Dewi Asmara Darah 1
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah Bagian 1
DEWI ASMARA DARAH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
da lam episode:
Dewi Asmara Darah
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Udara malam ini terasa begitu dingin. Saat
itu angin bertiup kencang. Sedangkan langit
tertutup awan hitam yang tebal menggumpal,
membuat malam semakin bertambah kelam.
Sedikit pun tak ada cahaya bintang maupun
bulan yang mampu menerangi. Bahkan cahaya
api pelita dari rumah-rumah penduduk Desa
Cendana pun seakan-akan tak mampu
mengurangi pekatnya malam ini.
Namun, dinginnya malam ini, tidak
membuat seorang pemuda menghentikan ayunan
kakinya. Dia berjalan perlahan-lahan sambil
melipat kedua tangannya erat-erat di depan dada.
Ayunan kakinya begitu teratur. Sedangkan
kepalanya terus tertunduk, memperhatikan
langkah-Iangkah kakinya sendiri yang perlahan-
lahan. Perlahan kepalanya diangkat, matanya
langsung merayapi sekitarnya yang begitu sunyi, tak seorang pun terlihat berada
di luar. Semua rumah yang berdiri berjajar di kiri
dan kanan jalan tanah berdebu ini, tak ada satu pun yang pintunya terbuka.
Begitu sunyinya,
bahkan suara binatang malam pun tak terdengar.
Sehingga detak jantung pemuda itu terdengar
begitu keras. Dengan keredupan sinar matanya,
terus dipandanginya rumah-rumah yang dilewa-
tinya. Namun, tiba-tiba saja ayunan langkahnya
terhenti. Kelopak matanya jadi menyipit begitu di depannya tahu-tahu sudah
berdiri seseorang
bertubuh ramping, mengenakan baju ketat warna
merah darah. Sehingga, menampakkan bentuk
tubuh yang begitu indah, terbungkus kulit yang
putih dan halus. Wanita itu melangkah
menghampiri, disertai senyuman yang begitu
manis di bibir. Sedangkan pemuda yang
mengenakan baju sangat sederhana itu hanya
diam saja sambil memandang. Seakan-akan dia
tidak percaya kalau di tengah malam yang sunyi
dan begitu dingin ini, masih ada seorang wanita di luar rumah.
"Kau pasti kedinginan...," tegur wanita itu dengan suara begitu lembut.
Sedangkan pemuda yang warna bajunya
sudah pudar itu masih tetap diam memandangi.
Dia masih belum percaya dengan penglihatannya
sendiri. Sungguh sukar dipercaya ada seorang
wanita cantik dengan tubuh begitu menggiurkan,
berada di luar rumah pada malam-malam begini.
"Kenapa kau malam-malam berada di luar"
Apa orang tuamu tidak mencari?" tegur pemuda itu, tidak dipedulikan teguran
wanita itu. "Aku hidup sendiri. Tidak ada orang tua,
juga tidak ada sanak saudara," sahut wanita cantik itu, masih terdengar lembut
suaranya. "Kau penduduk desa ini?" tanya pemuda itu lagi. "Iya," sahut wanita itu seraya
mengangguk dan tersenyum manis. "Kau sendiri...?"
Pemuda itu tidak menjawab. Pandangannya
langsung beredar berkeliling. Masih tetap sepi, tak ada seorang pun terlihat.
Kemudian, kembali ditatapnya wanita cantik yang berdiri dekat di
depannya. "Kalau kau mencari rumah penginapan,
tidak ada di desa ini," kata wanita itu, seakan-akan bisa menebak jalan pikiran
pemuda di depannya. "Aku biasa tidur di alam terbuka," kata pemuda itu perlahan.
"Kau bisa mati kaku kedinginan. Sebentar
lagi pasti turun hujan lebat"
Pemuda itu hanya diam saja. "Sebaiknya
bermalam saja di rumahku. Tidak terlalu bagus, tapi cukup hangat daripada berada
di luar," wanita itu menawarkan jasa.
Kening pemuda itu jadi berkerut mendengar
tawaran yang diucapkan begitu langsung. Tapi
belum juga bisa berpikir lebih jauh lagi, tahu-
tahu wanita itu sudah menarik tangannya.
Pemuda itu segera diajaknya pergi dari jalan ini.
Dia seperti kerbau dicucuk hidungnya, sehingga
hanya mengikuti saja tanpa bicara sedikit pun
juga. Mereka berjalan bergandengan tangan,
seperti sepasang kekasih.
"Ke mana kau akan membawaku?" tanya
pemuda itu. "Ke rumahku."
"Boleh aku tahu namamu, Ni sanak?" tanya pemuda itu lagi.
"Panggil saja Arini," sahut wanita itu menyebutkan namanya.
"Aku Anggara."
Mereka tidak bicara lagi, dan terus berjalan
bergandengan tangan.
*** Anggara memandangi rumah kecil, tapi
nampak begitu indah dan bersih. Sementara,
Arini sudah membuka pintu rumah itu.
Dipersilakannya pemuda itu masuk lebih dulu.
Anggara memberi senyum, kemudian melangkah
masuk ke dalam rumah ini. Sedangkan Arini
mengikuti dari belakang. Ditutupnya pintu itu
kemudian dikunci kembali setelah berada di
dalam. Kening Anggara jadi berkerut, tidak
menyangka kalau keadaan dalam rumah ini
begitu indah. Sepertinya, dia berada di kamar
seorang putri raja, atau putri-putri bangsawan.
Begitu indahnya, hingga tanpa sadar Anggara
berdecak kagum. Sementara, Arini sudah
membaringkan tubuhnya di ranjang yang
berukuran cukup besar, dan berada di tengah-
tengah ruangan ini. Memang, rumah ini tidak
memiliki ruangan Iain lagi. Hanya ada satu
ruangan ini saja.
"Kau tidak mengenalku, kenapa begitu baik
mengajakku bermalam di sini, Arini?" tanya Anggara, polos.
"Karena aku membutuhkan seorang teman
malam ini. Dan kebetulan hanya kau yang
kutemui," sahut Arini kalem.
"Tempatmu indah sekali. Seperti kamar
seorang putri bangsawan," puji Anggara.
Arini hanya tersenyum saja menerima pujian
itu. Tubuhnya kemudian digeliatkan sedikit. Dan seperti disengaja, bagian
belahan baju di dadanya dibiarkan tersibak. Sehingga, menampakkan
pemandangan yang membuat mata Anggara jadi
tidak berkedip mengikutinya.
"Kenapa hanya memandangku saja,
Anggara..." Kemarilah. Jangan sia-siakan malam
yang indah ini," ajak Arini agak mendesah
suaranya. Anggara tidak bisa berkata-kata lagi.
Mendadak saja tenggorokannya jadi terasa begitu kering. Beberapa kali ludahnya
ditelan untuk membasahi batang tenggorokannya. Dan pemuda
itu semakin tidak bisa lagi membuka suara, saat Arini menanggalkan pakaiannya
dengan gerakan lembut dan halus sekali.
Satu persatu Arini melepaskan pakaian yang
melekat di tubuhnya. Hingga, tak ada selembar
pakaian pun yang melekat lagi. Dan ini membuat
Anggara jadi terpaku. Matanya tidak berkedip
menjilati tubuh yang kini sudah polos, terbaring di atas ranjang beralaskan kain
sutera halus berwarna biru muda.
"Kemarilah, Anggara...," desah Arini seraya menatap lembut pemuda itu.
Kembali Anggara terpaksa harus menelan
ludahnya beberapa kali. Entah kenapa, ajakan itu tidak bisa lagi ditolaknya.
Perlahan kakinya
terayun melangkah mendekati pembaringan itu.
Namun, dia hanya berdiri saja di tepi
pembaringan, memandangi tubuh Arini yang
terbaring polos tanpa pakaian lagi.
Pandangan Anggara jadi nanar. Sedangkan
napas-nya memburu cepat tak terkendali. Arini
menggeliat bangkit. Dia berdiri menggunakan
lutut yang terkekuk sebagai tumpuan. Dengan
gerak jari tangan yang lincah dan lembut,
dilepaskannya pakaian pemuda itu satu persatu.
Sedangkan Anggara hanya diam saja, tidak tahu
lagi yang harus dilakukannya.
Seluruh tubuh Anggara jadi bergetar saat
Arini menariknya ke atas pembaringan. Dan
seketika itu juga, aliran darahnya seperti
berhenti, begitu bibir Arini terasa menyentuh
lembut bibirnya. Anggara semakin merasa pening
kepalanya. Dengan tangan bergetar, dirabanya
punggung yang polos dan berkulit putih halus ini.
"Ohhh...," Arini merintih
lirih, dan menggeliat saat merasakan jari-jari tangan
Anggara bermain di dadanya yang membusung
indah. Perlahan Anggara membaringkan wanita itu,
kemudian melumat bibir yang merah
menggairahkan penuh nafsu menggejolak tak
terkendali lagi. Arini mendesah lirih dan
menggeliat merasakan jari-jari tangan Anggara
semakin liar menjelajahi seluruh tubuhnya.
Sementara, malam terus merayap semakin
larut Dan udara pun semakin terasa begitu
dingin. Tapi semua itu tak lagi dirasakan mereka.
Rangsangan yang diberikan Arini, membuat
Anggara tidak bisa lagi mengendalikan
kesadarannya. Perasaannya benar-benar larut,
terombang-ambing gelombang lautan asmara.
Hingga dia tidak tahu lagi, apa yang sedang
terjadi pada dirinya saat ini.
*** "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar
begitu tiba-tiba, memecah kesunyian pagi buta ini Jeritan itu datangnya dari
seorang wanita setengah baya dan bertubuh gemuk. Dia hanya
berdiri kaku dengan mata terbeliak Iebar dan
mulut ternganga, memandangi sesosok tubuh
yang tergolek mati. Leher mayat itu menganga
Iebar hampir buntung!
Jeritan panjang dan melengking tinggi itu,
membangunkan semua penduduk Desa Cendana
yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Hingga
sebentar saja, sudah banyak orang berkumpul di
pinggiran jalan dekat perbatasan sebelah Utara
desa itu. Mereka semua benar-benar terkejut
bercampur ngeri melihat sesosok tubuh tak
bernyawa. Bagian kakinya tampak hampir
terbenam ke dalam parit. Darah menggenang di
sekitar tubuh laki-Iaki berusia muda tanpa
pakaian sama sekali.
Orang-orang desa yang merubung begitu
cepat seperti lalat mencium aroma manis gula
aren, segera bergerak menyingkir saat seorang
laki-laki tua berjubah putih melangkah cepat
mendekati sosok tubuh laki-laki muda yang
tergolek dengan leher hampir buntung itu.
Di belakangnya mengiringi empat orang laki-
laki setengah baya, bertubuh berotot. Mereka
semua menyandang golok yang terselip di
pinggang. Sedangkan laki-laki tua itu membawa
sebatang tongkat kayu yang bentuknya tidak
beraturan. "Hmmm...," orang tua berjubah putih ini menggumam saat sudah berada dekat dengan
mayat anak muda itu.
Pandangannya kemudian beredar
berkeliling, merayapi wajah-wajah di sekitarnya.
Tampak wajah-wajah yang dirayapi memancarkan
kengerian yang amat sangat, melihat mayat tanpa pakaian dengan leher hampir
buntung itu. "Kalian pulang saja. Biar anak malang ini
aku yang urus," ujar orang tua berjubah putih itu, agak lantang suaranya.
Tak ada seorang pun yang menjawab atau
membantah. Satu persatu mereka meninggalkan
tempat itu. Hingga akhirnya, tinggal orang tua
berjubah putih itu saja yang masih tetap ringgal, bersama empat orang laki-laki
bertubuh tinggi
kekar yang mengiringinya. Mereka semua terdiam
memandangi mayat anak muda itu.
"Ini korban yang kelima, Ki Langes...," ujar salah seorang yang mengenakan baju
warna kuning tanpa lengan. Suaranya terdengar begitu
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlahan. "Kau mengenalinya, Racika?" tanya laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Ki
Langes itu tanpa berpaling sedikit pun.
"Kelihatannya bukan penduduk desa ini, Ki,"
sahut Racika masih terdengar pelan suaranya.
"Aku mengenalnya, Ki," selak seorang lagi yang memakai baju warna merah.
Ki Langes dan Racika menatap laki-laki
bertubuh kekar berbaju merah itu. Sedangkan
yang ditatap malah merendahkan tubuhnya, dan
membalik kepala yang sudah hampir buntung itu.
Kemudian kepalanya terangguk-angguk, lalu
kembali berdiri tegak.
"Siapa dia, Dirat?" tanya Ki Langes.
"Dia salah seorang pemandu jalan di Hutan
Bukit Merak," sahut laki-laki tegap berbaju merah yang dipanggil Dirat agak
pelan suaranya.
"Kau yakin, Dirat?" tanya Ki Langes agak terkejut
"Yakin, Ki. Semua pemandu di Hutan Bukit
Merak mempunyai tanda pada bagian leher dekat
dagu. Aku bisa mengenalinya, Ki. Karena, aku
pernah dipandu olehnya ketika menemani Gusti
Adipati berburu di sana," sahut Dirat lagi.
"Oh...! Persoalan ini akan semakin panjang.
Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi kalau para
pemandu mengetahui hal ini," keluh Ki Langes, mendesah.
"Kita harus memberi tahu secepatnya, dan
menceritakan apa yang sedang terjadi di sini, Ki.
Jangan sampai mereka menuduh kita yang
bukan-bukan," kata Dirat lagi.
"Kau yang lebih tahu tentang mereka, Dirat Sebaiknya kau saja yang ke sana.
Ceritakanlah sejelas-jelasnya semua yang terjadi di sini," ujar Ki Langes.
"Baik, Ki," sahut Dirat mengangguk.
"Pergilah sekarang juga, sebelum menjadi
berlarut-larut"
Dirat kembali mengangguk, kemudian
bergegas melangkah pergi. Sementara Ki Langes,
Racika, dan dua orang lagi segera membereskan
mayat pemuda yang dikenali sebagai pemandu di
Hutan Bukit Merak itu. Mereka tahu, orang-orang pemandu di Hutan Bukit Merak
tidak akan menerima begitu saja, jika salah seorang
anggotanya tewas tanpa diketahui penyebabnya.
Dan mereka pasti akan menyelidiki kematian
pemuda ini "Desa kita telah dimasuki pembunuh
berdarah dingin, Ki. Dan aku yakin, pembunuh-
pembunuh seperti ini akan terus berlangsung,"
ujar Racika agak mendesah suaranya.
"Yah...," Ki Langes hanya mendesah saja, menghembuskan napas panjang.
"Sudah saatnya kita menyelidiki semua
pembunuh ini, Ki. Sudah lima orang yang tewas
dengan keadaan sama," kata Racika lagi.
Ki Langes hanya diam saja.
*** Memang dalam beberapa hari ini, Desa
Cendana dihantui pembunuh-pembunuh yang
penuh teka-teki. Sedangkan korbannya hanya
laki-laki yang masih berusia muda. Dan mayat
yang ditemukan pagi itu adalah Anggara, salah
seorang pemandu jalan di Hutan Bukit Merak.
Para penduduk baru tahu kalau mayat itu
bernama Anggara setelah datang dua orang
pemandu yang kemudian membawa mayat
pemuda itu kembali pulang ke Hutan Bukit
Merak. Sedangkan salah seorang dari pemandu
tetap tinggal di Desa Cendana untuk mencari
pembunuh itu. Ki Langes sendiri yang menceritakan
keadaan di desa ini pada pemandu yang
mengenalkan diri bernama Sudana. Sebagai
kepala desa, Ki Langes merasa bertanggung jawab atas kematian Anggara yang penuh
teka-teki itu. "Sebenarnya, Anggara harus ke kota
kadipaten untuk mengunjungi keluarganya di
sana. Sudah tiga hari kepergiannya. Dan
seharusnya sudah melewati desa ini dua hari
yang lalu," kata Sudana memberi tahu
keberadaan Anggara di desa ini.
Jarak antara Desa Cendana dengan Hutan
Bukit Merak memang bisa ditempuh satu hari
perjalanan saja. Itu juga kalau hanya berjalan
kaki. Tapi entah kenapa, baru tiga hari Anggara sampai di desa ini
"Anggara adalah pemandu yang baik. Dan
dia se-Ialu dipakai Gusti Adipati untuk
memandunya setiap kali berburu. Kami benar-
benar merasa kehilangan...," sambung Sudana dengan suara pelan sekali.
"Aku turut menyesal atas kejadian ini,
Sudana," ujar Ki Langes.
Sudana hanya tersenyum tipis. Usia Sudana
dengan Anggara memang tidak terpaut jauh. Dan
Sudana adalah seorang pemuda gagah, tampan,
serta bertubuh tegap berotot. Memang para
pemandu jalan di Hutan Bukit Merak rata-rata
masih muda dan gagah. Bahkan rata-rata
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Karena
selain menjadi pemandu jalan di hutan, mereka
juga selalu bersedia membantu siapa saja yang
mengalami kesulitan. Dan Sudana merasa kalau
Desa Cendana ini sedang dilanda suatu masalah
yang tidak bisa dianggap enteng begitu saja.
Apalagi musibah itu sudah meminta satu nyawa
dari salah seorang pemandu. Dalam hati Sudana
sudah bertekad harus bisa mendapatkan
pembunuh itu. "Kalau kau tidak keberatan, aku akan
tinggal di sini sampai pembunuh itu ketahuan,
Ki," kata Sudana meminta izin.
'Tentu, Sudana. Dengan senang hati aku
menerimamu. Bahkan aku berterima kasih sekali
jika kau akan mencari setan pembunuh itu. Aku
juga tidak ingin di desaku ini dijadikan sarang pembunuh keji," sambut Ki Langes
dengan hati terbuka.
'Terima kasih, Ki," ucap Sudana seraya
memberi senyum Iebar.
"Dan aku akan lebih senang jika kau sudi
ringgal di rumahku ini," kata Ki Langes lagi.
"Aku tidak ingin merepotkan, Ki."
"Sama sekali tidak merepotkan. Justru
dengan begitu, kita bisa selalu bekerjasama
mencari pembunuh itu. Kita punya kepentingan
yang sama. Kau ingin menangkap si pembunuh
itu, dan aku tidak ingin desaku ini dijadikan
ajang pembunuhan keji."
Sudana mengangguk-anggukkan kepala.
Bisa di-mengerti keinginan Ki Langes ini. Memang sebagai kepala desa, Ki Langes
sangat bertanggung jawab atas keamanan dan
ketenteraman desa. Dan itu disadarinya betul.
Betapapun sulitnya, mereka memang harus bisa
menemukan pembunuh berdarah dingin itu. Dan
tentunya mereka tidak ingin berlarut-larut, serta menunggu sampai jatuh korban
lebih banyak lagi.
Sudana tadi memang agak terkejut juga
mende-ngar cerita Ki Langes, kalau selama ini
sudah lima orang yang ditemukan tewas dengan
keadaan hampir sama. Dan Anggara adalah
korban yang kelima. Lebih terkejut lagi, setelah tahu kalau peristiwa ini sudah
berlangsung hampir satu bulan. Dan selama ini, belum ada
tanda-tanda sama sekali tentang si pembunuh.
Walau Ki Langes mengakui sudah berusaha
untuk melakukan penyelidikan, tapi sampai saat
ini belum juga menemukan petunjuk yang berarti.
Pada saat mereka terdiam dengan pikiran
masing-masing berkecamuk dalam kepala, dari
bagian dalam rumah kepala desa ini keluar
seorang gadis berparas cantik. Dia membawa
sebuah baki dari perak yang di atasnya terdapat sebuah guci arak, serta dua buah
gelas yang juga terbuat dari perak. Gadis itu tersenyum dan
menganggukkan kepala pada Sudana. Tentu saja
Sudana membalas dengan senyum yang dibuat
semanis mungkin. Gadis itu meletakkan baki di
meja, kemudian kembali melangkah masuk ke
dalam. Sudana terus memperhankan sampai
gadis itu lenyap di balik pintu.
"Dia keponakanku satu-satunya. Ratna
Wulan namanya," Ki Langes memperkenalkan
tanpa ditanya. "Ooo...," hanya itu yang bisa keluar dari mulut Sudana.
"Kedua orang tuanya sudah meninggal. Dan
baru dua purnama dia ringgal di sini. Memang
belum banyak orang mengenalnya, karena dia
menyendiri. Entah kenapa, dia sulit bergaul
dengan gadis-gadis di desa ini. Hanya beberapa
saja yang mengenalnya. Itu pun belum ada yang
dekat," tutur Ki Langes.
'Tadinya tinggal di mana, Ki," tanya Sudana.
"Di Desa Gilang," sahut Ki Langes.
"Waaah...! Jauh sekali dari sini, Ki. Bisa satu pekan penuh baru sampai," desah
Sudana sedikit kaget, kalau Ratna Wulan tadinya tinggal di desa yang sangat jauh
dari Desa Cendana ini.
"Memang tidak ada lagi tempat yang bisa
ditinggalinya. Tinggal akulah saudara satu-
satunya," tutur Ki Langes.
"Dia datang ke sini sendiri, Ki?" tanya Sudana jadi ingin tahu, mengingat
perjalanan yang harus ditempuh begitu jauh.
"Bersama pengasuhnya. Nyai Andar
namanya," sahut Ki Langes. "Orangnya sudah tua. Yaaa..., mungkin seumur
denganku. Dia yang mengasuh Ratna Wulan sejak masih bayi."
Sudana mengangguk-anggukkan kepala.
"Ayo diminum dulu, Sudana. Arak ini
buatannya sendiri. Enak...," kata Ki Langes mempersilakan.
'Terima kasih, Ki."
*** 2 Memang sayang sekali kalau hari yang
begitu cerah dilewatkan begitu saja. Sudana pun tidak ingin melewatkannya begitu
saja. Sejak matahari muncul di ufuk Timur tadi, pemuda itu
sudah berada di tepi sungai yang merupakan
sumber dari segala kehidupan seluruh penduduk
Desa Cendana yang semuanya petani. Dan sungai
inilah yang memberikan banyak harapan serta
kehidupan bagi sawah ladang mereka.
