Pencarian

Hantu Bukit Angsa 1

Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa Bagian 1


http://duniaabukeisel.blogspot.com
HANTU BUKIT ANGSA Oleh: Teguh S. Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak se-
bagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S. Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Hantu Bukit Angsa
https://www.facebook.com/pages/Duni
a-Abu-Keisel/511652568860978
1 Desa Kayu Agung yang terletak di kaki gu-
nung, terlihat aman dan tentram. Bukan hanya
itu, tetapi masyarakatnya juga hidup dalam kecu-
kupan. Tak heran bila kemiskinan jarang ditemui.
Rata-rata mereka hidup sebagai petani yang memi-
liki lahan luas milik sendiri. Jarang sekali panen mereka gagal. Di samping itu
gotong royong di antara mereka masih terasa erat.
Ki Pranata yang menjadi kepala desa, bukan
main bangga melihat keadaan warganya. Dia sen-
diri memang mendukung sebesar-besarnya bagi
kedamaian dan ketentraman masyarakat di tem-
pat itu, dan tak membiarkan sedikit pun anasir
keburukan menyebar di desanya. Maka tak heran,
jarang terlihat perselisihan di antara penduduk,
tengkulak yang mencoba menjerat petani, atau
pencuri-pencuri yang menggarong isi rumah. Ka-
rena bila hal itu terjadi, bukan hanya Ki Pranata yang bertindak, tapi seluruh
penduduk kampung
langsung bereaksi menentangnya.
Pagi belum lagi terlalu terang. Hawa dingin
masih menyelimuti, namun Desa Kayu Agung te-
lah ramai. Petani-petani yang membawa cangkul
menuju sawah dan ladang, serta perempuan-
perempuan yang beriringan ke pancuran untuk
mencuci merupakan pemandangan sehari-hari. Ki
Pranata berdiri di depan beranda rumah sambil
bercengkerama dengan burung perkututnya yang
berada dalam sangkar.
"Ctak! Ctak!"
"Kurrr...!"
"Ayo, manis. Pagi ini udara sejuk dan suasana begitu damai. Kenapa malah kau
enggan menunjukkan suaramu yang merdu?"
Burung perkutut yang sedang digodanya itu
terbang dari tempatnya bertengger ke atas dan ke
bawah. Kemudian menerjang-nerjang sangkar se-
perti menunjukkan kegelisahannya. Ki Pranata
coba mendiamkan sambil bersiul-siul dan menjen-
tikkan jarinya.
"Diamlah, Widuro. Kenapa kau" Apakah kau
lapar" Ah, tak mungkin. Makananmu masih ba-
nyak." Burung itu kembali bersuara. Tapi bagi Ki Pra-
nata yang terbiasa mendengar perkutut bersuara
indah, tentu saja merasa heran. Suara burung itu
sumbang, tidak nyaring dan lantang seperti biasa.
Seperti mengandung kesedihan. Tapi kesedihan
apa" Ki Pranata berpikir, mungkin karena perkutut
yang bernama Widuro itu kehilangan pasangannya
tiga hari yang lalu. Widuro termasuk salah seekor burung kesayangannya yang
memiliki suara yang
indah dan bulu halus mengkilap. Umurnya pun
sudah tua, hingga Ki Pranata bermaksud menjadi-
kannya hewan pemacak. Tapi Widuro tak mau
kawin, dia bahkan tak menyukai betinanya. Ki
Pranata telah mencoba lima ekor betina, tapi
hanya yang terakhir saja Widuro mau bermain-
main dan bersiul-siul. Itu pun tak lama karena ia cepat merasa bosan. Dan ketika
betinanya mati,
Widuro tak tampak sedih. Tak mungkin bila tiga
hari kemudian, yaitu pagi ini ia berduka.
"Diamlah, Widuro! Diam!" kata Ki Pranata kembali sambil mengibas-ngibaskan
tangannya ke dekat sangkar ketika burung itu makin bersikap
liar. "Huh, burung sial! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini?"
Ki Pranata baru saja menggerutu ketika ter-
dengar kentongan dari kejauhan. Beberapa saat
didengarkannya bunyi kentongan yang menanda-
kan adanya bahaya yang mengancam kampung
ini. Aneh" Sudah hampir sepuluh tahun lebih ia
menjadi kepala desa, belum pernah terdengar
bunyi kentongan itu sehingga membuatnya tak
cepat tanggap. "Jarot...!"
Seorang pemuda bertubuh sedang dengan ku-
mis melintang, tergopoh-gopoh menghampiri dari
arah samping. Rambutnya sepanjang leher dengan
ikat kepala lebar berwarna hitam, sama seperti
pakaiannya. Di pinggang terselip golok yang agak
panjang. Orang ini adalah tangan kalian Ki Prana-
ta, selain sebagai kepala keamanan desa.
"Iya, Ki!"
"Coba kau periksa bersama anak buahmu, apa
yang terjadi di sana. Kau dengar kentongan tadi?"
"Dengar, Ki."
"Bahaya apa kira-kira?"
"Ng... kurang tahu juga, Ki..." sahut Jarot sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya, sudahlah. Kau terbiasa tak bekerja penuh sebagai keamanan, karena kampung
kita ini bi-asanya aman. Nah, sekarang lakukan tugasmu.
Kalau ada maling, tangkap dan bawa ke sini untuk
diadili." "Siap, Ki."
Jarot segera berlalu mengumpulkan anak
buahnya yang sedang bermalas-malasan di se-
buah ruangan belakang rumah Ki Pranata. Wa-
laupun demikian, mereka langsung sigap begitu
Jarot memberi perintah. Jarot yang klemar-klemer
di hadapan Ki Pranata, kini terlihat galak dan be-rangasan. Wibawanya sebagai
pimpinan keama-
nan kampung terlihat jelas dalam keadaan begitu.
Namun baru saja mereka keluar, tiba-tiba...
"Siap-siap!" perintah Jarot.
Sepasang matanya yang tajam memper-
hatikan keadaan sekeliling rumah junjungannya
itu. Walau belum melihat, telinganya yang telah
terlatih jelas mendengar desir angin dari kelebatan sebuah bayangan yang
menghilang entah ke ma-na. Yang jelas menuju tempat kediaman junjun-
gannya. "Ada apa, Kang?" tanya seorang anak buahnya.
"Sssst!"
"Perampok?"
"Bukan. Nampaknya orang ini berilmu tinggi.
Kalaupun mau merampok, dia bukan perampok
picisan. Dari gerakannya saja dapat dibayangkan
kepandaian ilmu meringankan tubuhnya," jelas Jarot. "Kalian berjaga di samping
kiri dan kanan, sedangkan aku mau melapor pada Ki Pranata."
"Baik, Kang!"
Jarot sebenarnya bukan centeng biasa. Dia
murid seorang tokoh terkenal yang berilmu tinggi.
Keinginan sebenarnya pergi mengembara sambil
mengamalkan ilmu silat serta kepandaiannya bagi
orang banyak. Tapi Ki Pranata meminta untuk be-
kerja padanya. Hal ini tak mungkin bisa ditolak.
Lebih-lebih kedua orang tuanya terus mendorong.
Jarot tak sampai hati untuk tidak mengabulkan
permintaan mereka. Ki Pranata dulu telah banyak
sekali membantu kehidupan mereka yang morat-
marit sampai hidup berkecukupan seperti seka-
rang. Walaupun Ki Pranata lak pernah mengung-
kit-ungkit sedikit pun tentang balas jasa, tapi sebagai orang yang berperasaan,
tentu saja Jarot ta-hu membalas budi orang. Dan setelah memper-
timbangkan bahwa selama ini Ki Pranata terkenal
sebagai kepala desa yang cukup adil serta bijak-
sana, ia merasa lak ada salahnya untuk mencoba
lebih dulu. ** * "Ki Pranata...."
Ki Pranata menoleh. Tangannya masih menjen-
tik-jentik di dekat sangkar sambil bersiul-siul kecil. Perkutut bernama Widuro
di dalamnya mulai
diam sambil bertengger. Tapi hewan itu masih ti-
dak peduli pada tuannya.
"Kenapa belum kau periksa tanda bahaya tadi, Rot?" tanya Ki Pranata langsung.
"Anu, Ki...," sahut Jarot terputus.
"Anu kenapa?" tanya Ki Pranata mengulangi.
"Sepertinya ada orang asing yang berkeliaran di tempat ini, Ki," sahut Jarot
agak ditekan suaranya.
"Maksudmu?"
"Entahlah. Aku masih belum jelas. Tapi untuk berjaga-jaga dari kemungkinan yang
buruk, bagaimana sebaiknya, Ki" Apakah aku saja yang ber-
jaga di sini, sedangkan yang lainnya memeriksa
tanda bahaya itu?"
"Hmmm, ada orang asing...?" Ki Pranata berpikir sejenak. "Ya boleh juga. Suruh
saja mereka memeriksa, dan kau di sini."
"Baik, Ki!" sahut Jarot.
Dia kemudian memanggil seorang anak buah-
nya, tanpa melepaskan perhatian terhadap Ki Pra-
nata. "Balura, pimpin teman-temanmu untuk meme-
riksa kejadian apa yang menimpa desa ini. Kalau
bisa diatasi, itu lebih baik. Kalau tidak bisa, lapor pada aku secepatnya.
Mengerti?"
"Mengerti, Kang!"
"Nah, cepat kerjakan!"
"Baik, Kang."
Orang yang dipanggil Balura itu berlalu sambil
mengajak beberapa temannya dengan tergopoh-
gopoh. Lari mereka kencang, bukan seperti orang
kebanyakan. Kalau dahulu mereka hanya memiliki
ilmu silat kasar dan pasaran, tapi sejak Jarot yang menjadi pimpinan, ia tak
segan-segan memberikan
pelajaran ilmu silat yang dimilikinya kepada mere-ka. Orang-orang itu baru saja
berlalu, dan Jarot
berjalan pelan melangkah ke sebelah Ki Pranata
ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan dari
wuwungan rumah. Pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu cepat-cepat bersiaga melang-
kah ke depan Ki Pranata. Dilihatnya seorang laki-
laki bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata
lebar dan rambut pendek berdiri ke atas. Hidung-
nya pesek, dan mengenakan celana pendek tanpa
pakaian hingga terlihat tulang-tulang rusuknya
yang bertonjolan.
"Siapa kau...?" bentak Jarot lantang.
"He he he...! Kaukah yang menjadi pimpinan
keamanan desa ini?"
"Betul. Apa maksudmu mendatangi tempat ini
dengan cara seperti maling, dan siapa kau sebe-
narnya" Kalau punya niat buruk, sebaiknya cepat
berlalu sebelum kuseret seperti anjing!"
Laki-laki bertubuh tinggi kurus dan bermuka
buruk seperti jerangkong itu kembali tertawa terkekeh.
"He he he...! Sungguh besar nyalimu berkata
demikian padaku, Bocah. Tidak tahukah kau se-
dang berhadapan dengan siapa saat ini" Namaku
Warangka Gering dan orang-orang memberi ku ge-
lar Hantu Bukit Angsa. Gurumu sendiri belum
tentu berani selancang itu padaku."
