diserang begi-
tu rupa, seketika Jaka Pun mengelakkannya.
"Orang gendeng, kenapa engkau menyerangku?"
bentak Jaka marah. Namun orang itu bagaikan tak
mendengar, terus merangsek Jaka dengan jurus-jurus
yang mematikan. Tersentak Jaka seketika, maka den-
gan segera Jaka pun berusaha mengelakkannya. Tu-
buh kedua orang itu berkelebat cepat, saling serang dan elak. Jaka yang geram
melihat musuhnya, tanpa
sungkan-sungkan lagi melayani.
"Buka kedokmu, Ki Sanak!" bentak Jaka.
Orang itu tak menggubrisnya, malah serangannya
makin menjadi-jadi. Merasa ucapannya tak digubris
oleh orang berkedok, maka marahlah Jaka. Tubuhnya
bergerak cepat, tangannya menyambar-nyambar beru-
saha membuka kedok penutup wajah orang itu. Na-
mun sejauh itu Jaka tak dapat melaksanakannya, se-
bab setiap tangan Jaka bergerak hendak mencopot ke-
dok saat itu pula tangan orang itu berkelebat menang-kisnya atau melompat
mundur. "Hem, kalau begini terus menerus aku pasti terdesak!" gumam orang berkedok itu
dalam hati. "Kenapa guru tak datang-datang?"
"Eh, rupanya kau pintar mengelak, Setan! Kenapa kau berbuat begitu" Baiklah,
akan aku buka kedokmu
biar aku dapat melihat siapa adanya dirimu!"
Jaka kembali berkelebat dengan cepat, tangannya
berusaha membuka kedok musuhnya. Jurus-jurus
ajaran Ki Barwa yang menggunakan nama burung Ja-
lak terus dipakainya. Dari jurus Jalak Mematuk Cac-
ing, Jalak Mengepak Sayap hingga jurus Jalak Menya-
pu Awan. Namun demikian ternyata semua tak berha-
sil membuka kedok orang tersebut.
"Bahaya, bahaya kalau begini!" pekik orang berkedok dalam hati. Kini ia benar-
benar terdesak oleh serangan-serangan yang dilancarkan Jalak ke arahnya.
"Kenapa guru tak juga datang?"
Jaka yang merasa dipermainkan dengan segera
merubah jurus-jurusnya. Dari jurus-jurus yang diajarkan oleh Nyi Rukmini, tubuh
Jaka kini bagaikan kupu-kupu, menari-nari lemah gemulai. Tapi dari tarian itu,
mendesir-desir angin kencang laksana topan. Sengaja Jaka menyalurkan tenaga
angin puyuhnya dengan harapan mampu membuka kedok orang tersebut. Dan
ternyata memang benar, kedok yang dipakai orang itu seketika terbuka. Kedok itu
terbang ditiup oleh angin puting beliung yang keluar dari kibasan tangan Jaka.
Seketika Jaka tersentak kaget, manakala melihat siapa adanya orang yang telah
menggunakan kedok tersebut.
"Warakas! Apa maksudmu dengan semua ini?"
Belum juga Warakas menjawab, tiba-tiba terden-
gar bentakan seseorang yang diikuti oleh gemuruhnya puluhan orang lain yang
berkelebat menuju ke arah
Jaka. "Paman guru, Datuk!" seru Warakas setelah melihat siapa adanya orang yang
datang. Orang itu ternya-ta tak lain Datuk Tuyul Setan dan anak buahnya Tri
Dadsa Buto Kuntet.
"He, he, he... ternyata umurmu diberi panjang, Pendekar" Tapi hari ini umurmu
tak akan sampai dalam waktu tiga jam," ucap Datuk Tuyul Setan sinis.
"Datuk Iblis! Aku memang mencari dirimu...!"
"Mencari diriku" Hua, ha, ha... rupanya kau tak kerasan lagi hidup di dunia.
Apakah kau mau minta
tolong padaku untuk mengirimmu ke akherat, atau ba-
rangkali kau mau menjadi anggotaku?"
