Pencarian

Di Balik Caping Bambu 2

Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu Bagian 2


bernama Balaga itu. "Phuih! Tidak pantas kau menyebut ayah
padaku, Balaga!" dengus Eyang Puger ketus.
"Bagaimanapun juga kau adalah mertuaku."
"Siapa sudi punya menantu sepertimu"
Cucuku bunuh dirigara-gara kau, Manusia iblis!"
"Ah, sayang sekali. Seharusnya dia bisa
menunggu. Tapi sudahlah, itu memang kemauannya."
"Iblis kau, Balaga! Kubunuh kau.. !" geram Eyang Puger memuncak amarahnya.
Tapi belum juga laki-laki tua itu bergerak,
sebilah golok sudah menempel di lehernya. Laki-
laki yang membawanya dari dalam penjara
bawah tanah menatapnya tajam seraya menempelkan goloknya di leher laki-laki tua itu.
Golok itu menjauh setelah Balaga memberi
isyarat dengan tangannya. Tapi Eyang Puger
tidak bisa berbuat apa apa lagi. Dua orang
bersenjata golok kini telah mengapitnya, dan
menekannya agar tetap duduk di lantai
"Ketahuilah, Eyang Puger. Aku membawamu
ke sini agar kau tidak terlibat dengan si
pemberontak keparat itu. Dia pelarian, dan aku
harus menyerahkan kepalanya pada Gusti
Adipati. Tapi sayang, dia juga bermaksud buruk
padaku. Terpaksa nyawanya harus melayang,"
ringan sekali kata-kata Balaga.
Eyang Puger hanya diam dengan geraham
bergelemetuk menahan geram.
"Aku juga tidak akan segan-segan memenggal kepalamu jika kau tetap keras
kepala!" kali ini terasa dingin nada suara Balaga.
"Kau pikir aku takut mendengar ancamanmu,
bocah setan!" dengus Eyang Puger sinis.
"Jelas kau tidak takut mati, karena kau
memang sudah bau tanah! Tapi bukan itu yang
kuinginkan.. "
"Bicaramu berbelit-belit, tapi hatimu tetap busuk!"ucap Eyang Puger geram.
"Ha ha ha.. ! Kau tidak akan berkata begitu kalau tahu siapa yang membawamu ke
sini, Eyang Puger," kata Balaga seraya tertawa
terbahak-bahak.
Eyang Puger menatap orang yang berbaju
serba hitam dan memakai cadar hitam pula.
Masih memperdengarkan suara tawanya, Balaga
berbalik dan melangkah menghampiri orang yang
duduk di samping singgasana itu. Ditepuk-
tepuknya bahu orang itu yang ramping. Dan
pelahan-lahan orang itu mengangkat cadar yang
menutupi seluruh wajahnya.
"Kau. .!" Eyang Puger terbeliak begitu melihat wajah orang itu.
"Ha ha ha.. !"
*** Sementara itu di tempat lain yang cukup jauh
dari Kadipaten Sangkal Putung, Bayu Hanggara
dan Randu Watung masih terus berjalan menuju
kadipaten itu. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Menurut Randu Watung, setelah melewati sebuah
sungai yang besar, mereka akan sampai di
wilayah Kadipaten Sangkal Putung.
Sekarang sungai besar yang airnya mengalir
deras itu sudah terlihat Tampak sebuah rakit
bersandar di tepi sungai. Di dalamnya duduk
seorang tukang rakit menunggu penumpang.
Bayu bergegas menuju rakit itu, karena
dilihatnya di seberang sungai sana juga ada
beberapa orang hendak menyeberang.
'Tukang rakit, tunggu.. !" teriak Bayu saat melihat tukang rakit itu hendak
menuju ke seberang. Tukang rakit itu menoleh, dan menunggu.
Bayu bergegas melompat naik diikuti Randu
Watung. Rakit dari bambu itu bergerak pelahan
menuju ke seberang sungai. Bayu berdiri paling
ujung di depan. Pandangannya lurus tidak
berkedip ke depan. Di belakangnya berdiri Randu Watung. Wajah pemuda itu
kelihatan gelisah.
Seberang sungai sana adalah wilayah Kadipaten
Sangkal Putung. Itu berarti dia harus siap
menyabung nyawa di tanah kelahirannya sendiri.
Tidak berapa lama kemudian, rakit itu pun
merapat ke tepi, Bayu bergegas melompat di kuti Randu Watung. Pendekar Pulau
Neraka itu melemparkan sekeping uang perak yang langsung
ditangkap tukang rakit dengan tangkas. Kedua
bola matanya membeliak lebar begitu melihat
uang di dalam genggamannya. Hampir tidak
dipercayainya dengan apa yang dilihatnya ini.
Sungguh besar sekali pembayaran yang diterimanya. Bisa dua bulan penuh tidak akan
habis uang ini meskipun dia tidak lagi mengayuh rakit menyeberangkan orang di
sungai ini. Sementara orang-orang yang menunggu akan
menyeberang, sudah naik ke rakit itu.
"Yihuiii.. !" si tukang rakit berteriak gembira seraya berjingkrakan bagai anak
kecil. Tidak dipedulikannya lagi orang-orang yang
akan menyeberang. Dengan cepat dia melompat
dari rakitnya dan berlari kencang. Tinggal orang-orang yang sudah menunggu
terbengong-bengong
keheranan. Tukang rakit itu berlari-lari berjingkrakan sambilberteriak-teriak gembira.
"Kenapa dia?"
"Sudah gila, barangkali."
'Terus, rakit ini. .?"
Enam orang diatas rakit saling berpandangan.
"Hei. .! Tukang rakit.. !" teriak salah seorang memanggil.
"Buat kalian saja rakitnya. .!" teriak si tukang rakit keras. "Aku tidak jadi
tukang rakit lagi! Aku sudah kaya. .! Ha ha ha.. !"
"Beleguk!"
"Dasar edan. .!"
Orang-orang yang sudah berada di atas rakit
mengumpat kesal melihat tingkah orang yang
selalu berada di sungai menjual jasa itu. Sebentar mereka saling berpandangan,
lalu salah seorang
mengambil kayuh, dan mulai mengayuh rakit itu
ke seberang. Tidak ada lagiyang mempedulikan si tukang rakit yang dianggap sudah
gila itu. Sementara Pendekar Pulau Neraka dan Randu
Watung sudah demikian jauh meninggalkan
sungai. Mereka terus berjalan cepat melintasi
hutan kecil yang menjadi pembatas kota
kadipaten dengan perbatasan sungai besar itu.
Bayu menghentikan langkahnya sekitar beberapa
tombak lagi jaraknya memasuki pintu gerbang
kota kadipaten. Randu Watung juga ikut berhenti melangkah. Mereka memandang
pintu gerbang perbatasan yang dijaga dua orang prajurit
kadipaten. "Kau ragu-ragu, Randu?" Bayu menoleh
menatap Randu Warung.
"Aku merasa ada yang aneh, Bayu. Tidak
biasanya gerbang Utara ini dijaga," kata Randu Watung setengah bergumam.
Bayu kembali mengalihkan pandangannya.
Saat itu seorang penjaga sudah berjalan
menghampiri., Tombak panjang tergenggam erat
di tangan kanannya. Dia berhenti setelah
jaraknya tinggal beberapa langkah lagi Dan
begitu melihat Randu Watung, langsung membungkuk memberihormat.
"Raden.. ," ucap penjaga itu, agak tersendat suaranya. Kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, seperti takutada orang lain yang melihatnya.
"Kenapa Raden kembali?"
"Siapa yang menugaskanmu di sini?" Randu Watung malah balik bertanya.
"Gusti Mata Iblis, perintah langsung dari si Caping Maut," sahut prajurit
penjaga itu. "Bukan Gusti Adipati?"
"Gusti Adipati sudah tiada, Raden. Sekarang ini istana kadipaten dalam keadaan
kosong. Kami semua mengharapkan Raden, tapi tidak bisa
berharap terlalu banyak. Bahkan seharusnya
Raden tidak kembali pada saat seperti ini. Terlalu berbahaya, Raden. . "
Randu Watung menatap Pendekar Pulau
Neraka yang hanya diam saja dengan kening
agak berkerut. Randu Watung bisa mengetahui
kalau Bayu minta penjelasan tentang sikap
prajurit penjaga itu. Tapi sekarang ini tidak ada waktu untuk menjelaskan.
"Prajurit kau harus melupakan pertemuan ini.
Jangan katakan pada siapa pun kalau aku sudah
kembali. Percayalah, Kadipaten Sangkal Putung
sebentar lagi akan kembali seperti semula," pesan Randu Watung.
"Baik, Raden," sahut prajurit itu seraya membungkuk hormat.
"Kembalilah ke tempatmu, katakan pada
temanmu itu. Jaga rahasia ini."
"Hamba laksanakan, Raden."
Saat prajurit itu berbalik, Randu Watung
mencolek tangan Bayu. Dan secepat kilat mereka
melompat melewati kepala prajurit penjaga itu,
langsung menerobos pintu gerbang memasuki
kota kadipaten. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dua orang prajurit itu
hanya bisa bengong terlolong dengan mulut terbuka lebar.
Bayu dan Randu Watung terus berlari cepat
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Kalau
mau, sebenarnya Pendekar Pulau Neraka itu bisa
jauh meninggalkan Randu Watung. Tapi hal itu
tidak dilakukannya karena dia tidak tahu seluk-
beluk kadipaten ini. Dan sikap penjaga gerbang
Utara itu masih menjadi bahan pemikirannya.
Tidak mungkin penjaga itu membungkuk hormat
kalau Randu Watung bukan seorang putra yang
disegani. Terlebih lagi penjaga itu menyebutnya Raden.
"Randu, sebaiknya jangan sekarang. Tunggu
sampai malam," kata Bayu seraya menghentikan langkah kakinya.
Randu Watung menghentikan langkahnya.
Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau Neraka itu.
Kemudian ditolehkan kepalanya ke kanan dan ke
kiri, lalu mengajak Bayu pergi, mencari tempat
yang aman. Kedua pemuda itu melangkah cepat
menembus pepohonan yang sangat rapat
*** Malam sudah merambat jatuh ke dalam
pelukan bumi. Seluruh permukaan Bukit Kedaung terselimut kegelapan. Tapi di salah satu tempat tampak terang oleh
cahaya obor dan
pelita. Tempat yang sangat indah dengan
bangunan megah bagai sebuah istana kecil di
puncak bukit Pintu gerbang benteng yang tinggi dan kokoh,
terkuak memperdengarkan suara berderit dari
engsel berkarat Terlihat seorang laki-laki tua
berjubah putih kumal berjalan tertatih-tatih
keluar dari gerbang benteng istana itu. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal,
kembali tertutup.
