Pencarian

Gadis Buronan 1

Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan Bagian 1


GADIS BURONA N Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. Gambar sampul oleh Soeryadi Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Gadis Buronan 128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Hiya! Hiya...!"
Seorang pemuda berbaju merah muda mengge-bah
kudanya dengan kecepatan tinggi. Kuda coklat belang putih Hu berpacu bagai
kesetanan. Setiap kali tangan pemuda itu menepuk pinggul kudanya, terdengar
ringkikan keras, maka kuda itu pun semakin cepat berpacu. Debu mengepul di
udara, menambah sesaknya siang yang panas menyengat ini.
Kuda coklat belang putih itu tiba-tiba saja meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pemuda yang menunggangnya, cepat-cepat menarik tali kekangnya kuat-kuat Tapi
kuda itu semakin liar, berjingkrakan sambil meringkik keras. Sukar untuk
mengendalikan lagi. Dan ketika kuda itu melompat dan mengangkat kaki depannya
tinggi-tinggi ke udara, pemuda itu kehilangan keseimbangan.
Dia jatuh bergulingan di tanah.
"Hup!"
Bergegas pemuda itu bangkit, dan melompat ke punggung kudanya kembali. Tapi kuda
coklat itu malah berlari kencang, sehingga pemuda itu terbanting keras ke tanah
dan kembali bergulingan. Bergegas dia bangkit, namun kudanya sudah begitu jauh
meninggalkannya sendirian.
"Kuda sialan!" umpat pemuda itu kesal.
"Jangan salahkan kuda, dasar kau saja yang tidak becus!"
riba-riba terdengar suara menggumam, namun terdengar keras mengejutkan.
"Heh! Siapa kau...?" pemuda itu terkejut, langsung berbalik menatap ke suatu
arah. "He he he...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pemuda berbaju merah muda itu
telah berdiri seorang laki-laki tua berjubah biru tua. Sebatang tongkat
menyangga tubuhnya yang agak bungkuk. Laki-laki tua itu tertawa terkekeh-kekeh
seraya bergerak menghampiri, dan baru berhenti setelah jaraknya sekitar lima
langkah lagi. "Siapa kau?" dengus pemuda Itu masih dihinggapi perasaan kesal karena
ditinggalkan kudanya bergitu saja.
"He he he...," laki-laki tua berjubah biru tua itu hanya terkekeh saja.
Dan belum lagi hilang suara tawanya, tiba-tiba laki-laki tua itu melompat cepat
sambil mengibaskan tongkatnya ke arah kepala pemuda itu. Tentu saja serangan
yang demikian cepat dan mendadak itu, membuat pemuda berbaju merah muda
kelabakan. Tapi dengan cepat dirundukkan kepalanya, dan langsung digeser kakinya
ke kanan. Belum juga pemuda itu bisa mengangkat kepalanya
kembali, laki-laki tua itu sudah kembali menyerang lebih cepat Kali ini
tongkatnya diputar dari atas ke bawah, mengarah ke kaki. Serangannya begitu
cepat dan sukar di kuti mata biasa.
"Hait..!"
Cepat sekali pemuda itu melompat menghindari tebasan tongkat itu. Dan pada
kesempatan yang sedikit, dengan kecepatan kilat dihentakkan kakinya ke depan,
langsung diarahkan ke dada laki-laki tua itu.
"Uts!"
Laki-laki tua itu menyilangkan tongkatnya, memapak
tendangan yang menggeledek dan cepat itu. Tak dapat dihindarkan lagi. Kaki
pemuda itu menghantam tongkat yang menyilang di depan dada. Tapi pemuda itu
cukup cerdik. Dengan menggunakan tenaga pinjaman, dia melompat ke
belakang. Tubuhnya berputar tiga kali di udara, dan mendarat lunak di tanah
Srer! Pemuda berbaju merah muda itu mencabut pedang yang
tergantung di pinggangnya. Disilangkan pedang itu di depan dadanya. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk.
"Kisanak, kenapa kau menyerangku?" tanya pemuda itu bernada kesal.
"He he he.... Karena kau keras kepala, Awijaya!" sahut laki-laki tua itu
diiringi suara tawanya yang terkekeh.
"Heh! Kau tahu namaku"! Siapa kau sebenarnya?" tanya pemuda yang ternyata
bernama Awijaya. Tentu saja Awijaya terkejut, karena dia merasa dirinya sudah
berubah jauh dengan banyaknya luka goresan di wajahnya. Belum lagi rambutnya
yang kasar memenuhi wajahnya, membuat
penampilan Awijaya jauh berubah dari tiga tahun yang lalu.
"Kau tak perlu tahu siapa aku, Awijaya. Aku hanya ingin mengatakan, jangan kau
teruskan pekerjaanmu. Dia bukan milikmu!" sahut lelaki tua itu dingin.
"Jangan berbelit-belit,
Kisanak! Apa keinginanmu sebenarnya?" dengus Awijaya semakin kesal.
"He he he..," laki-laki tua itu hanya terkekeh saja.
Tiba-tiba saja dia melesat cepat, dan langsung lenyap dari pandangan.
"Hey...! Tunggu...!" teriak Awijaya terkejut Tapi bayangan lelaki tua aneh dan
tak dikenal itu sudah lenyap. Tak tahu lagi ke mana perginya. Tinggal suara
tawanya saja yang masih terdengar, kemudian menghilang terbawa angin. Awijaya
bersungut kesal, karena kini harus berjalan kaki. Kudanya kabur entah ke mana,
dan kini ada lelaki tua yang tak diketahui maksudnya. Tahu-tahu muncul
dan menyerang. Bahkan meninggalkan kata-kata yang sama sekali tak dimengertinya.
"Huh! Orang tua edan...!" dengus Awijaya menggerutu kesal.
*** Senja baru saja turun ke dalam pelukan bumi. Cahaya
matahari tidak lagi terik menyengat Sinarnya nampak kemerahan menyemburat di
ufuk Barat. Bola merah raksasa itu terlihat agak tenggelam, seakan hendak
mengucapkan selamat tinggal. Di jalan setapak berdebu, tampak Awijaya berjalan
pelahan-lahan. Wajahnya bersimbah keringat, dan bajunya kotor berdebu.
Pandangannya lurus ke depan ke arah sebuah desa yang nampak tenang.
Angin bertiup tidak terlalu kencang. Sebagian rambutnya tergulung ke atas di kat
pita merah muda. Sedangkan sebagian lagi melambai-lambai mengikuti alunan tiupan
angin senja ini. Awijaya terus melangkah memasuki desa yang belum diketahui
namanya. Beberapa penduduk
yang kebetulan berpapasan, sempat memperhatikannya. Namun mereka tidak peduli. Desa
ini tidak terlalu kecil, tapi suasananya begitu damai tentram. Awijaya
mengayunkan kakinya menuju sebuah rumah yang bertuliskan. "Rumah Penginapan dan
Kedai Nyai Supit" di atas pintunya.
Seorang perempuan bertubuh gemuk menyambut kedatangan Awijaya. Dengan senyum lebar dan sikap ramah, dipersilakan pemuda itu
masuk, Awijaya dibawa ke salah satu tempat yang terdapat meja bundar dan dua
buah kursi. Ada beberapa meja dan kursi sejenis tertata rapih di ruangan yang
cukup besar ini. Awijaya duduk tenang, seraya mengamati keadaan ruangan kedai
ini. "Pesan apa, Den?" tanya perempuan gemuk itu ramah.
"Aku perlu kamar untuk menginap," sahut Awijaya langsung tanpa basa-basi lagi
"Tidak makan dulu, Den?" perempuan gemuk itu
menawarkan. "Minum saja."
"Arak?"
"Iya."
"Sebentar, Den."
Perempuan tua itu tergopoh-gopoh meninggalkannya.
Sementara Awijaya kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak banyak
orang di kedai ini. Satu orang duduk menghadapi makanan yang begitu banyak.
Sepertinya tidak akan habis dimakan oleh tubuhnya yang kecil kurus itu. Di pojok
lain ada empat orang laki-laki berwajah beringas yang juga tengah menikmati
makanannya. Mereka bicara ribut sekali, seolah-olah tidak mempedulikan
pengunjung lainnya.
Masih ada lagi beberapa orang. Dan pandangan Awijaya tertuju pada enam orang
wanita yang duduk menghadapi satu meja. Mereka hanya minum arak ringan dan
makanan kecil yang terhidang di atas meja. Dari punggungnya yang
membawa pedang, keenam wanita muda itu pasti dari
kalangan rimba persilatan. Mereka masih muda dan cantik.
Yang menarik perhatian Awijaya adalah gambar sekuntum bunga yang tersulam di
bagian dada sebelah kiri mereka.
"Hm..., ada apa mereka datang ke sini?" gumam Awijaya dalam hati.
Pertanyaan Awijaya belum terjawab, karena perempuan gemuk itu datang lagi sambil
membawa se-guci arak manis dan sepiring makanan kecil. Dengan sikap yang ramah,
diletakan pesanan itu diatas meja, lalu dipersilakan Awijaya untuk menikmatinya.
Kemudian dia berbalik meninggalkan tergopoh-gopoh, karena ada lagi orang yang
datang. Orang yang baru datang itu sungguh menarik perhatian semua pengunjung kedai ini,
karena pakaiannya berbeda dari
biasanya. Dia seorang pemuda dengan garis-garis kekerasan yang tersirat pada
wajahnya yang tampan. Tubuhnya tinggi tegap dan berotot, terbungkus baju dari
kulit harimau. Dipilihnya tempat di bawah jendela besar yang terbuka, dan berjeruji dari kayu
bulat Dia hanya memesan arak, tanpa ada makanan lain.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Awijaya mengenali pemuda berbaju kulit harimau
yang baru masuk tadi "Hm..., mudah-mudahan kedatangannya hanya sekadar singgah.
Bisa runyam nanti urusannya kalau dia tahu."
Senja terus merayap semakin jauh. Suasana jadi semakin remang-remang.
Perempuan gemuk
pemilik kedai ini menyalakan beberapa pelita, sehingga ruangan kedai ini jadi terang benderang.
Satu per satu tamu di dalam kedai ini beranjak pergi, dan kebanyakan masuk ke
bagian belakang.
Mungkin menginap di tempat ini juga.
"Sini...!" Awijaya melambaikan tangannya pada perempuan gemuk yang bernama Nyai
Supit "Ada apa, Den?" Nyai Supit menghampiri tergopoh-gopoh.
"Masih ada kamar untukku?" tanya Awijaya langsung.
"Ada, Den. Banyak," sahut Nyai Supit.
"Hm.... Kulihat banyak sekali tamumu. Aku khawatir tidak ada lagi kamar
penginapan di sini."
"Jangan khawatir, Den. Ada dua puluh kamar yang bisa disewa. Dan baru separahnya
terisi." "Kalau begitu, siapkan kamar satu untukku."
"Baik, Den."
Nyai Supit berbalik dan pergi, tapi Awijaya mencegahnya.
