Pencarian

Hidung Belang Penghisap Darah 2

Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Bagian 2


muridku." kata lelaki tua berkepala gundul itu dengan geramnya.
Namun tampaknya Jaka hanya tersenyum sem-
bari kembali berkata setelah melirik pada Ayu Sakiti sesaat yang tersenyum
padanya. "Orang tua. Kalau muridmu tidak jahat
aku rasa temanku ini tidak akan menurunkan
tangan jahatnya. Tapi karena kelima muridmu
memang orang-orang jahat, maka sudah sepan-
tasnyalah harus dibasmi."
Mendengar ucapan Jaka yang dirasakan-
nya ngelantur, makin geramlah lelaki tua berke-
pala gundul. Dengan mata menatapi tajam, lelaki tua berkepala gundul itu kembali
membentak. "Anak muda, rupanya kau tidak meman-
dang sebelah mata pun pada Singkek Iblis, hingga berani lancang ngomong
sembarangan. Jangan
salahkan aku yang tua ini mengajar adat pada
kalian!" Mendengar ancaman Singkek Iblis, Jaka
Ndableg bukannya takut, malah tertawa bergelak-
gelak. Hingga Singkek Iblis tersentak dengan penuh amarah.
Tanpa banyak berkata lagi, Singkek Iblis
yang sudah tak dapat menahan amarah segera
berkelebat menyerang Jaka dengan senjata lain-
nya yang berbentuk trisula.
Diserang begitu tiba-tiba, tidak menjadikan
Jaka Ndableg bingung. Maka dengan sekali berke-
lit, Jaka pun dapat mengelakan serangan Singkek Iblis. Menerima kenyataan
serangannya dapat
dengan mudah dielakkan oleh pemuda musuh-
nya, makin geramlah lelaki tua berkepala botak
itu. Dengan makin meningkatkan serangannya
yang langsung menuju ke sasaran kematian,
Singkek Iblis mencoba merangsek Jaka.
Dengan bersuit nyaring, Jaka segera men-
gelak dan membalas dengan tendangan kakinya
yang menggunakan jurus Elang Mencakar Mang-
sa. Tersentak Singkek Iblis melihat jurus aneh
yang dipakai oleh pemuda musuhnya. Dengan
melompat mundur, Singkek Iblis segera mengelu-
arkan ajiannya setelah menggeram sesaat. Seke-
tika tubuh Singkek Iblis berubah menjadi banyak.
Kini Jaka yang tersentak dan melompat
mundur seraya berkata dengan masih penuh ke-
tenangan. "Singkek Iblis. Kalau kau hendak me-mamerkan ajian silumanmu, baik.
Nah, aku pun akan mengimbanginya."
Setelah habis ucapannya, dengan segera
Jaka duduk bersila. Matanya terpejam rapat, dari mulutnya keluar ucapan yang tak
terdengar. Itulah ucapan mantera. Seketika itu, tubuh Jaka
yang tadinya kecil berubah besar dan makin be-
sar. Ajian Dewa Buto Sewu memang tak pernah
dipakai oleh Jaka sejak diajarkan, oleh Ki Bayong guru tertuanya. Sebab ajian
itu begitu hebat, juga akan mendatangkan petaka di dunia persilatan
bila tidak dapat dijinakkan oleh pemiliknya yang tengah dilanda emosi.
Ayu Sakiti tersentak mundur demi melihat
tubuh Jaka seketika berubah menjadi Raksasa
Dewa Wisnu, yang besar dan tinggi. Tawanya
membahana, menjadikan pepohonan di sekitar-
nya tumbang berhamburan.
Melihat hal itu, keseribu tubuh Singkek Ib-
lis segera menyerbu raksasa Dewa Wisnu. Maka
tak ayal lagi, kedua ajian aneh itu bertempur
mengadu kekuatan. Tinggal Ayu Sakiti sendiri
yang tampak pucat melihat hal di depan matanya.
Raksasa Dewa Wisnu mengamuk. Tangan-
nya yang besar berkelebat menangkap keseribu
Singkek Iblis. Dan dengan sekali remas keseribu Singkek Iblis itu hancur
berkeping-keping menjadi abu. Walaupun Singkek Iblis telah mati, namun Ayu
Sakiti tak juga berani memunculkan diri. Ia masih takut melihat Raksasa Dewa
Wisnu, hingga wajahnya pucat pasi.
Karena Jaka melakukan tidak dalam kea-
daan emosi, maka perubahan ujud kembali pada
dirinya semula pun tidak mengalami kesulitan.
Jaka terduduk lemas, wajahnya tampak berkerin-
gat. Sepertinya ia telah melakukan pekerjaan
yang sangat berat.
Setelah lama terdiam, Jaka pun segera
mencari Ayu Sakiti yang bersembunyi karena ke-
takutan. Walaupun ia seorang pendekar namun
demi melihat ilmu-ilmu aneh yang baru saja ia
tahu, ia takut juga.
"Ayu Sakiti, di mana kamu?" seru Jaka memanggil nama Ayu Sakiti. Tak lama
kemudian, tampak Ayu Sakiti keluar dari persembunyiannya
masih dengan wajah pucat. Hal itu membuat Ja-
ka tersenyum sembari berkata:
"Wajahmu pucat. Kenapa?"
"Aku takut."
"Takut..." Takut pada siapa?" tanya Jaka
kembali, di bibirnya terurai senyuman. Hingga
Ayu Sakiti pun turut tersenyum tersipu-sipu se-
raya berkata manja.
"Ah. Kau bercanda. Siapa yang tak takut
melihat kau berubah ujud segitu gedenya?"
Mendengar penuturan Ayu Sakiti, seketika
Jaka tersenyum sembari berkata: "Seharusnya aku tak usah mengeluarkan ajian itu
kalau Singkek Iblis tidak mendahului dengan ajian seribu
Iblisnya. Tapi sudahlah... oh ya, kenapa kau ada di sini?"
Ayu Sakiti pun menceritakan tentang apa
yang telah ia alami di kampung itu. Tak lupa Ayu Sakiti memberi tahukan tentang
siapa yang selama ini menggegerkan dunia persilatan.
*** Di perguruan Tambak Segara, tampak pagi
itu dua orang muda mudi tengah berlatih ilmu silat. Keduanya berkelebat-kelebat
dengan cepat- nya. Keduanya saling serang dan bertahan dari
gempuran yang lain.
Tak jauh dari mereka berlatih, seorang le-
laki yang rambutnya telah berubah menjadi putih duduk bersila di atas sebuah
batu yang terletak di sisi kiri pintu padepokan. Walau matanya terpejam, namun
dengan penglihatan batinnya yang
tajam lelaki tua yang bernama Ki Tambak Sande
dapat mengikuti kedua muridnya berlatih.
Salah satu dari kedua muridnya yang tak
lain dari anaknya sendiri, sementara yang seo-
rang lagi adalah Anggasana menantunya. Kedua
muda mudi itu telah dijodohkan oleh guru sekaligus ayah sang gadis yang bernama
Sekar Sedati. Hubungan kedua sejoli itu tampak intim
dan penuh kasih sayang hingga keduanya tampak
seperti Kama Jaya dan Dewi Ratih. Keharmonisan
hubungan mereka sempat menjadikan iri hati pa-
da seorang murid Ki Tambak Sande lainnya yang
bernama Kandana.
Pernah Kandana yang merasa iri hati ke-
pada Anggasana telah berusaha memperkosa Se-
kar Sedati. Namun untung segera diketahui oleh
Ki Tambak Sande, yang dengan kesaktiannya
sempat mengutuk sang murid. Hingga wajahnya
berubah menjadi buruk rupa saat itu pula.
"Ciat...! Awas, kakang Angga. Terimalah se-ranganku," kata Sekar Sedati seraya
berkelebat dengan cepat menyerang kekasihnya.
Anggasana dengan seketika mengelak, lalu
dengan terlebih dahulu memperingatkan pada
Sekar Sedati, Anggasana segera balik menyerang.
"Awas, Sekar. Ganti aku yang menyerang.
Hiaat...!"
