Pencarian

Geger Rimba Persilatan 1

Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan Bagian 1


GEGER RIMBA PERSILATAN
Oleh Teguh S. Cetakan pertama Penerbit Cintamedia,
Jakarta Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Pulau Neraka dalam
episode: Geger Rimba Persilatan 128 hal. : 12 x 18
cm 1 "Oaaa...!"
Lengking tangis bayi memecahkan keheningan malam sepi. Suara tangisan itu datang
dari sebuah rumah besar berpagar tembok batu yang kokoh menyerupai benteng. Saat
itu juga lampu-lampu dan obor dinyalakan oleh beberapa orang untuk menerangi
seluruh sudut benteng itu.
Malam yang semula sepi, kini berubah sama sekali bagai terjadi pesta mendadak.
Di salah satu ruangan besar rumah itu, tampak beberapa orang berdiri
mengelilingi sebuah ranjang besar yang beralaskan kain sutra halus berwarna
merah muda. Seorang wanita muda dan cantik tergolek di atasnya bersama seorang
bayi yang masih merah terbungkus kain sutra. Di samping wanita itu duduk seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya tampan namun memancarkan
kekerasan. Laki-laki itu menjentikkan jarinya. Semua orang yang mengelilingi ranjang
bergerak ke luar. Sebentar kemudian, laki-laki yang seperti bapak dari bayi itu
mengecup lembut kening wanita muda yang tersenyum bahagia.
"Anak kita laki-laki," bisiknya pelan.
"Ya, tampan sepertimu, Kakang," sahut wanita itu lembut.
Keceriaan dan kegembiraan tampak
menyelimuti wajah mereka. Sedangkan bayi di sampingnya tampak pulas terselimut
kain hangat. Tampan sekali, kulitnya juga putih bersih. Mereka sepertinya tak
puas-puasnya memandangi bayi itu.
"Sudah kau siapkan nama untuk anak kita, Kakang?" tanya wanita itu lembut seraya
menatap wajah laki-laki di dekatnya.
"Bagaimana denganmu?" laki-laki itu balik bertanya.
"Belum. Tapi kalau perempuan sudah kusiapkan sejak dulu." sahutnya manis.
"Akan kupikirkan dulu. Mungkin besok baru kuberi nama."
"Lebih cepat, lebih baik, Kakang."
"Pasti! Besok anak kita tentu sudah mempunyai nama yang bagus."
Kembali mereka tersenyum dan memandangi wajah mungil di sampingnya. Sesaat
lamanya mereka terdiam dengan mata tidak puas-puasnya memandang wajah bayi
tampan itu. Kemudian laki-laki berbaju kuning gading dengan pedang menggantung
di pinggang itu bangkit dari pembaringan. Langkahnya tegap menuju pintu kamar.
"Akan ke mana?"
"Menemui dukun bayi," jawabnya, lantas membuka pintu dan melangkah ke luar.
Dua orang yang berdiri di samping pintu langsung membungkukkan badan memberi
hormat. Laki-laki itu hanya mengangguk sedikit.
Langkahnya terus terayun menyusuri gang yang berhubungan langsung dengan sebuah
ruangan besar. Sebuah lampu kristal besar tergantung di langit-langit bagian
tengah. Di ruangan itu sudah berkumpul orang-orang. Mereka serempak
mrmbungkukkan badan memberi hormat.
"Terima kasih," kata laki-laki itu seraya duduk di kursi kayu jati yang berukir
indah. Sebelah tangannya terangkat ke depan, dan dengan serentak semua orang yang ada
di ruangan itu segera duduk bersila di lantai.
Mata laki-laki itu merayapi wajah-wajah mereka yang kelihatan cerah, tertunduk
penuh rasa hormat.
"Bertahun-tahun aku selalu berharap akan kehadiran seorang putra dalam hidupku,
yang akan jadi ahli waris seluruh Padepokan Teratai Putih ini. Nyata nya malam
ini doa dan harapanku terkabul. Untuk itu aku ingin menyelenggarakan pesta besar
atas rasa syukurku akan kehadiran pewaris Padepokan Teratai Putih," kata laki-
laki itu yang sepertinya adalah pemimpin Padepokan Teratai Putih. Suaranya dalam
dan berwibawa. Semua orang yang ada di ruangan itu menyambut dengan gembira.
Salah seorang yang duduk paling depan, berdiri. Dia segera menjura hormat,
tangannya terkepal merapat di depan dada.
"Ampun, Guru Dewa Pedang."
"Ada apa, Badar?" tanya laki laki itu yang ternyata bernama Dewa Pedang.
"Aku, muridmu yang bodoh ini memohon usul, Guru," kata Badar hormat.
"Apa usulmu?"
"Bagaimana kalau kita undang para ketua padepokan sahabat" Satu lagi, sebaiknya
kita juga menyelenggarakan lomba ketangkasan," usul Badar
"Bagaimana yang lain?" Dewa Pedang belum bisa memutuskan. Dia seperti ingin
membagi rasa bahagianya dulu kepada murid-murid utamanya.
"Setujuuu...!" seru semua orang di ruangan itu serempak.
"Baiklah! Mulai sekarang kalian kupercaya untuk mempersiapkan segalanya. Aku
ingin semuanya dilaksanakan dalam waktu satu pekan.
Saat itu pula akan kuumumkan nama putra pertamaku itu!" kata Dewa Pedang dengan
wajah cerah dan senyum terkembang lebar.
Semua orang yang ada di situ segera
berdiri dan menjura hormat. Tanpa diperintah lagi mereka segera berlalu
meninggalkan ruangan itu. Meskipun tidak diperintah secara lisan, mereka sudah
mengerti tugas masing-masing. Dewa Pedang segera bangkit berdiri, tapi tidak
jadi melangkah "Badar...!" panggil Dewa Pedang.
Badar tergopoh-gopoh menghampiri. Dia langsung menjura setelah tiba di depan
gurunya. "Tolong panggil dukun bayi yang membantu istri ku melahirkan. Aku ingin
memberinya hadiah khusus," kata Dewa Pedang.
"Guru, Nyai Palet sudah meninggalkan padepokan. Dia diantar enam orang murid
tingkat tiga," lapor Badar.
"Cepat susul, dan ajak kembali ke sini.
Katakan padanya, aku belum sempat mengucapkan terima kasih," perintah Dewa
Pedang. "Baik, Guru."
Badar segera menjura hormat dan langsung berlari meninggalkan ruangan itu. Dewa
Pedang bergegas melangkah kembali menuju kamar peraduannya. Rasanya, dalam masa-
masa seperti ini dia ingin selalu dekat dengan putra pertamanya. Bertahun-tahun
ia mengidam-idamkan mempunyai keturunan untuk menjadi ahli warisnya, dan baru
malam inilah keinginannya terkabul
*** Pada salah satu ruangan lain di rumah besar Padepokan Teratai Putih, tampak
duduk gelisah seorang wanita muda dan cantik. Di depannya duduk tiga orang laki-
laki yang juga masih muda. Ketiga laki-laki itu menyandang senjata yang
berlainan bentuknya.
"Apa kalian tadi tidak salah dengar?"
tanya wanita muda itu sambil memandang tajam pada wajah ketiga laki laki di
depannya. "Tidak, Nyai. Dewa Pedang bermaksud mengadakan pesta besar selama satu pekan
untuk menyambut kelahiran putra pertamanya," jawab laki-laki yang duduk paling
kanan. Wanita muda yang sinar matanya memancarkan segudang misteri itu berdiri. Kakinya
terayun pelan-pelan memutari tiga laki-laki yang tetap duduk di kursinya.
Keheningan menyelimuti ruangan yang berada paling belakang dari rumah besar
Padepokan Tetatai Putih itu.
"Ganis," kata wanita itu seraya menghentikan langkahnya tepat di depan laki-laki
yang duduk paling kanan. Di tangannya tergenggam sebuah kipas dari logam keras.
"Ya, Nyai," sahut lelaki yang dipanggil Ganis itu.
"Kau tahu, seharusnya bayi itu tidak boleh lahir! Hmm... Tak kusangka kalau Nyai
Palet tidak mengindahkan peringatanku."
"Nyai Rengganis ingin dukun bayi itu mati?" tanya Ganis menebak.
"Hhh!" wanita yang bernama Rengganis itu hanya tersenyum sinis.
"Akan kukerjakan malam ini juga. Nyai,"
kata Ganis seraya berdiri.
