Pencarian

Darah Menggenang Di Candi 2

Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa Bagian 2


ke dalam jurang bersama kuda hitamnya serta
reruntuhan batu.
*** Bayu mencoba tenang. Diraihnya sebongkah
batu yang berada di dekatnya. Cepat-cepat batu itu ditotoknya, lalu tubuhnya
melenting mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Pendekar Pulau Neraka berputar sambil meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari batu-batu yang
berguguran masuk ke dalam jurang. Beberapa
kali Bayu menjejakkan kakinya di bongkahan ba-
tu, lalu melesat ke atas.
Dengan mempergunakan batu-batu yang
berguguran, Bayu mencapai ke atas. Memang
tidak mudah. Namun berkat kesempurnaan ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya, Pendekar
Pulau Neraka itu mampu mencapai tepi jurang.
Dan sekali lagi ditotoknya batu dengan ujung jari kaki, lalu melesat naik. Cepat
sekali tubuhnya melesat ke atas, lalu meraih sebuah dahan pohon yang menjorok
keluar dari tepi jurang. Sebentar Bayu berayun-ayun, lalu sambil memutar tubuh,
dilentingkan tubuhnya dan hinggap di tepi jurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang.
Dipandangnya tebing batu yang berguguran.
Dengan merapatkan tubuh ke dinding batu, Bayu
bisa menghindari hujan batu yang seperti tidak ada habisnya. Kala matanya
memandang ke dalam jurang, ada kesenduan pada sinar
matanya. "Kasihan kau, Hitam," desah Bayu lirih.
Seluruh tebing dinding batu di tepi jurang
maut ini masih bergetar. Meskipun sudah
berkurang, namun batu-batu masih juga
berguguran dari atas. Bayu tetap merapatkan
punggungnya, berlindung dari hujan batu di
bawah sebongkah batu yang agak menjorok
keluar. Dijulurkan kepalanya, untuk mendongak
ke atas. Tampak batu-batu masih saja
berjatuhan. "Hhh..., aku tidak boleh menunggu di sini Sepertinya hujan batu ini tidak akan
berhenti,"
gumam Bayu pelahan. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu
mengamati keadaan sekitarnya, kemudian
melesat. Dengan be kencang mempergunakan
ilmu meringankan tubuh" Bayu menembus hujan batu. Begitu cepat dan ringan sekali
gerakannya, seakan-akan kedua kakinya mengambang.
Beberapa batu kecil menimpa tubuhnyatapi
sedikit pun tak dirasakan. Bayu terus berlari, kadang-kadang berlompatan
menghindari reruntuhan batu. Cukup lama juga pemuda
berbaju kulit harim auitu harus berlari cepat, dan akhirnya tiba di tempat yang
aman. Pendekar Pulau Neraka tiba di sebuah padang
rumput yang tidak seberapa luas. Padang rumput ini dibelah oleh jurang yang
menyempit mengecil, dari berakhir pada sebuah tebing batu cadas yang sangat
terjal Bayu memperhatikan sekitarnya.
Dan, belum juga Pendekar Pulau Neraka itu
mengayunkan kaki, mendadak saja dari segala
arah bertebaran benda kecil berwarna Jingga.
Benda-benda berbentuk bunga anggrek itu
meluruk deras bagai hujan ke arah pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Sial!" rungut Bayu.
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan
menghindari serbuan anggrek jingga yang
bertebaran bagai hujan. Sukar baginya untuk
memastikan arah datangnya serangan, karena
tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk
melayangkan mata. Bunga-bunga anggrek jingga
itu terus bermunculan seperti tidak pernah habis.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke
angkasa. Lalu, diputar tubuhnya cepat sambil
merentangkan tangan. Dan seketika itu juga,
entah dari mana datangnya, tiba-tiba bertiup
angin kencang yang menderu bagai topan. Bunga-
bunga anggrek jingga itu berhamburan terhempas angin yang diciptakan Bayu.
Pelahan-lahan tubuh Pendekar Pulau Neraka
yang berputaran bagai baling-baling itu
meluruk'turun. Dan manis sekali kakinya
menjejak tanah. Dia tidak-lagi berputar, tapi
tangannya tetap merentang lebar ke samping.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Bayu
menghentakkan tangannya ke atas hingga kedua
telapak tangannya menyatu di atas kepala. Lalu dengan cepat ditarik tangannya ke
depan dada. Matanya beredar memandang tajam sekitarnya.
Pelahan-lahan diturunkan tangannya. Dan kini
tak ada lagi serangan bunga-bunga anggrek
jingga. "Hm, tampaknya kedatanganku memang
sudah ditunggu," gumam Bayu dalam hati.
Baru saja Pendekar Pulau Neraka itu hendak
mengayunkan kakinya, mendadak saja dari atas
pohon bertebaran jaring-jaring yang mengembang ke arahnya. Sesaat Bayu
terkesiap, lalu cepat-cepat melompat ke depan. Tapi kembali
bermunculan jaring-jaring berwarna hitam. Dan
Bayu berlompatan menghindarinya.
"Keparat...!"
*** 4 Beberapa kali Bayu berhasil menghindar dari
perangkap jaring-jaring yang bertebaran. Namun ketika dua buah bunga anggrek
jingga melesat ke arahnya, Pendekar Pulau Neraka itu jadi
terkesiap. Dia berusa menghindar dari terjangan dua bunga anggrek jin itu, tapi
tidak bisa menghindar dari sergapan sebuah jaring.
"Ih...!"
Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu
bisa melepaskan diri dari jaring hitam yang
mengurungnya datang lagi dua jaring dan
langsung membungkus dirinya. Dan Bayu benar-
benar tidak berdaya, sehingga jatuh tergulung
jaring. Sia-sia Pendekar Pulau Neraka mencoba
memberontak, karena jaring-jaring ini begitu
kenyal dan sukar diputuskan.
"Setan...!" Bayu mengumpat geram. Pendekar Pulau Neraka itu tidak lagi
memberontak ketika empat orang gadis bermunculan dari balik pohon dan semak
belukar. Mereka masing-masing mengenakan baju warna biru, kuning, hijau dan
putih. Dihampirinya Bayu yang terjerat jaring
hitam. Salah seorang yang memegang tambang,
langsung mendekati. Dengan gerakan cepat dan
lincah, gadis itu berlompatan di sekitar pemuda berbaju kulit harimau yang kini
tak berdaya. Dan tahu-tahu, seluruh tubuh Bayu sudah terikat
tambang. Gadis berbaju biru yang memegang
tambang, menyerahkan dua ujung tambang pada
gadis lainnya. Mereka tersenyum-senyum
memandangi Pendekar Pulau Neraka yang sudah
tidak berdaya lagi.
"Hei! Siapa kalian"!" teriak Bayu bertanya.
Empat gadis cantik itu hanya tertawa' saja.
Dua orang segera menyeret Bayu yang terikat di dalam jaring hitam. Sedangkan dua
orang lain berjalan di belakang. Pendekar Pulau Neraka itu mencoba memberontak, tapi
usahanya sia-sia
saja. Membebaskan diri dari jaring ini saja sudah sulit, apalagi harus
melepaskan tambang yang
mengikat seluruh tubuhnya.
Menyadari usahanya tidak akan berhasil,
Bayu membiarkan saja tubuhnya terseret
Diperhatikan sekitarnya, menghapal jalan yang
dilalui empat orang gadis cantik ini. Bayu
mengerahkan hawa mumi untuk menahan rasa
sakit di sekujur tubuhnya. Beberapa kali
tubuhnya terantuk batu atau akar-akar pohon
yang tersembul keluar dari dalam tanah. Tapi
dengan mengerahkan hawa mumi, semua rasa
sakit tidak terasakan lagi
"Tunggu!" seru gadis yang mengenakan baju biru tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya gadis yang mengenakan baju kuning.
"Orang ini harus dibuat pingsan. Dia tidak boleh mengetahui jalan yang dilalui,"
usul gadis berbaju biru itu. lagi.
"Hm, benar," sahut gadis baju hijau.