"Hmmm, Hantu Bukit Angsa..." Baru kudengar
namamu sekarang. Nah, Kisanak apa keperluan-
mu datang ke sini?"
"He he he...! Kudengar juragan mu itu berharta banyak, sedangkan aku miskin.
Tolong kau katakan padanya aku ingin minta sedikit saja."
"Lancang sekali kau!" bentak Jarot. "Melihat caramu datang dengan tidak
semestinya menunjukkan bahwa kau berniat buruk. Tapi kalau kau
datang dengan cara baik-baik, Ki Pranata tentu
dengan senang hati memberinya."
"Sebentar Jarot..." potong Ki Pranata sambil berdiri tegak di samping pemuda
itu. Ditatapnya
orang asing itu dengan wajah ramah.
"Kisanak, kalau kau lapar, masuklah ke da-
lam. Dengan senang hati aku akan memberimu
makan. Dan bila kau memang betul miskin, aku
tak keberatan memberimu beberapa keping uang
perak." "Ha ha ha...! Kau tentu Kepala Desa yang der-mawan. Kalau demikian pasti tak
keberatan kalau
aku minta seluruh harta bendamu yang ada di
rumah ini," sahut Warangka Gering sambil bertolak pinggang.
Mendengar itu tentu saja Jarot naik pitam, dan
Ki Pranata merasa tak perlu lagi ia beramah ta-
mah dengan orang asing itu.
"Jarot, lebih baik kau usir pengemis tak tahu diri ini!" perintah Ki Pranata
sambil membalikkan tubuh bermaksud ke dalam.
"Baik, Ki!" sahut Jarot mantap.
Pemuda itu langsung melompat ke dekat orang
asing itu. Wajahnya menunjukkan kegarangan.
"Kisanak, pergilah kau dari sini. Cepat!"
"Ha ha ha...! Aku semakin suka saja melihat
sikapmu, Bocah. Tapi mengusirku tak semudah
apa yang kau bayangkan. Kalau kau bisa menga-
lahkan piaraan ku, boleh kau berbangga diri dan


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menepuk dada sambil berkata kau memiliki ke-
pandaian yang tak bisa dianggap rendah."
Setelah berkata begitu, Warangka Gering ber-
suit nyaring. Dalam sekejap saja melesat sebuah
benda berwarna keemasan dari balik rerimbunan
pohon dan langsung menyambar Jarot.
"Wuss!"
"Utfs!"
Jarot terkejut bukan main. Dia berpikir bahwa
itu mungkin adalah sebuah senjata rahasia yang
dilontarkan anak buah Warangka Gering. Namun
setelah dilihat dengan teliti ternyata lima seekor burung jalak yang memiliki
warna bulu kuning
keemasan. Burung jalak itu terus menyambar. Da-
lam satu pukulan tentu ia akan hancur tak ber-
bentuk, pikir Jarot.
"Wut!"
"Bet"
"Hup!"
Kembali Jarot dibuat terkejut. Bukan saja ja-
lak itu mampu menghindari pukulannya, tapi juga
dengan cepat membalas. Ia tak mau menanggung
resiko dengan membiarkan dirinya dipatok. Pada
serangan pertama tadi tercium bau busuk ber-
campur hawa panas dari paruh burung itu. Bisa
jadi hewan itu bukan burung biasa, melainkan bu-
rung yang telah terlatih dan memiliki racun ganas pada paruhnya.
"He he he...! Cuma segitukah kemampuan-mu"
Menghadapi seekor burung saja sudah kewala-
han," ejek Warangka Gering.
"Setan!" maki Jarot. "Jangan salahkan aku bila binatang keparat ini mampus di
tanganku!"
"Wut!"
"Hiyaaa...!"
"Prek!"
Burung jalak itu memekik kesakitan ketika se-
belah sayapnya terkena hantaman tangan kanan
Jarot. Tapi burung itu masih bisa terbang dan me-
lesat kembali menyerang lawan.
"Mampus kau binatang keparat!" teriak Jarot.
"Yeaaaah...!"
*** "Plak!" "Buk!"
Jarot merasa perutnya mau meledak menerima
tinju menggeledeg yang dilakukan lawan pada saat
ia bersiap mengerahkan tenaganya untuk meng-
hantam burung tadi. Agaknya Warangka Gering
merasakan bahwa Jarot itu bukanlah orang sem-
barangan. Gerakan tubuhnya yang ringan, serta
tenaganya yang kuat sudah pasti akan membuat
binatang peliharaannya mati. Untuk itulah ia me-
rasa perlu turun tangan. Walaupun Jarot menge-
tahui hal itu dan mencoba menangkis, namun la-
wan lebih cepat lagi bergerak.
"Manusia busuk! Kini kau mencari kelemahan
di saat aku tak siaga. Begitukah caramu mengha-
dapi lawan?" maki Jarot sambil menjejakkan kakinya dengan mantap dan mengusap
darah yang menetes di sudut bibirnya.
Ki Warangka Gering yang menyebut dirinya
sebagai Hantu Bukit Angsa itu terkekeh-kekeh
sambil bertolak pinggang. Namun belum lagi ia
berkata apa-apa, tiba-tiba muncul anak buah Ja-
rot di tempat itu. Semuanya memandang heran
pada orang asing berwajah menyeramkan ini. Na-
mun ketika menyaksikan darah yang menetes di
bibir Jarot, mengertilah mereka apa yang telah ter-
jadi. "Apakah perlu kami ringkus orang ini, Kang?"
tanya Balura yang merupakan tangan kanan Jarot
dengan wajah gemas.
"Dia bukan lawanmu, sebaiknya kalian lindun-
gi saja Ki Pranata dari bahaya. Oh ya, apa yang
terjadi di sana?"
"Kebakaran, Kang! Tapi pelakunya tak di-
temukan." "Sudah kalian atasi?"
"Sudah, Kang. Hanya..." Balura menundukkan kepalanya dengan wajah lesu.
"Hanya kenapa?"
"Kebakaran itu agaknya cuma pancingan bela-
ka, sebab begitu semua reda, timbul kepanikan
lain. Barang-barang berharga di rumah penduduk
hilang entah kemana..."
"Apa...?" sepasang alis Jarot terangkat tinggi.
Wajahnya terlihat bertambah garang. Dalam
keadaan demikian pandangannya tertuju penuh
kebencian terhadap Warangka Gering yang masih
memandangi mereka sambil tersenyum-senyum
kecil. "Hantu Bukit Angsa, tentu semua ini per-
buatanmu?" dengus Jarot geram.
"He he he he...! Kalau memang benar, kau mau apa?"
"Bedebah! Kembalikan semua barang-barang
itu, atau terpaksa aku akan mencincangmu!"
Jarot terlihat sengit. Tiba-tiba saja goloknya telah tergenggam di tangan.
Melihat lawan masih
cengar-cengir, amarahnya tak bisa tertahan lagi.
Dengan satu teriakan keras diserangnya orang
bertubuh tinggi kurus itu.
"Sret!"
"Hiyaaat...!"
Goloknya berkelebat ke seluruh tubuh lawan
dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata bi-
asa. Tapi Hantu Bukit Angsa masih sempat men-
decah menghindar dengan gerakan yang sangat
indah dan ringan sekali.
"Ck ck ck ck... bukan main. Orang sepertimu
lah yang pantas menjadi anak buahku. Ayo, se-
ranglah aku lebih cepat lagi! Cari semua bagian
tubuhku yang terlemah."
"Jangan banyak bicara kau, keparat! Kalau
bukan kau, biarlah aku yang mampus hari ini!"
bentak Jarot berang.
"Hiyaaa...!"
"Ah, kenapa kau begitu nekat" Dan siapa yang inginkan kematianmu" Aku justru
ingin agar kau mau bekerja sama denganku."
"Huh, jangan harap aku mau bekerjasama
dengan maling busuk sepertimu!"
"Hmmm, begitu" Kita lihat saja nanti..." terdengar dingin suara Warangka Gering.
Tiba-tiba ia berteriak nyaring hingga meng-
getarkan semua benda yang berada di tempat itu.
Beberapa orang anak buah Jarot tumbang dengan
darah mengucur lewat hidung, mata dan telinga.
Sebagian lagi yang memiliki tenaga dalam tinggi
berusaha menutup segala panca indra, namun
demikian lama kelamaan keadaan mereka nyaris
sama dengan teman-temannya yang lain
Ki Pranata sendiri sudah berguling-gulingan
sambil menjerit kesakitan. Balura, satu-satunya
anak buah Jarot yang mampu bertahan bermak-
sud menolong tuannya itu, tapi baru saja ia mele-
paskan konsentrasinya, saat itu pula pengaruh
lawan menghantam dirinya. Pemuda berusia seki-
tar dua puluh tahun lebih itu menjerit keras.
"Bedebah!" maki Jarot sambil menyilangkan
kedua tangannya.
Dia sendiri walau mampu mengatasi serangan
tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat penge-
rahan suara itu, tetap saja tak leluasa bergerak
untuk menyerang.
"Hiyaaaa...!"
"Tuk! Tuk!"
Sekali berkelebat, Hantu Bukit Angsa yang
mengetahui bahwa Jarot itu tak akan mampu me-
nangkis dari serangannya, langsung menotok
hingga tubuh Jarot ambruk tanpa daya. Sekali lagi ia bergerak, maka tubuh Balura
telah berada dalam kepitannya.
"Ha ha ha...! Aku memerlukan orang-orang ga-
gah seperti kalian untuk mewujudkan cita-citaku!"
Setelah puas tertawa, Warangka Gering itu se-
gera bersuit nyaring, tak berapa lama muncul se-
buah gerobak berukuran besar yang ditarik dua
ekor kuda. Dan saisnya seorang laki-laki tua den-
gan tubuh bungkuk dan memiliki punuk di pung-
gungnya. Rambutnya panjang telah memutih se-
bagian. Ketika wajahnya terangkat, terlihat sebe-
lah matanya buta dan terus mengeluarkan air.
Dan dari balik jubahnya yang lusuh berderet pu-
luhan pisau-pisau kecil di pinggangnya.
"Ki Sapan Oyot, angkut semua barang-barang
yang ada di dalam. Sementara dua orang ini biar
kubawa langsung," perintah Warangka Gering.
"Baik, Gusti..." sahut Ki Sapan Oyot itu dengan suara patuh.
Setelah berkata demikian, Warangka Gering
langsung berlalu sambil terkekeh-kekeh girang.
Dari angkasa terlihat seberkas sinar berwarna
kuning keemasan berasal dari burung jalaknya
yang mengikutinya dengan setia.
"He he he he...!"
* * * 2 Pemuda berambut gondrong dengan pakaian
terbuat dari kulit harimau itu berlari-lari kecil mengejar seekor monyet kecil
yang berada di depannya.
"Eee, kau betul-betul ingin berlomba lari denganku, heh?"
"Nguk! Nguk...!"
"Awas kau kalau dapat ya" Kau mesti menca-
rikan aku buah-buahan yang paling segar!" ancam pemuda itu sambil menggenjot
tubuhnya. Sebentar saja terlihat langkah kakinya cepat bukan
main seperti tidak menapak tanah saja layaknya.