Sudana terus mengayunkan kakinya
perlahan-lahan, menyusuri tepian sungai sambil
menghirup udara segar pagi ini. Bibirnya
tersenyum saat memperhatikan anak-anak
bertelanjang, berlarian, dan bercanda di
sepanjang alur sungai ini. Gadis-gadis pun
bersenda-gurau. Beberapa di antaranya sempat
melirik genit pada pemuda tampan ini. Namun
Sudana terus saja melangkah tak mempedulikan.
Dan ayunan kakinya baru berhenti saat matanya
menangkap sesosok tubuh ramping yang terbalut
kain basah, tengah mencuci di sungai. Sudana
kembali melangkah dan menghampiri gadis yang
ternyata Ratna Wulan, keponakan Ki Langes.
"Banyak cuciannya, Ratna Wulan...?" tegur Sudana, begitu dekat dengan gadis ini.
Ratna Wulan mengangkat kepalanya, dan
langsung tersenyum manis begitu mengetahui
orang yang menegurnya. Sedangkan Sudana
sudah duduk mencangkung di atas batu, tidak
jauh dari gadis itu. Sekilas matanya melirik
sekelompok gadis yang berbisik-bisik sambil
melirik-lirik padanya. Sudana tahu, gadis-gadis itu sedang menggunjingkannya.
"Aku dengar, Kakang datang ke sini untuk
mencari pembunuh itu, ya...?" tanya Ratna
Wulan, tanpa menghentikan pekerjaannya.
"Benar," sahut Sudana.
"Kira-kira, siapa orangnya?" tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Aku belum tahu. Rasanya memang tidak
mudah mencari seorang pembunuh. Malah bisa-
bisa, sebelum aku tahu, pembunuh itu sudah
tahu kalau sedang dicari," sahut Sudana lagi.
Sudana mengedarkan pandangannya
berkeliling. Sedangkan Ratna Wulan masih saja
sibuk dengan cuciannya. Sebentar-sebentar
lipatan kain yang membelit tubuhnya dibetulkan.
Memang cantik sekali gadis ini. Terlebih lagi,
kulitnya begitu putih. Tidak seperti gadis-gadis lain di Desa Cendana ini.
"Kelihatannya mereka semua tidak
terpengaruh oleh perisriwa pembunuhan itu,
Ratna Wulan," kata Sudana agak menggumam
suaranya. "Untuk apa ditakuti, Kakang..." Pembunuh
itu hanya mencari laki-laki. Jadi kami yang
perempuan, tidak perlu takut," jawab Ratna Wulan kalem.
Sudana jadi terdiam. Dia teringat kembali
cerita Ki Langes semalam. Memang sudah ada
lima korban yang jatuh. Dan korban terakhir
adalah Anggara. Seorang pemuda yang menjadi
pemandu di Hutan Bukit Merak. Dari lima orang
korban pembunuhan keji yang penuh teka-teki
itu, memang semuanya lelaki muda. Usianya
belum mencapai tiga puluh tahun.
Sudana baru merasakan adanya kejanggalan
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Sejak tadi, dia memang tidak melihat laki-laki
seorang pun di sepanjang sungai ini. Kalaupun
ada, itu hanya orang-orang tua yang sudah
berumur, atau anak-anak kecil. Sedangkan para
pemuda desa ini tidak ada lagi yang kelihatan
berada di luar rumah. Kalaupun ada, mereka
selalu berkelompok. Paling tidak, sedikitnya
empat atau enam orang,
"Sudah selesai...?" tanya Sudana begitu melihat Ratna Wulan akan beranjak dari
dalam sungai ini "Sudah," sahut Ratna Wulan memberi
senyum. "Mari kubantu."
'Terima kasih."
Sudana tidak menunggu lagi. Bergegas
diambilnya keranjang cucian Rama Wulan, dan
dipanggulnya di pundak. Mereka kemudian
berjalan bersisian meninggalkan sungai itu.
Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak,
dengan pepohonan yang cukup lebat di kanan-
kirinya. Tiba-tiba langkah Ratna Wulan terhenti.
Sudana juga ikut berhenti. Dipandanginya gadis
itu yang menatap lurus ke depan, pada seorang
laki-laki muda yang sedang duduk bersandar di
bawah pohon dengan mata terpejam.
"Ada apa, Ratna Wulan?" tanya Sudana
sambil menatap pemuda yang mengenakan baju
dari kulit harimau itu.
"Sudah lima hari ini, aku selalu melihat dia di sana," jelas Ratna Wulan.
"Kau kenal?" tanya Sudana lagi.
Ratna Wulan hanya menggelengkan kepala
saja, kemudian kembali melangkah. Sudana
mengikuti dan mensejajarkan ayunan kakinya di
samping gadis ini. Mereka terus berjalan
bersisian, melewati pemuda yang tampaknya
sedang tertidur itu. Seekor monyet kecil berbulu hitam, juga kelihatan
mendengkur di pangkuannya. Ratna Wulan sempat melirik
pemuda itu. Namun pada saat yang bersamaan,
pemuda itu juga membuka matanya.
Maka tatapan mata mereka seketika
langsung bertemu. Ratna Wulan buru-buru
mengalihkan pandangan ke arah lain. Entah
kenapa, jantungnya langsung berdetak kencang,
saat sinar mata pemuda itu begitu tajam
menusuk ke bola matanya. Gadis itu jadi berjalan cepat, membuat kening Sudana
jadi berkerut. Sudana melirik pemuda berbaju kulit harimau
itu. Tapi, pemuda itu sudah kembali
memejamkan matanya, seperti tidak peduli
dengan sekelilingnya. Dan mereka terus berjalan semakin jauh meninggalkan sungai
dan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kau seperti ketakutan melihatnya, Ratna
Wulan," kata Sudana lagi, bernada menegur.
Pemuda itu benar-benar heran melihat sikap
Ratna Wulan yang seperti takut waktu melihat
pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan
Ratna Wulan hanya diam saja, dan terus berjalan sedikit cepat. Ayunan langkahnya
baru kembali biasa, setelah melewari tikungan jalan. Dan
mereka kini sudah masuk ke jalan utama Desa
Cendana. Kemudian Ratna Wulan berpaling ke
belakang. "Hhh...!" napasnya terhembus panjang, seakan-akan hendak melonggarkan rongga
dadanya yang tadi terasa begitu padat
"Ada apa, Ratna Wulan...?" tanya Sudana masih penasaran ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa," sahut Ratna Wulan agak mendesah. "Hhh... untung dia tidak
mengikuti lagi."
"Apa dia suka mengikutimu?" tanya Sudana.
"Iya. Dia selalu mengikuti, setiap kali aku pulang dari sungai," sahut Ratna
Wulan. "Mungkin dia kenal denganmu, Ratna
Wulan." "Aku tidak tahu. Bahkan baru melihatnya
bebera-pa hari ini di tempat itu. Dia selalu ada di sana, seperti menungguku
pulang dari sungai.
Sama sekali aku tidak tahu, siapa dia
sebenarnya."
"Hmmm...," Sudana menggumam perlahan.
Pemuda itu menyerahkan keranjang cucian
pada Ratna Wulan yang langsung menerimanya.
"Kau pulanglah dulu, Ratna Wulan. Dia
mengikuti...," bisik Sudana.
"Ohhh..."!" Ratna Wulan tampak terkejut
"Pulanglah. Biar kucegat dia."
'Tapi hari-hati. Aku khawatir dia orang
jahat" Sudana tersenyum seraya menepuk pundak
gadis itu. Setelah disuruh lagi, Ratna Wulan baru bergegas melangkah setengah
berlari. Sebentar
Sudana memandangi gadis yang kini sudah
berlari-lari kecil menuju ke rumah Ki Langes. Dan setelah Ratna Wulan cukup
jauh, tiba-tiba saja
pemuda itu melesat cepat bagai kilat.
"Huppp...!"
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekali
lesatan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
Tepat pada saat itu, pemuda berbaju kulit
harimau yang tadi ditemui sedang tertidur di
pinggir jalan ke sungai, muncul dari tikungan
jalan. Dan pemuda itu tampaknya berjalan cepat
seperti tergesa-gesa. Namun tiba-tiba saja....
"Berhenti...!"
Wusssl Jlegkh! "Ohhh..."!"
*** Pemuda berbaju kulit harimau itu jadi
terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba dari atas sebuah pohon di depannya
melesat sebuah bayangan. Dan tahu-tahu, di depannya sudah
berdiri seorang laki-laki yang mungkin sebaya
dengannya. Lebih terkejut lagi, karena laki-laki muda berbaju putih itulah yang
tadi dilihatnya
berjalan bersama seorang gadis. Dan memang, dia
adalah Sudana. "Mau apa kau membuntuti..."!" Sudana
langsung menegur tegas.
"Maaf, aku tidak mengerti maksudmu...,"
ujar pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kau jangan berpura-pura, Ki sanak!" agak membentak nada suara Sudana.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau itu jadi menggumam, mendapat bentakan
agak kasar barusan. Tatapan matanya begitu tajam,
memperhatikan Sudana dari ujung rambut hingga
ke ujung kaki. Seakan-akan dia tengah mengukur
kejantanan pemuda yang sebaya dengannya ini.
Perlahan tangannya terangkat, dan mengambil
monyet kecil yang nangkring di pundaknya.
Dengan tubuh membungkuk, monyet kecil itu
diletakkan di tanah.
"Menyingkir dulu, Tiren," ujar pemuda itu sambil menepuk-nepuk kepala monyet
kecil berbulu hitam ini.
"Nguk!"
Seperti mengerti saja, monyet kecil itu
langsung berlari-lari mendekati sebuah pohon.
Laiu dengan gerakan lincah sekali binatang itu
memanjat pohon, dan duduk nangkring pada
salah satu dahan yang cukup besar dan kuat. Dia duduk tenang di sana,
memperhatikan dua
pemuda yang kini berdiri sating berhadapan,
berjarak sekitar satu setengah tombak. Mereka
saling berpandangan dengan tajam, seakan-akan
tengah saling menyelidik.
"Kau tampaknya bukan penduduk desa
ini...," desis Sudana terasa begitu dingin nada suaranya.
"Memang benar," sahut pemuda itu datar.
"Dan kau sendiri juga bukan penduduk desa ini."
"Kedatanganku ke sini karena diminta untuk melindungi seluruh penduduk desa ini.
Dan sikapmu telah membuatku curiga, Kisanak.
Kenapa kau mengikuti Ratna Wulan terus...?"
tegas sekali nada suara Sudana.
"Kau tidak akan percaya bila kujelaskan.
Tampaknya, kau telah tertarik oleh
kecantikannya. Sayang sekali..., kau akan
bernasib sama dengan yang lain. Tapi, itu
terserah kau sendiri. Kau telah memilih jalan
mempercepat kematianmu," tegas pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Jangan bicara sembarangan, Kisanak! Apa
maksudmu berkata begita..?" sentak Sudana, langsung memerah wajahnya.
"Hmmm...," pemuda itu menggumam
perlahan dengan kelopak mata agak menyipit
Dia terus memperhatikan bagian leher dekat
dagu Sudana. Ada semacam tanda di leher dekat
dagu itu. Sebuah tanda yang sudah amat dikenali semua orang di daerah kulon ini.
Terutama sekali, di wilayah Kadipaten Patarukan ini. Tanda itu merupakan lambang dari
seorang pemandu
jalan di Hutan Bukit Merak. Dan memang, semua
pemandu di Hutan Bukit Merak memiliki tanda
seperti itu pada bagian leher dekat dagu.
"Kenapa kau memandangiku begitu,
Kisanak...?" tegur Sudana jadi jengah.
"Kau seorang pemandu di Hutan Bukit
Merak...?" pemuda berbaju kulit harimau itu seperti ingin meyakinkan dugaannya.
"Benar!" sahut Sudana jadi berkerut
keningnya. "Kau berada di sini tentu karena salah satu temanmu tewas di sini. Kau pasti
ingin mencari pembunuhnya," agak menggumam nada suara
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hmmm.... Siapa kau sebenarnya, Kisanak?"
tanya Sudana dengan kening berkerut.
"Aku Bayu. Maksudku berada di desa ini
juga sama denganmu," sahut pemuda berbaju
kulit harimau itu.
Kening Sudana semakin dalam berkerut.
Kembali dipandanginya pemuda berbaju kulit
harimau yang berdiri di depannya ini. Sama sekali dia tak tahu, siapa pemuda
yang mengaku bernama Bayu. Sudana memang tidak
mengenalnya. Dan baru melihatnya hari ini. Tapi melihat pakaian yang dikenakan
pemuda itu, dan
setelah tahu namanya, Sudana seperti teringat
sesuatu. Nama itu seperti pernah didengarnya.
Nama seorang pendekar muda yang tangguh dan
digdaya. Pendekar yang sangat disegani orang-
orang persilatan di semua golongan.
"Aku memang belum pemah melihatmu
selain hari ini, Kisanak. Tapi kau seperti...,
Pendekar Pulau Neraka," terdengar ragu-ragu nada suara Sudana.
Pemuda berbaju kulit harimau yang tadi
mengaku bemama Bayu itu jadi tersenyum. Dia
memang Bayu, yang lebih dikenal berjuluk
Pendekar Pulau Neraka. Tidak lagi terlihat
kekakuan di wajahnya. Dan sinar matanya pun
tidak lagi bersorot tajam. Perlahan-lahan Bayu
melangkah mendekat dan berhenti setelah
berjarak sekitar lima langkah lagi di depan
Sudana. "Kau benar. Aku memang Pendekar Pulau
Neraka. Tapi aku lebih senang bila kau
memanggilku Bayu," kata Bayu terus tersenyum.
"Tapi, kenapa kau terus mengikuti Ratna
Wulan?" tanya Sudana masih penasaran ingin tahu. "Sulit mengatakannya. Bahkan
bisa menimbulkan kesalahpahaman. Sedangkan aku
belum memiliki bukti yang cukup. Masih terlalu
banyak yang tersembunyi, dan belum bisa
terungkap banyak dari yang tersembunyi itu,"
sahut Bayu. "Aku tidak mengerti maksudmu...," ujar Sudana kebingungan.
"Kelak kau akan mengerti," kata Bayu
kembali tersenyum.
Setelah berkata demikian, Bayu segera
memutar tubuhnya berbalik. Lalu, tangan kirinya diangkat ke arah monyet kecil
berbulu hitam yang nangkring di atas pohon. Monyet kecil yang
bemama Tiren itu berjingkrak sambil mencerecet
ribut. Kemudian binatang itu merayap turun.
Gerakannya cepat dan ringan sekali. Lalu
binatang itu berlari-lari menghampiri Pendekar
Pulau Neraka. Bayu mengulurkan tangannya, dan
menaruh monyet itu di pundaknya lagi.
Pendekar Pulau Neraka terus saja
melangkah menuju tikungan jalan yang kembali
menuju sungai. Sedangkan Sudana hanya berdiri
saja mematung, memandangi Pendekar Pulau
Neraka. Dia ingin mencegah, karena masih belum
mengerti terhadap semua yang dilakukan dan
dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Tapi entah
kenapa, lidahnya jadi terasa kelu. Dan dia hanya bisa berdiri mematung
memandang, sampai
tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlihat lagi, setelah berbelok di tikungan jalan yang menuju ke sungai.
*** Sudana masih belum juga bisa memejamkan
matanya. Entah sudah berapa kali tubuhnya
menggelimpang gelisah di atas pembaringan. Dia
menempati satu kamar di rumah Ki Langes,
Kepala Desa Cendana ini. Sementara malam
sudah begitu larut. Desa Cendana terasa begitu
sunyi, bila malam sudah jatuh menyelimutinya.
Tak terdengar suara apa pun, selain desiran
angin yang menggesek dedaunan dan jerit
binatang-binatang malam.
"Hhh...!"
Sudana menggelimpang, lalu merayap turun
dari pembaringan. Kakinya melangkah mendekati
jendela, lalu membukanya lebar-lebar. Angin
malam yang dingin langsung menerobos masuk
menerpa kulit wajahnya. Malam ini begitu pekat
Langit tampak menghitam kelam tersaput awan
yang begitu tebal menggumpal. Sedikit pun tak
terlihat cahaya bintang. Bahkan bulan lebih suka bersembunyi di balik awan.
"Heh..."! Apa itu...?"
Sudana terperanjat, begitu tiba-tiba matanya
menangkap sebuah bayangan berkelebat di dalam
kegelapan. Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda yang dikenal sebagai pemandu
jalan di Hutan Bukit Merak itu langsung melompat cepat bagai
kilat menerobos jendela.
"Huppp...!"
Begitu cepatnya Sudana melompat,
menandakan ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai tingkatan cukup tinggi. Sudana kembali melentingkan tubuhnya, begitu
kakinya menjejak
tanah. Tatapan matanya begitu tajam menusuk,
mengamati sosok tubuh merah yang berkelebat
cepat dari satu atap rumah ke atap rumah
lainnya. "Huppp...!"
Bagaikan seekor burung, Sudana melesat
naik ke atas atap rumah. Lalu, kembali dia
melenting indah ke atap rumah lain untuk
mengejar bayangan merah yang terus berkelebat
cepat. "Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Sudana
mengempos seluruh kekuatan ilmu meringankan
tubuhnya. Sehingga, pemuda itu melesat tinggi ke udara. Lalu, dia meluncur deras
bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepat
lesatan Sudana, sehingga bisa melewati sosok
bayangan merah itu. Lalu, manis sekali kakinya
mendarat di tanah.
"Berhenti...!"
"Ufs..."!"
Sudana jadi terbeliak, begitu tiba-tiba sosok
tubuh berbaju serba merah itu langsung
mengebutkan cepat tangannya. Dan dari balik
lengan bajunya yang longgar, tiba-tiba saja
melesat beberapa buah benda kecil seperti jarum berwarna merah menyala bagai
titik api. "Uts...! Hup!"
Sudana cepat-cepat melentingkan tubuh ke
udara, dan berjumpalitan beberapa kali untuk
menghindari benda-benda kecil seperti jarum
yang berwarna merah itu. Pemuda itu semakin
terkejut setengah mati, begitu merasakan kalau jarum-jarum kecil berwarna merah
itu menyebarkan hawa yang sangat panas
menyengat. "Huppp...!"
Cepat-cepat Sudana melentingkan tubuh ke
udara kembali, begitu menjejak tanah. Itu
dilakukan tepat pada saat sosok tubuh berbaju
merah itu melontarkan benda-benda kecil
berwarna merah itu dari balik lipatan lengan
bajunya yang Iebar dan sangat longgar.
"Edan...! Bisa habis napasku kalau begini
terus," dengus Sudana dalam hati.
Tapi memang sulit bagi Sudana untuk
keluar dari serangan senjata rahasia itu. Bahkan hampir sama sekali tidak punya
kesempatan untuk menjejakkan kakinya di tanah. Hingga
akhirnya Sudana segera menjambret beberapa
lembar daun, ketika untuk yang entah keberapa
kali terpaksa berjumpalitan di udara.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet! Bet! Wusss...! *** 3 Sambil berputaran di udara, Sudana
melemparkan daun-daun yang tadi berhasil
dijambretnya dari atas pohon. Kini daun-daun
yang lemas itu telah berubah jadi senjata yang
begitu dahsyat dan mematikan. Serangan balik
yang dilancarkan Sudana membuat orang berbaju
serba merah itu harus terpaksa berjumpalitan
menghindarinya. Lawan Sudana benar-benar
kelabakan menghadapi daun-daun yang jadi
mene-gang kaku seperti mata-mata tombak yang
mengincar tubuh bagai hujan.
"Keparat..!" dia menggeram marah, begitu daun-daun yang dilemparkan Sudana sudah
tidak lagi menghujaninya.
Sedangkan kini Sudana sudah bisa berdiri
tegak di atas kedua kakinya yang begitu kokoh.
Sementara orang berbaju serba merah itu pun
sudah mendarat dengan gerakan manis sekali.
Begitu ringannya, sehingga sedikit pun tak ada
suara yang terdengar saat kakinya menjejak
tanah. Dia berdiri tegak sekitar satu tombak di depan Sudana.
"Siapa kau..."!" tanya Sudana, agak
membentak suaranya.
Tapi orang berbaju merah itu tidak
menjawab. Sedangkan Sudana
sedikit menyipitkan kelopak matanya, mencoba
memperhatikan sosok tubuh berbaju merah itu
agar lebih jelas lagi. Tapi, sangat sulit untuk bisa mengenali wajahnya.
Rambutnya yang panjang
dan hitam, hampir menutupi seluruh wajahnya.
Dan sepertinya memang disengaja, agar wajahnya
tidak terlihat. Tapi dari bentuk tubuhnya dan
kulit tangan yang terlihat putih, sudah bisa
dipastikan kalau dia seorang wanita yang tidak
ingin dikenali wajahnya.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba saja sosok tubuh berbaju merah
itu bertepuk tangan tiga kali. Dan begitu
tepukannya berhenti terdengar, dari balik
pepohonan berkelebat tubuh-tubuh ramping
berbaju serba merah. Maka dalam waktu sebentar
saja, Sudana sudah dikepung lima orang gadis
berwajah cantik yang semuanya mengenakan
baju ketat berwarna merah.
"Ringkus dia! Jangan sampai terluka...!"
seru wanita yang wajahnya tidak kelihatan itu
memberi perintah. Suaranya terdengar lantang
menggelegar. Wuk! Bet! Lima orang gadis berbaju serba merah itu
langsung mengeluarkan tambang-tambang yang
cukup panjang dari balik lipatan baju. Serentak mereka segera bergerak memutari
Sudana sambil mengebut-ngebutkan tambang, yang bagian
ujungnya berbentuk bulat seperti terbuat dari
besi baja sebesar kepalan tangan.
Sudana segera bersiap sambil
memperhatikan gerak kelima gadis yang
memutari tubuhnya, sambil mempermainkan
tambang. Gerakan mereka begitu lincah, dan
semakin lama semakin bertambah cepat saja.
