Pencarian

Geger Kitab Inti Jagad 2

Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad Bagian 2


itu yang mereka kenali. Hingga karena kagetnya, seke-
tika dari mulut ketiga orang teman jaka memekik ber-
seru: "Setan Api!"
"Hai! Merekakah yang berjuluk Setan Api?"
tanya Jaka. "Benar! Mereka memang Tiga Setan Api. Tapi,
mengapa mereka telah binasa" Siapa yang telah mem-
binasakan mereka?" bertanya Rupaksi, sepertinya pertanyaan itu ditujukan pada
dirinya sendiri.
"Benar, Saudara Rupaksi. Bukankah lima hari
yang lalu mereka bentrok dengan kita?" Menambahkan Sendana. Ia juga kaget
mendapatkan orang yang baru
lima hari berselang bertempur dengannya telah menja-
di mayat. Lain halnya Jaka, yang tampaknya tenang tan-
pa ekspresi kekagetan di wajahnya. Dengan penuh
seksama Jaka memperhatikan mayat-mayat ketiga Se-
tan Api. "Hem... rupanya mereka mati dalam kaitannya dengan kitab itu. Bahaya!
Sungguh bahaya! Bila dibiarkan berlarut-larut korban akan terus berjatuhan
hanya karena ambisi yang tak mengarah pada hal-hal
yang sebenarnya. Coba geledah tempat ini, siapa tahu
kitab itu masih di sini," berkata Jaka setelah memerik-sa ketiga tubuh Setan Api
yang telah menjadi mayat
dengan tubuh beracun.
Ketiga orang temannya yaitu Rupaksi, Sendana,
dan Rekasih dengan segera berkelebat masuk ke dalam
rumah. Digeledahnya seisi rumah, namun kitab yang
dicari telah raib.
Dengan penuh kekecewaan, Rupaksi kembali
menemui Jaka yang masih mengamati ketiga mayat
Setan Api. "Bagaimana" Apakah kau berhasil?" tanya Ja-
ka. "Coba kau perhatikan dengan seksama, Sauda-
ra Rupaksi" Mayat-mayat ini sepertinya terkena racun
ganas. Aku menilai bahwa orang yang melakukannya
mempunyai ilmu racun. Apakah kau mengetahui siapa
orangnya?"
Rupaksi seketika tercenung memikirkan siapa
gerangan orang yang mempunyai ilmu beracun. Tak
lama kemudian, wajah Rupaksi berubah cerah. Dan
dengan berseru ia berkata:
"Aku ingat! Sepertinya ilmu itu milik tiga teman kakang Kerto Pati. Ya, dia yang
memilikinya."
Mendengar penuturan Rupaksi seketika Jaka
dan sepasang pendekar yang telah tiba di tempat itu
tersentak dan hampir berbarengan berseru:
"Siapakah orang itu!"
"Mereka bernama Sodra, Lombang, dan Wung-
kal Gunung. Mereka juga yang telah menghabisi nyawa
kakang Kerto Pati yang sebenarnya teman mereka sen-
diri. Ayo kita ke sana!" Mengajak Rupaksi yang segera diikuti oleh Jaka dan
sepasang pendekar.
* * * Seorang pemuda berpakaian putih dengan ikat
pinggang merah, tampak berjalan menyelusuri pema-
tang sawah. Pemuda itu yang tak lain Arya atau Malai-
kat Putih tampak mengernyitkan keningnya, demi me-
lihat desa di ujung sawah yang tengah ia tapaki.
Sorot mata pemuda itu tajam memandang ke
depan di mana desa Cipulir telah tampak. Memandang
desa Cipulir, seketika matanya berkaca-kaca. Ingatan-
nya kembali melayang pada kejadian sepuluh tahun
yang silam. Kejadian yang telah merenggut nyawa ke-
dua orang tuanya juga paman dan bibinya.
"Ah. Desa itu mengingatkan aku pada ayah dan
ibu, pada paman dan bibi. Sungguh biadab orang-
orang itu yang telah membunuh ayah dan ibu serta
paman dan bibiku. Apakah aku harus tinggal diam?"
bertanya hatinya penuh keraguan. Betapa tidak! Rasa
kekecewaan dan dendam melanda hatinya, namun ke-
dudukannya sebagai seorang pendekar harus menjadi-
kannya bersifat adil dan bijaksana.
"Dendam! Kata guru hanyalah pertumpahan
darah yang tak habis-habisnya. Ah, bagaimana aku
harus bertindak?" kembali hatinya mengeluh, tak tahu harus berbuat apa.
Dengan langkah-langkah yang tak pasti, Malai-
kat Putih berjalan menuju ke desa Cipulir yang tampak di hadapan matanya. Desa
yang telah menjadi tumpah
darahnya, desa yang mengingatkannya pada kepedi-
han dan sakit hati yang sebisanya harus dipendam da-
lam-dalam. "Sampurasun...!" Menyapa Malaikat Putih keti-ka sampai di hadapan sebuah rumah
yang mengin- gatkannya pada kenangan sepuluh tahun yang silam.
Ditunggu beberapa saat tak ada jawaban yang
terdengar dari dalam rumah. Hingga untuk kedua ka-
linya kembali Malaikat Putih berseru menyapa. "Sampurasun...!"
"Rampes...!" terdengar suara sahutan, sepertinya suara seorang lelaki tua. Tak
lama antaranya,
tampak seorang lelaki tua keluar menemuinya.
Melihat pemuda yang belum dikenalnya berdiri
di depan rumahnya sembari tersenyum, lelaki tua itu-
pun bertanya: "Siapakah gerangan anak ini" Dan apakah ke-
perluannya?"
Dengan terlebih dahulu menjura hormat, Ma-
laikat Putih berkata menjawab. "Saya Arya Purbaya, anak Kerto Pati."
Tersentak kaget lelaki tua itu, demi mendengar
nama-nama yang disebutkan oleh anak muda yang
berdiri di hadapannya. Dengan penuh rasa haru ba-
gaikan anak kecil, lelaki tua itu seketika menangis dan memeluk tubuh Arya yang
terpaku diam penuh keha-ruan. "Oh, rupanya kau, nak Arya" Ke mana saja kau
selama sepuluh tahun" Kenapa tak pernah kembali?"
Malaikat Putih seketika berlinang-linang air
matanya, demi melihat orang tua di hadapannya me-
nangis sesenggukan.
"Sudahlah, Paman Trenggono. Tak perlu paman
menangisi apa yang telah terjadi yang telah menimpa
diri keluargaku. Yang penting sekarang, apakah pa-
man tahu tempat paman Rupaksi?"
Lelaki tua yang ternyata Trenggono Si kusir ke-
reta keluarga Kerto Pati adanya, seketika menghenti-
kan tangisnya demi mendengar ucapan Arya. Alisnya
seketika mengerut mendengar pertanyaan Arya. Seper-
tinya Trenggono tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Bagaimana, Paman?" kembali Arya bertanya.
"Sebentar, nak Arya, paman ingat-ingat dulu.
Kalau seingat paman, den Rupaksi tinggal di padu-
kuan Sawo Jajar. Ada keperluankah kau dengannya?"
"Benar! Hal ini menyangkut kitab yang ayah ti-
tipkan pada paman Rupaksi. Aku khawatir dengan ki-
tab itu di tangan paman Rupaksi."
"Hai, apa yang kau khawatirkan" Bukankah
den Rupaksi adik seperguruan ayahmu?"
"Benar! Bukannya aku tak percaya pada paman
Rupaksi. Namun dengan kitab itu di tangannya, aku
khawatir orang-orang yang bermaksud jahat akan
memburunya. Bukankah hal itu akan menjadikan pa-
man Rupaksi harus menghadapi masalah yang seha-
rusnya bukan menjadi tanggung jawabnya" Aku ber-
maksud mengambil kitab itu untuk menjaganya. Demi
kitab itu, aku siap menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi."
Terangguk-angguk kepala Trenggono, demi
mendengar ucapan Arya. Dalam hati Trenggono, seke-
tika timbul kekaguman pada anak majikannya. Tak
menyangka sebelumnya kalau Arya yang dulu kecilnya
nakal kini mengerti akan tanggung jawab.
"Kalau itu yang menurut nak Arya baik maka
lakukanlah dengan kebulatan tekad yang ada di hati
nak Arya. Kapan rencananya nak Arya hendak men-
gunjungi den Rupaksi?"
"Secepatnya, Paman. Aku takut dan merasa
khawatir dengan paman Rupaksi dan kitab itu. Aku
mohon pamit, Paman Trenggono."
"Eh! Kenapa mesti terburu-buru. Apakah kau
tak menyekar ke makam ayah dan ibumu dahulu?"
Mendengar penuturan Trenggono, seketika hati
Arya bergetar. Kesedihan kembali menyelimuti hatinya.
Kecewa dan marah pada orang-orang yang telah mem-
bunuh orang tuanya. Giginya seketika bergemeretuk
menahan amarah menjadikan suara yang menyeram-
kan. Matanya seketika kembali berkaca-kaca, meman-
dang liar namun hampa. Nafasnya memburu, hingga
terdengar bagaikan desahan angin prahara.
"Baiklah, Paman Trenggono. Aku hendak me-
nyekar dulu ke makam ayah dan ibu. Tolong antarkan
aku ke sana," meminta Arya.
Tanpa membuang waktu lagi, keduanyapun se-
gera pergi menuju ke makam ayah dan ibunya yang
tak jauh dari rumah yang dihuni Trenggono.
Terduduk sujud Arya Purbaya di depan makam
kedua orang tuanya, air matanya seketika meleleh tak
dapat dibendung. Hati Arya bagaikan teriris-iris, pedih mengingat kejadian
sepuluh tahun yang silam.
Melihat Arya menangis, rasa kemanusiaan
Trenggono seketika tergugah. Dengan terisak-isak,
Trenggono pun turut menangis.
