Pencarian

Geger Kitab Inti Jagad 1

Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad Bagian 1


GEGER KITAB INTI JAGAD Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1990
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh : Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode: Geger Kitab Inti Jagad
128 hal; 12 x 18 cm
1 Pagi masih begitu buta, hingga keadaan masih
tampak remang-remang. Ayam jantan telah berkukuk
ruyuk menandakan bahwa hari telah menjelang sub-
uh. Dari kejauhan terdengar derap langkah kaki
kuda, yang dipacu dengan cepat. Sepertinya mereka
yang tengah menjalankan kereta tampak tergesa-gesa.
Penunggang kereta itu ada tiga orang, dua lela-
ki dan seorang wanita. Sesekali penunggang yang be-
rada di dalam kereta, menengok ke arah belakang di
mana tampak dari kejauhan dua orang dengan me-
nunggang kuda mengejar kereta mereka.
"Trenggono, tak dapat kau percepat sedikit la-
rinya?" bertanya si wanita yang duduk di dalam kereta, saat jarak mereka dengan
dua orang pengejarnya makin menyempit.
Tanpa banyak kata, Trenggono si kusir kereta
dengan segera menarik kais dan mencambuk kuda-
kuda penarik kereta yang terkejut dan lari cepat.
"Ibu, siapakah kedua orang yang dari tadi men-
gejar kita" Sepertinya Arya lihat, kedua orang itu ke-marin sore telah mengikuti
kita." Anak lelaki yang bernama Arya seketika bertanya pada ibunya.
"Mereka orang jahat, Arya," menjawab sang ibu.
Tapi Arya yang belum tahu maksud ucapan
ibunya, kembali bertanya. "Mengapa mereka hendak menjahati kita, Bu?"
Ditanya seperti itu oleh anaknya, seketika sang
ibu tampak berkaca-kaca matanya. Lalu dengan men-
coba membendung air mata agar tidak ke luar, si ibu
menjawab. "Arya, bapakmu dulu seorang pendekar yang
ditakuti dan disegani oleh kawan maupun lawan. Hal
itu membuat Bapakmu banyak teman, juga banyak
lawan. Teman kadang-kadang baik, ada juga yang ja-
hat. Seperti saat kau masih bayi, bapakmu telah dik-
hianati oleh temannya sendiri..."
"Dikhianati" Mengapa bapak dikhianati" Apa-
kah bapak punya salah, Bu?" bertanya Arya memotong cerita ibunya, yang kembali
mendesah panjang.
"Entahlah anakku. Ibu tak tahu, apa kesalahan
bapakmu hingga mereka tega membunuhnya." Dengan
berlinang air mata, si ibu dengan terlebih dahulu men-dekap tubuh anaknya
bercerita tentang mengapa dan
siapa yang telah membunuh suaminya.
"Sepuluh tahun yang silam. Ketika kau baru
lahir ke dunia, keluarga kita hidup rukun dan penuh
kebahagiaan. Ayahmu adalah seorang pendekar lurus
yang berilmu tinggi, hingga ia ditakuti dan disegani.
Pada suatu hari. Datang ke rumah tiga orang teman-
nya, yang memang sudah sering kali datang. Tapi hari
itu, mereka tampaknya lain dari biasanya. Mereka se-
pertinya marah pada ayahmu, yang waktu itu hanya
mengernyitkan alis matanya sembari bertanya. "Sodra, Lombang, dan kau Wungkal
Gunung, ada hal apakah
hingga kalian datang ke tempatku dengan membawa
perasaan lain dari biasanya" Apakah aku telah berbuat salah pada kalian" Atau
barang kali ada ganjelan di
hati kalian yang ingin kalian sampaikan padaku?"
Ditanya seperti itu, mereka bukannya langsung
menjawab. Tapi dengan sorot mata tajam, ketiganya
memandang tajam pada Kerto Pati yang makin tak
mengerti saja hal apa yang dikehendaki ketiga teman-
nya. "Heh, apakah kalian telah gagu hingga tak men-
jawab pertanyaan yang aku ucapkan" Atau barang kali
kalian telah dirasuki iblis yang menjadikan kalian
orang-orang tak tahu adat!" Sumo Kerto Pati membentak marah, demi melihat ketiga
temannya berubah da-
lam segalanya. Mendengar Sumo Kerto Pati membentak, tiba-
tiba salah seorang dari ketiganya yang bernama Lom-
bang balik membentak Kerto Pati yang seketika tersen-
tak. "Kerto Pati! Rupanya di balik kebaikanmu, yang
mengaku pendekar lurus tak lebihnya nafsu iblis. Kau
telah mengorbankan temanmu guna memenuhi ambisi
mu yang gila dan tak masuk akal. Kau bunuh teman-
mu, setelah kau mendapatkan kitab Inti Jagad. Tinda-
kanmu begitu keji, Kerto Pati. Tak pantas kau me-
nyandang gelar Pendekar berbudi luhur, kalau dalam
kenyataannya tindakanmu tak lebih dari iblis!"
"Tutup mulutmu! Siapa yang telah membuat
fitnah. Katakan! Siapa yang telah berkata begitu!" demi mendengar tuduhan yang
dilontarkan oleh Lombang.
Dicengkeram dan diguncang-guncangkan tu-
buh Lombang, yang hanya terdiam memandang pada
Kerto Pati. Melihat ketiganya terdiam, makin membuat
Kerto Pati penasaran.
"Lombang, aku tahu kau seorang pendekar
yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Ka-
takanlah padaku, siapa yang telah membuat fitnah keji itu?" "Kerto Pati. Kalau
kau ingin mengetahui siapa yang telah mengatakannya pada kami, kami harap kau
mau turut bersama kami," menjawab Sodra.
Saat itu juga, mereka berempat pergi mening-
galkan rumah Kerto Pati menuju tempat yang dimak-
sud. "Sejak saat itu, Ayahmu tak pernah muncul lagi
ke rumah. Hal itu membuat ibu cemas, lalu dengan
menitipkan dirimu pada tetangga ibu segera mencari
ayahmu. Ternyata ayahmu telah mati, dibantai oleh
ketiga temannya yang sebenarnya bermaksud merebut
kitab Inti Jagad," berkata si ibu, setelah menceritakan kejadian yang dialami
ayah Arya. "Apakah mereka mendapatkannya, Bu?"
"Tidak anakku, sebab Kitab itu telah ayah ti-
tipkan pada pamanmu yang bernama Rupaksi setelah
ayahmu mendapat firasat tak baik."
"Lalu untuk apa orang-orang itu kini mengejar-
ngejar kita, Bu?"
"Mulanya mereka berusaha mencari sendiri ki-
tab yang oleh ayahmu dititipkan pada pamanmu. Na-
mun setelah bertahun-tahun tak menemukannya, me-
reka pun akhirnya bermaksud meminta keterangan
pada ibu tentang di mana Kitab itu disimpan. Namun
sebelum mereka dapat menemukan ibu, ibu telah pergi
meninggalkan rumah bersamamu. Tentu kau masih
ingat, bukan?"
Mendengar penuturan ibunya, seketika mata
Arya membeliak berkaca- kaca. Sepertinya ada sesuatu
yang tengah dipikirkan oleh bocah kecil itu, yang tiba-tiba berkata kembali pada
ibunya. "Ibu, apapun yang terjadi janganlah sekali-kali
ibu memberi tahukan keberadaan kitab itu. Sebab bila
kitab itu jatuh ke tangan orang-orang seperti mereka, sangat berbahaya."
Terharu ibunya, demi mendengar penuturan
yang diucapkan oleh anaknya yang baru sepuluh ta-
hun. Mata wanita itu berkaca-kaca, seperti menggam-
barkan perasaan bangga pada anaknya yang telah
mampu membandingkan mana yang baik dan buruk.
Dengan penuh kasih sayang, dibelainya rambut sang
anak yang kini merebahkan kepala pada pangkuan-
nya. "Kalau begitu, ayah merupakan seorang pendekar yang agung yang lebih rela
berkorban untuk ke-
pentingan orang banyak, di atas kepentingan priba-
dinya," berkata Arya sepertinya menggumam pada diri sendiri, makin membuat sang
ibu terharu. *** Kereta yang mereka tumpangi masih melaju
dengan kencangnya, meninggalkan kedua orang yang
mengejarnya di belakang.
Hari telah benar-benar pagi, ketika mereka tiba
di desa yang mereka tuju yaitu desa Kemanggungan.
Di desa itu, tinggal adik seperguruan ayah Arya yang
bernama Kerta Rukita atau pendekar Kera. Maka den-
gan segera, disuruhnya sang kusir menuju tempat Ker-
ta Rukita, Kerta Rukita sangat bahagia, melihat kedatan-
gan kakak ipar dan kemenakannya. Mereka disambut
dengan penuh suka cita.
"Mbakyu, lama kita tak bersua sejak kelahiran
Arya. Kini mbakyu datang secara tiba-tiba tanpa mem-
beri tahu pada kami sebelumnya, ada apakah geran-
gan?" bertanya Kerta Rukita setelah mempersilahkan kakak iparnya duduk.
Ditanya oleh adik iparnya seperti itu, seketika
ibu Arya yang sudah tak dapat lagi menahan air mata
akhirnya menangis membuat Kerta Rukita dan iste-
rinya saling pandang dan mengerutkan alis mata demi
melihat kakak iparnya menangis,
"Maaf, Mbakyu. Bukannya aku. bermaksud
menggugah kepedihan hati mbakyu. Tapi, aku hanya
ingin tahu saja apa yang telah terjadi pada keluarga
kakak Kerto Pati?"
"Kakakmu mati dibunuh oleh teman-temannya
yang telah mengkhianati, karena mereka menghendaki
kitab Inti Jagad" berkata ibu Arya sembari berlinang air mata, membuat Kerta
Rukita terbelalak dengan ma-ta melotot penuh kemarahan.
Mulut Kerta Rukita mendesis, gigi-giginya seke-
tika beradu bergemeretukan. Tak terasa air matanya
meleleh, ketika memandang pada kemenakannya Arya.
Maka bagaikan seorang anak kecil, Kerta Rukita me-
nangis sembari memeluk tubuh kemenakannya
"Aku tak akan tinggal diam! Mereka harus me-
nerima pembalasanku, hutang nyawa harus dibayar
dengan nyawa!" menggeram Kerta Rukita, hingga
membuat semua yang ada di situ terdiam tanpa berani
berkata. "Besok pagi, aku akan pergi ke sana untuk me-
nuntut balas kematian kakang Kerto Pati." lanjut Kerta Rukita berkata, membuat
semuanya seketika membelalakan mata.
