Pencarian

Iblis Pulau Hitam 1

Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam Bagian 1


IBLIS PULAU HITAM Oleh Teguh S. Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S. Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Iblis Pulau Hitam
https://www.facebook.com/pages/Duni
a-Abu-Keisel/511652568860978
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Iring-iringan itu telah mencapai pinggiran hu-
tan Dandaka menjelang sore hari. Ki Panji Narada
memberi perintah pada murid-muridnya untuk be-
ristirahat. Beliau memeriksa sebuah tandu beru-
kuran sedang yang diusung murid-muridnya seca-
ra bergantian. Setelah memastikan bahwa Praba
Ningrum dalam keadaan tenang, ia bermaksud
memberi perintah pada murid-muridnya untuk
berjaga-jaga. "Ayah..." panggil Praba Ningrum dengan suara pelan. Gadis itu tersipu malu
manakala si orang
tua berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu
menoleh. Ki Panji Narada tersenyum kecil.
"Kenapa, Nduk..." Kau kembali gelisah?"
"Sedikit, tapi hatiku mengatakan bahwa tem-
pat ini tidak aman. Apakah tidak lebih baik kita
melanjutkan perjalanan?"
"Tempat ini aman, Nduk. Lagipula sudah ham-
pir seharian mereka terus berjalan tanpa istirahat cukup. Kau tenang-tenang
sajalah. Biasa kalau
gadis se usiamu sering merasa gelisah menjelang
bertemu dengan calon suaminya," goda Ki Panji Narada.
"Ayah bisa saja... tapi sungguh perasaanku tak tenang bukan karena ingin bertemu
dengan Kakang Pranajaya. Seperti ada bisikan yang menga-
takan bahwa tempat ini tak aman untuk kita be-
ristirahat."
Ki Panji Narada terkekeh kecil.
"Itu hanya perasaanmu saja. Ayahmu tak akan
berkata sesumbar, tapi kalau ada yang coba-coba
mengganggumu seluruh murid Perguruan Jari
Sakti ini rela mempertaruhkan nyawa. Nah. kau
tenang sajalah. Ayah akan memberi perintah pada
mereka untuk berjaga-jaga semalaman," sahut
orang tua itu menentramkan hati putrinya.
"Maksud Ayah, kita akan bermalam di sini.
"Ya, kenapa tidak" Desa Sumur Wering satu
hari perjalanan lagi dari sini. Kalau sekarang me-
reka beristirahat, tentu tenaga mereka akan segar
bugar begitu tiba di sana. Apakah kau suka meli-
hat ayahmu serta murid-murid lain berwajah lesu
bercampur letih saat berhadapan dengan calon
besan?"goda Ki Panji Narada kembali.
Praba Ningrum hanya tersenyum. Ia tak tahu
harus berkata apa lagi untuk mencegah niat orang
tua itu. Kalau Ki Panji Narada berkata demikian, tentu
saja beralasan. Pertama, tempat yang bernama
Hutan Dandaka ini belum pernah terdengar dihuni
oleh perampok atau begal. Kedua siapa yang bera-
ni mengusik-usik dan cari gara-gara dengan Per-
guruan Jari Sakti" Perguruan yang selama ini te-
lah mampu bertahan hampir satu abad lamanya
itu sangat disegani oleh kalangan persilatan. Le-
bih-lebih pada masa kepemimpinan Ayahanda Ki
Panji Narada yang dikalangan persilatan terkenal
dengan gelar Pendekar Jari Sakti. Ilmu silatnya
tinggi dan amat disegani bukan saja oleh kalangan
persilatan, tapi juga kalangan pejabat negara. Se-
bagai putranya, tentu saja Ki Panji Narada mewa-
risi ilmu silat beliau. Berpikir sampai disitu, pastilah orang akan berpikir
seribu kali untuk meng-
ganggunya. Apalagi pada saat ini iring-iringan me-
reka membawa calon pengantin perempuan putra
Bupati Sumur Wering yang hubungan kekeraba-
tannya dengan pihak kerajaan amat dekat.
Walau demikian, sebagai orang persilatan tetap
saja Ki Panji Narada mawas diri. Beberapa kali be-
liau berkeliling tempat itu untuk memastikan
keamanannya. Demikian pula dengan murid-
muridnya. Beberapa orang diantara mereka pun
berkeliling secara bergantian. Setelah yakin tak
ada sesuatu yang patut dicurigakan, beliau duduk
dengan tenang dan jauh dari tenda utama tempat
putrinya, Praba Ningrum, beristirahat.
Senja baru saja berlalu dan mereka bersiap-
siap untuk bersantap malam. Hari ini agak meriah
karena beberapa orang murid berhasil memburu
lima ekor kijang dan lebih dari lima belas ekor ke-linci. Jumlah itu lebih dari
cukup untuk membuat
kenyang dua puluh orang murid Perguruan Jari
Sakti, serta beberapa orang tamu mereka yaitu li-
ma orang pengawal Kabupaten serta tujuh orang
murid-murid Perguruan Tangan Baja. Perlu dike-
tahui bahwa Pranajaya yang merupakan calon su-
ami Praba Ningrum selain Putra Bupati, juga mu-
rid dari Perguruan Tangan Baja. Hal ini amat
membahagiakan hati Ki Panji Narada. Dengan de-
mikian akan terjalin tali persahabatan yang lebih
erat diantara Perguruan mereka berdua.
