Pencarian

Bunga Dalam Lumpur 2

Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur Bagian 2


terbuka. Dewi Mustikaweni tertegun memandanginya. Laki-laki setengah baya itu
langsung melongok keluar jendela, lalu memandangi setiap sudut kamar ini
"Siapa yang masuk sini tadi?" tanya Sura Antaka.
"Tid. .. Tidak ada siapa-siapa, Ayah," sahut Dewi Musrikaweni tergagap. Hatinya
sungguh terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Aku mendengar kau tengah bicara dengan
seseorang. Siapa dia, Weni?" desak ayahnya.
"Aku. . Aku bicara sendiri, Ayah," masih tergagap suara Dewi Mustikaweni.
"Hm.. , wajahmu pucat. Kau tidak mendustaiku, Weni?" selidik Sura Antaka tidak percaya.
"Tidak, Ayah. Sungguh, aku tadi bicara
sendiri," Dewi Musrikaweni berusaha menyakinkan ayahnya.
"Hm.. ," Sura Antaka menggumam tidak jelas.
Tatapan matanya menusuk langsung mengandung kecurigaan yang dalam. Dewi
Mustikaweni hanya tertunduk saja. Kegelisahan
menyelimuti hatinya. Kepalanya masih tertunduk
saat ayahnya melangkah menghampiri pintu.
Laki-laki setengah baya itu menoleh sebelum
melangkah keluar.
"Tutup jendelanya, Weni. Aku tidak suka kau menyembunyikan orang di kamarmu,"
kata Sura Antaka.
"Baik, Ayah."
Sura Antaka melangkah keluar. Dewi Mustikaweni bergegas menutup pintunya, lalu
menarik napas panjang seraya memejamkan
matanya. Kemudian kakinya melangkah menuju
jendela, lalu menutupnya. Gadis itu berbalik,
melangkah menghampiri pembaringan. Sambil
mendesah panjang, dibanting tubuhnya ke
pembaringan. Sejak peristiwa di tepi danau, Sura Antaka melarang gadis itu
keluar dari kamarnya
kalau tidak disertai pengawalan ketat. Terlebih
lagi kalau keluar dari bangunan bagai istana ini.
Tidak kurang dari lima puluh orang ketat
mengawalnya. Dewi Mustikaweni semakin merasakan dirinya bagai hidup dalam sangkar emas
berlumpur. Ke mana pun pergi, selalu ada
pengawal membuntuti. Bahkan emban pengasuhnya saja tidak lagi bisa bebas bepergian.
Dewi Mustikaweni menarik napas panjang dan
menghembuskannya
kuat-kuat. Hidupnya semakin terasa sunyi
*** Hari-hari buruk rupanya membayangi Sura
Antaka bersama semua orang-orangnya. Setiap
kali membegal, selalu gagal. Bahkan tidak sedikit orangnya
tewas atau tertangkap prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Sura Antaka jadi tidak
habis mengerti, setiap rencananya selalu saja
bocor dan dapat diketahui.
Kalau hanya prajurit kerajaan saja, tidak
menjadi persoalan baginya. Tapi yang membuat
berang adalah munculnya seorang pemuda
berkulit harimau dan seorang laki-laki bercaping.
Mereka kerap menggagalkan aksinya, bahkan
menewaskan banyak anak buahnya.
Nama Pendekar Pulau Neraka dan Pendekar
Caping Bambu menjadi momok bagi Sura Antaka
dan semua pengikutnya. Bahkan Pendeta Ajisaka
jadi lebih banyak diam dan meyendiri sejak
digantung dengan kepala di bawah oleh orang
bercaping yang menabah dirinya menjadi Gagak
Codet. Bahkan sebenarnya wajahnya cukup
tampan bagai putra mahkota.
"Mungkinkah dia Arga Yuda. .," desah Pendeta Ajisaka siang itu saat duduk
sendiri di pinggir
kolam taman belakang kediaman Sura Antaka
yang bagaikan istana itu.
"Dia sudah mati, Paman," tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
"Oh!" Pendeta Ajisaka terkejut, langsung membalikkan tubuhnya.
Sura Antaka menghampiri dan duduk di
samping laki-laki tua berkepala gundul yang
selalu memakai jubah kuning gading itu. Pendeta
Ajisaka menggeser duduknya merenggang.
"Kenapa kau ingat-ingat bocah setan itu lagi, Paman?" tegur Sura Antaka. Nada
suaranya terdengar kurang senang.
"Maaf, Adi Sura Antaka. Aku hanya
bergumam saja tadi," ujar Pendeta Ajisaka yang selalu memanggil adik pada Sura
Antaka jika hanya berdua saja. Tapi di depan orang lain, dia akan selalu menyebut Yang Mulia
pada Sura Antaka. "Kau jauh berubah beberapa hari ini, Paman.
Sering menyendiri. Bahkan beberapa ku dengar
kau menyebut-nyebut nama Arga Yuda," kata
Sura Antaka. "Hhh. ..!" Pendeta Ajisaka menarik napas panjang.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Paman?"
"Sedikit," desah Pendeta Ajisaka.
"Katakanlah. Mungkin aku bisa membantu."
"Kau sudah terlalu banyak menanggung
beban, Adi Sura Antaka. Rasanya tidak pantas
kalau aku juga ikut membebani pikiranmu.
Biarlah semua persoalan ini aku sendiri yang
menyeselaikan," tolak Pendeta Ajisaka halus.
"Persoalanmu
adalah juga persoalanku, Paman. Aku tahu, belakangan ini aksi kita selalu gagal. Aku merasa di antara
orang-orang kita ada yang berkhianat, dan selalu membocorkan setiap
rencana penyergapan. Aku memang berang, tapi
juga harus mencari jalan keluar yang terbaik. Aku tidak ingin Partai Naga Merah
hancur begitu saja, karena ada pengkhianat yang menyusup," kata Sura Antaka.
Pendeta Ajisaka diam saja.
"Paman, kau selalu menyebut-nyebut nama
Arga Yuda. Apakah. . "
"Anak itu masih hidup, Adi Sura Antaka,"
potong Pendeta Ajisaka cepat.
"Mustahil!" desisSura Antaka tidak percaya.
"Kau ingat ketika aku digantung, Adi Sura"
Waktu itu aku bersama Macan Gagak dan Singo
Barong serta beberapa orang berusaha mengejar
Pendekar Pulau Neraka yang menghina dan
membangkang undanganmu. Belum sampai ke
danau, seorang bercaping mencegat. Kepandaiannya sangat tinggi. Aku berhasil di-
kalahkannya, lalu aku digantung, Adi Sura," kata Pendeta Ajisaka mulai terbuka.
"Hm, ya. Aku sudah mendengar itu."
"Tidak ada yang tahu, Adi Sura. Aku yakin
orang bercaping itu pasti Arga Yuda.
"Kau tidak bergurau, Paman Ajisaka. ."!"
"Sungguh, Adi Sura. Itulah yang menjadi
beban pikiranku saat ini. Arga Yuda begitu pandai menyamar. Aku yakin kalau dia
mudah menyusup ke sini, dan mengetahui semua
rencana kita. Jadi bukan ada pengkhianatan, tapi memang ada penyusup yang masuk
tanpa kita ketahui." "Hm.. . Kenapa baru sekarang kau katakan
ini, Paman?"Sura Antaka sedikit menyesali
"Aku masih mencari bukti kuat, Adi Sura."
"Keyakinanmu sudah menjadi bukti kuat,
Paman. Hmmm.. , aneh! Bagaimana mungkin
bocah itu bisa hidup?"
"Bukan hanya bisa hidup, Adi Sura. Bahkan
telah mempunyai kalung lambang kebesaran
Partai Naga Merah."
"Apa. ."!" Sura Antaka terkejut setengah mati mendengarnya, bahkan sampai
terlonjak bangkit
berdiri. "Dia menunjukkan kalung itu padaku,"
sambung Pendeta Ajisaka.
"Mustahil! Tapi. ."
Sura Antaka bergegas melangkah menuju
suatu bangunan kecil yang terbuat dari dinding
batu hitam. Pendeta Ajisaka mengikutinya dari
belakang. Dua orang penjaga bersenjata tombak
membungkuk memberi hormat dan salah seorang
bergegas membuka pintu dari besi baja yang
kokoh. Sura Antaka melangkah masuk, di kuti
Pendeta Ajisaka.
Udara lembab dan pengap langsung menyeruak, tapi kedua laki-laki itu terus
melangkah menuruni undakan batu menuju ke
bagian bawah. Mereka berhenti setelah tiba di
depan sebuah pintu dari lempengan baja putih.
Sura Antaka membuka pintu itu. Suara bergerit
terdengar nyaring saat pintu itu terkuak.
Seberkas cahaya menerobos menerangi ruangan
kecil berdinding dan beratap batu hitam.
"Keparat. !" geram Sura Antaka seraya
menengadah menatap lubang yang menganga
lebar pada bagian atas ruangan kecil ini.
"Sudah kuduga, Adi Sura. Bocah itu pasti bisa lolos," tegas Pendeta Ajisaka.
'Tidak mungkin! Pasti ada yang menolongnya.
Lima belas tahun terkurung di sini, mustahil
kalau dia masih hidup!" dengus Sura Antaka
menggeram. Laki-laki setengah baya itu menatap Pendeta
Ajisaka dalam-dalam, sedangkan yang ditatap
malah membalas dengan tajam pula. Kemudian
mereka mendongak ke atas, lalu hampir
bersamaan melesat naik ke atas lubang itu.
Sebentar saja mereka sudah berada di luar, tepat di luar pagar tembok yang
membentengi bangunan besar bagai istana itu.
"Emban Bulem.. !" desis Sura Antaka. "Hanya dia yang kuijinkan masuk ke sini."
"Di mana dia?" tanya Pendeta Ajisaka.
"Di. . Mustikaweni. !"
Sura Antaka langsung melompat melewati
pagar tembok. Pendeta Ajisaka mengikuti dengan
gerakan tangkas dan ringan. Sekejap saja kedua
laki-laki itu sudah lenyap di balik dinding tembok yang mengelilingi rumah besar
bagai istana itu.
*** "Weni. . ' Mustjkaweni.. !" teriak Sura Antaka sambil menggedor pintu kamar yang
tertutup rapat. Gedoran yang keras itu tidak juga membuka
pintu kamar tersebut. Pendeta Ajisaka menahan
tangan Sura Antaka. Sebentar ditatapnya laki-
laki setengah baya itu. Sura Antaka melangkah
mundur, dan Pendeta Ajisaka menghentakkan
tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. Brak! Pintu tebal dari kayu jati itu hancur seketika.
Pendeta Ajisaka dan Sura Antaka langsung
menerobos masuk, dan langsung tercengang.
