Pertarungan Dua Datuk 1
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk Bagian 1
PERTARUNGAN DUA DATUK Oleh Sandro S. Cetakan pertama,1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Pertarungan Dua Datuk
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pegunungan Kapur nampak menjulang,
putih memuncak bagaikan puncak kristal. Keger-
sangan Pegunungan Kapur, jelas melekat dari
areal tanah yang menghampar di bawahnya. Ta-
nah-tanah di situ tiada menghijau, hanya kapur-
kapur putih dan cadas saja yang nampak nyata.
Dua orang penunggang kuda nampak memacu
kudanya ke arah situ. Di wajah kedua orang itu
nampak rasa letih dan capai, sepertinya dua
orang itu telah menempuh perjalanan yang cukup
jauh dan melelahkan.
"Ke mana kita akan tinggal, Kakang?"
tanya salah seorang dari keduanya. "Sungguh tak dapat dibayangkan. Apa mungkin
tempat yang kering seperti ini dan tandus dapat dijadikan Pesanggrahan?"
Sang kakak seperguruan itu terdiam, tanpa
kata. Matanya memandang lurus ke muka, men-
gawasi hamparan cadas dan granit yang menutu-
pi semua dataran di situ. Sejenak ia tarik napas dalam-dalam, lalu melirik pada
adik seperguruannya dan berkata: "Ini sudah menjadi perintah dari guru yang mau
tak mau harus kita laksanakan. Apa kau ingin dikata membangkang, Adik-
ku?" "Bukan begitu, Kakang. Aku tak mengerti,"
keluh sang adik masih diliputi rasa tak puasnya, menjadikan sang kakak kembali
menghela napas dan kembali berujar:
"Setiap apa yang disarankan oleh guru,
aku rasa baik. Guru sebenarnya bertujuan men-
guji pada kita, mampu atau tidak kita melaku-
kannya. Kita harus berusaha. Ya, berusaha untuk
dapat menjalankan apa yang menjadi perintah
dari guru kita. Seperti kata pepatah, ucapan guru harus di gugu dan ditiru. Ah,
sudahlah, ayo kita makin ke atas, siapa tahu di sana kita akan menemukan tempat
yang agak mendingan daripada
tempat ini."
Dengan menurut akhirnya sang adik pun
mengikuti kakaknya. Dihelanya kais kuda me-
langkah menapaki lereng-lereng gunung yang ter-
jal. Kalau saja mereka tak mahir dalam menung-
gang kuda, niscaya tubuh mereka beserta ku-
danya akan terpelanting dan jatuh ke bawah ju-
rang yang menganga. Tapi rupanya kedua kakak
beradik seperguruan itu telah dididik dan dilatih dengan segala keberanian dan
ketangkasan termasuk di dalamnya menaiki kuda, se-hingga me-
reka dengan gampang menjalankan ku-da-kuda
mereka. Bukan saja kuda-kuda mereka berjalan
tertatih-tatih, namun langkah sang kuda seper-
tinya ngeri dan takut kalau-kalau jatuh. Mereka
kembali berhenti setelah sampai di sebuah ham-
paran yang ada ditumbuhi pepohonan.
"Di tempat ini kita akan mendirikannya,"
berkata sang kakak seraya turun dari kudanya.
Ditambatkan tali kuda pada pohon yang ada di si-
tu. Adik seperguruannya pun melakukan hal se-
rupa, menambatkan tali kuda di sebelah pohon
tempat kuda kakaknya tertambat. Mereka sejenak
berdiri mematung di tempat itu, memandang ke
muka di mana hamparan rumput menghijau.
"Ayo kita ke sana."
Kedua kakak beradik seperguruan itu
kembali melangkah, menapaki hamparan rumput
menghijau. Nampaknya kedua kakak beradik itu
tengah mencari tempat yang sekiranya cocok un-
tuk mereka gunakan mendirikan Pesanggrahan.
Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah dataran
di tengah-tengah rumput melebar tersebut. Sepe-
tak tanah kering, menghampar di tengah-tengah
tempat tersebut.
"Aku rasa, tempat inilah yang akan kita
buat Pesanggrahan," kembali sang kakak berkata.
"Ayo, kita bekerja."
Tanpa menunggu jawaban dari sang adik,
segera sang kakak berkelebat lari meninggalkan
adik seperguruannya. Tak lama kemudian, sang
kakak telah membawa beberapa potong kayu. Me-
lihat hal itu, sang adik segera membantu, mem-
bawakan kayu-kayu itu. Kemudian keduanya se-
gera bekerja. Diikatnya kayu-kayu itu membentuk
sebuah bangunan yang menyerupai rumah. Ke-
duanya bekerja dengan tanpa mengeluh capai se-
dikitpun. Keduanya berhenti bekerja untuk isti-
rahat, manakala untuk makan siang saja dan
kemudian keduanya kembali bekerja lagi sampai
hari benar-benar sore. Dalam sehari saja, Pe-
sanggrahan yang mereka buat itu pun jadi.
* * * Esok harinya kedua kakak beradik itu
mencari orang-orang yang sekiranya mau menjadi
murid. Kedua orang kakak beradik itu dengan ca-
ra memberikan tontonan pada masyarakat, beru-
saha memikat para pemuda untuk mau menjadi
murid di Pesanggrahannya. Sepertinya hari itu,
kedua kakak beradik seperguruan tengah mela-
kukan pertunjukan keliling dalam usahanya
mendapatkan murid.
Rakyat yang mendengar suara gamelan
mengalun di hamparan lapangan segera berbon-
dong-bondong datang untuk menyaksikan geran-
gan apa yang terjadi. Mereka semua seketika ber-
kumpul, semakin lama semakin banyak saja jum-
lah yang datang. Manakala jumlah rakyat desa
tersebut telah cukup banyak, kakak seperguruan
dari dua saudara perguruan itu berkata: "Namaku Renggana, dan ini Adikku bernama
Sanggara. Kami datang ke mari dengan maksud untuk men-
gajak saudara-saudara menjadi orang yang bisa
main silat. Maka agar saudara-saudara yakin,
kami akan memperagakan ilmu silat yang kami
miliki." Tepuk sorak seketika membahana, me-nyambut habisnya ucapan Renggana.
Teriakan- teriakan kegembiraan dari para massa yang su-
dah ingin melihat pertunjukan itu, seperti suporter-suporter persepakbolaan PSSI
yang antusias. "Wah, seru nih."
"Kalau memang mainnya bagus, aku jelas
mau menjadi anggota."
"Apalagi jika mereka orang yang benar-
benar pendekar. Aku dan teman-temanku akan
menjadi anggotanya dengan suka rela."
Begitulah komentar-komentar datang silih
berganti. Semuanya yang ada di situ seketika
kembali diam, manakala terdengar pekikan kedua
kakak beradik seperguruan tersebut membuka
pertunjukan. Mata semua yang menonton seketi-
ka terbelalak, kagum menyaksikan apa yang ten-
gah berjalan di hadapan mereka. Tubuh kakak
beradik seperguruan tersebut bagaikan menghi-
lang, terbungkus oleh bayangan-bayangan dari
baju-baju yang mereka pakai. Decak kagum kem-
bali menggema di antara para penonton, seper-
tinya mereka melihat para Dewa yang tengah ber-
tarung. Belum juga para penonton hilang dari ke-
terkejutannya, tiba-tiba kedua kakak beradik itu sudah saling keluarkan ilmu
yang makin membelalakkan mata. Dari tangan kedua kakak beradik
seperguruan seketika keluar asap hitam bergu-
lung-gulung, dan...!
"Wah, apa yang mereka lakukan?" tanya
para penonton terheran-heran tak mengerti. Mata
mereka kembali membelalak, manakala tubuh
kedua kakak beradik itu raib dari pandangan me-
reka. Asap itu makin lama makin bergumpal, lalu
membentuk sebuah ujud. Ujud yang seketika
menjadikan para penonton ketakutan. Tapi ba-
gaikan terpaku, para penonton tak dapat beran-
jak melangkahkan kakinya barang setindak pun.
Hanya mata mereka saja yang melotot tak per-
caya. Apa yang sebenarnya mereka lihat" Tak lain mereka melihat dua mahluk yang
sudah mereka kenal. Namun mahluk itu tidak dalam ukuran
yang sebenarnya. Burung Gagak itu jauh seratus
kali lipat lebih besar, sementara Ular Kobra itu jauh lebih panjang dan besar
seratus kali dari
ular kobra sesungguhnya. Para penonton baru
tersadar, manakala kedua kakak beradik itu telah kembali ke bentuk asalnya yaitu
Renggana dan adiknya Sanggara. Kembali decak kagum pun
membahana, mewarnai tepuk tangan tiada henti.
"Bagaimana saudara-saudara. Apakah ka-
lian telah yakin benar bahwa kami dapat kalian
jadikan guru?" tanya Renggana, di sela-sela tepuk sorak para penonton yang
memadati tempat tersebut. "Yakin...." jawab semua yang ada si situ, menjadikan
Renggana dan Sanggara tersenyum
senang seraya menjura hormat.
"Terimakasih, terimakasih. Nah, siapa yang
ingin menjadi anggota Pesanggrahan kami" Si-
lakan untuk mendaftar."
Mendengar ucapan Sanggara, seketika para
penonton kembali riuh. Mereka berebut, saling
dulu-mendahului untuk secepatnya menjadi ang-
gota perguruan. Hal itu membuat Renggana dan
Sanggara nampak kerepotan untuk mendata me-
reka. Hampir seratus lebih para pemuda berebut
meminta diri untuk menjadi anggota, juga tak ke-
tinggalan berpuluh-puluh orang tua.
"Kami kira, semua anggota cukup. Gam-
pang nanti kalau memang kami membutuhkan-
nya," terdengar suara Renggana memecah hiruk pikuk para pemuda yang mendaftar.
"Adik Sang-
gara, coba kau data lagi siapa-siapa saja yang
hendak menjadi anggota kita."
"Ranges, Lomper, Sulak, Dayat, Emmo, Ji-
lam...." "Saya...."
Sahutan-sahutan pemuda itu terus mene-
rus, menyahuti mana kala mereka kembali di-
panggil satu persatu. Lengkap sudah seluruhnya,
yang tercatat di daun lontar ada hampir dua ratus pemuda dan orang tua. Hari itu
juga, semua yang
menjadi anggota bareng dengan kedua kakak be-
radik tersebut berjalan menuju ke Pesanggrahan
Gunung Kapur. * * * Kedua ratus orang anggota itu duduk ber-
silah memenuhi lapangan rumput yang berada di
depan Pesanggrahan. Wajah mereka walau di-
bakar matahari nampak ceria. Mereka sepertinya
senang dapat menjadi anggota orang-orang beril-
mu tinggi. Mereka tak mengerti, siapa-siapa guru-guru mereka. Yang mereka tahu,
kedua kakak be-
radik seperguruan itu adalah orang-orang yang
dapat diandalkan. Dalam hati semua pemuda dan
orang tua yang menjadi anggota tersebut hanya
ada sebuah harapan, menjadi orang yang sakti
seperti pimpinan mereka. Berilmu tinggi, juga
mempunyai ilmu siluman. Memang kebanyakan
mereka yang mendaftar adalah orang-orang yang
mempunyai antusias kelewat batas. Mereka
hanya mementingkan diri sendiri, tak memikirkan
apa dan untuk apa ia ikut Pesanggrahan Gunung
Kapur. "Saudara-saudara anggota Pesanggrahan Gunung Kapur, sengaja kami ajak
saudara-saudara ke sini sekedar untuk membicarakan ba-
gaimana kelanjutan perguruan ini. Kami kira,
saudara-saudara ingin belajar sambil menda-
patkan uang, bukan?" tanya Renggana, menjadikan kedua ratus lebih anggota baru
tersebut se- ketika berseru menjawab:
"Tentu, Tuan Pendekar...!"
"Nah, untuk itulah kami hendak memberi-
kan sebuah rencana. Kami harap, kalian semua
mau menyetujui."
"Apa itu, Tuan Pendekar?" tanya mereka serentak. Dari sinar mata mereka nampak
seber-cik harapan, harapan untuk mendapatkan harta
yang mampu menunjang hidup mereka di samp-
ing mereka dapat belajar ilmu dari dua orang
yang sudah diketahui berilmu tinggi. Mereka tak
menghiraukan apa yang dapat dilakukan, dan
apa yang hendak mereka perbuat. Di hati mereka
hanya ada satu tujuan, menjadi murid orang-
orang berilmu tinggi dan mendapatkan hasil un-
tuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.
Sesaat kedua kakak beradik seperguruan
itu diam, saling pandang dengan napas menghela
panjang. Keduanya kemudian memancarkan
pandangan mata mereka ke lapangan, di mana
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua ratus orang anggotanya duduk bersila di
situ dengan pandangan mata penuh harapan
akan apa yang bakal diberikan oleh Ketuanya.
Lama hal itu terjadi, sebelum akhirnya Renggana
kembali berkata: "Kami mempunyai tujuan yaitu mengembangkan Perguruan Datuk
dengan seiring pencarian dana. Bukankah dana itu sangat uta-
ma....?" "Akur...." jawab semuanya penuh seman-
gat. "Bagaimanakah caranya, Tuan Pendekar?"
Kembali Renggana terdiam, melirik pada
adik seperguruannya dan kemudian kembali me-
neruskan. "Bagaimana kalau kita melakukan cara pintas?" tanyanya seperti pada
diri sendiri, menjadikan semua yang ada di situ terlolong tak mengerti. "Cara
pintas...! Cara pintas bagaimana yang Tuan Pendekar maksudkan?"
Dan seperti tadi, kembali Renggana ter-
diam. Kini agak lama, memandang satu persatu
para anggota yang seketika itu terdiam, seakan
pasrah pada apa yang bakal dijadikan landasan
oleh Ketuanya. Melihat hal itu, Sanggara yang sedari tadi diam kini menjawab.
"Kami akan berikan pada kalian ilmu silat,
dan kami akan mendidik kalian agar menjadi
orang sakti serta pemberani. Dengan ilmu yang
kalian miliki, apakah kalian tidak berani melakukan tindak perampokan...?"
Semua yang hadir seketika terdiam, tak
ada yang berkata untuk menjawab atau menen-
tang. Mata semuanya saling pandang, seperti in-
gin meminta persetujuan dari satu ke lainnya.
Sanggara yang melihat kebimbangan mereka se-
gera meneruskan, "Percayalah pada kami, bahwa
kami akan selalu melindungi kalian semua. Bah-
wa kalian akan mampu menghadapi siapa saja
yang akan menghalangi kalian dengan ilmu yang
kalian miliki. Bukan begitu, saudara- saudara?"
Karena mereka sangat meyakini bahwa dua
Ketuanya benar-benar sakti, maka tanpa berpikir
banyak lagi semuanya segera menganggukkan ke-
pala. Hal itu menjadikan seulas senyum di bibir
kedua kakak beradik tersebut. Keduanya merasa
bahwa jalan untuk mencapai segala cita-citanya
menjadi datuk-datuk persilatan akan dapat mere-
ka rebut. "Mulai esok pagi, kalian semua akan kami
didik dengan segala ilmu silat dan ilmu-ilmu yang lain. Bagaimana, apakah kalian
mau" Adakah
yang tidak setuju?" tanya Sanggara sembari matanya memandang pada kedua ratus
anggotanya yang tak ada yang menyahut. "Kalau kalian memang setuju, baiklah hari ini juga
akan kami bagi kalian dalam empat kelompok. Satu kelompok,
harus dapat menjadikan kekuatan yang gagah be-
rani dalam menghadapi apapun juga. Kelompok
pertama, kami tugaskan untuk beroperasi di wi-
layah Kulon. Kelompok kedua di wilayah Kidul.
Kelompok ketiga di wilayah Wetan. Sedang ke-
lompok terakhir, di wilayah Lor. Ingat pembagi-an ini baik-baik! Besok hari,
kalian datang ke mari lagi untuk mengikuti latihan silat yang akan menjadikan
diri kalian sebagai seorang pendekar.
Nah, sekarang kalian boleh pulang. Jangan kalian ceritakan hal ini pada yang
lainnya, ingat itu!"
"Daulat, Tuan Pendekar...!" jawab semua-
nya serempak. "Mulai saat ini, kalian harus memanggil
kami Pemimpin. Bukan Pendekar, mengerti?"
"Daulat, Ketua?"
Setelah semuanya mendapatkan sehelai
daun lontar yang entah apa isinya, semuanya pun
berbondong-bondong meninggalkan Padepokan
Gunung Kapur untuk kembali ke rumah masing-
masing. Esok nanti, mereka akan resmi menjadi
anggota Perkumpulan Pesanggrahan Gunung Ka-
pur. Kedua kakak beradik seperguruan itu ter-
senyum, merasakan hasil yang maksimal. Kini
mereka yakin, bahwa mereka kelak akan menjadi
seorang Datuk Persilatan yang ditakuti dan di-
segani kawan maupun lawan.
2 Seperti apa yang telah mereka rencanakan,
maka sejak hari itu Pesanggrahan Gunung Kapur
pun mendidik semua anggotanya dengan berbagai
macam ilmu. Semuanya disiapkan untuk kelak
menjadi orang pemberani, siap menghadapi sega-
la apa yang bakal mereka hadapi.
Hari berganti menjadi minggu, akhirnya
minggu berganti dengan bulan. Tanpa terasa, tiga bulan sudah semuanya belajar
ilmu silat dan segala hal yang sekiranya bakal berguna untuk diri mereka. Kini
mereka benar-benar berubah, bukan
menjadi mereka yang dulu, yang polos sebagai
orang gunung. Karena didikan bagi mereka keras,
jadilah kedua ratus pemuda itu sebagai pemuda
pemberani pantang mau menyerah.
Namun walau mereka keras, mereka masih
selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan rasa
persahabatan bagi sesama golongannya.
Kuatlah kini kuku-kuku yang mencengke-
ram, untuk segera kuku-kuku itu beraksi meng-
koyak-koyak mangsa. Kuku-kuku tersebut telah
benar-benar diasah, benar-benar tajam bila harus digunakan. Hari itu juga,
anggota Pesanggrahan
Gunung Kapur yang telah dibagi menjadi empat
itu beraksi. Empat wilayah sekitar Pegunungan
Kapur, seketika itu terkenal angker bagi para
orang yang pulang malam. Tindakan mereka begi-
tu telengas, sehingga dalam sekejap saja nama
Pesanggrahan Gunung Kapur menyebar dan men-
jadi momok bagi para penduduk di sekitarnya.
"Hua, ha, ha... kini bukankah segalanya te-
lah menjadi kenyataan?" tanya Renggana sepertinya puas melihat hasil yang
dicapai oleh para
anggotanya. "Kalian memang orang-orang yang pemberani, sehingga kalian sangat
disegani tindakannya. Hem, aku mempunyai rencana lagi."
"Rencana apa, Kakang?" tanya Sanggara.
"Benar, apa yang dikatakan Ketua Sangga-
ra. Adakah rencana lainnya lagi?" para anggota pun tak mau ketinggalan bertanya.
Renggana tak menjawab, ia seketika ter-
diam membisu. Dilangkahkan kakinya pergi ke
luar, diikuti pandangan mata seluruh anggotanya
yang ada di situ. Anggota yang ada di situ, merupakan anggota yang telah
menjalani tugasnya. Ya,
begitulah. Kelima puluh anggotanya akan menja-
lani tugas dalam dua kali. Dua puluh lima orang
bekerja, dua puluh lima orang lainnya istirahat.