Mungkin karena disengaja atau karena in-
gin menguji kasih sayang Anggasana, maka Sekar
Sedati tidak segera mengelak serangan Anggasa-
na. Hingga pukulan yang dilontarkan Anggasana
pun seketika mendarat di dada sebelah kanan-
nya. Sekar Sedati seketika terhuyung-huyung
ke belakang dengan muka meringis menahan sa-
kit. Anggasana sesaat tersentak demi melihat
kekasihnya terhuyung kena pukulannya den-
gan perasaan takut kalau-kalau kekasihnya ter-
luka, Anggasana pun segera memburu tubuh Se-
kar Sedati dan dengan cepatnya dipeluk tubuh
Sekar Sedati dalam pelukannya.
Menerima hal itu Sekar Sedati yang me-
mang hanya berpura-pura sakit dengan seketika
membalas memeluk Anggasana yang seketika ter-
gagap. "Kenapa kakang?" tanya Sekar Sedati, demi melihat Anggasana hendak
melepaskan pelukannya. Dengan segera, Anggasana memberi tanda
isyarat. Tapi dasar Sekar Sedati manja, sudah diberi isyarat bukannya segera
melepaskan pelu-
kannya, bahkan makin mempererat.
"Sekar. Bukankah ada ayahmu?" bisik
Anggasana memperingatkan, karena ia takut ka-
lau-kalau Ki Tambak Sande yang tengah berse-
medi melihatnya.
Sekar Sedati tak mau perduli, malah den-
gan manja dirangkul dan diciumnya pipi Angga-
sana yang seketika makin gelagapan sembari ber-
kata: "Biarin. Bukankah kita telah ditunangkan?"
"Aku tahu, Sekar. Tapi kita ini belum res-
mi, maka belum layaklah bila kita berbuat begini di depan orang lain walau itu
ayahmu," kata Anggasana kembali menjelaskan.
Belum juga Sekar Sedati berkata, tiba-tiba
terdengar suara Ki Tambak Sande berkata: "Benar, anakku. Walau kalian telah
terikat, tapi hal itu bukannya tanda kalian boleh sesuka hati berbuat. Kalian
sebagai orang-orang persilatan harus dapat menjaga hal-hal yang sekiranya kurang
baik. Nanti kalau memang sudah masanya, maka
kalian berhak atas segala yang menjadi hak ka-
lian." Anggasana tersentak kaget hingga dengan segera melepaskan pelukan Sekar
Sedati. Wajahnya merah padam menahan malu, sementara Se-
kar Sedati tampak hanya cengar-cengir manja
dan masih terus menggayuti pundak Anggasana
yang kini telah berdiri.
Sebagai murid Ki Tambak Sande yang baik,
maka merasa dirinya bersalah Anggasana tanpa
disuruh oleh gurunya segera bersujud memohon
ampun. "Ampun, guru. Tidak sekali-kali murid
bermaksud berbuat rendah. Namun bila tindakan
muridmu ini ternyata memang salah, maka murid
siap untuk menerima hukumannya," kata Anggasana sembari bersujud di depan kaki
gurunya Ki Tambak Sande yang tampak masih semedi den-
gan mata terpejam.
"Kau tidak bersalah, Angga. Memang darah
muda akan selalu dihinggapi dengan segala nafsu angkara dan kelalaian. Tapi kau
telah mampu mengatasinya. Aku bersyukur telah dapat mendi-
dikmu dengan baik hingga menjadi orang yang
mengerti tata krama kehidupan," kata Ki Tambak
Sande dengan masih memejamkan matanya.
"Ayah... Sekar juga meminta maaf karena
Sekar telah berbuat yang tak seharusnya Sekar
lakukan," Sekar Sedati segera mengikuti kekasihnya bersujud di hadapan ayahnya
dan mengakui segala kesalahannya.
Ki Tambak Sande tampak tersenyum demi
melihat kedua anak dan muridnya tampak bersu-
jud. Lalu dengan mata masih terpejam, Ki Tam-
bak Sande berkata pelan. Tapi kata-kata Ki Tam-
bak Sande seketika menjadikan Sekar Sedati dan
Anggasana terbelalak.
"Angasana dan Sekar Sedati, bersiaplah!
Sebentar lagi akan datang orang yang berilmu
tinggi yang dulu pernah kita kenal..."
Dalam keterkejutannya, Anggasana pun
melontarkan pertanyaan ingin tahu gerangan sia-
pa orang yang datang hingga ia harus bersiap-
siap. "Siapa gerangan orang itu, guru?"
Sesaat Ki Tambak Sande terdiam, lalu den-
gan membuka matanya perlahan. Ki Tambak
Sande pun berkata kembali.
"Kalian masih ingat kejadian enam tahun
yang silam?"
Terbelalak Anggasana Dan Sekar Sedati
mendengar ucapan guru dan ayahnya. Kembali
terbayang di benak Anggasana dan Sekar Sedati
wajah seseorang yang telah membuat keributan.
Tanpa sadar, Anggasana dan Sekar Sedati
bergumam menyebut nama lelaki itu.
"Kandana, mau apa dia ke mari?"
"Muridku dan anakku. Memang benar akan
apa yang kalian katakan, orang itu memang Kan-
dana adanya. Tapi ingat, dia sekarang bukanlah
Kandana yang dulu kalian kenal. Dulu kalian
mengenalnya sebagai orang yang bodoh dan dun-
gu, namun sekarang. Kandana telah bersekutu
dengan iblis, hingga ilmunya pun ilmu iblis pula.
Tapi kalian tak perlu takut, bagi seorang pendekar lebih baik mati daripada
harus menyerah ka-
lah pada iblis," kata Ki Tambak Sande memberi semangat.
"Apa yang menjadi ucapan guru, akan mu-
rid junjung tinggi dan pertahankan. Murid telah siap untuk menghadapinya, walau
nyawa murid sebagai taruhannya," sahut Anggasana dengan penuh rasa percaya diri dan siap
menghadapi segalanya.
Begitu juga Sekar Sedati, yang dihatinya
telah tertanam benih dendam atas perlakuan


Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kandana enam tahun yang silam, yang hampir
saja merenggut miliknya yang paling mahal. Maka dengan mata bersinar penuh
kebencian, Sekar
Sedati pun berkata: "Seperti kakang Anggasana, aku pun telah siap untuk mati
daripada harus menyerah pada iblis Kandana."
"Bagus. Ketahuilah, Kandana datang ke
mari dengan tujuan ingin membuat perhitungan
pada kita dan sekaligus ingin mengulangi perbuatannya enam tahun yang silam yang dapat kita
gagalkan." Sehabis berkata begitu, Ki Tambak Sande tampak berdiri dari duduknya
dan dengan mata membuka lebar ditatapnya pemandangan di
sebelah Timur rumahnya.
Melihat sang guru berbuat begitu, maka
Anggasana pun segera mengikuti di belakangnya
bersama Sekar Sedati. Kala mereka tengah me-
mandang ke arah Timur, Ki Tambak Sande den-
gan tanpa berpaling berkata: "Bersiaplah. Sebentar lagi iblis itu akan segera
datang. Aku peringatkan pada kalian, jangan terpengaruh dengan
tatapan matanya sebab jika kalian memandang
matanya celakalah kalian."
"Kenapa begitu, guru?" tanya Anggasana belum mengerti akan ucapan gurunya, dan
merasa aneh kedengarannya.
Mendengar pertanyaan muridnya, sang
guru sesaat menengok memandang pada murid
dan anaknya seraya kembali berkata menerang-
kan. "Ketahuilah. Jika kalian memandang matanya, maka kalian akan terpengaruh
oleh iblis. Kalau kalian telah terpengaruh, maka dengan
mudah iblis itu akan membunuh kalian bagaikan
membalik telapak tangannya. Pahamkah kalian?"
"Murid mengerti, guru."
"Sekar mengerti, ayah." Sesaat ketiganya terdiam hening, tak ada yang berkata-
kata. Sepertinya mereka tengah tegang menghadapi sesuatu
yang bakal menimpa mereka. Angin siang itu ti-
dak seperti biasanya. Angin siang itu tampak begitu kencang dan dingin, disertai
dengan bunyi- bunyi aneh menerpa mereka.
Hilang angin itu, tiba-tiba ketiganya tersen-
tak mendengar suara gelak tawa yang membaha-
na. Kembali ketiganya tegang, mata mereka se-
saat membeliak dan memandang sekeliling. Na-
mun mereka tak menemukan apa-apa, maka den-
gan berbisik pada murid dan anaknya Ki Tambak
Sande berkata memperingatkan. "Awas. Iblis itu telah datang, bersiap-siaplah."
