Pencarian

Di Balik Caping Bambu 1

Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu Bagian 1


DI BALIK CAPING BAMBU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengeopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 014 :
Di Balik Caping Bambu
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Tolooong.. !"
Terdengar teriakan keras melengking tinggi
memecah keheningan malam. Teriakan itu
terdengar berulang-ulang dari tepi sebuah hutan yang sangat lebat dan menghitam
pekat. Tampak seorang wanita muda dengan baju koyak dan
tubuh berlumur darah berlari terseok-seok.
Wanita itu menjerit-jerit minta tolong. Tapi tidak seorang pun yang mendengar
jeritannya, karena
hutan itu memang sangat jauh dari pemukiman
penduduk. "Ha ha ha.. !"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar
menghalau suara jeritan wanita itu.
"Oh!" wanita itu tersentak kaget.
Belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba
muncul sesosok bayangan hitam! Sebuah caping
lebar hampir menutupi seluruh kepalanya. Mata
wanita itu membeliak dengan tubuh bergetar dan
wajah pucat pasi.
"Tolong, jangan sakiti aku. . Ampuuun.. ,"
rintih wanita itu memelas.
Sosok tubuh itu hanya membisu sambil berdiri
tegak dengan kedua tangan sejajar tubuhnya.
Pelahan-lahan kakinya terayun semakin dekat.
Tubuh wanita itu pun semakin gemetar dan
wajahnya sudah memucat bagai mayat.
"Jangan.. , tolong, biarkan aku pergi. Jangan bunuh aku! Jangan.. ," rintih
wanita itu, bergetar suaranya.
Tidak ada suara sedikit pun yang terdengar
dari sosok hitam bercaping lebar itu. Dia tetap melangkah pelahan semakin
mendekat. Dan setelah jaraknya tinggal tiga langkah lagi, tiba-tiba tangannya bergerak cepat
menyampok kepala
wanita itu! "Aaa. .!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi
terdengar menyayat hari. Dan belum lagi jeritan itu hilang dari pendengaran,
tubuh wanita itu
telah ambruk ke tanah dengan kepala terpisah
dari leher! Darah segar pun langsung menyemburat deras keluar dari leher yang
buntung itu. "Ha ha ha.. !"
Kembali terdengar suara tawa terbahak-
bahak. Sesaat kemudian, suara tawa itu
menghilang, disertai lanyapnya sosok tubuh
hitam bercaping lebar itu. Kini suasana malam
menjadi sunyi seketika. Tidak lagi terdengar
suara apa pun. Malam yang pekat dan awan
hitam yang menggantung di langit, membuat
suasana di tepian hutan itu semakin menyeramkan. Angin berhembus agak kencang,
sehingga memperdengarkan suara menggemuruh.
Bau anyir darah yang mengalir deras dari leher
tanpa kepala itu, menguar kemana-mana.
Setelah agak lama suasana seperti itu terjadi,
dari arah Selatan terlihat dua orang berlari-lari cepat ke arah tepian hutan.
Semakin dekat, semakin jelas rupa kedua orang itu. Yang seorang terlihat sudah berumur sekitar
lima puluh tahun, ia mengenakan baju putih bersih yang agak ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang tegap
berotot. Sedangkan yang satunya lagi terlihat
masih muda, memakai baju biru tua. Di pinggang
mereka masing-masing tergantung sebilah pedang panjang.
Kedua laki-laki itu berhenti, tepat di dekat
sosok tubuh wanita yang menggeletak tak
bernyawa lagi dengan kepala terpisah cukup jauh dari badannya.
"Kita terlambat, Paman," desah pemuda yang memakaibaju biru tua.
"Ya," sahut laki-laki setengah baya itu lirih.
Beberapa saat lamanya kedua laki-laki itu
hanya diam membisu sambil memandangi sosok
tubuh tidak bernyawa lagi itu. Darah segar masih saja mengucur dari leher yang
buntung. Pemuda
berbaju biru tua mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Sedangkan laki-laki setengah baya dan memakai baju putih itu,
melangkah mendekati
kepala yang terpisah dari badannya. Dipungutnya kepala itu dan disatukan kembali
dengan lehernya. Kemudian dibetulkannya letak tubuh
wanita itu agar terbaring sempurna. Sebentar
dipandanginya mayat itu, kemudian bangkit
berdiri seraya menarik napas panjang.
"Kumpulkan ranting-ranting kayu, Randu
Watung," perintah laki-laki setengah baya berbaju putih itu.
Pemuda berbaju biru tua yang dipanggil
Randu Watung itu tidak membantah. Segera
dipungutnya ranting-ranting
yang banyak berserakan di sekitar tepian hutan ini. Kemudian ditumpuknya
ranting-ranting
itu untuk mengubur mayat wanita tersebut, sehingga
seluruh tubuhnya tertutup ranting kering.
Pemuda itu kemudian menyalakan api dari
pemantik yang diambilnya dari sabuk pinggangnya. Api langsung berkobar besar dan
melahap ranting-ranting kering itu. Terdengar
ledakan-ledakan kecil, disertai bunga api meletup menghiasi angkasa yang kelam.
Randu Warung melangkah menghampiri laki-laki setengah baya
yang dikenal dengan nama Martalaya itu.
"Lebih baik jasadnya dibakar, daripada
dijadikan santapan binatang liar," kata Martalaya pelan.
"Sebaiknya kita kembali saja, Paman. Aku
khawatir kuda-kuda kita ada yang mencuri," ujar Randu Warung setengah berbisik.
"Ayolah."
Kemudian kedua laki-laki itu pun mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Mereka berjalan pelahan dengan kepala agak
tertunduk. Sesekali Martalaya menoleh ke
belakang, menatap api yang masih terlihat besar.
Bau yang khas mulai tercium. Dan kedua laki-laki itu terus melangkah semakin
jauh meninggalkan
tempat itu. Mereka tidak menyadari kalau ada
sepasang mata yang mengawasi dari tempat yang
cukup tersembunyi!
*** "Paman. .!" seru Randu Watung.
Ki Martalaya bergegas menghampiri pemuda
itu. Sejenak mulutnya ternganga dan matanya
membeliak lebar. Betapa tidak" Tempat mereka
bermalam sudah porak poranda, dan kuda-kuda
mereka pun hilang, entah ke mana perginya"
Padahal baru beberapa saat saja ditinggalkan,
karena mendengar jeritan minta tolong, disusul
dengan pekikan panjang melengking tinggi.
"Sejak semula aku sudah khawatir, Paman,"
kata Randu Watung bernada menyesali.
"Randu Watung, kita kedatangan tamu. Hati-
hatilah. .," bisik Martalaya, tanpa menghiraukan gerutuan pemuda itu.
Belum lagi Randu Watung bisa membuka
mulut, mendadak sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat bagaikan kilat dan langsung
meluruk deras ke arah pemuda itu. Namun
Randu Watung ternyata bukanlah seorang
pemuda kosong. Dengan kecepatan yang sukar
diikuti mata biasa, pemuda itu melompat ke
samping menghindari terjangan bayangan hitam
itu. Randu Watung langsung melompat mendekati
Martalaya. Dan mereka jadi terpaku begitu
melihat sosok tubuh hitam mengenakan caping
lebar yang hampir menutupi seluruh kepalanya,
tahu-tahu sudah berdiri tegak sekitar tiga batang tombak jauhnya dari mereka.
Kedua tangan sosok
tubuh hitam itu terlipat di depan dada. Martalaya menoleh pada Randu Watung yang
saat itu juga sedang menatapnya.
"Hati-hati, Randu. Tampaknya dia memiliki
kepandaian yang tidak rendah," ujar Martalaya setengah berbisik.
"Iya, angin sambarannya sungguh luar biasa,"
sahut Randu Watung. Kembali ditatapnya sosok
tubuh hitam di depannya.
Martalaya melangkah maju tiga tindak.
Dengan sikunya, digesernya gagang pedang agak
ke depan. Tangan kanannya langsung menggenggam gagang pedang yang menggantung
di pinggangnya. Sikapnya begitu waspada, dan
tatapan matanya tajam menusuk. Ingin dilihatnya wajah sosok tubuh di depannya, tapi
seluruh wajah orang itu tertutup caping yang
lebar. Hanya bagian dagunya saja yang terlihat
putih. "Siapa kau" Kenapa menyerang kami tanpa
alasan?" tanya Martalaya, datar nada suaranya.
"Hm.. , kalian berdua telah lancang. Berani mencampuri urusanku!" dengus sosok
tubuh hitam bercaping lebar itu.
Martalaya menggumam tidak jelas. Kepalanya
sedikit dimiringkan
ke kanan dan agak mendongak ke atas. Sepertinya sedang berusaha
menebak-nebak siapa orang di depannya ini.
Suaranya terdengar dibuat-buat, dan sepertinya
hendak menyembunyikan keadaan dirinya.
Sukar bagi Martalaya untuk memastikan
apakah orang itu laki-laki atau perempuan.
Bentuk tubuhnya memang terlihat ramping,
namun sangat tegap dan padat berisi. Tangannya
yang hanya terlihat sampai pergelangan saja,
memang berkulit putih halus bagai tangan
seorang wanita. Juga kakinya yang berbentuk
indah. Dilihat dari bentuk tubuhnya, Martalaya
menduga kalau orang itu adalah perempuan.
Terlebih lagi dengan adanya gundukan kembar
pada dadanya yang tertutup baju hitam yang
rapat sampai menutupi leher.
"Nisanak, aku tidak kenal siapa kau. Dan aku juga tidak tahu maksud kata-katamu.
Tolong berikan penjelasan, dan seandainya kami berbuat kesalahan, aku mohon maaf," ucap
Martalaya sopan.


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sosok tubuh hitam bercaping lebar itu tidak
menyahuti. Namun tiba-tiba saja dia melompat
cepat bagaikan kilat disertai pukulan beruntun
sebanyak tiga kali. Martalaya tersentak kaget.
Buru-buru dia melompat mundur menghindari
terjangan gadis itu. Tubuhnya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan cepat,
lalu dibalasnya
serangan mendadak itu dengan melayangkan
satu tendangan cepat menggeledek.
"Hait. .!"
Tapi sosok tubuh yang bentuknya seperti
wanita muda itu lebih cepat lagi berkelit dengan melentingkan tubuhnya ke atas.
Dan pada saat rubuhnya melayang di udara, tanpa diduga sama
sekali dihantamnya kepala Martalaya dengan
satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi!
"Akh. .!" Martalaya memekik tertahan.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu
terpental ke samping. Tubuhnya jatuh dan
bergulingan beberapa kali. Tapi belum lagi tubuh laki-laki itu berhenti
berguling, tubuh hitam
bercaping lebar itu sudah meluruk deras ke
arahnya. Kembali dilepaskannya satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat..!"
Tapi belum juga orang itu bisa melaksanakan
maksudnya, Randu Watung sudah melompat
cepat memotong arus terjangan orang berbaju
serba hitam itu. Randu Watung menghentakkan
tangan kanannya ke arah perut. Tapi rupanya
orang berbaju hitam itu tidak bisa dianggap
enteng. Diegoskan tubuhnya sedikit ke kanan,
dan sodokan tangan Randu Watung pun meleset
dari sasaran. Dan belum lagi Randu Watung bisa
menarik pulang tangannya, tiba-tiba. .