Sengaja Renggana mengaturnya sedemikian rupa,
dikarenakan ia tak ingin para anggotanya merasa
jenuh untuk melakukan segala apa yang telah di-
rencanakan. Apabila kedua puluh lima anggota
yang telah menjalankan tugas kembali, maka me-
reka diberinya segala kepuasan dari makanan,
gadis-gadis penghibur dan segala macam yang
memabukkan. Sebenarnya Sanggara tak menyukai sega-
lanya, ia merasa segala tindakannya dan tindakan Renggana telah kelewatan. Namun
untuk mempe-ringatkannya, jelas Sanggara tak berani. Pertama, karena ia merasa
sebagai adik seperguruan, yang
mau tidak mau harus menghormati kakak seper-
guruannya. Kedua, mereka telah diberi petuah
oleh guru mereka untuk saling menyokong bila
diperlukan, itulah yang mengakibatkan Sanggara
sukar untuk melakukan protes atau tindakan.
"Aku mempunyai maksud...." Renggana tak meneruskan kalimatnya. Ia kembali
melangkah masuk ke Padepokan, berjalan hilir mudik ke sa-
na ke mari dengan kepala terangguk-angguk. Ma-
tanya memancar tajam, setajam mata burung Ga-
gak. Ya, memang dia adalah Datuk Gagak Hi-tam,
yang dengan ilmu silumannya mampu mengubah
dirinya menjadi seekor burung Gagak.
Semua yang ada di situ termasuk Sanggara
nampak terdiam, hanya mata mereka yang tak
henti-hentinya memandang tajam pada Renggana
yang nampak tenang-tenang, berjalan ke sana ke
mari. Lama kelamaan, Sanggara yang sudah tak
tahan melihat tingkah kakaknya yang diliputi ra-
hasia bertanya.
"Kakang, kenapa Kakang mesti menyem-
bunyikan sesuatu?"
"Oh, tidak. Aku tidak menyembunyikan
apa-apa, Adikku. Aku sebenarnya tengah berpikir
untuk mengembangkan sayap ku, laksana sayap
burung Gagak. Aku ingin kejayaan Datuk Gagak
Hitam, melebar ke segenap penjuru dunia. Tidak
hanya dalam lingkup wilayah Pesanggrahan Gu-
nung Kapur saja, tapi harus mampu menembus
dunia persilatan."
"Ah, apakah itu tidak terlalu tinggi, Ka-
kang?" "Maksudmu...?"
Sejurus Sanggara terdiam mengatur napas,
matanya memandang ke luar dengan kosong. Ia
memang telah memikirkan bahwa kakaknya yang
berantusias tinggi suatu saat pasti ingin menjadikan dirinya sebagai orang yang
paling kuat. Ka-
kak seperguruannya tak berpikir, bahwa di dunia
persilatan bukan mereka saja yang sakti. Bahkan
lebih dari mereka berdua pun banyak. "Apakah Kakang Renggana tak mendengar nama
seorang tokoh persilatan yang ilmunya sangat tinggi, bahkan dapat disejajarkan dengan
Dewa?" keluh hati Sanggara, sepertinya menyesali cita-cita kakaknya. Setelah
lama terdiam, Sanggara pun akhir-
nya berkata: "Apakah itu sudah Kakang pikirkan masak-masak?"
"Sudah, Adikku," jawab Renggana kalem, dengan senyum keangkuhan yang melekat di
bibirnya yang kebiru-biruan. "Aku sudah memikirkan segalanya. Dan aku yakin,
bahwa aku akan mampu menjadi Datuk di antara Datuk Persila-
tan. Hua, ha, ha...!"
Gelak tawa membahana keluar dari mulut
Renggana, yang seketika menjadikan rasa me-
rinding bagi para pendengarnya. Semua yang ada
di situ bagaikan tercekat, diam tanpa ada yang
berkata sepertinya mereka terpengaruh kekuatan
magis yang keluar bersamaan dengan gelak tawa
tersebut. Walau Sanggara juga terdiam tanpa kata,
tapi dalam hatinya seketika gundah. Ia sadar,
bahwa dirinya tak dapat selaras dengan kakak-
nya. Namun untuk menentang, untuk saat-saat
sekarang ia rasa belum waktunya. Bagaimana
nanti jika guru mengetahui, sungguh petaka bagi
dirinya. "Ah, kenapa aku dulu menjadi murid Datuk Rangka Urip" Oh, sungguh
tekanan batin jika
aku harus terus menerus berbuat begini. Hati ke-
cilku seperti menolak, namun aku tak mampu
melakukan apa-apa. Oh, kenapa orang-orang me-
nilai ku sebagai seorang Datuk sesat?" beribu-ribu macam pertanyaan menggayut
dalam ha- tinya, menjadikan Sanggara hanya mampu ter-
tunduk lesu. Melihat adik seperguruannya terdiam me-
nunduk, Renggana seketika menanya: "Kenapa
kau melamun, Adikku" Apakah kau kurang setu-
ju dengan apa yang aku cita-citakan?"
Suara Renggana begitu halus, ramah ba-
gaikan tak mengerti apa yang tengah melanda pi-
kiran adiknya. Hal itu membuat Sanggara merasa
makin terpukul, berat untuk berkata-kata. Wa-
laupun dalam hati berkata Ya, namun di mulut
Sanggara tak berani untuk berkata begitu. Maka
sebagai penutup isi hatinya Sanggara mencoba
tersenyum. Digelengkan kepalanya, lalu dengan
mendesah dulu berkata: "Tidak begitu, Kakang.
Aku setuju saja pada apa yang menjadi keingi-
nanmu, bukankah guru menyuruh kita untuk
saling membantu?"
"Memang benar, Adikku. Tapi, kenapa se-
pertinya sedih?"
"Ah, mungkin itu hanya pandangan Ka-
kang saja. Aku tidak sedih, atau gundah. Aku
hanya tengah memikirkan bagaimana jika kelak
kita menjadi Datuk-Datuk yang disegani."
Bergelak tawa Renggana mendengar jawab-
an adik seperguruannya.
"Bagus, bagus. Nah, para kadang ku, ba-
gaimana dengan kalian" Apakah kalian juga se-
nang bila mempunyai guru yang ditakuti di selu-
ruh pelosok dunia persilatan?" tanya Renggana pada kesemua anggotanya.
"Akur...!"
"Rupanya kalian memang orang-orang ga-
gah berani, yang suka sekali dengan kejayaan.
Kelak, kalian sendiri yang akan merasakan keba-
hagiaannya. Hua, ha, ha...!" kembali Renggana bergelak tawa, sepertinya puas.
"Tapi rencana itu nanti, kalau benar-benar telah kokoh. Bukan be-
gitu...?" "Akur..." kembali terdengar jawaban serempak.
Tengah mereka bercakap-cakap, dari ke-
jauhan tampak serombongan orang yang juga
anggota mereka datang menuju ke tempat itu. Di
wajah keseratus orang yang datang, nampak se-
buah gambaran kecemasan yang dalam bercam-
pur dengan rasa takut. Hal itu seketika menjadi-
kan Renggana terbelalak kaget, sebab tak biasa-
biasanya anak buahnya datang sebelum ganti ja-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ga. Serta merta, Renggana segera berkelebat me-
nyambutnya dengan penuh ketidakpengertian se-
raya bertanya. "Kenapa kalian belum waktunya sudah pu-
lang?" "Ampun, Tetua. Kami diserang oleh gerombolan lain yang langsung dipimpin
oleh Ketuanya Datuk Mujo Hitam," jawab salah seorang Ketua kelompok dengan wajah pucat
ketakutan. Tersentak seketika Renggana mendengar keterangan
anak buahnya, gigi-giginya bergeretukan mena-
han marah. Dari mulutnya seketika mendesis
ucapan kekesalannya:
"Bedebah! Rupanya Datuk anjing itu hen-
dak berlagak! Hem, jangan kira akan mudah
membuat kerusuhan pada kelompok ku. Adik
Sanggara...."
"Ya, Kakang!" Sanggara yang waktu itu masih terduduk dengan segera bangkit, dan
dalam sekejap saja tubuhnya telah berkelebat diantara
anak buahnya. Tubuh itu bagaikan terbang,
mungkin lebih cepat mencelat hingga tiba-tiba
sampai di hadapan kakak seperguruannya yang
matanya memancarkan api kemarahan. "Ada ge-
rangan apa, sehingga Kakang begitu marahnya?"
"Datuk Anjing itu rupanya ingin menan-
tang kita, Sanggara."
"Siapakah yang Kakang maksudkan?"
Sanggara bertanya belum memahami apa yang
oleh kakak seperguruannya dikatakan Datuk Anj-
ing. Banyak sekali Datuk-Datuk yang memusuhi
mereka, tidak banyak pula yang pro pada mereka.
"Datuk Mujo Hitam, Adikku. Dia telah lan-
cang hendak menguasai wilayah kita. Bagaimana"
Apakah kau akan mendiamkannya?"
Sanggara sesaat terdiam menunduk, sukar
untuk menjawab dengan se-enak kata. Hatinya
bimbang, bagaimana harus menerangkan atau
mengambil keputusan. Satu sisi hatinya menga-
takan, biarlah. Tapi sisi hatinya yang lain mengatakan, bahwa Renggana adalah
kakak sepergu- ruannya yang harus dibela. Walaupun Renggana
berbuat jahat, sebagai seorang adik seperguruan
ia harus melindungi atau membantunya. Karena
kebimbangan itulah, sehingga Sanggara tak sege-
ra menjawab pertanyaan kakaknya. Dicarinya ca-
ra yang baik untuk dapat mengatasi apa yang te-
lah melanda emosi kakaknya, agar Datuk Mujo
Hitam pun tidak terkena gebuk. Setelah dirasa
ada jalan yang paling baik, Sanggara akhirnya
berkata "Baiklah, Kakang. Aku akan mencoba
menghadapinya. Aku minta, janganlah Kakang
terburu-buru ikut campur. Aku rasa aku akan
mampu menghadapinya seorang diri."
"Bagus, bagus. Hem, memang cukup den-
ganmu saja, tak perlu melibatkan diriku untuk
menghadapi Datuk Anjing Bulukan itu. Kapan
kau mau berangkat, Adikku?" tanya Renggana
senang. "Mungkin hari ini juga, Kakang." jawab Sanggara, menjadikan Renggana seketika
kembali bergelak tawa. Ia bangga mempunyai adik seper-
guruan macam Sanggara, yang mengerti akan to-
leransi dan mau membantu dirinya demi menge-
jar cita-citanya sebagai Datuk di antara Datuk
atau Datuk segala Datuk.
"Bagus! Memang lebih baik secepatnya agar
Datuk Anjing itu tidak sembrono pada kita."
Renggana wajahnya berseri-seri. Ia tahu keheba-
tan adik seperguruannya, maka itu ia sangat
mengharapkan tenaga serta ilmu adiknya. Hati
Renggana tenang dan tentram, merasa yakin ka-
lau adik seperguruannya akan mampu mengalah-
kan Datuk Mujo Hitam. Walau Datuk Mujo Hitam
sudah terkenal, namun ilmu yang dimiliki adik-
nya sungguh bukan ilmu sembarangan. Adiknya,
Sanggara adalah murid terpintar di perguruan
hingga kakak-kakak seperguruannya menju-
lukinya sebagai Anak Dewa. Tapi walau dirinya
sangat pintar dan tinggi ilmunya, Sanggara tak
sombong. Bahkan ia rendah diri dan tak mau
memamerkan ilmu yang dimilikinya, seperti hal-
nya Datuk-Datuk Persilatan yang lain.
"Berapa orang anak buah yang hendak
eng-kau bawa, Adikku?"
"Tiga orang saja."
"Apa...?" membeliak kaget mata Renggana, demi mendengar jawaban adik
seperguruannya.
Hatinya berkata bimbang, bagaimana mungkin
menghadapi seratus orang gerombolan yang lang-
sung ditangani Ketuanya hanya dengan tiga
orang" Namun bila ia ingat kembali bahwa adik
seperguruannya bukan orang sembarangan,
Renggana akhirnya sadar dan memahami. Diang-
guk-anggukkan kepalanya, seakan yakin akan se-
gala yang menjadi keputusan sang adik. "Baiklah, aku hanya menuruti apa yang
menjadi permin-taanmu."
"Terima kasih, Kakang," jawab Sanggara sembari sunggingkan senyum. Ia kini agak
tenangan, merasa bahwa usahanya untuk mencari ja-
lan yang baik akhirnya akan dapat terlaksana.
"Tapi bila Datuk Mujo Hitam menolak, apa boleh buat," kata hatinya.
"Siapa yang akan kau bawa, Adikku?"
"Topel...!"seru Sanggara memanggil anak buahnya tanpa memperdulikan pertanyaan
kakak seperguruannya, sebab panggilan itu sudah me-
rupakan jawaban dari pertanyaan Renggana.
Renggana hanya dapat gelengkan kepala melihat
tingkah laku adik seperguruanya yang serba
aneh. Dari sejak mereka masih anak-anak dan
dididik oleh guru mereka, hanya Sanggara saja
yang berkepribadian dan tingkah laku yang aneh.
Dulu Renggana dan kakak-kakak seperguruannya
yang lain, menganggap bahwa tingkah laku adik
seperguruannya itu merupakan, tingkah laku
layaknya seorang anak. Tapi sekarang, rupanya
tingkah laku itu merupakan pembawaan dari la-
hir hingga sukar untuk dirubah oleh siapa pun.
"Saya, Ketua...!" Topel yang dipanggil segera menjawab dan lari mendekati
sembari ber- tanya. "Ada apa, Ketua?"
Seperti mana kala ditanya oleh Renggana,
kali ini pun Sanggara tak menjawab pertanyaan
Topel. "Sangkel...!" kembali ia berseru tanpa hiraukan Topel yang terbengong-
bengong tak men-
gerti dan hanya berdiri mematung di tempatnya.
"Saya, Ketua...!" terdengar jawaban yang dibarengi dengan berkelebatnya sesosok
tubuh gendut pendek, sehingga tampak lucu kelihatan-
nya. Sangkel merasa biarpun ia menanya, tak
akan mendapat jawaban dari pimpinannya seperti
Topel. "Rengek...!"
"Saya Ketua...!" Rengek segera berkelebat menuju ke tempat di mana dua orang
temannya berdiri berjejer. Nampak kelucuan di diri ketiga orang yang dipilih oleh
Sanggara, menjadikan
Renggana seketika tak dapat menahan gelak ta-
wanya. Melihat kakak seperguruannya tertawa.
dengan rasa tak mengerti Sanggara bertanya:
"Kenapa Kakang tertawa...?"
"Lucu. Sungguh lucu sekali," Renggana
menjawab dengan masih menahan tawa. "Apakah kau tak salah pilih, Adikku?"
"Tidak, Kakang. Aku memilih mereka, se-
bab mereka adalah orang-orang yang tenang dan
lucu. Aku mengharapkan mereka dapat menghi-
bur diriku. Bukan begitu, Topel, Rengek, Sangkel"
"Benar, Ketua...!" jawab ketiganya bareng, dengan cengar-cengir bagaikan orang
bloon. Itu saja mampu mengundang gelak tawa, apalagi bila
mereka telah bertingkah yang lucu-lucu.
"Baiklah, Kakang. Aku mohon pamit untuk
pergi menemui Datuk Mujo Hitam. Aku harapkan
do'a dari semuanya demi kesuksesan yang akan
aku terima."
"Aku do'akan," jawab Renggana dengan senyum senang melekat di bibirnya. "Kalau
sudah beres semua, cepatlah kau pulang."
"Akan saya usahakan," jawab Sanggara.
"Ayo Topel, Rengek, Sangkel, kita berangkat."
"Daulat, Ketua. Kami iringi..." jawab ketiganya sembari menjura. Setelah menjura
pada kakak seperguruannya, segera Sanggara yang di-
ikuti oleh ketiga anak buahnya yang lucu-lucu
berangkat meninggalkan Pesanggrahan Gunung
Kapur menuju ke tempat di mana Datuk Mujo Hi-
tam berada. Mereka pergi dengan jalan kaki, tan-
pa menggunakan kuda karena jarak yang mereka
tempuh tak sampai memakan waktu sehari pe-
nuh. 3 Hutan Tarakan nampak hening, sunyi se-
nyap bagaikan tak berpenghuni. Angin gunung
Kapur yang gersang, bertiup merambah pohon-
pohon yang memadati hutan tersebut. Dari ke-
jauhan yang tepatnya dari atas gunung, seorang
penunggang kuda menggebas kudanya dengan
kecepatan tinggi. Sepertinya orang tersebut ingin segera lekas sampai pada
tempat yang dituju. Wajah orang itu begitu pucat, seakan ada hantu saja yang
tengah mengejarnya. Mulutnya tak henti-hentinya menggeretak, mengomel-omel entah
di- tujukan pada siapa.
"Empat orang itu sungguh lancang, berani
mendatangi ke mari!" rungutnya. "Mereka seperti orang-orang Pesanggrahan Gunung
Kapur. Ya, aku lihat orang yang berjalan paling depan tak
lain Datuk Muda Cobra Merah. Pantas... pantas
kalau dia berani menyatroni tempat ini. Sudah
aku bilang pada Datuk, agar jangan sekali-kali
mencari urusan dengan Pesanggrahan Gunung
Kapur. Ah, entahlah. Yang penting aku harus se-
gera memberitahukannya pada sang Datuk."
Orang itu yang ternyata anak Buah Datuk
Mujo Hitam kembali menggebah kudanya dengan
kecepatan tinggi. Napasnya memburu, matanya
liar memandang ke muka di mana liuk-liuk sun-
gai Berantas membujur dari arah Selatan menga-
lir ke Utara. Tanpa kata-kata, orang itu terus
menggebah lari kudanya hingga dalam waktu
singkat sampailah orang tersebut pada Hutan Ta-
rakan di mana seluruh anggota Datuk Mujo Hi-
tam berada. "Datuk... Datuk...!" orang itu berteriak-teriak walau masih agak jauh jaraknya,
sehingga membuat seluruh penghuni Hutan Tarakan ter-
sentak kaget dan berserabutan keluar, tak ketinggalan Datuk Mujo Hitam yang
bertampang kumal,
berjubah merah menyala. Jenggot sang Datuk
panjang terurai bagaikan tak pernah diurus. Ma-
tanya merah, menyipit sempit memandang ke
arah orang tersebut. Setelah tahu siapa yang da-
tang, sang Datuk membentak bertanya: "Kupret!
Bikin orang jantungan saja kau, Lego! Ada apa
kau berteriak-teriak kayak orang kesetanan,
Hah!?" "Ampun, Datuk. Orang-orang Pesanggrahan Gunung Kapur pada datang menuju
ke mari." Membeliak mata sang Datuk, ia mengira
seluruh anggota dan dua Ketuanya datang se-
mua. Mata Datuk Mujo Hitam yang melotot, men-
jadikan warna merah menyala nampak jelas ken-
tara. "Berapa orang yang datang, Lego?"
"Empat orang, Datuk...."
Mendengar jawaban dari anak buahnya se-
ketika Datuk Mujo Hitam tertawa bergelak-gelak.
Hingga saking kencangnya gelak tawa sang Da-
tuk, sampai-sampai tubuhnya yang gemuk ter-
guncang-guncang.
