Pencarian

Hantu Bukit Angsa 2

Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa Bagian 2


mendengar namamu, aku langsung menemani Sekar Tanjung ke si-
ni." *** Bayu Hanggara mengangguk-anggukkan kepa-
la. Tapi tetap saja kepalanya jadi pusing sendiri.
Bertemu dengan hartawan bernama Lesmana itu
dengan segala tingkahnya yang memuakkan sung-
guh menyebalkan hatinya. Orang itu beranggapan
bahwa segala sesuatunya di dunia ini dapat dibe-
linya dengan harta. Kalau saja ia datang ke sana, tetap saja anggapannya
demikian. Tidak dengan
harta kini putrinya yang disuruh membujuk di-
rinya. Dan kalau sudah sampai di sana, entah apa
lagi yang akan direncanakan terhadap dirinya.
Memang bukan rencana buruk, tapi siapa tahu
berusaha membujuk dirinya untuk bekerja den-
gannya. "Huh!" Bayu mendengus kecil dalam hati.
Malam telah semakin larut, namun kedua ga-
dis itu tetap tak beranjak dari tempatnya. Monyet kecil Bayu yang bernama Tiren
berkali-kali menggoda mereka. Kadang keduanya tersenyum, ka-
dang juga cemberut kesal. Paling tidak mereka cu-
kup terhibur daripada dibiarkan pemuda itu sen-
diri saja tanpa bicara sepatah kata pun.
Bayu sendiri masih pusing. Matanya yang tadi
mengantuk, kini tak mau terpejam. Berkali-kali di-liriknya mereka yang sedang
bercanda dengan Ti-
ren, dan berkali-kali pula mereka beradu pandang.
Mulutnya seperti terkunci rapat untuk bicara se-
patah kata karena otaknya buntu menghadapi
keanehan yang satu ini.
"Kalian tidurlah kalau mau tidur. Mataku su-
dah mengantuk..." katanya sambil merebahkan di-ri di kursi panjang.
Kedua gadis itu menatap ke arahnya. Sekar
Tanjung kemudian berkata pelan, "Ya...."
Namun ketika Bayu baru saja akan merebah-
kan diri, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.
"Tok! Tok!"
"Siapa?" Bayu cepat bangkit sementara kedua gadis di dekatnya menjadi was-was.
Dalam pikiran mereka pastilah orang-orangnya Hantu Bukit Ang-
sa yang akan membalas dendam.
"Tuan, saya seorang pengembara yang ke ma-
laman di desa ini. Kulihat lampu di dalam kedai
masih menyala, dan kudengar orang bercakap-
cakap. Kalau tidak keberatan sudilah menerima
saya untuk menumpang menginap di sini..." sahut suara di luar dengan nada sopan.
"Tolong panggilkan pemilik kedai," Bayu melirik ke arah Sekar Tanjung.
"Tapi...."
"Jangan khawatir. Aku yang akan bertanggung
jawab!" Bayu meyakinkan gadis itu yang terlihat cemas.
"Baiklah...."
Setelah gadis itu melangkah ke belakang, Bayu
memberi isyarat pada Sekar Harum untuk men-
jauh dari pintu. Ia sendiri melangkah pelan dan
bersiaga penuh sambil membuka pintu.
Seorang laki-laki yang mengenakan topi caping
lebar berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tinggi besar dan berbadan tegap
mengenakan pakaian pu-
tih. Tangan kanannya menggenggam sebatang pe-
dang dengan warangka dan gagang terbuat dari
bambu kuning. Ketika laki-laki itu membuka to-
pinya, terlihat seraut wajah tua berusia sekitar
enam puluh tahun. Rambutnya yang putih diikat
sehelai kain kuning. Wajahnya bersih dan berke-
san ramah dengan kumis putih melintang rapih.
"Maaf mengganggu. Bolehkah menumpang
menginap di sini semalam saja, Tuan?"
"Maaf, kami tak berhak menerima anda sebab
kami pun menumpang di sini."
"Oh, begitu" Kalau demikian siapakah pemilik kedai ini?"
"Sebentar, temanku sedang memanggilnya."
Pemilik kedai itu buru-buru menghampiri. Se-
telah melirik pada Bayu, ia menatap tamu yang
baru datang tersebut. Sang tamu tersenyum ra-
mah. "Apakah bapak pemilik kedai ini?"
"Betul, ada yang bisa saya bantu?"
"Namaku Dharmasutra, seorang pengembara
yang kebetulan lewat di desa ini. Kalau boleh saya ingin menginap di sini. Tak
apa di bangku ini saja, yang penting ada tempat berteduh..." kata-kata orang tua
itu terhenti. Seketika ia mencabut pedangnya sambil membentak nyaring.
*** "Awas...!"
"Hiyaaa...!"
"Trang! Trang!"
Pedang di tangan orang tua itu berkelebat ce-
pat menangkis beberapa buah senjata rahasia
yang melesat ke dalam pondok kedai itu. Sementa-
ra Bayu sendiri menubruk kedua gadis itu dan si
pemilik kedai menghindari desingan senjata raha-
sia yang nyaris menghantam mereka.
"Sialan!" makinya kesal. "Kalian tetap tinggal di sini dan jangan ke mana-mana!"
lanjutnya sambil mencelat keluar.
"Kau hendak ke mana?" teriak Sekar Tanjung.
Tapi pemuda itu telah keburu mencelat ke luar
mengikuti si orang tua bersenjata pedang bambu
kuning. "Ziiing!"
"Uts!"
"Traaang!"
Begitu mereka keluar, kembali mendesing be-
berapa buah senjata rahasia menerpa. Bayu cepat
berkelit ketika dua buah senjata rahasia it nyaris menyerempet tubuhnya.
Orang tua itu sendiri menangkis beberapa
buah senjata rahasia yang menerpa dirinya den-
gan kelebatan pedangnya yang hebat bukan main.
Melihat dari gerakannya, orang tua itu pastilah
bukan orang sembarangan. Paling tidak ia memili-
ki nama yang cukup disegani di kalangan persila-
tan. "Hmm, pengecut-pengecut darimana yang beraninya cuma main bokong dari
belakang?" dengus Bayu begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Pada saat itu melesat dua sosok tubuh pada
jarak tujuh tombak di hadapan mereka sambil
mendengus sinis. Yang seorang bertubuh kurus
dengan wajah menyeramkan seperti tengkorak
dengan rambut gondrong dibiarkan terurai. Se-
mentara di sebelahnya seorang pemuda bertubuh
sedang dengan kumis melintang. Di pinggangnya
terselip sebatang golok yang agak panjang.
"Siapa di antara kalian yang menamakan di-
rinya Pendekar Pulau Neraka?" bertanya si muka tengkorak dengan nada dingin dan
meremehkan sekali kedengarannya.
Bayu tak langsung menjawab. Penglihatannya
yang tajam melihat beberapa sosok bayangan
mengendap-endap di belakang kedua orang itu
dengan gerakan melingkar menuju kedai di bela-
kangnya. "Pengecut hina, akulah orangnya! Siapa ka-
lian?" sahut Bayu dengan nada sinis.
"Bagus! Kami membawa pesan dari Hantu Bu-
kit Angsa untuk membawa kepalamu pulang."
Selesai berkata demikian tiba-tiba tubuh si
muka tengkorak melesat ke arahnya sambil berte-
riak nyaring. "Hiyaaa...!"
Pakaian ditubuhnya yang agak kebesaran ber-
kibar-kibar ditiup angin seperti menyamarkan se-
belah tangannya yang melepaskan senjata rahasia
berupa baja hitam berbentuk bintang kecil.
"Huh, kau pikir dapat menipu mataku, Kisa-
nak!" dengus Bayu sambil bersalto beberapa kali di udara menghindari desingan
senjata rahasia
lawan yang bertubi-tubi. Namun begitu tubuhnya
mendarat ke bawah, serangan susulan lawan telah
menantinya. Dia telah memperhitungkan hal itu
sebelumnya. Itulah sebabnya Bayu mendorong te-
lapak kirinya ke depan.
"Hap!"
"Wuuss!"
"Yeaaah...!"
Si muka tengkorak mencelat mundur beberapa
langkah menghindari pukulan tenaga dalam lawan
yang menimbulkan desir angin kencang. Namun
begitu kedua kakinya berpijak di tanah maka se-
cepat itu pula tubuhnya kembali melesat meng-
hantam dengan tenaga dalam kuat.
"Mampuslah kau Pendekar Pulau Neraka!"
"Uts!"
"Tak segampang itu, sobat!" ejek Bayu sambil menundukkan kepala dengan tubuh
miring. Tinju kanan bergerak cepat menghantam dada lawan.
Tapi tubuh si muka tengkorak lebih cepat lagi
menghindar ke atas dan mengincar batok kepala
Pendekar Pulau Neraka.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri ke
tanah, lalu dengan kedua kaki menghantam ke
atas tubuhnya terus bergulingan ke belakang se-
perti melenting.
"Bughk!"
"Uts!"
Pada kesempatan itu si muka tengkorak masih
sempat menyelamatkan perutnya dari tendangan
lawan dengan menghantam kaki kanannya.
Tubuh keduanya terdorong ke belakang akibat
beradunya kedua kaki tadi. Namun dari situ Bayu
dapat memperkirakan bahwa tenaga dalam lawan
masih berada satu tingkat di bawah-nya. Pemuda
itu tersenyum kecil ketika si muka tengkorak
kembali menyerangnya begitu kedua kakinya me-
nyentuh tanah. Sementara kakek yang bersenjatakan pedang
bambu kuning sedang berhadapan dengan si pe-
muda berkumis melintang. Orang tua yang ber-
nama Dharmasutra itu sempat kaget ketika meli-
hat lawan di hadapannya. Sepasang matanya ter-
belalak tak percaya begitu melihat si pemuda den-
gan jelas. "Jarot" Apakah kau Jarot muridku?"
"Sreeet!"
Sebagai jawabannya pemuda berkumis melin-
tang itu malah mencabut goloknya dan bersiap
menyerang Dharmasutra. Wajahnya memancarkan
nafsu yang tak bersahabat.
"Jarot, aku gurumu sendiri, Dharmasutra! Apa yang terjadi padamu saat ini"
Begitu mendengar
majikanmu Den Pranata mengatakan bahwa kau
dibawa lari Hantu Bukit Angsa, saat itu juga aku
turun gunung untuk mencarimu...."
"Diam, kau orang tua! Terimalah kematianmu
sekarang!"
"Jarot, tunggu..."