"Bagus!" sambut Rengganis.
"Tunggu dulu, Kakang Ganis!" selak laki-laki yang duduk paling kiri. Di
punggungnya tersandang sebilah pedang.
"Ada apa lagi, Adik Garang?" tanya Ganis.
"Dukun bayi itu sudah pulang diantar oleh enam orang murid tingkat tiga. Kau
tidak mungkin bisa membunuhnya dengan mudah! Apalagi Dewa Pedang menyuruh Badar
untuk menjemput kembali dukun itu," kata Ganang.
"Kalau begitu, sebaiknya aku ikut, Ganang," kata Nyai Rengganis.
"Kami bertiga, Nyai!" selak orang yang duduk di tengah seraya berdiri.
Senjatanya, sepasang kapak yang terselip di pinggang.
"Tidak, Gamar. Kau tetap di sini. Masih ada tugas yang lebih penting untukmu,"
tolak Rengganis.
"Tugas apa?" tanya Gamar.
"Kau harus tetap menguping semua pembicaraan Dewa Pedang. Pada saat seperti ini,
satu patah kata yang diucapkannya merupakan perintah yang tidak bisa ditawar
lagi. Dan itu sangat penting bagi kita," kata Rengganis.
"Benar, Adik Gamar. Sebaiknya kau tetap berada di Padepokan Teratai Putih. Biar
aku dan Adik Ganang yang akan membereskan dukun bayi itu," sambung Ganis.
"Baiklah. Tapi berhati-hatilah Kakang. Aku dengar, Nyai Palet bukan orang
sembarangan! Tingkat kepandaiannya cukup tinggi," kata Gamar.
"Kami pergi dulu, Nyai," kata Ganis pamitan.
"Ya," sahut Rengganis membalas salam hormat kedua laki-laki itu.
Rengganis kembali duduk di kursinya
setelah Ganis dan Ganang ke luar dari ruangan ini. Sedangkan Gamar masih tetap
berdiri dengan mulut terkatup rapat. Beberapa saat mereka membisu.
"Sebaiknya aku juga segera pergi, Nyai,"
kata Gamar. "Untuk apa?" tanya Rengganis.
"Tidak apa-apa. Hanya...," Gamar tidak melanjutkan ucapannya.
"Kau takut ada yang melihatmu di kamarku ini" Jangan khawatir, Gamar. Semua
penjaga di sekitar kamarku sudah berpihak padaku. Mereka tidak akan melapor pada
Dewa Pedang. Apalagi sekarang ini dia tentu sedang menumpahkan perhatiannya pada
Larasati," kata Rengganis sambil tersenyum manis.
"Apakah Nyai sudah mempengaruhi muridmurid Dewa Pedang?" tanya Gamar.
"Terlalu berbahaya, Gamar. Mereka yang berpihak padaku, sebenarnya adalah anak
buahku sendiri yang menyusup masuk ke padepokan ini dan menjadi murid Dewa
Pedang. Kau paham maksudku, Gamar"
"Paham, Nyai," sahut Gamar mengangguk.
"Nah! Ambilkan arak. Mereka semua sedang bersenang-senang dan bergembira. Kita
di sini pun juga harus bergembira menyambut kehancuran Padepokan Teratai Putih,"
kata Rengganis.
"Tapi, Nyai...," Gamar mau menolak.
"Lupakan saja tugasmu sementara, Gamar!
Kau tidak ingin bersenang-senang denganku?"
Gamar menelan ludahnya. Dia tidak bisa lagi menolak saat Rengganis bangkit dan
menghampirinya. Tangan wanita itu langsung melingkar di leher Gamar. Wajah
mereka begitu dekat, sehingga desah napas Rengganis begitu hangat menyapu kulit
wajah Gamar. Mereka tidak peduli dengan keadaan dan lupa akan semua pembicaraan
yang tadi berlangsung beberapa saat. Yang jelas, kini mereka telah berada dalam
kamar, saling-menyatukan kenikmatan.
Hanya desahan napas yang terdengar.
*** Dari hari ke hari kesibukan di Padepokan Teratai Putih terus berlangsung.
Seluruh sudut dihias dengan umbul-umbul yang beraneka ragam, serta hiasan lain
yang berwarna-warni.
Semuanya membuat suasana Padepokan Teratai Putih itu semakin semarak. Murid-
murid padepokan itu tidak kenal lelah. Semua kerja keras menyiapkan pesta
berkenaan dengan kelahiran pewaris tunggal Padepokan Teratai Putih.
Namun dari semua keceriaan dan kesibukan persiapan pesta itu seperti tidak
ternikmati oleh Rengganis dan tiga bersaudara yang menjadi pengawal pribadinya.
Di depan Dewa Pedang maupun Larasati, Rengganis selalu menampakkan wajah penuh
ceria, seakan-akan dia juga turut gembira dengan hadirnya seorang putra pewaris
padepokan ini. "Gamar, bagaimana persiapanmu?" tanya Rengganis saat mereka berada di kamar
pribadi wanita itu.
"Semua tokoh-tokoh rimba persilatan yang memihak kita tinggal menunggu perintah
saja, Nyai," kata Gamar.
"Hm..., bagus! Dan kau, Ganis?"
"Tidak ada masalah, Nyai. Tepat pada hari yang telah ditentukan, seluruh anak
buahku siap bergerak," sahut Ganis.
"Nyai tidak perlu khawatir! Semuanya sudah kami siapkan dengan matang," selak
Ganang saat Nyai Rengganis memandang ke arahnya.
"Bagus! Aku senang mendengarnya. Nah, sebaiknya kalian ikut membantu
mempersiapkan pesta. Aku tidak ingin ada yang usil dan menaruh curiga pada
gerakan kita," kata Rengganis.
"Kami permisi, Nyai," pamit tiga bersaudara itu.
Nyai Rengganis hanya tersenyum dan
menganggukkan kepalanya. Bergegas ditutup pintu kamarnya setelah ketiga
bersaudara itu ke luar. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman manis. Dari
wajahnya memancar kecerahan dan keceriaan. Tapi bukan karena kelahiran putra
idaman seluruh orang di Padepokan teratai Putih ini, melainkan sebuah rencana
yang siap dimuntahkan.
"Siapa...?" Nyai Rengganis menoleh ketika mendengar suara ketukan pada pintu
kamarnya. Tidak ada jawaban. Tapi ketika pintu itu terbuka, muncul seorang laki-laki
berwajah tampan dan keras. Pedangnya berwarna perak menggantung di pinggang.
Dialah Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih ini. Dewa Pedang melangkah
masuk, sambil menutup pintu kembali.
Rengganis menyambut disertai senyum
tersungging di bibir.
Rengganis segera memeluk dan mengecup bibir Dewa Pedang. Sedangkan Ketua
Padepokan Teratai Putih itu membelai-belai pipi yang halus bagai kapas itu.
Rengganis menggelayutkan tubuhnya dengan manja di tubuh kekar Dewa Pedang.
"Kenapa mengurung diri di kamar"
Keluarlah! Mereka sedang bergembira saat ini.
Aku memberi kebebasan pada mereka untuk bergembira," kata Dewa Pedang lembut.
"Aku dari sana, Kakang. Aku lelah sekali, tapi cukup senang," kata Rengganis
manja. "Betul, kau tidak iri karena Larasati yang memberiku putra?"
"Jangan begitu, Kakang. Aku atau Kak larasati sama saja. Sekarang mungkin dia.
Lain waktu mungkin aku. Sama saja, kan?"
Dewa Pedang tertawa mendengar kemanjaan wanita itu. Dia melepaskan pelukannya
dan melangkah menghampiri pembaringan. Sebentar dicopot pedangnya dan diletakkan
dengan hati-hati di atas meja. Sebentar kemudian tubuhnya telah terbaring di
ranjang itu. Rengganis hanya memperhatikan tanpa berkata sedikit pun.
"Aku terlalu gembira, Rengganis. Maaf kalau aku seperti melupakanmu. Tapi aku
sudah ada di sini," kata Dewa Pedang seraya memiringkan tubuhnya.
Rengganis bisa mengerti maksud kata-kata ketua Padepokan Teratai Putih itu.
Wanita itu bukannya menghampiri, tapi malah melangkah ke jendela kamar dan
membuka pintunya lebar-lebar. Tampak beberapa orang penjaga terlihat.
Mereka segera memberi hormat begitu melihat Rengganis di balik jendela.
"Kenapa kau buka jendela?" tanya Dewa Pedang. Nada suaranya agak kecewa.