Sedang mereka dicekam ketegangan, tiba-tiba
terdengar suara orang di luar berteriak mengucap sa-
lam. "Sampurasun! Adakah orang di dalam "!"
"Bedebah! Tamu macam apa kau, berteriak-
teriak seperti di tengah hutan saja!" membentak Kerta Rukita yang tengah dilanda
amarah. Dengan segera,
Kerta Rukita berlari keluar rumah menemui tamunya
diikuti oleh isteri dan kakak iparnya juga Arya yang di-gandeng oleh kusir
keretanya. "Siapa kalian! Apakah kalian tidak mengerti ta-
ta krama bertamu, hingga kalian berteriak-teriak se-
perti di tengah hutan saja!"
Sang tamu tersenyum sinis, demi mendengar
ucapan Kerta Rukita. Sementara Ibu Arya, melihat sia-
pa yang datang.
"Mengapa kalian mengejar-ngejarku terus" Bu-
kankah sudah aku katakan pada kalian, bahwa aku
tak tahu tentang kitab yang kalian maksudkan?" berkata ibu Arya, membuat Kerta
Rukita tersentak dan
memandang bengis pada kedua tamunya sembari ber-
kata sinis. "Rupanya kalian orangnya, yang telah membu-
nuh kakakku. Kebetulan, aku tak usah mencari-cari
kalian." Kembali kedua orang yang ternyata Sodra dan Wungkal Gunung adanya,
tersenyum kecut dan berkata: "Hem, Rupanya kau adik seperguruan Kerta Pati, yang
bernama Kerta Rukita. Bagus, bagus. Kami kira,
kau tahu akan kitab Inti Jagad yang dimiliki kakakmu.
Serahkanlah buku itu pada kami, sebab kamilah yang
berhak, memilikinya," kata Wungkal Gunung.
"Kalaupun aku tahu. Maka aku tak akan mem-
beri tahu pada kalian, sebab kalian bukan orang-orang yang tahu balas budi.
Kalian dengan kedok sahabat,
tak lebihnya seekor srigala! Orang-orang macam ka-
lian, tak pantas untuk tetap hidup di dunia. Tempat
kalian adalah Neraka!"
"Kerta Rukita, lancang kau berkata! Tak tahu-
kah dengan siapa kau berhadapan, hingga berani kau
berkata yang menyinggung perasaan kami"!" membentak Sodra, yang jengkel melihat
tingkah Kerta Rukita.
Tangannya telah diangkat ke atas siap untuk menye-
rang Kerta Rukita.
"Jangan dulu, Sodra. Tak ada gunanya men-
gumbar amarah, kalau akhirnya tujuan kita sia-sia.
Kerta Rukita, kalau kau tak mau mengakuinya bahwa
kau mengerti di mana kitab Inti Jagad disembunyikan.
Maka aku minta biarkanlah aku menanyainya pada is-
teri Kerto Pati, yang mungkin tahu di mana kitab itu
disembunyikan."
"Tidak! Aku tak mengijinkan kalian berbuat
semena-mena terhadap iparku, apalagi kini berada di
rumahku. Nah, kiranya kalian mengerti. Hiat...!"
Tanpa diduga oleh Sodra dan Wungkal Gu-
nung, tiba-tiba Kerta Rukita menyerang dengan ga-
nasnya. Kedua orang itu tersentak. Hampir saja kedu-
anya kena terhantam pukulan Kerta Rukita, kalau saja
mereka tak segera mengelak.
"Setan alas! Diajak baik-baik, rupanya memilih
mati! Baik, jangan salahkan kami bila telengas menu-
runkan tangan jahat. Bersiaplah!" memaki Wungkal Gunung sembari berkelit


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindari serangan Kerta,
kemudian berbalik menyerang.
"Slompret! Rupanya kau keras kepala, seperti
kakakmu. Baik! Mari kita main-main," Sodra pun tak kalah marahnya, demi diserang
begitu mendadak oleh
Kerta. Tanpa dapat dicegah, mereka akhirnya terlibat perkelahian. Kerta Rukita
yang telah mendendam pada
mereka, nampak seperti ingin segera menghabisi ke-
dua musuhnya. Jurus demi jurus mereka lewati, sepertinya me-
reka seimbang. Walau dikeroyok dua orang sekaligus,
namun murid Elang Buana tampak tak repot.
Bahkan dengan gesit, Kerta Rukita berkelebat-
kelebat bagaikan burung Elang menyambar-nyambar
kedua musuhnya.
Kaget juga Sodra dan Wungkal Gunung, yang
tak menyangka kalau adik seperguruan Kerto Pati jauh
lebih berbahaya dan lebih hebat dibandingkan kakak
seperguruannya.
Kedua pengeroyoknya tampak terdesak mun-
dur, hal ini membuat Kerta Rukita makin bernafsu.
Jurus-jurus yang didapat dari perguruan Elang Sakti,
keluar bagaikan arus air deras berganti-ganti.
Sodra dan Wungkal Gunung seketika melompat
mundur, lalu dengan segera keduanya mengubah ju-
rus-jurusnya. Makin seru pertarungan itu, karena ke-
tiganya kini makin meningkatkan serangannya.
Jurus demi jurus kembali mereka lalui, hingga
tak terasa telah melampaui jurus yang keempat puluh.
Waktu yang tadinya pagi, telah berubah menjadi siang.
Orang-orang yang lalu lalang di situ, seketika
berhenti dan menonton perkelahian.
Saking serunya pertarungan itu, membuat se-
mua pandangan orang seketika tertuju pada hal itu.
Hingga mereka tak memperhatikan, bahwa ada seo-
rang lelaki tua yang dari tadi terus mengawasi perta-
rungan itu. Mata orang tua itu, sesekali beralih pada Arya yang masih di gandeng
oleh tukang sais keretanya "Hem... Anak kecil itu, sepertinya mengandung daya
tersendiri. Kelak apabila tak ada halangan, anak ini bakal menjadi seorang tokoh
persilatan" dalam hati lelaki tua itu.
Di pihak lain, tampak pertarungan itu berjalan
pincang. Nampaknya Kerta Rukita yang tengah dilanda
emosi, mengumbar tenaga hingga serangan-
serangannya tak setajam pertama.
"Bahaya, bahaya. Kalau terus-terusan seperti
itu, aku rasa dalam beberapa jurus lagi kedua lelaki itu akan dapat
menjatuhkannya. Aku harus waspada,
sebab seperti yang aku dengar mereka berdua telah
menguntit ibu dan anak itu. Aku harus dapat menye-
lamatkan bocah itu, bila memang kedua orang tersebut
bermaksud mencelakainya," berguman lelaki tua itu.
Benar juga apa yang dikawatirkan lelaki tua
itu. Dalam tempo beberapa jurus saja, kedua penge-
royok Kerta Rukita dengan mudah mendesaknya.
Kerta Rukita tersentak seketika, mendapat se-
rangan balik kedua musuhnya. Ia berusaha bertahan
dan sesekali balik menyerang, namun seketika kedua
pengeroyoknya telah dengan cepat menghantamkan
pukulan yang disertai tenaga dalam menghantam tu-
buhnya. Kerta Rukita seketika memekik, tubuhnya ter-
dorong ke belakang sepuluh tombak. Dari mulutnya
meleleh darah segar.
Seketika isteri dan ibu Arya memekik dan men-
jerit berlari memburu tubuh Kerta Rukita yang terka-
par. "Mbakyu Sukanti, dank au Istriku. Aku... aku
minta jaga di... diri Arya kemenakan ku. Aku... sudah tak, kuat..."
Tubuh Kerta Rukita pun lemas, bersamaan
dengan jerit tangis isterinya dan Sukanti ibu Arya.
Sodra dan Wungkal Gunung tersenyum sinis,
lalu dengan kasar keduanya segera menarik dua wani-
ta itu yang berontak melawan.
Tarik menarik antara dua wanita, dan dua lela-
ki itu menjadikan si orang tua geleng-geleng kepala.
Walaupun begitu, si orang tua tak bereaksi sedikitpun untuk berbuat sesuatu.
Melihat ibu dan bibinya disakiti oleh kedua le-
laki yang ia tahu jahat, dengan segera Arya kecil itu berusaha membantunya.
Digigitnya tangan Wungkal
Gunung yang menarik tangan ibunya. Seketika Wung-
kal Gunung memekik kesakitan sembari melepaskan
tangannya. Setelah Wungkal Gunung melepaskan ibunya,
dengan cepat Arya berlari hendak menolong bibinya.
Tapi, Sodra dengan segera menendangkan kaki ke arah
Arya, yang seketika itu terpental.
Kakek tua yang sedari tadi memperhatikannya,
terbelalak. "Jahat!" pekiknya dalam hati. Namun kakek tua itu masih tetap berdiri tanpa
hendak menolong.
"Kenapa kau sakiti anakku! Iblis kejam!" memaki Sukanti, demi melihat Arya
terpental jatuh. Den-
gan nekad, Sukanti segera menyerang Wungkal Gu-
nung. Orang-orang yang sedari tadi hanya menjadi
penonton, segera bereaksi mengeroyok kedua lelaki itu.
Tanpa ampun lagi, Sodra dan Wungkal Gunung
pun seketika dikeroyok oleh massa. Sesaat Sodra dan
Wungkal Gunung tersentak. Namun demi melihat me-
reka benar-benar hendak mengeroyoknya, dengan
menggeram Sodra dan Wungkal Gunung pun segera
memapaki. "Hem, rupanya kalian pun menghendaki kema-
tian hingga berani kalian mengeroyok kami. Jangan
salahkan kalau kami berbuat telengas menurunkan
tangan kasar!" membentak Sodra dengan penuh ama-
rah. Tawuran masal pun terjadi, namun karena si
pengeroyok bukan orang-orang pandai bersilat maka
sia-sialah keberanian mereka. Sekali tangan Sodra
atau Wungkal Gunung berkelebat, jerit kematian pun
seketika melengking di antara massa yang menge-
royok. Satu persatu, massa yang mengeroyok itu ber-
jatuhan terhantam pukulan dan tendangan Sodra atau
Wungkal Gunung.