"Kalian harus makan yang kenyang dan esok
hari bangun pagi-pagi agar kita bisa lebih cepat ti-ba di sana," kata Ki Panji
Narada. "Dan setibanya disana perut kami akan mele-
dak, Ki. Sebab Kanjeng Bupati telah menyiapkan
hidangan lezat yang bukan main banyaknya!" sahut salah seorang pengawal
Kabupaten melucu.
"Ha ha ha ha...! Kapan lagi kalian makan
enak?" timpal seorang murid Perguruan Jari Sakti.
"Mumpung ada kesempatan langka nikmati
dulu sepuas-puasnya."
"Bersenang-senang boleh, tapi harus tetap
waspada!" ingat Ki Panji Narada. "Hal-hal seperti ini yang kadang membuat
manusia lupa akan
keadaan sekelilingnya. Mereka terhanyut oleh su-
asana dan musuh dengan leluasa memporak-
porandakan kita."
"Ah, siapa yang berani mengganggu kita, Ki?"
sahut salah seorang murid Perguruan Tangan Baja
yang bertubuh kekar dengan sikap jumawa.
"Mendengar nama Perguruan kita saja orang
akan berpikir dua kali buat mengusik-usiknya.
Apalagi saat ini Kanjeng Bupati hajat dalam uru-
san kita."
"Betul, Ki!" timpal seorang pengawal Kabupaten. "Barang siapa yang berani
mengganggu rombongan ini, apalagi sampai mengusik Putri Praba
Ningrum, tentu mereka tak akan lepas dari keja-
ran Kanjeng Bupati."
Ki Panji Narada tersenyum kecil.
"Betul apa yang kalian katakan itu, tapi dikalangan persilatan penuh dengan
orang-orang yang
tiada terduga kelakuannya," sahutnya dengan wajah bijaksana. "Dalamnya lautan
masih bisa diukur, tapi dalamnya niat yang terkandung di hati
manusia siapa yang tahu" Hari ini mereka takut,
tapi siapa tahu esok hari keberanian mereka se-
makin menggila. Untuk itulah kewaspadaan masih
mutlak dilakukan."
Orang tua itu baru saja selesai bicara ketika
terdengar jerit kesakitan yang disusul munculnya
tubuh salah seorang murid Perguruan Jari Sakti.
Orang itu termasuk salah seorang diantara tiga
orang yang bertugas jaga secara berkeliling.
Mereka terkejut dan bergegas menghampiri,
namun belum lagi sempat mencapai temannya,
orang itu sudah ambruk. Dari tubuhnya terlihat
luka-luka yang mengerikan. Wajahnya rusak, se-
dangkan ditubuhnya terdapat luka yang lebar dan
dalam. "Koneng"! Astaga, siapa yang melakukan per-
buatan keji ini padamu"!" sentak Pandu Wilantara, murid tertua Perguruan Jari
Sakti murka. Kedua
pelipisnya menegang menahan rasa amarahnya.
Diguncang-guncangkan tubuh Koneng beberapa
kali. "Kita harus membalasnya!" teriak salah seorang murid Jari Sakti yang lain.
Ucapannya me- nyulut kemarahan yang lain. Serentak mereka
mencabut senjatanya masing-masing dan mulai
bergerak untuk mencari biang kerusuhan itu.
"Tenang! Tenang...!" teriak Ki Panji Narada.
"Kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Dengar perintahku!"
"Tapi, Ki..." sela Pandu Wilantara terhenti ketika terdengar suara tawa nyaring
seperti mengu- rung tempat itu. Semuanya mencari-cari arah
sumber suara itu.
* * * "Ha ha ha ha...! Alangkah lucunya. Sekumpu-
lan kijang-kijang empuk mengira dirinya harimau.
Tapi saat sepasang harimau yang asli muncul, me-
reka menggigil ketakutan. Sungguh lucu! Sungguh
lucu! Hayo, mengaumlah kalian sekarang!"
Serempak semua mata menengadah pada se-
buah pohon tak begitu jauh dari tempat mereka
beristirahat. Seorang laki-laki bertubuh besar
dengan wajah seram, nampak menyeringai buas
dengan sikap meremehkan. Kulitnya hitam dan
memakai pakaian kuning berselang-seling. Pada
punggungnya tersampir sebilah pedang.
Melihat tokoh satu ini, Ki Panji Narada men-
gernyitkan alisnya. Rasanya ia belum pernah ber-
temu. Namun merasakan suara tawanya yang
mengandung tenaga dalam hebat, pastilah ia seo-
rang tokoh persilatan berilmu tinggi.
"Kisanak, siapa kau" Kenapa datang langsung
mengejek kami dan apakah kau ada sangkut-
pautnya dengan kematian muridku?" tanya Ki
Panji Narada dengan suara datar.
"Kaukah yang bernama Panji Narada, Ketua
Perguruan Jari Sakti?" balas orang berkulit hitam itu tanpa memperdulikan
pertanyaan Ki Panji Narada. Sikapnya sombong sekali.
Ki Panji Narada masih menahan rasa sabar.