"Baru empat orang... seluruhnya hadirpun
aku tak akan takut," ucap Datuk Mujo Hitam
sombong. "Anak-anak, siapkah kalian untuk
menghadapi tikus-tikus yang akan menyerang ki-
ta?" "Siap, Datuk...!" jawab mereka serempak.
Ada kurang lebih seratus anggota perkumpulan
Datuk Mujo Hitam. Tampang mereka beringas,
layaknya seekor kucing yang siap untuk mengha-
dapi empat ekor tikus-tikus tanah. Mungkin da-
lam hati mereka bergumam, baru empat orang
yang datang. Apakah mereka menganggap akan
menang" Mereka nekad menyatroni kandang si-
nga. Ya, memang bila dilihat dari sepintas, ke-
empat orang Pesanggrahan Gunung Kapur bisa
dikatakan nekad. Tapi bila dilihat siapa yang
menjadi pimpinannya, maka anggota Datuk Mujo
Hitam tak akan berani sembrono. Pimpinan ke-
tiga orang itu bukanlah orang sembarangan, ia
adalah Datuk Muda Cobra Merah, seorang Datuk
yang paling muda di antara para Datuk dunia
persilatan. Karena ilmu yang dimiliki begitu ting-gi, hingga dia semuda itu
diangkat menjadi seo-
rang Datuk. Semua anggota Datuk Mujo Hitam gelak
tawa, hanya Lego saja yang diam. Ia telah men-
dengar kehebatan Datuk Muda Cobra Merah, ma-
ka itu ia tak berani gegabah ngomong. Lego takut kalau-kalau omongannya tak akan
menjadi kenyataan, bahkan mungkin akan berakibat seba-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
liknya. "Datuk, apakah Datuk tak tahu siapa yang datang ke mari?"
"Bagiku, siapa yang datang tak jadi masa-
lah. Aku Datuk Mujo Hitam, pantang untuk men-
gakui kehebatan lawan."
"Tapi, Datuk...?" Lego hendak memprotes, namun seketika ia tak meneruskan
ucapannya mana kala dilihatnya mata sang Datuk melototi-
nya. Lego akhirnya hanya tertunduk, hatinya
menggerutu kesal. Bagaimana tidak, ia tahu siapa yang datang. Orang yang sangat
ditakuti oleh orang-orang persilatan setelah nama besar Pen-
dekar Siluman Darah. Memang saat itu ada lima
orang yang namanya cukup kondang bagi dunia
persilatan. Pertama, Raja Maling Suci yang sudah lama menghilang. Kedua,
Pendekar Pedang Siluman Darah disusul oleh Maling Siluman, Supit
Songong dan Datuk Muda Cobra Merah.
"Kau jangan menakut-nakuti temanmu,
Lego!" bentak sang Datuk marah, merasa bahwa Lego telah menakut-nakuti anak
buahnya. "Baru menghadapi empat orang kau sudah ngeper. Ma-na kesatriaanmu,
Lego?" Lego tak dapat berkata, ia pasrah pada se-
gala keputusan Datuk Mujo Hitam Ketuanya. Ya,
begitulah hukum alam dunia persilatan, pimpi-
nan harus memegang segalanya dan bawahan ha-
rus menuruti segala apa saja yang menjadi kepu-
tusan pimpinannya.
"Masih jauhkah mereka, Lego?"
"Aku sudah datang, Datuk Mujo?"
Tersentak semuanya demi mendengar se-
seorang berseru menyahuti pertanyaan Datuk
Mujo Hitam. Seketika mata semuanya meman-
dang ke arah asalnya suara, di mana tampak em-
pat orang dengan tiga orang bertampang konyol
berada. Mata sang Datuk seketika lebih membe-
liak kaget, ketika diketahui siapa yang datang
bersama tiga orang manusia bertampang konyol.
Saking kagetnya, sampai-sampai sang Datuk ber-
seru menyebut gelar orang tersebut. "Datuk Muda Cobra Merah...!"
Orang itu tersenyum, kakinya melangkah
pelan mendekati arah Datuk Mujo Hitam berada
yang kini tampak mengkeret ketakutan tidak se-
perti pertama kali bicara. Makin dekat Datuk Mu-
da Cobra Merah menuju ke arahnya, makin mun-
dur Datuk Mujo Hitam. Sementara keseratus
anak buahnya telah siaga dengan senjata di tan-
gan masing-masing siap untuk menyerang. Na-
mun Datuk Muda Cobra Merah, sepertinya tak hi-
raukan. Dia terus melangkah mendekati Datuk
Mujo Hitam yang makin menyurut mundur seta-
pak demi setapak.
"Kenapa, Datuk" Apakah kau takut?" tanya Datuk Muda Cobra Merah tanpa ekspresi,
tenang. Namun justru ketenangan itulah yang membuat
Datuk Mujo Hitam agak jengah. "Aku tak akan mendahului, bila kau mau menuruti
apa yang akan aku katakan. Bagaimana, Datuk...?"
Sejenak Datuk Mujo Hitam hentikan lang-
kahnya, memandang tajam pada Sanggara atau
Datuk Muda Cobra Merah.
"Bagaimana, Datuk...?" kembali Sanggara bertanya.
"Baiklah, aku terima apa yang hendak kau
katakan," jawab Datuk Mujo Hitam setelah sekian lama berpikir, menjadikan Datuk
Muda Co- bra Merah tersenyum.
"Dengar baik-baik olehmu. Aku minta, per-
gilah kalian dari wilayah kekuasaan kakak seper-
guruanku."
"Ah...!"
"Kenapa, Datuk..." Kau berat?"
"Ya," jawab Datuk Mujo Hitam dengan sua-ra bergetar.
Datuk Muda Cobra Merah tersenyum. Ma-
tanya yang menyala laksana mata Ular Cobra,
menghujam lekat pada mata Datuk Mujo Hitam.
Sampai tak kuasa sang Datuk untuk meneruskan
menantang pandang. Melihat Datuk Mujo Hitam
tertunduk, Sanggara mendesis.
"Jadi kau hendak menentang kakak seper-
guruanku?"
Sang Datuk terjengat tak dapat berkata. Ia
ragu untuk menjawab pertanyaan Datuk Muda
Cobra Merah. Hatinya galau dan bimbang untuk
menentukan segalanya. Kalau ia menyerah, be-
rarti tamatlah riwayat persekutuannya. Namun
bila ia menolak, ia harus berpikir untuk mengha-
dapi Datuk Muda Cobra Merah yang memiliki il-
mu tinggi lebih dua tingkat di atasnya. Namun
bukankah ia memiliki seratus orang anggota yang
siap dengan senjata masing- masing" Sesaat sang
Datuk sepertinya hendak mengatakan siap! Sete-
lah menimbang-nimbang untung ruginya, Datuk
Mujo Hitam pun menjawab dengan suara agak
berat. "Aku tak mau, sebab aku pun perlu hidup."
Sang Datuk mengira kalau ucapannya
bakal menjadikan Sanggara atau Datuk Muda
Cobra Merah marah, tapi ternyata tidak. Datuk
Muda Cobra Merah bahkan simpulkan senyum,
angguk-kan kepala sembari memandang tajam
pada Datuk Mujo Hitam.
"Kau ingin terus hidup?" tanyanya kemudian. "Jelas. Setiap manusia perlu hidup.
Bukankah aku pun juga?"
Kembali Sanggara tersenyum.
"Bukankah kau dapat mencari tempat lain"
Mengapa kau mesti merebut tempat kuasa kakak
seperguruanku?" tanya Sanggara menyindir, menjadikan muka Datuk Mujo Hitam
seketika merah.
"Apakah kau lupa pada semua janji para Datuk?"
"Persetan dengan janji itu. Aku yang pent-
ing hidup, dan hidup dengan segala kebisaanku."
"Hem, kalau begitu kau menentangku, Da-
tuk?" "Apa boleh buat. Ibarat merendam diri di air, kepalang basah. Maka lebih
baik menyelam..."
jawab sang Datuk, menjadikan Sanggara kembali
tersenyum. "Baiklah, Datuk. Karena aku sebagai wakil
kakakku, maka aku pun harus memiliki kewa-
jiban. Nah, apakah kau tak punya cara lain untuk semuanya, Datuk?"
"Tidak! Sudah aku katakan, tidak!" Datuk Mujo Hitam benar-benar marah merasa
diren-dahkan oleh Sanggara. Kini ia benar-benar telah
gelap, tak hiraukan siapa orang yang tengah di-
hadapinya. Orang yang namanya sempat meng-
gemparkan dunia persilatan. Orang yang dijuluki
dengan Anak Dewa, karena ilmunya yang tinggi.
Dalam hati Datuk Mujo Hitam hanya ada satu pi-
lihan, lebih baik mencoba menentang sekaligus
menjajaki seberapa ilmu yang dimiliki oleh Datuk Muda Cobra Merah yang kesohor
itu. "Kalau memang itu yang engkau kehenda-
ki. Jangan salahkan aku turun tangan."
"Aku sudah siap. Serang...!"
Mendengar seruan Datuknya, seketika se-
ratus orang anggotanya berkelebat dengan senjata di tangan masing-masing
menyerang Sanggara
dan ketiga orang pengikutnya.
Sanggara yang tak ingin ketiga anak buah-
nya terkena serangan Datuk Mujo Hitam dan ke-
seratus anak buahnya, tanpa sungkan-sungkan
lagi keluarkan ilmunya. Maka tanpa ayal lagi, semuanya seketika terpelanting
berjatuhan disapu
angin besar yang keluar dari tangan Datuk Muda
Cobra Merah. Melihat hal itu, segera Datuk Mujo
Hitam balas serangan dengan ajian Api Beragam.
Dari tangan sang Datuk keluar aneka warna api
menyembur, menyerang ke arah Sanggara dan
ketiga anak buahnya yang menjerit-jerit ke-
takutan melihat api besar mengarah ke arah me-
reka. "Tuan, bahaya...!" seru Topel dengan tubuh gemetaran.
"Wadauw...! Panas, Pimpinan!" Sangkel
ikut ketakutan, juga begitu halnya Rengek yang
merengek-rengek bagaikan anak kecil saking ta-
kutnya. Mungkin saking ketakutannya, sampai-
sampai Rengek terkencing-kencing di celana.
"Aduh, Tuan. Bagaimana ini..." Waduh,
panas..." Walau anak buahnya bertingkah lucu dan
ketakutan setengah mati, namun semua seperti
tak membuat Sanggara tertawa atau bingung.
Sanggara terdiam, matanya yang tajam meman-
dang dengan sorot mata tajam. Perlahan tangan-
nya terangkat tinggi, kemudian dengan disertai
desiran tangan itu diarahkan memapaki ajian
yang dilontarkan Datuk Mujo Hitam.
"Ajian Prahara Neraka. Hiat...!"
Seketika angin puting beliung yang sangat
besar dart dahsyat menggelegar-gelegar, menyapu
api yang hendak menyerangnya. Api itu seketika
berbalik, menyerang ke arah tuannya. Tersentak
kaget Datuk Mujo Hitam yang segera tarik mun-
dur ajiannya. Dilemparkan tubuhnya, rebah rata
dengan tanah mengelakkan serangan tersebut.
Namun sungguh bahaya bagi anak buahnya. Se-
ketika itu, seluruh anak buahnya beterbangan
melayang-layang di udara hingga jauh dan akhir-
nya jatuh dengan tubuh membiru beku terkoyak-
koyak. Kini Datuk Mujo Hitam sadar, siapa yang
tengah ia hadapi. Memang nama besar Datuk
Muda Cobra Merah bukanlah omongan kosong
belaka. Kini ia telah membuktikan kebenarannya
sendiri. Maka mana kala Datuk Muda Cobra Me-
rah lengah, segera Datuk Mujo Hitam tinggalkan
tempat itu. Merasa musuhnya telah tak ada, segera
Sanggara atau Datuk Muda Cobra Merah henti-
kan ajiannya. Dicarinya tubuh Datuk Mujo Hi-
tam, namun tak ditemukannya. Yang ada hanya
bangkai-bangkai anak buah Datuk Mujo Hitam,
dan seorang lagi yang masih hidup tampak me-
mojok di pepohonan ketakutan. Orang itu tak lain Lego, yang sedari tadi
ketakutan melihat apa yang terjadi. Ternyata segala omongannya benar, bahwa
Datuk Muda Cobra Merah bukanlah orang
sembarangan. Sanggara yang melihat Lego tengah mojok
dengan tubuh menggigil ketakutan segera meng-
hampiri. Sejenak dipandangnya lekat-lekat tubuh
orang tersebut, lalu dengan suara pelan seperti
tak ada rasa permusuhan Sanggara bertanya:
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak"
"Dia anak buahnya Datuk itu, Pimpinan."
"Aku tahu, Sangkel!"
Sangkel seketika terdiam, tak berani berka-
ta-kata. Ia tahu kalau pimpinannya yang seorang
ini memang aneh, tapi baik hati. Berbeda dengan
kakak seperguruannya yang kasar dan tak me-
ngenal kompromi, Sanggara memang berjiwa te-
nang dan penyabar serta penyayang. Hanya saja
sifatnya sungguh aneh.
"Siapa namamu, Ki Sanak?" tanya Sangga-ra kembali.
Mendengar suara yang tak mengandung
permusuhan, Lego segera tengadahkan muka
memandang pada siapa yang berkata. Walaupun
jelas bahwa Sanggara tak menaruh dendam, na-
mun rasa takut kalau-kalau Sanggara marah te-
rus melekat di wajah Lego yang dengan terbata-
bata menjawab. "Nama saya, Lego."
"Ki Sanak Lego. Apakah kau tahu ke mana
larinya pimpinanmu?"
"Ti-tidak, Tuan. Saya tidak tahu, sungguh."
"Ah, bohong kamu" hardik Rengek ikut-
ikutan. "Masak anggotanya tak tahu ke mana
pimpinannya pergi. Boong!"
"Rengek, diam kau!" Sanggara melotot,
menjadikan Rengek tundukkan muka tak berani
untuk menentang pandang. "Lego, apakah kau
ingin bebas?"
"Be... benar, Tuan," jawab Lego terbata saking girangnya.
"Kau sekarang bebas. Tapi ingat, jangan se-
kali-kali kau turut serta dengan Datuk Mujo Hi-
tam lagi. Kembalilah kau pada jalanmu, jalan
yang baik!"
Tersentak Lego mendengar penuturan Da-
tuk Muda Cobra Merah. Bagaimana tidak. Baru
kali ini ia mendengar nasehat dari seorang Datuk yang sungguh-sungguh
bertentangan dengan ge-larnya. Gelar Datuk, biasanya untuk orang-orang
beraliran sesat, tapi mengapa Datuk Cobra Merah
jauh dari semuanya. Dia begitu baik, penyabar,
pemberi saran yang di luar akal dan perbuatan
seorang Datuk yang biasanya tak kenal ampun
dan kejam. Tak percaya Lego mendengarnya, se-
hingga matanya memandang ke seluruhan tubuh
sang Datuk dari ujung kaki ke ujung kepala se-
perti ingin meyakinkan.
"Kenapa, Lego" Apakah kau melihat kegan-
jilan pada diriku?" tanya Sanggara, demi melihat Lego memandanginya terus
menerus dari atas
rambut sampai ke ujung kaki.
"Ti-tidak. Tuan sungguh aneh." jawab Lego terbata.
"Aneh..." Apanya yang aneh, Lego" Aku
manusia biasa seperti kamu. Bukan setan mara-
kiyangan, atau dedemit yang suka mengganggu
manusia."
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sifat tuan yang aneh," Lego akhirnya men-jelaskan, menjadikan Sanggara atau
Datuk Cobra Merah mengernyitkan keningnya tak mengerti.
"Sebagai seorang Datuk, sungguh tuan sangat berbeda. Sifat tuan yang baik dan
welas asih, merupakan keterbalikan dari sifat seorang Datuk.
Seorang Datuk akan tak mengenal semuanya.
Yang hanya kebengisan dan keangkaramurkaan.
Tapi tuan... Oh, tak ubahnya seorang Pendekar."
Jawaban Lego yang polos, menjadikan
Sanggara tersenyum. Matanya berkaca-kaca, sea-
kan gembira mendengarnya. Memang hati kecil-
nya menolak untuk menerima sebutan Datuk.
Tapi mau dikata apa, sebab gelar tersebut bukan
dia sendiri yang membuatnya, melainkan orang
lain. "Sudahlah, Lego. Kini aku berikan kebebasan padamu."
"Terimakasih, tuan, terimakasih!" Lego menjura-jura beberapa kali sebagai
ungkapan ra-sa bahagia. Namun Lego hendak berlalu pergi, ti-
ba-tiba Sanggara berseru memanggilnya. "Tung-gu, Lego!"
Lego segera hentikan langkah, balikan tu-
buh kembali menghadap ke arah Datuk Muda
Cobra Merah yang berjalan ke arahnya.
"Ada apakah, Tuan"'
"Aku mau minta tolong padamu,"
"Tentang apa, Tuan" Kalau memang aku
dapat, maka aku akan melaksanakannya," jawab Lego sembari duduk bersiku.
"Kau bisa, Lego. Kau akan aku minta to-
long untuk memberikan surat pada kakak seper-
guruanku. Tapi ingat, kau jangan menampakkan
diri. Lemparkan surat itu dari jauh dengan tom-
bak, lalu kau harus pergi pulang ke rumahmu.
Ingat, Lego. Jangan sampai ada yang mengetahui
kedatanganmu, sebab tidak mungkin tidak kau
akan mendapat celaka."
"Baiklah, Tuan. Segala apa yang disaran-
kan tuan akan saya taati dengan seksama," Lego menjawab dengan muka menunduk.
Hatinya masih diliputi beribu macam pertanyaan tentang Da-
tuk yang satu ini, yang segala tindakannya sung-
guh-sungguh bertentangan dengan para Datuk
lainnya. Sanggara segera mengambil daun lontar
yang sengaja ia simpan di balik sabuknya. Segera ditulisnya sebuah surat dengan
guratan-guratan
benda yang juga sengaja dia bawa.
"Datuk Gagak Hitam. Adik seperguruanmu
telah aku hancurkan.
Beruntung aku tak ingin berurusan den-
ganmu. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau menden-dam padaku. Aku telah
membebaskan tanah kua-
samu, dan meninggalkan dengan tulus ikhlas. Aku minta maaf, karena telah
melalaikan janji para Da-
tuk yang tidak boleh menyaingi Datuk lainnya.
Kembali aku meminta maaf, karena telah berbuat jahat terhadap adik
seperguruanmu. Semoga kau mau memaafkan...
Dariku: Datuk Mujo Hitam
"Ini suratnya. Coba kau ambilkan sebatang
tombak itu," perintahnya pada Sangkel, yang dengan segera berlari untuk
mengambil tombak
yang ditunjuk pimpinannya. Setelah mengikat-
kan surat tersebut di ekor tombak, tombak itu
pun segera diberikannya pada Lego.
"Saya pamit mundur, Tuan."
"Laksanakan dengan baik, dan hati-
hatilah," suara Sanggara datar, sepertinya dingin menyirami hati Lego, yang
dengan segera berkelebat pergi kembali ke Hutan Tarakan di mana ku-
danya tadi tertambat. Dengan segera Lego pun
memacu kudanya, pergi untuk menuju ke tempat
Pesanggrahan Gunung Kapur yang letaknya se-
tengah hari bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Hari telah agak sore, maka sebentar pun akan ti-
ba malam. Hal itu sungguh sangat berarti bagi
Lego, sebab dengan keadaan yang gelap Lego
akan mudah menjalankan tugasnya.