"Nguk...!"
"Kena kau!"
Begitu jarak mereka dekat, dengan tiba-tiba
monyet kecil berbulu coklat itu dengan cepat me-
loncat ke atas, kemudian terus meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya.
"Sialan kau, Tiren! Pandai juga kau menghindar ya" Tapi kali ini jangan harap
kau bisa lolos dari kejaranku!"
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau
lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pulau Ne-
raka itu menggenjot tubuhnya ke atas pada se-
buah dahan yang diperkirakan akan dilalui oleh
monyet itu. Tapi monyet bernama Tiren itu ternya-
ta amat cerdik. Mengetahui dirinya dijaga, ia langsung mengalihkan tujuan dengan
melompat ke dahan yang lain. Tapi pada saat itu juga tubuh
Bayu melesat cepat menyambarnya.
"Tap!"
"Kaakh...!"
"Rasakan kau! Kau pikir gerakanmu sudah le-
bih gesit dibanding aku, ya" Nah, mau kemana
sekarang?" ejek Bayu sambil menggenggam eraterat ekor Tiren. Monyet kecil itu
berteriak-teriak seolah tak senang dirinya dihina demikian. Ekornya ditarik ke
atas sedang kepalanya terletak da-
lam posisi bawah. Lalu dengan seenaknya Bayu
membawanya berlari-larian dari satu dahan ke
dahan yang lain seperti dirinya tadi.
"Ayo, sekarang kau harus ku hukum. Seka-
rang perutku lapar, dan kau harus mencarikan ku
buah pisang dan papaya yang lezat!" perintah Bayu Hanggara sambil melepaskan
kembali Tiren. Tapi begitu dilepaskan, Tiren cepat berputar
dua kali dan melompat ke dahan yang lebih kecil
sebesar ekornya. Terlihat dahan itu bergoyang-
goyang dalam keadaan genting. Tapi Tiren malah
kembali berputar-putar sambil menepuk kedua
tangannya dengan mulut cengar-cengir seperti
mengejek Bayu. "Eee, kau pikir aku tak bisa mengejar di dahan itu ya" Awas kau kalau kena!"
Bayu Hanggara baru saja akan bergerak ketika
pendengarannya yang terlatih baik mendengar je-
ritan seseorang yang tak jauh dari tempatnya itu.
"Ouw, tolong...!"
"Heh..."! Apa itu...?"
Tanpa pikir panjang Bayu langsung menggen-
jot tubuhnya dan melesat cepat ke arah datangnya
sumber suara itu. Tak jauh di belakangnya Tiren
mengikuti lewat cabang-cabang pohon, bergelan-
tungan. Pada sebuah tempat yang tak jauh dari pinggi-
ran jalan terlihat seorang gadis dalam dekapan
seorang laki-laki kasar bertubuh besar. Kedua
tangan dan kakinya dipegangi oleh dua orang te-
mannya. Sementara tujuh orang lagi teman mere-
ka berdiri terkekeh-kekeh memperhatikan. Tak
jauh dari situ terlihat sebuah pedati yang ditarik seekor kerbau, dan seorang
laki-laki tua dengan
wajah dan tubuh berlumuran darah berteriak-
teriak agar orang-orang itu menghentikan perbua-
tan biadabnya terhadap gadis itu. Seorang dari
mereka nampak menindih leher si orang tua se-
perti mengancam, kalau saja dia berani bergerak
maka kaki itu siap mematahkan lehernya.
"Manusia-manusia keparat, hentikan perbua-
tan kalian!" bentak Bayu dengan wajah beringas menahan amarah.
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu me-
lompat, dan tangan kanannya menghantam ke de-
pan. Laki-laki yang menindihkan kakinya ke leher
orang tua itu terpekik kesakitan ketika tubuhnya
melayang sejauh tiga tombak.


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akh...!"
Bukan main kagetnya si Brewok yang sedang
menindih tubuh gadis itu. Sepasang matanya
nampak beringas, dan pelipisnya mengembung.
Ingin rasanya saat itu juga dirancahnya pemuda
berambut gondrong yang mengacau keasyikannya
tadi. "Siapa kau, bocah" Apakah kau sudah bosan
hidup, mengganggu kesenangan Walukarnawa, si
Dedemit Rimba Iblis?" bentak si Brewok garang.
"Hm, kaukah yang punya gelar dahsyat itu"
Pernah kudengar namamu..." sahut Bayu Hangga-ra dingin.
Mendengar itu si Brewok bernama Walukar-
nawa terbahak-bahak kegirangan. Dalam pikiran-
nya tentulah pemuda itu mulai ciut nyalinya men-
dengar nama besar Dedemit Rimba Iblis.
"Ha ha ha...! Bagus, kau telah mengenal nama besarku. Nah, sekarang aku sedang
enggan membunuh orang. Kuampuni jiwamu itu. Tapi cepat
pergi dari hadapanku!"
"Tentu saja aku akan pergi, tapi bersama gadis itu dan orang tua yang kalian
aniaya, serta pedati dan isinya," sahut Bayu kembali dengan suara lebih kalem.
Sepasang mata Walukarnawa yang semakin
bertambah seram ketika mendengar kata-kata
Bayu. "Wueeeh, rupanya kau bosan hidup, bocah!
Mampuslah kau!" bentaknya sambil memberi pe-
rintah pada anak buahnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang
anak buahnya langsung mencabut golok besar di
punggung mereka dan menyerang Pendekar Pulau
Neraka itu dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Yeaaah...!"
"Plak!"
"Buk!"
Ketiga orang menjerit kesakitan dengan tubuh
terpental. Dari mulut mereka keluar darah segar,
sedangkan senjata mereka terpental entah kema-
na. Walukarnawa terkejut bukan main. Dalam se-
gebrakan saja ketiga anak buahnya dibuat tak
berdaya. "Siapa kau sebenarnya?"
"Hmm, namaku tak perlu kau tahu, tapi yang
perlu kau tahu adalah apa yang kuinginkan. Cepat
lakukan atau aku bertindak lebih keras pada ka-
lian?" "Keparat!" geram Walukarnawa sambil membuang ludah. "Kau pikir sedang berhadapan
dengan siapa saat ini" Huh, segala bocah bau kencur
mau berlagak di hadapanku. Serang!"
Sisa-sisa anak buahnya langsung menerjang
ke arah Bayu Hanggara dengan wajah garang.
Sebenarnya sudah sejak tadi mereka ingin
menghajar Bayu, tapi tak seorang pun berani ber-
tindak kalau belum diberi perintah oleh ketuanya.
Walukarnawa sendiri angin-anginan dan sukar di-
tebak niatnya. Terkadang ia berbaikan dengan
musuh, dan tak segan-segan menghukum bahkan
membunuh anak buahnya sendiri. Begitu pun se-
baliknya. "Hiyaaa...!"
*** Bayu Hanggara geram bukan main. Dan nam-
paknya ia tak mau berlama-lama bermain dengan
mereka. Secepatnya ia mengibaskan tangan kanan
maka saat itu juga melesat secercah sinar kepera-
kan menghantam lawan sambil berputar-putar.
"Wuss!"
"Aaaa...!"
Tiga orang ambruk dengan dada bolong di-
hantam Cakra Maut yang dilepaskan Bayu. Se-
mentara detik berikutnya saat benda itu kembali
berputar, tiga orang lagi menjerit nyaring sambil menggelepar-gelepar kesakitan.
Dada mereka bolong seperti teman-temannya yang pertama dan
darah mengucur deras dari lubang itu.
Walukarnawa kaget bukan kepalang begitu
melihat benda yang dilepaskan Bayu.
"Hah, Cakra Maut" Apakah kau Pendekar Pu-
lau Neraka"!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangannya ke
atas, dan Cakra Maut yang sedang berputar-putar
mengincar lawan berikutnya kembali pulang dan
menempel erat di tangan kanannya. Bayu men-
dengus sinis. "Benar apa yang kau katakan tadi. Nah, pergilah kalian cepat dan jangan paksa
aku untuk me- numpahkan darah lagi!"
"Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, sudah
lama kudengar nama besarmu. Kalau kau kira
aku takut, kau salah besar. Justru aku ingin seka-li menjajal ilmu silatmu yang
menurut khabar bu-
rung tiada terkira hebatnya," sahut Walakarnawa sambil memberi isyarat pada
salah seorang anak
buahnya. Dua buah golok besar dilemparkan ke
arahnya. Laki-laki brewok itu langsung membuang
warangkanya sehingga terlihat dua buah golok be-
sar yang tajam berkilat-kilat.
"Apa maksudmu, Walukarnawa?"
"Tidak tahukah kau" Aku menantangmu Pen-
dekar Pulau Neraka. Kalau betul kehebatanmu se-
perti yang dikhabarkan banyak orang, aku rela
berlalu dari tempat ini tanpa kau minta sekali-
pun." "Hmm, jangan memaksaku untuk bertindak
keras, sobat...."
Namun sebagai jawabannya tubuh besar itu
melompat ringan sambil menghantamkan sepa-
sang golok besarnya ke arah Bayu Hanggara.
Pemuda itu masih tak bergeming. Tiren yang
sejak tadi memperhatikan, menjerit keras sambil
menutup kedua matanya dengan tangan. Semua
orang yang melihat kejadian itu pun sama terte-
gun. Benarkah pemuda itu Pendekar Pulau Neraka
yang terkenal kosen" Tapi kenapa saat ini begitu
pasrah" Ah, dia pasti terbunuh di tangan Walu-
karnawa kalau tak berusaha menghindar, pikir si
orang tua pemilik pedati yang mendekap putrinya
erat-erat. "Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Bedebah! Terima seranganku berikut ini!"
bentak Walukarnawa.
Sejengkal lagi kedua golok lawan akan meren-
cah tubuhnya menjadi beberapa potong, Bayu me-
lesat ke belakang. Tubuhnya ringan seperti kapas
saja layaknya. Begitu kakinya menjejak tanah,
saat itu pula tubuhnya melesat menerkam lawan.
"Hiyaaa...!"
"Sret!"
"Bet!"
Sepasang golok besar di tangan Walukarnawa
bukan main hebatnya. Berkelebat dengan ringan
seperti menyapu seluruh permukaan kulit Bayu.
Tapi Bayu dengan mudahnya menghindar. Namun
untuk serangan berikutnya terasa lebih cepat dan
kuat. Pendekar Pulau Neraka mulai merasakan te-
kanan lawan. Bisa dipastikan kalau ia terus ber-
tahan maka dalam tiga jurus di muka senjata la-
wan akan melukainya. Dengan geram ia berteriak
nyaring sambil melompat ke belakang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan
kanannya ke atas, dan saat itu juga melesat Cakra Maut ke arah lawan. Sedangkan
dia sendiri begitu
menjejakkan kaki, kembali berkelebat menyerang
Walukarnawa. "Trak!"
"Bukh!"
"Akh!"
Walukarnawa menjerit tertahan ketika da-
danya kena hajar pukulan tangan kiri Bayu. se-
dangkan goloknya patah dua terkena sambaran
Cakra Maut. Belum lagi sempat menjejakkan kaki
ke tanah, Cakra Maut itu kembali berputar meng-
hantamnya tanpa bisa ditahan. Dan....