Dengan nada suara yang tak berubah, beliau me-
nyahut, "Benar, namaku Panji Narada dan menge-tuai Perguruan Jari Sakti. Nah,
Kisanak, kalau kau tak ada urusan dengan kejadian ini kuharap
kau sudi berlalu."
"Ha ha ha ha...! Maut telah di ambang pintu
tapi sikapmu angkuh sekali. Baiklah orang seper-
timu cepat-cepat mencium telapak kakiku. Siapa
tahu kami sudi mengampuni jiwamu yang tak
berharga. Bukankah demikian Kakang Mangga-
la"!" kata orang itu kembali terbahak-bahak. Dan selesai ucapannya terdengar
satu suara menyahut
didahului oleh suara tawanya yang lebih keras
hingga menggetarkan mereka yang mendengarnya.
Ki Panji Narada merasa takjub. Kehadiran teman
si tinggi besar kulit hitam itu sungguh tak disadarinya.
"Betul Adik Durbala. Untuk apa kau bertanya
jawab segala dengan cecoro-cecoro busuk ini" Le-
bih cepat kau habisi mereka bukankah lebih
baik?" Bukan main panasnya hati Ki Panji Narada.
Kedua orang ini betul-betul sengaja mencari gara-
gara. Walau begitu, dia sempat merasa aneh. Sia-
pa sesungguhnya kedua orang ini" Dari warna ku-
lit serta ukuran tubuh mereka yang besar, agak-
nya mereka bersaudara. Juga dari pakaian serta
senjata yang mereka pergunakan. Hanya saja
orang terakhir yang dipanggil Manggala bertubuh
lebih besar dan tinggi sedikit dibanding orang pertama. Namun angkuh dan
seramnya tiada beda.
"Guru, untuk apa debat omong dengan mere-
ka" Sudah jelas orang ini yang membunuh ketiga
murid Perguruan Jari Sakti. Perintahkan kami un-
tuk meringkus dan menghukum mereka!" kata
Pandu Wilantara tak sabar. Kedua tangannya ter-
kepal erat dan sepasang matanya menatap tajam
penuh dendam kepada dua orang asing itu.
"He he he he...! Besar juga nyalimu, bocah. Si-ni, biar kupecahkan batok
kepalamu!"
Dengan tiba-tiba orang yang bernama Mangga-
la melesat dari cabang pohon tempatnya tadi ber-
pijak dan bergerak cepat mengirim satu tendangan
ke arah Pandu Wilantara. Pemuda berusia tiga pu-
luh tahun itu yang memang sejak tadi sudah ber-
siaga, cepat membuang diri. Namun tak urung ia
tersentak kaget. Angin serangan lawan bersiur
kencang dan sempat membuat denyut jantungnya
berdetak semakin cepat.
"Jangan serakah kau, Kakang Manggala! Aku
pun ingin mencicipi mereka!" teriak Durbala yang ikut turun dan menyerang dua
orang murid Perguruan Jari Sakti yang berada di bawah cabang po-


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hon tempatnya tadi berpijak.
Tapi kali ini agaknya Ki Panji Narada sudah
cukup bersabar diri melihat kelakuan dua orang
asing yang menganggap remeh mereka. Dengan
serta merta tubuhnya berkelebat dan menyambut
serangan lawan.
"Kisanak, agaknya kalian perlu diberi pelajaran agar tidak menganggap bahwa diri
bisa berbuat apa saja!"
"Ha ha ha ha...! Bagus! Bagus! Sudah lama se-
kali aku berniat mencicipi ilmu silatmu. Kata
orang Pendekar Jari Sakti memiliki ilmu silat ting-gi yang sulit ditandingi.
Sebetulnya aku segan
menghadapimu. tapi karena saat ini dia tak ada
dan kau mewarisi ilmu silatnya, bolehkan kau
menghadapiku." sahut Durbala masih dengan si-
kap meremehkan.
Mendengar ucapan lawan bukan main kesal-
nya hati Ki Panji Narada. Tanpa menunda lebih
lama, ia langsung mengeluarkan ilmu silat tingkat
tinggi yang dimilikinya. Dengan demikian lawan
akan terbuka matanya dan tak lagi menganggap
remeh. Apa yang diharapkan Ki Panji Narada berhasil.
Untuk sesaat lawan dibuat sibuk dan tak sempat
mengejeknya. Kedua jari di tangan kiri dan kanan
Ki Panji Narada kaku dan keras bagai baja. Angin
serangannya tajam bagai kelebatan mata pisau
yang mengiris-iris. Tapi sebentar saja lawan kem-
bali terkekeh-kekeh.
"He he he he...! Betul apa yang kuduga, ternya-ta ilmu silat Jari Sakti tiada
kehebatannya. Ba-
gusnya hanya untuk menepuk lalat."
"Huh, keluarkan pedangmu dan mari berta-
rung sampai seribu jurus. Jangan hanya omong
kosong belaka!" dengus Ki Panji Narada semakin kesal.
"Pedangku hanya keluar bila aku bosan meli-
hat wajahmu dan memang saat ini aku betul-betul
muak melihatmu."
"Sriiiiing...!" Selesai dengan kata-katanya, Durbala langsung mengeluarkan
pedang yang tadi
tersampir dipunggungnya. Ki Panji Narada sedikit
tcrcekat melihat senjata lawan. Pedang itu tak se-
perti biasanya melainkan bergerigi pada kedua
matanya seperti gergaji. Kalau saja ditusukkan ke
tubuh lawan, niscaya akibatnya sungguh menge-
naskan. "Kenapa" Mulai takut mati..." He... he... he...!