Perempuan gemuk itu kembali berbalik menghadap pemuda itu. Sikapnya masih ramah
disertai senyum yang tidak pernah lepas mengembang dari bibirnya.
"Ada apa, Den?"
"Nyai, apakah mereka pendatang juga?" tanya Awijaya setengah berbisik, dan
kepala disorongkan ke depaa
"Benar, Den. Beberapa hari ini banyak sekali orang datang ke sini Mungkin karena
berita itu," sahut Nyai Supit Awijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Raden juga ingin ikut?" tanya Nyai Supit "Sebaiknya jangan, Den. Tidak mungkin
berhasil. Sudah banyak yang mencoba, tapi tidak ada yang pernah kembali lagi.
Mendengar namanya saja, sudah tidak lagi. Mungkin mati, atau hilang."
"Perjalananku masih panjang. Nyai. Aku tidak tertarik sama sekali," kata Awijaya
tersenyum kecut
"Syukurlah kalau begitu. Raden masih muda, lebih baik cari gadis lain. Masih
banyak yang cantik. Di Desa Munding ini juga banyak gadis cantik, Den."
Awijaya hanya tersenyum saja, kemudian bangkit berdiri.
"Mana kamarku, Nyai?"
"Mari, Den. Ikuti aku."
*** Suasana di Desa Munding hari ini tidak seperti biasanya.
Keramaian begitu menyetok. Dari segala penjuru orang-orang berdatangan menuju
sebuah rumah besar yang memiliki halaman luas bagai lapangan. Keramaian seperti
ini tentu saja menguntungkan para pedagang musiman. Sejak pagi-pagi buta tadi,
mereka sudah mengambil tempat yang dianggap tepat. Tak tertinggal anak-anak
berlarian bermain tanpa mengerti
maksud keramaian ini. Sedangkan beberapa
kelompok pemuda berceloteh menggoda gadis-gadis. Tidak jarang gadis-gadis yang
digoda malah membalas dengan menyakitkan.
Di depan kedai Nyai Supit yang terletak tidak jauh dari rumah besar yang
berhalaman luas dan kini dipenuhi orang itu, tampak berdiri Awijaya. Di
sampingnya. Nyai Supit duduk di balai bambu yang merapat pada dinding kedainya.
Orang-orang yang keluar masuk kedainya tidak dipedulikan lagi. Hari ini semua
pekerjaannya diserahkan pada pelayannya.
"Tidak ke sana, Den?" tegur Nyai Supit yang agak heran juga melihat Awijaya
hanya berdiri saja memandangi
keramaian itu. "Malas," sahut Awijaya kelihatan enggan. Tapi matanya terus memandang ke arah
sana. "Pasti ramai. Soalnya, banyak orang sakti mengadu ilmu di sana," kata Nyai Supit
lagi. "Manusia diadu seperti ayam!" dengus Awijaya tanpa sadar.
"Benar, Den. Tapi memang wataknya Ki Praba begitu!"
sambut Nyai Supit. "Dia pikir, cuma dirinya saja yang tinggi ilmunya....
Padahal banyak orang yang lebih tinggi
kepandaiannya. Biar saja, nanti juga kena batunya!"
Awijaya melirik pada perempuan gemuk itu. Bibirnya
menyunggingkan senyum tipis yang penuh arti, namun tidak mudah untuk dilukiskan.
Rasanya terlalu hambar dan pahit sekali. Tapi Nyai Supit tidak memperhatikan,
dan terlalu sibuk memperhatikan keramaian itu.
Tiba-tiba saja senyum di bibir Awijaya lenyap. Dan kini pandangannya terpaku
pada seorang laki-laki tua berjubah biru tua yang berdiri di bawah pohon
kemuning. Tongkat hitam berkeklk tujuh menyangga tubuhnya yang agak
bungkuk Pada saat yang sama, laki-laki tua itu memandang ke arah Awijaya.
Bibirnya yang tipis dan hampir tertutup kumis putih, menyunggingkan senyuman
lebar. Aw^aya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi
sesekali dilirik juga laki-laki tua itu yang tetap saja
memandangnya disertai senyuman lebar mengandung ejekan.
Entah kenapa, Awijaya jadi mual, dan muak melihat senyum laki-laki yang pernah
menghadang dan menyerangnya tanpa alasan itu.
"Kau kenal orang tua itu. Den?" tiba-tiba Nyai Supit menegur.
"Oh!" Awijaya tersentak kaget. Langsung ditatapnya perempuan tua gemuk di
sampingnya. "Ki Praba pasti kena batunya hari ini kalau dia ikut," kata Nyai Supit lagi.


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Tampaknya kau kenal dengannya, Nyai," kata Awijaya bernada menyelidik.
Dia memang penasaran sekali terhadap laki-laki tua yang membuat perutnya jadi
mual. "Semua orang di sini pasti mengenalnya, Den. Namanya, Ki Sampar Watu.
Kepandaiannya sangat tinggi, sukar dicari tandingannya," jelas Nyai Supit
"Tampaknya kau begitu banyak mengetahui tentang dunia persilatan," ujar Awijaya
setengah bergumam.
'Tidak seluruhnya, Den. Hanya sedikit saja," Nyai Supit mengakui terus terang.
"O..."!" Awijaya berkerut keningnya, sampai alisnya hampir bertaut
"Suamiku dulu seorang pendekar. Tapi sayang, meninggal terlalu cepat..," ada
kesenduan pada nada suara Nyai Supit Awijaya memperhatikan kalau perempuan tua
gemuk itu menatap tajam laki-laki tua berjubah biru yang bernama Ki Sampar Watu
itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapannya yang tajam. Dan Awijaya jadi
ingin tahu, tapi tidak ingin terlalu gegabah dan terburu napsu. Terutama
mengenai laki-laki tua berjubah biru itu.
"Siapa yang menewaskannya, Nyai?" tanya Awijaya hari-hari.
"Ah! Kau terlalu cepat tanggap, Raden," desah Nyai Supit
"Aku juga sedikit mengerti tentang dunia persilatan. Nyai.
Biasanya seorang pendekar yang meninggal begitu cepat, karena kalah bertarung."
"Suamiku memang bertarung, dan kalah," peian suara Nyai Supit
"Kenapa mesti bertarung?"
"Persoalan yang sama dengan sekarang."
"Ohhh...!" lagi-lagi Awijaya mengerutkan keningnya.
Kata-kata Nyai Supit semakin menarik hati Awijaya, dan jadi semakin ingin tahu
saja. Pemuda itu menghampiri dan duduk di sebelah Nyai Supit. Sebentar sempat
dilirik ke arah Ki Sampar Watu. Tapi laki-laki tua berjubah biru itu sudah tidak
ada di tempatnya lagi. Di bawah pohon kemuning itu sudah di si oleh tukang
dawet. Awijaya sempat pula mengedarkan pandangannya, dan masih melihat Ki Sampar
Watu melangkah terseok-seok menyibak kerumunan banyak orang. Jelas kalau
tujuannya ke rumah besar yang semakin padat itu. Tapi pada bagian tengah
halamannya tampak kosong, karena ada
sebuah panggung besar berdiri kokoh.
"Nyai, apakah Ki Praba masih mempertaruhkan anaknya?"
tanya Awijaya semakin hati-hati.
"Kau sudah tahu rupanya, Raden."
"Sudah lama aku tahu, Nyai."
"Memang begitu. Padahal sampai sekarang ini, Rara Wanti tidak pernah keluar.
Bahkan tidak ada seorang pun yang melihatnya."
"Hhh..., itulah...," desah Awgaya tanpa sadar.
"Kau juga ada urusan dengannya. Raden?" Nyai Supit menatap tajam.
"Terus terang, iya."
"Sebaiknya jangan, Raden. Ki Praba itu sangat kejam. Dia tidak segan-segan
membunuh siapa saja yang mencoba
menantangnya. Suamiku dulu pun tewas karena berusaha mempertahankan sebidang
tanah milik orang tuanya yang direbut paksa olehnya. Yaaah.... Memang bukan
dirinya sendiri yang melakukan, tapi orang lain yang dibayar mahal, dan
dijanjikan akan mendapatkan anak gadisnya. Tapi sampai sekarang janjinya tidak
pernah dipenuhi."
"Sayang sekali, Nyai. Justru kedatanganku ke desa ini untuk membawa pergi Rara
Wanti," kata Awijaya terus terang.
"Oh...!" Nyai Supit tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.
Perempuan gemuk itu menatap dalam-dalam, langsung ke bola mata Awijaya. Bibirnya
yang kecil hampir tertutup pipi itu bergerak-gerak bergetar, seolah-olah ingin
mengucapkan sesuatu. Sesaat lamanya mereka- tidak berkata-kata.
"Tidak..., tidak mungkin! Kau pasti bukan dia. Sudah tiga tahun menghilang
setelah pe...," kata-kata Nyai Supit terhenti.
"Aku Awijaya, Nyai. Putra asli desa ini! Aku datang justru untuk menyelesaikan
persoalan kami!" tegas kata-kata Awijaya.
"Ohhh...,"
Nyai Supit mendesah panjang sambil menggeleng beberapa kali.
"Maaf, kalau selama ini aku berpura-pura tidak tahu,"
sambung Awijaya.
"Sebaiknya kita masuk. Ayo! Jangan sampai ada orang yang mengetahuimu," kata
Nyai Supit langsung beranjak bangkit
Perempuan gemuk itu menarik tangan Awijaya, sehingga pemuda itu tidak bisa lagi
menolak. Mereka masuk ke dalam kedai, dan langsung menuju bagian belakang. Nyai
Supit mencekal tangan pemuda itu erat-erat seakan-akan tidak ingin melepaskan
lagi. Dan Awijaya sendiri seperti kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja tanpa
membantah lagi.
*** 2 Awijaya terlonjak kaget, dan langsung melompat keluar melalui jendela. Nyai
Supit juga bergegas keluar. Meskipun tubuhnya gemuk, tapi gerakannya begitu
ringan. Dengan sekali lompat saja tubuhnya sudah ada di luar. Tampak orang yang
jumlahnya lebih dari seratus berlarian sambil berteriak-teriak.
"Ada apa?" tanya Awijaya seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Lihat, Awijaya!" seru Nyai Supit menunjuk ke tengah-tengah halaman rumah Ki
Praba. Awgaya langsung mengaratikan pandangannya ke rumah Ki Praba Tampak seorang laki-
laki tua tengah mengamuk
membabi buta, menghajar siapa saja yang berada di
dekatnya. Tidak jauh dari laki-laki tua berjubah biru yang mengamuk itu, juga
terlihat seorang laki-laki berbaju indah dikelilingi puluhan orang bersenjata
Mereka berusaha bergerak masuk ke dalam rumah. Hampir lima puluh orang mencoba
menghadang amukan orang tua berjubah biru itu.
"Ki Sampar Watu..., apa yang dilakukannya di sana?"
gumam Awijaya seolah bertanya pada dirinya sendiri.
"Dia ingin menagih haknya," celetuk Nyai Supit. "Hak...?"