"Panas," sahut Rengganis sekenanya. Dia berbalik dan bersandar pada dinding.
Dewa Pedang mendesah panjang, kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringan,
itu. Tangannya menjulur mengambil pedang, lalu mengenakannya kembali. Rengganis hanya
tersenyum saja melihat rona merah mengandung kekecewaan pada wajah Dewa Pedang.
"Mau ke mana?" tanya Rengganis melihat Dewa Pedang akan pergi.
"Lihat persiapan mereka." sahut Dewa Pedang pelan.
Rengganis tidak mencegah sedikit pun.


Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dibiarkan saja Dewa Pedang melangkah ke luar tanpa menutup pintu kembali. Wanita
itu tertawa kecil melihat raut wajah ketua padepokan itu yang menyiratkan rasa
kecewa. Rengganis memang sengaja berlaku demikian.
Sudah beberapa kali dia menolak dan selalu memberi alasan macam-macam. Hal ini
memang disengaja agar Dewa Pedang kecewa dan kesal.
Tapi rupanya, Ketua Padepokan Teratai Putih itu jenis manusia yang sabar,
sedikit pun ia tidak berkata apa-apa, meskipun dari sinar matanya menyemburat
rasa kecewa. "Nikmati kebahagiaanmu yang sebentar, Dewa Pedang," desis Rengganis dingin.
*** 2 Keramaian menyemarak di Padepokan Teratai Pulih. Wajah-wajah cerah terlihat dari
semua orang yang datang memenuhi undangan Ketua Padepokan Teratai Putih.
Kelahiran putra pewaris tunggal padepokan disambut dengan penuh kegembiraan.
Dewa Pedang tersenyum lebar. Dengan bangga diperkenalkan putranya pada semua
undangan yang hadir. Istrinya, Larasari tampak berdiri anggun menggendong anak
tunggalnya di samping suaminya. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum manis
memikat. Ruangan pendopo yang luas itu tampak sesak dipenuhi undangan yang
datang dari segala penjuru.
Dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas kalau para undangan dan tamu lainnya
adalah orang-orang rimba persilatan yang datang dari padepokan-padepokan lain.
Namun semua kegembiraan itu sama sekali tidak dinikmati Rengganis. Meskipun
bibirnya selalu tersenyum ramah pada setiap tamu, namun matanya sesekali melihat
ke luar pendopo ini.
Rengganis bergegas ke luar begitu melihat Gamar berjalan bersama dua orang
bersenjata tombak panjang. Mereka menuju tangga masuk pendopo Padepokan Teratai
Putih ini. Wanita itu melangkah setengah berlari menuruni anak-anak tangga
pendopo. Gamar segera membungkuk memberi hormat diikuti dua orang lainnya.
"Bagaimana?" tanya Rengganis langsung.
"Semua sudah siap. Sebagian besar undangan yang hadir adalah orang-orang kita.
Mereka tinggal menunggu tanda darimu, Nyai," kata Gamar.
"Bagus! Di mana dua saudaramu?"
"Kakang Ganis memimpin dari sebelah Utara, dan adik Garang dari sebelah Timur.
Sedangkan dari arah Selatan, gabungan dari beberapa partai. Dan dari dalam
sendiri tinggal menunggu perintah saja," lapor Gamar
"Katakan pada saudaramu. Waktu yang tepat adalah saat gong dipukul tanda adu
ketangkasan dimulai. Tunggu sampai gong yang ketiga," kata Rengganis.
"Rencana yang bagus, Nyai," sambut Gamar.
"Nah, sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak ingin ada yang mencurigai. Semua
sudah di ambang pintu, Gamar. Kita tidak boleh gagal," kata Rengganis.
Gamar segera memberi hormat dan berlalu.
Rengganis pun juga berbalik masuk kembali ke dalam pendopo. Tapi baru saja
kakinya menaiki satu undakan, di depannya sudah berdiri Ketua Padepokan Teratai
Putih. Rengganis agak terkejut juga. Untunglah dia dapat cepat menyembunyikan
rasa kaget dengan memberikan senyuman manis.
"Apakah acara adu ketangkasan akan dimulai, Kakang?" tanya Rengganis lebih dulu
"Benar. Aku malah sengaja mencarimu.
Tempat acara itu telah kupindahkan, dan diadakan di tengah-tengah pendopo saja
agar tidak terlalu menyolok," sahut Dewa Pedang.
"Kenapa begitu, Kakang" Bukankah di alun-alun lebih leluasa?" Rengganis agak
terperanjat mendengar nya.
"Aku tidak suka jika dicap sebagai ketua padepokan yang sombong, Rengganis. Adu
ketangkasan juga hanya dari murid-muridku sendiri. Sifatnya hanya sekedar
hiburan saja, bukan adu kepandaian," Dewa Pedang berusaha menjelaskan.
Rengganis hanya diam saja. Kakinya terayun melangkah menaiki undakan menuju ke
dalam pendopo. Matanya beredar ke sekeliling. Tidak ada sebuah gong pun di
ruangan luas ini.
Rengganis jadi sedikit bingung juga. Otaknya segera berputar keras mencari jalan
keluar. Masalahnya sekarang, dia belum paham benar mana orang-orang yang berpihak
padanya dan mana yang bukan. Semua sudah bercampur-baur menjadi satu. Sulit
untuk dikenali lagi.
Rengganis sendiri tidak mengenal mereka satu persatu. Memang semuanya hanya dia
yang merencanakan. Tapi yang melaksanakan adalah tiga saudara yang selalu setia
padanya. "Apa tandanya untuk memulai adu
ketangkasan itu, Kakang?" tanya Rengganis.
"Hanya dari pembawa acara saja," jawab Dewa Pedang.
"Tidak pakai gong?"
"Kurasa itu tidak perlu, Rengganis."
Rengganis tiba-tiba memegangi kepalanya dengan mata terpejam. Dewa Pedang agak
kaget juga. Buru-buru dipeluknya pundak wanita itu saat mulai limbung.
"Rengganis, kau kenapa?" tanya Dewa Pedang.
"Kepalaku, Kakang. Rasanya tiba-tiba saja pening," kata Rengganis lirih.
"Sebaiknya kau istirahat saja di kamar,"
kata Dewa Pedang.
Laki-laki Ketua Padepokan Teratai Putih itu menggapaikan tangannya. Dua orang
emban setengah baya segera mendekat tergopoh-gopoh.
Mereka langsung memapah Rengganis yang kelihatan lunglai sambil memijat-mijat
kepalanya. "Bawa segera ke kamar," perintah Dewa Pedang. Kedua emban itu segera membawa
Rengganis meninggalkan ruangan besar pendopo ini. Mereka masuk ke dalam lorong
yang menuju tempat peristirahatan keluarga Dewa Pedang.
Tampak Rengganis tersenyum besar. langkahnya sudah jauh meninggalkan ruangan
pendopo itu. Masih terdengar suara-suara riuh dan tepuk tangan para undangan dari luar sana.
Dengan satu gerakan cepat tak terduga, kedua tangan Rengganis berkelebat ke dada
kedua emban yang memapahnya. Sedikit pun tak ada suara. Kedua emban itu langsung
jatuh dengan dua bulatan kecil berwarna hitam tertera di dada mereka.
Dari sudut bibirnya mengalir darah kental kehitaman. Sebentar Rengganis
mengawasi sepanjang lorong, lalu diseretnya dua tubuh ernban itu ke dalam sebuah
kamar yang tidak jauh dari lorong itu.
Rengganis bergegas ke luar dari kamar itu dan menutupnya. Gerakannya begitu
ringan dan cepat melintasi lorong bagai kancil menyusuri semak belukar. Tubuh
yang terbungkus baju hijau dari kain sutra halus itu pun lenyap setelah sampai
di ujung lorong. Sementara suara-suara dari ruang pendopo masih Juga terdengar
riuh. Tapi lorong itu tampak sepi tanpa seorang pun terlihat.
*** "Gamar...!"
Gamar tersentak kaget ketika mendengar suara panggilan dari arah samping. Dia
segera menoleh dan terkejut melihat Rengganis berlari-lari menghampirinya. Gamar
langsung berlari menghampiri. Rengganis menghentikan larinya. Napasnya agak
tersengal sedikit.
Wajahnya memerah dengan keringat menitik di kening dan leher.
"Kenapa Nyai ke sini?" tanya Gamar seraya melayangkan pandangannya ke belakang
wanita itu. "Ada perubahan, Gamar!" sahut Rengganis.