"Sudah lah, Nak Arya. Jangan kau menangisi
kepergian kedua orang tuamu, yang mungkin sudah
suratan nasib. Sekarang, yang penting kau harus
mampu membalas sakit hati mereka. Ayo kita pergi?"
kata Trenggono terbata-bata, tertahan oleh isak tan-
gisnya. Disentuhnya pundak Arya yang masih menun-
duk menangis di atas makam kedua orang tuanya.
"Ayah dan ibu. Kalau kalian tahu diriku seka-
rang, betapa kalian akan bahagia. Tapi... kenapa peta-ka ini harus terjadi pada
kalian" Kenapa mereka begitu keji" Kenapa" Apakah ayah dulu pernah bersalah
hingga ayah harus menerimanya?"
Karena tak kuat menghadapi gejolak hatinya.
Dengan menjerit, Arya Purbaya berlari meninggalkan
Trenggono yang hanya terbengong tanpa dapat berbuat
apa-apa. "Akan kucari orang-orang itu! Akan kucari me-
reka sampai kutemui!" berteriak Arya penuh emosi.
Arya Purbaya terus berlari meninggalkan
Trenggono yang semakin jauh di belakang. Karena da-
lam keadaan emosi dan dikarenakan ia adalah seorang
pendekar yang mendapat gemblengan ilmu kanuragan
tingkat tinggi, maka setiap sepak terjang kaki dan tangannya menjadikan
kerusakan dan kehancuran bagi
yang terkena. Akhir dari rasa kekecewaan dan kekesalannya,
dihantamnya pohon asem di hadapannya hingga han-
cur berantakan.
Karena lelah, Arya pun terduduk lemas di ba-
wah pohon jamblang.
Sayup-sayup, terdengar suara gurunya si Ma-
laikat Suci berkata: "Anakku, Arya. Sudah aku katakan, jangan turuti kata hati.
Ketahuilah, Nak. Bahwa
semua yang terjadi di dunia ini tak luput dari suratan takdir yang telah
ditentukan olehNya."
Arya Purbaya tersentak kaget dan berusaha
mencari gurunya yang tengah bicara. "Guru, di manakah engkau?"
"Aku masih di Ceremai, Anakku. Aku hanya
mendengar suaramu, tanpa dapat melihat keadaanmu
saat ini. Aku tersentak kaget dari semediku, kala ku-
dengar kau berteriak-teriak tak dapat mengalahkan
perasaanmu. Sekarang sadarlah. Langkahmu harus
mantap untuk menghadapi segala tantangan kehidu-
pan yang sering tidak kita kehendaki."
Seketika Arya Purbaya terdiam meresapi segala
makna ucapan gurunya. Lalu kembali terdengar suara
gurunya berkata:
"Anakku, Arya. Aku berpesan padamu, jangan
bertindak menuruti kata hati. Bertindaklah dengan
perhitungan, hingga tak ada yang dirugikan. Nah, te-
ruskanlah pengembaraanmu, tak lama lagi kau bakal
mendapatkan apa yang seharusnya kau lakukan. Ber-
siaplah untuk menghadapi tantangan hidup."
"Baik, Guru. Segala yang telah guru sarankan,
akan saya laksanakan dengan segenap jiwa saya."
"Bagus! Sekarang, teruskanlah langkahmu un-
tuk mencari kitab milik ayahmu. Selamat berjuang,
Anakku?" Bersamaan dengan habisnya ucapan Malaikat
Suci, angin pun bertiup dengan kencangnya menyapu
dedaunan di sekitar tempat Arya terduduk.
Arya Purbaya segera memusatkan segala panca
indranya untuk bersemedi, mengembalikan segalanya
pada yang berwenang. Setelah dirasa cukup, Arya Pur-
baya atau si Malaikat Putih segera berkelebat pergi
menuju ke Utara di mana pedukuan Sawo Jajar bera-
da. 5 Pedukuan Sawo Jajar tampak ramai, meskipun
hanya merupakan pedukuan kecil. Penduduknya yang
berniaga mata pencahariannya, menjadikan padukuan
Sawo Jajar banyak dikunjungi orang. Di samping itu
pula, letak padukuan Sawo Jajar strategis untuk lalu
lintas perhubungan darat.
Siang itu, seorang pemuda tengah berjalan me-
nyusuri jalan, yang menjadi jalan utama di pedukuan
Sawo Jajar. Pemuda yang tak lain Arya Purbaya, tampak
berjalan dengan lenggang. Matanya yang tajam setajam
mata rajawali, selalu memandang pada deretan rumah-
rumah di sepanjang jalan.


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah! Bodoh benar aku. Bagaimana mungkin
aku akan dapat menemukan rumah paman Rupaksi,
kalau aku tak menanyakannya pada orang" Aku akan
mencoba bertanya pada nelayan itu," berkata hati
Arya, yang seketika menghampiri nelayan yang berja-
lan ke arahnya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada nelayan
itu, yang seketika menengadahkan mukanya meman-
dang pada Arya sembari membalas salam.
"Rampes...! Ada apakah Ki Sanak menghadang
langkahku?"
"Maaf. Aku telah mengganggu langkahmu. Ka-
lau boleh aku bertanya, di manakah rumah paman
Rupaksi?" Nelayan muda itu sesaat menatap kembali pada
Arya demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan
Arya padanya. Setelah sesaat terdiam memandang
Arya, nelayan muda itu berkata balik bertanya:
"Yang Ki Sanak maksud. Apakah pendekar Ru-
paksi?" "Benar, Ki Sanak." menjawab Arya, menjadikan nelayan muda itu
mengangguk-anggukan kepalanya
mengerti. Lalu dengan ramah, nelayan muda itupun
kembali berkata:
"Ayo, aku antarkan. Aku sendiri dekat dengan-
nya sebab rumahku bertetangga dengan pendekar Ru-
paksi." Keduanya segera berjalan menuju ke tempat yang dituju.
"Besarkah pendapatan Ki Sanak sebagai seo-
rang nelayan?" tanya Arya pada nelayan muda itu kala keduanya berjalan.
Sesaat nelayan muda itu menatap Arya penuh
selidik, sebelum akhirnya menjawab: "Sebenarnya besar, tapi karena adanya
pungutan uang keamanan
yang tidak seimbang, maka habislah pendapatan kami
para nelayan."
"Apa! Uang keamanan?" Arya terkejut.
"Ya! Kalau kami tak memberi, maka siksaan
dan deraanlah yang kami terima dari mandor Damad."
"Apakah sudah ada perjanjian sebelumnya?"
"Perjanjian" Boro-boro perjanjian. ngasih tahu
saja tidak!" menjawab nelayan muda setelah kembali memandang pada Arya yang
seketika mengerutkan alis
matanya. "Kau tahu rumah mandor Damad?"
"Mau ngapain?"
"Aku mau menemuinya," menjawab Arya, yang
membuat terbelalak mata nelayan muda itu dan me-
mandang tajam pada Arya seperti tak percaya.
"Kenapa?" bertanya Arya kembali.
"Percuma," jawab nelayan muda itu singkat, sepertinya was-was.
"Kenapa?"
Sesaat nelayan muda itu menghela napas men-
dengar pertanyaan Arya, sebelum akhirnya kembali
berkata: "Sudah banyak orang yang hendak menyadar-
kannya, tapi semua menemui kebuntuan. Ada yang
mundur, ada pula yang mati disiksa oleh centeng-
centeng mandor Damad yang kejam."
"Hem, begitu?"
"Ya. Karena kekejaman mereka, kami para ne-
layan tak berani menghadapinya."
Arya tercenung seakan ia tengah berpikir. Ma-
tanya menyipit memandang pada nelayan muda di
sampingnya yang juga mengernyitkan alis matanya.
Kedua orang itu terdiam, melangkah terus me-
nyusuri pantai. Dalam hati Arya, bergejolak perasaan ingin menolong nelayan-
nelayan itu. Maka dipu-tuskannya, setelah menemui pamannya akan menda-
tangi mandor Damad.
"Ini rumahku dan itu tiga rumah dari sini ada-
lah rumah Ki Rupaksi. Ayo mampir dulu?" berkata nelayan muda itu.
"Ah, terimakasih. Nanti setelah aku dari rumah
paman aku akan mampir bila ada waktu. Terimakasih
atas pertolonganmu,, Ki sanak. Mari...?" menjawab Arya, yang segera pergi
meninggalkan nelayan muda
itu yang memandang kepergiannya dengan penuh ke-
tidak mengertian.
"Sampurasun...!?" memberi salam Arya Pur-
baya, kala telah sampai di rumah pamannya.
"Rampes...!?" Terdengar jawaban dari dalam.
Sepertinya suara wanita. Tak lama kemudian,
seorang wanita setengah baya ke luar menemui Arya.
Melihat orang tua di hadapannya, tanpa dapat
dicegah Arya segera bersujud memeluk kaki wanita itu
sembari menangis membuat wanita itu terbengong-
bengong tak mengerti.
"Bibi, apakah bibi lupa pada saya?"
"Kamu siapa?" tanya wanita tua itu pada Arya, karena belum mengetahui siapa
adanya pemuda yang
saat itu menangis sembari memeluk kakinya.
"Bibi, saya Arya. Arya Purbaya, Bibi?"
"Arya Purbaya anak mbakyu Sukanti dan
kangmas Kerto Pati?" tanya wanita itu ingin memasti-kan dan dijawab dengan
anggukan kepala oleh Arya.
Seketika wanita itu segera memeluk Arya dan menan-
gis tersedu-sedu setelah tahu siapa adanya anak muda
di hadapannya. "Anakku, malang benar nasibmu, nak"!"
Kedua bibi dan kemenakan itu menangis sem-
bari berpelukan, melepas segala kepiluan dan rasa
rindu yang mendalam di hati keduanya.
"Bibi... ke manakah paman Rupaksi?" tanya
Arya, setelah sekian lama terhanyut dalam tangis
Dengan terlebih dahulu mengusap air mata,
sang bibi menceritakan tentang suaminya yang diburu
oleh orang-orang persilatan yang menghendaki kitab
Inti Jagad. "Jadi sekarang paman tengah diburu?"
