Pencarian

Geger Rimba Persilatan 2

Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan Bagian 2


di tepi pantai mendengar jelas ancaman itu, tapi tak seorang pun yang
mempedulikannya. Perahu terus membawa Badar dan bayi itu ke arah Pulau Neraka.
Mereka semua tahu, kecil kemungkinan untuk selamat jika memasuki kawasan pulau
itu. Kalaupun kembali, pasti hanya mayatnya saja yang hanyut terbawa ombak.
Badar menyadari betul hal itu. Dia
berusaha mengayuh perahu untuk menghindari pulau itu. Tapi seperti ada gelombang
yang amat kuat, perahu itu malah seperti tersedot dan bergerak sendiri ke pulau
itu. Badar berhenti mengayuh. Tubuhnya semakin melemah.
Pandangan mata Badar mulai berkurang-kunang.
Namun murid utama Padepokan Teratai Putih itu masih sempat merasakan kalau
perahu yang ditumpanginya terombang-ambing menuju Pulau Neraka.
Badar segera mengambil bayi yang
tergeletak didasar perahu. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia langsung melompat ke
luar sebelum perahu hancur menabrak batu karang yang berwarna merah bagai
terbakar. Badar jatuh bergulingan di atas pasir merah dan keras, namun bayi
dalam pelukannya tidak terlepas.
"Oh, Tuhan.... Jika memang harus mati di sini, aku pasrah. Tapi janganlah kau
cabut nyawa bayi ini," lirih suara Badar.
Susah payah Badar berusaha berdiri.
Bibirnya selalu meringis menahan sakit jika bergerak sedikit saja. Tiga anak
panah yang menghunjam tubuhnya, terasa seperti menyayat-nyayat. Badar berusaha
melangkah menjauhi pantai Pulau Neraka. Baru saja kakinya berjalan beberapa
tindak, tubuhnya kembali tersungkur. Akibatnya, bayi dalam pelukannya terlepas
jatuh. Aneh! Bayi itu tidak menangis!
Dia malah tersenyum lebar menggerak-gerakkan tangannya. Badar merayap mendekati
bayi itu sambil menahan sakit yang tiada tara di tubuhnya.
"Bayu..., rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu
sendirian di sini," ujar Badar sendu.
Bayi itu seperti mengerti kata-kata Badar.
Dia hanya diam, sedangkan matanya yang bening indah berputar-putar merayapi
wajah Badar. Senyumnya tidak lagi mengembang.
"Kau harus hidup, Bayu! Harus...! Akh!"
Badar meringis menahan sakit. "Tidak ada lagi yang bisa membalas kematian orang
tuamu, kecuali engkau kelak! Kau harus hidup, Bayu.
Balaslah semua kekejaman ini...," suara Badar semakin lemah.
Badar tidak kuat lagi menahan tubuhnya.
Dia hanya mampu tergolek di samping bayi yang terbungkus kain sutra halus merah
muda. Jangankan mengangkat tubuh, untuk mengangkat tangan saja Badar sudah tidak mampu
lagi. Sementara batuk-batuk yang lemah mulai mengiringi ajalnya. Matanya semakin
berkunang-kunang. Pasir pantai yang direbahinya ierasa semakin panas. Padahal,
matahari hampir tenggelam di balik cakrawala.
"Bayu! Kau harus hidup, Nak! Kau harus jadi seorang pendekar! Carilah nama-nama
yang kutulis ini! Merekalah yang membunuh ayah dan ibumu! Mereka semua kejam!
Mereka juga menghancurkan Padepokan Teratai Putih milik ayahmu. Kau pewaris
tunggal Padepokan Teratai Putih, Bayu...," suara Badar semakin lemah dan sulit
didengar. Badar merobek bajunya. Dengan darahnya sendiri, dituiislah beberapa nama. Tapi
belum juga selesai, tubuhnya telah mengejang kaku.
Badar sempat meletakkan kain bertuliskan beberapa nama di atas tubuh bayi itu
sebelum maut menjemputnya. Ketika dia menghembuskan napas yang terakhir,
pecahlah tangis bayi dengan suara yang melengking. Bayi itu seperti mengerti
kalau orang yang berjuang
menyelamatkan nyawanya telah pergi
meninggalkan dunia yang fana ini.
Tangis bayi itu begitu keras dan
melengking. Angin pun seperti tersentak dan berhenti bertiup. Tangisan itu
membuat suasana Pulau Neraka begitu menyayat. Sementara matahari semakin
tenggelam di ufuk Barat.
Sinarnya yang membias merah menambah angkernya Pulau Neraka. Dan suara tangisan
bayi itu masih terdengar diselingi dengan ombak yang menjilat pantai. Sementara
jauh dari pulau berwarna merah itu, tampak tokoh-tokoh rimba persilatan mulai
meninggalkan pesisir pantai.
Sedangkan Rengganis masih berdiri menatap ke arah pulau itu. Dari pesisir pantai
ini, begitu jelas terlihat kalau perahu yang membawa Badar dan bayi putra
tunggal Dewa Pedang hancur berkeping-keping. Rengganis tersenyum lebar. Dia
yakin betul kalau dua manusia yang berada dalam perahu telah tewas di Pulau
Neraka yang angker dan penuh misteri itu.
Rengganis masih berdiri menatap ke arah pulau ditemani tiga saudara pengikut
setianya. Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan yang lainnya telah sejak tadi
meninggalkan tepian pantai itu. Rengganis baru menoleh dan berbalik setelah
semua orang tidak terlihat lagi.
"Ayo kita pulang," ajak Rengganis seraya melangkah.
"Kemana, Nyai?" tanya Ganis. "Ke tempat tanah kelahiranku!"
*** 4 Senja telah merambat menjadi malam. Angin berhembus kencang membawa hawa dingin
ke sekitar pantai Pulau Neraka. Dua jasad manusia masih tergolek di pasir merah
di bawah siraman cahaya bulan. Yang seorang telah tewas.
Tubuhnya berlumuran darah tertembus tiga anak panah. Sedangkan yang seorang lagi
adalah bayi laki-laki terbungkus kain sutra halus berwarna merah muda. Agaknya
bayi itu masih hidup.
Di atas batu karang tinggi yang tidak jauh dari pantai itu, berdiri sosok
manusia bertubuh bulat bagai bola. Kakinya yang buntung sampai sebatas paha,
nampaknya-cukup kokoh menopang berat badannya. Dalam
keremangan cahaya bulan, terlihatlah kalau kedua matanya tertutup rapat. Buta.
Rambutnya yang merah panjang, melampai-lambai
dipermainkan angin. Dengan perasaannya yang tajam, jelas sekali kalau dia tengah
mengamati dua sosok manusia yang terbaring di pasir pantai.
Bagai bola karet yang ditendang, tubuh orang buntung itu melentur turun dari
batu karang yang berdiri angkuh itu. Hanya dengan dua lentingan saja, dia telah
sampai di tepi pantai dekat dengan tubuh yang tewas.
"Aku terpaksa menyeret perahumu ke sini, Kisanak! Semua keluhanmu telah
kudengar,"
suaranya berat tanpa nada sedikit pun.
Laki-laki cacat itu meraba-raba tubuh Badar yang sudah tidak bernyawa lagi.
Kepalanya menggeleng-geleng. Dilompatinya tubuh yang sudah kaku itu. Kini dia
menghadapi sosok bayi merah yang diam tenang. Kembali tangannya meraba-raba.
Kening laki-laki buntung itu agak berkerut ketika tangannya menyentuh kulit
halus bayi yang kelihatan tidur pulas. Mungkin bayi itu terlalu lelah setelah
menangis seharian.
"Bayi..."! Jadi, inikah keluhannya...?"
gumam laki-laki buntung dan buta itu pelan.
Kemudian diangkatnya bayi itu. Tangannya mendekap erat tubuh bayi yang
kelihatannya kedinginan. Jari-jari tangan laki-laki itu mulai merayapi tubuh
bayi dalam dekapannya.
Keningnya kembali berkerut begitu menyentuh kain yang penuh noda darah yang
membentuk tulisan. Sejenak dimiringkan kepalanya, lalu dimasukkan kain itu ke
balik sabuknya.
Tangannya kembali merayap ke seluruh tubuh bayi itu.
"Masih hidup, dan.... Ah! Laki-laki!"
serunya gembira.
Laki-laki aneh itu mendongakkan kepalanya, seperti hendak memandang bulan.