"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
Ki Dharmasutra terpaksa berkelit dari samba-
ran pemuda yang diyakininya sebagai Jaro murid-
nya sendiri. Sambaran golok di tangan pemuda itu
bukan main-main dan sama sekali dimaksudkan
untuk membunuh lawan.
"Jarot, jangan bercanda keterlaluan dengan
gurumu sendiri!" bentak Ki Dharmasutra mulai kesal.
"Siapa yang bercanda denganmu tua bangka?"
"Kurang ajar! Mana rasa hormatmu pada guru
sendiri?" "Siapa, guruku" Kau adalah teman si Pendekar Pulau Neraka, dan orang sepertimu
harus mampus!"
"Dasar murid celaka! Agaknya benar berita
yang kudengar bahwa perbuatanmu belakangan
ini telah menyimpang, kau akan mendapat huku-
man berat dariku!" dengus Ki Dharmasutra sambil mengeretukkan rahang.
Pedang di tangannya yang tadi dipergunakan
untuk menangkis serangan muridnya kini berbalik
menyerang muridnya sendiri dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Pertarungan antara murid dan guru itu tak
dapat dihindari lagi. Keduanya kini betul-betul
bernafsu hendak menjatuhkan lawan. Bedanya
pemuda yang dipanggil Jarot itu bermaksud mem-
binasakan gurunya, sebaliknya Ki Dharmasutra
hanya ingin membuat lumpuh muridnya. Hingga
serangan-serangannya belum terlihat mematikan.
Walau bagaimana pun rasanya tak mungkin
seorang murid mampu mengalahkan gurunya, jika
ia semata-mata memperoleh kepandaian hanya
dari gurunya itu. Begitu juga halnya antara Ki
Dharmasutra dan Jarot. Tanpa memerlukan wak-
tu panjang, Ki Dharmasutra berhasil melumpuh-
kan serangan muridnya dengan membuat golok di
tangan Jarot terpental jauh dihantam pedangnya.
"Jarot, sadarlah. Aku Ki Dharmasutra gurumu
sendiri...."
"Persetan dengan ocehanmu!" bentak pemuda itu. Walaupun tak bersenjata, namun
tak sedikit pun rasa gentar terbayang di wajahnya. Malah
dengan membentak nyaring ia kembali menyerang
Ki Dharmasutra.
"Hiyaaa..."


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Murid celaka, kau terimalah ini!" bentak Ki Dharmasutra geram melihat kelakuan
muridnya itu. Pedang di tangannya bergulung-gulung ke de-
pan, kemudian menyerang pemuda itu dengan
berselang-seling serta mengejar kemana saja la-
wan bergerak. Karena tahu betul arah gerakan
menghindar pemuda itu, maka sebentar saja terli-
hat pemuda itu terkurung oleh ujung pedangnya.
"Diam kau!"
"Tuuk!"
Tubuh pemuda itu langsung ambruk ketika Ki
Dharmasutra menotok urat geraknya. Namun de-
mikian wajahnya masih menunjukkan kegarangan
seperti tadi. "Tua bangka keparat! Lepaskan totokanmu ini.
Apa kau pikir aku tak mampu melawanmu lagi,
huh!" "Diam, kau bocah! Dosamu telah luber dan
kau patut mendapat hukuman dariku!"
"Huh, siapa yang takut dengan hukumanmu!"
Ki Dharmasutra baru saja akan menampar
muridnya itu ketika terdengar si muka tengkorak
menjerit kesakitan. Tangan kirinya terlihat bun-
tung dihajar sinar keperakan yang melesat cepat
dan kembali berputar-putar bersiap menyambar-
nya. "Setan keparat!" makinya. "Apakah kebisaanmu cuma melepaskan Cakra Mautmu
saja?" "Lalu apa kebisaanmu yang lain pengecut"
Apakah hanya bisa melempar senjata rahasiamu
dengan bertubi-tubi" Masih bagus belum jan-
tungmu yang kukorek!" balas Bayu.
"Huh, kau akan terima balasanku. Yeaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka baru saja akan bersiap
menyambut serangan lawan ketika terdengar sua-
ra jeritan dari dalam kedai.
"Ouww, tolooong...! Tuan Pendekar, to-
loooong...!"
"Bangsat!" maki Bayu sambil melompat ke dalam kedai. Tapi si muka tengkorak
tentu saja tak mau membiarkan lawannya kabur.
"Jangan lari kau, Pendekar Pulau Neraka! Aku belum kalah darimu!" teriaknya
sambil melempar-kan senjata rahasianya.
Dengan geram Bayu berbalik sekilas sambil
mengibaskan tangan kanannya ke atas. Seketika
itu juga Cakra Mautnya melesat mencari lawan.
Untuk beberapa saat si muka tengkorak dibuat
kerepotan menghindari serangan senjata lawan
yang membawa maut itu.
Bayu sendiri sudah melihat beberapa sosok
bayangan menerobos atap kedai sambil membawa
kedua gadis yang berada di dalamnya. Tubuhnya
melesat cepat mengejar mereka sambil mengelua-
rkan pukulan jarak jauh.
"Hiyaaa...!"
"Wuss!"
Namun agaknya sosok-sosok bayangan itu su-
dah menyadari hal itu. Dengan serentak mereka
membalas dengan pukulan jarak jauh pula. Dan
ketika dua pukulan itu bertemu di udara, Bayu
merasa tubuhnya agak terdorong ke belakang be-
berapa tindak, namun cepat ia jungkir balik sam-
bil bersiap menyerang.
"Yeaaah...!"
"Uts! Bangsat!"
Bayu terpaksa menghentikan niatnya ketika
tiba-tiba mendesing beberapa buah senjata raha-
sia yang dilemparkan si muka tengkorak ke arah-
nya. Agaknya orang itu masih mampu mencegah
niat Bayu mengejar anak buahnya yang bermak-
sud melarikan dua orang gadis yang berada di da-
lam kedai. Padahal keadaannya betul-betul terjepit di antara kejaran Cakra Maut
yang mengancam jiwanya. "Crass!"
"Akh!"
Pada saat Bayu mendengus garang, perhatian-
nya terpusat beberapa saat pada lawan. Tangan
kanannya terkibas ke atas dengan gerakan cepat,
dan Cakra Maut yang sedang melesat itu bergerak
semakin cepat menghantam pinggang kiri si muka
tengkorak tanpa bisa dihindari lagi. Orang itu
menjerit keras. Namun masih sempat tegak berdiri
kembali menghindari serangan Cakra Maut yang
kedua. "Kalau kau mau mampus lebih dulu, baiklah!"
dengus Bayu kembali.
"Kisanak, jangan khawatir! Kau uruslah orang
ini biar mereka coba ku tahan!" teriak Ki Dharmasutra melihat kerepotan pemuda
itu. "Terimakasih, Kisanak!" teriak Bayu agak lega.
Kini dia punya kesempatan untuk memusatkan
segala perhatiannya pada lawan.
* * * 6 Di pandanginya si muka tengkorak dengan ta-
tapan sinis ketika Cakra Maut itu kembali ke per-
gelangan tangan.
"Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"
"Huh, siapa takut mati! Aku lebih rela mati daripada kau biarkan hidup diburu
Hantu Bukit Angsa!" "Apa maksudmu?"
"Hantu Bukit Angsa tak akan membiarkan
anak buahnya kembali ke sarang sebelum menye-
lesaikan tugas dengan taruhan nyawa."
"Hmm, kalau demikian berarti teman-
temanmu pun akan menemui ajal begitu tiba di
sana?" "Mereka lain. Tugas ini memang harus begitu
yaitu memancingmu agar datang ke sarang kami."
"Nah, kalau demikian katakan pada majikan-
mu bahwa aku akan datang menemuinya, tapi jika
terjadi apa-apa pada kedua gadis itu, nyawamu ta-
ruhannya!" gertak Bayu.
Si muka tengkorak terkekeh, "Kau kira aku takut mati di tanganmu" Layon Gangga
telah berjan- ji untuk menjalankan sumpahnya membunuhmu
dengan taruhan nyawa. Aku diperintahkan untuk
tidak kembali sebelum membawa kepalamu!"
"Oh, kau yang bernama Layon Gangga atau le-
bih dikenal sebagai Rase Tengkorak Bintang" Pan-
tas! Tokoh sesat sepertimu memang patut mam-
pus. Nah, terimalah kematianmu!"
Setelah berkata begitu tubuh Pendekar Pulau
Neraka melesat dengan satu tinju kanan siap me-
remukkan kepala lawan. Tapi si muka tengkorak
yang bergelar Rase Tengkorak Bintang ternyata
pantang menanti maut tanpa perlawanan. Senjata
rahasia berupa bintang mendesing ke arah Bayu.
"Uts! Kau kira aku bisa dikelabui?"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Bayu meloncat lebih tinggi sambil jung-
kir balik beberapa kali diudara. Ketika tubuhnya
melesat turun, saat itu juga tangan kanannya di-
kibaskan ke atas. Detik itu berkelebat Cakra Maut ke arah lawan. Dan tanpa bisa
dihindari menembus dada kiri Layon Gangga.
"Aaaa...!"
Tubuhnya berkelojotan beberapa saat kemu-
dian sambil mendekap dadanya yang bolong. Sete-
lah menggelepar-gelepar akhirnya diam tak berge-
rak dengan mata mendelik keluar. Nyawanya lepas
sudah. Bayu mendengus sinis dan mengibaskan tan-
gan kanannya kembali. Saat itu juga Cakra Maut
melesat lagi ke pergelangan tangan kanannya.
Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Ki Dhar-
masutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu
kirinya terluka meneteskan darah.
Kemudian ia beralih pada pemuda berkumis
melintang di dekatnya.
"Apakah kau juga ingin mampus seperti te-
manmu?" "Puih! Kau pikir aku takut mati"! Bunuhlah,
aku tak takut. Atau kalau kau mau bertarung se-
cara kesatria, buka dulu totokanku!"
"Aku bukan sebangsa pengecut seperti kalian!"
dengus Bayu. "Baik, akan kubuka totokanmu agar kau
mampus tanpa penasaran."
Namun ketika Bayu baru saja melangkah dua
tindak, tiba-tiba terdengar suara halus mencegah-
nya. "Tidak!"
Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Dhar-
masutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu
kirinya terluka meneteskan darah.
"Oh, kau, Bagaimana" Apakah kau berhasil
mencegah mereka?"
"Sayang sekali aku gagal..."
"Kenapa" Apakah mereka dapat mengalahkan
mu?" "Jumlah mereka banyak dan rata-rata berke-
pandaian tinggi..."
"Keparat kau Hantu Bukit Angsa!" maki Bayu sendiri sambil mengepalkan tinjunya
dengan wajah geram. "Kalau kau memang menghendaki aku kesana, baik akan kupenuhi
kemauanmu."