"Perubahan" Maksud, Nyai?"
"Adu ketangkasan tidak jadi dilaksanakan di alun-alun! Juga, tidak ada gong
pembuka!" "Jadi...!?"
"Itulah yang aku bingungkan, Gamar! Tidak mungkin menunggu tanda dari dalam
lagi." Gamar diam merenung. Keningnya berkerut dalam, pertanda tengah berpikir keras.
Tidak mungkin membatalkan rencana yang sudah disusun rapi dan dimatangkan selama
berbulan-bulan.
Semua sudah siap siaga, tinggal menunggu tanda untuk bergerak saja!
"Kau punya saran, Gamar?" tanya Rengganis sedikit putus asa.
"Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan!
Biar aku yang menghubungi teman-teman di luar," sahut Gamar.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rengganis ingin tahu.
"Terpaksa. Kita harus memulai secara mendadak tanpa tanda apa pun!" kata Gamar.
"Jangan, Gamar! Semua harus dilakukan serentak, tanpa ada yang saling
mendahului! Kekompakan harus tetap dijaga," Rengganis tidak setuju.
"Rasanya tidak ada jalan lain, Nyai."
"Aku punya cara!" seru Rengganis tiba-tiba.
Gamar menatap wanita cantik itu dalam-dalam. Memang sejak semula sudah diduga
kalau Rengganis pasti banyak akalnya. Wanita itu sangat cerdik, penuh dengan
tipu muslihat. Mungkin Rengganis tadi hanya gugup saja, sehingga seperti buntu akalnya. Tapi
kini otaknya berhasil mencari jalan keluar yang terbaik.
"Aku akan kembali lagi ke dalam, dan kau hubungi yang lain secepat mungkin,"
kata Rengganis serius.
"Lalu?"
"Kalau kau dan yang lainnya melihat ada merpati terbang, itu adalah tanda dariku
sebagai awal dari rencana kita. Kau mengerti maksudku, Gamar?"
"Mengerti, Nyai."
"Cepatlah kau hubungi yang lain! Ingat, Gamar! Jangan sampai gerakanmu dicurigai
oleh penjaga." "Jangan khawatir, Nyai."
Rengganis tersenyum, lalu segera berbalik dan berlari cepat menuju ke benteng
padepokan sebelah Barat. Gerakannya begitu ringan dan cepat bagaikan angin.
Jelas kalau wanita itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dianggap
enteng. Gamar pun segera bergerak setelah memberi beberapa pesan kepada anak
buahnya. Sementara itu Rengganis sudah melompati benteng sebelah Barat Padepokan Teratai
Putih. Matanya yang bulat menatap tajam ke
sekitarnya. Dia menarik napas lega setelah semua penjaga tampaknya terpusat
pikirannya oleh suasana gembira, sehingga sepertinya lengah dengan tugasnya.
Rengganis bergegas menuju ke pintu lorong rumah besar. Sebentar saja tubuhnya
sudah lenyap di balik pintu.
Dengan langkah tenang, dia berjalan
menyusuri lorong yang di kanan dan kirinya terdapat kamar-kamar yang tertutup
pintunya. Rengganis langsung menuju ke ruang pendopo.
Langkahnya tenang, dan bibirnya terus menyunggingkan senyum. Beberapa kali harus
dibalasnya anggukan kepala para tamu yang memadati ruangan itu.
Rengganis langsung menghampiri Dewa Pedang yang duduk di kursi didampingi
istrinya. Dewa Pedang hanya memberi senyum saat Rengganis duduk di sampingnya.
Sebentar diliriknya Larasati yang menggendong putranya. Sementara beberapa
hiburan mulai ditampilkan.
"Kakang...," kata Rengganis berbisik.
"Ada apa?" tanya Dewa Pedang menyorongkan kepalanya mendekati Rengganis.
"Aku ada usul, Kakang. Bagaimana kalau pada adu ketangkasan nanti dimulai dengan
pelepasan seekor merpati," kata Rengganis mengusulkan.
"Maksudmu?"
"Sebagai pelambang kalau putra pewaris Padepokan Teratai Putih akan melanglang
buana menaklukkan seluruh rimba persilatan," sahut Rengganis beralasan.
"Usul yang bagus!" sambut Dewa Pedang tersenyum lebar. "Bagaimana, Laras?"
"Kalau Kakang setuju, kenapa aku tidak?"
jawab Larasati sambil tersenyum.
"Sebaiknya merpati kesayanganku saja, Kak Laras," kata Rengganis.
"Jangan, Adik Rengganis. Merpati itu kan kesayanganmu."
"Sebagai tanda kalau aku juga mencintai anakmu."
"Terima kasih, Adik Rengganis. Kau baik sekali," sahut Larasati terharu
Rengganis hanya tersenyum saja. Namun gerakan senyum di bibirnya terasa getir.
Sementara Dewa Pedang sudah kembali
mengalihkan perhatiannya pada acara hiburan yang ditampilkan murid-muridnya.
Tampak para undangan begitu terhibur. Banyak pula komentar dilontarkan. Semuanya
selalu memuji dan mengagumi gerakan-gerakan jurus silat yang diperlihatkan
murid-murid Padepokan Teratai Putih ini. Dewa Pedang tidak begitu bangga hati.
Dia tahu kalau semua pujian itu hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya saja.
Rengganis menjentikkan jarinya. Seorang emban yang berada di dekatnya segera
mendekat Rengganis berbisik pada emban bertubuh gemuk itu. Sesaat kemudian emban
itu berlalu meninggalkan ruangan pendopo ini, dan tidak lama kemudian sudah
kembali dengan membawa sangkar berisi burung merpati putih. Rengganis menerima
dan meletakkannya di depan kaki Dewa Pedang.
*** Gamar tampak gelisah. Dia berjalan mondar-mandir dengan matanya tak lepas
menatap ke arah Padepokan Teratai Putih. Sementara matahari sudah semakin
tinggi. Sinarnya yang terik membuat tubuh Gamar basah oleh keringat yang
mengucur deras. Bukan itu saja. Bahkan orang-orang yang sudah sejak pagi tadi
menunggu dengan senjata terhunus, juga kelihatan tidak sabar lagi.
Saat matahari tepat di atas kepala,
terlihat seekor merpati putih terbang tinggi dari dalam pendopo Pa depokan
Teratai Putih. Gamar langsung melompat ke depan, dan...
"Serang..!" teriaknya lantang.
Bersamaan dengan itu, secara serempak terdengar suara-suara lantang dari arah
Utara, Timur dan Selatan. Tidak lama kemudian menyusul suara-suara pekikan yang
membahana disertai derap ratusan manusia yang berlari menuju Padepokan Teratai
Putih dari em pat penjuru.
Para penjaga di sekitar tembok benteng padepokan itu terkejut bukan main, karena
tiba-tiba saja dari empat penjuru mata angin berlompatan orang-orang bersenjata.
Mereka melompati tembok benteng yang tinggi dan langsung menyerang dengan ganas.
Para penjaga yang tidak menduga adanya serangan mendadak itu menjadi kalang-
kabut. Jerit kematian mulai terdengar saling susul bercampur dengan teriakan-
teriakan gegap-gempita. Denting senjata dan desir angin tenaga dalam
menyemarakkan tempat yang lelah berubah menjadi arena pertempuran.
Dalam waktu yang sama, di dalam Pendopo Utama Padepokan Teratai Putih juga
terjadi kegemparan.
Tiba-tiba saja sebagian undangan
mengeluarkan senjata. Mereka membuat keributan dengan membabat habis undangan
lainnya. Dewa Pedang yang cepat peka pada keadaan, segera memerintahkan murid-muridnya
untuk menghalau para pengacau itu. Dia tidak menyadari akan bahaya yang
mengancam istrinya.
Dan betapa terperanjat Dewa Pedang ketika melihat Rengganis mencabut sebilah
pisau dari balik sabuk ikat pinggangnya. Gerakan tangan Rengganis begitu cepat
mengarah tepat kedada Larasati.
"Laras, awas...!" teriak Dewa Pedang cepat melompat berusaha mencegah serangan
Rengganis. Tring! Secepat Rengganis mengibaskan pisaunya, secepat itu pula Dewa Pedang mencabut
senjata andalannya yang berupa pedang dari emas murni bercampur logam keras.
Begitu cepat gerakan kibasan pedangnya, sehingga membuat Rengganis terkejut.