Orang tua berambut putih semua itu berhenti
sebentar. Dipalingkan wajahnya memandang
bangunan yang megah di belakangnya. Kemudian
pelahan-lahan kakinya kembari terseret melangkah pergi. Tongkat kayu tanpa bentuk
membantu langkahnya yang terseret lesu.
Tanpa disadari, dua pasang mata mengamati
sejak laki-laki tua itu keluar dari pintu gerbang benteng bangunan megah itu.
Dua pasang mata
itu terus mengikuti sampai jauh meninggalkan


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangunan tersebut Dan tiba-tiba mereka muncul
di depan, sehingga membuat laki-laki tua itu
terkejut setengah mati.
"Eyang, iniaku. ., Bayu."
"Oh. .," laki-laki tua yang ternyata Eyang Puger mendesah panjang.
Orang yang mengamati sejak tadi ternyata
memang Bayu dan Randu Watung. Keduanya
langsung mendekati dan menuntun Eyang Puger
menjauhi tempat yang terbuka itu. Mereka
berhenti di depan sebuah mulut goa yang tidak
begitu besar. Kemudian masuk ke dalam goa itu
dengan tubuh agak membungkuk. Randu Watung
menyalakan pelita dari buah jarak. Keadaan goa
yang tadinya gelap gulita, seketika jadi terang.
"Eyang tidak apa-apa?" tanya Bayu sambil membawa orang tua itu duduk di atas
jerami kering. "Tidak," sahut Eyang Puger seraya menarik napas panjang.
Randu Warung duduk bersila di depan laki-
laki tua kurus itu. Sedangkan Bayu duduk di
dekat mulut goa. Sesekali matanya memandang
ke luar, mengamati keadaan di luar sana. Nyala
lampu pelita yang kecil, cukup menerangi goa
meskipun samar-samar. Bayu memperhatikan
wajah Eyang Puger yang murung dengan
pandangan mata kosong menekun lantai goa.
"Mereka menyakitimu, Eyang?" tegur Bayu.
Eyang Puger hanya menggeleng lemah. Pandangannya sayu mengarah pada Pendekar
Pulau Neraka yang duduk dekat mulutgoa.
"Randu, kau bisa menjaga di luar?"
Randu Watung menoleh sebentar pada Bayu
kemudian bangkit berdiri. Dia tahu kalau ada
sesuatu yang tidak boleh diketahuinya. Pemuda
itu melangkah ke luar goa. Bayu menggeser
duduknya mendekati Eyang Puger. Dia merasa
ada sesuatu yang hendak diungkapkan laki-laki
tua itu, tapi begitu berat untuk mengucapkannya.
"Eyang, aku tahu ada yang ingin kau
katakan," kata Bayu selembut mungkin.
"Sulit, Bayu. Sepertinya aku sudah mati. .,"
keluh Eyang Puger sendu.
"Ada apa sebenarnya, Eyang" Apa yang
mereka lakukan padamu?" tanya Bayu mendesak.
Eyang Puger terdiam seraya menundukkan
kepalanya menekun lantai goa yang lembab. Jelas sekali kalau ada sesuatu yang
terasa berat untuk diucapkan. Hal ini membuat Bayu semakin
penasaran. Pendekar Pulau Neraka itu menggeser
duduknya semakin mendekat Sementara cahaya
pelita bertambah suram nyalanya.
"Eyang.. ," lembut suara Bayu. Digenggamnya jari-jari tangan orang tua itu yang
kurus kering. "Bayu, waktu kau menemukan mayat Wurati,
apa kau yakin dia itu.. ," suara Eyang Puger terputus. Kepalanya menggeleng-
geleng beberapa
kali, sepertinya tidak sanggup untuk berkata-kata lagi.
"Eyang, apa maksudmu berkata begitu" Aku
menemukan Wurati saat dia mau terjun ke
jurang. Aku berusaha mencegahnya, tapi dia tetap nekad melompat ke jurang.
Kepalanya pecah,
wajahnya hancur. Sukar untuk dikenali lagi. Tapi aku yakin kalau dia Wurati,
cucumu Eyang. Aku
sempat bicara padanya," kata Bayu meyakinkan.
"Kau tidak mengatakan itu padaku, Bayu,"
nada suara Eyang Puger agak menyesali.
"Maaf, Eyang. Saat itu kau terpukul sekali.
Aku tidak sanggup mengatakannya,"ujar Bayu.
Eyang Puger menarik napas panjang. Ditatapnya dalam-dalam wajah Pendekar Pulau
Neraka. Kemudian digenggamnya erat-erat tangan pemuda itu, seolah-olah hendak mencari
kekuatan pada diri Bayu.
"Bayu, kau tahu bahwa Wurati sebenarnya
bukan cucuku asli. Dia datang padaku dalam
keadaan yang mengenaskan sekali. Aku menerimanya, mengasihi dan menganggapnya
sebagai cucuku sendiri. Dia begitu baik, penurut, dan rajin. Aku mencintainya,
Bayu. Tapi. .,"
kembali suara laki-laki tua itu terputus. Ada
sedikit isakan di sela kata-katanya.
'Tapi kenapa, Eyang?"
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi, Bayu. Aku. .."
Belum habis Eyang Puger berkata, tiba-tiba
muncul Randu Watung dengan tergopoh-gopoh.
Bayu langsung menggelinjang bangkit dan
menghampiri Randu Watung.
"Celaka! Mereka menuju ke sini.. !" kata Randu Watung sebelum ada yang bertanya.
"Mereka siapa?" Tanya Bayu.
"Orang-orang si Mata Iblis."
"Jagat Dewa Batara...," keluh Eyang Puger
lirih. *** 6 Bayu tidak sempat lagi bersuara, karena di
depan goa sudah terdengar teriakan keras
menggelegar menyuruh Randu Watung dan
Eyang Puger ke luar. Kedua orang yang disebut
namanya itu saling berpandangan. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka sudah merapat di bibir
goa. Diperhatikannya sekeliling mulut goa. Agak terkejut juga begitu dilihatnya
goa ini sudah dikepung puluhan orang bersenjata terhunus.
"Aku tahu kau di dalam Randu. Keluarlah,
sebelum goa itu hancur!" teriakan keras dari luar goa terdengar lagi.
"Bagaimana, Bayu?" tanya Randu Watung.
"Kau tetap di sini, jaga Eyang Puger," kata Bayu tenang.
"Kau sendiri?"
"Aku akan ke luar. Mudah-mudahan mereka
bisa pergi tanpa kekerasan," sahut Bayu tetap tenang.
"Jangan, Bayu. Berbahaya. Jumlah mereka
terlalu banyak. Mereka orang-orang kejam," cegah Randu Watung.
"Jaga saja Eyang Puger. Keselamatannya ada di tanganmu," Bayu tidak menghiraukan
cegahan itu. Belum sempat Randu Watung berkata,
Pendekar Pulau Neraka itu sudah melompat
cepat ke luar. Randu Watung bergegas berlari
mendekati mulut goa. Dari balik batu, dia
mengintip ke luar. Tampak Bayu berdiri tegak
seraya melipat tangan di depan dada. Tidak jauh di depannya berdiri seorang
laki-laki muda berbaju indah. Namun garis-garis kekerasan
terlihat jelas di wajahnya. Di sekeliling Pendekar Pulau Neraka itu sudah
mengepung puluhan
orang bersenjata golok terhunus. Mereka semua
mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan
bulatan hitam pada keningnya.
"Balaga. .," desis Bayu
tertahan begitu
mengenali laki-lakidi depannya.
Bayu mengenali orang itu, karena memang
laki-laki itulah yang dicarinya. Orang itu harus dibunuhnya untuk membalas budi
pada Eyang Puger yang telah menolongnya dari luka-luka
yang dideritanya ketika bertarung. Dan Balaga
adalah cucu menantu, seorang kepala perampok
berhati kejam. Dengan memperalat istrinya, dia berhasil
mencuri kitab berharga milik Eyang Puger. Kitab yang berisi ramu-ramuan obat-
obatan dan segala
jenis racun. Serta ilmu-ilmu pukulan beracun
yang sangat dahsyat dan mematikan. Balaga
menikahi Wurati, memang punya maksud
tertentu untuk menguasai kitab itu. Untung saja minuman untuk Eyang Puger yang
diberi bubuk racun, tidak mematikan laki-laki tua itu, hanya membuat tubuhnya habis seperti
tinggal tulang saja. Kalau saja Eyang Puger tidak memiliki
pengetahuan tentang racun mungkin sekarang
sudah tidak ada lagi. Dan Wurati sendiri setelah menyadari kesalahannya
mengambil keputusan
yang nekad. Bunuh diri dengan menceburkan
dirinya ke dalam jurang berbatu cadas. Semua itu diketahui Bayu, bahkan saat
Wurati bunuh diri
pun Pendekar Pulau Neraka itu melihatnya.
Bahkan berusaha mencegahnya.
"Sudah kuduga, kau pasti bersama monyet-
monyet busuk itu, Bayu," dingin nada suara Balaga.
"Aku memang sengaja mencarimu, Balaga,"
ujar Bayu tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha. .! Dulu kau boleh menang, Bayu.
Tapi sekarang.. . Kepandaianmu tidak ada artinya bagiku!" kata Balaga jumawa.
"Hm.. , tidak kusangka kau bisa cepat
menguasai isi kitab itu," sahut Bayu sinis.
"Ha ha ha.. !" Balaga tertawa congkak.
"Kau harus mengembalikan kitab itu, Balaga!"
dengus Bayu dingin.
"Sudah kubakar!" sahut Balaga lantang.
"Keparat! Manusia macam kau tidak patut lagi hidup lebih lama!" ujar Bayu tidak
bisa lagi menahan amarahnya. Tapi tetap berusaha untuk
tidak terpancing, meskipun darahnya sudah
mendidih sampai ke kepala.
"Kau lihat, Bayu. Orang-orangku yang akan
mencincangmu!"
Setelah berkata begitu, Balaga langsung
menjentikkan jarinya Dan seketika itu juga orang-orang bersenjata golok terhunus
berlompatan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu
yang sudah siap sejak tadi, tidak bisa menahan
diri. Langsung digunakannya jurus 'Kelelawar
Maut'. Satu jurusyang dahsyat
"Hiya! Hiya.. !"
Pendekar Pulau Neraka berlompatan cepat
bagai kilat Tangannya berkelebatan menghajar
setiap penyerang yang mencoba mendekatinya.