"Jangan mimpi aku akan menjadi anggotamu! Aku
mencarimu untuk meminta Kitab Racun Kecubung
Ungu milik Kate Matahari!"
Terbelalak mata Datuk Tuyul Setan mendengar
nama Kate Matahari diucapkan oleh Jaka. Seketika
hatinya bergumam, "Hem, kalau begitu Kate Matahari-lah yang telah menolongnya.
Edan! Kalau memang be-
gitu aku rasa pendekar muda ini pun telah mengetahui rahasia kelemahan racun
Kecubung Ungu. Hem, tapi
aku tak akan gentar menghadapinya. Aku telah memi-
liki ilmu yang tinggi, aku telah bersekutu dengan pen-guasa Bukit Tengkorak!"
"Kenapa kau terdiam, datuk" Apakah kau takut?"
Jaka berkata mengejek, menjadikan Datuk Tuyul Se-
tan seketika menggeram marah. Maka dengan didahu-
lui dengan bentakan, Datuk Tuyul Setan seketika berkelebat menyerang Jaka.
"Kau harus mampus, Anak Edan!"
"Eit... kenapa kesusu, Datuk?"
Dengan segera Jaka berkelit dari hantaman sang
Datuk. Merasa musuhnya dapat menghindar, serta
merta Datuk Tuyul Setan menambah serangannya.
Pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Keduanya
sama-sama tinggi ilmunya, sehingga pertarungan ke-
duanya bagaikan pertarungan dua bayangan saja. Ya,
mereka kini menghilang dalam gulungan warna pa-
kaian yang dikenakan. Sinar perak yang keluar dari pakaian Jaka mengkilap-kilap
diterpa matahari, sementara sinar hitam yang keluar dari jubah datuk
memberikan suatu gambaran keseraman.
"Bangsat! Rupanya aku harus berbuat lebih ba-
nyak. Terimalah kematianmu, Anak Muda!"
Datuk Tuyul Setan tiba-tiba melancarkan ajian
yang berupa sinar merah membara. Jaka tersentak ka-
get, ia segera melompat mundur untuk mengelakkan-
nya. Namun sinar itu bergerak cepat, sehingga Jaka
tak sempat lagi menghindarinya. Maka dengan segera
Jaka pun menghantamkan pukulan yang dilandasi
ajian Getih Sakti.
"Getih Sakti, hiaat...!"
"Crooot...!"
"Wessst...!"
"Duar...!"
Terpental tubuh keduanya ke belakang, menjadi-
kan tubuh mereka jatuh bergedebugan menimpa ta-
nah. Jaka seketika tersentak, sebab dari pukulan itu tangannya tiba-tiba
membiru. Terkekeh Datuk Tuyul Setan melihat hal itu, lalu
ia pun segera bangkit dari duduknya akibat jatuh.
"Bagaimana, Pendekar" Apakah kau mengakui
keunggulanku?"
"Jangan harap, Datuk Iblis! Lebih baik aku mati di tanganmu daripada aku harus
menjadi budak iblis!"
menggeretak Jaka marah.
"Baiklah kalau itu yang engkau mau. Bersiaplah untuk mati!" menggeretak sang
Datuk. "Anak-anak, rencang tubuhnya!"
Tak ayal lagi, tuyul-tuyul kate itu pun seketika
berkelebat memburu ke arah Jaka. Kate-kate itu begi-tu ganasnya, mulutnya
menyeringai memperlihatkan
gigi-giginya yang runcing. Jaka seketika tersentak dan berusaha bangun walau
dengan tangan yang sakit.
"Tuyul-tuyul edan! Terimalah ini, hiat...!"
Terbelalak mata kate-kate itu demi melihat apa
yang terjadi. Tangan Jaka yang tadinya membiru seketika membara bagaikan
mengandung bara api yang
panasnya bukan main. Itulah ajian Tapak Bahana, se-
buah ajian yang sangat dahsyat.
Jaka sudah begitu marah, sehingga ia pun tak
sungkan-sungkan mengeluarkan ajiannya yang dah-
syat tersebut. "Ajian Tapak Bahana, hiat...!"


Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bareng dengan pekikannya, tubuh Jaka berkele-
bat bagaikan terbang. Tangannya yang membara lak-
sana bara api neraka, berkelebat mengiblat ke arah
musuh-musuhnya. Tanpa ampun lagi, seketika tubuh
musuh-musuhnya yang terkena hangus lalu hancur
menjadi debu beterbangan disapu angin pukulan Jaka.
Bergidik musuh-musuhnya yang masih hidup. Namun
belum sempat mereka berpikir, terdengar kembali se-
ruan sang datuk.
"Serang lagi, jangan kalian mengalah!"
Dengan hati setengah takut, mereka pun kembali
menyerang Jaka. Jaka yang rupanya sudah marah, tak
mau lagi meladeni mereka dengan main-main. Maka
tangannya yang telah disaluri Ajian Tapak Bahana terus berkeliaran mencari
mangsa. Jerit kematian susul menyusul, dibarengi dengan
sirnanya tubuh-tubuh kate itu satu persatu menjadi
debu. Melihat hal itu, Warakas seketika terbeliak. Ia baru tahu siapa adanya
pendekar muda itu. Maka
tanpa sepengetahuan Datuk Tuyul Setan, Warakas se-
gera berkelebat pergi meninggalkan tempat pertempu-
ran itu. Jaka yang memang sudah dilanda amarah, tanpa
sungkan-sungkan lagi terus menghantamkan ajian Ta-
pak Bahana. Dan tak ayal lagi, tubuh-tubuh mereka
yang mengeroyok seketika lenyap menjadi abu.
Tengah Warakas berlari menghindari perkelahian
Jaka yang dikeroyok oleh anak buah Datuk Tuyul Se-
tan, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara gelak ta-wa seorang wanita.
"Siapa kau?" bentak Warakas, matanya tajam memandang pada seorang wanita yang
berdiri di hadapannya secara tiba-tiba dengan cadar hitam menutupi mukanya.
"Warakas, mengapa kau seperti ketakutan. Akulah Sulastri yang dulu engkau
kecewakan! Aku rohnya datang untuk menuntut balas!"
"Bedebah! Aku tak percaya!" geretak Warakas ma-
rah. "Kalau kau benar-benar Sulastri jelas kau kini berada di neraka bersama
setan!" "Hua, ha, ha.... Memang aku kini bersama setan.
Tapi kau pun tak ubahnya iblis laknat. Kau ternyata bukan orang baik-baik, tapi
kau adalah iblis buaya
yang suka mengganggu gadis. Untuk itulah, aku akan
mengirimmu ke akherat sana, hiat...!"
"Jangan mimpi, Sundel Bolong! Hiat...!"
Warakas yang sudah menyadari siapa adanya wa-
nita itu, seketika memapaki serangan Sulastri yang
berkelebat laksana burung seriti. Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya
mereka ingin segera menjatuhkan satu sama lainnya. Namun ternyata keduanya sa-
ma-sama tangguh, sama-sama berilmu cukup tinggi
"Kau harus mati bersamaku, Warakas keparat!"
"Huh, tak sudi. Menyingkirlah kau di akherat sa-na!" Kedua orang bekas kekasih
itu seketika berkelebat saling serang dengan jurus-jurus intinya. Tanpa ayal
lagi, seketika terdengar ledakan dahsyat membahana
manakala tangan keduanya beradu.
"Duar...!"
Terpental tubuh Warakas ke belakang, dari bibir-
nya muncrat cairan darah. Sementara Sulastri, tampak mengalami hal yang hampir
serupa. Namun nampaknya masih dapat tertolong. Tengah kedua muda mudi
itu dalam keadaan yang mengkhawatirkan, seketika
berkelebat tubuh-tubuh tua menuju ke situ.
"Warakas, muridku...! Kau...!" Datuk Lingo Ketek seketika menangis, manakala
melihat muridnya telah
mati. Sesaat Datuk Lingo Ketek memandang ke arah
orang yang telah mengadu ilmu dengan muridnya,
tampaklah siapa adanya orang tersebut. Orang yang
telah mengadu ilmu dengan Warakas, tak lain murid
dari bekas kekasihnya Eyang Silir Kuning yang kini
nampak membantu membangunkan tubuh muridnya.