Des! "Akh. .!" Randu Watung memekik keras.
Tanpa dapat dihindari lagi, satu pukulan telak
mendarat di dada pemuda itu. Tubuh Randu
Watung pun langsung terjengkang ke belakang,
dan punggungnya menghantam pohon dengan
keras hingga tumbang!
"Mampus kau! Hiyaaa.. !" teriak sosok tubuh berbaju hitam pekat itu.
Ia langsung melompat ke arah Randu Watung
yang saat itu sedang berusaha bangkit berdiri.
Dari udut bibir pemuda itu mengucurkan darah
kental agak kehitaman. Randu Watung terkesiap
begitu melihat orang berbaju hitam yang tidak
banyak bicara itu sudah melompat hendak
menyerang kembali. Tapi belum juga Randu
Watung bisa melakukan sesuatu, mendadak
Martalaya melompat memapak serangan itu.
"Hait. !"
Dug! "Akh. .!"
Sungguh luar biasa! Pukulan Martalaya yang
disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi
itu, malah berbalik menghantam dirinya sendiri.
Dan akibatnya tubuh laki-laki setengah baya itu terpental deras ke belakang.
Sedangkan orang
berbaju hitam dan bercaping lebar itu hanya
terdorong satu langkah saja, padahal pukulan
Matalaya tadi tepat bersarang di dadanya.
"Phuih! Rupanya kau ingin lebih dulu ke
neraka!" dengus orang berbaju serba hitam itu.
Karena marahnya, dia lupa mempergunakan
ilmu yang bisa merubah suara. Sehingga
terdengar suara merdu seorang wanita. Tapi
semua itu tidak sempat diperhatikan Martalaya,
karena orang bercaping itu sudah melompat cepat bagaikan kilat ke arah laki-laki
setengah tua yang sedang berusaha bangkitberdiri itu.
"Paman, awas.. !" teriak Randu Watung keras.
Tapi peringatan pemuda itu terlambat, karena
satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi sudah bersarang di dada
Martalaya, sehingga
tubuh laki-laki. setengah baya itu kembali
terpental ke belakang sambil menjerit keras
melengking tinggi. Dua pohon besar langsung
tumbang terlanda tubuhnya.
Tapi Martalaya masih juga bisa bangkit
berdiri, meskipun agak limbung. Laki-laki
setengah baya itu mencabut pedang yang
berwarna keperakan dan segera disilangkan di
depan dadanya. Tatapan matanya begitu tajam,
dan bibirnya terkatup rapat. Tapi tidak bisa
mencegah darah yang merembes dari sudut
bibirnya. "Randu, cepat pergi! Dia bukan lawanmu!"
seru Martalaya keras.
"Paman. . "
"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Martalaya.
Randu Watung kelihatan ragu-ragu. Hatinya
tidak bisa membiarkan Martalaya dalam keadaan
seperti itu sendirian. Tapi mengingat dirinya yang terluka dalam cukup parah,
Randu Watung tidak
punya pilihan lain. Bisa dimengerti, kenapa orang tua itu menyuruh pergi
secepatnya. Sementara Randu Watung masih diliputi
kebimbangan, orang bercaping lebar itu sudah
kembali melompat cepat bagaikan kilat, disertai teriakan keras melengking
tinggi. Serangan yang begitu cepat dan sukar diikuti pandangan mata
biasa itu, membuat Martalaya sedikit gugup.
Namun dengan cepat dia melompat ke samping
seraya mengibaskan pedangnya.
"Randu, cepat pergi. .!" seru Martalaya keras.
Perintah yang keras dan bernada tegas itu
membuat Randu Watung tersentak. Kemudian
setelah agak lama berpikir, dia langsung
melompat cepat meninggalkan tempat itu.
Meskipun dalam keadaan terluka cukup parah,
namun Randu Watung masih juga bisa mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Meskipun tidak sebaik ketika tubuhnya dalam
keadaan normal.
"Keparat. !"geram orang bercaping lebar itu.
*** Menyadari tidak mungkin lagi mengejar
Randu Watung, orang berbaju serba hitam yang
kepalanya tertutup caping lebar itu jadi geram
setengah mati. Dia berteriak keras, dan langsung menyerang Martalaya dengan
ganas. Serangan
yang demikian cepat disertai pengerahan tenaga
dalam sangat tinggi itu, membuat Martalaya
kewalahan juga sehingga jatuh bangun menghindari serangan yang beruntun itu.
"Hiya. .! Hiyaaa. .!"
Sambil berteriak keras, orang berbaju serba
hitam itu melompat ke depan, dan kakinya
menendang cepat ke arah kepala Martalaya. Tapi
laki-laki tua itu masih bisa menghindar dengan
merundukkan tubuhnya sedikit. Namun untuk
serangan kedua yang dilancarkan lebih cepat,
Martalaya tidak sanggup lagi menghindar.
Dalam keadaan tubuh masih di udara, orang
bercaping itu mampu melemparkan dua buah
pisau kecil yang tipis. Kedua pisau itu tidak bisa dielakkan
oleh Martalaya, dan langsung menghunjam dalam hingga ke pangkal gagangnya. "Aaa. .!" Martalaya menjerit melengking tinggi.
Tubuh Martalaya langsung limbung, dan
darah merembes keluar dari dadanya yang
tertembus dua pisau bergagang segitiga seperti
sebuah caping. Pada saat tubuh Martalaya limbung, orang
bercaping lebar itu melayangkan satu tendangan
keras, disusul dengan pukulan geledek bertenaga dalam cukup tinggi ke arah
kepala. Kembali
Martalaya menjerit keras melengking. Pedang di
tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dipegangi kepalanya yang retak berlumuran
darah segar. "Mampus! Hih. .!"
Satu pukulan menggeledek kembali mendarat
di dada Martalaya. Untuk ke sekian kalinya, laki-laki setengah baya itu
menjerit. Tubuhnya
terlontar deras dan menabrak sebongkah batu
besar hingga hancur berantakan! Tubuh tegap itu pun langsung menggelosor ke
tanah. Belum juga
puas melihat lawannya masih bernapas, orang
bercaping lebar itu lalu mengambil sebongkah
batu besar berwarna hitam dan berlumut.
"Hiyaaa.. !"
Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu
melenting tinggi ke udara, lalu dengan derasnya meluncur turun. Dan tangannya
dihentakkan cepat ke bawah. Batu yang berada di dalam
cengkeraman jari-jari lentik itu,
langsung dihempaskan ke kepala Martalaya.
"Aaa. .!"
Darah langsung muncrat begitu kepala
Martalaya hancur berantakan tertimpa batu yang
hampir sebesar kepala kerbau itu. Hanya
sebentar Martalaya mampu bergerak, kemudian
tubuhnya mengejang dan tidak bergerak-gerak
lagi. Orang berbaju hitam itu berdiri tegak
memandangi mayat yang kepalanya sudah tak
berbentuk lagi itu.
"Huh! Satu lolos. .!" dengus orang itu kesal.
Dilayangkan pandangannya ke arah Randu
Watung tadi melesat pergi. Malam yang gelap
dan pekat, menghalangi pandangan matanya.
Terlebih lagi saat itu udara dipenuhi kabut tebal.
Lagi-lagi orang bercaping lebar itu menggerutu
dan kakinya menghentak ke tanah karena kesal.
"Randu Watung. .. Hm.. , namamu Randu
Watung. Huh! Kau tidak akan bisa lolos dariku,
Randu Watung. Tidak ada seorang pun yang boleh
mencampuri urusanku. Huh!"
Sambil bersungut-sungut
kesal, orang bercaping lebar itu langsung melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Lesatannya sungguh
cepat luar biasa, sehingga bagaikan hilang saja!
Kini keadaan di sekitar tempat itu menjadi sunyi senyap bagai tidak pernah
terjadi sesuatu. Hanya sosok tubuh dengan kepala pecah saja yang
menjadi saksi bahwa di tempat itu tadi,
berlangsung suatu pertempuran yang cukup
dahsyat. Pertempuran yang meminta korban
nyawa seorang laki-laki setengah baya.
Beberapa saat lamanya setelah orang berbaju
hitam dan bercaping lebar itu lenyap, muncul
Randu Watung dari balik semak belukar. Pemuda
itu terseok-seok mendekati mayat Martalaya.
Langsung ditubruk dan dipeluknya tubuh yang
berlumuran darah itu.
"Paman, kenapa kau korbankan nyawamu
hanya untuk menyelamatkanku. .?" rintih Randu Watung! "Paman, aku berjanji di
depan jasadmu. Akan kubalas kematianmu, dan kubunuh orang
itu. Aku juga berjanji akan menemukan si Mata
Iblis. Dendammu akan kubalaskan, Paman. Aku
janji. .!"
*** 2 Siang itu langit tampak cerah. Awan tipis
berarak mengikuti hembusan angin yang datang
semilir menyejukkan. Matahari bersinar indah,
membawa makna kehidupan bagi seluruh
makhluk di permukaan bumi ini. Namun semua
keindahan itu seperti tidak dinikmati oleh seorang pemuda berbaju biru tua yang
berjalan terseok-seok sambil menekan dadanya dengan tangan
kanan. Sesekali bibirnya meringis merasakan
sakit pada rongga dadanya.
"Hoek.. !"
Pemuda itu memuntahkan darah kental
kehitaman. Kemudian tubuhnya limbung, dan
tiba-tiba ambruk ke tanah berumput basah.


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu berusaha bangkit berdiri, tapi
tenaganya tidak mampu lagi menahan berat
tubuhnya. Tubuhnya kembali ambruk, dan
memuntahkan darah kental kehitaman. Pemuda
itu berusaha merayap, menggapai-gapai
mendekati sebuah sungai kecil yang berair jernih di depannya.
"Oh. .," rintihnya lirih. Bibirnya semakin lebar meringis. Pandangannya
berkunang-kunang, dan
kepalanya terasa berat, bagai terbebani batu yang sangatbesar.
Dengan sekuat tenaga, pemuda berbaju biru
tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Kelopak
matanya disipitkan. Samar-samar dilihatnya
bayangan seseorang yang berdiri tidak jauh di
seberang sungai kecil itu. Pemuda itu berusaha
menajamkan penglihatannya yang
semakin berkurang, dan belum lagi dapat melihal jelas,
penglihatannya sudah menghilang sama sekali,
lalu terkulai tidak sadarkan diri.
Seorang laki-laki muda berwajah cukup
tampan, melompat indah menyeberangi sungai
kecil itu. Dia langsung mendarat tepat di dekat pemuda berbaju biru yang
tergeletak tidak
sadarkan diri lagi. Pemuda itu kemudian duduk
bertumpu pada lututnya di tanah, sebentar
diperiksanya tubuh yang tergeletak itu, kemudian kepalanya
terangguk-angguk.
Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, pemuda berwajah cukup tampan dengan garis-
garis kekerasan itu, mengangkat tubuh yang
tergeletak pingsan. Lalu dibawanya ke tempat
yang teduh dan terlindung dari sengatan
matahari. Dibaringkannya tubuh pemuda berbaju
biru tua itu dibawah pohon yang berumput tebal.