"Bress!"
"Aaaa...!"
Walukarnawa alias Dedemit Rimba Iblis menje-
rit keras ketika Cakra Maut itu menyambar ping-
gangnya. Darah mengucur deras dari luka yang
terkuak lebar. Tubuhnya sempoyongan untuk be-
berapa saat kemudian dengan mata mendelik le-
bar sebelum akhirnya ambruk ke tanah.
Melihat keadaan itu sisa-sisa anak buahnya
lari ketakutan. Bayu membiarkan saja dan me-
langkah pelan ke arah orangtua beserta anak ga-
disnya yang tadi nyaris kehilangan kehormatan-
nya. Si orang tua memberi hormat berkali-kali pa-
da Bayu. "Ah, terima kasih, Den. Terima kasih. Kalau tidak ada Aden entah bagaimana nasib
kami." "Sudahlah, Pak. Menjadi kewajiban manusia
untuk saling tolong menolong dengan sesamanya.
Kalau boleh tahu, siapakah bapak ini sebenarnya
dan mau kemana tujuannya?" tanya Bayu ramah.
"Namaku Indrapura, dan ini putri ku Sekar
Harum. Kami bermaksud mengungsi karena di
kampung kami terjadi suatu musibah besar."
"Musibah" Musibah apa, Pak?"
"Orang-orang Hantu Bukit Angsa merampok
segala harta benda penduduk dan tak segan-segan
membunuh mereka yang menghalangi. Mereka ju-
ga menculik anak-anak serta pemuda-pemuda ter-
tentu." "Hantu Bukit Angsa" Siapa mereka?" tanya Bayu heran. Selama ini nama itu baru
didengarnya, dan sepak terjang mereka belum banyak di-
ketahuinya. "Entahlah. Tak seorang pun yang mengetahui
siapa mereka sebenarnya. Tapi mereka kejam dan
amat buas, bahkan tak berperikemanusiaan sama
sekali." Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepa-
lanya berkali-kali sambil bergumam pelan.
"Hem, Hantu Bukit Angsa...?"
"Kalau tak keberatan, bolehkan kami me-
ngetahui siapa sebenarnya Kisanak ini" Apakah
kau yang dikenal Pendekar masyhur yang dika-
gumi di rimba persilatan bergelar Pendekar Pulau
Neraka?" "Begitulah, orang-orang memanggilku, Pak.
Namaku Bayu Hanggara. Nah, karena tak ada per-
soalan lagi aku mohon pamit dulu," sahut Bayu.
Lalu berlalu dengan cepat setelah mengajak Tiren, monyet kecil sahabatnya itu.
Sepeninggalnya Bayu, si orang tua itu melan-
jutkan perjalanan bersama dengan anak gadisnya.
"Ayah, apakah kita akan bertemu lagi dengan
pemuda itu?" tanya putrinya.
Orang tua itu melirik, kemudian tersenyum
kecil. "Pendekar seperti dia sulit untuk menetap di suatu tempat, Nak. Tapi siapa tahu
suatu saat kita akan bertemu lagi dengannya. Kenapa kau tanya-kan hal itu" Ayah
lihat tadi kau cuma diam dan
menundukkan kepala."
"Ah, tidak apa-apa...."
"Kau suka padanya...?"
"Ayah...."
Orang tua itu terkekeh-kekeh melihat wajah
putrinya bersemu merah sambil memalingkan
muka. Tak berapa lama mereka berlalu, beberapa so-
sok bayangan tiba di tempat itu. Wajah mereka
terlihat kaku dan pandangan matanya kosong ke
depan. Salah seorang yang berusia sekitar dua pu-
luh lima tahun dengan pakaian hitam dan kumis
melintang memeriksa salah seorang yang tak lain
dari Walukarnawa.
"Detak jantungnya masih terasa, cepat bawa
dia. Junjungan kita pasti suka. Dia memenuhi
syarat untuk menjadi pengikutnya."
"Baik!"
Orang-orang itu kemudian membawa tubuh
Walukarnawa, dan langsung melesat cepat dari
tempat itu. Dari gerakan mereka yang ringan da-
pat dipastikan bahwa orang-orang itu memiliki ke-
pandaian yang tinggi.
* * * 3 Siang ini terasa panas sekali. Matahari seolah
bersinar garang membakar isi bumi. Bayu Hang-
gara berkali-kali mendesah kesal sambil menyeka
keringat. Monyet kecil, Tiren yang bertengger di
bahunya berteriak-teriak kecil sambil sesekali ber-pindah tempat dari bahu yang
kiri ke bahu yang
kanan. "Tenanglah, Tiren. Aku tahu kau haus. Se-
bentar lagi kita akan tiba di sebuah desa. Lalu kita akan minum sepuas-puasnya."
"Nguk! Nguk!"
"Ya. ya. Nah, kau lihat di ujung sana" Ayo bersiap, kita akan menuju ke sana
secepatnya," kata Bayu lagi sambil berlari cepat.


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak berapa lama kemudian mereka tiba di se-
buah desa yang cukup ramai. Bayu melirik ke kiri
kanan mencari sebuah kedai nasi. Setelah yang
dicari ditemukannya, Bayu langsung memesan
beberapa bumbung tuak. Diberikannya dua bum-
bung tuak kepada sahabatnya, Tiren dan langsung
menenggaknya dengan rakus.
"Hi hi hi hi...! Mudah-mudahan kau tidak ma-
buk, Tiren. Kalau sampai kau mabuk akan lucu di
lihat." "Nguk! Nguk!" Tiren menganggukkan kepala kemudian menyeringai lebar. Kedua
tangannya menepuk-nepuk perutnya sendiri.
"Oh, kau lapar" Ya, sebentar lagi pesanan kita akan diantar," sahut Bayu
mengerti isyarat yang diberikan Tiren.
Sambil menunggu pesanannya, Bayu melem-
par pandang ke seluruh kedai. Hari ini terlihat banyak sekali pengunjung. Mereka
terdiri dari berbagai kalangan. Diantaranya terdapat beberapa
orang yang dilihat dari potongannya pastilah
orang-orang persilatan.
Lima orang yang berada di dekatnya nampak
bercerita dengan mimik yang serius sekali.
"Betul Ming! Orang-orang Hantu Bukit Angsa
itu kini merajalela di mana-mana. Baru kemarin
mereka menghancurkan Perguruan Kipas Sakti.
Sebelumnya Perguruan Bulan Sabit dibantai oleh
mereka tanpa perikemanusiaan," kata seorang
yang bertubuh kurus.
"Memangnya mereka dari mana?"
"Entahlah. Tapi ada yang mengatakan mereka
berasal dari sebuah pulau di tengah telaga."
"Telaga apa?"
"Telaga Sorangan. Letaknya di sebelah selatan Gunung Kanjengan.
Teman-temannya mengangguk-anggukkan ke-
pala dengan wajah takjub bercampur ngeri.
"Khabarnya banyak tokoh-tokoh persilatan
yang bergabung dengan mereka, ya?" tanya salah seorang temannya.
"Hah, apa betul?" tanya temannya yang seorang lagi.
"Betul!" sahut orang yang tadi mulai bercerita.
"Aku melihat sendiri. Bukan hanya tokoh-
tokoh golongan hitam, tapi juga tokoh-tokoh go-
longan putih. Diantara mereka juga terlihat anak-
anak tanggung."
"Wah...! Untuk apa anak-anak itu ikut" Mere-
ka pasti mati sia-sia."
"Jangan salah sangka, Gor! Anak-anak itu ge-
rakannya gesit dan tangannya kuat. Aku juga tak
tahu kenapa. Mungkin mereka telah dilatih den-
gan keras sebelumnya."
"Ah, rasanya tak masuk diakal! Mana mungkin
bocah-bocah tanggung itu mampu menewaskan
orang dewasa yang memiliki ilmu silat"!" bantah temannya.
"Bisa saja. Wong kalau mereka itu diguna-
gunai, hayo"!"
"Iya, ya..." temannya tadi itu hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu secara diam-diam Bayu me-
nguping pembicaraan mereka dan bertanya-tanya
dalam hati. Siapa sebenarnya Hantu Bukit Angsa
itu, dan apa maksud dari semua tindakannya itu"
Dalam beberapa waktu saja namanya mulai meng-
gegerkan rimba persilatan. Banyak sudah tokoh-
tokoh persilatan yang tewas, dan banyak pula di-
antara mereka yang hilang tanpa bekas. Menurut
apa yang didengarnya pula, selain membunuh
anak buah Hantu Bukit Angsa pun merampok
harta benda penduduk yang paling berharga.
Tengah Bayu Hanggara termenung memikirkan
orang yang sering menjadi pembicaraan semua ka-
langan belakangan ini, tiba-tiba terdengar suara
hiruk-pikuk dari ujung desa.
"Kebakaran! Kebakaran...!"
"Hah, kebakaran"!" Bayu segera berdiri kemudian cepat berlalu setelah membayar
apa yang di- makannya pada pemilik kedai itu.
*** Apa yang dilihat Bayu itu memang tak salah.
Dari kejauhan terlihat asap hitam membumbung
tinggi, dan nyala api berkobar di tiga rumah. Tapi bukan hanya itu saja yang
terlihat oleh Bayu. Beberapa orang yang berpakaian hitam-hitam nam-
pak sedang membantai beberapa orang penduduk
yang berusaha mempertahankan diri. Beberapa
buah gerobak yang ditarik kuda berjalan pelan di
belakang mereka. Sebagian dari orang-orang yang
berpakaian serba hitam itu keluar masuk rumah
penduduk sambil membawa barang-barang ber-
harga mereka. "Ada apa ini?" tanya Bayu begitu ia mendekat dan mencolek salah seorang dari
mereka yang berpakaian hitam-hitam itu.
"Minggir kau bocah!"
"Uts, sialan! Ditanya baik-baik malah seenaknya mau main bunuh. Terimalah ini!"
Pendekar Pulau Neraka bukan main terkejut
ketika orang itu langsung membabatkan golok.
Sambil memaki Bayu berkelit dan balas menen-
dang. "Bet!"
Sapuan kaki kanan itu berhasil dengan mudah
dielakkan lawan, dengan menundukkan kepala
langsung balas menyerang menyabetkan goloknya.
Namun pada saat itu tubuh Bayu telah berputar
dan kaki kirinya tak mampu dielakkan lawan.
"Begkh!"
"Ughk...!"
Orang yang berpakaian serba hitam itu menge-
luh pelan ketika tendangan kaki kiri Bayu meng-
hajar telak perutnya. Tubuhnya terangkat seten-
gah tombak, namun ia jatuh dengan kedua tangan
menyentuh tanah dan bersalto dengan golok tetap
berada di tangan. Tatapan matanya buas manaka-
la ia menggeram garang.
"Mampus kau!"
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka mulai gemas hatinya.