Sungguh luar biasa pukulan Pendekar Pulau
Neraka itu. Kepala dan dada hancur terkena
pukulan mautnya! Belum lagi' jari-jari tangannya yang setajam mata pisau, mampu-
mengoyak tubuh manusia hingga berkelojotan meregang
nyawa. Setiap pukulan, sabetan tangan Pendekar
Pulau Neraka dari jurus 'Kelelawar Maut'
mengandung racun yang langsung mematikan.
Jurus-jurus pukulan Bayu memang sudah lebih
disempurnakan lagi dalam pengembaraannya,
sehingga terasa dahsyat akibatnya Tidak ada
seorang pun yang mampu bangkit lagi jika
terkena pukulannya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, terlihat
sudah lebih dari dua puluh orang menggeletak
tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang masih
hidup, jadi gentar. Serangan-serangannya kacau, tidak beraturan lagi. Dan ini
membuat Bayu semakin ganas. Melihat orang-orangnya banyak yang tewas,
Balaga jadi geram setengah mati.
"Mundur.. !" teriak Balaga keras.
Seketika itu juga orang-orangnya berlompatan
mundur. Jumlah mereka yang semula ada sekitar
tujuh puluh orang, kini tinggal sekitar empat
puluh orang lagi. Mayat-mayat bergelimpangan
bersimbah darah. Sedangkan Bayu berdiri tegak
dengan tangan terlipat di depan dada.
"Hup. .!"
Balaga melompat cepat, dan mendarat di
depan Pendekar Pulau Neraka sekitar satu
batang tombak jauhnya. Dia menyepak salah satu
tubuh di dekat kakinya, sehingga tubuh tak
bernyawa lagi itu menggelinding menjauh.
"Kau harus mati malam ini, Bayu. Dulu kau
hampir menggagalkan aku menguasai kitab itu.
Dan sekarang kau juga akan menggagalkan aku
menguasai Kadipaten Sangkal Putung. Phuih!
Kau bermimpi bisa menghalangiku, Bayu!" kata Balaga dingin.
"Hm.. ," Bayu hanya menggumam kecil saja.
Namun tatapan matanya begitu tajam menusuk.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Pulau
Neraka! Hiyaaa. .!"
Bagaikan kilat Balaga melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Jari-jari tangannya
mengembang kaku, siap menerkam tubuh Bayu.
Namun pemuda berbaju kulit harimau itu sudah
siap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya
ke kanan seraya menekuk lutut sedikit.
Serangan Balaga luput dari sasaran. Namun
dia kembali menyerang lebih cepat dan dahsyat.
Bayu terpaksa

Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlompatan menghindari serangan-serangan itu Dan memang sepertinya
Balaga tidak memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka itu untuk balas
menyerang. Mengambil napas saja tidak diberi
kesempatan lagi. Namun sampai beberapa jurus
berganti, belum juga Balaga mendesak. Bahkan
sepertinya Bayu sengaja mempermainkan dengan
lompatan menghindar dan berkelit saja tanpa
balas menyerang.
"Setan keparat! Kau mau mempermainkan
aku, heh. .!" dengus Balaga menyadari kalau Bayu tidak pernah balas menyerang
sekali pun. "Ada orang yang lebih berhak menghukummu,
Balaga," kata Bayu tenang seraya menghindari satu pukulan cepat menggeledek.
"Huh, sombong! Mampus kau! Hiyaaat. .!"
Balaga semakin memperhebat serangan-
serangannya. Dan Bayu memang mengakui kalau
Balaga mengalami kemajuan yang pesat sekali.
Angin pukulannya mengandung racun yang
dahsyat dan keras luar biasa. Bayu terpaksa
harus menahan napas, dan memindahkannya
melalui pernapasan pusar. Dia tidak ingin
menghirup udara yang sudah tersebar racun dari
serangan-serangan Balaga.
"Ha ha ha.. !" Balaga tertawa terbahak-bahak begitu melihat Bayu mulai limbung
menghindari serangan dahsyatnya.
"Sebentar lagi kau akan mampus, Pendekar
Pulau Neraka!"
"Hm.. , bicaralah sepuasmu, Balaga!" dengus Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak berani
membuka suara. Sekali saja bersuara, maka
udara penuh racun di sekitar pertarungan akan
terhisap ke dalam tubuhnya. Dan ini bisa
membahayakan dirinya. Bayu memang sengaja
menggunakan jurus 'Dewa Mabok'. Satu jurus
yang sungguh aneh gerakan-gerakannya.
Tubuhnya seperti sudah tidak berdaya lagi. Dan
beberapa kali hampir jatuh tersuruk, tapi semua itu memang merupakan jurusnya
yang ganjil dan
baru sekali ini dikeluarkan dalam pengembaraannya mengarungi rimba persilatan.
Wajah Balaga yang semula gembira, jadi
berkerut karena dia tidak bisa memasukkan salah satu pukulannya. Meskipun
kelihatannya Bayu
sudah limbung, namun masih sukar baginya
menjatuhkan Pendekar Pulau Neraka itu.
Bahkan beberapa kali Bayu mulai membalas
serangan-serangan Balaga. Dan setiap serangan
balasan itu terlontar, Balaga jadi jumpalitan
menghindarinya.
"Kadal. .!" dengus Balaga menggeram.
*** Pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka
melawan Balaga masih berlangsung sengit. Sudah
beberapa kali Bayu memberikan serangan
balasan. Dan entah berapa kali pukulannya
berhasil disarangkan di tubuh lawannya. Tapi
pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga
dalam secara penuh, sehingga tidak memb Balaga
terluka parah. Selagi bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu
sempat melirik ke arah goa. Tampak Eyang Puger
dan Randu Watung berdiri di depan mulut goa.
Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan
serius. Sedangkan orang-orang dari Partai Mata
Iblis berada cukup jauh Tidak ada seorang pun
yang berani mendekat, karena mereka tahu kalau
Balaga mempergunakan jurus-jurus yang mengandung racun. Dan sudah jelas udara di
sekitar pertarungan itu sudah tersebar racun
yang sangat mematikan.
"Eyang, tampaknya Bayu tidak bersungguh-
sungguh," kata Randu Watung setengah berbisik
"Hm.. . Aku tidak tahu, apa maksudnya,"
gumam1Eyang Puger.
"Mungkin dia ingin menyerahkan Balaga
hidup-hidup padamu, Eyang."
Eyang Puger menatap pemuda di sampingnya.
"Sedikit aku mengetahui tentang dirimu dan persoalanmu pada Balaga. Itulah
sebabnya mengapa aku mengajak Bayu ke sini, karena aku
tahu kalau Balaga adalah wakil utama dari Ketua Partai Mata Iblis," kata Randu
Watung bisa menangkap arti pandangan laki-laki tua ahli
pengobatan dan racun itu.
"Dari mana kau tahu?" tanya Eyang Puger.
"Secara tidak sengaja pernah kudengar
pembicaraanmu dengan Bayu. Maaf, bukannya
aku mau menguping. Aku
tidak sengaja mendengarnya," sahut Randu Watung.
Eyang Puger memalingkan wajahnya kembali,
melihat pertarungan antara Bayu dan Balaga.
Dan Randu Watung juga sudah serius lagi
memperhatikan pertarungan itu. Tampak kalau
kini keadaan telah berubah jauh. Kali ini Balaga terpaksa jatuh bangun berusaha
menghindari serangan-serangan Pendekar Pulau Neraka itu.
Beberapa kali pukulan dan tendangan Bayu
masuk telak di tubuhnya. Tapi semua itu tidak
mengandung tenaga dalam penuh, sehingga
Balaga masih bisa bertahan, meskipun darah
sudah mengucur dari mulut dan hidungnya.
"Eyang! Beri dia hukuman yang pantas. .!"
teriak Bayu tiba-tiba.
Dan belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-
tiba saja Bayu bergerak cepat memutari tubuh
Balaga, dan tahu-tahu satu tendangan keras
menghantam tubuh orang itu, hingga terjungkal
jauh, ambruk mencium tanah tepat di depan kaki
Eyang Puger. Balaga berusaha bangkit berdiri,
tapi Randu Watung sudah cepat mencabut
pedangnya. Ujung pedang itu langsung ditekankan pada leher Balaga. Tentu saja hal ini membuat Balaga tidak bisa
berkutik lagi. Dia
hanya dapat memandang Eyang Puger dengan
mata berapi-api.
Melihat pemimpinnya tidak berdaya lagi di
bawah ujung pedang, orang-orang Partai Mata
Iblis langsung berlarian meninggalkan tempat itu.
Dan Bayu memang enggan mengejar. Kemudian
dilangkahkan kakinya menghampiri Eyang Puger
yang masih memandangi Balaga yang terlentang
dengan ujung pedang berada di tenggokannya.
"Orang seperti dia tidak pantas dibiarkan
hidup, Eyang," kata Randu Watung dingin.
"Balaga, aku akan memaafkanmu kalau kau
mau berkata terus terang," kata Eyang Puger tidak menghiraukan kata-kata Randu
Watung. "Huh!" Balaga mendengus.
"Siapa orang yang mirip Wurati itu?" tanya Eyang Puger.
"Kau bisa tanya sendiri padanya, tua bangka!"'
jawab Balaga ketus.
"Aku tidak main-main, Balaga. Kau boleh
pergi dengan jaminanku kalau kau berkata jujur,"
kata Eyang Puger, agak tertahan nada suaranya.
"Kau pikir aku bodoh" Begitu aku bilang,
pedang ini pun akan langsung memanggang
leherku! "Randu. .,"- Eyang Puger menatap Randu Watung.
Dengan perasaan terpaksa, Randu Watung
menyingkirkan pedangnya, dan memasukkan
kembali ke dalam sarungnya.
Balaga bergegas bangkit berdiri. Ditatapnya
Randu Watung dan Bayu dengan pandangan
yang tajam menusuk. Sinar matanya memancarkan kebencian dan dendam yang
membara. Kemudian ditatapnya Eyang Puger.
Pelahan kakinya bergerak mundur tiga langkah.
"Siapa, Balaga?" desak Eyang Puger mengulangi pertanyaan yang belum terjawab.
Nada suaranya begitu berharap sekali.
"Dia itu Wurati yang asli! Aku sengaja
menyusupkannya ke dalam kehidupanmu," kata Balaga datar.
"Lalu, siapa wanita yang bunuh diri itu?" tanya Eyang Puger, semakin tertahan
suaranya. "Perempuan bodoh yang kubuat gila dan
kurubah wajahnya agar mirip Wurati. Ha ha
ha. .!" "Kau bohong, Balaga!" geram Eyang Puger.