"Kenapa kau mengadu muridku dengan muridmu,
Nini?" tanya Lingo Ketek setelah tahu siapa adanya mereka.
"Hi, hi, hi... aku.... Siapa yang mengadu?" balik bertanya Eyang Silir Kuning.
"Ketahuilah olehmu. Lingo, gadis muridku ini pun telah sakit hati pada mu-
ridmu yang tak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Gadis ini aku temukan dalam keadaan mengandung
yang akhirnya keguguran akibat ulah muridmu. Dasar
laki-laki tak bertanggung jawab!"
"Nenek peot! Kalau saja aku tak mencintaimu, sudah aku remas mulutmu yang usil!"
"Kakek jelek bulukan. Kalau aku juga tak menyintaimu, sudah aku betot milikmu,
agar tidak lagi menjadi laki-laki, hi, hi, hi...! Bagaimana" Apakah kita akan
saling mengadu ilmu seperti murid-murid kita
yang bernasib sama?"
"Baik, aku akan mengadu ilmu denganmu. Tapi
nanti, nanti bila pertemuan antar Datuk!"
Habis berkata begitu Datuk Lingo Ketek segera
berkelebat seraya membopong tubuh Warakas pergi
meninggalkan Eyang Silir Kuning yang masih terse-
nyum-senyum sembari memapah muridnya berjalan.
"Diakah yang bernama Datuk Lingo Ketek, Guru?"
"Benar, Muridku. Nanti kau boleh ikut menyaksikan bagaimana aku akan mencabut
miliknya. Tapi...
tapi aku sayang padanya...." Eyang Silir Kuning seketika menangis, manakala ia
teringat bahwa cintanya
yang suci telah terkait hanya pada Datuk Lingo Ketek.
"Sudahlah, Guru...."
Dengan saling beriringan kedua murid dan guru
itu pun melangkah pergi, keduanya entah hendak ke
mana terus berjalan menuju ke arah Barat.
*** 8 Melihat anak buahnya hancur menjadi debu di-
hantam oleh Ajian Tapak Bahana yang dilontarkan Ja-
ka, marahlah Datuk Tuyul Setan. Seketika itu ia me-
lengking, menjerit sembari menyerang.
"Kau harus membayar kesemuanya ini, Anak
Edan!" "Eit, rupanya kau pun beringas juga, Datuk!"
"Jangan banyak bacot! Ayo kita tentukan siapa di antara kita yang harus menjadi
penghuni akherat sa-na!" "Waow, nada bicaramu bagaikan malaikat. Baik, aku
layani apa yang menjadi maumu."
Kedua orang yang bertentangan haluan itu akhir-
nya terlibat dalam perkelahian. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat,
sepertinya kedua orang itu ingin secepatnya menyudahi pertarungan. Namun
keduanya nampak sama-sama tangguh, sama-sama tinggi il-
munya. "Terimalah jurus Bekutakku, hiat...!"
"Hua, ha, ha... Jurus macam orang teler kau gunakan, mana mungkin mampu
berbuat?" ledek Jaka, menjadikan Datuk Tuyul Setan menggeretak marah.
"Bedebah! Jangan sombong kau, Anak muda!"
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu kembali
berkelebat saling serang dan elak. Karena keduanya
saking serunya bertarung, sampai-sampai keduanya
tak menghiraukan bahwa dua pasang mata sedari tadi
mengawasinya. Dua orang itu tak lain daripada murid dan guru yaitu Eyang Silir
Kuning dan Sulastri.
"Guru, orang itu adalah Pendekar Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah!"
tutur Sulastri mem-
beritahukan pada gurunya yang seketika itu terbelalak kaget seraya bergumam.
"Pendekar Pedang Siluman Darah...?"
"Ya, dialah orangnya. Masih muda dan tampan, ya guru?"