"Ha ha ha...! Kau akan mendatangi sarang
Hantu Bukit Angsa?" ejek si pemuda yang ter-
totok itu sinis. "Kalau kau mau cepat mampus da-tanglah cepat kesana."
"Diam kau keparat! Sebelum aku kesana kau
lebih dulu yang akan mampus!"
"Maaf, Kisanak!" cegah Ki Dharmasutra ketika melihat tinju kanan Bayu siap
menghajar kepala
pemuda itu. "Kenapa" Apakah kau akan membelanya?"
"Dia adalah muridku sendiri..." lesu suara Ki Dharmasutra.
"Apa" Dia muridmu, Ki?"
Ki Dharmasutra mengangguk lesu. "Aku sendi-
ri tak tahu kenapa dia berubah begitu cepat. Ta-
dinya dia anak baik dan tak pernah berbuat onar
sedikit pun..." jelasnya sambil menggelengkan kepala.
Pendekar Pulau Neraka menatap pemuda itu
sekilas sambil memutar otaknya. Sementara itu
monyet kecil, Tiren sahabatnya berlari-lari kecil menghampirinya sambil
menunjuk-nunjuk ke
arah kedai. "Nguk! Nguuk!"
"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu sambil merangkul Tiren. Ketika hewan kecil itu
menunjuk ke arah kedai sekali lagi, Bayu tersentak kaget.
"Astaga! Si pemilik kedai itu. Bagaimana na-
sibnya?" Bayu buru-buru melangkah ke dalam kedai.
Melihat Pendekar Pulau Neraka berlari kecil ke dalam kedai, Ki Dharmasutra pun
mengikuti dari be-
lakang sambil membopong pemuda yang di-
akuinya sebagai muridnya itu.
"Hei, tua bangka busuk lepaskan aku! Le-
paskan! Aku tak takut bertarung denganmu!"
"Diam kau!"
"Tuk!"
Dengan cepat dua buah jari tangan kanannya
menotok urat leher pemuda itu hingga suara tak'
mampu lagi keluar.
Setiba mereka di dalam, keadaan si pemilik
kedai sangat mengenaskan.
*** "Astaga! Betul-betul biadab mereka!" desis Pendekar Pulau Neraka bertambah
geram. Dilihatnya tubuh si pemilik kedai itu penuh dengan luka-
luka bacokan di sekujur tubuhnya hingga sukar
dikenali wajahnya.
"Biadab!" maki Ki Dharmasutra. "Mereka harus terima balasannya kelak!"
"Tidak. Malam ini juga aku harus menyatroni
sarang mereka!" ujar Bayu bersiap meninggalkan tempat itu. Namun Ki Dharmasutra
buru-buru mencegahnya. "Sebaiknya jangan terburu-buru, Kisanak.
Saat ini mereka tentu telah bersiaga penuh. Tung-
gu sampai beberapa hari di saat mereka lengah."
"Dan saat itu pula korban baru akan bermun-
culan, Ki."
"Hmm... memang benar kita tak tahu apa yang
mereka inginkan saat ini. Tapi kalau menyerang
saat sekarang mereka pasti telah bersiap-siap me-
nunggu kita..."
"Bukan kita, Kisanak tapi aku..."
"Aku pun punya kepentingan dengan mereka,
Kisanak..."
Bayu terdiam beberapa saat kemudian. Pada
saat itu beberapa penduduk desa yang sejak tadi
mendengar keributan di luar rumahnya, berdatan-
gan ke dalam kedai itu. Salah seorang diantara
mereka buru-buru menghampiri Pendekar Pulau
Neraka. "Tu... Tuan Pendekar, bagaimana dengan nasib anak saya?"
Bayu meliriknya sekilas sambil menghela nafas
pendek. Orang itu tak lain dari si hartawan yang
siang tadi bersikap sok akrab dengannya, atau
orang tua Sekar Tanjung. Disebelahnya berdiri


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang laki-laki setengah baya yang dikenalnya
beberapa hari yang lalu.
"Maaf, Pak..."
"Apa maksud anda Tuan Pendekar"!" desak si
hartawan bernama Lesmana itu.
"Sekar Tanjung dibawa mereka..." sahut Bayu dengan suara lemah.
"Apa"!" Hartawan bernama Lesmana itu tersentak kaget. Untuk beberapa saat dia
ter-menung dengan wajah gelisah.
"Putri saya bagaimana, Tuan Pendekar...?"
tanya orang tua yang pernah dikenalnya.
Bayu menatap agak lama padanya, "Apakah
bapak ayahnya Sekar Harum?"
Orang tua itu cepat mengangguk, "Saya Indra-
pura. Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya
beberapa hari yang lalu di pinggir hutan itu?"
"Ya, ya..." Bayu mengangguk. Kemudian dita-tapnya laki-laki itu dengan wajah
lesu. "Maaf, Pak... Sekar Harum juga dibawa mereka..."
"Oh, anakku pun dibawa mereka" Ya ampun
Gusti... apa salahku harus mengalami cobaan se-
berat ini?" rintih Indrapura sendu. "Sudah mereka merampas harta kami, membunuh
istriku dan kini
membawa anak gadisku pula..."
"Tenanglah, Pak. Saya akan membawa mereka
kembali pada bapak..." bujuk Bayu.
"Betulkah ucapanmu, Tuan Pendekar?"
Bayu kembali mengangguk. "Sekarang lebih
baik kita urus dahulu mayat si pemilik kedai ini, serta mayat-mayat yang
lainnya..."
"Lebih baik mayat itu dilemparkan saja jadi
makanan srigala!" teriak seseorang sambil menunjuk mayat di luar halaman kedai.
"Ya, ya setuju! Dibuang ke hutan biar disantap hewan liar!" timpal yang lain.
"Setuju! Mereka sama biadabnya dengan he-
wan-hewan liar!"
"Tenang! Tenang...!" Bayu harus mendiam-kan.
Setelah mereka agak tenang, barulah ia melan-
jutkan kata-katanya.
"Walau pun dia berkelakuan biadab tapi tetap ia seorang manusia. Kita layak
menguburkan-nya..."
Mendengar kata-kata Bayu yang lainnya diam
membisu. Walau mereka tak setuju tak ada yang
berani membantah. Malam itu juga kedua mayat
tersebut dikuburkan. Kepala Desa menyuruh pe-
muda-pemuda desa bersiaga penuh karena kha-
watir bencana seperti tadi akan datang lagi. Tapi Pendekar Pulau Neraka
mengatakan hal itu tak
perlu. Dia menjelaskan bahwa sasaran Hantu Bu-
kit Angsa kali ini adalah dirinya.
"Lebih baik semua penduduk kampung bersia-
ga saja di rumahnya masing-masing untuk meng-
hindari korban yang mungkin timbul. Saya sendiri
akan berangkat ke Pulau Angsa..." lanjut Bayu mengakhiri kata-katanya.
"Tapi Tuan Pendekar, kita tak tahu apa yang
mereka rencanakan saat ini" Orang-orang Hantu
Bukit Angsa rakus dan haus darah. Mana mung-
kin mereka cuma mengurusi Tuan seorang kalau
kesempatan untuk melakukan perampokan dan
pembunuhan ada di depan mata mereka," sahut
kepala Desa. Bayu berpikir sejenak. Kata-kata Kepala Desa
itu ada benarnya. Mereka tak tahu apakah orang-
orang itu akan datang lagi atau tidak. Kalau tak
ada yang berjaga-jaga, justru korban akan jatuh
lebih banyak sebab tak ada yang membunyikan
kentongan untuk memberitahu yang lain agar me-
nyelamatkan diri mereka masing-masing.
"Ya, ya... boleh juga," kata Bayu menganggukkan kepala. "Cuma pilihlah pemuda-
pemuda yang kuat dan berani."
Setelah mengatur segalanya, Kepala Desa dan
yang lainnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan
Bayu masih tetap di kedai bersama dengan Ki
Dharmasutra dan muridnya yang sedang tak ber-
daya karena totokan.
*** "Apa yang akan Kisanak lakukan sekarang?"
tanya Pendekar Pulau Neraka pelan.
Ki Dharmasutra menatap sekilas pada murid-
nya. Kemudian katanya lirih, "Aku akan membawa muridku ke Padepokan lebih dulu.
Dia akan menerima hukuman atas perbuatannya selama ini
menjadi pengikut Hantu Bukit Angsa."
"Kurasa hal itu bisa dilakukan nanti, Kisanak.
Lagipula itu bukan kesalahannya..."
"Apa maksudmu?"
"Dia dibawah pengaruh Hantu Bukit Angsa.
Menurutku muridmu pastilah telah dicekoki ra-
muan untuk membuatnya lupa pada orang-orang
yang pernah dikenalnya. Dia cuma tunduk pada
perintah Hantu Bukit Angsa, yang menjadi maji-
kannya saat ini..."
"Ah, kenapa tak terpikirkan di otakku!" Ki Dharmasutra menepuk keningnya.
Kemudian dia meneliti sepasang mata muridnya beberapa saat
lamanya. "Apa yang kau lakukan, Ki?"
"Selama ini Jarot tak pernah menyembunyikan
sesuatu padaku, dan aku mengetahui hal itu lewat
bola matanya..."
"Apakah kini ada perubahan?"
"Ya, ya... betul katamu. Sepertinya saat ini pi-kirannya sedang kosong. Dia
dikendalikan oleh
hawa nafsunya sendiri yang dikontrol oleh Hantu
Bukit Angsa. Mungkin lewat ramuan yang telah
dicekoki ke dalam tubuhnya."
"Apakah kau bermaksud menyembuhkan-
nya?" "Tentu saja. Tapi aku tak yakin mampu mela-
kukannya..."
Bayu mencekat ke arah murid Ki Dharmasutra
sambil memeriksa kedua bola mata pemuda itu.
Yang dilihat cuma sepasang mata yang menyo-
rotkan dendam dan nafsu membunuh serta ke-
bencian. Bayu menggeleng-gelengkan kepala dan
kembali duduk di bangku.
"Sayang sekali, Kisanak... aku tak bisa mem-
bantumu..."
"Tak mengapa. Toh tidak semua orang bisa
melakukan segalanya, bukan" Dalam ilmu silat
kau mungkin hebat, tapi belum tentu di bidang
pengobatan..." sahut Ki Dharmasutra tersenyum kecil.
"Ah, anda cuma membesar-besarkan saja.
Aku cuma seorang pengembara biasa..."
"Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pulau
Neraka" Tokoh muda yang namanya belakangan
ini jadi buah bibir di kalangan persilatan?"