"Seharusnya Ki Praba menyerahkan Rara Wanti padanya untuk dijadikan istri."
"Apa..."!" Awijaya terkejut bukan main. "Ini tidak boleh didiamkan. Orang tua
gila itu harus dicegah!"
"Awijaya...!"
Tapi Awijaya sudah lebih dulu cepat melompat, melewati beberapa
kepala orang yang sedang nik berlarian menyelamatkan diri. Dua kali pemuda itu berputar di udara,
lalu meluruk langsung menghadang Ki Sampar Watu yang baru saja membabat buntung
tiga kepala sekaligus.
"Orang tua edan! Hentikan...!" bentak Awijaya keras menggelegar.
Ki Sampar Watu langsung berhenti mengamuk Dia
menggeram,ketika melihat Awijaya sudah berdiri berkacak pinggang di depannya.
Sementara ada sekitar tiga puluh orang bersenjata golok dan tombak mengepung.
Tampak di tangga depan rumah besar, Ki Praba berdiri memperhatikan, dikawal
sekitar dua puluh orang bersenjata terhunus.
"Jantar, siapa anak muda jelek itu?" tanya Ki Praba.
"Nampaknya orang asing," sahut seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima
tahun yang berdiri di samping kanan Ki Praba.
"Hm...," Ki Praba bergumam dengan alis bertaut menjadi satu.
Laki-laki setengah baya itu terus memperhatikan tanpa berkedip pemuda yang
berkacak pinggang di depan Ki Sampar Watu, kemudian melangkah menuruni anak-anak
tangga beranda rumahnya yang besar bagai istana itu. Dua puluh anak buahnya mengikuti
disertai sikap berjaga-jaga. Ki Praba berhenti melangkah di ujung tangga
beranda. "Aku seperti pernah melihatnya...," gumam Ki Praba seperti bicara pada dirinya
sendiri. "Sepertinya...."
Belum juga Jantar meneruskan ucapannya, mendadak saja mereka semua dikejutkan
suara teriakan keras menggelegar dari Ki Sampar Watu. Ternyata laki-laki tua itu
tengah melesat cepat bagaikan kilat menerjang Awijaya. Namun terjangan yang
cepat dan dahsyat itu dapat mudah sekali dielakkan pemuda itu.
Pertarungan sengit tidak dapat dihindarkan lagi. Ki Sampar Watu bertarung bagai
kesetanan. Tidak sedikit pun Awijaya diberi kesempatan untuk balas menyerang.
Pemuda itu hanya berlompatan berkelit menghindari setiap serangan yang datang
begitu gencar. Semua orang yang menyaksikan
pertarungan itu jadi menahan napas.
"Menyingkirlah, bocah! Kau akan mampus di tanganku!"
bentak Ki Sampar Watu keras sambil mengirimkan satu pukulan menggeledek.
"Seharusnya kau yang menyingkir! Orang tua lldak tahu diri!" balas Awijaya
seraya melompat ke belakang menghindari pukulan laki-laki tua itu.
"Bocah keparat! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Ki Sampar Watu tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Langsung digerakkan tongkatnya cepat, menusuk ke arah dada Awijaya. Namun lewat
suatu gerakan Indah dan sukar di kuti mata, Awijaya cepat berkelit, dan langsung
melompat tinggi melewati kepala laki-laki tua itu. Dan begitu dijajakkan kakinya
di tanah, tepat di belakang Ki Sampar Watu, dengan cepat diputar tubuhnya sambil
mencabut pedang.
Sret! "Halttt..!" "Uis!"
Ki Sampar Watu bergegas menjulurkan tongkat ke
belakang punggungnya, sehingga pedang Awijaya menghantam tongkat itu. Pijaran api memercik begitu dua benda beradu keras.
Tampak Awijaya melompat mundur, dan Ki Sampar Watu membalikkan tubuhnya. Kedua
tangannya yang memegang tongkat itu agak menyilang di depan dada.
Sementara Awijaya tampak meringis, dan tangan kanannya bergetar.
"Uh!" Awijaya mengeluh pendek.
Pemuda berbaju merah muda itu menyadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh
dibanding laki-laki tua itu. Adu senjata yang terjadi tadi sudah bisa dijadikan
ukuran kekuatan dan ketinggian tenaga dalam masing-masing.
"He he he...!" Ki Sampar Watu tertawa terkekeh.
*** Tak ada seorang pun yang memperhatikan kalau di balik
sebuah pohon beringin, seorang pemuda berbaju kulit harimau menyaksikan semua
kejadian itu. Agaknya harinya begitu tertarik akan kegigihan Awijaya. Meskipun
tahu kalau tingkat
kepandaiannya masih kalah jauh.
Tapi tetap menantang Ki Sampar Watu. Hanya saja yang lebih menarik perhatian pemuda berbaju
kulit harimau itu adalah Ki Praba.
"Hm.... Tampaknya aku harus mempercayai kata-katanya,"
laki-laki berbaju kulit harimau itu menggumam pelan.
Sementara itu Awijaya sudah melompat kembali menerjang Ki Sampar Watu. Dengan
pedang di tangan, Awijaya bertarung semakin sengit. Serangan-serangannya sangat
cepat dan berbahaya. Beberapa kali pedangnya hampir menembus tubuh Ki Sampar
Waru, tapi laki-laki tua agak bungkuk itu masih mampu menghindari. Bahkan tidak
jarang juga memberi serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Sedangkan di tempat lain, terlihat Nyai Supit memperhatikan jalannya pertarungan dengan perasaan
cemas. Dia tahu betul kalau Ki Sampar Watu seorang tokoh rimba persilatan yang
sangat kejam. Laki-laki tua itu tidak segan-segan
membunuh siapa saja yang mencoba menantangnya. Bahkan kesalahpahaman sedikit saja bisa mengakibatkan tangannya
bernoda darah. "Hiyaaa...!" riba-riba Ki Sampar Watu berteriak keras.
Dan saat itu juga tubuhnya melompat cepat bagaikan kilat, langsung ke arah
Awijaya seraya cepat mengelebatkan
tongkat Sesaat Awijaya terhenyak, namun dengan cepat melompat mundur sambil mem-
babatkan pedangnya ke
depan. Tring! "Akh!" Awijaya memekik tertahan ketika pedangnya beradu dengan tongkat Ki Sampar
Watu. Dan pada saat pedangnya terlontar balik, tanpa diduga sama sekali Ki Sampar Watu
menghunjamkan ujung
tongkatnya yang runcing ke arah dada pemuda itu. Namun pada saat yang sangat
kritis, tiba-tiba saja Ki Sampar Watu memekik keras, dan tubuhnya terlontar jauh
ke belakang. Semua orang yang berada di sekitar pertarungan Itu jadi terlongong tidak
mengerti. Ki Sampar Watu yang terbanting ke tanah, langsung melompat bangun.
Tampak dari mulutnya mengucurkan darah kental Tangan kirinya menekap dada yang
kurus, memamerkan tulang-tulangnya.
"Setan belang! Siapa yang berani main api denganku, heh"!" geram Ki Sampar Watu
berang. Bola mata yang cekung memerah itu menatap ke sekeliling. Tampak orang-
orang yang berada di sekitar tempat itu bergerak surut ke belakang.
Tatapan mata Ki Sampar Watu begitu dalam menusuk, tak ada yang sanggup
menghadapinya. Ternyata tatapan itu langsung menerobos pada Ki Praba yang
didampingi tidak kurang dari dua puluh anak buahnya yang bersenjata terhunus.
"Kau iblis keparat, Praba!" geram Ki Sampar Watu menuding Ki Praba dengan ujung
tongkatnya. "Sampar Watu, sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak mengundangmu ke sini," kata
Ki Praba lantang.
"Ha ha ha... Sekarang kau dapat berkata begitu, Praba!
Apa kau sudah lupa sewaktu merengek memohon bantuan padaku"! Kau ingkar janjimu,
Praba. Justru aku datang karena
kau sengaja mengumpulkan tokoh persilatan untuk menghadapiku! Picik! Iblis kau Praba!"
"Sampar Watu, seharusnya kau sadar kalau dirimu sudah tua! Kau lebih tua dariku,
malah sepantasnya, Rara Wanti memanggilmu kakek!"
"Keparat! Kau pikir cuma anakmu saja yang cantik, heh"!
Sepuluh gadis yang lebih cantik dari anakmu bisa kuperoleh!"
geram Ki Sampar Watu semakin berang.
"Kenapa tidak kau lakukan" Paling-paling gadis tidak waras yang bisa kau
peroleh!" tantang Ki Praba mengejek.
"Setan belang! Aku bersumpah, kau dan anakmu harus mampus di tanganku! Dengar
sumpahku, Praba...!" lantang suara Ki Sampar Watu..
Setelah berkata demikian, Ki Sampar Watu melompat cepat meninggalkan tempat itu.
Tapi, mendadak saja terdengar suara jeritan melengking saling sambut. Dan tampak
tidak kurang dari sepuluh anak buah Ki Praba menggeletak dengan kepala buntung.
Sungguh tinggi kepandaian Ki Sampar Watu.
Sambil melesat pergi, masih sempat membantai begitu banyak orang tanpa diketahui
gerakannya. Dan kini laki-laki tua itu sudah lenyap dari pandangan.


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Praba menggeram menyaksikan kejadian itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Ki Sampar Watu sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sesaat lamanya di
halaman depan rumah yang luas itu menjadi hening. Tidak terdengar suara apa pun.
Hanya angin saja yang menderu menerbangkan daun-daunan kering,
membawa bau anyir darah yang membasahi
rerumputan di halaman yang luas ini.
Ki Praba melangkah menghampiri Awijaya yang sudah
didampingi Nyai Supit Pemuda berbaju merah muda itu memperhatikan Ki Praba
dengan tatapan mata sukar diartikan.
Ki Praba berhenti sekitar tiga langkah di depan Awijaya. Nyai
Supit menggeser kakinya agak ke belakang dari tubuh pemuda itu.
"Aku cukup kagum akan keberanianmu, anak muda. Tapi lain kali berpikirlah dulu
untuk menghadapinya," kata Ki Praba lunak suaranya.
"Terima kasih. Sebenarnya memang bukan dia sasaranku,"
kala Awijaya. "Hm.... Aku seperti pernah bertemu denganmu, anak muda. Tapi entah di mana.
Siapa namamu?" tanya Ki Praba setelah bergumam pelan.
"Awijaya," sahut Awijaya tegas.
Sret! Tampak Jantar mencabut pedangnya begitu mendengar
nama pemuda berbaju merah itu. Tapi Ki Praba cepat-cepat memegang
tangan pengawal pribadinya ini. Jantar memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya di
pinggang. Tapi tatapan mata Jantar mengandung sejuta arti yang sangat dalam pada
Awijaya. 'Tiga tahun kau tidak pernah lagi kelihatan. Rupanya sudah banyak perubahan pada
dirimu, Awijaya," ujar Ki Praba masih terdengar tenang nada suaranya.