"Aku tahu kau tidak memiliki kepandaian
merubah wajah seseorang. Siapa orang yang kau
bunuh itu?"
'Tanyakan saja pada Wurati!" sahut Balaga
seraya melompat.
Dan secepat kilat tangannya mengibas ke arah
Eyang Puger. Seleret cahaya hijau meluncur deras dari tangan itu. Eyang Puger
terkesiap. Namun
belum sempat cahaya hijau dari sebilah pisau
kecil itu bisa menyambar tubuh Eyang Puger,
Bayu sudah bertindak cepat
"Hiyaaa.. !"
Wut! Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
itu mengibas, Cakra Maut berwarna keperakan
pun melesat cepat, dan menghantam pisau hijau
yang dilepaskan Balaga. Bayu menghentakkan
tangannya kembali begitu cakra berwarna perak
itu kembali melesat cepat ke udara, dan langsung menancap dalam di dada laga
yang masih berada
di udara. "Aaakh.. !" Balaga menjerit melengking.
Tubuhnya langsung meluruk deras jatuh ke
tanah. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
atas kepala, dan Cakra Maut melesat keluar dari tubuh Balaga, langsung menempel
kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu. Sesaat Balaga menggelepar dengan
dada mengucurkan darah segar. Kemudian diam
tidak bergerak-gerak lagi. Kejadian yang begitu cepat, dan sukar diikuti
pandangan mata biasa.
"Tamat sudah riwayatmu, Balaga.. ," desah Bayu pelahan.
Bayu menatap Eyang Puger yang hanya diam
mematung dengan pandangan kosong. Pendekar
Pulau Neraka itu menghampiri dan mengambil
tangannya, lalu digenggamnya erat-erat. Eyang
Puger menatap Pendekar Pulau Neraka itu
dalam-dalam. "Bayu, aku mohon padamu. Cari tahu, apakah Wurati masih hidup atau memang sudah
mati. Aku melihatnya di istana di Bukit Kedaung," kata Eyang Puger lirih.
Setelah berkata begitu, Eyang Puger melangkahi pergi tertatih-tatih. Sebentar Bayu
memandangi, kemudian berjalan cepat mengejar
Randu Watung mengikuti dari belakang.
"Eyang mau ke mana?" tanya Bayu.
"Pulang. Tidak ada gunanya aku berada di sini.
Bayu, kuharap kau mau membunuhnya kalau
memang Wurati bermaksud buruk padaku, dan
berkomplot dengan Balaga. Tapi kalau dia
seorang yang baik, suruh dia kembali padaku,"
kata Eyang Puger tanpa menghentikan ayunan
kakinya. "Kita harus secepatnya ke sana, Bayu.
Bangunan itu tempat peristirahatan.. ," Randu Warung menghentikan kalimatnya.
"Kau harus berterus terang pada Bayu, Randu.


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katakan dirimu yang sebenarnya, dan tujuanmu
berada di Kadipaten Sangkal Putung ini. Kuharap kau bisa menyelesaikan tugasmu
dengan baik,"
ujar Eyang Puger.
"Sampaikan salam maafku pada ayahmu
karena aku tidak menyambut dan mengenalimu
dengan baik."
"Ada apa lagi ini.. "!" sentak Bayu semakin kebingungan tidak mengerti.
Dipandanginya Randu Watung dan Eyang Puger bergantian.
"Kau bisa menjelaskannya, Randu. Aku pergi dulu. Kuharap kalian berdua bisa
memberantas mereka," kata Eyang Puger.
"Eyang.. !" sentak Bayu.
Tapi Eyang Puger sudah lebih cepat melesat
pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap
saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan
kegelapan malam. Bayu menatap Randu Watung
yang hanya diam saja dengan wajah yang sukar
diartikan. "Kau masih juga mendustaiku, Randu.. "!"
dingin nada suara Bayu.
"Maaf, Bayu. Aku terpaksa. Semua ini
kulakukan demi tugasku yang teramat berat,"
kata Randu Watung meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka itu.
"Siapa kau sebenarnya?" desak Bayu, tetap dingin nada suaranya.
"Aku sebenarnya Putra Mahkota Kerajaan
Mandureja. Kadipaten Sangkal Putung termasuk
wilayah Kerajaan Mandureja. Ayahanda Prabu
menugaskanku untuk menghentikan pemberontakan orang-orang dari Partai Mata
Iblis yang ingin menguasai Kadipaten Sangkal
Putung ini. Bahkan mungkin akan menyebar ke
kadipaten-kadipaten lainnya," ungkap Randu Watung mulai berterus terang.
"Bisa kupercaya ceritamu itu, Randu Watung?"! Bayu masih sukar mempercayainya.
Meskipun dia teringat dengan penjaga perbatasan yang begitu hormat dan memanggil
Raden pada Randu Watung. "Kali ini aku berkata terus terang, Bayu,"
Randu Watung meyakinkan.
"Dua kali kau berkata begitu padaku. Dan ini yang ketiga kalinya. Kalau kau
tetap berdusta juga, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu!" ancam Bayu tidak main-main.
"Kau boleh memenggal kepalaku, bahkan
mencincang seluruh tubuhku, Bayu. Aku akan
membawamu ke istana kalau persoalan ini sudah
selesai. Akan kuceritakan jasamu, dan meminta
Ayahanda Prabu agar kau menjadi saudara
tuaku," nada suara Randu Watung terdengar
serius kali ini.
"Aku tidak mengharapkan semua itu. Aku
cukup puas jika kau tidak membiasakan diri
mendustai orang!" tegas kata-kata Bayu.
"Bagaimanapun juga
kau telah berjasa
banyak, dan aku tidak akan melupakan jasa-
jasamu." Bayu terdiam. Kembali dilangkahkan kakinya
perlahan-lahan. Meskipun nada suara Randu
Watung terdengar serius, tapi Pendekar Pulau
Neraka itu belum bisa percaya penuh. Sudah dua
kali Randu Warung bercerita bohong padanya.
Dan itu sudah lebih dari cukup untuk tidak bisa langsung percaya lagi. Tapi Bayu
masih tetap membiarkan pemuda berbaju biru itu mengikutinya, karena mereka punya tujuan yang
sama, meskipun dengan maksud yang berbeda.
Bayu belum bisa meninggalkan tempat ini,
sebelum pesan Eyang Puger terlaksana seluruhnya. Dia harus mencari tahu apakah
Wurati masih hidup, atau sudah mati.
"Kau marah padaku, Bayu?" tegur Randu Watung merasa tidak enak, karena Bayu diam
saja. "Tergantung dari sikap dan pembicaraanmu,"
sahut Bayu datar.
"Aku minta maaf," ucap Randu Warung.
"Maafmu bisa kau ucapkan nanti."
"Aku senang kalau kau mau memaafkanku."
"Sudahlah, sebaiknya kita cepat ke Bukit
Kedaung," ujar Bayu enggan bicara lagi.
"Sebaiknya jangan sekarang."
"Kenapa?"
"Mereka pasti melipatgandakan penjagaan.
Ayo lah, kau ikuti saja kata-kataku. Kita tunggu saja laporan telik sandiku
Setelah yakin, baru kita gempur mereka," kata Randu Warung.
"Hm .., mungkin kau benar. Tapi itu bukan
berarti aku mulai percaya padamu."
Randu Warung tersenyum lebar. Hatinya
kembali senang karena Bayu mau mengikuti
kata-katanya, meskipun di hati Pendekar Pulau
Neraka itu masih tersimpan ketidakpercayaan.
Tapi kesediaan Bayu mengikutinya sudah cukup
baginya. *** 7 Rumah yang ditempati mereka tidak begitu
besar. Tapi Bayu mendapatkan sebuah kamar
yang cukup indah, bagai kamar seorang pembesar
kerajaan. Bayu jadi berpikir juga, karena di
rumah ini selalu saja ada orang-orang yang
datang secara sembunyi-sembunyi. Dan di bagian
depan terdapat kedai minum yang selalu sepi dari pengunjung. Bahkan Bayu bisa
melihat kalau laki-laki tua yang katanya pemilik kedai dan
rumah penginapan ini sikapnya begitu kaku
melayani pengunjung. Bahkan buku-buku tangannya nampak halus, seperti tidak pernah
bekerja berat. Juga pelayan-pelayan lainnya
sangat canggung membawa baki.
Bayu menggeliat bangun dari pembaringannya. Dia tersentak kaget, dan
langsung menggelinjang bangun begitu melihat
Randu Watung sudah duduk di kursi dekat
jendela kamar ini. Sedangkan pintu masih
tertutup rapat. Randu Watung tersenyum.
Pakaiannya sangat indah berhiaskan sulaman
dari benang emas. Pemuda itu sangat tampan,
persis seorang putra mahkota. Bayu duduk di tepi pembaringan. Disambarnya cawan
berisi arak manis, dan langsung menenggaknya hingga
tandas. "Tidurmu nyenyak sekali," ucap Randu
Watung tidak terlepas dari senyumannya.
"Ya, sampai kesiangan bangun," sahut Bayu.
"Kau tidur terlalu larut, bahkan menjelang pagi."
Bayu tersentak kaget. Ditatapnya lekat-lekat
wajah Randu Watung yang masih juga tersenyum. Pemuda yang bajunya dari sutra
berwarna biru itu memain-mainkan cawan perak
di tangannya. Sudah tiga hari ini, Randu Watung selalu memakai baju dengan warna
yang sama. Kalau tidak biru tua, selalu biru muda.
"Memang tidak ada perlunya aku mengetahui
se tiap kegiatanmu, Bayu. Tapi dengan ke luar
setiap malam secara diam-diam, itu bisa
membahayakan dirimu sendiri," kata Randu
Watung dengan nada yang sangat lain dari
biasanya. Suaranya begitu empuk dan mengandung kewibawaan yang sangat besar.
Bayu sendiri hampir tidak percaya dengan
pendengarannya.
Sepertinya Bayu tidak menghadapi Randu
Watung yang dianggapnya sebagai pembual,
pengarang cerita saja. Seolah-olah Bayu berhadapan dengan orang lain yang belum
dikenalnya sama sekali. Sungguh sangat berbeda
sekali, jauh dariyang selama ini dikenalnya.
"Aku berterima kasih sekali padamu, karena selama tiga hari ini telah mengurangi
separuh dari jumlah mereka. Beberapa telik sandiku
melaporkan bahwa jumlah anggota Partai Mata
Iblis sudah berkurang lebih dari setengahnya.
Dan itu berarti mengurangi kekuatan mereka,
meskipun masih ada yang tangguh. Terutama
pemimpinnya," lanjut Randu Warung.
"Jangan membuatku bingung, Randu Watung.