Hingga akhimya, bentuk tubuh mereka meng-
hilang. Sehingga yang terlihat hanya bayang-
bayangan merah yang berkelebat cepat memutari
pemuda pemandu jalan Hujan Bukit Merak itu.
Set! Wusss...! "Hup...!"
Sudana langsung melenting ke udara, begitu
tiba-tiba lima buah ujung tambang yang
berbandul besi baja sebesar kepalan tangan itu
meluruk deras ke arahnya dari lima jurusan. Dan pada saat yang bersamaan, kelima
gadis berbaju merah itu juga berlompatan cepat di sekitar
tubuh Sudana. Manis sekali mereka menyambut setiap
ujung tambang yang berbandul bola besi putih
itu. Lalu tiba-tiba saja, mereka menarik kuat-kuat Sedangkan saat itu kedudukan
Sudana berada tepat di tengah-tengah. Tentu saja hal ini
membuatnya jadi terkejut setengah mati.
"Gila...! Hup...!"
Buru-buru Sudana melenting ke udara, dan
melakukan beberapa kali putaran yang begitu
manis. Tapi tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja wanita berbaju merah yang
wajahnya tertutup rambut itu melompat tinggi ke udara.
Langsung dilewatinya atas kepala pemuda
tampan yang mengenakan baju putih itu.
"Hiyaaat..!"
"Heh..."!"
Sudana jadi terkejut setengah mat Buru-
buru kepalanya dirundukkan, menghindari satu
pukulan keras menggeledek yang dilepaskan
wanita berbaju serba merah itu ke arah
kepalanya. Namun pada saat yang bersamaan,
lima gadis yang memegang tambang sudah
kembali beriompaian sating bersilangan. Dan
dengan gerakan begitu cepat, ujung-ujung
tambang mereka dilepaskan. Lalu mereka saling
menyambut ujung-ujung tambang itu.
Rrrt...! "Ufs...!"
Sudana benar-benar tidak bisa lagi berbuat
banyak. Tambang-tambang itu langsung saja
membelit kuat tubuhnya. Maka tidak pelak lagi,
pemuda itu langsung jatuh terguling di tanah.
Pada saat yang bersamaan, lima orang gadis
berbaju merah itu menggerakkan ujung-ujung
tambangnya. Sehingga, tambang itu semakin
banyak membelit tubuh Sudana yang
bergelimpangan, mencoba melepaskan did.
Tapi semakin banyak Sudana bergerak,
semakin kuat pula lilitan tambang itu di seluruh tubuhnya. Bahkan gadis-gadis
berbaju merah itu
cepat sekali memainkan tambangnya, sehingga
tubuh Sudana benar-benar terbelit dari leher
sampai ke ujung kaki. Akibatnya, pemuda itu
tidak berdaya lagi untuk bisa melepaskan diri.
Meskipun sudah berusaha memberontak, tapi
tidak mudah baginya melepaskan belitan
tambang yang begitu kuat ini.
"Bawa dia...!" perintah wanita berbaju merah yang wajahnya tertutup rambut
panjang yang meriap lebat itu.
"Baik, Nini Ayu...," sahut kelima orang gadis itu serempak.
Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis-
gadis cantik berbaju serba merah itu langsung
berlarian cepat sambil menyeret tubuh Sudana
yang sudah tidak berdaya lagi terbelit tambang.
Pemuda itu hanya bisa menggeliat dan berteriak-
teriak begitu tubuhnya terseret cepat, seperti
ditarik lima ekor kuda yang berlari begitu
kencang. Sementara wanita berambut panjang itu
masih berdiri tegak memandangi. Dari sela-sela
rambutnya yang meriap panjang tampak
sebentuk bibir merah yang menyunggingkan
senyum penuh arti. Tak berapa lama kemudian,
wanita itu melesat cepat bagai kilat. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja
sudah lenyap tertelan pekatnya malam yang
begitu gelap. Sementara itu dari tempat yang cukup
tersembunyi, terlihat sepasang mata bersinar
bagai bintang, terus memperhatikan jalannya
kejadian tadi. Dan pemilik mata itu baru keluar dari tempat persembunyiannya,
setelah tidak terlihat lagi seorang pun di tempat itu.
"Hmmm...," dia menggumam perlahan.
Kemudian, cepat sekali dia melesat pergi ke
arah lima orang gadis cantik berbaju merah yang menyeret Sudana tadi. Gerakannya
begitu cepat luar biasa, sehingga bagaikan melayang saja di
atas tanah. Begitu cepatnya, hingga seluruh
tubuhnya lenyap. Yang terlihat kini hanya
bayangan yang berkelebatan di antara gelapnya
malam dan pepohonan.
*** Sementara malam masih terus merayap
semakin larut Jauh di luar Desa Cendana,
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tepatnya di sebuah hutan yang sangat lebat,
terlihat lima orang berpakaian merah tengah
berlari-lari menyelinap dari satu pohon ke pohon lain yang merapat lebat. Mereka
berlarian sambil menyeret sesosok tubuh yang tampaknya sudah
tidak sadarkan diri lagi.
Pakaian sosok tubuh yang diseret itu sudah
tercabik. Darah juga berceceran dari seluruh kulit tubuhnya. Tapi kelima gadis
cantik berbaju merah itu seperti tidak peduli. Mereka terus
berlarian sambil menyeret tubuh yang sudah
tidak bisa berkutik lagi. Sosok tubuh yang
terseret itu hanya mengikuti saja, ke mana gadis-gadis berbaju merah ini
membawanya. Dan me-
reka baru berhenti setelah sampai di depan
sebuah gua yang cukup besar.
Kelima gadis berwajah cantik yang
semuanya mengenakan baju warna merah itu
berlutut di depan mulut gua yang berukuran
cukup besar ini. Memang, tak terlihat apa-apa di dalam gua yang begitu gelap.
Terlebih lagi, malam ini memang begitu gelap. Langit tersaput awan
tebal, sehingga sedikit pun tak terlihat cahaya bintang maupun bulan di atas
sana. "Kami datang, Kanjeng Nyai Ratu...," ucap kelima gadis berbaju merah itu
bersamaan. "Masuklah kalian...!" terdengar suara sahutan menggema dari dalam gua.
"Baik, Kanjeng Nyai Ratu."
Kelima gadis cantik berbaju merah itu segera
melangkah masuk ke dalam gua sambil tetap
menyeret pemuda yang sudah tidak bisa bergerak
lagi. Mereka terus melangkah semakin jauh,
masuk ke dalam gua yang sangat gelap ini. Dan
begitu berada di dalam, tiba-tiba saja gua itu jadi terang-benderang, hingga
seluruh sudutnya
terlihat jelas.
Ternyata, gua ini merupakan sebuah
ruangan yang berukuran sangat besar. Ada enam
buah pintu di dinding yang mengelilingjnya. Dan semua pintu dalam keadaan
tertutup rapat Juga
pada salah satu sisinya, terdapat sebuah kursi
terbuat dari batu yang dipahat berbentuk dua
ekor singa berukuran sangat besar. Kelima gadis berbaju merah itu kemudian
berlutut di depan
kursi batu berbentuk singa itu. Brusss...!
Tiba-tiba saja, di sekitar kursi yang sangat
besar dan terbuat dari batu itu mengepul asap
tebal berwarna merah. Begitu tebalnya, sehingga seluruh kursi batu itu jadi
tidak terlihat. Tapi, asap tebal berwarna merah itu hanya sebentar
saja muncul, sedikit pun tak terasa ada
hembusan angin di dalam ruangan gua itu.
Saat asap merah itu benar-benar hilang,
tahu-tahu di kursi itu sudah duduk seseorang
yang mengenakan baju jubah warna merah
menyala. Di tangan kanannya tampak tergenggam
sebuah tongkat yang bagjan ujung atasnya
berbentuk kepala seekor singa yang terbuka Iebar mulutnya. Tongkat itu
seluruhnya berwarna putih
keperakan. Terlalu sulit melihat wajahnya, karena tertutup rambut berwarna merah
panjang yang teriap tak teratur.
"Ada yang kalian bawa untukku...?" tanya orang berjubah merah itu, kering nada
suaranya. "Ada, Kanjeng Nyai Ratu," sahut salah seorang gadis yang berlutut paling tengah.
Empat orang gadis lain segera bergerak, dan
menggotong tubuh seorang pemuda yang sudah
tidak bergerak-gerak lagi. Seluruh tubuhnya kotor berdebu bercampur darah.
Pakaiannya sudah
cabik-cabik tak berbentuk lagi. Empat gadis itu kembali ke tempatnya setelah
meletakkan tubuh
pemuda yang ternyata Sudana, tepat di depan
ujung kaki orang berjubah merah yang seluruh
rambutnya juga berwarna merah bagai
berlumuran darah.
"Hmmm...."
Orang berambut merah bagai darah itu
bangkit dari kursinya. Dengan ujung tombaknya,
tubuh pemuda itu dibalikkan hingga telentang.
Dari sela-sela rambutnya yang merah, terlihat
sebentuk bibir yang kering memucat
menyunggingkan senyum tipis. Sebentar
diperhatikannya pemuda yang temyata memang
Sudana. Kemudian pandangannya beralih
merayapi fima gadis cantik berbaju serba merah
yang masih berlutut di lantai gua ini.
"Kalian bertemu muridku?" tanya orang berambut merah itu masih terdengar kering
nada suaranya. "Nini Ayu yang memberikannya pada kami,
Kanjeng Nyai Ratu," sahut gadis yang berada paring tengah.
"Lalu, kenapa dia tidak ikut ke sini?"
"Kami tidak tahu, Kanjeng Nyai Ratu."
"Hmmm..., baiklah. Bawa dia ke tempat
biasa. Bersihkan tubuhnya dari semua kotoran,"
perintah orang berambut serba merah itu.
"Baik, Kanjeng Nyai Ratu," sahut kelima gadis itu serempak.
Tanpa diperintah dua kali, mereka kemudian
bergerak mendekat hendak membawa pemuda
itu. Tapi belum juga tubuh pemuda itu tersentuh, tiba-tiba saja orang berambut
merah yang selalu dipanggil Kanjeng Nyai Ratu itu menekan ujung
tongkatnya ke dada pemuda yang tergeletak tak
sadarkan diri di depannya. Dan kelima gadis itu jadi terdiam memandanginya.
"Kalian cepat keluar. Ada tikus yang coba-
coba masuk ke sini," kata orang berambut merah itu dingin.
Kelima orang gadis cantik itu sating
berpandangan sejenak, kemudian bergegas
berlompatan keluar dari dalam gua ini. Dan gua
ini kembali gelap, begitu lima orang gadis itu
berlompatan keluar dengan gerakan ringan dan
cepat sekali, Sebentar saja mereka sudah berada di depan gua, tepat di saat
seseorang tengah
mengendap-endap hendak mendekati mulut gua
yang mendadak jadi gelap itu.
"Hei...! Siapa kau..."!" bentak salah seorang
gadis. "Ohhh..."!"
Begitu terkejutnya, sampai orang itu
teriompat beberapa tindak ke belakang. Kedua
bola matanya jadi terbeliak Iebar, begitu melihat di depannya tahu-tahu sudah
berdiri lima orang
gadis berwajah cantik yang semuanya
mengenakan baju berwarna merah menyala.
*** "Siapa kau"! Kenapa mengendap-endap
seperti mating..?" tanya salah seorang dari kelima gadis itu. Suaranya begitu
lantang menggelegar.
"Aku tersesat. Maaf, aku tidak tahu kalau gua ini ada penghuninya," sahut laki-
laki muda yang usianya sekttar dua puluh lima tahun itu.
Seorang pemuda yang cukup tampan dan
gagah. Otot-ototnya tampak bersembulan di balik bajunya yang ketat berwarna biru
muda. Dari balik punggungnya menyembul sebuah gagang
pedang berwarna kuning seperti terbuat dari
emas. Rasa terkejutnya kini tidak lagi terlihat di wajahnya. Bahkan kini malah
merayapi wajah-wajah cantik sekitar satu tombak berdiri di
depannya. "Siapa kau..."! Jawab...!" bentak gadis itu lagi. "Namaku Palika," sahut pemuda
itu memperke-nalkan din.
"Mau apa kau ke sini"!" tanya gadis yang lain.
"Aku tersesat. Aku tidak tahu ka...."
"Bohong...! Kau memata-matai kami, ya..."!
Ayo, jawab yang benar!" sentak seorang gadis lainnya lantang.
"Aku tidak memata-matai! Terserah, kalau
tidak percaya!" dengus pemuda yang mengaku bernama Palika jadi sengit
"Lalu, kenapa mengendap-endap?"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya hati-hati
saja supaya tidak tersandung."
"Sudah, jangan banyak omong. Hajar saja!"
dengus salah seorang gadis berbaju merah itu
tidak sabar. Tanpa menunggu persetujuan yang lain,
gadis itu langsung saja melompat sambil
melepaskan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya serangan itu, membuat pemuda
yang tadi mengaku bernama Palika jadi terperangah sesaat.
Namun cepat sekali tubuhnya mengegos
menghindari pukulan yang dilepaskan salah
seorang dari gadis berbaju serba merah itu.
"Huh! Rupanya kau bisa juga bermain-main,
Kisanak! Bagus...! Terimalah ini. Hiyaaat..!"
Kembali gadis itu melepaskan pukulan
bertenaga dalam tinggi, setelah serangan
pertamanya tadi dapat dihindari Palika. Beberapa kali pukulan dilepaskan, tapi
rupanya Palika bukanlah pemuda sembarangan. Dengan
gerakan-gerakan tiibuh yang indah, setiap
serangan yang dilancarkan gadis cantik berbaju
merah ini berhasil dihindarinya.
"Uts...!"
Palika cepat merundukkan kepala, ketika
tiba-tiba saja satu pukulan yang dilepaskan gadis cantik itu menyambar deras ke
arah kepalanya.
Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan
kembali, mendadak saja salah seorang gadis lain sudah melompat sambil memberi
satu tendangan keras menggeledek
"Hiyaaat..!"
"Huppp...!"
Palika terpaksa melompat ke belakang,
sambil melakukan putaran dua kali. Tendangan
gadis berbaju merah itu tidak tepat mengenai
sasaran. Bahkan tendangannya menghantam
sebuah pohon yang cukup besar. Begitu tingginya tenaga dalam yang dimiliki,
sehingga pohon yang besarnya tiga kali lipat dari tubuhnya seketika hancur
berkeping-keping.
"Gila...!" desis Palika jadi terlongong bengong melihat kedahsyatan tendangan
gadis cantik yang kelihatannya lemah ini.
Sukar dibayangkan kalau tendangan itu
sampai mengenai tubuhnya. Dan Palika benar-
benar tidak menyangka kalau gadis-gadis cantik
yang kelihatannya lemah, ternyata memiliki
kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat luar
biasa. Tapi Palika tidak sempat berpikir lebih jauh, karena kelima gadis cantik
berbaju merah itu sudah kembali berlompatan menyerang
dengan gencar dan bergantian.
Palika terpaksa harus berjumpalitan
menghindari serangan-serangan yang datang
begitu gencar. Gadis-gadis ini menyerang dari
lima jurusan secara tepat dan bergantian.
Akibatnya, pemuda yang cukup tampan itu jadi
kalang kabut menghindarinya. Beberapa kali
serangan gadis-gadis cantik itu hampir mengenai tubuhnya. Tapi sampai sejauh
ini, Palika masih
dapat menghindarinya.
"Phuih...! Bisa habis napasku kalau begini tenia..!" dengus Palika dalam hati.
Pemuda itu menyadari, kalau dia tidak
mungkin bisa unggul menghadapi lima orang
gadis cantik yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Dan dia harus
mencari jalan untuk bisa keluar dari pertarungan yang tidak seimbang ini Tapi
itu memang tidak mudah, karena setiap
celah tampaknya sudah tertutup begitu rapat
Sehingga.... "Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja salah seorang dari gadis
cantik berbaju merah itu melompat tinggi ke
udara, lalu cepat sekali menukik bagai seekor
burung elang yang hendak menyambar
mangsanya. Begitu cepatnya gerakan gadis
berbaju merah itu, sehingga membuat Palika jadi terperangah.
"Huppp...!"
Cepat-cepat Palika melompat ke belakang,
menghindari satu serangan yang begitu dahsyat
dari salah seorang gadis berbaju merah ini. Tapi
begitu kakinya menjejak tanah, langsung
disambut satu pukulan keras mengandung
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Dan kali
ini, Palika benar-benar tidak dapat lagi
menghindari. Begkh!
"Akh...!" Palika menjerit keras agak tertahan.
Pukulan yang datang begitu cepat itu
langsung menghantam punggungnya. Akibatnya,
pemuda itu jadi terhuyung-huyung ke depan. Dan
sebelum bisa menguasai keseimbangan
tubuhnya, tiba- tiba saja salah seorang gadis
cantik lainnya sudah melepaskan satu tendangan
keras menggeledek ke arah dada. Begitu cepatnya tendangan itu, membuat Palika
tidak sempat lagi menghindar. Dan...
"Hiyaaat...!"
Desss! "Aaakh...!" lagi-lagi Palika menjerit keras meleng-king tinggi.
Tendangan dari gadis muda berbaju merah
itu tepat menghantam dada Palika. Dan ini
membuatnya langsung terpental ke belakang
sambil menjerit panjang begitu menyayat. Begitu kerasnya tendangan gadis berbaju
serba merah itu, sehingga sebuah pohon yang terlanda
punggung Palika seketika itu juga hancur
berkeping-keping.
"Mampus kau sekarang! Hiyaaat...!"
Salah seorang gadis berbaju merah itu tiba-
tiba saja melompat mengejar Palika yang sudah
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergeletak bersama reruntuhan pohon yang
terlanda tubuhnya tadi. Saat itu, Palika benar-
benar tidak punya kekuatan lagi. Dan dia hanya
bisa terpejam, begitu melihat salah seorang gadis yang mengeroyoknya sudah
melompat sambil
mencabut pedang yang tersampir di punggung.
Sret! Wuk" Cepat sekali gadis itu mengebutkan pedang
berukuran cukup panjang itu ke arah leher
Palika. Namun tinggal sedikit lagi mata pedang
yang berkilat itu menebas leher pemuda ini, tiba-tiba saja secercah cahaya
keperakan berkelebat
cepat menyampok arus tebasan pedang itu.
Trang! "Hehhh..."!"
Gadis berbaju serba merah itu jadi tersentak
kaget setengah mati. Buru-buru dia melompat ke
belakang, dan melakukan beberapa kali putaran
sebelum kakinya menjejak tanah. Empat orang
gadis lainnya juga terperanjat. Mereka semua
melihat begitu jelas kalau pedang temannya tadi hampir terpental, tersambar
sebuah benda berwarna perak berkilat yang berkelebat cepat
tadi. *** 4 Lima orang gadis cantik berbaju merah itu
berdiri berjajar sambil saling melemparkan
pandang. Mereka kemudian mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Suasana yang begitu
gelap, membuat mata mereka tidak bisa
memandang jauh. Sekitamya tampak begitu
sunyi, tak terlihat seorang pun selain mereka
beriima serta Palika yang masih tergeletak di
tanah. Bukan hanya kelima gadis cantik itu yang
terkejut, tapi Palika juga jadi keheranan. Temyata dia masih hidup sampai
sekarang ini. Padahal,
jelas sekali tadi kalau salah seorang gadis berbaju merah itu sudah mengebutkan
pedang ke lehernya Saat itu, Palika memang memejamkan
mata. Harinya sudah pasrah jika memang harus
mati di tengah hutan yang gelap itu. Tapi entah kenapa, dinginnya pedang pada
lehemya tidak terasakan. Bahkan kelima gadis itu tampak se-
perti kebingungan.
"Siapa kau"! Keluar...! Jangan seperti tikus main sembunyi!" seru salah seorang
gadis berbaju merah itu.
Suaranya begitu keras dan lantang
menggelegar. Tapi, sedikit pun tak ada jawaban
yang terdengar. Dan kelima gadis itu kembali
saling melemparkan pandangan. Namun tiba-tiba
saja.... Wusss...! "Heh..."!"
Lima orang gadis cantik berbaju merah itu
jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja
berhembus angin yang begitu kencang. Lalu
sebelum keterkejutan itu lenyap, tahu-tahu di
depan mereka sudah berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Otot-ototnya tampak
bersembulan dari balik bajunya yang terbuat dari kulit harimau. Seekor monyet
kecil berbulu hitam bertengger di pundak sebelah kanan. Pemuda itu
berdiri tepat di samping Palika yang masih
tergeletak tak berdaya di tanah.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya pemuda
berbaju kulit harimau itu sambil berpaling
menatap Palika.
"Aku merasa seluruh tulangku remuk,"
sahut Palika terbata-bata.
Jelas sekali kalau napasnya tersendat
Sedangkan darah masih saja mengucur dari
sudut bibimya, meskipun sudah beberapa kali
diseka dengan punggung tangan. Bahkan dari
lubang hidung pun, terlihat darah kental
mengalir. Palika mencoba bergerak untuk
bangkit, tapi jadi meringis sambil memegangi
dadanya yang terasa begitu nyeri. Pemuda itu
benar-benar tidak mampu lagi menggerakkan
tubuhnya. 'Tampaknya lukamu cukup parah juga.
Hmmm.... Kau harus segera dibawa ke tabib,"
ujara pemuda berbaju kulit harimau itu setengah
menggumam nada suaranya.
'Terima kasih," ucap Palika. "Biarkan saja.
Rasanya aku akan mati saja."
"Hei...! Apa yang kalian bicarakan, heh..."!"
tiba-tiba saja seorang dari kelima gadis cantik berbaju merah itu membentak
keras menggelegar.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam perlahan sambil menatap
tajam gadis cantik berbaju merah yang membentaknya
tadi dengan suara begitu keras menggelegar.
"Kisanak! Kenapa kau menolong tikus
keparat itu...?" tanya seorang gadis berbaju merah lainnya.