Sebentar kemudian wajahnya tertunduk seperti ingin melihat rupa bayi dalam
dekapannya. Entah mengapa, tiba-tiba saja raut wajahnya yang buruk kelihatan
murung. "Dari keluhan orang yang bersamamu, kau bernama Bayu, Bocah! Ah...,
seandainya.... Uh!
Tidak! Aku tidak boleh mengingatnya kembali.
Semuanya telah terkubur di Pulau Neraka ini!"
Laki-laki itu seperti teringat sesuatu, tapi cepat-cepat ditelannya kembali.
Jari-jari tangannya yang kasar kini membelai-belai pipi halus bayi yang bagai
sutra itu. "Aku akan merawatmu, Anak Manis. Susunan tulang-tulangmu sangat bagus. Mari,
Anak Manis. Kita pulang ke pondok. Kau akan senang tinggal di sini," katanya
setengah berbisik.
Kaki orang itu melangkah pelan
meninggalkan jasad Badar yang sebentar-sebentar dijilat ombak.
"Bayu... Ah! Kau tampan mirip dengan anakku, Hanggara. Hm.... Bayu Hanggara....
Ya! Namamu Bayu Hanggara!" bisik orang itu lagi.
Sehabis berkata demikian laki-laki cacat itu melentingkan tubuhnya. Meskipun
kakinya buntung hingga sebatas paha, namun gerakannya begitu gesit dan sukar
untuk diikuti oleh mata biasa. Dalam sekejap saja ia telah hilang di balik batu-
batu karang yang tersebar di sekitar pantai Pulau Neraka ini.
*** Bulan telah berlalu, dan tahun demi tahun telah teriewati. Kari terus berpacu
cepat Tanpa terasa dua puluh tahun telah dilalui oleh bayi mungil yang bernama
Bayu. Dia kini telah menjelma menjadi seorang pemuda berwajah tampan. Kulitnya
kuning bersih. Namun di balik wajah dan tubuhnya yang tegap itu, tersirat sorot
mata yang keras dan tajam. Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap dengan ikat
kepala dari kulit harimau. Tubuhnya yang tegap dihiasi oleh otot-otot yang
bersembulan. Bajunya yang terbuat dari kulit harimau, menutupi badannya. Lengannya yang kokoh
dibiarkan telanjang, seolah-olah ingin memperlihatkan kejantanannya.
Sementara kini senja telah merayap turun.
Matahari dengan sinarnya yang merah Jingga mulai bergerak meluncur ke
peraduannya. Pemuda tegap berbaju harimau itu berdiri tegak memandang ke laut
lepas di atas sebongkah batu karang berwarna merah bagai terbakar. Tidak jauh
dari situ, juga berdiri seorang laki-laki tua bertubuh gemuk pendek bagai bola.
Tubuhnya tertopang oleh kakinya yang buntung sampai ke paha. Wajahnya juga
menghadap ke laut lepas, tapi tanpa melihat apa-apa karena sepasang matanya
memang buta. Hanya perasaannya yang tajam mampu melihat keadaan sekelilingnya.
"Rasanya telah hampir malam. Kau tidak ingin pulang, Bayu?" kata laki-laki yang
cacat itu. "Hhh...!" pemuda yang bernama Bayu itu hanya menarik napas panjang seraya
menoleh kepada laki-laki tua di dekatnya.
"Seharian kau berdiri di sini, Bayu Hanggara! Boleh aku tahu, apa yang sedang
kau pikirkan?"
"Tidak ada, Eyang Gardika," sahut Bayu mendesah pelan.
"Aku dapat merasakan ada sesuatu pada nada suaramu, Bayu. Katakanlah terus
terang, apa yang menjadi beban pikiranmu?" desak laki-laki tua yang dipanggil
Eyang Gardika. Lagi-lagi Bayu menarik napas panjang. Dia memang sedang memikirkan sesuatu, tapi
sulit untuk mengungkapkannya. Sejak masih bayi merah dia dirawat dan dididik
oleh laki-laki tua penuh misteri ini, di Pulau Neraka Memang terlalu banyak yang
di pikirkan Bayu, tapi hanya satu masalah yang selalu mengganjal hatinya. Sampai
saat ini dia tidak tahu siapa, dari mana, dan bagaimana orang tuanya. Juga, dia
tidak tahu asal-usul laki-laki tua cacat ini. Dua puluhh tahun tinggal bersama-
sama, tapi Bayu sedikit pun tidak tahu seluk-beluk diri Eyang Gardika.
"Eyang tidak marah jika aku ingin mengatakan suatu?" nada suara Bayu terdengar
ragu-ragu. "Kau satu-satunya cucuku, Bayu. Katakan saja semua yang ada di dalam hatimu,"
jawab Eyang Gardika. Nada suaranya lembut, namun terdengar berat.
"Eyang selalu mengatakan bahwa aku ini adalah cucu mu, itu berarti aku mempunyai
orang tua, ayah dan ibu. Eyang tahu, di mana ayah dan ibuku sekarang berada?"Eyang Gardika tidak segera menjawab.
Ingatannya kembali pada kejadian dua puluh tahun yang silam. Saat itu dia sedang
berjalan-jalan mengelilingi Pulau Neraka ini.
Tiba-tiba saja perasaannya yang tajam mengatakan ada sebuah perahu menuju ke
pulau ini. Dengan kekuatan tenaga dalam, ditariknya perahu yang berisi dua tubuh
itu. Seorang dengan luka di badan dan telah mati, seorang lagi adalah bayi
merah. Biasanya kalau ada perahu yang mendekati Pulau Neraka, Eyang Gardika akan
menghancurkan dan membunuh penumpangnya. Tapi karena telinganya yang tajam
mendengar suara rintihan dan keluhan disertai tangisan bayi, hatinya merasa
tersentuh. Pada saat itu dia memang teringat pada putranya sendiri yang kini
entah bagaimana nasibnya.
Eyang Gardika membalikkan tubuhnya, lalu berjalan tertatih-tatih dengan sepasang
kakinya yang buntung. Raut wajahnya langsung berubah. Wajah angker tanpa senyum
sedikit pun, terlihat semakin seram. Kening Bayu menjadi berkernyit, lalu buru-
buru terbalik dan mensejajarkan langkahnya pelan-pelan di samping laki-laki tua
cacat itu. "Maaf, Eyang. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih," ujar Bayu menyesal.
"Aku tidak sedih. Kau memang sudah selayaknya mengetahui tentang hal itu. Hm...,
berapa usiamu sekarang?"
"Aku..., aku tidak tahu, Eyang," jawab Bayu kebingungan.
"Ya. Kau memang tidak pernah tahu usiamu, Bayu...," ujar Eyang Gardika lirih.
"Kalau Eyang bersedia, tolong ceritakan tentang diriku sendiri, Eyang," pinta
Bayu penuh harap.
"Aku tidak tahu persis, Bayu. Engkau kutemukan bersama seseorang yang telah
mati, tergeletak di pantai Pulau Neraka ini. Tapi mudah-mudahan saja kisahku
nanti ada hubungannya dengan asal-usul dirimu. Dan sebaiknya kita kembali dulu ke pondok,"
jawab Eyang Gardika.
Bayu tidak bisa membantah. Kakinya terus melangkah pelan-pelan mengimbangi
ayunan langkah Eyang Gardika di sebelahnya. Saat itu matahari telah
menenggelamkan dirinya di belahan bumi bagian Harat. Sinarnya yang memerah kini
digantikan oleh kepekatan malam.
Bulan pun muncul bersama kelap-kelip bintang menambah indahnya malam. Namun di
Pulau Neraka itu tetap saja sunyi sepi. Sedikit pun tak terdengar nyanyian
binatang-binatang malam.
Pulau itu bagaikan tidak berpenghuni saja.
Entah sudah berapa lama Bayu duduk
membisu. Matanya tidak lepas pada secarik kain penuh tulisan oleh darah yang
mengering. Tulisan itu berisi beberapa nama. Kalau saja Eyang Gardika tidak menceritakan
artinya, tentu dia tidak akan tahu maksudnya. Nama-nama yang tertulis di kain
itu adalah orang-orang yan lelah membunuh kedua orang tua Bayu!
Bayu baru mengangkat kepalanya ketika pundaknya ditepuk. Pandangan matanya
langsung tertuju pada Eyang Gardika yang duduk tepat di hadapannya. Bayu
menyimpan kain bertuliskan beberapa nama itu ke balik ikat pinggangnya.