"Mbakyu, pergilah selamatkan diri kalian. Biar
kami yang menghadapi orang-orang jahat itu," berkata salah seorang di antara
massa, yang segera mendorong
Sukanti dan isteri Kerta Rukita pergi dari perkelahian itu.
Melihat Sukanti dan Arya serta isteri Kerta Ru-
kita hendak berlari, segera tangan Sodra menghantam
dengan pukulan jarak jauh!
"Deb! Deb! Deb!"
Pukulan jarak jauh yang ditujukan pada ketiga
orang yang berlari, menghantam Sukanti dan isteri
Kerta Rukita yang seketika itu memekik dan ambruk
ke tanah. Menangislah Arya, demi melihat tubuh
ibunya tak bergerak lagi.
Bagaikan kesetanan, Arya berkelebat kembali
dan segera menyerang Sodra. Digigitnya paha Sodra,
yang seketika itu menjerit tak dapat mengelakkan gigitan Arya karena tengah
menghadapi pengeroyokan.
"Iblis kecil!" menggeram Sodra, setelah tahu siapa yang telah menggigitnya.
Dengan kasarnya, tangan Sodra berkelebat menghantam tubuh Arya yang
masih mencengkeram pahanya.
Hampir saja tubuh anak kecil itu terhantam
pukulan maut yang hendak dilontarkan Sodra, saat
dengan seketika berkelebat seorang lelaki tua me-
nyambar tubuh Arya dan membawanya pergi.
"Jangan lari!" membentak Sodra, demi melihat lelaki tua itu pergi dengan membawa
tubuh Arya. Di-hantamkannya pukulan jarak jauh pada tubuh lelaki
tua yang dengan tanpa melihat segera mengelakkan-
nya sembari berseru.
"Bukannya aku takut pada kalian, tapi bukan
urusannya kalian denganku. Nanti... Sepuluh tahun
lagi, kalian akan dapat membuka mata kalian atas
perbuatan kalian pada masa-masa sekarang!"
Terbelalak Sodra dan Wungkal Gunung demi
mendengar seruan orang tua itu, mereka pun segera
mengejar. Namun lelaki tua yang membawa tubuh
Arya, sangat cepat lari nya meninggalkan mereka yang
hanya berdiri mematung
Gagal sudah semuanya, sebab tak ada orang lain yang
tahu di mana Kitab Inti Jagad disembunyikan. Dengan
wajah penuh kekecewaan, keduanya pun segera pergi
meninggalkan desa itu kembali menuju tempatnya.
2 Setelah kegagalan mereka untuk mendapatkan
kitab Inti Jagad, kedua orang itu bermaksud menemui
temannya yang bernama Lombang.
Dipacunya kuda mereka dengan kecepatan
tinggi. Debu-debu seketika beterbangan terhempas ka-
ki-kaki kuda mereka.
Malam telah datang, kala keduanya sampai di
sebuah hutan. Mereka nampak masih memacu ku-
danya, berlari di tengah hutan dalam kegelapan ma-
lam. Tiba-tiba...!
Kuda-kuda mereka meringkik, sepertinya kuda-
kuda itu ketakutan. Sodra dan Wungkal tersentak,
memandang dengan mata tajam pada sekelilingnya
dan menghentikan lari kudanya.
"Hati-hati Sodra! Rupanya ada sesuatu, hingga
kuda kita ketakutan."
"Benar! Rupanya ada sesuatu, yang tengah
mengintai kita. Hem, kalau manusia, jangan harap aku
biarkan hidup-hidup." Habis berkata begitu, Sodra segera turun dari punggung
kudanya diikuti oleh Wung-
kal Gunung. Tiba-tiba...! Dari samping kiri mereka berkele-
bat sebuah bayangan, berlari mendahului. Dengan se-
gera Sodra dan Wungkal memburu meninggalkan kuda
mereka. "Jangan lari!" Sodra sembari melancarkan pukulan jarak jauh, yang ditujukan ke
tubuh orang yang
berkelebat di hadapannya. Namun orang itu sepertinya
tak mendengar dan terus berlari, membuat keduanya
makin penasaran.
Keduanya makin jauh meninggalkan kudanya,
terus mengejar bayangan yang berlari. Ketika bayan-
gan orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya ke
arah keduanya, seketika Sodra dan Wungkal terbelalak
dan mundur demi melihat rupa orang yang mereka ke-
jar. Rupa orang itu, adalah rupa seekor kera.
"Kera Siluman!"
Kera siluman menyengir, menunjukkan gigi-
giginya yang kuning dan lancip tajam. Lalu tanpa
memperdulikan kedua orang yang mengejarnya, Kera
Siluman itu kembali berkelebat pergi meninggalkan
Sodra dan Wungkal Gunung yang masih memaku.
"Beruntung dia tidak bermaksud jahat pada ki-
ta kalau tidak...?" berkata Wungkal Gunung bergidik, hingga pundaknya turut
bergerak. Seperti Wungkal
Gunung, Sodra pun mengalami hal yang sama.
"Huh... Kalau dia berniat jahat, mungkin kita
tak akan dapat mencari kitab Inti Jagad lagi."
"Heh, kenapa kita mesti terbengong di sini" Bu-
kankah kita telah meninggalkan kuda-kuda kita?"
Dengan diikuti Sodra, Wungkal Gunung pun berlari
menuju tempat di mana mereka meninggalkan ku-
danya. Tersentak kaget Sodra dan Wungkal Gunung,
demi dilihatnya kuda-kuda itu telah tak ada lagi di
tempatnya. Tanpa banyak bicara, keduanya segera
mencari kuda-kuda itu.
Kedua orang itu berlari dan terus berlari dalam
gelapnya malam, meninggalkan hutan itu untuk men-
cari kuda-kudanya. Tak terasa oleh keduanya, kedua-
nya telah berlari cukup jauh dan lama.
"Hai! Bukankah ini perbatasan desa Cikulir?"
berseru Sodra girang, ketika melihat tugu berdiri di
depan. Demi mendengar seruan Sodra, Wungkal Gu-
nung segera menghampiri. Di mata mereka seketika
tampak kegembiraan, setelah pasti bahwa tugu itu be-
nar-benar perbatasan desa Cikulir.
Keduanya, segera mempercepat larinya untuk
memburu waktu, yang sebentar lagi menjelang pagi.
Mereka tak menghiraukan lagi kuda-kudanya, terus
berlari, menuju tempat yang mereka jadikan perte-
muan. "Bagaimana teman-teman" Apakah kalian ber-
hasil?" bertanya seseorang, yang berdiri di ambang pintu masuk menyambut
kedatangan keduanya.
"Gagal! Kami berdua gagal! Rupanya mereka le-
bih memilih mati daripada menunjukkan di mana ki-
tab itu disimpan Kerto Pati. Mungkin Kerto Pati telah berpesan wanti-wanti pada
mereka," berkata Wungkal Gunung.
"Berarti kita tak akan menjadi orang sakti,"
menggumam orang yang menjemput kedatangan Sodra
dan Wungkal Gunung.
"Tidak, Lombang. Kita belum gagal total, seti-
dak-tidaknya kita masih mempunyai harapan."
"Harapan" Harapan apa" Bukankah seluruh
keluarga Kerto Pati telah kita bunuh, dari mana lagi ki-ta akan tahu?"
"Tapi anaknya masih hidup. Apakah tak mung-
kin kita nanti dapat menanyai anaknya?" kata Wungkal Gunung seketika, membuat
Lombang membeliak-
kan mata kaget.
"Masih hidup?" gumam Lombang.
"Kenapa tidak kalian bawa ke mari?" lanjutnya bertanya.
"Anak itu dibawa kabur oleh seorang kakek tua,
ketika hendak kami lumpuh kan." Makin terbelalak kaget mata Lombang demi
mendengar penuturan
Wungkal Gunung, hingga tanpa sadar Lombang men-
desah. "Ah... Bahaya, bahaya, sungguh bahaya besar!"


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" bertanya Wungkal Gunung tak men-
gerti. Mendengar pertanyaan Wungkal Gunung, seke-
tika Lombang membentak marah.
"Bodoh! Apakah kau tak berpikir kalau nan-
tinya anak tersebut menuntut balas pada kita! Aku pi-
kir anak itu telah mendengar bahwa ayahnya mati di
tangan kita. Apakah itu bukan merupakan bahaya be-
sar buat kita?"
Terdiam Wungkal Gunung dan Sodra, kedua-
nya seketika menyadari akan kebenaran ucapan Lom-
bang. "Sudahlah! Tak perlu kita memikirkan apa yang telah berlalu, sekarang kita
harus dapat kitab itu. Kalau kita telah mendapatkannya, aku rasa kita tak perlu
takut akan ancaman balas dendam anak Kerto Pati"
"Lalu apa yang harus kita perbuat?" bertanya Sodra dengan perasaan agak tenang
demi mendengar perkataan Lombang.
"Salah satunya jalan, kita harus menyebarkan
ke dunia luas."
Kembali Wungkal Gunung dan Sodra terdiam,
mendengar ucapan Lombang. "Bagaimana...?" bertanya Lombang kembali saat melihat
kedua temannya hanya
terdiam tanpa reaksi apa-apa.
"Apakah hal itu tidak membuat kedudukan kita
makin tercepit?" Sodra sepertinya tak menyetujui rencana temannya. Sementara
Wungkal Gunung, hanya
acuh-acuh saja tanpa reaksi.
"Tidak, Sodra. Kita harus dapat mempengaruhi
mereka untuk berusaha mencari kitab itu. Bila telah
mereka dapatkan maka kita harus merebutnya, ba-
gaimana?" Lombang kembali meminta pendapat kedua temannya sembari tersenyum,
membuat kedua temannya seketika turut tersenyum pula.
"Pintar kau, Lombang! Baiklah, kami mengikuti
apa yang menjadi tujuanmu. Bukan begitu, Wungkal?"
kata Sodra, yang diangguki oleh temannya Wungkal
Gunung. Ketiganya akhirnya tertawa bersama, berge-
lak bagaikan menemui kemenangan.
*** Tokoh-tokoh dunia persilatan seketika gempar,
demi mendapatkan berita tentang, hilangnya kitab
yang merupakan salah satu kitab pusaka berisikan in-
ti-inti ilmu silat tingkat tinggi.
Seketika tokoh-tokoh persilatan pun berusaha
mendapatkannya, baik dari golongan lurus maupun
dan golongan sesat.