"Hm.. ., lukanya cukup parah. Harus kukeluarkan racun di dalam tubuhnya dulu,"
gumam pemuda berbaju kulit harimau itu
pelahan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda
berbaju kulit harimau itu duduk bersila. Kedua
telapak tangannya merapat di depan dada dan
matanya terpejam. Tidak lama kemudian matanya terbuka, dan tangannya langsung
dihentakkan ke depan. Erat sekali kedua telapak tangannya menempel di dada
pemuda yang menggeletak tidak sadarkan diri itu. Tampak
asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan wajahnya
mulai memerah, pertanda dia tengah berusaha
menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh
pemuda berbaju biru tua itu
"Uh.. ."
Dengan satu keluhan pendek, dilepaskan
tangannya dari dada bidang yang terbuka itu.
Kemudian ditempelkan kembali telapak tangannya erat-erat setelah menggerak- gerakkannya sesaat. Kembali asap tipis mengepul dari sela-sela jarinya yang
bergetar. Tampak dari seluruh pori-pori tubuh pemuda berbaju biru itu merembes
darah. Dari mulut dan hidungnya juga
mengeluarkan darah agak kehitaman. Semakin
lama darah yang keluar dari mulutnya semakin
banyak. Sedikit demi sedikit darah kehitaman itu berubah merah dan segar.
"Hhh. .!" pemuda berbaju kulit harimau itu menarik napas panjang.
Pelahan-lahan dilepaskan tangannya dari dada
yang terbuka lebar. Kemudian jari-jari tangannya bergerak lincah menotok
beberapa bagian tubuh
pemuda yang menggeletak pingsan di depannya.
Kembali ditariknya napas panjang, lalu digeser
duduknya agak menjauh. Kedua tangannya
bergerak-gerak di depan dada, kemudian pelahan
turun ke bawah, dan berhenti tepat di lututnya
yang tertekuk. "Hsss.. !"
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya
sebentar menghimpun kembali tenaga dalam dan
hawa murni yang terkuras akibat berusaha
mengeluarkan racun dalam tubuh pemuda
berbaju biru tua itu. Bersama dengan tersadarnya pemuda berbaju biru itu, dia
juga membuka matanya. "Ohhh. .," rintih pemuda berbaju biru itu lirih.
"Jangan banyak bergerak dulu. Racun di
tubuh belum semuanya terbuang," ujar pemuda itu seraya mendekati.
"Oh. ., siapa kau?" tanya pemuda itu seraya berusaha bangkit. Tapi keburu
ditahan, sehingga dia rebah lagi.
"Namaku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.
"Bayu.. . Sepertinya aku belum mengenalmu."
"Memang, kita belum saling mengenal. Aku
menemukanmu dalam keadaan pingsan dan
terluka cukup parah."
'Terima kasih."
"Siapa namamu?" tanya Bayu.
"Randu Watung."
"Siapa yang melukaimu?" tanya Bayu lagi.
Randu Watung tidak langsung menjawab,
menarik napas panjang dan berat. Terlalu sukar
untuk menjawab pertanyaan Bayu Hanggara
yang lebih kenal dengan panggilan Pendekar
Pulau Neraka. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu siapa yang melukai dan membunuh
pamannya. Orang itu sukar dikenali. Seluruh wajahnya
tertutup caping lebar dan pakaiannya serba
hitam. "Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir
dulu. Sebaiknya kau beristirahat," ujar Bayu memaklumi.
'Ya, dadaku masih terasa sakit," pelan suara Randu Watung.
"Hm.. ."
Randu Watung memejamkan matanya kembali. Dia berusaha menghimpun hawa murni
untuk membantu mempercepat pemulihan tubuhnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka
duduk bersila di sampingnya, tidak ada lagi yang dibicarakan. Tapi dilihat dari
kening Bayu yang berkerut, sudah bisa ditebak kalau ia memikirkan sesuatu. Entah
apa yang dipikirkannya, yang jelas beberapa kali diliriknya Randu Watung yang
masih terpejam.
*** Randu Watung melangkah pelahan-lahan di
samping Pendekar Pulau Neraka. Saat itu
matahari sudah condong ke arah Barat. Sinarnya
mulai redup, tidak lagi terik seperti semula.
Mereka berhenti melangkah dan memandang
lurus tidak berkedip ke depan. Tampak sebuah
perkampungan kumuh yang letak rumah-
rumahnya tidak teratur, dan jalanannya becek
berlumpur. Randu Watung menoleh pada Pendekar l'ulau Neraka. Tangan kanannya masih
memegangi dadanya yang belum hilang rasa
sakitnya. "Kau perlu tempat untuk menyembuhkan luka
dalammu, Randu Watung," kata Bayu, seakan
mengerti maksud pandangan pemuda berbaju
biru itu. "Apa penduduk desa itu akan menerima kita"
tanya Randu Watung.
"Mudah-mudahan saja," sahut Bayu agak mendesah.
"Tunggu sebentar, Bayu!" cegah Randu
Watung melihat Bayu akan melangkah.
Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan
langkahnya. Ditatapnya pemuda di sampingnya.
"Aku merasa ada yang aneh di desa itu, Bayu, kata Randu Watung pelan.
Bayu mengerutkan keningnya. Kemudian
menoleh kembali menatap ke arah desa yang
terlihat di depannya. Semakin dalam kerutan di
keningnya. Memang tidak seperti desa-desa
lainnya. Desa di depan itu sungguh tidak sedap
dipandang mata. Kadaannya tidak teratur dan
berantakan sekali. Bahkan terlihat ada sekitar
lima rumah hancur berantakan hampir rubuh.
Juga tidak terlihat seorang pun penduduk di sana.
Suasananya sunyi sepi seperti tidak berpenduduk sama sekali.
Dan belum jauh Pendekar Pulau Neraka itu
berpikir lebih lama, tiba-tiba di sekitar mereka bermunculan orang-orang
bertampang beringas
menghunus senjata tajam. Bayu menggeser
kakinya mendekati Randu Watung. Sebentar saja
mereka sudah dikepung tidak kurang dari
sepuluh orang bersenjata terhunus. Mereka
semuanya memakai ikat kepala berwarna merah
tua dengan bulatan hitam pada keningnya
"Si Mata Iblis.. ," desis Randu Warung pelan begitu pelannya sehingga hampir
tidak terdengar oleh Pendekar Pulau Neraka.
"Hm.. ., kau kenal mereka, Randu Watung?"
tanya Bayu setengah bergumam.
'Ya, mereka anak buahnya si Mata Iblis," sahut Randu Watung.
"Si Mata Iblis"! Siapa dia?" tanya Bayu lagi.
Belum sempat Randu Watung menjawab, tiba-
tiba dua orang dari pengepung itu melompat
sambil berteriak nyaring. Golok mereka yang
tajam berkilat, berkelebatan cepat mengarah ke
bagian-bagian tubuh Bayu dan Randu Watung
yang mematikan. Namun gerakan Pendekar
Pulau Neraka itu lebih cepat dari dua orang
penyerang itu. Dan sekali gebrak saja, mereka
terpelanting seraya memekik keras!
Tubuh mereka bergulingan di tanah, namun
segera bangkit kembali dan menyilangkan
goloknya di depan dada. Sementara Bayu sudah
siap, dan berusaha agar Randu Watung tidak
banyak bergerak, karena luka dalamnya belum
sembuh benar. Gerakan-gerakan
yang dipaksakan, akan menambah parah luka dalamnya. "Jangan bertindak kalau tidak terpaksa,
Randu," pesan Bayu.
"Seraaang. .!" tiba-tiba
terdengar sebuah
seruan keras. Seketika itu juga, sepuluh orang bersenjata
golok dengan ikat kepala merah itu bergerak
berlompatan menyerang. Mereka berteriak memekakkan telinga seraya mengelebatkan
golok-goloknya cepat mengincar bagian tubuh
yang mematikan. Namun mereka tidak menyadari kalau berhadapan dengan seorang
pendekar yang tangguh dan pilih tanding.
Seorang pendekar muda yang sudah malang-
melintang di rimba persilatan.
Meskipun harus melindungi seseorang yang
sedang mengalami luka dalam cukup parah,
Pendekar Pulau Neraka masih mampu menghadapi sepuluh orang pengeroyoknya.

Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan satu persatu mereka terbanting keras ke
tanah. Pekik pertempuran yang tadinya menggelegar, kini berganti jerit melengking
kesakitan. Beberapa kali Bayu harus menangkis
senjata mereka dengan pergelangan tangannya
yang terdapat sebuah cakra perak.
Tring! Sebuah golok hampir menebas kepala Pendekar Pulau Neraka itu, namun manis sekali
ditangkisnya dengan tangan. Bahkan golok itu
terbelah dua ketika membentur cakra yang
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka itu! Dan satu tendangan menggeledek dilepaskan Bayu, sehingga lawannya menjerit keras, terpental jauh ke
belakang. "Hiyaaa.. !" teriak Bayu keras.
Seketika itu juga direndahkan tubuhnya ke
samping agak terbungkuk. Lalu dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, dari
pergelangan tangan kanannya melesat seberkas
cahaya keperakan. Cakra Maut, senjata dahsyat
andalan Pendekar Pulau Neraka ttu melesat
cepat, dan seketika itu juga terdengar jeritan-
jeritan melengking saling sambut. Disusul
bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah
darah. "Hap.. !"
Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melompat,
dan tangan kanannya terangkat ke atas. Cakra
Maut pun kembali menempel di pergelangan
tangan kanannya. Lalu begitu kakinya mendarat
di tanah, cepat dilepaskan kembali senjatanya.
Kembali berturut-turut terdengar jeritan menyayat hati. Cakra Maut kembali melesat balik setelah merobohkan tiga orang
sekaligus. Bayu
berdiri tegak dengan tangan melipat di depan
dada. Hanya dua kali saja dilepaskan senjatanya,
enam orang menggeletak bersimbah darah tidak
bernyawa lagi! Sedangkan yang empat orang lagi
jadi tertegun dengan wajah pucat pasi saling
berpandangan. Kemudian, tanpa berkata-kata
lagi keempat orang itu melarikan diri tunggang-
langgang. Bayu menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya pada Randu Watung yang
tidak bergeming sedikit pun di tempatnya.
Pemuda berbaju biru tua itu melangkah
mendekati. "Sebaiknya kita cepat pergi, Bayu," usul Randu Watung.
"Hm, baiklah," sahut Bayu, seraya menyipitkan matanya.
Randu Watung bergegas melangkah menuju
desa itu, diikuti Bayu. Mereka berjalan cepat
meninggalkan enam mayat yang bergelimpangan
bersimbah darah. Sementara matahari semakin
tenggelam di ufuk Barat! Rona merah menyemburat indah bagai kobaran api yang
membakar permukaan bumi. Sedangkan kedua
pemuda yang baru berkenalan itu mulai
memasuki desa yang kumuh seperti tak
berpenghuni itu.
*** Bayu memilih sebuah rumah yang kosong
Keadaannya sungguh kotor dan berantakan.
Meja, kursi, dan dipan bambu sudah tidak
berbentuk lagi. Pendekar Pulau Neraka itu
membereskan sebuah kamar yang masih terdapat
dipan bambu. Dia meminta agar Randu Warung
beristirahat di kamar itu, sementara dia sendiri memeriksa keadaan rumah itu.