Ternyata di dalam kamar ini tidak ada seorang
pun. Sura Antaka bergegas ke jendela yang
terbuka. Matanya membeliak begitu melihat tiga


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang berpakaian merah bergambar naga di dada
telah tergeletak berlumuran darah di bawah
jendela. "Paman, perintahkan semua yang ada. Cari
dan kejar anakku!" seru Sura Antaka berang.
"Baik," sahut Pendeta Ajisaka.
Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar.
Sedangkan Sura Antaka menyandarkan tubuhnya ke dinding di samping jendela. Sebentar matanya terpejam, kemudian
terbuka lagi. Tangannya terkepal erat. Dengan kemarahan
yang meluap, dihantamnya dinding kamar ini
hingga jebolberantakan.
Sura Antaka bergegas keluar dari kamar itu.
Langkahnya cepat dan lebar-lebar. Wajahnya
memerah, pertanda hatinya sedang terselimut
amarah yang luar biasa. Laki-laki setengah baya
itu langsung menuju ruangan depan. Di sana
Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong
sudah menunggu. Dari pintu ruangan depan ini
terlihat hampir seratus orang berbaris menunggu
perintah. Mereka semua berseragam merah
dengan sulaman gambar naga pada dadanya.
"Semua sudah siap, Yang Mulia," ujar Pendeta Ajisaka seraya menjura memberi
hormat "Pecah bagi empat dan menyebar ke empat
jurusan!" perintah Sura Antaka.
Ketiga orang itu menjura memberi hormat,
lalu bergegas melangkah keluar. Tidak berapa
lama, terdengar beberapa suara bernada perintah.
Dan barisan berseragam merah itu segera
memisahkan diri menjadi empat kelompok.
Pendeta Ajisaka berdiri di depan kelompok paling kanan, disusul Macan Gadak, dan
Singo Barong. Sedangkan sekelompok lagi akan ikut bersama
Sura Antaka. "Dengar kalian semua. .!" kata Sura Antaka lantang begitu sudah berada di luar.
"Ku ijinkan kalian membunuh siapa saja yang ada bersama
Putri Dewi Mustikaweni!"
Semua orang menjura memberihormat.
"Berangkat sekarang!" perintah Sura Antaka tegas.
Tiga kelompok yang masing-masing dipimpin
tiga orang kepercayaan Sura Antaka, segera
bergerak. Sedangkan Sura Antaka
sendiri menghenyakkan tubuhnya di kursi di beranda
depan ini. Sekitar dua puluh lima orang masih
berbaris rapi menunggu perintah. Mereka semua
memegang tombak panjang dan sebilah pedang
tergantung di pinggang. Sura Antaka merayapi
dua puluh lima orang anak buahnya yang setia
tengah menanti perintah.
"Kalian semua tetap di sini. Jangan terlalu jauh dari rumah ini. Mengerti. ."!"
kata Sura Antaka tegas.
"Mengerti, Yang Mulia.. .'" sahut mereka serempak seraya membungkukkan badan.
Sura Antaka mengibaskan tangannya. Maka
sekitar dua puluh lima orang berseragam merah
itu serentak bergerak mencari tempat untuk
menjaga junjungannya. Sementara Sura Antaka
masih tetap duduk di kursinya. Pandangannya
kosong lurus ke depan.
"Hhhh. .! Mungkinkah semua ini awal kehancuranku" Tidak! Aku tidak boleh putus asa.
Partai Naga Merah tidak boleh hancur dan harus
tetap kuat!" desis Sura Antaka pelahan, namun terdengar agak tertekan nada
suaranya. *** 6 Sementara itu, di sebuah hutan yang cukup
jauh dari tempat tinggal Sura Antaka atau yang
lebih dikenal sebagai sarang Partai Naga Merah,
tampak Dewi Mustikaweni melangkah terseret
bersama seorang perempuan gemuk. Jelas dia
adalah Emban Bulem, pengasuh gadis cantik itu.
Beberapa kali kaki Dewi Mustikaweni terantuk
akar, dan terjatuh. Tapi Emban Bulem segera
menarik, dan menyeretnya agar terus berjalan.
"Aku letih, Bi. Istirahat dulu.. ," rintih Dewi Mustikaweni kepayahan. Keringat
membanjiri wajah dan lehernya yang jenjang berkulit halus.
Sepasang pipinya merona merah karena kelelahan. Emban Bulem berhenti melangkah. Ditatapnya dalam-dalam bola mata bulat yang
dihiasi bulu mata lentik itu. Dewi Mustikaweni
menyeka keringat dengan sapu tangan berwarna
merah muda. Napasnya terengah mendengus-
dengus. "Kau terlalu manja, Mustikaweni. Inilah
akibatnya malas berlatih ilmu olah kanuragan!"
dengus Emban Bulem.
"Bi. .!" sentak Dewi Mustikaweni terkejut mendengar nada suara agak kasar dari
emban pengasuhnya ini.
"Ayo cepat jalan, sebelum mereka tahu!"
sentak Emban Bulem.
"Aku letih, Bi. .," rengek Dewi Mustikaweni.
"Kebebasanmu sudah dekat, Weni. Jangan sia-
siakan kesempatan ini. Ibu dan kakakmu sudah
cemas menunggu. Ayo jalan lagi," bujuk Emban Bulem.
"Bi. ., aku tidak mengerti maksudmu. Akan
dibawa ke mana aku.. ?" tanya Dewi Mustikaweni seraya mengayunkan kakinya
kembali. Kali ini Emban Bulem tidak lagi menyeretnya.
Mereka berjalan berdampingan menerobos lebarnya hutan. Semakin jauh berjalan, semakin
sukar untuk ditempuh. Hutan ini bertambah
rapat, dan berudara lembab. Begitu rapatnya,
sehingga sinar matahari tidak sanggup menembusnya. Dewi Mustikaweni agak getir juga
hatinya. Belum pernah dimasuki hutan sampai
sejauh ini. Dia takut kalau-kalau bertemu
binatang buas. "Bi, tolong jelaskan. Kenapa kau lakukan
semua ini padaku.. ?" rengek Dewi Mustikaweni masih belum mengerti sikap emban
pengasuhnya ini. "Dengar, Weni. Sebenarnya aku ini adalah
adik kandung ibumu. Waktu Padepokan Naga
Merah yang kini menjadi Partai Naga Merah
hancur, aku menyamar jadi seorang pembantu.
Untungnya Sura Antaka tidak kenal jati diriku,
sehingga mengijinkan aku untuk mengasuhmu.
Waktu itu usiamu baru satu tahun, Weni. Dan
kau punya kakak yang berusia lima tahun pada
waktu itu. Laki-laki. . Ibumu dan kakakmu
berhasil meloloskan diri, sedangkan ayahmu yang
sebenarnya telah tewas di tangan Sura Antaka. .,"
Emban Bulem mencoba menjelaskan.
"Sungguhkah
itu, Bi?" tanya Dewi Mustikaweni kurang percaya.
"Kau akan tahu nanti, Weni. Aku hanya bisa
menceritakan sedikit. Kau tahu, daerah ini masih termasuk wilayah Kerajaan
Gelang Wesi. Gusti
Prabu Nayadarma adalah pamanmu, kakak
ayahmu. Mereka masing-masing punya pilihan
sendiri. Gusti Nayadarma lebih senang pada hal-
hal pemerintahan. Sedangkan ayahmu lebih suka
menjadi pertapa, dan memimpin sebuah padepokan yang didirikan atas usahanya sendiri.
Padepokan Naga Merah cepat berkembang pesat
Tapi seorang kepala gerombolan perampok telah
mengacaukannya. Direbutnya wilayah Padepokan
Naga Merah, lalu dijadikannya sarang gerombolannya yang dinamakan Partai Naga
Merah. Kepala gerombolan perampok itu adalah
Sura Antaka."
"Ayah.. "!"
"Dia bukan ayahmu, Weni. Sura Antaka masih
terhitung saudara ayahmu. Tapi hanya saudara
jauh. Dia iri dan dengki terhadap ayahmu yang
berhasil menjadi seorang pertapa dan guru besar
sebuah padepokan. Sura Antaka kemudian lari
dari istana dan berkelana menjadi kepala begal.
Kebenciannya semakin menjadi begitu mendengar gadis yang sudah lama diinginkannya
dipersunting ayahmu. Gadis itu adalah ibumu,
Weni. Sura Antaka kemudian menghancurkan
Padepokan Naga Merah, dan membunuh ayahmu. Ibumu hendak direbutnya juga, tapi
gagal. Dia hanya berhasil menawan kakakmu dan
dirimu, Weni."
"Kenapa dia tidak membunuhku saja, Bi?"
tanya Dewi Mustikaweni.
'Tidak. Karena aku telah memohon dan
berjanji untuk selalu setia serta merawatmu
dengan baik. Aku janji untuk tidak membocorkan
semua rahasia ini. Tapi aku jadi merasa tertekan dan berdosa. Terlebih lagi
setelah kau dewasa,
Weni. Dan sekarang kakakmu sedang berusaha
mengeluarkanmu darineraka lumpur ini."
"Kakakku. ." Kau katakan tadi kakakku juga
tertawan, Bi," Dewi Mustikaweni meminta
penjelasan. "Benar. Kakakmu tertawan dan dijebloskan
dalam penjara bawah tanah. Penjara yang
sebenarnya tempat bersamadi ayahmu dulu.
Berkat upayaku pula, Sura Antaka mengijinkanku untuk memberinya makan dan
minum setiap hari. Dalam pekan-pekan pertama,
memang selalu ada pengawal yang menjaga
tempat itu sampai ke dalam. Tapi setelah lewat
tiga purnama, aku bisa masuk sendirian tanpa
dikawal seorang penjaga pua Di situ aku pun
berusaha membebaskan kakakmu dengan jalan
menjebol dinding atas yang kuketahui langsung
berhubungan dengan lingkungan luar. Tapi
sebelum itu, diam-diam aku juga telah memberi-
tahu pihak Kerajaan Gelang Wesi. Maka
pamanmu pun segera mengirimkan dua orang
panglimanya untuk menunggu. Kakakmu selamat sampai di Kerajaan Gelang Wesi dan
telah berkumpul bersama ibunya. Ibumu juga,
Weni." Dewi Mustikaweni terdiam, tidak tahu lagi
harus berkata apa lagi. Semua cerita perempuan
gemuk itu sungguh meresap, langsung masuk ke
dalam relung hatinya. Diam-diam Dewi Mustikaweni menghubung-hubungkannya
dengan semua yang dilihat dan dialaminya


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama berada dalam sangkar emas berlumpur
itu, hingga peristiwa yang terjadi belakangan ini.
"Aku tidak mendesakmu
agar percaya sekarang juga, Weni. Kau akan tahu sendiri
nanti," kata Emban Bulem lagi.
"Entahlah, Bi. Aku tidak tahu," desah Dewi Mustikaweni.