Siang, itu tampak sepasang pendekar berjalan
menyusuri jalan di desa Cikulir yang merupakan per-
batasan wilayah kulon dan wilayah tengah.
"Kakang, bukankah ini tapal batas daerah ten-
gah dan wilayah kulon?" bertanya gadis yang berjalan di samping pemuda.
"Benar, adinda. Desa ini memang desa perbata-
san, yang membatasi wilayah kulon dan wilayah ten-
gah. Menurut petunjuk guru, di desa inilah nanti kita akan bertemu dengan
seorang pemuda yang bernama
Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Kakang, untuk apa guru memerintahkan pada
kita untuk menemui Pendekar Pedang Siluman" Seper-
tinya guru sangat berkepentingan sekali dengannya?"
"Entahlah, aku sendiri tak tahu maksud guru.
Guru hanya berpesan padaku, agar jangan sekali-kali
berlaku tak sopan padanya. Dan yang lebih utama kita
harus dapat mengajaknya ke tempat guru," berkata pemuda itu kembali sembari
mengerutkan keningnya.
"Ada orang ke mari, mari kita bersembunyi."
Diajak adik seperguruannya bersembunyi di balik se-
mak-semak yang tak jauh dari situ.
Lewat seperminum teh keduanya bersembunyi,
tampak dua orang penunggang kuda lewat di situ. Wa-
jah kedua orang itu begitu beringas, sepertinya mereka tengah memburu seseorang.
Setelah kedua orang penunggang kuda itu ber-
lalu, dengan segera kedua pendekar muda-mudi itu
berkelebat mengikutinya dari belakang.
"Kita ikuti mereka, Kakang?"
"Ya! Sepertinya mereka tengah mengejar seseo-
rang, barangkali musuhnya. Kita harus dapat mem-
bantu, dan bila perlu menolong orang yang mereka ke-
jar. Aku mempunyai pikiran, bahwa kedua orang tadi
bukan orang baik-baik.
Sepasang pendekar muda itu terus berlari,
mengikuti arah yang ditempuh oleh kedua lelaki pe-
nunggang kuda didepannya.
"Itu mereka, Kakang! Sepertinya mereka kehi-
langan jejak, mereka mencari-cari sesuatu." berkata gadis di samping pemuda itu,
yang mengangguk dan
segera menyeretnya bersembunyi.
"Hem... Aku rasa, orang itu bersembunyi di si-
ni. Apakah kau tak tahu orang itu, Songka?" tanya salah seorang dari kedua
penunggang kuda, pada te-
mannya yang bernama Songka.
"Tidak! Aku hanya melihatnya ketika orang itu
masih di desa Cipulir. Apakah kau yakin orang itu lari ke mari, Gondo?" balik
bertanya Songka.
Gondo hanya menggeleng demi mendengar per-
tanyaan Songka, membuat Songka menggerutu kesal
dan kembali berkata: "Kau ini bagaimana, Gondo! Sia-sia kita ke sini, kalau
ternyata orang yang kita kejar tidak ke mari! Ayo kita kembali!"
Kedua orang itupun membelokkan kudanya
kembali ke arah semula. Wajah keduanya tampak pe-
nuh kekecewaan. Dengan cepat mereka memacu kuda-
kudanya. Bersama perginya kedua orang itu, dari dalam
semak-semak muncul seorang lelaki dengan bungku-
san di tangannya. Di wajah lelaki itu tampak ketegan-
gan, sementara matanya sesekali memandang arah ke
mana kedua lelaki itu pergi. Sesekali pula, matanya
beralih memandang pada bungkusan kain putih yang
tergenggam di tangannya.
"Huh! Gara-gara ketiga penghianat kakang Ker-
to itu, kini aku menjadi buruan semua pendekar yang
menghendaki kitab ini. Kalau mereka tahu sebenar-
nya, mereka tak akan memburu kitab yang tak ada ar-
tinya bagi mereka. Kitab Inti Jagad ini hanya dapat di-
pecahkan oleh seorang yang mempunyai watak welas
asih dan jiwa yang tenang serta budi pekerti yang lu-
hur. Ke mana aku harus mencari keturunan Eka Bila-
wa?" Tengah lelaki itu merenung, tiba-tiba di hadapannya telah berdiri sepasang
anak muda. Lelaki itu
tersentak mundur hendak berlari, ketika sepasang
pendekar itu mencegahnya sembari berkata.
"Jangan pergi dulu, Ki! Tadi kami mendengar
kau menyebut nama Eka Bilawa. Apakah kau menge-
tahui di mana keturunan Eka Bilawa?" bertanya pemuda dari sepasang pendekar itu,
membuat lelaki yang ditanya tersentak membelalakan mata.
"Heh, kau bertanya tentang keturunan Ki Eka
Bilawa padaku, sedang aku pun tengah pusing menca-
rinya. Apalagi aku tengah pusing dengan masalah ku.
Aku tak tahu pasti siapa keturunan Ki Eka Bilawa.
Apakah kalian mengetahui di mana ia berada" Dan
bagaimanakah rupa keturunan Ki Eka Bilawa itu?"
Seketika kedua pemuda itu saling pandang tak
mengerti. Lalu dengan perlahan pemuda pendekar itu
berkata: "Ki Sanak. Rupa-rupanya kita sama-sama
mencari orang yang sama, yaitu anak Eka Bilawa.
Apakah engkau mempunyai kepentingan dengannya?"
"Ada," menjawab lelaki itu pendek.
"Apa kepentingannya" Kalau boleh kami tahu?"
tanya si dara, yang mengernyitkan alis matanya demi
mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
Lelaki itu sesaat memandang pada kedua pe-
muda-pemudi di hadapannya, sepertinya menyelidik
sebelum akhirnya berkata: "Apakah kalian tak tahu.
Atau pura-pura tak tahu?"
"Hai. Kenapa kau berkata begitu, Ki Sanak?"
bertanya si pemuda yang kaget demi
mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
"Rupanya kalian orang baru di sini hingga ka-
lian tak mengetahui apa yang tengah terjadi di desa
ini. Aku percaya," berkata lelaki itu, setelah memandang sesaat pada kedua muda-
mudi di hadapannya.
"Kalau boleh aku tahu. Dari mana kalian" Dan ada kepentingan apakah hingga
kalian datang ke mari?"
"Namaku Sendana, dan adikku Rekasih. Kami
datang dari wilayah tengah yang tepatnya dari Purwo
Karto. Kami datang ke mari karena mendapat perintah
dari guru untuk menemui seorang pendekar muda
yang bernama Jaka. Dia adalah anak Eka Bilawa atau
Siluman Darah. Menurut wangsit yang diterima guru,
pemuda tersebut akan kami temui di desa Cipulir,"
berkata Sendana menjelaskan.
"Ah, kalau begitu kita setujuan. Aku sendiri
tengah mencari orang yang kalian cari, guna menye-
rahkan kitab pusaka yang menjadi bahan rebutan to-
koh-tokoh dunia persilatan saat ini. Oh ya, namaku
Rupaksi. Aku dari wilayah kulon yang bernama desa
Renggalek."
"Ki Rupaksi, kalau boleh kami tahu, kenapa
orang-orang persilatan memburumu" Dan apa yang
kau pegang itu?" tanya Rekasih.
Rupaksi sesaat terdiam memandang sejenak
pada kitab yang ada dalam genggamannya, sebelum
kembali berkata menceritakan apa yang telah terjadi
pada desa Cipulir dan kenapa kitab itu menjadi rebu-
tan tokoh-tokoh persilatan.
"Sepuluh tahun yang silam, aku dititipi kitab
ini oleh kakakku yang bernama Kerto Pati. Kakakku
berpesan agar kitab ini diberikan pada seorang pende-
kar yang bergelar pendekar Pedang Siluman Darah,
murid dari 4 pendekar Sakti. Kata kakakku hanya
pendekar Pedang Siluman saja yang mampu mengarti-
kan segala yang tertulis dan tergambar pada kitab ini.
Lima tahun kemudian setelah menyerahkan kitab ini
padaku. Kakakku mati dikhianati oleh teman-
temannya yang berambisi untuk menguasai buku ini.
Kalau mereka tahu, sebenarnya sia-sia saja mereka
memperebutkan dan memburu kitab ini. Di samping
mereka tak akan mampu menterjemahkan nya, juga
tak bakalan mereka dapat mempelajarinya. Namun ka-
rena mereka telah di kuasai ambisi dan nafsu setan,
maka disebarlah berita bahwa barang siapa yang dapat
memperoleh kitab Inti Jagad akan menjadi tokoh sakti.
Memang benar. Barang siapa yang mampu mempelaja-
ri isi kitab ini dia akan menjadi tokoh persilatan yang sukar ditandingi."
Kedua pendekar muda-mudi, manggut-
manggut mengerti, kemudian Sandana bertanya, "Ki Rupaksi kalau memang engkau
bermaksud mencari
Pendekar Pedang Siluman Darah, maka lebih baik kau
jangan pergi dari desa ini."
"Kenapa?" bertanya Rupaksi, demi mendengar
saran yang diucapkan oleh Sendana. Seketika hati Ru-
paksi bimbang, ketakutan kalau-kalau orang persila-
tan akan mengetahui bahwa kitab Inti Jagad ada di
tangannya. Melihat ketakutan di wajah Rupaksi, dengan
halus Rekasih berkata mewakili kakak seperguruan-
nya: "Ki Rupaksi. Kalau kau ingin tahu, sebenarnya pendekar yang kau cari saat
ini ada di desa ini. Mengenai keselamatan kitab itu, kami akan berusaha me-
lindunginya darimu."
Mendengar ucapan Rekasih, seketika tersirat
kegembiraan di wajah Rupaksi. Lalu dengan terlebih
dahulu menjura, Rupaksi pun berkata: "Ah... Betapa
aku yang bodoh ini mengucapkan banyak terima kasih
atas kesediaan kalian membantuku. Tapi, apakah nan-
tinya tidak merepotkan?"
Tersenyum Sendana dan Rekasih, mendengar
ucapan Rupaksi yang nadanya merendah, dengan ma-
sih mengurai senyum, Sendana berkata: "Tidak, Ki.
Sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-sosial
dan kemanusiaan, wajib bagi kami untuk melindungi
kitab yang bukan hak mereka yang berada di tangan-
mu. Ayolah! Segera kita pergi dari sini, sebab bukan
tak mungkin orang tadi kembali ke mari."