Habis kata-kata Ki Tambak Sande. Seketi-
ka dari arah Timur berkelebat sesosok tubuh
dengan gelak tawa membahana menuju mereka.
"Selamat bertemu kembali, Ki Tambak
Sande" Mungkin engkau masih mengenalku, wa-
lau wajahku telah berubah tidak buruk seperti
dulu." Habis ucapan itu, tiba-tiba tanpa diketahui kedatangannya oleh Ki Tambak
Sande. Orang yang mereka maksud telah berdiri tak jauh da-
rinya, hal itu membuat Ki Tambak Sande terbela-
lak kaget. Namun sebagai seorang yang telah tersohor di dunia persilatan, dan
telah banyak ma-
kan asam garam. Ki Tambak Sande dapat segera
menghilangkan ketegangan, maka dengan nada
datar penuh ketenangan, Ki Tambak Sande ber-
kata: "Kandana, untuk apa kau datang ke mari?"
Mendengar pertanyaan Ki Tambak Sande,
seketika Kandana kembali tertawa bergelak-gelak.
Dengan senyum sinis, Kandana memandang ta-
jam pada Ki Tambak sesaat, lalu pandangannya
tertuju pada Sekar Sedati. "Hem. Rupanya kau makin tambah cantik saja, manis.
Dulu aku tak sempat mencicipi tubuhmu yang bahenol itu, kini saatnya aku harus dapat
merasakannya. Ayo, de-
nok. Kau harus mau melayaniku."
Habis berkata begitu, tanpa memandang
sedikit pun pada Ki Tambak Sande dan Anggasa-
na yang melotot marah. Kandana dengan sekele-
bat segera hendak menangkap Sekar Sedati, yang
seketika mengelak dan mengirimkan tendangan-
nya. Geram Kandana menerima hal itu. Ia tak
menyangka kalau Sekar Sedati akan menendang-
nya, hingga perutnya pun tak ayal lagi menjadi
hantaman kaki Sekar.
"Bug...!"
Terbelalak mata Kandana. Giginya bergeru-
tuk menahan amarah, hingga matanya seketika
berubah menjadi merah.
Maka dengan terlebih dahulu mengelua-
rkan suara geraman, Kandana kembali menubruk
tubuh Sekar Sedati. Tapi belum juga maksudnya
kesampaian, tiba-tiba Anggasana telah menghan-
tamkan pukulan Palu Sewunya. Dan untuk kedua
kalinya Kandana terhuyung ke belakang dengan
darah menetes di bibirnya.
Makin marah saja Kandana menerima per-
lakuan seperti itu, maka dengan menggeram
kembali dan dari mulutnya merapal ajian yang
diperolehnya di goa Pancoran Sewu yaitu ajian
Samber Nyawa, Kandana pun kembali menyerang.
Sekar Sedati dan Anggasana yang telah
waspada, dengan segera berkelit mengelakan se-
rangan Kandana yang sudah nampak memuncak
amarahnya. Merasa buruannya dapat lolos, makin ber-
tambah saja amarahnya. Dengan perasaan iblis,
Kandana pun segera mengiblatkan ajian Samber
Nyawa pada dua sejoli itu.
"Awas...!" seru Ki Tambak Sande demi melihat selarik sinar merah membara menuju
ke murid dan anaknya yang dengan segera menge-
lak. Pucat pasi wajah kedua sejoli itu demi melihat apa yang baru saja hampir
merengut nyawa mereka. Sementara Ki Tambak Sande menggu-
mam saat mengetahui ilmu yang digunakan oleh
Kandana. "Hem. Ajian Samber Nyawa. Rupanya benar apa yang telah dikatakan oleh
wangsit yang aku terima. Anggasana dan kau Sekar Sedati,
minggirlah. Dia bukan lawan kalian, biar aku
yang menghadapi," seru Ki Tambak Sande yang tahu bahwa murid dan anaknya tak
akan mampu menghadapi Kandana.
Tanpa banyak bicara. Dengan segera Ang-
gasana dan Sekar Sedati segera melompat mun-
dur. Melihat kedua musuhnya mundur, dan demi
mendengar ucapan Ki Tambak Sande, dengan se-
nyum sinis Kandana berkata sengau: "Hem. Rupanya kau telah tahu ilmu yang
kugunakan. Nah,
sekarang kuperintahkan pada kalian. Menyerah-
lah!" Mata Anggasana dan Sekar Sedati terbelalak demi mendengar ucapan Kandana,
seketika keduanya memandang pada Ki Tambak Sande
yang tampak masih tenang dan tersenyum sinis
dan berkata menjawab ucapan Kandana.
"Kandana. Jangan kau berbesar hati dan
sombong karena telah memiliki ilmu iblis. Pan-
tang bagiku, Ki Tambak Sande menyerah pada ib-
lis. Nah, Aku telah siap menghadapimu, walau-
pun nyawaku sebagai penggantinya."
"Hem. Begitu. Baik, bersiaplah kau kukirim ke akherat. Bersiaplah, hiat...!"
Habis berkata begitu, dengan secepat kilat Kandana berkelebat
menyerang Ki Tambak Sande. Tangan Kandana
yang telah merapalkan aji Samber Nyawa tampak
merah menyala bagaikan bara api, dengan segera
dikiblatkannya pada Ki Tambak Sande yang--
segera mengelak dan langsung mengirimkan se-
rangan balik dengan aji Gampar Bumi.
Kedua kekuatan sakti itu saling bertemu
dan beradu di udara, menjadikan suara ledakan
dahsyat. "Blaar...!"
Ki Tambak Sande terdorong lima tombak
ke belakang, dadanya terasa sesak. Sementara
Kandana tampak hanya melengoskan tubuhnya
menerima hantaman itu, di bibirnya tergerai se-
nyum sinis mengejek.
Kaget Ki Tambak Sande, demi melihat ke-
nyataan yang ada di hadapannya. Hatinya seketi-
ka bergumam: "Hem. Memang bukan ilmu sembarangan, tapi apapun yang terjadi
daripada aku harus menyerah kalah pada iblis, lebih baik aku mati." Tanpa disadari Kandana.
Ki Tambak Sande
dengan segera kembali berkelebat menyerang
Kandana. Diserang tiba-tiba seperti itu, membuat Kandana menggeram dan
mengumpat-umpat marah sembari berkelit.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus ce-
pat-cepat, tua bangka!" Dengan reflek yang tinggi, Kandana segera mengiblatkan
kembali tangan yang telah disaluri ajian Samber Nyawa ke arah
Ki Tambak Sande yang tak menduga. Hingga tan-
pa dapat berkelit, Ki Tambak Sande akhirnya
hanya mampu mengadunya dengan ajian Gampar
Bumi. Dan... Kembali terdengar suara ledakan
membahana di angkasa. "Duar!" Untuk kedua kalinya Ki Tambak Sande terdorong ke
belakang, kali ini malah makin fatal akibatnya. Ki Tambak Sande tampak bukannya terdorong
saja, malah kini terluka dalam.
Sementara Kandana tampak makin mele-
barkan senyumnya, demi menyaksikan musuh-
nya terkapar dengan tangan memegangi dadanya.
Maka dengan congkaknya Kandana tertawa se-
raya berkata: "Sudah aku bilang, percuma saja kalian melawanku. Maka begitulah
akibatnya, ha... ha..."
Mendengar ucapan Kandana yang som-
bong, membuat Anggasana dan Sekar Sedati yang
tengah mengerumuni tubuh Ki Tambak Sande
menggeram. Dan dengan nekad, keduanya segera
berkelebat menyerang Kandana seraya berkata
membentak: "Jangan takabur iblis. Langkahi dulu mayat kami, sebelum kau dapat
menguasai diri kami," kata keduanya hampir berbarengan.
"Hem. Bagus. Rupanya kalian pun meng-
hendaki mati, baiklah. Akan aku kirim kalian semuanya ke akherat, walaupun aku
merasa sayang dengan tubuhmu yang bahenol itu, Sekar.
Namun kalaupun begitu, aku akan menikmati du-
lu tubuhmu sebelum aku kirim kau ke neraka."