"Terima kasih," ucap Awijaya dingin. "Aku yakin kau tahu maksud kedatanganku
kali ini, Ki Praba!"
"Sayang, kau tidak akan mendapatkannya. Dia sudah tidak ada lagi di sini," jelas
Ki Praba langsung dapat mengerti.
"Bajingan...!" geram Awijaya hampir tidak tertahankan kemarahannya.
"Kalau dengar pengumuman tadi, kau pasti sudah tidak di sini lagi, Awijaya.
Kalau kau memang mencintainya, carilah sampai dapat. Aku tidak peduli lagi
terhadap nasibnya!" kata Ki Praba lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Praba berbalik dan langsung melangkah pergi Awijaya
menggerang berusaha menahan amarahnya yang sudah sampai ke u-bun-ubun. Wajahnya
memerah, dan matanya tajam menatap laki-laki setengah baya yang sudah meniti
anak tangga beranda rumahnya yang bagai istana itu.
"Kita pergi, Aw^aya," ajak Nyai Supit sambil menggamit tangan pemuda itu.
Awijaya tidak menyahut, tapi mengikuti juga ajakan
perempuan gemuk itu. Meskipun masih diliputi kemarahan yang memuncak, namun dia
harus mendinginkan kepalanya.
Disadarinya kalau tidak akan mungkin dapat melabrak Ki Praba yang disegani dan
ditakuti seluruh penduduk Desa Munding ini.
Awijaya duduk memeluk lutut di balai bambu depan kedai Nyai Supit Sudah dua hari
dia tinggal di salah satu kamar penginapan milik perempuan gemuk Itu. Pikirannya
jadi kacau, karena telah didengar kalau Rara Wanti sudah dua bulan ini kabur
dari rumahnya. Gadis itu telah memberontak dengan sikap ayahnya yang selalu
mengatur dan bersikap keras padanya.
Tiga tahun lamanya Awijaya harus menanti, dan sekarang kedatangannya untuk
membawa Rara Wanti pergi dari desa yang menurutnya bagaikan neraka ini.
Tapi selama penantiannya itu, akhirnya hanya kekecewaan dan kemarahan saja yang diperoleh.
Rata Wanti sudah pergi. Dan lagi, ayahnya yang bernama Ki Praba itu malah
mengumumkan pada semua orang bahwa Rara Wanti tidak diakui lagi sebagai anaknya.
Bahkan juga meminta kepada siapa saja untuk membawa kepala gadis itu dengan
hadiah yang sangat
menggiurkan. "Awijaya...."
Awijaya mengangkat kepalanya. Digeser duduknya begitu melihat Nyai Supit sudah
berada di dekatnya. Perempuan gemuk itu mendekati dan duduk di samping pemuda
itu. "Dati tadi pagi kau duduk saja di sini. Sudah siang, makan dulu," ajak Nyai
Supit lembut, bagai seorang ibu pada anaknya.
"Aku belum lapar, Nyai," kata Awijaya pelan.
"Awl... Bisa kurasakan semua yang kau rasakan saat ini.
Ibumu dulu sahabat baikku. Demikian pula ayahmu. Sejak kecil kau selalu bermain
di sini, sampai kau dan seluruh keluargamu menghilang. Aku tahu betul apa yang
terjadi' pada diri dan keluargamu, Awijaya. Kuharap, jangan sungkan-sungkan lagi padaku,"
ujar Nyai Supit lembut.
"Terima kasih. Nyai begitu baik padaku," ucap Aw'jaya terharu.
"Sudahlah! Bagiku kau bukan orang lain lagi, Awijaya."
Getir sekali Awijaya membalas senyuman Nyai|
Supit. Meskipun sudah tiga tahun tidak pernah lagi
menginjak tanah kelahirannya ini, tapi masih segar dalam ingatannya tentang Nyai
Supit, dan orang-orang yang tinggal di Desa Munding ini Orang-orang yang selama
hidupnya tidak pernah mengenyam kebahagiaan. Meskipun terkadang mereka bisa
bergembira dan tertawa, tapi semua itu hanyalah semu belaka.
Dulu Desa Munding adalah desa yang damai dan tentram.
Tidak ada keluh kesah, tidak ada penderitaan yang berantai.
Tak ada darah menggenang hanya karena persoalan yang sepele. Tapi semua itu
berubah total setelah kedatangan Ki Praba. Kedatangannya yang sebagai saudagar
kaya, langsung membeli tanah-tanah penduduk dengan harga kecil dan dengan cara
paksa. Bahkan kepala desa tewas terbunuh karena tidak bersedia menjual tanahnya.
Tidak sedikit penduduk desa yang tewas karena
mempertahankan miliknya. Tapi Ki Praba memang kuat Belum lagi tukang-tukang
pukulnya, dan para pengawalnya yang rata-rata
memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan. Sedangkan Penduduk Desa Munding hanya terdiri dari petani yang tidak mengerti
ilmu olah kanuragan. Memang ada beberapa yang memiliki ilmu olah kanuragan, tapi
tidak berdaya. Bahkan mereka tewas dengan cara menyedihkan di tangan jago
bayaran yang disewa Ki Praba, demikian pula Awijaya yang terpaksa pergi, karena
tidak tahan mendapat tekanan yang tak henti-hentinya. Termasuk suami Nyai Supit
ini. Awijaya, ibunya, dan kedua adiknya pergi setelah terjadi peristiwa yang membuat
nyawa ayahnya lenyap di tangan tukang-tukang pukul Ki Praba. Itu semua karena
Awgaya dan Rara Wanti memadu asmara, lalu diketahui Ki Praba yang menentang
keras hubungan mereka. Masalahnya Rara Wanti selalu dijadikan boneka dan barang
pertaruhan bagi kegilaan ayah gadis itu dalam mengadu jago-jago rimba
persilatan. Semua itu diketahui Awijaya dari Rara Wanti sendiri yang menceritakan semua
keluhannya. Untung saja, dalam peristiwa itu Awijaya berhasil diselamatkan suami Nyai Supit.
Tapi tak urung, wajahnya sempat tergores pedang salah seorang tukang pukul Ki
Praba, bahkan dibuat cacat. Dan Awijaya masih ingat orangnya. Dia adalah orang
kepercayaan Ki Praba sendiri. Namanya Jantar!
"Kutinggal
dulu. Ada tamu," ucap Nyai Supit membangunkan lamunan Awijaya.
Pemuda berbaju merah muda itu mengangkat kepalanya.
Jantungnya hampir berhenti berdetak seketika begitu melihat seorang pemuda
berbaju kulit harimau masuk ke dalam kedai.
Awijaya tahu siapa pemuda itu. Dia sering mendengar namanya. Bahkan pernah
melihatnya ketika bertarung, meskipun dari tempat yang sangat tersembunyi.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Awijaya dalam hati.
"Sudah beberapa hari dia di sini Hm..., tentunya ada sesuatu.
Seorang pendekar kelana berada di suatu tempat sampai lebih tiga hari, pasti ada
yang di nginkan. Atau...," Awijaya tidak melanjutkan pikirannya
Nyai Supit kembali keluar dari kedainya, dan menghampiri pemuda berbaju merah
muda itu. Awijaya memandangi.
"Ada yang menitipkan ini padamu," kata Nyai Supit seraya memberikan gulungan
daun lontar terikat pita merah muda.
"Siapa yang memberi ini?" tanya Awijaya seraya menerima gulungan daun lontar
itu. "Aku tidak kenal. Tapi pakaiannya menyolok sekali," sahut Nyai Supit.
Awijaya membuka gulungan daun lontar, lalu membaca
sebaris kalimat yang tertulis di situ. Seketika wajahnya berubah. Langsung
ditatapnya dalam-dalam Nyai Supit.
Bergegas dia menggerinjang bangkit, menerobos masuk ke dalam kedai. Sesaat
dipandangi seluruh ruangan kedai itu, lalu kembali berbalik keluar menemui Nyai
Supit. "Apakah orang itu yang baru masuk tadi, Nyai?" tanya Awijaya.
"Benar. Dia pakai baju dari kulit harimau," sahut Nyai Supit sedikit keheranan
melihat wajah Awijaya.
"Pendekar Pulau Neraka...," gumam Awjaya pelarian. "Di mana sekarang, Nyai?"
"Di dalam," sahut Nyai Supit.
"Tidak ada."
"Ah, masa...."
Nyai Supit tidak percaya. Dijulurkan kepalanya ke dalam kedai, lalu sebentar
diperhatikan ruangan kedainya. Memang
ada beberapa pengunjung, tapi tidak begitu banyak. Dan tidak terlihat seseorang
yang memakai baju dari kulit harimau di sana. Nyai Supit menarik keluar kembali
kepalanya, tapi jadi terkejut. Ternyata Awijaya sudah tidak ada lagi.
"He! Ke mana anak itu...?"
*** 3 Malam sudah demikian larut. Bulan bergelayut penuh di langit yang jernih.
Bintang-bintang gemerlapan menambah indahnya pemandangan di angkasa sana.
Pemandangan malam ini semakin terasa indah jika dilihat dari puncak bukit sebelah Timur Desa
Munding. Tampak seorang gadis muda duduk
menjuntai di atas sebongkah batu hitam. Pandangannya lurus menatap Desa Munding di bawah sana.
Hanya kerlip lampu-lampu pelita saja yang terlihat di sela-sela pepohonan lebat
"Kau belum tidur, Rara Wanti...."
"Oh...!" gadis itu tersentak kaget begitu mendengar suara lembut dari
belakangnya. Gadis yang dipanggil Rara Wanti itu membalikkan
tubuhnya. Kini di depannya sudah berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan,
namun terlihat jelas garis-garis ketegasan dan kekerasannya. Pemuda yang memakai
baju kulit harimau itu segera mendekati dan duduk di sampingnya
"Ada yang kau pikirkan, Rara Wanti?" tetap lembut suara pemuda itu.
"Mungkin...," desah Rara Wanti disertai hembusan napas panjang dan terasa berat.
"Sudah dua bulan...."
"Terima kasih," potong Rara Wanti. "Memang seharusnya aku tidak menggantungkan
diri padamu. Kau begitu baik, Kakang Bayu. Tidak seharusnya membu-l atmu repot."
'Tidak ada masalah, jika kau berterus terangi tentang kesulitanmu.
Barangkali saja dapat kubantul untuk memecahkannya," ujar pemuda berbaju kulid harimau yang ternyata adalah Pendekar
Pulau Neraka atau Bayu Hanggara.
"Sebaiknya jangan. Aku tidak ingin menyeretmu! terlalu jauh. Aku sudah terlalu
banyak menyusahkanmu. Kau begitu baik. Mencegahku bunuh diri, menemaniku,
memberi petuah-
petuah hidup yang sungguh tidak ternilai harganya. Terus terang, aku merasa
malu. Sungguh kecil diriku berada di depanmu, Kakang."
"Kau terlalu merendahkan diri, Rara Wanti. Aku tahu, kau seorang gadis yang
tabah, berani, dan berpikiran sehat. Hanya saja mungkin persoalan yang kau
hadapi terlalu berat, sehingga berpikiran kotor ing'ui mengakhiri hidup."