Lekaslah tusuk jantungmu sendiri sebelum aku
memotes lehermu." ejek Durbala.
"Huh, jangan takabur, Kisanak!" dengus Ki Panji Narada. "Walau kau punya ilmu
setinggi langit, tak nanti aku lari. Sebaiknya sebut siapa ka-
lian dan apa maksud kalian mengacau disini agar
nanti lebih gampang aku mcnuliskannya di batu
nisan!" "Hebat! Sungguh hebat gertakan mu! Tapi
baiklah, untuk orang yang ingin di alam kubur
nanti. Nah, ingat baik-baik. Kami berdua adalah
Sepasang Iblis Pulau Hitam!"
"Sepasang Iblis Pulau Hitam?" Ki Panji men-gernyitkan alis. Belum pernah selama
ini ia men- dengar gelar itu. Tapi tentang Pulau Hitam sering diperbincangkan orang.
Kabarnya di sana bercokol
seorang tokoh sesat yang amat sakti. Tapi cerita
itupun lambat laun sirna sendiri seiring sang to-
koh yang tak pernah terdengar lagi kabar beri-
tanya selama hampir setengah abad. Tapi apakah
mereka berdua ini berasal dari pulau itu'.
Tapi tak ada waktu panjang baginya untuk
memikirkan hal itu sebab dengan satu gerakan ki-
lat, ujung pedang lawan nyaris membabat leher-
nya. Ki Panji Narada berkelit ke kiri sambil me-
nundukkan sedikit kepalanya. Tangan kirinya dis-
iringkan dengan cepat ke dada kanan lawan.
"Wuuuut....!"
Namun dengan gerakan yang tak terduga tu-
buh Durbala seperti berputar ke kanan, kemudian
melentik ke atas dua kali sambil menyabetkan pe-
dangnya kembali ke leher lawan.
"Yeaaaaah...!"
"Wuk! Wuk!"
"Aaaaakh...!"
Ki Panji Narada tersentak kaget mendengar je-
ritan itu. Baru saja ia seperti terlepas dari incaran maut dan bernafas lega,
dan kini timbul korban
baru. Tidak kepalang tanggung melainkan murid
tertua dan paling diandalkannya, yaitu Pandu Wi-
lantara. Tubuhnya nyaris terbelah dua di bagian
pinggang. Orang tua itu hampir mual isi perutnya
melihat pemandangan yang mengenaskan itu.
"Ha ha ha...! Bocah bagus, sayang kau harus
cepat-cepat menyusul teman-temanmu!" ejek
Manggala sambil berkacak pinggang. Tapi pada
saat itu juga murid-murid Perguruan Jari Sakti
lainnya menyerbu dibantu beberapa orang murid
Perguruan Tangan Baja serta pengawal Kabupa-
ten. "Bedebah biadab! Kau harus menebus nya-
wanya dengan nyawa busukmu!" teriak seorang
murid Perguruan Jari Sakti sambil menyerang
dengan kalap. "Wuuceeh, mulut besarmu boleh juga, bocah!"
"Wusss...!"
"Heaaaat...!"
"Crass...!"
Satu lagi lawan tumbang dengan leher hampir
putus disabet pedang maut Manggala. Orang itu
sempat terkekeh ketika yang lain mengurung dan
langsung menyerangnya dengan kalap.
"Bedebah jahanam! Kau terima ini...!" teriak seorang murid Tangan Baja dengan
kalap. "He he he...! Gerakanmu agak lain dari te-
manmu. Apakah kau sudah kalap dan ingin
menghabisi ku secepatnya" Kau boleh bermimpi
bocah!" "Tutup mulutmu!"
"Ciaaaat...!"
"Plak! Breeet...!"
Dengan telapak tangan kiri terbuka, Manggala
memapaki tinju lawan, lalu dengan leluasa pedang
menyambar ke arah leher. Gerakannya gesit dan
mengandung tenaga dalam kuat. Dalam beberapa
gebrakan saja telah lima orang kembali tewas di-
tangannya. Jerit kematian dan darah seperti
membanjir di tempat itu. Namun walau demikian,
tak seorang pun dari mereka yang berniat untuk
kabur. Sebaliknya mereka malah semakin bernaf-
su untuk menyerang lawan.
* * * Sementara itu pertarungan antara Ki Panji Na-
rada dengan Durbala telah berlangsung hingga
dua puluh jurus. Perlahan-lahan mulai terlihat ke-
tua Perguruan Jari Sakti itu mulai tersudut. Saat
ini beliau hanya bisa bertahan mati-matian me-
nyelamatkan jiwanya.
"Ha ha ha ha...! Hanya sampai di sini sajakah kemampuanmu, tua bangka keropos"
Ternyata nama Pendekar Jari Sakti yang diheboh-hebohkan
orang itu omong kosong belaka. Ilmu silat kalian
picisan dan sama sekali tak berguna!" ejek Durbala. "Jangan banyak omong kau!
