Pencarian

Darah Menggenang Di Candi 3

Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa Bagian 3


mengutarakan maksudnya. Tapi nurani laki-laki
tua itu sudah bisa merasakan, berita apa yang
dibawa Ki Dampil.
"Eyang, sudah lebih dari satu pekan Ki
Sampar pergi meninggalkan Desa Coket. Sudah
setiap tempat yang biasa dikunjungi didatangi, tapi tidak juga ditemukan," jelas
Ki Dampil. "Kebetulan ada Bayu, yang bersedia mencari ke sini. Tapi setelah beberapa hari
ditunggu-tunggu, pemuda itu tidak juga kembali. Itu
sebabnya kususul sampai ke sini, sambil mencari barangkali bertemu Ki Sampar."
"Hhh...! Apa lagi yang diperbuat Ki Sampar. .?"
keluh Eyang Palandara.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti, Eyang. Sudah semua tempat
dijelajahi, tapi Ki
Sampar seperti lenyap ditelan bumi"
"Dan sekarang kau juga kehilangan pemuda
itu?" "Benar, Eyang. Padahal dia sangat
kuharapkan, dan sudah berjanji hendak
membantu seluruh warga desa untuk
menyelesaikan kemelut ini Eyang, sebagian warga desa sudah pindah mencari tempat
yang aman, karena selama ini tersebar desas-desus kalau si Anggrek Jingga akan
membumihanguskan Desa
Coket" "Itu berita bohong, Ki Dampil. Dia sengaja memancing agar aku keluar!" sentak
Eyang Palandara. "Oh...!" Ki Dampil mengeluh memandangi Ketua Padepokan Sangga Langit itu dalam-
dalam. "Ah! Ini persoalan lama, Ki Dampil. Dan
bukannya aku tidak berani menghadapi
perempuan iblis itu. Tapi yang kupikirkan adalah nasib dan kelangsungan
Padepokan Sangga
Langit ini. Meskipun...," Eyang Palandara tidak melanjutkan. Digeleng gelengkan
kepalanya. Wajahnya tampak murung seperti terselimut
kabut Ki Dampil memandangi dalam-dalam. Sulit
dimengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Sejak Santika didapati telah tewas, kemudian
menghilangnya Ki Sampar, dan sekarang
disusul tersebarnya desas-desus kalau si
Anggrek Jingga hendak membumihanguskan
seluruh Desa Coket, semua kejadian itu belum
bisa dipikirkan dan dimengerti. Terlalu pelik bagi otak tuanya untuk bisa cepat
memahami. Sekarang Ki Dampil dihadapkan pada satu
teka-teki lagi. Sungguh tidak diketahui kalau
Eyang Palandara sebenarnya sudah
mengetahui tentang si Anggrek Jingga itu. Dan
sama sekali tidak disangka, kalau kemunculan
si Anggrek Jingga ada hubungannya dengan
Padepokan Sangga Langit, terutama Eyang
Palandara sendiri.
"Ki Dampil, apakah kau sudah mencari ke
Candi Laksa?" tanya Eyang Palandara setelah beberapa saat terdiam.
"Belum," sahut Ki Dampil.
"Tapi..., rasanya tidak mungkin Ki Sampar datang ke sana. Sudah dua tahun ini
candi itu tidak pernah dikunjungi lagi, Eyang."
"Aku yakin, dia pasti menemui Eyang
Binarong Dan...."
Eyang Palandara tersentak, dan baru teringat
kalau baru saja menerima laporan kalau Candi
Laksa kini dikuasai si Anggrek Jingga. Kalau
memang hal itu benar, sudah tentu Ki Sampar
berada di tangan mereka. Eyang Palandara yakin betul kalau Ki Sampar pasti pergi
ke Candi Laksa jika sedang menghadapi sesuatu yang tidak bisa diatasinya
sendiri. Antara Eyang Binarong dengan Ki Sampar
terjalin hubungan sangat erat. Memang, Ki
Sampar adalah murid pertapa sakti itu. Eyang
Palandara sungguh tidak menyangka. Dan kini
pikirannya baru bisa terbuka. Dia tahu mengapa Anggrek Jingga membunuh Santika.
Jelas ini karena Santika adalah putra Ki Sampar. Dan
pemuda itu berguru kepada Eyang Palandara di
Padepokan Sangga Langit. Sementara Ki Sampar
sendiri murid Ki Binarong. Sedangkan antara
Eyang Palandara dengan Eyang Binarong adalah
kakak adik. Dan si Anggrek Jingga adalah musuh besar Padepokan Sangga Langit.
Jadi tidak mustahil kalau....
"Oh, tidak...!" sentak Eyang Palandara seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eyang, ada apa?" Ki Dampil terkejut Eyang Palandara tidak menyahut tapi malah
segera berdiri dan melangkah cepat keluar dari ruangan ini. Ki Dampil jadi kebingungan.
Bergegas diikuti dan dikejarnya Ketua Padepokan Sangga
Langit itu. "Eyang, tunggu! Ada apa ini...?" seru Ki Dampil. Tapi Eyang
Palandara terus berjalan cepat ke luar.
*** Sementara itu, Odang dan empat orang
temannya sudah sampai di pelataran Candi
Laksa. Mereka terkejut begitu melihat Ki Sampar duduk bersimpuh di depan pintu
candi itu. Pakaiannya kotor tak terurus, seperti sudah
beberapa hari duduk di situ. Bergegas Odang
menghampiri. Namun belum juga mendekat
mendadak saja dari atas bangunan candi itu
bertebaran bunga-bunga anggrek berwarna
Jingga. "Awas...!" seru Odang sambil mencabut pedangnya.
Tring! Trang! Empat orang yang berada di belakang Odang
juga segera cepat bertindak. Mereka memutar
pedang bagaikan kilat sambil berlompatan
menghindari serbuan anggrek-anggrek Jingga
yang bertebaran di sekitarnya bagai hujan.
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua kali pekikan melengking terdengar,
disusul ambruknya dua orang teman Odang.
Tubuh mereka tertembus beberapa kuntum
bunga anggrek Jingga. Odang dan dua orang
teman lainnya tidak bisa lagi memperhatikan.
Mereka segera berlompatan mundur sambil cepat
mengibaskan pedang. Namun belum juga mereka
keluar dari jangkauan anggrek-anggrek Jingga itu, mendadak saja....
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak
satu orang terjungkal roboh dengan dada
tertembus tiga kuntum bunga anggrek. Darah
menyemburat keluar dari dada yang berlubang
tiga. Odang langsung melentingkan tubuhnya dan berputaran ke belakang beberapa
kali di udara. Sementara temannya yang tinggal seorang lagi
bergerak menyusul. Mereka keluar dari jangkauan serangan anggrek Jingga itu.
Seketika hujan anggrek berhenti.
"Keparat..!" desis Odang menggeram.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya temannya.
"Tidak ada," sahut Odang.
Kedua pemuda murid Padepokan Sangga
Langit Itu memandang ke arah Candi Laksa yang
tetap berdiri anggun pada tempatnya. Sedangkan di depan pintu candi itu Ki
Sampar masih tetap duduk bersila. Sedikit pun Kepala Desa Coket itu tidak
bergeming. Seolah-olah telinganya sudah
tertutup, meskipun tadi beberapa kali terdengar teriakan-teriakan keras
membahana di belakangnya. "Mereka benar-benar sudah menguasai Candi Laksa ini," dengus Odang.
"Kakang, sebaiknya kita kembali saja.