4 Malam mulai merambah, dan gelappun
menghampar menyelimuti bumi dan isinya. Se-
buah bayangan berkelebat, lompat dari kudanya
dan berlari menuju ke sebuah pepohonan yang
agak rimbun. Sejenak matanya memandang seke-
liling, lalu menatap lekat pada titik api yang tampak dari rumah yang
sesungguhnya sebuah Pe-
sanggrahan. Merasa tak ada yang melihat, bayan-
gan itu segera berkelebat lebih mendekat. Lalu
dengan segenap kekuatan, dilemparkan sebuah
tombak yang berada di tangannya ke arah Pe-
sanggrahan tersebut. Terdengar seruan kaget
membentak, bersamaan dengan berkelebatnya
tubuh pelempar tombak itu lari menjauh menuju
ke kudanya. "Bedebah! Siapa yang telah berani lancang
di sini!" memaki marah Renggana, demi melihat sebuah tombak berkelebat hampir
saja menyerang tubuhnya. "Cari orang itu dan cincang tubuhnya bila tertangkap!"
Dengan tanpa banyak kata, orang-orang
yang malam itu ada di situ segera menghambur
ke luar untuk mengejar. Namun mereka sampai
jauh menjarah tempat sekeliling, tak ada yang ditemukan. Yang tampak hanya
hamparan gelap gulita di depan mereka. Maka dengan wajah pe-
nuh keputusasaan mereka kembali menemui Ke-
tuanya. "Mana orangnya!?"
"Tidak ada, Pimpinan," jawab mereka serempak.
"Bodoh! Mengejar seorang kunyuk saja ka-
lian tidak becus!"
Semuanya tertunduk tak ada yang berani
menjawab atau menentang pandang. Rasa takut
jelas tergambar di wajah mereka, sehingga mere-
ka nampak pucat pasi. Sementara Renggana
nampak berjalan hilir mudik, dengan sekali-kali
memandangi wajah-wajah anak buahnya yang
masih tertunduk. Setelah sekian lama hilir mudik berjalan Renggana segera
hampiri tombak yang
menancap di dinding Pesanggrahan. Dicabutnya
tombak itu, tombak yang di ekornya tergulung se-
carik daun lontar. Perlahan dibukanya ikatan
daun lontar tersebut, lalu dengan segera dibaca-
nya tulisan yang ada.
"Bedebah! Aku tak mau terima! Hem, kau
telah membunuh adik seperguruanku, maka kau
harus menghadapi aku, Datuk Anjing!" Renggana memaki-maki sendiri, entah pada
siapa makian itu ditujukan. Yang pasti Renggana sangat terpu-
kul dengan isi surat tersebut yang secara tidak
langsung telah menghinanya. "Datuk Mujo Hitam.
Hutang nyawa harus kau bayar dengan nyawa
pula." Mendengar ucapan Ketuanya yang mengatakan bahwa Datuk Muda Cobra Merah
telah ma- ti, seketika semuanya makin mendalamkan kepa-
la menunduk. Ada kedukaan lewat celah-celah
mata mereka, yang sepertinya duka itu terlalu berat. Memang duka itu terlalu
berat bagi mereka.
Bagaimana tidak, Datuk Muda Cobra Merah me-
rupakan pimpinan yang baik, yang sangat bijak-
sana dalam memberikan apa yang mereka butuh-
kan. Beda dengan Datuk Gagak Hitam kakaknya,
keras dan tak mengenal kasihan. Hal itulah yang
mengakibatkan mereka semua seperti kehilangan
segala-galanya. Kehilangan semangat juga kehi-
langan pimpinan yang baik.
"Sekarang kalian istirahatlah, besok kita
mencari mayat Sanggara," Dengan lesu tanpa gai-rah Renggana meninggalkan anak
buahnya yang masih terpaku di tempat mereka berdiri. Baru se-
telah melihat Ketuanya masuk ke dalam kamar,
semuanya segera berlalu dari situ. Sebagian ber-
jaga-jaga, kalau-kalau kejadian itu akan ada ke-
lanjutannya. Malam terus merambah, mengge-
lapkan segala apa yang berada di muka bumi.
Angin pun bertiup, dingin menggigil ke tulang
sumsum. * * * Pagi telah kembali datang, mana kala tam-
pak serombongan orang-orang bersenjata golok
yang sepertinya siap perang berjalan menuju ke
arah Utara di mana terhampar hutan Tarakan.
Orang-orang tersebut, tak lain dari anggota Pe-
sanggrahan Gunung Kapur yang hendak mencari
Ketua kedua mereka Sanggara. Dari kejauhan ter-
lihat oleh mereka burung-burung Nazar beterban-
gan, lalu kemudian kembali menukik sambil
membunyikan suaranya mencuit- cuit.
"Lihat burung Nazar itu, sepertinya ia ten-
gah memakan bangkai."
"Benar, Ketua. Sepertinya burung-burung
itu memang memakan bangkai," jawab anggota
yang berjalan di sebelahnya, yang sekaligus men-
jadi tangan kanan Renggana. Orang itu bernama
Barda Kempo, berwajah menyeramkan dengan
badan tinggi besar hingga ditakuti oleh para anak buahnya. Barda Kempo dulunya
merupakan Ketua Bajak Laut. Setelah ditahan dan bersembunyi
di desa Trenggalek. Dan mana kala ia melihat pertunjukan yang diadakan oleh
kedua kakak bera-
dik yang kini menjadi Ketuanya, Barda Kempo
pun segera bergabung. Tak ada bedanya, dari Ba-
jak Laut berubah menjadi Begal.
Semakin dekat mereka melangkah, sema-
kin tampak jelas oleh mereka mayat-mayat yang
sudah terkoyak-koyak oleh burung-burung Nazar
bergelimpangan memenuhi Hutan Tarakan yang
sunyi senyap laksana pekuburan.
"Cari di antara mayat-mayat tersebut. Apa-
kah ada ciri-ciri adik seperguruanku dan ketiga
orang pengikutnya?" berkata Renggana dengan nada memerintah. Mereka serentak
bersama-sama mencari. Namun dikarenakan keadaan tu-
buh mereka yang mati sudah tak karuan, susah
bagi anggota Pesanggrahan Gunung Kapur untuk
mengenali mayat-mayat itu lagi. Dan memang da-
ri pakaian yang dikenakan para mayat, tak ada
satu pun pakaiannya sama dengan pakaian yang
dikenakan oleh Sanggara pada waktu pergi untuk
mengadakan penyerangan pada gerombolan Da-
tuk Mujo Hitam.
"Tak ada, Ketua!" Barda Kempo yang turut mencari bersama anak buahnya segera
berseru memberitahukan pada Ketuanya, menjadikan
Renggana kerutkan kening.
"Mana mungkin tak ada" Sedangkan isi su-
rat itu mengatakan bahwa Adikku telah binasa.
Hem, apa artinya semua ini?" tanya Renggana penuh ketidakmengertian. "Jangan-
jangan, semua hanya bohong belaka. Tapi... kalau bohong, mana
mungkin adikku tak kembali, atau paling tidak
ketiga orang anak buahnya?"
Misteri.... Ya, misteri bagi Renggana atau
Datuk Gagak Hitam. Misteri yang harus diselidiki.
Misteri yang menjadikan tanda tanya di hati
Renggana. Semuanya serba gelap, tak ada yang
dapat menjawab semua kejadian. Bagaimana
mungkin, kalau memang binasa jelas ada mayat-
nya. Tapi ini, mereka tak menemukan bekas-be-
kasnya. Maka dengan hasil sia-sia, semua anggo-
ta Pesanggrahan dengan hati yang dibekali seribu satu macam pertanyaan yang
harus mereka jawab. Hilangnya Sanggara menjadikan Renggana
frustasi. Namun demikian, bukannya Renggana
patah semangat dengan ketidak adaannya seo-
rang adik yang sangat dapat diandalkan. Tin-
dakan Renggana bahkan makin menjadi-jadi. Se-
gala apa yang pernah direncanakan, kini benar-
benar dilaksanakannya. Seperti hari itu, Rengga-
na tampak telah dihadapi oleh seluruh anak
buahnya. Renggana sengaja memanggil semua
anak buahnya untuk mengadakan pembicaraan
hal rencananya untuk membuat segalanya beru-
bah. Rencana untuk menjadikan dirinya Datuk
segala Datuk. Salah satu jalan, dia harus berani menghadapi segala tantangan.
Dia harus mampu
menaklukan perguruan-perguruan persilatan go-
longan sesat. Ya, hanya itulah yang akan menja-
dikan namanya terkenal dan dijadikan momok
pada para Datuk.
"Kalian semuanya, malam ini aku akan
memberikan tugas baru pada kalian." berkata sang Datuk Gagak Hitam pada kedua
ratus anak buahnya yang tampak mendengarkannya dengan
seksama tanpa ada yang berani membuka mulut
untuk bicara. "Sekian lama kalian hanya bertugas menghadapi orang-orang kecil.
Malam ini aku akan memberikan tugas baru, yaitu kalian akan
aku ajak untuk menguji sampai seberapa ilmu
yang kalian miliki setelah digembleng oleh Adikku Sanggara atau Datuk Muda Cobra
Merah. Kalian tahu apa yang bakal kalian kerjakan?"
"Tidak, Ketua...!" jawab seluruh anggotanya serempak.
"Malam nanti, kalian akan aku pimpin
langsung untuk menyerbu ke Perguruan Bidak
Setan. Bukankah kalian ingin sayap kita makin
melebar?" "Daulat, Ketua. Kami siap...!"
"Bagus! Itulah jiwa seorang pendekar go-
longan sesat. Pantang mengenal takut, siap
menghadapi bahaya apapun macamnya!" suara
Renggana makin berapi-api, merasa seluruh anak
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buahnya nampak menyetujui rencananya. "Siang ini kalian tak usah melakukan
tugas, siapkan segala apa yang perlu untuk penyerbuan nanti ma-
lam." Semuanya menurut, berlalu meninggalkan
Ketuanya yang kini tinggal bersama Barda Kempo
wakilnya. Semuanya pergi untuk mempersiapkan
apa saja yang sekiranya dibutuhkan nanti malam.
"Apakah tidak kesusu, Pimpinan?" tanya Barda Kempo, setelah anak buahnya pergi
semua meninggalkan mereka. "Maksudku, apakah tidak bisa diundur?"
"Tidak!" jawab Renggana singkat dan garang. Barda Kempo terdiam, tak lagi
mengulang tanya. Lama keheningan itu berjalan, sehingga
ruangan itu tampak sunyi senyap. Renggana ter-
cenung, menancapkan matanya pada satu titik
yaitu sebuah pohon cemara yang tumbuh di de-
pan Pesanggrahan. Pohon itu mereka tanam ber-
sama. Kini tinggal dia sendiri, sementara adik seperguruannya yang sama-sama
mendirikan Pe- sanggrahan Gunung Kapur dan menanam pohon
cemara itu kini entah ke mana, lenyap bagaikan
ditelan bumi. Napas Renggana mendesah berat,
seberat pikirannya yang bercabang. Pikirannya
untuk menjadi Datuk segala Datuk terus meng-
hantui jiwanya untuk mengejar cita-cita itu. Se-
mentara di lain sisi, pikirannya melayang pada
adiknya yang entah sekarang di mana rimbanya.
Namun sepertinya kini yang menonjol adalah ci-
ta-citanya menjadi Datuk segala Datuk dengan
kata lain, Raja para Datuk.
"Aku harus mampu," gumamnya lirih,
hingga tak terdengar jelas oleh Barda Kempo yang ada di sampingnya. Barda Kempo
hanya kerutkan alis mata, tak tahu apa yang telah digumamkan
oleh Ketuanya. "Ketua menggumam. Apa yang Ketua gu-
mamkan?" tanya Barda Kempo ingin mengetahui.
Namun Renggana hanya tersenyum, lalu bagai-
kan orang gila Renggana tertawa bergelak-gelak.
Suara tawanya makin lama makin melengking,
tinggi menjadikan angin gelak tawa itu bagaikan
ledakan-ledakan petir yang dahsyat mampu me-
mecahkan gendang telinga. Ya, Renggana kini ba-
gaikan tak waras. Ia termakan oleh angan-
angannya, menjadi Datuk Segala Datuk di dunia
persilatan golongan sesat.
Barda Kempo hanya mampu menggigit bi-
bir, menyumbat gendang telinganya untuk dapat
mempertahankan getaran yang bagaikan ribuan
petir menggema. Sampai darah menetes dari bibir
yang tergigit Barda Kempo masih merasakan geta-
ran yang aneh menghentak-hentak gendang telin-
ganya. Tak tahan terus menerus begitu, Barda
Kempo akhirnya menjerit sekencang-kencangnya.
"Berhenti...! Ketua sadarlah!"
Namun sepertinya tak mendengar jeritan
Barda Kempo, Renggana yang memang benar-
benar telah gila terus bergelak tawa sesuka ha-
tinya. Tak ayal lagi, korban dari anak buahnya
berjatuhan. Dari hidung dan mulutnya serta te-
linga mereka melelehkan darah. Barda Kempo
yang sudah tak tahan, akhirnya roboh. Ia mati
dengan keadaan yang sama seperti teman-
temannya, ku-ping dan hidung mengeluarkan da-
rah. Sungguh tragis akhir dari Pesanggrahan Gu-
nung Kapur. Melihat semuanya bergelimpangan mati,
serta merta Renggana yang sudah gila makin
mengoncangkan irama gelak tawanya. Pohon- po-
hon tumbang, air mencrat menerima getaran sua-
ra yang sungguh-sungguh dahsyat. Burung yang
saat itu terbang di angkasa, jatuh dengan tubuh
remuk bagaikan telah tercabik-cabik. Renggana
seketika melompat ke luar, memandang ke langit
di mana matahari bersinar. Dari mulutnya keluar
sebuah pekikkan.
"Akulah yang akan menjadi Datuk segala
Datuk. Hua, ha, ha...!"
Lalu dengan meninggalkan gelak tawa ber-
kepanjangan Renggana berkelebat pergi mening-
galkan Pesanggrahannya di mana tubuh-tubuh
anak buahnya mati dengan keadaan mengerikan
bergelimpangan memenuhi lapangan Pesanggra-
han. Kini rumput yang tumbuh di lapangan, be-
rubah warnanya bukan hijau lagi tapi kehitam-
hitaman tertutup oleh darah yang meleleh dari
hidung dan telinga juga mulut anggota Pe-
sanggrahan Gunung Kapur.
5 Kerajaan Kuning Gading tampak tenang
dan tentram di bawah kepemimpinan seorang raja
agung dan bijaksana bernama Prabu Briah
Awangga. Di samping itu pula, patihnya yang me-
rupakan seorang tokoh persilatan menjadikan
keadaan kerajaan Kuning Gading makin tambah
bersahaya. Sang patih yang kesatria bernama Ra-
wa Sekti. Ia adalah seorang murid dari Empu Ka-
nuruhan, yang sakti mandra guna. Di tangan
sang Patih Rawa Sekti, perkembangan kerajaan
Kuning Gading maju pesat. Kerajaan itu juga dis-
egani oleh kerajaan-kerajaan lainnya.
Namun hari itu kerajaan nampak kelabu.
Bias merah peperangan rupanya telah berkobar.
Pokok dari peperangan itu tak lain karena pihak
kerajaan Kuning Gading ingin menerapkan ke-
benaran dan keadilan.
Dua bulan yang lalu, pihak pemberontak
yang dipimpin Longkat Ketek meminta pada kera-
jaan untuk mendirikan golongan kerajaan sendiri.
Mereka kebanyakan di dalamnya golongan Datuk
beraliran keras. Longkat Ketek menyuruh utu-
sannya untuk meminta persetujuan pada sang ra-
ja, namun dengan mentah-mentah ditolaknya.
Bahkan raja dirasa telah menghinanya.
Pertarungan itu terus berlangsung, mema-
kan korban yang tidak sedikit baik dari pihak kerajaan mau pun dari pihak
Longkat Ketek. Tapi
rupanya pihak kerajaan yang dibantu oleh bebe-
rapa tokoh persilatan, ternyata tak mampu
menghadang serangan para Datuk yang berga-
bung menjadi satu.
"Kalian menyerahlah, dan berikan pada
kami kebebasan serta kemerdekaan untuk mendi-
rikan negara sendiri yang terpisah dari kerajaan!"
Longkat Ketek berseru, tangannya terus berkele-
bat-kelebat dengan cepatnya menyambar dengan
keris pada musuh-musuh yang dijumpai dan
bermaksud menghadang.
Sebaliknya dari pihak kerajaan, nampak
Patih Rawa Sekti tak mau kalah. Setiap hantaman
tangan dan kakinya, menjadikan nyawa yang ter-
kena seketika meregang. Juga Ambarik-mu, seo-
rang Wiku istana. Dialah tokoh yang sangat dis-
egani. Tokoh dari golongan tua yang masih ma-
lang melintang di dunia persilatan mengabdikan
dirinya untuk kerajaan. Dengan kehadiran Rawa
Sekti dan Ambarikmu, maka semangat para pra-
jurit makin meninggi. Kini keadaan berbalik. Para prajurit yang tadinya
terdesak, berganti mendesak musuh.
Betapa gusar dan marahnya Longkat Ketek
menyaksikan hal itu. Maka dengan menggeram
Longkat Ketek segera papaki serangan patih Rawa
Sekti. "Rawa Sekti, lebih baik kau menyerah dan ikut bergabung dengan aku!"
"Bedebah! Tak ada dalam kitabku untuk
berkompromi dengan orang-orang semacammu!"
balik menggeretak Rawa Sekti, menjadikan Long-
kat Ketek seketika menggeram marah. Mata
Longkat Ketek merah menyala laksana bola api
yang siap membakar. Napasnya mendengus, sea-
kan ingin memangsa hidup-hidup Rawa Sekti.
"Hem, rupanya kau memang menghendaki
mati, Rawa Sekti!"
"Lebih baik begitu, daripada harus menu-
ruti segala apa yang menjadi kemauanmu, Iblis!"
"Bangsat! Kubunuh kau, Rawa Sekti.
Hiat...!" Tubuh Longkat Ketek seketika berkelebat
dengan keris pusaka di tangannya menyerang
Rawa Sekti. Sebagai seorang pendekar murid Em-
pu Kanuruhan, Rawa Sekti bukanlah pendekar
murahan yang sekali gebrak saja terkencing-
kencing. Ia telah dididik dengan segala ilmu ka-
nuragan dan keberanian, maka tak ayal jika Rawa
Sekti menjadi seorang pendekar mumpuni.
Dipapakinya serangan Longkat Ketek den-
gan tangan kosong. Digunakannya ajian Lebur
Raga, yang menjadikan tangannya seketika me-
merah bagaikan menyala. Longkat Ketek seketika
tersentak kaget melihat apa yang tengah terjadi di tangan musuhnya. Ternyata
musuhnya benar-benar bukan orang sembarangan. Pantaslah ka-
lau semua tokoh persilatan golongan sesat takut
padanya. Belum juga hilang rasa kagetnya Long-
kat Ketek, tiba-tiba Rawa Sekti telah memekik
dengan tangannya siap dihantamkan. Longkat Ke-
tek berusaha mengelak, namun kakinya tiba-tiba
mengait sebuah batu. Tanpa ayal lagi, Longkat
Ketek seketika terjengkang jatuh. Dan ketika tangan Rawa Sekti yang sudah
membara hendak Rahasia Istana Terlarang 8 Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 9
PERTARUNGAN DUA DATUK Oleh Sandro S. Cetakan pertama,1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Pertarungan Dua Datuk
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pegunungan Kapur nampak menjulang,
putih memuncak bagaikan puncak kristal. Keger-
sangan Pegunungan Kapur, jelas melekat dari
areal tanah yang menghampar di bawahnya. Ta-
nah-tanah di situ tiada menghijau, hanya kapur-
kapur putih dan cadas saja yang nampak nyata.