Terimalah kematianmu!" teriak Ki Panji Narada. Kali ini merubah jurus dan
serangannya semakin cepat. Agaknya
orang tua itu benar-benar ingin mengadu jiwa
dengan lawannya.
"Heaaaa...!"
"Wut! Wut!"
Kedua tangannya yang membentuk tusukan
dan jari tangan menyambar-nyambar di sela-sela
kelebatan pedang lawan. Untuk sekejap Durbala
dibuat jengkel jadinya. Dengan menggunakan te-
naga dalam yang tinggi menahan amarah. pe-
dangnya diayunkan lebih cepat sehingga menim-
bulkan suara angin yang kencang.
"Wuk! Wuk!'
"Ciaaaaat...!"
"Bet!"
Tangan kanan Ki Panji Narada dengan tiba-
tiba melesat ke tenggorokan lawan. Durbala terce-
kat, namun tangan kirinya mengibas bermaksud
ingin menangkis. Tapi dengan tiada disangka, Ki
Panji Narada menarik serangan ketika tubuhnya
melenting ke atas dengan tangan kiri mengarah ke
ubun-ubun lawan. Angin serangannya yang men-
desir kencang menandakan bahwa orang tua itu
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya lewat tu-
sukan dua jari tangannya. Kalau saja Durbala tak
cepat-cepat mengegoskan kepala sambil memutar
tubuh, niscaya ubun-ubunnya akan bolong ditem-
bus jari-jari Ki Panji Narada.
"Wuuuk!"
"Dess!"
Bukan main kalapnya Durbala ketika satu
tendangan kaki kanan lawan menghajar pung-
gungnya. Walau tak berakibat parah bagi dirinya,
tapi sempat juga membuatnya sedikit terjajar.
Saat membalikkan tubuh dan langsung menya-
betkan pedang, ia tak menduga begitu menjejak-
kan kaki, tubuh Ki Panji Narada kembali melentik
ke atas dan berputar dua kali ke arah belakang
dan mengirim satu tendangan yang cukup keras.
"Jangan girang hati dulu kau tua bangka! Kali ini riwayatmu benar-benar akan
tamat!" dengus Durbala sambil terus menyerang lawan. Pedang di-tangannya seperti
bermata, terus mengikuti ke-
mana pun lawan bergerak menghindar. Dalam se-
kejap saja terlihat bahwa Ki Panji Narada telah
terkurung oleh serangan lawan dan tak ada sedikit
celah pun baginya untuk menghindar.
"Yeaaah...!"
"Tuk! Breet...!"
"Aaaaarghk!"
Ki Panji Narada mengeluh kesakitan. Saat pe-
dang lawan berkelebat menyabet lehernya. orang
tua itu berada dalam genting. Jalan satu-satunya
adalah menjatuhkan diri ke tanah. Tapi seiring
dengan gerakan tubuhnya, pedang lawan kembali
menyambar pinggang. Ki Panji Narada berguling
dan tangan kanannya coba menghantam pergelan-
gan lawan. Ia mengeluh kesakitan ketika dua jari
tangan kanannya patah terkena benturan tadi.
Dan pada saat itulah pedang lawan terus mengha-
jar pinggangnya hingga robek.
"Sekarang terimalah kematianmu...!"
Kembali Durbala mengayunkan pedangnya
dengan bernafsu. Ki Panji Narada tak punya ke-
sempatan lagi menyelamatkan diri kalau saja pada
saat itu dua orang muridnya tak segera memban-
tu. "Heaaat...!"
"Cecurut busuk, terimalah kematian kalian!"
bentak Durbala sambil membalikkan tubuh dan
menyabetkan pedang.
Breeet...! "Wuayyaaa...!"
Dengan sekali tebas, pedang Durbala merobek
perut kedua lawan. Terdengar jerit dan lolong ke-
sakitan dua orang itu ambruk dengan isi perut
yang terburai. Namun seketika itu juga tiga orang
lainnya langsung menyerang tanpa mengenal rasa
takut. "Daluyo, selamatkan Praba Ningrum!" teriak Ki Panji Narada memberikan perintah
pada salah seorang muridnya yang bermaksud ikut menge-
royok Durbala. "Tapi, Ki...?"
"Tak ada waktu lagi. Lekas selamatkan putriku cepat...!"
"Ba... baik, Ki...."
Pemuda berusia dua puluh lima tahun yang
dipanggil Daluyo itu langsung melompat ke tempat
tandu yang paling besar. Namun belum lagi ia me-
langkah jauh, tiba-tiba satu angin serangan seolah menerpa ke arahnya. Tanpa
menoleh lagi pemuda
itu langsung menundukkan kepala dan menghan-
tamkan satu pukulan.
"Wuuk! Praak!"
"Aaaaakh...!"
Daluyo menjerit kesakitan ketika tulang len-
gannya patah akibat benturan suatu benda keras.
Belum lagi ia sempat mengetahui apa yang meng-
hantamnya tadi, satu sabetan senjata tajam
menghunjam dadanya. Pemuda itu menjerit pan-
jang ketika tulang dadanya remuk. Seiring tubuh-
nya ambruk, Durbala terkekeh di dekatnya.
"He he he...! Kenapa aku tak ingat sejak tadi.