Tanpa banyak kata lagi, ketiganya segera berla-
lu meninggalkan hutan itu. Memang benar apa yang
dikatakan Sendana, kedua orang yang tadi mengejar
Rupaksi datang kembali selang beberapa saat setelah
mereka pergi. "Tadi aku dengar ada orang bercakap-cakap,
namun kenapa seketika menghilang?" bergumam Gon-
do, dengan mata mengawasi sekeliling hutan itu.
"Benar! Memang tadi ada orang ke sini. Lihatlah
bekas-bekas sepatu mereka, rupanya kita telah kedu-
luan orang lain. Gagal sudah usaha kita untuk menja-
di orang paling sakti di dunia persilatan! Mungkin bukan jodoh kita, Gondo?"
keluh Songka. Dengan perasaan kecewa, kedua orang kakak
beradik itu kembali menghela kais kudanya mening-
galkan hutan menuju ke desa Cipulir lagi.
Dihelanya kais kuda dengan cepat, secepat pi-
kiran keduanya yang diliputi kekecewaan menuju ke
sebuah kedai di desa Cipulir.
"Kita makan dan mengaso dulu, Gondo!" berka-ta Songka.
Dihela kais kudanya membelok ke arah Utara,
di mana kedai berada.
Setelah menambatkan tali kudanya, kedua
orang itu segera masuk ke dalam kedai. Keduanya
langsung mencari tempat duduk yang masih kosong,
karena siang itu kedai tampak penuh dengan pengun-
jung. Di ujung sebelah kiri kedai, akhirnya mereka
mendapatkan tempat duduk.
Tengah mereka duduk, tampak seorang pemu-


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da masuk ke kedai, yang seketika mengundang perha-
tian seluruh pengunjung kedai termasuk Soka dan
Gondo. Pemuda yang baru datang, yang tak lain si
pendekar Pedang Siluman acuh saja berjalan dan
mencari tempat duduk
"Jaka Ndableg! Hai, apakah pendekar muda ini
juga tengah memburu kitab itu" Kalau memang ya,
percuma saja kita turut memburu."
"Kenapa...?" bertanya Gondo, demi mendapat ucapan Soka yang tampaknya jera
melihat pemuda itu.
"Kau tahu, Gondo. Kalau pendekar muda itu te-
lah ikut campur, jangan harap kita dapat leluasa dan
mampu mendapatkan kitab itu. Jangankan kita, tokoh
kelas wahid pun akan berpikir tujuh kali untuk dapat
menandingi. Ilmunya sungguh tak ada tandingan pada
masa sekarang," kata Soka, memberi tahukan pada
Gondo yang seketika terbelalak matanya dan menggu-
mam. "Hem, jadi inikah pendekar Pedang Siluman
Darah yang sering dibicarakan oleh Guru?"
"Ya! maka itu, percuma kita ini. Jangankan ki-
ta, guru kita pun tak akan mampu menghadapinya."
Yang mendengar percakapan mereka, tampak
acuh saja. Ia terus menyantap makanan yang telah di-
hidangkan oleh pelayan kedai di hadapannya.
"Hem, rupanya kedatanganku telah dikenal di
sini. Heh! Tadi kedua orang itu berbisik mengatakan
tentang kitab, kitab apakah gerangan" Ah, coba aku
tanyakan pada mereka," bergumam Jaka dalam hati, lalu dengan perlahan penuh
ketenangan Jakapun
menghampiri Gondo dan Soka yang tersentak kaget
demi melihat Jaka tahu-tahu telah berdiri di samping-
nya. Belum juga hilang kekagetan mereka, terdengar
Jaka Ndableg berkata.
"Boleh aku duduk di sini, Ki Sanak?"
"Bo... Boleh, boleh." tergagap keduanya berkata hampir bersamaan dan dengan
segera mempersilahkan
Kelana, yang dengan tenang duduk di hadapan mere-
ka. "Maaf, tadi aku mendengar pembicaraan kalian.
Aku mendengar kalian menceritakan tentang kitab. Ki-
tab apakah itu hingga mengundang kaum persilatan
berlomba untuk mendapatkan?" bertanya Jaka ingin tahu, membuat kedua orang yang
ditanya seketika
membelalakan mata.
"Jadi... Jadi tuan pendekar belum mengerti?"
bertanya Gondo, dengan ucapan terbata-bata. Seper-
tinya Gondo tak percaya, demi mendengar pertanyaan
Kelana yang seketika tersenyum dan berkata.
"Ki Sanak, janganlah kau meninggikan diriku
dengan sebutan tuan pendekar. Apakah aku ini pantas
menyandang sebutan itu, yang terlalu tinggi dan
agung" Aku orang biasa seperti kalian berdua, yang
kadang kalanya senang dan susah. Ah, sudahlah! Oh
ya, apakah aku boleh mengetahui kitab yang tengah
diperebutkan oleh kaum persilatan?"
Tanpa sungkan-sungkan, kedua orang itu ber-
cerita bergantian saling sambung. Sementara Jaka
mendengarkannya dengan seksama, tanpa berkehen-
dak untuk bertanya ataupun memotong cerita kedua-
nya. "Begitulah tuan pendekar," berkata Soka, setelah selesai bercerita. Di
wajah kedua orang itu tampak was-was, kalau-kalau Kelana marah padanya. Namun
seketika keduanya tampak tenang, ketika mendengar
ucapan Jaka. "Ki Sanak semua. Kalau benar apa yang telah
Ki Sanak ceritakan, aku rasa janganlah Ki Sanak ber-
dua meneruskannya. Sebab di samping kalian akan
mendapatkan tantangan berat bila telah mendapatkan
kitab tersebut, juga kitab tersebut bukanlah hak ka-
lian. Aku merasa, ada seseorang yang menghendaki ki-
tab tersebut di belakang kejadian ini. Menurut penda-
patku, lebih baik kalian kembali saja ke perguruan.
Bagaimana, Ki Sanak?"
Mendengar saran Jaka, kedua orang itu tampak
mengangguk. Sepertinya kedua orang tersebut menya-
dari, betapa selama ini keduanya telah berbuat bodoh.
Maka dengan terlebih dahulu mengucapkan terimaka-
sih, kedua orang itu akhirnya menuruti ucapan Jaka,
kembali ke perguruan.
"Hem... Menarik juga berita ini, akan aku seli-
diki. Aku yakin ada maksud tertentu dari seseorang,
yang sengaja membuat cerita dusta ini. Siapa kira-kira orang tersebut" Akan aku
coba untuk mengungkap
misteri ini," membatin Jaka setelah kepergian kedua orang tersebut. Setelah
membayar makanan yang di-makan. Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan ke-
dai untuk menyelidiki apa yang sebenarnya tengah ter-
jadi di desa Cipulir.
Semua mata yang hadir di situ, mengikuti ke-
pergian Jaka yang diikuti oleh seseorang dari bela-
kangnya. "Hem... Rupanya ada orang yang mengikutiku,
baik akan aku biarkan apa maunya." Merasa ada
orang yang mengikutinya, segera Jaka mempercepat
larinya dengan menggunakan ajian Delapan Angin.
Orang yang menguntitnya pun seketika kebingungan,
karena Jaka telah melesat pergi dengan cepatnya ba-
gaikan angin. 3 Jaka terus berlari meninggalkan orang yang
menguntitnya, dan berhenti setelah dirasakannya
orang itu telah tak menguntitnya lagi.
"Mana yang harus aku kerjakan" Meneruskan
mencari Alas Waru, atau menyelidiki berita gegernya
Kitab Inti Jagad." Huh, pusing. Kalau aku menyelidiki desas-desus yang
diceritakan oleh kedua orang di kedai itu, maka aku tak dapat segera menemukan
per- sembunyian Iblis Alas Waru yang telah membikin keo-
naran di wilayah wetan. Kalau aku mengejar terus Iblis Alas Waru, berarti aku
tak dapat mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi di balik kejadian di desa Cipulir tentang Kitab Inti Jagad.
Ah, biarlah aku memburu Iblis
Alas Waru dulu, setelah itu baru aku menyelidiki de-
sas-desus ini."
Sedang Jaka bingung harus berbuat apa, tiba-
tiba telinganya yang tajam mendengar suara seruling
dibawa angin yang ditiup oleh seseorang dengan mer-
dunya. Tanpa sadar, Jaka Ndableg turut berdendang
ria "Kehidupan, adalah perjalanan yang harus kita
jalani. Bila kita salah melangkahnya, kesesatan yang kita dapatkan.
Tapi bila kita ingat pada yang kuasa,
Akan selamat dunia dan akherat..."
Sambil berdendang, kakinya terus melangkah
menuju ke asal suara seruling itu ditiup. Tampak di
atas cabang pohon asem, seorang wanita duduk den-
gan santai sembari meniup seruling.
"Ni Sanak yang ada di atas, aku kagum men-
dengar suara seruling mu. Kalau boleh aku tahu, sia-
pakah gerangan Ni Sanak?" bertanya Jaka pada gadis yang duduk menyelonjorkan
kaki memandang ke
arahnya sembari menghentikan tiupan serulingnya.
Sekonyong-konyong, gadis itu segera melompat
turun dan berdiri di hadapan Jaka sembari tersenyum
dan berkata: "Ah, Sungguh beruntung hari ini diriku."
"Heh! Apa yang kau maksudkan beruntung, Ni
Sanak?" bertanya Jaka kaget, demi mendengar ucapan gadis di hadapannya yang kini
tersenyum simpatik.
"Yah, hari ini aku sangat beruntung karena te-
lah bersua dengan seorang tokoh persilatan. Terimalah salam hormat dariku yang
rendah dan bodoh ini, se-mogalah tuan pendekar berkenan menerimanya." tan-pa
menghiraukan Jaka yang terbengong-bengong tak
mengerti, gadis itu telah menjura.
Belum hilang ketidak mengertian Jaka, tiba-
tiba gadis yang menjura itu menyerangnya. Makin tak
mengerti dan terkejut Jaka Ndableg diserang tiba-tiba.
Hampir saja serangan gadis itu mengenai tu-
buhnya, kalau saja ia tidak segera berkelit menghindar sembari melompat mundur
dan bertanya: "Nona centil! Kenapa kau menyerangku?"
"Kau telah berbuat salah padaku!" menjawab si gadis sembari terus melancarkan
serangannya, membuat Jaka Ndableg makin bingung dan berusaha men-
gelit serangan-serangan yang dilancarkan si gadis.