"Kalian gadis-gadis cantik, kenapa begitu
kasar dan main keroyok...?" pemuda berbaju kulit harimau itu malah balik
bertanya dengan suara
terdengar dingin.
"Apa pedulimu, heh..."!"
"Aku tidak bisa membiarkan kekejaman
berlangsung di depan mataku. Kalian gadis-gadis cantik, tapi tindakan kalian
begitu kejam seperti iblis. Apa kalian tidak merasa puas sudah
mendapat satu orang..." Berapa banyak laki-laki yang ingin kalian sakiti"!"
semakin dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Keparat..! Kau telah menghina kami,
Kisanak. Kau harus mampus!" geram salah
seorang gadis cantik itu langsung memerah
wajahnya. Sedangkan yang empat orang juga jadi
terdiam dengan geraham bergeletuk menahan
marah. Kata-kata pemuda berbaju kulit harimau
itu benar-benar menyakitkan. Dan kelima gadis
cantik berbaju merah itu benar-benar terbangkit amarahnya.
"Mampus kau, Keparat! Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja salah seorang dari kelima
gadis berbaju merah itu melompat cepat bagai
kilat sambil mencabut pedangnya yang tersampir
di punggung. Secepat itu pula, pedangnya
dikibaskan ke arah dada pemuda berbaju kulit
harimau itu. Bet! "Hap!"
Hanya sedikit saja mengegoskan tubuh,
pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil
menghindari tebasan pedang gadis berbaju merah
ini. Tapi belum sempat tubuhnya ditarik tegak
kembali, satu orang gadis lainnya yang juga
sama-sama memakai baju merah sudah
menyerang dari arah lain dengan cepat sekali.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Secepat kilat pula, pemuda berbaju kulit
harimau itu melesat sambil menyambar tubuh
Palika. Begitu cepat gerakannya, sehingga lima
orang gadis berbaju merah itu jadi terperangah
dibuatnya. Mereka belum lagi sempat berbuat
lebih banyak, tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sudah lenyap tak terlihat
lagi bayangan tubuhnya. Lenyap bagai ditelan bumi.
"Setan...! Cepat sekali dia kabur," dengus
salah seorang gadis berbaju merah itu.
"Sudah, biarkan saja. Sebaiknya kita
kembali saja ke dalam," kata seorang lag).
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas
kembali masuk ke dalam gua yang bermulut
cukup besar itu. Sementara, kegelapan masih
menyelimuti sekitar hutan yang cukup lebat ini.
Sebentar saja, tak seorang pun terlihat lagi. Yang ada hanyalah kegelapan malam
menyelimuti belahan bumi ini
*** Malam terus merayap semakin larut. Tidak
jauh dari tempat pertarungan tadi berlangsung,
terlihat pemuda berbaju kulit harimau yang
berhasil lolos dari pertarungan melawan gadis-
gadis cantik berbaju merah, sudah berhenti
berlari. Diturunkannya tubuh Palika dari
pondongannya. "Bagaimana keadaanmu?" tanya pemuda
berbaju kulit harimau itu, setelah membaringkan Palika di atas rerumputan yang
cukup tebal dan
agak basah oleh embun.
"Semakin parah," sahut Palika lirih.
Pemuda berbaju kulit harimau itu meraba
bagian dada Palika. Keningnya jadi berkerut
Sedangkan jalan napas Palika semakin perlahan
saja. Dan kini seluruh wajahnya sudah memucat
bagai tak teraliri darah lagi. Sinar matanya pun semakin kelihatan redup.
Dipandanginya pemuda
tampan berbaju kulit harimau yang telah
membawanya pergi dari gadis-gadis berbaju me-
rah. "Rasanya aku tidak akan bertahan lagi...,"
ujar Palika semakin perlahan suaranya. "Boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak?"
"Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau itu. "Ugkh...!" Palika terbatuk. Dari
mulutnya menyemburkan darah kental agak kehitaman.
Kembali dipandanginya wajah pemuda berbaju
kulit harimau yang mengaku bemama Bayu. Dan
dia memang Bayu, yang dikenal berjuluk Pen-
dekar Pulau Neraka. Seorang pendekar muda
kosen yang sudah terkenal namanya di kalangan
rimba persilatan.
"Kenapa kau berusaha menolongku, Bayu"
Tidakkah kau tahu, akan sia-sia saja
menolongku," kata Palika tetap dengan suara begitu lirih dan perlahan sekali.
"Kau tahu, siapa mereka itu, Bayu...?"
Bayu hanya menggelengkan kepala saja.
"Mereka adalah para abdi setia Ratu Gua
Setan. Kekejaman mereka sudah terkenal. Kau
tahu, Bayu.... Mereka baru saja membawa
seorang laki-laki dari Desa Cendana," kata Palika lagi "Ya, aku tahu itu. Aku
melihat kejadiannya,"
sahut Bayu "Jadi, kau tahu semuanya...?"
"Tidak semuanya. Tapi aku tahu mereka
membawa seorang laki-laki dari Desa Cendana.
Aku juga tahu kalau laki-laki malang itu bukan
penduduk Desa Cendana, melainkan seorang
pemandu jalan di Hutan Bukit Merak. Tapi, aku
tidak tahu apa maksud mereka menculiknya,"
jelas Bayu lagi.
"Mereka orang-orang yang berilmu tinggi dan sa-ngat kejam, Bayu. Sudah lama aku
ingin membasminya. Tapi, mereka terlalu tangguh
buatku...,ugkh" Palika kembali terbatuk disertai semburan darah dari muhitnya.
"Mereka telah menghancurkan padepokan
ku. Mereka melumpuhkan dan menculik banyak teman
seperguruanku. Bahkan banyak yang dibunuh.
Guruku sendiri tewas di tangan Ratu Gua Setan
itu. Aku dendam sekali, Bayu. Tapi mereka
memang terlalu tangguh untukku."
"Hmmm.... Lalu, kenapa mereka ke Desa
Cenda-na?" tanya Bayu jadi ingin tahu.
"Seperti di desa-desa lain, mereka ingin
mencari laki-laki muda. Lalu desa itu akan
dihancurkan setelah tidak didapatkan lagi para
pemuda di sana. Aku tidak ingin Desa Cendana
menjadi korban kekejaman mereka. Karena, aku
berasal dari sana. Aku adalah putra Ki Langes,
Kepala Desa Cendana. Bayu.... Gua itu adalah
tempat tinggal mereka. Sudah lama aku selalu
mengamatinya, tapi belum pernah bertemu
langsung Ratu Gua Setan yang sebenarnya,"
Palika kembali menjelaskan seraya memberi tahu
dirinya yang sebenarnya.
"Hmmm.... Apakah mereka akan membunuh
pemuda-pemuda yang diculik?" tanya Bayu lagi.
Palika tidak menjawab pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka. Dia terus terbatuk-batuk disertai semburan darah kental agak
kehitaman beberapa
kali Lalu, tubuhnya jadi mengejang menggeletar.
Sedangkan kedua bola matanya terbeliak lebar,
dan mulutnya ternganga seperti menahan suatu
rasa sakit yang amat sangat. Dan sebentar
kemudian, seluruh tubuh Palika sudah lemas
kembali, dan tak bergerak-gerak lagi. Pingsan.
Seluruh rongga mulutnya dipenuhi darah kental
agak kehitaman yang menggumpal.
"Hhh..., dia pingsan," desah Bayu seraya menyapu darah di mulut Palika.
Beberapa saat Bayu memandangi tubuh
Pafika yang diam tak sadarkan diri akibat luka
yang sangat parah. Memang sangat parah luka
dalam yang diderita Palika. Sehingga menjadi tak sadarkan diri lagi. Perlahan
Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, lalu
dihembuskannya kuat-kuat. Sesaat dia masih memandangi tubuh Palika
yang terbujur diam tak sadarkan lagi.
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmmm..., Ratu Gua Setan. Mungkinkah
dia...?" gumam Bayu perlahan, bicara pada diri sendiri.
Sebentar pandangannya beredar berkeliling.
Kemudian dia mencoba untuk mengurangi luka
dalam yang diderita Palika dengan menyalurkan
hawa murni. "Aku harus segera membawanya ke tabib.
Tapi dia perlu pertolongan secepatnya terlebih
dahulu," desah Bayu.
Bayu bekerja disertai pengerahan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Sehingga dalam
waktu tidak berapa lama saja, dia sudah bisa
membuat wajah yang pucat itu kembali memerah.
Pendekar Pulau Neraka baru menghentikan
pekerjaannya setelah gerak di dada Palika
kembali teratur. Perlahan dipondongnya pemuda
itu dan dibawanya pergi dari tempat ini. Tapi
mendadak saja dia jadi berhenti tertegun.
"Hhh...! Tidak... dia masih punya orang tua.
Aku harus membawanya pulang lebih dahulu.
Aku harus menceritakan apa yang terjadi sebe-
narnya. Hmmm.... Desa Cendana benar-benar
berada di dalam ambang kehancuran," gumam
Bayu berbicara sendiri.
Bayu tidak jadi membawa Palika ke tabib
yang dikenalnya. Kemudian kepalanya berpaling
ke arah Timur, lalu kakinya terayun melangkah
menuju ke Desa Cendana. Palika masih berada di
dalam pondongan. Sementara tidak jauh di
belakang Pendekar Pulau Neraka, terlihat seekor monyet
kecil yang sejak tadi selalu
memperhatikan. Binatang itu berlari-lari kecil
mengikuti ayunan kaki pemuda berbaju kulit
harimau ini. *** Bayu mengayunkan kakinya perlahan-lahan
memasuki Desa Cendana. Saat itu pagi sudah
datang menjelang. Matahari tampak menyem-
burkan cahayanya yang kemerahan di ufuk
Timur. Begitu lembut cahayanya, tapi kelembutan itu seakan-akan adalah racun
kehancuran bagi
seluruh makhluk yang ada di atas bumi ini.
Belum banyak penduduk yang keluar dari
dalam rumahnya. Karena saat ini memang masih
terlalu pagi. Bayu terus melangkah perlahan-lahan
sambil mengamati rumah-rumah yang berjajar di
sepanjang jalan ini. Hanya beberapa orang saja
yang sudah terlihat berada di luar rumah. Tapi
semua orang yang berada di luar, kelihatannya
begitu lugu dan berusia lanjut. Mereka hanya
memandangi Pendekar Pulau Neraka saja, tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun juga. Padahal
mereka tahu, pemuda berbaju kulit harimau itu
tengah memondong seorang anak muda, putra
kepala desa ini! Sedangkan Bayu terus
mengayunkan kakinya menuju sebuah rumah
yang tampak besar dan berhalaman cukup luas.
Dia tahu, itu rumah Ki Langes. Seorang laki-laki tua yang menjadi Kepala Desa
Cendana ini. Baru
saja Bayu memasuki halaman rumah yang begitu
luas, pintu rumah itu sudah terbuka. Lalu, keluar seorang laki-laki tua berjubah
putih sambil memandang penuh tanda tanya. Dialah Ki
Langes, Kepala Desa Cendana.
Laki-laki tua berjubah putih itu tertegun
sejenak melihat di depan rumahnya berdiri
seorang pemuda tampan mengenakan baju dari
kulit harimau. Dan lebih tertegun lagi, karena
pemuda itu memondong sesosok tubuh laki-laki
muda. Mendadak saja, harinya tersentak, begitu
melihat wajah sosok tubuh yang dipondong itu.
"Palika..."!" sentak Ki Langes bagai tersengat lebah.
Bergegas laki-laki tua itu berlari-lari
menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang baru
saja meletakkan tubuh Palika ke tanah.
Sementara itu, Ki Langes langsung menubruk
tubuh pemuda yang masih belum sadarkan diri
itu. Pekikan Ki Langes yang keras tadi, sempat
mengejutkan beberapa orang yang berada di
dalam rumah itu. Mereka segera berhamburan
keluar, dan jadi terperangah begitu melihat Ki
Langes memeluk seorang pemuda yang diam
seperti mati. Perlahan Ki Langes mengangkat kepala
menatap Bayu yang masih berdiri saja di
depannya, kemudian memondong tubuh putranya
ini sambil bergerak berdiri. Kembali
dipandanginya Pendekar Pulau Neraka.
Sementara empat orang laki-laki bertubuh kekar
yang masing-masing menyandang golok di
pinggang, sudah berdiri berjajar di belakang
kepala desa itu.
"Siapa yang melakukan perbuatan keji ini
pada anakku.. ?" tanya Ki Langes langsung, dengan suara agak tersendat
"Orang-orangnya Ratu Gua Setan," sahut Bayu perlahan.
"Ohhh..."!"
Bukan hanya Ki Langes yang terkejut
mendengar nama yang disebutkan Pendekar
Pulau Neraka barusan. Bahkan empat orang
pembantunya yang berada di belakangnya
langsung tersentak kaget setengah mati. Tentu
saja mereka sudah mendengar nama itu. Sebuah
nama yang bisa membuat orang mati berdiri bila
mendengarnya. Dan mereka juga tahu, Palika
menaruh dendam pada Ratu Gua Setan itu.
Mereka juga tahu, apa yang terjadi pada
padepokan tempat Palika menimba ilmu-ilmu
kedigdayaan. Saat padepokannya dihancurkan Ratu Gua
Setan dan orang-orangnya, Palika memang
sedang ada di desa ini. Jadi hanya dia saja yang bisa selamat. Sedangkan
sebagian besar saudara
seperguruannya, bahkan gurunya sendiri tewas.
Dan tidak sedikit pula murid-murid padepokan
itu yang diculik. Entah, dibawa ke mana. Yang
jelas, sampai sekarang ini tidak ada kabar
beritanya lagi, tentang nasib murid-murid pade-
pokan itu. "Anak Muda, kau siapa...?" tanya Ki Langes setelah menyerahkan putranya kepada
dua orang pembantu yang langsung membawanya ke dalam
rumah untuk dirawat
"Namaku Bayu. Aku hanya seorang
pengembara yang kebetulan saja lewat, dan
melihat putramu dikeroyok mereka," jelas Bayu.
'Terima kasih, kau telah membawa anakku
pulang, Kisanak," ucap Ki Langes tetap terdengar pelan suaranya.
"Maafkan. Aku tidak bisa menyelamat
kannya. Dia mendapat luka dalam yang parah
sekali," ucap Bayu menyesal.
Pada saat itu, dari samping rumah muncul
Ratna Wulan. Gadis itu tampak terkejut begitu
melihat Bayu. Dan untuk beberapa saat, mereka
saling berpandangan. Ratna Wulan buru-buru
kembali menghilang di samping rumah kepala
desa ini, sebelum yang lain bisa mengetahui
kehadirannya. Lalu, Bayu kembali menatap Ki
Langes yang tampak berduka.
"Aku mohon diri, Ki...," pamit Bayu buru-buru.
"Ohhh... iya, iya...," sahut Ki Langes agak tergagap.
Bayu bergegas berbalik dan melangkah
mening-galkan rumah kepala desa itu.
Sementara, Ki Langes masih berdiri mematung
beberapa saat sampai Pendekar Pulau Neraka
jauh meninggalkannya. Tubuhnya kemudian
berbalik dan melangkah masuk ke dalam
rumahnya, diikuti dua orang pembantunya. Ki
Langes langsung menghempaskan tubuhnya
dengan lemas ke kursi Pandangannya begitu
nanar merayapi tubuh Palika yang terbujur tak
sadarkan diri di atas balai-balai bambu yang
berada di sudut ruangan depan rumah ini.
Tak ada seorang pun yang berbicara. Mereka
semua bisa merasakan, apa yang tengah
dirasakan laki-laki tua kepala desa itu. Meskipun sudah tahu apa yang terjadi,
tapi mereka tetap
saja sedih atas keadaan Palika. Dan mereka juga sudah tahu tekad Palika yang
rela mati demi membela nama perguruannya yang hancur oleh
Ratu Gua Setan dan orang-orangnya. Dan
sekarang, dia sendiri terluka oleh gadis-gadis
cantik abdi setia Ratu Gua Setan.
"Ki, apa tidak mungkin semua pembunuhan
yang terjadi di sini juga dilakukan Ratu Gua
Setan...?" ujar Dirat, salah seorang pembantu kepala desa itu
Ki Langes hanya diam saja. Wajahnya
diangkat, dan berpaling menatap laki-laki
bertubuh tegap pembantunya ini. Sedangkan
Dirat jadi terdiam. Dan tiga orang lainnya juga terdiam membisu tanpa bersuara
lagi. "Hhh...! Kalau memang benar, desa ini jelas berada di dalam ambang kehancuran,"
desah Kl Langes terasa begitu berat sekali.
"Kita harus segera bertindak, Ki," selak Racika yang sejak tadi terdiam saja.
"Apa yang bisa kita lakukan, Racika..."
Mereka bukan orang-orang sembarangan. Bahkan
Eyang Wanapati saja tidak mampu
menghadapinya," keluh Ki Langes seperti
berputus asa. "Tapi, Ki. Kita tidak bisa tinggal diam begitu
saja melihat mereka menggerogoti desa ini hingga
hancur tak bersisa lagi. Cepat atau lambat, desa ini akan hancur, Ki," selak
Landong. "Benar, Ki. Kita harus secepatnya bertindak.
Tidak banyak jumlah pemuda di sini, Ki.
Kebanyakan, mereka pergi menuntut ilmu ke
padepokan-padepokan. Itu berarti kehancuran
desa ini akan semakin cepat, kalau mereka tidak lagi mendapat anak-anak muda di
sini," kata Dirat lagi.
"Lalu, apa yang akan kalian lakukan..."
Menan-tang mereka bertarung?"
Tak ada seorang pun yang menjawab
pertanyaan Ki Langes barusan. Memang tidak
mungkin menantang bertarung Ratu Gua Setan.
Menghadapi lima orang gadis-gadis abdinya saja
mereka belum tentu bisa bertahan. Mereka sadar, tidak ada lagi yang bisa
dilakukan selain menunggu dan menyaksikan kehancuran Desa Cen-
dana ini, Dan mereka tahu, hal itu tidak akan la-ma lagi terjadi.
*** 5 Peristiwa yang dialami Palika memang
menjadi awal bencana yang sebenarnya di Desa
Cendana. Dalam tujuh hari ini saja, sudah terjadi lima kali pembunuhan pemuda
desa. Bahkan pemuda-pemuda itu diculik dari rumahnya pada
malam hari, lalu pagi harinya ditemukan sudah
jadi mayat dengan leher terkoyak hampir
buntung. Tapi mereka jadi heran, karena be-
berapa orang yang sempat melihat penculikan
pemuda-pemuda itu mengatakan hanya satu
orang yang melakukan.
Penculik itu ternyata seorang wanita yang
sukar dikenali wajahnya, karena tertutup rambut panjang yang teriap tak teratur.
Namun, rambutnya ternyata tidak berwarna merah seperti yang dikatakan Palika. Itu
berarti bukan Ratu
Gua Setan yang melakukan semua pembunuhan
ini, tapi orang lain yang juga mengenakan baju
merah. Inilah yang membingungkan Ki Langes
dan para pembantunya. Karena, selama ini
mereka menduga kalau Ratu Gua Setan yang
melakukan semua pembunuhan itu.
Seperti malam-malam sebelumnya, Dirat
dan tjga orang temannya selalu meronda keliling Desa Cendana ini. Mereka benar-
benar berharap bisa bertemu manusia terselubung teka-teki yang telah menciptakan neraka di desa
ini Tapi sampai jauh malam, mereka belum juga bisa bertemu
orang itu. Dan memang sudah beberapa malam
ini mereka selalu kecolongan. Mereka tidak
melihat apa-apa, tapi pagi harinya selalu
menemukan sesosok mayat tergeletak di pinggir
jalan. "Rasanya seperti malam malam yang lalu, kita tidak mungkin bisa bertemu
setan aneh itu,"
desah Carika perlahan sambil melipat tangan,
mencoba mengusir rasa dingin.
"Aku merasa...," kata-kata Dirat tiba-tiba terputus.
"Ada apa, Dirat?" tanya Carika.
"Perhatikan rumah itu...," sahut Dirat setengah berbisik, sambil menunjuk sebuah
rumah yang berada tepat di tikungan jalan.
Tepat pada saat itu, sebuah bayangan merah
berkelebat keluar dari rumah, tepat ketika
terdengar jeritan melengking tinggi dari dalam
rumah itu. "Ayo, kita kejar...!" seru Dirat.
"Hiyaaat...!"
Tanpa menunggu yang lain, Dirat langsung
saja melompat cepat mengejar bayangan merah
yang berkelebat cepat keluar dari dalam rumah
itu Carika dan dua orang Iain lagi segera
berlompatan cepat mempergunakan ilmu
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meringankan tubuh, mengikuti Dirat yang sudah
lebih dahulu berlari cepat.
"Hup! Yeaaah...!"
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Dirat,
memang sudah mencapai tingkatan tinggi.
Sehingga hanya beberapa kali lompat saja,
bayangan merah itu berhasil dikejarnya.
"Berhenti...!" seru Dirat membentak.
"Hih...!"
Tiba-tiba saja bayangan merah itu berbalik
cepat begitu berhenti. Dan tanpa diduga sama
sekali, tangan kanannya langsung dikebutkan
dengan kecepatan luar biasa. Seketika itu juga,
dari lipatan lengan baju yang longgar meluncur
beberapa buah benda kecil seperti jarum
berwarna merah.
"Heh..."! Hup...!"
Dirat terkejut bukan main. Cepat-cepat
tubuhnya melenting, berjumpalitan di udara
menghindari benda-benda kecil seperti jarum
yang berwarna merah. Benda-benda yang
merupakan senjata rahasia itu berhamburan
deras di sekitar tubuh Dirat, tapi tak satu pun yang mampir ke tubuhnya. Dan
dengan manis sekali, Dirat menjejakkan kakinya di tanah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Dirat
langsung melompat cepat menyerang. Langsung
diberikannya beberapa pukulan menggeledek,
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Haiiit..!"