"Ada orangnya?" tanya Randu Warung, ketika Bayu kembali masuk ke dalam kamar
itu. Randu Watung duduk bersila dengan tangan menempel
pada lutut "Tidak," sahut Bayu singkat seraya duduk di tepi pembaringan yang hanya
beralaskan tikar
rombeng. "Pasti telah terjadi sesuatu di sini.. ," gumam Randu Warung seperti bicara
untuk dirinya sendiri. Bayu hanya diam saja. Namun pandangannya
begitu dalam menatap wajah pemuda berbaju biru
tua itu. Dalam hatinya dia menduga ada sesuatu
yang dirahasiakan, sehingga membuat Randu
Watung kini termenung menatap kosong ke
depan. Begitu jauh pandangannya, sehingga
menerobos jendela yang sudah tidak memiliki
daun lagi. Sementara suasana mulai gelap. Matahari
sudah tenggelam di balik peraduannya, digantikan cahaya bulan dan bintang yang indah
gemerlapan. Meskipun cahaya bulan dan api
unggun sudah membuat terang di dalam kamar
ini, namun semua itu tidak mampu mengurangi
dinginnya udara malam yang serasa menusuk
tulang. "Kau seperti memikirkan sesuatu, Randu,"
tegur Bayu. Tidak enak rasanya menduga terus-
menerus. "Entahlah. .," desah Randu Watung seraya menghembuskan napas panjang dan berat.
"Kau belum menceritakan penyebab lukamu,
Randu," kata Bayu masih diliputi penasaran.
Sebab dia tahu kalau luka dalam yang diderita
Randu Watung cukup parah. Dan dia tidak bisa
mengeluarkan semua racun yang mengendap di
dalam tubuhnya. Sewaktu-waktu racun itu bisa
membunuhnya secara pelahan-lahan.
"Hhh. .! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa dia menyerang dan membunuh pamanku.
Padahal aku tidak mengenal, dan juga tidak tahu
permasalahannya. Tiba-tiba dia datang dan
menyerang tanpa berkata-kata lagi," Randu
Watung mencoba menceritakan peristiwa pahit
yang dialaminya.
"Hm.. , aneh," gumam Bayu setengah tidak percaya.
"Memang sukar dipercaya, Bayu. Tapi
memang itulah kenyataannya. Sayang paman
telah tewas."
"Sama sekali kau tidak bisa mengenalinya?"
tanya Bayu. 'Tidak. Dia berbaju serba hitam dan memakai
caping lebar sehingga menutupi seluruh kepalanya. Gerakannya begitu cepat, dan ilmunya sungguh luaibiasa!"
"Randu, kelihatannya kau kenal dengan
orang-orang yang tadi mengeroyok kita. Siapa
mereka?" tanya Bayu lagi.
"Mereka anak buahnya si Mata Iblis. Bisa
dikenali dari ikat kepalanya," sahut Randu Watung.
'Tampaknya mereka sengaja hendak menyerangmu. Bisa kulihat dari pola serangannya yang selalu mengarah padamu,"
kata Bayu bernada curiga dan ingin tahu.
"Memang. Mereka memang hendak membunuhku," sahut Randu Warung berterus
terang "Kenapa?"
Randu Watung tidak langsung menjawab.
Ditariknya napas panjang, tapi langsung meringis, karena dadanya tiba-tiba jadi terasa
nyeri. Setiap kali ditariknya napas panjang,
dadanya selalu saja seperti tertusuk ribuan jarum berbisa. Sungguh menyakitkan!
"Masih terasa sakit?" tanya Bayu yang sejak tadi memperhatikan.
"Dadaku ini. ., ugh!" Randu Warung mengeluh pendek.
"Luka dalammu cukup parah, Randu. Hanya
Seorang tabib ahli saja yang dapat menyembuhkan lukamu. Terlebih lagi racun di
dalam tubuhmu belum semuanya ke luar.
Meskipun tidak begitu berbahaya, tapi.. ."
"Aku tahu, Bayu. Nyawaku memang terancam.
Dan aku tidak boleh banyak bergerak, terlebih
lagi mengerahkan tenaga dalam," potong Randu Watung cepat
Bayu hanya menarik napas panjang. Ada
sedikit kekaguman di dalam hatinya melihat
ketabahan pemuda itu.
"Masih sanggup untuk bicara, Randu?" tanya Bayu.
Randu Watung tersenyum dan mengangguk.
"Kenapa si Mata Iblis hendak membunuhmu?"
tanya Bayu. "Bayu, sebenarnya Ayahku adalah seorang
Adipati di Sangkal Putung. Bermula dari
sekelompok orang yang memberontak pada
kerajaan, dan Kadipaten Sangkal Putung menjadi
sasaran pertama. Meskipun seluruh prajurit
kadipaten sudah dikerahkan, tapi tetap tidak
mampu mengusir para pemberontak itu. Mereka
berhasil memukul mundur para prajurit, dan
memaksa Ayah melarikan diri. Memang tadinya
ada beberapa prajurit dan keluarga yang ikut Tapi mereka semua tewas terbunuh
dalam pelarian.
Tinggal aku dan Paman yang masih bisa sampai
ke hutan itu. Tapi, yaaah. ., akhirnya Paman
tewas juga di tangan orang yang tidak kukenali,"
Randu Watung menceritakan tentang dirinya.
"Hm.. , lalu ke mana tujuanmu sekarang?" tan Bayu.
"Aku tidak tahu, kabar terakhir yang
kudengar kerajaan juga sedang berperang. Aku
tidak mungkin datang ke sana dan melaporkan
kejadian di Kadipaten Sangkal Putung."
"Apakah pihak kerajaan berperang melawan
para pemberontak itu juga?" tebak Bayu.
"Bukan, tapi dengan kerajaan lain."
"Hm.. , jadi mereka mengambil kesempatan. .,"
gumam Bayu mulai mengerti.
"Begitulah."
"Lalu, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu. Apa dia pemimpin pemberontakan itu?"
tanya Bayu lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.
"Lho..."!" Bayu terkejut mendengar jawaban itu. "Kau bisa mengenali mereka, tapi
kau tidak tahu siapa si Mata Iblis itu. Aku tidak mengerti maksudmu, Randu.. ?"


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memang tidak pernah tahu siapa itu si Mata Iblis. Aku hanya pernah
mendengar dan mengetahui ciri-cirinya saja. Aku juga tidak tahu, kenapa anak buah si Mata
Iblis selalu mengejar-ngejar kami berdua," Randu Warung berusaha menjelaskan.
Meskipun demikian, Bayu bisa menangkap
adanya nada lain pada suara Randu Watung.
Nada suara yang lain dan agak tertekan. Bayu
menduga kalau Randu Watung menyimpan
sesuatu rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain. Dan rahasia itu nampaknya
berhubungan dengan anak buah si Mata Iblis yang sore tadi
mengeroyok. "Randu, aku tidak mau mengetahui urusan
pribadimu. Kau akan kubawa kepada seorang
tabib yang dapat mengobati luka-lukamu. Aku
tahu seorang tabib yang sangat pandai. .," kata Bayu, terputus suaranya.
'Terima kasih," ucap Randu Warung pelan.
"Sekarang istirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga malam ini."
'Tidak akan kulupakan pertolonganmu ini,
Bayu." Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum
saja. Kemudian bangkit dari pembaringan, dan
melangkah keluar kamar. Sedangkan Randu
Watung masih duduk bersila dengan mata
setengah terpejam. Hawa murni terus dialirkan
untuk mengurangi rasa sakit dan menghambat
penyebaran racun di dalam tubuhnya. Sementara
malam terus beranjak semakin larut. Udara pun
semakin dingin serasa menggigit tulang. Api
unggun di dalam kamar itu tak mampu
mengurangi hawa dingin yang menggigilkan itu.
Suasana kembali sepi, sesekali terdengar suara
binatang malam yang memecah kesunyian di
malam itu. *** 3 "Masih jauh tempatnya, Bayu?" tanya Randu Warung sambil menyeka keringatnya.
'Tidak," sahut Bayu tanpa menghentikan
langkahnya. Tapi langkah kaki Pendekar Pulau Neraka
akhirnya terhenti juga karena tidak mendengar
lagi suara langkah kaki di belakangnya. Dia
menoleh, da langsung terkejut begitu dilihatnya Randu Watung menggeletak
tengkurap! Bayu
bergegas menghampiri dan membalikkan tubuh
pemuda berbaju biru yang tak bergerak sedikit
pun. Seluruh wajahnya basah oleh keringat.
Hampir tiga hari penuh mereka berjalan
merambah hutan, dan itu membuat Randu
Watung terpaksa menguras tenaganya. Bayu
memeriksa urat nadi di pergelangan tangan
Randu Watung. "Hhh. .! Terlalu banyak tenaga yang dikeluarkannya,"desah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat
rubuh Randu Watung, dan kembali melangkah
seraya membopong tubuh pemuda itu di
pundaknya. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga dengan cepat dia bisa berjalan
melebihi orang berlari sekuat tenaga! Begitu cepat langkahnya, seolah-olah tidak
menapak tanah! Cukup sulit perjalanan yang ditempuh
Pendekar Pulau Neraka itu, karena hutan yang
semakin rapat dan jalan yang mendaki. Namun
dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan,
tidak sulit baginya untuk cepat sampai di tempat tujuan.
Dan belum lagi matahari berada tepat di atas
kepala, Pendekar Pulau Neraka itu sudah tiba di sebuah tempat yang berbatu dan
dipenuhi pohon-pohon besar dan kecil. Di antara bongkahan batu sebesar kerbau,
dan tiga buah pohon beringin,
terlihat sebuah gubuk kecil yang kumuh. Bayu
mengayunkan kakinya mendekati gubuk reyot
itu. "Masuklah, Bayu. Pintu tidak terkunci. .!"
terdengar suara serak dan bergetar dari dalam
gubuk reyot itu.
Bayu langsung saja menerobos pintu yang
setengah terbuka itu. Tampak di dalam ruangan
yang sempit dan pengap, duduk bersila seorang
laki-laki tua bertubuh kurus kering. Hanya
selembar kain lusuh yang melilit tubuhnya. Kain yang tadinya berwarna putih itu
sudah pudar. Bayu segera meletakkan tubuh Randu Watung di
atas selembar tikar lusuh di depan laki-laki tua itu.
"Siapa dia, Bayu?" tanya laki-laki tua kurus itu sambil mengelus-elus janggutnya
yang panjang dan putih. "Randu Watung. Lukanya cukup parah, dan
sudah tiga kali pingsan, Eyang Puger," sahut Bayu yang sudah duduk bersila.
"Temanmu?" tanya laki-laki tua yang dipanggil Eyang Puger itu.
"Bukan. Ia tergeletak pingsan ketika kutemukan di tepi sungai."
"Hm.. ,"gumam Eyang Puger pelahan.
Laki-laki tua kurus kering itu memeriksa
sebentar tubuh Randu Watung. Kemudian
kepalanya terangguk-angguk sambil bergumam.
Ditatapnya Pendeka Pulau Neraka yang hanya
memperhatikan saja. Matanya yang cekung,
serasa begitu tajam menusuk ke bola mata Bayu.