"Apa"! Bersua saja baru sekarang, kenapa mes-
ti berbuat salah. Kalau memang aku telah bersalah
padamu, katakan apa salahku?" tanya Jaka," Kau jangan mengada-ada!"
"Dengar baik-baik. Pertama kau telah berbuat
salah, yaitu kau telah ikut berdendang, padahal aku
yang meniup seruling bukan kau. Dan yang terakhir,
aku ingin tahu sampai di mana ilmu seorang pendekar
kelas wahid macammu."
Mendengar alasan si gadis yang menyerangnya,
seketika Jaka tertawa bergelak-gelak hingga si gadis
segera menghentikan serangan dan memandang sem-
bari mengerutkan alls matanya yang lentik.
"Kenapa kau tertawa" Apakah ada yang lucu,
hingga kau tertawa seenak udel?" bertanya si gadis, makin membuat Kelana tertawa
bergelak-gelak dan
berkata. "Ni Sanak. Aku tak akan tertawa bila tak lucu,
takut dibilang gila. Bagaimana aku tak tertawa, jawa-
banmu lucu. Masa hanya karena alasan itu kau me-
nyerangku?"
"Lalu harus alasan apa aku menyerangmu?"
bertanya si gadis, yang masih berdiri mematung di
tempatnya sembari memandang Jaka yang masih cen-
gengesan. "Aku rasa, ada sebab lain."
"Ah! Apa itu?"
Mendengar pertanyaan si gadis yang tampak-
nya menyimpan sesuatu di hatinya, maka Kelana den-
gan terlebih dulu mengedipkan matanya yang mem-
buat si gadis ded-degan hatinya berkata konyol.
"Aku rasa, kau menyerangku karena kau ada..."
Jaka Ndableg tak segera meneruskan ucapannya,
membuat si gadis melototkan mata dan mendesak ber-
tanya ingin tahu.
"Ada apa"!"
"Ada hati! ya, kan?"
Gemes hati si Gadis demi mendengar ucapan
Jaka. Maka dengan pura-pura marah gadis itu kembali
menyerang Jaka yang tertawa bergelak-gelak sembari
mengelak. "Benarkan?"
"Tidak!"
"Ah, yang benar?"
"Kurang, Asem!" kesel dan berbunga-bunga hati s gadis mendengar ucapan yang
konyol, yang masih
tertawa-tawa sembari mengelakkan serangannya.
Keduanya seketika berkelebat-kelebat dengan
cepatnya, bagaikan sepasang seriti yang tengah mena-
ri-nari. Si gadis terus menyerang Jaka, yang tampak-
nya tidak untuk meladeni hingga hanya mengelak dan
mengelak dari serangan si gadis.
Tiba-tiba Jaka melompat tinggi sembari berseru
pada si gadis, yang terbengong melihat tingkahnya. "Ni Sanak! Cepatlah
bersembunyi!"
"Kenapa?" bertanya si Gadis, yang belum mengerti maksud Jaka. Namun karena ia
percaya dan te-
lah tahu siapa sebenarnya, si gadis pun segera melom-
pat ke atas dan menangkring di atas cabang pohon
asem di samping.
"Ada apa?" kembali si gadis bertanya.
"Apakah kau tak mendengar?"
Mendengar pertanyaan Jaka, segera si gadis
memusatkan pendengarannya. Terdengar dari kejau-
han langkah-langkah kaki, sepertinya menuju ke arah
di mana mereka berada.
"Benar! Sepertinya ada orang datang ke mari
dan sepertinya tidak sendirian. Hai, lihat!" berseri si gadis, menunjuk ke arah
muka di mana tampak tiga
orang tengah berjalan menuju ke arah mereka
Ketiga orang yang ditunjuk si gadis, tampak
berlari-lari dengan wajah yang diliputi ketegangan.
Sementara di belakangnya, tampak enam orang tengah
mengejar mereka.
"Sepertinya, ketiga orang itu tengah dikejar oleh keenam orang di belakangnya.
Kita harus menolong
ketiga orang itu. Hai! Bukankah orang yang me ngejar
ketiga orang itu, si Iblis Alas Waru?"
Jaka yang mendengar gumaman si gadis, seke-
tika mengernyitkan alis matanya memandang si gadis
yang kembali berkata:
"Tak disangka, akhirnya kutemukan juga iblis
itu." "Hai! Rupanya Ni Sanak telah mengenalnya.
Apakah pernah bersangkutan?" bertanya Jaka, setelah untuk kedua kalinya
mendengar gumaman si gadis
yang tampaknya memendam kemarahan dan dendam.
Sesaat gadis itu memandang ke arah Jaka, se-
belum akhirnya berkata: "Ya! Karena Iblis itu, aku kini sebatang kara. Ayah dan
ibuku mati dibunuh olehnya."
Sekilas wajah si gadis berubah sedih, kala ingat
akan kejadian yang telah menimpa keluarganya lima
tahun yang silam. Ayah dan ibunya dibantai dengan
sadis di depan mukanya, yang kala itu masih kecil. Dirinya juga hampir dibantai,
kalau saja tidak segera datang seorang tua yang menolong dirinya.
Mengingat semua itu, napas si gadis tampak
memburu. Matanya memandang bengis. Giginya ter-
dengar bergemeretukan menahan emosinya yang me-
luap-luap. Kala ketiga orang itu telah dekat ke arahnya,


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan segera tanpa dapat dicegah oleh Jaka si gadis
melompat turun. Seketika ketiga orang itu tersentak,
dan berhenti dari larinya demi melihat seorang gadis
menghadangnya. "Jangan kalian takut, Ki Sanak. Aku tak ber-
maksud buruk pada kalian, tapi aku ada urusan den-
gan orang yang memimpin kelima orang yang mengejar
kalian," berkata si gadis.
"Kalau Ni Sanak tak bermaksud buruk pada
kami, biarkanlah kami pergi untuk menghindari keja-
ran mereka," meminta salah seorang di antara ketiga orang itu.
"Tak usah kalian berlari, bersembunyilah!"
Dengan perasaan was-was, ketiga orang itupun
menurut bersembunyi di balik semak-semak yang tak
jauh dari si gadis berdiri.
Tampak enam orang berlari mendekati si gadis
yang melotot bengis ke arah pemimpin orang-orang itu.
Merasa tak punya sangkut paut apa-apa dengan gadis
di depannya. Segera pemimpin kelima orang pengejar
ketiga orang yang bersembunyi segera bertanya.
"Ni Sanak... Apakah Ni Sanak melihat tiga
orang berlari ke mari?"
Ditanya seperti itu, si gadis bukannya menja-
wab. Bahkan dengan mata tajam memandang. si gadis
membentak. "Iblis Alas Waru, apa kabar" Lima tahun sudah
kita tak bertemu, rupanya tak menjadikan kau beru-
bah"!" Dibentak begitu rupa oleh si gadis, Iblis Alas
Waru mengernyitkan kening dan memandang penuh
tanda tanya pada gadis di hadapannya yang tak diken-
al. "Iblis Alas Waru. Rupanya ketuaan mu telah
menjadikan kau pikun dan tidak mengenaliku lagi.
Atau kau pura-pura tak mengenal, agar kau bisa bebas
dariku?" bertanya si gadis dengan nada bengis.
Orang yang ditanya untuk kedua kalinya men-
gernyitkan kening dan balik bertanya.
"Ni Sanak...! Gerangan apa hingga kau berkata
kasar padaku" Melihatmu pun, baru sekarang. Bagai-
mana aku bisa mengenalmu?"
Geram si gadis mendengar ucapan Iblis Alas
Waru, maka dengan membentak si gadis kembali ber-
kata: "Dasar Iblis! Dengar! Masihkah kau ingat kejadian lima tahun yang silam di
desa Karang Asem" Di
mana kau dengan sifat iblismu, membantai sebuah ke-
luarga?" Mendapat pertanyaan dari si gadis, tampak Ib-
lis Alas Waru mengernyitkan keningnya. Kembali ia
terdiam, sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu
kejadian. Namun, ia sepertinya tak pernah membuat
keonaran di desa yang disebutkan si gadis. Maka den-
gan masih tenang, Iblis Alas Waru kembali berkata: "Ni Sanak, sungguh aku tak
mengenalmu, juga desa yang
kau sebut. Mungkin Ni Sanak telah salah lihat, atau
barang kali ada orang yang mengatas namakan nama-
ku untuk berbuat kekejaman. Jika Ni Sanak percaya,
walaupun julukanku Iblis namun aku tak pernah ber-
buat sekeji itu. Percayalah?"
Geram si gadis mendengar ucapan si Iblis, yang
dianggapnya hendak lari dari tanggung jawab. Maka
dengan penuh kemarahan, si gadispun segera menye-
rangnya. Jaka yang berada di tas pohon, seketika men-
jadi ragu demi melihat orang yang diserang si gadis.
Setahunya. Yang bernama Iblis Alas Waru, bukanlah
orang yang kini tengah berkelahi dengan si gadis.
"Hem... setahuku, Iblis Alas Waru bukan orang
itu. Kalau begitu, bukan tidak mungkin ada orang lain yang memakai nama Iblis
Alas Waru. Dan menurut pi-kiranku, orang yang mengaku Iblis Alas Waru tentunya
mempunyai wajah tiruan. Pusing, pusing! Kenapa bisa
begini" Aku harus mencegah mereka," membatin Jaka penuh tidak pengertian, sebab
setahunya Iblis Alas
Waru berbadan tinggi, besar walau wajahnya memang
seperti wajah orang yang masih diserang oleh si gadis.
Dengan segera, Jaka melompat turun dan ber-
diri di tengah-tengah kedua orang yang kini melompat
mundur karena terdorong oleh dorongan tangan Kela-
na. "Tunggu!" berseru Jaka Ndableg.
"Kenapa kau memisahkan kami?" bertanya si
gadis penuh kekecewaan dan kekesalan, demi melihat
Joko memisahkan perkelahiannya.
"Sabar, Ni Sanak. Apakah kau tak salah menye-
rang orang" Coba kau ingat-ingat, benarkah ini orang
yang dulu membantai keluargamu" Memang wajahnya
sama, tapi tidakkah kau lihat kelainan orang ini den-
gan orang yang membantai keluargamu?" bertanya Ja-ka pada si gadis, yang segera
memandang tajam pada
orang yang tadi diserangnya.