Dua orang penunggang kuda nampak memacu
kudanya ke arah situ. Di wajah kedua orang itu
nampak rasa letih dan capai, sepertinya dua
orang itu telah menempuh perjalanan yang cukup
jauh dan melelahkan.
"Ke mana kita akan tinggal, Kakang?"
tanya salah seorang dari keduanya. "Sungguh tak dapat dibayangkan. Apa mungkin
tempat yang kering seperti ini dan tandus dapat dijadikan Pesanggrahan?"
Sang kakak seperguruan itu terdiam, tanpa
kata. Matanya memandang lurus ke muka, men-
gawasi hamparan cadas dan granit yang menutu-
pi semua dataran di situ. Sejenak ia tarik napas dalam-dalam, lalu melirik pada
adik seperguruannya dan berkata: "Ini sudah menjadi perintah dari guru yang mau
tak mau harus kita laksanakan. Apa kau ingin dikata membangkang, Adik-
ku?" "Bukan begitu, Kakang. Aku tak mengerti,"
keluh sang adik masih diliputi rasa tak puasnya, menjadikan sang kakak kembali
menghela napas dan kembali berujar:
"Setiap apa yang disarankan oleh guru,
aku rasa baik. Guru sebenarnya bertujuan men-
guji pada kita, mampu atau tidak kita melaku-
kannya. Kita harus berusaha. Ya, berusaha untuk
dapat menjalankan apa yang menjadi perintah
dari guru kita. Seperti kata pepatah, ucapan guru harus di gugu dan ditiru. Ah,
sudahlah, ayo kita makin ke atas, siapa tahu di sana kita akan menemukan tempat
yang agak mendingan daripada
tempat ini."
Dengan menurut akhirnya sang adik pun
mengikuti kakaknya. Dihelanya kais kuda me-
langkah menapaki lereng-lereng gunung yang ter-
jal. Kalau saja mereka tak mahir dalam menung-
gang kuda, niscaya tubuh mereka beserta ku-
danya akan terpelanting dan jatuh ke bawah ju-
rang yang menganga. Tapi rupanya kedua kakak
beradik seperguruan itu telah dididik dan dilatih dengan segala keberanian dan
ketangkasan termasuk di dalamnya menaiki kuda, se-hingga me-
reka dengan gampang menjalankan ku-da-kuda
mereka. Bukan saja kuda-kuda mereka berjalan
tertatih-tatih, namun langkah sang kuda seper-
tinya ngeri dan takut kalau-kalau jatuh. Mereka
kembali berhenti setelah sampai di sebuah ham-
paran yang ada ditumbuhi pepohonan.
"Di tempat ini kita akan mendirikannya,"
berkata sang kakak seraya turun dari kudanya.
Ditambatkan tali kuda pada pohon yang ada di si-
tu. Adik seperguruannya pun melakukan hal se-
rupa, menambatkan tali kuda di sebelah pohon
tempat kuda kakaknya tertambat. Mereka sejenak
berdiri mematung di tempat itu, memandang ke
muka di mana hamparan rumput menghijau.
"Ayo kita ke sana."
Kedua kakak beradik seperguruan itu
kembali melangkah, menapaki hamparan rumput
menghijau. Nampaknya kedua kakak beradik itu
tengah mencari tempat yang sekiranya cocok un-
tuk mereka gunakan mendirikan Pesanggrahan.
Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah dataran
di tengah-tengah rumput melebar tersebut. Sepe-
tak tanah kering, menghampar di tengah-tengah
tempat tersebut.
"Aku rasa, tempat inilah yang akan kita
buat Pesanggrahan," kembali sang kakak berkata.
"Ayo, kita bekerja."
Tanpa menunggu jawaban dari sang adik,
segera sang kakak berkelebat lari meninggalkan
adik seperguruannya. Tak lama kemudian, sang
kakak telah membawa beberapa potong kayu. Me-
lihat hal itu, sang adik segera membantu, mem-
bawakan kayu-kayu itu. Kemudian keduanya se-
gera bekerja. Diikatnya kayu-kayu itu membentuk
sebuah bangunan yang menyerupai rumah. Ke-
duanya bekerja dengan tanpa mengeluh capai se-
dikitpun. Keduanya berhenti bekerja untuk isti-
rahat, manakala untuk makan siang saja dan
kemudian keduanya kembali bekerja lagi sampai
hari benar-benar sore. Dalam sehari saja, Pe-
sanggrahan yang mereka buat itu pun jadi.
* * * Esok harinya kedua kakak beradik itu
mencari orang-orang yang sekiranya mau menjadi
murid. Kedua orang kakak beradik itu dengan ca-
ra memberikan tontonan pada masyarakat, beru-
saha memikat para pemuda untuk mau menjadi
murid di Pesanggrahannya. Sepertinya hari itu,
kedua kakak beradik seperguruan tengah mela-
kukan pertunjukan keliling dalam usahanya
mendapatkan murid.
Rakyat yang mendengar suara gamelan
mengalun di hamparan lapangan segera berbon-
dong-bondong datang untuk menyaksikan geran-
gan apa yang terjadi. Mereka semua seketika ber-
kumpul, semakin lama semakin banyak saja jum-
lah yang datang. Manakala jumlah rakyat desa
tersebut telah cukup banyak, kakak seperguruan
dari dua saudara perguruan itu berkata: "Namaku Renggana, dan ini Adikku bernama
Sanggara. Kami datang ke mari dengan maksud untuk men-
gajak saudara-saudara menjadi orang yang bisa
main silat. Maka agar saudara-saudara yakin,
kami akan memperagakan ilmu silat yang kami
miliki." Tepuk sorak seketika membahana, me-nyambut habisnya ucapan Renggana.
Teriakan- teriakan kegembiraan dari para massa yang su-
dah ingin melihat pertunjukan itu, seperti suporter-suporter persepakbolaan PSSI
yang antusias. "Wah, seru nih."
"Kalau memang mainnya bagus, aku jelas
mau menjadi anggota."
"Apalagi jika mereka orang yang benar-
benar pendekar. Aku dan teman-temanku akan
menjadi anggotanya dengan suka rela."
Begitulah komentar-komentar datang silih
berganti. Semuanya yang ada di situ seketika
kembali diam, manakala terdengar pekikan kedua
kakak beradik seperguruan tersebut membuka
pertunjukan. Mata semua yang menonton seketi-
ka terbelalak, kagum menyaksikan apa yang ten-
gah berjalan di hadapan mereka. Tubuh kakak
beradik seperguruan tersebut bagaikan menghi-
lang, terbungkus oleh bayangan-bayangan dari
baju-baju yang mereka pakai. Decak kagum kem-
bali menggema di antara para penonton, seper-
tinya mereka melihat para Dewa yang tengah ber-
tarung. Belum juga para penonton hilang dari ke-
terkejutannya, tiba-tiba kedua kakak beradik itu sudah saling keluarkan ilmu
yang makin membelalakkan mata. Dari tangan kedua kakak beradik
seperguruan seketika keluar asap hitam bergu-
lung-gulung, dan...!
"Wah, apa yang mereka lakukan?" tanya
para penonton terheran-heran tak mengerti. Mata
mereka kembali membelalak, manakala tubuh
kedua kakak beradik itu raib dari pandangan me-
reka. Asap itu makin lama makin bergumpal, lalu
membentuk sebuah ujud. Ujud yang seketika
menjadikan para penonton ketakutan. Tapi ba-
gaikan terpaku, para penonton tak dapat beran-
jak melangkahkan kakinya barang setindak pun.
Hanya mata mereka saja yang melotot tak per-
caya. Apa yang sebenarnya mereka lihat" Tak lain mereka melihat dua mahluk yang
sudah mereka kenal. Namun mahluk itu tidak dalam ukuran
yang sebenarnya. Burung Gagak itu jauh seratus
kali lipat lebih besar, sementara Ular Kobra itu jauh lebih panjang dan besar
seratus kali dari
ular kobra sesungguhnya. Para penonton baru
tersadar, manakala kedua kakak beradik itu telah kembali ke bentuk asalnya yaitu
Renggana dan adiknya Sanggara. Kembali decak kagum pun
membahana, mewarnai tepuk tangan tiada henti.
"Bagaimana saudara-saudara. Apakah ka-
lian telah yakin benar bahwa kami dapat kalian
jadikan guru?" tanya Renggana, di sela-sela tepuk sorak para penonton yang
memadati tempat tersebut. "Yakin...." jawab semua yang ada si situ, menjadikan
Renggana dan Sanggara tersenyum
senang seraya menjura hormat.
"Terimakasih, terimakasih. Nah, siapa yang
ingin menjadi anggota Pesanggrahan kami" Si-
lakan untuk mendaftar."
Mendengar ucapan Sanggara, seketika para
penonton kembali riuh. Mereka berebut, saling
dulu-mendahului untuk secepatnya menjadi ang-
gota perguruan. Hal itu membuat Renggana dan
Sanggara nampak kerepotan untuk mendata me-
reka. Hampir seratus lebih para pemuda berebut
meminta diri untuk menjadi anggota, juga tak ke-
tinggalan berpuluh-puluh orang tua.
"Kami kira, semua anggota cukup. Gam-
pang nanti kalau memang kami membutuhkan-
nya," terdengar suara Renggana memecah hiruk pikuk para pemuda yang mendaftar.
"Adik Sang-
gara, coba kau data lagi siapa-siapa saja yang
hendak menjadi anggota kita."
"Ranges, Lomper, Sulak, Dayat, Emmo, Ji-
lam...." "Saya...."
Sahutan-sahutan pemuda itu terus mene-
rus, menyahuti mana kala mereka kembali di-
panggil satu persatu. Lengkap sudah seluruhnya,
yang tercatat di daun lontar ada hampir dua ratus pemuda dan orang tua. Hari itu
juga, semua yang
menjadi anggota bareng dengan kedua kakak be-
radik tersebut berjalan menuju ke Pesanggrahan
Gunung Kapur. * * * Kedua ratus orang anggota itu duduk ber-
silah memenuhi lapangan rumput yang berada di
depan Pesanggrahan. Wajah mereka walau di-
bakar matahari nampak ceria. Mereka sepertinya
senang dapat menjadi anggota orang-orang beril-
mu tinggi. Mereka tak mengerti, siapa-siapa guru-guru mereka. Yang mereka tahu,
kedua kakak be-
radik seperguruan itu adalah orang-orang yang
dapat diandalkan. Dalam hati semua pemuda dan
orang tua yang menjadi anggota tersebut hanya
ada sebuah harapan, menjadi orang yang sakti
seperti pimpinan mereka. Berilmu tinggi, juga
mempunyai ilmu siluman. Memang kebanyakan
mereka yang mendaftar adalah orang-orang yang
mempunyai antusias kelewat batas. Mereka
hanya mementingkan diri sendiri, tak memikirkan
apa dan untuk apa ia ikut Pesanggrahan Gunung
Kapur. "Saudara-saudara anggota Pesanggrahan Gunung Kapur, sengaja kami ajak
saudara-saudara ke sini sekedar untuk membicarakan ba-
gaimana kelanjutan perguruan ini. Kami kira,
saudara-saudara ingin belajar sambil menda-
patkan uang, bukan?" tanya Renggana, menjadikan kedua ratus lebih anggota baru
tersebut se- ketika berseru menjawab:
"Tentu, Tuan Pendekar...!"
"Nah, untuk itulah kami hendak memberi-
kan sebuah rencana. Kami harap, kalian semua
mau menyetujui."
"Apa itu, Tuan Pendekar?" tanya mereka serentak. Dari sinar mata mereka nampak
seber-cik harapan, harapan untuk mendapatkan harta
yang mampu menunjang hidup mereka di samp-
ing mereka dapat belajar ilmu dari dua orang
yang sudah diketahui berilmu tinggi. Mereka tak
menghiraukan apa yang dapat dilakukan, dan
apa yang hendak mereka perbuat. Di hati mereka
hanya ada satu tujuan, menjadi murid orang-
orang berilmu tinggi dan mendapatkan hasil un-
tuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.
Sesaat kedua kakak beradik seperguruan
itu diam, saling pandang dengan napas menghela
panjang. Keduanya kemudian memancarkan
pandangan mata mereka ke lapangan, di mana
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua ratus orang anggotanya duduk bersila di
situ dengan pandangan mata penuh harapan
akan apa yang bakal diberikan oleh Ketuanya.
Lama hal itu terjadi, sebelum akhirnya Renggana
kembali berkata: "Kami mempunyai tujuan yaitu mengembangkan Perguruan Datuk
dengan seiring pencarian dana. Bukankah dana itu sangat uta-
ma....?" "Akur...." jawab semuanya penuh seman-
gat. "Bagaimanakah caranya, Tuan Pendekar?"
Kembali Renggana terdiam, melirik pada
adik seperguruannya dan kemudian kembali me-
neruskan. "Bagaimana kalau kita melakukan cara pintas?" tanyanya seperti pada
diri sendiri, menjadikan semua yang ada di situ terlolong tak mengerti. "Cara
pintas...! Cara pintas bagaimana yang Tuan Pendekar maksudkan?"
Dan seperti tadi, kembali Renggana ter-
diam. Kini agak lama, memandang satu persatu
para anggota yang seketika itu terdiam, seakan
pasrah pada apa yang bakal dijadikan landasan
oleh Ketuanya. Melihat hal itu, Sanggara yang sedari tadi diam kini menjawab.
"Kami akan berikan pada kalian ilmu silat,
dan kami akan mendidik kalian agar menjadi
orang sakti serta pemberani. Dengan ilmu yang
kalian miliki, apakah kalian tidak berani melakukan tindak perampokan...?"
Semua yang hadir seketika terdiam, tak
ada yang berkata untuk menjawab atau menen-
tang. Mata semuanya saling pandang, seperti in-
gin meminta persetujuan dari satu ke lainnya.
Sanggara yang melihat kebimbangan mereka se-
gera meneruskan, "Percayalah pada kami, bahwa
kami akan selalu melindungi kalian semua. Bah-
wa kalian akan mampu menghadapi siapa saja
yang akan menghalangi kalian dengan ilmu yang
kalian miliki. Bukan begitu, saudara- saudara?"
Karena mereka sangat meyakini bahwa dua
Ketuanya benar-benar sakti, maka tanpa berpikir
banyak lagi semuanya segera menganggukkan ke-
pala. Hal itu menjadikan seulas senyum di bibir
kedua kakak beradik tersebut. Keduanya merasa
bahwa jalan untuk mencapai segala cita-citanya
menjadi datuk-datuk persilatan akan dapat mere-
ka rebut. "Mulai esok pagi, kalian semua akan kami
didik dengan segala ilmu silat dan ilmu-ilmu yang lain. Bagaimana, apakah kalian
mau" Adakah
yang tidak setuju?" tanya Sanggara sembari matanya memandang pada kedua ratus
anggotanya yang tak ada yang menyahut. "Kalau kalian memang setuju, baiklah hari ini juga
akan kami bagi kalian dalam empat kelompok. Satu kelompok,
harus dapat menjadikan kekuatan yang gagah be-
rani dalam menghadapi apapun juga. Kelompok
pertama, kami tugaskan untuk beroperasi di wi-
layah Kulon. Kelompok kedua di wilayah Kidul.
Kelompok ketiga di wilayah Wetan. Sedang ke-
lompok terakhir, di wilayah Lor. Ingat pembagi-an ini baik-baik! Besok hari,
kalian datang ke mari lagi untuk mengikuti latihan silat yang akan menjadikan
diri kalian sebagai seorang pendekar.
Nah, sekarang kalian boleh pulang. Jangan kalian ceritakan hal ini pada yang
lainnya, ingat itu!"
"Daulat, Tuan Pendekar...!" jawab semua-
nya serempak. "Mulai saat ini, kalian harus memanggil
kami Pemimpin. Bukan Pendekar, mengerti?"
"Daulat, Ketua?"
Setelah semuanya mendapatkan sehelai
daun lontar yang entah apa isinya, semuanya pun
berbondong-bondong meninggalkan Padepokan
Gunung Kapur untuk kembali ke rumah masing-
masing. Esok nanti, mereka akan resmi menjadi
anggota Perkumpulan Pesanggrahan Gunung Ka-
pur. Kedua kakak beradik seperguruan itu ter-
senyum, merasakan hasil yang maksimal. Kini
mereka yakin, bahwa mereka kelak akan menjadi
seorang Datuk Persilatan yang ditakuti dan di-
segani kawan maupun lawan.
2 Seperti apa yang telah mereka rencanakan,
maka sejak hari itu Pesanggrahan Gunung Kapur
pun mendidik semua anggotanya dengan berbagai
macam ilmu. Semuanya disiapkan untuk kelak
menjadi orang pemberani, siap menghadapi sega-
la apa yang bakal mereka hadapi.
Hari berganti menjadi minggu, akhirnya
minggu berganti dengan bulan. Tanpa terasa, tiga bulan sudah semuanya belajar
ilmu silat dan segala hal yang sekiranya bakal berguna untuk diri mereka. Kini
mereka benar-benar berubah, bukan
menjadi mereka yang dulu, yang polos sebagai
orang gunung. Karena didikan bagi mereka keras,
jadilah kedua ratus pemuda itu sebagai pemuda
pemberani pantang mau menyerah.
Namun walau mereka keras, mereka masih
selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan rasa
persahabatan bagi sesama golongannya.
Kuatlah kini kuku-kuku yang mencengke-
ram, untuk segera kuku-kuku itu beraksi meng-
koyak-koyak mangsa. Kuku-kuku tersebut telah
benar-benar diasah, benar-benar tajam bila harus digunakan. Hari itu juga,
anggota Pesanggrahan
Gunung Kapur yang telah dibagi menjadi empat
itu beraksi. Empat wilayah sekitar Pegunungan
Kapur, seketika itu terkenal angker bagi para
orang yang pulang malam. Tindakan mereka begi-
tu telengas, sehingga dalam sekejap saja nama
Pesanggrahan Gunung Kapur menyebar dan men-
jadi momok bagi para penduduk di sekitarnya.
"Hua, ha, ha... kini bukankah segalanya te-
lah menjadi kenyataan?" tanya Renggana sepertinya puas melihat hasil yang
dicapai oleh para
anggotanya. "Kalian memang orang-orang yang pemberani, sehingga kalian sangat
disegani tindakannya. Hem, aku mempunyai rencana lagi."
"Rencana apa, Kakang?" tanya Sanggara.
"Benar, apa yang dikatakan Ketua Sangga-
ra. Adakah rencana lainnya lagi?" para anggota pun tak mau ketinggalan bertanya.
Renggana tak menjawab, ia seketika ter-
diam membisu. Dilangkahkan kakinya pergi ke
luar, diikuti pandangan mata seluruh anggotanya
yang ada di situ. Anggota yang ada di situ, merupakan anggota yang telah
menjalani tugasnya. Ya,
begitulah. Kelima puluh anggotanya akan menja-
lani tugas dalam dua kali. Dua puluh lima orang
bekerja, dua puluh lima orang lainnya istirahat.