Aku tidak mengerti dengan semua yang kau
bicarakan," selak Bayu.
"Memang sukar menyelami jiwa seorang
pendekar,"
kata Randu Warung kembali tersenyum lebar.
"Randu Watung, setiap malam aku memang ke
luar. Aku ingin menyelidiki sendiri keadaan dan kekuatan mereka. Tapi tidak
pernah bentrok dengan mereka, apalagi sampai membunuh
begitu banyak anggota Partai Mata Iblis. Tidak
sekali pun aku bentrok dengan mereka!" kata Bayu tegas.
"Kau terlalu merendah, Bayu."
"Aku berkata yang sebenarnya, Randu. Tidak seperti kau, yang selalu membual!"
dengus Bayu sedikit kesal juga
"Hm.. ,"gumam Randu Watung pelan.
Sedangkan Bayu hanya diam menatap tajam,
langsung menusuk ke bola mata pemuda tampan
di depannya. "Kalau bukan kau yang mengurangi jumlah
mereka, lalu siapa. .?" Randu Watung seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Belum pernah aku bermain seperti itu.
Bagiku, menyerang, lalu menghilang tanpa jejak
bukan sifat seorang ksatria. Aku lebih suka
bertarung secara terbuka!" kata Bayu tegas.
"Kalau bukan kau, tentu ada orang lain,"
gumam Randu Watung pelan.
"Huh! Seharusnya aku tidak bertemu denganmu, Randu. Persoalan
ini semakin bertambah rumit saja!" keluh Bayu bersungut-sungut.
"Bukan kita yang menginginkannya, tapi
Dewata,"! ucap Randu Warung.
"Ah, sudahlah. Apa pun katamu, yang jelas
aku tidak pernah membantai mereka. Aku sendiri
heran dengan jumlah mereka yang semakin
berkurang," potong Bayu cepat.
"Aku percaya padamu, Bayu. Tapi siapa pun
orangnya, dia pasti punya tujuan yang sama,
meskipun dengan jalan berbeda. Atau mungkin
juga punya tujuan lain yang kita tidak tahu," kata Randu Watung tetap lembut
nada suaranya, meskipun Bayu bernada sengit setiap kali


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara dengannya. Dan Randu Watung bisa
memakluminya. Tidak ada seorang pun yang rela
dirinya didustai sampai dua kali berturut-turut.
Randu Watung bangkit berdiri, dan melangkah mendekati pintu. Dibukanya pintu itu, tapi belum juga kakinya
melangkah ke luar, dia
sudah berbalik lagi dengan pintu tetap terbuka
lebar. Sedangkan Bayu masih tetap duduk di tepi pembaringannya.
"Kau mau makan di sini, atau di depan?" tanya Randu Warung.
"Nanti saja, aku belum lapar," sahut Bayu seraya bangkit berdiri.
"Aku tunggu kau di kedai depan, Bayu."
"Hm.. ."
Randu Watung melangkah ke luar, dan
menutup kembali pintu kamar itu. Sementara
Bayu melangkah ke jendela, dan membukanya
lebar-lebar. Sebentar ditatapnya keadaan di luar, kemudian berbalik dan
melangkah ke pintu.
Tangannya membuka pintu, kemudian melangkah ke luar dari kamar ini. Dibiarkannya
saja pintu itu tetap terbuka.
*** Sejak matahari tenggelam, Bayu sudah berada
tidak jauh dari bangunan megah dikelilingi
tembok benteng yang tinggi dan kokoh, di Puncak Bukit Kedaung. Pendekar Pulau
Neraka itu berada cukup terlindung dari penglihatan orang.
Tatapan matanya sangat tajam, dan tidak
berkedip mengamari sekitar bangunan megah itu.
Seperti seekor burung, dia duduk di atas dahan
yang cukup besar dengan daun-daun rimbun
hampir menutupi tubuhnya.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu
tertuju langsung ke bagian Timur gedung megah
itu. Tampak sebuah bayangan berkelebatan
menyelinap di antara pepohonan dan tembok batu
benteng gedung itu. Cukup jauh jaraknya,
sehingga Bayu tidak bisa melihat jelas. Tapi
mendadak saja, Pendekar Pulau Neraka itu
dikejutkan oleh sebuah suara melengking tinggi.
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya,
mendadak di bagian Timur bangunan itu, terlihat beberapa tubuh berpentalan di
udara. Jerit pekik menyayat terdengar saling susul. Bayu dapat
melihat kalau bayangan itu bergerak cepat
membantai orang-orang dari Partai Mata Iblis.
Juga dilihatnya puluhan orang berlarian keluar
dari dalam bangunan itu. Dan bayangan itu
langsung berkelebat cepat melompati tembok
benteng langsung lenyap di dalamhutan.
"Aku harus tahu, siapa dia!" gumam Bayu dalamhati. "Hup!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka
melesat cepat ke arah bayangan itu lenyap. Ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai taraf kesempurnaan, sehingga yang terlihat hanya
bayangan kuning berkelebatan di antara pepohonan. Sementara di dalam benteng
bangunan megah itu terjadi keributan besar,
karena tidak kurang dari dua puluh orang tewas
diserang orang yang tidak jelas tadi.
Dengan tatapan mata yang setajam mata
elang, Pendekar Pulau Neraka mampu melihat di
kegelapan malam. Cepat sekali dapat dilihatnya
bayangan putih berkelebatan menyelinap di
antara pepohonan. Bayu menggenjot tubuhnya,
melenting ke udara, dan berputaran beberapa
kali. Lalu indah sekali kakinya menotok sebuah
dahan, lalu melesat kembali dengan kecepatan
yang sangat sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hap.. !"
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka hinggap
di dahan pohon setelah melewati orang yang
dikejarnya. Dan dia memandangi terus, mengikuti arah
larinya orang itu. Lalu. ..
"Berhenti. .!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau
Neraka melompat turun, langsung di depan orang
berbaju putih longgar. Bayu terkesiap begitu
mengenali orang tersebut. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka itu hanya bisa terdiam
dengan mulut sedikit terbuka. Sedangkan di
depannya berdiri seorang laki-laki tua yang
rambut dan janggutnya memutih semua. Jubahnya yang panjang putih, sudah kumal agak
kekuningan. Tangan kanannya menggenggam
sebatang tongkat yang tidak karuan bentuknya.
Dia juga terkejut begitu tiba-tiba di depannya
menghadang seorang pemuda berbaju kulit
harimau. "Eyang Puger.. ," desis Bayu setengah tidak percaya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Bayu?" tanya Eyang
Puger setelah hilang dari rasa keterkejutannya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu
padamu, Eyang. Untuk apa kau lakukan semua
ini" Membantai mereka, lalu menghilang seperti
musang," ujar Bayu seraya melangkah menghampiri laki-laki tua kurus kering itu.
"Aku tidak perlu menjelaskan lagi, Bayu. Kau pasti sudah tahu, kenapa aku begitu
dendam pada mereka. Bagiku, dendam ini tidak akan pupus
sebelum mereka musnah dari muka bumi," datar nada suara Eyang Puger.
"Aku mengerti, Eyang. Mereka memang
orang-orang berhati iblis. Tapi dengan caramu
seperti itu akan membuat kesulitan bagi dirimu
sendiri," kata Bayu.
"Aku sudah tua, Bayu. Mati pun aku tidak
menyesal kalau manusia keparat itu sudah
mampus! Sampai ke neraka sekalipun aku tidak
akan bisa mengampuninya. Dia telah menyakiti
hatiku, Bayu. Belum pernah aku merasa
terpedaya seperti kerbau begini. Aku malu, sakit hati. .!" agak tertahan suara
Eyang Puger. "Eyang, apa sebenarnya yang telah terjadi
padamu?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Kau terlalu baik, Bayu. Sudah banyak aku
menyusahkanmu. Rasanya tidak pantas kalau
kukatakan hal ini padamu," terdengar pelan suara Eyang Puger.
"Katakan, Eyang. Mungkin akan membantu
meringankan beban batinmu. Kau perlu seseorang yang bisa diajak bicara. Aku bersedia mendengar semua keluhanmu,"
desak Bayu. "Bayu, kau ingat kata-kata Balaga waktu itu?"
"Ya," Bayu mengangguk.
"Apa yang dikatakannya, sebagian memang
benar. Aku sengaja tidak kembali, karena aku
penasaran dan ingin tahu kebenarannya. Tiga
hari ini aku selalu menyelidiki mereka,
mengurangi jumlah mereka agar Raden Randu
Watung mudah menyelesaikan tugas beratnya.
Oh. . Sungguh memalukan!" Eyang Puger
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hm.. !" kening Bayu berkerut
"Aku benar-benar malu pada diriku sendiri, Bayu. Kalau si keparat itu belum
mati, tidak bakalan aku berani hidup di dunia ramai
Sungguh memalukan!"
"Begitu jauhkah?" Bayu masih kurang
mengerti kata-kata Eyang Puger yang berbelit-
belit menyesali dirinya.
"Kau tidak akan berkata begitu kalau sudah melihatnya sendiri, Bayu."
'"Melihatnya" Melihat apa?" tanya Bayu.
"Wurati. Dia masih hidup dan sekarang ada di bangunan benteng itu."
"Apa. .!?"
"Itulah yang ingin kuselidiki kebenarannya.
Dan semakin jauh kuketahui, semakin sakit rasa
hatiku. Kau pasti tidak akan percaya kalau
Wurati benar-benar belum mati."
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi,
Eyang?" tanya Bayu masih belum percaya. "Jelas aku
melihatnya sendiri, bahkan sempat membujuknya agar tidak bunuh diri. Mustahil
kalau dia masih hidup!"
"Kenyataannya begitu, Bayu. Wurati sengaja datang padaku dengan satu maksud
buruk. Sebenarnya dia adalah istri Balaga. Mereka
memang punya maksud untuk menguasai
kitabku. Kau pasti tahu bagaimana pentingnya
kitab itu bagiku. Perlu dua puluh tahun
menyusunnya kembali Mereka kini menguasainya, dan sudah mempelajarinya.
Kitab itu sudah dibakar , " ada nada keluhan pada kata-kata terakhirnya. "Wurati
harus mati, Bayu.
Dia telah menghancurkan seluruh kehidupanku. Semua yang kulakukan selama
hidupku. Semuanya hancur. .!"
Bayu diam saja. Masih belum bisa dipahami
dan dipercayainya kalau Wurati belum mati.
Memang sebelumnya Eyang Puger sudah memberitahu, agar dia menyelidiki kebenaran
dari kematian Wurati. Tapi belum bisa berbuat
banyak. Dan sekarang Eyang Puger bertindak
sendiri, bahkan begitu yakin kalau Wurati masih hidup.