Tapi sosok tubuh berbaju merah itu bisa
menghindari setiap serangan yang dilancarkan
Dirat. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu indah
dan manis, hingga tak satu pun pukulan Dirat
Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 3 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Rajawali Emas 6
DEWI ASMARA DARAH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
da lam episode:
Dewi Asmara Darah
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Udara malam ini terasa begitu dingin. Saat
itu angin bertiup kencang. Sedangkan langit
tertutup awan hitam yang tebal menggumpal,
membuat malam semakin bertambah kelam.
Sedikit pun tak ada cahaya bintang maupun
bulan yang mampu menerangi. Bahkan cahaya
api pelita dari rumah-rumah penduduk Desa
Cendana pun seakan-akan tak mampu
mengurangi pekatnya malam ini.
Namun, dinginnya malam ini, tidak
membuat seorang pemuda menghentikan ayunan
kakinya. Dia berjalan perlahan-lahan sambil
melipat kedua tangannya erat-erat di depan dada.
Ayunan kakinya begitu teratur. Sedangkan
kepalanya terus tertunduk, memperhatikan
langkah-Iangkah kakinya sendiri yang perlahan-
lahan. Perlahan kepalanya diangkat, matanya
langsung merayapi sekitarnya yang begitu sunyi, tak seorang pun terlihat berada
di luar. Semua rumah yang berdiri berjajar di kiri
dan kanan jalan tanah berdebu ini, tak ada satu pun yang pintunya terbuka.
Begitu sunyinya,
bahkan suara binatang malam pun tak terdengar.
Sehingga detak jantung pemuda itu terdengar
begitu keras. Dengan keredupan sinar matanya,
terus dipandanginya rumah-rumah yang dilewa-
tinya. Namun, tiba-tiba saja ayunan langkahnya
terhenti. Kelopak matanya jadi menyipit begitu di depannya tahu-tahu sudah
berdiri seseorang
bertubuh ramping, mengenakan baju ketat warna
merah darah. Sehingga, menampakkan bentuk
tubuh yang begitu indah, terbungkus kulit yang
putih dan halus. Wanita itu melangkah
menghampiri, disertai senyuman yang begitu
manis di bibir. Sedangkan pemuda yang
mengenakan baju sangat sederhana itu hanya
diam saja sambil memandang. Seakan-akan dia
tidak percaya kalau di tengah malam yang sunyi
dan begitu dingin ini, masih ada seorang wanita di luar rumah.
"Kau pasti kedinginan...," tegur wanita itu dengan suara begitu lembut.
Sedangkan pemuda yang warna bajunya
sudah pudar itu masih tetap diam memandangi.
Dia masih belum percaya dengan penglihatannya
sendiri. Sungguh sukar dipercaya ada seorang
wanita cantik dengan tubuh begitu menggiurkan,
berada di luar rumah pada malam-malam begini.
"Kenapa kau malam-malam berada di luar"
Apa orang tuamu tidak mencari?" tegur pemuda itu, tidak dipedulikan teguran
wanita itu. "Aku hidup sendiri. Tidak ada orang tua,
juga tidak ada sanak saudara," sahut wanita cantik itu, masih terdengar lembut
suaranya. "Kau penduduk desa ini?" tanya pemuda itu lagi. "Iya," sahut wanita itu seraya
mengangguk dan tersenyum manis. "Kau sendiri...?"
Pemuda itu tidak menjawab. Pandangannya
langsung beredar berkeliling. Masih tetap sepi, tak ada seorang pun terlihat.
Kemudian, kembali ditatapnya wanita cantik yang berdiri dekat di
depannya. "Kalau kau mencari rumah penginapan,
tidak ada di desa ini," kata wanita itu, seakan-akan bisa menebak jalan pikiran
pemuda di depannya. "Aku biasa tidur di alam terbuka," kata pemuda itu perlahan.
"Kau bisa mati kaku kedinginan. Sebentar
lagi pasti turun hujan lebat"
Pemuda itu hanya diam saja. "Sebaiknya
bermalam saja di rumahku. Tidak terlalu bagus, tapi cukup hangat daripada berada
di luar," wanita itu menawarkan jasa.
Kening pemuda itu jadi berkerut mendengar
tawaran yang diucapkan begitu langsung. Tapi
belum juga bisa berpikir lebih jauh lagi, tahu-
tahu wanita itu sudah menarik tangannya.
Pemuda itu segera diajaknya pergi dari jalan ini.
Dia seperti kerbau dicucuk hidungnya, sehingga
hanya mengikuti saja tanpa bicara sedikit pun
juga. Mereka berjalan bergandengan tangan,
seperti sepasang kekasih.
"Ke mana kau akan membawaku?" tanya
pemuda itu. "Ke rumahku."
"Boleh aku tahu namamu, Ni sanak?" tanya pemuda itu lagi.
"Panggil saja Arini," sahut wanita itu menyebutkan namanya.
"Aku Anggara."
Mereka tidak bicara lagi, dan terus berjalan
bergandengan tangan.
*** Anggara memandangi rumah kecil, tapi
nampak begitu indah dan bersih. Sementara,
Arini sudah membuka pintu rumah itu.
Dipersilakannya pemuda itu masuk lebih dulu.
Anggara memberi senyum, kemudian melangkah
masuk ke dalam rumah ini. Sedangkan Arini
mengikuti dari belakang. Ditutupnya pintu itu
kemudian dikunci kembali setelah berada di
dalam. Kening Anggara jadi berkerut, tidak
menyangka kalau keadaan dalam rumah ini
begitu indah. Sepertinya, dia berada di kamar
seorang putri raja, atau putri-putri bangsawan.
Begitu indahnya, hingga tanpa sadar Anggara
berdecak kagum. Sementara, Arini sudah
membaringkan tubuhnya di ranjang yang
berukuran cukup besar, dan berada di tengah-
tengah ruangan ini. Memang, rumah ini tidak
memiliki ruangan Iain lagi. Hanya ada satu
ruangan ini saja.
"Kau tidak mengenalku, kenapa begitu baik
mengajakku bermalam di sini, Arini?" tanya Anggara, polos.
"Karena aku membutuhkan seorang teman
malam ini. Dan kebetulan hanya kau yang
kutemui," sahut Arini kalem.
"Tempatmu indah sekali. Seperti kamar
seorang putri bangsawan," puji Anggara.
Arini hanya tersenyum saja menerima pujian
itu. Tubuhnya kemudian digeliatkan sedikit. Dan seperti disengaja, bagian
belahan baju di dadanya dibiarkan tersibak. Sehingga, menampakkan
pemandangan yang membuat mata Anggara jadi
tidak berkedip mengikutinya.
"Kenapa hanya memandangku saja,
Anggara..." Kemarilah. Jangan sia-siakan malam
yang indah ini," ajak Arini agak mendesah
suaranya. Anggara tidak bisa berkata-kata lagi.
Mendadak saja tenggorokannya jadi terasa begitu kering. Beberapa kali ludahnya
ditelan untuk membasahi batang tenggorokannya. Dan pemuda
itu semakin tidak bisa lagi membuka suara, saat Arini menanggalkan pakaiannya
dengan gerakan lembut dan halus sekali.
Satu persatu Arini melepaskan pakaian yang
melekat di tubuhnya. Hingga, tak ada selembar
pakaian pun yang melekat lagi. Dan ini membuat
Anggara jadi terpaku. Matanya tidak berkedip
menjilati tubuh yang kini sudah polos, terbaring di atas ranjang beralaskan kain
sutera halus berwarna biru muda.
"Kemarilah, Anggara...," desah Arini seraya menatap lembut pemuda itu.
Kembali Anggara terpaksa harus menelan
ludahnya beberapa kali. Entah kenapa, ajakan itu tidak bisa lagi ditolaknya.
Perlahan kakinya
terayun melangkah mendekati pembaringan itu.
Namun, dia hanya berdiri saja di tepi
pembaringan, memandangi tubuh Arini yang
terbaring polos tanpa pakaian lagi.
Pandangan Anggara jadi nanar. Sedangkan
napas-nya memburu cepat tak terkendali. Arini
menggeliat bangkit. Dia berdiri menggunakan
lutut yang terkekuk sebagai tumpuan. Dengan
gerak jari tangan yang lincah dan lembut,
dilepaskannya pakaian pemuda itu satu persatu.
Sedangkan Anggara hanya diam saja, tidak tahu
lagi yang harus dilakukannya.
Seluruh tubuh Anggara jadi bergetar saat
Arini menariknya ke atas pembaringan. Dan
seketika itu juga, aliran darahnya seperti
berhenti, begitu bibir Arini terasa menyentuh
lembut bibirnya. Anggara semakin merasa pening
kepalanya. Dengan tangan bergetar, dirabanya
punggung yang polos dan berkulit putih halus ini.
"Ohhh...," Arini merintih
lirih, dan menggeliat saat merasakan jari-jari tangan
Anggara bermain di dadanya yang membusung
indah. Perlahan Anggara membaringkan wanita itu,
kemudian melumat bibir yang merah
menggairahkan penuh nafsu menggejolak tak
terkendali lagi. Arini mendesah lirih dan
menggeliat merasakan jari-jari tangan Anggara
semakin liar menjelajahi seluruh tubuhnya.
Sementara, malam terus merayap semakin
larut Dan udara pun semakin terasa begitu
dingin. Tapi semua itu tak lagi dirasakan mereka.
Rangsangan yang diberikan Arini, membuat
Anggara tidak bisa lagi mengendalikan
kesadarannya. Perasaannya benar-benar larut,
terombang-ambing gelombang lautan asmara.
Hingga dia tidak tahu lagi, apa yang sedang
terjadi pada dirinya saat ini.
*** "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar
begitu tiba-tiba, memecah kesunyian pagi buta ini Jeritan itu datangnya dari
seorang wanita setengah baya dan bertubuh gemuk. Dia hanya
berdiri kaku dengan mata terbeliak Iebar dan
mulut ternganga, memandangi sesosok tubuh
yang tergolek mati. Leher mayat itu menganga
Iebar hampir buntung!
Jeritan panjang dan melengking tinggi itu,
membangunkan semua penduduk Desa Cendana
yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Hingga
sebentar saja, sudah banyak orang berkumpul di
pinggiran jalan dekat perbatasan sebelah Utara
desa itu. Mereka semua benar-benar terkejut
bercampur ngeri melihat sesosok tubuh tak
bernyawa. Bagian kakinya tampak hampir
terbenam ke dalam parit. Darah menggenang di
sekitar tubuh laki-Iaki berusia muda tanpa
pakaian sama sekali.
Orang-orang desa yang merubung begitu
cepat seperti lalat mencium aroma manis gula
aren, segera bergerak menyingkir saat seorang
laki-laki tua berjubah putih melangkah cepat
mendekati sosok tubuh laki-laki muda yang
tergolek dengan leher hampir buntung itu.
Di belakangnya mengiringi empat orang laki-
laki setengah baya, bertubuh berotot. Mereka
semua menyandang golok yang terselip di
pinggang. Sedangkan laki-laki tua itu membawa
sebatang tongkat kayu yang bentuknya tidak
beraturan. "Hmmm...," orang tua berjubah putih ini menggumam saat sudah berada dekat dengan
mayat anak muda itu.
Pandangannya kemudian beredar
berkeliling, merayapi wajah-wajah di sekitarnya.
Tampak wajah-wajah yang dirayapi memancarkan
kengerian yang amat sangat, melihat mayat tanpa pakaian dengan leher hampir
buntung itu. "Kalian pulang saja. Biar anak malang ini
aku yang urus," ujar orang tua berjubah putih itu, agak lantang suaranya.
Tak ada seorang pun yang menjawab atau
membantah. Satu persatu mereka meninggalkan
tempat itu. Hingga akhirnya, tinggal orang tua
berjubah putih itu saja yang masih tetap ringgal, bersama empat orang laki-laki
bertubuh tinggi
kekar yang mengiringinya. Mereka semua terdiam
memandangi mayat anak muda itu.
"Ini korban yang kelima, Ki Langes...," ujar salah seorang yang mengenakan baju
warna kuning tanpa lengan. Suaranya terdengar begitu
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlahan. "Kau mengenalinya, Racika?" tanya laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Ki
Langes itu tanpa berpaling sedikit pun.
"Kelihatannya bukan penduduk desa ini, Ki,"
sahut Racika masih terdengar pelan suaranya.
"Aku mengenalnya, Ki," selak seorang lagi yang memakai baju warna merah.
Ki Langes dan Racika menatap laki-laki
bertubuh kekar berbaju merah itu. Sedangkan
yang ditatap malah merendahkan tubuhnya, dan
membalik kepala yang sudah hampir buntung itu.
Kemudian kepalanya terangguk-angguk, lalu
kembali berdiri tegak.
"Siapa dia, Dirat?" tanya Ki Langes.
"Dia salah seorang pemandu jalan di Hutan
Bukit Merak," sahut laki-laki tegap berbaju merah yang dipanggil Dirat agak
pelan suaranya.
"Kau yakin, Dirat?" tanya Ki Langes agak terkejut
"Yakin, Ki. Semua pemandu di Hutan Bukit
Merak mempunyai tanda pada bagian leher dekat
dagu. Aku bisa mengenalinya, Ki. Karena, aku
pernah dipandu olehnya ketika menemani Gusti
Adipati berburu di sana," sahut Dirat lagi.
"Oh...! Persoalan ini akan semakin panjang.
Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi kalau para
pemandu mengetahui hal ini," keluh Ki Langes, mendesah.
"Kita harus memberi tahu secepatnya, dan
menceritakan apa yang sedang terjadi di sini, Ki.
Jangan sampai mereka menuduh kita yang
bukan-bukan," kata Dirat lagi.
"Kau yang lebih tahu tentang mereka, Dirat Sebaiknya kau saja yang ke sana.
Ceritakanlah sejelas-jelasnya semua yang terjadi di sini," ujar Ki Langes.
"Baik, Ki," sahut Dirat mengangguk.
"Pergilah sekarang juga, sebelum menjadi
berlarut-larut"
Dirat kembali mengangguk, kemudian
bergegas melangkah pergi. Sementara Ki Langes,
Racika, dan dua orang lagi segera membereskan
mayat pemuda yang dikenali sebagai pemandu di
Hutan Bukit Merak itu. Mereka tahu, orang-orang pemandu di Hutan Bukit Merak
tidak akan menerima begitu saja, jika salah seorang
anggotanya tewas tanpa diketahui penyebabnya.
Dan mereka pasti akan menyelidiki kematian
pemuda ini "Desa kita telah dimasuki pembunuh
berdarah dingin, Ki. Dan aku yakin, pembunuh-
pembunuh seperti ini akan terus berlangsung,"
ujar Racika agak mendesah suaranya.
"Yah...," Ki Langes hanya mendesah saja, menghembuskan napas panjang.
"Sudah saatnya kita menyelidiki semua
pembunuh ini, Ki. Sudah lima orang yang tewas
dengan keadaan sama," kata Racika lagi.
Ki Langes hanya diam saja.
*** Memang dalam beberapa hari ini, Desa
Cendana dihantui pembunuh-pembunuh yang
penuh teka-teki. Sedangkan korbannya hanya
laki-laki yang masih berusia muda. Dan mayat
yang ditemukan pagi itu adalah Anggara, salah
seorang pemandu jalan di Hutan Bukit Merak.
Para penduduk baru tahu kalau mayat itu
bernama Anggara setelah datang dua orang
pemandu yang kemudian membawa mayat
pemuda itu kembali pulang ke Hutan Bukit
Merak. Sedangkan salah seorang dari pemandu
tetap tinggal di Desa Cendana untuk mencari
pembunuh itu. Ki Langes sendiri yang menceritakan
keadaan di desa ini pada pemandu yang
mengenalkan diri bernama Sudana. Sebagai
kepala desa, Ki Langes merasa bertanggung jawab atas kematian Anggara yang penuh
teka-teki itu. "Sebenarnya, Anggara harus ke kota
kadipaten untuk mengunjungi keluarganya di
sana. Sudah tiga hari kepergiannya. Dan
seharusnya sudah melewati desa ini dua hari
yang lalu," kata Sudana memberi tahu
keberadaan Anggara di desa ini.
Jarak antara Desa Cendana dengan Hutan
Bukit Merak memang bisa ditempuh satu hari
perjalanan saja. Itu juga kalau hanya berjalan
kaki. Tapi entah kenapa, baru tiga hari Anggara sampai di desa ini
"Anggara adalah pemandu yang baik. Dan
dia se-Ialu dipakai Gusti Adipati untuk
memandunya setiap kali berburu. Kami benar-
benar merasa kehilangan...," sambung Sudana dengan suara pelan sekali.
"Aku turut menyesal atas kejadian ini,
Sudana," ujar Ki Langes.
Sudana hanya tersenyum tipis. Usia Sudana
dengan Anggara memang tidak terpaut jauh. Dan
Sudana adalah seorang pemuda gagah, tampan,
serta bertubuh tegap berotot. Memang para
pemandu jalan di Hutan Bukit Merak rata-rata
masih muda dan gagah. Bahkan rata-rata
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Karena
selain menjadi pemandu jalan di hutan, mereka
juga selalu bersedia membantu siapa saja yang
mengalami kesulitan. Dan Sudana merasa kalau
Desa Cendana ini sedang dilanda suatu masalah
yang tidak bisa dianggap enteng begitu saja.
Apalagi musibah itu sudah meminta satu nyawa
dari salah seorang pemandu. Dalam hati Sudana
sudah bertekad harus bisa mendapatkan
pembunuh itu. "Kalau kau tidak keberatan, aku akan
tinggal di sini sampai pembunuh itu ketahuan,
Ki," kata Sudana meminta izin.
'Tentu, Sudana. Dengan senang hati aku
menerimamu. Bahkan aku berterima kasih sekali
jika kau akan mencari setan pembunuh itu. Aku
juga tidak ingin di desaku ini dijadikan sarang pembunuh keji," sambut Ki Langes
dengan hati terbuka.
'Terima kasih, Ki," ucap Sudana seraya
memberi senyum Iebar.
"Dan aku akan lebih senang jika kau sudi
ringgal di rumahku ini," kata Ki Langes lagi.
"Aku tidak ingin merepotkan, Ki."
"Sama sekali tidak merepotkan. Justru
dengan begitu, kita bisa selalu bekerjasama
mencari pembunuh itu. Kita punya kepentingan
yang sama. Kau ingin menangkap si pembunuh
itu, dan aku tidak ingin desaku ini dijadikan
ajang pembunuhan keji."
Sudana mengangguk-anggukkan kepala.
Bisa di-mengerti keinginan Ki Langes ini. Memang sebagai kepala desa, Ki Langes
sangat bertanggung jawab atas keamanan dan
ketenteraman desa. Dan itu disadarinya betul.
Betapapun sulitnya, mereka memang harus bisa
menemukan pembunuh berdarah dingin itu. Dan
tentunya mereka tidak ingin berlarut-larut, serta menunggu sampai jatuh korban
lebih banyak lagi.
Sudana tadi memang agak terkejut juga
mende-ngar cerita Ki Langes, kalau selama ini
sudah lima orang yang ditemukan tewas dengan
keadaan hampir sama. Dan Anggara adalah
korban yang kelima. Lebih terkejut lagi, setelah tahu kalau peristiwa ini sudah
berlangsung hampir satu bulan. Dan selama ini, belum ada
tanda-tanda sama sekali tentang si pembunuh.
Walau Ki Langes mengakui sudah berusaha
untuk melakukan penyelidikan, tapi sampai saat
ini belum juga menemukan petunjuk yang berarti.
Pada saat mereka terdiam dengan pikiran
masing-masing berkecamuk dalam kepala, dari
bagian dalam rumah kepala desa ini keluar
seorang gadis berparas cantik. Dia membawa
sebuah baki dari perak yang di atasnya terdapat sebuah guci arak, serta dua buah
gelas yang juga terbuat dari perak. Gadis itu tersenyum dan
menganggukkan kepala pada Sudana. Tentu saja
Sudana membalas dengan senyum yang dibuat
semanis mungkin. Gadis itu meletakkan baki di
meja, kemudian kembali melangkah masuk ke
dalam. Sudana terus memperhankan sampai
gadis itu lenyap di balik pintu.
"Dia keponakanku satu-satunya. Ratna
Wulan namanya," Ki Langes memperkenalkan
tanpa ditanya. "Ooo...," hanya itu yang bisa keluar dari mulut Sudana.
"Kedua orang tuanya sudah meninggal. Dan
baru dua purnama dia ringgal di sini. Memang
belum banyak orang mengenalnya, karena dia
menyendiri. Entah kenapa, dia sulit bergaul
dengan gadis-gadis di desa ini. Hanya beberapa
saja yang mengenalnya. Itu pun belum ada yang
dekat," tutur Ki Langes.
'Tadinya tinggal di mana, Ki," tanya Sudana.
"Di Desa Gilang," sahut Ki Langes.
"Waaah...! Jauh sekali dari sini, Ki. Bisa satu pekan penuh baru sampai," desah
Sudana sedikit kaget, kalau Ratna Wulan tadinya tinggal di desa yang sangat jauh
dari Desa Cendana ini.
"Memang tidak ada lagi tempat yang bisa
ditinggalinya. Tinggal akulah saudara satu-
satunya," tutur Ki Langes.
"Dia datang ke sini sendiri, Ki?" tanya Sudana jadi ingin tahu, mengingat
perjalanan yang harus ditempuh begitu jauh.
"Bersama pengasuhnya. Nyai Andar
namanya," sahut Ki Langes. "Orangnya sudah tua. Yaaa..., mungkin seumur
denganku. Dia yang mengasuh Ratna Wulan sejak masih bayi."
Sudana mengangguk-anggukkan kepala.
"Ayo diminum dulu, Sudana. Arak ini
buatannya sendiri. Enak...," kata Ki Langes mempersilakan.
'Terima kasih, Ki."
*** 2 Memang sayang sekali kalau hari yang
begitu cerah dilewatkan begitu saja. Sudana pun tidak ingin melewatkannya begitu
saja. Sejak matahari muncul di ufuk Timur tadi, pemuda itu
sudah berada di tepi sungai yang merupakan
sumber dari segala kehidupan seluruh penduduk
Desa Cendana yang semuanya petani. Dan sungai
inilah yang memberikan banyak harapan serta
kehidupan bagi sawah ladang mereka.