"Mungkin," desah Rara Wanti seraya tertunduk.
"Beberapa hari ini aku sering ke Desa Munding," jelas Bayu setelah berdiam diri
agak lama. "Mau apa kau ke sana?" Rara Wanti tersentak, tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya.
"Hanya jalan-jalan. Yah..., sekadar melihat suasana di sana," sahut Bayu ringan.
"Kau tidak berusaha menyelidiki diriku, bukan?"
"Sama sekali tidak."
Rara Wanti menarik napas panjang, seperti hendak
melonggarkan dadanya yang terasa sesak seketika. Entah kenapa, dia tidak ingin
Bayu mengetahui tentang dirinya.
Seperti ada sesuatu yang tidak boleh orang lain tahu. Dan yang jelas, Rara Wanti
tidak ingin keberadaannya di sini diketahui orang lain. Ingin dilupakan masa
lalunya. Bahkan tidak ingin menjadi dirinya yang dulu. Yang diinginkan adalah
menjadi Rara Wanti seutuhnya.
"Oh...!" tiba-tiba Rara Wanti tersentak.
Gadis itu segera menggelinjang bangkit. Bayu juga berdiri, dan bergegas
melangkah begitu Rara Wanti berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Mereka masuk
ke dalam sebuah gua yang kecil mulutnya, tapi di dalam cukup lebar dan hangat.
Rara Wanti menutupi gua itu dengan pohon semak kering, dan
sebongkah batu yang cukup besar. Bayu hanya memperhatikan saja.
Tidak berapa lama berselang, terdengar suara langkah kaki dekat gua ini. Rara
Wanti dan Pendekar Pulau Neraka mengintip dari celah mulut gua yang sudah
tertutup dan tersamar rapih. Tampak wajah gadis itu berubah seketika begitu
melihat seorang laki-laki berdiri tegak tidak jauh dari gua ini. Dan Bayu dapat
melihat perubahan wajah gadis itu, tapi hanya diam saja.
Agak lama juga laki-laki muda itu berdiri tegak memandang sekitarnya. Pelahan
namun pasti, dia pergi dengan ayunan kaki lesu dan kepala tertunduk. Rara Wanti
menarik napas panjang, lalu menghenyakkan tubuhnya bersandar pada dinding gua
yang lembab berlumut. Bayu memperhatikan seraya duduk. Kemudian, dinyalakan api
dari ranting-ranting kering yang sudah tersusun pada batu berbentuk tungku.
"Ada apa, Rara?" tanya Bayu setelah gua itu dihiasi cahaya api.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Rara Wanti seraya menggeser duduknya mendekati
api. "Kau kelihatan gelisah sekali Kau kenal orang itu?"
"Tid... tidak!" sahut Rara Wanti tergagap.
"Wajahmu pucat."


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, Kakang. Jangan mendesakku terus...," pinta Rara Wanti memohon.
Bayu mengangkat bahunya, kemudian diam tidak berkata-kata lagi. Pendekar Pulau
Neraka itu merebahkan tubuhnya di atas tumpukan daun kering, tapi matanya tetap
memandangi Rara Wanti yang terus saja gelisah. Gadis itu memain-mainkan api
dengan ranting kering, tepi kegelisahannya tak juga reda.
Bayu terus memperhatikan dengan mata setengah terpejam.
*** Pagi-pagi sekali Bayu tersentak bangun dari tidurnya.
Telinganya yang sudah terlatih, mendengar suara-suara ringan. Agak terkejut juga
hatinya ketika melihat Rara Wanti mengendap-endap keluar dari dalam gua ini.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak langsung beranjak bangun, tapi malah sengaja
berpura-pura tidur. Bahkan dipejamkan matanya begitu Rara Wanti menengok
padanya. Bayu baru menggerinjang bangun begitu Rara Wanti sudah berada di luar gua.
Bergegas dia melompat keluar, dan melihat gadis itu berlari kencang menuju ke
Utara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu bergegas
berlari mengejar, tapi sengaja menjaga jarak.
Tubuhnya kemudian melompat ke atas pohon.
Bagai seekor burung,
Pendekar Pulau Neraka itu
berlompatan dari satu cabang pohon ke cabang pohon
lainnya. Matanya tidak lepas memperhatikan Rara Wanti pergi: Bayu kagum juga
melihat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis itu. Gerakan berlarinya
demikian ringan, bahkan sepertinya tidak menyentuh tanah sama sekali.
"Heh...!"
Bayu tersentak kaget begitu tiba-tiba melihat sebuah bayangan biru berkelebat
cepat menghadang arah lari Rara Wanti. Dan tiba-tiba saja di depan gadis itu
sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus dan agak membungkuk.
Sebatang tongkat
menyangga tubuhnya.
Dia tertawa terkekeh. Sedangkan Rara Wanti berhenti berlari, dan melangkah mundur beberapa
tindak. "Ki Sampar Watu. Ada apa kau ke sini"!" dengus Rara Wanti mendahului.
"He he he..., mengapa kau selalu bersikap kasar padaku, Manis" Kau adalah
milikku, dan kau akan kubawa ke mana
saja aku pergi. He he he...," Ki Sampar Watu terkekeh menggelikan.
"Phuih! Tua bangka tidak tahu malu! Sudah bau tanah masih juga mencari gadis
muda!" dengus Rara Wanti sengit.
"Bukan aku yang mencari. Tapi, ayahmulah yang takut kehabisan laki-laki
untukmu." "Jangan sebut-sebut ayahku! Dia bukan ayahku!" bentak Rara Wanti berang.
"Peduli setan! Ayahmu atau bukan, yang jelas. Sekarang kau harus ikut aku. Kau
harus jadi gundikku!"
"Tua bangka keparat...!" geram Rara Wanti memuncak amarahnya.
Harga diri gadis itu sepertinya sudah terinjak-injak. Ini semua akibat ulah
ayahnya. Rara Wanti benar-benar geram, dilemparkan
buntalan kain yang dibawanya dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Buntalan kain itu meluncur deras ke arah
Ki Sampar Watu. Namun sambil terkekeh, laki-laki tua berjubah biru itu
mengegoskan tubuhnya sedikit ke kiri. Maka, buntalan kain itu lewat sedikit di
samping tubuhnya. Dia tetap tertawa terkekeh meremehkan. "Untuk apa buang-buang tenaga percuma.
Manis" Sebaiknya kau simpan saja tenagamu untuk melayaniku," ujar Ki Sampar Watu.
"Kurang ajar! Kusobek mulutmu yang kotor itu, tua bangka!" geram Rara Wanti
merah padam wajahnya.
Rara Wanti langsung melompat sambil mencabut pedangnya yang tersampir di punggung. Cepat sekali gerakan gadis itu. Pedangnya
berkelebatan bagai kilat menyambar beberapa bagian tubuh Ki Sampar Watu. Namun
laki-laki tua itu manis sekali mengelakkan setiap serangan Rara Wanti.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangannya bergerak cepat nyelonong ke bagian
dada. "Setan! Kurang ajar...!" geram Rara Wanti sambil melompat mundur. Wajahnya
semakin memerah bagai terbakar.
"Kau semakin cantik kalau marah begitu, Manis. Sungguh menggairahkan...."
"Kubunuh kau, setan tua keparat! Hiyaaat...!"
Rara Wanti kembali menyerang ganas. Kali ini dikerahkan seluruh jurus andalannya
yang sangat dahsyat. Jurus permainan pedang yang diajarkan Ki Praba padanya.
Jurus pedang itu memang sungguh luar biasa. Pedang di tangannya bagai memiliki
mata yang berjumlah seribu, mengurung tubuh Ki Sampar Watu.
Namun laki-laki tua itu malah terkekeh Sampai sejauh ini, tidak satu pun
serangan Rara Wanti mengenai sasaran dengan tepat. Bahkan dupakan kaki Ki Sampar
Watu membuat gadis itu tersungkur.
"Auh..!" Rara Wanti terpekik tertahan.
Selagi tubuh Rara Wanti tergeletak di tanah, Ki Sampar Watu melompat hendak
menerkamnya. Gadis itu terbeliak, karena sukar menggerakkan tubuhnya lagi
Disadari kalau tadi Ki Sampar Watu sempat menotok jalan darahnya, sehingga jadi
lumpuh seketika.
"Oh tidak...," rintih Rara Wanti lirih.
Gadis itu memejamkan matanya. Tapi ketika ditunggu-
tunggu, terkaman Ki Sampar Watu tidak kunjung datang.
Bahkan didengarnya satu erangan tertahan. Rara Wanti membuka matanya. Matanya
semakin membeliak begitu
melihat Ki Sampar Watu tengah berusaha bangkit berdiri di antara reruntuhan
pohon. Tampak di depan gadis itu berdiri seorang pemuda berbaju dari kulit
harimau. "Kakang Bayu...," desah Rara Wanti. Ada kelegaan dalam dadanya melihat
kemunculan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hm...," Bayu menggumam pelan, kemudian membungkuk.
Dibukanya totokan Ki Sampar Watu di tubuh Rara Wanti dengan totokan pula.
Rara Wanti menggerinjang bangkit. Dipungut pedangnya yang tergeletak. Sementara
itu Ki Sampar Watu menggerung kesal, tapi sudah bisa berdiri. Matanya tajam
memerah menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak sambil melipat tangan
di depan dada. Sikap Bayu jelas-jelas melindungi Rara Wanti.
"Bocah gendeng! Siapa kau" Berani mencampuri urusanku!"
bentak Ki Sampar Watu
geram. "Aku Pendekar Pulau
Neraka. Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya enyah dari
sini!" dingin nada suara
Bayu. "Setan keparat! Lidahmu perlu diberi pelajaran, agar bisa sedikit sopan pada orang tua!"
"Adakalanya orang tua harus bertindak sopan pada yang lebih muda."
"Phuih! Lebih suka mampus rupanya kau, heh!"
"Mati dan hidupku bukan di tanganmu, tapi nyawamu ada di ujung jariku!"
"Edan! Kampret...!"
Ki Sampar Watu mengumpat habis-habisan. Hatinya begitu geram mendengar kata-kata
yang menyakitkan telinga itu.
Wajahnya semakin memerah, dan gerahamnya bergemeletuk menahan amarah. Tanpa
berkata-kata lagi, laki-laki tua itu melompat bagai kilat menerjang Pendekar
Pulau Neraka. "Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Hup!"
Sebelum terjangan Ki Sampar Watu sampai, Bayu sudah melentingkan tubuhnya ke
atas sambil menyambar pinggang Rara Wanti. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka
itu hinggap di dahan yang tinggi. Dan sebelum Ki Sampar Watu menyadari, Bayu
sudah meluruk turun meninggalkan Rara Wanti di atas pohon. Kakinya yang kokoh
tepat mendarat di depan Ki Sampar Watu.