Sang guru hanya mengangguk sembari tersenyum
mendengar pengakuan muridnya yang dirasa polos.
Matanya tak henti-henti mengawasi gerakan-gerakan
si pemuda yang baru ia tahu adalah Pendekar Pedang
Siluman Darah yang telah tersohor namanya.
"Ah, siapa yang seorang lagi...?" tanya Sulastri pa-da gurunya yang seketika
tersentak dari perhatiannya.
"Seorang lagi adalah Datuk Tuyul Setan atau Datuk Bermuka-muka," jawab gurunya
menerangkan, menjadikan Sulastri seketika mengerutkan keningnya
tak mengerti maksud gurunya.
"Mengapa diberi nama Datuk Bermuka-muka?"
Sang guru masih mengawasi jalannya pertarungan
kedua orang yang berilmu cukup tinggi itu, lalu dengan tanpa memalingkan muka
pada muridnya ia men-
jawab. "Datuk Bermuka-muka adalah nama lain dari Da-
tuk Tuyul Setan. Karena saking bisanya ia mengubah
muka, jadilah ia diberi gelar oleh kaum datuk dengan sebutan tersebut. Kadang
kala mukanya bisa membu-suk bila tengah marah. Kadang kala mukanya mirip
dengan muka hantu yang menakutkan!"
"Apakah tidak mungkin kalau ia juga mengaku-
aku Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri menerka-nerka.
"Ya...." jawab sang guru, yang menjadikan muka Sulastri seketika berubah merah
membara. Tiba-tiba
terdengar Sulastri memekik berseru.
"Jaka... dia adalah Iblis Muka Busuk. Dialah yang telah memperkosaku!"
Tersentak Datuk Tuyul Setan dan Jaka Ndableg
yang tengah bertarung. Seketika mereka menghentikan pertarungan. Tubuh Sulastri
berkelebat dengan cepat, lalu tanpa diduga oleh Datuk Tuyul Setan, Sulastri
telah menyerangnya.
Diserang begitu rupa, sang Datuk dengan mengge-
ram menghantamkan ajian Racun Kecubung Ungunya.
"Awas Lastri...!" Jaka memekik memperingatkan.
Namun ternyata, Lastri yang tak menyadari seketika
terus memburu hingga....
"Aaahhh...!" jerit Sulastri, tubuhnya terhantam oleh ajian Kecubung Ungu. Dalam
sekejap saja tubuh
Sulastri telah berubah membiru terserang racun yang ganas.
"Lastri...!" jerit Eyang Silir Kuning memburu tubuh sang murid yang terpental
dengan keadaan tak
bernyawa lagi. "Kau harus mati Datuk! Kau harus mati di tanganku! Hiat...!"
"Nyi Silir Kuning, mengapa kau memusuhi aku?"
tanya Datuk Tuyul Setan sembari mengelakkan seran-
gan Nyi Silir Kuning.
"Jangan banyak omong, kau telah membunuh
muridku satu-satunya, maka kau pun harus mati di
tanganku. Hiat....!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi Nyi Silir Kuning se-
gera menyerang Datuk Tuyul Setan dengan segala
ajian yang dimilikinya. Namun Datuk Tuyul setan ternyata bukan musuh yang
enteng. Melihat Eyang Silir Kuning menyerang, serta mer-
ta Datuk Tuyul Setan membentak. "Minggir...!"
Tersentak Eyang Silir Kuning manakala dirasakan
tubuhnya seperti ada yang mendorong ke belakang.
Eyang Silir Kuning segera mengerahkan tenaga dalam
menghindar. Namun belum juga ia tersadar, tiba-tiba Datuk Tuyul Setan telah
menghantamkan ajiannya
Racun Kecubung Ungu. Hampir saja ajian itu meng-
hantam tubuh Eyang Silir Kuning ketika secara tiba-
tiba sebuah petir yang dahsyat menghalanginya.
"Bletar...!"