"Anda kembali melebih-lebihkan. Anda pun
cukup hebat... eh, baru sekarang kuingat!" Bayu tiba-tiba seperti ingat sesuatu
melihat senjata
yang dipegang orang tua itu. "Bukankah anda
yang bergelar Pendekar Bambu Kuning yang ter-
kenal itu?"
"Kau cukup jeli juga, sobat muda," sahut Ki Dharmasutra merubah panggilannya
agar kelihatan lebih akrab. "Tapi aku sungguh tak terkenal dibandingkan dengan
namamu." "Sudahlah, Kisanak. Apa gunanya kita membi-
carakan soal nama. Toh itu cuma pepesan kosong.
Yang penting adalah apa yang kita lakukan pada
orang lain..."
"Betul katamu. sobat muda. Kelihatannya kau
sudah letih. Tidurlah dulu, sebentar lagi malam
akan menjelang pagi. Kau tentu butuh tenaga ba-
ru untuk mengembalikan yang telah hilang..."
"Ya, ya..." Bayu menguap beberapa kali sambil merebahkan diri di bangku panjang.
Agaknya betul-betul mengantuk karena sebentar saja dia te-
lah terlelap. Bayu tersentak bangun ketika matahari mene-
rangi wajahnya. Pemuda itu menghalangi dengan
lengannya sambil bangkit perlahan. Setelah mera-
sa sedikit segar dia mencari-cari Ki Dharmasutra
dan juga muridnya. Tapi keduanya telah tak ada
di tempat itu. "Kisanak, kemana kalian?"
Dikelilinginya tempat itu, namun tak juga di-
temui keduanya. Bahkan di dalam kamar si pemi-
lik kedai pun tak seorang berhasil dijumpainya.
Bayu memeriksa beberapa keping uangnya yang
tersisa dan senjatanya. Semuanya masih utuh tak
kurang sedikitpun.
"Sialan orang tua itu! Pergi tak bilang-bilang.
Ah, kenapa pula aku harus mengurusinya segala.
Lebih baik langsung pergi saja ke Pulau Angsa,"
gumam Bayu sendiri sambil menggerutu kesal.
Namun ketika secara tak sengaja matanya melihat
tulisan di atas meja di dekatnya. Buru-buru diba-
canya. " Maaf kami pergi dulu ke Pulau Angsa tanpa
menunggu kau bangun. Muridku Jarot sebenar-
nya bisa kusembuhkan, tapi kami tak mau kedu-
luan olehmu sebab Hantu Bukit Angsa harus te-
rima balasan dariku juga."
Ki Dharmasutra "Orang tua curang!" kesal terdengar nada uca-
pan Bayu. "Kalau kalian mau mampus lebih dulu, silahkan saja. Aku toh tak merasa
dirugikan sedikitpun."
"Nggak! Ngguk!"
Tiren mengangguk-anggukkan kepala menden-
gar kata-kata Tuannya. Bayu melirik padanya ke-
mudian menaikkannya ke pundak sambil berlalu
dari tempat itu.
"Mari Tiren, kita berangkat secepatnya dari si-ni. Siapa tahu mereka sudah jadi
bangkai di sana!"
"Nguk! Nguuk!"
"He he...! Kau pun setuju dengan kata-kataku ya?"
* * * 7 Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh di singga-sananya ketika beberapa orang anak
buahnya ma- suk ke ruangan. Dua orang di antara mereka me-
mondong tubuh dua orang gadis dan meletakkan-
nya di depan penguasa Pulau Angsa itu. Sepasang
mata laki-laki berwajah buruk itu melotot penuh
nafsu. Lebih-lebih ketika melihat kulit halus mu-
lus dari gadis yang berwajah cantik dan berpa-
kaian merah. "Paduka Yang Mulia, gadis ini kami anggap dekat dengan si Pendekar Pulau Neraka.
Itulah se- babnya kami bawa ke sini." jelas salah seorang di antara mereka.
Orang itu bertubuh bongkok dengan rambut
panjang yang sebagian telah memutih. Sebelah
mata orang tua itu nampak buta dan terus berair.
Dari balik jubahnya yang lusuh berderet puluhan
pisau-pisau kecil.
"Jadi kau telah bertemu dengannya, Ki Sapan
Oyot?" "Sudah Yang Mulia..." sahut laki-laki tua yang dipanggil dengan nama Ki Sapan
Oyot itu. Sikapnya begitu hormat sekali. Seakan dia se
dang berhadapan dengan seorang raja agung.
"Bagaimana dengan Jarot dan Layo
Gangga?" "Sesuai dengan perintah Paduka, mereka
menghadangnya."
"Bagus! Bagus!" Ki Warangka Gering mengangguk senang. "Biarlah mereka mampus di
tangannya, toh tak lama lagi pendekar sok jago itu akan kita cincang. Dagingnya
akan kuberikan pada
ikan-ikan buat di dalam telaga." Dia tertawa-tawa senang penuh kegembiraan.
Setelah semua orang yang berada di ruangan
itu ikut-ikutan tertawa, si orang tua bertubuh
bungkuk itu kembali melanjutkan kata-katanya.
"Tapi si Pendekar Pulau Neraka saat itu tak
sendiri, Paduka....."
"Heh..."! Apa maksudmu?"
"Kami bertemu dengan seorang tua yang ke-
pandaiannya pun tak rendah, Paduka,..."
"Apa" Apakah telah kalian bereskan dia?"
"Be... belum Paduka. Mengingat perintah Pa-
duka hanya untuk memancing si Pendekar Pulau
Neraka saja, maka kami tak bermaksud melaya-
ninya sampai tuntas...."
"Hmm, bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Tak terlalu jelas, Yang Mulia. Hanya ia bersenjatakan sebilah pedang yang
sarungnya terbuat
dari bambu kuning."
"Hmm..." Ki Warangka Gering mengingat-ingat barang sejenak. "Tak salah. Pasti si
Pendekar Bambu Kuning...."
"Pendekar Bambu Kuning..." Ilmunya lumayan
hebat, Yang Mulia. Apakah ia tidak merupakan
ancaman bagi kita" Perintahkan sekali lagi pada
kami untuk menghabisi orang itu."
"Tak perlu. Aku merasa mampu mengatasinya.
Yang ku khawatirkan hanya si Pendekar Pulau Ne-
raka itu saja untuk saat ini."
"Apakah Yang Mulia yakin bahwa Pendekar
Pulau Neraka akan datang ke sini?"
"Apakah kau yakin bahwa ia akrab dengan ke-
dua gadis ini?" Ki Warangka Gering malah balik bertanya.
Orang tua bongkok yang dipanggil Ki Sapan
Oyot itu terdiam beberapa saat kemudian.


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana Ki Sapan Oyot?"
"Hamba tak pasti, Yang Mulia."
"Hmm, tak apa...."
"Paduka Yang Mulia..." seorang yang bertubuh besar dengan brewok lebat tiba-tiba
angkat bicara setelah melihat seorang di antara gadis-gadis itu.
"Ada apa Walukarnawa?"
"Rasanya hamba pernah melihat salah seorang
gadis ini sebelumnya?"
"Lalu?"
"Saat itu kami hendak merampok mereka, tapi
si Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan. Ka-
lau saat itu mereka bisa berada berdua tentu hu-
bungan mereka sekarang menjadi dekat."
"Gadis yang mana?"
Si brewok Walukarnawa menunjuk salah seo-
rang gadis yang berkulit sawo matang dan berwa-
jah manis. Wajah Ki Warangka Gering seketika
menyeringai. "Bawa dia ke kamar!" perintah penguasa Pulau Angsa itu.
"Segera, Yang Mulia!" sahut salah seorang pengawalnya sambil membawa gadis yang
dimaksud itu ke dalam kamar Ki Warangka Gering alias si
Hantu Bukit Angsa.
Semua orang yang berada di ruangan itu men-
gerti bahwa Ki Warangka Gering bermaksud men-
gerjai wanita itu. Namun yang membuat mereka
tak habis pikir, kenapa ia bukan memilih gadis
yang lebih cantik.
"La... lalu gadis yang satu ini akan kita apakan Yang Mulia?" tanya Ki Sapan
Oyot. "He he he he...! Tenang sajalah. Dia pun nantinya akan mendapat bagian bila
waktunya tiba. Sementara ini kurung saja di ruang bawah."
"Baik, Yang Mulia!" sahut pengawalnya yang seorang lagi. Ia kemudian memondong
tubuh gadis berbaju merah itu dan membawanya ke ruang ba-
wah. "Kalian tentu bertanya-tanya kenapa aku me-
milih gadis itu lebih dulu, bukan?" tanya Ki Warangka Gering sambil tertawa
kecil. "Be... betul, Yang Mulia..." sahut mereka se-rempak.
Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh.
"Kalau Si Pendekar Pulau Neraka mengetahui
bahwa kekasihnya sudah ternoda tentu dia akan
lebih marah, dan orang yang sedang marah, akal-
nya tentu tak terkontrol. Saat itulah dia lebih mudah kita atasi," jelasnya.
Mendengar penjelasan itu semua yang hadir di
ruangan itu mengangguk-angguk kepala tanda
mengerti. "Wah, Yang Mulia betul-betul cerdik!" kata salah seorang anak buahnya yang duduk
tak begitu jauh dari singgasana.
"Ha ha ha ha...! Lor Sabrang, apakah kau suka
pada gadis tadi?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Tapi hamba tak bera-ni mendahului..." sahut pemuda yang
dipanggil Lor Sabrang itu.
"He he he...! Tentu saja kau akan mendapat
bagian, tapi setelah aku lebih dulu...."
"Terima kasih, Yang Mulia...."
"Nah, sekarang kembalilah kalian ke tempat
semula dan perketat penjagaan di sekitar istana
ini." "Baik Yang Mulia...!" sahut seluruh yang hadir.
Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat
itu bersamaan. Ki Warangka Gering sendiri setelah tempat itu
menjadi sepi, beranjak ke kamarnya sambil terke-
keh-kekeh kecil.
*** Sementara itu di tengah telaga Sarangan terli-
hat dua orang sedang mengayuh sebuah rakit
bambu. Yang seorang laki-laki tua berwajah gagah
dengan rambut telah memutih. Di tangannya ter-
genggam sebilah pedang dengan warangka terbuat
dari bambu kuning. Di sebelahnya terlihat seorang pemuda gagah dengan kumis
melintang. Sebatang
golok panjang nampak terselip di pinggang. Sepa-
sang matanya menatap lurus ke depan pada se-
buah Pulau yang bila terlihat dari atas berbentuk seperti angsa. Lama dia ter-
menung begitu, ketika si orang tua menegurnya dengan suara perlahan.