Laporkan semua ini pada Eyang Guru," usul temannya.
"Benar. Kau saja yang kembali Aku menunggu di sini," sahut Odang. 'Tapi,
Kakang...."
"Tidak ada waktu untuk berdebat! Cepatlah, sebelum mereka membunuh kita semua di
sini!" bentak Odang. "Baik, Kakang."
Bergegas pemuda murid Padepokan Sangga
Langit itu melompat naik ke punggung kudanya, dan secepat itu pula digebah
kudanya . Kuda coklat itu berpacu cepat meninggalkan pelataran Candi Laksa.
Sementara Odang berdiri tegak
memandangi sekitarnya. Pandangannya langsung
terpaku ketika dari da dalam candi melesat sebuah bayangan biru. Dan saat itu
juga di depan Odang sudah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju biru
ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan
menggairahkan. Namun Odang tidak sempat berpikir untuk
merayapi tubuh dan wajah menggairahkan itu,
karena telah tahu siapa gadis di depannya ini. Dia itu salah seorang dari si
Anggrek Jingga yang telah menghebohkan dan menimbulkan banyak
korban nyawa. Gadis berbaju biru itu memang
Ranti, murid tertua si Anggrek Jingga.
"Kenapa kau tidak pergi saja sekalian" Di sini bukan tempatmu lagi!" terdengar
dingin nada suara Ranti.
"Kau yang seharusnya pergi, perempuan
iblis!" bentak Odang sengit.
"Hhh! Kau tampan, tapi bicaramu sungguh
menyakitkan. Apa yang kau andalkan, heh"!"
geram Ranti memerah mukanya.
"Ini!" Odang menghunus pedangnya ke
depan, langsung ditujukan ke wajah Ranti.
Gadis berbaju biru itu tertawa renyah,
memperlihatkan baris-baris giginya yang rapi dan indah. Odang sempat menelan
ludahnya mendengar tawa merdu dan menggairahkan itu.
Terlebih lagi pada saat tertawa, Ranti kelihatan semakin cantik. Dada yang
membusung indah itu
terguncang-guncang, membuat mata Odang
sempat terpatri pada dua tonjolan indah berkulit putih mulus itu.
"Setan...!" Odang menggeram.
Pemuda itu mencoba melawan daya tarik
yang dimiliki gadis di depannya. Disadari kalau gadis berbaju biru itu tidak
patut dikagumi,
meskipun kecantikannya bagai bidadari yang
baru turun dari kahyangan. Odang menggeleng-
gelengkan kepalanya sambil mendesis. Tiba-tiba dia berteriak keras melengking,
langsung berlari sambil menghunus ujung pedangnya ke arah
dada Ranti. "Hiyaaat..!"
"Uts!"
Ranti cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke
ka-nan. Maka pedang Odang lewat sedikit di
depan dada gadis itu. Secepat kilat Ranti memberi satu
sodokan tangan kiri ke arah perut. Namun Odang lebih
tangkas lagi. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke belakang, dan
pedangnya dikibaskan cepat
"Setan!" dengus Ranti.
Cepat gadis itu menarik tubuhnya ke
belakang hingga doyong, maka pedang itu lewat di atas tubuhnya. Pada saat itu,
Odang melayangkan satu tendangan keras bertenaga
dalam cukup tinggi. Tendangan yang datang
secara tiba-tiba dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi Terlebih-lebih,
posisi tubuh Ranti memang tidak memungkinkan untuk
menghindar. Dughk! "Ugh...!" Ranti mengeluh pendek. Seketika tubuh gadis itu limbung, terhuyung-
huyung ke belakang. Cepat-cepat digerak-gerakkan
tangannya, mencoba mengusir rasa mual akibat
tendangan Odang yang bersarang di perutnya.
Pada saat itu Odang sudah melompat memberi
serangan lagi. Pedangnya berkelebatan cepat
sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat Ranti menggeser kakinya ke samping.
Dan sebelum ujung pedang Odang berhasil
mengenai sasaran, Ranti sudah lebih dahulu bertindak. Dikibaskan tangannya ke
arah pergelangan tangan kanan pemuda itu.
Tak! "Akh...!" Odang memekik tertahan. Pukulan Ranti begitu keras, karena disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Odang meringis, merasakan pergelangan tangannya
patah. Pedangnya tidak
mampu dipertahankan lagi, dan jatuh ke tanah.
Sebelum murid Padepokan Sangga Langit itu bisa menyadari apa yang terjadi, Ranti
sudah memberi satu tendangan menggeledek ke arah dada.
"Hiyaaa...!"
Des! "Aaakh...!"
Tubuh pemuda itu melambung tinggi ke
angkasa begitu dadanya terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi Pada waktu
berada di angkasa, Ranti mengibaskan tangannya dua kali.
Seketika dua kuntum bunga anggrek berwarna
Jingga meluncur deras, langsung menghantam
dada Odang. Kembali terdengar jeritan melengking tinggi.
"Aaakh...!"


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...!"
*** 7 Sementara itu, di dalam salah satu ruangan
Candi Laksa, Bayu masih terbaring tak berdaya.
Pendekar Pulau Neraka sudah mengerahkan daya
upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh
totokan pada pusat jalan darahnya. Tapi rupanya totokan itu begitu kuat, karena
dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga dalam pada
tingkat kesempurnaan. Bayu tidak mengira kalau Kandita memiliki tenaga dalam
yang sedemikian
tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan
mukanya ketika mendengar gerit pintu terbuka.
Muncul seorang gadis berbaju putih dari balik
pintu itu, yang kemudian melangkah masuk. Dan
dengan hati-hati, ditutupnya pintu kembali. Bayu memperhatikan gadis itu hingga
sampai mendekat. "Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu ketus.
"Ssst.., jangan berisik," bisik gadis itu.
"Hm.... Kau yang bernama Pinanti, bukan?"
"Iya. Aku datang untuk menolongmu," sahut Pinanti masih berbisik.
"Menolongku...?" Bayu mengerutkan
keningnya, bingung.
"Sudah kubilang, jangan berisik! Nanti ada yang tahu."
"Kenapa kau ingin menolongku?" tanya Bayu berbisik suaranya.
"Karena aku tahu, kau perlu ditolong," jawab Pinanti enteng.
"Pasti ada alasan khusus, bukan?" desak Bayu lagi.
"Sudahlah diam, ingin bebas atau tidak?"
dengui Pinanti.
"Baik! Cepat bebaskan totokan di tubuhku."
"Di mana kau ditotok?" tanya Pinanti.
"Di sekitar dada, tiga kali banyaknya. Juga di pangkal lengan dan paha. Tapi kau
harus hati-hati, terutama di tengah dada. Bisa-bisa kau
menghentikan jantungku," jelas Bayu seraya memperingatkan.
'Persoalan mudah," Pinanti tersenyum.
Cepat sekali jari-jari tangan gadis itu bergerak memberi totokan pada tempat-
tempat yang disebutkan Pendekar Pulau Neraka tadi. Bayu
agak terpekik sedikit, tapi seketika dirasakan sekujur tubuhnya mene gang, lalu
pelahan aliran darahnya terasa kembali normal
Bayu cepat menggelinjang bangkit berdiri
begitu bisa menggerakkan jari-jari tangannya.
Namun Pinanti cepat mencekal tangan pemuda
berbaju kulit harimau itu, lalu menariknya
kembali ke pembaringan. Bayu tersentak kaget,
dan kehilangan keseimbangan tubuh. Pemuda itu
jatuh kembali ke atas pembaringan.
"He! Ap..."!"