Bergelegar hati Arya, seakan ada sejuta halilin-
tar yang menghantam di hatinya. Perasaannya seketi-
ka menuntut agar dia segera menemui orang-orang
yang sepantasnya disingkirkan.
"Baiklah, Bibi. Aku akan mencari paman,
do'akan agar aku dapat dengan segera menemui pa-
man." "Ya, bibi do'akan. Hati-hati, anakku!"
Setelah mencium tangan bibinya, Arya pun se-
gera pergi meninggalkan rumah bibinya untuk mencari
pamannya sekaligus musuh-musuh ayahnya yang ja-
hat. Ketika Arya lewat di depan rumah nelayan mu-
da yang tadi menemaninya, dan menunjukkan rumah
pamannya. Seketika ia teringat pada rencananya men-
datangi juragan Damad, yang bertindak sewenang-
wenang pada warga. Maka segera dihentikan langkah
kakinya balik menuju ke rumah nelayan muda.
"Sampurasun...!" menyapa Arya.
"Rampes...!" terdengar suara orang lelaki, menjawab salam Arya. Dan tak lama
kemudian tampak ne-
layan muda itu keluar dari dalam rumahnya.
"Eh, Ki Sanak. Ayo masuk?"
"Ah, terimakasih, Ki Sanak. Sebenarnya aku in-
gin meminta tolong pada Ki Sanak, yaitu masalah ju-
ragan Damad. Kalau Ki Sanak tak keberatan, saya
minta tolong untuk mengantar saya ke rumahnya."
"Untuk apa?" nelayan muda itu terbelalak, demi
mendengar maksud Arya.
"Sekarang aku belum bisa menjawab, nanti pun
aku rasa Ki Sanak akan mengerti."
Tercenung nelayan muda itu memandang pada
Arya seakan ada kebimbangan di hatinya. Melihat hal
itu, dengan tersenyum Arya kembali berkata menje-
laskan: "Ki Sanak. Janganlah Ki Sanak bimbang dan menaruh sakwa sangka padaku,
yang bermaksud baik
pada kalian. Yang penting, tunjukanlah rumah juragan
Damad. Aku akan pergi ke sana sendiri kalau Ki Sanak
tak mau ikut."
Sejenak nelayan muda itu kembali terdiam,
berpikir sesuatu sebelum akhirnya berkata: "Baiklah, aku akan ikut denganmu."
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya pun
segera menuju ke rumah juragan Damad. Rumah jura-
gan Damad ternyata tak jauh dari rumah nelayan mu-
da itu, hingga tak begitu lama keduanya berjalan telah sampai pada yang dituju.
"Itu rumahnya!" berkata nelayan muda, seraya menunjuk pada rumah besar di depan,
tak jauh dari mereka berdiri.
"Kau mau ikut ke dalam, Ki Sanak?" tanya Arya pada nelayan muda itu, yang untuk
kesekian kalinya
terjengah diam memandang pada Arya.
"Bagaimana" Apa mau ikut ke dalam?" Kembali Arya bertanya, demi melihat nelayan
muda itu masih terdiam. "Ayolah!" menjawab nelayan muda, membuat
Arya tersenyum. Dengan segera, keduanya pun berke-
lebat menuju ke rumah besar di hadapannya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada centeng-
centeng juragan Damad yang saat itu tengah berjaga.
Ketiga centeng juragan Damad tersentak kaget begitu
mendengar ucapan salam yang diucapkan Arya yang
tak diketahui datangnya.
"Siapa kau!" membentak seorang centeng yang badannya tinggi gede dan bermuka
menyeramkan dengan kumis dan jenggot lebat seperti tak pernah dicu-
kur. "Aku ingin bertemu juragan mu," menjawab Arya. Sementara itu, nelayan muda
tampak ketakutan
dan berdiri bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Kau belum kami kenal, ada kepentingan apa
kau dengan juragan kami?" kembali orang yang berbadan besar bertanya, sepertinya
memandang enteng pa-
da pemuda di hadapannya.
Sesaat Arya tersenyum, lalu dengan menghor-
mat menjura Arya kembali berkata: "Apakah itu perlu kau ketahui" Aku khawatir
nanti juragan mu marah
bila aku mengatakannya padamu. Nah, sekarang kata-
kan pada juragan mu bahwa ada orang yang ingin me-
nemuinya ingin menanyakan masalah tempo hari."
Sejenak centeng itu kembali memandang Arya,
sebelum akhirnya berkata: "Baik! Tunggu sebentar aku akan menghadap juragan ku
dulu." Setelah berkata begitu, sang centeng segera
berkelebat menuju ke dalam rumah untuk memberi
tahukan pada majikannya.
"Suruh orang itu menunggu sebentar!" terdengar suara orang yang sepertinya suara
juragan Damad. Tak lama antaranya, centeng itupun kembali menemui
Arya. "Anda disuruh menunggu sebentar," berkata centeng memberi tahukan pada
Arya yang mengangguk. Habis ucapan si centeng, dari dalam rumah seo-
rang lelaki gendut keluar menemui mereka.
Lelaki gendut itu mengerutkan dahinya saat
melihat orang yang datang yang belum ia kenal sama
sekali. "Wongso! Mana orang yang kau maksud?" berseru juragan Damad marah merasa
telah dipermain-
kan oleh anak muda yang kini tersenyum sinis walau
ramah. Terbelalak bingung centeng yang bernama
Wongso, demi melihat kemarahan juragannya. Seketi-
ka matanya memandang tajam dan bengis pada Arya
yang tampaknya tenang sembari berkata:
"Apa kabar, juragan Pemeras" Badanmu ber-
tambah gendut saja sekarang. Apa karena makin ba-
nyak uang haram yang kau makan?"
Menggeram marah juragan Damad, demi men-
dengar ucapan yang dilontarkan Arya. Begitu juga
sang centeng, tampak gusar mendengar juragannya di-
ejek begitu rupa. Sedangkan nelayan muda yang bera-
da di belakang Arya, tampak menggigil ketakutan.
Demi melihat juragan dan centengnya marah,
Arya bagai orang gila tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan suara yang dibuat
sengau, Arya kembali berkata:
"Persis! Persis lintah yang bertemu seekor ular
tampang kalian yang kedoknya terbongkar. Juragan
Damad, kuminta padamu untuk segera mengembali-
kan yang bukan hakmu pada penduduk. Aku takut
bencana akan datang menimpamu kalau kau tak sege-
ra sadar."
"Slompret! Kurang ajar! Berani kau menggurui
ku, Anak muda! Wongso, tangkap pemuda gila itu dan
jebloskan ke dalam penjara bahwa tanah!"
Demi mendengar perintah juragannya segera
Wongso dan kedua anak buahnya menyerang Arya.
Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadikan
Arya yang telah mendapat nama dari gurunya Malaikat
Putih keteter. Bahkan dengan tertawa-tawa bagaikan
tengah bercanda, dengan mudahnya Arya mengelak-
kan semua serangan centeng-centeng juragan Damad.
Merasa musuhnya licin bagaikan belut, alot ba-
gaikan inti kayu asem. Centeng-centeng juragan Da-
mad bukannya segera menyadari bahkan dengan ma-
kin ganas mereka berusaha mencerca tubuh Arya.
"Ha... ha... ha...! Inikah yang kau banggakan,
Juragan" Untuk apa kau pelihara tikus-tikus ini" Atau memang untuk menakut-
nakuti para nelayan agar mereka takut?"
Makin marah centeng-centeng juragan Damad,
yang dengan membentak berkata sembari terus me-
nyerang. "Bedebah! Rupanya kau belum tahu siapa ka-
mi, yang dijuluki tiga Badak dari padukuan Sawo Jajar hingga kau begitu lancang
berbicara! Ayo teman-teman, kita habisi anak sundel ini!"
Dengan serentak, ketiga centeng juragan Da-
mad kembali menyerang Arya yang masih tersenyum-
senyum mengejek
"Maaf! Karena aku tak ada waktu panjang un-
tuk bermain-main, maka akan kubantu kalian istira-
hat. Hiat...!" Bersamaan dengan habis ucapannya, seketika tubuh Arya berkelebat
melenting ke angkasa
membuat ketiga centeng juragan Damad terbelalak me-


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lihatnya. Tengah ketiga centeng itu tersentak, tiba-tiba
Arya telah menukik ke arah mereka. Dan dengan cepat
Arya mengibaskan tangannya diikuti dengan meme-
kiknya suara ketiga centeng juragan Damad yang am-
bruk terkulai di tanah dengan tubuh lemas.
Terbelalak kaget juragan Damad menyaksikan
keadaan ketiga centengnya yang tergeletak bagaikan
anak kecil. Ketiga centeng itu menangis meminta dibe-
baskan dari keadaannya.
"Tuan pendekar, ampunilah kami. Kami men-
gaku kalah," meratap ketiganya hampir bersamaan, yang menjadikan juragan Damad
marah. Dengan terlebih dahulu menggeram, juragan Damad membentak
sembari menyerang Arya yang tertawa-tawa seraya
berkata: "Bagus! Memang kau yang ku kehendaki, kau
harus bertanggung jawab atas semua penderitaan ra-
kyat padukuan Sawo Jajar ini."
"Slompret! Jangan kira aku takut denganmu,
Anak Sundel! Walaupun kau dapat melumpuhkan ke-
tiga centeng ku namun aku tak mau menyerah pada-
mu begitu saja. Ayo, kita buktikan, siapa diantara kita yang harus pergi dari
dunia ini!" membentak marah juragan Damad hingga matanya yang lebar melotot ham-
pir keluar. Maka tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang
itupun seketika terlibat perkelahian. Dengan dilandasi amarah yang meluap-luap,
juragan Damad menyerang
Arya dengan membabi buta.
"Wah, wah, wah! Jurus-jurusmu begitu kaku,
Juragan. Apakah karena kegendutan mu yang banyak
menghisap uang nelayan atau karena sudah terbiasa
ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaanmu yang
diperoleh dengan cara yang tak halal, hingga kau ma-
las untuk memperlancar jurus-jurusmu?"