"Bagaimana dia bisa terluka seperti ini,
Bayu?" tanya Eyang Puger.
"Aku tidak tahu pasti. Dia hanya bercerita bahwa dirinya diserang oleh orang
tidak dikenal. Sedangkan pamannya tewas oleh orang itu,"
sahut Bayu. "Hm.. , kau tahu siapa dia?"
Bayu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Alisnya berkerut sehingga hampir menyatu.
Sedangkan Eyang Puger semakin tajam menatap
padanya. "Eyang kenal dengannya?" tanya Bayu
penasaran. "Entahlah, aku kurang yakin," sahut Eyang Puger. 'Tapi aku harus
menyembuhkannya. Luka
dalam yang dideritanya cukup parah. Belum lagi
harus mengeluarkan racun yang bersemayam di
tubuhnya. Hm. ., mungkin dia tidak sadarkan diri selama tiga hari,"
"Sembuhkan dia, Eyang. Tampaknya ada
sesuatu yang disembunyikannya. Aku merasakan
ketertutupan pada dirinya," kata Bayu berharap.
"Keluar dulu, Bayu," kata Eyang Puger.
Bayu bangkit berdiri, kemudian berbalik dan
melangkah ke luar. Dihenyakkan tubuhnya di
balai-balai bambu yang berada di samping pintu.
Pendekar Pulau Neraka itu berbaring dengan
kepala bertumpu pada kedua tangannya.
"Hm.. , tampaknya Eyang Puger mengenali
Randu Watung. Tidak biasanya dia begitu. .,"
gumam Bayu dalamhati.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu
jauh menerawang ke langit-langit beranda yang
hitam dipenuhi sarang laba-laba. Dia teringat
kembali awal pertemuannya dengan Eyang
Puger. Pertemuan yang tidak disengaja. Desahan
napas panjang terdengar berat dari hidung
Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian dia
bangkit berdiri, dan melangkah ke samping
pondok ini. Langkah Bayu langsung terhenti ketika di
ujung kakinya terdapat gundukan
tanah berumput dikelilingi batu-batu. Dia berlutut di sisi gundukan tanah itu.
Tangannya bertumpu pada
batu nisan di sebelah kanannya.
"Hhh. ., seharusnya kau tidak perlu berbuat nekad begitu, Wurati". Tapi aku
kagum padamu. Cintamu begitu tulus dan murni, meskipun tahu
suamimu seorang perampok besar. Hhh. ., sayang
kau terlalu cepat mengambil keputusan mengakhiri hidupmu," pelan suara Bayu.
"Ehm, ehm.. !"
Bayu kaget dan langsung menoleh ketika
mendengar suara mendehem di belakangnya.
Tampak Eyang Puger sudah berdiri di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit
berdiri, dan berbalik menghadap laki-laki tua
kurus kering itu. Sebatang tongkat yang tidak
beraturan bentuknya tergenggam di tangan yang
kurusbagai tulang terbalut kulit.
"Kau sudah menemukan si jahanam itu,
Bayu?" tanya Eyang Puger, agak tertekan nada suaranya.
"Sudah," sahut Bayu. 'Tapi hanya sekali, karena dia berhasil lari dan
mengorbankan banyak anak buahnya."
"Hhh. .! Seandainya aku lebih memperdalam
ilmu olah kanuragan, tentu tidak akan begini
jadinya. Wurati cucuku satu-satunya. Aku terlalu mencintainya sehingga tidak
bisa melarangnya
mencintai si jahanam itu," keluh Eyang Puger bernada menyesali diri.
"Eyang tidak salah, Wurati juga tidak. Tapi si jahanam itu memang harus membayar
semua yang diperbuatnya. Aku janji, Eyang. Jika dia
kutemukan, akan kubalaskan sakit hatimu. Aku
berhutang nyawa padamu, Eyang," janji Bayu teringat
pertolongan Eyang Puger yang menyembuhkan dirinya dari keracunan akibat
bertarung melawan seorang yang tangguh dan
memiliki ilmu racun yang sangat dahsyat.
"Aku percaya padamu, Bayu. Selama si Balaga masih hidup, jiwaku selalu
bersamamu. Kau harus membunuhnya, Bayu. Kalau tidak, akan
lebih banyak lagi gadis-gadis terpedaya dan tewas di tangannya. Biarlah cucuku
menjadi tumbal,"
kata Eyang Puger pelan.
"Aku janji, Eyang," ucap Bayu tegas. Eyang Puger menepuk-nepuk pundak Pendekar
Pulau Neraka itu. Kemudian berbalik dan berjalan ke
depan pondok diikuti Bayu. Mereka kemudian
duduk bersisian di balai-balai bambu reyot yang hanya beralaskan tikar daun
pandan lusuh dan
robek-robek. Sesaat lamanya tidak ada yang
berbicara. Seakan-akan sedang mengenang masa-
masa lalu. Masa-masa yang teramat pahit bagi
laki-laki tua itu.
"Bagaimana keadaan Randu Watung, Eyang?"
tanya Bayu teringat pada pemuda yang
ditolongnya. 'Tunggu sampai dia sadar dulu. Tapi aku
sudah memberinya penahan rasa," sahut Eyang Puger.
"Kapan dia akan sembuh?"
'Tergantung dari daya tahan tubuhnya. Tapi
kulihat otot-ototnya terlatih baik. Mungkin tidak lama."
Bayu kembali diam. Dan Eyang Puger pun
terdiam. Mereka kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada lagi yang
berbicara. Mereka hanya menatap alam yang
tidak begitu sedap dipandang mata.
*** Sudah dua hari Bayu tinggal di pondok kecil
Eyang Puger. Dan selama itu Randu Watung
belum juga sadarkan diri Randu Watung masih
tetap dirawat oleh Eyang Puger, seorang tua yang ahli dalam ilmu pengobatan.
Siang itu Bayu menemani Eyang Puger
menunggui Randu Watung, tapi pemuda itu tetap
seperti tidur nyenyak. Tidak bergeming sedikit


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun. "Hm.. ,"gumam Eyang Puger pelan.
"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu.
'Tampaknya aku kedatangan tamu," sahut
Eyang Puger. Bayu bangkit berdiri, dan pada saat itu
sebatang anak panah melesat masuk menerobos
pintu yang terbuka. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan
tangannya, dan menangkap anak panah yang tertuju ke arah
Eyang Puger. "Hup. .!"
Bayu langsung melompat ke luar bagaikan
kilat, seraya melemparkan anak panah di
tangannya ke arah datangnya tadi. Begitu besar
dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki
Pendekar Pulau Neraka, sehingga anak panah itu
melesat cepat melebihi dari yang tadi. Anak
panah itu langsung menerobos semak belukar.
"Aaa. .!"
Belum hilang suara jeritan panjang melengking, muncul sesosok tubuh dari semak itu.
Tampak sebatang anak panah tertanam dalam di
lehernya! Pada saat tubuh itu ambruk ke tanah,
Bayu sudah mendarat lunak di halaman depan
pondok Eyang Puger. Bersamaan dengan itu, dari
balik pepohonan bermunculan sekitar dua puluh
orang mengenakan ikat kepala merah dengan
bulatan hitam tepat di keningnya. Mereka semua
bersenjata golok. Tapi ada seorang yang
memegang tombak bercabang dua pada ujung
atasnya. Seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju merah menyala yang di
dadanya terdapat tiga lingkaran hitam. Seperti
yang lainnya, dia juga mengenakan ikat kepala
yang sama. "Anak muda,
serahkan Randu Watung
padaku!" berat suara laki-laki setengah baya yang memegang tombak bercabang dua
pada ujungnya itu. "Hm.. , aku tidak mengenalmu. Dan ada
urusan apa kau meminta Randu Watung?" tanya Bayu dingin.
"Anak muda, aku peringatkan! Sebaiknya
jangan berurusan dengan Partai Mata Iblis!"
"O. ., jadi kau si Mata Iblis itu?" tebak Bayu.
"Bukan! Aku Nyakra, wakil ketiga dari si Mata Iblis! Sudahlah, Anak Muda. Jangan
terlalu banyak tanya. Di mana kau sembunyikan Randu
Watung?" agak kesal nada suara laki-laki
setengah baya itu yang mengaku bernama
Nyakra. "Dia tidak ada bersamaku!" sahut Bayu tegas.
"Hm.. ," Nyakra menggumam tidak percaya.
Matanya tajam melihat langsung ke dalam
pondok yang pintunya terbuka lebar.
Bayu juga sempat melirik ke arah pondok itu.
Tampak gelap di dalam sana. Tidak terlihat
sesuatu pun. Pondok itu memang selalu gelap di
dalamnya, Tidak ada jendela, hanya ada satu
pintu di depan. Tapi biasanya keadaannya tidak
segelap itu, karena ini siang hari, dan pintunya terbuka lebar. Lagi pula di
dalam pondok itu
terdapat api abadi yang selalu menyala terang
kalau tidak ditutupi batu di atas tungkunya.
"Geledah rumah itu!" perintah Nyakra.
"Hey. ., tunggu!" sentak Bayu terkejut.
Tapi dua orang sudah melompat cepat ke
pondok itu. Dan Bayu yang berada cukup jauh,
tidak mungkin bisa mengejar lagi. Pendekar
Pulau Neraka itu mendepak dua buah kerikil
yang berada di ujung kakinya, dan langsung
melesat cepat bagai kilat. Kerikil itu pun segera menghantam kepala kedua orang
yang hampir sampai ke pintu pondok!
"Akh!"
"Aaa. .!"
Jeritan melengking dan tertahan terdengar
hampir bersamaan. Dua orang itu pun langsung
ambruk dengan kepala pecah tertimpa batu
kerikil yang disepak dengan kekuatan tenaga
dalam sangat sempurna sekali. Dua orang itu
langsung tewas seketika! Bayu bergegas melompat ke pintu, dan berdiri tegak seraya
melipat tangan di depan dada. Pandangan
matanya begitu tajam menusuk, merayapi orang-
orang di depannya.
"Tidak semudah itu kalian bisa masuk ke
pondok ini!" dengus Bayu tandas.
"Anak muda,
apa kau sadar dengan tindakanmu itu" Kau akan berhadapan dengan
Partai Mata Iblis!" agak keras suara Nyakra.
"Siapa pun kalian, enyahlah dari sini!" bentak Bayu.
"Hm.. , rupanya kau tidak bisa diajak lunak.
Anak Muda. Baiklah, rasakan akibatnya!"
Nyakra menjentikkan jari tangannya. Dan
enam orang bersenjata golok, langsung melangkah ke depan. Pendekar Pulau Neraka
menggeser kakinya sedikit ke samping. Diliriknya bagian dalam pondok itu. Tidak
ada seorang pun
di sana. Meskipun benaknya masih bertanya-
tanya, tapi harus dihadapinya enam orang lawan
yang berlompatan menyerang.
"Hiyaaa.. !"
"Yeaaah. .!"
Dengan satu gerakan kilat, Bayu melompat
dan mengirimkan pukulan serta tendangan
beruntun ke arah enam orang itu. Gerakannya
sungguh luar biasa cepat, dan setiap pukulan
maupun tendangannya mengandung tenaga
dalam sangat sempurna! Tak pelak lagi, sebelum
enam orang itu berhasil menyarangkan serangannya, mereka harus menerima hajaran
Pendekar Pulau Neraka.
Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling
susul. Enam orang bersenjata golok terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan
di tanah. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu golok mereka
sudah berpindah tangan! Sedangkan Bayu hanya
berdiri tegak menatap enam orang yang
menggeletak tidak bergerak gerak lagi. Tenaga
dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka
memang sangat dahsyat, sehingga hanya sekali
pukul saja, orang yang memiliki kepandaian
rendah akan tewas seketika.
"Hih!"
Bayu melemparkan golok rampasannya. Golok
itu melayang cepat, dan menancap dalam di ujung kaki Nyakra. Golok berjumlah
enam buah itu berjajar rapi mengelilingi wakil ketiga dari si Mata Iblis.
"Pergilah, sebelum aku bertindak lebih kejam lagi!" kata Bayu tegas.
Nyakra diam saja seraya menatap tajam.
Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah
yang luar biasa. Tapi sudah dua kali dia mencoba, dan delapan orang anak buahnya
tewas hanya dengan satu kali gebrakan saja!
"Heh. .!"
Nyakra mengegoskan kepalanya disertai suara
mendengus bagai sapi melenguh minta makan.
Sisa anak buahnya segera melangkah mundur.
Beberapa orang menggotong mayat teman
mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, orang-orang dari Partai Mata Iblis segera
meninggalkan tempat itu. Tapi Nyakra masih sempat menyemburkan ludah ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Bayu hanya menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya ke arah kiri. Tampak
Eyang Puger sudah berdiri di ambang pintu. Dan
Bayu jadi terkejut, karena dilihatnya Randu
Watung terbujur pingsan di dalam pondok itu
Eyang Puger kemudian melangkah mendekati.
"Kau harus hati-hati, Bayu. Kelihatannya
mereka tidak main-main," ujar Eyang Puger
seraya menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka
itu. "Ya," sahut Bayu mendesah.
Bayu melirik ke dalam pondok, dan Eyang
Puger tersenyum. Dia bisa menebak apa yang
dipikirkan pendekar muda itu. Ditepuknya
pundak pemuda berbaju kulit harimau itu sekali
lagi, dan diajaknya duduk di beranda.
"Aku tadi terpaksa menggunakan aji 'Halimun', kata Eyang Puger memberitahu tanpa
diminta. "O. ."!" Bayu terkejut tidak mengerti.
"Aku menutupi pondok dengan kabut hitam
agar tidak terlihat dari luar. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan
diri. Aku khawatir melihat jumlah mereka yang banyak."
"Eyang bertindak tepat," puji Bayu tulus.
"Hanya untuk menjaga diri, Bayu. Ilmu itu
tidak bisa digunakan untuk bertarung. Hanya
untuk menyembunyikan diri saja. Ilmu pengecut!"
Eyang Puger merendahkan diri.
"Tidak, Eyang. Pada dasarnya semua ilmu itu baik. Hanya manusianya saja yang
membedakan baik buruknya ilmu itu."
"Kau bijaksana sekali, Bayu."
"Hanya sekadar mengingatkan, mungkin
Eyang lupa."
"Ha ha ha.. . Aku semakin yakin kalau kau
orang yang berbudi luhur dan berhati emas.
Meskipun. .," Eyang Puger menghentikan kata-katanya.
'Teruskan, Eyang," pinta Bayu.
"Kadang-kadang tindakanmu terlalu. .," lagi-lagi yang Puger memutus kalimatnya.
"Kejam. .," sambung Bayu langsung menebak.
"Aku tidak mengatakan begitu, Bayu. Aku
yakin, kau masih bisa merubahnya."
'Terima kasih, Eyang," ucap Bayu tanpa ada perasaan tersinggung.
Bayu memang menyadari kalau
setiap tindakannya selalu dikatakan kejam. Bahkan
tokoh-tokoh rimba persilatan pun tidak bisa
memasukkannya ke dalam golongan hitam atau
putih. Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka
tidak mempedulikan lawan yang bakal dihadapinya. Tidak peduli dari golongan mana.
Terlebih lagi kalau orang itu tersangkut dengan pembunuhan keluarganya. Hingga
saat ini tidak diketahui nasib ibunya, apakah sudah meninggal
atau masih hidup. Hanya pusara ayahnya dan
murid-murid ayahnya saja yang ditemukannya.
Bayu sadar, kalau sifatnya tidak akan bisa
berubah sebelum menemukan ibunya. Dua puluh
tahun lebih tidak pernah berjumpa. Bahkan
wajah ibunya pun tidak pernah diketahuinya,
karena terpisah sejak masih lahir. Belum tahu
apa-apa, dan ayahnya saja baru memberinya


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepotong nama ketika kerusuhan itu terjadi (
Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah
"Geger Rimba Persilatan").
"Kau melamun, Bayu?" tegur Eyang Puger.
"Oh!" Bayu tersentak dari lamunannya.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Eyang Puger lembut
'Tidak," sahut Bayu cepat. "Oh, ya. Sebaiknya kita lihat keadaan Randu Watung,"
Bayu mengalihka perhatian.
Eyang Puger mengangguk dan tersenyum.
Kemudian bangkit berdiri dan melangkah masuk
ke dalam pondoknya. Sesaat Bayu masih duduk,
kemudian ikut masuk ke dalam pondok kecil yang
hampir rubuh itu. Kalau saja tidak ditunjang oleh batu dan pohon beringin,
mungkin sudah lama
pondok kecil ini hancur terhempasangin.
*** Tepat seperti yang diramalkan Eyang Puger.
Setelah tiga hari, Randu Watung baru bisa
sadarkan dan itu pun keadaannya masih sangat
lemah sekali, dia belum bisa diajak bicara. Eyang Puger merawatnya dengan sabar.
Setiap saat laki-laki tua kurus itu mengeluarkan racun di dalam
tubuh Randu Watung dan sedikit demi sedikit
kesehatan pemuda itu pun pulih kembali.
Memang tidak hanya satu hari untuk dapat
bangkit dari pembaringan.
Setelah satu pekan pulih dari kesadarannya,
Randu Watung baru bisa berlatih ringan.
Tenaganya belum pulih benar, dan Eyang Puger
juga masih berusaha memulihkannya seperti
sediakala. Terlalu berat luka dalam yang diderita pemuda itu. Sehingga harus
menjalani beberapa
tahap penyembuhan. Dan tampaknya Randu
Watung menyadari hal itu, dia selalu sabar dan
mematuhi setiap kata yang diucapkan Eyang
Puger. "Kau berlatih cukup keras hari ini, Randu,"
kata Eyang Puger pada hari ke sepuluh Randu
Warung melatih jurus-jurusnya kembali.
"Aku hanya berlatih ringan saja, Eyang," sahut Randu Watung.
"Nampaknya keadaanmu sudah pulih benar.
Kau sudah bisa mengerahkan kekuatan tenaga
dalammu kembali. Mudah-mudahan tidak berkurang,"ujar Eyang Puger.
"Sudah kucoba, Eyang Tidak ada perubahan
sama sekali."
"O. ., syukurlah,"
desah Eyang Puger tersenyum senang.
Percakapan mereka terhenti ketika Bayu
datang membawa seikat kayu bakar. Pendekar
Pulau Neraka itu meletakkan kayu bakar di
samping pondok, kemudian dihampirinya Eyang
Puger dan Randu Watung yang duduk di bawah
pohon beringin di depan pondok agak menyamping. Bayu duduk di samping laki-laki
tua kurus berjubah putih kekuningan itu.
"Kelihatannya serius sekali," kata Bayu seraya memandangi mereka.
"Tidak," sahut Eyang Puger.
"Hm . . bagaimana keadaanmu, Randu?"
tanyai Bayu "Baik," sahut Randu Watung. 'Tenagaku sudah pulih kembali, dan ini berkat
perawatan Eyang
Puger." "Syukurlah kalau begitu. Dan berarti aku
tidak bisa terus tinggal di sini. Harus kulanjutkan perjalanan kembali," ucap
Bayu langsung tanpa basa-basi lagi.
"Bayu..," agak tertahan suara Randu Watung Dia merasa tidak enak.
"Ada yang harus kukerjakan, Randu. Dan aku sudah berjanji pada Eyang Puger,"
potong Bayu cepat.
"Bayu, sebaiknya kau tunda dulu urusan itu.
Nampaknya Randu lebih penting dan harus
didahulukan. Sudah tiga kali mereka datang ke
sini. Kau tidak akan membiarkannya sendirian,
kan?" lembut dan berwibawa nada suara Eyang Puger.
'Terus terang, Eyang. Aku tidak bisa terus-
menerus menghadapi mereka
tanpa tahu permasalahannya," kata Bayu seraya melirik Randu Watung.
"Maaf, kalau aku lupa menjelaskannya
padamu, Bayu,"ucap Randu Watung menyesal.
"Baru sedikit. Yang aku tidak ketahui, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu" Dan
mengapa ia selalu mengejar, bahkan ingin membunuhmu?"
tanya Bayu langsung.
"Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang lain dalam urusan pribadiku ini.
Aku telah begitu banyak merepotkan kalian berdua. Seharusnya
urusan ini kuselesaikan sendiri," kata Randu Watung, semakin tidak enak harinya.
"Kau jangan berkata begitu, Randu. Sejak kau kutemukan tergeletak pingsan, mau
tidak mau aku sudah terlibat Apalagi sudah lebih dari
sepuluh orang tewas di tanganku. Mereka tentu
tidak akan melupakanku begitu saja," potong Bayu cepat.
"Aku menyesal telah melibatkanmu, Bayu,"
desah Randu Watung pelan.
"Ah, sudahlah. Ceritakan saja, apa masalahmu sehingga orang-orang Partai Mata
Iblis mau membunuhmu?"desak Bayu tidak sabar.
Randu Watung menarik napas panjang. Tapi
belum juga pemuda berbaju biru tua itu membuka
mulutnya, mendadak.. .
"Awas. .!" seru Bayu tiba-tiba.
*** 4 Pendekar Pulau Neraka langsung melentingkan tubuhnya ketika seleret cahaya
keperakan meluncur deras dari arah depan.
Tubuhnya berputaran dua kali di udara, dan
mendadak cahaya keperakan itu pun lenyap di
dalam gulungan putaran tubuhnya. Begitu
kakinya mendarat di tanah, terlihat sebilah pisau kecil' dan tipis berwarna
keperakan terjepit di antara kedua jari tangan kanannya.
Belum lagi Bayu bisa menarik napas, datang
lagi dua cahaya keperakan ke arah dirinya.
Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu
menggerakkan tangannya, dan mulutnya menangkap salah satu pisau kecil itu. Satunya
lagi berhasil dijepitoleh jari tangan kiri.
"Hiyaaa.!"
Sambil berteriak keras, Bayu melemparkan
dua pisau di tangannya sekaligus ke arah
datangnya tadi. Dan sambil memutar tubuh,
diambilnya pisau kecil yang berada di mulutnya, lalu dilontarkan ke atas sebuah
pohon yang cukup tinggi dan rimbun.
"Akh!"
"Aaa. .!"
Bersamaan dengan munculnya seseorang dari
balik semak dengan dua pisau tertancap di leher, dari atas pohon meluncur jatuh
seorang lagi dengan pisau menancap tembus di lehernya.