Padahal ujung pisau Rengganis tinggal serambut lagi membelah dada Larasati.
"Ih!"
Rengganis segera melompat mundur
menghindari sabetan pedang Dewa Pedang yang mengarah perutnya. Dewa Pedang
memandang Rengganis setengah tidak percaya. Tapi yang dipandang malah
membalasnya dengan tajam.
Dibuang pisaunya, lalu dikeluarkan dua buah kipas dari baja putih bagaikan
perak. Dewa Pedang melangkah mundur melindungi istrinya.
"Badar!" teriak Dewa Pedang Badar yang sedang bertarung melawan para undangan
yang berkomplot dengan Renqganis, segera melompat menghampiri gurunya.
"Cepat bawa keluar istri dan anakku.
Selamatkan mereka!" perintah Dewa Pedang.
"Baik Guru," sahut Badar.
"Kakang...," suara Larasati tersekat di tenggorokan.
"Cepatlah! Tidak ada waktu lagi! Kau harus selamatkan anak kita," kata Dewa
Pedang. Larasati tidak membantah lagi. Segera dia berlari ke arah lorong diikuti
beberapa emban, dan dijaga sekitar dua puluh murid utama Padepokan Teratai Putih
yang dipimpin Badar.
Pada saat itu Rengganis sudah melompat menyerang Dewa Pedang dengan sepasang
kipas bajanya. Wut, wut!

Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Pedang menarik tubuhnya ke belakang sambil meliuk-liuk bagai ular,
menghindari kibasan senjata Rengganis yang cepat dan berbahaya. Dengan cepat
kaki Dewa Pedang terangkat naik, lalu menyepak ke depan.
Rengganis buru-buru mengibaskan kipasnya memapak kaki yang bergerak cepat ke
arah perutnya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewa Pedang malah menarik kakinya
cepat dan memutarnya ke atas. Rengganis memekik tertahan saat tapak kaki Dewa
Pedang menghantam telak dadanya. Wanita itu terhuyung ke belakang menabrak
kursi. Saat itu juga Dewa Pedang melompat seraya memutar pedangnya ke depan. Tapi
sebelum ujung pedangnya menyentuh tubuh Rengganis, sebuah bayangan merah
berkelebat bagai kilat memapak serangannya.
Dug! "Ukh!"
Dewa Pedang terjajar ke belakang sambil menekap dadanya. Kedua bola matanya
memerah menatap seorang laki-laki tua berjubah merah yang sudah berdiri di
depannya melindungi Rengganis. Laki-laki tua itu menggenggam sebatang tongkat
pendek yang ujungnya terdapat lempengan logam berbentuk bulan sabit
"Jantara...," desis Dewa Pedang yang bernada tidak percaya dengan
penglihatannya.
Laki-laki tua yang dipanggil Jantara itu hanya tersenyum sinis. Dia memang
Jantara, atau yang lebih dikenal dengan julukan si Tongkat Samber Nyawa. Dewa
Pedang benar-benar tidak percaya kalau Jantara ikut dalam aksi huru-hara di
padepokannya. "Sudah lama kutunggu kesempatan ini, Dewa Pedang!" kata Jantara dingin.
"Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Mengapa kau ingin menghancurkan
padepokanku, Jantara?" tanya Dewa Pedang.
"Memang benar! Kita memang tidak pernah punya persoalan secara pribadi. Tapi
murid-muridmu selalu malang-melintang menghalangi sepak-terjangku. Bahkan
gerakan anak buahku juga kau hambat!"
"Aku tidak pernah mengajarkan untuk berlaku lunak pada orang-orang jahat,
Jantara. Kalau kau merasa terhalang, mengapa masih juga menyengsarakan orang lain?",
"Itu urusanku, Dewa Pedang!" bentak Jantara keras.
"Begitu pula dengan tindakanku beserta muridmuridku! Semuanya bukan urusanmu!"
balas Dewa Pedang tidak kalah dinginnya.
"Huh! Umurmu sudah tinggal seujung pedang, masih juga berlagak!"
Setelah berkata demikian, Jantara atau si Tongkat Samber Nyawa lantas melompat
menerjang diikuti Rengganis. Si Tongkat Samber Nyawa memang tidak bisa dianggap
enteng. Ilmunya cukup tinggi. Dewa Pedang harus berhati-hati menghadapinya.
Apalagi ditambah dengan Rengganis yang juga memiliki kepandaian hampir setara
dengan si Tongkat Samber Nyawa. Tentu saja Dewa Pedang jadi kelabakan.
Tapi sebagai ketua padepokan silat, Dewa Pedang cukup cerdik. Dia bertarung
sambil bertahan mundur, mendekati tokoh-tokoh rimba persilatan yang juga
bertarung melawan muridmurid Padepokan Teratai Putih. Rengganis yang berotak
cerdas, tanggap akan kecerdikan Dewa Pedang. Tapi semuanya terlambat. Murid-
murid setia Padepokan Teratai Putih sudah merangsek menyerangnya. Mau tidak mau
Rengganis mengalihkan perhatiannya pada lawan-lawan barunya.
Sementara pertarungan masih terus
berlangsung sengit. Cukup sulit untuk membedakan antara lawan dan kawan. Korban
sudah tak terhitung lagi. Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Tampak
dari arah bangunan belakang, api mulai berkobar melahap barak-barak murid
Padepokan Teratai Putih. Angin bertiup cukup kencang, sehingga api semakin
leluasa melahap semua yang di dekatnya. Tak seorang pun yang sempat
memadamkannya, masing-masing sibuk dengan lawannya. Kelengahan sedikit saja akan
berakibat nyawa melayang.
Sedangkan pertarungan antara Dewa Pedang dengan si Tongkat Samber Nyawa menjadi
tak seimbang setelah murid-murid utama Padepokan Teratai Putih membantu gurunya.
Kelihatan kalau si Tongkat Samber Nyawa terdesak hebat.
Dia jatuh bangun menghindari setiap serangan yang datang beruntun bagai air bah.
"Sebaiknya Guru cepat meninggalkan tempat ini! Biar kami saja yang menghadapi
para pengacau keparat ini," kata salah seorang murid Dewa Pedang.
"Jangan hiraukan aku! Kalian saja yang cepat pergi!" sahut Dewa Pedang seraya
mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri.
"Tidak! Lebih baik kami mati bersama-sama, Guru!"
Dewa Pedang terharu sekali mendengarnya.
Betapa besar pengabdian murid-muridnya. Kini Dewa Pedang berhadapan dengan
sekitar enam tokoh rimba persilatan yang begitu cepat menyerangnya. Sementara
itu si Tongkat Samber Nyawa kini leluasa membantai murid-murid di Padepokan
Teratai Putih yang sebenarnya bukan tandingannya.
Keadaan Dewa Pedang semakin
mengkhawatirkan. Tubuhnya terombang-ambing bagaikan bola. Darah telah mengucur
dari lukanya akibat tersambar senjata lawan-lawannya. Keadaan yang sama juga
dialami murid-muridnya. Mereka tidak mampu menghadapi tokoh-tokoh rimba
persilatan yang
kepandaiannya jauh di atas mereka. Apalagi ditambah dengan murid-murid Padepokan
Teratai Putih yang berkhianat.
"Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat..!"
teriak Rengganis melengking tinggi.
Bagaikan seekor burung elang, Rengganis melompat tinggi dan menukik tajam dengan
sepasang kipas yang berkelebat cepat. Dewa Pedang yang sedang sibuk menghadang
serangan para pengeroyoknya, tidak sempat lagi berkelit. Sepasang kipas baja
maut Rengganis tanpa ampun lagi merobek kulitnya.
Dewa Pedang melangkah mundur. Tubuhnya limbung. Darah semakin banyak keluar dari
tubuhnya. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir rasa pening. Tapi matanya
masih berkunang-kunang. Rengganis berdiri tegak dengan sepasang kipas terbuka
lebar di depan dada.
"Rengganis, kenapa kau ingin membunuhku?"
tanya Dewa Pedang lemah.
"Karena kau telah membantai seluruh keluargaku!" sahut Rengganis dingin.
"Aku.., aku tidak mengerti maksudmu...,"
Dewa Pedang semakin lemah.
"Kau tentu masih ingat peristiwa di Bukit Halimun. Di sanalah kau bantai habis
satu keluarta tanpa kenal beka kasihan. Kau dan prajurit-prajuritmu tidak lebih
dari binatang yang harus dimusnahkan!"