*** "Hiyaaat.,"
Secepat Bayu mendarat, secepat itu pula kakinya melayang deras ke arah dada Ki
Sampar Watu. Tendangan kilat yang begitu cepat dan tiba-tiba itu tidak mungkin
lagi dihindari.
Buru-buru Ki Sampar Watu mengibaskan tongkatnya menyampok tendangan itu.
Trak!" "Heh...!"
Ki Sampar Watu terkejut bukan main dan buru-buru
melompat mundur ke belakang. Hampir tidak di-percaya dengan apa yang baru
terjadi tadi. Kedua bola matanya membeliak lebar memandangi tongkatnya yang
terpotong jadi dua bagian.
Sungguh sempurna tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Tongkat maut
yang menjadi kebanggaan Ki
Sampar Watu bisa terpotong jadi dua kena tendangannya.
Sedangkan Bayu sendiri tidak mengalami luka sedikit pun.
Bahkan kini malah berdiri dengan tangan melipat di depan dada.
"Aku masih memberimu kesempatan hidup, Kisanak," ucap Bayu dibuat tenang.
"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah!" dengus Ki Sampar Watu geram.
Setelah berkata demikian, Ki Sampar Watu melesat cepat meninggalkan tampat itu.
Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan
mata. Bayu memandang ke atas, lalu tersenyum melihat Rara Wanti duduk
mencangkung di dahan pohon yang cukup tinggi.
"Dia sudah pergi! Turunlah, Rara!" seru Bayi keras.
"Hup!"
Rara Wanti meluruk turun dengan manisnya! Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, gadis in menjejak tanah tepat di depan Pendekar
Pulau Neraka! "Kau hebat, Kakang. Bisa mengusir si tua bangka cabul itu!" puji Rara Wanti agak
tertekan nada suaranya pada bagian akhir.
"Kau pun bisa menandinginya kalau mampu, menahan sedikit kemarahanmu," kata Bayu
merendah. "Kau hanya membesarkan hatiku saja, Kakang."
"Tidak! Aku berkata yang sebenarnya. Tadi kau terlalu dihinggapi amarah yang
meluap, sehingga tidak bisa
mengontrol diri. Seorang yang tangguh seperti apa pun akan mudah dikalahkan jika
tidak bisa mengendalikan amarahnya."
"Filsafat lagi."
"Bukan filsafat Tapi semua orang akan menghadapi hal yang sama. Bukan hanya
dalam ilmu olah kanuragan, tapi juga dalam hal lain, ketenangan dan pengontrolan
diri, akan menghasilkan hasil yang memuaskan."
"Terima kasih, Empu...," goda Rara Wanti.
"Kunyuk! Bukannya didengarkan, malah meledek!" rungut Bayu seraya berbalik dan
melangkah pergi.
"Kakang, tunggu...!"
Rara Wanti berlari mengejar, dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa mengikutiku" Bukannya tadi kau akan pergi?"
sindir Bayu. 'Tidak jadi," rungut Rara Wanti. Sindiran itu langsung mengena ke hatinya.
"Lho..."!" Bayu menghentikan langkahnya. Dipandanginya wajah cantik gadis itu.
"Pikiranku berubah," kata Rara Wanti tertunduk.
"Cepat sekali..." Belum pernah kutemukan seseorang yang begitu cepat berubah
pikiran." "Aku serius, Kakang. Aku tidak jadi pergi sendirian. Aku akan ikut kemana pun
kau pergi. Sungguh...," nada suara Rara Wanti terdengar begitu berharap.
"Ha ha ha...!" Bayu tertawa terbahak-bahak.
"Huuuh...!
Malah ketawa!" rungut Rara Wanti memberengut. "Lucu...."
"Memangnya
aku badut"!"
Rara Wanti masih memberengut. Bayu tersenyum-senyum geli, dan kembali melangkah. Rara Wanti mengikutinya, dan
mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka
berjalan tidak berkata-kata lagi. Tanpa setahu mereka, seseorang memperhatikan
dari jarak yang cukup jauh. Orang itu bergegas pergi, berlari kencang menuju
Desa Munding. Sementara Bayu dan Rara Wanti terus berjalan sambil berbicara ringan.
Mereka berjalan tanpa tujuan yang pasti. Kemana kaki melangkah, ke situ arah
yang dituju. Tidak terasa! mereka sudah berjalan cukup jauh. Sementara matai
hari sudah tinggi di atas kepala. Mereka berhenti di tepi sungai kecil yang
mengalir jernih. Rara Wanti membasuh wajahnya.
"Kau pasti sengaja mengikutiku tadi pagi," tebak Rara Wanti sambil menghampiri
Bayu yang duduk di atas batu dengan kedua kakinya terendam ke dalam sungai.
"Iya," sahut Bayu kalem.


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa" Aku kan bukan adikmu, juga bukan apa-apamu,"
Rara Wanti ingin tahu.
"Karena kau perlu seorang teman, dan aku rasa...."
"Kau orang yang tepat. Begitu kan?" potong Rara Wanti cepat.
"Mungkin. Itu pun kalau tidak berkeberatan "
'Tentu saja tidak. Aku merasa terlindung bersamamu. Kau hebat, bisa mengalahkan
si tua bangka cabul itu."
'Tidak selamanya aku harus melindungimu, Rara. Satu saat kau harus bisa
melindungi dirimu sendiri. Bukan untuk selamanya aku berada bersamamu."
"Kau akan meninggalkanku, Kakang?"
"Aku tidak dapat menolak seandainya memang harus berpisah."
Rara Wanti terdiam. Matanya berputar merayapi wajah tampan di depannya, seolah-
olah hendak mencari sesuatu di wajah yang keras dengan garis-garis ketegasan
itu. Tapi hatinya jadi kecewa, karena tidak menemukan apa yang dicarinya.
Rara Wanti menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat
"Ada seseorang yang lebih berhak menjadi pelindung dan sandaran hidupmu, Rara,"
ujar Bayu pelahan.
"Tidak ada!" sentak Rara Wanti cepat. Bayu hanya tersenyum saja. "Kenapa
tersenyum?"
"Kau menyembunyikan perasaanmu, Rara. Aku tahu, di dalam hati kecilmu kau tengah
mengharapkan seseorang.
Entah siapa, yang jelas seseorang yang telah menyebarkan bibit asmara di harimu.
Aku bisa merasakan itu, Rara. Dari sinar matamu," lembut nada suara Bayu.
Rara Wanti terdiam membisu. Ucapan Bayu yang lembut itu terasa mengena lubuk
hatinya yang pating dalam. Memang tidak bisa dibantah. Dan secara jujur memang
diakui kebenaran kata-kata itu. Saat ini memang tengah diharapkan kehadiran
seseorang yang sangat dicintainya. Tapi juga dibenci dan
mengecewakan hatinya.
Seseorang yang diharapkan akan mengeluarkannya dari kurungan sangkar emas, ternyata menghilang
begitu saja selama tiga tahun.
Tanpa kabar, tanpa berita, juga tanpa kata-kata perpisahan.
Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Menunggu dalam penantian, terkurung dalam
kemewahan yang semu.
Kini setelah muncul seorang pemuda yang begitu cepat menarik simpatinya,
tapi pemuda itu
malah seperti menghindar. Memang tidak mungkin seorang gadis mengemukakan perasaannya lebih dahulu, meskipun semua itu sudah ada di hatinya.
Bahkan hampir! meledak. Tapi biar bagaimanapun setiap gadis pasti akan
menyimpannya rapat-rapat. Paling tidak menunggu pancingan yang tepat mengoyak
dinding hatinya.
"Melamun lagi Perut tidak kenyang di si lamunan terus,"
goda Bayu. Rara Wanti tersenyum kecut.
"Bawa bekal?" tanya Bayu.
"Tidak," Rara Wanti menggeleng.
"Itu?" Bayu menunjuk buntalan kain di bahu kanan gadis itu.
"Hanya pakaian, dan sedikit uang serta perhiasan," sahut Rara Wanti.
"Terpaksa, kita harus berburu. Tidak ada kedai di tengah hutan begini."
"Aku kenal daerah ini Di hulu sungai ada sebuah desa.
Tidak besar, tapi kedai di sana cukup nyaman. Makanannya pun cukup enak," kata
Rara Wanti. "Desa apa?" tanya Bayu.
"Desa Pekacangan."
"Pernah ke sana?"
"Pernah juga, tapi tidak sering."
"Baiklah. Perut juga sudah minta diisi nih."
Lagi-lagi Rara Wanti tersenyum. Kali ini senyumnya begitu manis dan lepas.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri sungai menuju ke hulu. Sepanjang
jalan yang dibicarakan hanyalah hal-hal ringan saja. Dan setiap kali Bayu
menyinggung kehidupan pribadi gadis itu, Rara Wanti langsung
mengelak. Malah membelokkannya ke arah
pembicaraan lainnya.
*** 4 Di dalam rumah besar di Desa Munding, Ki Praba tampak uring-uringan mendengar
laporan salah seorang anak buahnya yang melihat Rara Wanti dan Pendekar Pulau
Neraka di hutan Bukit Sidayu. Dikumpulkanlah semua tukang pukulnya yang rata-
rata memiliki tubuh kekar dan berkepandaian cukup tinggi.
"Dengar! Siapa saja di antara kalian yang bisa membawa hidup-hidup anak celaka
itu akan kuberikan untuk kalian. Dan kalau
kepalanya, seribu keping uang emas sebagai
hadiahnya!" kata Ki Praba mantap.
Perintah Ki Praba disambut gembira semua tukang
pukulnya. Bahkan yang hanya berkemampuan pas-pasan ikut menyambut penuh
semangat. Siapa yang tidak tergiur dengan seribu keping uang emas" Bahkan mereka
bisa saja menikmati dulu kemolekan tubuh Rara Wanti, lalu membawa kepalanya pada
Ki Praba Berbagai macam bayangan indah berkecamuk di dalam lima puluh kepala
anak buah Ki Praba.
"Sekarang juga kalian bisa laksanakan!" lanjut Ki Praba.
Lima puluh orang yang menjadi tukang kepruk Ki Praba bergegas meninggalkan
ruangan depan yang luas itu.
Sedangkan Ki Praba masih duduk di kursinya bersama Jantar yang tetap menemani
dengan raut wajah berubah-ubah.
"Aku rasa keputusanmu terlalu cepat, Ki," ujar Jantar hati-hati.
"Hm.... Apa maksudmu, Jantar?" gumam Ki Praba seraya menatap tajam laki-laki
berusia sekitar ilua puluh lima tahun itu.
"Kita belum tahu jelas, siapa pemuda yang bersama Rara Wanti.
Laporan itu masih samar-samar sama sekali.
Seharusnya diselidiki dulu kebenarannya, baru mengambil keputusan. Tapi jika
Rara Wanti dibunuh aku yakin masalah ini
belum tentu selesai, Ki. Ki Sampar Watu pasti tidak akan puas, dan tetap
menuntut janjimu."
"Hm...," Ki Praba hanya bergumam tidak jelas.