Mereka terus berjalan tanpa ada yang bicara
lagi. *** Senja sudah mulai turun dalam pelukan bumi.
Sinar matahari tidak lagi terik menyengat. Dua
orang wanita masih terus berjalan tanpa
beristirahat. Mereka sudah mulai memasuki
tempat terbuka. Pohon-pohon tidak lagi rapat, dan sinar matahari senja
menghangati kulit mereka.
Tapi mendadak.. .
"Berhenti. .!"
"Bi. .," tergetar suara Dewi Mustikaweni begitu tiba-tiba di depan mereka muncul
Singo Barong bersama dua puluh lima orang berseragam merah
bersulaman gambar naga pada bagian dadanya.
"Emban Bulem.. , pengkhianat busuk!" geram Singo Barong.
"Aku bukan pengkhianat, setan!" bentak Emban Bulem ketus.
"Heh!" Singo Barong berjingkrak kaget
mendengar bentakan keras wanita gemuk itu.
"Berani benar kau membentakku, perempuan
keparat!" "Kau pikir aku takut" Majulah!" tantang Emban Bulem.
Singo Barong semakin terperanjat begitu tiba-
tiba saja Emban Bulem melepaskan selendang
kuning yang membelit pinggangnya. Cepat sekali
perempuan gemuk itu mengebutkannya ke arah
laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berwajah
kasar penuh berewok itu.
"Hup!"
Singo Barong melompat cepat menghindari
terjangan ujung selendang kuning itu. Tapi
ternyata seorang yang berada tepat di belakangnya tidak bisa berkelit lagi Orang itu
menjerit keras melengking, lalu menggelepar
jatuh dengan dada terbelah tersambar ujung
selendang kuning itu.
"Setan keparat. .! Rupanya kau punya simpanan juga, heh"!" geram Singo Barong.
"Simpanan untuk mencabut nyawamu, Singo
Barong!" "Edan! Mampus kau! Hiyaaat. !"
Singo Barong memuncak amarahnya. Langsung dilentingkan tubuhnya, dan meluruk
deras ke arah Emban Bulem. Namun perempuan
gemuk itu lincah sekali mengebut-ngebutkan
selendangnya, menghalau serangan Singo Barong
Tentu saja hal ini membuat laki-laki tinggi kekar itu menjadi kelabakan
menghindari kebutan
selendang yang meliuk-liuk bagai memiliki mata
itu. "Ghrrr. .!" Singo Barong menggerung keras bagai seekor binatang buas kelaparan.
Sementara itu, orang-orang yang mengenakan
seragam merah telah berlompatan membuat
lingkaran mengepung. Sedangkan Dewi Mustikaweni tidak berani jauh-jauh dari perempuan gemuk yang sibuk memainkan
selendangnya, mencecar Singo Barong.
"Hiyaaa.. !" tiba-tiba saja Singo Barong berteriak keras.
Dan pada. saat yang bersamaan, Emban bulem
mengebutkan selendangnya ke arah kaki. Tubuh
laki-laki tinggi kekar itu melenting ke atas, lalu mendarat lunak di atas
selendang kuning itu
Cepat sekali goloknya yang besar dan kelihatan
berat itu ditarik keluar.
"Hup! Hyaaa.. !"
Wut! Bret..! Emban Bulem tersentak kaget begitu tiba-tiba
saja golok Singo Barong merobek selendangnya
tepat pada bagian tengah hingga terpotong jadi
dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutan
perempuan gemuk itu, Singo Barong sudah
melompat bagaikan kilat. Goloknya dikibaskan
cepat mengarah ke leher.
"Uts! Haiiit.. !"
Emban Bulem melompat mundur menghindari
tebasan golok itu. Tapi belum juga kakinya
menjejak tanah, riba-riba dari arah belakang,
meluncur sebatang j tombak panjang berwarna
merah darah. Dan tombak? itu langsung
menembus punggung wanita gemuk itu hingga
tembus ke dada.
"Aaaaa. .!" Emban Bulem menjerit melengking tinggi.
"Mampus kau! Hiyaaat.. !"
Seketika itu juga Singo Barong mengebutkan
goloknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung menebas leher Bibi
Emban Bulem hingga buntung.
"Bibi. .!" jeritDewi Mustikaweni.
Tubuh gemuk itu jatuh berdebum ke tanah.
Darah mengucur deras dari leher yang buntung,
sedangkan kepala perempuan gemuk itu menggelinding terpisah. Singo Barong tertawa
terbahak-bahak melihat lawannya tewas seketika.
Sedangkan Dewi Mustikaweni yang
tidak sanggup melihat kejadian itu, langsung jatuh
pingsan saat itu juga.
"Bawa perempuan itu!" perintah Singo Barong.
Dua orang melangkah maju. Tapi belum juga
tubuh ramping itu sempat disentuh, mendadak
sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuh
Dewi Mustikaweni yang tergeletak pingsan di
tanah. Tahu-tahu di tempat gadis itu tergeletak, sudah berdiri seorang pemuda
berwajah tampan
mengenakan baju kulit harimau. Badannya yang
kekar memondong tubuh ramping yang tidak
sadarkan diri. "Aku muak melihat tikus-tikus busuk
bertingkah!" dingin nada suara pemuda berbaju
kulitharimau itu.
"Bocah edan! Siapa kau?" bentak Singo Barong geram.
'Kau tidak perlu tahu siapa aku. Katakan saja
pada Sura Antaka kalau kehancurannya sudah
tiba!" "Heh. .!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju kulit harimau
itu melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap. Singo Barong
dan yang lainnya jadi terperangah. Mereka seperti melihat hantu yang muncul dan
menghilang tiba-tiba. Laki-laki kekar berwajah menyeramkan itu
cepat tersadar, lalu memerintahkan semua anak
buahnya untuk segera mengejar. Singo Barong
melompat cepat ke arah hilangnya pemuda
berbaju kulit harimau tadi, diikuti orang-orang
berseragam merah bergambar naga pada bagian
dadanya. *** "Oh. .," Mustikaweni merintih lirih.
Kepala gadis itu menggeleng pelahan, dan
kelopak matanya terbuka. Sebentar matanya
mengerjap, lalu tubuhnya menggelinjang bangkit
begitu menyadari dirinya berada di tempat yang
sangat asing dan belum dikenalnya. Gadis itu
semakin terkejut begitu melihat seorang pemuda
duduk bersila tidak jauh darinya.
"Kakang Bayu. .," desis Dewi Mustikaweni mengenali pemuda yang mengenakan baju
dari kulitharimau itu.
"Kau sudah bangun, Weni?" lembut suara Baya
"Di mana aku?" tanya Dewi Mustikaweni
seraya memandang berkeliling.
Tempat ini tidak begitu besar, dan semua
dindingnya terbuat dari kulit kayu. Atapnya dari daun-daun kering yang dirangkai
oleh kulit kayu.
Gadis itu sendiri berada pada tumpukan rumput
kering di atas tanah lembab yang banyak
berserakan daun-daun kering.
"Cukup aman dari kejaran mereka," ujar Bayu seperti bisa membaca jalan pikiran
gadis itu. Dewi Mustikaweni menatap pemuda itu
sesaat, lalu kepalanya tertunduk Kembali
terbayang semua peristiwa yang dialaminya, lalu
tiba-tiba saja dia menangis sesunggukkan.
Namun cepat-cepat dihapus air matanya dengan
ujung lengan bajunya. Dewi Mustikaweni
menarik napas panjang, mencoba mencari
kekuatan. Meskipun hatinya sedih karena
kematian emban pengasuh yang begitu setia dan
rela berkorban nyawa untuknya, tapi gadis itu
tidak ingin kelihatan cengeng lagi. Dia harus
tabah. Dia sudah tahu siapa dirinya, dan masalah apa yang sedang dihadapinya
sekarang ini. "Kakang, bagaimana aku bisa sampai di sini?"
tanya dewi Mustikaweni.
"Hanya kebetulan aku lebih cepat dari
mereka," sahut Bayu seenaknya.
"Oh, Bibi.. ," rintih Dewi Mustikaweni kembali teringat kematian emban
pengasuhnya yang
begitu tragis. Tidak kuasa lagi air matanya
dibendung. "Sudahlah,
Weni. Tidak ada gunanya menangis. Yang penting sekarang kau harus
tabah menghadapi semua kenyataan ini. Sampai
saat ini kau belum bisa merasa aman. Masih
banyak yang harus kau hadapi," kata Bayu
lembut, namun cukup tegas nada suaranya.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus
kulakukan. Sepertinya aku sedang bermimpi
buruk saja," lirih suara Dewi Mustikaweni.
"Anggaplah ini mimpi burukmu, Weni. Dan
jangan terjaga sebelum semuanya berakhir."
"Ah, Kakang. Kau hanya menggodaku saja."
"Nah. ., begitu. Tersenyumlah. Kau semakin
cantik jika tersenyum," goda Bayu agar gadis itu hilang dari kesedihannya.
Terpaksa Dewi Mustikaweni tersenyum,
meskipun terasa pahit dan bergetar. Dan Bayu
sudah senang melihatnya. Pemuda itu beringsut
lebih mendekat. Ditatapnya dalam-dalam wajah
cantik penuh air mata. Lembut sekali Bayu
menghapus air mata itu dengan ujung jarinya.
Dewi Mustikaweni memejamkan matanya, kembali teringat kecupan pertama pada bibirnya.
Dan pemuda inilah yang pertama kali menciumnya. "Weni. .," bisik Bayu lembut.
Dewi Mustikaweni membuka matanya.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu, dan ini mungkin saatyang tepat," kata Bayu
pelahan. "Ada apa, Kakang?" tanya Dewi Mustikaweni.
"Weni, apa yang ada dalam pikiranmu atas
keberadaanku yang tiba-tiba di sini?" Bayu balik bertanya.


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak tahu," sahut Dewi Mustikaweni keheranan.
"Ketahuilah, keberadaanku di daerah Utara
ini bukan karena tidak sengaja. Kedatanganku ke
sini karena diutus seseorang. Seseorang yang
membutuhkan pertolongan, dan aku tidak bisa
menolaknya," jelas Bayu. Terdengar hati-hati sekali nada suaranya.
Dewi Mustikaweni diam saja. Dicobanya
untuk bisa memahami setiap
kata yang terucapkan dari bibir pemuda itu. Berbagai
macam dugaan langsung hadir di benaknya. Dan
semua dugaan itu membuat jantungnya berdebar
kencang. "Aku yakin, emban pengasuhmu sudah
bercerita banyak kepadamu," kata Bayu lagi.
"Dan semua itu ada hubungannya dengan
kedatanganku ke sini."
"Bibi Bulem ..?" dada Dewi Mustikaweni semakin keras berdebar.