Tanpa banyak bicara lagj, gadis baju hijau
menggerakkan tangannya beberapa kali ke tubuh
Pende Pulau Neraka. Sedikit pemuda berbaju kulit harimau itu mengeluh, lalu
pandangannya jadi
nanar. Dan sebentar kemudian tidak sadarkan diri lagi. Bayu tidak tahu lagi, ke
mana dibawa pergi oleh keempat gadis cantik ini
*** "Oh...," Bayu merintih lirih.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu
menggerakkan kepalanya, kemudian membuka
matanya sedikit Kembali digeleng-gelengkan
kepalanya. Seketika Bayu terkejut, begitu
mengetahui berada di suatu ruangan yang
seluruh dindingnya terbuat dari batu Dan
tubuhnya kini berada di sebuah pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna
merah muda. Bayu mencoba menggelinjang, tapi jadi
terkejut bukan main Seluruh tubuhnya terasa
mati, tidak bisa digerakkan Sekali lagi dicobanya menggerakkan tangan, tapi
tangannya benar-benar lumpuh. Bayu sadar kalau pusat jalan
darahnya sudah tertotok, dan tak mungkin bisa
bebas meskipun mengerahkan hawa mumi. Hal
ini disadari karena bagian kepalanya masih bisa bergerak, sedangkan bagian tubuh
lainnya lumpuh.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan
kepalanya ketika tiba-tiba ruangan yang semula remang-remang ini mendadak terang
benderang. Kini seluruh sudut ruangan terlihat jelas. Sebuah ruangan yang cukup besar,
berdinding batu hitam agak berlumut
Tidak ada jendela, tapi ada sebuah pintu dari
kayu jati tebal yang tertutup rapat
Pandangan Bayu tertumbuk pada seorang
wanita cantik mengenakan baju warna merah
muda yang longgar dan tipis. Begitu tipisnya
sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas.
Wanita itu berdiri di depan pintu yang tertutup.
Bayu mengenalinya, karena pernah bertemu di
kedai di pinggiran Desa Coket
"Di mana aku?" tanya Bayu. Wanita cantik itu tidak menjawab, tapi malah
tersenyum. Dengan
langkah gemulai, wanita itu menghampiri Bayu
dan duduk di tepi pembaringan. Tercium aroma
harum yang menyebar dari tubuh wanita cantik
Ini. Bayu hanya bisa memandangi saja karena
seluruh tubuhnya sudah tertotok, tak mampu lagi digerakkan.
"Kau berada di tempatku, pemuda tampan,"
jelas wanita itu lembut
"Siapa kau sebenarnya" Mengapa kau
membawaku ke sini?" tanya Bayu beruntun.
"Kau sudah mengenal siapa aku, bukan?"
tetap lembut suara wanita itu.
'Yang pasti, namamu bukan Anggrek Jingga!"
dengus Bayu "Ternyata kau seorang pemuda yang selalu
ingin tahu tentang wanita."
Bayu mendengus sengit
"Baik! Kau boleh memanggilku Kandita. Itu namaku yang sebenarnya. Dan semua
orang lebih mengenalku dengan julukan Anggrek Jingga.
Terserah kau, ingin memanggilku yang mana,"
kata wanita itu memperkenalkan namanya.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Bayu lagi.
"Hanya untuk pengamanan saja, Bayu," sahut Kandita lembut
Kandita menjulurkan tangannya yang halus
berjari lentik ke dada Pendekar Pulau Neraka.
Dengan gerakan halus dan lembut, direbahkan
kepalanya ke dada pemuda berbaju kulit harimau itu. Tercium bau harum yang
sangat menusuk hidung Bayu. Pelahan wanita cantik itu
mengangkat kepalanya, lalu merebahkan diri
sehingga menghimpit tubuh Bayu.
Sangat terasa, dua bukit kembar yang
terselubung kain merah itu lembut menekan dada Pendekar Pulau Neraka. Seketika
Bayu merasakan napasnya sesak. Dan napasnya
tertahan ketika Kandita dengan lembut sekali
mengecup bibirnya. Hanya sedikit, namun sangat lembut dan hangat sehingga
membuat Bayu sampai menahan napas. Tanpa dapat dicegah lagi,
Pendekar Pulau Neraka itu menikmati kecupan
lembut di bibirnya tadi.
"Kau tampan sekali, Bayu," desah Kandita.
"Hhh! Dari mana kau tahu namaku"!" dengus Bayu.
"Mudah sekali mengetahui tentang dirimu,
pemuda tampan," sahut Kandita seraya tertawa lembut "Aku tahu siapa dirimu.
Seorang pendekar digdaya yang bergelar Pendekar Pulau Neraka.
Sungguh...! Tak kusangka kalau semudah ini bisa membawamu ke sini. Ah...,
ternyata Pendekar
Pulau Neraka tidak sehebat yang dikatakan
orang." "Licik! Curang...!" dengus Bayu gusar.
"Untuk mencapai apa yang diinginkan, segala cara akan kutempuh. Tidak ada kata
licik, curang, atau kata-kata lain. Kau bisa melihat bagaimana aku melakukan
sesuatu dengan perencanaan


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matang." ''Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya Bayu ingin tahu.
"Untuk apa...?" Kandita tertawa renyah. '
Wanita itu bangkit, menjauhkan tubuhnya
dari Pendekar Pulau Neraka, tapi masih duduk di tepi pembaringan ini Jari-jari
tangan yang lentik mengelus-elus dada bidang pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Katakan, untuk apa kau lakukan semua ini?"
desak Bayu. "Sudahlah, Bayu. Tidak perlu kau ketahui
semuanya. Percayalah! Kalau urusanku sudah
selesai, kau akan kubebaskan. Kau boleh pergi
sesuka hatimu, bagai burung yang merdeka,
bebas terbang ke mana saja," Kandita mencoba mengelak.
"Kenapa tidak kau bebaskan saja sekarang?"
"Belum saatnya, Bayu. Nanti, kalau sudah
saatnya tiba. Tenang sajalah di sini. Semua
keperluanmu akan dilayani murid-muridku.
Mereka semua cantik-cantik. Tapi, awas...! Jangan sekali-sekali merayu mereka.
Dan kau juga jangan terpikat oleh godaannya. Selama berada di sini, kau menjadi
milikku!" agak tajam nada suara Kandita.
"Enak saja!" dengus Bayu.
"Kau tidak bisa menolak, Bayu." Kandita melepaskan pakaian yang dikenakan
Pendekar Pulau Neraka. "Heh! Apa yang akan kau lakukan...?" senta Bayu terkejut
'Tenanglah.... Kau laki-laki, dan aku wanita.
Aku rasa kau seorang laki-laki normal yang juga butuh belaian halus seorang
wanita," tenang sekali suara Kandita.
"Edan! Kau tidak bisa seenaknya me...."
Belum habis Bayu bicara, Kandita sudah
menyumpal mulut Pendekar Pulau Neraka itu
dengan mulut nya. Sehingga hanya keluhan dan
gumaman saja yang terdengar. Bayu mencoba
memberontak. Tapi totokan pada jalan darahnya
begitu kuat, dan benar-benar tidak berdaya lagi.
Sementara jari-jari tangan Kandita sudah
mulai menggerayangi tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Dan kini pemuda berbaju kulit harimau
itu jadi terbeliak, manakala Kandita juga
melepaskan pakaiannya sendiri.
"Setan kau, Kandita!" geram Bayu, memerah wajahnya.
"Ssst..!"
Kandita tidak mempedulikan makian pemuda
berbaju kulit harimau itu. Napasnya sudah
mendengus memburu. Diciuminya seluruh wajah
dan leher Bayu. Terasa hangat di kulit, mencoba merangsang gairahnya. Kandita
terus berusaha membangkitkan gairah Pendekar Pulau Neraka
ini dengan ciuman-ciumannya yang lembut dan
hangat, dan rabaan jari-jarinya yang halus dan menggelitik.
Sekuat daya Bayu mencoba bertahan, tapi
rangsangan yang diberikan wanita cantik ini
benar-benar membuat kepalanya pening. Seluruh
darah di tubuh Pendekar Pulau Neraka itu mulai menggolak mendidih, dan tubuhnya
jadi menggeletar. Saat itu Kandita tersenyum, karena kali ini benar-benar berada di
atas kemenangan.