Sudana terus mengayunkan kakinya
perlahan-lahan, menyusuri tepian sungai sambil
menghirup udara segar pagi ini. Bibirnya
tersenyum saat memperhatikan anak-anak
bertelanjang, berlarian, dan bercanda di
sepanjang alur sungai ini. Gadis-gadis pun
bersenda-gurau. Beberapa di antaranya sempat
melirik genit pada pemuda tampan ini. Namun
Sudana terus saja melangkah tak mempedulikan.
Dan ayunan kakinya baru berhenti saat matanya
menangkap sesosok tubuh ramping yang terbalut
kain basah, tengah mencuci di sungai. Sudana
kembali melangkah dan menghampiri gadis yang
ternyata Ratna Wulan, keponakan Ki Langes.
"Banyak cuciannya, Ratna Wulan...?" tegur Sudana, begitu dekat dengan gadis ini.
Ratna Wulan mengangkat kepalanya, dan
langsung tersenyum manis begitu mengetahui
orang yang menegurnya. Sedangkan Sudana
sudah duduk mencangkung di atas batu, tidak
jauh dari gadis itu. Sekilas matanya melirik
sekelompok gadis yang berbisik-bisik sambil
melirik-lirik padanya. Sudana tahu, gadis-gadis itu sedang menggunjingkannya.
"Aku dengar, Kakang datang ke sini untuk
mencari pembunuh itu, ya...?" tanya Ratna
Wulan, tanpa menghentikan pekerjaannya.
"Benar," sahut Sudana.
"Kira-kira, siapa orangnya?" tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Aku belum tahu. Rasanya memang tidak
mudah mencari seorang pembunuh. Malah bisa-
bisa, sebelum aku tahu, pembunuh itu sudah
tahu kalau sedang dicari," sahut Sudana lagi.
Sudana mengedarkan pandangannya
berkeliling. Sedangkan Ratna Wulan masih saja
sibuk dengan cuciannya. Sebentar-sebentar
lipatan kain yang membelit tubuhnya dibetulkan.
Memang cantik sekali gadis ini. Terlebih lagi,
kulitnya begitu putih. Tidak seperti gadis-gadis lain di Desa Cendana ini.
"Kelihatannya mereka semua tidak
terpengaruh oleh perisriwa pembunuhan itu,
Ratna Wulan," kata Sudana agak menggumam
suaranya. "Untuk apa ditakuti, Kakang..." Pembunuh
itu hanya mencari laki-laki. Jadi kami yang
perempuan, tidak perlu takut," jawab Ratna Wulan kalem.
Sudana jadi terdiam. Dia teringat kembali
cerita Ki Langes semalam. Memang sudah ada
lima korban yang jatuh. Dan korban terakhir
adalah Anggara. Seorang pemuda yang menjadi
pemandu di Hutan Bukit Merak. Dari lima orang
korban pembunuhan keji yang penuh teka-teki
itu, memang semuanya lelaki muda. Usianya
belum mencapai tiga puluh tahun.
Sudana baru merasakan adanya kejanggalan
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Sejak tadi, dia memang tidak melihat laki-laki
seorang pun di sepanjang sungai ini. Kalaupun
ada, itu hanya orang-orang tua yang sudah
berumur, atau anak-anak kecil. Sedangkan para
pemuda desa ini tidak ada lagi yang kelihatan
berada di luar rumah. Kalaupun ada, mereka
selalu berkelompok. Paling tidak, sedikitnya
empat atau enam orang,
"Sudah selesai...?" tanya Sudana begitu melihat Ratna Wulan akan beranjak dari
dalam sungai ini "Sudah," sahut Ratna Wulan memberi
senyum. "Mari kubantu."
'Terima kasih."
Sudana tidak menunggu lagi. Bergegas
diambilnya keranjang cucian Rama Wulan, dan
dipanggulnya di pundak. Mereka kemudian
berjalan bersisian meninggalkan sungai itu.
Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak,
dengan pepohonan yang cukup lebat di kanan-
kirinya. Tiba-tiba langkah Ratna Wulan terhenti.
Sudana juga ikut berhenti. Dipandanginya gadis
itu yang menatap lurus ke depan, pada seorang
laki-laki muda yang sedang duduk bersandar di
bawah pohon dengan mata terpejam.
"Ada apa, Ratna Wulan?" tanya Sudana
sambil menatap pemuda yang mengenakan baju
dari kulit harimau itu.
"Sudah lima hari ini, aku selalu melihat dia di sana," jelas Ratna Wulan.
"Kau kenal?" tanya Sudana lagi.
Ratna Wulan hanya menggelengkan kepala
saja, kemudian kembali melangkah. Sudana
mengikuti dan mensejajarkan ayunan kakinya di
samping gadis ini. Mereka terus berjalan
bersisian, melewati pemuda yang tampaknya
sedang tertidur itu. Seekor monyet kecil berbulu hitam, juga kelihatan
mendengkur di pangkuannya. Ratna Wulan sempat melirik
pemuda itu. Namun pada saat yang bersamaan,
pemuda itu juga membuka matanya.
Maka tatapan mata mereka seketika
langsung bertemu. Ratna Wulan buru-buru
mengalihkan pandangan ke arah lain. Entah
kenapa, jantungnya langsung berdetak kencang,
saat sinar mata pemuda itu begitu tajam
menusuk ke bola matanya. Gadis itu jadi berjalan cepat, membuat kening Sudana
jadi berkerut. Sudana melirik pemuda berbaju kulit harimau
itu. Tapi, pemuda itu sudah kembali
memejamkan matanya, seperti tidak peduli
dengan sekelilingnya. Dan mereka terus berjalan semakin jauh meninggalkan sungai
dan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kau seperti ketakutan melihatnya, Ratna
Wulan," kata Sudana lagi, bernada menegur.
Pemuda itu benar-benar heran melihat sikap
Ratna Wulan yang seperti takut waktu melihat
pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan
Ratna Wulan hanya diam saja, dan terus berjalan sedikit cepat. Ayunan langkahnya
baru kembali biasa, setelah melewari tikungan jalan. Dan
mereka kini sudah masuk ke jalan utama Desa
Cendana. Kemudian Ratna Wulan berpaling ke
belakang. "Hhh...!" napasnya terhembus panjang, seakan-akan hendak melonggarkan rongga
dadanya yang tadi terasa begitu padat
"Ada apa, Ratna Wulan...?" tanya Sudana masih penasaran ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa," sahut Ratna Wulan agak mendesah. "Hhh... untung dia tidak
mengikuti lagi."
"Apa dia suka mengikutimu?" tanya Sudana.
"Iya. Dia selalu mengikuti, setiap kali aku pulang dari sungai," sahut Ratna
Wulan. "Mungkin dia kenal denganmu, Ratna
Wulan." "Aku tidak tahu. Bahkan baru melihatnya
bebera-pa hari ini di tempat itu. Dia selalu ada di sana, seperti menungguku
pulang dari sungai.
Sama sekali aku tidak tahu, siapa dia
sebenarnya."
"Hmmm...," Sudana menggumam perlahan.
Pemuda itu menyerahkan keranjang cucian
pada Ratna Wulan yang langsung menerimanya.
"Kau pulanglah dulu, Ratna Wulan. Dia
mengikuti...," bisik Sudana.
"Ohhh..."!" Ratna Wulan tampak terkejut
"Pulanglah. Biar kucegat dia."
'Tapi hari-hati. Aku khawatir dia orang
jahat" Sudana tersenyum seraya menepuk pundak
gadis itu. Setelah disuruh lagi, Ratna Wulan baru bergegas melangkah setengah
berlari. Sebentar
Sudana memandangi gadis yang kini sudah
berlari-lari kecil menuju ke rumah Ki Langes. Dan setelah Ratna Wulan cukup
jauh, tiba-tiba saja
pemuda itu melesat cepat bagai kilat.
"Huppp...!"
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekali
lesatan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
Tepat pada saat itu, pemuda berbaju kulit
harimau yang tadi ditemui sedang tertidur di
pinggir jalan ke sungai, muncul dari tikungan
jalan. Dan pemuda itu tampaknya berjalan cepat
seperti tergesa-gesa. Namun tiba-tiba saja....
"Berhenti...!"
Wusssl Jlegkh! "Ohhh..."!"
*** Pemuda berbaju kulit harimau itu jadi
terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba dari atas sebuah pohon di depannya
melesat sebuah bayangan. Dan tahu-tahu, di depannya sudah
berdiri seorang laki-laki yang mungkin sebaya
dengannya. Lebih terkejut lagi, karena laki-laki muda berbaju putih itulah yang
tadi dilihatnya
berjalan bersama seorang gadis. Dan memang, dia
adalah Sudana. "Mau apa kau membuntuti..."!" Sudana
langsung menegur tegas.
"Maaf, aku tidak mengerti maksudmu...,"
ujar pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kau jangan berpura-pura, Ki sanak!" agak membentak nada suara Sudana.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau itu jadi menggumam, mendapat bentakan
agak kasar barusan. Tatapan matanya begitu tajam,
memperhatikan Sudana dari ujung rambut hingga
ke ujung kaki. Seakan-akan dia tengah mengukur
kejantanan pemuda yang sebaya dengannya ini.
Perlahan tangannya terangkat, dan mengambil
monyet kecil yang nangkring di pundaknya.
Dengan tubuh membungkuk, monyet kecil itu
diletakkan di tanah.
"Menyingkir dulu, Tiren," ujar pemuda itu sambil menepuk-nepuk kepala monyet
kecil berbulu hitam ini.
"Nguk!"
Seperti mengerti saja, monyet kecil itu
langsung berlari-lari mendekati sebuah pohon.
Laiu dengan gerakan lincah sekali binatang itu
memanjat pohon, dan duduk nangkring pada
salah satu dahan yang cukup besar dan kuat. Dia duduk tenang di sana,
memperhatikan dua
pemuda yang kini berdiri sating berhadapan,
berjarak sekitar satu setengah tombak. Mereka
saling berpandangan dengan tajam, seakan-akan
tengah saling menyelidik.
"Kau tampaknya bukan penduduk desa
ini...," desis Sudana terasa begitu dingin nada suaranya.
"Memang benar," sahut pemuda itu datar.
"Dan kau sendiri juga bukan penduduk desa ini."
"Kedatanganku ke sini karena diminta untuk melindungi seluruh penduduk desa ini.
Dan sikapmu telah membuatku curiga, Kisanak.
Kenapa kau mengikuti Ratna Wulan terus...?"
tegas sekali nada suara Sudana.
"Kau tidak akan percaya bila kujelaskan.
Tampaknya, kau telah tertarik oleh
kecantikannya. Sayang sekali..., kau akan
bernasib sama dengan yang lain. Tapi, itu
terserah kau sendiri. Kau telah memilih jalan
mempercepat kematianmu," tegas pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Jangan bicara sembarangan, Kisanak! Apa
maksudmu berkata begita..?" sentak Sudana, langsung memerah wajahnya.
"Hmmm...," pemuda itu menggumam
perlahan dengan kelopak mata agak menyipit
Dia terus memperhatikan bagian leher dekat
dagu Sudana. Ada semacam tanda di leher dekat
dagu itu. Sebuah tanda yang sudah amat dikenali semua orang di daerah kulon ini.
Terutama sekali, di wilayah Kadipaten Patarukan ini. Tanda itu merupakan lambang dari
seorang pemandu
jalan di Hutan Bukit Merak. Dan memang, semua
pemandu di Hutan Bukit Merak memiliki tanda
seperti itu pada bagian leher dekat dagu.
"Kenapa kau memandangiku begitu,
Kisanak...?" tegur Sudana jadi jengah.
"Kau seorang pemandu di Hutan Bukit
Merak...?" pemuda berbaju kulit harimau itu seperti ingin meyakinkan dugaannya.
"Benar!" sahut Sudana jadi berkerut
keningnya. "Kau berada di sini tentu karena salah satu temanmu tewas di sini. Kau pasti
ingin mencari pembunuhnya," agak menggumam nada suara
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hmmm.... Siapa kau sebenarnya, Kisanak?"
tanya Sudana dengan kening berkerut.
"Aku Bayu. Maksudku berada di desa ini
juga sama denganmu," sahut pemuda berbaju
kulit harimau itu.
Kening Sudana semakin dalam berkerut.
Kembali dipandanginya pemuda berbaju kulit
harimau yang berdiri di depannya ini. Sama sekali dia tak tahu, siapa pemuda
yang mengaku bernama Bayu. Sudana memang tidak
mengenalnya. Dan baru melihatnya hari ini. Tapi melihat pakaian yang dikenakan
pemuda itu, dan
setelah tahu namanya, Sudana seperti teringat
sesuatu. Nama itu seperti pernah didengarnya.
Nama seorang pendekar muda yang tangguh dan
digdaya. Pendekar yang sangat disegani orang-
orang persilatan di semua golongan.
"Aku memang belum pemah melihatmu
selain hari ini, Kisanak. Tapi kau seperti...,
Pendekar Pulau Neraka," terdengar ragu-ragu nada suara Sudana.
Pemuda berbaju kulit harimau yang tadi
mengaku bemama Bayu itu jadi tersenyum. Dia
memang Bayu, yang lebih dikenal berjuluk
Pendekar Pulau Neraka. Tidak lagi terlihat
kekakuan di wajahnya. Dan sinar matanya pun
tidak lagi bersorot tajam. Perlahan-lahan Bayu
melangkah mendekat dan berhenti setelah
berjarak sekitar lima langkah lagi di depan
Sudana. "Kau benar. Aku memang Pendekar Pulau
Neraka. Tapi aku lebih senang bila kau
memanggilku Bayu," kata Bayu terus tersenyum.
"Tapi, kenapa kau terus mengikuti Ratna
Wulan?" tanya Sudana masih penasaran ingin tahu. "Sulit mengatakannya. Bahkan
bisa menimbulkan kesalahpahaman. Sedangkan aku
belum memiliki bukti yang cukup. Masih terlalu
banyak yang tersembunyi, dan belum bisa
terungkap banyak dari yang tersembunyi itu,"
sahut Bayu. "Aku tidak mengerti maksudmu...," ujar Sudana kebingungan.
"Kelak kau akan mengerti," kata Bayu
kembali tersenyum.
Setelah berkata demikian, Bayu segera
memutar tubuhnya berbalik. Lalu, tangan kirinya diangkat ke arah monyet kecil
berbulu hitam yang nangkring di atas pohon. Monyet kecil yang
bemama Tiren itu berjingkrak sambil mencerecet
ribut. Kemudian binatang itu merayap turun.
Gerakannya cepat dan ringan sekali. Lalu
binatang itu berlari-lari menghampiri Pendekar
Pulau Neraka. Bayu mengulurkan tangannya, dan
menaruh monyet itu di pundaknya lagi.
Pendekar Pulau Neraka terus saja
melangkah menuju tikungan jalan yang kembali
menuju sungai. Sedangkan Sudana hanya berdiri
saja mematung, memandangi Pendekar Pulau
Neraka. Dia ingin mencegah, karena masih belum
mengerti terhadap semua yang dilakukan dan
dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Tapi entah
kenapa, lidahnya jadi terasa kelu. Dan dia hanya bisa berdiri mematung
memandang, sampai
tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlihat lagi, setelah berbelok di tikungan jalan yang menuju ke sungai.
*** Sudana masih belum juga bisa memejamkan
matanya. Entah sudah berapa kali tubuhnya
menggelimpang gelisah di atas pembaringan. Dia
menempati satu kamar di rumah Ki Langes,
Kepala Desa Cendana ini. Sementara malam
sudah begitu larut. Desa Cendana terasa begitu
sunyi, bila malam sudah jatuh menyelimutinya.
Tak terdengar suara apa pun, selain desiran
angin yang menggesek dedaunan dan jerit
binatang-binatang malam.
"Hhh...!"
Sudana menggelimpang, lalu merayap turun
dari pembaringan. Kakinya melangkah mendekati
jendela, lalu membukanya lebar-lebar. Angin
malam yang dingin langsung menerobos masuk
menerpa kulit wajahnya. Malam ini begitu pekat
Langit tampak menghitam kelam tersaput awan
yang begitu tebal menggumpal. Sedikit pun tak
terlihat cahaya bintang. Bahkan bulan lebih suka bersembunyi di balik awan.
"Heh..."! Apa itu...?"
Sudana terperanjat, begitu tiba-tiba matanya
menangkap sebuah bayangan berkelebat di dalam
kegelapan. Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda yang dikenal sebagai pemandu
jalan di Hutan Bukit Merak itu langsung melompat cepat bagai
kilat menerobos jendela.
"Huppp...!"
Begitu cepatnya Sudana melompat,
menandakan ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai tingkatan cukup tinggi. Sudana kembali melentingkan tubuhnya, begitu
kakinya menjejak
tanah. Tatapan matanya begitu tajam menusuk,
mengamati sosok tubuh merah yang berkelebat
cepat dari satu atap rumah ke atap rumah
lainnya. "Huppp...!"
Bagaikan seekor burung, Sudana melesat
naik ke atas atap rumah. Lalu, kembali dia
melenting indah ke atap rumah lain untuk
mengejar bayangan merah yang terus berkelebat
cepat. "Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Sudana
mengempos seluruh kekuatan ilmu meringankan
tubuhnya. Sehingga, pemuda itu melesat tinggi ke udara. Lalu, dia meluncur deras
bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepat
lesatan Sudana, sehingga bisa melewati sosok
bayangan merah itu. Lalu, manis sekali kakinya
mendarat di tanah.
"Berhenti...!"
"Ufs..."!"
Sudana jadi terbeliak, begitu tiba-tiba sosok
tubuh berbaju serba merah itu langsung
mengebutkan cepat tangannya. Dan dari balik
lengan bajunya yang longgar, tiba-tiba saja
melesat beberapa buah benda kecil seperti jarum berwarna merah menyala bagai
titik api. "Uts...! Hup!"
Sudana cepat-cepat melentingkan tubuh ke
udara, dan berjumpalitan beberapa kali untuk
menghindari benda-benda kecil seperti jarum
yang berwarna merah itu. Pemuda itu semakin
terkejut setengah mati, begitu merasakan kalau jarum-jarum kecil berwarna merah
itu menyebarkan hawa yang sangat panas
menyengat. "Huppp...!"
Cepat-cepat Sudana melentingkan tubuh ke
udara kembali, begitu menjejak tanah. Itu
dilakukan tepat pada saat sosok tubuh berbaju
merah itu melontarkan benda-benda kecil
berwarna merah itu dari balik lipatan lengan
bajunya yang Iebar dan sangat longgar.
"Edan...! Bisa habis napasku kalau begini
terus," dengus Sudana dalam hati.
Tapi memang sulit bagi Sudana untuk
keluar dari serangan senjata rahasia itu. Bahkan hampir sama sekali tidak punya
kesempatan untuk menjejakkan kakinya di tanah. Hingga
akhirnya Sudana segera menjambret beberapa
lembar daun, ketika untuk yang entah keberapa
kali terpaksa berjumpalitan di udara.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet! Bet! Wusss...! *** 3 Sambil berputaran di udara, Sudana
melemparkan daun-daun yang tadi berhasil
dijambretnya dari atas pohon. Kini daun-daun
yang lemas itu telah berubah jadi senjata yang
begitu dahsyat dan mematikan. Serangan balik
yang dilancarkan Sudana membuat orang berbaju
serba merah itu harus terpaksa berjumpalitan
menghindarinya. Lawan Sudana benar-benar
kelabakan menghadapi daun-daun yang jadi
mene-gang kaku seperti mata-mata tombak yang
mengincar tubuh bagai hujan.
"Keparat..!" dia menggeram marah, begitu daun-daun yang dilemparkan Sudana sudah
tidak lagi menghujaninya.
Sedangkan kini Sudana sudah bisa berdiri
tegak di atas kedua kakinya yang begitu kokoh.
Sementara orang berbaju serba merah itu pun
sudah mendarat dengan gerakan manis sekali.
Begitu ringannya, sehingga sedikit pun tak ada
suara yang terdengar saat kakinya menjejak
tanah. Dia berdiri tegak sekitar satu tombak di depan Sudana.
"Siapa kau..."!" tanya Sudana, agak
membentak suaranya.
Tapi orang berbaju merah itu tidak
menjawab. Sedangkan Sudana
sedikit menyipitkan kelopak matanya, mencoba
memperhatikan sosok tubuh berbaju merah itu
agar lebih jelas lagi. Tapi, sangat sulit untuk bisa mengenali wajahnya.
Rambutnya yang panjang
dan hitam, hampir menutupi seluruh wajahnya.
Dan sepertinya memang disengaja, agar wajahnya
tidak terlihat. Tapi dari bentuk tubuhnya dan
kulit tangan yang terlihat putih, sudah bisa
dipastikan kalau dia seorang wanita yang tidak
ingin dikenali wajahnya.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba saja sosok tubuh berbaju merah
itu bertepuk tangan tiga kali. Dan begitu
tepukannya berhenti terdengar, dari balik
pepohonan berkelebat tubuh-tubuh ramping
berbaju serba merah. Maka dalam waktu sebentar
saja, Sudana sudah dikepung lima orang gadis
berwajah cantik yang semuanya mengenakan
baju ketat berwarna merah.
"Ringkus dia! Jangan sampai terluka...!"
seru wanita yang wajahnya tidak kelihatan itu
memberi perintah. Suaranya terdengar lantang
menggelegar. Wuk! Bet! Lima orang gadis berbaju serba merah itu
langsung mengeluarkan tambang-tambang yang
cukup panjang dari balik lipatan baju. Serentak mereka segera bergerak memutari
Sudana sambil mengebut-ngebutkan tambang, yang bagian
ujungnya berbentuk bulat seperti terbuat dari
besi baja sebesar kepalan tangan.
Sudana segera bersiap sambil
memperhatikan gerak kelima gadis yang
memutari tubuhnya, sambil mempermainkan
tambang. Gerakan mereka begitu lincah, dan
semakin lama semakin bertambah cepat saja.