Kandana yang telah dirasuki iblis, tanpa
mengenal rasa kasihan segera memapaki seran-
gan keduanya dengan ajian Samber Nyawa. Dice-
carnya tubuh Anggasana, sementara Sekar Sedati
yang memang diinginkannya hidup. Dibiarkannya
menyerang. Pertarungan dua lawan satu pun terus ber-
jalan. Walaupun demikian, tampak Kandana den-
gan mudah dapat mendesak keduanya. Hingga
pada sebuah kesempatan, Kandana dapat meng-
hantamkan ajian Samber Nyawanya ke tubuh
Anggasana yang seketika hangus mati.
Melihat kekasihnya mati di tangan Kanda-
na, Sekar Sedati dengan nekad menyerang Kan-
dana berhadap-hadapan. Untung Kandana tidak
menurunkan tangan mautnya. Hingga ketika ke-
duanya bentrok, Sekar Sedati tak mengalami hal
seperti kekasihnya. Namun tubuhnya seketika
lemas, terkena totokan yang dilancarkan oleh
Kandana. Kandana tampak meringis tersenyum, demi
melihat tubuh Sekar Sedati tergeletak dengan tak berdaya. Perlahan didekatinya
tubuh Sekar yang
tergeletak lemas, membuat Sekar Sedati membe-
liakkan matanya penuh kebencian. Dari mulutnya
keluar caci maki. "Iblis laknat, lepaskan aku. Aku tak sudi melayanimu, cih!"
Dicaci maki seperti itu, bukan menjadikan
Kandana marah. Bahkan dengan tersenyum,
Kandana pun segera membuka pakaian yang me-
lekat di tubuh Sekar yang hanya mampu meme-
jamkan mata rapat-rapat pasrah.
Ki Tambak Sande yang menyaksikan hal
itu menjadi sangat geram dan dengan sisa-sisa
tenaganya segera melompat menyerang Kandana.
Ditendangnya Kandana yang tengah mengang-
kangi tubuh anaknya hingga terpental mencium
tanah dan dengan segera dibebaskannya totokan
yang membelenggu tubuh anaknya hingga terbe-
bas. Setelah Sekar Sedati terbebas, disuruhnya
Sekar Sedati pergi
"Cepat tinggalkan tempat ini. Cepat!"
Mulanya Sekar Sedati tampak ragu, hingga
membuat Ki Tambak Sande kembali membentak-
nya. "Anak dungu! dia tak akan membunuhmu, namun dia akan memperkosamu. Cepat
pergi!" "Tapi, ayah?" tanya Sekar Sedati ragu hingga membuat Ki Tambak Sande melotot
marah dan kembali membentak.
"Dungu! Jangan kau hiraukan aku. Cepat
pergi!" Maka dengan menurut tanpa banyak kata lagi, Sekar Sedati pun segera
berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Kandana yang sudah berdiri kembali ber-
maksud mengejar Sekar Sedati yang berlari, keti-ka dengan segera Ki Tambak Sande
menghadang- nya. Geram Kandana merasa buruannya lolos
karena Ki Tambak Sande, maka tanpa ampun lagi
Ki Tambak Sande pun dengan segera menjadi bu-


Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lan-bulanan kemarahan Kandana hingga tubuh-
nya hancur. Belum puas sampai di situ, diten-
dangnya tubuh Ki Tambak Sande hingga me-
layang jauh. "Bedebah! Dendamku belum habis bila aku
belum dapat merasakan tubuh Sekar Sedati.
Hem... Ke mana pun larinya, akan kukejar." Sehabis berkata begitu, tubuh Kandana
seketika berkelebat menuju ke arah yang ditempuh Sekar
Sedati. *** 4 Jaka dan Ayu Sakiti tengah berjalan dalam
usahanya memburu manusia bermuka hantu
yang telah menggemparkan dunia persilatan.
Sudah cukup jauh mereka berjalan, me-
nyusuri hutan dan desa namun belum juga mere-
ka menemukan jejak yang dapat menuntun me-
reka menunjukkan adanya orang tersebut.
Siang itu keduanya tampak berjalan beri-
ringan menyusuri jalan Setapak di tengah hutan
yang belum dijamah oleh manusia.
"Ke mana kita harus mencarinya" Rasa-
rasanya sangat susah bagi kita untuk dapat me-
nemukannya. Aku yakin bahwa orang
mungkin telah mencium maksud kita," kata Jaka dengan putus asa, menjadikan Ayu
Sakiti mengernyitkan alis.
"Kenapa kau menjadi orang yang pesimis"
Bukanlah seorang pendekar bila cepat menyerah."
Jaka nyengir kuda, demi mendengar uca-
pan Ayu Sakiti yang dirasa menyindirnya. Maka
tanpa dapat berkata lagi, Jaka pun segera melanjutkan langkahnya dengan perasaan
malu. "Ke mana kita?" kembali Jaka bertanya untuk kedua kalinya, Ayu Sakiti kembali
menger- nyitkan pelipisnya. Dipandangnya Jaka dengan
tajam, hingga membuat Jaka salah tingkah dan
bertanya heran.
"Kenapa kau memandangku begitu" Apa
ada yang tak beres padaku?"
"Ada," jawab Ayu Sakiti dengan muka cemberut. Membuat Jaka makin tak mengerti
dengan tingkahnya. "Hai... kau marah padaku" Ada ucapanku
yang menyinggung perasaanmu, Ayu?" Melihat Ayu Sakiti cemberut begitu rupa
timbul di hati Jaka untuk menggoda. Dengan berkelebat cepat.
Jaka segera meninggalkan ayu Sakiti yang ter-
bengong-bengong sembari mencari-cari.
"Ke mana dia?" tanya hati Ayu Sakiti. Di-panggilnya Jaka dengan berteriak-
teriak. "Jaka...!
Di mana kau?"
Tanpa ada jawaban, membuat Ayu Sakiti
makin bingung. Walaupun dia seorang pendekar,
tapi dia juga seorang wanita. Ditinggal sendirian di dalam hutan yang masih
perawan, seketika bu-lu kuduknya meremang berdiri.
Sedang Ayu Sakiti ketakutan. Tiba-tiba
terdengar suara yang menyeramkan.
"Hem...aum!"
Ayu Sakiti semakin ketakutan, dicarinya
asal suara itu, namun ia tak menemukan apa-apa
di sekitarnya. Keringat dingin seketika deras
membasahi pelipis Ayu Sakiti, lalu dengan geme-
taran Ayu Sakiti kembali berseru memanggil.
"Jaka...! Di mana kau"!
"Ha... ha...! Anak manis, sedang apa kau di sini sendirian?" Tiba-tiba terdengar
suara orang tanpa ujud, membikin Ayu Sakiti seketika terduduk dengan tubuh
gemetaran. Belum hilang rasa takutnya, sekonyong-
konyong sesosok tubuh berkelebat dan langsung
memeluknya hingga Ayu Sakiti terlonjak sembari
menjerit. "Auh...!"
Orang yang memeluknya yang ternyata Ja-
ka Ndableg, seketika tertawa terpingkal-pingkal membuat Ayu Sakiti kembali
cemberut. Tapi ketika Jaka hendak melepaskan pelukannya, Ayu Sa-
kiti malah melingkarkan kedua tangannya ke leh-
er Jaka dan merebahkan kepalanya pada dada
Jaka. "Ayu, sadarlah."
"Tidak!" jawab Ayu Sakiti dengan manja, yang membuat Jaka seketika bingung harus
berbuat apa. Jaka pun akhirnya hanya terdiam
membiarkan Ayu Sakiti rebah di dadanya.
Keduanya sesaat terlelap dalam diam. Tak
terasa Ayu Sakiti meragakan getaran aneh di ha-
tinya, hingga tanpa disadarinya makin erat Ayu
Sakiti memeluk tubuh Jaka. Kedua insan muda-
mudi itu seketika saling pandang, bibir mereka
akhirnya yang bicara mengutarakan isi hati.
Benih-benih cinta pun tumbuh, seirama
dengan desiran angin yang merambat lewat de-
daunan. Lama keduanya saling berciuman. Jaka
Ndableg tersadar dan dengan perlahan mele-
paskan pelukan Ayu Sakit sembari berbisik.