Makin marah dan gusar juragan Damad, demi
mendengar kata-kata Arya yang bernada mengejeknya.
Maka dengan penuh amarah, Juragan Damad mengge-
ram sembari menyerang.
"Jangan banyak bacot, Sompret! Jangan salah-
kan aku kalau aku nanti bertindak telengas!"
"Ha... ha... ha...! Apa yang dapat kau lakukan
dengan tubuhmu yang gendut itu" Paling-paling, pan-
tasnya kau menangkap bangkong. Ha.... ha.... ha...!"
Kembali Arya bergelak tawa, mendengar ucapan jura-
gan Damad. "Slompret! Bersiaplah, anak muda" Jangan
sampai kau lengah yang akan mengakibatkan kema-
tianmu!" Habis berkata begitu, juragan Damad tampak melompat mundur. Kakinya
ditekuk berlutut, dengan
tangan menyilang di dadanya. Mulut juragan Damad
tampak berkomat-kamit membaca sesuatu mantra,
sementara matanya terpejam rapat. Tak berapa lama
kemudian dari tubuh juragan Damad tampak menge-
pul asap hitam bergulung-gulung mengangkasa. Perla-
han-lahan, tampak perubahan di badan juragan Da-
mad. Bersamaan dengan hilangnya tubuh juragan
Damad, seketika asap tebal itu berubah membentuk
sosok tubuh yang mengerikan.
"Ilmu Iblis! Hem, rupanya ia pengikut siluman
babi, hingga ia dapat mengubah ujudnya menjadi ma-
nusia berkepala babi. Baik! Akan ku lawan dengan ini!
Hiat...!" Bersamaan dengan melompatnya tubuh ma-
nusia berkepala babi hendak menyerangnya, seketika
Arya Purbaya segera memapakinya menyerang.
"Duar!" Terdengar ledakan dahsyat, kala kedua orang itu bertemu di udara mengadu
tenaga. Keduanya
terpental mundur ke belakang dengan keadaan yang
tak sama. Malaikat putih tampak hanya mengegoskan
tubuhnya mencari keseimbangan dan berdiri lagi den-
gan kuda-kuda lagi. Sementara di lain pihak, juragan
Damad tampak terpelanting roboh dengan cap tangan
di dadanya. Nelayan muda yang sedari tadi ketakutan, tam-
pak mengurai senyum demi melihat apa yang terjadi.
Juragan Damad yang ditakutinya telah mati menemui
ajal di tangan pemuda yang baru dikenalnya.
Sementara itu, ketiga centang juragan Domad
nampak makin ketakutan saja melihat juragannya te-
lah binasa. Dengan meratap bagaikan anak kecil, keti-
ga centeng yang lumpuh itu meminta maaf.
"Tuan pendekar, ampunilah nyawa kami. Kami
kapok, tak akan berani mengulangi melawan tuan."
"Ki Sanak. Lumpuh yang kau derita disebabkan
oleh diri kalian sendiri. Maka lumpuh kalian akan
sembuh bila kalian berbuat kebajikan. Dan meminta
ampun pada diri kalian sendiri yang merasa telah dik-
hianati. Namun bila kalian kembali bermaksud jahat
maka kalian akan menemukan kelumpuhan lagi."
Tersentak kaget ketiga centeng itu sebab baru
mendengar ilmu yang aneh. Ilmu yang dapat berjalan
sendiri walau tak dilancarkan oleh si pemilik.
"Nah! Kalau kalian telah berjanji pada hati kecil kalian akan berbuat kebajikan
maka aku rasa kalian
akan sembuh dengan sendirinya. Sebaliknya jika ka-
lian hendak mengingkari, ilmu itu akan bereaksi den-
gan sendirinya. Selamat tinggal!"
Tanpa dapat dicegah oleh nelayan muda yang
seketika ketakutan, Aryapun berkelebat pergi mening-
galkan ketiga centeng juragan Damad.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Arya
Purbaya tentang ilmu yang telah dilancarkan pada ke-
tiga centeng juragan Damad. Terbukti, ketika dalam
hati mereka berjanji akan selalu berbuat baik dan
meminta tobat pada yang Kuasa. Maka saat itu pula,
tubuh mereka yang tadinya lemas bagaikan tak bertu-
lang sembuh seketika seperti sedia kala. Nelayan muda itu makin ketakutan dan
hendak berlari ketika terden-
gar ketiga centeng juragan Damad yang telah terbebas
itu berteriak memanggilnya.
"Ki Sanak, jangan kau takut. Kami tak akan
mengganggumu, karena kami sekarang sadar dan in-
syaf. Maukah Ki Sanak menolong kami untuk meminta
maaf pada teman-teman Ki Sanak?"
Nelayan muda yang tadinya hendak lari segera
menghentikan langkahnya dan memandang pada keti-
ga centeng juragan Domad yang kini berjalan meng-
hampirinya. "Ki Sanak. Kami ingin mengundang semua ne-
layan di sini untuk membagi harta yang telah kami da-
pat dari kalian. Maka itu, kami meminta tolong pada-
mu untuk memanggil seluruh warga pedukuan Sawo
Jajar. Soma, kau temanilah Ki Sanak ini," berkata Wongso, menyuruh pada Soma
untuk menemani nelayan muda.
"Baiklah, Kakang Wongso. Ayo, Ki Sanak"!" ajak Soma yang diangguki oleh nelayan
muda itu. Keduanya pun segera menuju kampung warga untuk mem-
beri tahukan hal itu.
Sore harinya, semua penduduk padukuan Sawo
Jajar berbondong-bondong datang ke tempat juragan
Damad untuk mendapatkan bagiannya masing-
masing. Sebagai rasa kegembiraan penduduk Pedukuan
Sawo Jajar kepada ketiga centeng juragan Damad, ma-
ka penduduk pun mengangkat mereka menjadi ketua
pedukuan yang selama ini kosong.
*** 6 "Mana kitab itu, Somad?" bertanya seorang lelaki yang wajahnya hampir mirip
dengan Iblis Alas Wa-
ru kepada Somad yang nampaknya tunduk dan takut.
"Ada, Wanara Seta. Kitab itu ada pada kami
namun kami juga meminta janjimu. Mana Pedang Si-
luman Darah yang katanya telah kau dapatkan?"
Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Wanara
Seta tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan masih terta-
wa, Wanara Seta berkata: "Sodra, kalau kau mengin-ginkan pedang Siluman Darah
dariku, aku minta ka-
lian datanglah nanti pada malam Jum'at di kala bulan
purnama kelima. Di sana, di tempatku, kalian akan
mendapatkannya sekaligus mendapat tontonan yang
menyenangkan. Nah, sekarang serahkan kitab itu pa-
daku dan datanglah tepat di malam bulan purnama
kelima." Sodra mengeryitkan alis matanya, demi men-
dengar ucapan Wanara Seta yang kembali tertawa
sembari melanjutkan berkata demi melihat Sodra se-
pertinya tak mempercayainya.
"Sepertinya kau tak percaya padaku, Sodra?"
"Bukan begitu. Tapi layaknya seorang peda-
gang, maka aku perlu mendapat gantinya, bukan?"
Sesaat Wanara Seta mengangguk-anggukan
kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata: "Baik-baik." Dirogohnya kantong
bajunya dan diambilnya sebuah benda yang membikin mata Sodra terbelalak se-
raya memekik: "Hai. Bukankah itu Mutiara Sakti" Bukankah
mutiara itu telah lenyap?"
"Benar. Ini Mutiara Sakti yang telah menggem-
parkan dunia persilatan seperempat abad yang silam.
Mutiara ini, aku dapatkan atas pemberian pendekar
muda. Cukupkah ini untuk pengganti sementara Pe-
dang Siluman Darah?" bertanya Wanara Seta, yang dijawab dengan kegembiraan
Sodra. "Cukup-cukup. Baiklah, sebentar aku ambilkan
kitab itu. Sekalian aku memanggil kedua temanku."
Setelah berkata begitu, Sodra pun segera berlalu me-
ninggalkan Wanara Seta yang hanya tersenyum sem-
bari berkata di hatinya:
"Bodoh, bodoh. Mana mungkin kau menda-
patkan Mutiara Sakti" Jangankan aku, guruku pun
kalau masih hidup mungkin tak dapat merebutnya.
Bodoh! Dasar bodoh. Mutiara palsu, dianggapnya mu-
tiara Sakti."
Selang beberapa lama kemudian tampak Sodra
dan kedua temannya telah datang sambil membawa ki-
tab Inti Jagad di tangannya.
"Wanara Seta, ini Kitab yang kau maksud. Se-
karang berikan Mutiara Sakti itu pada kami," berkata Lombang.
"Ini mutiaranya. Sekarang aku ingin melihat
dulu benar atau tidak kitab itu. Bukalah!"
Dengan segera, Sodra yang mendapat anggukan
dari kedua temannya segera membuka bungkusan
kain putih. Tampak sebuah kitab yang memancarkan
sinar kala bungkusan itu telah dibuka. "Bagaimana, Wanara Seta" Apakah puas?"
"Ya! Ini Mutiara Sakti sebagai pengganti semen-
tara Pedang Siluman Darah yang boleh kalian ambil
saat bulan purnama kelima sambil menyaksikan per-
tunjukan yang menyenangkan."
Tanpa rasa curiga, ketiga orang itupun segera
memberikan kitab Inti Jagad pada Wanara Seta yang
memberikan jaminannya dengan batu Mutiara Sakti
palsu. Setelah mendapatkan Kitab Inti Jagad, dengan
tertawa riang Wanara Seta berkelebat pergi meninggal-
kan ketiganya yang juga tersenyum puas mendapatkan
Mutiara Sakti. * * * Tampak dari kejauhan oleh Malaikat Putih, em-
pat orang tengah berjalan menuju ke arahnya. Empat
orang itu, tiga lelaki dan satu wanita muda cantik.