Seluruh tubuh wanita itu sudah dibasahi keringat Napasnya semakin hangat
mendengus, bagai
kuda pacu yang didera kencang.
Bayu memejamkan matanya kuat-kuat
Gerahamnya bergemeletuk keras. Sementara
Kandita semakin buas, dengan gerakan-gerakan
tubuhnya yang bertambah liar. Suara desisan dan erangan lirih terdengar. Hingga
akhirnya tiba-tiba saja wanita itu terpekik tertahan. Tubuhnya
langsung jatuh lunglai, menggelimpang ke
samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pelahan
Bayu membuka matanya, melihat Kandita me-
ngenakan pakaiannya kembali sambil tersenyum
penuh kemenangan dan kepuasan. Bayu benar-
benar muak melihat senyum wanita itu,
meskipun wajahnya sangat cantik dan
senyumnya memikat
"Aku akan membunuhmu, perempuan
iblis...!" desis Bayu menggeram.
"Itu tidak akan terjadi, Bayu," sambut Kandita diiringi derai tawanya.
Setelah merapikan pakaiannya sendiri, wanita
itu kemudian merapikan pakaian Pendekar Pulau
Neraka. Ditepuk-tepuknya pipi pemuda itu
dengan lembut Sekali lagi diberikannya satu
kecupan tipis di bibir. Bayu hanya bisa
mengumpat dengan bara api kemarahan
menggelegak di dada.
"Istirahatlah, Sayang," ucap Kandita lembut
"Keparat! Kubunuh kau, Iblis...!" geram Bayu muak.
"Ha ha ha...!" Kandita hanya tertawa saja.
Begitu lepas derai tawanya.
Wanita itu bangkit berdiri, turun dari
pembaringan. Sambil memperdengarkan tawa
yang lepas, dia berjalan keluar dari ruangan itu.
Tinggal Bayu memaki-maki dan mengumpat
sambil berteriak teriak mengancam. Bukan main
marahnya Pendekar Pulau Neraka itu, karena
benar-benar merasa terhina oleh kelakuan Kan-
dita. Belum juga reda kemarahan Bayu, muncul
se-orang gadis cantik lagi mengenakan baju biru ketat
Bayu mendengus memberengut kesal, dan benar-
be-nar muak melihatnya. Dia hanya menatap
tajam de-ngan mulut terkunci rapat Gadis berbaju biru itu me-narik sebuah kursi
di dekat pembaringan, lalu duduk
di sana "Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu
mendengus. "Malam ini aku ditugaskan menjagamu,"
jawab gadis itu kalem.
Bayu menatap gadis itu dalam-dalam dengan
sinar mata tajam. Sedangkan yang ditatap malah kelihatan tidak peduli, dan hanya
duduk tenang tanpa membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka
ini. "Siapa namamu?" tanya Bayu iseng.
"Ranti," sahut gadis berbaju biru itu.
"Dan yang lainnya?" tanya Bayu lagi.
"Kami hanya empat, ditambah guru."
"Aku tanya nama yang lainnya."
"Yang pakai baju kuning namanya Dewi.
Sedangkan yang berbaju hijau namanya Saras.
Dan Pinanti yang berbaju putih," sahut Ranti menjelaskan dengan nada suara
tenang tanpa tekanan sedikit pun "Kenapa kau tanya-tanya?"
"Tidak apa-apa," suara Bayu terdengar ketus.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi.
Dipejamkan matanya sambil mencoba
mengerahkan hawa murni untuk membebaskan
totokan pada pusat jalan darahnya. Meskipun
disadari tidak akan berhasil, tapi paling tidak harus dicoba.
*** Sementara itu di lain ruangan, Kandita sudah
mengenakan baju merah menyala yang sangat
ketat. Tampak sebilah pedang tergantung di
pinggang. Pada ujung gagang pedang, terukir
sekuntum bunga anggrek berwarna Jingga. Dia
duduk di sebuah kursi kayu jati berukir yang
sangat indah. Sedangkan di depannya tiga orang gadis berwajah cantik duduk
bersila di lantai
beralaskan permadani berbulu tebal.
"Dewi...," panggil Kandita seraya menatap gadis yang mengenakan baju kuning.
"Ya, Nini Guru?" sahut Dewi penuh rasa hormat.
"Apakah tua bangka itu masih ada di depan?"
tanya Kandita, datar nada suaranya.
"Masih, Nini Guru," sahut Dewi.
"Laki, bagaimana si tua lainnya, Saras?"
Kandita menatap gadis yang mengenakan baju
hijau. "Dia terlalu menyusahkan, Nini Guru," sahut Saras.
"Apa maksudmu?" tanya Kandita.
"Dia selalu saja duduk bersemadi, tidak mau makan dan minum. Semua makanan dan
minuman yang disediakan tidak dijamah sama
sekali," lapor Saras.
"Biarkan saja, jangan diurusi!" dengus Kandita. 'Toh kita tidak lama lagi di
sini. Biar dia mati kelaparan!"
"Baik, Guru."
"Nah! Sekarang giliranmu, Pinanti," Kandita menatap muridnya yang memakai baju
putih. "Ya, Nini Guru," lembut sekali sahutan Pinanti.
"Bagaimana tugasmu?" tanya Kandita.
"Tidak ada masalah, Nini Guru. Semua
berjalan lancar sesuai rencana," jawab Pinanti.
"Apa kau sudah dengar tentang Eyang
Palandara?"
"Belum."
"Heh...! Bukankah tugasmu memancing
Eyang Palandara keluar dari padepokannya?"
sentak Kandita agak gusar.
"Semua sudah dilaksanakan, Nini Guru. Tapi orang itu tetap saja tidak mau
keluar, dan sepertinya sudah mengetahui pancingan ini."
"Mustahil! Dari mana dia tahu?" dengus Kandita. "Dengar! Tujuan kita yang paling
utama adalah si tua keparat Palandara. Kalau dia sudah mampus, tidak ada lagi
yang bisa menghalangi
kita untuk menguasai seluruh daerah di Gunung
Waru ini. Kita akan mendirikan kerajaan kecil di sini, dan hidup senang selama-
lamanya." "Tapi, Nini Guru...," selak Dewi
"Ada apa lagi, Dewi?" tanya Kandita.
"Bukankah di sekitar Kaki Gunung Waru ini bukan hanya Padepokan Sangga Langit
saja yang ada" Masih banyak padepokan lainnya," sergah Dewi.
"Bodoh! Kau bicara asal menguap saja, Dewi!"
sentak Kandita.
"Maaf, Nini Guru," buru-buru Dewi memohon maaf. "Aku hanya mengingatkan saja."
"Kalian semua tahu. Di sekitar Kaki Gunung Waru ini hanya ada satu padepokan
kuat, yaitu Padepokan Sangga Langit Nah! Kalau kita sudah
menguasai padepokan itu, tidak perlu banyak
menguras tenaga untuk menaklukkan yang lain.
Terlebih lagi partai-partai golongan hitam. Mereka pasti akan bergabung dengan
sendirinya."
Ketiga gadis itu hanya diam mendengarkan.
"Kalian harus ingat! Aku memberi jurus-jurus tingkat tinggi bukannya tidak ada
tujuan, tapi untuk membuat kalian menjadi wanita tangguh
yang disegani dan ditakuti semua orang. Dan
inilah saatnya untuk membuktikan kalau kaum
wanita bukanlah kaum lemah. Kalian dengar
itu"!" lantang sekali suara Kandita.
"Mengerti, Nini Guru," ucap ketiga gadis itu berbarengan
"Nah! Jadi jangan banyak macam-macam!
Ikuti saja perintahku. Dan satu hal yang perlu kalian ketahui! Siapa saja berani
membangkang, aku tidak segan segan menjatuhkan tangan.
Paham...!"
"Paham, Nini Guru," sahut ketiga gadis itu kembali berbarengan.
"Sudah jauh malam, sebaiknya kalian
beristirahat saja," kata Kandita seraya bangkit berdiri.
Wanita cantik berbaju merah itu
mengayunkan kakinya meninggalkan ketiga
muridnya, lalu masuk ke dalam sebuah kamar.