Tubuhnya berkelebat cepat mengimbangi gerakan
lawan. Kemudian tiba-tiba terdengar jerit kesaki-
tan yang disusul dengan terjerembabnya tubuh
lawan sejauh dua tombak. Dari mulutnya menge-
luarkan darah segar. Nafasnya terlihat megap-
megap, dan golok di tangannya terpental entah
kemana. "Jangan salahkan aku kalau aku bertindak ke-
ras padamu. Siapa kau, dan apa maksud kalian
merampok harta benda penduduk"!" bentak Bayu dengan wajah marah.
"Hiyaaa...!"
"Uts, sialan!"
"Plak!"
"Buk!"
Bukannya jawaban yang diterima Bayu me-
lainkan serangan ganas dari dua orang teman si
baju hitam itu dengan golok terhunus. Namun
dengan cepat ia memutar tubuh sambil berkelit
dan menangkis. Tangan kirinya menghantam per-
gelangan tangan dan membuat golok di tangan la-
wan terpental. Sementara kaki kirinya menendang
ke arah lambung lawan yang satu lagi.
"Akh!"
Keduanya menjerit tertahan. Hal itu membuat
perhatian teman-temannya yang lain tertuju pada
Bayu. Salah satunya adalah seorang yang bertu-
buh gemuk pendek dengan dahi licin memegang
sebatang toya. Sepasang matanya menyipit dan
wajahnya terlihat sinis saat ia melangkah pelan ke arah Bayu Hanggara. Melihat
itu yang lain nampak tak berani bertindak. Agaknya orang inilah
pemimpin dari rombongan itu.
"Siapa kau?" bentaknya.
"Aku cuma seorang pengembara yang ke-
betulan lewat dan tak suka melihat kelakuan ka-
lian yang buruk. Siapa pun kalian, pergilah dari
sini dan tinggalkan barang-barang berharga itu."
"Huh, agaknya kau tak mengenal Hantu Bukit
Angsa, bocah! Aku adalah Buncak Seguntang, sa-
lah seorang anak buahnya yang paling ditakuti.
Menyingkirlah kau sebelum kupecahkan batok ke-
palamu!" "Hmm, Buncak Seguntang... namamu cuma di-
takuti oleh tikus-tikus got yang kelaparan, tapi
jangan harap aku akan menggigil ketakutan men-
dengar namamu. Satu-satunya yang membuatku
menggigil adalah kepergian kalian. Itu pun karena senang, bukan ketakutan,"
balas Bayu meng-ejek.
"Kurang ajar! Kau perlu diberi pelajaran, bocah!"
"Hiyaaa...!"
"Haeet...!"
Toya di tangan Buncak Seguntang berputar
kencang menimbulkan desir angin kencang hingga
debu-debu di sekitar tempat itu beterbangan hing-
ga membuat tubuhnya sulit dilihat. Namun bukan
cuma itu, sebab ketika ia mulai berkelebat, den-
gan mata biasa pun sulit untuk melihatnya. Agak-
nya Buncak Seguntang tak mau menganggap re-
meh pada pemuda itu hingga langsung mengerah-
kan segenap kemampuannya.
Pendekar Pulau Neraka sendiri tentu saja tak
mau tinggal diam. Melihat lawan ingin segera
menghabisi nyawanya secepat mungkin ia lang-
sung bergerak cepat menyambut serangan lawan.
Pertarungan antara keduanya tak dapat dihindari
lagi. Berlangsung cepat sekali hingga untuk mere-
ka yang matanya tak terlatih, akan sulit mengikuti apalagi menentukan siapa yang
keluar sebagai pemenang. *** Penduduk kampung yang melihat kehadiran
seorang pemuda tampan berwajah keras tiba-tiba
merasa seperti melihat kehadiran dewa penolong.
Mereka merasa berterima kasih sekali. Beramai-
ramai mereka menonton dengan dada penuh ha-
rap bercampur cemas. Kalau saja pemuda itu tak
berhasil membereskan orang-orang ini, nasib me-
reka tentu buruk sekali. Sudah kehilangan harta,
bisa jadi kehilangan nyawa pula. Tak heran bila
pada saat itu sebagian dari penduduk desa meng-
gunakan kesempatan ini untuk mengungsi sambil
membawa barang-barang secukupnya. Namun
mereka yang yakin bahwa pemuda itu dapat men-
gatasi gerombolan ini berharap penuh sambil terus berdo'a di dalam hati.
"Duh, Gusti. Mudah-mudahan betul janjimu
yang akan menurunkan malaikat penyelamat bagi
kaum yang tertindas," gumam seorang Bapak tua sambil menyaksikan pertarungan itu
dengan wajah takjub bercampur was-was. Orang tua ini tak
memiliki harta banyak, melainkan sebidang tanah
tempatnya menetap dan bercocok tanam. Dari si-
tulah ia hidup bersama istri dan dua orang putra-
putrinya yang sedang beranjak dewasa.
"Kang, kira-kira pemuda itu bisa menang apa
ndak?" tanya anak perempuan yang berkulit sawo matang dan berwajah manis pada
abangnya. "Mana ku tahu, Lastri. Berdo'a saja semoga dia menang."
"Tapi ilmu silatnya hebat lho, Kang!"
"Dari mana kamu tahu?"
"Ya, tahu saja! Biasanya orang yang bertam-
pang begitu pasti memiliki ilmu tinggi."
"Tampang bagaimana?"
"Tampan, gitu lho!" sahut adiknya sambil memalingkan wajah gemas melihat
ketololan abang-
nya. "Wueeeh, kamu ini yang ndak-ndak saja. Tampang bukan ukuran seseorang itu
berilmu tinggi atau tidak. Itu sih karena kamu naksir dia saja.
Hayo, benarkan"!"
"Ah, ndak kok...!"
"Ah, kamu bohong! Kalau aku melihat sendiri
kehebatannya waktu merobohkan ketiga orang
anak buahnya dengan mudah. Wueh, gerakannya
cepat seperti setan. Orang itu dengan seenaknya
dia jatuhkan."
"Masa, Kang?"
"Eeeh, betul."
Gadis bernama Sulastri itu semakin takjub sa-
ja mendengar cerita abangnya. Ketika tadi timbul
kekacauan, ia memang tak sempat memperhati-
kan kehadiran pemuda itu sebab membantu
ibunya membenahi barang-barang mereka yang
tersisa. Barulah ketika terjadi pertarungan dan
orang-orang yang merampas harta benda mereka
mengerubungi pemimpinnya, ia sempat memper-
hatikan. Sementara itu pertarungan telah berjalan lebih
dari tujuh jurus. Bayu Hanggara mulai bosan me-
ladeni lawan yang semakin penasaran saja karena
toyanya sedikit pun belum mampu menyentuh tu-
buh Bayu sejak awal pertarungan.
"Pengecut! Apakah bisa mu hanya menghindar
saja"! Ayo, balas seranganku!" teriak Buncak Seguntang dengan amarah yang
meluap-luap. "Huh, tak usah kau suruh pun aku memang
sudah muak melihat tampangmu!" balas Bayu.
Dengan satu loncatan tinggi Bayu berteriak
nyaring sambil mengibaskan tangan kanannya ke
atas. Saat itu pula mendesing Cakra Maut yang
mengeluarkan sinar keperakan ke arah lawan.


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertepatan dengan itu tubuh Bayu Hanggara me-
lesat cepat mengirim serangan yang dibarengi te-
naga dalam kuat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Buk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Ketika Buncak Seguntang mencoba menangkis
Cakra Maut yang melesat dari tangan Bayu, ia
mencoba menangkis dengan toyanya. Tapi benda
itu patah menjadi dua dihantam Cakra Maut. Wa-
lau demikian beruntung ia dapat berkelit dari
sambaran selanjutnya. Namun saat itulah jotosan
tangan kanan Bayu Hanggara menghantam dada,
dan disusul dengan tusukan Cakra Maut yang
kembali berbalik menyerangnya.
Jeritan panjang terdengar ketika tubuh ge-
muk itu sempoyongan sambil mendekap dadanya.
Beberapa saat kemudian ambruk dan menggele-
par-gelepar untuk kemudian diam tak bergerak
dengan nyawa melayang.
Seperti tidak mengalami keterkejutan melihat
pemimpinnya tewas, saat itu juga seluruh orang-
orang yang memakai baju serba hitam langsung
mengurung dan menyerang pemuda itu sama ga-
rangnya dengan pemimpinnya tadi.
"Hiyaaa...!"
"Sialan! Kalau begini caranya aku tak punya
pilihan lain. Mereka nampaknya nekad dan tak
takut mati!" maki Bayu dengan wajah kesal. Tangan kanannya kembali mengibas, dan
Cakra Maut yang tadi telah mengambil korban kini kembali
melesat sambil berputar-putar mencari mangsa.
"Trak!"
"Tras!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan yang disusul
ambruknya dua orang ketika Cakra Maut itu me-
nembus jantung mereka. Beberapa orang berusa-
ha menangkis, cuma tersentak kaget melihat sen-
jata mereka patah dua dihantam senjata lawan.
Dalam keadaan demikian Bayu beraksi menghan-
tam mereka dengan kecepatan tinggi.
"Buk! Buk!"
"Ughk!"
"Gusraaaak!"
Beberapa orang kembali terkejut sambil me-
megangi perutnya yang terasa mau pecah terkena
tendangan dan pukulan Bayu. Dari mulut mereka
memuncratkan darah segar. Sambil menahan nye-
ri dan tubuh bergetar, orang-orang itu berusaha
bangkit dan kembali menyerang.
"Hiyaaa...!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangan kanannya
ke atas, dan Cakra Maut yang akan melesat ke
arahnya kembali berbalik menyerang lawan. Saat
itu pula tubuhnya melesat memapaki serangan li-
ma orang lawan yang meluruk ke arahnya.
"Cras!"
"Crab!"
"Beghk!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang yang memi-
lukan hati disusul ambruknya beberapa sosok tu-
buh. Tiga orang disambar Cakra Maut pada dada
sebelah kirinya, sementara lima orang lainnya di-
hantam pukulan serta tendangan Pendekar Pulau
Neraka yang menggeledeg.
Kali ini agaknya Bayu betul-betul naik pitam.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, dia tak me-
nunggu lawan beraksi, namun langsung menye-
rang kembali. "Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Sisa gerombolan itu kembali berteriak nya-ring
ketika Cakra Maut dan pukulan Bayu melesat.
Nyawa mereka putus saat itu juga. Dua orang
yang terluka parah mencoba melarikan diri. Na-
mun dengan gemas Bayu mengibaskan tangan
kanan, dan Cakra Maut kembali mengambil kor-
ban. Namun ketika benda itu akan melesat seo-
rang lagi, terlintas sesuatu di benak Bayu. Jika
menumpas ular harus kepalanya lebih dulu, baru
yang lainnya lumpuh. Yang ditumpasnya saat ini
cuma anak buahnya saja. Kalau saja mereka di-
bunuhnya tanpa sisa, lalu siapa yang akan men-
gatakan semua ini pada ketua mereka yaitu si
Hantu Bukit Angsa"
Berpikir demikian Bayu Hanggara buru-buru
mengibaskan tangan kanannya. Cakra Maut yang
saat itu siap menembus lawan seketika berbalik
pada tuannya dan melekat erat di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu
melirik sekilas pada mayat-mayat yang bergelim-
pangan itu, kemudian melangkah pelan meng-
hampiri Tiren, sahabat kecilnya.