"Ayu, sadarlah. Kita tengah berada di da-
lam hutan. Dan tidakkah kita tengah memburu
seseorang" Kalau kita menuruti hati kita, bukan tak mungkin kita yang akan
celaka oleh musuh."
Mendengar penuturan Jaka, Ayu Sakiti
pun akhirnya mau melepaskan rangkulannya
dengan tersipu-sipu, sementara matanya yang
lentik memandang sayu penuh rasa kagum dan
cinta pada Jaka.
Jaka mengerti akan apa yang tersirat dari
pandangan Ayu Sakiti, seperti halnya dengan ha-
tinya sendiri yang juga merasakan adanya geta-
ran-getaran aneh.
Dari bibir Ayu Sakiti yang mungil, dengan
perlahan keluar kata-kata. "Jaka, aku harap kau jangan meninggalkanku. Aku yakin
kau mengerti perasaanku."
Mendengar ucapan Ayu Sakiti yang tulus
dan polos, tak terasa Jaka berkaca-kaca matanya tak mampu untuk berucap, hanya
anggukan kepala saja yang dapat ia lakukan sebagai jawaban.
Berbunga hati Ayu Sakiti, melihat Jaka
menganggukkan kepalanya, bagaikan anak kecil
saja, Ayu Sakiti segera memeluk Jaka kembali seraya berseru girang.
"Terima kasih, Jaka. Ternyata cintaku tak
bertepuk sebelah tangan."
Melihat Ayu Sakiti tampak bahagia, Jaka
pun merasa turut bahagia. Entahlah, baru sekali ini Jaka merasakan getaran
perasaan lain pada
Ayu Sakiti. Keduanya kembali terhanyut dalam kein-
dahan asmara, yang membawa mereka ke alam
indah penuh misteri yang tak dapat dipecahkan.
Sedang keduanya berciuman, tiba-tiba ke-
duanya dikagetkan oleh bentakan seseorang. "Kurang asem! Berani benar menjadikan
wilayahku untuk bermesraan. Hai monyet-monyet muda,
apa kau tidak tahu jika hutan ini adalah wilayah kekuasaanku, hah!"
Jaka dan Ayu Sakiti tersentak, hingga ci-
uman mereka pun terlepas. Namun yang mem-
buat marah Jaka bukannya itu, tapi ucapan lelaki gembrot yang kini berada tiga
tombak di hadapannya. Maka dengan balik membentak, Jaka
pun berkata. "Hai babi gudig! Apa hakmu mela-rang kami, ini adalah hutan. Maka
siapa pun berhak untuk singgah atau bermukim di sini,
jangan seenak udel saja kau mengaku-aku yang
bukan menjadi hakmu."
"Bojleng-bojleng. Kera kurapan, rupanya
kau belum tahu siapa kau hingga berani lancang
ngomong sembarangan," dengus lelaki gembrot itu dengan marahnya, demi mendengar
ucapan yang dilontarkan Jaka.
Ayu Sakiti hanya tersenyum menyaksikan
kekasihnya tengah berperang mulut dengan lelaki gendut yang telah mengganggu
mereka. "Aku tak perduli siapa kau. Yang pasti, kau tak lebih dari orang-orang jahat
hingga tempatmu di hutan seperti ini, agar kau tak dapat diburu oleh orang-orang
penegak kebenaran dan keadi-lan. Nah mengakulah, agar aku dapat menang-
kapmu untuk kuserahkan ke kerajaan," kata Ja-ka mereka-reka.
Namun ternyata rekaan Jaka benar
adanya. Terbukti lelaki gemuk itu tersentak demi mendengar ucapan Jaka Ndableg
yang tadinya hanya mereka, kini merasa yakin bahwa orang itu memang jahat. Maka sebelum
lelaki gembrot itu
berkata, Jaka telah mendahuluinya.
"Nah, kau akhirnya mengakui siapa kau
sebenarnya. Ayu, dia ternyata seorang buronan
kerajaan. Maka sepantasnyalah kita harus me-
nangkapnya."
"Benar, kakang. Orang-orang macam dia
memang harus ditangkap dan dijebloskan ke pen-
jara, atau harus dihukum picis sesuai dengan ke-
jahatannya." jawab Ayu Sakiti.
Lelaki gemuk itu seketika marah, demi
mendengar kedua anak muda di hadapannya
berkata. Ia memang seorang buronan kerajaan,
tanpa banyak kata lagi menyerang.
"Monyet-monyet gendeng, memang aku
musuh kerajaan. Akulah yang bernama Begal
Bajing Ireng. Kalau kalian mau menangkap aku
langkahi dulu mayatku."
Tubuh Begal Bajing Ireng yang gemuk ter-
nyata tidak menjadikannya kaku. Bahkan dengan
tubuh yang gemuk, Begal Bajing Ireng bergerak
lincah menyerang Jaka.
Merasa dirinya tak perlu untuk turun tan-
gan. Maka Jaka dengan segera melompat mun-
dur, menonton Ayu Sakiti bertempur menghadapi
Begal Bajing Ireng. Merasa Ayu Sakiti adalah seperti wanita kebanyakan. Begal
Bajing Ireng men-ganggap enteng saja. Ia tak mengetahui siapa sebenarnya yang
tengah ia hadapi, yang tak lain da-ri murid tunggal Ki Martanu.
Begal Bajing Ireng tersentak, ketika tangan
Ayu Sakiti berkelebat cepat dan menghantam tu-
buhnya yang gendut hingga terhuyung ke bela-
kang. "Bojeng-bojeng, lebih baik menyerahlah.
Kalau kau mau menyerah, maka akan ringan hu-
kumanmu," kata Jaka yang tampak tenang duduk di atas sebatang pohon yang
tumbang. Geram Begal Bajing Ireng merasa diremeh-
kan. Maka dengan mendengus marah, ia pun
kembali menyerang Ayu Sakiti.
"Rupanya kau alot juga, orang tua. Baik!
Ayo kita teruskan," kata Ayu Sakiti, demi melihat Begal Bajing Ireng yang
kembali menyerangnya.
Pertempuran keduanya pun kembali berja-
lan. Sementara Jaka tampak hanya memandang
mengawasi dengan siaga, kalau-kalau terjadi se-
suatu yang tak diinginkan.
Sedang keduanya berkelahi. Tiba-tiba ter-
dengar suara seorang wanita berseru: "Kakang Bajing Ireng, biar sundel ini aku
yang menghadapi. Kakang hadapilah pemuda itu, jangan biarkan pemuda itu ongkang-
ongkang di tempatnya." Habis ucapan itu, berkelebat seketika sesosok tubuh gadis
yang sebaya dengan Ayu Sakiti dan langsung menggantikan Bajing Ireng yang segera
me- nyerang Jaka yang sedari tadi menjadi penonton.
"Heh bagus. Rupanya di sini ada kuntila-
nak juga! Baiklah kalau kau mengingini berhada-
pan dengan aku," kata Jaka seraya mengelakan pukulan Begal Bajing Ireng.
Kini pertarungan menjadi ramai, dengan
turunnya adik Bajing Ireng. Jaka yang sudah se-
dari tadi melihat ilmu Begal Bajing Ireng, dengan tenangnya meladeni setiap
serangan yang dilancarkan Bajing Ireng.
"Ayu... sia-sia kita mengulur waktu, lihatlah." Habis berkata begitu, tangan
Jaka berkelebat dengan cepatnya dan...!
"Bug, bug bug!"
Bersamaan dengan itu, seketika tubuh Baj-
ing Ireng terdorong ke belakang dan jatuh.
Bersamaan dengan itu pula, Ayu Sakiti
yang mendapatkan musuh di bawah ilmunya
memekik dan menghantam telak pukulannya ke
tubuh adik Bajing Ireng yang seketika menjerit
dan roboh. Tanpa memperdulikan lagi kedua kakak
beradik yang mereka robohkan, Jaka dengan se-
gera menggandeng tangan Ayu Sakiti berkelebat
pergi meninggalkan hutan itu.
*** 5 "Sampurasun...! seru seorang lelaki di de-
pan pintu rumah Tumenggung Panggaluh. Lelaki
itu memandang ke dalam halaman rumah, dalam
hatinya bergumam. "Hem... rumah ini masih seperti yang dulu, segalanya tak ada
yang berubah seperti setahun setengah yang lalu."