Sedangkan ketiga gadis cantik itu masih tetap duduk bersila. Mereka baru bangkit
berdiri setelah cukup lama Kandita tidak keluar kamar lagi. Dua gadis masuk ke
dalam kamar lain, sedangkan
gadis yang berbaju putih masuk ke dalam kamar
yang berpintu kayu jati tebal.
Di kamar itu ternyata Bayu berada dijaga
seorang gadis cantik berbaju biru. Gadis yang
bernama Ranti itu mengangkat kepalanya saat
mendengar pintu terbuka, lalu bangkit berdiri dan menghampiri begitu melihat
siapa yang datang.
Pinanti menutup pintu kembali. Kedua gadis itu menarik kursi ke dekat pintu dari
duduk di sana. Mereka memandang Bayu yang tampaknya
sedang tidur lelap.
"Bagaimana dia?" tanya Pinanti.
"Tidur. Mungkin kelelahan," sahut Ranti seraya tersenyum penuh arti.
Sedangkan Pinanti hanya tersenyum tipis
sekali. Terasa hambar senyuman gadis berbaju
putih itu. Dipalingkan pandangannya, beralih
pada Ranti yang duduk di sebelahnya.
"Ada apa, Pinanti" Nini Guru marah lagi?"
lembut suara Ranti.
Pinanti hanya mengangguk saja.
" Kalian pasti sudah menyinggung perasaannya lagi," tebak Ranti.
"Dewi yang memulai," ujar Pinanti pelan.
"Kan sudah kuperingatkan, jangan singgung-singgung masalah itu lagi. Kita ini
hanya murid, dan semuanya ada di tangan Nini Guru Kandita.
Lagi pula semua yang dilakukannya demi kita semua," tegas Ranti, agak pelan
suaranya seperti takut terdengar Bayu.
Pinanti hanya diam saja. Entah apa yang ada di
dalam benaknya. Diarahkan pandangannya pada pemuda berwajah tampan mengenakan
baju dari kulit harimau yang terbaring lelap dalam buaian mimpi.
"Ranti, kenapa dia ditangkap?" tanya Pinanti tiba-tiba tanpa mengalihkan
pandangannya dari
Bayu. "Pertanyaanmu aneh, Pinanti," desah Ranti.
"Aku hanya ingin tahu saja , Ranti."
"Dia terlalu banyak ingin tahu, dan Nini Guru tidak pernah menyukai itu," jelas
Ranti. "Aku tahu watak Nini Guru, karena telah lebih lama ikut dengannya daripada kau
dan yang

Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lainnya." 'Tapi, kenapa harus ditangkap" Kenapa tidak dibunuh saja seperti yang lain?"
tanya Pinanti. "Aku tidak tahu itu, Pinanti. Tapi yang jelas, Nini Guru menyukai pemuda tampan,
gagah, dan berkepandaian tinggi. Ah, sudahlah. Nanti
pemuda itu pasti juga dilenyapkan, kalau
semuanya sudah selesai." Pinanti
menganggukkan kepalanya pelahan.
"Sudah malam, tidur sana. Besok kau harus ke Padepokan Sangga Langit, bukan?"
"Iya! Aku tinggal dulu, Ranti."
Pinanti bangkit berdiri Dibukanya pintu, dan
dilangkahkan kakinya keluar. Ranti kembali
menghampiri Bayu yang masih terbaring dengan
mata terpejam. Sebentar dipandangi wajah
pemuda itu, kemudian duduk di tepi
pembaringan. Pelahan tangannya terulur dan
mengusap dada pemuda itu dengan halus.
"Kau tampan sekali...," desah Ranti pelahan.
Pelan-pelan Ranti membaringkan tubuhnya di
samping Pendekar Pulau Neraka. Dipandanginya
wa jah tampan di sampingnya, lalu diletakkan
kepalanya; di dada pemuda itu. Dia tidak tahu kalau Bayu membuka matanya, dan
kembali terpejam saat Ranti mengangkat kepalanya,
langsung memandangi wajah pemuda tampan
itu. Pelahan-lahan Ranti mendekatkan wajahnya, lalu mengecup lembut bibir Bayu.
Ranti beringsut turun dari pembaringan,
kemudian duduk di kursi dekat pembaringan itu.
Dipandanginya wajah Bayu lekat-lekat. Terdengar tarikan napas panjang dan terasa
berat seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Malam
ini gadis itu tidak boleh tidur, karena mungkin saja Pendekar Pulau Neraka itu
bisa membebaskan diri dari pengaruh totokan pada
jalan darahnya. Kalau hal itu terjadi, Bayu harus cepat diberi totokan kembali
sebelum sempat melakukan sesuatu. Sungguh berat tugasnya,
tapi tidak bisa ditolak.
*** 5 Siang ini matahari bersinar terik sekali,
seakan-akan hendak membakar seluruh
permukaan bumi..Begitu teriknya hingga daun-
daun berguguran, dan seluruh penghuni hutan di Gunung Waru berlomba-lomba
mencari sumber mata air. Tapi tidak demikian halnya dengan
seorang gadis berpakaian serba putih yang me-
nunggang kuda menyusuri lereng gunung sebelah
Timur. Kuda putih yang ditungganginya mendengus-
de-ngus, dan mulutnya terbuka mengucurkan
liur. Binatang itu tampak kelelahan, tapi
penunggangnya tidak peduli Dia terus menggebah kudanya agar berlari cepat. Wajah
gadis itu juga sudah memerah. Keringat tampak membanjir di
sekujur tubuhnya. Sesekali di-sekanya keringat di leher yang putih jenjang.
"Hop...!" gadis itu menghentikan laju kudanya.
Pandangannya lurus ke depan, ke arah
sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar
tinggi dari batang pohon yang bagian atasnya
runcing. Dia melompat turun dari punggung
kudanya. Gerakannya ringan sekali, pertanda
memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi. Gadis itu berdiri tegak di depan kudanya.
"Sepi...," gumam gadis itu pelan.
Pelahan kakinya terayun mendekati
bangunan besar itu. Sinar matanya tajam tak
berkedip meraya sekitarnya. Ayunan langkah
kakinya begitu ringan, menimbulkan suara sedikit pun. Dia semakin me kari
bangunan besar bagai
benteng pertahanan itu. Tapi baru juga sampai
setengah jalan, mendadak saja...
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras, disusul
bermuculannya manusia-manusia dari balik
pepohonan. Gadis itu terkejut, langsung memutar tubuh dan menata ke
sekelilingnya. Hatinya
sungguh terkejut bukan main, karena di
sekitarnya sudah dikelilingi orang bersenjata
pedang terhunus. Jumlahnya begitu banyak, lebih dari lima puluh orang.
"Selamat datang di Padepokan Sangga Langit, Anggrek Jingga," tiba-tiba terdengar
suara lembut "Heh..."!" gadis itu terkejut dan langsung berpaling.
Pandangan gadis itu seketika tertumbuk pada
seorang laki-laki tua berjubah putih yang tahu-tahu sudah berdiri di depan
orang-orang yang
mengepungnya. Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu sudah ada di sana.
"Eyang Palandara...," desis gadis itu mengenali .laki-laki tua yang berdiri
sekitar dua batang tombak di depannya.
"Kenapa kau datang sendiri, Pinanti" Mana gurumu?" tanya Eyang Palandara.
Suaranya begitu lembut, namun mengandung kewibawaan.
"Kau tahu tentang diriku, Eyang
Palandara...?" tanya gadis berbaju putih yang memang bernama Pinanti, salah
seorang murid Kandita si Anggrek Jingga.
"Aku tahu siapa-siapa saja orang-orang dari Anggrek Jingga. Bahkan sebelum
kalian muncul di Desa Coket aku sudah tahu. Malah
kedatanganmu ke sini juga sudah kuketahui.
Jadi, jangan heran jika aku menyambut
kedatanganmu," jelas Eyang Palandara.
"Dari mana kau tahu?" tanya Pinanti
mendengus. Gadis itu agak terkejut juga, tapi cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya.
Hatinya jadi bertanya-tanya, dari mana Eyang Palandara
mengetahui semua tentang Anggrek Jingga"
Padahal selama ini gerakan Anggrek Jingga begitu tersembunyi, bahkan tidak ada
yang tahu berapa jumlah anggota Anggrek Jingga sebenarnya.