"Nguk! Nguk!"
Tiren langsung meloncat ke dalam pangkuan-
nya sambil menundukkan kepala dengan wajah
sayu. "Tenanglah Tiren, aku tak apa-apa. Jangan
khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri..."
'Nguuuuk...!"
Bayu terkekeh ketika melihat wajah sahabat-
nya itu berubah riang dan melompat ke pundak-
nya, namun baru saja mereka hendak beranjak
dari tempat itu, beberapa orang penduduk menda-
tangi sambil menjura hormat.
"Kisanak, anda telah menolong kami semua.
Bagaimana caranya kami berterima kasih?" tanya seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun lebih.
Pakaiannya bagus terbuat dari sutera halus. Tam-
pangnya pun klimis sekali seperti bangsawan saja
layaknya. Sesungguhnya dia memang orang paling kaya
di desa ini. Kalau saja pemuda di hadapannya itu
tak cepat turun tangan, tentu dalam sekejap hi-
dupnya akan berubah menjadi gembel yang tak
berguna. Atau lebih malang lagi, nasibnya tak
akan tertolong menjadi korban kebrutalan anak
buah Hantu Bukit Angsa.
"Sudahlah, lupakan hal itu..."
"Eeee, tapi aku tak terbiasa melupakan jasa
orang begitu saja, Kisanak. Setidaknya, katakan-
lah siapa namamu?"
"Namaku Bayu Hanggara..."
Beberapa orang yang berada di situ tersentak
kaget mendengar pemuda itu menyebutkan na-
manya. Salah seorang malah bergumam dengan
nada kagum. "Oh, dialah si Pendekar Pulau Neraka yang
termasyhur itu!"
*** Yang lainnya pun bersikap sama dengan orang
itu. Takjub bercampur senang, tidak menyangka
bahwa mereka bisa bertemu dengan Pendekar Pu-
lau Neraka yang namanya belakangan ini mengge-
tarkan rimba persilatan dengan sepak terjangnya
yang tak mengenal ampun.
Namun bagi si Hartawan yang memang jarang
berkecimpung dan tak suka mengurusi orang-
orang persilatan, malah terkekeh kecil sambil me-
rangkul pundak Bayu dengan sikap yang sok
akrab. "Ah, namamu Bayu Hanggara" Nama yang ba-
gus. Nah, Bayu kau telah menolong kami semua,
aku pun akan membalas jasamu. Kalau kau tak
keberatan kau boleh bekerja padaku sebagai kepa-
la keamanan di rumahku. Bagaimana?"
Bayu tersenyum kecil.
"Terimakasih. Maaf aku tak tertarik...."
"Ayolah.... Bagaimana kalau kuberi kau gaji
besar" Daripada berkeliaran tak menentu?"
"Maaf, aku tak tertarik dengan tawaran anda, Kisanak..." Bayu menepis tangan
orang itu pelan sambil melangkah bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun si
Hartawan nampaknya belum
putus asa. "Bayu, salah seorang dari mereka kau biarkan
melarikan diri, tentu nanti atau besok mereka
akan kembali lagi ke sini dengan jumlah yang ba-
nyak. Saat itu hancurlah kampung ini tanpa sisa.
Kalau kau sudi bekerja padaku, setidaknya kau
bisa menyelamatkannya. Bukankah tugas seorang
Pendekar adalah membantu yang lemah?" ta-
nyanya sambil membarengi langkah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya diam saja
dan terus melangkah.
"Atau bagaimana...?" tiba-tiba wajahnya berubah girang. "Aku memiliki seorang
putri. Semua orang di desa ini memuji kecantikannya. Kalau
kau tak keberatan, aku suka sekali kau berjodoh
dengan anakku. Bagaimana...?"
Kembali Bayu melirik sekilas sambil ter-
senyum kecil. "Maaf, aku tak tertarik sama sekali. Soal
orang-orang itu aku memang bermaksud mengha-
dapinya, tapi bukan sebagai pekerjamu. Aku lebih
suka bebas melakukan apa saja yang ku suka
tanpa di bawah kendali orang lain. Jangan khawa-
tir, orang tadi memang sengaja kulepaskan, agar
pemimpinnya datang ke sini menemuiku," kata
Bayu kalem. Lalu tanpa mengacuhkan si hartawan tadi,
Bayu Hanggara kembali menuju kedai dan melan-
jutkan makan siangnya yang belum sempat tun-
tas. Semua orang yang berada di kedai itu men-
gangguk hormat padanya, termasuk si pelayan ke-
dai memberikan penghormatan yang berlebihan,
sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi
merasa jengah. Setelah menyantap sisa makannya, dia buru-
buru berlalu dari tempat itu. Sementara si harta-
wan tadi yang membuntutinya dari belakang cuma
bisa menatap punggung itu dengan wajah amat
penasaran sekali. Dan ketika seseorang memberi-
tahu, wajahnya terlihat mulai lucu.
"Sudahlah, Den Lesmana. Mana mungkin pe-
muda itu mau bekerja denganmu. Dia bukan
orang sembarangan. Pendekar Pulau Neraka ada-
lah Pendekar sakti berilmu tinggi yang belakangan ini menggetarkan rimba
persilatan. Jangankan
cuma sebangsa maling tengik dan penjahat kelas
kakap, bahkan Datuk-datuk sesat pun tumbang di
tangannya."
"Ah, yang betul?"
Orang itu mengangguk cepat sambil mening-
galkan hartawan bernama Lesmana. Sambil berla-
lu masih sempat ia meyakinkan.
"Betul, Den. Makanya sekali-kali perhatikan
juga perkembangan dunia persilatan. Jangan cu-
ma mengurusi harta terus dan menganggap bahwa
semuanya bisa diatur dengan uang...."
Wajah Den Lesmana semakin kelihatan malu.
* * * 4 Di sebelah selatan Gunung Kanjengan ter-
dapat sebuah telaga yang bernama Sarangan. Ja-
rak antara kedua tempat itu dipenuhi oleh hutan
lebat dan luas. Jarang ada orang yang berani ma-
suk ke dalamnya karena banyak terdapat bina-
tang-binatang buas. Begitu juga dengan alam di
sekitar telaga itu, amat tak bersahabat. Selain dipenuhi batu-batu terjal juga
terdapat beberapa
lembah yang mirip dengan jurang lebar.
Bila seseorang berdiri pada puncak Gunung
Kanjengan dan menatap ke arah telaga yang luas
dan lebar itu, akan terlihat sebuah pulau kecil di tengah-tengahnya. Bentuk,
pulau itu mirip dengan
seekor angsa. Tak heran bila orang-orang menye-
butnya dengan Pulau Angsa. Bagian tengah pulau
itu terdapat sebuah gundukan tanah tinggi yang
bergelombang dengan posisi melingkar seperti
suatu barisan bukit-bukit.
Matahari baru saja masuk ke peraduannya,
dan di ujung langit masih semburat cahaya kun-
ing kemerah-merahan seperti mengantar burung-
burung terbang ke sarang dan menyambut hewan
malam yang menggeliat setelah seharian tidur
panjang. Kelelawar terlihat mulai terbang liar di sekitar bangunan megah yang
belum selesai se-luruhnya. Dinding bangunan yang mirip sebuah
istana besar itu terbuat dari marmer putih yang
ditempa sedemikian halusnya.
Beberapa orang pekerja yang masih meng-
haluskan sebuah batu marmer yang lebar nampak
tak mempedulikan keadaan di sekitarnya. Dan
seorang laki-laki berbadan tegap mengawasi mere-


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ka dengan cambuk di tangan. Di sudut lain pe-
mandangan seperti itu banyak terlihat. Sepintas
saja bisa diduga bahwa tempat ini mirip kamp.
kerja paksa. "Ctarr!"
"Hayo kerja lagi, pemalas! Bangun...!" bentak salah seorang pengawas dengan
wajah garang sambil melecutkan cambuk ke tubuh salah seo-
rang pekerja yang menjatuhkan beberapa butir ke-
rikil sebesar kepalan tangan. Orang itu menjerit kesakitan. Isi bawaannya tumpah
ruah berceceran
ketika tubuhnya menggelepar.
"Ampun, Den.... Ampun...."
"Puih! Aku tak peduli dengan ocehanmu. Ban-
gun! Bangun!"
"Ctarrr!"
"Akh!"
Orang itu kembali menggelepar-gelepar kesaki-
tan dan cambuk itu terus menderanya. beberapa
orang temannya yang melihat kejadian itu hanya
bisa memejamkan mata dengan jantung tersentak
setiap kali cambuk itu bergetar.
"Ampuuun.,,! Ampuuun...!"
"Huh, orang sepertimu lebih baik mampus sa-
ja! Kau cuma membuang waktu. Hiyaaa...!"
Dengan bengis tanpa sedikit pun perasaan ka-
sihan tersirat di wajahnya, orang itu meng-angkat cambuknya tinggi-tinggi dan
siap melecutkan dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Jangankan
tubuh manusia biasa, batu besar pun akan han-
cur dalam keadaan begitu. Lebih-lebih tubuh reot
laki-laki tua itu. Sepasang matanya menantang
seperti tak berkedip menatap cambuk itu. Semen-
tara mulutnya tak henti berkomat-kamit berdo'a.
"Wreeeet!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Beghk!"
"Kurang ajar! Siapa kau"!" tanya si pemegang cambuk dengan suara tinggi pada
seseorang yang tiba-tiba menangkap cambuknya dan dengan ce-
pat menghantamkan jotosan ke perutnya. Tapi dia
cukup gesit untuk menghindar dengan memiring-
kan tubuh. Namun orang yang baru datang itu
pun tak kalah cepat merubah serangan dengan
menghantamkan tangan kanan yang sedang me-
megang cambuk lawan, lalu menghantam ke arah
punggung. Tubuh si pengawas terhuyung-huyung ke de-
pan, tapi tertahan karena lawan menyentakkan
cambuk di tangannya. Walau cambuk itu tak lepas
dari tangannya, namun keduanya sama-sama
menggenggamnya saling tarik-menarik.
"Namaku Lor Sabrang...."
"Huh, kau tahu akibat perbuatanmu" Kau bisa
dihukum mati!"
"Aku tak perduli. Tapi kau tak boleh menyiksa orang sesuka hatimu seperti
binatang," sahut laki-laki berusia muda itu sambil memapah orang tua
yang tadi disiksa. Senyumnya tipis dan wajahnya
kekanak-kanakan. Tiada terbesit sedikit pun keta-
kutan pada wajahnya itu.
"Bangsat! Kau pasti orang baru di sini dan tak tahu siapa aku!" maki si pengawas
garang. Dengan satu hentakan kuat, dia mencoba menarik pulang
cambuknya. "Apakah kau suka sekali dengan cambuk bu-
tut ini?" tanya pemuda itu tenang. Dengan satu tangan ditahannya tarikan lawan
beberapa saat. Namun dengan satu bentakan keras tiba-tiba pen-
gawas itu terangkat ke atas.