Sedang ia terdiam memandangi rumah itu,
dari dalam rumah tampak seorang wanita muda
keluar dan menyahuti:
"Rampes... siapakah gerangan, Ki sa-
nak?""tanya wanita muda yang tak lain dari pada istri Tumenggung Panggaluh yang
bernama Dewi Sekasih dengan senyum ramah, membuat jan-
tung pemuda itu seketika bergetar.
"Ah. Betapa cantik dan tanpa celanya Dewi
Sekasih. Sungguh tak setara bila harus Tumeng-
gung Panggaluh yang mendampinginya, harusnya
aku. Ya, aku yang harus mendampingi Dewi Se-
kasih yang cantik," gumam hati lelaki muda itu, hingga ia pun terdiam. Matanya
memandang tajam pada mata Dewi Sekasih yang tak mampu
mengelakan pandangan mata pemuda di hada-
pannya.

Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kanjeng Dewi. Apa benar Tumenggung
mencari seorang pesuruh untuk menyabit rum-
put?" tanya si pemuda setelah dapat mempengaruhi Dewi Sekasih dengan mata
iblisnya. Hati dewi Sekasih yang sudah dikuasai
oleh ilmu iblis pemuda itu, seketika bergetar.
Dengan senyumnya yang manis Dewi Sekasih
membuka pintu dan mempersilahkan tamunya
masuk. "Terima kasih, Kanjeng Dewi. Hamba
hanya ingin menanyakan kebenaran berita, bah-
wa Kanjeng Tumenggung tengah mencari tukang
arit," kata lelaki itu kembali.
Dewi Sekasih terdiam dengan mata me-
mandang penuh nafsu.
"Dulu memang mencari seorang lelaki un-
tuk mengarit. Namun kini telah ada. Lagi pula,
apakah ki sanak yang tampan ini hendak menjadi
tukang arit?" tanya Dewi Sekasih setelah lama terdiam. Di hatinya tumbuh sebuah
perasaan yang aneh kala memandang mata pemuda itu,
hingga Dewi Sekasih tampak ingin manja.
"Kalau begitu, baiklah. Aku mohon pamit,"
kata lelaki muda itu hendak pergi. Namun dengar tepatnya Dewi Sekasih yang sudah
terpengaruh oleh ilmu iblis pemuda itu segera menghadang-
nya. Dan dengan tersipu-sipu berkata manja.
"Anak muda, mengapa mesti terburu-
buru?" "Maaf, Kanjeng Dewi. Karena hamba bertu-juan hendak mencari kerja dan
ternyata di sini
tak ada, jadi hamba bermaksud kembali ke kam-
pung hamba." Pemuda itu hendak kembali berlalu, ketika untuk kedua kalinya Dewi
Sekasih se- gera menghalanginya dengan berseru memanggil.
"Anak muda, tunggu!"
"Ada apakah Kanjeng Dewi?"
"Kenapa mesti terburu-buru?"
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah la-
ku Dewi Sekasih yang telah terpengaruh oleh il-
munya. Maka dengan pura-pura, pemuda itu ber-
kata: "Kanjeng Dewi, tidak baik aku lama-lama di sini. Aku takut nanti ketahuan
oleh Kanjeng Tumenggung atau prajurit-prajuritnya, apa jadinya?"
Dewi Sekasih bukannya mendengar uca-
pan pemuda itu yang menuturinya. Namun seba-
liknya, Dewi Sekasih hanya tersenyum. Tanpa
terpikir oleh pemuda itu sebelumnya, Dewi Seka-
sih tiba-tiba telah melingkarkan tangannya ke
leher pemuda itu.
"Kanjeng Dewi," kata pemuda itu pura-pura kaget. Tapi hatinya bersorak senang,
sebab apa yang diimpi-impikannya selama ini telah terpenu-hi. Dalam hati pemuda itu
berkata: "Hem, apakah
aku menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini.
Tidak!" "Anak muda, janganlah kau tinggalkan aku. Berilah aku kehangatan. Aku...
aku telah lama mendambakan orang yang mengerti tentang
perasaanku." Setelah berkata begitu, Dewi Sekasih segera membimbing pemuda itu
yang hanya diam saja menuju ke kamarnya.
"Kanjeng Dewi. Kau...?" tergagap pemuda itu ketika tubuhnya di tarik menuju ke
dalam kamar. Namun Dewi Sekasih tampak hanya ter-
senyum, dan dengan manja berbisik.
"Kanjeng Tumenggung tak ada di rumah,
begitu halnya dengan kelima prajuritnya. Mereka tengah menghadap raja untuk
membicarakan masalah yang kini tengah melanda dunia persila-
tan dan kerajaan ini."
"Masalah apa?" tanya pemuda itu ingin ta-hu. Karena telah dikuasai ilmu iblis si
pemuda, Dewi Sekasih pun dengan tanpa menaruh curiga
menceritakannya.
"Jadi Kanjeng Tumenggung dan prajurit-
prajuritnya kini tengah menghadap Sri Baginda?"
tanya pemuda itu setelah dapat mengorek geran-
gan apa yang menjadikan Sri Baginda memanggil
Tumenggung. "Ya... maka dari itulah, aku mohon kau
mau menemaniku. Berilah aku kehangatan anak
muda. Sungguh... aku selama ini didera oleh rasa sepi dan ketidakpuasan, karena
Tumenggung orangnya loyo."
Tersenyum pemuda itu mendengar penga-
kuan Dewi Sekasih yang seketika itu menggelin-
jang kegelian penuh nikmat.
Akhirnya keduanya pun bercanda sambil
menikmati kenikmatan yang tengah mereka laku-
kan. "Ayo anak muda, berilah aku kepuasan, aku yakin kau pun sebenarnya
menghendaki diriku bukan?" kata Dewi Sekasih sembari tertawa-tawa kegelian
ketika tangan pemuda itu liar men-jarah tubuhnya.
"Kalau itu yang dikehendaki Kanjeng Dewi,
maka hamba pun siap memberikannya." Dengan penuh nafsu setan, pemuda itu
menggeluti tubuh
Dewi Sekasih yang hanya mampu memejamkan
mata dan sekali-kali membukanya.
*** "Hem, mengapa sepi?" gumam hati Tu-
menggung Panggaluh saat melihat keadaan ru-
mahnya tampak sepi. "Ke mana Dewi" Kenapa tidak mengetahui kedatanganku" Jangan-
jangan...?" Seketika perasaan Tumenggung Panggaluh tidak enak. Segera
diperintahkannya Karta untuk masuk lebih dahulu.
Tersentak Karta, saat melihat apa yang
tengah terjadi di depan matanya. Istri Tumeng-
gung tampak dengan tubuh setengah telanjang
tengah dikangkangi oleh seorang pemuda yang
belum ia kenal.
"Dajal buntung!" bentak Karta dengan penuh amarah, dan diserangnya pemuda yang
men- gangkangi istri Tumenggung.
Mendengar bentakan Karta, serta merta
pemuda itu segera bangkit. Dengan tubuh seten-
gah telanjang, pemuda itu segera berlari keluar.
Namun di luar tampak keempat prajurit lain ber-
sama Tumenggung Panggaluh telah menghadang-
nya. "Dajal! Rupanya kaulah buaya darat yang telah membuat keonaran.
Tangkap...!" seru Tumenggung Panggaluh dengan penuh amarah. Se-
ketika keempat prajuritnya segera berkelebat se-rentak menyerang pemuda itu.
Karta yang mengejar kini turut menggem-
purnya. Walaupun dikeroyok oleh lima orang pra-
jurit, namun tampaknya pemuda itu dengan mu-
dah mengelakkan serangan mereka.
"Hem... karena kalian telah tahu siapa
orang yang selama ini menjadi buah bibir, maka
aku perintahkan kalian segeralah menyembah,"
kata pemuda itu dengan sombong.
"Iblis! Jangan karena kau terkenal lalu
sombong! Kami prajurit-prajurit Ketemenggungan, pantang bagi kami untuk
menyerah. Apapun
maumu, kami turuti. Serang...!" kata Karta selaku pimpinan prajurit
Ketemenggungan yang dengan
segera dilaksanakan oleh keempat prajurit Kete-
menggungan. Kelima prajurit itu pun dengan se-
rentak menyerang pemuda di hadapannya, yang
masih tampak tersenyum sinis mengejek.