Sengaja Renggana mengaturnya sedemikian rupa,
dikarenakan ia tak ingin para anggotanya merasa
jenuh untuk melakukan segala apa yang telah di-
rencanakan. Apabila kedua puluh lima anggota
yang telah menjalankan tugas kembali, maka me-
reka diberinya segala kepuasan dari makanan,
gadis-gadis penghibur dan segala macam yang
memabukkan. Sebenarnya Sanggara tak menyukai sega-
lanya, ia merasa segala tindakannya dan tindakan Renggana telah kelewatan. Namun
untuk mempe-ringatkannya, jelas Sanggara tak berani. Pertama, karena ia merasa
sebagai adik seperguruan, yang
mau tidak mau harus menghormati kakak seper-
guruannya. Kedua, mereka telah diberi petuah
oleh guru mereka untuk saling menyokong bila
diperlukan, itulah yang mengakibatkan Sanggara
sukar untuk melakukan protes atau tindakan.
"Aku mempunyai maksud...." Renggana tak meneruskan kalimatnya. Ia kembali
melangkah masuk ke Padepokan, berjalan hilir mudik ke sa-
na ke mari dengan kepala terangguk-angguk. Ma-
tanya memancar tajam, setajam mata burung Ga-
gak. Ya, memang dia adalah Datuk Gagak Hi-tam,
yang dengan ilmu silumannya mampu mengubah
dirinya menjadi seekor burung Gagak.
Semua yang ada di situ termasuk Sanggara
nampak terdiam, hanya mata mereka yang tak
henti-hentinya memandang tajam pada Renggana
yang nampak tenang-tenang, berjalan ke sana ke
mari. Lama kelamaan, Sanggara yang sudah tak
tahan melihat tingkah kakaknya yang diliputi ra-
hasia bertanya.
"Kakang, kenapa Kakang mesti menyem-
bunyikan sesuatu?"
"Oh, tidak. Aku tidak menyembunyikan
apa-apa, Adikku. Aku sebenarnya tengah berpikir
untuk mengembangkan sayap ku, laksana sayap
burung Gagak. Aku ingin kejayaan Datuk Gagak
Hitam, melebar ke segenap penjuru dunia. Tidak
hanya dalam lingkup wilayah Pesanggrahan Gu-
nung Kapur saja, tapi harus mampu menembus
dunia persilatan."
"Ah, apakah itu tidak terlalu tinggi, Ka-
kang?" "Maksudmu...?"
Sejurus Sanggara terdiam mengatur napas,
matanya memandang ke luar dengan kosong. Ia
memang telah memikirkan bahwa kakaknya yang
berantusias tinggi suatu saat pasti ingin menjadikan dirinya sebagai orang yang
paling kuat. Ka-
kak seperguruannya tak berpikir, bahwa di dunia
persilatan bukan mereka saja yang sakti. Bahkan
lebih dari mereka berdua pun banyak. "Apakah Kakang Renggana tak mendengar nama
seorang tokoh persilatan yang ilmunya sangat tinggi, bahkan dapat disejajarkan dengan
Dewa?" keluh hati Sanggara, sepertinya menyesali cita-cita kakaknya. Setelah
lama terdiam, Sanggara pun akhir-
nya berkata: "Apakah itu sudah Kakang pikirkan masak-masak?"
"Sudah, Adikku," jawab Renggana kalem, dengan senyum keangkuhan yang melekat di
bibirnya yang kebiru-biruan. "Aku sudah memikirkan segalanya. Dan aku yakin,
bahwa aku akan mampu menjadi Datuk di antara Datuk Persila-
tan. Hua, ha, ha...!"
Gelak tawa membahana keluar dari mulut
Renggana, yang seketika menjadikan rasa me-
rinding bagi para pendengarnya. Semua yang ada
di situ bagaikan tercekat, diam tanpa ada yang
berkata sepertinya mereka terpengaruh kekuatan
magis yang keluar bersamaan dengan gelak tawa
tersebut. Walau Sanggara juga terdiam tanpa kata,
tapi dalam hatinya seketika gundah. Ia sadar,
bahwa dirinya tak dapat selaras dengan kakak-
nya. Namun untuk menentang, untuk saat-saat
sekarang ia rasa belum waktunya. Bagaimana
nanti jika guru mengetahui, sungguh petaka bagi
dirinya. "Ah, kenapa aku dulu menjadi murid Datuk Rangka Urip" Oh, sungguh
tekanan batin jika
aku harus terus menerus berbuat begini. Hati ke-
cilku seperti menolak, namun aku tak mampu
melakukan apa-apa. Oh, kenapa orang-orang me-
nilai ku sebagai seorang Datuk sesat?" beribu-ribu macam pertanyaan menggayut
dalam ha- tinya, menjadikan Sanggara hanya mampu ter-
tunduk lesu. Melihat adik seperguruannya terdiam me-
nunduk, Renggana seketika menanya: "Kenapa
kau melamun, Adikku" Apakah kau kurang setu-
ju dengan apa yang aku cita-citakan?"
Suara Renggana begitu halus, ramah ba-
gaikan tak mengerti apa yang tengah melanda pi-
kiran adiknya. Hal itu membuat Sanggara merasa
makin terpukul, berat untuk berkata-kata. Wa-
laupun dalam hati berkata Ya, namun di mulut
Sanggara tak berani untuk berkata begitu. Maka
sebagai penutup isi hatinya Sanggara mencoba
tersenyum. Digelengkan kepalanya, lalu dengan
mendesah dulu berkata: "Tidak begitu, Kakang.
Aku setuju saja pada apa yang menjadi keingi-
nanmu, bukankah guru menyuruh kita untuk
saling membantu?"
"Memang benar, Adikku. Tapi, kenapa se-
pertinya sedih?"
"Ah, mungkin itu hanya pandangan Ka-
kang saja. Aku tidak sedih, atau gundah. Aku
hanya tengah memikirkan bagaimana jika kelak
kita menjadi Datuk-Datuk yang disegani."
Bergelak tawa Renggana mendengar jawab-
an adik seperguruannya.
"Bagus, bagus. Nah, para kadang ku, ba-
gaimana dengan kalian" Apakah kalian juga se-
nang bila mempunyai guru yang ditakuti di selu-
ruh pelosok dunia persilatan?" tanya Renggana pada kesemua anggotanya.
"Akur...!"
"Rupanya kalian memang orang-orang ga-
gah berani, yang suka sekali dengan kejayaan.
Kelak, kalian sendiri yang akan merasakan keba-
hagiaannya. Hua, ha, ha...!" kembali Renggana bergelak tawa, sepertinya puas.
"Tapi rencana itu nanti, kalau benar-benar telah kokoh. Bukan be-
gitu...?" "Akur..." kembali terdengar jawaban serempak.
Tengah mereka bercakap-cakap, dari ke-
jauhan tampak serombongan orang yang juga
anggota mereka datang menuju ke tempat itu. Di
wajah keseratus orang yang datang, nampak se-
buah gambaran kecemasan yang dalam bercam-
pur dengan rasa takut. Hal itu seketika menjadi-
kan Renggana terbelalak kaget, sebab tak biasa-
biasanya anak buahnya datang sebelum ganti ja-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ga. Serta merta, Renggana segera berkelebat me-
nyambutnya dengan penuh ketidakpengertian se-
raya bertanya. "Kenapa kalian belum waktunya sudah pu-
lang?" "Ampun, Tetua. Kami diserang oleh gerombolan lain yang langsung dipimpin
oleh Ketuanya Datuk Mujo Hitam," jawab salah seorang Ketua kelompok dengan wajah pucat
ketakutan. Tersentak seketika Renggana mendengar keterangan
anak buahnya, gigi-giginya bergeretukan mena-
han marah. Dari mulutnya seketika mendesis
ucapan kekesalannya:
"Bedebah! Rupanya Datuk anjing itu hen-
dak berlagak! Hem, jangan kira akan mudah
membuat kerusuhan pada kelompok ku. Adik
Sanggara...."
"Ya, Kakang!" Sanggara yang waktu itu masih terduduk dengan segera bangkit, dan
dalam sekejap saja tubuhnya telah berkelebat diantara
anak buahnya. Tubuh itu bagaikan terbang,
mungkin lebih cepat mencelat hingga tiba-tiba
sampai di hadapan kakak seperguruannya yang
matanya memancarkan api kemarahan. "Ada ge-
rangan apa, sehingga Kakang begitu marahnya?"
"Datuk Anjing itu rupanya ingin menan-
tang kita, Sanggara."
"Siapakah yang Kakang maksudkan?"
Sanggara bertanya belum memahami apa yang
oleh kakak seperguruannya dikatakan Datuk Anj-
ing. Banyak sekali Datuk-Datuk yang memusuhi
mereka, tidak banyak pula yang pro pada mereka.
"Datuk Mujo Hitam, Adikku. Dia telah lan-
cang hendak menguasai wilayah kita. Bagaimana"
Apakah kau akan mendiamkannya?"
Sanggara sesaat terdiam menunduk, sukar
untuk menjawab dengan se-enak kata. Hatinya
bimbang, bagaimana harus menerangkan atau
mengambil keputusan. Satu sisi hatinya menga-
takan, biarlah. Tapi sisi hatinya yang lain mengatakan, bahwa Renggana adalah
kakak sepergu- ruannya yang harus dibela. Walaupun Renggana
berbuat jahat, sebagai seorang adik seperguruan
ia harus melindungi atau membantunya. Karena
kebimbangan itulah, sehingga Sanggara tak sege-
ra menjawab pertanyaan kakaknya. Dicarinya ca-
ra yang baik untuk dapat mengatasi apa yang te-
lah melanda emosi kakaknya, agar Datuk Mujo
Hitam pun tidak terkena gebuk. Setelah dirasa
ada jalan yang paling baik, Sanggara akhirnya
berkata "Baiklah, Kakang. Aku akan mencoba
menghadapinya. Aku minta, janganlah Kakang
terburu-buru ikut campur. Aku rasa aku akan
mampu menghadapinya seorang diri."
"Bagus, bagus. Hem, memang cukup den-
ganmu saja, tak perlu melibatkan diriku untuk
menghadapi Datuk Anjing Bulukan itu. Kapan
kau mau berangkat, Adikku?" tanya Renggana
senang. "Mungkin hari ini juga, Kakang." jawab Sanggara, menjadikan Renggana seketika
kembali bergelak tawa. Ia bangga mempunyai adik seper-
guruan macam Sanggara, yang mengerti akan to-
leransi dan mau membantu dirinya demi menge-
jar cita-citanya sebagai Datuk di antara Datuk
atau Datuk segala Datuk.
"Bagus! Memang lebih baik secepatnya agar
Datuk Anjing itu tidak sembrono pada kita."
Renggana wajahnya berseri-seri. Ia tahu keheba-
tan adik seperguruannya, maka itu ia sangat
mengharapkan tenaga serta ilmu adiknya. Hati
Renggana tenang dan tentram, merasa yakin ka-
lau adik seperguruannya akan mampu mengalah-
kan Datuk Mujo Hitam. Walau Datuk Mujo Hitam
sudah terkenal, namun ilmu yang dimiliki adik-
nya sungguh bukan ilmu sembarangan. Adiknya,
Sanggara adalah murid terpintar di perguruan
hingga kakak-kakak seperguruannya menju-
lukinya sebagai Anak Dewa. Tapi walau dirinya
sangat pintar dan tinggi ilmunya, Sanggara tak
sombong. Bahkan ia rendah diri dan tak mau
memamerkan ilmu yang dimilikinya, seperti hal-
nya Datuk-Datuk Persilatan yang lain.
"Berapa orang anak buah yang hendak
eng-kau bawa, Adikku?"
"Tiga orang saja."
"Apa...?" membeliak kaget mata Renggana, demi mendengar jawaban adik
seperguruannya.
Hatinya berkata bimbang, bagaimana mungkin
menghadapi seratus orang gerombolan yang lang-
sung ditangani Ketuanya hanya dengan tiga
orang" Namun bila ia ingat kembali bahwa adik
seperguruannya bukan orang sembarangan,
Renggana akhirnya sadar dan memahami. Diang-
guk-anggukkan kepalanya, seakan yakin akan se-
gala yang menjadi keputusan sang adik. "Baiklah, aku hanya menuruti apa yang
menjadi permin-taanmu."
"Terima kasih, Kakang," jawab Sanggara sembari sunggingkan senyum. Ia kini agak
tenangan, merasa bahwa usahanya untuk mencari ja-
lan yang baik akhirnya akan dapat terlaksana.
"Tapi bila Datuk Mujo Hitam menolak, apa boleh buat," kata hatinya.
"Siapa yang akan kau bawa, Adikku?"
"Topel...!"seru Sanggara memanggil anak buahnya tanpa memperdulikan pertanyaan
kakak seperguruannya, sebab panggilan itu sudah me-
rupakan jawaban dari pertanyaan Renggana.
Renggana hanya dapat gelengkan kepala melihat
tingkah laku adik seperguruanya yang serba
aneh. Dari sejak mereka masih anak-anak dan
dididik oleh guru mereka, hanya Sanggara saja
yang berkepribadian dan tingkah laku yang aneh.
Dulu Renggana dan kakak-kakak seperguruannya
yang lain, menganggap bahwa tingkah laku adik
seperguruannya itu merupakan, tingkah laku
layaknya seorang anak. Tapi sekarang, rupanya
tingkah laku itu merupakan pembawaan dari la-
hir hingga sukar untuk dirubah oleh siapa pun.
"Saya, Ketua...!" Topel yang dipanggil segera menjawab dan lari mendekati
sembari ber- tanya. "Ada apa, Ketua?"
Seperti mana kala ditanya oleh Renggana,
kali ini pun Sanggara tak menjawab pertanyaan
Topel. "Sangkel...!" kembali ia berseru tanpa hiraukan Topel yang terbengong-
bengong tak men-
gerti dan hanya berdiri mematung di tempatnya.
"Saya, Ketua...!" terdengar jawaban yang dibarengi dengan berkelebatnya sesosok
tubuh gendut pendek, sehingga tampak lucu kelihatan-
nya. Sangkel merasa biarpun ia menanya, tak
akan mendapat jawaban dari pimpinannya seperti
Topel. "Rengek...!"
"Saya Ketua...!" Rengek segera berkelebat menuju ke tempat di mana dua orang
temannya berdiri berjejer. Nampak kelucuan di diri ketiga orang yang dipilih oleh
Sanggara, menjadikan
Renggana seketika tak dapat menahan gelak ta-
wanya. Melihat kakak seperguruannya tertawa.
dengan rasa tak mengerti Sanggara bertanya:
"Kenapa Kakang tertawa...?"
"Lucu. Sungguh lucu sekali," Renggana
menjawab dengan masih menahan tawa. "Apakah kau tak salah pilih, Adikku?"
"Tidak, Kakang. Aku memilih mereka, se-
bab mereka adalah orang-orang yang tenang dan
lucu. Aku mengharapkan mereka dapat menghi-
bur diriku. Bukan begitu, Topel, Rengek, Sangkel"
"Benar, Ketua...!" jawab ketiganya bareng, dengan cengar-cengir bagaikan orang
bloon. Itu saja mampu mengundang gelak tawa, apalagi bila
mereka telah bertingkah yang lucu-lucu.
"Baiklah, Kakang. Aku mohon pamit untuk
pergi menemui Datuk Mujo Hitam. Aku harapkan
do'a dari semuanya demi kesuksesan yang akan
aku terima."
"Aku do'akan," jawab Renggana dengan senyum senang melekat di bibirnya. "Kalau
sudah beres semua, cepatlah kau pulang."
"Akan saya usahakan," jawab Sanggara.
"Ayo Topel, Rengek, Sangkel, kita berangkat."
"Daulat, Ketua. Kami iringi..." jawab ketiganya sembari menjura. Setelah menjura
pada kakak seperguruannya, segera Sanggara yang di-
ikuti oleh ketiga anak buahnya yang lucu-lucu
berangkat meninggalkan Pesanggrahan Gunung
Kapur menuju ke tempat di mana Datuk Mujo Hi-
tam berada. Mereka pergi dengan jalan kaki, tan-
pa menggunakan kuda karena jarak yang mereka
tempuh tak sampai memakan waktu sehari pe-
nuh. 3 Hutan Tarakan nampak hening, sunyi se-
nyap bagaikan tak berpenghuni. Angin gunung
Kapur yang gersang, bertiup merambah pohon-
pohon yang memadati hutan tersebut. Dari ke-
jauhan yang tepatnya dari atas gunung, seorang
penunggang kuda menggebas kudanya dengan
kecepatan tinggi. Sepertinya orang tersebut ingin segera lekas sampai pada
tempat yang dituju. Wajah orang itu begitu pucat, seakan ada hantu saja yang
tengah mengejarnya. Mulutnya tak henti-hentinya menggeretak, mengomel-omel entah
di- tujukan pada siapa.
"Empat orang itu sungguh lancang, berani
mendatangi ke mari!" rungutnya. "Mereka seperti orang-orang Pesanggrahan Gunung
Kapur. Ya, aku lihat orang yang berjalan paling depan tak
lain Datuk Muda Cobra Merah. Pantas... pantas
kalau dia berani menyatroni tempat ini. Sudah
aku bilang pada Datuk, agar jangan sekali-kali
mencari urusan dengan Pesanggrahan Gunung
Kapur. Ah, entahlah. Yang penting aku harus se-
gera memberitahukannya pada sang Datuk."
Orang itu yang ternyata anak Buah Datuk
Mujo Hitam kembali menggebah kudanya dengan
kecepatan tinggi. Napasnya memburu, matanya
liar memandang ke muka di mana liuk-liuk sun-
gai Berantas membujur dari arah Selatan menga-
lir ke Utara. Tanpa kata-kata, orang itu terus
menggebah lari kudanya hingga dalam waktu
singkat sampailah orang tersebut pada Hutan Ta-
rakan di mana seluruh anggota Datuk Mujo Hi-
tam berada. "Datuk... Datuk...!" orang itu berteriak-teriak walau masih agak jauh jaraknya,
sehingga membuat seluruh penghuni Hutan Tarakan ter-
sentak kaget dan berserabutan keluar, tak ketinggalan Datuk Mujo Hitam yang
bertampang kumal,
berjubah merah menyala. Jenggot sang Datuk
panjang terurai bagaikan tak pernah diurus. Ma-
tanya merah, menyipit sempit memandang ke
arah orang tersebut. Setelah tahu siapa yang da-
tang, sang Datuk membentak bertanya: "Kupret!
Bikin orang jantungan saja kau, Lego! Ada apa
kau berteriak-teriak kayak orang kesetanan,
Hah!?" "Ampun, Datuk. Orang-orang Pesanggrahan Gunung Kapur pada datang menuju
ke mari." Membeliak mata sang Datuk, ia mengira
seluruh anggota dan dua Ketuanya datang se-
mua. Mata Datuk Mujo Hitam yang melotot, men-
jadikan warna merah menyala nampak jelas ken-
tara. "Berapa orang yang datang, Lego?"
"Empat orang, Datuk...."
Mendengar jawaban dari anak buahnya se-
ketika Datuk Mujo Hitam tertawa bergelak-gelak.
Hingga saking kencangnya gelak tawa sang Da-
tuk, sampai-sampai tubuhnya yang gemuk ter-
guncang-guncang.
"Baru empat orang... seluruhnya hadirpun
aku tak akan takut," ucap Datuk Mujo Hitam
sombong. "Anak-anak, siapkah kalian untuk
menghadapi tikus-tikus yang akan menyerang ki-
ta?" "Siap, Datuk...!" jawab mereka serempak.