Cepat Pinanti membekap mulut Pendekar
Pulau Neraka itu. Bayu jadi tidak mengerti akan sikap gadis ini. Pinanti
merapatkan tubuhnya ke tubuh Bayu, seakan-akan hendak mencumbu
Pendekar Pulau Neraka. Bayu jadi menggelinjang, namun Pinanti cepat cepat
memeluk erat tubuhnya. "Ssst.., diam. Ada yang datang. Kau harus pura pura masih tertotok," bisik
Pinanti dekat di telinga Bayu.
Sebelum Bayu bisa membuka suara, Pinanti
sudah menyumpal mulut pemuda itu dengan
bibirnya. Pada saat itu terdengar suara pintu
bergerit terbuka, dan muncul Kandita!
'Pinanti! Apa yang kau lakukan..."!" bentak Kandita terkejut melihat Pinanti
memeluk Bayu dan melumat bibir pemuda itu.
"Oh...!" Pinanti tersentak, langsung melompat bangkit dari pembaringan.
Sedangkan Bayu tetap terbaring, dan hanya
berpaling menatap Kandita yang menghampiri
Pinanti Tampak gadis itu berlutut dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau lakukan, Pinanti"!" tanya Kandita tajam.
"Aku.... Aku...," jawab Pinanti tergagap.
"O... Kau tertarik pada ketampanannya, ya...?"
terdengar sinis nada suara Kandita.
"Maaf, Nini Guru," ucap Pinanti.
"Dengar, Pinanti. Selama urusan kita belum selesai, kau tidak berhak atasnya.
Kau tahu, dia itu milikku! Mengerti"!"
"Mengerti, Nini Guru," sahut Pinanti.
"Aku memberimu tugas untuk menjaganya,
bukan mencumbunya!"
"Iya, Nini Guru."
"Jalankan tugasmu! Aku tidak suka lagi
melihatmu mencumbunya!"
"Baik, Nini Guru."
Kandita menatap Bayu yang masih terbaring
di pembaringan. Sementara Bayu membalas
tajam tatapan itu. Sebenarnya Pendekar Pulau
Neraka ingin menerjang wanita berhati iblis itu.
Tapi mengingat Pinanti masih ada di ruangan ini, niatnya harus ditahan.
"Dan kau, jangan coba-coba memanfaatkan
kesempatan ini!" ancam Kandita.
Bayu hanya diam saja. Kandita membalikkan
tubuh dan melangkah ke luar. Bayu
menggelinjang bangkit, duduk di tepi
pembaringan. Sedangkan Pinanti bergegas
menghampiri pintu. Dibukanya sedikit, lalu diintip keluar dan ditutup lagi. Dia
berbalik memandang Bayu yang duduk di tepi pembaringan. Pendekar
Pulau Neraka itu juga memandangi gadis yang
sedang melangkah menghampirinya. Sesaat
mereka saling melempar pandang. Pelahan
Pinanti menundukkan kepalanya. Bayu bangkit
berdiri dan mengangkat kepala gadis itu.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Pinanti?"
tanya Bayu "Kau bisa celaka nanti."
"Aku harus melakukannya. Aku tahu, hanya
kaulah yang mampu mengalahkannya," sahut
Pinanti lirih. "Kau muridnya, kenapa ingin melenyapkan
gurumu sendiri?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Kau tidak mengerti, Bayu. Terlalu sulit untuk menjelaskannya. Ini kulakukan
karena terpaksa.
Aku ingin dia lenyap selama-lamanya, tapi aku
tidak punya daya sama sekali. Juga...," Pinanti menghentikan ucapannya.
"Teruskan, Pinanti," pinta Bayu.
"Kau harus cepat keluar dari sini, Bayu. Dia akan membunuhmu kelak," jelas
Pinanti cepat "Kau belum menjelaskan semuanya, Pinanti,"
desak Bayu. 'Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah keluar.
Sebentar lagi Candi Laksa ini akan digenangi
darah. Kau harus membantu mereka
menghadapi si Anggrek Jingga. Aku tidak ingin
tempat suci ini banjir darah. Cepatlah keluar, cegah pertumpahan darah itu,"
Pinanti memohon penuh harap.
"Aku tidak mengerti apa yang kau
maksudkan, Pinanti," ujar Bayu.
"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah! Tidak lama lagi pasti ada yang
menggantikanku. Aku
yakin itu. Cepat pergi...."
Bayu jadi ragu-ragu. "Bagaimana denganmu
sendiri?" "Kau bisa menotok jalan darah, bukan?"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Pinanti."
"Lakukan, Bayu."
"Pinanti...."
"Lakukan, kataku! Apa tidak kau dengar ada langkah kaki menghampiri" Cepat! Atau
kita berdua akan mati di sini...!" desak Pinanti.
Bayu benar-benar tidak bisa memahami
maksud gadis ini. Tapi telinganya memang
mendengar langkah kaki halus mendekati
ruangan ini. Cepat Bayu menggerakkan jari-jari tangannya ke tubuh Pinanti, dan
seketika itu juga Pinanti roboh lunglai ke lantai. Secepat kilat Bayu melompat
mendekati jendela batu yang berjeruji kayu.
"Hih! Yaaah...!"
Bayu melompat cepat menerobos jendela
berjeruji kayu itu. Tubuhnya melesat keluar
memporakporandakan jeruji kayu jendela itu.
Pada saat yang sama, pintu ruangan terbuka.
Muncul seorang gadis mengenakan baju biru.
"Oh, tidak... Pinanti...!" jerit gadis itu terkejut.
Gadis berbaju biru yang ternyata memang Ranti, langsung memburu menghampiri
Pinanti yang terkulai di lantai. Matanya juga langsung terpaku ke jendela yang jebol
berantakan. "Keparat...!" Ranti mendesis geram. Gadis itu berteriak memanggil guru dan
teman-temannya.
Sebentar kemudian di ruangan itu sudah ber-
munculan wanita-wanita cantik Mereka terkejut
melihat Pinanti tergeletak di lantai. Dan lebih terkejut lagi, manakala
mengetahui tawanan
mereka sudah kabur dengan menjebol jendela.
"Setan...!" geram Kandita memerah wajahnya.
"Kejar...! Bunuh keparat itu!"
"Baik, Nini Guru."
Tiga gadis segera berhamburan ke luar
ruangan. Sementara Kandita menghampiri
Pinanti yang terkulai lemas tak berdaya di lantai.
Sebentar diamati tubuh gadis berbaju putih itu, kemudian diperiksanya. Dia
mendesis, gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan
yang amat sangat
"Hih...!"
Kandita menggerak-gerakkan jari tangannya
ke beberapa bagian tubuh Pinanti. Pelahan gadis berbaju putih itu mulai mengeluh
lirih seraya membuka mata nya. Pinanti menggerinjang
bangkit begitu melihat gurunya, dan langsung
berlutut. "Guru.... Ampun,, Guru. Aku bersalah,
hukumlah aku...," rintih Pinanti lirih.
"Bangun, Pinanti!" desis Kandita. Pelahan Pinanti bangkit berdiri. Kepalanya
masih tetap tertunduk. Sedangkan Kandita mengamati sekujur tubuh gadis berbaju
putih itu. *** "Kenapa kau lakukan ini, Pinanti?" desis Kandita tajam, begitu datar nada
suaranya. "Melakukan apa, Nini Guru?" Pinanti pura-pura tidak mengerti, namun suaranya
jelas terdengar. "Kau yang membebaskan Bayu, bukan" Lalu
kalian bersandiwara. Kau biarkan jalan darahmu ditotok. Benar begitu, Pinanti?"