"Sudahlah Jarot. Semua itu kau lakukan tanpa sadar...."
Pemuda itu memalingkan wajah dan menatap
orang tua yang tak lain dari gurunya sendiri. Ke-
mudian ia duduk perlahan.
"Aku akan membalasnya meski dengan taru-
han nyawa, Eyang...."
"Ya, ya... aku tahu apa yang kau rasakan saat ini...."
"Ini betul-betul telah memalukan nama baik
Guru. Ah, aku memang murid yang tak bergu-
na...." "Jangan berkata begitu, Jarot. Semuanya kini telah berlalu."
"Tapi dari semula seharusnya aku sudah tahu
bahwa orang itu bermaksud jahat. Rasanya lebih
baik saat itu aku mati daripada menanggung aib
begini." "Bukankah kau akan menebusnya kini" Nah,
jangan dipersoalkan lagi hal itu. Walaupun kita
harus mati, tapi setidaknya niat kita di dengar
oleh Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan segala
dosa-dosamu diampuni."
Keduanya terdiam beberapa saat lamanya. Ra-
kit mulai mendekat ke arah Pulau. Sekitar sepu-
luh tombak dari tepi daratan terlihat beberapa
buah tonggak bambu. Ki Dharmasutra mulai curi-
ga. Penglihatannya yang tajam menatap lurus ke
bawah permukaan air. Tonggak itu ternyata meru-
pakan tiang-tiang pancang dari deretan pagar
bambu yang tingginya tiga jengkal di bawah per-
mukaan air. Pagar itu terus melingkar seolah
mengelilingi Pulau. Ki Dharmasutra pun melihat
banyak sekali ikan sebesar batang kelapa yang be-
renang hilir mudik di dekat rakit mereka.
"Jarot, tempat ini mencurigakan sekali. Apa-
kah ada sesuatu yang kau ingat" Ikan-ikan ini
nampaknya bukan ikan sembarangan...."
Jarot menatap tajam ke bawah air sambil
mengingat-ingat sesuatu.
"Entahlah, Eyang. Tapi rasa-rasanya ada
bayangan di ingatanku tentang kejadian beberapa
hari yang lalu. Temanku dibuang didekat sini dan
ketika itu juga ia menjerit-jerit. Air telaga sesaat berwarna merah darah...."
"Hmm, ikan-ikan buas...!" desis Ki Dharmasutra waspada.
Pada saat itu juga dari tepi telaga berjejer be-
berapa orang dengan sikap menunggu kedatangan
mereka. Jarot menggeram dengan wajah garang.
"Eyang, agaknya mereka telah mengetahui ke-
hadiran kita."
"Bagus! Itu akan lebih baik lagi."
Ki Dharmasutra bersiap-siap sambil meng-
genggam erat pedang di tangannya. Sorot matanya
terlihat mantap. Sekilas dilihatnya beberapa tonggak bambu lagi yang merupakan
sandaran pagar di bawah permukaan air. Itu tentu batas kurun-
gan tiga tombak dari tepi telaga.
Baru saja rakit mereka berada di atas pagar
bambu itu, sekonyong-konyong melesat beberapa
orang dari daratan dengan senjata terhunus.
"Hiyaa...!"
"Siap Jarot!"
"Siap Eyang!" sahut Jarot sambil mencabut goloknya.
Dua orang pertama yang hampir menjejakkan
kaki di atas rakit itu mengayunkan senjata mere-
ka. Yang seorang memegang sepasang trisula dan
seorang lagi bersenjatakan pedang pendek. Ki
Dharmasutra beserta muridnya langsung memba-
batkan senjata mereka.
"Sreeet!"
"Trang!"
"Haiiit!"
Yang memakai pedang pendek terkejut ka-get
melihat wajah Jarot hingga untuk sesaat dia tak
bersiaga. Dengan mudah Jarot menangkis lalu men-
gayunkan kaki menendang perut lawan. Orang itu
terjengkang dan tercebur ke air. Saat itu juga air telaga berkecipak ketika
beberapa ikan menyerbu
ke arahnya. "Aaaa...!"
Air telaga memerah ketika orang itu menjerit
keras. Tubuhnya tenggelam ke dasar telaga tanpa
secuil pun tersisa dari tubuhnya. Jarot pun terpa-na melihat itu. Dalam
bayangannya pasti lawan-
nya tadi tak menyangka bahwa yang di atas rakit
itu adalah orang yang termasuk dalam jajaran
tangan kanan Hantu Bukit Angsa, sehingga ia tak
berani meneruskan serangan. Akhirnya ia sendiri
yang mesti binasa di mulut ikan-ikan buas yang
sengaja dipelihara Hantu Bukit Angsa.
Sementara itu dengan tak mengalami ke-
sulitan Ki Dhamasutra menangkis serangan trisu-
la lawan dan menyentakkannya ke atas. Lawan
terpekik nyaring pada saat itu juga kaki si Pendekar Bambu Kuning menghantam
dada. "Aaaa...!"
Tubuhnya tercebur ke air telaga. Seperti te-
mannya yang pertama, ia pun menjadi santapan
hewan-hewan buas di dalam telaga itu.
Melihat kejadian itu orang-orang yang berdiri
di pinggir telaga tak ada yang berani lagi mencoba-coba untuk menyerang kedua
orang asing itu.
Agaknya mereka menunggu keduanya sampai di
daratan lebih dulu. Tapi Ki Dharmasutra dan Ja-
rot berpikiran lain.
"Siap Jarot" Kerahkan ilmu peringan tubuhmu
dalam sikap waspada dan menjaga segala ke-
mungkinan serangan lawan."
"Siap Eyang!"
"Bagus!"
"Hiyaaa...!"
Setelah memberi komando, tubuh keduanya
mencelat dari atas rakit itu dan bersalto beberapa kali di udara. Namun belum
lagi keduanya menjejakkan kaki, saat itu juga empat orang lawan langsung
mengejar dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Akh!"
Ki Dharmasutra dan Jarot betul-betul menga-
muk. Kedua senjata mereka berkelebat cepat dan
dibarengi tenaga dalam kuat. Dalam sekejapan sa-
ja dua orang menjerit keras ketika perut mereka
robek lebar dibabat golok dan pedang lawan. Dan
ketika keduanya kembali mengayunkan senjata,
dua orang teman lainnya menyusul ke akherat.
Yang seorang lehernya hampir putus, sedangkan
yang satu lagi jantungnya ditembus golok Jarot.
"Aaaa...!"
"Jarot!" bentak salah seorang lawan yang melihat kehadirannya. "Kenapa kau ke
sini?" Pemuda berkumis melintang itu menoleh. Seo-
rang laki-laki bertubuh besar dengan wajah bre-
wok nampak bertolak pinggang didekatnya.
"Siapa kau?" Jarot balas membentak.
"Kurang ajar! Kau tak mengenalku lagi setelah membelot dari junjungan kita"!"
"Junjungan siapa?"
*** "Keparat kau Jarot! Kau akan mampus di tan-
gan junjungan kita, paduka Yang Mulia Hantu
Bukit Angsa!"
"Huh, justru kedatanganku ke sini untuk me-
menggal kepala monyet busuk itu!" dengus Jarot.
Si brewok mendelik matanya mendengar kata-
kata itu. Dia bermaksud membentak kalau saja
seorang tua bungkuk tak langsung menyela niat-
nya. "Walukarnawa, siapa suruh kau debat omong dengan mereka"! Ayo, perintahkan
yang lain untuk memenggal kepala keduanya!"
"Baik, Ki Sapan Oyot!" sahut si brewok bernama Walukarnawa dengan patuh. Sekali
dia men- gacungkan tangan, maka belasan orang-orang
berbaju hitam dengan senjata golok langsung
mengurung keduanya. Kemudian tanpa dikoman-
do langsung menyerang dengan ganas.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trang! Trang!"
Kali ini si Pendekar Bambu Kuning beserta
muridnya agak sulit menjatuhkan lawan. Kepan-
daian mereka cukup lumayan. Apalagi permainan
golok yang rapi dan teratur. Walau demikian pada
tiga jurus yang telah berlangsung, keduanya dapat mengukur kepandaian seorang
lawan tak lebih da-ri satu tingkat di bawah kepandaian Jarot. Dan
belasan orang yang mengeroyok dengan kepan-
daian segitu tentu saja cukup merepotkan. Buk-
tinya ketika memasuki jurus kelima, keduanya
terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang
mereka miliki. "Hiyaaa...!"
"Trang!"
"Cres! Crab!"
"Akh! Dalam satu kesempatan, ujung pedang Pende-


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kar Bambu Kuning berhasil merobek pinggang la-
wan. Pada saat yang bersamaan golok Jarot pun
membabat sebelah kaki lawannya hingga buntung.
Dan ketika kedua senjata mereka kembali berkele-
bat, dua orang korban lagi jatuh. Walau tak terlalu parah, paling tidak ujung
senjata mereka berhasil melukai lawan. Tapi saat itulah terdengar teriakan
seseorang yang langsung turun ke arena.
"Hiyaaa...!"
Melihat hal itu Jarot langsung melompat
menghadang. Dilihatnya lawan pun agaknya tak
terpaut jauh. "Trang!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Ketika kedua senjata mereka beradu, Jarot da-
pat merasakan bahwa tenaga dalam berimbang
dengannya. Tak heran bila ia sedikit merasakan
tangannya yang ngilu dan kesemutan. Tubuh ke-
duanya bergetar dan masing-masing melompat ke
belakang. Namun ketika kedua kakinya menjejak
di tanah, si pemuda bersenjatakan keris itu kem-
bali melompat menyerang Jarot dengan garang.
Jarot sendiri saat itu sedang menghadang bebera-
pa orang pengeroyoknya.
"Jarot, jaga dirimu!" teriak Ki Dharmasutra memperingatkan.
"Diam kau tua bangka! Kau jaga dirimu sendi-
ri! Hiyaaa...!" bentak Walukarnawa. Dulu dikenal sebagai Dedemit Rimba Iblis
sebelum menjadi kaki
tangan Hantu Bukit Angsa.
"Hmm, babi busuk! Kesinilah biar ku sembelih lehermu!" geram Ki Dharmasutra.
"Trang!"
"Wuuk!"
Pedangnya menangkis golok besar Walukarna-
wa dengan sengit. Dalam benturan itu Ki Dharma-
sutra dapat merasakan bahwa tenaga dalam lawan
sedikit berada di bawahnya. Seharusnya ia bisa
menekan dan soal menghabisi lawan tinggal me-
nunggu waktunya saja. Tapi kepandaian lawan
ternyata tidak terbatas sampai di situ saja, walau tubuhnya besar, gerakannya
cukup ringan. Dan ia
pun cukup cerdik untuk menyerang Ki Dharmasu-
tra pada saat yang lainnya sedang mengeroyok
orang tua itu. Sehingga keadaan Ki Dharmasutra
bukan menguntungkan, malah semakin memba-
hayakan dirinya sendiri.