"Hihi hi.. !" tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengikik.
Belum lagi Bayu bisa menghilangkan rasa
keterkejutannya,
tiba-tiba sebuah bayangan
hitam berkelebat cepat, langsung menyerang
Eyang Puger. Laki-laki tua renta itu berusaha
menghindar seraya membanting tubuhnya ke
tanah. Tapi gerakannya begitu lamban, dan entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu
tubuh kurus kering itu terpental.
"Aaa. .!"
Eyang Puger menjerit keras melengking.
Tubuh kurus kering itu membentur sebongkah
batu sebesar kerbau. Dan batu itu pun hancur
berkeping-keping
memperdengarkan
suara ledakan menggemuruh. Eyang Puger berusaha
bangkit berdiri, namun bayangan hitam itu sudah berbalik dan hendak menyerang
kembali. Namun pada saat bayangan hitam itu meluruk deras,
secepat kilat Bayu mengebutkan tangannya, dan
dia sendiri juga melesat ke arah Eyang Puger.
"Hiaaat.. !"
"Hop!"
*** Seleret cahaya perak mendesing bagai kilat
menyambar ke arah sosok tubuh hitam yang
melesat di udara. Untungnya dia cepat-cepat
memutar tubuhnya, sehingga Cakra Maut yang


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tidak sampai
mengoyak tubuhnya. Dan pada saat yang
bersamaan, Bayu menubruk Eyang Puger.
Secepat itu pula seberkas sinar merah meluncur
bagai kilat menghantam tanah di mana Eyang
Puger tadi berdiri. Satu ledakan keras menggelegar menghantam tanah yang merekah
berhamburan ke sekitarnya.
'Tunggu di sini, Eyang," kata Bayu setelah menempatkan Eyang Puger di tempat
yang cukup aman. "Hati-hati, Bayu," ujar Eyang Puger. Bayu hanya menggumam kecil. Kemudian
melompat menghadapi orang berbaju serba hitam mengenakan caping besar yang menutupi seluruh
kepalanya. Belum sempat Pendekar Pulau
Neraka itu membuka suara, mendadak saja di
sekeliling mereka bermunculan orang-orang
berikat kepala merah dengan senjata terhunus.
Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh
orang. Tampak di antara mereka terdapat
Nyakra, dan seorang perempuan muda dan cantik
dengan pedang bertengger di punggungnya.
Wanita cantik itu mendekati orang berbaju
hitam dengan caping bambu yang lebar
bertengger di kepalanya Sedangkan Nyakra
menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada
semua orang pengikutnya untuk bersiaga Bayu
memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
"Kalau hanya satu orang, tidak perlu
mengerahkan banyak anggota, Caping Maut,"
kata wanita itu setengah berbisik.
"Dia bukan orang sembarangan, Kaniten.
Kepandaiannya sangat tinggi," sahut si Caping Maut
"Hm.. ," wanita yang dipanggil Kaniten melirik pemuda berbaju kulit harimau.
"Boleh aku coba, Caping Maut?"
"Hati-hatilah! Terutama dengan senjatanya."
"Senjatanya. ."
Aku tidak melihat dia membawa senjata."
"Kau lihat pergelangan tangan kanannya,
Kaniten?" "Ya."
"Cakra itulah senjata mautnya."
Kaniten tertawa mendengar penjelasan si
Caping Maut. Sama sekali dia tidak memandang
sebelah mata pada Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Bayu yang mendengar semua
pembicaraan itu hanya diam saja. Sempat
diliriknya Eyang Puger yang berada di atas pohon yang cukup tinggi, dan
terlindung tempatnya.
Entah mereka tahu atau tidak, yang jelas
tidak ada seorang pun yang memperhatikan
Eyang Puger. Semua perhatian mereka tercurah
pada Pendekar Pulau Neraka.
"Aku mau tahu, seperti apa kehebatan senjata yang kau takutkan itu, Ketua," kata
Kaniten, nada suaranya sinis mengejek.
"Aku lebih tahu daripadamu, Kaniten. Beberapa kali aku bentrok dengannya. Kau akan
menyesal tidak menghiraukan peringatanku,"
kata si Caping Mautagak tersinggung.
"Kita lihat saja. Kalau aku berhasil mengalahkannya, kau harus mundur dari
jabatanmu sebagai Ketua Partai Mata Iblis!" kata Kaniten tandas.
"Kuharap kau bisa menyadari kepongahanmu,
Kaniten." Wanita cantik yang menyandang pedang di
punggungnya itu, hanya mendengus mencibirkan
si Caping Maut. Sama sekali tidak dihiraukan
peringatan Ketua Partai Mata Iblis itu. Dengan
sikap seenaknya, dia melangkah maju mendekati
Bayu. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman meremehkan. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka memperhatikan dengan mata tidak
berkedip. Dia sudah malang-melintang di dalam
rimba persilatan, dan sudah banyak bertemu
dengan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sikap Kaniten yang meremehkannya,
sama sekali tidak
dipandang enteng.
"Enggan aku berkata banyak. Bersiaplah,
Kisanak!" kata Kaniten langsung membuka jurus.
Bayu masih berdiri tegak dengan tangan
melipat di depan dada. Namun tatapan matanya
begitu tajam memperhatikan gerak-gerak kaki
dan tangan Kaniten yang membuka jurus-jurus
kembangan untuk memulai pertarungan.
"Tahan seranganku! Hiyaaat. .!"
Cepat sekali Kaniten melompat sambil
melontarkan dua pukulan sekaligus. Namun
Bayu hanya sedikit memiringkan tubuhnya,
sehingga serangan wanita itu berhasil dielakkan dengan
mudah. Bahkan kakinya tidak dipindahkan sedikit pun. Dan Kaniten terus
menyerang dengan cepat dan dahsyat.
"Hup!"
*** 8 Bayu terpaksa melompat ketika satu sepakan
kaki Kaniten mengarah ke kakinya. Dan pada
waktu Pendekar Pulau Neraka berada di udara,
Kaniten dengan cepat mencabut pedangnya, dan
langsung dikibaskan ke arah perut. Bayu
terkesiap sesaat, tidak menyangka kalau Kaniten akan menyerang dengan pedangnya
secepat itu. Tidak ada waktu lagi untuk berkelit Cepat sekali Bayu
menghentakkan tangan kanannya, memapak tebasan pedang itu.
Tring! "Ikh!"
Kaniten memekik kaget. Buru-buru ditarik
pulang pedangnya. Wajah wanita itu jadi
memerah, bibirnya meringis merasakan nyeri
pada jari-jari tangannya. Sungguh tidak diduga
kalau tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka
begitu dahsyat, dan pedangnya tadi hampir saja
terpental ketika membentur Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju
kulitharimau itu.
Dua kali Kaniten melangkah mundur. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk langsung ke
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka. Sementara itu Bayu sudah berdiri tegak
dengan tangan melipat di depan dada tidak jauh
dan arena pertarungan itu, tampak si Caping
Maut tersenyum. Diangkatnya sedikit caping
yang menutupi wajahnya, sehingga bagian
bibirnya dapat terlihat.
"Sudah kubilang, hati-hati dengan senjatanya, Kaniten'" seru si Caping Maut
"Huh!" dengus Kaniten kesal. Wanita cantik itu kembali menggerakkan pedangnya di
depan dada. Lalu sambil berteriak keras, dia melompat mengibaskan pedangnya beberapa
kali, mengarah pada bagian-bagian tubuh Pendekar Pulau
Neraka yang mematikan. Namun gesit sekali
Bayu berkelit menghindari serangan-serangan
yang cepat dan dahsyat itu. Bahkan dia masih
mampu membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan semakin meningkat. Tampak
sekali kalau Kaniten sudah mengeluarkan jurus-
jurusnya yang ampuh dan sangat berbahaya.
Sedangkan sampai saat ini, Bayu belum punya
kesempatan menggunakan senjata mautnya. Dia
tidak punya jarak yang cukup untuk melontarkannya. Kaniten seperti sudah tahu saja, dia bertarung rapat tanpa
memberi kesempatan
pada Pendekar Pulau Neraka untuk merenggangkan jarak.
"Pecah kepalamu, keparat!" bentak Kaniten tiba-tiba.
"Hiat. !"
Cepat sekali Kaniten mengibaskan pedangnya
ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Dan
kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja.
Dengan cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepalanya dari
tebasan pedang itu.
Tring! "Hait. .!"
Begitu dua senjata beradu, cepat-cepat Bayu
melentingkan tubuhnya ke belakang, dan secepat
kilat dikebutkan tangan kanannya. Secercah
cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat dari pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka. Saat
itu Kaniten terperangah, namun secepat kilat
dikebutkan pedangnya menghalau Cakra Maut
yang meluncur deras mengancam tubuhnya.
Tring! "Akh. .!" Kaniten memekik tertahan.
Pedang di tangannya terpental ke udara begitu
membentur Cakra Maut yang dilepaskan Bayu.
Pada saat itu, Bayu cepat melompat sambil
menghunjamkan satu pukulan bertenaga dalam
sangat sempurna. Serangan yang cepat itu tidak
dapat dihindarkan lagi, sehingga. ..
"Aaa. .!" Kaniten menjerit keras melengking.
Tubuh ramping itu terpental jauh ke belakang
terkena pukulan keras bertenaga dalam sangat
sempurna. Dan sebelum tubuh Kaniten jatuh ke
tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah menghentakkan tangan kanannya secara keras ke
depan. Senjata cakra yang baru saja mau balik
menempel, langsung melesat kembali, dan. ..
"Aaa...!"
Untuk kedua kalinya Kaniten menjerit
melengking tinggi. Tampak Cakra Maut menghunjam dalam di dada yang membusung
indah itu. Kaniten menggelepar di tanah Darah
mengucur deras dari dadanya begitu Cakra Maut
kembali menghentak balik pada pemiliknya.
Hanya sebentar wanita itu mampu bergerak,
sesaat kemudian diam dengan nyawa melayang


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari tubuhnya. Gumaman-gumaman tertahan terdengar dari
orang-orang anggota Partai Mata Iblis. Mereka
semua tahu kalau Kaniten memiliki kepandaian
yang sukar dicari tandingannya. Tapi sekarang
menggeletak tidak bernyawa di tangan seorang
pemuda berbaju kulit harimau. Pemuda yang
belum dikenal, meskipun sudah malang- melintang di dalam rimba persilatan.
"Seraaang. .!" tiba-tiba Nyakra berteriak keras.