"Jika tidak keberatan, aku ingin
mengundangmu melihat-lihat Padepokan Sangga
Langit," ajak Eyang Palandara ramah.
"Hm.... Kau tidak ingin memperdayaku, Eyang Palandara?" Pinanti jadi curiga.
"Kedatanganmu bermaksud mengetahui
kekuatan padepokanku, bukan" Nah! Marilah,
kuperlihatkan seluruh kekuatan Padepokan
Sangga Langit Dan kau bisa melaporkannya pada
Kandita," kata Eyang Palandara tenang dan ramah.
Pinanti jadi berpikir seribu kali. Sungguh tidak disangka kalau kedatangannya ke
sini sudah diketahui. Bahkan sekarang Ketua Padepokan
Sangga Langit itu sendiri yang menyambutnya,
dan hendak memperlihatkan seluruh kekuatan
padepokannya. Bukankah ini sesuatu yang
sangat janggal" Mereka satu sama lain berdiri
berhadapan sebagai musuh, tapi sikap Eyang
Palandara yang begitu ramah membuat Pinanti
tidak bisa memahaminya.
"Kau terlalu curiga terhadap maksud baikku, nanti," tebak Eyang Palandara
seperti mengetahui jalan pikiran gadis itu.
Pinanti merayapi murid-murid Padepokan
Sangga Langit di sekelilingnya. Saat itu Eyang Paland menjentikkan jari
tangannya, maka semua murid depokan itu bergerak masuk ke dalam
benteng padepokan yang terbuat dari kayu
gelondongan yang di tancapkan berkeliling ke
tanah, membentuk cincin raksasa. Bangunan
besar di tengah-tengah lingkara benteng itulah yang menjadi tujuan mereka.
"Mari...," ajak Eyang Palandara setelah semua muridnya masuk ke dalam benteng.
"Sikapmu membuatku curiga, Eyang
Palandara," tegas Pinanti berterus terang.
"Ha ha ha...!" Eyang Palandara tertawa terbahak-bahak. Sepertinya kata-kata
Pinanti tadi membuat tenggorokannya tergelitik.
"Kenapa tertawa, Eyang Palandara"!" dengus Pinanti kurang senang.
"Aku tentu tidak akan bersikap begini jika bukan kau yang datang, Pinanti," kata
Eyang Palandara setelah reda tawanya.
"Kenapa" Apakah ada perbedaan antara aku
dan yang lainnya?" tanya Pinanti tidak mengerti, sehingga jadi bingung juga
dibuatnya. "Tentu! Tentu saja ada perbedaannya.
Marilah, kita bicarakan hal ini di dalam," ujar Eyang Palandara seraya
merentangkan tangannya. Sejenak Pinanti ragu-ragu. Tapi mendadak
saja hatinya diliputi rasa penasaran akan sikap laki-laki tua
berjubah putih ini. Teriebih lagi perkataannya yang
terakhir. Berbagai macam pertanyaan terlintas di benaknya. Sejenak Pinanti
memandangi orang tua itu,
kemudian menatap ke arah bangunan besar
Padepokan Sangga Langit Pintu gerbang benteng
padepokan itu terbuka lebar, seakan-akan sengaja dibuka untuknya.
"Baiklah. Tapi jika kau hanya menjebakku
saja, aku akan membunuhmu, Eyang Palandara!"
kata Pinanti tajam.
"Silakan, Pinanti," sambut Eyang Palandara ramah diiringi senyuman.
Pinanti memantapkan hatinya, kemudian
mengayunkan kakinya menuju dalam benteng
Padepokan Sangga Langit Sedangkan Eyang
Palandara sudah lebih dahulu berjalan di
depannya. Dua orang terlihat menjaga di ambang pintu gerbang. Mereka membungkuk
memberi hormat saat Eyang Palandara melintasinya. Dan pintu itu ditutup setelah kedua
orang yang saling bermusuhan itu berada di dalam.
*** Pinanti memandangi ruangan besar yang
dikelilingi jendela besar terbuka lebar, sehingga memberi keleluasaan pada
matahari untuk menerangi ruangan ini dengan sinarnya yang
memancar terik. Di setiap sudut ruangan terlihat senjata-senjata berjajar rapi
dari berbagai bentuk.
Pinanti tahu kalau ruangan ini merupakan balai latihan bagi murid-murid
Padepokan Sangga
Langit. Gadis itu duduk di lantai beralaskan tikar anyaman daun pandan. Di
depannya, duduk
Eyang Palandara. Tak ada lagi orang lain di
ruangan ini mereka berdua.
"Ruangan ini sebagai pusat latihan semua mi Padepokan Sangga Langit Kau lihat
sendiri, segala macam senjata harus mereka kuasai dengan
baik," jelas Eyang Palandara.
"Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?"
tanya Pinanti. "Bukankah itu yang hendak kau ketahui,
Pinanti" Aku tahu, kedatanganmu ke sini sengaja untuk menyelidiki kekuatan
Padepokan Sangga
Langit. Sudah beberapa hari ini aku melihatmu
berada di sekitar padepokan," ujar Eyang
Palandara. "Aku ingin tahu alasanmu berbuat semua ini padaku, Eyang Palandara!" agak ketus
nada suara Pinanti.
"Agar kau tidak bersusah payah
menyelidikinya," jawab Eyang Palandara kalem.
'Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Eyang."
'Tapi itulah jawabannya."
"Kau pasti tidak akan berbuat begini jika bukan aku yang melakukannya, bukan?"
selidik Pinanti curiga.
'Tentu," sahut Eyang Palandara seraya
mengangkat alisnya.
"Kenapa?" desak Pinanti.
"Karena kau murid termuda dari si Anggrek Jingga," sahut Eyang Palandara tetap
tenang. "Maaf! Aku tidak ada waktu untuk bermain-
main, Eyang!" dengus Pinanti gusar. Dia bergegas bangkit berdiri.
'Tunggu dulu, Pinanti. Duduklah...," cegah Eyang
Palandara cepat.
"Kau tidak bisa seenaknya mempermainkan
aku, Eyang!" rungut Pinanti tidak senang.
"Duduklah dulu, nanti akan kujelaskan
semuanya," bujuk Eyang Palandara.
"Untuk sekali ini, Eyang .Sekali lagi kau mempermainkan aku, pertarungan menjadi
keputusanku yang terakhir. Aku tidak peduli
kalau saat ini berada di tempatmu dan dikelilingi murid-muridmu yang setiap saat
bisa merajamku!" suara Pinanti terdengar bersungguh-sungguh.
"Tidak akan terjadi pertarungan di sini,
Pinanti. Duduklah, tenangkan dirimu dulu."
Pinanti kembali duduk. Wajahnya memerah
dan sorot matanya tajam menusuk langsung bola
mata orang tua di depannya. Sedangkan Eyang
Palandara kelihatan tenang. Bibirnya tampak
selalu menyunggingkan senyuman lebar.
"Pinanti, apakah kau pernah berpikir tentang dirimu sendiri" Tentang siapa, dan
dari mana asalmu?" tanya Eyang Palandara, nada suaranya terdengar sungguh-sungguh.
"Untuk apa kau tanyakan itu?" dengus Pinanti kurang senang. Tapi keningnya
terlihat berkerut juga.
Pinanti memang mengakui bahwa selama ini
tidak pernah terpikirkan tentang dirinya sendiri.
Bahkan tidak pernah mau tahu, darimana
asalnya, dan siapa dirinya sebenarnya. Yang
diketahui, dirinya berada di sebuah tempat
bersama wanita-wanita dan harus patuh pada
seorang wanita cantik Kandita yang menjadi
gurunya. "Sebenarnya kesempatan seperti ini sudah
kunantikan. Aku sendiri tidak mengerti tujuan Kandita yang memberimu tugas untuk
menyelidiki aku, kekuatan Padepokan Sangga
Langit ini," sahut Eyang Palandara agak


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendesah. 'Tampaknya kau sudah cukup banyak
mengetahui tentang Anggrek Jingga, Eyang
Palandara," dengus Pinanti.
"Lebih dari yang kau ketahui," sahut Eyang Palandara.