"Ha ha ha...! Sebaiknya menyerah saja kau tua bangka dan bergabung dengan
junjungan kami!"
kata Walukarnawa sambil terkekeh. "Percuma kalian bertahan. Nyawamu sendiri di
ujung tanduk."
"Huh, tertawalah sepuasmu tapi jangan harap
aku sudi bekerja dengan iblis terkutuk seperti kalian!"
"Keras kepala! Kalau begitu kalian memilih
mati, baik!"
Walukarnawa menggeram. Gerakan golok be-
sar di tangannya semakin cepat menyerang Ki
Dharmasutra. Sebenarnya ia masih mampu bah-
kan mengungguli permainan golok lawan, sebab
ilmu pedangnya sendiri boleh disebut telah men-
capai taraf sempurna. Namun karena ia harus
membagi perhatian dengan pengeroyoknya yang
lain, permainan pedangnya jadi tak tertuju pada
Walukarnawa. Dan lawan yang memang memiliki
permainan ilmu golok yang tangguh semakin
mendesak saja pertahanan si Pendekar Bambu
Kuning. Hingga dalam satu kesempatan ujung go-
loknya berhasil menggores dada lawan.
"Sreeet! "Ukhh!"
Ki Dharmasutra mengeluh pelan. Namun tak
ada waktu untuk berlama-lama sebab para penge-
royoknya kembali membabatkan golok mereka.
Sedangkan serangan susulan Walukarnawa sema-
kin dahsyat saja dirasanya.
"Mampuslah kau tua bangka busuk!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Ki Dharmasutra menjerit keras ketika salah
satu ujung golok lawan menembus paha kirinya.
Namun pedangnya pun cepat membalas dan
membabat buntung lengan lawan.
"Crass!"
"Eyaaang...!" Jarot tersentak mendengar jeritan gurunya. Sayang keadaannya pun
tak lebih baik dari gurunya. Sekujur tubuhnya penuh dengan
goresan luka. Dan ketika perhatiannya terbagi ka-
rena mencemaskan keadaan gurunya, maka saat
itu pula lawan tangguhnya, si pemuda yang ber-
senjatakan keris itu dengan cepat menyabetkan
senjata. "Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Cress!"
Jarot menjerit kecil tertahan. Walau pun dia
berusaha untuk menghindar namun ujung keris
lawan lebih cepat lagi bergerak. Masih untung
hanya punggungnya yang tergores, sebab kalau
saja terlambat sedikit menghindar niscaya keris
lawan akan menghunjam di punggung kirinya me-
nembus ke jantung.
"Keparat...!" makinya. Sepasang matanya membesar dengan wajah penuh amarah. Tapi
dia tak punya waktu untuk berlama-lama, Begitu
menjejakkan kaki, pada saat itu pula pengeroyok-
nya yang lain menyerbu. Terpaksa ia memperta-
hankan selembar nyawanya lebih dulu mati-
matian. Nasib keduanya seperti telah ditentukan bah-
wa mereka tak akan bisa bertahan lama. Dalam
dua jurus di muka keduanya pasti tewas ditembus
senjata-senjata lawan.
* * * 8 Sebenarnya letak Pulau Angsa, bahkan Telaga
Sarangan sendiri Bayu masih asing. Namun sete-
lah bertanya ke sana ke mari akhirnya tempat itu
ditemuinya juga. Dengan bantuan sebatang kayu
yang agak lebar, Bayu menjadikannya sebagai pe-
rahu. Sambil mendayung ia mengerahkan tenaga
dalamnya hingga batang kayu itu berjalan dengan
cepat ke tengah pulau. Dan pandangannya yang
tajam melihat puluhan ikan-ikan besar berenang
didekatnya. Bahkan beberapa ekor ikan dengan
beraninya menggoyang-goyangkan batang kayu
itu. "Uts! Sialan!" maki Bayu sambil menjaga ke-seimbangan tubuhnya. Namun ikan-
ikan itu agaknya semakin berani saja. Melihat bahwa kayu
yang digunakan Bayu sebagai perahu mereka
goyangkan, makin banyak saja ikan-ikan itu men-
gerubutinya dan menggoyang-goyangkan batang
kayu itu. "Bangsat! Hih, terima bagianmu ikan sialan!"
"Prak!"
Kayu kecil di tangan Bayu yang digunakannya
sebagai pendayung diayunkan menghantam bebe-
rapa ekor ikan didekatnya. Suara kecipak air ber-
golak deras. Beberapa ekor menggelepar-gelepar
dengan luka yang cukup parah. Bau darah mereka
ternyata mengundang selera kawan-kawannya
yang lain untuk memalingkan perhatian. Dalam
sekejap ikan-ikan yang menjadi korban pendayung
Bayu menjadi korban kawan-kawannya sendiri.
"Dasar binatang!" maki Bayu sambil mengayuh batang kayu itu ke tepi telaga. Pada
jarak demikian telinganya mendengar suara pertarungan
yang diperkirakan tak jauh dari tepi telaga. Pen-
glihatannya yang tajam mampu memandangi siapa
yang bertarung itu.
"Astaga, si Pendekar Bambu Kuning dan mu-
ridnya!" Melihat itu tangannya lebih cepat mengayuh.
Tiren yang sejak tadi melihat kebuasan ikan-ikan
di tempat itu, bergidik ngeri dan diam seribu ba-hasa di pundak tuannya itu.
"Hup!"
Bayu melompat ke daratan. Tak seorangpun
yang memperhatikannya. Dilihatnya pada saat itu
Ki Dharmasutra serta muridnya dalam keadaan
terdesak dan nyawa mereka di ujung tanduk.
Bayu mengibaskan tangannya. Detik itu juga
mendesing benda berwarna keperakan menerpa
para pengeroyok itu.
"Trak!"
"Cress!"
"Aaaa...!"
Semua yang berada di situ langsung mema-
lingkan muka. "Pendekar Pulau Neraka!" desis Ki Sapan Oyot yang lebih dulu mengenali senjata
Cakra Maut yang masih mendesing-desing mencari korban ba-
runya lagi. Sebelum senjata itu memakan korban
lebih banyak lagi, orang tua bongkok itu cepat bertindak.
"Clutak Anglira, bawa anak buahmu untuk
menyingkirkannya! Dan kau Walukarnawa ting-
galkan lawanmu dan bereskan pemuda itu."
Seorang bertubuh besar seperti Walukarnawa
langsung mengajak beberapa orang yang menge-
nakan pakaian kuning-kuning menghadang si
Pendekar Pulau Neraka. Orang inilah yang dipang-
gil Clutak Anglira. Dahinya botak dan sepasang
matanya juling. Di tangannya tergenggam seba-
tang tongkat terbuat dari baja hitam, dan ujung-
nya terlihat sebuah golok yang berukuran besar.
Orang ini dalam jajaran tangan Hantu Bukit Angsa
termasuk orang kedua setelah Ki Sapan Oyot.
"Hmm, kau rupanya yang bernama Pendekar
Pulau Neraka. Ingin kulihat sampai di mana kehe-
batan orang yang namanya menggetarkan rimba
persilatan belakangan ini," dengus Clutak Anglira.
Dia memang tak mengenal Bayu sebelumnya.
Orang ini adalah bekas perompak yang jarang be-
rada di daratan. Ketika melihat bahwa kepan-
daiannya cukup tinggi, maka Hantu Bukit Angsa
pun mengambilnya menjadi anak buah. Tentu saja
bukan dengan cara-cara baik-baik, melainkan
mengalahkannya dalam pertarungan, lalu mence-
kokinya dengan ramuan yang membuat orang lupa
akan segalanya selain patuh pada perintah Hantu
Bukit Angsa. "Anjing-anjing Hantu Bukit Angsa seperti ka-
lian memang sepatutnya mampus!" balas Bayu
sambil mengibaskan tangan kanannya sehingga
Cakra Mautnya yang tadi melayang kembali ke
pergelangan tangannya dengan cepat.
"Jangan banyak omong kau bocah. Terimalah
kematianmu!"
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi Clutak
Anglira bersama anak buahnya yang dibantu Wa-
lukarnawa langsung menyerang Bayu dengan ga-
nas dan bernafsu sekali. Tak heran bila mereka
bersikap demikian. Hantu Bukit Angsa memang
sangat menginginkan sekali kematian si Pendekar
Pulau Neraka. Dan bila mereka berhasil melaku-
kan itu agaknya bakti mereka akan lebih mulia
pada Hantu Bukit Angsa.
*** Sementara itu melihat lawan semakin berku-
rang, Ki Dharmasutra dan Jarot bangkit kembali
semangatnya. Lebih-lebih saat melihat kehadiran
Pendekar Pulau Neraka di tempat itu. Tapi kalau
berharap lawan mereka menjadi lemah, dugaan
mereka salah. Sebab begitu Walukarnawa dialih-
kan perhatiannya pada si Pendekar Pulau Neraka,
maka saat itu pula Ki Sapan Oyot memerintahkan
tokoh-tokoh lain yang masih termasuk dalam jaja-
ran tangan kanan Hantu Bukit Angsa untuk
menghabisi si Pendekar Bambu Kuning dan mu-
ridnya. Dan sebagai tangan kanan, sudah jelas
kepandaian mereka tak rendah.
Bayu sendiri mengetahui bahwa dia telah ber-
hadapan dengan orang-orangnya Hantu Bukit
Angsa, bertindak tak kepalang tanggung. Cakra
maut di tangannya melesat begitu tangan kanan-
nya terkibas ke atas. Beberapa orang pengeroyok-
nya menjadi korban dan tewas dengan cara yang
mengerikan. Tapi Cakra Maut itu terus mendesing
mencari korban selanjutnya selagi Bayu sibuk
menghindari serangan-serangan maut Clutak An-
glira dan Walukarnawa serta anak buahnya.
"Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Prak!"
"Aaaa...!"
Di antara kelebatan senjata lawan, kedua tan-
gannya masih sempat menghantamkan pukulan
mematikan yang membuat beberapa orang penge-
royoknya menjerit setinggi langit sambil berkelojotan. "Nguk! Nguuk!" Tiren pun
agaknya terangsang gairahnya untuk menghajar lawan melihat Bayu
sibuk bertarung dalam suasana yang ramai itu.