Si Gadis menatap lekat-lekat seluruh tubuh Ib-
lis Alas Waru, dan memang ada kelainan pada tubuh
orang ini dengan orang yang dulu membantai keluar-
ganya. "Benar! Orang ini berbeda dengan orang yang dulu membantai keluargaku.
Hem... Jadi siapakah se-
benarnya orang yang dulu membantai keluargaku?"
bertanya gadis itu dalam hati, lalu ucapnya kemudian.
"Maafkan aku, Ki Sanak. Sebab aku telah salah menuduh tanpa memperhatikan lebih
seksama." "Tak mengapa. Aku juga menyadari apa yang Ni
Sanak perbuat. Bagaimanapun juga, memang ada
orang yang menggunakan nama dan wajahku untuk
membuat keributan dan keonaran. Aku sendiri tak ta-
hu, siapa sebenarnya yang telah memakai nama dan
wajahku untuk berbuat kejahatan... Oh ya. Kalau ka-
lian ingin tahu siapa orang yang telah membuat nama-
ku cemar, maka ketiga orang yang kami kejar itulah
yang mengetahuinya."
Tersentak kaget si gadis, demi mendengar pe-
nuturan Iblis Alas Waru. Dengan segera, si gadis pun
berkelebat menuju semak-semak yang tadi digunakan
untuk bersembunyi ketiga orang itu.
Betapa gusar dan marah si gadis, mendapatkan
semak-semak itu telah kosong. Maka sebagai pelam-
piasan kekesalannya, dicabutnya pedang yang tergan-
tung di pundaknya dan dibabatkan ke semak-semak
itu. Orang-orang yang ada di situ, seketika datang
menghampiri karena mengira si gadis telah menemu-
kan dan membunuh ketiga orang itu dengan pedang-
nya. "Bagaimana" Apakah kau telah menemukan-
nya?" bertanya Jaka setelah gadis menghentikan sabe-tan pedangnya.
Dengan wajah penuh kekecewaan, si gadis
menggeleng lemah sembari mengangkat pundaknya.
Jaka dan Iblis Alas Waru, terharu melihat wajah si gadis yang sayu.
"Sudahlah, Ni Sanak. Hari ini kau gagal, siapa
tahu esok atau lusa kau berhasil. Oya, kita belum saling kenal. Siapakah nama Ni
Sanak, dan Ki Sanak?"
bertanya Iblis Alas Waru pada kedua orang muda di
hadapannya. "Namaku Siti Gendari."
"Aku yang bodoh ini, bernama Jaka Ndableg!"
Tersentak kaget Iblis Alas Waru demi menden-
gar nama pemuda itu, yang ia kenal dari tokoh-tokoh
persilatan bergelar pendekar Pedang Siluman Darah.
Dengan terlebih dahulu menjura, Iblis Alas Waru ber-
kata: "Ah... rupanya aku yang bodoh makin bodoh saja, terbukti aku tak sadar
tengah berhadapan dengan siapa. Dengan segala kerendahan hati, aku yang
bodoh ini mohon maaf atas kelancangan yang telah
aku lakukan. Anak-anak, menghormatlah!"
Mendengar perintah dari pimpinannya, seketika
itu kelima anak buah Iblis Alas Waru serempak menju-
ra hormat hingga membuat menggelengkan kepalanya
dan berkata: "Ah! Kalian terlalu merendahkan diri, yang se-
harusnya tak perlu kalian lakukan. Bukankah aku ju-
ga seperti kalian" Yang masih merasa membutuhkan
pertolongan orang lain?"
"Oh... Tuan pendekar sungguh baik hati, ber-
kenan memaafkan segala kesalahan kami. Bagaimana
kalau kita bersama-sama mencari orang yang menga-
ku-aku diriku?" berkata Iblis Alas Waru menyarankan.
"Baiklah, aku ikut bersamamu. Bagaimana
dengan tuan pendekar" Apakah akan turun serta?"
bertanya Siti Gendari sembari melirik Jaka, yang ter-
senyum berdiri di sampingnya.
"Tidak. Aku menyusul kalian nanti setelah uru-
sanku telah selesai. Semoga kita dapat bertemu lagi
nanti. Selamat jalan, semoga kalian selalu dalam lin-dungan Yang Maha Kuasa."
Dengan segera, Jaka Ndableg berkelebat me-
ninggalkan mereka yang memandang kepergiannya
dengan kagum. "Sungguh sangat baik budi pekertinya, jarang
orang semuda dia dan berilmu tinggi yang berbudi pe-
kerti sepertinya. Walaupun namanya sudah kesohor di
kolong langit, namun tindakan dan tingkah lakunya
tak pernah menggambarkan keangkuhan dan kesom-
bongan. Ayo kita pergi," berkata Iblis Alas Waru, setelah sesaat memandang
kepergian Kelana
Siti Gendari tersentak dari lamunannya, yang
tengah mengembara membayangkan Jaka yang telah
dengan cepat mengisi relung-relung kalbunya
"Ah...! Apakah ini yang dinamakan cinta" Apa-
kah aku telah mencintainya?" mendesah Siti Gendari dalam hati, seraya melangkah
pergi mengikuti Iblis
Alas Waru dengan membawa rasa cinta kasih di ha-
tinya. Cinta yang datang seketika, pada seorang pemu-
da yang baru saja ia kenal.
Iblis Alas Waru yang mengetahui dan mengerti
apa yang tengah dirasakan oleh Siti Gendari saat itu, hanya tersenyum
membiarkannya tanpa berkehendak
untuk mengganggu.
* * * "Berhenti! Serahkan kitab yang berada di tan-
ganmu pada kami, Rupaksi!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan, yang datang dari
atas bukit. Rupaksi dan
Sepasang Pendekar muda tengah berjalan dalam usa-
hanya mencari Jaka. Seketika ketiganya berhenti, dan
memandang ke atas bukit di mana tampak berdiri tiga
orang berwajah sangar menyeramkan.
"Ki Sanak sekalian yang berada di atas bukit,
turunlah ke bawah kalau memang ada kepentingan
dengan kami!" berseru Sendana.
Mendengar seruan Sendana, seketika Tiga Se-
tan Api melompat turun dan berdiri satu persatu
menghadapi ketiga orang di hadapannya sembari ter-
tawa-tawa. "Memang kami berkepentingan dengan kalian,
khusus dengan orang yang membawa bungkusan kain
di pundaknya," berkata Setan Api tertua sembari tertawa, diikuti oleh kedua
adiknya. "Apa yang hendak kalian ingini dari bungkusan
yang kubawa ini?" tanya Rupaksi. Tiga Setan Api tertawa bergelak-gelak hingga
tubuh mereka yang kurus
ikut terguncang.
"Rupaksi. Jangan kau kira aku dapat dikibuli
olehmu. Kami bukan anak kecil lagi. Serahkan kitab
yang kau bawa itu pada kami, atau terpaksa kami me-
rebutnya dengan jalan kekerasan?" berkata setan Api penengah, dengan melototkan
matanya yang jereng
pada ketiga orang yang berdiri di hadapannya.
"Setan Api. Kalian jangan mengada-ada, sebab
kami tak membawa apa yang kalian maksudkan. Biar-
kan kami lewat!" membentak Rekasih. Ia muak melihat tampang ketiga Setan Api
yang memandang padanya
dengan pandangan kurang ajar.
"Wew, wew, wew. Ternyata wanita secantikmu
bisa galak juga, ya" Wew, wew, wew. Mungkin kau le-
bih galak bila di atas tempat tidur, bukan begitu ka-
kak?" berkata Setan Bungsu, seraya mengerling kan matanya liar pada Rekasih.
"Setan Bangkotan! Lancang mulut kalian! Jan-
gan banyak mulut. Kalau berani hadapilah aku.
Hiat...!" Kemarahan dan kemuakan hati Rekasih pada ketiga Setan Api tak dapat
dibendung lagi. Dengan penuh amarah Rekasih segera menyerang ketiga Setan
Api yang segera melompat mundur.
"Biarkan aku saja yang menghadapi gadis liar
ini, kalian hadapilah kedua lelaki itu," berkata Setan Api tertua, yang segera
menghadapi Rekasih.
"Hai anak muda, dan kau Rupaksi. Jangan ka-
lian bengong menonton! Serahkan kitab itu pada kami,
dan mari kita main-main sebentar!"
Mendengar ucapan Setan Panengah yang ber-
nada merendahkan, mendengus marah Rupaksi. Maka
dengan segera, Rupaksi pun menerima tantangan itu
sembari berkata: "Setan Api. Kalau kalian menghendaki kitab ini, maka langkahi
dulu mayatku! Hiat!"
Tanpa dapat dicegah, Rupaksi dan Setan Pa-
nengah pun terlibat perkelahian. Tinggal Setan Bungsu dengan Sendana, yang masih
tampak berdiri saling
pandang. Mungkin karena merasa tinggal dirinya saja
yang belum berkelahi, maka dengan tanpa banyak bi-
cara Setan Bungsu pun segera berkelebat menyerang
Sendana. Diserang dengan tiba-tiba tidak menjadikan
Sendana bingung, bahkan sebaliknya. Dengan penuh
kewaspadaan, Sendana mengimbangi serangan yang
dilancarkan Setan Bungsu.
Perkelahian tiga lawan tiga itupun berlangsung
seru, karena ketiganya merupakan tokoh-tokoh persi-
latan yang diperhitungkan keberadaannya di dunia


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan. Walaupun sepasang pendekar itu masih muda,
namun dalam hal ilmu kanuragan mereka tak dapat
dianggap enteng. Sementara Rupaksi, dia sebagai adik
seperguruan Kerto Pati dari perguruan Elang Sakti, setidak-tidaknya ilmu yang
dimilikinya juga tidak rendah Jurus demi jurus mereka lalui. Pada jurus yang
kelima puluh, tiba-tiba Setan Penengah berteriak dan
berkelebat dengan cepatnya menyerang Rupaksi yang
dengan segera mengelakkannya. Namun serangan
yang dilancarkan Setan Penengah, ternyata hanya ti-
puan belaka. Sedang tujuan sebenarnya, tertuju pada
bungkusan yang ada di punggung Rupaksi.
Maka ketika Rupaksi menunduk menghindari
serangannya, dengan segera Setan Penengah menyabet
bungkusan di punggung Rupaksi.