"Hiyaaa...!"
"Wuaaa...!"
"Bughk!"
Pemuda itu melesat memapaki dengan satu
pukulan tangan kanan menghantam lambung la-
wan yang memang sudah gamang sejak tubuhnya
terangkat. Tak ampun lagi, ia terpental sejauh tiga tombak dan menghantam
sebongkah batu cadas.
Kepalanya pecah dan tubuhnya remuk serta darah
menyelubunginya. Nyawanya lepas saat itu juga.
Si pemuda mendengus kecil. Sebenarnya ia tak
bermaksud ingin membunuh lawan, tapi ketika
hal itu terjadi ia sama sekali tak menyesal.
"Plok! Plok! Plok!"
"Hebat! Hebat!"
Pemuda itu cepat berpaling ketika tiba-tiba sa-
ja ada yang bertepuk tangan. Dia telah bersiaga
menghadapi serangan yang dilakukan secara ber-
keroyokan. Telah membunuh lawan di sarangnya
sendiri, tentu dia harus menghadapi resiko yang
tak kecil. Bahkan nyawanya sendiri sebagai taru-
han. *** Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus bagai
jerangkong berdiri tak jauh darinya. Sepasang ma-
tanya lebar, dengan hidung pesek dan rambut
pendek yang berdiri kaku. Mulutnya lebar dengan
bibir tipis mencuat ke depan. Memakai celana
pendek dan tanpa pakaian sehingga terlihat tulang lengan dan kakinya kecil
berkesan rapuh, serta tulang rusuknya yang bertonjolan. Di pundaknya
bertengger seekor burung jalak dengan bulu kee-
masan. Di belakangnya berdiri tiga orang laki-laki yang agaknya merupakan tangan
kanan orang itu.
"He he he he...! Siapa namamu bocah" Kulihat tadi kau berbakat sekali dalam ilmu
silat. Kepandaianmu cukup lumayan," tanya orang
itu sambil tersenyum kecil.
"Apakah kau pemilik pulau ini?"
"He he he he...! Agaknya otakmu cepat mem-
baca situasi. Orang sepertimu memang cerdas dan
patut menjadi anak buahku. Betul, akulah Wa-
rangka Gering atau Hantu Bukit Angsa...."
Belum lagi selesai kata-kata lelaki kurus yang
tak lain Warangka Gering, tiba-tiba pemuda yang
bernama Lor Sabrang itu mencelat sambil menye-
rangnya dengan ganas.
"Bedebah keparat! Akhirnya kutemui juga kau!
Terimalah kematianmu saat ini. Hiyaaa...!"
Warangka Gering tak berkedip melihat seran-
gan Lor Sabrang. Malah ia sempat tersenyum.
Namun sedikit lagi serangan Lor Sabrang itu akan
menghantam batok kepala dan dada sebelah ki-
rinya ia menggeser sedikit tubuhnya.
"Uts!"
"Wuk!"
"Plak!"
"Gusraaak!"
Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Lor
Sabrang terkunci dalam jepitan kedua tangan Wa-
rangka Gering. Lalu dengan cepat dikibaskan. Lor
Sabrang tersungkur dua tombak jauhnya. Masih
untung jatuh di timbunan pasir. Kalau saja di
tumpukan batu cadas yang berada di sebelah pa-
sir itu, niscaya nasibnya akan langsung ketahuan
seperti korbannya tadi.
"Kuberi kau kesempatan sekali lagi, setelah itu kau harus betul-betul menurut
padaku...."
"Puih! Akan kupecahkan batok kepalamu!"
"Hmm, kau kelihatan begitu mendendam pa-
daku, Bocah. Ada urusan apa sebenarnya?"
"Bagus kau menanyakan hal itu agar kau tak
mati penasaran. Coba kau ingat-ingat peristiwa
yang terjadi di Perguruan Bulan Sabit beberapa
minggu berselang" Aku Lor Sabrang putra bungsu
Kendi Angsoka, ketua perguruan itu yang kau bu-
nuh dengan biadab!"
"Oh, ternyata kau... sungguh beruntung kau
bisa hidup saat ini. Tapi terus terang bukan aku
yang membunuh mereka, lalu kenapa kau begitu
mendendam" Apakah kau melihat sendiri peristi-
wa itu?" tanya Warangka Gering merasa tak peduli. "Keparat kau Warangka Gering!"
maki Lo Sabrang. "Pandai kau bersilat lidah. Jelas bukan tanganmu sendiri yang
membunuh ayahku, serta
seluruh saudara-saudaraku tetapi anak buahmu.
Mereka tak akan jalan tanpa perintahmu."
"Ha ha ha ha...!" Warangka Gering atau lebih dikenal sebagai Hantu Bukit Angsa
tertawa keras. Sedangkan Lor Sabrang menatapnya dengan
sinar mata yang tajam penuh dendam.
"Pintar kau, bocah! Aku sungguh suka sekali
denganmu. Kau berani menyusup ke sini sebagai
tawanan yang dipekerjakan dengan upah kema-
tiannya hanya karena ingin bertemu denganku
untuk membalas sakit hatimu. Dan kini kulihat
semangatmu yang menyala-nyala, sayang sekali
kalau kau harus mati sia-sia. Sebelum kau mati,
kau harus bekerja lebih dulu untukku."
"Apa maksudmu, keparat?"
"Maksudku sederhana, yaitu kau harus melu-
pakan dirimu sendiri dan hanya ingat padaku ser-
ta mematuhi perintahku dengan taruhan nya-
wa...." "Hemm, kau akan mencekoki aku dengan ra-
muan pemunah pikiran?"
"Ha ha ha ha...! Ternyata betul dugaanku bah-wa kau memang sungguh-sungguh
cerdas!" "Tertawalah sepuasmu, keparat! Walau bagai-
mana pun aku tak sudi kau peralat. Lebih baik
mati berkalang tanah daripada hidup terhina!"
"Hiyaaa...!"
Lor Sabrang menggeram buas. Amarahnya tak
terbendung lagi. Dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya, kembali diserangnya Warangka
Gering dengan dahsyat. Kali ini penguasa Pulau
Angsa itu betul-betul melihat kehebatan ilmu silat Lor Sabrang. Gerakannya gesit
bukan main dan dtperhitungkannya secara hati-hati. Nampak terli-
hat bahwa ia tak ingin dipecundangi dua kali.
Dalam tiga jurus yang berlangsung, Warangka
Gering agak sulit mengamat-amati kelemahan pe-
muda itu. Baik dari pertahanannya yang longgar
maupun dari kelengahannya sendiri. Laki-laki
berwajah buruk itu mendecah-decah kagum.
"Ck ck ck ck... tak salah dugaanku. Kau akan menjadi anak buahku yang termasuk
dalam jajaran nomor satu."
"Keparat biadab! Mengocehlah kau sepuasmu
saat ini!" geram Lor Sabrang, kala mendengar ka-ta-kata penguasa Pulau Angsa itu
seolah-olah me-
remehkan kemampuan dirinya. Hal itulah yang
membuatnya semakin bersemangat menggempur
lawan. Biasanya orang yang takabur dan meng-
anggap dirinya mampu menjatuhkan lawan akan
berlaku lengah. Di samping itu ia juga melihat, tak seorang pun dari anak buah
Hantu Bukit Angsa
yang bergerak hendak menolong tuannya itu. Se-
muanya diam seperti patung, menunggu perintah.
Seolah juga yakin bahwa tuannya dengan mudah
membekuk pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Cukup, bocah!" bentak Warangka Gering dengan suara keras. Telapak tangan
kirinya di so- rongkan ke depan. Dari situ mendesir angin ken-
cang menyapu Lor Sabrang. Pemuda itu mencoba
memapaki dengan mengerahkan tenaga dalamnya
sambil berusaha menghindari. Namun saat itu ju-
ga tubuh Hantu Bukit Angsa telah melesat laksa-
na anak panah ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Tuk!"
"Ugh...!"
Hantu Bukit Angsa terkekeh senang sambil
bertolak pinggang melihat Lor Sabrang jatuh lun-
glai di hadapannya.
Ketika tubuhnya melesat ke arah Lor Sabrang,
ia menghantamkan tangan kiri ke batok kepala
lawan. Tentu saja serangan cepat di saat ia sedang kerepotan tak
diperhitungkannya lagi. Kedua tangannya kalang kabut menangkis tangan kiri lawan
yang bergerak lincah. Saat itulah dua buah jari
tangan kanan Hantu Bukit Angsa menotok urat
gerak di tubuh pemuda itu hingga membuatnya
seperti tak bertenaga.
"Ha ha ha ha...! Jangan berbesar hati dulu, bocah. Selama ini tak seorang pun
yang mampu mengelak dari incaran Hantu Bukit Angsa. Sekali
aku menginginkan, maka segalanya harus kuda-
patkan." "Puih, bedebah! Lepaskan totokan ini! Aku
akan bertarung sampai salah seorang di antara ki-
ta ada yang tewas. Lepaskan aku, pengecut! Le-
paskan...!"
"Hmm, kau yakin bahwa kau berilmu tinggi
dan cukup mampu mengalahkanku?"
"Huh, jangankan kau seorang. Seluruh anak
buahmu turun tangan pun akan kuhabisi!"
"Ha ha ha ha...! Semangatmu luar biasa. Nah, kalau kau yakin mampu
mengalahkanku, le-paskanlah dirimu dari totokan itu. Anggap saja kalau kau mampu
lepas aku mengaku kalah dari-
mu," sahut Hantu Bukit Angsa tersenyum kecil sambil membalikkan tubuh dan
melangkah pelan.
Mendapat kesempatan seperti itu. Lor Sabrang


Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak berpikir dua kali. Ia langsung mencoba menge-
rahkan hawa murni dari bawah pusarnya untuk
beberapa saat lamanya.
"Keparat!" makinya kesal. Totokan ini benar-benar kuat. Jangankan berhasil
mengumpulkan hawa murni untuk mendobrak totokan itu, bah-
kan tak secuil pun tak terasa reaksi saat ia meng-konsentrasikan diri dalam
mengerahkan hawa
murninya. "Ha ha ha ha...! Kau kalah, bocah. Nah, sekarang relakan dirimu menjadi abdiku
yang setia,"
kata Hantu Bukit Angsa kembali membalikkan
badan. Ia kemudian memberikan perintah pada
seorang anak buahnya untuk mengangkut Lor Sa-
brang ke dalam. Pemuda itu berteriak-teriak sam-
bil memaki-maki geram. Namun tawa Hantu Bukit
Angsa semakin keras terdengar.
Baru saja pemuda itu digotong ke dalam, se-
seorang berbaju hitam dengan beberapa luka di-
tubuhnya datang tergopoh-gopoh ke hadapan
Hantu Bukit Angsa. Dengan bersujud di kaki Han-
tu Bukit Angsa, orang itu bersuara dengan nada
takut dan tak berani mengangkat wajahnya.
"Ampun Paduka Yang Mulia, hamba tak mam-
pu menjalankan tugas..."
"Siapa kau?"
"Hamba anak buah Buncak Seguntang..."