Belum lagi hilang suara Nyakra, seketika itu juga terdengar
seruan-seruan keras, disusul berlompatannya orang-orang bersenjata golok
memakai ikat kepala merah dengan bulatan
hitam pada keningnya. Mereka berlompatan
menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Hampir
semua anggota Partai Mata Iblis berlompatan
menyerang dengan golok terhunusberkelebatan.
*** Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Dia belum
mau mati tercincang sia-sia. Dengan mengerahkan jurus 'Kelelawar Sakti', Pendekar
Pulau Neraka itu mengamuk bagai banteng
terluka! Paling tidak disukainya menghadapi
keroyokan seperti ini. Terlebih lagi para penyerangnya bertarung serabutan tidak pakai
aturan sama sekali. Memang menguntungkan,
tapi Bayu sendiri jadi sukar untuk menghadapinya. Satu orang bisa terhajar, tiga atau lima orang
menyerang serentak dari segala jurusan. Pekik
pertempuran berbaur menjadi satu dengan jeritan kematian. Setiap pukulan
dan tendangan Pendekar Pulau Neraka, selalu membawa korban.
Tapi Bayu tidak terlalu sering menyerang, karena sudah
disibukkan dengan serangan yang beruntun, sehingga harus lebih banyak terpusat
pada penghindaran.
Sungguh suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagi Pendekar Pulau Neraka.
Untuk bisa lolos saja rasanya sudah tidak
mungkin lagi. Pengepungan pada dirinya begitu
rapat. Bahkan mereka seperti orang kemasukan
setan, tidak lagi takut mati. Terus merangsek
meskipun sudah banyak yang tewas berlumuran
darah. Malam yang seharusnya hening, kini jadi
hiruk-pikuk oleh pertempuran yang
tidak seimbang "Huh! Kalau begini terus, bisa habis napasku!"
dengus Bayu menggerutu dalamhati.
Tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak punya
kesempatan lagi untuk keluar dari keroyokan ini.
Jumlah mereka tadi terlihat hanya sekitar lima
puluh orang. Tapi entah dari mana datangnya,
tahu-tahu jumlah mereka jadi tiga kali lipat
banyaknya. Namun demikian, Bayu masih
sempat melirik ke tempat Eyang Puger tadi
berada. Dan hatinya jadi terkesiap, karena di sana tidak lagi dilihatnya laki-
laki tua itu. Bayu jadi cemas, begitu diketahuinya kalau Eyang Puger
tengah jungkir balik, jatuh bangun menghadang
serangan si Caping Maut.
Bayu jadi geram melihat keadaan seperti ini.
Dan begitu ada kesempatan, dilontarkan Cakra
Maut-nya dengan cepat Senjata berbentuk
bintang yang ujung-ujungnya bengkok itu melesat cepat memutar, membabat orang-
orang yang berada di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu.
Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu
melompat melewati beberapa kepala. Namun
belum jauh melompat, puluhan batang tombak
sudah beterbangan menghujani tubuhnya.
"Kampret!" Bayu mengumpatgeram.
Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara
menghindari terjangan tombak-tombak itu. Dan
berhasil ditangkapnya satu tombak. Dengan
tombak di tangan, Pendekar Pulau Neraka itu
meluruk turun, lalu mengamuk membuka jalan
mendekati pertarungan antara Eyang Puger
melawan si Caping Maut. Sementara senjata
Cakra Maut terus bergerak beterbangan bagai
seekor burung. Menghantam orang-orang Partai
Mata Iblis yang jadi panik, menghadapi senjata
yang bisa bergerak sendiri dengan kecepatan
bagai kilat Tiba-tiba saja di bagian lain terjadi kegaduhan.
Tampak Randu Watung beserta orang-orang
berjumlah lebih dari seratus orang menyerbu
masuk ke dalam kancah pertarungan. Mereka
semua mengenakan seragam prajurit dengan
senjata pedang dan tombak panjang. Tampak
orang-orang dari Partai Mata Iblis kocar-kacir
tidak beraturan.
"Hap!"
Bayu langsung melompat sambil menghentakkan tangannya ke atas. Dan Cakra
Maut pun melesat bagai kilat menempel kembali
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu. Bagaikan seekor burung walet
Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah
Eyang Puger. "Eyang! Mundur.. !" seru Bayu keras.
Pada saat itu, satu pukulan telak dari si
Caping Maut bersarang di dada yang kurus kering itu. Eyang Puger memekik keras,
tubuhnya terlontar jauh ke belakang seraya memuntahkan
darah segar dari mulutnya. Bayu langsung
meluruk ke arah
laki-laki tua itu
dan menyangganya sebelum Eyang Puger jatuh ke
tanah. "Eyang.. ," nada suara Bayu terdengar cemas.
"Aku tidak apa-apa. ., uhk!" kembali Eyang Puger memuntahkan darah kental
kehitaman. "Kau terkena racun, Eyang," kata Bayu semakin cemas.
Pada saat itu, si Caping Maut sudah melompat
menerjang sambil melepaskan satu pukulan yang
mengandung hawa panas menyengat Serangan
yang sangat cepat, dan tidak mungkin dihindari
lagi!Namun tanpa diduga sama sekali, Eyang
Puger nekad melompat menghadang serangan itu.
Tak pelak lagi, pukulan itu bersarang di dada
laki-laki tua itu.
Dug! "Akh. .!" Eyang Puger memekik keras.
"Eyang.. !" seru Bayu terkejut.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan menghambur menangkap tubuh
kurus kering yang melayang di udara. Lalu dia
mendarat lunak, dan membaringkan Eyang Puger
di bawah pohon. Tampak dari mulut, hidung dan
telinga Eyang Puger mengucurkan darah.
Napasnya tersendat, dan matanya setengah
terpejam. "Eyang.. ."
"Hati-hati menghadapinya, Bayu. Dia punya
pukulan beracun yang sangat langka dan
dahsyat," kata Eyang Puger lemah.
Bayu menggeram marah. Sementara si Caping
Maut berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya. Caping bambu yang lebar masih
menutupi sebagian wajahnya. Terlihat bibirnya
yang merah menyunggingkan senyuman tipis
mengejek. "Bayu.. , dia itu Wurati. Dia tidak mati di dasar jurang. Itu memang sudah
direncanakan bersama Balaga. . Dia sengaja melompat ke
dalam jurang sementara Balaga menunggu
dengan mayat perempuan yang memakai baju
sama persis dengan Wurati. Mereka sengaja
merusak wajahnya agar tidak dikenali. . uhk
uhk!" kata-kata Eyang Puger tersendat-sendat Dan dia terbatuk-batuk disertai
muntahan darah kental kehitaman. "Lenyapkan dia, Bayu. Dia sangat berbahaya kalau sudah
menguasai seluruh
kitabku. Rebut kembali kitab itu dari tangannya..
uhk!" lanjut Eyang Puger.
"Eyang.. !"
Eyang Puger terkulai lemah. Matanya
terpejam. Namun dadanya masih bergerak-gerak,
meskipun sangat sedikit dan satu-satu. Bayu
membaringkan tubuh tua itu, kemudian berdiri
dan melangkah maju beberapa tindak. Tatapan
matanya tajam, menusuk langsung pada tubuh
berbaju hitam dengan caping bambu yang lebar
menutupi wajahnya.
'Tidak perlu kau menutupi wajahmu, Wurati!"
dengus Bayu. "Bagus! Rupanya si tua bangka bodoh itu
sudah bercerita banyak padamu!" sahut wanita berbaju hitam itu sambil tetap
berdiri tenang.
Bibirnya yang merah selalu menyunggingkan
senyuman tipis bernada mengejek. Bayu menggeser kakinya lebih mendekat Dan baru
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua
batang tombak lagi. Sementara itu para prajurit Kadipaten Sangkal Putung di
bawah pimpinan Randu Watung, masih bertarung sengit melawan
orang-orang Partai Mata Iblis.
*** Bayu sempat melirik Randu Watung yang
bertarung sengit melawan Nyakra. Dan orang-
orang dari Partai Mata Iblis sudah kelihatan
terdesak. Bahkan beberapa di antaranya sudah
berhasil melarikan diri. Sementara si Caping
Maut yang kini menjadi pimpinan Partai Mata
Iblis, menggantikan Balaga, sudah bersiap-siap
melakukan penyerangan.
"Hiyaaat..!" si Caping Maut berteriak keras seraya melompat menerjang.
"Hait!"
Seketika itu juga Bayu melesat ke atas, dan
tangannya menghentak ke depan dengan jari-jari
tangan terbuka lebar. Tanpa dapat dicegah lagi, dua tangan saling berbenturan di
udara dengan kerasnya, sehingga menimbulkan satu ledakan
keras menggelegar! Dua orang itu terpental ke
belakang dan sama-sama jatuh bergulingan di
tanah. "Hup!" .
Namun Bayu langsung mampu melompat
bangkit berdiri. Sedangkan si Caping Maut
memuntahkan darah segar dua kali. Dengan agak
terhuyung, tari bangkit berdiri. Tangan kirinya menekap dada, dengan bibir
meringis. "Kematianmu sudah dekat, Wurati!" dengus Bayu dingin.
"Phuih! Kau pikir aku mudah kalah begitu
saja" Lihat ini!" bentak Wurati tidak kalah dinginnya.
Cepat sekali wanita berbaju hitam itu


Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan caping bambu yang selama ini
menutupi seluruh kepa lanya. Dan bagaikan kilat dilemparkannya caping itu ke
arah Pendekar Pulau Neraka. Wut! "Hiyaaa.. !"
Seketika itu juga Bayu mengecutkan tangannya ke atas, dan dari pergelangan
tangannya melesat secercah sinar keperakan dari senjata Cakra Maut. Dua benda
yang meluncur deras itu langsung berbenturan di udara. Kembali satu ledakan keras terdengar
menggelegar. Kali
ini ledakannya sangat dahsyat sekali, sehingga
menimbulkan getaran yang hebat, disertai
hempasan angin yang keras dan percikan bunga
api. Beberapa orang yang terkena percikan api,
langsung menjerit keras. Tubuh mereka seketika
hangus terbakar!
"Setan!"
rutuk Wurati begitu melihat capingnya hancur berkeping-keping.
Sedangkan Cakra Maut, senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik
pada pemiliknya. Bayu mengangkat tangan
kanannya, dan senjata kebanggaannya itu
kembali menempel erat di pergelangan tangan
kanannya. Wurati bersungut-sungut memaki, dan
menyumpah habis-habisan. Caping kebanggaan
nya itu bukan saja untuk pelengkap, tapi juga
sebagai senjata yang sangat dahsyat. Tapi
melawan Cakra Maut, caping itu hancur
berantakan! "Kau harus membayar mahal Caping Sakti-ku, Pendekar
Pulau Neraka!" geram Wurati memuncak amarahnya.