"Siapa mereka" Sepertinya searah dengan tuju-
anku?" bertanya Malaikat putih dalam hati, yang segera menghentikan langkah
kakinya. Saat keempat orang itu telah agak dekat den-
gannya, tersentak Malaikat putih demi mengetahui se-
seorang di antara mereka yang tak lain dari pada Ru-
paksi, pamannya.
"Sampurasun...!" menyapa Malaikat putih.
"Rampes...!" menjawab keempatnya hampir
bersamaan. "Paman..." Paman Rupaksi?"
Tersentak Rupaksi dan ketiga temannya, Jaka,
dan sepasang pendekar demi mendengar pemuda itu
menyebut nama Rupaksi.
Karena tak tahu siapa sebenarnya pemuda
yang kini berdiri di hadapannya, maka bagaikan orang
linglung Rupaksi pun bertanya pada pemuda itu:
"Anak muda, kau mengenalku dan menyebutku
paman. Siapakah dirimu sebenarnya?"
"Ah, benar. Mungkin paman telah lupa padaku.
Namaku Arya Purbaya, aku...."
Belum habis ucapan Arya si Malaikat Putih.
Seketika Rupaksi telah memotong ucapannya. Dengan
menangis memeluk Arya si Malaikat Putih yang ternya-
ta kemenakannya sendiri.
"Kaukah ini kemenakan ku?"
"Ya, Paman! Aku memang kemenakan mu yang
hilang sepuluh tahun yang silam kala terjadi keributan di desa Cipulir."
Bagaikan tak melihat ada orang lain di tempat
itu. Kedua paman dan kemenakan itu saling tangis be-
rangkulan. Hingga membuat ketiga orang yang lain
ikut terharu melihatnya.
"Kau telah besar, Anakku. Tak kusangka, kalau
aku masih dapat dipertemukan denganmu."
"Sudahlah, Paman, tak perlu kita bertangis ra-
tap yang akan melemahkan semangat kita. Bukankah
kita sekarang tengah mencari orang yang telah mem-
bunuh dan mengejar-ngejar paman" Oh ya, Paman.
Apakah kitab Inti Jagad masih aman di tangan pa-
man?" Mendengar pertanyaan kemenakannya, seketi-ka Rupaksi kembali menangis.
Membuat Malaikat Pu-
tih mengernyitkan keningnya tak mengerti apa yang
tengah terjadi.


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Sanak Arya, kami saat ini pula tengah men-
cari kitab yang telah dicuri orang. Kitab itu tadinya diambil oleh Tiga Setan
Api yang telah mati oleh orang
lain yang kini tengah kami hendak datangi," berkata Jaka mewakili Rupaksi yang
masih menangis karena
menyesal atas ketidak mampuannya menjaga kebera-
daan kitab itu.
Mendengar ucapan Jaka Ndableg, seketika Ma-
laikat Putih Arya Purbaya tersentak dan memandang
ke arah Jaka sembari bertanya. "Siapakah kini yang mengambil kitab itu, Ki
Sanak?" "Aku juga tak mengenalnya, maafkan aku. Ta-
nyakanlah pada paman Ki Sanak, yang mengenal siapa
mereka sebenarnya."
"Anakku Arya, orang-orang yang kini mengua-
sai kitab milik ayahmu tak lain daripada orang yang
telah memperdayai ibumu. Kau mengenalnya, bukan?"
Malaikat Putih Arya Purbaya tercenung sesaat,
sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu. Lalu iapun berkata: "Mengenai
namanya, aku tak tahu. Namun
wajah-wajah mereka, aku masih ingat betul."
"Itulah orang-orangnya, yang kini menguasai
kitab Inti Jagad. Kami sendiri, hendak menuju ke sana untuk sedapatnya meminta
kitab itu. Dan di sini, kita bertemu. Oh ya anakku, perkenalkan ketiga orang ga-
gah ini adalah teman paman. Yang sepasang pemuda-
pemudi bernama Sendana dan Rekasih. Keduanya
adalah pendekar dari wetan, bergelar Sepasang Pende-
kar. Sementara yang seorang lagi bernama Jaka atau
Pendekar Pedang Siluman dari kawah Candra Bilawa. "
Tanpa diperintah, ketiga pendekar itu menjura
hormat. Malaikat putih tersentak sembari menggumam
demi mengetahui salah seorang dari mereka adalah
orang yang sering diceritakan gurunya.
Maka dengan balik menjura, Malaikat putih
yang tersentak kaget tak nyana bakal bersua dengan
orang nomor wahid di dunia persilatan dan berkata:
"Ah... sungguh saya yang rendah ini tak tahu
diri telah bertingkah tak hormat pada tuan Pendekar
Pedang Siluman. Maka dengan rendah hati, aku mo-
hon maaf."
"Ah, kenapa Ki Sanak Arya begitu meninggikan
ku" Padahal aku tak lebihnya dari diri Ki Sanak. Kalau Ki Sanak menganggap aku
ini pendekar, sungguh suatu yang terlalu tinggi."
Mendengar penuturan Jaka Ndableg, seketika
Malaikat Putih bergumam di hati: "Sungguh-sungguh
seorang pendekar sejati, rendah hati dan baik tutur
katanya." "Tuan Pendekar terlalu merendah. Karena me-
nurut cerita guru, tuan Pendekar merupakan salah sa-
tu pendekar wahid."
"Oh...sungguh mengada-ada. Mana mungkin
pendekar kelas wahid seperti tampangku" Oh ya, ka-
lau boleh aku tahu. Siapakah guru Ki Sanak?" tanya Jaka Ndableg.
"Guru saya yang bodoh ini, bernama Malaikat
Suci." Tersentak kaget keempat orang termasuk Rupaksi yang tak mengira
kemenakannya adalah murid
tunggal Malaikat Suci yang kesohor dan belum mem-
punyai murid seorangpun.
"Jadi sesuai silsilah, berarti Ki Sanakpun men-
dapat gelar Malaikat. Bukankah begitu, Ki Sanak?"
tanya Jaka mengejutkan Malaikat putih.
"Ah... Tuan pendekar di samping berilmu tinggi,
juga memiliki wawasan yang panjang. Maka dengan
tanpa mampu mengelak, aku yang rendah ini membe-
narkan ucapan Tuan Pendekar. Memang guru memberi
gelar padaku Malaikat Putih."
"Beruntung kau, Anakku. Karena tokoh sakti
itu telah berkenan mengangkatmu sebagai murid. Pa-
dahal tak jarang ia menolak orang untuk menjadi mu-
ridnya." Rupaksi yang sedari tadi hanya mendengarkan kemenakannya bertutur kata
dengan Pendekar Pedang
Siluman kini nimbrung bicara.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh pa-
manmu, Ki Sanak. Kau beruntung diangkat murid
olehnya, yang tak mau menerima murid kalau tidak
berkenan di hatinya," menambahkan Sendana.
"Ah! Sudahlah, jangan karena membicarakan
seseorang lalu kita lalai dengan tujuan kita. Bagaima-na" Apakah kita akan di
sini saja bercakap-cakap"
Aku khawatir orang yang kita cari telah meninggalkan
tempatnya," kata Rekasih menjadikan keempat lelaki itu tersadar.
"Benar, apa yang dikatakan saudari Rekasih.
Kalau kita terus-terusan di sini bisa-bisa orang-orang itu telah pergi
meninggalkan tempatnya. Ayo kita teruskan sambil berjalan ngobrolkan bisa?"
Ketiga lelaki lainnya tersenyum-senyum demi
mendengar ucapan Jaka yang bernada lucu.
Tanpa banyak kata lagi, kelima orang itupun
kembali meneruskan perjalanan yang telah tertunda
menuju ke tempat yang dituju.
"Setan alas! Kita telah ditipu mentah-mentah
oleh si Wanara Seta keparat! Mutiara ini bukan yang
aslinya tapi palsu!"
Tersentak Sodra dan Wungkal gunung, demi
mendengar caci maki temannya. Seketika, keduanya
yang berada di depan rumah segera berlari ke bela-
kang. "Ada apa, Lombang" Sepertinya kau marah-
marah," bertanya Sodra setelah mendapatkan Lom-
bang yang tengah membanting sesuatu.
"Hai! Kenapa kau banting Mutiara Sakti itu,
Lombang?" Wungkal Gunung pun tak kalah kagetnya meli-
hat Lombang membanting Mutiara Sakti.
"Kita telah ditipu mentah-mentah oleh si Wana-
ra Seta! Lihat! Kalau memang mutiara itu, Mutiara Bi-
ru. Maka akan mengeluarkan hawa panas bila digosok
dengan senjata pusaka."
Mendengar ucapan Lombang, seketika kedua-
nya tersentak dan menggumam umpatan.
"Benar! Ternyata Wanara Seta memang telah
membohongi kita, dengan mutiara buatannya. Babi
buntung! Lalu apa yang harus kita lakukan" Sedang
untuk menghadapinya belum tentu kita akan mampu,"
Sondra sepertinya putus asa mengingat ilmu
Wanara Seta jauh lebih tinggi dibanding ilmu mereka
bertiga. Ketika ketiga orang itu tengah dilanda kebingungan untuk mencari jalan
keluar, tiba-tiba terdengar suara orang memberi salam.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab ketiganya hampir berbarengan, dan dengan segera menuju ke
muka rumah. Mata mereka seketika tersentak kaget, demi melihat
Rupaksi dan teman-temannya yang datang.
"Selamat berjumpa lagi sahabat-sahabat. Lama
kita tak berjumpa. Bagaimana keadaan kalian?" menyapa Rupaksi pada ketiganya
yang seketika terse-
nyum menyengir sepertinya menganggap enteng orang-
orang yang bersama Rupaksi. Maka dengan congkak-
nya Lombang berkata:
"Rupaksi, apakah kau datang ke mari untuk
menuntut balas kematian kakakmu, Kerto Pati" Kalau
memang hal itu, kau datang jauh-jauh ke mari percu-
ma! Sebab kau hanya akan mengantar nyawa saja. Apa
kau mengandalkan teman-temanmu yang masih bau
kencur?" "Tidak itu saja, Lombang. Ada yang lebih pent-
ing dari itu, yaitu aku akan meminta kitab Inti Jagad yang kau rampas dari Tiga
Setan Api."