Gadis itu teringat akan semua cerita
perempuan gemuk yang selama ini dikenalnya
hanya sebagai emban pengasuh saja. Dan
ternyata Bibi Bulem memang adalah bibinya
sendiri, adik kandung ibunya. Sedangkan ibunya
sendiri katanya sekarang berada di istana
Kerajaan Gelang Wesi. Dewi Mustikaweni masih
belum percaya sepenuhnya. Tapi saat Bayu
berkata tadi.. , entah kenapa tiba-tiba saja
dadanya jadi bergemuruh, dan jantungnya serasa
lebih cepat berdetak. Dewi Mustikaweni menatap
bola mata pemuda itu dalam-dalam, seolah-olah
ada yang dicarinya di sana.
"Jika Bibi Bulem sudah mengatakan semuanya padamu, rasanya tidak perlu lagi
kukatakan padamu, Weni. Semua yang dikatakannya adalah benar. Dan aku berada di
sini untuk membantunya mengeluarkanmu, agar
kau bisa berkumpul lagi bersama ibu dan
kakakmu. Oh, ya. Kakakmu juga ada di sini, tapi
sudah dua hari ini terpisah dariku. Entah berada di mana sekarang. Yang jelas
dia bersama empat
orang panglima," lanjut Bayu.
Dewi Mustikaweni semakin
tidak bisa membuka mulutnya. Tidak dapat dilukiskan lagi,
bagaimana perasaan hatinya sekarang. Keragu-
raguan, kebimbangan, dan ketidakpercayaan
serta rasa ingin mempercayai bergalut jadi satu
dalam dadanya. Dia hanya bisa memandang
dengan bibir bergetar tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun. Tidak mudah baginya untuk bisa
menerima semua ini. Sejak kecil yang dikenal
hanya Sura Antaka sebagai ayahnya. Dan laki-
laki setengah baya itu selalu mengatakan ibunya
sudah meninggal ketika melahirkannya. Hanya
itu saja yang diketahuinya. Tidak lebih. Tapi
sekarang. . Dewi Mustikaweni tidak tahu lagi,
apa yang harus dikatakan dan diperbuatnya.
*** Sudah dua hari Dewi Mustikaweni tinggal di
pondok kecil yang reyot dan nampak kumuh itu.
Selama itu Bayu selalu menceritakan bagaimana
caranya dia berhubungan dengan Emban Bulem.
Juga tentang kakaknya yang kini entah berada di
mana setelah terpisah
dengannya. Hanya sebentar saja Bayu berada di pondok ini Pendekar Pulau Neraka itu selalu keluar
mencari Raden Arga Yuda. Mereka akan kembali ke Istana
Gelang Wesi bersama-sama nanti.
Namun sudah dua hari ini Bayu belum juga
bertemu Raden Arga Yuda. Dan hal ini membuat
Dewi Mustikaweni jadi murung. Dia sudah yakin
kalau dirinya bukan anak Sura Antaka, dan
masih mempunyai ibu dan seorang kakak.
Bertahun-tahun terpisah, sejak kecil sehingga
tidak bisa mengenali satu dengan lainnya.
Saat itu hari sudah menjelang senja. Tapi
Bayu belum juga kembali. Dewi Mustikaweni
menunggu di beranda pondok kecil ini. Gadis itu
tidak juga beranjak dari kursinya yang hanya
terbuat dari bambu yang disatukan dengan kulit
kayu. Setiap kali digerakkan tubuhnya, selalu
terdengar suara bergerit.
"He he he.. .r" tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh.
"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget Seketika wajah gadis itu memucat begitu
tiba-tiba di depannya muncul seorang laki-laki tua
berjubah kuning dengan kepala gundul. Di
belakangnya berdiri dua orang bertubuh kekar.
Belum hilang rasa terkejut Dewi Mustikaweni,
dari balik pepohonan dan semak bermunculan
orang-orang berseragam merah yang bergambar
naga pada dadanya. Gadis itu tahu siapa mereka,
terlebih lagi terhadap tiga orang itu.
"Akhirnya kutemukan juga kau di sini, Weni,"
ujar Pendeta Ajisaka.
"Oh, mau apa kalian ke sini?" bentak Dewi Mustikaweni semakin memucat wajahnya.
"Ayahmu menunggu, Weni. Sudah dua hari
kau tidak pulang," kata Macan Gadak.
Dewi Mustikaweni menelan ludahnya.
"Kau tersasar di sini, Cah Ayu" Atau ingin
melarikan diri?" sinisnada suara Pendeta Ajisaka.
"Aku. ., aku," tergagap suara Dewi Mustikaweni. "Ayo kita pulang," ajak Pendeta Ajisaka.
"Tidak!" sentak Dewi Mustikaweni ketika laki-laki berjubah kuning gading itu
menjulurkan tangannya. "O. ., rupanya kau ingin membangkang ya?"
"Aku tidak akan kembali! Aku mau pulang!"
keras nada suara Dewi Mustikaweni.
"Pulang.. " Pulang ke mana, Weni" Ini bukan rumahmu!"bentak Pendeta Ajisaka
jadigusar. "Aku mau pulang ke Ibu!"
Pendeta Ajisaka tersentak kaget Sedangkan
Singo Barong dan Macan Gadak saling berpandangan. Tapi cepat sekali mereka melompat dan tahu-tahu kedua tangan Dewi
Mustikaweni sudah teringkus.
"Akh! Lepaskan.. !" jerit Dewi Mustikaweni berusaha memberontak.
"Hih!" Macan Gadak menotok jalan darah gadis itu.
"Ahhh. .!"
Seketika itu juga tubuh Dewi Mustikaweni
lunglai lemas tak berdaya. Singo Barong
memondongnya. Mereka saling berpandangan
sesaat. "Dia tidak ke sini sendirian, Paman Pendeta,"
kata Singo Barong.
"Kau boleh menunggunya di sini, Singo
Barong. Aku akan membawa bocah nakal ini
pulang," ujar Pendeta Ajisaka.
"Aku bersamamu, Singo Barong," selak Macan Gadak
"Tidak! Kau ikut Paman Pendeta saja," tolak Singo Barong.
Macan Gadak mengangkat bahunya. Dia tahu
kalau Singo Barong sangat keras wataknya.
Sekalibilang hitam, selamanya akan hitam. Tidak
mungkin bisa di-rubah lagi. Macan Gadak
menggantikan Singo Barong memondong Dewi
Mustikaweniyang terkulai tidak sadarkan diri.
"Hati-hati, Singo Barong," ucap Pendeta Ajisaka.
"Akan kubawa kepalanya untuk kalian
semua," kata Singo Barong mantap.
Pendeta Ajisaka menepuk pundak laki-laki
tinggi kekar itu, kemudian melangkah menghampiri kudanya yang dituntun seorang
berbaju merah. Laki-laki tua gundul berjubah
kuning gading itu melompat naik ke kudanya,
kemudian menerima tubuh Dewi Mustikaweni
dari Macan Gadak. Gadis itu tidak bergerak-gerak lagi, lemas karena tertotok
jalan darahnya.
Sebentar saja Pendeta Ajisaka dan Macan
Gadak sudah pergi. Tinggal Singo Barong di
tempat itu ditemani sekitar lima belas orang
berseragam merah dan bergambar naga di bagian
dadanya. Laki-laki berwajah
kasar penuh berewok itu memandang ke sekeliling. Tangannya
menjambret obor yang terpancang di tiang
beranda pondok itu, lalu melemparkannya ke atap
pondok. Api langsung berkobar besar, melahap
atap yang terbuat dari daun-daun kering dan
rerumputan yang teranyam.
"Ha ha ha.. !"
*** 7 Bayu tersentak kaget saat mendapati pondoknya sudah hangus menjadi abu. Dan
belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba di sekelilingnya bermunculan
sekitar lima belas
orang berseragam merah bergambar naga pada
bagian dadanya. Tampak Singo Barong berdiri
tegak. Matanya merah membara, bagai api yang
menghanguskan pondok kecil itu.
Bayu memutar tubuhnya, memandangi orang-
orang yang sudah mengepungnya sambil membawa tombak terhunus. Tatapan matanya
langsung terpaku pada Singo Barong. Laki-laki
inilah yang memenggal kepala Emban Bulem, dan
yang juga berusaha membawa paksa Dewi
Mustikaweni kembali ke dalam sangkar emasnya
yang penuh bergelimang noda lumpur.
"Ha ha ha ha.. ! Tidak semudah itu kau bisa membawa Dewi Mustikaweni!" Singo
Barong tertawa terbahak-bahak.
"Di mana Mustikaweni?" dengus Bayu.
"Bersama ayahnya," sahut Singo Barong
dingin. Singo Barong menjentikkan ujung jarinya. Dan
seketika itu juga lima belas orang berseragam
dengan tombak terhunus, langsung berlompatan
menyerang. Bayu yang sudah kesal karena Dewi
Mustikaweni hilang, semakin menjadi geram
mendapat keroyokan yang membabi buta seperti
ini. "Hiya. .! Hyaaa. .!"
Pendekar Pulau Neraka itu berkelebat cepat
menghindari setiap serangan yang datang, sambil
balas menyerang. Pukulan-pukulannya cepat luar
biasa, dan mengandung tenaga dalam sangat
sempurna. Pekik pertempuran, kini berubah jadi
jerit lengking kematian. Satu persatu tubuh orang berbaju merah bergelimpangan
dengan keadaan remuk. Singo Barong menggeram dahsyat karena
melihat dalam keadaan sebentar saja, lebih dari
separuh anak buahnya tewas. Laki-laki tinggi
kekar itu langsung melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka.
Tidak tanggung-
tanggung lagi, segera dihunus goloknya yang


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar dan panjang.
Wut! "Uts!"
Bayu merundukkan kepalanya ketika merasakan desiran angin kencang mengarah ke
kepalanya. Agak terkesiap juga hatinya begitu
sebuah golok besar melesat di atas kepalanya.
Dan Bayu jadi membeliak. Ternyata belum lagi
diangkat kepalanya, sebatang tombak menyodok
dari arah samping.
"Hih!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu
mengibaskan tangan kirinya memapak tombak
yang menyodok ke arah iga.
Trak! Tombak itu patah. Dan belum lagi pemiliknya
bisa menarik diri, Bayu sudah melompat cepat
sambil mengayunkan satu pukulan bertenaga
dalam luar biasa. Terdengar suara berderak dari
kepala yang pecah. Orang itu menjerit melengking tinggi
sambil memegangi kepalanya, dan langsung ambruk menggelepar di tanah. Dari
kepala yang hancur mengucur darah segar.
Bayu membalikkan tubuhnya. Dipandanginya
Singo Barong dan sisa anak buahnya yang tinggal
tiga orang lagi. Tampak sekali kalau Singo Barong seperti ragu-ragu. Hatinya
gentar juga melihat
anak buahnya tinggal tiga orang lagi. Dua belas
orang tewas dalam waktu sebentar saja.