Ada kurang lebih seratus anggota perkumpulan
Datuk Mujo Hitam. Tampang mereka beringas,
layaknya seekor kucing yang siap untuk mengha-
dapi empat ekor tikus-tikus tanah. Mungkin da-
lam hati mereka bergumam, baru empat orang
yang datang. Apakah mereka menganggap akan
menang" Mereka nekad menyatroni kandang si-
nga. Ya, memang bila dilihat dari sepintas, ke-
empat orang Pesanggrahan Gunung Kapur bisa
dikatakan nekad. Tapi bila dilihat siapa yang
menjadi pimpinannya, maka anggota Datuk Mujo
Hitam tak akan berani sembrono. Pimpinan ke-
tiga orang itu bukanlah orang sembarangan, ia
adalah Datuk Muda Cobra Merah, seorang Datuk
yang paling muda di antara para Datuk dunia
persilatan. Karena ilmu yang dimiliki begitu ting-gi, hingga dia semuda itu
diangkat menjadi seo-
rang Datuk. Semua anggota Datuk Mujo Hitam gelak
tawa, hanya Lego saja yang diam. Ia telah men-
dengar kehebatan Datuk Muda Cobra Merah, ma-
ka itu ia tak berani gegabah ngomong. Lego takut kalau-kalau omongannya tak akan
menjadi kenyataan, bahkan mungkin akan berakibat seba-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
liknya. "Datuk, apakah Datuk tak tahu siapa yang datang ke mari?"
"Bagiku, siapa yang datang tak jadi masa-
lah. Aku Datuk Mujo Hitam, pantang untuk men-
gakui kehebatan lawan."
"Tapi, Datuk...?" Lego hendak memprotes, namun seketika ia tak meneruskan
ucapannya mana kala dilihatnya mata sang Datuk melototi-
nya. Lego akhirnya hanya tertunduk, hatinya
menggerutu kesal. Bagaimana tidak, ia tahu siapa yang datang. Orang yang sangat
ditakuti oleh orang-orang persilatan setelah nama besar Pen-
dekar Siluman Darah. Memang saat itu ada lima
orang yang namanya cukup kondang bagi dunia
persilatan. Pertama, Raja Maling Suci yang sudah lama menghilang. Kedua,
Pendekar Pedang Siluman Darah disusul oleh Maling Siluman, Supit
Songong dan Datuk Muda Cobra Merah.
"Kau jangan menakut-nakuti temanmu,
Lego!" bentak sang Datuk marah, merasa bahwa Lego telah menakut-nakuti anak
buahnya. "Baru menghadapi empat orang kau sudah ngeper. Ma-na kesatriaanmu,
Lego?" Lego tak dapat berkata, ia pasrah pada se-
gala keputusan Datuk Mujo Hitam Ketuanya. Ya,
begitulah hukum alam dunia persilatan, pimpi-
nan harus memegang segalanya dan bawahan ha-
rus menuruti segala apa saja yang menjadi kepu-
tusan pimpinannya.
"Masih jauhkah mereka, Lego?"
"Aku sudah datang, Datuk Mujo?"
Tersentak semuanya demi mendengar se-
seorang berseru menyahuti pertanyaan Datuk
Mujo Hitam. Seketika mata semuanya meman-
dang ke arah asalnya suara, di mana tampak em-
pat orang dengan tiga orang bertampang konyol
berada. Mata sang Datuk seketika lebih membe-
liak kaget, ketika diketahui siapa yang datang
bersama tiga orang manusia bertampang konyol.
Saking kagetnya, sampai-sampai sang Datuk ber-
seru menyebut gelar orang tersebut. "Datuk Muda Cobra Merah...!"
Orang itu tersenyum, kakinya melangkah
pelan mendekati arah Datuk Mujo Hitam berada
yang kini tampak mengkeret ketakutan tidak se-
perti pertama kali bicara. Makin dekat Datuk Mu-
da Cobra Merah menuju ke arahnya, makin mun-
dur Datuk Mujo Hitam. Sementara keseratus
anak buahnya telah siaga dengan senjata di tan-
gan masing-masing siap untuk menyerang. Na-
mun Datuk Muda Cobra Merah, sepertinya tak hi-
raukan. Dia terus melangkah mendekati Datuk
Mujo Hitam yang makin menyurut mundur seta-
pak demi setapak.
"Kenapa, Datuk" Apakah kau takut?" tanya Datuk Muda Cobra Merah tanpa ekspresi,
tenang. Namun justru ketenangan itulah yang membuat
Datuk Mujo Hitam agak jengah. "Aku tak akan mendahului, bila kau mau menuruti
apa yang akan aku katakan. Bagaimana, Datuk...?"
Sejenak Datuk Mujo Hitam hentikan lang-
kahnya, memandang tajam pada Sanggara atau
Datuk Muda Cobra Merah.
"Bagaimana, Datuk...?" kembali Sanggara bertanya.
"Baiklah, aku terima apa yang hendak kau
katakan," jawab Datuk Mujo Hitam setelah sekian lama berpikir, menjadikan Datuk
Muda Co- bra Merah tersenyum.
"Dengar baik-baik olehmu. Aku minta, per-
gilah kalian dari wilayah kekuasaan kakak seper-
guruanku."
"Ah...!"
"Kenapa, Datuk..." Kau berat?"
"Ya," jawab Datuk Mujo Hitam dengan sua-ra bergetar.
Datuk Muda Cobra Merah tersenyum. Ma-
tanya yang menyala laksana mata Ular Cobra,
menghujam lekat pada mata Datuk Mujo Hitam.
Sampai tak kuasa sang Datuk untuk meneruskan
menantang pandang. Melihat Datuk Mujo Hitam
tertunduk, Sanggara mendesis.
"Jadi kau hendak menentang kakak seper-
guruanku?"
Sang Datuk terjengat tak dapat berkata. Ia
ragu untuk menjawab pertanyaan Datuk Muda
Cobra Merah. Hatinya galau dan bimbang untuk
menentukan segalanya. Kalau ia menyerah, be-
rarti tamatlah riwayat persekutuannya. Namun
bila ia menolak, ia harus berpikir untuk mengha-
dapi Datuk Muda Cobra Merah yang memiliki il-
mu tinggi lebih dua tingkat di atasnya. Namun
bukankah ia memiliki seratus orang anggota yang
siap dengan senjata masing- masing" Sesaat sang
Datuk sepertinya hendak mengatakan siap! Sete-
lah menimbang-nimbang untung ruginya, Datuk
Mujo Hitam pun menjawab dengan suara agak
berat. "Aku tak mau, sebab aku pun perlu hidup."
Sang Datuk mengira kalau ucapannya
bakal menjadikan Sanggara atau Datuk Muda
Cobra Merah marah, tapi ternyata tidak. Datuk
Muda Cobra Merah bahkan simpulkan senyum,
angguk-kan kepala sembari memandang tajam
pada Datuk Mujo Hitam.
"Kau ingin terus hidup?" tanyanya kemudian. "Jelas. Setiap manusia perlu hidup.
Bukankah aku pun juga?"
Kembali Sanggara tersenyum.
"Bukankah kau dapat mencari tempat lain"
Mengapa kau mesti merebut tempat kuasa kakak
seperguruanku?" tanya Sanggara menyindir, menjadikan muka Datuk Mujo Hitam
seketika merah.
"Apakah kau lupa pada semua janji para Datuk?"
"Persetan dengan janji itu. Aku yang pent-
ing hidup, dan hidup dengan segala kebisaanku."
"Hem, kalau begitu kau menentangku, Da-
tuk?" "Apa boleh buat. Ibarat merendam diri di air, kepalang basah. Maka lebih
baik menyelam..."
jawab sang Datuk, menjadikan Sanggara kembali
tersenyum. "Baiklah, Datuk. Karena aku sebagai wakil
kakakku, maka aku pun harus memiliki kewa-
jiban. Nah, apakah kau tak punya cara lain untuk semuanya, Datuk?"
"Tidak! Sudah aku katakan, tidak!" Datuk Mujo Hitam benar-benar marah merasa
diren-dahkan oleh Sanggara. Kini ia benar-benar telah
gelap, tak hiraukan siapa orang yang tengah di-
hadapinya. Orang yang namanya sempat meng-
gemparkan dunia persilatan. Orang yang dijuluki
dengan Anak Dewa, karena ilmunya yang tinggi.
Dalam hati Datuk Mujo Hitam hanya ada satu pi-
lihan, lebih baik mencoba menentang sekaligus
menjajaki seberapa ilmu yang dimiliki oleh Datuk Muda Cobra Merah yang kesohor
itu. "Kalau memang itu yang engkau kehenda-
ki. Jangan salahkan aku turun tangan."
"Aku sudah siap. Serang...!"
Mendengar seruan Datuknya, seketika se-
ratus orang anggotanya berkelebat dengan senjata di tangan masing-masing
menyerang Sanggara
dan ketiga orang pengikutnya.
Sanggara yang tak ingin ketiga anak buah-
nya terkena serangan Datuk Mujo Hitam dan ke-
seratus anak buahnya, tanpa sungkan-sungkan
lagi keluarkan ilmunya. Maka tanpa ayal lagi, semuanya seketika terpelanting
berjatuhan disapu
angin besar yang keluar dari tangan Datuk Muda
Cobra Merah. Melihat hal itu, segera Datuk Mujo
Hitam balas serangan dengan ajian Api Beragam.
Dari tangan sang Datuk keluar aneka warna api
menyembur, menyerang ke arah Sanggara dan
ketiga anak buahnya yang menjerit-jerit ke-
takutan melihat api besar mengarah ke arah me-
reka. "Tuan, bahaya...!" seru Topel dengan tubuh gemetaran.
"Wadauw...! Panas, Pimpinan!" Sangkel
ikut ketakutan, juga begitu halnya Rengek yang
merengek-rengek bagaikan anak kecil saking ta-
kutnya. Mungkin saking ketakutannya, sampai-
sampai Rengek terkencing-kencing di celana.
"Aduh, Tuan. Bagaimana ini..." Waduh,
panas..." Walau anak buahnya bertingkah lucu dan
ketakutan setengah mati, namun semua seperti
tak membuat Sanggara tertawa atau bingung.
Sanggara terdiam, matanya yang tajam meman-
dang dengan sorot mata tajam. Perlahan tangan-
nya terangkat tinggi, kemudian dengan disertai
desiran tangan itu diarahkan memapaki ajian
yang dilontarkan Datuk Mujo Hitam.
"Ajian Prahara Neraka. Hiat...!"
Seketika angin puting beliung yang sangat
besar dart dahsyat menggelegar-gelegar, menyapu
api yang hendak menyerangnya. Api itu seketika
berbalik, menyerang ke arah tuannya. Tersentak
kaget Datuk Mujo Hitam yang segera tarik mun-
dur ajiannya. Dilemparkan tubuhnya, rebah rata
dengan tanah mengelakkan serangan tersebut.
Namun sungguh bahaya bagi anak buahnya. Se-
ketika itu, seluruh anak buahnya beterbangan
melayang-layang di udara hingga jauh dan akhir-
nya jatuh dengan tubuh membiru beku terkoyak-
koyak. Kini Datuk Mujo Hitam sadar, siapa yang
tengah ia hadapi. Memang nama besar Datuk
Muda Cobra Merah bukanlah omongan kosong
belaka. Kini ia telah membuktikan kebenarannya
sendiri. Maka mana kala Datuk Muda Cobra Me-
rah lengah, segera Datuk Mujo Hitam tinggalkan
tempat itu. Merasa musuhnya telah tak ada, segera
Sanggara atau Datuk Muda Cobra Merah henti-
kan ajiannya. Dicarinya tubuh Datuk Mujo Hi-
tam, namun tak ditemukannya. Yang ada hanya
bangkai-bangkai anak buah Datuk Mujo Hitam,
dan seorang lagi yang masih hidup tampak me-
mojok di pepohonan ketakutan. Orang itu tak lain Lego, yang sedari tadi
ketakutan melihat apa yang terjadi. Ternyata segala omongannya benar, bahwa
Datuk Muda Cobra Merah bukanlah orang
sembarangan. Sanggara yang melihat Lego tengah mojok
dengan tubuh menggigil ketakutan segera meng-
hampiri. Sejenak dipandangnya lekat-lekat tubuh
orang tersebut, lalu dengan suara pelan seperti
tak ada rasa permusuhan Sanggara bertanya:
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak"
"Dia anak buahnya Datuk itu, Pimpinan."
"Aku tahu, Sangkel!"
Sangkel seketika terdiam, tak berani berka-
ta-kata. Ia tahu kalau pimpinannya yang seorang
ini memang aneh, tapi baik hati. Berbeda dengan
kakak seperguruannya yang kasar dan tak me-
ngenal kompromi, Sanggara memang berjiwa te-
nang dan penyabar serta penyayang. Hanya saja
sifatnya sungguh aneh.
"Siapa namamu, Ki Sanak?" tanya Sangga-ra kembali.
Mendengar suara yang tak mengandung
permusuhan, Lego segera tengadahkan muka
memandang pada siapa yang berkata. Walaupun
jelas bahwa Sanggara tak menaruh dendam, na-
mun rasa takut kalau-kalau Sanggara marah te-
rus melekat di wajah Lego yang dengan terbata-
bata menjawab. "Nama saya, Lego."
"Ki Sanak Lego. Apakah kau tahu ke mana
larinya pimpinanmu?"
"Ti-tidak, Tuan. Saya tidak tahu, sungguh."
"Ah, bohong kamu" hardik Rengek ikut-
ikutan. "Masak anggotanya tak tahu ke mana
pimpinannya pergi. Boong!"
"Rengek, diam kau!" Sanggara melotot,
menjadikan Rengek tundukkan muka tak berani
untuk menentang pandang. "Lego, apakah kau
ingin bebas?"
"Be... benar, Tuan," jawab Lego terbata saking girangnya.
"Kau sekarang bebas. Tapi ingat, jangan se-
kali-kali kau turut serta dengan Datuk Mujo Hi-
tam lagi. Kembalilah kau pada jalanmu, jalan
yang baik!"
Tersentak Lego mendengar penuturan Da-
tuk Muda Cobra Merah. Bagaimana tidak. Baru
kali ini ia mendengar nasehat dari seorang Datuk yang sungguh-sungguh
bertentangan dengan ge-larnya. Gelar Datuk, biasanya untuk orang-orang
beraliran sesat, tapi mengapa Datuk Cobra Merah
jauh dari semuanya. Dia begitu baik, penyabar,
pemberi saran yang di luar akal dan perbuatan
seorang Datuk yang biasanya tak kenal ampun
dan kejam. Tak percaya Lego mendengarnya, se-
hingga matanya memandang ke seluruhan tubuh
sang Datuk dari ujung kaki ke ujung kepala se-
perti ingin meyakinkan.
"Kenapa, Lego" Apakah kau melihat kegan-
jilan pada diriku?" tanya Sanggara, demi melihat Lego memandanginya terus
menerus dari atas
rambut sampai ke ujung kaki.
"Ti-tidak. Tuan sungguh aneh." jawab Lego terbata.
"Aneh..." Apanya yang aneh, Lego" Aku
manusia biasa seperti kamu. Bukan setan mara-
kiyangan, atau dedemit yang suka mengganggu
manusia."
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sifat tuan yang aneh," Lego akhirnya men-jelaskan, menjadikan Sanggara atau
Datuk Cobra Merah mengernyitkan keningnya tak mengerti.
"Sebagai seorang Datuk, sungguh tuan sangat berbeda. Sifat tuan yang baik dan
welas asih, merupakan keterbalikan dari sifat seorang Datuk.
Seorang Datuk akan tak mengenal semuanya.
Yang hanya kebengisan dan keangkaramurkaan.
Tapi tuan... Oh, tak ubahnya seorang Pendekar."
Jawaban Lego yang polos, menjadikan
Sanggara tersenyum. Matanya berkaca-kaca, sea-
kan gembira mendengarnya. Memang hati kecil-
nya menolak untuk menerima sebutan Datuk.
Tapi mau dikata apa, sebab gelar tersebut bukan
dia sendiri yang membuatnya, melainkan orang
lain. "Sudahlah, Lego. Kini aku berikan kebebasan padamu."
"Terimakasih, tuan, terimakasih!" Lego menjura-jura beberapa kali sebagai
ungkapan ra-sa bahagia. Namun Lego hendak berlalu pergi, ti-
ba-tiba Sanggara berseru memanggilnya. "Tung-gu, Lego!"
Lego segera hentikan langkah, balikan tu-
buh kembali menghadap ke arah Datuk Muda
Cobra Merah yang berjalan ke arahnya.
"Ada apakah, Tuan"'
"Aku mau minta tolong padamu,"
"Tentang apa, Tuan" Kalau memang aku
dapat, maka aku akan melaksanakannya," jawab Lego sembari duduk bersiku.
"Kau bisa, Lego. Kau akan aku minta to-
long untuk memberikan surat pada kakak seper-
guruanku. Tapi ingat, kau jangan menampakkan
diri. Lemparkan surat itu dari jauh dengan tom-
bak, lalu kau harus pergi pulang ke rumahmu.
Ingat, Lego. Jangan sampai ada yang mengetahui
kedatanganmu, sebab tidak mungkin tidak kau
akan mendapat celaka."
"Baiklah, Tuan. Segala apa yang disaran-
kan tuan akan saya taati dengan seksama," Lego menjawab dengan muka menunduk.
Hatinya masih diliputi beribu macam pertanyaan tentang Da-
tuk yang satu ini, yang segala tindakannya sung-
guh-sungguh bertentangan dengan para Datuk
lainnya. Sanggara segera mengambil daun lontar
yang sengaja ia simpan di balik sabuknya. Segera ditulisnya sebuah surat dengan
guratan-guratan
benda yang juga sengaja dia bawa.
"Datuk Gagak Hitam. Adik seperguruanmu
telah aku hancurkan.
Beruntung aku tak ingin berurusan den-
ganmu. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau menden-dam padaku. Aku telah
membebaskan tanah kua-
samu, dan meninggalkan dengan tulus ikhlas. Aku minta maaf, karena telah
melalaikan janji para Da-
tuk yang tidak boleh menyaingi Datuk lainnya.
Kembali aku meminta maaf, karena telah berbuat jahat terhadap adik
seperguruanmu. Semoga kau mau memaafkan...
Dariku: Datuk Mujo Hitam
"Ini suratnya. Coba kau ambilkan sebatang
tombak itu," perintahnya pada Sangkel, yang dengan segera berlari untuk
mengambil tombak
yang ditunjuk pimpinannya. Setelah mengikat-
kan surat tersebut di ekor tombak, tombak itu
pun segera diberikannya pada Lego.
"Saya pamit mundur, Tuan."
"Laksanakan dengan baik, dan hati-
hatilah," suara Sanggara datar, sepertinya dingin menyirami hati Lego, yang
dengan segera berkelebat pergi kembali ke Hutan Tarakan di mana ku-
danya tadi tertambat. Dengan segera Lego pun
memacu kudanya, pergi untuk menuju ke tempat
Pesanggrahan Gunung Kapur yang letaknya se-
tengah hari bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Hari telah agak sore, maka sebentar pun akan ti-
ba malam. Hal itu sungguh sangat berarti bagi
Lego, sebab dengan keadaan yang gelap Lego
akan mudah menjalankan tugasnya.