Mendengar ucapan Rupaksi, seketika ketiganya
tertawa bergelak-gelak. Sedang di pihak lain, keempat orang muda yang berdiri di
belakang Rupaksi hanya
terdiam tenang.
"Rupaksi, jangankan dirimu, kakakmu saja
mampu aku kalahkan. Ha... ha... ha...!" berkata
Wungkal Gunung.
"Benar! Percuma kau datang ke sini kalau
hanya untuk mengantar nyawa tuamu. Memang aku
telah bersepakat dengan kedua saudaraku untuk me-
lenyapkan segala keturunan dan orang-orang yang ada
sangkut pautnya dengan Kerto Pati. Namun beruntung
anak Kerto Pati dapat lolos, tertolong oleh seorang lelaki tua yang membawanya
pergi. Kalau tidak...!"
"Kalau tidak. Hendak kau apakan?" tanya seorang pemuda yang berpakaian putih-
putih dengan sa-
buk merah menyala, yang tak lain Arya Purbaya si Ma-
laikat Putih. Terbelalak Mata Sodra, demi mengetahui seo-
rang pemuda telah berani memutus omongannya. Ma-
ka dengan geram, Sodra kembali berkata: "Kalau tidak ditolong oleh lelaki tua
itu sudah ku bikin bergedel tubuhnya!"
Bergelak tawa pemuda berpakaian putih-putih
setelah mendengar ucapan Sodra yang kembali tersen-
tak melihat pemuda itu bergelak tawa.
"Mampukah kau membuat bergedel dari anak
Kerto Pati?" tanya Malaikat Putih yang membuat Sodra bertambah marah dan dengan
membentak kembali
berkata: "Iblis! Siapa kau, anak muda, hingga berani
kau guyon denganku. Atau kau yang akan menjadi
pengganti bocah itu. Hah!"
Untuk kedua kalinya Arya Purbaya tertawa ber-
gelak-gelak demi mendengar omongan Sodra. Lalu
dengan tenangnya ia berkata: "Kalau kau ingin tahu...
Akulah anak Kerto Pati yang dulu ditolong lelaki tua
kala kau dan rekanmu yang berkepala botak membu-
nuh paman, bibi dan ibuku. Nah, lakukanlah bila kau
pun mampu membuatku jadi bergedel."
Tersentak bukan alang kepalang ketiganya,
demi mengetahui siapa adanya pemuda yang kini ber-
diri di belakang Rupaksi.
Hati mereka seketika ciut. Tidak mungkin ti-
dak, kalau pemuda anak Kerto Pati itulah yang dian-
dalkan Rupaksi hingga berani mendatanginya. Mereka
menyangka bahwa pemuda itulah yang berilmu tinggi.
Mereka tidak tahu bahwa di antara kelima orang yang
di hadapannya terdapat seorang pendekar yang kalau
mereka tahu mungkin langsung ngibrit pergi.
"Rupaksi, ternyata kau mengandalkan kemena-
kan mu hingga kau berani menyantroni kami. Lalu un-
tuk apa kau bawa-bawa tikus-tikus itu" Apakah untuk
menakut-nakuti kami" Ha... ha... ha...! Jangan kira
kami takut dengan kemenakan mu."
"Jangan takabur, Lombang! Kau jangan meren-
dahkan mereka, yang mungkin menurutmu hanya ti-
kus-tikus comberan belaka. Kalau kau mengetahui
siapa mereka adanya, mungkin kau akan menyumbat
mulutmu sendiri yang telah lancang berbicara."
Lombang dan ketiga saudara seperguruannya
tertawa bergelak-gelak, demi mendengar ucapan Ru-
paksi yang dianggapnya hendak menakut-nakuti me-
reka. Maka dengan masih congkak dan sombong,
Lombang kembali berkata setelah mengerling pada ke-
dua adik seperguruannya yang juga tersenyum sinis.
"Rupanya kau hendak menakut-nakuti kami
dengan tikus-tikus comberan mu, Rupaksi. Baik! Aku
ingin tahu nama-nama tikus busukmu itu yang sangat
kau bangga-banggakan."
Mendengus Rupaksi, demi mendengar ucapan
Lombang yang menganggap enteng pada ketiga orang
muda di sampingnya. Maka dengan terlebih dahulu
meludah, Rupaksi yang telah marah berkata memberi
tahu siapa adanya orang-orang di sampingnya.
"Dengar oleh kalian semua dan aku minta ka-
lian jangan menyesal dengan ucapan kalian bila telah
tahu siapa adanya ketiga orang muda ini. Yang muda-
mudi ini adalah Sepasang Pendekar."
Tak terkejut ketiganya demi mendengar julukan
sepasang muda-mudi itu, bahkan ketiganya makin
menyibirkan mulut mengejek.
"Dan yang ini adalah Jaka Ndableg atau Pende-
kar Pedang Siluman Darah dari kawah Chandra Bila-
wa." Bagaikan disengat halilintar di siang bolong, mata ketiganya seketika
terbelalak kaget mendengar
nama pemuda bertampang bloon yang ternyata seo-
rang pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-
orang persilatan. Maka dengan tak mempunyai rasa
malu, ketiga orang itu segera berkelebat hendak mela-
rikan diri. Dengan segera Arya Purbaya si Malaikat Putih,
Sendana, dan Rekasih memburu mengejar mereka. Ke-
tiganya tanpa mengalami kesulitan dapat dengan sege-
ra memburu ketiga orang itu.
"Berhenti!" membentak Arya Purbaya yang telah berhasil menghadang ketiganya.
Tersentak ketiga
orang itu, demi melihat pemuda anak Kerto Pati telah
berdiri di hadapannya.
"Minggir! Atau kami akan melawanmu!"
Dibentak seperti itu oleh Lombang bukannya si
pemuda menepi. Bahkan dengan senyum sinis, si pe-
muda makin mendekati ketiga musuhnya.
Sementara itu. Sepasang pendekar yang tengah
mengejar pun telah sampai juga. Merasa tak ada ar-
tinya lagi untuk berturut kata, dengan nekad keti-
ganya segera menerobos sembari menyerang.
"Rupanya kalian ingin mati! Terimalah ini!"
Bersamaan dengan habisnya suara ketiganya,
seketika ketiganya tampak menyatukan tangan mere-
ka. Seketika itu pula dari tangan mereka mengepul
asap dan larikan sinar biru mengarah kepada ketiga
pemuda-pemudi di hadapannya yang segera berjumpa-
litan menghindar.
"Ilmu Iblis!" memaki ketiga anak muda itu yang langsung membalas menyerang


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cepatnya. Perkelahian pun tak dapat dihindarkan, tiga melawan ti-
ga. Jurus demi jurus terlalui. Ketika tampak kedua
pendekar muda itu terdesak, dengan segera Malaikat
Putih berseru yang segera dituruti oleh Sepasang Pen-
dekar. "Ki Sanak dan Ni Sanak Sepasang Pendekar, menyingkirlah agak jauh biar
aku hadapi ketiganya.
Maaf, bukannya aku bermaksud merendahkan kalian.
Tapi ilmu yang mereka pakai bukanlah ilmu semba-
rangan, yang banyak dimiliki orang. Ilmu mereka san-
gat sukar bila harus dilawan dengan banyak orang
yang beda ilmunya. Maka itu ijinkanlah aku mengha-
dapinya." Mendengar ucapan Malaikat Putih, keduanya
segera menyingkir ke belakang membiarkan Malaikat
Putih menghadapi sendirian.
"Karena kalian menggunakan ilmu Iblis, maka
aku pun ingin mengajak main-main dengan kalian.
Bersiaplah!"
"Jangan banyak omong, Anak Muda! Mari kita
buktikan, siapa di antara kita yang akan lebih dulu ke akherat. Hiat...!"
Dengan terlebih dahulu membentak, ketiga
orang yang menyatu itu segera kembali melancarkan
serangannya. Malaikat Putih yang sudah tahu ilmu mereka
begitu keji dan dahsyat, dengan segera melenting ke
angkasa menghindar dari serangan mereka. Ketika te-
lah mencapai titik kulminasi, Malaikat Putih segera
menukik mengarah ke kepala ketiga orang yang me-
nyerangnya. "Hiat...!"
"Oh...!"
Terdengar keluhan dari ketiga orang itu, yang
seketika terkulai lemas bagaikan tak bertulang.
Terbelalak mata Sepasang Pendekar, demi me-
lihat hal yang terjadi pada ketiga orang itu. Ketiga
orang itu kini bagaikan anak kecil, merintih meminta
pertolongan. Tak ubahnya dengan Sepasang Pendekar. Jaka
dan Rupaksi pun terperanjat melihat ilmu yang diper-
gunakan oleh si Malaikat Putih, yang tampak berjalan
menghampiri ketiga orang di hadapannya yang terkulai
tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Katakan padaku, di mana kau simpan kitab
Inti Jagad" Dan katakan pula, siapa yang telah men-
jamah kalian memperdayai ayahku?"
"Ampunilah kami. Kami akan mengatakannya
padamu, bila kau mau mengampuni dan mengembali-
kan tenaga kami."
"Katakan dulu padaku. Di mana kalian simpan
kitab itu, dan siapa yang telah menyuruh kalian men-
celakai seluruh keluargaku! Kalau kalian telah menga-
takannya, maka kalian akan aku beri tahu cara mem-
bebaskannya."
Mendengar ucapan Malaikat Putih, di samping
itu juga karena Pendekar Pedang Siluman telah berdiri di situ maka dengan rasa
takut ketiganya segera menceritakan siapa sebenarnya yang menjadi dalangnya.