Kandita langsung mendesak.
Pinanti jadi tergagap, tidak bisa lagi
menjawab. "Kenapa kau lakukan itu, Pinanti"! Kenapa kau khianati aku"!" bentak Kandita
gusar. Sementara Pinanti semakin gemetar. Wajah
Kandita yang memerah sudah menandakan
kalau dirinya begitu marah. Pinanti tidak
mengerti, kenapa gurunya ini bisa cepat
mengetahui. Padahal sandiwara yang
dilakukannya begitu sempurna.
'Tidak ada yang bisa bebas dari totokanku,
meskipun hawa murni dan tenaga dalamnya
sudah sempurna. Dan kau telah sengaja
membebaskannya, Pinanti. Kenapa kau lakukan
itu padaku, Pinanti"! Kenapa..."!" setengah menjerit suara Kandita,
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja
Pinanti jadi punya keberanian. Diangkat
kepalanya untuk menentang tatapan si Anggrek
Jingga. Dia melangkah ke belakang tiga tindak.
"Karena kau musuh ayahku!" desis Pinanti.
"Heh..."! Apa yang kau katakan...?" Kandita terkejut
"Kau tidak mungkin lagi mengelabuiku,
Kandita. Aku sudah tahu semuanya! Kau sengaja
menculikku, mencuci otakku dengan ramuan-
ramuanmu! Kau buat aku jadi tidak mengenal lagi diriku, dan dari mana asalku!
Tapi sekarang, aku sudah tahu! Aku adalah anak Eyang Palandara,
laki-laki yang hendak kau bunuh! Kau
memanfaatkan aku untuk membunuh ayahku.
Kau kejam, Kandita! Kau iblis...!"
'Tutup mulutmu, Pinanti!" bentak Kandita
geram. "Kau tidak bisa lagi mengelabuiku, Kandita. Kau harus membunuhku terlebih
dahulu, sebelum membunuh ayahku!"
"Kurang ajar! Siapa yang berkata begitu
padamu, heh"!" geram Kandita.
"Aku...."
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Kandita begitu tiba-
tiba di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah kumal.
Tubuhnya kurus kering bagai tulang terbungkus kulit Seluruh rambutnya sudah
memutih Bahkan kumis dan jenggot yang
menyatu panjang juga sudah berwarna putih.
"Kau..., Binarong...!" Kandita terbeliak begitu melihat laki-laki tua itu.
"Benar! Aku Binarong Kau terkejut Kandita?"
lembut sekali suara Eyang Binarong.
"Tidak! Kau sudah mati...!" sentak Kandita.
"Aku mengakui kecerdikanmu, Kandita. Tapi sayang, racun yang kau campurkan pada
minumanku belum cukup untuk membunuhku.
Kau memang ahli dalam segala jenis racun
maupun ramuan. Tapi seharusnya kau gunakan
semua keahlianmu untuk menolong, bukan
untuk mencelakakan orang lain."
"Aku tidak butuh nasihatmu!" sentak Kandita sengit
"Hatimu sudah tertutup bisikan iblis, Kandita.
Tapi aku yakin, kau masih bisa menyadari dan
memperbaiki kesalahanmu," lembut sekali suara Eyang Binarong.
"Tua bangka keparat..! Kubunuh kau! Hiyat..!"
Kandita jadi geram bukan main, dan tidak


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa lagi menahan amarahnya. Cepat sekali si
Anggrek Jingga itu melompat menerjang Eyang
Binarong. Laki laki tua itu memiringkan tubuhnya sedikit, maka pukulan Kandita
yang keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu luput dari sasaran.
Kepalan tangan yang halus itu
menghantam dinding batu Candi Laksa ini hingga bergetar hebat
Beberapa batu mulai berguguran, dan
pukulan Kandita membuat dinding batu candi ini jebol berantakan. Sementara Eyang
Binarong menyambar tangan Pinanti yang berdiri terpaku, dan secepat kilat melesat sambil
membawa gadis itu.
"Jangan lari kau, keparat..!" geram Kandita berteriak lantang.
Tapi Eyang Binarong sudah lebih cepat
melesat ke luar. Sementara ruangan itu terus
bergetar, dan batu-batuan mulai berjatuhan.
Kandita segera melesat keluar dari ruangan itu.
Seketika batu-batu atap ruangan ini
berhamburan jatuh menimbulkan suara
bergemuruh dahsyat.
Runtuhnya ruangan itu rupanya merembet ke
ruangan-ruangan lain di seluruh Candi Laksa ini.
Batu-batu dinding dan atap candi ini berguguran.
Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi seluruh
bangunan Candi Laksa akan runtuh.
Sementara Kandita terus berlompatan berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Dia melesat keluar, tepat saat bangunan candi itu runtuh. Suara bergemuruh
terdengar memekakkan telinga. Debu mengepul
membumbung tinggi ke angkasa begitu seluruh
bangunan candi yang terbuat dari batu itu
ambruk. Kandita memandangi sekitarnya yang sepi.
Ditatapnya candi yang hancur tak berbentuk lagi.
Tampak debu masih berkepul di sekitarnya. Gadis itu menatap seorang laki-laki
tua yang duduk bersila di dekat candi yang sudah runtuh. Dia
tahu kalau orang tua itu adalah Ki Sampar,
Kepala Desa Coket yang ingin bertemu Eyang
Binarong. Hanya sayangnya keinginannya tidak
kesampaian. Kandita menghampiri dan menyentuh
pundak laki-laki itu. Tapi Ki Sampar malah jatuh terguling Tampak di dadanya
tertancap lima buah anggrek berwarna Jingga. Rupanya ketika murid-murid si
Anggrek Jingga menyerang murid-murid
Padepokan Sangga Langit, beberapa buah
anggrek Jingganya mengenai Ki Sampar, sehingga laki-laki tua itu tewas dalam
penantiannya yang tidak terlaksana.
"Huh!" dengus Kandita.
Wanita itu menyepak tubuh Ki Sampar
hingga terguling sampai sejauh dua tombak.
Kandita merayapi empat
mayat yang bergelimpangan di sekitar pelataran Candi Laksa ini. Tempat yang suci dan
dikeramatkan ini benar-benar bergelimang darah. Dan memang, inilah
yang sebenarnya dikehendaki Kandita. Dia ingin semua orang tahu kalau Candi
Laksa yang disucikan dan dikeramatkan bisa juga
bergelimang darah manusia.
"Hm... Ke mana perginya keparat itu...?" desis Kandita pelan.
*** Sementara itu tidak jauh dari pelataran Candi
Laksa, tampak Bayu berdiri tegak memandangi
dua sosok tubuh yang berlarian cepat ke arahnya.
Setelah dekat, baru terlihat jelas kalau mereka adalah Eyang Binarong dan
Pinanti. Bayu menyambutnya disertai senyuman tersungging di
bibir. "Syukur, kalian selamat," ucap Bayu.
"Oh, kalian sudah kenal?" tanya Pinanti.
"Benar. Anak muda inilah yang mengeluarkan aku dari peti mati," jawab Eyang
Binarong. "Aku bisa tahu dari Kandita sendiri. Dialah yang bercerita, membanggakan dirinya
telah berhasil melumpuhkan orang terkuat di Gunung
Waru/ini," sambung Bayu.
"Tidak ada yang terkuat di dunia ini, Anak Muda," :yang Binarong merendah.
"Bayu, namaku Bayu," Bayu
memperkenalkan diri.