4 Malam mulai merambah, dan gelappun
menghampar menyelimuti bumi dan isinya. Se-
buah bayangan berkelebat, lompat dari kudanya
dan berlari menuju ke sebuah pepohonan yang
agak rimbun. Sejenak matanya memandang seke-
liling, lalu menatap lekat pada titik api yang tampak dari rumah yang
sesungguhnya sebuah Pe-
sanggrahan. Merasa tak ada yang melihat, bayan-
gan itu segera berkelebat lebih mendekat. Lalu
dengan segenap kekuatan, dilemparkan sebuah
tombak yang berada di tangannya ke arah Pe-
sanggrahan tersebut. Terdengar seruan kaget
membentak, bersamaan dengan berkelebatnya
tubuh pelempar tombak itu lari menjauh menuju
ke kudanya. "Bedebah! Siapa yang telah berani lancang
di sini!" memaki marah Renggana, demi melihat sebuah tombak berkelebat hampir
saja menyerang tubuhnya. "Cari orang itu dan cincang tubuhnya bila tertangkap!"
Dengan tanpa banyak kata, orang-orang
yang malam itu ada di situ segera menghambur
ke luar untuk mengejar. Namun mereka sampai
jauh menjarah tempat sekeliling, tak ada yang ditemukan. Yang tampak hanya
hamparan gelap gulita di depan mereka. Maka dengan wajah pe-
nuh keputusasaan mereka kembali menemui Ke-
tuanya. "Mana orangnya!?"
"Tidak ada, Pimpinan," jawab mereka serempak.
"Bodoh! Mengejar seorang kunyuk saja ka-
lian tidak becus!"
Semuanya tertunduk tak ada yang berani
menjawab atau menentang pandang. Rasa takut
jelas tergambar di wajah mereka, sehingga mere-
ka nampak pucat pasi. Sementara Renggana
nampak berjalan hilir mudik, dengan sekali-kali
memandangi wajah-wajah anak buahnya yang
masih tertunduk. Setelah sekian lama hilir mudik berjalan Renggana segera
hampiri tombak yang
menancap di dinding Pesanggrahan. Dicabutnya
tombak itu, tombak yang di ekornya tergulung se-
carik daun lontar. Perlahan dibukanya ikatan
daun lontar tersebut, lalu dengan segera dibaca-
nya tulisan yang ada.
"Bedebah! Aku tak mau terima! Hem, kau
telah membunuh adik seperguruanku, maka kau
harus menghadapi aku, Datuk Anjing!" Renggana memaki-maki sendiri, entah pada
siapa makian itu ditujukan. Yang pasti Renggana sangat terpu-
kul dengan isi surat tersebut yang secara tidak
langsung telah menghinanya. "Datuk Mujo Hitam.
Hutang nyawa harus kau bayar dengan nyawa
pula." Mendengar ucapan Ketuanya yang mengatakan bahwa Datuk Muda Cobra Merah
telah ma- ti, seketika semuanya makin mendalamkan kepa-
la menunduk. Ada kedukaan lewat celah-celah
mata mereka, yang sepertinya duka itu terlalu berat. Memang duka itu terlalu
berat bagi mereka.
Bagaimana tidak, Datuk Muda Cobra Merah me-
rupakan pimpinan yang baik, yang sangat bijak-
sana dalam memberikan apa yang mereka butuh-
kan. Beda dengan Datuk Gagak Hitam kakaknya,
keras dan tak mengenal kasihan. Hal itulah yang
mengakibatkan mereka semua seperti kehilangan
segala-galanya. Kehilangan semangat juga kehi-
langan pimpinan yang baik.
"Sekarang kalian istirahatlah, besok kita
mencari mayat Sanggara," Dengan lesu tanpa gai-rah Renggana meninggalkan anak
buahnya yang masih terpaku di tempat mereka berdiri. Baru se-
telah melihat Ketuanya masuk ke dalam kamar,
semuanya segera berlalu dari situ. Sebagian ber-
jaga-jaga, kalau-kalau kejadian itu akan ada ke-
lanjutannya. Malam terus merambah, mengge-
lapkan segala apa yang berada di muka bumi.
Angin pun bertiup, dingin menggigil ke tulang
sumsum. * * * Pagi telah kembali datang, mana kala tam-
pak serombongan orang-orang bersenjata golok
yang sepertinya siap perang berjalan menuju ke
arah Utara di mana terhampar hutan Tarakan.
Orang-orang tersebut, tak lain dari anggota Pe-
sanggrahan Gunung Kapur yang hendak mencari
Ketua kedua mereka Sanggara. Dari kejauhan ter-
lihat oleh mereka burung-burung Nazar beterban-
gan, lalu kemudian kembali menukik sambil
membunyikan suaranya mencuit- cuit.
"Lihat burung Nazar itu, sepertinya ia ten-
gah memakan bangkai."
"Benar, Ketua. Sepertinya burung-burung
itu memang memakan bangkai," jawab anggota
yang berjalan di sebelahnya, yang sekaligus men-
jadi tangan kanan Renggana. Orang itu bernama
Barda Kempo, berwajah menyeramkan dengan
badan tinggi besar hingga ditakuti oleh para anak buahnya. Barda Kempo dulunya
merupakan Ketua Bajak Laut. Setelah ditahan dan bersembunyi
di desa Trenggalek. Dan mana kala ia melihat pertunjukan yang diadakan oleh
kedua kakak bera-
dik yang kini menjadi Ketuanya, Barda Kempo
pun segera bergabung. Tak ada bedanya, dari Ba-
jak Laut berubah menjadi Begal.
Semakin dekat mereka melangkah, sema-
kin tampak jelas oleh mereka mayat-mayat yang
sudah terkoyak-koyak oleh burung-burung Nazar
bergelimpangan memenuhi Hutan Tarakan yang
sunyi senyap laksana pekuburan.
"Cari di antara mayat-mayat tersebut. Apa-
kah ada ciri-ciri adik seperguruanku dan ketiga
orang pengikutnya?" berkata Renggana dengan nada memerintah. Mereka serentak
bersama-sama mencari. Namun dikarenakan keadaan tu-
buh mereka yang mati sudah tak karuan, susah
bagi anggota Pesanggrahan Gunung Kapur untuk
mengenali mayat-mayat itu lagi. Dan memang da-
ri pakaian yang dikenakan para mayat, tak ada
satu pun pakaiannya sama dengan pakaian yang
dikenakan oleh Sanggara pada waktu pergi untuk
mengadakan penyerangan pada gerombolan Da-
tuk Mujo Hitam.
"Tak ada, Ketua!" Barda Kempo yang turut mencari bersama anak buahnya segera
berseru memberitahukan pada Ketuanya, menjadikan
Renggana kerutkan kening.
"Mana mungkin tak ada" Sedangkan isi su-
rat itu mengatakan bahwa Adikku telah binasa.
Hem, apa artinya semua ini?" tanya Renggana penuh ketidakmengertian. "Jangan-
jangan, semua hanya bohong belaka. Tapi... kalau bohong, mana
mungkin adikku tak kembali, atau paling tidak
ketiga orang anak buahnya?"
Misteri.... Ya, misteri bagi Renggana atau
Datuk Gagak Hitam. Misteri yang harus diselidiki.
Misteri yang menjadikan tanda tanya di hati
Renggana. Semuanya serba gelap, tak ada yang
dapat menjawab semua kejadian. Bagaimana
mungkin, kalau memang binasa jelas ada mayat-
nya. Tapi ini, mereka tak menemukan bekas-be-
kasnya. Maka dengan hasil sia-sia, semua anggo-
ta Pesanggrahan dengan hati yang dibekali seribu satu macam pertanyaan yang
harus mereka jawab. Hilangnya Sanggara menjadikan Renggana
frustasi. Namun demikian, bukannya Renggana
patah semangat dengan ketidak adaannya seo-
rang adik yang sangat dapat diandalkan. Tin-
dakan Renggana bahkan makin menjadi-jadi. Se-
gala apa yang pernah direncanakan, kini benar-
benar dilaksanakannya. Seperti hari itu, Rengga-
na tampak telah dihadapi oleh seluruh anak
buahnya. Renggana sengaja memanggil semua
anak buahnya untuk mengadakan pembicaraan
hal rencananya untuk membuat segalanya beru-
bah. Rencana untuk menjadikan dirinya Datuk
segala Datuk. Salah satu jalan, dia harus berani menghadapi segala tantangan.
Dia harus mampu
menaklukan perguruan-perguruan persilatan go-
longan sesat. Ya, hanya itulah yang akan menja-
dikan namanya terkenal dan dijadikan momok
pada para Datuk.
"Kalian semuanya, malam ini aku akan
memberikan tugas baru pada kalian." berkata sang Datuk Gagak Hitam pada kedua
ratus anak buahnya yang tampak mendengarkannya dengan
seksama tanpa ada yang berani membuka mulut
untuk bicara. "Sekian lama kalian hanya bertugas menghadapi orang-orang kecil.
Malam ini aku akan memberikan tugas baru, yaitu kalian akan
aku ajak untuk menguji sampai seberapa ilmu
yang kalian miliki setelah digembleng oleh Adikku Sanggara atau Datuk Muda Cobra
Merah. Kalian tahu apa yang bakal kalian kerjakan?"
"Tidak, Ketua...!" jawab seluruh anggotanya serempak.
"Malam nanti, kalian akan aku pimpin
langsung untuk menyerbu ke Perguruan Bidak
Setan. Bukankah kalian ingin sayap kita makin
melebar?" "Daulat, Ketua. Kami siap...!"
"Bagus! Itulah jiwa seorang pendekar go-
longan sesat. Pantang mengenal takut, siap
menghadapi bahaya apapun macamnya!" suara
Renggana makin berapi-api, merasa seluruh anak
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buahnya nampak menyetujui rencananya. "Siang ini kalian tak usah melakukan
tugas, siapkan segala apa yang perlu untuk penyerbuan nanti ma-
lam." Semuanya menurut, berlalu meninggalkan
Ketuanya yang kini tinggal bersama Barda Kempo
wakilnya. Semuanya pergi untuk mempersiapkan
apa saja yang sekiranya dibutuhkan nanti malam.
"Apakah tidak kesusu, Pimpinan?" tanya Barda Kempo, setelah anak buahnya pergi
semua meninggalkan mereka. "Maksudku, apakah tidak bisa diundur?"
"Tidak!" jawab Renggana singkat dan garang. Barda Kempo terdiam, tak lagi
mengulang tanya. Lama keheningan itu berjalan, sehingga
ruangan itu tampak sunyi senyap. Renggana ter-
cenung, menancapkan matanya pada satu titik
yaitu sebuah pohon cemara yang tumbuh di de-
pan Pesanggrahan. Pohon itu mereka tanam ber-
sama. Kini tinggal dia sendiri, sementara adik seperguruannya yang sama-sama
mendirikan Pe- sanggrahan Gunung Kapur dan menanam pohon
cemara itu kini entah ke mana, lenyap bagaikan
ditelan bumi. Napas Renggana mendesah berat,
seberat pikirannya yang bercabang. Pikirannya
untuk menjadi Datuk segala Datuk terus meng-
hantui jiwanya untuk mengejar cita-cita itu. Se-
mentara di lain sisi, pikirannya melayang pada
adiknya yang entah sekarang di mana rimbanya.
Namun sepertinya kini yang menonjol adalah ci-
ta-citanya menjadi Datuk segala Datuk dengan
kata lain, Raja para Datuk.
"Aku harus mampu," gumamnya lirih,
hingga tak terdengar jelas oleh Barda Kempo yang ada di sampingnya. Barda Kempo
hanya kerutkan alis mata, tak tahu apa yang telah digumamkan
oleh Ketuanya. "Ketua menggumam. Apa yang Ketua gu-
mamkan?" tanya Barda Kempo ingin mengetahui.
Namun Renggana hanya tersenyum, lalu bagai-
kan orang gila Renggana tertawa bergelak-gelak.
Suara tawanya makin lama makin melengking,
tinggi menjadikan angin gelak tawa itu bagaikan
ledakan-ledakan petir yang dahsyat mampu me-
mecahkan gendang telinga. Ya, Renggana kini ba-
gaikan tak waras. Ia termakan oleh angan-
angannya, menjadi Datuk Segala Datuk di dunia
persilatan golongan sesat.
Barda Kempo hanya mampu menggigit bi-
bir, menyumbat gendang telinganya untuk dapat
mempertahankan getaran yang bagaikan ribuan
petir menggema. Sampai darah menetes dari bibir
yang tergigit Barda Kempo masih merasakan geta-
ran yang aneh menghentak-hentak gendang telin-
ganya. Tak tahan terus menerus begitu, Barda
Kempo akhirnya menjerit sekencang-kencangnya.
"Berhenti...! Ketua sadarlah!"
Namun sepertinya tak mendengar jeritan
Barda Kempo, Renggana yang memang benar-
benar telah gila terus bergelak tawa sesuka ha-
tinya. Tak ayal lagi, korban dari anak buahnya
berjatuhan. Dari hidung dan mulutnya serta te-
linga mereka melelehkan darah. Barda Kempo
yang sudah tak tahan, akhirnya roboh. Ia mati
dengan keadaan yang sama seperti teman-
temannya, ku-ping dan hidung mengeluarkan da-
rah. Sungguh tragis akhir dari Pesanggrahan Gu-
nung Kapur. Melihat semuanya bergelimpangan mati,
serta merta Renggana yang sudah gila makin
mengoncangkan irama gelak tawanya. Pohon- po-
hon tumbang, air mencrat menerima getaran sua-
ra yang sungguh-sungguh dahsyat. Burung yang
saat itu terbang di angkasa, jatuh dengan tubuh
remuk bagaikan telah tercabik-cabik. Renggana
seketika melompat ke luar, memandang ke langit
di mana matahari bersinar. Dari mulutnya keluar
sebuah pekikkan.
"Akulah yang akan menjadi Datuk segala
Datuk. Hua, ha, ha...!"
Lalu dengan meninggalkan gelak tawa ber-
kepanjangan Renggana berkelebat pergi mening-
galkan Pesanggrahannya di mana tubuh-tubuh
anak buahnya mati dengan keadaan mengerikan
bergelimpangan memenuhi lapangan Pesanggra-
han. Kini rumput yang tumbuh di lapangan, be-
rubah warnanya bukan hijau lagi tapi kehitam-
hitaman tertutup oleh darah yang meleleh dari
hidung dan telinga juga mulut anggota Pe-
sanggrahan Gunung Kapur.
5 Kerajaan Kuning Gading tampak tenang
dan tentram di bawah kepemimpinan seorang raja
agung dan bijaksana bernama Prabu Briah
Awangga. Di samping itu pula, patihnya yang me-
rupakan seorang tokoh persilatan menjadikan
keadaan kerajaan Kuning Gading makin tambah
bersahaya. Sang patih yang kesatria bernama Ra-
wa Sekti. Ia adalah seorang murid dari Empu Ka-
nuruhan, yang sakti mandra guna. Di tangan
sang Patih Rawa Sekti, perkembangan kerajaan
Kuning Gading maju pesat. Kerajaan itu juga dis-
egani oleh kerajaan-kerajaan lainnya.
Namun hari itu kerajaan nampak kelabu.
Bias merah peperangan rupanya telah berkobar.
Pokok dari peperangan itu tak lain karena pihak
kerajaan Kuning Gading ingin menerapkan ke-
benaran dan keadilan.
Dua bulan yang lalu, pihak pemberontak
yang dipimpin Longkat Ketek meminta pada kera-
jaan untuk mendirikan golongan kerajaan sendiri.
Mereka kebanyakan di dalamnya golongan Datuk
beraliran keras. Longkat Ketek menyuruh utu-
sannya untuk meminta persetujuan pada sang ra-
ja, namun dengan mentah-mentah ditolaknya.
Bahkan raja dirasa telah menghinanya.
Pertarungan itu terus berlangsung, mema-
kan korban yang tidak sedikit baik dari pihak kerajaan mau pun dari pihak
Longkat Ketek. Tapi
rupanya pihak kerajaan yang dibantu oleh bebe-
rapa tokoh persilatan, ternyata tak mampu
menghadang serangan para Datuk yang berga-
bung menjadi satu.
"Kalian menyerahlah, dan berikan pada
kami kebebasan serta kemerdekaan untuk mendi-
rikan negara sendiri yang terpisah dari kerajaan!"
Longkat Ketek berseru, tangannya terus berkele-
bat-kelebat dengan cepatnya menyambar dengan
keris pada musuh-musuh yang dijumpai dan
bermaksud menghadang.
Sebaliknya dari pihak kerajaan, nampak
Patih Rawa Sekti tak mau kalah. Setiap hantaman
tangan dan kakinya, menjadikan nyawa yang ter-
kena seketika meregang. Juga Ambarik-mu, seo-
rang Wiku istana. Dialah tokoh yang sangat dis-
egani. Tokoh dari golongan tua yang masih ma-
lang melintang di dunia persilatan mengabdikan
dirinya untuk kerajaan. Dengan kehadiran Rawa
Sekti dan Ambarikmu, maka semangat para pra-
jurit makin meninggi. Kini keadaan berbalik. Para prajurit yang tadinya
terdesak, berganti mendesak musuh.
Betapa gusar dan marahnya Longkat Ketek
menyaksikan hal itu. Maka dengan menggeram
Longkat Ketek segera papaki serangan patih Rawa
Sekti. "Rawa Sekti, lebih baik kau menyerah dan ikut bergabung dengan aku!"
"Bedebah! Tak ada dalam kitabku untuk
berkompromi dengan orang-orang semacammu!"
balik menggeretak Rawa Sekti, menjadikan Long-
kat Ketek seketika menggeram marah. Mata
Longkat Ketek merah menyala laksana bola api
yang siap membakar. Napasnya mendengus, sea-
kan ingin memangsa hidup-hidup Rawa Sekti.
"Hem, rupanya kau memang menghendaki
mati, Rawa Sekti!"
"Lebih baik begitu, daripada harus menu-
ruti segala apa yang menjadi kemauanmu, Iblis!"
"Bangsat! Kubunuh kau, Rawa Sekti.
Hiat...!" Tubuh Longkat Ketek seketika berkelebat
dengan keris pusaka di tangannya menyerang
Rawa Sekti. Sebagai seorang pendekar murid Em-
pu Kanuruhan, Rawa Sekti bukanlah pendekar
murahan yang sekali gebrak saja terkencing-
kencing. Ia telah dididik dengan segala ilmu ka-
nuragan dan keberanian, maka tak ayal jika Rawa
Sekti menjadi seorang pendekar mumpuni.
Dipapakinya serangan Longkat Ketek den-
gan tangan kosong. Digunakannya ajian Lebur
Raga, yang menjadikan tangannya seketika me-
merah bagaikan menyala. Longkat Ketek seketika
tersentak kaget melihat apa yang tengah terjadi di tangan musuhnya. Ternyata
musuhnya benar-benar bukan orang sembarangan. Pantaslah ka-
lau semua tokoh persilatan golongan sesat takut
padanya. Belum juga hilang rasa kagetnya Long-
kat Ketek, tiba-tiba Rawa Sekti telah memekik
dengan tangannya siap dihantamkan. Longkat Ke-
tek berusaha mengelak, namun kakinya tiba-tiba
mengait sebuah batu. Tanpa ayal lagi, Longkat
Ketek seketika terjengkang jatuh. Dan ketika tangan Rawa Sekti yang sudah
membara hendak Rahasia Istana Terlarang 8 Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 9