"Hmm... ada apa?"
"Ka.. kami berhasil menjalankan tugas di desa Brantas Agung, ta... tapi pada
saat itu muncul seseorang menghadang dan... dan membinasakan
Buncak Seguntang beserta yang lainnya...."
"Lalu?"
"Hamba berusaha melarikan diri untuk men-
gabarkan peristiwa ini pada Paduka Yang Mulia...."
"Siapa orang itu?"
"Hamba tidak tahu, Paduka... ia tak menye-
butkan nama."
Wajah Hantu Bukit Angsa masih dingin, dan
suaranya pun masih terlihat datar.
"Sebutkan ciri-cirinya."
"Usianya masih muda, dan memakai baju ter-
buat dari kulit harimau. Wa... wajahnya tampan
namun berkesan keras. Ta... tapi senjatanya yang
unik sekali, Paduka. Cakra bersegi enam berwarna
keperakan...."
"Hmm, tidak salah lagi. Pasti si Pendekar Pulau Neraka!" seketika wajah laki-
laki buruk itu berubah kelam. Hawa sadis nampak terlihat mana-
kala ia melanjutkan kata-katanya sambil menden-
gus dingin. "Pendekar Pulau Neraka, kau akan terima bagianmu nanti kalau hendak
mencoba menghalangi cita-citaku!"
"Pa... Paduka Yang Mulia, apa yang harus
hamba lakukan saat ini?"
Hantu Bukit Angsa menyeringai dengan se-
nyum sinis. "Kau akan mendapat hadiah..."
"Oh, jangan Yang Mulia! Jangan...! Hamba cu-
kup merasa senang bisa melaporkan peristiwa ini
pada Yang Mulia..."
"Hadiah ini suka atau tidak suka harus kau terima!"
Mendengar kata-kata yang tegas, orang itu tak
mampu lagi membantah. Dia bersujud berkali-kali
sambil mengucapkan terima kasih. Sementara
Hantu Bukit Angsa menudingkan telunjuknya ke
arah orang itu.
"Cuiiit!"
Burung jalak yang sejak tadi bertengger di
pundaknya bersuit nyaring ketika mengepakkan
sayap. Tiba-tiba hewan kecil itu menukik tajam
dan mematuk orang yang sedang bersujud itu
hingga paruhnya sebagian tenggelam...
"Aaaa...!"
Orang itu terpekik nyaring sambil bangkit den-
gan tiba-tiba. Burung jalak berbulu keemasan itu
tak henti sampai di situ. Ia kembali mematuk-
matuk dengan buasnya. Korbannya memekik ke-
sakitan. Reaksi akibat patukan hewan itu terlihat cepat. Sekujur tubuhnya
berubah merah dan perlahan-lahan berwarna ungu kelam saat tubuhnya
ambruk, dan nyawanya lepas saat itu juga.
"Tak seorang pun anak buahku boleh lari dari pertarungan. Lebih baik dia mampus
daripada kembali mengadukan ketidakmampuannya pada-
ku!" dengus Hantu Bukit Angsa sambil berlalu meninggalkan tempat itu diikuti
oleh beberapa orang tangan kanannya yang berjumlah lebih se-
puluh orang. * * * 5 Pemuda berambut gondrong dengan pakaian
terbuat dari kulit harimau itu masih termangu di
mejanya. Sementara seekor monyet kecil berbulu
Coklat nampak menggodanya sambil melompat-
lompat di meja.
"Nguk! Nguuk!"
"Sabarlah Tiren. Aku juga mulai tak betah di tempat ini. Tapi kalau orang-orang
itu menyerbu ke sini, kasihan penduduk kampung yang tak ber-
dosa. Mereka pasti binasa tanpa sisa...."
"Nguuuk!"
"Ya, ya... kita bermalam di sini saja. Itu pun kalau pemilik kedai ini tak
keberatan...."
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun
dengan tubuh kurus buru-buru menghampiri pe-
muda itu dengan sikap hormat.
"Den, kalau kau hendak bermalam di sini aku
tentu senang sekali..." katanya.
"Terima kasih, Paman. Barangkali cuma untuk
semalam ini saja...."
"Ah, kenapa musti buru-buru, Den" Kalau pun
kau ingin bermalam barang seminggu pun aku
pasti tak keberatan."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau
si Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum kecil.
"Kami telah banyak menyusahkan bapak hari
ini. Perut telah kenyang terisi tapi tak sepeser pun kami membayarnya. Jangankan
dua hari, sehari
pun pasti kami telah sangat merugikanmu," sahut Bayu ramah.
"Oh, tidak, Den. Tidak.... Aku rela memberikan semua itu."
"Terima kasih, Paman. Lagi pula kami tak berlama-lama di sini..."
"Maksud Aden akan pergi sekarang?" wajah pemilik kedai itu nampak was-was. Kalau
saja Bayu pergi dari kampung ini entah apa yang terja-
di pada mereka, bila anak buah Hantu Bukit Ang-
sa tiba-tiba datang dan merampas harta benda
serta nyawa mereka"
"Tidak, Paman. Kalau Paman tak keberatan
kami bermaksud numpang menginap semalam di
sini...." "Wah, senang sekali! Tapi kenapa cuma satu
hari, Den" Menetaplah barang seminggu."
Bayu kembali tersenyum, "Kalau hari ini mere-ka tidak datang, kami yang akan
datang ke sana."
"Maksud Aden... akan mendatangi sarang me-
reka?" Bayu mengangguk, melihat itu wajah si pemi-
lik kedai bertambah khawatir.
"Aden sebaiknya berada di sini saja. Kami semua tahu nama besar dan kehebatan
Aden tak perlu diragukan lagi, tapi...."
"Tapi kenapa, Paman?"
Pemilik kedai itu agak ragu-ragu mengata-
kannya. Ia khawatir ucapannya akan menying-
gung perasaan pemuda itu. Namun setelah Bayu
mendesaknya berkali-kali, barulah ia mengata-
kannya. "Ng... anu, Den. Aku tak bermaksud meremeh-
kan kepandaianmu, tapi sarang Hantu Bukit Ang-
sa penuh dengan tokoh-tokoh dari berbagai kalan-
gan yang berilmu tinggi. Kalau Aden mendatan-
ginya sama artinya dengan masuk ke mulut hari-
mau...." Bayu kembali tersenyum.
"Jangan khawatir, Paman. Kepandaianku me-
mang tak seberapa, tapi ajal manusia bukan di
tangan mereka..."
"Benar, Den. Tapi..." pemilik kedai itu tak sempat meneruskan kalimatnya ketika
di depan pintu berdiri seorang gadis berparas jelita. Salah seorang di antara mereka
dikenalnya baik. Ia bu-ru-buru menghampiri dengan sikap hormat.
"Aduuh, Neng Sekar Tanjung ada apa malam-
malam begini datang ke kedai Paman" Apakah Ibu
di rumah tidak masak?"
Gadis yang dipanggil Sekar Tanjung itu terse-
nyum manis. Bibirnya yang merah merekah begitu
menawan dan membuat setiap laki-laki seperti
langsung terpikat padanya. Rambutnya hitam dan
panjang diikat dengan pita merah. Pakaiannya ba-
gus berwarna merah menyala seperti terbuat dari
sutera halus. "Tidak, Paman. Aku ada amanat dari Ayah un-
tuk Tu... tuan Pendekar," sahutnya sambil memandang Bayu.
Pemuda itu mengangguk kecil padanya. Bayu
melirik gadis di sampingnya. Sederhana sekali,
pakaiannya terbuat dari bahan biasa dan rambut-
nya yang panjang terurai juga hanya diikat oleh
pita yang sederhana. Bedanya hanya gadis itu
berkulit sawo matang meskipun wajahnya tak se-
cantik Sekar Tanjung, tapi ia cukup manis. Tapi,
bukan itu yang membuat Bayu memandangnya
agak lama. Rasanya ia pernah kenal gadis itu se-
belumnya. "Oh, ada amanat untuk Tuan Pendekar" Silah-
kan...!" sahut pemilik kedai itu sambil berlalu ke belakang. Kedua gadis itu
lalu mendekati Bayu.
"Selamat malam, Tuan Pendekar. Maaf meng-
ganggu, tapi ayahku menawarkan anda untuk
menginap di rumah kalau tak keberatan..." kata Sekar Tanjung.
"Ayahmu" Apakah saya mengenal beliau?"
"Ayahku bernama Lesmana... yang tadi siang
bercakap-cakap dengan anda," jelas Sekar Tanjung.
"Aaaah, baru aku ingat!" Bayu menepuk keningnya sambil terkekeh kecil. "Ya,
ya..,. terim kasih. Tapi aku dan kawan kecilku ini lebih suka di sini saja.
Sampaikan terima kasih kami pada beliau...."
"Tuan, Ayah memerintahkan agar saya tak bo-
leh kembali bila tak bersama," sahut Sekar Tanjung dengan suara lemah dan malu.
"Apa..."!" Bayu tersentak kaget.
Apakah pendengarannya tidak salah" Kalau
begitu caranya sama saja orangtuanya menyuruh
anak gadisnya ini menemaninya di sini. Sinting!
Orangtua macam apa itu yang membiarkan anak
gadisnya berduaan dengan seorang lelaki normal
seperti dirinya" Kalau gadis ini berwajah buruk,
sudah tentu tak akan terjadi sesuatu yang mem-
buat dadanya berdebar-debar kencang. Tapi ini..."
Ya, ampun! Jangankan laki-laki normal seperti di-
rinya, banci sekali pun akan berubah pikiran men-
jadi laki-laki saja melihat gadis secantik Sekar
Tanjung! "Kami rasa Tuan sudah mendengarnya dengan
jelas..." lirih suara Sekar Tanjung. "Kalau Tuan tak bersedia, maka terpaksa
kami diharuskan menemani Tuan di sini...."
Bayu tercenung agak lama sambil meng-
geleng-gelengkan kepala seolah tak percaya hal ini terjadi.
"Tuan Pendekar. Setidaknya ini merupakan
kehormatan bagi kami yang telah menanggung
budi Tuan begitu dalam..." kata gadis yang satu lagi. Bayu mendongakkan kepala
dan menatap gadis itu kembali sambil tersenyum.
"Dan kau siapakah" Apakah kau adiknya atau
kakaknya" Rasa-rasanya kita pernah bertemu se-
belumnya...."
"Lupakah Tuan peristiwa di pinggir hutan dua hari yang lalu" Saat itu Tuan
membantu kami dari
gerombolan yang akan merampas harta dan men-
ganiaya kami...."
"Ya, ya... aku ingat sekarang!" kata Bayu mengangguk cepat. "Ayahmu bernama
Indra-pura, dan kau...."
"Sekar Harum."
"Ya, betul! Nah, bagaimana khabar Ayahmu
sekarang" Lalu kapan tiba-tiba kau bisa berada di desa ini?"
"Ayahnya Sekar Tanjung adalah adik kan-dung
ayahku. Jadi kami berdua adalah saudara sepu-
pu," jelas Sekar Harum. "Tujuan kami memang ke desa Brantas Agung ini. Begitu
Misteri Elang Hitam 1 Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra 7
^