"Aku Eyang Binarong," Eyang Binarong juga memperkenalkan diri.
Bayu menatap Pinanti yang masih berusaha
mengatur jalan napasnya. Sedangkan Eyang
Binarong tidak tampak sedikit pun kelelahan.
Bahkan tak ada satu titik pun keringat di
wajahnya. Namun Bayu cepat maklum. Jelas
kalau tingkat kepandaian yang dimiliki mereka
jauh berbeda. Eyang Binarong tentu sudah
sampai pada tahap yang paling sempurna.
Memang semua orang menyebut dirinya manusia
setengah dewa, karena ilmunya begitu sempurna.
"Oh! Kalian harus cepat-cepat kembali ke
Candi Laksa. Aku yakin, sebentar lagi, Ayahku
dan murid-muridnya tiba di sana," jelas Pinanti mengingatkan.
Bayu hendak bergerak cepat, tapi Eyang
Binarong sudah keburu mencekal lengan pemuda
itu. Pendekar Pulau Neraka mengurungkan
niatnya, lalu memandang Eyang Binarong dalam-
dalam. "Tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan mereka menyelesaikan persoalannya. Semua ini
sudah digariskan Hyang Widi Wasa. Jangan sampai kita merusak ketentuan takdir," ujar
Eyang Binarong lembut dan bijaksana.
'Tapi, pertumpahan darah ini harus dicegah,
Eyang!" sentak Pinanti.
"Tidak ada yang bisa menentang kehendak
Sang Dewata Agung, Cucuku. Meskipun kalian
berusaha keras, tapi pertumpahan darah tidak
akan bisa dicegah Biarlah semua terjadi menurut suratan takdir Hyang Widi Wasa."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?"
tanyn Bayu. "Mantapkan hatimu, Anak Muda. Tetapkan,
harus berpihak pada siapa" Jika melihat ada yang perlu di bantu, maka bantulah
dia. Tapi jika tidak, jangan memaksakan diri."
"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu langsung bisa menangkap maksud Eyang Binarong.
"Kau benar-benar seorang pemuda cerdas,"
puji Eyang Binarong tulus.
'Terima kasih," ucap Bayu tersipu.
"Ayolah, Eyang. Kita kembali ke Candi Laksa,"
ajak Pinanti. "Baik. Tapi jangan terburu-buru. Napasmu
bisa habis nanti," goda Eyang Binarong
Pinanti memberengut. Diayunkan kakinya
menuju Candi Laksa. Eyang Binarong tertawa
kecil, dan juga mengayunkan langkahnya
mengikuti gadis itu. Sedangkan Bayu berjalan di samping pertapa tua itu.
"Eyang, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Bayu meminta.
"Silakan. Apa saja boleh kau tanyakan selagi bisa kujawab dengan jujur."
"Eyang, aku membebaskanmu setelah Pinanti kutotok jalan darahnya. Bagaimana
mungkin kau bisa mempengaruhinya begitu cepat?" tanya Bayu ingin tahu.
"Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin tanya dulu. Siapa yang membebaskanmu?"
"Kau tahu aku ditawan"!" Bayu terkejut
"Pinanti yang mengatakannya padaku."
"Jadi..."!" Bayu geleng-geleng kepala.
"Dia datang padaku sebelum kau, Anak
Muda." "Kenapa Eyang masih berpura-pura ketika
aku...," Bayu tidak melanjutkan ucapannya.
Pendekar Pulau Neraka itu menggeleng-
gelengkan kepalanya. Dia benar-benar kagum
pada kedigdayaan pertapa tua ini. Sementara
mereka terus berjalan, sedangkan Pinanti berjalan sekitar tiga tombak di depan.
"Waktu Pinanti menyediakan minuman
untukku, saat itu aku sudah bisa mencium
adanya racun yang mematikan dalam minuman
itu. Aku juga sudah curiga, karena kudengar
Pinanti diculik, dan tiba-tiba saja muncul.
Sikapnya juga aneh, seperti berpura-pura dan
sama sekali tidak mengenaliku. Padahal
sebelumnya dia sering mengunjungiku sebelum
diculik," Eyang Binarong mulai menceritakan'Tapi kau minum juga minuman itu,
Eyang?" tanya Bayu ingin tahu.
"Benar. Tapi itu setelah kututup seluruh
jaringan saluran darah di tubuhku"
"Dan kau berpura-pura mati?" tebak Bayu.
"Kau cerdik sekali, Bayu."
'Tapi kenapa Pinanti tahu kalau kau belum
mati, Eyang?"
"Secara bertahap, aku selalu mengeluarkan hawa mumi setiap kafi dia
mengunjungiku dan
meraba detak jantungku. Dan kemarin.... Oh,
tidak! Tadi, dia datang lagi. Aku langsung bangun dan menotok jalan darah nya.
Di situ pengaruh si Anggrek Jingga kuenyahkan dari dirinya. Hal itu bisa
kulakukan karena aku yakin kalau pengaruh itu berasal dari ramuan, bukan dari
perlakuan batin." "Hebat," puji Bayu tulus.
"Dan selanjutnya kau tentu sudah bisa
menebak sendiri," kata Eyang Binarong.
"Ah! Ternyata aku terlambat, Eyang," Bayu tersipu
"Tidak, kau tidak terlambat Kau tahu, Kandita berniat menguburku hari ini. Itu
sebabnya aku dimasukkan ke dalam peti mati. Kalau saja kau
tidak cepat datang membebaskanku, tentu aku
sudah terkubur."
"Hanya sebuah peti kayu, Eyang pasti bisa mudah mendobraknya."
"Hal itu tidak akan kulakukan, karena aku tidak ingin melakukan kekerasan dan
paksaan. Kalaupun jadi dikubur, itu tentu sudah menjadi kehendak Sang Dewata."
Bayu hanya mendesah saja. Jiwa Eyang
Binarong tentu sudah jauh dari keinginan
duniawi. Maka tidak heran kalau disebut Manusia Setengah Dewa. Dan Bayu sudah
bisa menduga, tentu Eyang Binarong tidak ingin tangannya
berlumur darah, karena hal itu akan mengotori kesuciannya. Dan tentu saja, apa
yang dilakukannya bertahun-tahun akan lenyap begitu
saja. *** 8 Saat itu di pelataran Candi Laksa, Eyang
Palandara dan murid-muridnya sudah dihadang
Anggrek Jingga dan ketiga murid-muridnya.
Bahkah masih ditambah beberapa tokoh rimba
persilatan golongan hitam yang dibawa Kakek Iblis Perak. Orang tua itu bisa
dengan cepat mengumpulkan tokoh rimba persilatan golongan
hitam, karena memang sudah merencanakan
semuanya secara rapi untuk menghancurkan
para penghalangnya.
Pertumpahan darah di pelataran Candi Laksa
tidak bisa dihindari lagi. Kini darah benar-benar menggenang di Candi Laksa.
Jerit pekik melengking menyayat hati terdengar saling
bersahutan, ditingkahi pekik pertempuran dan
denting senjata beradu. Sungguh tidak diduga
kalau murid-murid Padepokan Sangga Langit
memiliki kemampuan rata-rata yang cukup tinggi.
Mereka teriihat bertarung penuh semangat
Terlebih lagi begitu melihat Candi Laksa
sudah hancur tak berbentuk lagi. Meskipun
banyak jatuh korban, namun murid-murid
Padepokan Sangga Langit tidak gentar sedikit pun.
Mereka sadar kalau yang dihadapi adalah orang-
orang rimba persilatan yang sudah kenyang
segala macam bentuk pertempuran.