Belum lagi hilang suara jeritan itu, tiba-tiba
berlompatan beberapa orang yang langsung
mengepung Bayu, Randu Watung dan Eyang
Puger. Ada sekitar tiga puluh orang mengenakan ikat
kepala merah dengan bulatan hitam di bagian
kening. Mereka semua sudah menghunus golok
masing-masing. Dan belum lagi ada yang
membuka suara, dari atas pohon meluncur turun
sebuah bayangan hitam. Tahu-tahu di depan
Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang
berbaju hitam yang kepalanya hampir tertutup
caping bambu yang lebar. Dari bentuk tubuh,
kulit tangan serta kaki yang putih, dapat
diketahui kalau orang itu adalah wanita.
"Caping Maut. .," desis Eyang Puger pelahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Tapi Bayu mendengar desisan itu dan
diliriknya laki-laki tua berjubah kumal dan
bertubuh kurus kering itu. Bayu menggeser
kakinya mendekati Eyang Puger. Sedangkan
Randu Watung nampak agak pucat menatap
tidak berkedip pada orang berbaju hitam
bercaping lebar yang menutupi hampir seluruh
wajahnya itu. Perubahan wajah Randu Watung
itu dapat dilihat Bayu, meskipun perubahan itu
hanya sesaat, dan hampir tidak terlihat sama
sekali. . "Randu Watung! Sebaiknya kau tidak
melakukan perlawanan sama sekali. Kau tinggal
sendiri, tidak mungkin bisa meneruskan rencana
gila ayahmu," lantang kata-kata orang bercaping bambu itu. Meskipun nada
suaranya dibuat-buat,
tapi masih dapat diketahui kalau dia seorang
wanita. "Dan kalian berdua, sebaiknya tidak ikut campur dalamurusan ini
"Randu, siapa dia?" tanya Bayu setengah berbisik.
"Aku tidak tahu. Dialah yang membunuh
pamanku dan melukaiku," sahut Randu Watung jujur,
"Dia berjuluk si Caping Maut. Tapi.. ," celetuk Eyang Puger terdengar bergumam
seperti untuk dirinya sendiri.
"Hm.. , rupanya kau tahu banyak tentang
diriku, Orang Tua. Tapi sayang, kau salah
menilai!" celetuk si Caping Maut dingin.
"Siapa kau sebenarnya" Kenapa berlindung di balik nama Caping Maut?" tanya Eyang
Puger keras. "Ha ha ha. .! Akulah si Caping Maut!" si Caping Maut tertawa terbahak-bahak.
"Aku kenal si Caping Maut. Dia tidak punya ilmu pukulan beracun. Dan ilmu yang
kau gunakan pada Randu Watung adalah jurus 'Dewa
Maut Menyebar Racun'," lantang suara Eyang Puger.
"Orang tua! Sebaiknya jangan banyak bicara.
Urusanku dengan bocah itu, bukan denganmu!"
bentak si Caping Maut geram.
"Hhh! Sebaiknya kau buka saja tudungmu,
Nisanak. Kalau bukan si Ratu Iblis, pasti kau
adalah muridnya. Atau kau seorang pencuri ilmu"
kata-kata Eyang Puger.
"Keparat! Kau terlalu banyak omong, tua
bangka!" geram si Caping Maut.
Kalau saja wajahnya tidak tertutup caping
yang lebar itu, pasti wajahnya sudah memerah
bagai udang rebus. Dan orang berbaju serba
hitam itu menjentikkan jarinya. Seketika itu juga sepuluh orang bersenjata golok
berlompatan menyerang. Tujuan mereka sudah jelas, membunuh Eyang Puger yang membuat murka si
Caping Maut. Saat itu juga Bayu tidak bisa tinggal diam. Dia tidak ingin Eyang Puger celaka.
Karena Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Eyang Puger hanya
bisa sedikit ilmu olah kanuragan, meskipun ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai tahap kesempurnaan. Pendekar Pulau Neraka itu cepat
melompat menghadang terjangan sepuluh orang
itu. Bahkan Randu Watung yang merasa
berhutang nyawa pada Eyang Puger, tidak mau
tinggal diam. Langsung diloloskan pedangnya,
dan bergerak cepat menghadang serangan
sepuluh orang itu. Sedangkan Eyang Puger hanya
berdiri saja di antara dua pemuda yang berusaha menghalau penyerang-penyerang
itu. *** Si Caping Maut memberi isyarat lagi ketika
dilihatnya dalam sebentar saja sudah enam orang tewas bersimbah darah. Dan semua
orang yang dibawanya, langsung bergerak maju mengeroyok
Randu Watung dan Pendekar Pulau Neraka.
Menghadapi keroyokan yang demikian banyaknya, Bayu sukar melepaskan senjata
andalannya, Cakra Maut. Dia terpaksa mcnggunakan senjata itu digenggam. Namun
begitu, keampuhannya tidak berkurang Golok


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang beradu dengan Cakra Maut, langsung
terpotong jadi dua bagian!
Denting senjata beradu dan pekik pertempura
berbaur menjadi satu. Tubuh-tubuh bergelimpangan semakin bertambah. Bau anyir
darah pun mulai tercium menyengat hidung. Tapi
orang-orang Mata Iblis seakan tidak mengenal
rasa takut. Meskipun sudah banyak yang tewas,
tetap saja mereka merangsek.
"Hup! Hiyaaa. .!"
Tiba-tiba saja si Caping Maut melompat cepat
bagaikan kilat menyambar Eyang Puger, dan
langsung dibawanya pergi. Bayu yang melihat itu, berusaha mengejar, namun orang-
orang Mata Iblis menghalanginya. Pendekar Pulau Neraka itu jadi geram setengah mati. Dia
mengamuk bagai banteng terluka! Jerit peki kematian pun
menggema saling susul dibarengi terjungkalnya
tubuh-tubuh yang tak bernyawa lagi!
Sementara itu bayangan si Caping Maut sudah
tidak terlihat lagi. Dan orang-orang dari Partai Mata Iblis, langsung
berlompatan mundur
melarikan diri. Jumlah mereka sudah berkurang
lebih dari setengahnya. Bayu berusaha mengejar, tapi beberapa pisau kecil
beterbangan ke arahnya.
Pendekar Pulau Neraka itu terpaksa berjumpalitan menghindari terjangan pisau-pisau kecil dan tipis berwarna
keperakan itu. Dan
begitu tidak ada lagi serangan yang datang,
semua orang yang mengeroyoknya tadi sudah
tidak terlihat lagi. Lenyap bagai ditelan bumi
"Huh!" dengus Bayu
kesal. Dibalikkan badannya menghadap Randu Watung yang baru
saja memasukkan pedang ke dalam sarungnya di
pinggang. Randu Watung menatap penuh penyesalan
atas kejadian ini, karena harus melibatkan orang-orang yang
telah berjasa menyelamatkan nyawanya dari maut. Bukan keinginannya untuk
melibatkan Pendekar Pulau Neraka dan Eyang
Puger. Tapi keadaanlah yang memaksa. Semua
sudah terjadi, tidak ada gunanya penyesalan di
hati. Sekarang ini keselamatan Eyang Puger
menjadi perhatian utama.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang,
Bayu?" tanya Randu Warung seperti orang
kehilangan akal.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu
padamu!" sentak Bayu kesal.
"Maaf, aku.. ," Randu
Watung menjadi bergetar. "Ah, sudahlah. .!" potong Bayu cepat. Paling tidak
disukainya mendengar kata-kata penyesalan. Baginya segala sesuatu yang telah
terjadi tidak perlu disesalkan, tapiharus dihadapi.
Baginya kata-kata penyesalan bukan satu hal
untuk menyelesaikan persoalan.
Randu Warung langsung terdiam. Dari sorot
matanya jelas terlihat kalau dia begitu menyesali semua yang telah terjadi. Tapi
melihat sikap Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya berang,
dia tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya diam yang bisa dilakukannya saat ini.
"Kau tahu, di mana sarang mereka?" tanya Bayu tajam
"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.
"Tidak tahu. ."!" Bayu jadi mendelik. "Mereka selalu berusaha mencarimu. Dan kau
mengakui kalau ada urusan dengan mereka, tapi sekarang
kau bilang tidak tahu di mana mereka berada. Ini bukan saatnya main-main, Randu
Watung! Kesabaranku bisa hilang, tahu!" keras nada suara Bayu.
"Sungguh, Bayu. Aku tidak tahu tempat
tinggal mereka," kata Randu Watung berusaha meyakinkan.
"Randu apa sebenarnya masalahmu dengan
mereka?" tanya Bayu setelah menarik napas
panjang. Randu Warung tidak langsung menjawab,
meskipun nada suara Pendekar Pulau Neraka itu
sudah terdengar sedikit lunak. Pemuda berbaju
biru tua itu menghembuskan napas panjang,
seakan-akan berat untuk menjawab pertanyaan
itu. Melihat hal itu, Bayu tampak kesal. Digeleng-gelengkan kepalanya dengan
tatapan mata sukar
untuk diartikan.
"Baik. .! Kau tunggu di sini sampai aku
kembali bersama Eyang Puger. Tapi kalau terjadi apa-apa padanya, kau yang
pertama harus bertanggung jawab," kata Bayu tegas.
Setelah berkata demikian, Bayu langsung
berbalik dan melangkah lebar-lebar. Sejenak
Randu Watung hanya diam mematung dengan
mulut terbuka lebar Kemudian dia berlari
mengejar Pendekar Pulau Neral itu.
"Bayu, tunggu.. !"
Tapi Bayu tetap berjalan cepat. Tapi dia tidak
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga Randu Watung dengan mudah bisa
mengejar, dan mensejajarkan langkahnya di
samping pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Bayu, aku minta maaf. Bukan maksudku
untuk mempermainkan dirimu. Sungguh, aku
tidak menghendaki semua ini terjadi. .," kata Randu Watung dengan nada suara
bersungguh-sungguh.
Namun Bayu tetap diam. Dan langkahnya juga
tidak berhenti setindak pun. Bahkan semakin
cepat saja diayunkan kakinya.
"Dengar dulu, Bayu. Dengar penjelasanku. .,"
desak Randu Warung.
"Tidak perlu, dan kau sebaiknya tunggu di
pondok sampai aku kembali! Jangan paksa aku
berubah pikiran, Randu!" tegas kata-kata Bayu.
"Tapi kau tidak akan bisa ke sana sendirian, Bayu!"
Seketika itu juga langkah kaki Pendekar Pulau
Neraka terhenti. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Randu Warung.
Sedangkan yang ditatap jadi gelisah. Baru
disadari kalau sudah keterlepasan bicara tadi.
"Yah. ., memang seharusnya aku berterus
terang padamu. Bayu. Bagaimanapun juga kau
sudah terlibat. Dan sekarang keselamatan Eyang
Puger terancam di tangan mereka. Aku memang
bersalah tidak mau berterus terang sejak semula.
Tapi bukan maksudku untuk mempermainkan
atau bermaksud buruk. Aku hanya tidak ingin
ada orang lain yang terlibat dalam masalah ini
Sungguh, Bayu. Aku berkata jujur dari hati
nuraniku sendiri. Aku hanya tidak ingin ada yang; celaka Sudah terlalu banyak
korban yang jatuh,"
terdengar serius kata-kata Randu Watung.