Tersentak Rupaksi segera menyerang. Namun
Setan Penengah telah lebih dahulu mengelak dan ber-
lari menuju bukit diikuti oleh kedua saudaranya yang
segera bangun dari duduknya akibat jatuh terhantam
tendangan dan pukulan Sepasang Pendekar Muda itu.
"Jangan lari!" membentak Sendana sembari
mengejar, diikuti oleh adik seperguruannya dan Ru-
paksi. Ketiganya segera memburu ke atas bukit, di
mana ketiga Setan Api berlari.
Bukit Wirangrang kembali sepi, setelah keenam
orang itu pergi meninggalkannya saling kejar mengejar.
Angin seketika bertiup, menyapu debu-debu yang se-
ketika berterbangan ke angkasa menutupi tegalan di
bawah bukit Wirangrang.
4 Di sebuah tegalan dekat puncak gunung Cire-
mai, tampak seorang lelaki tua yang rambutnya telah
memutih tengah duduk bersila di atas sebuah batu.
Di hadapan orang tua itu, tampak seorang pe-
muda tengah menggelantung dengan kaki di atas ba-
tang pohon dan kepala di bawah. Kedua tangannya
bersidakap, sementara mata pemuda itu tampak terpe-
jam. "Anakku, Arya. Bangunlah dari semedi mu.
Bangunlah, anakku!" terdengar lelaki tua itu berkata yang ditujukan pada anak
muda yang menggantung
dengan kepala di bawah.
Perlahan. Mata pemuda itu membuka, meman-
dang pada lelaki tua di hadapannya. Dari mulutnya
seketika keluar pertanyaan yang ditujukan pada lelaki tua di hadapannya:
"Ada apakah guru membangunkan semediku?"
"Turunlah, Nak! Telah usai sudah ujian yang
kau tempuh yang kau lakukan dengan penuh ketaba-
han dan rasa percaya diri. Kini kau telah memperoleh
hasilnya," berkata kembali lelaki tua yang dibarengi dengan berkelebatnya tubuh
pemuda yang sedari tadi
menggantung turun ke bawah dan berdiri menghormat
pada lelaki tua di hadapannya.
"Anakku, sepuluh tahun sudah kau bersama-
ku. Hari ini adalah hari terakhir kau menuntut ilmu
yang telah kuturunkan semuanya padamu. Kini masa
mu untuk turun ke dunia bebas untuk mencari penga-
laman sekaligus mengamalkan ilmu-ilmu yang kau mi-
liki. Ingat, anakku. Ilmu yang telah kau miliki janganlah kau pergunakan untuk
kemungkaran. Perguna-
kanlah ilmumu untuk membela kebenaran dan keadi-
lan. Sekarang mandilah dulu, nanti kita bicara lagi."
Pemuda yang bernama Arya kembali menghor-
mat menjura sebelum akhirnya pergi meninggalkan
sang guru yang memandangnya dengan tersenyum
bangga seraya bergumam:
"Hem. Semoga kau akan menjadi seorang pen-
dekar sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan. Dengan ilmu yang kau miliki, maka kau pan-
tas disejajarkan dengan tokoh-tokoh persilatan kelas
wahid." Sang guru segera berkelebat masuk ke dalam
rumah setelah kepergian muridnya. Tak lama kemu-
dian, sang guru telah keluar kembali dengan tangan
membawa lipatan pakaian berwarna putih yang telah
ia persiapkan sejak sebelas tahun yang silam sebelum
ia mendapatkan murid. Pakaian itu terbuat dari serat
pohon yang kuat hingga dapat bertahan lama dan awet
walau sebelas tahun disimpan.
Segera dihampiri muridnya yang masih mandi.
Lalu ketika Arya muncul di permukaan air sendang, le-
laki tua itu berkata: "Arya, ini pakaianmu aku taruh di sini. Pakailah nanti
setelah kau habis mandi."
"Terimakasih, Guru."
Setelah menaruh pakaian itu kembali lelaki tua
itu berkelebat pergi meninggalkan Arya yang masih
mandi menuju ke halaman rumahnya dan duduk di
atas batu. Tak lama berselang. Tampak Arya telah selesai
mandi, datang menghampiri lelaki tua gurunya dengan
pakaian putih bersabuk merah menyala.
Setelah dekat di hadapan sang guru, seketika
Arya pun bersujud menyembah sembari berkata: "Terimalah sembah hamba."
Mendengar ucapan muridnya, lelaki tua itu ter-
senyum penuh kebahagiaan dan berkata: "Anakku,
Arya. Sembah mu aku terima, duduklah."
Dengan tanpa membantah, Arya pun segera
duduk menuruti perintah gurunya yang kembali terse-
nyum dan melanjutkan kata-katanya:
"Anakku. Hari ini telah sepuluh tahun kau be-
rada di sini bersamaku. Segala ilmu yang aku miliki telah aku turunkan padamu.
Baik ilmu kanuragan mau-
pun ilmu batin yang menjadikan dirimu sakti mandra
guna. Kau sekarang dapat disejajarkan dengan tokoh
persilatan kelas wahid yang bakal disegani baik lawan maupun kawan. Tapi,
janganlah sekali-kali kau sombong karena kesombongan akan menjadikan seseorang
menjadi takabur dan lupa pada asal-usulnya. Pergu-
nakan ilmumu pada jalan kebenaran dan keadilan
yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Bua-
nglah segala dendam karena dendam akan menjadikan
kau dengan mudah dipengaruhi iblis..."
Arya tampak terdiam menundukkan kepala,
sepertinya tengah menghayati makna ucapan sang
guru. Melihat muridnya hanya terdiam kembali sang
guru berkata meneruskan: "Karena kau kini kesak-
tiannya setingkat dengan pendekar kelas wahid maka
hari ini pula kau kuberi sebutan Malaikat Putih dari
Ciremai. Hal itu, karena disesuaikan dengan nama
yang kusandang, pendekar Malaikat Suci. Juga, kare-
na pakaianmu yang berwarna putih bersih. Sekarang
juga, pergilah ke dunia bebas. Cari olehmu ketiga
orang yang telah membunuh ayah, ibu, paman dan bi-
bimu. Tapi ingat anakku jangan sekali-kali kau men-
dendam. Ajaklah ketiganya kembali ke dunia lurus, bi-
la tak mau baru kau bertindak. Itupun jangan sampai
ketelengasan, cukup diberi pelajaran. Namun bila me-
reka memang sudah tak dapat dimaafkan dosanya,
terserah apa yang hendak kau lakukan."
"Terimakasih atas semua nasehat guru yang
akan menjadikan sebuah tongkat penuntun jalan
hamba, yang masih buta dengan kehidupan dan liku-
likunya. Terimakasih pula atas pemberian nama Ma-
laikat Putih oleh guru pada hamba. Sesuai dengan
nama tersebut, maka hamba akan berusaha menja-
lankan tugas hamba sebagai orang persilatan untuk
selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan."
Malaikat Suci tersenyum dan mengangguk-
anggukkan kepala senang, demi mendengar tutur kata
muridnya. Lalu setelah terkekeh-kekeh, Malaikat Suci
pun kembali berkata:
"Muridku ada yang aku lupa yang belum aku
sampaikan padamu."
"Apakah gerangan, Guru?"
"Dua puluh tahun yang silam, aku telah ben-
trok dengan seorang pendekar dari aliran sesat yang
berilmu tinggi. Masalahnya sepele karena ingin diang-
gap paling tinggi ilmunya, pendekar itu bergelar Kera Siluman. Dengan ilmu-ilmu
silumannya dia bermaksud menjatuhkan diriku. Tapi, alhamdulillah, Tuhan
bersamaku. Hingga aku dapat mengimbangi ilmunya,
bahkan aku mampu mengalahkannya. Merasa terka-
lahkan, kera Siluman berjanji akan mengadakan pem-
balasan dua puluh tahun kemudian tepatnya pada
purnama kelima. Ini purnama pertama, jadi empat
purnama lagi dia akan menungguku di Bukit Kematian
yang letaknya di sebelah Selatan desa Cipulir. Karena aku merasa sudah tua, aku
bermaksud mengasingkan
diri dari dunia ramai. Untuk itu, aku meminta tolong
padamu untuk menghadapinya. Kau siap?"
"Hamba siap, Guru"!" menjawab Arya atau si
Malaikat Putih dengan penuh hormat, membuat Ma-
laikat Suci terkekeh-kekeh tertawa dan kembali berka-
ta: "Nan, sekarang pergilah ke arah Timur, di sana-
lah kau dilahirkan dan dibesarkan. Di sana pula, te-
patnya di desa Cipulir kau akan menemukan orang-
orang yang telah membunuh ayahmu. Tak ada yang
dapat kuberikan untuk bekalmu, hanya do'a dan bebe-
rapa keping uang saja yang ada padaku."
Dirogohnya saku baju yang dikenakannya,
mengambil uang dan diberikannya pada Arya yang ter-
belalak melihat uang emas di tangan gurunya banyak
sekali. "Ah. Jangan terlalu banyak guru memberikan uang padaku. Aku takut,
kalau-kalau nanti menjadi
orang pemalas."
Mendengar ucapan muridnya, si Malaikat Suci
kembali terkekeh-kekeh dan berkata: "Ha,-ha, ha. Benar kata-katamu. Baiklah,
uang ini kita bagi dua saja."
Dibaginya uang yang berada di tangannya den-
gan adil, untuknya dan untuk muridnya. Akhirnya.
Kedua guru dan murid tertawa bergelak-gelak hingga
tubuh mereka turut terguncang-guncang. Setelah me-
nyalami dan mencium tangan gurunya, Malaikat Putih
pun dengan diantar gurunya pergi meninggalkan gu-
nung Ciremai yang telah mengasuhnya sepuluh tahun
lamanya. Meninggalkan gurunya yang ingin menga-
singkan diri dari dunia ramai. Dengan berlari-lari kecil, Malaikat Putih
menuruni lereng gunung Ciremai untuk
mengembara mencari kitab milik ayahnya yang ber-
nama kitab Inti Jagad yang setahunya berada di tan-
gan pamannya. * * * Jaka dan ketiga orang yang lainnya yang ten-
gah mencari Setan Api, tertarik melihat rumah yang
hancur berantakan. Segera keempatnya menuju ke
rumah itu yang tampaknya habis digunakan untuk
pertempuran. Seketika keempat orang itu tersentak kaget,
demi melihat mayat-mayat yang membusuk di rumah
Eng Djiauw Ong 21 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Raja Silat 25
^