"Kenapa diam" Kalian takut.. ?" ejek Bayu tersenyum sinis.
"Phuih!"
Singo Barong menyemburkan ludahnya, berusaha mengusir kegentaran yang
melanda hatinya saat ini.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu melintangkan goloknya di depan dada. Tatapan
matanya tajam menusuk ke bola mata Pendekar
Pulau Neraka. Pelahan-lahan kakinya bergerak
menggeser ke samping. Digerak-gerakkan
goloknya di depan dada. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka hanya diam sambil melipat tangan
di depan dada. Terasa sinis senyum yang
mengembang di bibirnya.
Beberapa kali Singo Barong menyemburkan
ludahnya. Setiap kali kakinya bergerak menggeser, Bayu memperhatikan dengan ujung
ekor mata. Pendekar Pulau Neraka itu juga terus
mengawasi tiga orang yang kini memegang
pedang terhunus. Tiga orang berse-ragam merah
itu juga bergerak ke arah yang berlawanan dari
Singo Barong. "Hiyaaat.. !"
Tiba-tiba salah seorang dari tiga orang yang
mengenakan seragam merah, melompat sambil
menusukkan pedangnya dari arah samping
kanan. Bayu menarik tubuhnya ke belakang,
maka tusukan pedang itu hanya lewat di depan
dadanya. Cepat sekali tangan Pendekar Pulau
Neraka itu bergerak, langsung menghantam perut
penyerangnya. Buk! "Heghk. .!"
Saat tubuh orang itu terbungkuk, Bayu
menghantamkan satu pukulan keras bertenaga
dalam hampir mencapai kesempurnaan. Pukulannya telak menghantam punggung, hingga
orang itu terjerembab mencium tanah. Satu
tendangan keras membuat orang itu terpental dan
tewas seketika. Baru saja Bayu berdiri tegak dua orang lainnya langsung
berlompatan menyerang.
Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan.
"Hup! Hyaaa.. !"
*** Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan
dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.
Seketika itu juga secercah cahaya keperakan
melesat bagai kilat dari pergelangan tangan
kanannya. Cakra Maut pun langsung meluncur
membabat leher kedua orang yang terbengong
sesaat. Jeritan melengking terdengar menyayat mengiringi kematian dua orang berbaju merah
itu. Leher mereka hampir putus terbabat ujung
Cakra Maut yang berjumlah enam buah. Bayu
mengangkat tangannya ke atasi begitu kakinya
mendarat di tanah. Maka Cakra Maut senjata
andalan Pendekar Pulau Neraka itu kembali
melekat di pergelangan tangannya.
"Giliranmu sudah tiba, Singo Barong!" desis Bayu dingin dan datar. Tatapan
matanya tajam menusuk. "Hua ha ha ha. .!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak. "Kau pikir mudah
menjatuhkan aku, bocah setan! Jangan bangga dulu bisa
membasmi tikus-tikus tidak berguna itu, keparat!" Wut! Singo Barong mengebutkan goloknya yang
begitu besar ke arah perut Pendekar Pulau
Neraka. Tapi hanya dengan menarik sedikit
tubuhnya ke belakang, golok itu hanya membabat
angin di depan perut Pendekar Pulau Neraka.
Begitu besar tenaga yang dimiliki Singo
Barong, sehingga angin kibasan goloknya saja
sudah bisa membuat Bayu terdorong sedikit ke
belakang. Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka
itu bisa menguasai diri, Singo Barong sudah
melompat sambil berteriak keras menggelegar.
Satu tendangan dahsyat dilepaskan mengarah ke
dada. "Uts!"
Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya
berputar ke belakang. Dan tendangan keras itu
luput dari sasaran. Namun rupanya Singo Barong
tidak memberi kesempatan kepada Pendekar
Pulau Neraka itu untuk balas menyerang. Bayu
terus dicecar dengan jurus-jurus yang dahsyat dan selalu mengandung tenaga luar
biasa. Pendekar
Pulau Neraka terpaksa berpelantingan menghindari serangan yang tidak ada henti-
hentinya itu. Sekalipun tidak ada kesempatan
untuk balas menyerang.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa
mereka sudah menghabiskan lebih dari dua puluh
jurus, tapi belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Bayu sempat memungut
sebuah pedang yang tergeletak di tanah,
dan langsung dibabatkan ke tubuh Singo Barong. Bukan main
tercengangnya Bayu, karena pedang itu patah
saat menghantam tubuh laki-laki tinggi tegap
dengan wajah kasar penuh berewok.
"Hua ha ha ha.. !" Singo Barong tertawa terbahak-bahak.
Dia bertolak pinggang dengan pongahnya. Se-
mentara Pendekar Pulau Neraka hanya memandangi tanpa berkedip. Di tangan kanannya
masih tergenggam sebatang
pedang yang buntung. Bayu melempar pedang itu, lalu
dipungutnya pedang lain yang tergeletak dekat
ujung kakinya. Sambil berteriak keras, Pendekar
Pulau Neraka itu mengibaskan pedangnya, tepat
mengarah ke leher.
"Hiyaaat..!" Trak!
"Ha ha ha ha. .!"
Buru-buru Bayu melompat mundur begitu
mata pedang yang dipungutnya dari tanah telah
patah jadi dua. Sedangkan kulit leher Singo
Barong tidak tergores sedikit pun juga. Malah
orang berewokan itu tertawa terbahak-bahak
berkacak pinggang.
Gila! Ilmu apa yang digunakan?" dengus Bayu keheranan.
"Keluarkan semua kepandaianmu, bocah!"
tantang Singo Barong pongah.
"Hmmm.. ," Bayu menggumam pelan.
Dengan ujung jari kakinya, dijentik sebilah
pedang, dan langsung ditangkapnya. Sebentar
dipandangi pedang yang berkilat keperakan. Lalu
dijentikkannya ujung pedang itu dengan ujung
jari tangan kiri.
Tring! Suara tawa Singo Barong langsung lenyap
begitu melihat pedang di tangan Pendekar Pulau
Neraka terpotong tepat pada bagian tengahnya.
Padahal tadi ujungnya hanya disentil sedikit saja.
Singo Barong terkesiap. Dia sadar kalau ilmu
tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju kulit
harimau itu sukar untuk diukur ketinggiannya.
"Cuma pedang mainan. Tidak heran kalau
tubuhmu kebal," dengus Bayu setengah bergumam. "Phuih! Keluarkan senjatamu, bocah!" geram Singo Barong
"Hmmm.. . Aku jadi ingin tahu, sampai di
mana kekebalan tubuhmu," gumam Bayu ringan
seraya tersenyum sinis.
Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan
kakinya ke samping. Lalu dengan satu kaki kiri
ditekuk ke depan, dimiringkan tubuhnya ke kiri.
Tangan kanannya disilangkan di depan dada.
Sebentar diliriknya Singo Barong yang masih
berdiri tegak bertolak pinggang. Laki-laki tinggi kekar itu tertawa terbahak-
bahak dengan sikap
meremehkan. "Hih! Hyaaa. .!"
Bayu mengibaskan cepat tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga Cakra Maut melesat
bagai kilat. Hanya secercah cahaya keperakan
yang terlihat berkelebat cepat, langsung mengarah ke dada Singo Barong yang terbuka.
Laki-laki tinggi tegap dengan wajah penuh
berewok itu tidak bergeming sedikit pun.
Sikapnya sungguh meremehkan. Tidak pelak lagi,
Cakra Maut menghantamdadanya dengan keras.
"Aaakh.. !" Singo Barong menjerit melengking tinggi.
Tampak Cakra Maut menancap dalam pada
dada berbulu lebat itu. Darah langsung merembes
keluar begitu tangan Bayu terhentak ke atas.
Cakra Maut itu pun kembali melesat keluar
setelah merobek dada Singo Barong. Tubuh tinggi
besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Singo
Barong menekap dadanya yang mengucurkan
darah segar. Wajahnya pucat seketika itu juga.
Sementara Cakra Maut sudah menempel kembali


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Bruk! Singo Barong ambruk ke
tanah, dan menggelepar sambil menggerung keras. Sedangkan Bayu hanya memandangi saja sambil
melipat tangannya di depan dada. Cukup lama
juga Singo Barong menggelepar. Pendekar Pulau
Neraka yakin kalau sebentar lagi orang itu pasati akan tewas. Tapi mendadak
saja. .. "Hiyaaa.. !" Singo Barong berteriak keras, dan tubuhnya melesat bangkit berdiri.
"Heh?" Bayu tersentak kaget setengah mati, sampai terlonjak mundur tiga langkah.
Darah masih mengucur deras dari dada yang
berlubang sangat dalam. Singo Barong meraung
keras menggelegar sambil memutar goloknya di
atas kepala. Laki-laki berwajah seram itu berlari cepat sambil mengerahkan
seluruh kekuatannya.
Golok besar itu menderu keras mengibas ke arah
tubuh Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!"
Bayu melompat ke samping, menghindari
tebasan golok besar itu. Tanpa diduga kakinya
melayang cepat memberikan satu tendangan
bertenaga dalam sangat sempurna. Tendangan
menggeledek itu telak mendarat di bagian kepala
sebelah kiri Singo Barong.
"Argh. .!" Singo Barong meraung keras.
Dengan cepat Singo Barong berbalik, sambil me-
ngebutkan goloknya. Tidak dipedulikannya lagi
darah yang menyemburat keluar dari kepalanya
yang pecah. Bayu melompat cepat melewati kepala
manusia kuat itu. Dan sekali lagi didaratkan
tendangan keras ke kepala, lalu disusul dua
pukulan beruntun begitu kakinya mendarat di
belakang Singo Barong Kemudian Pendekar
Pulau Neraka itu melepaskan Cakra Mautnya,
langsung mengoyak leher laki-laki tinggi kekar
itu. "Aaarghk. .!" Singo Barong meraung keras menggelegar.
Sebentar tubuhnya masih bisa berdiri tegak,
beberapa saat mulai limbung, dan ambruk
menggelepar di tanah. Sungguh mengerikan
keadaan tubuhnya. Kepalanya pecah berlumuran
darah. Lehernya koyak hampir putus terbabat
senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka.
Bagian punggungnya melesak masuk ke dalam,
dan dadanya bolong bersimbah darah.
Hanya sebentar Singo Barong menggelepar,
sesaat kemudian tubuhnya diam tidak bergerak-
gerak lagi. Laki-laki berwajah kasar penuh
berewok itu tewas seketika setelah beberapa kali mendapat pukulan dan tendangan
keras disertai hunjaman Cakra Maut. Bayu menarik napas
panjang, melonggarkan rongga dadanya yang
terasa sesak seketika.