"Kau sudah melibatkan aku, Randu. Mau
tidak mau, suka atau tidak suka, aku sudah
tedibat Dan sekarang nyawa Eyang Puger
terancam. Bagaimanapun juga aku turut bersalah
karena keterlibatan Eyang Puger karenaku juga,"
kata Bayu, mulai lunak suaranya.
"Bayu, memang ada beberapa ceritaku yang
tidak benar. Tapi tidak semuanya bohong.. ," kata Randu Watung mulai terbuka.
"Di mana kebohonganmu?" tanya Bayu dingin.
Kekesalannya mulai kambuh mendengar dirinya
dibohongi. "Aku sebenarnya bukan anak adipati, dan
ayahku juga bukan seorang adipati. Semua itu
tidak benar. Tapi memang ada pemberontakan di
Kadipaten. . "
"Siapa kau sebenarnya?" potong Bayu cepat sebelum Randu Watung selesaiberbicara.
"Aku memang berasal dari sana. Juga seluruh keluargaku. Ayahku adalah seorang
pejabat tinggi di sana, Tapi Ayah selalu menentang tindakan
Gusti Adipati yang bertangan besi dan selalu
menyengsarakan rakyat. Sebenarnya ayahlah
yang memimpin pemberontakan. Tapi gagal,
karena Gusti Adipati dibantu oleh orang dari
Partai Mata Iblis. Mereka membunuh semua
keluargaku, membakar hangus seluruh desa
kelahiran keluargaku. Mereka belum puas kalau
seluruh keturunan ayahku dan semua keluargaku
belum lenyap," cerita Randu Watung.
"Hm.. . Benar itu, Randu?" tanya Bayu setengah tidak percaya.
"Kali ini aku mengatakan yang sebenarnya,
Bayu," sahut Randu Warung sungguh-sungguh.
'Teruskan," pinta Bayu.
*** Randu Warung menceritakan keadaan di
Kadipaten Sangkal Putung sambil berjalan
pelahan-lahan. Saat itu senja mulai merayap
turun, tapi mereka tetap saja berjalan tanpa
mempedulikan sang waktu. Sementara Bayu yang
berjalan di sampingnya, hanya sesekali saja
membuka suara. Itu pun dia bertanya kalau ada
yang kurang jelas.
"Hm.. . Rasanya sukar dipercaya kalau kau
tidak tahu-menahu sama sekali tentang si Mata
Iblis. Kau bisa mengenali orang-orangnya, tapi
tidak tahu pemimpinnya," kata Bayu setengah bergumam.
"Mereka tiba-tiba saja muncul, dan menghancurkan semua rencana yang sudah
disusun matang ayahku. Tidak ada yang tahu
tentang mereka, kecuali adipati sendiri," sahut Randu Warung.
"Kau juga tidak tahu tentang si Caping Maut?"
tanya Bayu bernada enggan. Karena sudah bisa
ditebak jawaban Randu Watung.
"Tidak," sahut Randu Warung singkat
Bayu tersenyum tipis. Jawaban itulah yang
sudah diduganya sejak semula.
"Kau pasti tidak percaya, Bayu," Randu Warung merasakan ada kekecewaan di balik
senyuman tipispendekar muda itu.
"Percaya. Hanya saja terasa aneh bagiku.
Bagaimana mungkin kau akan membalaskan
kematian pamanmu, kalau kau tidak tahu siapa
yang melakukan semua itu. Sedangkan baru
menghadapi si Caping Maut saja sudah tidak
mampu. Bukannya aku meremehkanmu, Randu.
Tapi. ., ah, sudahlah!"
Bayu menggeleng- gelengkan kepalanya.
"Aku rasa semua jawabannya akan didapat di Kadipaten Sangkal Putung, Bayu," kata
Randu Watung pelan. Nada suaranya terdengar ragu-ragu.
"Kau yakin?"
"Entahlah," sahut Randu Watung ragu-ragu.
'Tapi semua persoalannya berawal dari sana."
"Dan kau pasti tidak berani masuk ke sana."
"Bayu, demi Eyang Puger, aku rela mati. Aku berhutang nyawa padanya. Juga
padamu. Aku tidak bisa lagi berbuat lain. Aku perlu
pertolonganmu, Bayu," kata Randu Watung
memohon. Bayu hanya diam saja.
"Aku memang anak seorang pemberontak,
Bayu. Tapi semua yang dilakukan oleh keluargaku demi kemanusiaan.
Memerangi keangkaramurkaan yang merajalela di Kadipaten
Sangkal Putung. Tidak ada maksud lain tersirat
di hatiku, juga di hati ayahku selain

Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membebaskan rakyat dari penderitaan dan
tekanan yang mencekik leher. Kau bisa melihat
penderitaan mereka nanti di sana, Bayu. Kau bisa saksikan, betapa menderitanya
mereka. Bumi yang subur dan banyak menjanjikan kemakmuran terasa bagai neraka bagi mereka,"
kata Randu Watung serius.
"Aku sering melihat orang-orang yang
menderita, tertekan, bergelimang dalam kemiskinan. Bukan hanya di tanah kelahiranmu,
tapi juga di seluruh pelosok mayapada ini. Semua itu tidak akan bisa terhapus
sampai dunia ini
hancur sekalipun! Penderitaan bukan untuk
disesali dan dikasihani. Tapi harus dilawan
sebatas kemampuan. Kau, atau siapa pun juga
tidak akan bisa merubah nasib mereka, Randu!
Semua itu bisa hilang dari diri sendiri. Seorang yang kelihatannya tidak
memiliki apa-apa, belum tentu dia miskin, dan sebaliknya. Semua bisa
diukur dari jiwa, bukan dari berlimpahnya harta, kedudukan ataupun kekuasaan,"
kata Bayu panjang lebar menguraikan arti kehidupan.
"Kau bijaksana sekali, Bayu. Tidak heran
kalau Eyang Puger selalu menyanjungmu," ucap Randu Watung tulus.
Kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu sungguh meresap ke dalam sanubari Randu
Watung. Dan semakin diresapi, semakin nyata
kebenarannya. Kemiskinan dan penderitaan
memang tidak bisa diukur dengan berlimpahnya
harta, pangkat, kedudukan dan kuasaan. Tapi
semua hanya dapat dirasakan oleh masing-
masing. Oleh jiwa seseorang.
"Randu, kita ke Kadipaten Sangkal Putung.
Tapi ingat, bukan untuk merubah nasib
rakyatnya, melainkan meringankan beban penderitaan mereka. Itu pun kalau memang
benar apa yang kau ceritakan. Tapi kalau
ternyata hanya karanganmu saja, aku tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Kau sendiri yang harus
menentukannya,"
kata Bayu setengah mengancam. "Nyawaku taruhannya, Bayu," janji Randu Watung.
"Terserah kau."
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah
tidak mudah lagi percaya, karena Randu Watung
pernah membohonginya. Sekali saja dirinya
merasa dipermainkan, tidak ada ampun lagi.
Bayu memang tegas, tapi mudah jatuh belas
kasih. Hanya saja dia tidak bisa dikhianati sedikit pun. Sekali saja orang
mendustainya, sukar
baginya untuk bisa mempercayai kembali. Tapi
melihat adanya kesungguhan di hari Randu
Watung, Bayu mau juga ke Kadipaten Sangkal
Putung. Tapi yang menjadi tujuan utamanya
adalah menyelamatkan Eyang
Puger dari cengkeraman orang yang berjuluk si Caping Maut
itu. *** 5 Sementara itu, di suatu tempat tidak jauh dari
Kadipaten Sangkal Putung, tepatnya di Bukit
Kedaung, Eyang Puger duduk bersila di tanah
yang tertutup jerami kering. Dinding-dinding batu yang melingkarinya sangat
tinggi, hitam dan
berlumut tebal. Tidak ada sedikit pun lubang.
Ruangan kecil ini terasa lembab. Hanya sebuah
pelita kecil yang meneranginya dari luar pintu
besi yang kokoh. Pintu itu hanya terdapat lubang kotak kecilyang tidak bisa
dimasuki tangan.
Eyang Puger mengangkat kepalanya ketika
mendengar suara pintu terbuka. Cahaya pelita
langsung menerobos masuk, bersamaan dengan
masuknya dua orang bertubuh kekar dengan
golok terselip di pinggang. Dua orang berwajah
beringas dan kasar itu kemudian mengangkat
tubuh Eyang Puger, dan memaksanya berdiri.
Lalu dengan kasar salah seorang mendorongnya
keluar. "Cepat, jalan!" bentaknya kasar. Eyang Puger melangkah tertatih-tatih keluar
dari ruangan sempit berdinding batu itu. Dia terus berjalan
menyusuri lorong batu yang cukup panjang dan
berliku diiringi dua orang di belakangnya. Laki-laki tua kurus kering itu
berhenti tepat di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja yang
kokoh dan rapat. Salah seorang mengetuk pintu
itu, yang langsung terbuka lebar. Cahaya
matahari seketika menerobos masuk, membuat
mata Eyang Puger mengerjap-ngerjap karena
silau Salah seorang mendorong punggungnya, dan
Eyang Puger kembali melangkah ke luar. Sejenak
dipandanginya keadaan di luar. Tampak sebuah
bangunan besar dan megah bagai sebuah istana
kecil, berdiri megah di depan pintu penjara bawah tanah ini. Beberapa orang
bersenjata, tampak
menjaga bangunan itu. Eyang Puger melangkah
menuju ke bangunan besar itu, mengikuti salah
seorang yang membawanya. Sedangkan seorang
lagi berjalan di belakang.
Lantai marmer yang putih, halus dan licin
terasa dingin begitu kaki kurus laki-laki tua itu menginjaknya. Eyang Puger
terus dibawa masuk
ke dalam bangunan besar dan megah itu. Sebuah
tangan kasar mendorongnya dengan keras,
sehingga laki-laki tua itu jatuh tersungkur ke
lantai. Pelahan-lahan Eyang Puger mengangkat
kepalanya, dan matanya langsung membeliak
lebar begitu melihat seorang laki-laki muda
berwajah tegang dengan garis-garis kekerasan,
berdiri tegak berkacak pinggang di depannya. Di belakangnya terlihat sebuah
singgasana yang
indah. Ada empat orang di sebelah kiri pemuda
berbaju indah dari bahan sutra halus berwarna
hijau muda itu. Di sebelah kanannya juga
terdapat empat orang. lalu dibelakangnya, di
samping singgasana duduk seorang berpakaian
hitam dengan wajah tertutup cadar hitam yang
tipis. Juga ada seorang wanita berwajah cantik
mengenakan baju gemeriapan yang
ketat sehingga membentuk tubuhnya yang indah. Di
punggungnya tersandang sebilah pedang yang
gagangnya dihiasi batu mutiara. Yang membuat
Eyang Puger terbeliak, justru laki-laki muda
berwajah keras itu.
"Balaga. .," desis Eyang Puger, agak tertahan suaranya.
"Selamat datang di istanaku, Ayah," ucap laki-laki yang dikenali Eyang Puger
Dewa Iblis 2 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kitab Mudjidjad 15
^