Wajahnya yang kaku keras, semakin terlihat menegang. Garis-garis kekerasannya
semakin nampak nyata.
"Bayu, Aku dulu juga seorang tokoh hitam dalam rimba persilatan. Sudah tak
terhitung lagi, berapa nyawa yang telah kucabut. Bahkan banyak gadis yang telah
menjadi korban kebuasanku. Kau tahu, Bayu. Semua yang kulakukan tidak punya arti
dan maksud yang pasti. Aku sendiri tak tahu, untuk apa kulakukan semua itu,"
ungkap Eyang Gardika, pelan dan berat suaranya.
"Lantas, mengapa Eyang bisa sampai di sini?" tanya Bayu. Matanya menatap kedua
kaki dan mata Eyang Gardika secara bergantian.
"Dalam pengembaraanku di sebuah desa yang tidak begitu ramai, aku terpikat pada
seorang gadis yang lugu dan sedernana. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku
begitu lemah di
hadapannya. Biasanya jika aku melihat seorang gadis dan menginginkannya, maka
segala cara akari kutempuh. Tapi yang ini lain. Sungguh lain sekali! Aku begitu
mencintainya. Kau tahu, Bayu. Ternyata dia juga mencintaiku!
Memang tidak ada persoalan yang berarti dalam hubunganku dengan gadis itu. Kami
menikah di desa itu juga, dan menetap di sana. Sejak itulah kutinggalkan dunia
persilatan, dan hidup damai bersama istriku," Eyang Gardika terdiam sebentar
sebelum melanjutkan
ceritanya. Bayu juga diam, menunggu dengan sabar.
"Tapi, meskipun aku telah bertobat dan melupakan semua masa laluku, ternyata
dosa-dosaku tak terampuni. Sebuah malapetaka telah menimpa keluargaku. Saat itu
anak pertamaku baru saja lahir, sedangkan aku sedang berada di ladang. Sebuah


Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepulan asap hitam terlihat olehku yang nampaknya berasal dari rumahku.
Perasaanku tidak enak. Cepat-cepat aku berlari pulang. Lalu, apa yang terjadi
Bayu..." Rumahku habis terbakar, dan istriku telah terbunuh. Di sekitar rumahku telah
menunggu tidak kurang dari tiga puluh tokoh sakti rimba persilatan. Tanpa
senjata kebanggaanku, aku memang tidak berarti apa-apa buat mereka.
Namun demikian aku berhasil menewaskan mereka lebih dari separuhnya. Akhirnya
aku berhasil ditaklukkan, dan mereka membuntungi kedua kakiku serta membutakan
kedua mata ku. Saat itu yang kuinginkan hanya satu. Kematian! Tapi rupanya Yang
Maha Kuasa belum mengijinkan. Aku tetap diberi hidup. Kemudian, kutinggalkan
desa itu setelah kutemukan senjata andalanku."
Eyang Gardika menunjukkan sebuah senjata berbentuk cakra segi enam yang menempel
pada pergelangan tangan kanannya.
"Mengapa mereka mengeroyokmu. Eyang?"
tanya Bayu. "Sudah menjadi kehidupan orang-orang rimba persilatan, Cucuku. Mereka sadar
bahwa kehadiranku merupakan ancaman yang harus dimusnahkan...," jawab Eyang
Gardika pelan. "Lagi pula mungkin mereka memang dendam kepadaku. Mungkin ada keluarga, anak,
istri, atau teman mereka yang tewas di tanganku."
"Lalu, di mana sekarang anakmu, Eyang?"
tanya Bayu "Entahlah. Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin
masih hidup, mungkin juga telah mati terbakar bersama rumahku," lirih suara
Eyang Gardika. Bayu kembali merenung. Penderitaan yang dialami kekek angkat sekaligus gurunya
ini, ternyata lebih tragis daripada yang
dialaminya. Bayu benar-benar merasakan hal itu. Mereka memang sama-sama
kehilangan orang-orang yang dicintai. Hanya bedanya, Bayu tidak menyaksikan
pembantaian orang tuanya.
"Eyang, bagaimana kau bisa sampai ke Pulau Neraka ini?" tanya Bayu.
"Desa tempat tinggalku memang tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan. Saat itu
aku memang tidak mempunyai tujuan yang pasti, setelah aku berhasil meloloskan
diri. Kedua kakiku buntung, dan kedua mataku buta. Kau bisa bayangkan, bagaimana
penderitaanku saat itu. Aku bisa sampai ke Pulau Neraka ini secara kebetulan
saja. Perahu yang kunaiki entah bagaimana membawaku ke sini. Di pulau ini aku
rasanya seperti sudah mati saja.
Dengan keadaan tubuh yang tidak lengkap lagi, rasanya sulit untuk mempertahankan
hidup di pulau yang tidak berpenghuni dan ganas ini.
Tapi aku berusaha untuk tetap hidup. Setelah tubuhku pulih, aku berusaha melatih
jurus-jurusku. Entah bagaimana, di hatiku malah tumbuh rasa dendam. Dan itu
memang berakibat fatal. Setiap orang yang mencoba memasuki daerah Pulau Neraka,
kubunuh tanpa ampun!
Tidak peduli siapa yang datang. Bertahun-tahun kujalani hidup seperti itu. Sejak
saat itu, nama Pulau Neraka semakin ditakuti semua orang. Bukan saja penduduk
desa, tapi juga orang-orang rimba persilatan. Tidak seorang pun yang berani
datang ke pulau ini lagi."
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Bayu yang belum pernah melihat gurunya
membunuh orang selama dia tinggal di sini. Pada kenyataannya, memang tidak
seorang pun yang berani datang ke pulau angker ini!
"Dengan ketajaman telinga dan senjata andalanku ini," jawab Eyang Gardika
menunjukkan kembali senjata aneh di tangan kanannya. Bayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawaban gurunya memang bisa dipercaya, karena memang telah terbukti kedahsyatan
senjata itu. Dan lagi, ketajaman pendengaran Eyang Gardika memang luar biasa Dari pondok di
tengah-tengah pulau ini, dia bisa mendengar apa saja yang terjadi di sekeliling
pulau. Bahkan perahu kecil yang coba-coba mendekat pun bisa diketahuinya dengan
jelas. Entah ilmu apa yang digunakan. Yang jelas, Bayu belum mampu
mempelajarinya.
"Bayu, kau ingin mencari pembunuh orang tua mu?" tanya Eyang Gardika setelah
terdiam beberapa saat.
"Benar, Eyang," jawab Bayu mantap.
"Kau tahu siapa mereka?"
Bayu hanya menggelengkan kepalanya. "Yang tertulis pada secarik kain hanya
sebagian saja. Aku yakin masih banyak yang terlibat.
Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memburu mereka. Bahkan tidak
mustahil di antara mereka telah ada yang tewas. Saat itu kau masih bayi, dan
kukira usiamu baru beberapa hari. Sekarang usiamu telah dua puluh tahun! Tidak
semua orang bisa berumur panjang, Bayu. Kurasa dendammu sudah tidak ada gunanya
lagi," ujar Eyang Gardika pelan.
"Aku akan berusaha mencari mereka, Eyang, tekad Bayu "Bahkan kalau bisa dendam
dan sakit hatimu akan kubalaskan."
"Kau belum cukup mampu untuk terjun dalam rimba persilatan, Bayu. Kuasailah dulu
seluruh ilmu-ilmuku. Mungkin dua atau tiga tahun lagi, kau baru mampu," kata
Eyang Gardika. Bayu terdiam. "Semua ilmu yang kuwariskan padamu, beraliran hitam. Tapi sebaiknya kau gunakan
untuk membela kebenaran. Hanya saja sifat buruk ilmuku tidak mungkin luntur
meskipun kau berhati emas. Tindakanmu tidak akan jauh berbeda dengan orang-orang
beraliran sesat!
Untuk itu, pandai-pandailah membawa diri agar tidak menarik perhatian gotongan
putih yang pasti akan memburu dan melenyapkanmu." ungkap Eyang Gardika memberi
penjelasan. "Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu.
"Bagus! Kalau niat hatimu telah mantap, persiapkanlah dirimu. Setelah itu, baru
kau boleh meninggalkan Pulau Neraka ini. Rimba persilatan sangat ganas
dan berlumur darah. Kau akan kuberi bekal yang harus dikuasai penuh."
"Terima kasih, Eyang."