*** Suasana di sekitar bangunan besar yang
dikelilingi tembok tinggi kokoh, tampak sunyi
sepi. Bayu mengamati sekitar bangunan besar
bagai istana itu dari atas benteng bagian belakang Tatapan matanya lurus tertuju
langsung ke jendela kamar yang terbuka. Pendekar Pulau
Neraka itu tahu kalau itu kamar Dewi
Mustikaweni. "Hm.. ." Bayu menggumam pelan ketika tiba-tiba matanya menangkap satu sosok
bayangan berkelebat cepat ke atasatap.
Malam ini cukup gelap, sehingga tidak dapat
terlihat jelas bayangan hitam itu. Juga setelah
berada di atap, Pendekar Pulau Neraka itu tidak
bisa melihat sosok tubuh yang merapat pada atap
bangunan bagai istana itu.
Belum sempat Bayu bisa mengenali sosok
tubuh di atap itu, mendadak dikejutkan oleh
denting senjata beradu, disusul pekik pertempuran dan jerit melengking tinggi. Pada
bagian samping bangunan besar ini, terlihat
empat orang tengah bertarung melawan sekitar
tiga puluh orang berseragam merah.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu
kembali tertuju pada sosok tubuh di atas atap.
Tapi dia terkejut, karena tiba-tiba saja sosok
tubuh itu lenyap. Tubuhnya telah meluruk ke
bawah, terhalang sebuah tembok batu yang
tinggi. Namun beberapa saat kemudian,
terdengar lagi suara pertarungan dari balik
tembok itu. Tampaklah kini dua sosok tubuh
melesat ke atas atap. Dua orang itu tengah
bertarung sengit di atas atap bangunan besar
bagai istana itu.
"Gagak Codet.. ," desis Bayu begitu mengenali salah seorang yang bertarung
diatas atap. Sedangkan yang seorang lagi adalah si Macan
Gadak. Bayu bisa mengenali mereka karena
sudah bertemu beberapa kali. Pendekar Pulau
Neraka itu langsung bisa mengerti, kenapa Macan
Gadak dan Gagak Codet bertarung. Bayu tahu
kalau Macan Gadak adalah salah seorang
kepercayaan Sura Antaka. Sedangkan Gagak
Codet selalu berusaha menculik Dewi Mustikaweni, dengan cara apa pun juga. Tapi. .
Bayu langsung mengalihkan pandangannya
pada pertempuran di tempat lain. Dia bisa
mengenali empat orang yang bertarung melawan
keroyokan orang berseragam merah bergambar
naga pada dadanya. Empat orang itu adalah para
panglima dari Kerajaan Gelang Wesi. Tapi di
mana Raden Arga Yuda. ." Pertanyaan ini
menyentakkan kesadaran Pendekar Pulau Neraka itu. bergegas tubuhnya melompat turun,
masuk ke dalam lingkungan markas Partai Naga
Merah ini. "Hup. .!"
Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Pulau
Neraka itu sudah berada di pinggir jendela kamar Dewi Mustikaweni. Pemuda
berbaju dari kulit
harimau itu menjulurkan kepalanya ke dalam.
Kedua matanya sedikit menyipit, karena keadaan
di dalam kamar itu berentakan sekali. Persis baru saja terjadi pertempuran di
sini. Terlihat dua
sosok mayat berbaju merah menggeletak terhimpit balok kayu.
"He he he he... Akhirnya kau datang juga,
Pendekar Pulau Neraka!"
"Heh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari arah
belakangnya. Dan baru saja dia menoleh, mendadak
secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai
kilat meluncur ke arahnya. Bayu bergegas
memiringkan tubuhnya ke samping, maka cahaya
keperakan itu menghantam dinding kamar.
Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu melirik
Tampak sebilah pisau kecil tipis tertanam dalam
pada dinding tembok.
"Oh! Huppp. .!"
Begitu kepala Pendekar Pulau Neraka itu
berpaling, mendadak sebuah bayangan kuning
berkelebat menyambar. Secepat kilat Pendekar
Pulau Neraka melesat ke samping. Langsung
dijatuhkan tubuhnya, bergulingan beberapa kali
di tanah. Secepat itu pula dia melompat, bangkit.
Namun bayangan itu kembali melesat dan cepat
menyerangnya. "Hup! Hyaaa.. !"
*** 8 Bagai seekor burung, Bayu melentingkan
tubuhnya ke atas begitu mendapat serangan dari
bayangan kuning Dan secepat itu pula tubuhnya
menukik deras, langsung memberikan satu
pukulan keras pada sosok bayangan kuning itu.
Bug! "Heghk!" terdengar satu keluhan pendek begitu satu pukulan keras didaratkan
Pendekar Pulau Neraka. Tampak satu sosok tubuh bergulingan di
tanah. Bayu mendarat ringan tidak jauh dari
orang yang sedang berusaha bangkit berdiri.
Seorang tua kurus berbaju jubah panjang
berwarna kuning gading. Kepalanya gundul, dan
di tangan kanannya tergenggam seuntai rangkaian batu hitam sebesar ibu jari.
"Pendeta Ajisaka. .," Bayu mengenali laki-laki tua berjubah kuning itu.
Pendeta Ajisaka menggeram sambil menyeka
darah yang menetes dari sudut bibirnya. Pukulan
Pendekar Pulau Neraka tadi tepat menghantam
punggungnya. Sungguh keras. Meskipun tidak
disertai pengerahan tenaga dalam, namun cukup
membuat Pendeta Ajisaka meringis menahan
sakityang amat sangat.
"Di mana kau sembunyikan Dewi Mustikaweni?" tanya Bayu dingin.
"Phuih! Untuk apa kau tanyakan anak setan
itu"!" dengus Pendeta Ajisaka.
"Dia bukan anak setan, tapi kau pendeta iblis!"
tiba-tiba terdengar suara keras.
Belum lagi hilang dari pendengaran, tahu-tahu
di samping Pendekar Pulau Neraka berdiri
seorang laki-laki berbaju kumal dan berwajah
buruk. Sebuah luka menggores di pipi kiri,
menambah seram raut wajahnya. Sebuah caping
dari anyaman bambu bertengger di punggung.
Bayu sempat melirik laki-laki yang pernah
bertemu dengannya di tepi danau. Saat itu, dia
yang dikenal bernama Gagak Codet hendak
membawa paksa Dewi Mustikaweni. Pendekar
Pulau Neraka itu menggeser kakinya agak
menjauhi Gagak Codet
"Berikan iblis keparat ini padaku, Bayu. Cari saja Dewi Mustikaweni. Dia pasti
bersama Sura Antaka," kata Gagak Codet seraya melirik
Pendekar Pulau Neraka.
Agak heran juga Bayu mendengar kata-kata
itu. Yang lebih mengherankan lagi, suara itu
seperti pernah dikenalnya. Bahkan Gagak Codet
juga menyebutnama asli Pendekar Pulau Neraka.
Padahal mereka baru sekali bertemu, dan belum
saling menyebutkan nama masing-masing.
Belum juga Bayu sempat bertanya sesuatu,
Gagak Codet sudah melompat menerjang Pendeta
Ajisaka. Bayu jadi kebingungan sendiri jadinya.
Tapi baru saja akan melangkah, sesuatu menetes
di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka itu
mendongak ke atas, dan kontari menggelinjang
terkejut Di atas atap, tampak sesosok tubuh membujur
dengan leher terpenggal hampir buntung.
Darahnya menetes ke bawah. Pendekar Pulau
Neraka itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan
hinggap di samping tubuh yang sudah jadi mayat
itu. Dibalikkan kepala mayat itu. Kedua bola
matanya kontan membeliak lebar begitu mengenali mayat itu.
"Macan Gadak. .," desis Bayu menahan
keterkejutannya.
Belum lama, Bayu melihat Macan Gadak
bertempur melawan Gagak Codet Tapi sekarang


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengikut Sura Antaka itu sudah jadi mayat, tepat saat Gagak Codet muncul.
Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Matanya mencari-cari kalau-kalau
melihat Raden Arga Yuda. Tapi yang dapat
terlihat hanya pertarungan empat panglima
Kerajaan Gelang Wesi melawan orang-orang
berseragam merah. Tidak jauh di bawahnya,
Gagak Codet tengah bertarung sengit melawan
Pendeta Ajisaka.
"Ke mana Raden Arga Yuda. .?" desis Bayu bertanya pada dirinya sendiri.
Belum juga terjawab pertanyaan itu, tiba-tiba
saja beberapa batang tombak meluruk ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Mau tidak mau Bayu
harus melompat menghindari serbuan tombak
yang berjumlah puluhan itu. Dan baru saja
kalanya mendarat di tanah, sekitar tiga puluh
orang berbaju merah dengan gambar naga pada
dadanya sudah berlompatan menyerang
Pendekar Pulau Neraka itu jadi sibuk sesaat
namun cepat menguasai keadaan. Dengan jurus-
jurus maut, dihalaunya serangan yang datang
dari segala penjuru. Setiap pukulan dan
tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Pekik lengking kematian terdengar saling
sambut Satu persatu tubuh bergelimpangan jadi
mayat. Darah bersimbah membasahi tanah. Bayu
tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkan
jurus andalannya, sehingga amukannya sukar
dibendung lagi. Pendekar Pulau Neraka saat ini
benar-benar mencemaskan keselamatan Raden
Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni. Prabu
Nayadarma sudah memberikan titah untuk
menjaga keselamatan dua orang itu. Menyadari
sampai saat ini belum bisa mengetahui keadaan
Raden Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni,
Pendekar Pulau Neraka itu langsung memperhebat serangan-serangannya. Gerakan
nya sungguh cepat luar biasa, sehingga sukar
untuk diikuti oleh pandangan mata biasa.
Sebentar saja tiga puluh orang pengeroyoknya
sudah bergelimpangan tanpa nyawa lagi. Pendekar Pulau Neraka langsung melompat
menuju ke arah pertarungan empat orang
panglima dengan orang-orang dari Partai Naga
Merah itu. Namun pada saat itu, terlihat dua
orang panglima terjungkal roboh, dan tubuhnya
berlumuran darah.
"Mundur kalian. . '" seru Bayu keras.
"Bayu.. !" seru salah seorang panglima itu langsung saja melompat mundur,
diikuti seorang
lagi. Tapi orang-orang berseragam merah dengan
gambar naga di bagian dada, tidak membiarkan
lawannya mundur begitu saja. Mereka terus
merangsek, sehingga membuat Bayu geram
bukan main. Pendekar Pulau Neraka itu langsung
meluruk sambil melepaskan Cakra Maut.
*** Sementara itu di lain tempat, Gagak Codet
semakin mendesak Pendeta Ajisaka. Serangan-
serangannya yang dahsyat sukar dibendung lagi.
Laki-laki tua berjubah kuning gading dan
berkepala gundul itu sudah jatuh bangun
menghadang setiap serangan yang datang. Darah
sudah membasahi jubahnya. Dua kali pedang
Gagak Codet merobek tubuhnya yang kurus.