Bukankah kalian membawa seorang perempuan
dalam rombongan ini" Kalau tahu begitu tak akan
kubuat kalian menderita lama-lama," ujar Durbala terkekeh sambil melangkah lebar
mendekati tandu. "Jahanam, jangan ganggu anakku!" teriak Ki
Panji Narada berusaha bangkit dan bermaksud
menahan lawan dengan serangan kilat. Namun da-
lam keadaan terluka parah begitu, sulit baginya
untuk bergerak cepat. Juga bila ia mengerahkan


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga dalamnya itu sama artinya dengan mem-
bunuh dirinya lebih cepat karena aliran darahnya
mengalir lebih deras. Tapi demi menyelamatkan
putrinya dari bahaya, orang tua itu seperti tak
memperdulikan keadaannya lagi.
Trass!" "Aaaaakh...!"
Sambil mendengus dingin Durbala mengayun-
kan pedang. Sedetik kemudian terdengar jeritan
tertahan Ki Panji Narada. Kepalanya menggelind-
ing ditebas pedang lawan.
Praba Ningrum yang sejak tadi dan ketakutan
dalam tandunya melihat kehadiran dua orang as-
ing yang mengacau rombongan mereka, kini lebih
terkejut lagi melihat kematian ayahnya yang tra-
gis. "Ayah...!" teriaknya dengan detak jantung nyaris terhenti.
Batinnya terasa hancur dan air matanya tiada
lagi bisa tertahan. Tanpa sadar gadis belia berusia tujuh belas tahun itu
menghambur keluar memburu ayahnya. Namun belum lagi sampai, lang-
kahnya terhenti ketika tangan kiri Durbala meraih
pinggangnya lalu mengepitnya erat-erat sambil
terkekeh-kekeh.
"Ha ha ha ha...! Gadis bagus! Tubuhmu mon-
tok dan wajahmu cantik sekali. Diamlah anak ma-
nis, kau aman dalam dekapan ku!"
"Lepaskan aku! Lepaskaaan! Jahanam keparat!
Lepaskan aku...!"
Praba Ningrum berteriak-teriak histeris beru-
saha melepaskan diri. Tapi Durbala telah mem-
perhitungkan hal itu. Sebagai putri Ki Panji Nara-
da, tentu ia memiliki ilmu silat dan kepandaian
yang lumayan, sebab itulah kepitan Durbala amat
kencang. Dan saat kedua tangan gadis itu ber-
maksud menghajar kepala, tangan kanannya ber-
gerak menotok. Praba Ningrum sesaat terkulai
dengan tubuh lemas. Durbala terkekeh-kekeh ke-
ras. "Kakang Manggala, tinggalkan cecurut-cecurut tak berguna itu. Tak sukakah
kau dengan apa yang kubawa ini?"
Manggala yang saat itu sedang membantai si-
sa-sisa lawannya langsung tersenyum begitu meli-
hat Durbala mengepit tubuh seorang gadis. Sambil
mengayunkan pedang menghabisi tiga orang la-
wannya, ia langsung melompat meninggalkan
tempat itu mengiringi kelebatan Durbala yang le-
bih dulu bergerak.
"Aaaaaakh...!"
Ketiga orang terakhir dalam rombongan itu
langsung tumbang dengan perut robek dan isinya
terburai keluar. Seketika tempat itu sunyi. Dan
manakala angin bertiup, bau darah nyaris tercium
seketika. Menyapu gelapnya malam menembus be-
lukar dan melewati pegunungan. Dedaunan ter-
tunduk layu, dan bunyi satwa liar terhenti seperti hanyut dalam duka yang dalam.
* * * 2 Awan kelabu yang sejak tadi menaungi angka-
sa berubah kelam. Beberapa kali kilatan cahaya
petir seperti membelah angkasa yang disusul gele-
garnya suara geledek. Pemuda berambut gondrong
itu melompat cepat dari satu tonjolan batu yang
satu ke batu yang lain. Melihat gerakannya yang
ringan dan gesit, nyata bahwa ia memiliki ilmu pe-
ringan tubuh yang cukup handal. Sebentar saja
tubuhnya telah tiba di seberang sungai itu. Seekor monyet berbulu coklat yang
sejak tadi berada di
pundaknya menjerit keras sambil menutupi ma-
tanya ketika kilatan petir kembali membelah ang-
kasa. "Tenang, Tiren! Jangan takut. Itu hanya per-
tanda bahwa sebentar lagi akan hujan. Tapi kau
kalau terus menjerit, dia akan menyambar mu,"
kata si pemuda yang mengenakan baju kulit hari-
mau itu menakut-nakuti.
"Cieeeet...!"
"Huss, diam! Diam!" Pemuda itu menepuk-
nepuk kepala si monyet bernama Tiren sambil ber-
lari-lari kecil ketika titik-titik air hujan mulai turun. Diliriknya keadaan di
tempat itu untuk men-
cari tempat perlindungan. Namun yang terlihat
hanya pohon-pohon besar dari hutan yang tak be-
gitu lebat. Pemuda itu mendesah kesal. Namun
mendadak langkahnya tertahan ketika sepasang
matanya yang tajam mendapati sesosok tubuh ter-
geletak di atas rerumputan.