"Bukan hanya Ki Sampar Watu. Yang jelas masih banyak orang-orang yang harus kita
hadapi. Ada Muka Mayat, Kebo Ireng, dan yang terpenting Nyai Supit sendiri.
Sikapnya belakangan
ini sangat mencurigakan terutama sejak munculnya Awijaya yang menginap di rumahnya," lanjut Jantar.
"Kau berada di sini bukan untuk mengajariku, Jantar.
Tugasmu hanya mengawalku, lain tidak!" dingin nada suara Ki Praba.
"Maaf, Ki. Aku hanya mengemukakan pendapat."
"Kau berkata seperti takut menghadapi mereka. atau memang gentar?" sinis ucapan
Ki Praba. "Tidak ada yang membuatku gentar, Ki. Aku hanya ingin menyampaikan
kalau keputusanmu terlalu cepat.
Kau perintahkan semua anak buah kita pergi mencari Rara Wanti, sementara kau juga
tidak berpikir untuk menjaga tempat ini,"
Jantar mengingatkan.
"Jangan cemas, Jantar. Besok sahabat-sahabatku datang.
Tiga orang ditambah dirimu, aku rasa sudah cukup
menghadapi mereka semua. Aku tidak butuh tikus-tikus yang hanya bisa mengeruk
gentong nasi tanpa bekerja yang becus.
Biar mereka pergi menemui kematiannya. Toh mereka tidak akan sanggup menandingi
Rara Wanti."
"Terus terang, aku tidak mengerti tujuanmu, Ki"
Ki Praba hanya tersenyum saja, lalu bangkit berdir dan melangkah masuk ke dalam
ruangan tengah. Jantar hanya memandangi saja. Masih belum bisa pahami jalan
pikiran Ki Praba. Keberadaannya di memang dibayar untuk mengawal laki-laki
angkuh di samping nyawanya pernah diselamatkan
ketika hampir kalah bertarung melawan seorang tokoh ber kepandaian tinggi. Dia
merasa berhutang budi, bertekad untuk selalu mendampingi Ki Praba yang biasanya
sejalan dan sepikiran dengannya. Tapi, sekarang ini Jantar sungguh-sungguh sukar
mengerti jalan pikiran dan tujuan yang akan ditempuh Ki Praba Bahkan sampai
tidak habis mengerti, kenapa Ki Praba sampai tega hendak membunuh anaknya
sendiri" *** Entah dari mana awalnya, berita tentang Rara Wanti yang kini berjalan bersama
seorang pemuda berbaju kulit harimau sudah tersebar luas. Dan berita itu pun
juga telah sampai ke telinga Awijaya. Tentu saja pemuda itu sudah menduga,
dengan siapa Rara Wanti sekarang. Dan itulah yang membuat dirinya kini jadi
uring-uringan tidak menentu. Disadari kalau tingkat kepandaiannya jauh di bawah
Pendekar Pulau Neraka.
Apalagi dia tahu betul watak Rara Wanti yang mudah simpati terhadap pemuda
berkepandaian tinggi. Ditambah lagi, pemuda itu tampan, gagah, dan memiliki
kelebihan tertentu.
Tapi yang jelas, Rara Wanti selalu mengagumi pemuda berkepandaian tinggi. Lebih
tinggi dari kepandaian yang dimiliki gadis itu.
Untuk menghadapi Rara Wanti, Awijaya memang bisa
mengungguli. Tapi menghadapi Pendekar Pulau Neraka....
Awijaya tidak tahu lagi, apa yang harus diakukannya. Tiga tahun menempa diri dan
memperdaalam ilmu olah kanuragan di tempat yang jauh dari desa ini hanya untuk
satu tujuan. Tapi semua usaha yang dilakukannya jadi terasa sia-sia. Ada sedikit keputusasaan
terselip dalam hatinya.
"Aku memang sering mendengar sepak terjang pendekar Pulau Neraka. Tapi kalau
mendengar petualangannya dalam memikat seorang gadis rasanya belum pernah," kata
Nyai Supit. Awijaya hanya diam saja. Semua memang sudah
diceritakannya pada perempuan gemuk itu. Bahkan tentang tulisan yang dikirimkan
Pendekar Pulau Neraka padanya diperlihatkan pada Nyai Supit
"Dari surat yang dikirimkan untukmu saja sudah jelas, kalau kau akan
dipertemukan dengan Rara Wanti. Bersabarlah, jangan menuruti darah muda dan hawa
napsu yang tidak terkendali. Aku yakin kalau Pendekar Pulau Neraka bermaksud
baik untuk dirimu dan Rara Wanti," sambung Nyai Supit
"Tapi Rara Wanti mudah sekali jatuh simpati pada setiap orang yang berkemampuan
tinggi, Nyai," tegas Awijaya.
"Rasanya aku masih ingat ketika seorang anak pembesar kadipaten mencoba merebut
Rara Wanti dari tanganmu.
Meskipun kau berhasil dibuat babak belur, dan ayahnya mendesak Rara Wanti untuk
menerima pinangannya, tapi dia tetap memilihmu. Aku rasa Rara Wanti juga tidak
melihat kepandaian seserang, Awijaya. Kalau hanya sekadar simpati, aku juga
selalu jatuh simpati kalau melihat seseorang berkemampuan tinggi. Tapi itu bukan
berarti mencintainya,"
Nyai Supit menasehati.
Awijaya hanya diam saja. Secara jujur diakui kebenaran pada ucapan Nyai Supit
Tapi tetap saja hatinya merasa khawatir kalau
Rara Wanti akan terenggut
darinya. Masalahnya, yang bersama gadis itu sekarang ini adalah orang pendekar muda dan
tampan yang sudah kondang namanya.
Tingkat kepandaiainya pun sukar diukur, dan sulit dicari tandingannya
"Awijaya, kau seorang laki-laki. Usiamu sudah ukup matang, dan mampu berpikir
secara dewasa. Aku percaya kau bisa menghadapi persoalan ini dengan kepala
dingin," sambung Nyai Supit lagi. suaranya tetap terdengar lembut.
"Tapi bagaimanapun juga aku harus pergi, Nyai. Aku harus menemuinya
sebelum orang-orang Ki Praba mendapatkannya," ujar Awijaya bertekad.
"Kalau maksudmu mulia, tentu akan kudukung. tapi kalau niatmu untuk memusuhi
Pendekar Pulau Neraka, dan
membawa Rara Wanti secara paksa, itu sama saja bunuh diri.
Dan mungkin seumur hidupku tidak akan kulihat kuburanmu,"
tegas kata-kata Nyai Supit.
"Aku tahu, Nyai. Meskipun kabar yang kudengar tentang Pendekar Pulau Neraka
tidak terlalu baik, tapi aku akan berusaha mengenalnya lebih dekat," janji
Awijaya "Bagus, kapan kau akan berangkat?"
"Besok pagi."
"Akan kuserahkan kedai dan penginapan ini pada keponakanku."
"Nyai...!" Awijaya terkejut.
"Sudah waktunya aku istirahat, Awijaya. Aku ingin bersama-sama ibumu dan adik-
adikmu. Tapi sebelum itu ingin, kubalas sakit hati suamiku dulu."
"Itu berarti Nyai akan menantang Ki Praba?"
Nyai Supit hanya tersenyum saja.
"Meskipun Ayah mati karenanya, tapi aku tidak akan mendendam. Nyai. Biar
bagaimanapun aku masih bisa
menghargai perasaan Rara Wanti. Maaf kalau aku tidak bisa membantumu, Nyai,"
ucap Awijaya agak menyesal.
"Percayalah, aku tidak akan melibatkanmu."
"Mudah-mudahan berhasil, Nyai."
Lagi-lagi Nyai Supit hanya tersenyum saja:
*** Hampir jauh malam Awijaya belum Juga bis; memicingkan matanya. Pikirannya masih
menerawang jauh, melayang tanpa batas akhir. Hatinya kelihatan gelisah di
pembaringan. Udara malam yang dingin, jadi terasa panas. Keringat mengucur deras
membasahi seluruh tubuhnya.
"Rara Wanti.... Akan sia-siakah harapanku selama ini...?"
desah Awijaya lirih.
Awijaya menggelinjang bangun, lalu duduk menjuntai di tepi pembaringan.
Pandangannya kosong menembus langsung ke luar melalui jendela yang terbuka
lebar. Sebentar ditarik napas panjang, dan di hembuskannya kuat-kuat Pelahan-
lahan tubuhnya bangkit berdiri. Namun belum juga berdiri tegak tiba-tiba....
"Akh...!"
"Heh...!" Awijaya tersentak kaget begitu mendengar suara pekikan tertahan.
Pemuda yang selalu mengenakan baju merah muda itu
melompat ke jendela. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba terlihat dua
bayangan keluar dari salah satu jendela kamar. Awijaya tersentak. Jelas itu
adalah kamar Nyai Supit.
"Hup!"
Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu melompat keluar dari jendela kamarnya,
langsung menuju ke jendela kamar Nyai Supit yang tebuka lebar. Dua bayangan yang
berkelebat tadi sudah lenyap dari pandangan mata, hilang ditelan kegelapan
malam. Awijaya menerobos masuk ke kamar
perempuan gemuk itu.
"Nyai...!" Awijaya terpekik kaget begitu berada di dalam kamar itu.


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bergegas Awijaya memburu sosok tubuh gemuk yang
menggeletak berlumuran darah di atas pembaringan. Suasana di dalam kamar itu
benar-benar berantakan. Meja kursi,
lemari, dan perabotan lain bergelimpangan hancur berantakan. "Nyai...," agak tertahan suara Awijaya.
Bola mata pemuda itu berputar, merayapi darah yang
mengucur deras dari dada dan leher Nyai Supit Pemuda itu sempat melihat adanya
gerakan lemah dari kepala wanita gemuk itu.
"Ki Praba...," hanya itu yang bisa diucapkan Nyai Supit.
Seketika itu juga kepalanya terkulai, tidak bergerak-gerak lagi. Awijaya
mengguncang-guncangkal tubuh tambun itu.
Tapi nyawa Nyai Supit sudah meria hilang, terbang dari raganya. Awijaya terduduk
lemas. Wajahnya sebentar
memerah, sebentar memucat pasi Dadanya bergemuruh
hebat, kemudian bangkit berdiri "Nyai, aku akan membalas kematianmu. Ki Praba
harus mati terancang. Aku janji, Nyai...!" agak tersendat suara Awijaya.
Secepat kilat pemuda berbaju merah muda itu melesat keluar melalui jendela kamar
yang terbuka berantakan. Dalam sekejap saja dia sudah berlari kencang menembus
kegelapan malam. Tujuannya jelas kediaman Ki Praba yang tidak berapa jauh dari
rumah penginapan dan kedai Nyai Supit. Tanpa menghentikan larinya, Awijaya
melompat melewati pagar batu yang cukup tinggi seperti benteng. Langsung
didaratkan kakinya ringan di tengah-tengal halaman yang luas bagai lapangan.
Keadaannya sangat sunyi, tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Bahkan hanya
ada sebuah pelita saja yang menyala di bagian beranda depan. Selebihnya hanya
kegelapan yang ada.