Petir yang dilancarkan oleh Jaka dengan ajiannya
Sewu Petir, dapat menghalangi niat Datuk Tuyul Se-
tan. Sang Datuk tarik kembali serangannya dan kini
beralih memandang pada Jaka dengan sorot mata ma-
rah. Perlahan-lahan, wajahnya seketika berubah mem-
busuk yang mengeluarkan hawa busuk yang teramat
sangat menyekat.
"Iblis Muka Busuk...!"
Kedua orang itu seketika melompat mundur ma-
nakala tahu siapa yang kini tengah dihadapi.
"Hem, sungguh bahaya kalau aku mendekatinya.
Aku harus mengadakan perlawanan dari jarak jauh!"
gumam Jaka. "Pendekar, jangan biarkan mahluk itu mendahului kita!" "Tenanglah, Nini... Ajian
Petir Sewu! Hiat...!"
Jaka segera melancarkan ajian Petir Sewu kemba-
li, menghantam tubuh mahluk bermuka busuk yang
menyebarkan hawa beracun. Namun Jaka seketika
tersentak, manakala melihat apa yang terjadi. Ketika suara ledakan hilang,
ternyata mahluk itu masih berdiri dengan kokoh. Gigi-giginya menyeringai, keluar
dari mulutnya yang rusak morat marit. Dari koreng-koreng itu, menetes cairan
yang menyebarkan bau bu-
suk. Perlahan mahluk itu berjalan menghampiri mere-
ka, menjadikan Jaka dan Eyang Silir Kuning seketika tersentak kaget. Dan
manakala mahluk itu menyerang, secepat itu pula kedua orang yang diserang
melemparkan tubuh ke samping men-jauh.
"Kalian harus mati... Kalian harus mati! Hua, ha,
ha,..!" "Eyang Silir Kuning, menyingkirlah! Biarkan aku yang akan menghadapi mahluk
iblis ini!"
Tanpa banyak membantah, Eyang Silir Kuning se-
gera berlari menepi. Kini tinggallah Jaka sendiri menghadapi mahluk Iblis yang
perlahan-lahan melangkah
mendekatinya. "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Iblis Muka Busuk seketika melompat
mundur, padahal jarak antara dia dengan Jaka tinggal beberapa jengkal lagi,
manakala Pedang Siluman Darah tiba-tiba telah tergenggam di tangan Jaka. Melihat
sinar pedang yang menyala terang kuning kemerah-merahan, seketika
mata Iblis Muka Busuk membeliak kesilauan. "Hiat...!"
Segera Jaka berkelebat cepat dengan Pedang Si-
luman Darah di tangannya. Dengan cepat sambil me-
nahan napas, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke
tubuh Iblis Muka Busuk. Seketika menjeritlah Iblis
Muka Busuk untuk sesaat sebelum akhirnya ambruk
dengan tubuh terpotong menjadi dua.
Melihat musuhnya telah mati, secepat kilat Jaka
lompat ke belakang. Dan....
"Hoak... hoak...!"
Saking lamanya menahan bau busuk yang me-
nyengat, Jaka muntah-muntah. Melihat hal itu Eyang
Silir Kuning dengan segera membantunya.
"Tak usah, Eyang. Aku tak apa-apa," ucap Jaka sembari kembali berdiri. "Nah,
Eyang aku mohon pamit!" Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Jaka telah
berkelebat pergi dan lenyap dengan cepat. Eyang Silir Kuning hanya terbengong,
tanpa mampu harus berbuat apa. "Sungguh luar biasa pendekar muda itu.
Pantas kalau namanya begitu disegani dan ditakuti!"
gumamnya. Eyang Silir Kuning pun segera berkelebat
dengan membawa tubuh muridnya pergi...
Nah, apakah yang akan terjadi dengan Eyang Silir


Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuning" Lalu bagaimana pula tindakannya dengan be-
kas kekasihnya Lingo Ketek" Lalu apakah yang terjadi pada Kerajaan Panjang
Sulara" Nah, bila ingin tahu
segalanya silahkan ikuti ki-sah berikutnya dengan judul: "Pertarungan Dua
Datuk!" TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Sepasang Pedang Iblis 15 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Cinta Bernoda Darah 8
^