"Mampus! Hiyaaa. .!" seru Gagak Codet tiba-tiba.
Seketika itu juga pedang di tangan Gagak
Codet berkelebat cepat mengarah ke dada.
Namun Pendeta Ajisaka masih mampu mengelak
dengan menarik tubuhnya ke belakang. Tapi
tanpa diduga sama sekali, Gagak Codet memutar
pedangnya ke atas, langsung menusuk ke arah
leher. Crab! "Aaakh.. !" Pendeta Ajisaka menjerit keras agak tertahan.
Pedang Gagak Codet menghunjam leher
pendeta gundul itu hingga tembus ke belakang.
Dengan sekali hentak saja, leher laki-laki tua itu sudah robek lebar. Darah
muncrat keluar dengan
derasnya. Dan belum sempat Pendeta Ajisaka
mengeluarkan suara, Gagak Codet sudah
melompat. Langsung saja dikirimkan satu
tendangan menggeledek disertai pengerahan
tenaga dalam penuh. Tendangan itu tepat
mendarat di dada Pendeta Ajisaka.
"Aaaa. .!" Pendeta Ajisaka menjerit keras melengking tinggi.
Tubuh kurus berjubah kuning gading penuh
darah itu terpental deras menghantam dinding
batu hingga jebol berantakan. Hanya sebentar
laki-laki tua kurus berkepala gundul itu mampu
bergerak, tapi sesaat kemudian sudah diam tak
berkutik lagi. Pendeta Ajisaka tewas seketika itu juga.
"Hhh. .!" Gagak Codet menarik napas panjang dan dalam.
Sebentar matanya merayap ke sekeliling.
Terlihat Pendekar Pulau Neraka tengah mengamuk membantai orang-orang berseragam
merah. Sedangkan dua orang panglima dari
Kerajaan Gelang Wesi hanya memperhatikan
saja, tapi sesekali juga mengibaskan pedangnya
jika ada yang mencoba menyerang.
"Hhh. .! Aku harus cepat mencari Dinda
Mustikaweni," desah Gagak Codet
Laki-laki berwajah buruk dengan
luka memanjang membelah pipi itu langsung melompat masuk ke dalam kamar yang
berantakan. Dia berlari cepat menerobos pintu
yang rusak, hancur berkeping-keping. Gagak
Codet terus berlari menyusuri lorong. Setiap pintu yang ditemui langsung
didobrak, dan diperiksa
setiap kamar. Gagak Codet tiba di ruangan luas
yang lantainya dari batu pualam putih berkilat.
Sebentar dipandangi ruangan pertemuan itu.
Tidak ada siapa-siapa di sini.
Pelahan-lahan Gagak Codet melangkah menyeberangi ruangan itu. Matanya tajam
memandang ke sekeliling Ayunan kakinya
kembali terhenti setelah sampai pada bagian
ruangan depan. Satu ruangan yang biasa
digunakan untuk menerima tamu. Di sini juga
sepi, malah keadaannya berantakan sekali. Gagak
Codet melompat cepat keluar begitu matanya
menangkap sebuah bayangan berkelebat melintasi pintu depan bangunan besar ini.
"Tolooong.. !" tiba-tiba saja terdengar suara jeritan melengking.
"Dinda Weni. .," desis Gagak Codet.
Cepat sekali Gagak Codet melentingkan
tubuhnya menuju ke sumber arah suara jeritan
tadi. Jelas sekali kalau suara itu adalah jeritan seorang perempuan. Gagak Codet
terhenyak kaget begitu sampai di sebuah tempat yang tidak
begitu besar, namun terdapat banyak senjata
terpajang. Tempat yang terbuka, hanya terdiri
dari pilar-pilar yang dinaungi atap. Lantainya
sangat keras, terbuat daribatu hitam berkilat
Wus! Gagak Codet berpaling ketika telinganya
mendengar suara desiran angin yang mengarah
ke dirinya. Dan tubuhnya langsung melesat cepat
ke atas, begitu terlihat secercah
cahaya kemerahan meluncur deras ke arahnya. Suara
ledakan keras terjadi saat sinar kemerahan itu
menghantam pilar.
"Hup!"
Gagak Codet melompat cepat keluar dari
bangsal latihan itu, begitu dua sinar kemerahan
kembali meluncur ke arahnya, dan kembali
menghantam pilar. Akibatnya atap bangsal itu
roboh, membuat suara gaduh menggetarkan
bumi. Manis sekali Gagak Codet mendarat di
tanah. Namun belum juga berdiri sempurna,
matanya membeliak lebar. .
*** "Weni. .," desis Gagak Codet
Dewi Mustikaweni tampak tidak berdaya
terikat pada sebatang tonggak kayu. Pandangan
gadis itu redup, seakan tidak memiliki gairah
hidup lagi. Pelahan-lahan Gagak Codet menghampiri. Namun baru saja berjalan tiga
tindak, mendadak sebuah bayangan berkelebat
cepat di depannya. Tahu-tahu seorang laki-laki
setengah baya sudah berdiri tegak sekitar satu
batang tombak di depan Gagak Codet
"Sura Antaka. .!" desis Gagak Codet tertahan suaranya.
"Tidak perlu menyamar, Arga Yuda! Aku
sudah tahu, siapa kau sebenarnya!" dingin nada suara Sura Antaka.
"Iblis keparat. ! Lepaskan adikku!" bentak Gagak Codet yang ternyata memang
Raden Arga Yuda. "Ha ha ha ha. .!" Sura Antaka tertawa
terbahak-bahak.
Pada saat itu, Pendekar Pulau Neraka telah
muncul. Pemuda berbaju kulit harimau itu datang
karena juga mendengar jeritan minta tolong yang
melengking Tidak berapa lama, dua orang
panglima dari Kerajaan Gelang Wesi juga tiba.
Mereka berdiri di belakang Raden Arga Yuda,
atau si Gagak Codet Bayu menghampiri laki-laki
yang memakai baju kumal itu.
Gagak Codet melepaskan capingnya yang me-
nyampir di punggung. Dengan caping itu, dirinya
juga dikenal sebagai Pendekar Caping Bambu.
Pemuda itu memang pandai menyamarkan diri.
Dan setiap kali menyamar, tidak ada yang dapat
mengenali lagi. Sungguh sempurna samarannya.
Pemuda itu melepaskan rambut palsu, dan juga
tempelan-tempelan yang membuat wajahnya jadi
buruk. Kini yang terlihat adalah seraut wajah
tampan. Bayu sendiri sempat berdecak kagum,
mebhat penyamaran yang begitu sempurna. Kini
baru dimengerti kalau tiga nama yang menjadi
bahan pemikirannya selama ini hanya satu orang
yang memilikinya.
"Bagus! Kalian sudah kumpul di sini. Dan itu berarti akan terbang ke neraka
bersama-sama!"
dingin nada suara Sura Antaka.
"Hanya kau yang ke neraka. Sura Antaka!"
dengus Raden Arga Yuda datar.
"Ha ha ha ha. .! Kalian lihat ini!"
Sura Antaka melompat. Langsung disambarnya sebuah obor yang terpancang tidak
jauh darinya. Kemudian digeser kakinya mendekati Dewi Mustikaweni.
Bayu dan Raden Arga Yuda melirik ke bawah
kaki gadis itu. Tampak setumpuk kayu bakar
melingkar. Kedua anak muda itu
saling

Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpandangan. Sekali saja Sura Antaka melemparkan obor itu, api kontan akan melahap
tubuh Dewi Mustikaweni. Dan ini yang tidak
diinginkan sama sekali.
"Bagaimana, Bayu?" bisik Raden Arga Yuda.
"Mundurlah," sahut Bayu.
"Gila! Susah payah aku berusaha mengeluarkan Dewi Mustikaweni dari sini,
sekarang kau suruh aku mundur!" rungut Raden Arga Yuda.
"Kalau tidak ingin kehilangan adikmu,
mundurlah. Biar aku yang menyelesaikan," kata Bayu tegas, namun terdengar tenang
nada suaranya. "Apa yang akan kau lakukan, Bayu?" tanya Raden Arga Yuda.
"Entahlah," tenang sekali Bayu menjawab.
"Jangan main-main, Bayu. Nyawa adikku
harus selamat!"
"Kalau kau percaya padaku, mundurlah!"
tegas kata-kata Bayu
"Kau sudah bertindak sendiri, dan telah
merusak semua rencanaku. Kalau adikmu sampai
tewas, itu karena kesalahanmu, Raden!"
Raden Arga Yuda terdiam. Memang selama ini
semua kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini tidak
diturutinya. Padahal Bayu telah diberi kekuasaan oleh Prabu Nayadarma untuk
membebaskan Dewi Mustikaweni dari tangan Sura Antaka.
Raden Arga Yuda menganggap tindakan Bayu
terlalu lambat sehingga dia tidak sabaran
menunggu. Terpaksa digunakan keahliannya
menyamar, mengacaukan semua rencana Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan juga
menyusup ke sarang Partai Naga Merah ini, lalu
membocorkan setiap gerakan dan rencana
penyergapan. Suatu saat, Raden Arga Yuda juga pernah
mencoba membawa Dewi Mustikaweni secara
paksa, seperti seorang penculik. Tapi semuanya
gagal. Maksudnya adalah membebaskan adiknya
tanpa melibatkan orang lain. Lebih-lebih melibatkan pihak Kerajaan Gelang Wesi. Tapi
sekarang nyawa adiknya yang sudah sekian
tahun berpisah, menjadi terancam keselamatannya. Dan semua itu akibat ulahnya,
kecerobohannya, dan ketidaksabarannya.
Pelahan-lahan Arga Yuda melangkah mundur
sambil memberi isyarat pada kedua panglimanya
untuk mundur juga. Sedangkan Pendekar pulau
Neraka tetap berdiri tegap pada tempatnya.
Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola
mata Sura Antaka. Sementara Sura Antaka
sudah semakin mendekati Dewi Mustikaweni
yang terikat tak berdaya pada tonggak.
"Apa lagi yang kau tunggu, Sura Antaka" Aku tidak peduli seandainya kau
lemparkan obor itu!"
kata Bayu dingin menantang.
Kata-kata Bayu yang tegas dan lantang itu
mengejutkan Raden Arga Yuda. Namun pemuda
itu hanya diam saja, dan kembali melangkah
mundur semakin menjauh. Pemuda yang masih
didampingi dua orang panglima itu, berhenti
setelah jaraknya cukup jauh juga.
"He he he.. ! Kau memang tidak akan peduli
atas nasibnya, Pendekar Pulau Neraka. Tapi Arga
Yuda tidak mungkin bisa menerima kematian
adiknya. Dan sudah tentu kau tidak luput dari
sasarannya, bahkan pihak kerajaan juga akan
mengejarmu!" kata Sura Antaka disertai tawa terkekehnya.