"Cieeet! Cieeeet!" Tiren menjerit melengking sambil melompat turun dari pundak
Bayu. "Astaga, kenapa gadis ini"!" sentak Bayu sambil memalingkan wajahnya sesaat. Apa
yang dili- hatnya adalah sesosok tubuh seorang gadis yang
terbaring tanpa sehelai benang pun melekat di tu-
buhnya. "Tiren, coba bangunkan dia. Barangkali gadis
ini hanya pingsan saja!"
"Cieeet"
Dengan patuh Tiren langsung menjalankan pe-
rintah Bayu. Digoyang-goyangkan tubuh gadis itu
lalu ditutupinya dengan pakaian yang terhampar
tak jauh dari tempat itu. Namun tak terlihat gera-
kan apa pun. Tiren kembali mencericit sambil me-
lompat ke pundak Bayu.
"Apa" Maksudmu gadis ini sudah mati" Mana
mungkin!" sahut Bayu seperti tak mengerti apa yang dikatakan sahabatnya itu.
Bayu segera berbalik dan memeriksa keadaan si gadis. Sekejap sa-
ja Bayu langsung mengetahui bahwa gadis itu da-
lam keadaan tertotok. Setelah mcmbebaskan toto-
kannya, Bayu bermaksud membopongnya ke tem-
pat yang teduh di bawah pohon besar. Namun saat
itu juga terdengar suara halus yang menegurnya
dengan sinis. "Pemuda hidung belang, letakkan gadis itu!"
Bukan main terkejutnya Bayu ketika melihat
seorang gadis muda berwajah galak, berdiri tak
begitu jauh darinya. Mengenakan pakaian hijau
sambil berkacak pinggang. Rambutnya diikat pada
bagian belakang. Di sebelahnya berdiri seorang
pemuda bertubuh kekar dengan kedua tangan
bersedekap. Sepasang matanya menatap penuh
kebencian pada Bayu.
"Kisanak, siapa kalian dan kenapa datang-
datang langsung menuduhku demikian rupa" Na-
maku Bayu Hanggara dan aku bermaksud hendak
menolong gadis ini," jelas Bayu dengan suara lunak, masih tetap membopong tubuh
gadis tadi. "Cia! Pandai sekali kau bersilat lidah. Sudah jelas keadaan gadis itu bagaimana,
kau tentu belum puas dan ingin melampiaskan kembali nafsu
setanmu!" sentak gadis berbaju hijau itu dengan suara kasar.
"Tinggalkan gadis itu atau aku harus memak-
samu dengan cara kekerasan dan sekaligus meng-
hukummu!" "Sriing!".
Dengan tiba-tiba gadis berbaju hijau itu men-
cabut pedang yang tersampir di pinggangnya. Ke-
mudian menghunus dengan sikap mengancam.
Melihat kelakuan si gadis, Bayu Hanggara atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pu-
lau Neraka itu menjadi kesal sendiri. Tanpa men-
gacuhkan mereka, Bayu berbalik dan bermaksud
meninggalkan mereka sambil mengeluarkan suara
di hidung. "Setan berkeliaran di mana-mana sambil me-
nyerupai apa pun. Terkadang malah menuduh
orang yang tak bersalah apa-apa lebih dulu agar ia bisa leluasa menjalankan
maksiatnya."
"Kurang ajar! Jelas-jelas kau yang telah men-
cabuli gadis itu. Kini malah menuduh kami yang
bukan-bukan!" teriak gadis itu kalap. Agaknya ia mengerti apa yang di maksud
oleh Bayu. Dan tanpa pikir dua kali tubuhnya melompat sambil men-
gayunkan pedang.
"Ciaaat!"
"Wus! Wuk!"
Meskipun di tangannya membopong tubuh
seorang gadis Bayu masih bisa mengelak dari sa-
betan pedang. Bahkan dua kali serangan selanjut-
nya berhasil di elakkan Bayu dengan manis. Tu-
buh Bayu melesat beberapa tombak jauhnya den-
gan ke dua kaki menjejak ringan di tanah.
"Nisanak, jangan kau memaksaku untuk ber-
tindak keras. Di antara kita tiada permusuhan
dan aku pun tak pernah mengganggu kalian. Ke-
napa kau begitu bernafsu hendak membunuhku?"
"Pemuda hidung belang keparat! Kalau tidak
kutebas lehermu sekarang, tentu akan banyak ga-
dis-gadis malang yang akan menjadi korban niat
busuk dari nafsu setanmu!"
"Kenapa kau beranggapan begitu terhadapku"
Apakah karena kau pernah menjadi korban seseo-
rang yang wajahnya mirip denganku?"
"Tutup mulutmu! Walau kau mengoceh apa
pun jangan harap mataku bisa tertipu dengan pe-
muda sepertimu! Terima seranganku!"
Begitu selesai berkata demikian, kembali tu-
buh gadis berbaju hijau itu mencelat sambil men-
gayunkan pedang. Kali ini gerakan cepat dan ber-
tenaga. Bayu Hanggara yang mulai muak melihat
tingkah gadis itu bermaksud akan memberinya pe-
lajaran. Di letakkannya gadis yang berada dalam
bopongannya dan bersiap menyambut serangan
lawan. "Heaaaat...!"
"Yeaaaah...!"
Belum lagi gadis itu menjejakkan kaki ke ta-
nah, tubuhnya melayang memapaki. Cakra maut
bersegi enam di tangan kanannya menangkis pe-
dang lawan. Sementara kaki kanannya bermaksud
menghajar ke arah perut.