Pinanti tidak bisa lagi menyembunyikan keter-
kejutannya. Sungguh tidak disangka kalau laki-
laki tua ini mengetahui banyak tentang Anggrek Jingga. Bahkan mengakui lebih
dari yang diketahuinya sendiri selama ini.
"Yaaah.... Aku sendiri tidak tahu, ilmu apa yang digunakan Kandita sehingga kau
melupakan dirimu sendiri...," ujar Eyang Palandara terdengar mengeluh.
"Eyang, apa sebenarnya yang hendak kau
bicarakan?" Pinanti jadi tidak mengerti.
"Yang kuinginkan hanyalah agar kau
mengetahui siapa dirimu sebenarnya, Pinanti,"
sahut Eyang Palandara.
"Aku..."!" Pinanti tersedak.
Gadis itu tampak bingung, terlebih lagi begitu melihat bola mata Eyang Palandara
berkaca-kaca. Bibir yang hampir tertutup kumis, tampak
bergetar, seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Tapi, tak ada satu suara pun yang keluar dari
bibirnya itu. Entah Kanapa, tiba-tiba saja Pinanti merasakan ada sesuatu yang
tersembunyi pada
diri Eyang Palandara.
"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku,
Eyang. Aku tahu siapa diriku. Dan kau tidak bisa berbuat licik
padaku," tegas Pinanti ketus.
"Pinanti! Dengar dulu..., Anakku...."
"Cukup!" sentak Pinanti langsung bangkit berdiri. Gadis cantik itu cepat
berbalik dan melangkah ke luar. Eyang Palandara buru-buru
bangkit dan mengejar.
"Pinanti, tunggu...!"
Tapi Pinanti terus berjalan cepat Beberapa
murid Padepokan Sangga Langit memandangi
disertai s inar mata penuh kecurigaan. Tapi gadis itu diam saja tidak peduli.
Dia terus berjalan cepat melintasi halaman berumput yang cukup luas.
Segera dilentingkan tubuhnya melompati pintu gerbang. Cepat dan ringan sekali
gerakannya, dan sebentar saja sudah lenyap di balik benteng
padepokan ini Sementara Eyang Palandara hanya bisa
terpaku memandangi dari ambang pintu
bangunan besar padepokan itu. Dia tidak
mencoba mengejar, dan hanya memandang
dengan mata berkaca-kaca. Pelahan dibalikkan
tubuhnya, laki melangkah masuk kembali.
Beberapa muridnya hanya memandangi disertai berbagai macam pertanyaan.
Pinanti memacu cepat kudanya menyusuri
Lereng Gunung Waru. Raut wajahnya kelihatan
tegang. Kudanya digebah bagai dikejar setan saja.
Padahal kuda putih itu telah mendengus-dengus
kelelahan. Namun Pinanti tidak peduli. Sudah
cukup jauh Padepokan Sangga Langit
ditinggalkannya, tapi kecepatan kudanya belum
juga dikendorkan.
"Yeaaah! Hiyaaa...!"
Pinanti semakin mempercepat lari kudanya,
namun tiba-tiba saja kuda itu meringkik keras dan berhenti sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi tinggi. Pinanti terkejut, dan buru-buru menarik kekang kudanya,
mencoba mengendalikan kuda putih yang mendadak jadi
liar ini. Dan belum juga gadis itu bisa menguasai
kudanya yang jadi liar, tiba-tiba terlihat secercah cahaya keperakan meluruk
deras ke arahnya.
Sejenak gadis itu terkesiap, lalu cepat
melentingkan tubuhnya ke udara. Kuda putih itu terlonjak, langsung berlari
cepat. Pinanti berkelit dengan berputaran dua kali di udara, maka
cahaya keperakan itu lewat sedikit di bawah
telapak kakinya. Dengan gerakan yang manis,
didaratkan kakinya di tanah.
"Ha ha ha...!"
"Hm...," Pinanti menggumam kecil ketika tiba-tiba terdengar suara tawa
menggelegar. Gadis itu melirik ke arah datangnya suara
tawa itu, tapi mendadak jadi kebingungan.
Ternyata suara tawa itu arah datangnya
berpindah-pindah. Pinanti melayangkan
pandangannya ke arah lesatan cahaya keperakan
tadi Pandangannya tertumbuk pada sebatang
pohon yang hangus. Pada batang pohon itu ter-
tancap sebuah benda bulat pipih yang sisinya
bergerigi berwarna keperakan.
"Kakek Iblis Perak...," desis Pinanti, agak bergetar nada suaranya.
"Hehehe...!"
Pinanti langsung memalingkan mukanya ke
depan begitu mendengar tawa terkekeh. Entah
dari mana datangnya, tahu-tahu di depan gadis
itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berambut putih bagai
perak. Dia mengenakan jubah panjang juga berwarna perak.
Tak ada senjata yang tergenggam. Laki-laki tua yang dikenal Pinanti berjuluk
Kakek Iblis Perak itu memang tidak menggunakan senjata selain
bintang-bintang bulat bergerigi berwarna perak.
Namun di balik jubahnya tersimpan sebuah
senjata bulat pipih berwarna perak yang seluruh sisinya bergerigi. Senjata itu
berlubang pada bagian tengahnya. Memang, senjata Kakek Iblis
Perak itu sangat ditakuti kalangan rimba
persilatan. "He he he.... Kau masih mengenalku, Pinanti?"
serak suara Kakek Iblis Perak itu
"Mengapa kau mencegatku di sini?" dengus Pinanti.
Tentu saja Pinanti ingat betul pada laki-laki
tua serba perak ini. Mereka pernah satu kali
bentrok. Saat itu Pinanti bersama ketiga teman dan gurunya, sehingga Kakek Iblis
Perak tidak mampu menghadapinya. Laki-laki tua itu kabur
sebelum menjadi lebih parah keadaannya dalam menghadapi lima wanita cantik yang
berjuluk Anggrek Jingga. Dan kini dia muncul
menghadang salah seorang dari Anggrek Jingga,
nanti sudah bisa menduga apa maksudnya. Pasti
dendam! Dan gadis itu sadar kalau dirinya
mungkin menghadapi Kakek Iblis Perak sendirian.
"He he he.... Sebenarnya aku ingin
membunuhmu, Pinanti. Tapi ternyata ada yang
lebih dari keinginanku," ujar Kakek Iblis Perak dengan suaranya yang serak dan
kering. "Apa keinginanmu, Iblis Perak?" dengus Pinanti
"Aku lihat kau tadi keluar dari Padepokan Sangga Langit He he he...," Kakek
Iblis Perak terkekeh serayal melangkah mendekati gadis itu.
Pinanti mengerutkan keningnya. Pikirannya
menduga-duga, apa yang diinginkan Kakek Iblis
Perak ini sebenarnya. Dia juga sedikit terkejut, karena laki-laki tua itu
mengetahui kalau dirinya baru saja dari Padepokan Sangga Langit
"Pinanti, aku tahu kalau gurumu ingin
melenyapkan si tua Palandara. Dan itu
merupakan keinginanku yang sudah lama
terpendam. Si tua keparat itu memang harus
mampus, agar semua perbuatan kita tidak ada
lagi yang menghalangi. Dan kita bisa menguasai seluruh daerah di sekitar Gunung
Waru ini He he he...," ujar Kakek Iblis Perak diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Iblis Perak."
"He he he.... Kau akan mengerti jika kau mempertemukan aku dengan gurumu,
Pinanti." "Huh! Tadi Eyang Palandara bermaksud
mempengaruhiku, sekarang kau juga ingin
membujukku!" dengus Pinanti.
"Jangan salah duga, Pinanti. Aku tidak akan memperpanjang persoalan lama. Bahkan
sudah lama kulupakan," kata Kakek Iblis Perak mencoba membuat gadis itu mengerti.
"Katakan saja terus terang, untuk apa kau ingin bertemu guruku?"
Belum juga Kakek Iblis Perak menjawab perta-
nyaan Pinanti, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki kuda. Mereka sama-sama
berpaling ke arah
datangnya suara kuda itu. Dan tak berapa lama
kemudian, muncul empat ekor kuda yang
ditunggangi gadis-gadis cantik berpakaian aneka warna.