"Aku seorang pengembara, Sura Antaka. Aku
tak akan peduli semua itu. Di mana pun berpijak, di situ aku harus menghadapi
iblis macam kau!"
sahut Bayu dingin.
"Keparat! Kau menantangku, bocah"!" geram Sura Antaka.
Kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang
terdengar tenang itu, membuat wajah Sura
Antaka memerah padam. Kata-kata itu sungguh
menyakitkan gendang telinganya. Jelas nadanya
menantang dan meremehkan.
"Aku ingin tahu, sampai di mana kau sanggup melihat gadis ini mati terbakar!"
geram Sura Antaka mengancam.
"Silakan," tantang Bayu.
"Phuih!"
Sura Antaka menyemburkan ludahnya. Seketika itu juga dilemparkan obor di
tangannya. Arga Yuda menjerit keras, begitu juga Dewi
Mustikaweni. Gadis itu memekik melengking dan bola matanya membeliak lebar.
Namun pada saat yang kritis itu, secepat kilat
Bayu mengibaskan tangan kanannya ke depan.
Maka secercah cahaya keperakan langsung
melesat bagai kilat.
Bersamaan meluncurnya Cakra Maut, secepat
itu pula Pendekar Pulau Neraka melompat ke
arah Sura Antaka. Semua itu dilakukan begitu
cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga sukar untuk bisa disadari lebih lanjut.
*** Sura Antaka sendiri jadi terkejut bukan main.
Sebelum obor yang dilemparkannya jatuh, Cakra
Maut sudah menghantam nyala api obor itu
hingga padam. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, laki-laki setengah baya itu harus melompat ke samping
menghindari terjangan
Pendekar Pulau Neraka. Namun gerakannya
terlambat sedikit. Akibatnya, sepakan kaki Bayu
Hanggara masih sempat menyambar bahunya.
"Akh!" Sura Antaka memekik tertahan.
Tubuh laki-laki setengah baya itu sedikit
limbung. Dan belum lagi bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah kembali
menyerang setelah menarik tangannya ke atas.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan,
bersamaan dengan melekatnya kembali Cakra
Maut ke arah pergelangan tangan kanannya.
"Uts!"
Sura Antaka memiringkan tubuhnya ke kiri,
menghindari tendangan keras menggeledek itu.
Dan buru-buru dia melompat ke belakang.
Seketika itu juga dicabut pedangnya yang
tergantung di pinggang. Lalu. .
"Hiyaaat.. !"
"Hap!"
Bayu mengibaskan tangan kanannya ketika
Sura Antaka membabatkan pedangnya menyamping ke arah dada. Tak dapat dihindarkan lagi. Mata pedang Sura Antaka
menghantam pergelangan tangan kanan lawan.
Tring! Sura Antaka tersentak kaget ketika pedangnya
membentur pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu. Dia langsung melompat mundur, dan
memeriksa mata pedangnya. Kedua matanya
kontan membeliak lebar melihat mata pedangnya
gompal. Sedangkan pergelangan tangan Bayu
tidak mengalami luka sedikit pun. Ternyata
pedang itu tepat menghantam Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu. "Keparat. .!" geram Sura Antaka. Laki-laki setengah baya itu melemparkan
pedangnya, kemudian mencabut sepasang tongkat pendek
yang kedua ujungnya runcing. Tongkat itu
berwarna merah menyala bagai terbakar. Sambil
berteriak keras, Sura Antaka melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan
sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Sementara di tempat lain yang agak jauh,
Raden Arga Yuda dan dua panglima dari
Kerajaan Gelang Wesi memperhatikan tanpa
berkedip. Mereka begitu terpesona, sehingga lupa terhadap Dewi Mustikaweni yang
masih terikat pada tonggak kayu.
Jurus demi jurus berlalu cepat tanpa terasa.
Namun pada saat memasuki jurus kesebelas, satu
pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sura Antaka
berusaha membendung dengan mengibaskan satu
tangkannya. Dugaannya, Bayu akan menarik
pulang pukulannya. Namun yang terjadi justru
sangat mengejutkan.
"Hyaaa.. !"
Trak! Bayu tidak menarik pulang pukulannya,
bahkan dikempos tenaga dalamnya agar lebih
tinggi lagi. Satu pukulan bertenaga dalam hampir mencapai taraf kesempurnaan itu
langsung menghantam tongkat merah pendek hingga patah
jadi dua bagian. Sura Antaka tersentak kaget
Tapi belum juga bisa menarik mundur dirinya,
Bayu sudah melepaskan lagi satu pukulan
telaknya. "Hup!"
Buru-buru Sura Antaka membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali
menjauh. Dan pada saat melompat bangkit, Bayu
telah mengibaskan tangan kanannya sambil agak
membungkuk miring ke kiri. Seketika itu juga
Cakra Maut yang selalu menempel pada
pergelangan tangan kanannya melesat bagai
kilat. Sesaat Sura Antaka terkesiap. Dan belum lagi
bisa melakukan sesuatu, mendadak saja Cakra
Maut itu sudah menghunjam dalam di perutnya.
Sura Antaka menjerit keras sambil memegangi
perutnya yang sobek Darah mengalir keluar
demikian deras.
"Saatmu sudah tiba, Sura Antaka!" bentak Bayu menggelegar.
"Hiyaaa.. !"
Pendekar Pulau Neraka itu melompat cepat
lalu berputar dua kali di udara. Begitu kakinya
mendarat tepat di depan laki-laki setengah baya
itu, kedua tangannya bergerak cepat menghantam kepala Sura Antaka dari dua sisi.
"Prak!"
"Aaa. .!" Sura Antaka menjerit melengking tinggi. Kedua tangan Pendekar Pulau
Neraka mengepruk kepala Sura Antaka hingga hancur.
Dan sebelum tubuh laki-laki setengah baya itu
ambruk, satu pukulan keras

Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali menghantam dada. Tak ayal lagi, tubuh setengah
baya itu terpental jauh dan menghantam
sebatang pohon hingga tumbang. Sedikit pun tak
ada gerakan. Sura Antaka tewas seketika itu juga.
Bayu melompat cepat menghampiri Dewi
Mustikaweni, lalu melepaskan ikatan pada
tangan gadis itu. Dewi Mustikaweni langsung
memeluk pemuda berbaju kulit harimau itu, dan
seketika tangisnya pecah dalam pelukan Bayu
Hanggara. Tampak Arga Yuda dan dua orang
panglimanya menghampiri. Pelahan Bayu melepaskan pelukan Dewi Mustikaweni.
"Kakakmu, Weni," bisik Bayu seraya melirik Raden Arga Yuda yang sudah berada
dekat. Dewi Mustikaweni menatap Bayu sejenak, lalu
beralih pada pemuda berwajah tampan yang
pernah masuk ke dalam kamarnya beberapa hari
yang lalu. Pemuda yang juga pernah akan
menculiknya dalam penyamaran bernama Gagak
Codet. Dewi Mustikaweni kembali menatap Bayu
Hanggara, dan Pendekar Pulau Neraka itu
mengangguk seraya memberikan senyuman
manis. "Kakang.. ," desah Dewi Mustikaweni.
"Adikku. ., Weni."
Dua manusia yang sudah terpisah sekian
tahun lamanya itu saling berpelukan, melepaskan
kerinduan yang selama ini terpendam dalam
dada. Dewi Mustikaweni tidak bisa lagi menahan
air matanya. Sebuah tangisan bahagia, haru, dan
entah apa lagi yang ada dalam dadanya. Yang
jelas, perasaannya seperti meledak-ledak. Betapa tidak" Ternyata, setelah hampir
sekian tahun, baru sekaranglah dia bertemu saudara sekandungnya. Sementara Pendekar Pulau Neraka menarik
napas panjang. Sebentar ditatapnya kakak
beradik yang sedang berpelukan itu, kemudian
melesat cepat. Begitu sempurnanya ilmu yang
dimiliki Bayu. Sehingga, sebelum ada yang
menyadari, bayangan tubuhnya sudah lenyap
ditelan kegelapan malam.
"Mari kita pulang, Dinda Weni. Ibu sudah
menunggu," ajak Raden Arga Yuda lembut seraya melepaskan pelukannya.
"Kakang Bayu. .," desis Dewi Mustikaweni teringat akan pemuda yang telah
merenggut sekeping hatinya.
Tapi di situ tidak ada lagi Pendekar Pulau
Neraka. Dewi Mustikaweni berteriak keras
memanggil Bayu Hanggara, namun
yang dipanggil tidak juga muncul. Beberapa kali Dewi
Mustikaweni berteriak
memanggil. Sampai suaranya serak, Bayu tidak juga muncul.
"Sudahlah, Dinda.
Mungkin dia masih mempunyai tugas lain yang harus diselesaikan,"
ujar Raden Arga Yuda seraya merengkuh pundak
gadis itu. "Apakah dia akan kembali lagi, Kakang?"
tanya Dewi Mustikaweni.
Raden Arga Yuda hanya menarik napas, lalu
menghembuskannya kuat-kuat. Dia sendiri tidak
tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka akan
kembali atau tidak sama sekali. Disadari betul
kalau Bayu seorang pendekar kelana yang tidak
pemah menetap pada satu tempat saja.
Bayu bisa mendapat tugas dari Prabu
Nayadarma, itu karena dia telah menolong raja
Gelang Wesi itu dari gerombolan perampok Partai
Naga Merah yang dipimpin Sura Antaka. Melihat
kemampuan Pendekar Pulau Neraka itu, maka
Prabu Nayadarma minta bantuannya untuk
membebaskan keponakannya. Siapa lagi kalau
bukan Dewi Mustikaweni yang sudah berada di
tangan Sura Antaka sejak masih berusia satu
tahun. "Kakang.. ."
"Ayo kita pulang, Dinda Weni," ajak Raden Arga Yuda mendesah panjang.
Mereka kemudian melangkah pergi meninggalkan puing-puing kejayaan Partai Naga
Meran. Dua orang panglima dari Gelang Wesi
mengikuti dari belakang. Mereka berjalan tanpa
berkata-kata lagi. Namun terlihat jelas pada raut wajah kalau Dewi Mustikaweni
merasa ada yang
tertinggal di sini. Entah apa yang hilang pada
dirinya" Tapi yang jelas, tak akan terlupakan
kenangan manisnya bersama Pendekar Pulau
Neraka. Pemuda yang pertama kali mencium
bibirnya, sekaligus menggetarkan jantungnya.
Dewi Mustikaweni hanya bisa berharap untuk
bertemu kembali dengan pendekar muda yang
bernama Bayu Hanggara itu.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Kisah Pedang Bersatu Padu 3 Bendera Maut Sam Goan Leng Hun Hoan Karya Kwee Oen Keng Jala Pedang Jaring Sutra 3
^