*** Eyang Gardika tersenyum-senyum
memperhatikan Bayu berlatih jurus-jurus dengan penuh semangat. Semua ilmu yang
dimilikinya sudah diturunkan pada pemuda itu. Hebatnya, di tangan Bayu ilmu-ilmu
Eyang Gardika kelihatan lebih mantap dan sempurna. Hal ini bisa terjadi karena
usia Bayu yang masih muda lagi cerdas. Dia cepat menyerap semua yang diajarkan
kakek angkat, sekaligus guru tunggalnya.
Sampai saat ini, Eyang Gardika telah cukup puas dengan keperkasaan Bayu.
Walaupun dia tidak bisa melihat, namun hati dan
pendengarannya lebih peka daripada orang biasa. Sementara hari telah senja. Bayu
baru saja selesai menyempurnakan jurus terakhir yang diberikan Eyang Gardika.
Keringat masih menetes membasahi tubuhnya. Dia berlari-lari menghampiri laki-
laki tua cacat yang duduk di atas batu karang merah.
"Awas..!" tiba-tiba Eyang Gardika berteriak keras sambil menghentakkan tangan
kanannya. Bayu tersentak kaget. Cakra kuning bersegi enam di pergelangan tangan kanan
Eyang Gardika meluncur deras ke arahnya. Cakra itu berputar melayang dengan
suara mendesing menggetarkan hati. Dengan cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke
samping menghindari terjangan senjata dahsyat gurunya itu.
"Hup!"
Dengan sigap Bayu bangkit berdiri. Namun tanpa diduga sama sekali, cakra itu
berbalik. Seperti bermata saja, cakra Eyang Gardika meluncur deras ke arah pemuda itu.
Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari terjangan senjata itu. Beberapa
helai rambut lagi, ujung-ujung runcing cakra itu akan menyobek dadanya.
"Hih!"
Bayu mendesis terpana merasakan desiran angin senjata cakra itu. Tubuhnya
bergidik kedinginan. Desiran angin senjata itu tidak saja menimbulkan hawa yang
sangat dingin, tapi juga dapat menyengat bagai mengeluarkan cahaya panas
membakar kulit! Benar-benar aneh senjata laki-laki cacat itu.
Eyang Gardika mengangkat tangan kanannya keatas. Maka senjata berupa lingkaran
yang mempunyai ujung runcing bengkok berjumlah enam itu pun melesat kembali ke
arahnya. Seperti bernyawa saja, senjata cakra itu menempel di pergelangan tangan
Eyang Gardika yang memakai gelang berwarna keperakan.
"Eyang...," suara Bayu tersekat di tenggorokan.
"Bagus! Kau mampu menghindarinya, Bayu!
Sekarang, tahanlah serangan berikut!"
"Eyang...!" .
Bayu tidak sempat lagi mencegah. Dia tidak mengerti, kenapa Eyang Gardika
seperti ingin membunuhnya. Laki-laki buntung dan buta itu sudah menghentakkan
tangan kanannya kembali.
Maka, senjata cakra itu pun kembali meluncur deras ke arah Bayu. Buru-buru
pemuda itu memiringkan tubuhnya ke kiri, dan senjata itu hanya menemui tempat
kosong di depan dadanya.
Belum sempat berpikir, senjata itu telah berbalik berputar menyerang kembali
dengan cepat. "Uts!"
Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping dan bergulingan di atas tanah berpasir.
Kembali senjata itu hanya menembus ruang kosong.
Seperti bermata saja, senjata itu berbalik, dan dengan cepat mengejar kembali.
Bayu menjumput sebongkah batu karang di dekatnya, lalu melemparkannya ke arah
senjata itu. Matanya membeliak terkejut karena senjata itu tidak terpengaruh sedikit pun.
Batu karang yang dilemparkan hancur berkeping-keping tanpa menghambat laju
senjata itu. "Hiyaaa...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan senjata itu lewat di bawah kakinya.
Namun belum juga kakinya bisa menjejak tanah, senjata itu sudah kembali
menyerang. Sementara udara di sekitarnya menjadi terasa dingin.
Tapi pada kenyataannya kulit Bayu malah terasa terbakar. Benar-benar aneh dan
dahsyat senjata Eyang Gardika ini!
Bayu yang berada dalam posisi tidak
menguntungkan, tidak punya pilihan lain lagi.
Dengan cepat diangkat kedua tangannya ke depan dada. Pada saat itu, senjata
cakra milik Eyang Gardika telah meluncur dan siap menghujam dadanya. Dan...
Bayu menangkap senjata itu dengan kedua tela pak tangannya. Aneh! Senjata cakra
yang dahsyat itu langsung berhenti bergerak. Bayu memandangi senjata itu
sejenak, lalu berbalik menghadap Eyang Gardika yang tetap berdiri di atas kedua
kakinya yang buntung. Tampak lelaki tua itu hanya tersenyum saja
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Eyang Gardika tertawa terbahak-bahak tanpa sebab.
"Eyang...." Bayu menghampiri. "Tidak seorang pun yang berhasil menangkap cakra.
Rupanya sudah waktunya cakra berpindah tangan," kata Eyang Gardika setelah reda
tawanya. Bayu memandangi senjata di tangannya dan Eyang Gardika secara bergantian. Dia
masih belum mengerti kata-kata kakek angkatnya.
Senjata yang bernama 'Cakra' itu sungguh luar biasa. Memang, biasanya tidak ada
satu makhluk pun yang dapat lolos dari ancaman senjata itu jika telah meluncur
dari tangan pemiliknya.
"Kemarilah, Bayu," panggil Eyang Gardika.
Bayu melangkah menghampiri laki-laki tua cacat itu, lalu segera duduk bersila di
hadapan gurunya. Tangan kanannya masih menggenggam senjata cakra.
"Pakailah ini," kata Eyang Gardika seraya mencopot gelang berwarna perak dari
tangan kanannya, lalu menyerahkannya kepada pemuda itu. Sejenak Bayu ragu-ragu,
tapi akhirnya diterimanya juga. Gelang itu dikenakannya di pergelangan tangan
kanan. Matanya agak menyipit Ketika gelang sudah dikenakannya, senjata cakra itu
langsung bergerak dan menempel pada gelang itu.
"Eyang, kenapa kau berikan senjatamu kepadaku?" tanya Bayu kurang mengerti.
"Kau sudah berhasil melumpuhkan senjataku, Bayu. Artinya, Cakra telah menjadi
milikmu. Hanya orang yang bisa menangkap yang berhak menggunakannya! Dan orang itu adalah
kau, Bayu!" jelas Eyang Gardika.
"Eyang...," Bayu segera bangkit ketika mendengar suara batuk beruntun dari laki-
laki cacat itu.
Eyang Gardika mengangkat tangannya,
mencegah Bayu yang ingin mendekat. Terpaksa anak muda itu duduk kembali. Wajah
Eyang Gardika kelihatan berubah merah. Dia segera duduk. Dadanya terlihat
bergerak turun-naik.
dengan cepat Dari kening dan lehernya merembes keringat sebesar butir-butir
jagung. Bayu kelihatan cemas melihat keadaan kakek angkatnya irii. Dia tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba saja Eyang Gardika seperti terserang demam.
"Eyang.... Eyang sakit?" tanya Bayu agak bergetar suaranya.
"Tenanglah, Bayu. Jangan cemas. Aku tidak apa-apa," kata Eyang Gardika lemah
suaranya. "Eyang..., sebaiknya segera kembali ke pondok," kata Bayu tidak bisa tenang.
Eyang Gardika hanya tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar batuknya beberapa kali. Bayu tidak
bisa berbuat apa-apa. Setiap kali Bayu akan bangkit menolong, tapi sudah keburu
dicegah. Eyang Gardika merasakan adanya gerakan halus.
Gerakan yang seperti mengajaknya pergi.
Pendengarannya begitu tajam. Dia dapat membedakan gerak sehalus apa pun.
"Dengarkan baik-baik, Bayu. Rasanya saatku sudah tiba...," Eyang Gardika
terbatuk lagi. "Besok, di saat fajar menyingsing, kau harus meninggalkan Pulau Neraka ini. Saat
itu kau tidak akan menemukan aku lagi."
"Eyang...!" sentak Bayu terkejut.
"Tidak perlu terkejut, Bayu. Sudah saatnya aku meninggalkan dunia ini." Eyang
Gardika paham kalau Bayu belum siap mendengar kata-katanya yang mengejutkan itu.
"Eyang..., kenapa begitu mendadak sekali?"
tanya Bayu seperti orang tolol.