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia nemplok di kepala salah seorang dan mengo-
rek biji mata lawannya. Karuan saja orang itu
menjerit-jerit kesakitan. Begitu seorang temannya membabatkan pedang, Tiren
melompat cepat ke
kepala yang lain dan pedang itu terus menghan-
tam kening temannya tadi.
"Aaaa...!"
"Bagus, Tireen! Bagus!" puji Bayu sambil tertawa lebar melihat lawannya
menghajar kepala
temannya sendiri. Orang itu terkejut dan merasa
bersalah. Pada saat itu kaki kanan Bayu dengan
cepat menghajar dagunya. "Mampus!"
"Kraaak!"
"Aaaakh...!"
Tubuh orang itu terlempar sejauh tiga tombak
dengan rahang pecah. Dia cuma bisa menjerit ke-
cil, dan tiba di tanah dengan nyawa melayang. Ba-
tok kepalanya terkulai menandai tulang lehernya
yang patah. Sebentar saja di tempat itu terjadi banjir darah
hebat akibat amukan Pendekar Pulau Neraka dan
Cakra Mautnya. Hingga tinggal tersisa Walukar-
nawa dan Clutak Anglira yang masih penasaran.
"Ke sini babi-babi busuk! Biar ku sate tubuh
kalian yang buntal itu!" ejek Bayu.
"Keparat!" Clutak Anglira dan Walukarnawa menyerang berbarengan.
Saat itu juga Ki Sapan Oyot memerintahkan
orang-orang yang mengeroyok si Pendekar Bambu
Kuning dan muridnya agar membantu menghabisi
si Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat-keparat busuk! Majulah kalian se-
mua!" bentak Bayu garang. Tangan kanannya terkibas ke atas, dan Cakra Maut
kembali melesat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kali ini Bayu betul-betul memuncak amarah-
nya. Bukan saja ia merasa dirinya terancam hebat, namun saat itu juga Ki Sapan
Oyot mencari sela
untuk mengirim pisau-pisau beracunnya ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Tadinya Bayu tak mengira
bahwa pisau itu beracun. Refleknya bekerja hanya
untuk menghindari luka. Namun ketika beberapa
buah pisau itu menancap pada korban lain, reak-
sinya sungguh hebat. Orang itu berteriak-teriak
histeris. Sekujur tubuhnya memerah seperti kepit-
ing direbus dan dari mulutnya keluar busa ber-
campur liur berwarna kuning kehitaman. Orang
itu tewas beberapa saat kemudian.
"Dasar iblis keparat! Agaknya kalian ingin betul mencabut nyawaku. Hiyaaa...!"
Dengan mengerahkan tenaga dalam hampir
sepenuhnya, gerakan Bayu bukan saja cepat tapi
juga kuat. Desir angin tubuhnya berkelebat bukan
main hebatnya seperti sapuan angin badai topan.
Begitu juga halnya gerakan Cakra Maut yang se-
makin tak tertahankan oleh lawan-lawannya.
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
*** Tiga orang kembali menyusul temannya terke-
na hantaman tinju kanan dan tendangan Bayu.
Satu di perut hingga orang itu terangkat tinggi sa-tu tombak dengan darah
muncrat dari mulut. Dua
orang lagi masing-masing terkena hajaran di dada
hingga tulang rusuknya melesak ke dalam, dan si-
sanya di dada sebelah kiri hingga jantungnya pe-
cah dihimpit tulang rusuknya yang patah.
"Hiyaaa...!" Bayu mengibaskan tangan kanan, dan saat itu Cakra maut melesat ke
arah Walukarnawa. Orang itu berusaha menangkis dengan
golok besarnya.
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaakh!"
Tubuh tinggi besar itu sempoyongan sambil
mendekap dada. Golok besarnya patah menjadi
dua, dan Cakra Maut terus menghantam dada se-
belah kirinya hingga menembus punggung.
"Haiiit...!"
"Uts, ha...!"
Bayu cepat berkelit ketika ujung sebuah keris
di tangan seorang pemuda yang dianggapnya me-
miliki kepandaian lumayan nyaris menembus da-
da. Tangan kirinya cepat menangkap pergelangan
lengan lawan, dan tangan kanan balik menghajar
dada kiri pemuda itu.
"Begkh!"
"Akh...!"
Walau terlihat pelan sesungguhnya pukulan
itu mengandung tenaga dalam kuat. Pemuda itu
nampak tersedak menjerit tertahan. Tubuhnya
mencelat satu tombak dengan darah kental me-
muncrat dari mulutnya. Nyawanya tak tertolong
lagi setelah tubuh menggelepar-gelepar seperti
ayam dipotong. Dalam beberapa kejap saja terlihat sisa-sisa
anak buah Hantu Bukit Angsa tinggal beberapa
orang saja termasuk Clutak Anglira dan Ki Sapan
Oyot. Melihat itu Ki Sapan Oyot langsung turun
tangan menyerang Bayu. Tubuhnya melompat rin-
gan bagai seekor Walet menyambar kepala Pende-
kar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"
"Trak! Trak!"
Sambil melayang begitu Ki Sapan Oyot masih
sempat melepaskan pisau-pisau beracunnya. Na-
mun semuanya rontok dihantam Cakra maut Pen-
dekar Pulau Neraka. Ki Sapan Oyot menggeram
marah. Pada saat yang bersamaan permainan
tongkat Clutak Anglira semakin menggila saja me-
nyerang pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Bet!"
Untuk ke sekian kalinya Bayu berhasil meng-
hindar dari serangan lawan. Sambil menundukkan
kepala menghindari tamparan Ki Sapan Oyot, tu-
buhnya mencelat bagai seekor katak menghindari
sabetan tongkat Clutak Anglira dan langsung
menghantam tinju ke dada Ki Sapan Oyot.
"Plak! Plak!"
"Ughk...!"
Bayu tersentak kaget begitu merasakan tenaga
dalam lawan saat orang bongkok itu menangkis
serangannya. Tenaga dalamnya kuat dan belum
tentu berada di bawahnya. Tangannya bukan saja
kesemutan, tapi juga terasa ngilu.
Sementara itu melihat aksi si Pendekar Pulau
Neraka, Ki Dharmasutra dan Jarot, muridnya tak
mau tinggal diam. Mereka pun ikut menghajar la-
wan-lawan pemuda itu. Dan ketika lawan terakhir
tewas, keduanya langsung berhadapan dengan
Clutak Anglira sehingga Pendekar Pulau Neraka
merasa agak ringan menghadapi lawannya.
"Hmm, ternyata benar apa yang diberitakan
orang. Nama Pendekar Pulau Neraka bukan hanya
omong kosong belaka. Kau cukup berisi. Bocah!"
puji Ki Sapan Oyot jujur.
"Kau pun sungguh hebat, orang tua. Sayang
jalanmu sesat, kalau tidak aku akan senang sekali bersahabat denganmu."
"Kau tak akan mengerti apa-apa soal balas bu-di, beda denganku. Setitik budi
orang harus diba-
las meski nyawa taruhannya. Apalagi harus me-
mikul segunung budi orang lain... nyawaku bukan
apa-apa. Walau perintahnya bertentangan dengan
hatiku bukan masalah."
"Pada siapa kau berhutang budi" Pada Hantu
Bukit Angsa?"
"Betul. Dia pernah menolongku saat orang-
orang mengejek dan menganiayaku, dan mengaja-
riku ilmu silat. Budinya sebesar gunung. Nah, tak usah banyak omong lagi, Bocah.
Kau harus mati saat ini juga."
"Hiyaaa...!"
"Siiing!"
Beberapa buah pisau beracunnya kembali me-
lesat. Namun seperti tadi, rontok kembali dipapas Cakra Maut. Senjata itu terus
melesat menyerang
Ki Sapan Oyot. Tapi orang tua itu dapat menghin-
dar dengan gesit. Bahkan mampu balas menye-
rang Bayu. "Splak!"
"Uts!"
Tamparan tangan kanannya yang melayang ke
arah batok kepala pemuda itu ditangkis oleh Bayu
dengan tangan kanannya. Kembali Bayu merasa
tangannya linu. Namun demikian lawan masih
mampu melepaskan serangan berikutnya lewat
tangan kiri ke dada Bayu. Pendekar Pulau Neraka
memiringkan tubuh. Kaki kanannya terayun me-
nyapu perut lawan. Dengan beraninya Ki Sapan
Oyot memapaki dengan tangan kanannya meng-
hantam tulang kering. Bayu buru-buru menarik
kakinya dan berganti kaki kirinya yang menyapu
kepala si tua bongkok itu.
"Wuuut!"
"Haiiit...!"
Walau pun mampu menghindari serangan
Bayu, Ki Sapan Oyot perlahan-lahan agak kerepo-
tan juga karena Cakra Maut lawan selalu melesat
ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Sedikit saja
salah berkelit, niscaya tubuhnya akan robek di-
hantam senjata itu.
"Akh!"
Clutak Anglira menjerit ketika ujung pedang Ki
Dharmasutra berhasil menggores punggungnya.
Tapi di pihak mereka pun mendapat balasan kare-
na dengan tiba-tiba ujung tongkatnya yang meru-
pakan golok berhasil membabat sebelah kaki Jarot
yang terlambat menghindar.
"Aaaa...!"
"Tabahkan hatimu, Jarot! Jangan perlihatkan
pada mereka sedikit pun rasa gentar!" kata Ki Dharmasutra.
Jarot menggigit bibir menahan rasa sakit. Wa-
lau pun berkaki satu namun gerakannya masih
cukup gesit meski ia harus menggempos tenaga
lebih banyak agar tubuhnya enteng saat menye-
rang dan menghindar. Dan kali ini dilihatnya pula gerakan pedang gurunya semakin
menggila. Agaknya ia mulai menyadari bahwa gurunya mulai tak
memperhitungkan pertahanan diri lagi namun
mengerahkan segenap perhatiannya dalam penye-
rangan. Hal itu memang terlihat hebat, namun se-
kali mendapat balasan dari lawan, kecil kemung-
kinannya untuk tidak terluka.
*** Sementara itu pertarungan antara si Pendekar
Pulau Neraka dan Ki Sapan Oyot telah berlang-
sung pada puncaknya. Keduanya saling menge-
rahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuh-
kan lawan. Tapi melihat keadaan sebenarnya, Ki
Sapan Oyot boleh dibilang tak menguntungkan.
Selain berhadapan dengan Pendekar Pulau Nera-
ka, ia pun mesti memperhitungkan Cakra Maut
yang sejak awal tadi terus mengejarnya.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Bughk!"
"Hughk...!"