Tanpa dapat dicegah, pertarungan satu
melawan lima pun tak dapat dielakkan. Kelima
prajurit-prajurit setia Tumenggung Panggaluh
dengan gagah berani menyerbu.
Pemuda itu makin melebarkan senyumnya.
Sekali tangannya berkelebat, terdengar pekikan
membahana dari prajurit Ketemenggungan. Dua
di antara kelima prajurit itu tersungkur mencium tanah dengan tubuh hangus.
Tumenggung Panggaluh tersentak demi
melihat ajian yang dipakai oleh pemuda itu, hing-ga dari mulutnya terdengar
menggumam. "Hem, Aji Samber Nyawa. Anak muda, apa hubunganmu
dengan Iblis Pancoran Sewu!" bentak Tumenggung Panggaluh, yang membuat si pemuda
untuk sesaat tersentak kaget.
"Ketahuilah oleh kalian. Aku adalah murid
Sri Ratu Siluman, yang bertahta di goa Pancoran Sewu, untuk itu aku minta kalian
menyerahlah."
"Iblis! Pantas perbuatanmu biadab seperti
buaya, tak tahunya kau memang siluman ular
putih. Walaupun begitu, aku tak akan menyerah.
Ayo prajurit, serang iblis laknat itu!" seru Tumenggung Panggaluh. Dengan segera
dilakukan oleh ketiga prajuritnya yang masih tersisa. Wa-
laupun mereka agak jeri. Namun demi membela
nama baik Ketemenggungan, rasa takut di hati
mereka seketika dibuang jauh-jauh dan berganti
dengan rasa patriotisme yang tinggi.
Kembali pertarungan di antara prajurit Ke-
temenggungan mengeroyok pemuda berilmu iblis
itu terjadi. Walau ketiga prajurit itu merupakan praju-
rit pilihan, namun menghadapi si pemuda, keti-
ganya bagaikan tak ada apa-apanya. Hingga den-
gan mudah pemuda itu kembali dapat menjatuh-
kan mereka, yang memekik meregang nyawa.
Terbelalak mata Tumenggung Panggaluh
menyaksikan ketiga prajuritnya mati. Dengan pe-
nuh amarah Tumenggung Panggaluh segera me-
lompat dari kudanya langsung menyerang pemu-
da di depannya.
Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadi-
kan si pemuda keteter. Bahkan dengan enaknya,
pemuda itu berkelit dan melakukan serangan ba-
lik. "Bagus! Memang hal itu yang aku inginkan.
Aku ingin tahu, sampai di mana ilmunya seorang
Tumenggung," kata pemuda itu dengan senyum mengejek, membuat Tumenggung
Panggaluh makin marah.
Dengan membabi buta laksana banteng ke-
taton, Tumenggung Panggaluh mencoba merang-
sek si pemuda, yang tampak masih tenang den-
gan senyum di bibirnya mengelakan serangan
Tumenggung. Mungkin karena usianya yang jauh lebih
tua, seketika serangan Tumenggung Panggaluh
yang tadi keras berubah mengendur. Hal ini ma-
kin membuat pemuda itu tertawa mengejeknya.
Tanpa ayal lagi... tubuh Tumenggung
Panggaluh pun terkena, dihantam oleh si pemu-
da. Panggaluh seketika terhuyung ke belakang ti-ga tombak, dadanya terasa sakit.
Dari mulutnya yang menetes darah menggeram. "Hem... jangan kira kau telah menang, anak muda.
Ayo kita lanjutkan."
"Hem... rupanya kau masih kuat, Tumeng-
gung. Baiklah! agar kau tak penasaran setelah
mati, maka ketahuilah olehmu, aku yang dibica-
rakan oleh orang-orang tak lain dari pada Kanda-na bekas juru aritmu."
Makin terkejut Tumenggung Panggaluh,
demi mendengar nama pemuda itu. Ia tak me-
nyangka, pemuda yang dulu buruk dan lemah.
Kini menjadi tampan dan berilmu tinggi. Namun
ketika ia ingat akan siapa yang menjadi guru si pemuda Kandana, seketika ia tak
merasa ragu la-gi.
"Rupanya kau orangnya, kenapa dulu aku
tak membunuhmu. Dan aku rasa, kaulah yang
pernah membuat firasat jelek waktu itu. Rupanya kau bermaksud mempengaruhi
istriku dengan il-mu iblismu, beruntung aku memergoki nya!" geram Tumenggung
Panggaluh marah, hingga gi-
ginya tampak beradu dan lehernya tampak meng-
gembung. Kandana tertawa bergelak-gelak.
"Nah, kau telah tahu segalanya. Kuharap
kau akan mati dengan tenang, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Kandana segera me-
rapalkan ajian Samber Nyawanya. Dengan berke-
lebat cepat bagaikan seekor burung rajawali,
Kandana segera menyerang Tumenggung Pangga-
luh. Tumenggung Panggaluh yang telah melihat
dengan mata kepala sendiri, kehebatan Ajian
Samber Nyawa. Dengan segera, ia pun merapal
ajiannya Geledek Buana.
"Hiaat...!" terdengar pekik Kandana menyerang dengan ajian Samber Nyawanya.
Tubuhnya berkelebat dengan cepat, sebaliknya Tumenggung
Panggaluh pun tak mau mati konyol. Dengan
ajian Geledek Buananya, ia pun berkelebat me-
mapaki serangan itu.
"Hiat...!" Dua kekuatan tenaga dalam ber-bentrokan di udara menjadikan satu
ledakan yang hebat. Bumi di bawahnya seperti di aduk,
muncrat ke angkasa.
Panggaluh terdorong lima tombak ke bela-
kang, sementara Kandana tampak lebih parah.
Tubuhnya terdorong hampir sepuluh tombak. Da-
ri mulutnya meleleh darah segar.
Mata Kandana melotot heran, demi melihat
ilmu Tumenggung ternyata ada satu tingkat di
atas ajian Samber Nyawa miliknya.
Maka dengan menggeram sesaat, disertai
mulutnya berkomat-kamit mengucap mantera.
Tiba-tiba...! Tubuh Kandana yang tadinya gagah
dan tampan, seketika berubah menjadi buruk dan
mengerikan. Wajah Kandana berubah menjadi
wajah ular, matanya menyorot merah, tajam
menghunjam mata Tumenggung Panggaluh yang
tersentak kaget.
"Ilmu iblis! Benar-benar ia telah menguasai ilmu iblis Ratu Siluman." Sedang ia


Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersentak, ti-ba-tiba Kandana yang telah berubah ujud itu me-
nyerangnya. Panggaluh segera mengelak, lalu dengan
cepat dihantamnya tubuh mahluk itu dengan
ajian Geledek Buana. Sesaat mahluk itu tergetar, namun tampaknya mahluk itu tak
mengalami apa-apa. Bahkan tubuh mahluk itu kini bertam-
bah besar. Panggaluh kembali tersentak kaget. Merasa
ia belum yakin, dicobanya kembali menyerang
mahluk itu. Namun untuk kedua kalinya, tubuh
mahluk itu bertambah dua kali lipat dari semula.
Semakin Panggaluh menghantamkan ajiannya te-
rus, makin bertambah besar tubuh mahluk itu.
"Ampun! Mungkin hari ini akhir hidupku.
Tuhan, berilah pertolongan," membatin Panggaluh merasa tak mampu lagi untuk
menghadapi mahluk siluman itu.
Mata Panggaluh terpejam rapat, ia telah
siap menerima kematian itu. Mahluk menyeram-
kan itu tampak berjalan menghampiri tubuh
Panggaluh yang telah pasrah pada nasib.
"Panggaluh, bersiaplah untuk mati. Ha...
ha...!" terdengar mahluk itu berkata sembari tertawa bergelak-gelak. Dan ketika
tangan mahluk raksasa itu hendak mencengkeram tubuh Pangga-
luh, tiba-tiba...!
"Suit... Dest!"
Mahluk raksasa yang menyeramkan itu
tersentak dan terdorong ke belakang. Matanya
yang merah memandang bengis pada orang yang
telah menghalanginya yang ternyata seorang pe-
muda. Pemuda itu yang ternyata Jaka atau Pen-
dekar Pedang Siluman Darah dengan segera me-
raup tubuh Tumenggung Panggaluh dan memba-
wanya pergi. Sementara mahluk raksasa itu, kini tengah dihadapi oleh seorang
gadis yang tak lain Ayu Sakiti adanya.