"Jangan bodoh, Bayu! Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan kembali pada
pencipta-Nya. Mereka semua juga akan mati dan hancur kembali ke asalnya. Aku tidak ingin kau
kehilangan semangat hanya karena kepergianku!" bentak Eyang Gardika.
"Tapi...," suara Bayu tersekat di tenggorokan.
"Bayu! Seluruh hidup dan nyawaku ada pada gelang cakra itu. Aku bisa tetap hidup
karena gelang itu tidak terlepas dari tanganku. Dan sekarang gelang itu sudah
kau miliki, sudah sepatutnya kau pergi. Ingat, Baya Jangan sekali-sekali kau
lepaskan gelang itu. Sekali saja kau lepas, berarti ajalmu sudah tiba.
Seluruh hidup dan nyawamu sudah menyatu di dalam gelang itu. Dan pelindungnya
hanyalah 'Cakra'," kata Eyang Gardika menjelaskan.
Bayu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia kini mengerti, kenapa Eyang Gardika tiba-
tiba jadi berubah. Rupanya gelang berwarna perak dan senjata Cakra ini merupakan
satu kesatuan dari nyawanya. Dan sekarang gelang keramat ini sudah berada di
tangannya. Bayu sadar, kalau nyawanya sekarang tergantung pada gelang keramat
ini. Rasanya sulit untuk mempercayai, tapi bukti dan kenyataannya sudah terjawab
di depan mata. Eyang Gardika segera merasa ajalnya sudah tiba begitu gelang
keramat dicopotnya.
"Bayu...," panggil Eyang Gardika pelan.
"Ya, Eyang!" sahut Bayu.
"Bawa aku ke dalam goa dibelakang pondok.
Biarkan kusempurnakan atmaku di sana. Ingat!
Kau harus menutup mulut goa, dan jangan kembali lagi ke pulau ini," pesan Eyang
Gardika. "Baik, Eyang."
5 Suasana sebuah desa di Pesisir Pantai Selatan tidak seperti biasanya. Dermaga
dipenuhi kapal besar. Para kuli angkut sibuk menurunkan barang-barang dari
kapal. Anak-anak kecil berlarian bersuka ria di sepanjang pantai. Burung-burung
camar pun seakan-akan ikut merasakan suasana ceria itu dengan melayang-layang di
atas permukaan laut sambil memperdengarkan suaranya yang nyaring.
Kesibukan dan keceriaan itu tampaknya terpusat pada sebuah kapal besar dan mewah
yang bersandar pada dermaga. Di sekitar dermaga juga berjajar kereta yang
ditarik kuda-kuda gagah dan tegap. Sepertinya pemilik kereta-kereta mewah itu
adalah para saudagar kaya. Atau paling tidak pembesar kerajaan. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya prajurit berpakaian seragam kerajaan yang mondar-mandir
di sekitar situ.
Di atas kapal besar dan mewah itu
sepertinya sedang berlangsung pesta. Suara gamelan terdengar mengalun merdu,
ditimpali gelak, tawa beberapa laki-laki dan cekikikan beberapa wanita. Di atas
geladak, tampak berdiri seorang wanita cantik didampingi tiga orang laki-laki
bertubuh tegap dan kekar.
Wanita itu sudah berusia sekitar empat puluh tahun. Tapi, wajah dan tubuhnya


Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih mampu membuat mata lelaki tidak berkedip
memandangnya. "Tampaknya mereka menikmati pesta ini, Nyai," kata salah seorang laki-laki tegap
yang menyandang pedang di pinggang.
"Ya. Aku memang sengaja mengadakan pesta di kapal ini untuk memperingati dua
puluh lima tahun hancurnya Padepokan Teratai Putih,"
sahut wanita itu.
"Terus terang, Nyai. Aku heran, kenapa Nyai masih juga mengingat padepokan itu.
Dan lagi, kenapa harus mengadakan pesta setiap tahun kalau hanya untuk mengenang
saja?" kata seorang lagi yang membawa kapak.
"Bagaimanapun juga, Padepokan Teratai Putih milik mendiang suamiku. Entahlah!
Aku sendiri tidak tahu, kenapa rasanya sulit untuk melupakannya. Dewa Pedang
begitu baik...,"
ungkap wanita itu yang ternyata adalah Rengganis. Sedangkan para lelaki di
dekatnya adalah tiga saudara pengikut setianya.
"Nyai merasa bersalah?" tebak Gamar yang membawa kapak.
"Mungkin...," desah Rengganis. "Kenapa harus merasa bersalah, Nyai" Bukankah
Nyai telah membalaskan kematian seluruh keluarga Nyai" Ingat, Nyai Dewa Pedang
yang membantai seluruh keluargamu!" kata Gamar lagi.
"Kalian ingat kata-kata Dewa Pedang yang terakhir?" Rengganis seperti bertanya
pada dirinya sendiri. "Ya, ingat," jawab tiga saudara itu serempak. "Tapi itu
kan hanya akal liciknya saja untuk mencuci tangan. Nyai,"
sambung Ganis. "Tidak, Ganis. Dewa Pedang benar. Dia memang ditugaskan untuk menangkap
keluargaku yang telah berkhianat pada kerajaan. Tapi tidak untuk menbunuh! Dia
benar!" ungkap Rengganis.
Ganis, Gamar, dan Ganang saling
berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa Rengganis jadi berubah pikiran
setelah Padepokan Teratai Putih hancur. Bukankah hal itu memang telah
direncanakan" Apalagi gerakan mereka juga didukung oleh tokoh-tokoh rimba
persilatan yang merasa terganggu dengan adanya Padepokan Teratai Putih.
Sementara itu, sebagian dari tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengobrak-
abrik Padepokan Teratai Putih waktu itu, kini sedang berpesta-pora. Beberapa di
antaranya malah sudah ada yang mabuk karena terlalu banyak minum tuak. Mereka
kebanyakan telah menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.
"Aku sudah menanyakan hal ini pada Gusti Prabu. Pada kenyataannya, beliau
membenarkan kalau Dewa Pedang mendapat tugas begitu. Gusti Prabu juga tahu kalau
keluargaku bukan dibantai oleh Dewa Pedang. Pamanku sendirilah yang membantai
seluruh keluargaku! Dia memang selalu menginginkan kedudukan Panglima Perang
Kerajaan dengan memfitnah Dewa Pedang sebagai pembunuh keluargaku! Itulah yang
kusesalkan sampai sekarang. Sayang, pamanku yang licik itu telah tewas di tiang
gantungan."
"Semuanya telah terjadi, Nyai. Tidak perlu disesalkan," kata Gamar mendesah.
"Ya. Pesta ini kuadakan sebagai penebus rasa sesal dan dosaku Aku tidak punya
cara lain lagi. Hanya ini yang dapat kulakukan,"
Rengganis juga mendesah pelan.
Sementara pesta di atas kapal terus
berlangsung. Tidak ada yang mengerti, kenapa Rengganis memilih
Pantai Selatan sebagai tempat pesta.
Padahal, peristiwa yang dilakukannya terjadi di Gunung Tangkup, tempat Padepokan
Teratai Putih dulu berdiri. Semua itu hanya tersimpan di dalam hati wanita
berusia empat puluh tahun ini. Hanya dialah yang tahu.
"Heh!" tiba-tiba Rengganis terkejut.
Matanya menatap lurus ke tengah laut.
Pandangannya tak berkedip pada sebuah pulau berwarna merah menyala bagai
terbakar. "Ada apa, Nyai?" tanya tiga saudara itu serempak. Mereka langsung memandang ke
arah yang sama.
Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, seakan-akan tidak
percaya dengan penglihatannya sendiri. Di tengah laut itu dia melihat sesuatu
yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sehingga
sulit untuk diikuti oleh mata biasa.
"Ada apa, Nyai?" tanya Gamar yang tidak melihat apa pun di tengah laut itu.
"Ah, tidak..., tidak apa-apa," jawab Rengganis segera mengalihkan pandangannya.
Namun raut wajahnya kelihatan berubah.
Sementara ketiga bersaudara itu tetap memandang ke arah laut Pulau Neraka memang
terlihat jelas dari situ. Mereka memang tidak akan dapat menemukan apa-apa,
karena yang dilihat Rengganis begitu cepat dan menghilang sebelum sempat
disadari. "Aneh...," desis Rengganis tanpa sadar.
"Apakah.... Ah! Tidak! Mustahil...!" Rengganis bergumam sendiri.