Dalam satu kesempatan Bayu kembali me-
ngibaskan tangan kanan, dan detik itu juga Cakra
Maut yang baru melekat ke pergelangan tangan-
nya, kembali melesat cepat menghantam leher Ki
Sapan Oyot tanpa diduga oleh lawan sama sekali.
Di belakangnya Bayu mengikuti dengan tangan
terkepal siap menghajar batok kepala lawan. Ki
Sapan Oyot berhasil menghindari Cakra Maut,
namun ia tak punya kesempatan mengelak dari
tinju kanan Bayu selain menangkisnya secara un-
tung-untungan. Namun secara tak disangka Bayu
menarik kembali tangan kanannya dan menghan-
tam tinju kiri ke dada lawan dengan telak. Ki Sa-
pan Oyot menjerit kecil. Tapi kaki kirinya sempat menghajar perut Bayu. Keduanya
terhuyung-huyung ke belakang dengan darah menetes di
ujung bibir. Pada saat itulah Cakra Maut yang pada seran-
gan pertama dapat dielakkan, berbalik menyerang
orang tua bongkok itu, dan dengan cepat me-
nyambar leher kembali.
"Cress!"
"Aaaa...!"
Ki Sapan Oyot cuma bisa menjerit tertahan ke-
tika batok kepalanya menggelinding. Tubuh tanpa
kepala itu meregang sesaat sebelum ambruk dan
tak bergerak lagi selamanya.
Tak berapa lama setelah itu terdengar jeritan
setinggi langit ketika ujung pedang Ki Dharmasu-
tra kembali merobek perut lawan. Jarot tak me-


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyia-nyiakan kesempatan itu. Goloknya langsung
menghunjam kejantung lawan.
"Crab!"
"Aaaa...!"
Clutak Anglira tumbang, sepasang matanya
melotot dan wajahnya mati penasaran. Ki Dhar-
masutra dan Jarot belum sempat menghela nafas
lega ketika satu bayangan menyambar ke arah
Pendekar Pulau Neraka.
"Tuan Pendekar, awas!" teriak Jarot mem-peringati.
Bayu yang saat itu sedang duduk untuk mene-
tralisir aliran darahnya yang sempat kacau, buru-
buru menggulingkan tubuh. Bayangan kecil yang
menyambar ternyata berasal dari seekor burung
jalak dengan bulu keemasan. Tapi detik itu juga
pendengarannya yang tajam merasakan desiran
angin halus kembali menyambar ke arahnya. Den-
gan sisa tenaganya Bayu mengibaskan tangan ka-
nannya, Cakra Maut kembali mendesing memapa-
ki serangan lawan.
"Wusss...!"
Serangkum angin kencang menerpa dan mem-
buat senjata maut itu tertahan beberapa saat la-
manya. Tapi saat itu juga tubuh Bayu melentik ke
belakang dan menarik pulang Cakra Mautnya.
Sesosok tubuh tinggi kurus berdiri tegak tak
jauh di depannya. Sepasang matanya lebar dan
besar dengan hidung pesek dan rambut pendek
yang kaku. Bibirnya tipis dan mulutnya lebar agak mancung. Orang itu tak
mengenakan baju hingga
terlihat tulang-tulang rusuknya yang bertonjolan.
Dia pun hanya mengenakan celana pendek lusuh.
Sementara burung jalak tadi telah bertenggcr di
pundaknya. "Hmm... jadi kaukah yang bergelar Pendekar
Pulau Neraka?" tanyanya dengan suara dingin.
"Begitulah. Apakah kau Hantu Bukit Angsa?"
"Ha ha ha...! Tak ada duanya Hantu Bukit
Angsa. Akulah orangnya. Sungguh hebat kepan-
daianmu, Bocah. Anak buahku habis sudah kau
bantai. Tapi kali ini tiba giliranmu untuk meleng-kapi jumlah mereka."
Selesai berkata demikian tubuh Hantu Bukit
Angsa melesat seringan kapas tertiup angin ke
arah Bayu. Bayu bersiaga penuh. Kalau saja Ki
Sapan Oyot memiliki ilmu tinggi, apalagi gurunya
ini, pikirnya. Berpikir begitu, Bayu tak bermaksud untuk memapaki serangan
lawan, melainkan berusaha menghindar. Tapi gerakan Hantu Bukit
Angsa betul-betul gila. Bayu belum sempat meng-
hindar, tangan kanan lawan telah terarah ke dada.
Mau tak mau si Pendekar Pulau Neraka terpaksa
menangkis serangan dengan telapak tangan ka-
nannya. "Plak!"
"Hughk!"
Bayu tersentak ke belakang dengan tubuh
sempoyongan. Pukulan lawan bukan saja mem-
buat tangannya linu, tapi juga seperti menghan-
tam dadanya dengan keras. Sudut bibirnya kem-
bali meneteskan darah kental. Wajah Bayu nam-
pak pucat menahan nyeri. Tapi pada saat itu juga
tubuh Hantu Bukit Angsa melesat kembali ke
arahnya dengan satu serangan mematikan.
"Hiyaaa...!"
Pada saat-saat yang kritis itu Ki Dharmasutra
nekat melompat menyerang Hantu Bukit Angsa
untuk menyelamatkan si Pendekar Pulau Neraka.
Padahal sebenarnya hal itu tak perlu sebab Bayu
telah mengibaskan tangan kanannya, dan detik itu
juga Cakra maut melesat ke arah lawan.
"Hup!"
"Prak!"
"Akh...!"
Dengan gerakan manis Hantu Bukit Angsa
mencelat ke atas menghindari sambaran Cakra
Maut, kemudian menukik tajam ke arah Ki Dhar-
masutra. Entah bagaimana ia melakukannya, tiba-
tiba saja pedang di tangan Pendekar Bambu Kun-
ing itu terpental entah ke mana. Sedang Ki Dhar-
masutra ambruk dengan leher patah dihantam la-
wan. "Eyaaang...!" jerit Jarot melihat keadaan itu.
Tanpa memikirkan keadaannya lagi tubuhnya
langsung mencelat ke arah Hantu Bukit Angsa
sambil membabatkan golok.
Pada saat yang bersamaan tubuh Bayu pun
mencelat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Buk! Buk!"
"Akh! Dua pukulan beruntun terdengar. Satu men-
darat di perut Jarot, dan satu lagi di paha kanan Bayu yang dilakukan Hantu
Bukit Angsa. Tapi
Bayu pun berhasil mengayunkan kaki kirinya ke
dada lawan. Ketiganya mengeluh kesakitan. Na-
mun yang menderita lebih parah adalah Jarot.
Pemuda itu terlempar dua tombak dan darah se-
gar keluar dari mulutnya. Dia menggelepar-gelepar dalam keadaan antara hidup dan
mati. Pukulan Hantu Bukit Angsa tadi rupanya cukup meremuk-
kan isi perutnya.
"Hup, yeaaaah...!"
Bayu kembali mengibaskan tangan kanannya.
Cakra Maut melesat ke arah Hantu Bukit Angsa
disusul dengan tubuhnya yang langsung mencelat
ke arah lawan. Tapi pada saat itu pula burung ja-
lak si Hantu Bukit Angsa menyambar ke arahnya.
Bayu terpaksa berkelit merasakan sambaran pa-
ruh hewan itu yang ganas.
"Nguk! Nguuk!"
"Bagus Tiren!" pujinya ketika melihat Tiren turun tangan membantunya. Tiren
memang tak bisa
terbang untuk mengejar burung itu, tapi ia cerdas dan tangkas, dan juga
bertenaga kuat. Diambilnya
kerikil-kerikil dan disambitnya ke arah burung itu berkali-kali agar tak
mengganggu Tuannya yang
sedang bertempur.
"Hati-hati, Tiren! Hewan itu beracun!"
"Nguk! Nguuk!"
Sementara itu sambaran Cakra Maut berhasil
dihindari Hantu Bukit Angsa. Dia sendiri langsung
memapaki serangan Bayu.
"Plak!"
"Hughk!"
Kembali pukulan mereka beradu, dan Bayu
semakin merasakan dadanya bertambah nyeri.
"Cress!"
"Akh!"
Kali ini Hantu Bukit Angsa menjerit kecil keti-
ka Cakra Maut berbalik menyerangnya kembali.
Agaknya ia pun merasakan nyeri di dada akibat
benturan tenaga dalam lewat pukulan tadi sehing-
ga gerakannya menjadi lamban.
"Hiyaaa...!"
Bayu mengibaskan tangan kanannya. Gerakan
Cakra Maut itu semakin gesit mengejar lawan.
"Cress! Cress!"
"Aaaa...!"
Hantu Bukit Angsa mengeluarkan jeritan pan-
jang agak tertahan. Ia cuma bisa menghindar se-
kali saja dari sambaran Cakra Maut itu. Ketika
benda itu berbalik menyambar perutnya hingga
robek, orang itu terpekik nyaring. Dan Cakra Maut berbalik menyambar lehernya
hingga putus. Ri-wayat Hantu Bukit Angsa tamat seketika!
Bayu menghela nafas lega. Cakra Maut itu te-
lah kembali di pergelangan tangannya. Ia merang-
kak pelan memeriksa keadaan Jarot. Tapi pemuda
itu ternyata sudah tewas. Kembali Bayu menghela
nafas pendek sebelum meninggalkan pulau itu
dengan langkah tertatih. Sekilas ia membalikkan
tubuh dan melihat tempat itu yang dipenuhi
mayat-mayat sekali lagi. Kemudian dia berbalik
dan tak menoleh lagi ke belakang.
"Tuan Pendekar...!" jerit seorang gadis berbaju merah berlari-lari kecil dari
arah depan pintu istana Hantu Bukit Angsa. Bayu tersentak kaget.
"Sekar Tanjung..." desisnya. "Ke mana Sekar Harum?" tanyanya ketika gadis itu
telah mendekat. "Dia... dia bunuh diri karena malu telah ternoda oleh Hantu
Bukit Angsa...."
"Astaga...."
Untuk sesaat Bayu termenung sendiri dengan
wajah geram. Namun melihat gadis itu muram dan
sedih, buru-buru dia membujuknya. Gadis itu
menumpahkan kesedihan hatinya di dada bidang
Pendekar Pulau Neraka sebelum mereka mening-
galkan tempat itu.
Di ujung sana matahari mulai tenggelam, dan
burung malam mulai keluar dari sarangnya. Esok
kembali muncul dan sembunyi, seperti dendam
dan kebencian, di dunia ini!
"Nguuk!" Tiren yang telah membinasakan lawannya mengangguk di pundak Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu menepuk-nepuk
kepala monyet kecil itu sambil tersenyum lebar.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Seruling Sakti 20 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Tembang Tantangan 8
^