Hingga akhimya, bentuk tubuh mereka meng-
hilang. Sehingga yang terlihat hanya bayang-
bayangan merah yang berkelebat cepat memutari
pemuda pemandu jalan Hujan Bukit Merak itu.
Set! Wusss...! "Hup...!"
Sudana langsung melenting ke udara, begitu
tiba-tiba lima buah ujung tambang yang
berbandul besi baja sebesar kepalan tangan itu
meluruk deras ke arahnya dari lima jurusan. Dan pada saat yang bersamaan, kelima
gadis berbaju merah itu juga berlompatan cepat di sekitar
tubuh Sudana. Manis sekali mereka menyambut setiap
ujung tambang yang berbandul bola besi putih
itu. Lalu tiba-tiba saja, mereka menarik kuat-kuat Sedangkan saat itu kedudukan
Sudana berada tepat di tengah-tengah. Tentu saja hal ini
membuatnya jadi terkejut setengah mati.
"Gila...! Hup...!"
Buru-buru Sudana melenting ke udara, dan
melakukan beberapa kali putaran yang begitu
manis. Tapi tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja wanita berbaju merah yang
wajahnya tertutup rambut itu melompat tinggi ke udara.
Langsung dilewatinya atas kepala pemuda
tampan yang mengenakan baju putih itu.
"Hiyaaat..!"
"Heh..."!"
Sudana jadi terkejut setengah mat Buru-
buru kepalanya dirundukkan, menghindari satu
pukulan keras menggeledek yang dilepaskan
wanita berbaju serba merah itu ke arah
kepalanya. Namun pada saat yang bersamaan,
lima gadis yang memegang tambang sudah
kembali beriompaian sating bersilangan. Dan
dengan gerakan begitu cepat, ujung-ujung
tambang mereka dilepaskan. Lalu mereka saling
menyambut ujung-ujung tambang itu.
Rrrt...! "Ufs...!"
Sudana benar-benar tidak bisa lagi berbuat
banyak. Tambang-tambang itu langsung saja
membelit kuat tubuhnya. Maka tidak pelak lagi,
pemuda itu langsung jatuh terguling di tanah.
Pada saat yang bersamaan, lima orang gadis
berbaju merah itu menggerakkan ujung-ujung
tambangnya. Sehingga, tambang itu semakin
banyak membelit tubuh Sudana yang
bergelimpangan, mencoba melepaskan did.
Tapi semakin banyak Sudana bergerak,
semakin kuat pula lilitan tambang itu di seluruh tubuhnya. Bahkan gadis-gadis
berbaju merah itu
cepat sekali memainkan tambangnya, sehingga
tubuh Sudana benar-benar terbelit dari leher
sampai ke ujung kaki. Akibatnya, pemuda itu
tidak berdaya lagi untuk bisa melepaskan diri.
Meskipun sudah berusaha memberontak, tapi
tidak mudah baginya melepaskan belitan
tambang yang begitu kuat ini.
"Bawa dia...!" perintah wanita berbaju merah yang wajahnya tertutup rambut
panjang yang meriap lebat itu.
"Baik, Nini Ayu...," sahut kelima orang gadis itu serempak.
Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis-
gadis cantik berbaju serba merah itu langsung
berlarian cepat sambil menyeret tubuh Sudana
yang sudah tidak berdaya lagi terbelit tambang.
Pemuda itu hanya bisa menggeliat dan berteriak-
teriak begitu tubuhnya terseret cepat, seperti
ditarik lima ekor kuda yang berlari begitu
kencang. Sementara wanita berambut panjang itu
masih berdiri tegak memandangi. Dari sela-sela
rambutnya yang meriap panjang tampak
sebentuk bibir merah yang menyunggingkan
senyum penuh arti. Tak berapa lama kemudian,
wanita itu melesat cepat bagai kilat. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja
sudah lenyap tertelan pekatnya malam yang
begitu gelap. Sementara itu dari tempat yang cukup
tersembunyi, terlihat sepasang mata bersinar
bagai bintang, terus memperhatikan jalannya
kejadian tadi. Dan pemilik mata itu baru keluar dari tempat persembunyiannya,
setelah tidak terlihat lagi seorang pun di tempat itu.
"Hmmm...," dia menggumam perlahan.
Kemudian, cepat sekali dia melesat pergi ke
arah lima orang gadis cantik berbaju merah yang menyeret Sudana tadi. Gerakannya
begitu cepat luar biasa, sehingga bagaikan melayang saja di
atas tanah. Begitu cepatnya, hingga seluruh
tubuhnya lenyap. Yang terlihat kini hanya
bayangan yang berkelebatan di antara gelapnya
malam dan pepohonan.
*** Sementara malam masih terus merayap
semakin larut Jauh di luar Desa Cendana,
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tepatnya di sebuah hutan yang sangat lebat,
terlihat lima orang berpakaian merah tengah
berlari-lari menyelinap dari satu pohon ke pohon lain yang merapat lebat. Mereka
berlarian sambil menyeret sesosok tubuh yang tampaknya sudah
tidak sadarkan diri lagi.
Pakaian sosok tubuh yang diseret itu sudah
tercabik. Darah juga berceceran dari seluruh kulit tubuhnya. Tapi kelima gadis
cantik berbaju merah itu seperti tidak peduli. Mereka terus
berlarian sambil menyeret tubuh yang sudah
tidak bisa berkutik lagi. Sosok tubuh yang
terseret itu hanya mengikuti saja, ke mana gadis-gadis berbaju merah ini
membawanya. Dan me-
reka baru berhenti setelah sampai di depan
sebuah gua yang cukup besar.
Kelima gadis berwajah cantik yang
semuanya mengenakan baju warna merah itu
berlutut di depan mulut gua yang berukuran
cukup besar ini. Memang, tak terlihat apa-apa di dalam gua yang begitu gelap.
Terlebih lagi, malam ini memang begitu gelap. Langit tersaput awan
tebal, sehingga sedikit pun tak terlihat cahaya bintang maupun bulan di atas
sana. "Kami datang, Kanjeng Nyai Ratu...," ucap kelima gadis berbaju merah itu
bersamaan. "Masuklah kalian...!" terdengar suara sahutan menggema dari dalam gua.
"Baik, Kanjeng Nyai Ratu."
Kelima gadis cantik berbaju merah itu segera
melangkah masuk ke dalam gua sambil tetap
menyeret pemuda yang sudah tidak bisa bergerak
lagi. Mereka terus melangkah semakin jauh,
masuk ke dalam gua yang sangat gelap ini. Dan
begitu berada di dalam, tiba-tiba saja gua itu jadi terang-benderang, hingga
seluruh sudutnya
terlihat jelas.
Ternyata, gua ini merupakan sebuah
ruangan yang berukuran sangat besar. Ada enam
buah pintu di dinding yang mengelilingjnya. Dan semua pintu dalam keadaan
tertutup rapat Juga
pada salah satu sisinya, terdapat sebuah kursi
terbuat dari batu yang dipahat berbentuk dua
ekor singa berukuran sangat besar. Kelima gadis berbaju merah itu kemudian
berlutut di depan
kursi batu berbentuk singa itu. Brusss...!
Tiba-tiba saja, di sekitar kursi yang sangat
besar dan terbuat dari batu itu mengepul asap
tebal berwarna merah. Begitu tebalnya, sehingga seluruh kursi batu itu jadi
tidak terlihat. Tapi, asap tebal berwarna merah itu hanya sebentar
saja muncul, sedikit pun tak terasa ada
hembusan angin di dalam ruangan gua itu.
Saat asap merah itu benar-benar hilang,
tahu-tahu di kursi itu sudah duduk seseorang
yang mengenakan baju jubah warna merah
menyala. Di tangan kanannya tampak tergenggam
sebuah tongkat yang bagjan ujung atasnya
berbentuk kepala seekor singa yang terbuka Iebar mulutnya. Tongkat itu
seluruhnya berwarna putih
keperakan. Terlalu sulit melihat wajahnya, karena tertutup rambut berwarna merah
panjang yang teriap tak teratur.
"Ada yang kalian bawa untukku...?" tanya orang berjubah merah itu, kering nada
suaranya. "Ada, Kanjeng Nyai Ratu," sahut salah seorang gadis yang berlutut paling tengah.
Empat orang gadis lain segera bergerak, dan
menggotong tubuh seorang pemuda yang sudah
tidak bergerak-gerak lagi. Seluruh tubuhnya kotor berdebu bercampur darah.
Pakaiannya sudah
cabik-cabik tak berbentuk lagi. Empat gadis itu kembali ke tempatnya setelah
meletakkan tubuh
pemuda yang ternyata Sudana, tepat di depan
ujung kaki orang berjubah merah yang seluruh
rambutnya juga berwarna merah bagai
berlumuran darah.
"Hmmm...."
Orang berambut merah bagai darah itu
bangkit dari kursinya. Dengan ujung tombaknya,
tubuh pemuda itu dibalikkan hingga telentang.
Dari sela-sela rambutnya yang merah, terlihat
sebentuk bibir yang kering memucat
menyunggingkan senyum tipis. Sebentar
diperhatikannya pemuda yang temyata memang
Sudana. Kemudian pandangannya beralih
merayapi fima gadis cantik berbaju serba merah
yang masih berlutut di lantai gua ini.
"Kalian bertemu muridku?" tanya orang berambut merah itu masih terdengar kering
nada suaranya. "Nini Ayu yang memberikannya pada kami,
Kanjeng Nyai Ratu," sahut gadis yang berada paring tengah.
"Lalu, kenapa dia tidak ikut ke sini?"
"Kami tidak tahu, Kanjeng Nyai Ratu."
"Hmmm..., baiklah. Bawa dia ke tempat
biasa. Bersihkan tubuhnya dari semua kotoran,"
perintah orang berambut serba merah itu.
"Baik, Kanjeng Nyai Ratu," sahut kelima gadis itu serempak.
Tanpa diperintah dua kali, mereka kemudian
bergerak mendekat hendak membawa pemuda
itu. Tapi belum juga tubuh pemuda itu tersentuh, tiba-tiba saja orang berambut
merah yang selalu dipanggil Kanjeng Nyai Ratu itu menekan ujung
tongkatnya ke dada pemuda yang tergeletak tak
sadarkan diri di depannya. Dan kelima gadis itu jadi terdiam memandanginya.
"Kalian cepat keluar. Ada tikus yang coba-
coba masuk ke sini," kata orang berambut merah itu dingin.
Kelima orang gadis cantik itu sating
berpandangan sejenak, kemudian bergegas
berlompatan keluar dari dalam gua ini. Dan gua
ini kembali gelap, begitu lima orang gadis itu
berlompatan keluar dengan gerakan ringan dan
cepat sekali, Sebentar saja mereka sudah berada di depan gua, tepat di saat
seseorang tengah
mengendap-endap hendak mendekati mulut gua
yang mendadak jadi gelap itu.
"Hei...! Siapa kau..."!" bentak salah seorang
gadis. "Ohhh..."!"
Begitu terkejutnya, sampai orang itu
teriompat beberapa tindak ke belakang. Kedua
bola matanya jadi terbeliak Iebar, begitu melihat di depannya tahu-tahu sudah
berdiri lima orang
gadis berwajah cantik yang semuanya
mengenakan baju berwarna merah menyala.
*** "Siapa kau"! Kenapa mengendap-endap
seperti mating..?" tanya salah seorang dari kelima gadis itu. Suaranya begitu
lantang menggelegar.
"Aku tersesat. Maaf, aku tidak tahu kalau gua ini ada penghuninya," sahut laki-
laki muda yang usianya sekttar dua puluh lima tahun itu.
Seorang pemuda yang cukup tampan dan
gagah. Otot-ototnya tampak bersembulan di balik bajunya yang ketat berwarna biru
muda. Dari balik punggungnya menyembul sebuah gagang
pedang berwarna kuning seperti terbuat dari
emas. Rasa terkejutnya kini tidak lagi terlihat di wajahnya. Bahkan kini malah
merayapi wajah-wajah cantik sekitar satu tombak berdiri di
depannya. "Siapa kau..."! Jawab...!" bentak gadis itu lagi. "Namaku Palika," sahut pemuda
itu memperke-nalkan din.
"Mau apa kau ke sini"!" tanya gadis yang lain.
"Aku tersesat. Aku tidak tahu ka...."
"Bohong...! Kau memata-matai kami, ya..."!
Ayo, jawab yang benar!" sentak seorang gadis lainnya lantang.
"Aku tidak memata-matai! Terserah, kalau
tidak percaya!" dengus pemuda yang mengaku bernama Palika jadi sengit
"Lalu, kenapa mengendap-endap?"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya hati-hati
saja supaya tidak tersandung."
"Sudah, jangan banyak omong. Hajar saja!"
dengus salah seorang gadis berbaju merah itu
tidak sabar. Tanpa menunggu persetujuan yang lain,
gadis itu langsung saja melompat sambil
melepaskan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya serangan itu, membuat pemuda
yang tadi mengaku bernama Palika jadi terperangah sesaat.
Namun cepat sekali tubuhnya mengegos
menghindari pukulan yang dilepaskan salah
seorang dari gadis berbaju serba merah itu.
"Huh! Rupanya kau bisa juga bermain-main,
Kisanak! Bagus...! Terimalah ini. Hiyaaat..!"
Kembali gadis itu melepaskan pukulan
bertenaga dalam tinggi, setelah serangan
pertamanya tadi dapat dihindari Palika. Beberapa kali pukulan dilepaskan, tapi
rupanya Palika bukanlah pemuda sembarangan. Dengan
gerakan-gerakan tiibuh yang indah, setiap
serangan yang dilancarkan gadis cantik berbaju
merah ini berhasil dihindarinya.
"Uts...!"
Palika cepat merundukkan kepala, ketika
tiba-tiba saja satu pukulan yang dilepaskan gadis cantik itu menyambar deras ke
arah kepalanya.
Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan
kembali, mendadak saja salah seorang gadis lain sudah melompat sambil memberi
satu tendangan keras menggeledek
"Hiyaaat..!"
"Huppp...!"
Palika terpaksa melompat ke belakang,
sambil melakukan putaran dua kali. Tendangan
gadis berbaju merah itu tidak tepat mengenai
sasaran. Bahkan tendangannya menghantam
sebuah pohon yang cukup besar. Begitu tingginya tenaga dalam yang dimiliki,
sehingga pohon yang besarnya tiga kali lipat dari tubuhnya seketika hancur
berkeping-keping.
"Gila...!" desis Palika jadi terlongong bengong melihat kedahsyatan tendangan
gadis cantik yang kelihatannya lemah ini.
Sukar dibayangkan kalau tendangan itu
sampai mengenai tubuhnya. Dan Palika benar-
benar tidak menyangka kalau gadis-gadis cantik
yang kelihatannya lemah, ternyata memiliki
kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat luar
biasa. Tapi Palika tidak sempat berpikir lebih jauh, karena kelima gadis cantik
berbaju merah itu sudah kembali berlompatan menyerang
dengan gencar dan bergantian.
Palika terpaksa harus berjumpalitan
menghindari serangan-serangan yang datang
begitu gencar. Gadis-gadis ini menyerang dari
lima jurusan secara tepat dan bergantian.
Akibatnya, pemuda yang cukup tampan itu jadi
kalang kabut menghindarinya. Beberapa kali
serangan gadis-gadis cantik itu hampir mengenai tubuhnya. Tapi sampai sejauh
ini, Palika masih
dapat menghindarinya.
"Phuih...! Bisa habis napasku kalau begini tenia..!" dengus Palika dalam hati.
Pemuda itu menyadari, kalau dia tidak
mungkin bisa unggul menghadapi lima orang
gadis cantik yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Dan dia harus
mencari jalan untuk bisa keluar dari pertarungan yang tidak seimbang ini Tapi
itu memang tidak mudah, karena setiap
celah tampaknya sudah tertutup begitu rapat
Sehingga.... "Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja salah seorang dari gadis
cantik berbaju merah itu melompat tinggi ke
udara, lalu cepat sekali menukik bagai seekor
burung elang yang hendak menyambar
mangsanya. Begitu cepatnya gerakan gadis
berbaju merah itu, sehingga membuat Palika jadi terperangah.
"Huppp...!"
Cepat-cepat Palika melompat ke belakang,
menghindari satu serangan yang begitu dahsyat
dari salah seorang gadis berbaju merah ini. Tapi
begitu kakinya menjejak tanah, langsung
disambut satu pukulan keras mengandung
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Dan kali
ini, Palika benar-benar tidak dapat lagi
menghindari. Begkh!
"Akh...!" Palika menjerit keras agak tertahan.
Pukulan yang datang begitu cepat itu
langsung menghantam punggungnya. Akibatnya,
pemuda itu jadi terhuyung-huyung ke depan. Dan
sebelum bisa menguasai keseimbangan
tubuhnya, tiba- tiba saja salah seorang gadis
cantik lainnya sudah melepaskan satu tendangan
keras menggeledek ke arah dada. Begitu cepatnya tendangan itu, membuat Palika
tidak sempat lagi menghindar. Dan...
"Hiyaaat...!"
Desss! "Aaakh...!" lagi-lagi Palika menjerit keras meleng-king tinggi.
Tendangan dari gadis muda berbaju merah
itu tepat menghantam dada Palika. Dan ini
membuatnya langsung terpental ke belakang
sambil menjerit panjang begitu menyayat. Begitu kerasnya tendangan gadis berbaju
serba merah itu, sehingga sebuah pohon yang terlanda
punggung Palika seketika itu juga hancur
berkeping-keping.
"Mampus kau sekarang! Hiyaaat...!"
Salah seorang gadis berbaju merah itu tiba-
tiba saja melompat mengejar Palika yang sudah
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergeletak bersama reruntuhan pohon yang
terlanda tubuhnya tadi. Saat itu, Palika benar-
benar tidak punya kekuatan lagi. Dan dia hanya
bisa terpejam, begitu melihat salah seorang gadis yang mengeroyoknya sudah
melompat sambil
mencabut pedang yang tersampir di punggung.
Sret! Wuk" Cepat sekali gadis itu mengebutkan pedang
berukuran cukup panjang itu ke arah leher
Palika. Namun tinggal sedikit lagi mata pedang
yang berkilat itu menebas leher pemuda ini, tiba-tiba saja secercah cahaya
keperakan berkelebat
cepat menyampok arus tebasan pedang itu.
Trang! "Hehhh..."!"
Gadis berbaju serba merah itu jadi tersentak
kaget setengah mati. Buru-buru dia melompat ke
belakang, dan melakukan beberapa kali putaran
sebelum kakinya menjejak tanah. Empat orang
gadis lainnya juga terperanjat. Mereka semua
melihat begitu jelas kalau pedang temannya tadi hampir terpental, tersambar
sebuah benda berwarna perak berkilat yang berkelebat cepat
tadi. *** 4 Lima orang gadis cantik berbaju merah itu
berdiri berjajar sambil saling melemparkan
pandang. Mereka kemudian mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Suasana yang begitu
gelap, membuat mata mereka tidak bisa
memandang jauh. Sekitamya tampak begitu
sunyi, tak terlihat seorang pun selain mereka
beriima serta Palika yang masih tergeletak di
tanah. Bukan hanya kelima gadis cantik itu yang
terkejut, tapi Palika juga jadi keheranan. Temyata dia masih hidup sampai
sekarang ini. Padahal,
jelas sekali tadi kalau salah seorang gadis berbaju merah itu sudah mengebutkan
pedang ke lehernya Saat itu, Palika memang memejamkan
mata. Harinya sudah pasrah jika memang harus
mati di tengah hutan yang gelap itu. Tapi entah kenapa, dinginnya pedang pada
lehemya tidak terasakan. Bahkan kelima gadis itu tampak se-
perti kebingungan.
"Siapa kau"! Keluar...! Jangan seperti tikus main sembunyi!" seru salah seorang
gadis berbaju merah itu.
Suaranya begitu keras dan lantang
menggelegar. Tapi, sedikit pun tak ada jawaban
yang terdengar. Dan kelima gadis itu kembali
saling melemparkan pandangan. Namun tiba-tiba
saja.... Wusss...! "Heh..."!"
Lima orang gadis cantik berbaju merah itu
jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja
berhembus angin yang begitu kencang. Lalu
sebelum keterkejutan itu lenyap, tahu-tahu di
depan mereka sudah berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Otot-ototnya tampak
bersembulan dari balik bajunya yang terbuat dari kulit harimau. Seekor monyet
kecil berbulu hitam bertengger di pundak sebelah kanan. Pemuda itu
berdiri tepat di samping Palika yang masih
tergeletak tak berdaya di tanah.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya pemuda
berbaju kulit harimau itu sambil berpaling
menatap Palika.
"Aku merasa seluruh tulangku remuk,"
sahut Palika terbata-bata.
Jelas sekali kalau napasnya tersendat
Sedangkan darah masih saja mengucur dari
sudut bibimya, meskipun sudah beberapa kali
diseka dengan punggung tangan. Bahkan dari
lubang hidung pun, terlihat darah kental
mengalir. Palika mencoba bergerak untuk
bangkit, tapi jadi meringis sambil memegangi
dadanya yang terasa begitu nyeri. Pemuda itu
benar-benar tidak mampu lagi menggerakkan
tubuhnya. 'Tampaknya lukamu cukup parah juga.
Hmmm.... Kau harus segera dibawa ke tabib,"
ujara pemuda berbaju kulit harimau itu setengah
menggumam nada suaranya.
'Terima kasih," ucap Palika. "Biarkan saja.
Rasanya aku akan mati saja."
"Hei...! Apa yang kalian bicarakan, heh..."!"
tiba-tiba saja seorang dari kelima gadis cantik berbaju merah itu membentak
keras menggelegar.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam perlahan sambil menatap
tajam gadis cantik berbaju merah yang membentaknya
tadi dengan suara begitu keras menggelegar.
"Kisanak! Kenapa kau menolong tikus
keparat itu...?" tanya seorang gadis berbaju merah lainnya.
"Kalian gadis-gadis cantik, kenapa begitu
kasar dan main keroyok...?" pemuda berbaju kulit harimau itu malah balik
bertanya dengan suara
terdengar dingin.