"Apa yang Nyai lihat?" tanya Ganis.
"Tidak! Mungkin hanya burung camar!" jawab Rengganis berusaha menenangkan diri.
Namun demikian, hati Rengganis tetap tak menentu.
Rengganis terus menebak-nebak yang
dilihatnya sekilas tadi. Dia begitu yakin ada sesuatu yang meluncur cepat bagai
kilat dari Pulau Neraka. Tapi sulit untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi.
Sementara siang terus merayap. Matahari bergulir semakin tinggi.
Namun pesta di kapal itu akan tetap
berlangsung hingga keesokan harinya.
*** Suasana desa di pesisir pantai itu tetap ramai meskipun hari telah malam. Lampu-
lampu menyala terang di setiap rumah. Obor-obor tetap menyala di sepanjang
jalan. Kedai-kedai minum masih tetap buka dan tidak sepi pengunjung. Hari itu
memang banyak kapal yang berlabuh membongkar muatan, sehingga menambah
semaraknya pesta yang diadakan Rengganis.
Namun lain halnya dengan sebuah kedai yang tidak jauh dari dermaga. Suasana di
situ tidak begitu ramai, karena tidak banyak orang yang berkunjung disitu. Kedai
itu begitu kecil dan terpencil sehingga tidak menarik perhatian orang banyak. Di
sudut dekat jendela kedai itu, duduk seorang pemuda mengenakan baju kulit
harimau. Rambutnya dibiarkan terurai, dengan ikat kepala juga dari kulit
harimau. Dia sepertinya sengaja menyendiri dengan mata memandang ke arah dermaga.
"Tambah lagi minumnya, Tuan?"
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menoleh sedikit. Seorang,wanita muda
dengan rias wajah tebal, tahu-tahu telah berdiri di dekatnya. Wangi tubuhnya
begitu menusuk.
Sedangkan baju yang dikenakannya terlalu rendah pada bagian dada, sehingga dua
bukit kembarnya mengintip malu-malu. Kainnya juga terbelah sampai ke pangkal
paha. Sikapnya begitu menggoda. Sungguh menarik perhatian kaum lelaki.
"Terima kasih," jawab pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa senyum sedikit pun.
Dialihkan pandangannya kembali ke arah dermaga yang masih tetap ramai.
"Boleh aku duduk di sini?" mohon wanita itu. Suaranya dibuat-buat dan terdengar
manja. "Silakan," sahut pemuda itu datar.
"Namaku Karti. Tuan, siapa?" kata wanita itu seraya matanya merayapi wajah
pemuda di sampingnya. Tangannya kemudian menuangkan arak dari pundi kecangkir
perak. "Hm..." pemuda itu hanya menggumam tidak jelas.
"Kuperhatikan sejak tadi, kau selalu memandang ke arah dermaga. Ada yang menarik
di sana?" "Mungkin," jawab pemuda itu malas.
"Memang menarik. Setiap tahun memang selalu begitu. Kau lihat kapal besar dan
indah di ujung kanan dermaga" Kapal itu milik seorang saudagar wanita yang kaya
raya. Dermaga itu memang selalu dijadikan tempat bersandar jika saudagar itu akan
mengadakan pesta di atas kapalnya setiap tahun," jelas wanita yang mengaku
bernama Karti tanpa diminta.
"Hm..." lagi-lagi pemuda berbaju kulit harimau bergumam tidak jelas.
"Dia sangat kaya dan berpengaruh.
Kenalannya juga orang-orang penting dan para pembesar kerajaan. Hanya sayangnya,
dia tidak punya suami. Tapi kata orang, dia punya pengawal yang selalu setia
mengikuti ke mana saja," sambung Karti lagi.
"Siapa dia?" tanya pemuda itu bernada iseng. "Kalau tidak salah, namanya
Rengganis. Ya... Nyai Rengganis," jawab Karti yakin.
Pemuda itu langsung berpaling dan menatap tajam pada wanita di dekatnya itu.
Wajahnya berubah tegang dan memerah. Cuping hidungnya kembang-kempis. Napasnya
memburu bagai habis berlari jauh. Pemuda itu langsung bangkit berdiri dan
meletakkan lima keping uang perak ke mejanya. Tanpa berkata apa-apa lagi dia
melangkah ke luar dari kedai itu.
"Tuan..., kembalinya!" seru wanita itu yang juga bergegas bangkit
"Untukmu!" sahut pemuda itu terus melangkah cepat tanpa menoleh lagi.
"Untukku...!?" wanita yang bernama Karti seperti tidak percaya. Dipandanginya
lima keping uang perak di tangannya.
Wanita itu merasa seperti mimpi saja.
Hanya seguci arak murah dibayar dengan lima keping uang perak. Satu keping saja
bisa dapat sepuluh guci arak manis yang lezat. Apalagi lima keping uang
perak..." Malam ini dia seperti kejatuhan bulan saja. Bergegas dihampirinya
pemilik kedai untuk membayar minuman pemuda itu.
"Karti! Mau ke mana?" seru pemilik kedai ketika melihat Karti bergegas pergi.
"Pulang!" jawab Karti.
"Pulang..."! Tapi...."
"Ya! Malam ini aku sudah cukup memperoleh penghasilan!"
"He...!"
Pemilik kedai itu memang tidak tahu apa yang telah didapat wanita pelayan dan
penghibur di kedainya ini. Lima keping uang perak sangat berarti dan besar
nilainya bagi penduduk desa di Pesisir Pantai Selatan ini.
Harga arak memang mahal. Tapi, untuk kebutuhan sehari-hari lima keping uang
perak sudah lebih dari cukup. Karti bergegas berlari pulang dengan wajah
berseri-seri. Sementara pemilik kedai itu hanya melongo saja, tanpa mampu
berbuat apa-apa lagi. Memang liukan Karti saja yang menjadi pelayan dan
penghibur di kedai itu. Masih ada wanita lain. Pemilik kedai itu pun tidak
peduli lagi. *** Pesta di atas kapal masih terus
berlangsung seperti tidak akan pernah berhenti. Bau arak dan asap tembakau
berbaur menjadi satu, membuat napas sesak dan mata perih. Namun hal itu tidak
mengurangi suasana gembira. Tidak sedikit yang sudah kelihatan mabuk. Semakin
larut malam, suasana pesta semakin bertambah hangat.
Tidak kurang dari lima puluh orang
bersenjata berjaga-jaga di sekitar kapal.
Ditambah lagi, para prajurit kerajaan yang juga masih setia menunggu para
pembesar kerajaan yang diundang ke pesta itu. Mereka semua tetap menjalankan
tugas agar pesta berlangsung tanpa gangguan. Tapi suasana seperti itu kadang-
kadang juga bisa membuat mereka lengah.
Seorang pun tidak menyadari kalau mereka tengah diawasi oleh seseorang yang
memakai baju kulit harimau. Dia berdiri tidak jauh dari situ. Tubuhnya agak
tersembunyi di balik keremangan cahaya bulan dan obor. Matanya tidak berkedip
menatap ke arah kapal itu.
Wajahnya kaku dan bibirnya terkatup rapat.
Pelahan-lahan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu bergerak merogoh saku
bajunya, lalu dengan cepat dihentakkan tangannya ke depan. Secercah sinar
keperakan pun meluncur ke arah tiang utama kapal itu.
Krak! Suasana pesta yang penuh kegembiraan itu mendadak berubah kacau. Jerit dan
teriakan kengerian berbaur menjadi satu bersamaan dengan ambruknya tiang utama
utama, kapal itu.
Para penjaga secara serentak berlarian dan berdiri berjajar di tepian geladak
kapal dengan senjata terhunus. Seluruh hadirin menjadi panik kalang-kabut.
Beberapa tubuh menggeletak tertimpa tiang utama yang besar dan kuat.
Di tengah kepanikan itu, kembali terlihat cahaya keperakan meluncur deras dan
menancap pada salah satu tiang kapal. Seorang wanita berbaju hijau langsung
melompat ke arah tiang kapal itu. Sejenak dia tertegun pada sebuah bintang
bersegi enam berwarna keperakan yang menancap di situ. Benda itu besarnya tidak
lebih dari telapak tangan orang dewasa.