Dewa Pedang terdiam. Ingatannya kembali saat menjadi panglima perang kerajaan.
Waktu itu dia memang ditugaskan untuk mengejar satu keluarga pengkhianat
kerajaan. Pengejarannya sampai ke Bukit Halimun Tapi sama sekait dia tidak
memerintahkan untuk membantai habis keluarga pengkhianat itu. Dia dan satu
pasukan prajurit pilihannya datang terlambat. Keluarga itu sudah habis
terbantai, kecuali seorang anak perempuan kecil.
"Kau putri Patih Kuraya...?" Dewa Pedang hanya ingin memastikan.
"Benar! Aku berhasil lolos dengan pura-pura tewas waktu itu. Kau memang tidak
ada di sana, Dewa Pedang. Tapi prajurit-prajuritmu melakukan itu pasti atas
perintahmu. Padahal aku yakin, Gusti Prabu tidak mungkin
memerintahkan untuk membunuh habis keluargaku.
Dan akibat kesalahanmu yang fatal, kau diturunkan pangkatnya. Tapi kau memang
tak mau kehilangan muka, Dewa Pedang. Kau mengundurkan diri dari jabatan
panglima perang dan mengucilkan diri di sini, mendirikan
padepokan. Jelas maksudnya untuk mengharumkan namamu kembali! Tidak, Dewa
Pedang... Namamu tetap kotor!"
"Ketahuilah, Rengganis. Waktu itu aku datang teriambat. Dan lagi mereka bukanlah
para prajuritku! Mereka adalah prajurit Patih Gumarang, Pamanmu sendiri. Karena
dia memang sudah lama menginginkan jabatan yang dipegang ayahmu dan sengaja
ingin menyingkirkan aku,"
kata Dewa Pedang berusaha menjelaskan.
"Huh! Jangan membela diri!" dengus Rengganis. "Memang tidak ada gunanya aku
membela diri, Rengganis. Tapi asal kau tahu saja Pamanmulah yang membantai
keluargamu di Bukit Halimun."
"Setan! Kau memfitnah Pamanku!" geram Rengganis gusar. "Kau harus mampus. Dewa
pedang, hiyaaa...!"
Rengganis melipat sepasang kipasnya. Saat dikibaskan tangannya, dari ujung kipas
itu keluar mata pisau yang tajam berkilat. Dengan satu gerakan cepat, wanita itu
melompat sambil berteriak nyaring.
Dewa Pedang yang sudah tidak berdaya lagi, hanya mampu menangkis satu senjata
Rengganis, sedangkan satu lagi amblas di dadanya. Jeritan melengking terdengar
menyayat. Rengganis belum merasa puas juga, ditusukkan senjatanya berulang-ulang
ke tubuh Dewa Pedang. Wanita itu baru berhenti setelah Dewa Pedang menggeletak
tak bernyawa lagi.
Saat itu juga murid-murid Padepokan
Teratai Putih yang mengetahui gurunya tewas, berlarian kalang-kabut
menyelamatkan diri.
Tapi tokoh-tokoh rimba persilatan dan muridmurid padepokan yang berkhianat serta
gabungan dari partai-partai persilatan tidak
membiarkannya. Mereka mengejar dan membunuh orang-orang yang ada hubungannya
dengan Dewa Pedang.
"Habiskan semua! Jangan ada yang tersisa!"
perintah Rengganis keras.
Rengganis mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia mencari istri pertama Dewa
Pedang dan putranya. Hatinya menggeram karena orang yang paling dibencinya
berhasil menyelamatkan diri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dipanggilnya tiga
saudara pengikut setianya dan beberapa anak buah pilihan untuk mengejar istri
Dewa Pedang dan putranya.
Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengejar. Sedangkan
sisanya membumihanguskan seluruh Padepokan Teratai Putih.
*** 3 "Kita istirahat dulu di sini, Nyai Guru,"
kata Badar setelah mereka cukup jauh
meninggalkan Padepokan Teratai Putih.
Rombongan yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu mengambil tempat
untuk istirahat. Sedangkan murid murid pilihan Padepokan Teratai Putih tetap
berjaga-jaga. Larasati duduk di bawah pohon dikelilingi para emban. Sedangkan putranya tetap
berada dalam pelukannya. Wajah ibu yang baru beberapa hari yang lalu habis
melahirkan tampak kelelahan.
Matanya tidak lepas memandang puncak Gunung Tangkup. Tampak asap hitam
membumbung tinggi, mengotori angkasa yang semula cerah "Badar,"
panggil Larasati lemah. "Ya, Nyai Guru," sahut Badar seraya mendekat. "Bagaimana
nasib suamiku?" tanya Larasati. Hatinya waswas.
"Entahlah. Mudah-mudahan saja Guru Dewa Pedang selamat," sahut Badar, yang
sebenarnya tak yakin gurunya selamat.
"Tidak kusangka kalau Rengganis akan berkhianat," lirih suara Larasati.
"Mungkin memang sudah direncanakan, Nyai.
Sebagian murid-murid berpihak padanya juga, tidak sedikit tokoh rimba persilatan
yang berpihak pada wanita keparat itu." sahut Badar lagi.
Larasati diam merenung. Dia masih belum bisa mengerti, mengapa Rengganis punya
niat buruk seperti itu. Benar-benar tidak disangga sama sekali. Rengganis yang
selalu bersikap manis, ternyata di balik semua itu tersimpan hati busuk untuk
menghancurkan Padepokan Teratai Putih! Larasati memang tidak tahu persis latar
belakang istri kedua Dewa Pedang itu. Yang dia tahu, ketika suaminya membawa
seorang wanita muda dan cantik yang diakuinya sebagai istri.
Saat itu Larasati sebenarnya ingin
berontak. Hatinya tidak suka dimadu. Namun dia sadar akan kodratnya sebagai
seorang wanita yang hanya bisa menerima nasib saja. Akhirnya semua diterimanya
dengan hati lapang. Dia memang tidak pernah tanya asal-usul Rengganis kepada
suaminya. Larasati hanya bisa pasrah.
"Mari, Nyai. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan," ajak Badar.
"Badar, apa tidak sebaiknya kau kirim beberapa orang untuk melihat keadaan
suamiku," Larasati menyarankan.
"Baiklah. Nyai," sahut Badar seraya beranjak bangun.
Badar menghampiri murid-murid Padepokan Teratai Putih yang ikut dalam rombongan
ini. Tidak lama kemudian, diutuslah tiga orang untuk kembali ke padepokan. Badar
segera menghampiri Larasati setelah tiga orang yang ditunjuknya telah berangkat.
Saat itu Larasati sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali diikuti
enam orang emban. "Mari, Nyai," kata Badar.
Larasati mengangguk, lalu melangkah. Enam orang emban setianya mengiringinya
dari belakang. Sedangkan murid-murid setia Dewa Pedang tinggal sembilan orang
lagi yang berjaga-jaga melindungi Larasati dan putranya.
Seakan-akan membentuk benteng kokoh.
"Lampik...!" panggil Badar sambil menggapaikan tangannya pada salah seorang adik
seperguruannya yang berjalan di belakangnya.
"Ada apa, Kakang?" Lampik segera menghampiri. "Kau jalan lebih dulu, cari desa
terdekat. Beli beberapa ekor kuda," perintah Badar, orang yang paling
bertanggung jawab atas keselamatan istri gurunya ini.
"Baik, Kakang," sahut Lampik segera berlari cepat mendahului rombongan itu.
"Untuk apa kau beli kuda, Badar?" tanya Larasati. "Agar perjalanan lebih cepat,
Nyai," sahut Badar. Larasati tidak bertanya lagi.
Sementara rombongan itu terus bergerak semakin jauh meninggalkan Gunung Tangkup,
tempat Padepokan Teratai Putih yang kini telah hancur.
Sementara itu Rengganis yang diikuti oleh anak buahnya serta beberapa puluh
tokoh rimba persilatan terus mengejar rombongan yang berhasil melarikan diri.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, sehingga dalam
waktu singkat rombongan itu telah terlihat.
"Itu mereka! Kejar! Bunuh mereka semua...!" seru Rengganis seraya berlari cepat
menggunakan ilmu peringan tubuh.
"Celaka!" desah Badar terkejut.
Larasati pun ikut terkejut begitu melihat ke belakang. Tampak puluhan orang
berlarian ke arah mereka dengan senjata terhunus.
"Hadang mereka semampu kalian!" perintah Badar.