"Hhh! Caping seperti itu, terlalu banyak dijual di pasaran, Wurati," ejak Bayu
sinis. "Kadal buduk! Kubunuh
kau, keparat! Hiyaaa.. !"
Wurati tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Dia melompat seraya melontarkan beberapa
pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam yang
sangat tinggi. Pukulannya mengandung hawa
panas menyengat. Dan dari hawa itu tercium bau
racun yang kuat dan mematikan. Bayu cepat-
cepat melompat mundur, lalu seketika itu juga
dikebutkan tangan kanannya ke depan. Wut!
"Eh. .!" Wurati tersentak kaget. Buru-buru gadis itu membanting tubuhnya ke
tanah. Namun gerakannya terlambat sedikit, dan ujung cakra
yang melengkung, berhasil merobek bahu kiri
wanita berbaju serba hitam itu. Darah segar pun langsung merembes ke luar.
Wurati bergegas
melompat bangkit kembali, tidak dipedulikan
luka di bahunya. Dia kembali melompat
menerjang Pendekar Pulau Neraka.
Tapi baru saja melompat, tahu-tahu dari arah
belakang terdengar suara mendesing yang keras
mengagetkan. Wurati langsung menoleh. Bukan
main terkejutnya dia begitu melihat Cakra Maut
berbalik bagaikan kilat menyerangnya kembali.
Mau tidak mau, secepat kilat si Caping Maut itu melentingkan tubuhnya berputaran
di udara menghindari terjangan senjata dahsyat itu.
"Hiya. .!"
Secepat Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangannya, secepat itu pula Bayu
melompat mengirimkan satu tendangan menggeledek ke tubuh si Caping Maut. Serangan
yang tidak terduga sama sekali, terlebih lagi pada saat itu keseimbangan tubuh
si Caping Maut belum sempurna akibat berusaha menghindari
terjangan Cakra Maut senjata andalan Pendekar
Pulau Neraka itu.
Dug! "Akh. .!" Wurati menjerit keras.
Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu
meluncur deras ke tanah. Bersamaan dengan
terbantingnya tubuh si Caping maut Pendekar
Pulau Neraka juga mendarat di tanah, dan
secepat itu pula dihentakkan tangannya ke depan seraya membungkukkan tubuhnya
sedikit "Hiaaat..!"
Wut! "Aaa. .!"
Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat
Tampak Wurati yang baru bisa bangkit berdiri
tegak dengan mata membeliak lebar. Sesaat
kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah dengan
kepala menggelinding terpisah dari lehernya!
Darah segar pun membasahi tanah. Bayu
mengangkat tangan kanannya, dan Cakra Maut
pun kembali menempel pada tempatnya semula.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu memandangi mayat Wurati atau si Caping Maut
yang menjadi Ketua Partai Mata Iblis. Kemudian
dihampiri dan diperiksanya tubuh wanita itu.
Dari balik lipatan baju pada bagian dadanya,
Pendekar Pulau Neraka itu menemukan sebuah
kitab bersampul biru tua yang cukup tebal. Bayu tahu kalau kitab itu milik Eyang
Puger. Kemudian Bayu bergegas berbalik dan menghampiri Eyang Puger yang masih menggeletak tidak sadarkan diri. Diselipkan kitab itu di balik sabuk pinggang
Eyang Puger, kemudian diangkat dan dipondongnya tubuh
kurus itu. "Bayu.. !"
*** Bayu yang hendak melangkah pergi, jadi
tertahan langkahnya ketika mendengar suara
panggilan dari arah belakang. Pendekar Pulau
Neraka itu berbalik, dan tampaklah Randu
Watung sedang berlari-lari kecil menghampirnya.
Bayu sempat melihat Nyakra menggeletak
dengan leher hampir buntung. Rupanya Randu
Watung berhasil menghentikan perlawanan wakil
ketua tiga Partai Mata Iblis itu. Randu Watung
berdiri setelah jaraknya tinggal sekitar tiga
langkah lagi di depan Bayu. Sementara itu
pertarungan sudah berhenti. Sisa-sisa anggota
Partai Mata Iblis yang masih hidup sudah
menyerah. Dan memang tidak sedikit yang
berhasil kabur.
"Kenapa Eyang Puger?" tanya Randu Watung bernada cemas.
"Terluka, aku harus segera membawanya
pulang," sahut Bayu.
"Perjalanan ke sana cukup jauh, dan
memerlukan waktu tiga atau empat hari, Bayu.
Sebaiknya kau bawa Eyang Puger ke istana
kadipaten. Ada tabib ahli yang mungkin bisa
mengobati lukanya," kata Randu Watung.
Belum lagi Bayu bisa menjawab untuk
menolak, Randu Watung sudah memanggil
seorang patih. Bayu sendiri tidak mengerti,
karena seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi tegap membungkuk hormat
pada Randu Watung "Siapkan kuda secepatnya. Kemudian kirim
utusan ke istana kadipaten untuk menyiapkan
kamar dan tabib," perintah Randu Watung. Nada suaranya tegasberwibawa.
"Baik, Raden. Segera hamba laksanakan,"
sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil patih itu.
"Cepat, jangan buang-buang waktu!"
Patih itu bergegas pergi. Bayu masih bengong
Sedangkan tidak lama patih itu sudah kembali
bersama tiga orang prajurit berpangkat punggawa membawa kuda. Randu Watung
langsung melompat ke salah satu kuda.
"Ayo, Bayu Jangan buang-buang waktu!" kata Randu Watung.
Bayu masih diam memondong tubuh Eyang
Puger. Tapi kemudian dilangkahkan kakinya
mendekati patih itu, dan diberikannya tubuh laki-laki tua itu. Patih itu
memondongnya dengan
sikap ragu-ragu. Bayu melangkah mundur setelah
Eyang Puger sudah berpindah tangan.
"Aku harus pergi, salamkan saja pada Eyang Puger," kata Bayu.
"Hey! Kau mau ke mana?" sentak Randu
Watung seraya melompat turun dari kudanya.
Dia sangat terkejut sekali dengan kata-kata Bayu tadi.
"Masih banyak yang harus kukerjakan. Satu
saat nanti aku akan datang menjenguk Eyang
Puger," kata Bayu pelan.
"Kau harus ikut, Bayu. Aku akan memperkenalkanmu pada Ayahanda Prabu. Itu
sudah janjiku!" kata Randu Watung tegas.
'Terima kasih, bukannya aku menolak.
Rasanya tidak pantas jika kuterima anugerah
sebesar itu. Sekali lagi, aku mohon maaf, Raden,"
ucap Bayu seraya membungkuk memberi hormat
"Aku percaya kau seorang putra mahkota.
Maaf atas kekasaranku beberapa hari ini," ucap Bayu lagi.
"Edan! Kau bicara apa?" sentak Randu
Watung tidak suka.
"Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi,
Raden. Sampaikan salamku pada Eyang Puger,"
ucap Bayu seraya melompat cepat bagaikan kilat.
"Bayu !" seru Randu Watung keras, tapi bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah
tidak terlihat lagi. Randu Watung berdiri mematung
memandangi arah kepergian Bayu. Entah apa
yang ada di dalam benaknya saat ini. Yang jelas dia merasa kehilangan seorang
sahabat sejati.
Tidak akan mungkin dia bisa melupakan
pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka.
"Raden.. ," tegur laki-laki setengah baya yang memondong Eyang Puger.
"Kau naik kuda bersama Eyang Puger. Bawa
secepatnya ke istana kadipaten!" perintah Randu Warung tegas.
"Baik, Raden."
Randu Watung juga bergegas melompat naik
ke punggung kudanya. Dan begitu patih itu
melompat naik sambil membawa Eyang Puger,
Randu Watung menggebah kudanya cepat-cepat.
Diikuti patih yang masih memondong Eyang
Puger di atas punggung kuda. Sekitar seratus
prajurit mengikutinya dari belakang. Mereka juga menunggang kuda. Sedangkan ada
sekitar lima puluh prajurit lagi berjalan kaki membawa
tawanan. Randu Warung memacu kudanya dengan
cepat di depan. Pikirannya masih tertuju pada
Pendekar Pulau Neraka. Rasanya belum tenang
kalau tidak memberikan sesuatu pada pendekar
yang sudah begitu banyak jasanya. Randu
Watung bertekad di dalam hatinya untuk mencari
tahu di mana Pendekar Pulau Neraka berada.
"Randu, kitab pada Eyang Puger bisa menjadi petunjuk untuk mengobati
lukanya. .!" tiba-tiba terdengar suara Bayu yang menggema.
"Heh!" Randu Warung terkejut, langsung dihentikan langkah kaki kudanya. Begitu
juga dengan yang lainnya. Mereka semua terkejut
mendengar suara tanpa ujud itu.
"Bayu! Di mana kau.. ?" teriak Randu Watung keras.
Sunyi, tidak ada seorang pun yang tedihat
Randu Watung mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Juga dipasang telinganya tajam-tajam.
Tetap saja sunyi, tidak ada Bayu di dekat tempat itu.
Randu

Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Watung memerintahkan pada patihnya untuk membawa Eyang Puger secepatnya ke istana bersama sebagian prajurit
Dia sendiri masih belum beranjak meskipun patih itu bersama sebagian prajurit
sudah menggebah
kudanya. Agak lama juga Randu Warung menunggu,
tapi Bayu tidak juga muncul. Pemuda yang
ternyata putra mahkota itu mendesah panjang
dan berat. Kemudian digebah kudanya pelahan-
lahan meninggalkan tempat itu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Pulau Neraka
yang telah terbit:
1. GEGER RIMBA PERSILATAN
2. PEMBALASAN RATU SIHIR
3. LAMBANG KEMATIAN
4. CINTA BERLUMUR DARAH
5. PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
6. JAGO DARI SEBERANG
7. PENDEKAR KEMBAR
8. PENGANTIN DEWA RIMBA
9. MENEMBUS LORONG MAUT
10. MUSTIKA DEWI PELANGI
11. BUNGA DALAM LUMPUR
12. GADIS BURONAN
13. ISTANA IBLIS
14. LINGKARAN RANTAI SETAN
15. DI BALIK CAPING BAMBU
Serial Pendekar Perisai Naga
yang telah terbit:
1. HANTU LERENG LAWU
2. SELENDANG MAYAT
3. PENGUASA GOA BARONG
Neraka Pulau Biru 1 Pendekar Sakti Im Yang Karya Rajakelana Misteri Bencana Kiamat 1
^