"Rupanya kaulah yang selama ini membuat
keonaran dengan menculik dan membunuh gadis-
gadis, aku kira kau pernah bertemu denganku
bukan?" Mahluk raksasa yang bermuka menyeram-
kan itu, sesaat memandang tajam pada Ayu Sakiti sepertinya mengingat sesuatu.
Lalu terdengar mahluk itu menggeram dan tertawa bergelak-
gelak. "Ha... ha...! Gadis kecil, rupanya memang kau sengaja mencari permusuhan
denganku. Du-lu kau kuampuni, tapi sekarang kau telah ikut
campur urusanku. Hem... jangan salahkan kalau
aku melukaimu."
"Iblis laknat! Iblis cabul! Dari dulu aku
memang telah siap menghadapimu. Ayo kita lan-
jutkan pertarungan kita tempo hari yang tertun-
da." Habis berkata begitu, tubuh Ayu Sakiti dengan cepat berkelebat. Dengan
pedang pusaka di
tangannya. Ayu Sakiti menebaskan pedangnya ke
tubuh mahluk itu.
Tersentak kaget Ayu Sakiti, ketika pedang
pusakanya membentur tubuh mahluk itu. Bagai
menebas baja saja, pedang pusaka itu tak berarti apa-apa. Bahkan mahluk itu
tertawa bergelak-gelak sembari berkata: "Percuma kau melawanku, anak manis."
Tangan mahluk itu berkelebat hendak me-
nangkap tubuh Ayu Sakiti, yang dengan gesit
mengelak sembari melancarkan pukulan tangan
mautnya. "Dum...!"
Ayu Sakiti tampak agak gembira, demi me-
lihat hasil dari hantamannya. Namun seketika ia kembali tersentak. Ketika asap
yang mengepul itu hilang, ternyata mahluk itu bukannya mati, bahkan makin
bertambah besar saja.
Mahluk menyeramkan itu yang kini ber-
tambah besar, kembali tertawa bergelak-gelak.
Tangannya kembali menyambar hendak menang-
kap tubuh Ayu Sakiti, yang hanya dapat mundur
dan mundur. Ketika tangan mahluk menyeramkan itu
hendak mencengkeram tubuh Ayu Sakiti, untuk
kedua kalinya Jaka berkelebat mencegahnya.
"Suit... Dest!"
Tubuh mahluk menyeramkan itu terdorong
ke belakang, matanya menyorot penuh amarah
pada Jaka. Tanpa berkata lagi, mahluk itu seketi-ka menyerang Jaka.
Jaka segera berkelebat sembari berkata.
"Iblis cabul, hari ini juga kau harus lenyap dari muka bumi. Terimalah ini,
Ajian Getih Sakti,
hiat...!" Habis berkata begitu, dengan segera Jaka
mengkiblatkan tangan kanannya yang telah dialiri ajian Getih Sakti ke arah tubuh
mahluk raksasa itu. Dari tangan Jaka menyemprot deras dan
mahluk itu memang seketika beku. Namun seke-
tika tersentak kaget, kala melihat mahluk itu dapat terlepas dari sinar yang
membelitnya Mahluk itu bergelak-gelak mengejek dan
dengan cepat tangannya berkelebat menyerang
Jaka yang segera menghindar dan menghantam
mahluk raksasa itu dengan ajian Bledek Sewu.
Seketika berkelebat membakar tubuh mah-
luk itu, namun untuk kedua kalinya mahluk rak-
sasa berwajah ular itu dapat melepaskan dirinya dari ajian Bledek sewu.
Hampir saja Jaka tersambar hantaman
tangan mahluk raksasa itu, saat ia tengah tersentak kaget melihat apa yang
terjadi di depan matanya. Jaka dengan segera mengelak, lalu kembali dengan
segera menghantam tubuh mahluk itu.
Kali ini ajian Pamungkasnya yang diincarkan, yai-tu ajian Tapak Prahara
Tangan Jaka seketika itu berubah menjadi
merah menyala, tubuhnya melenting tinggi. Ke-
mudian dengan tubuh masih melayang, dihan-
tamnya tubuh mahluk raksasa itu dengan ajian
Tapak Prahara. Terdengar ledakan dahsyat membahana
Kalau orang lain, maka tak ayal lagi, tubuhnya
akan hancur menjadi abu. Namun mahluk raksa-
sa itu jangankan hancur menjadi abu, mati pun
tidak. "Gusti Allah! Harus bagaimana lagi aku?"
Putus asa sudah Jaka menghadapi mahluk itu.
Hingga ketika mahluk raksasa itu menyerangnya,
Jaka terpental dihantam tangan besar mahluk
itu. Tubuhnya terasa nyeri, tembok pagar rumah
Tumenggung jebol tertimpa tubuh Jaka.
Ketika mahluk itu hendak kembali meng-
hantamnya, dengan cepat Jaka berlari mengelak.
Hingga tembok pagar yang menjadi sasaran, han-
cur berantakan terhantam tangan mahluk menye-
ramkan itu. "Sungguh dahsyat! Segala ajian yang aku
miliki tak berdaya. Baik, akan aku gunakan Pe-
dang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Da-
rah, datanglah!" Seketika di tangan Jaka telah tergenggam sebilah pedang. Dari
ujung pedang, menetes darah membasahi batangnya. Namun
mahluk itu seperti tak takut sedikitpun. Bahkan dengan congkaknya berkata.
"Menyerahlah kau, anak muda! Tak akan
kau dapat mengalahkan aku, hua, ha...!"
Namun Jaka yang telah digembleng oleh
empat tokoh sakti, mana mau menyerah begitu
saja. Apalagi Pedang Siluman Darah kini telah berada di tangannya.
"Iblis cabul, jangan kira aku mau menyerah begitu saja padamu. Kalau aku belum
mati, tak ada dalam catatanku menyerah pada iblis. Mari
kita lanjutkan, bersiaplah! Hiaaaat...!"
Dengan Pedang Siluman Darah di tangan-
nya, Jaka segera berkelebat menyerang. Angin serangannya begitu kencang,
menderu-deru, me-
nerpa tubuh mahluk menyeramkan itu.
"Hiaaat....!"
Ditebaskan Pedang Siluman Darah pada
mahluk menyeramkan itu, yang seketika meme-
kik dengan tubuh terbelah-belah menjadi bebera-
pa potong karena saking cepatnya Jaka memba-
batkan Pedang Siluman Darah.
Darah yang membasahi pedang seketika
mengering, terhisap masuk ke dalam tubuh pe-
dang. Kemudian pedang itu hilang kembali dari
tangan Jaka. Ketiga orang yang sedari tadi hanya me-
nonton dengan perasaan takut, segera mengham-
piri Jaka. Ayu Sakiti segera memeluk Jaka den-
gan penuh rasa bangga.
"Kau hebat, Jaka. Kau hebat!" teriaknya dengan nada bangga.
"Benar ucapmu, nona. Temanmu memang
hebat," tambah Tumenggung Pangaluh yang tersenyum senang.
"Ah, kalian terlalu meninggikan. Kanjeng
Tumenggung, karena semuanya telah tenang aku
bermaksud meminta diri. Ayo, Ayu!"
Jaka dengan menggandeng tangan Ayu Sa-
kiti segera berkelebat pergi, meninggalkan Tu-
menggung Panggaluh dan istrinya yang terben-
gong-bengong memandang kepergian mereka.
"Sungguh baik budi dan tak sombong Pen-
dekar Muda itu," gumam Tumenggung Panggaluh, sepertinya berkata pada diri
sendiri. "Benar, Kang mas. Betapa kita berhutang
budi padanya," lanjut Dewi Sekasih meneruskan ucapan suaminya.
Dengan matinya Kandana, tentramlah
kembali Ketemenggungan. Tumenggung Pangga-
luh bersama istrinya segera melangkah mening-
galkan halaman rumahnya menuju ke kerajaan
untuk melaporkan itu pada Rajanya.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kisah Pedang Di Sungai Es 20 Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti Pedang Langit Dan Golok Naga 4
^