"Baiklah, aku percaya pada kalian. Nah, den-
garlah bahwa yang mampu menyembuhkan kelumpu-
han kalian adalah diri kalian sendiri. Bila kalian in-syaf, maka kalian akan
sembuh. Namun bila kalian
hendak mengulangi berbuat jahat, maka kalian akan
mengalami kelumpuhan lagi sebelum kalian mampu
berbuat kejahatan."
Tersentak semuanya mendengar ucapan Malai-
kat Putih yang sepertinya bercanda.
Belum juga hilang rasa kaget, mereka semua
mendengar ucapan Arya si Malaikat Putih, seketika
mereka dibuat makin terbelalak karena melihat sesua-
tu hal yang aneh
Ketiga orang yang mengalami kelumpuhan itu
berjanji, dan bersumpah tak akan melakukan hal yang
jahat. Tiba-tiba, tubuh mereka kembali pulih seperti
sedia kala. Namun dasar mereka itu orang-orang yang tak
mau diuntung, sudah diberi pengertian begitu mereka
masih tak percaya. Akibatnya, ketika mereka hendak
menyerang, seketika mereka mengalami kelumpuhan
lagi. Melihat hal itu, Malaikat Putih tampak gusar
dan mendengus marah. "Rupanya hati kalian telah
menjadi batu yang dihuni iblis hingga kalian tak mem-
percayai segala omongan orang. Maka dari pada kalian
menderita seumur hidup, lebih baik kalian mati saja.
Hiat...!" Tanpa dapat dicegah, Malaikat Putih berkelebat mengibaskan tangan
bagai mengusir lalat. Seketika
terdengar jeritan melengking dari ketiga orang itu yang
langsung meregang nyawa.
"Kita harus segera menuju ke Hutan Rengganis,
di mana Wanara Seta berdiam. Hai! Bukankah nanti
malam bulan purnama kelima?" bertanya Malaikat Putih, sepertinya berbicara pada
diri sendiri. "Benar, Ki Sanak Malaikat Putih. Ada apakah
gerangan?" bertanya Jaka ingin tahu yang dengan segera diceritakan oleh Malaikat
Putih tentang pesan dari gurunya.
"Guruku berpesan agar aku pada malam pur-
nama kelima harus memenuhi tantangan musuh guru
yang bernama Wanara Seta. Tak dinyana, kalau orang
itu juga adalah tokoh utama dari segala yang menimpa
keluargaku. Ayo, Paman dan Ki Sanak sekalian, hen-
dakkah kalian ikut denganku?"
Tanpa ada yang menolak, kelima orang itupun
segera berkelebat pergi menuju ke Hutan Rengganis di
sebelah selatan desa Cipulir.
* * * Malam bulan purnama telah tiba, seketika
tampak sebuah bayangan berkelebat dari Hutan Reng-
ganis menuju ke bukit Kematian yang letaknya sepe-
rempat mil dari hutan.
Bayangan itu kemudian berhenti dan berdiri
sembari memandang ke sekitar bukit. Wajah orang itu
tampak kecut, sepertinya ia tengah menunggu kemun-
culan seseorang.
"He.., ini bulan purnama kelima. kenapa tua
bangka itu tak muncul-muncul?" bergumam hati orang yang berdiri di atas bukit
setelah memandang sekelilingnya. Tiba-tiba matanya melihat serombongan orang
yang terdiri dari enam orang dari arah Timur sementa-
ra dari arah Utara muncul pula serombongan orang
yang terdiri dari lima orang.
Rombongan orang itu yang tak lain dari rom-
bongan Iblis Alas Waru, dan rombongan dari Rupaksi.
Kedua rombongan itu bertemu di kaki bukit, saling
memberi salam. "Ah. Rupanya kita masih jodoh, Pendekar Pe-
dang Siluman Darah hingga yang Maha Kuasa kembali
mempertemukan kita," berkata Iblis Alas Waru, setelah kesemuanya saling
berkenalan dan bertegur sapa.
"Syukur, Iblis Alas Waru, kita dapat bertemu
lagi. Oh ya, gerangan apakah hingga kalian tahu dan
datang ke sini?"
"Jaka, aku senang bertemu denganmu kemba-
li.. Lama kita berpisah, eh, tak tahunya kita bertemu di sini. Ketika kami
tengah mencari orang yang mengaku
bernama Iblis Alas Waru, kami mendapat keterangan
bahwa kami akan mendapatkannya di bukit Kematian
pada bulan purnama kelima. Maka itu, kami segera
menuju ke mari."
Tengah mereka bercakap-cakap, terdengar
orang yang berdiri di atas bukit berseru:
"Hei!. Kalian yang ada di situ, ada keperluan
apa kalian ke mari"!"
"Iblis, mengejutkan saja. Hai orang di atas bu-
kit! Siapakah engkau adanya"!" membalas Jaka Ndableg berseru,
"Akulah Wanara Seta atau Siluman Kera. Ada-
kah di situ si Malaikat Suci! Kalau ada, cepatlah naik!
Jangan sembunyi seperti tikus!"
"Bedebah! Kalau begitu, inilah orangnya!"
menggerutu Siti Gendari, yang seketika itu berkelebat lari menuju ke atas bukit
tanpa dapat dicegah.
"Iblis! Jangan kau enak-enakan lari dari tang-
gung jawab yang telah kau lakukan!"
Tersentak Wanara Seta, demi mendengar seo-
rang gadis memaki-maki dirinya. Maka dengan masih
tak mengerti, Wanara Seta pun berkata:
"Nona! Gerangan apa hingga kau menuduhku
begitu" Apakah kita pernah berbuat sedang bertemu
pun baru sekarang ini."
"Cih! Najis! Masih ingatkah kau pada sebuah
keluarga yang kau bantai sepuluh tahun yang silam?"
"Hai, rupanya kau anak yang lolos dari maut.
Mau apakah kau ke mari" apakah kau mau menjadi
istriku?" "Bedebah! Aku akan menuntut balas. Bersiap-
lah. Hiat...!"
Dengan segera, Siti Gendari yang di hatinya
membara dendam berkelebat menyerang Wanara Seta
yang tertawa-tawa sembari menghindari serangan yang
dilancarkannya.
Walau Siti Gendari didikan tokoh sakti, namun
menghadapi Wanara Seta sepertinya tak ada artinya.
Bahkan dengan seketika, ketika telah berkelahi bebe-
rapa jurus, Wanara Seta dengan mudah menemukan
titik luang pada tubuh Siti Gendari, hingga ketika Siti Gendari kembali
menyerangnya dengan cepat Wanara
Seta berkelit ke belakang tubuhnya dan menghantam
telak punggung Siti Gendari.
Pukulan Wanara Seta yang berisikan tenaga da-
lam, menjadikan Siti Gendari langsung mental ke bela-
kang. Beruntung! Dengan secepat kilat Jaka berkelebat dan menangkap tubuh Siti
Gendari, kalau tidak! Tak
ayal lagi, cadas-cadas tajam akan merencah tubuhnya.
Melihat hal itu, Maka serempak Iblis Alas Waru
dan anak buahnya berkelebat menyerang Wanara Seta
menggantikan Siti Gendari.
Dikeroyok oleh lima orang, bukannya keder.
Bahkan dengan bergelak tawa, Wanara Seta meladeni
serangan mereka. Setiap tangannya berkelebat, maka
satu nyawa melayang.
Sementara di atas bukit tengah terjadi pertem-
puran, satu melawan lima. Di bawah bukit, Jaka tam-
pak masih menunggui Siti Gendari yang masih mende-
rita luka parah.
"Jaka... aku... aku bahagia. Walaupun aku ha-
rus mati, namun aku bahagia dapat bertemu dengan-
mu. Aku cinta pada...mu." Bersamaan dengan habisnya ucapan, Siti Gendari
seketika melemas dan tergo-
lek di pangkuan Jaka Ndableg.
Seketika semua orang yang hadir menundukan
muka, seperti turut berduka cita atas kematian Siti
Gendari. Sementara di atas sana, pekik kematian terus menggema.
"Tak dapat dibiarkan!" menggeretak Rekasih
penuh amarah, demi menyaksikan korban telah ba-
nyak berjatuhan. Di atas bukit, kini tinggal Iblis Alas Waru yang tengah
menghadapi Wanara Seta. Tampaknya Iblis Alas Waru terdesak mundur, hingga tubuh-
nya terus mundur dan mundur sampai mendekati ju-
rang. Melihat Iblis Alas Waru dalam bahaya, dengan
segera Sepasang Pendekar dan Rupaksi berkelebat
menyerang Wanara Seta bersama.
Tersentak Wanara Seta diserang seketika oleh
ketiga orang yang ilmunya dibilang tinggi.
Dengan segera Wanara Seta meninggalkan Iblis
Alas Waru, berbalik menghadapi ketiga orang menye-
rangnya. Pertarungan pun berlangsung seru, karena me-
reka memiliki ilmu yang sama-sama tinggi.
Jurus demi jurus telah berlalu begitu cepatnya,
hingga tanpa terasa telah enam puluh jurus mereka la-
lui. Kala meningkat ke jurus tujuh puluh. Tiba-tiba
Sepasang Pendekar mempercepat serangannya dengan
pedang yang ada di tangan mereka, yang bergerak ce-
pat laksana baling-baling.
Silih berganti Sepasang Pendekar menyerang
dan menangkis, hingga membuat bingung Wanara Se-
ta. Seketika itu. Pedang di tangan Rekasih berkelebat cepat, dan menghujam telak
di tubuh Wanara Seta.
Tersentak kaget Rekasih sembari melompat mundur,
kala dilihatnya Wanara Seta mematahkan pedangnya
yang telah menancap di dadanya.
Dengan menggeram, dicabutnya ujung pedang
yang tersisa, hingga darah tampak keluar. Makin ter-
sentak kaget ketiga orang penyerangnya, saat dengan
ludahnya Wanara Seta mengobati luka di dada yang
langsung sembuh seperti sedia kala.