"Ayah...!" seru Pinanti begitu sampai. Tampak Eyang Palandara berdiri di garis
belakang sambil mengawasi murid-muridnya bertarung.
Eyang Palandara menoleh. Pinanti berlari
cepat dan langsung menjatuhkan diri berlutut
memeluk kaki ayahnya. Gadis itu menangis, tapi Eyang Palandara cepat-cepat
membangunkan gadis itu. "Jangan menangis, Anakku," ucap Eyang Palandara.
Pinanti menyeka air matanya cepat-cepat, lalu
berpaling memandang Bayu dan Eyang Binarong.
Sesaat Eyang Binarong dan Eyang Palandara
saling bertatapan, kemudian berpelukan sebentar.
Bayu hanya menyaksikan saja semua itu, tapi
hanya sebentar. Dia memang lebih tertarik pada pertarungan yang sedang
berlangsung. "Aku tidak yakin kalau kau tewas oleh
seorang bocah, Kakang," ujar Eyang Palandara.
"Dia bukan bocah lagi, Adi Palandara. Dia sudah jadi seorang wanita tangguh,"
jelas Eyang Binarong.
"Ya! Dan dia hendak menuntut balas
kematian orang tuanya padaku"
"Sayang sekali! Anak itu juga mengambil jalan sesat" gumam Eyang Binarong.
Pada saat itu pertarungan semakin terlihat
sengit. Tapi sudah banyak orang bawaan Kakek
Iblis Perak yang tewas maupun melarikan diri.
Juga tidak sedikit murid Padepokan Sangga
Langit yang gugur. Pertarungan sengit berjalan tidak seimbang, karena murid-
murid Padepokan
Sangga Langit tidak mampu membendung
gempuran Kakek Iblis Perak dan si Anggrek
Jingga serta ketiga muridnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah si
Anggrek Jingga.
"Mundur semua...!" seru Bayu keras


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelegar. Murid-murid Padepokan Sangga Langit yang
sedang mengeroyok Anggrek Jingga langsung
berlompatan mundur. Pendekar Pulau Neraka mendarat dengan manis di depan wanita
cantik itu. "Eyang Binarong dan Eyang Palandara akan
memaafkanmu jika kau bersedia bertobat dan
menghentikan semua ini, Kandita," bujuk Bayu.
"Cerewet! Jangan banyak omong kau!
Hiyaaa...!"
Rupanya Kandita sudah tidak bisa. lagi diajak
berdamai, dan langsung melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Wanita cantik berbaju
merah itu mengibaskan cepat pedangnya
beberapa kali. Dan beberapa kali pula Bayu
terpaksa menangkisnya dengan Cakra Maut yang
berada di pergelangan tangan kanannya.
Tring! Setiap kali dua senjata itu berbenturan,
mereka bergidik menggeletar. Dan mereka tahu
kalau tenaga dalam yang dimiliki hampir
seimbang Sementara pertarungan terus
berlangsung sengit. Tampak Pinanti sudah terjun dalam kancah pertempuran.
Sedangkan Eyang
Binarong dan Eyang Palandara hanya menyak-
sikan saja dari tempat yang cukup aman.
"Hiya! Yeaaah...!"
Kandita semakin meningkatkan serangan-
serangannya. Beberapa kali wanita berbaju merah itu hampir berhasil menyarangkan
pedangnya ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi pemuda
berbaju kulit harimau itu berhasil mengelak
dengan kelitan manis. Bahkan tidak jarang
serangan balik yang dilakukan Bayu membuat
wanita itu kelabakan juga.
"Aaakh...!"
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara jeritan kecil tidak jauh
darinya. Tampak Pinanti terjajar terhuyung-huyung ke belakang
sambil mendekap dadanya. Pada saat itu terlihat Kakek Iblis Perak melompat
sambil mengibaskan
tangannya yang memegang senjata berbentuk
tameng yang sisinya bergerigi tajam.
"Hiyaaat...!"
Sebelum senjata kakek kurus itu berhasil
merobek tubuh Pinanti, mendadak saja Eyang
Palandara melompat cepat bagaikan kilat sambil mengibaskan pedangnya menyampok
senjata Kakek Iblis Perak.
Tring! "Akh...!" Kakek Iblis Perak memekik tertahan.
Sebelum kakek itu sempat menyadari apa yang
terjadi, Eyang Palandara sudah bergerak cepat
memberi satu tendangan keras mengandung
tenaga dalam sempurna ke dada orang tua itu.
Dughk! "Hughk!" Kakek Iblis Perak mengeluh pendek.
Tubuh berjubah perak itu, terjajar ke
belakang. Pada saat itu, salah seorang murid
Padepokan Sangga Langit yang kebetulan berada
di belakangnya, langsung menusukkan
pedangnya ke punggung Kakek Iblis Perak hingga tembus ke dada.
"Aaakh...!" Kakek Iblis Perak menjerit melengking tinggi.
Tapi sebelum ambruk ke tanah, kakek itu
berhasil memenggal orang yang menusuknya dari
belakang. Leher pemuda itu langsung buntung,
dan kepalanya menggelinding ke tanah tepat saat tubuhnya ambruk. Kakek Iblis
Perak masih berhasil merobohkan seorang lagi sebelum
menggelepar di tanah dengan pedang menembus
punggung hingga ke dada. Dia tewas seketika itu juga.
*** Kematian Kakek Iblis Perak membuat
kegemparan bagi orang-orang yang berpihak
padanya. Mereka langsung lari tak tentu arah
menyelamatkan diri. Beberapa murid Padepokan
Sangga Langit hendak mengejar, tapi keburu
dicegah Eyang Binarong dengan suaranya yang
menggelegar. "Jangan dikejar...!"
Kaburnya orang-orang golongan hitam itu,
membuat ketiga murid Anggrek Jingga jadi
kelabakan. Terlebih lagi jumlah murid Padepokan Sangga Langit masih begitu
banyak. Apalagi
mereka sadar tidak mungkin bisa
menghadapinya. Tapi ketiga orang wanita cantik itu tidak bisa lagi melarikan diri, karena
murid-murid Padepokan Sangga Langit sudah menyerangnya
dengan ganas. Mereka terpaksa melayani sekuat
tenaga. Belum begitu lama, terdengar jeritan
melengking tinggi.
"Aaa...!"
"Dewi...!" jerit Ranti begitu melihat Dewi terhuyung sambil mendekap dadanya
yang sobek berlumuran darah.
Dan belum juga gadis berbaju kuning itu bisa
melakukan sesuatu, kembali sebilah pedang
membabat punggungnya. Dia menjerit keras.
Darah langsung muncrat dari punggung yang
terbelah cukup besar. Dan kini, satu tusukan
tidak bisa dihindari lagi. Dewi benar-benar tidak berdaya lagi. Entah, berapa
tusukan dan sabetan pedang mampir di tubuhnya. Dia tewas sebelum
ambruk ke tanah dengan tubuh tercincang.
Kematian Dewi membuat Ranti dan Saras jadi
panik. Tanpa berbicara lagi, mereka membuang
pedangnya dan menyerah. Puluhan pedang
langsung mengurungnya. Dua orang
menghampiri membawa tambang, lalu mengikat
dua orang gadis murid si Anggrek Jingga itu.
Sementara pertarungan antara Anggrek
Jingga melawan Pendekar Pulau Neraka terus
berlangsung sengit Meskipun wanita itu
mengetahui tinggal sendirian, tapi tidak juga
menyerah. Bahkan serangan-serangannya
semakin dahsyat dan berbahaya.