Baik Kakek Iblis Perak maupun Pinanti
mengenali, siapa empat wanita cantik yang
menunggang kuda itu. Mereka adalah Kandita
dan ketiga muridnya, yang kemudian langsung
berlompatan turun begitu dekat
"Orang tua iblis...! Apa yang kau lakukan pada muridku?" bentak Kandita berang.
"Aku..., aku...," Kakek Iblis Perak jadi tergagap mendengar bentakan keras itu.
Dan sebelum laki-laki tua itu sempat
menjelaskan, Kandita sudah mengegoskan
kepalanya memberi isyarat Seketika itu juga Ranti dan Dewi berlompatan cepat
sambil mencabut
pedangnya. Kedua gadis itu langsung menyerang
ganas si Kakek Iblis Perak.
"He, tunggu...!" sentak Kakek Iblis Perak.
"Kali ini kau harus mampus, tua bangka
keparat! Hiyaaa...!" teriak Dewi lantang.
"Yeaaah...!" "Hup!"
Trang! Serangan-serangan yang dilancarkan kedua
gadis itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.
Maka Kakek Iblis Perak tidak punya pilihan lain lagi Dikeluarkan senjata anehnya
dari balik jubahnya yang panjang. Sebuah senjata seperti tameng berbentuk bulat pipih yang
sisinya bergerigi tajam. Dia memegang pada bagian
tengahnya yang berlubang dengan bagian
pegangan melintang di tengah-tengah lingkaran
lubang Dengan senjata maut di tangan, Kakek Iblis
Perak memang sukar ditaklukkan. Beberapa kali
kelebatan pedang Dewi maupun Ranti berhasil
ditangkis. Dan setiap kali senjata mereka
berbenturan, terlihat kemampuan tenaga dalam
yang dimiliki kedua gadis itu masih berada di
bawah si Kakek Iblis Perak.
"Mundur kalian...! Hiyaaat..!"
Melihat kedua muridnya kewalahan, Kandita
langsung berteriak lantang seraya melompat
menerjang menggantikan kedua gadis itu.
Terjunnya Kandita membuat Kakek Iblis Perak
jadi gelagapan. Dia tahu betul kalau
kemampuannya masih di bawah wanita cantik
ini. "Kandita, tunggu! Akan kujelaskan...!" seru Kakek Iblis Perak sambil berkelit
menghindari pukulan si Anggrek Jingga itu.
"Tidak ada lagi penjelasan bagimu, tua
bangka keparat! Hiyaaa!" Kandita rupanya tidak mau kompromi lagi.
Kandita terus menyerang dengan jurus-jurus
dahsyat dan cepat luar biasa. Hal ini membuat
Kakek Iblis Perak jadi kelabakan setengah mati, dan sekuat tenaga berusaha
menghindar. Dicobanya untuk menggunakan senjatanya. Tapi
setiap kali menggunakan senjata berbentuk aneh itu, Kandita langsung cepat dapat
meredamnya. Hal ini membuat Kakek Iblis Perak semakin
kelabakan Kakek Iblis Perak mengakui dalam hati kalau
Kandita mengalami kemajuan yang pesat sekali.
Jurus-jurusnya semakin mantap dan dahsyat.
Belum lagi angin sambaran pukulannya sangat
luar biasa. Jika lawan yang dihadapi hanya
memiliki ilmu tenaga dalam tanggung, dapat
dipastikan tidak akan mampu bertahan walau
hanya terkena sambaran angin pukulannya saja.
Laki-laki tua itu saja selalu limbung manakala berhasil menghindari pukulan
Kandita. Disadari kalau tenaga dalamnya masih satu tingkat di
bawah si Anggrek Jingga ini. Kakek Iblis Perak memutar otaknya agar bisa lolos
dari pertarungan ini. Dia yakin, Kandita tidak akan mungkin diajak kompromi
lagi. "Hiyaaa...!"
Kakek Iblis Perak langsung melesat ke atas
ketika kaki Kandita melayangkan satu sampokan
melingkar ke arah kaki Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Kakek Iblis Perak.
Cepat dia melesat hendak kabur. Namun sungguh sukar diduga!
Belum juga niatnya berhasil, Kandita sudah cepat mengecutkan tangan kanannya.
Wut! "Ikh...!" Kakek Iblis Perak tersentak kaget Cepat dikibaskan senjatanya ketika
sekuntum bunga anggrek jingga meluruk deras ke arahnya.
Dua senjata seketika beradu keras, menimbulkan percika api ke segala arah. Kakek
Iblis Perak yang berada di udara, jadi kehilangan keseimbangan.
Dia terpental jatuh dan bergulingan di tanah.
"Yeaaah...!" '
Secepat kilat Kandita melompat sambil
mencabut pedangnya. Pedang berwarna putih
keperakan itu berkelebat cepat mengarah ke leher si Kakek Iblis Perak
"Jangan...!" tiba-tiba Pinanti berteriak lantang.
Seketika ayunan pedang si Anggrek Jingga
terhenti di udara. Wanita berbaju merah itu
melompat mundur, dan langsung menatap
Pinanti yang bergegas menghampiri si Kakek Iblis Perak. Gadis itu membantu Kakek
Iblis Perak berdiri. Tampak darah menetes ke luar dari sudut bibirnya. Beradunya senjata
tadi memang sungguh dahsyat, karena masing-masing mem-
pergunakan kekuatan tenaga dalam. Sehingga,


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan tenaga dalam Kakek Iblis Perak yang
satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga,
menjadikan bagian dalam tubuhnya sedikit
terguncang "Pinanti, apa-apaan kau ini..."!" bentak Kandita gusar.
"Nini Guru, mohon sarungkan kembali
pedangnya," pinta Pinanti.
"Pinanti..."!"
"Aku mohon, Nini Guru. Semua ini hanya
salah paham saja. Sungguh, hanya salah
paham...," Pinanti mencoba meminta pengertian gurunya.
Kandita memandangi Pinanti dalam-dalam.
Sungguh tidak dimengerti sikap murid yang
termuda ini, tapi disarungkan juga pedangnya ke dalam warangkanya di pinggang.
Sedangkan ketiga gadis lainnya yang berada di belakang
Kandita juga menyarungkan pedangnya.
"Jelaskan, Pinanti. Aku tidak ada waktu
untuk bermain-main," pinta Kandita tegas.
"Baik, Nini Guru...."
*** 6 Kandita menatap dalam-dalam Kakek Iblis
Perak. Sinar matanya begitu tajam, seakan-akan tidak percaya meskipun Pinanti
sudah menjelaskan semuanya dengan gamblang.
Bahkan Kakek Iblis Perak sendiri membenarkan
dan mengutarakan niatnya untuk bergabung
menghancurkan Padepokan Sangga Langit
"Bisa kupercaya kata-katamu, Iblis Perak..."!"
desis Kandita bernada tidak percaya.
"Leherku jaminannya, Kandita," sahut Kakek Iblis Perak tegas. "Setelah semua ini
selesai, di antara kita tidak ada lagi perselisihan. Bahkan akan saling bantu
dalam segala hal."
"Hm.... Kenapa kau berubah begitu cepat Iblis Perak?" ada nada kecurigaan pada
suara Kandita. "Setiap orang bisa berubah dengan
sendirinya, Kandita. Dan kusadari kalau
sebenarnya tujuan kita sama. Tidak ada ruginya jika bergabung demi tercapai apa
yang kita inginkan. Bukan begitu, Pinanti?" Kakek Iblis Perak meminta pendapat Pinanti.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya
mengangkat bahunya saja.
"Baiklah, aku terima. Tapi jika kau berani berbuat macam-macam, aku tidak segan-
segan memenggal kepalamu. Ingat itu, Iblis Perak!" tajam sekali nada suara Kandita.
"He he he.... Kau tidak perlu meragukan aku, Kandita."
Kandita menyuruh keempat muridnya naik ke
punggung kuda. Sementara Pinanti jadi
kebingungan, karena tidak lagi memiliki kuda.
"Kau denganku, Pinanti," kata Ranti.