"Ki Praba! Keluar kau...!" teriak Awijaya lantang. Sepi.
Tidak ada sahutan sedikit pun. Hanya angin malam yang dingin menyahuti teriakan
pemuda itu Awijaya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tetap sunyi. Tidak
terlihat seorang pun di sekitar rumah besar ini
"Pengecut!" geram Awijaya.
Pemuda berbaju merah muda itu melompat dan berputaran dua kali di udara. Dan
dengan manis sekali, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun kakinya mendarat di beranda depan. Kembali dia
berteriak keras, menyuruh Ki Praba keluar.
Tapi tetap saja tidak ada sahutan. Awijaya semakin kesal tak tertahankan.
Dirampasnya pelita yang tergantung di beranda.
Dengan kemarahan yang meluap, pemuda itu melemparkan pelita ke dalam rumah.
Seketika saja api berkobar besar melahap bagian dalam rumah itu.
"Hiyaaa...P"
Awijaya melompat ke atas atap, dan terus berlari ke bagian belakang. Ringan
sekali tubuhnya melunak turun, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pemuda itu
mendarat lunak di bagian belakang rumah besar ini. Sebuah pelita yang menempel
di dinding direnggut secara kasar, lalu dilemparkannya ke dalam rumah. Kembali api berkobar membesar begitu pelita itu
pecah berantakan.
"Huh!" Awijaya mendengus menyemburkan ludahnya Tanpa menghiraukan api yang
semakin membesar melahap rumah besar itu, Awijaya melentingkan tubuhnya keluar,
kembali ke halaman depan. Betapa terkejutnya dia begitu kakinya mendarat. Tampak
penduduk berbondong-bondong membawa obor, lalu melemparkannya ke rumah besar
yang selama ini dibencinya.
Tindakan Awijaya membuat para penduduk yang selama ini hanya
diam tertekan penderitaan, benar-benar ingin melampiaskan segala tekanan batinnya pada rumah besar itu.
Api semakin besar berkobar melahap setiap bagian rumah besar bagai istana itu.
Awijaya memandanginya tanpa berkedip. Ada sedikit keharuan di hatinya ketika
melihat para penduduk bersorak-sorai gembira menyaksikan rumah yang
dianggap sebagai sumber neraka dan malapetaka kini dilahap api dengan ganasnya.
Awijaya membalikkan tubuhnya, dan melangkah meninggalkan tempat yang terang benderang dilahap api Dia berjalan sambil
menyibakkan kerumunan penduduk yang memadati halaman besar rumah itu. Ada
kegembiraan, kesedihan, dan keharuan di dalam hatinya. Bermacam
perasaan berkecamuk, sukar untuk diungkapkan dengan untaian kalimat Tak ada
seorang yang memperhatikan
pemuda berbaju merah muda yang terus melangkah semakin jauh.
*** "Siapa sebenarnya yang membunuh Nyai Supit" Kemana Ki
Praba pergi...?"
Tak sedikit pertanyaan yang mengganggu pikiran Awijaya Pemuda itu pergi tanpa
tujuan dengan membawa hati yang panas, terselimut dendam membara.
Hanya satu dalam pikirannya. Mencari Ki Praba. Dia yakin betul kalau laki-laki
itulah yang membunuh Nyai Supit.
Meskipun dalam keadaan gelap, masih sempat dikenali salah satu bayangan yang
berkelebat cepat keluar dari kamar Nyai Supit malam itu.
Sementara itu, di sebelah Utara Bukit Sidayu, tampak Ki Praba duduk mencangkung
di atas batu. Kedua kakinya terendam ke dalam sungai yang kecil berair jernih.
Di dekatnya berdiri Jantar. Pandangan mata pemuda itu menatap lurus ke tanah di
tepi sungai kecil ini.
"Ki...," panggil Jantar, seraya berjongkok menekuri tanah berair.
"Ada apa?" tanya Ki Praba menghampiri.
"Ada jejak kaki dua orang. Arahnya menuju ke hulu," jelas Jantar
"Hm...," Ki Praba menggumam pelahan. Diamati jejak-jejak kaki yang hampir
tenggelam. Kelihatan masih jelas membekas di tanah.
"Jelas kalau ini jejak kaki laki-laki dan perempuan, Ki,"
tegas Jantar seraya berdiri dan melangkah pelan-pelan mengikuti jejak-jejak kaki
yang tertera cukup jelas di tanah tepi sungai ini.
"Belum ada yang ke hulu melalui tepi sungai ini...," gumam Ki Praba.
"Kecuali Rara Wanti," sambung Jantar.
"Benar. Ayo kita ke sana!" seru Ki Praba.
Kedua laki-laki itu bergegas mengayunkan kakinya
mengikuti jejak yang menuju ke hulu. Mereka tahu kalau di bagian hulu sungai ini
ada sebuah desa kecil. Desa
Pekacangan yang kerap didatanginya. Di desa itu Ki Praba juga mempunyai teman
yang setiap saat bisa membantunya.
Ki Praba semakin bersemangat Memang kepala Rara Wanti dan orang yang mem bawanya
ingin segera dipenggalnya.
"Kenapa bergegas, Ki Praba...?" tiba-tiba terdengar suara teguran lunak.
Ki Praba dan Jantar tersentak kaget. Mereka langsung berhenti melangkah, dan
menoleh ke arah datangnya suara tadi Tampak seorang laki-laki yang masih muda
usianya tengah duduk bersila di atas sebatang pohon tumbang.
Pakaiannya putih panjang,
hampir menutupi kakinya. Rambutnya putih. Dan yang paling menonjol adalah raut wajahnya yang pucat bagai
mayat Ki Praba kenal betul, kalau laki-laki itu adalah si Muka Mayat, salah
seorang musuhnya.
"Sukar dipercaya kalau Ki Praba rela turun tangan hanya untuk memburu seseorang.
Ah..., mungkin pamornya sudah hilang, sehingga berjalan kaki tergesa-gesa hanya
ditemani seekor anjing geladak," pelan kata-kata si Muka Mayat, tapi sanggup membuat
wajah Jantar merah padam.
"Muka Mayat! Apa pedulimu dengan urusanku"!" bentak Ki Praba sengit
"Tentu saja aku peduli kalau kau tetap memburu Rara Wanti," sahut si Muka Mayat
kalem. "Phuih! Dia anakku, tidak ada urusannya denganmu! "
"Anakmu..." Ha ha ha...!" si Muka Mayat tertawa tergelak-gelak. Namun suara
tawanya begitu sumbang dan tidak enak didengar. "Sejak kapan kau punya anak, Ki
Praba" Bukankah Rara Wanti itu hanya budak pajanganmu" Lambang
hadiahmu" Sungguh dunia sudah terbalik...!"
"Tutup mulutmu, keparat!" geram Ki Praba gusar, lalu melirik Jantar.
"Ha ha ha...!" si Muka Mayat semakin keras tergelak.
Perutnya yang agak buncit terguncang-guncang menahan rasa geli yang menggelitik
tenggorokannya.
"Keparat..! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Ki Praba tidak bisa lagi menahan amarahnya, dan langsung melompat cepat bagai
kilat menerjang laki-laki muda yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu.
Secepat itu pula Ki Praba melontarkan dua pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi
secara beruntun.
"Hait..!"
Namun dengan manis sekali si Muka Mayat berkelit
melambungkan dirinya ke atas, kemudian berputaran di udara melewat' kepala Ki
Praba. Dan sebelum kakinya menjejak tanah, satu tendangan menyamping diarahkan
ke punggung laki-laki setengah baya itu. Tapi belum juga tendangannya sampai
pada sasaran, mendadak dua buah pisau kecil
meluncur deras ke arahnya.
"Ikh! Curang!" dengus si Muka Mayat seraya melentingkan tubuhnya ke belakang.
Dan begitu kaki si Muka Mayat mendarat di tanah, kembali dua buah pisau tipis
meluncur bagai kilat ke arahnya, disusul tebasan sebilah pedang ke arah leher.
Menghadapi dua serangan kilat dan dahsyat itu, si Muka Mayat tidak punya pilihan
lain lagi. Secepat kilat dilepaskan sabuknya, dan langsung diputarnya bagai
baling-baling. Trang! Tring! Baik Ki Praba maupun Jantar terkejut saat senjata-
senjatanya berbenturan dengan sabuk si Muka Mayat Sabuk yang kelihatan lemas itu
ternyata sangat kuat, melebihi baja.
Senjata Ki Praba sampai terpental hampir terlepas dari tangan.
Sedangkan pisau-pisau yang dilepaskan Jantar mental balik ke arah pemiliknya.
"Hup!"
Jantar menggerakkan tangannya cepat, dan tangkas sekali menangkap pisau-pisau
itu. Si Muka Mayat tertawa terkekeh.
Sementara Ki Praba dan Jantar saling berpandangan sejenak, kemudian
serempak menyerang menggunakan senjata
masing-masing dari dua arah yang berlawanan.
*** 5 Ki Praba dan Jantar benar-benar tidak lagi memberi
kesempatan si Muka Mayat untuk tetap hidup. Mereka
menyerang secara beruntun dan bergantian. Sedikit pun tidak memberi peluang
lawan untuk balas menyerang. Hal ini tentu saja membuat si Muka Mayat kelabakan
setengah mati. Beberapa pukulan dan tendangan bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya.
Beberapa kali dia berusaha kabur, tapi selalu dapat terkejar.
Tempat pertarungan sudah berpindah-pindah, dan semakin menjauhi sungai. Tanpa
disadari, justru mereka semakin dekat ke hulu. Daerah sekitar pertarungan itu
benar-benar porak-poranda. Pohon-pohon bertumbangan, batu-batu pecah
berantakan. Tapi pertarungan itu masih terus berlangsung sengit.
"Jantar, ambil kaki...!" tiba-tiba Ki Praba berseru nyaring.
"Baik, Ki!" sahut Jantar. "Hiyaaat...!"
Jantar tidak membuang waktu lagi, dan langsung menyusur mempergunakan jurus
'Ular Melibat Bukit*. Sasaran yang di ncar tentu saja kaki lawan. Hfil ini
membuat si Muka Mayat harus berpelantingan ke atas menghindari serangan yang
tidak pernah berpindah itu. Tapi laki-laki muda itu jadi tersentak, karena Ki
Praba justru mengarahkan serangan ke bagian dada dan kepala
"Modar...!" seru Ki Praba tiba-tiba.
Seketika itu juga Ki Praba menggedor tangannya ke arah dada si Muka Mayat, namun
masih juga bisa dihindari. Tapi si Muka Mayat tidak bisa lagi menghindari
sabetan tangan Jantar pada betisnya, dan....
"Akh...!" si Muka Mayat memekik tertahan.
Tulang betis si Muka Mayat langsung remuk seketika, dan tubuhnya jatuh
bergulingan di atas tanah. Pada saat itu, Ki
Hina Kelana 43 Dewa Arak 27 Kembalinya Raja Tengkorak Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 6
^