"Baik, Kakang!" delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih langsung
berbalik dan mencabut senjata masing-masing.
Sedangkan Badar segera membawa Larasati dan enam orang emban menjauh dari tempat
itu. Mereka terpaksa berlari sekuat tenaga agar terhindar dari kejaran tokoh-tokoh
sakti itu. Sementara delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih serentak menghadang
para pengejarnya. Mereka langsung bertempur tanpa mengenal rasa takut. Tingkat
kepandaian mereka memang cukup lumayan, karena mereka adalah murid utama Dewa
Pedang. Hal ini menjadikan pengejaran Rengganis dan tokoh-tokoh lainnya jadi
agak terhambat. Mereka terpaksa bertarung untuk menembus benteng yang terdiri
dari delapan orang itu.
Ternyata delapan orang murid utama
Padepokan Teratai Putih memang cukup tangguh.
Tapi untuk menghadapi puluhan tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian
tinggi, mereka kewalahan juga.
"Cari kesempatan keluar! Biar aku hadang mereka!" seru salah seorang dari
delapan murid Padepokan Teratai Putih itu.
Dua orang langsung melompat dan berlari cepat menyusul istri ketua Padepokan
Teratai Putih yang sudah tidak terlihat lagi. Beberapa tokoh rimba persilatan
ingin mengejar, tapi enam orang yang masih bertahan cepat
menghalangi. Pertarungan tidak seimbang itu kian
berlangsung sengit. Namun telah dapat dipastikan kalau enam orang itu benar-
benar kewalahan. Bahkan tidak berapa lama berselang, satu orang terjungkal roboh
mandi darah. Kemudian disusul dengan tewasnya satu orang lagi dengan dada robek.
"Bunuh mereka semua! Yang lain ikut aku!"
seru Rengganis sambil melompat keluar dari kancah pertempuran begitu ada
kesempatan. Salah seorang segera melompat hendak
menghadang Rengganis. Tapi wanita berbaju hijau dengan senjata sepasang kipas
baja itu dengan cepat mengebutkan kipasnya. Tanpa ampun lagi. orang yang
menghalanginya itu tersambar dadanya hingga sobek. Rengganis tidak lagi
mempedulikan. Dia segera berlari dan melompat cepat diikuti oleh yang lainnya.
Sudah dapat dipastikan kalau sisa muridmurid utama Padepokan Teratai Putih itu
tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh rimba persilatan yang memiliki
kepandaian di atas mereka. Satu persatu mereka roboh dan langsung tewas.


Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Rengganis dan sebagian pengikutnya sudah lenyap ditelan kerimbunan
pepohonan mengejar Larasati dan orang-orang setianya. Sedangkan tokoh tokoh
lainnya segera mengejar murid-murid setia Padepokan Teratai Putih, karena yang
menghalangi sudah tidak tersisa lagi. Tapi pihak mereka juga tidak sedikit yang
tewas. Kebanyakan dari mereka adalah yang memiliki kemampuan di bawah muridmurid
Padepokan Teratai Putih.
*** Pada saat yang sama, Badar yang selalu mendampingi istri gurunya itu semakin
cemas. Kecemasan itu sangat beralasan, karena tidak jauh di belakang mereka, Rengganis
bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya mengejar cepat, dengan
mempergunakan ilmu peringan tubuh. Badar tidak mungkin untuk memaksakan tenaga
istri gurunya itu agar berlari lebih cepat lagi. Larasati hanya seorang wanita
lemah yang sama sekali tidak mengerti ilmu olah kanuragan! "Aaakh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara jeritan menyayat dari salah seorang emban.
Sebatang tombak panjang menembus punggungnya hingga ke jantung. Suara jeritan
itu belum lagi hilang, ketika kembali terdengar jeritan melengking dari seorang
emban yang lain. Sebatang anak panah menembus punggungnya. Emban itu terjungkal
jatuh dan tewas seketika.
"Cepat lari terus. Nyai," kata Badar melihat Larasati berhenti.
"Tapi...." Larasati tidak bisa melanjutkan kata-katanya, karena mendadak saja
dua batang anak panah meluncur cepat ke arahnya.
"Hup!"
Badar langsung mencabut pedang di
pinggangnya. Secepat kilat, dikibaskan senjata itu untuk menghalau dua batang
anak panah yang meluncur tadi. Tangan kirinya segera mendorong Larasati agar
terus berlari. Mau tidak mau Larasati berlari sambil memeluk erat bayinya.
Dua orang murid utama Padepokan Teratai Putih yang sudah bergabung kembali,
segera menghentikan larinya. Mereka mencoba
menghadang pengejar yang berjumlah puluhan orang itu.
Namun dua orang dengan tenaga sudah
terkuras, tentu bukanlah tandingan tokoh-tokoh rimba persilatan yang sudah
dirasuki nafsu membunuh itu. Tanpa dapat berbuat banyak, kedua orang itu tewas
tercincang. Sementara Badar terus membawa lari
Larasati untuk menyelamatkan diri. Emban yang tinggal empat orang, tanpa mampu
berbuat apa-apa masih menyertai mereka. Tapi.... Mereka memang tidak mengerti
ilmu olah kanuragan sedikit pun.
"Badar. Aku tidak kuat lagi..." keluh Larasati dengan napas tersengal.
"Bertahanlah, Nyai," Badar coba mendorong semangat wanita itu.
Larasati hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya saja. Sinar matanya sudah
menyiratkan kepasrahan. Sementara para pengejar sudah semakin deket saja.
"Selamatkan anakku, Badar. Biarkan aku di sini," kata Larasati sambil
menyerahkan putranya pada Badar.
"Nyai...," Badar ragu-ragu menerima bayi yang baru berusia beberapa hari itu.
"Jangan hiraukan aku, Badar. Aku mempunyai firasat bahwa suamiku sudah tiada.
Selamatkan saja bayi ini," Larasati mencoba tabah.
Walaupun masih ragu-ragu, Badar menerima juga bayi itu. Sebentar ditatapnya
wajah mungil di dalam dekapannya. Tampak bayi itu tersenyum manis, seolah-olah
mengungkapkan agar Badar tetap tabah dan bersemangat. Badar mengalihkan
perhatian pada para pengejarnya yang sudah semakin dekat saja.
"Mari, Nyai. Mereka sudah semakin dekat,"
desak Badar. "Jangan hiraukan aku, Badar. Cepatlah kau pergi," sahut Larasati pasrah.
"Nyai...."
Pada saat itu, tiba-tiba sebatang anak panah melesat cepat ke arah Larasati.
Dengan sigap Badar mengibaskan pedangnya menghalau anak panah itu. Tapi belum
lagi pedangnya ditarik, sebuah tombak panjang melesat cepat tanpa dicegah lagi.
Satu jeritan melengking terdengar dari salah seorang emban. Badar menggeram
melihat satu persatu orang yang harus dilindungi kini tewas.
"Cepat Bad.... Akh!"
"Nyai...!" Badar tersentak kaget begitu melihat wanita yang sangat dihormatinya
sudah tertembus anak panah di punggung. Sedangkan saat itu dia tengah menghalau
serbuan tombak yang datang bagai hujan.
Badar segera melompat mendekati tubuh Larasati yang menggeletak dengan punggung
tertembus anak panah. Sementara jeritan-jeritan melengking saling menyusul
bersamaan dengan ambruknya para emban. Tubuh mereka tertembus tombak dan anak
panah. "Nyai...," Badar tidak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata.
"Selamatkan anakku. Badar. Besarkan dan didiklah agar menjadi seorang pendekar.
Aku akan tersenyum jika dia berhasil membalas kematian orang tuanya," kata
Larasati lemah.
"Nyai. "
"Bayu.... jangan nakal ya, Nak. .
Turutilah katakata Pamanmu," semakin lemah suara Larasati.
Tanpa mampu dicegah lagi, setitik air bening menetes di pipi Badar. Dengan
tangan gemetar, Larasati mengusap kepala bayinya.
Lalu menghembuskan napas yang terakhir
"Nyai...," desis Badar tersendat.
Sebentar Badar mengusap wajah Larasati dengan tangannya. Tidak lama kemudian
terdengar suara gemuruh dari puluhan orang yang sedang berlari cepat menuju ke
arah Badar. Dia menoleh. Di antara mereka, terlihat Rengganis dengan kipas baja
yang terkembang di tangan. Badar segera bangkit berdiri, den berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Kejar dia! Bunuh...!" terdengar suara seruan keras.