Wanita berbaju hijau yang ternyata adalah Rengganis, mencabut bintang perak
bersegi enam yang menancap dalam di tiang tadi. Sebentar benda itu di
pandanginya. Sementara tiga pengiring setianya, Ganis, Ganang, dan Gamar sudah
menghampiri. Mereka juga ikut
memperhatikan bintang perak itu. Beberapa orang yang di antaranya seorang laki-
laki tua berjubah merah, juga menghampiri. Laki-laki tua itu segera merebut
bintang perak dari tangan Rengganis. "Mustahil...!" gumamnya mendesah. "Kau
kenal dengan benda itu, Paman Jantara?" tanya Rengganis.
"Ya! Aku tahu betul pemiliknya. Tapi....
Ah! Rasanya tidak mungkin...," ujar laki-laki berjubah merah yang bernama
Jantara dan berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu.
Kepalanya menggeleng-geleng menyatakan keheranannya.
"Adik Branta! Lihatlah benda ini!" kata si Tongkat Samber Nyawa lagi.
Seorang laki-laki tua lainnya yang
mengenakan baju indah segera mendekat. Dia selalu dikawal dua orang berpakaian
prajurit kerajaan. Sepertinya laki-laki tua berpakaian indah itu adalah pembesar
kerajaan Setelah mengambil bintang bersegi enam dari tangan si Tongkat Samber
Nyawa, benda itu pun
diperhatikannya sebentar. Kepalanya juga menggeleng-geleng keheranan.
"Rasanya tidak mungkin dia masih hidup,"
gumam laki-laki yang dipanggil Branta itu.
"Apa mungkin dia punya nyawa rangkap?"
celetuk salah seorang yang juga sudah tua.
"Tidak! Tidak mungkin ada orang bisa hidup dengan kedua kaki buntung dan mata
buta!" bantah Jantara.
"Kalau bukan dia, lalu siapa?" Branta seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Jantara tidak langsung menjawab, tapi hanya memandangi semua orang yang berada
di sekelilingnya. Mereka adalah tokoh rimba persilatan dan para pembesar
kerajaan yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Rata-rata mereka semua kenal
akan benda berbentuk bintang segi enam yang terbuat dari perak itu!
Hanya mereka yang masih muda-muda saja yang kurang paham terhadap benda itu.
Rengganis sendiri masih bingung dengan pembicaraan orang-orang tua di
sekitarnya. Teka-teki itu masih belum terjawab, tapi telah disusul deh suara siulan nyaring
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam berkekuatan tinggi. Beberapa orang
yang hanya memiliki kepandaian pas-pasan mulai
terpengaruh deh suara siulan itu. Gendang telinga mereka terasa sakit meskipun
telah menutup telinga rapat-rapat dengan kedua tangan. Sedangkan mereka yang
memiliki kepandaian cukup tinggi segera mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau
suara siulan itu.
"Awas...!" tiba-tiba Jantara berteriak nyaring. Pada saat itu meluncur seberkas
cahaya keperak-perakan ke arah mereka. Dengan cepat Jantara mematahkan tiang
kapal dan menyampok sinar itu. Saat cahaya keperakan itu membentur tiang sebesar
tangan yang dipegangnya, Jantara tersentak dan mundur selangkah. Tangannya terasa bergetar.
Jantara bergegas melihat tiang yang
digunakan untuk menyampok serangan gelap tadi.
Tampak secarik kain merah muda menempel di situ bersama tancapan bintang perak
bersegi enam. Jantara segera mencabut bintang perak, dan mengambil kain merah
muda itu. Kain itu segera diserahkannya pada Rengganis.
"Edan! Apa maksudnya ini"!" dengus Rengganis. Wajahnya sedikit menegang.
"Jelas dia mencarimu, Rengganis. Kain itu bertuliskan namamu," kata Jantara
pelan. "Tapi, apa maksudnya" Kalian kenal dengan benda ini. Sedangkan aku..., sama
sekali tidak tahu!" nada suara Rengganis terdengar kebingungan.
Semua yang ada di situ tak ada yang
menjawab sedikit pun. Sementara suara siulan telah berhenti sejak tadi. Beberapa
penjaga dan prajurit tergeletak pingsan akibat siulan bertenaga dalam yang cukup
tinggi tadi. Dari lubang hidung dan telinga mereka mengalir darah segar.
Sedangkan yang bertahan dengan siulan tadi segera menolong mereka. Rengganis,
Jantara, Branta, dan yang lainnya hanya terdiam. Kepala mereka berputar mencari-
cari ke sekeliling. Siapakah orang yang mengirimkan kain berwarna merah muda
bersama senjata bintang perak bersegi enam itu" Pertanyaan inilah yang membebani


Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benak mereka semua.
*** 6 Malam terus merayap semakin pekat. Pesta tidak dilanjutkan lagi sehingga suasana
di atas kapal mewah itu menjadi sunyi seketika.
Yang terlihat di situ hanyalah orang-orang yang berjaga-jaga. Mereka adalah para
penjaga dan prajurit kerajaan yang merasa bertanggung jawab atas junjungan
mereka di atas kapal.
Selain itu, ada juga para pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh rimba persilatan
yang ikut berjaga-jaga.
Saat itu Rengganis terus didampingi oleh Jantara dan tiga bersaudara pengawal
setianya. Wanita itu masih belum mengerti dengan kejadian yang sungguh menggemparkan itu.
Walaupun hanya sesaat, tapi cukup membuat hati jadi bertanya-tanya. Di atas kap
ini, hampir seluruh tokoh rimba persilatan hadir di situ.
Mereka datang dari segala penjuru. Walaupun setiap harinya bergelimang darah dan
tantangan, namun kejadian yang hanya sesaat itu mampu menggetarkan hati mereka
juga. "Aku tidak yakin kalau orang itu adalah Gardika, Paman Jantara," kata Rengganis
setengah berguma
"Hanya dia satu-satunya yang memiliki senjata semacam itu, Rengganis," sahut
Jantara. Dia memang telah menceritakan tentang pertarungannya bersama tokoh-
tokoh rimba persilatan yang mengeroyok Gardika.
"Tapi sebelumnya kau katakan bahwa dia telah tewas. Rasanya mustahil kalau orang
yang sudah dibuntungi kedua kakinya dan dibutakan kedua matanya, ternyata masih
hidup," sergah Rengganis. "Lagi pula, apa urusannya denganku"
Aku tidak kenal dia! Bahkan mungkin pada saat itu aku belum lahir. Bisa juga
waktu itu aku masih kecil."
Jantara tidak mampu menjawab. Memang sulit diterka, siapa orangnya yang
melakukan serangan gelap itu. Tapi dari senjata yang berbentuk bintang bersegi
enam, jelas kalau orang itu adalah Gardika. Jantara jadi berkerenyut juga
keningnya. Sepengetahuannya, Gardika telah tak berdaya di Pulau Neraka.
"Pasti ada orang lain yang menggunakan senjata yang sama!" sentak Jantara.
"Maksud, Paman...?" tanya Rengganis tidak mengerti.
"Rengganis! Dalam dunia ini, kita memang selalu dikelilingi musuh. Bahkan kawan
yang sekarang, tidak mustahil nantinya akan jadi musuh juga. Ingat-ingatlah.
Siapa di antara kawan dan lawanmu yang mengunakan senjata berbentuk bintang,"
kata Jantara. "Rasanya tidak ada, Paman," jawab Rengganis setelah berpikir sejenak.
"Ingat-ingat dulu, Rengganis," desak Jantara.
Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia berusaha mengingat-ingat Tapi selama berkecimpung dalam dunia persilatan dan
hingga memutuskan untuk jadi saudagar, rasanya tidak pernah punya lawan ataupun
kawan yang menggunakan senjata berbentuk bintang perak bersegi enam.
Dan tiba-tiba saja Rengganis teringat dengan yang dilihatnya siang tadi. Sesuatu
yang dilihatnya sendiri saja. Sangat jelas terlihat, tapi begitu cepat sehingga
sulit untuk menentukan, apakah itu manusia atau hanya berupa kilatan cahaya
saja. Bisa juga itu hanya fatamorgana. Sulit untuk
menghubungkan, antara yang dilihatnya siang tadi dengan kejadian di kapal
barusan. Tulisan pada secarik kain, jelas ditujukan untuknya.
Tulisan itu hanya berupa sebuah nama. Namanya sendiri tanpa ada tulisan atau
nama lain. Jelas, maksudnya adalah peringatan atau bisa juga ancaman.
"Apakah mungkin kalau orang itu adalah putra Dewa Pedang...?" gumam Rengganis
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau bicara apa, Rengganis?" tanya Jantara tidak percaya.