"Apa pedulimu, heh..."!"
"Aku tidak bisa membiarkan kekejaman
berlangsung di depan mataku. Kalian gadis-gadis cantik, tapi tindakan kalian
begitu kejam seperti iblis. Apa kalian tidak merasa puas sudah
mendapat satu orang..." Berapa banyak laki-laki yang ingin kalian sakiti"!"
semakin dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Keparat..! Kau telah menghina kami,
Kisanak. Kau harus mampus!" geram salah
seorang gadis cantik itu langsung memerah
wajahnya. Sedangkan yang empat orang juga jadi
terdiam dengan geraham bergeletuk menahan
marah. Kata-kata pemuda berbaju kulit harimau
itu benar-benar menyakitkan. Dan kelima gadis
cantik berbaju merah itu benar-benar terbangkit amarahnya.
"Mampus kau, Keparat! Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja salah seorang dari kelima
gadis berbaju merah itu melompat cepat bagai
kilat sambil mencabut pedangnya yang tersampir
di punggung. Secepat itu pula, pedangnya
dikibaskan ke arah dada pemuda berbaju kulit
harimau itu. Bet! "Hap!"
Hanya sedikit saja mengegoskan tubuh,
pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil
menghindari tebasan pedang gadis berbaju merah
ini. Tapi belum sempat tubuhnya ditarik tegak
kembali, satu orang gadis lainnya yang juga
sama-sama memakai baju merah sudah
menyerang dari arah lain dengan cepat sekali.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Secepat kilat pula, pemuda berbaju kulit
harimau itu melesat sambil menyambar tubuh
Palika. Begitu cepat gerakannya, sehingga lima
orang gadis berbaju merah itu jadi terperangah
dibuatnya. Mereka belum lagi sempat berbuat
lebih banyak, tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sudah lenyap tak terlihat
lagi bayangan tubuhnya. Lenyap bagai ditelan bumi.
"Setan...! Cepat sekali dia kabur," dengus
salah seorang gadis berbaju merah itu.
"Sudah, biarkan saja. Sebaiknya kita
kembali saja ke dalam," kata seorang lag).
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas
kembali masuk ke dalam gua yang bermulut
cukup besar itu. Sementara, kegelapan masih
menyelimuti sekitar hutan yang cukup lebat ini.
Sebentar saja, tak seorang pun terlihat lagi. Yang ada hanyalah kegelapan malam
menyelimuti belahan bumi ini
*** Malam terus merayap semakin larut. Tidak
jauh dari tempat pertarungan tadi berlangsung,
terlihat pemuda berbaju kulit harimau yang
berhasil lolos dari pertarungan melawan gadis-
gadis cantik berbaju merah, sudah berhenti
berlari. Diturunkannya tubuh Palika dari
pondongannya. "Bagaimana keadaanmu?" tanya pemuda
berbaju kulit harimau itu, setelah membaringkan Palika di atas rerumputan yang
cukup tebal dan
agak basah oleh embun.
"Semakin parah," sahut Palika lirih.
Pemuda berbaju kulit harimau itu meraba
bagian dada Palika. Keningnya jadi berkerut
Sedangkan jalan napas Palika semakin perlahan
saja. Dan kini seluruh wajahnya sudah memucat
bagai tak teraliri darah lagi. Sinar matanya pun semakin kelihatan redup.
Dipandanginya pemuda
tampan berbaju kulit harimau yang telah
membawanya pergi dari gadis-gadis berbaju me-
rah. "Rasanya aku tidak akan bertahan lagi...,"
ujar Palika semakin perlahan suaranya. "Boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak?"
"Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau itu. "Ugkh...!" Palika terbatuk. Dari
mulutnya menyemburkan darah kental agak kehitaman.
Kembali dipandanginya wajah pemuda berbaju
kulit harimau yang mengaku bemama Bayu. Dan
dia memang Bayu, yang dikenal berjuluk Pen-
dekar Pulau Neraka. Seorang pendekar muda
kosen yang sudah terkenal namanya di kalangan
rimba persilatan.
"Kenapa kau berusaha menolongku, Bayu"
Tidakkah kau tahu, akan sia-sia saja
menolongku," kata Palika tetap dengan suara begitu lirih dan perlahan sekali.
"Kau tahu, siapa mereka itu, Bayu...?"
Bayu hanya menggelengkan kepala saja.
"Mereka adalah para abdi setia Ratu Gua
Setan. Kekejaman mereka sudah terkenal. Kau
tahu, Bayu.... Mereka baru saja membawa
seorang laki-laki dari Desa Cendana," kata Palika lagi "Ya, aku tahu itu. Aku
melihat kejadiannya,"
sahut Bayu "Jadi, kau tahu semuanya...?"
"Tidak semuanya. Tapi aku tahu mereka
membawa seorang laki-laki dari Desa Cendana.
Aku juga tahu kalau laki-laki malang itu bukan
penduduk Desa Cendana, melainkan seorang
pemandu jalan di Hutan Bukit Merak. Tapi, aku
tidak tahu apa maksud mereka menculiknya,"
jelas Bayu lagi.
"Mereka orang-orang yang berilmu tinggi dan sa-ngat kejam, Bayu. Sudah lama aku
ingin membasminya. Tapi, mereka terlalu tangguh
buatku...,ugkh" Palika kembali terbatuk disertai semburan darah dari muhitnya.
"Mereka telah menghancurkan padepokan
ku. Mereka melumpuhkan dan menculik banyak teman
seperguruanku. Bahkan banyak yang dibunuh.
Guruku sendiri tewas di tangan Ratu Gua Setan
itu. Aku dendam sekali, Bayu. Tapi mereka
memang terlalu tangguh untukku."
"Hmmm.... Lalu, kenapa mereka ke Desa
Cenda-na?" tanya Bayu jadi ingin tahu.
"Seperti di desa-desa lain, mereka ingin
mencari laki-laki muda. Lalu desa itu akan
dihancurkan setelah tidak didapatkan lagi para
pemuda di sana. Aku tidak ingin Desa Cendana
menjadi korban kekejaman mereka. Karena, aku
berasal dari sana. Aku adalah putra Ki Langes,
Kepala Desa Cendana. Bayu.... Gua itu adalah
tempat tinggal mereka. Sudah lama aku selalu
mengamatinya, tapi belum pernah bertemu
langsung Ratu Gua Setan yang sebenarnya,"
Palika kembali menjelaskan seraya memberi tahu
dirinya yang sebenarnya.
"Hmmm.... Apakah mereka akan membunuh
pemuda-pemuda yang diculik?" tanya Bayu lagi.
Palika tidak menjawab pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka. Dia terus terbatuk-batuk disertai semburan darah kental agak
kehitaman beberapa
kali Lalu, tubuhnya jadi mengejang menggeletar.
Sedangkan kedua bola matanya terbeliak lebar,
dan mulutnya ternganga seperti menahan suatu
rasa sakit yang amat sangat. Dan sebentar
kemudian, seluruh tubuh Palika sudah lemas
kembali, dan tak bergerak-gerak lagi. Pingsan.
Seluruh rongga mulutnya dipenuhi darah kental
agak kehitaman yang menggumpal.
"Hhh..., dia pingsan," desah Bayu seraya menyapu darah di mulut Palika.
Beberapa saat Bayu memandangi tubuh
Pafika yang diam tak sadarkan diri akibat luka
yang sangat parah. Memang sangat parah luka
dalam yang diderita Palika. Sehingga menjadi tak sadarkan diri lagi. Perlahan
Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, lalu
dihembuskannya kuat-kuat. Sesaat dia masih memandangi tubuh Palika
yang terbujur diam tak sadarkan lagi.
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmmm..., Ratu Gua Setan. Mungkinkah
dia...?" gumam Bayu perlahan, bicara pada diri sendiri.
Sebentar pandangannya beredar berkeliling.
Kemudian dia mencoba untuk mengurangi luka
dalam yang diderita Palika dengan menyalurkan
hawa murni. "Aku harus segera membawanya ke tabib.
Tapi dia perlu pertolongan secepatnya terlebih
dahulu," desah Bayu.
Bayu bekerja disertai pengerahan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Sehingga dalam
waktu tidak berapa lama saja, dia sudah bisa
membuat wajah yang pucat itu kembali memerah.
Pendekar Pulau Neraka baru menghentikan
pekerjaannya setelah gerak di dada Palika
kembali teratur. Perlahan dipondongnya pemuda
itu dan dibawanya pergi dari tempat ini. Tapi
mendadak saja dia jadi berhenti tertegun.
"Hhh...! Tidak... dia masih punya orang tua.
Aku harus membawanya pulang lebih dahulu.
Aku harus menceritakan apa yang terjadi sebe-
narnya. Hmmm.... Desa Cendana benar-benar
berada di dalam ambang kehancuran," gumam
Bayu berbicara sendiri.
Bayu tidak jadi membawa Palika ke tabib
yang dikenalnya. Kemudian kepalanya berpaling
ke arah Timur, lalu kakinya terayun melangkah
menuju ke Desa Cendana. Palika masih berada di
dalam pondongan. Sementara tidak jauh di
belakang Pendekar Pulau Neraka, terlihat seekor monyet
kecil yang sejak tadi selalu
memperhatikan. Binatang itu berlari-lari kecil
mengikuti ayunan kaki pemuda berbaju kulit
harimau ini. *** Bayu mengayunkan kakinya perlahan-lahan
memasuki Desa Cendana. Saat itu pagi sudah
datang menjelang. Matahari tampak menyem-
burkan cahayanya yang kemerahan di ufuk
Timur. Begitu lembut cahayanya, tapi kelembutan itu seakan-akan adalah racun
kehancuran bagi
seluruh makhluk yang ada di atas bumi ini.
Belum banyak penduduk yang keluar dari
dalam rumahnya. Karena saat ini memang masih
terlalu pagi. Bayu terus melangkah perlahan-lahan
sambil mengamati rumah-rumah yang berjajar di
sepanjang jalan ini. Hanya beberapa orang saja
yang sudah terlihat berada di luar rumah. Tapi
semua orang yang berada di luar, kelihatannya
begitu lugu dan berusia lanjut. Mereka hanya
memandangi Pendekar Pulau Neraka saja, tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun juga. Padahal
mereka tahu, pemuda berbaju kulit harimau itu
tengah memondong seorang anak muda, putra
kepala desa ini! Sedangkan Bayu terus
mengayunkan kakinya menuju sebuah rumah
yang tampak besar dan berhalaman cukup luas.
Dia tahu, itu rumah Ki Langes. Seorang laki-laki tua yang menjadi Kepala Desa
Cendana ini. Baru
saja Bayu memasuki halaman rumah yang begitu
luas, pintu rumah itu sudah terbuka. Lalu, keluar seorang laki-laki tua berjubah
putih sambil memandang penuh tanda tanya. Dialah Ki
Langes, Kepala Desa Cendana.
Laki-laki tua berjubah putih itu tertegun
sejenak melihat di depan rumahnya berdiri
seorang pemuda tampan mengenakan baju dari
kulit harimau. Dan lebih tertegun lagi, karena
pemuda itu memondong sesosok tubuh laki-laki
muda. Mendadak saja, harinya tersentak, begitu
melihat wajah sosok tubuh yang dipondong itu.
"Palika..."!" sentak Ki Langes bagai tersengat lebah.
Bergegas laki-laki tua itu berlari-lari
menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang baru
saja meletakkan tubuh Palika ke tanah.
Sementara itu, Ki Langes langsung menubruk
tubuh pemuda yang masih belum sadarkan diri
itu. Pekikan Ki Langes yang keras tadi, sempat
mengejutkan beberapa orang yang berada di
dalam rumah itu. Mereka segera berhamburan
keluar, dan jadi terperangah begitu melihat Ki
Langes memeluk seorang pemuda yang diam
seperti mati. Perlahan Ki Langes mengangkat kepala
menatap Bayu yang masih berdiri saja di
depannya, kemudian memondong tubuh putranya
ini sambil bergerak berdiri. Kembali
dipandanginya Pendekar Pulau Neraka.
Sementara empat orang laki-laki bertubuh kekar
yang masing-masing menyandang golok di
pinggang, sudah berdiri berjajar di belakang
kepala desa itu.
"Siapa yang melakukan perbuatan keji ini
pada anakku.. ?" tanya Ki Langes langsung, dengan suara agak tersendat
"Orang-orangnya Ratu Gua Setan," sahut Bayu perlahan.
"Ohhh..."!"
Bukan hanya Ki Langes yang terkejut
mendengar nama yang disebutkan Pendekar
Pulau Neraka barusan. Bahkan empat orang
pembantunya yang berada di belakangnya
langsung tersentak kaget setengah mati. Tentu
saja mereka sudah mendengar nama itu. Sebuah
nama yang bisa membuat orang mati berdiri bila
mendengarnya. Dan mereka juga tahu, Palika
menaruh dendam pada Ratu Gua Setan itu.
Mereka juga tahu, apa yang terjadi pada
padepokan tempat Palika menimba ilmu-ilmu
kedigdayaan. Saat padepokannya dihancurkan Ratu Gua
Setan dan orang-orangnya, Palika memang
sedang ada di desa ini. Jadi hanya dia saja yang bisa selamat. Sedangkan
sebagian besar saudara
seperguruannya, bahkan gurunya sendiri tewas.
Dan tidak sedikit pula murid-murid padepokan
itu yang diculik. Entah, dibawa ke mana. Yang
jelas, sampai sekarang ini tidak ada kabar
beritanya lagi, tentang nasib murid-murid pade-
pokan itu. "Anak Muda, kau siapa...?" tanya Ki Langes setelah menyerahkan putranya kepada
dua orang pembantu yang langsung membawanya ke dalam
rumah untuk dirawat
"Namaku Bayu. Aku hanya seorang
pengembara yang kebetulan saja lewat, dan
melihat putramu dikeroyok mereka," jelas Bayu.
'Terima kasih, kau telah membawa anakku
pulang, Kisanak," ucap Ki Langes tetap terdengar pelan suaranya.
"Maafkan. Aku tidak bisa menyelamat
kannya. Dia mendapat luka dalam yang parah
sekali," ucap Bayu menyesal.
Pada saat itu, dari samping rumah muncul
Ratna Wulan. Gadis itu tampak terkejut begitu
melihat Bayu. Dan untuk beberapa saat, mereka
saling berpandangan. Ratna Wulan buru-buru
kembali menghilang di samping rumah kepala
desa ini, sebelum yang lain bisa mengetahui
kehadirannya. Lalu, Bayu kembali menatap Ki
Langes yang tampak berduka.
"Aku mohon diri, Ki...," pamit Bayu buru-buru.
"Ohhh... iya, iya...," sahut Ki Langes agak tergagap.
Bayu bergegas berbalik dan melangkah
mening-galkan rumah kepala desa itu.
Sementara, Ki Langes masih berdiri mematung
beberapa saat sampai Pendekar Pulau Neraka
jauh meninggalkannya. Tubuhnya kemudian
berbalik dan melangkah masuk ke dalam
rumahnya, diikuti dua orang pembantunya. Ki
Langes langsung menghempaskan tubuhnya
dengan lemas ke kursi Pandangannya begitu
nanar merayapi tubuh Palika yang terbujur tak
sadarkan diri di atas balai-balai bambu yang
berada di sudut ruangan depan rumah ini.
Tak ada seorang pun yang berbicara. Mereka
semua bisa merasakan, apa yang tengah
dirasakan laki-laki tua kepala desa itu. Meskipun sudah tahu apa yang terjadi,
tapi mereka tetap
saja sedih atas keadaan Palika. Dan mereka juga sudah tahu tekad Palika yang
rela mati demi membela nama perguruannya yang hancur oleh
Ratu Gua Setan dan orang-orangnya. Dan
sekarang, dia sendiri terluka oleh gadis-gadis
cantik abdi setia Ratu Gua Setan.
"Ki, apa tidak mungkin semua pembunuhan
yang terjadi di sini juga dilakukan Ratu Gua
Setan...?" ujar Dirat, salah seorang pembantu kepala desa itu
Ki Langes hanya diam saja. Wajahnya
diangkat, dan berpaling menatap laki-laki
bertubuh tegap pembantunya ini. Sedangkan
Dirat jadi terdiam. Dan tiga orang lainnya juga terdiam membisu tanpa bersuara
lagi. "Hhh...! Kalau memang benar, desa ini jelas berada di dalam ambang kehancuran,"
desah Kl Langes terasa begitu berat sekali.
"Kita harus segera bertindak, Ki," selak Racika yang sejak tadi terdiam saja.
"Apa yang bisa kita lakukan, Racika..."
Mereka bukan orang-orang sembarangan. Bahkan
Eyang Wanapati saja tidak mampu
menghadapinya," keluh Ki Langes seperti
berputus asa. "Tapi, Ki. Kita tidak bisa tinggal diam begitu
saja melihat mereka menggerogoti desa ini hingga
hancur tak bersisa lagi. Cepat atau lambat, desa ini akan hancur, Ki," selak
Landong. "Benar, Ki. Kita harus secepatnya bertindak.
Tidak banyak jumlah pemuda di sini, Ki.
Kebanyakan, mereka pergi menuntut ilmu ke
padepokan-padepokan. Itu berarti kehancuran
desa ini akan semakin cepat, kalau mereka tidak lagi mendapat anak-anak muda di
sini," kata Dirat lagi.
"Lalu, apa yang akan kalian lakukan..."
Menan-tang mereka bertarung?"
Tak ada seorang pun yang menjawab
pertanyaan Ki Langes barusan. Memang tidak
mungkin menantang bertarung Ratu Gua Setan.
Menghadapi lima orang gadis-gadis abdinya saja
mereka belum tentu bisa bertahan. Mereka sadar, tidak ada lagi yang bisa
dilakukan selain menunggu dan menyaksikan kehancuran Desa Cen-
dana ini, Dan mereka tahu, hal itu tidak akan la-ma lagi terjadi.
*** 5 Peristiwa yang dialami Palika memang
menjadi awal bencana yang sebenarnya di Desa
Cendana. Dalam tujuh hari ini saja, sudah terjadi lima kali pembunuhan pemuda
desa. Bahkan pemuda-pemuda itu diculik dari rumahnya pada
malam hari, lalu pagi harinya ditemukan sudah
jadi mayat dengan leher terkoyak hampir
buntung. Tapi mereka jadi heran, karena be-
berapa orang yang sempat melihat penculikan
pemuda-pemuda itu mengatakan hanya satu
orang yang melakukan.
Penculik itu ternyata seorang wanita yang
sukar dikenali wajahnya, karena tertutup rambut panjang yang teriap tak teratur.
Namun, rambutnya ternyata tidak berwarna merah seperti yang dikatakan Palika. Itu
berarti bukan Ratu
Gua Setan yang melakukan semua pembunuhan
ini, tapi orang lain yang juga mengenakan baju
merah. Inilah yang membingungkan Ki Langes
dan para pembantunya. Karena, selama ini
mereka menduga kalau Ratu Gua Setan yang
melakukan semua pembunuhan itu.
Seperti malam-malam sebelumnya, Dirat
dan tjga orang temannya selalu meronda keliling Desa Cendana ini. Mereka benar-
benar berharap bisa bertemu manusia terselubung teka-teki yang telah menciptakan neraka di desa
ini Tapi sampai jauh malam, mereka belum juga bisa bertemu
orang itu. Dan memang sudah beberapa malam
ini mereka selalu kecolongan. Mereka tidak
melihat apa-apa, tapi pagi harinya selalu
menemukan sesosok mayat tergeletak di pinggir
jalan. "Rasanya seperti malam malam yang lalu, kita tidak mungkin bisa bertemu
setan aneh itu,"
desah Carika perlahan sambil melipat tangan,
mencoba mengusir rasa dingin.
"Aku merasa...," kata-kata Dirat tiba-tiba terputus.
"Ada apa, Dirat?" tanya Carika.
"Perhatikan rumah itu...," sahut Dirat setengah berbisik, sambil menunjuk sebuah
rumah yang berada tepat di tikungan jalan.
Tepat pada saat itu, sebuah bayangan merah
berkelebat keluar dari rumah, tepat ketika
terdengar jeritan melengking tinggi dari dalam
rumah itu. "Ayo, kita kejar...!" seru Dirat.
"Hiyaaat...!"
Tanpa menunggu yang lain, Dirat langsung
saja melompat cepat mengejar bayangan merah
yang berkelebat cepat keluar dari dalam rumah
itu Carika dan dua orang Iain lagi segera
berlompatan cepat mempergunakan ilmu
Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meringankan tubuh, mengikuti Dirat yang sudah
lebih dahulu berlari cepat.
"Hup! Yeaaah...!"
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Dirat,
memang sudah mencapai tingkatan tinggi.
Sehingga hanya beberapa kali lompat saja,
bayangan merah itu berhasil dikejarnya.
"Berhenti...!" seru Dirat membentak.
"Hih...!"
Tiba-tiba saja bayangan merah itu berbalik
cepat begitu berhenti. Dan tanpa diduga sama
sekali, tangan kanannya langsung dikebutkan
dengan kecepatan luar biasa. Seketika itu juga,
dari lipatan lengan baju yang longgar meluncur
beberapa buah benda kecil seperti jarum
berwarna merah.
"Heh..."! Hup...!"
Dirat terkejut bukan main. Cepat-cepat
tubuhnya melenting, berjumpalitan di udara
menghindari benda-benda kecil seperti jarum
yang berwarna merah. Benda-benda yang
merupakan senjata rahasia itu berhamburan
deras di sekitar tubuh Dirat, tapi tak satu pun yang mampir ke tubuhnya. Dan
dengan manis sekali, Dirat menjejakkan kakinya di tanah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Dirat
langsung melompat cepat menyerang. Langsung
diberikannya beberapa pukulan menggeledek,
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Haiiit..!"
Tapi sosok tubuh berbaju merah itu bisa
menghindari setiap serangan yang dilancarkan
Dirat. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu indah
dan manis, hingga tak satu pun pukulan Dirat
Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 3 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Rajawali Emas 6