*** Sementara itu matahari telah condong ke Barat. Sinarnya yang kemerahan tidak
lagi menyengat. Burung-burung telah mulai kembali ke sarangnya masing-masing.
Saat itu Badar yang berlari ke arah Selatan telah mencapai tepian pantai. Angin
laut bertiup kencang di senja hari. Debur ombak menggemuruh menghantam batu-batu
karang. Badar berhenti berlari ketika matanya menatap kedepan, ke arah laut. Tampak
sebuah pulau berwarna merah menyembul ke permukaan laut. Kelihatannya pulau itu
sangat dekat dengan tempatnya berdiri sekarang. Badar tidak menyadari kalau
sekaranq ia berada di Pesisir Pantai Selatan. Dan pulau yang terlihat itu adalah
Pulau Neraka! Pulau yang sangat ditakuti oleh semua orang. Pulau yang aneh dan
menyeramkan. Seluruh tanah, batu-batuan, dan pepohonan berwarna merah bagai
terbakar. Saat Badar menoleh ke belakang, tampak para pengejarnya juga seperti
ragu-ragu. Mereka tetap bergerak, namun tidak lagi berlari cepat. Hanya bergerak
pelahan-lahan. Nama Pulau Neraka bukanlah nama asing bagi kaum rimba persilatan.
Bahkan para nelayan di sekitar Pesisir Pantai Selatan tidak ada yang berani
mendekati pulau itu.
"Badar! Menyerahlah kau! Serahkan bayi itu padaku!" seru Rengganis seraya
mendekat pelan-pelan "Jangan harap kau bisa menyentuh bayi ini, Rengganis!"
sahut Badar seraya melangkah mundur dengan cepat.
Badar menoleh ke belakang. Tampak beberapa perahu nelayan tertambat di garis
pantai. Tidak jauh dari sini, terlihat sebuah perkampungan nelayan. Beberapa orang
nelayan tampak bergerombol, namun tidak ada yang berani mendekat. Mereka tahu
kalau orang-orang yang berada di pantai sore-sore begini adalah para tokoh rimba
persilatan. Bagi penduduk yang tidak peduli dengan dunia persilatan, hanya
menyaksikan saja tanpa mau ikut terlibat.
Sementara Rengganis dan puluhan tokoh rimba persilatan terus melangkah pelahan-
lahan mendekati Badar. Menghadapi begitu banyak tokoh yang memiliki kemampuan
rata-rata di atasnya, bagi Badar tidaklah mungkin.
Sedangkan kini tidak ada jalan lain untuk bisa lolos kecuali ke Pulau Neraka
itu. Dan ini sangat disadari Badar. Masuk ke Pulau Neraka, sama saja lolos dari mulut
buaya lalu masuk ke kandang macan. Sebentar dilihatnya perahu itu, lalu
pandangannya beralih pada orang-orang yang semakin dekat saja.
"Badar...! Aku akan membebaskanmu asalkan kau serahkan bayi itu," seru
Rengganis. "Jangan coba-coba membujukku, Perempuan Liar! Mulutmu sangat manis, tapi
mengandung bisa!" ejek Badar sinis.
Merah padam wajah Rengganis mendengar ejekan menyakitkan telinga itu. Tanpa
menghiraukan kalau daerah itu sangat terlarang untuk pertempuran, Rengganis
segera melompat tinggi ke udara. Bagaikan seekor burung camar, dia berputar di
udara beberapa kali sebelum mendarat di depan Badar. Sepasang kipas mautnya
sudah terkembang di depan dada.
"Tahan!" seru seseorang dari tokoh-tokoh rimba persilatan ketika Rengganis
hampir mengibaskan senjatanya.
Rengganis menghentikan gerakan tangannya di udara. Seorang laki-laki tua dengan
rambut seluruhnya putih, melompat menghampiri. Laki-laki Itu mengenakan jubah
putih dengan tangan kanan menggenggam tongkat. Hanya dengan sekali lompatan
saja, sudah berada di sisi Rengganis.
"Gagak Putih, kenapa kau hentikan maksudku?" tanya Rengganis mendengus tanpa
menoleh sedikit pun.
"Kau akan terkena kutukan seumur hidup jika membunuh di sini, Rengganis," kata
laki-laki tua itu yang ternyata berjuluk Gagak Putih.
"Aku tidak peduli! Mereka harus mati!
Semua ke turunan dan orang-orang Dewa Pedang harus musnah dari muka bumi! Kau
tahu Gagak Putih! Dewa Pedang telah membantai habis seluruh keluargaku! Sudah
banyak pengorbananku, Gagak Putih. Dan aku tidak ingin arwah-arwah mereka tertawa hanya
karena takut kena kutukan penghuni Pulau Neraka itu!"
Rengganis sudah tidak mampu lagi berpikir jernih.
"Rengganis! Kau sadar dengan ucapanmu?"
Gagak Putih kaget juga mendengarnya.
"Aku sadar, Gagak Putih. Dan aku rela mati asal seluruh dendamku terbalas,"
sahut Rengganis mantap.
Setelah berkata demikian, dengan cepat Rengganis menggeser kakinya ke depan
sambil mengibaskan tangan kanannya. Pada saat itu juga Badar mengangkat
pedangnya menangkis serangan kipas yang terbuka dengan cepat.
Tangan kanannya memainkan pedang, sedangkan tangan kirinya tetap menggendong
bayi. Rengganis tidak peduli lagi dengan
peringatan Gagak Putih. Diserangnya Badar dengan jurus-jurus andalan yang sangat
berbahaya dan dahsyat. Pada saat itu Badar dalam keadaan terjepit. Kakinya tidak
bisa melangkah mundur. Punggungnya sudah menyentuh dinding perahu. Hingga pada
satu serangan yang cepat, Badar tidak sempat berkelit lagi.
Bret! "Akh!" Badar memekik tertahan. Darah mengucur keluar dari pundak sebelah kiri.
Untung saja Badar masih sempat menggeser kakinya sedikit, sehingga sabetan ujung
kipas Rengganis tidak melebar ke dada yang mungkin dapat mengakibatkan bayi di
dalam pelukan Badar terluka.
"Serahkan bayi itu, Badar! Atau kau akan mati di sini," ancam Rengganis dingin.
Badar melangkah mundur. Sementara di
sekitarnya telah banyak orang dengan senjata siap merejam tubuhnya. Punggungnya
semakin merapat ke dinding perahu. Diam-diam Badar mengerahkan tenaga dalamnya
untuk mendorong perahu dengan punggungnya. Sedikit demi sedikit perahu itu mulai
bergerak. Seorang pun tak ada yang memperhatikannya. Mungkin mereka tengah
diliputi perasaan tegang.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Badar melompat naik ke atas perahu, tapi sebatang anak panah
telah lebih cepat mendesing. Tak ayal lagi, anak panah itu menancap tepat di
punggung Badar.
"Bunuh dia!" perintah Rengganis berteriak.
Badar meletakkan bayi yang ada dalam
pelukannya ke dasar perahu, kemudian
diambilnya kayu. Dengan sisa-sisa tenaganya.
Badar mengayuh perahu itu di tengah-tengah hujan anak panah dan tombak yang
berdesingan di sekitarnya. Badar terus mengayuh tanpa peduli lagi dengan ancaman
dan keadaan tubuhnya.
"Akh!" lagi-lagi Badar memekik tertahan ketika sebatang anak panah kembali
menancap di lambung belakangnya.
Belum juga dapat menegakkan tubuhnya, satu batang anak panah kembali menembus
tubuh Badar bagian perut. Badar terus mengayuh dan tidak peduli lagi dengan
darah yang mengucur semakin deras. Tekadnya adalah menyelamatkan bayi dalam
gendongannya walaupun bibirnya meringis menahan sakit yang tiada tara pada
sekujur tubuhnya. Sementara perahu terus membawanya semakin jauh meninggalkan
pesisir. Hujan anak panah dan tombak telah mulai reda, bahkan kini telah
berhenti sama sekali. Badar menoleh ke belakang. Tampak orang-orang berhati
kejam masih berdiri berjajar di sepanjang partai.
"Kalian akan menerima perinbalasannya kelak...!" teriak Badar sambil mengerahkan
tenaga dalam terakhirnya!
Suara Badar menggema keras tersapu angin laut. Semua orang yang masih berjajar
Keris Pusaka Nogopasung 4 Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Tembang Tantangan 8
^