"Keparat busuk! Mampus kau! Hiyaaa...!"
Kandita memaki-maki sambil berteriak-teriak,
dan bertarung bagdi kesetanan. Dia benar-benar tidak peduli lagi begitu
menyadari tinggal
sendirian. Hal ini membuat pikirannya tidak
terpusat pada lawan. Namun demikian serangan-
serangannya jadi semakin dahsyat. Kandita
mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Tangan kanan yang memegang pedang
berkelebat cepat membabatkan pedangnya,
mengurung Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan
tangan kirinya member pukulan-pukulan keras
bertenaga dalam cukup sempurna.
"Hiyaaat! Yeaaah...!"
Kandita bertarung sambil memutar-mutar
tubuhnya. Pada saat itu, tangan kirinya berkelebat cepat menyebarkan bunga-bunga
anggrek Jingga ke segala penjuru mata angin. Bunga-bunga
anggrek jingga itu bertebaran cepat, dan seketika terdengar jerit dan pekikan
melengking menyayat Beberapa orang murid Padepokan Sangga Langit
berjatuhan tersambar anggrek-anggrek jingga
yang ditebarkan Kandita.
"Mundur...!" teriak Eyang Palandara keras.
Mereka yang masih bisa menyelamatkan diri,
langsung beriompatan mundur menjauh dari
jangkauan bunga-bunga anggrek jingga. Tapi
rupanya Kandita malah sengaja bertarung sambil mendekati mereka, dan terus
melontarkan bunga-bunga mautnya.
"Keparat licik...!" geram Bayu murka menyaksikan kelicikan lawannya ini.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung
melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu
kakinya mendarat cepat dibungkukkan tubuh ke
kiri. Secepat kilat dikibaskan tangan kanannya.
Dan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka yang berupa Cakra Maut seketika
melesat cepat bagai kilat karena dilontarkan dengan pengerahan
tenaga dalam penuh.
Saat itu Kandita yang tengah melontarkan
bunga-bunga anggrek jingga ke arah murid-murid Padepokan Sangga Langit jadi
terkesiap. Tampak sebuah benda keperakan meluncur deras ke
arahnya. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya ke
belakang sambil berputaran beberapa kail
Kandita menyangka kalau senjata itu sudah
lewat. Tapi begitu menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja dari arah samping
kanannya Cakra Maut menyambar tiba.
"Akh...!" Kandita memekik tertahan.
Gadis itu begitu terkejut setengah mati. Buru-
buru ditarik tubuhnya ke belakang, maka Cakra
Maut itu melesat lewat sedikit di depan dadanya.
Tapi kembali dia jadi terkesiap, karena tiba-tiba saja senjata itu berhenti,
dan.... Crab! "Aaa...!" Kandita menjerit melengking tinggi.
Sukar dikatakan! Hanya dengan menggerak-
gerakkan tangannya saja, Bayu dapat
mengendalikan senjata mautnya. Dan Cakra
Maut bersegi enam itu amblas ke dada Kandita
hingga tembus sampai ke punggung Darah
langsung muncrat keluar deras sekali. Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas, maka
Cakra Maut melesat dan langsung menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
*** "Bayu...!"
Pinanti menghambur dan memeluk Pendekar
Pulau Neraka Tentu saja pemuda berbaju kulit
harimau itu jadi gelagapan dibuatnya. Buru-buru Bayu melepaskan pelukan gadis
itu. "Kau tidak apa-apa, Bayu?" tanya Pinanti tidak mempedulikan rona wajah pemuda
itu yang memerah menahan malu.
'Tidak," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan
mukanya menatap dua orang gadis yang terikat
dijaga beberapa orang murid Padepokan Sangga
Langit. Bayu menghampiri, dan berdiri sekitar tiga
langkah lagi di depan kedua gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah Ranti, gadis
yang mengenakan baju biru. Bayu teringat ketika Ranti menjaganya pada malam hari.
Darahnya jadi menggolak mendidih kala teringat betapa liarnya gadis ini mencumbu dirinya dalam
keadaan tidak berdaya karena pusat jalan darahnya tertotok.
Pandangan Bayu beralih pada Saras. Gadis
berbaju hijau itu juga memperlakukan dirinya
seperti seekor binatang. Saras lebih liar lagi, sehingga Pendekar Pulau Neraka
merasa muak. Seluruh wajahnya memerah, dan matanya
bersorot tajam. Belum pernah dirinya
diperlakukan seperti itu. Jelas, Bayu merasa
terhina, dan tak akan bisa melupakannya seumur hidup. Pendekar Pulau Neraka akan
terus merasa terhina dan malu jika kedua gadis ini masih
dibiarkan hidup.
"Kau harus mampus, perempuan iblis...!"
desis Bayu menggeram.
Tiba-tiba saja, Pendekar Pulau Neraka itu
mencabut pedang dari pinggang Pinanti yang
berdiri di sampingnya. Cepat sekali! Begitu pedang tercabut, langsung dibabatkan
ke leher kedua gadis itu. Cras! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
"Bayu...!" sentak Eyang Palandara terkejut.
"Dewata Yang Agung...," desah Eyang
Binarong. Kedua gadis itu langsung terjungkal jatuh
dengan kepala hampir terpisah dari badan! Bayu menyerahkan pedang berlumuran
darah itu pada Pinanti. Gadis itu menerima dan memasukkan
kembali ke dalam sarungnya. Pelahan Pendekar
Pulau Neraka itu memutar tubuhnya seraya
memandangi wajah-wajah yang terlongong
menatap ke arahnya. Pandangan Bayu terhenti
pada dua laki-laki tua.
"Maaf, aku harus membunuhnya," ujar Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu
mengayunkan kakinya berjalan pergi. Semua
orang hanya bisa bengong tidak mengerti
terhadap tindakan Pendekar Pulau Neraka yang
begitu tega membunuh dua orang gadis dalam
keadaan terikat. Hanya Pinanti yang bisa mengerti perasaan pemuda itu, dan
langsung berlari
mengejar. "Bayu, tunggu...!"
Bayu menghentikan langkahnya ketika
Pinanti sudah menghadang di depannya. Sejenak
mereka hanya saling berpandangan saja. Pinanti mengambil tangan pemuda itu dan
menggenggamnya hangat-hangat. Bayu mencoba
melepaskan, tapi gadis itu malah membawanya
ke dada. Dan kini mereka berpelukan erat
Seakan-akan gadis itu ingin agar Bayu dapat
merasakan debaran jantungnya.
"Aku tahu perasaanmu, Bayu. Mereka


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang pantas untuk mati," ujar Pinanti pelan, hampir berbisik.
"Seandainya kau juga berbuat yang sama
seperti mereka, aku tidak peduli meskipun
ayahmu seorang ketua padepokan besar," desis Bayu datar.
'Tapi aku bukan mereka, Bayu."
Bayu memandang lurus ke bola mata gadis
itu. "Kenapa waktu itu kau menciumku?" desis Bayu.
'Terpaksa," sahut Pinanti.
Seketika wajah Pinanti menyemburat merah.
Sungguh, seumur hidup dia belum pernah
mencium seorang pemuda. Saat itu memang
terpaksa dilakukannya, karena tidak ada jalan
lain untuk menyelamatkan pemuda ini. Dan
diakui, hatinya sempat bergetar juga waktu itu.
"Bayu, aku belum pernah melakukannya.
Aku hanya ingin menyelamatkanmu saja.
Percayalah, aku bukan mereka."