Belum hilang rasa kaget ketiganya, tiba-tiba
Wanara Seta mendengus dan seketika tubuhnya beru-
bah menjadi seekor gorila besar yang langsung menye-
rang. Bukan hanya ketiga orang di atas yang tersen-
tak melihat perubahan diri Wanara Seta. Di bawah
pun, Jaka dan Malaikat Putih terperanjat dan meng-
gumam hampir bersamaan.
"Ilmu siluman! Tak mungkin mereka dapat
mengalahkannya. Aku akan berusaha menolong mere-
ka," berkata Malaikat Putih sembari berkelebat diikuti Kelana di belakangnya.
"Paman Rupaksi, dan saudara Sepasang Pen-
dekar, mundurlah. Dia bukan musuh kalian, biar aku
yang menghadapinya."
Malaikat Putih segera berkelebat menggantikan
kedudukan tiga orang menghadapi Wanara Seta.
"Wanara Seta. Aku tak dapat datang sendiri,
untuk itulah aku mengutus muridku si Malaikat Putih


Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenuhi tantanganmu. Bukannya aku tak berani
menghadapimu, namun aku telah mengasingkan diri
dari dunia persilatan. Aku rasa muridku pun sama
denganku, bukan begitu, Wanara Seta" Tuan Pendekar
Pedang Siluman Darah, aku memohon tolong padamu,
jaga muridku. Ia masih muda dan baru menginjakkan
kaki di dunia persilatan jadi perlu bimbingan. Untuk
itu, aku percayakan padamu, Tuan Pendekar." terdengar suara Malaikat Suci
berkata. Mungkin kalau Malaikat Suci tak menyebutkan
nama Pendekar Pedang Siluman, Wanara Seta tak
akan terkejut dan membelalakan mata. Namun demi
mendengar bahwa di situ ada seorang pendekar yang
namanya tengah menjadi buah bibir orang-orang persi-
latan, seketika Wanara Seta menjadi ciut hatinya.
Hingga ia tak begitu konsentrasi menghadapi Malaikat
Putih. Melihat Wanara Seta lengah, dengan segera Ma-
laikat Putih berkelebat menghantamkan pukulannya.
Pukulan yang didasari dengan tenaga dalam itu,
menghantam telak pada tubuh Wanara Seta.
Namun seketika Malaikat Putih tersentak, demi
melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Pukulan
Inti Sakti yang dilancarkannya, tak berarti apa-apa ba-gi Wanara Seta yang
seketika mendengus marah dan
menyerangnya. Karena terkejut, menjadikan Malaikat Putih tak
dapat mengelakkan serangan Wanara Seta. Dicobanya
berkelit, namun tak urung pundaknya terkena samba-
ran tangan Wanara Seta.
Melihat Malaikat Putih terdesak. Dengan segera
yang sedari tadi hanya menonton berkelebat memban-
tunya. Tersentak mundur Wanara Seta, melihat orang
yang ternyata Pendekar Pedang Siluman menyerang-
nya. Dalam hati Wanara Seta membatin. "Mungkinkah aku harus mati saat ini,
sesuai dengan ucapan Ki Badrawi ketika hendak meninggal dunia?"
Seketika itu, terbayang oleh Wanara Seta uca-
pan yang dilontarkan Ki Badrawi sebelum ajal.
"Kau... kau, manusia berhati binatang. Kau tak
tahu balas budi. Kenapa kau hendak membunuhku"
Ingat! Aku akan membalas semua ini padamu, kelak
lewat seorang pendekar muda yang memiliki senjata
pedang yang bernama Pedang Siluman Darah. Tu-
buhmu, kelak akan mati oleh senjata itu."
"Tidak! Aku tak akan mati. Jangankan pende-
kar Pedang Siluman Darah, seribu orang persilatan
pun tak akan membunuhku!" memekik Wanara Seta,
mencoba menghilangkan bayangan Ki Badrawi yang
sepertinya ada di tubuh Jaka.
Jaka dan Malaikat Putih tersentak, demi men-
dengar jeritan Wanara Seta yang seperti ketakutan
menyebut namanya.
"Sepertinya, ia dibayangi oleh seseorang yang
pernah dibunuhnya," berbisik Jaka pada Malaikat Putih.
"Benar! Tadi ia menyebut nama tuan. Mari kita
serang." Dengan cepat. Pendekar-pendekar muda itu
berkelebat, menyerang dengan kesaktian yang ada pa-
da diri masing-masing.
Terbelalak mata kedua pendekar muda itu, de-
mi melihat kenyataan yang terjadi. Ajian Lebur Raga
yang dilancarkan oleh Jaka sepertinya tak ada artinya, juga Ajian Petir Dewa
yang dilancarkan Malaikat Putih juga tak berarti. Bahkan dengan bergelak tawa,
Wanara Seta berkata mengejek
"Keluarkan semua ajian yang kalian miliki. Aku
Wanara Seta, tak akan mundur."
"Sombong!" memaki Malaikat Putih gusar.
"Jangan kita terpancing olehnya, Malaikat Pu-
tih. Ayo, kita serang berbarengan. Kalimu Sada!
Hiat...!" "Serat Brahma!! Hiat...!"
"Jleger!" terdengar ledakan dahsyat, ketika dua ajian pamungkas menggempur
berbarengan tubuh
Wanara Seta. Namun untuk kesekian kali, kedua pen-
dekar muda itu tersentak demi melihat ajian pamung-
kasnya tak mempan. Bahkan! Keduanya hampir saja
terkena hantaman Wanara Seta yang melancarkan
Ajian Serbuk Kematian, bila saja keduanya tak segera
mengelak. "Siluman! Mati kita di sini." berkata Malaikat Putih lesu, sepertinya telah
habis akalnya. Semua
ajian telah dikerahkan, namun sepertinya mahluk gori-
la itu tak mempan.
Seperti halnya Malaikat Putih, Jaka Ndableg
hampir putus asa. "Gusti Allah. Apakah aku di sini matinya"... Ah! Aku tak boleh
putus asa dulu. Aku tak boleh menyerah pada nasib. Akan aku coba dengan
Pedang Siluman Darah. "DENING RATU SILUMAN
DARAH, DATANGLAH!"
Seketika di tangan Jaka Ndableg telah tergeng-
gam sebilah pedang yang mengeluarkan sinar kuning
kemerah-merahan. Dari ujung pedang, menetes darah
membasahi batangnya.
Terbelalak mata Wanara Seta demi melihat sen-
jata yang telah menggemparkan dunia persilatan bera-
da di tangan Jaka Ndableg. Tak kalah kagetnya yang
lain. Seketika semuanya memekik berseru:
"Pedang Siluman Darah...!"
Bayangan Ki Badrawi kembali muncul. Meng-
gantikan tubuh Jaka yang dengan senyum sinis berka-
ta: "Jangan kau ketakutan, Wanara. Aku telah da-
tang..." "Tidak.,.!" memekik Wanara Seta.
Bersamaan dengan itu, Jaka Ndableg telah
membabatkan Pedang Siluman Darah ke arahnya.
"Inilah bagianmu. Hiaatt...!"
Seketika Wanara Seta memekik, lalu ambruk
dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darah seketika
mencurat, keluar dari tubuh Wanara Seta. Sementara
darah yang menempel di batang pedang, seketika le-
nyap terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Dengan matinya Wanara Seta, berakhir pula
kejahatan di desa Cipulir. Segera keempat orang yang
sedari tadi terkesima, bergegas menggeledah tubuh
Wanara Seta yang ambruk dengan tubuh terbelah
menjadi dua. "Ini kitab itu!" berseru Rupaksi girang.
"Sungguh kitab yang maha sakti," bergumam
Jaka demi melihat kitab tersebut.
"Ini, terimalah."
"Untukku..." Hai, bukankah kitab ini milik
ayah Malaikat Putih?"
"Tidak, Ki Sanak Jaka. Kitab ini merupakan ki-
tab milik Ki Eka Bilawa, ayahmu, terimalah."
Akhirnya dengan masih bimbang, Jaka segera
menerima Kitab Inti Jagat yang telah menggegerkan
Dunia persilatan. Dipandangi kitab tersebut, yang
memancarkan sinar kuning menyala.
Pedang Siluman Darah di tangan Jaka, tiba-
tiba menghilang sendiri. Hal itu makin membeliakkan
mata keempat temannya yang kaget bercampur heran.
Tengah semuanya terheran-heran, tiba-tiba Ja-
ka telah berkelebat sembari memanggul tubuh Siti
Gendari pergi. "Maaf, aku pergi dulu. Selamat berjuang para
pendekar!"
Tersentak kelimanya yang dengan segera me-
mandang pada asal suara itu. Tampak Jaka dengan
menggendong tubuh Siti Gendari, telah jauh mening-
galkan mereka yang hanya geleng kepala.
"Sungguh, sungguh aneh pendekar muda itu."
"Benar, apa yang Ki Sanak Malaikat Putih
ucapkan. Di samping dia mempunyai ilmu yang tinggi,
tabiatnya pun aneh. Dia suka Ndableg hingga tokoh-
tokoh persilatan memberi nama JAKA NDABLEG," me-
nyambung Iblis Alas Waru yang wajahnya tampak lesu.
"Ooh, hari telah pagi. Kami permisi dulu," berkata Sendana.
"Kenapa mesti cepat-cepat, saudara Sepasang
Pendekar?" bertanya Malaikat Putih.
"Sebenarnya kami ingin lama. Tapi... Guru me-
nyuruh kami untuk segera kembali bila kami telah
menyampaikan maksud guru pada pendekar Pedang
Siluman Darah atau Jaka Ndableg. Nah, kami mohon
diri," meminta Rekasih.
Kedua Pendekar Muda itupun segera berkelebat
pergi. Pagi telah tiba, manakala ketiga orang yang
masih di tempat itupun turut berlalu pergi. Sunyi
kembali Bukit Kematian, sepertinya turut terhanyut
dengan kejadian yang semalam terjadi....
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tokoh Tokoh Kembar 2 Dewi Ular 68 Misteri Penculik Asmara Bende Mataram 23
^