"Paman! Siang tadi aku melihat sesuatu meluncur cepat bagai kilat dari Pulau
Neraka. Aku tak tahu pasti, benda apa yang bergerak itu. Apakah itu hanya sebuah benda,
ataukah manusia" Aku tak tahu. Tapi aku yakin, itu pasti ada hubungannya dengan
kejadian di kapal ini, Paman," ungkap Rengganis pelan.
"Hm..., selama ini tak ada seorang pun yang bisa selamat jika telah masuk ke
Pulau Neraka. Gardika juga pergi ke pulau itu, dan sampai kini tak terdengar
kabar beritanya lagi. Rasanya tidak mungkin kalau Badar dan putra Dewa Pedang
masih hidup...," bantah Jantara. Tapi dari nada suaranya terdengar ragu-ragu.
Hening. Tak ada lagi yang bersuara.
Kejadian yang menggemparkan tadi membuat semua orang yang ada di atas kapal ini
terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran yang terus berkecamuk. Sementara para pembesar yang
bernyali kecil telah mulai meninggalkan kapal.
Bahkan beberapa tokoh yang merasa tidak ada hubungannya dengan kejadian itu juga
telah pergi. Mereka seperti tidak ingin ikut campur.
Semakin larut malam, keadaan kapal semakin sunyi. Kesunyian itu menambah suasana
menjadi semakin mencekam.
"Rengganis, sebaiknya kau beristirahat saja. Biar aku dan anak buahku yang
berjaga-jaga," kata Jantara setelah cukup lama berdiam diri.
"Terima kasih, Paman. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak mungkin dapat tidur,"
tolak Rengganis halus.
"Kalau begitu, aku pergi dulu untuk melihat keadaan," pamit Jantara.
"Silakan, Paman."
Laki-laki tua berjubah merah itu segera berlalu. Sementara Rengganis masih duduk
di kursi, di atas geladak didampingi tiga bersaudara pengikut setianya. Ketiga
bersaudara itu pun hanya bisa membisu. Mereka juga telah mendengar apa yang
dibicarakan junjungannya dengan Jantara, atau yang berjuluk si Tongkat Samber
Nyawa tadi. Jantara berjalan pelan-pelan menyusuri geladak kapal besar dan mewah itu. Hanya
tinggal beberapa tokoh saja yang masih ada di kapal ini. Seluruh pembesar
kerajaan telah meninggalkan kapal. Kini, tidak terlihat lagi para prajurit yang
berjaga-jaga di situ.
Jantara terus melangkah menuruni tangga kapal menuju dermaga. Beberapa anak
buahnya terlihat berjaga-jaga di sekitar dermaga itu.
Dengan dikawal enam orang anak buahnya, Jantara memeriksa keadaan dermaga. Tak
lama kemudian dia meninggalkan tempat itu, dan menuju desa yang tidak jauh dari
situ. Suasana desa masih tetap ramai meskipun hari telah jauh malam. Namun
keramaiannya telah sedikit berkurang jika dibandingkan dengan siang tadi.
Sepanjang jalan, yang ditemukan hanya orang-orang mabuk dari wanita-wanita
penjaja cinta. Jantara terus melangkah diikuti oleh enam orang anak buahnya.
"Sebaiknya kita kembali saja, Tuan. Sudah terlalu malam. Barangkali orang itu
sudah pergi dari sini," kata salah seorang yang ikut dengan Jantara.
"Baiklah. Besok kita teruskan," jawab Jantara.
Mereka kemudian kembali menuju dermaga di Pesisir Pantai Selatan. Mereka
berjalan tanpa banyak bicara. Memang sulit mencari satu di antara sekian banyak
orang yang tidak dikenal.
Apalagi sekarang ini banyak pendatang yang singgah di desa di sekitar Pesisir
Pantai Selatan itu.
Baru saja beberapa tindak mereka berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan melintas di
depan mereka. Jantara terperanjat, dan langsung memerintahkan anak buahnya
berhenti. Seorang pemuda gagah dan tegap tahu-tahu telah berdiri di depan Jantara dan enam
orang anak buahnya. Rambutnya yang panjang
dipermainkan angin malam. Tubuhnya berotot dan tertutup baju dari kulit harimau.
Hanya bagian dada yang terbuka, memamerkan dadanya yang bidang dan kekar.
Wajahnya cukup tampan, namun memiliki sorot mata yang tajam. Rahangnya yang
menonjol kekar, terkatup rapat. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan
dada. "Kau laki-laki tua, berjubah merah dan bersenjata tongkat kembar pendek. Apakah
kau bernama Jantara, si Tongkat Samber Nyawa?"
tanya pemuda itu. Dari perawakan dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau dia
adalah Bayu Hanggara.
Selama Bayu meninggalkan Pulau Neraka, keterangan tentang pembunuh orang tuanya
dan pengeroyok Eyang Gardika terus dicarinya.
Sampai dia akhirnya tahu kalau Rengganis adalah ibu tirinya sendiri. Tapi dia
tidak mau peduli. Yang ada di benaknya adalah membalas dendam atas kematian
orang tuanya dan atas kesengsaraan Eyang Gardika di Pulau Neraka.
"Benar! Dan kau siapa" Kenapa kau hadang langkahku?" sahut Jantara seraya
memasang wajah angker.
"Mungkin kau mengenal benda ini," sahut pemuda itu sambil mengangkat tangan
kanannya ke depan.
Jantara melangkah mundur dua tindak
melihat cakra bersegi enam yang bergigi-gigi bengkok menempel pada pergelangan
tangan pemuda itu. Bola matanya berputar, seolah-olah tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri.
"Jagalah kepalamu, Jantara!" bentak pemuda itu tiba-tiba seraya mengebutkan
tangan kanannya.
Laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terperangah sesaat, namun
dengan cepat merundukkan kepalanya. Cakra berwarna keperakan yang menempel di
tangan pemuda itu meluncur deras kearahnya. Begitu cepat cakra itu, sehingga dua
orang yang berada di belakang Jantara tidak sempat lagi menghindar.
Kedua orang itu menjerit keras. Tubuh mereka berputar sebentar sebelum ambruk
dengan kepala terpisah. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya. Dengan putaran
manis, senjata cakra itu berbalik dan langsung menempel kembali di pergelangan
tangannya. "Anak muda! Apa hubunganmu dengan Gardika si Cakra Maut"!" tanya Jantara
membentak. "Kau tidak perlu tahu, Jantara. Berdoalah agar dosamu diampuni," sahut pemuda
itu dingin. "Kurang ajar! Apa yang kau andalkan hingga berani umbar bacot di hadapanku,
heh"!" geram Jantara sengit.
"Bersiaplah untuk mati, Jantara!"
Rupanya pemuda itu tak kenal kompromi lagi. Langsung dibukanya jurus-jurus maut.
Jantara mengerutkan keningnya melihat kembangan jurus-jurus yang diperagakan
pemuda itu. Dia kenal betul dengan jurus itu. Jurus
'Kelelawar Maut'. Jantara langsung bersiap-siap dengan jurus andalannya juga.
Tapi, sebenarnya Jantara sendiri belum yakin apakah bisa menandingi jurus
'Kelelawar Maut', meskipun dikerahkan oleh orang lain.
"Tahan seranganku, Jantara!" seru Bayu keras.
Secepat kilat pemuda itu melompat sambil mengembangkan kedua tangannya.
Gerakannya begitu cepat bagai kilat. Jantara bergegas membanting tubuhnya ke
tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit. Namun baru saja
dapat berdiri, satu kibasan tangan yang cepat dan tak terduga menyampok ke arah
kepalanya. "Uts!"
Jantara menarik kepalanya sedikit sambil menyodokkan tangan kanannya ke arah
dada. Tapi kembali Jantara terperangah karena lawan mampu berkelit dengan cepat
sambil melancarkan serangan susulan. Satu tendangan keras melayang menghantam
perut laki-laki tua itu.
Jantara terbungkuk mengeluh tertahan. Perutnya seketika terasa mual. Belum
sempat menyadari apa yang terjadi, satu pukulan telak kembali bersarang di
wajahnya. "Akh!" Jantara memekik tertahan. Timpa ampun lagi tubuh laki-laki tua berjuluk
si Tongkat Samber Nyawa itu terjengkang ke belakang. Sedangkan pemuda berbaju
kulit harimau itu tetap berdiri tegak dengan tangan melipat di bagian dada.
Bajing Ireng Maling Budiman 2 Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet Bukit Pemakan Manusia 16
^