Bayu terdiam. Dilepaskan tangannya dengan
halus dari pelukan gadis itu. Memang diakui,
waktu itu Pinanti terasa kaku. Dan Bayu juga
mengakui kalau debaran jantung Pinanti terasa
begitu hebat. Tidak seperti yang lainnya. Bayu memang bisa merasakan kalau ada
rasa keterpaksaan pada diri gadis itu saat
menciumnya. "Aku percaya padamu, Pinanti," tegas Baya
"Oh! Terima kasih, Kakang," ucap Pinanti lega.
Gadis itu tersenyum senang, karena Bayu mau
mempercayai dirinya. Dan pemuda berbaju kulit
harimau itu juga memberikan senyum, meskipun
terasa agak hambar. Pendekar Pulau Neraka itu
melirik orang-orang yang tengah sibuk
mengumpulkan mayat teman-temannya, dan
dimasukkan ke dalam tandu yang diikatkan pada
kuda. Bayu memutar tubuhnya ketika Eyang
Binarong menghampiri. Sedangkan Eyang
Palandara tengah sibuk mengatur murid-
muridnya untuk membawa murid-murid lain
yang tewas dalam pertempuran. Dan sebagian lagi menguburkan mayat-mayat
lawannya. Bagaimanapun juga, mereka semua adalah
manusia, dan patut mendapat perlakuan
sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
"Bayu, boleh aku bicara padamu sebentar?"
pinta Eyang Binarong.
Bayu menganggukkan kepalanya.
'Terus terang, sebenarnya aku menyesalkan
tindakanmu tadi," kata Eyang Binarong langsung berterus terang.
"Maaf kalau itu membuatmu tidak senang,"
ucap Baya "Aku bisa memahami, kau pasti punya alasan kuat sehingga berbuat sekejam itu
pada mereka. Tapi itu tidak baik pengaruhnya terhadap nama
besarmu. Kau harus ingat, mereka yang bernaung di bawah panji Padepokan Sangga
Langit adalah calon pendekar yang akan menggantikan orang-
orang tua sepertiku ini. Mereka pasti tidak akan melupakan perbuatanmu. Mereka
adalah manusia, dan aku tidak percaya kalau mereka
akan diam saja. Paling tidak mereka pasti akan bercerita pada orang lain," jelas
Eyang Binarong gamblang, membuka perasaan hatinya.
Bayu hanya diam saja. Diakui kebenaran
kata-kata orang tua ini. Tapi gadis-gadis itu
memang tidak bisa dibiarkan hidup. Akan lebih
parah lagi kalau mereka sampai bebas dan
menyebarkan cerita buruk tentang dirinya. Tapi dengan kejadian barusan, memang
mungkin orang akan menganggap dirinya kejam, berdarah
dingin, dan tidak mengenal belas kasihan.
Bahkan bisa juga kaum persilatan
menggolongkannya ke dalam aliran hitam.
Tapi Bayu tidak peduli, karena dia yang
mengalami mendapat perlakuan seperti binatang!
Kewibawaannya dipermalukan sedemikian rupa
tanpa dapat berbuat apa-apa. Orang lain memang bisa menuding. Tapi jika mereka
mengalami, pasti akan berbuat yang sama dengan yang
dilakukannya pada kedua gadis itu
"Aku hanya bisa berpesan padamu, Bayu.
Kau harus bisa menempatkan diri, dan
menghapus dampak buruk atas kejadian ini,"
kata Eyang Binarong lagi.
'Terima kasih, Eyang," ucap Bayu. Eyang
Binarong menepuk pundak Pendekar Pulau
Neraka itu, kemudian meninggalkannya. Pinanti
segera menghampiri setelah Eyang Binarong pergi.
Gadis itu memandangi wajah tampan di
depannya lekat-lekat.
"Kenapa tidak kau ceritakan saja yang
sebenarnya, Bayu?" tanya Pinanti.
"Biar itu semua menjadi rahasia pribadiku, Pinanti," sahut Bayu.
"Kau begitu luhur, Bayu," puji Pinanti tulus.
Bayu hanya tersenyum saja, lalu berbalik dan
mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Pinanti memandangi kepergian Pendekar Pulau
Neraka itu. Dipandangi ayahnya yang masih
sibuk memberi perintah dan mengatur murid-
muridnya. Sedangkan Eyang Binarong sedang
berlutut di samping mayat Ki Sampar. Tak ada
yang memperhatikan. Semua sibuk dengan
pekerjaan masing-masing.
Pinanti langsung melompat mengejar Bayu
yang hampir tenggelam ditelan lebatnya hutan di Lereng Gunung Waru ini. Cepat
sekali gadis itu melompat. Hanya beberapa lompatan saja, dia
sudah bisa mengejar Pendekar Pulau Neraka itu.
Pinanti langsung berdiri menghadang di depan
Bayu. "Pinanti, mau apa lagi kau?" tanya Bayu.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu
dalam-dalam. Saat ini mereka sudah cukup jauh
dari pelataran Candi Laksa. Tak ada yang bisa melihat, karena mereka terhalang
pepohonan dan semak yang rapat bertautan. Bayu jadi tidak
mengerti akan sikap gadis ini.
"Ada apa, Pinanti?" tanya Bayu lembut.
"Kau akan meninggalkanku begitu saja,
Kakang?" Pinanti balik bertanya.
"Aku memang harus pergi. Masih banyak
yang harus kukerjakan, Pinanti," Bayu mencoba meminta pengertian gadis ini.
'Tanpa memberi sesuatu yang berarti
padaku?" Bayu semakin tidak mengerti. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka sempat
memahami maksud gadis itu, tiba-tiba saja
Pinanti sudah menghambur memeluknya erat-
erat. Gadis itu melingkarkan tangannya di leher.
Kepalanya mendongak dengan bibir merah sedikit terbuka. Bayu menelan ludahnya
sendiri melihat bibir merah yang menantang itu.
"Berikan aku sesuatu yang berarti untuk
dikenang, dan kau boleh pergi, Bayu," ujar Pinanti agak mendesah.
"Aku...."
Belum habis Bayu bicara, Pinanti sudah
menyumpal bibir pemuda itu dengan bibirnya.
Sebentar Bayu gelagapan, tapi akhirnya
melingkarkan tangannya di pinggang ramping
gadis itu. Bayu membalas, memagutnya penuh
gairah. "Ohhh...," rintih Pinanti lirih.
"Kau gadis nakal yang pernah kujumpai,
Pinanti." "Ya, dan kau tidak akan bisa melupakanku."
Bayu tersenyum, dan Pinanti juga tersenyum.
Kemudian mereka kembali berpagutan penuh
gairah menggelora dalam dada. Bibir mereka
menyatu rapat bagai tak akan terpisahkan lagi.
Desah napas dan rintihan lirih terdengar. Mereka tidak peduli pada suara Eyang
Palandara yang berteriak memanggil gadis itu.
"Pinanti..., di mana kau..."!"
"Jangan hiraukan, Kakang," desah Pinanti ketika Bayu melepaskan pagutannya.
Pinanti langsung memagut bibir pemuda itu
lagi, dan Bayu pun jadi tidak peduli. Dibalasnya pagutan itu dengan hangat pula.
Semakin ketat pelukannya, dan semakin menggelora
lumatannya pada bibir gadis itu.
"Ohhh...."
SELESAI DUNIA ABU KEISEL
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : molan_150
Pengelana Rimba Persilatan 8 Pendekar Gila 16 Istana Berdarah Tembang Tantangan 6
^