Pinanti langsung melompat naik ke belakang
Ranti. Sedangkan tinggal Kakek Iblis Perak yang kebingungan, karena tidak
mungkin mengikuti
keempat wanita itu hanya dengan jalan kaki. Dan rupanya kebingungan Kakek Iblis
Perak diketahui Kandita.
"Kau bisa menyusul kami, Iblis Perak.
Datanglah ke Candi Laksa. Di sanalah kami
tinggal untuk sementara," kata Kandita.
"Candi Laksa..."!" Kakek Iblis Perak terlongong.
"Kenapa?"
"Bukankah Candi Laksa tempat tinggal Eyang Binarong?"
"Tidak lagi, Iblis Perak. Sudah beberapa hari ini dia berada di neraka," tenang
sekali jawaban Kandita.
"Ah, kau..."!" Kakek Iblis Perak semakin terbeliak. Kandita tertawa renyah.
Dihentakkan tali kekang kudanya, maka murid-muridnya pun
mengikutinya. Tinggal Kakek Iblis Perak masih
terlongong. Mulutnya ternganga lebar dan
matanya mendelik tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Sementara si
Anggrek Jingga bersama murid-muridnya sudah jauh
meninggalkan tempat itu.
"Ah, benarkah Eyang Binarong dapat
dikalahkannya...?" Kakek Iblis Perak bertanya-tanya sendiri.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, karena masih belum yakin kalau si
Anggrek Jingga bisa mengalahkan Eyang
Binarong. Bahkan sekarang' menguasai Candi
Laksa, sebuah tempat yang dikeramatkan dan
disucikan oleh semua orang yang tinggal di sekitar Gunung Waru ini.
Candi Laksa merupakan tempat pemujaan
bagi dewata. Tempat suci yang tidak sembarang
orang bisa menginjakkan kaki di dalamnya. Tapi sekarang, Kandita yang dikenal
berjuluk si Anggrek Jingga sudah menguasainya. Kakek Iblis Perak sukar untuk mempercayainya,
karena tahu betul kalau Eyang Binarong memiliki tingkat
kepandaian tinggi sekali. Bahkan sukar dicari
tandingannya, sehingga Eyang Palandara sendiri belum tentu bisa menaklukkannya.
"Aku harus membuktikannya!" dengus Kakek Iblis Perak jadi penasaran. "Bagaimana
mungkin dia bisa menaklukkan Eyang Binarong secepat
ini.." Sungguh mengagumkan kalau sampai hal
itu menjadi kenyataan. Seluruh rimba persilatan pasti akan gempar!"
Kakek Iblis Perak bergegas berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuh laki-laki tua
itu sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan Saat itu terlihat sepasang mata mengawasi dari
balik gerumbul semak. Pemilik mata itu keluar dari tempat
persembunyiannya. Dipandanginya arah
kepergian si Kakek Iblis Perak sebentar, kemudian langsung berlari ke arah yang
berlawanan. Tujuannya jelas, ke Padepokan Sangga Langit.
*** Brak! "Mustahil...!" desis Eyang Palandara menggeram.
Meja kayu jati tebal di sampingnya terbelah
jadi dua terhantam kepalan tangan laki-laki tua itu. Wajahnya terlihat memerah
pertanda sedang menahan kemarahan yang amat sangat Namun
sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan
dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa kau tidak salah dengar, Odang?" agak dalam nada suara Eyang Palandara.
Tatapannya lurus pada seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh satu tahun.
"Tidak, Eyang. Aku mendengar sendiri," sahut pemuda yang dipanggil Odang itu.
Eyang Palandara terdiam.
"Si Anggrek Jingga mengatakan kalau Candi Laksa sekarang sudah dikuasainya.
Bahkan telah membunuh Eyang Binarong. Jelas sekali aku
mendengarnya, Eyang. Aku bersembunyi di
dalam semak, tidak jauh jaraknya," sambung Odang.
"Mustahil Eyang Binarong dapat ditaklukkan perempuan iblis itu," desis Eyang
Palandara tidak percaya.
"Eyang, sebaiknya kita periksa saja dulu kebe-narannya," usul Odang.
"Baiklah. Kau bawa beberapa temanmu, dan
pergi ke Candi Laksa. Segera kabarkan apa saja yang kau ketahui di sana padaku,"
perintah Eyang Palandara.
"Segera, Eyang."
Odang bergegas meninggalkan ruangan itu.
Sementara Eyang Palandara berjalan mondar-
mancfir, dan wajahnya tampak muram. Memang,
masih belum bisa dipercayai kalau Eyang
Binarong bisa dikalahkan si Anggrek Jingga.
Semua orang tahu, siapa Eyang Binarong itu.
Seorang pertapa yang sangat sakti seperti dewa.
Sukar diukur tingkat kepandaiannya. Pendeknya, Eyang Binarong bagaikan manusia
setengah de-wa!
Saat itu seorang murid Padepokan Sangga
Langit ini masuk. Eyang Palandara berbalik.
Murid yang berusia muda itu membungkuk
memberi hormat.
"Ada apa?" tanya Eyang Palandara.
"Ki Dampil ingin bertemu, Eyang," ujar pemuda itu penuh rasa hormat.
'Persilakan masuk."
"Segera, Eyang."
Pemuda itu bergegas keluar, dan tak lama
kemudian datang lagi bersama seorang laki-laki tua. Seorang Pemuka Desa Coket
yang sudah dikenal baik oleh semua murid Padepokan
Sangga Langit ini. Eyang Palandara
menggerakkan tangannya sedikit, maka pemuda
itu menjura memberi hormat lalu keluar dari
ruangan itu. Eyang Palandara mempersilakan tamunya
duduk. Ki Dampil mengambil tempat, duduk di
lantai beralaskan permadani tebal. Sedangkan
Eyang Palandara duduk bersila di depannya.
Ruangan ini memang tidak memiliki
perlengkapan meja atau kursi. Bahkan seluruh
ruangan di dalam bangunan besar padepokan ini
tidak memiliki perabotan. Hanya beberapa lemari yang menyimpan peralatan serta
pakaian saja yang terlihat. 'Tampaknya ada sesuatu yang penting,
sehingga jauh-jauh datang ke sini, Ki Dampil,"
ujar Eyang Palandara ramah.
"Benar, Eyang. Aku ingin menanyakan
apakah ada seorang pemuda berbaju kulit
harimau datang ke sini?" Ki Dampil langsung menuju pokok pembicaraan.
"Pemuda berbaju kulit harimau...?" Eyang Palandara mengerutkan keningnya.
"Benar, Eyang. Namanya Bayu."
"Tidak...," sahut Eyang Palandara heran.
'Tidak..."! Padahal sudah tiga hari dia pergi.
Dan katanya, hendak ke sini menemuimu,
Eyang." 'Tunggu dulu, Ki. Siapa pemuda yang kau
maksudkan" Rasanya namanya pernah
kudengar...."
"Bayu! Dia seorang pengembara, Eyang. Dan telah menyelamatkan nya...."
"Sebentar!" potong Eyang Palandara cepat.
"Kau tadi bilang pemuda itu mengenakan baju kulit harimau...?"
"Benar, Eyang. Ada apa...?" sekarang malah terbalik, Ki Dampil yang keheranan.
"Apakah tangannya memakai gelang dari kulit harimau juga, dan di pergelangan
tangannya ada sebuah benda berbentuk cakra?"
"Tidak salah, Eyang."
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang Palandara.
"Eyang mengenalnya" Kalau begitu dia sudah sampai di sini?" kejar Ki Dampil.
"Tidak. Dia tidak ke sini. Tapi aku memang pernah mendengar namanya. Seorang
pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini.
Tingkat kepandaiannya sukar diukur. Hm.... Kau bilang dia akan ke sini" Untuk
apa...?" "Aku yang memintanya ke sini, Eyang. Untuk mengetahui apakah Ki Sampar datang ke
sini atau tidak," sahut Ki Dampil.
"Heh..."! Kau datang membawa berita apa lagi ini..?" sentak Eyang Palandara
terkejut. Saat itu Ki Dampil jadi tertegun. Sungguh
tidak disangka kalau Eyang Palandara begitu
terkejut . Padahal belum begitu jelas
Pedang Naga Kemala 20 Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara Eng Djiauw Ong 24
^