"Traang!"
"Wuk!"
* * * Gadis itu terkejut kaget. Pedangnya bergetar
hebat. Masih untung ia mampu berkelit dari ten-
dangan lawan. Tapi keseimbangan tubuhnya su-
dah tak terjaga lagi. Dan ketika tubuh Bayu men-
jejak ke tanah, dengan cepat kembali ia melentik
dan mengirim satu pukulan sebelum gadis itu me-
nyentuh tanah. Sungguh indah gerakannya. Dan
kali ini gadis itu tak akan mampu menghindar dari
serangan. "Pemuda keparat! Akulah lawanmu!"
"Wuss!"
"Haiit...!"
Bayu Hanggara melejit ringan manakala pe-
muda yang tadi bersama gadis itu dengan tiba-tiba
menyerang ke arahnya dengan satu pukulan jarak
jauh. Masih untung pendengarannya yang tajam
mengingatkan akan bahaya itu. Ketika kedua ka-
kinya menjejak di tanah pada jarak lima tombak.
Pemuda itu terkekeh kecil. Dilihatnya si gadis berbaju hijau mendengus marah dan
wajahnya tam- bah menyiratkan kebencian.
"Hemm, apakah kau bermaksud akan mering-
kusku pula?" tanyanya datar pada pemuda bertubuh kekar yang mengenakan baju
hitam itu den- gan suara datar.
"Tergantung...."
"Bagus! Agaknya akalmu lebih di pakai ketim-
bang pacarmu itu."
"Maksudku tergantung dari kata-katamu. Ka-
lau melihat caramu menyerang adikku, tentulah
kau bukan orang baik-baik. Namun demikian aku
tak ingin menuduh orang sembarangan sebelum
jelas persoalannya."
"He he he he...! Tentu saja. Siapa yang tak ingin membela pacarnya. Kalau ia
menyerang den- gan bernafsu ingin mencabut nyawaku, dalam
anggapanmu itu hanya sekedarnya saja. Tapi se-
baliknya tidak."
Pemuda bertubuh kekar itu mengerti akan
sindiran lawan. Dia menarik nafas dalam-dalam
untuk menyabarkan diri, kemudian katanya pelan
namun ada kesan mengancam.
"Kalau kau yakin bahwa dirimu tak bersalah,
maka gadis itulah yang menjadi kunci satu-
satunya. Kulihat sekilas ia hanya pingsan. Tentu
sebentar lagi akan sadar, dan kalau kemudian ter-
bukti kau melakukan perbuatan terkutuk itu, kau
tak akan lepas dari tanganku!"
"Ha ha ha ha...!' Boleh juga ancamanmu, so-
bat. Nah, kenapa tak kau urus saja dia sementara
aku menonton di sini."
Pemuda itu mendengus sinis, kemudian mem-
beri isyarat pada gadis berbaju hijau itu untuk
memeriksa keadaan gadis yang masih belum sa-
darkan diri itu.
Sementara itu hujan mulai turun agak deras
dan mereka berteduh di bawah pohon rindang
yang memiliki daun-daun yang rimbun.
Bayu Hanggara hanya memperhatikan saja ga-


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dis berbaju hijau itu mengurut-urut pada bagian-
bagian tertentu di tubuh gadis yang tadi ditemu-
kannya. Untuk beberapa saat kemudian terlihat
reaksinya. Gadis itu mengeliat-geliat dengan suara lirih.
"Ohh...!"
"Tenanglah, Nona. Kau berada di tempat yang
aman. Kami tak bermaksud menyakitimu."
Gadis itu bangkit dan memandang ketiga
orang asing di hadapannya satu persatu. Kemu-
dian menatap dirinya sekilas dan termangu seje-
nak. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu tanpa se-
bab. "Nona, tenanglah. Kami hanya bermaksud me-
nolongmu. Namaku Ratih, dan ini Kakangku Ma-
hendra. Aku tahu apa yang telah kau alami. Kalau
kau mengenalinya, katakan pada kami. Orang itu
tak akan lepas begitu saja."
"Alangkah malangnya nasibku. Ohh.... Alang-
kah malangnya..." ujar gadis itu berkali-kali di antara isak tangisnya. "Tiada
guna hidup menanggung malu...."
"Nona, tenanglah. Kami bersungguh-sungguh
akan membantumu dan membalas sakit hatimu.
Nah, apakah pemuda ini yang telah melakukannya
terhadapmu?" tunjuk gadis berbaju hijau yang mengaku bernama Ratih pada Bayu
Hanggara. Tapi gadis itu tak menoleh. Ditatapnya gadis
dihadapannya itu dengan wajah sayu.
"Betulkah kalian ingin menolongku...?"
"Tentu saja. Nah. katakanlah siapa orang itu?"
"Cabutlah pedangmu dan bunuhlah aku saat
ini!" "Nona, jangan main-main! Kami bersungguh-sungguh akan menolongmu. Orang
seperti itu ha-
rus mampus agar tak lagi mencari korban!" dengus Ratih.
Gadis itu kembali terisak pelan sambil mengge-
lengkan kepala.
"Kalian tak akan mampu menghadapinya... ka-
lian tak akan mampu..." ujarnya dengan suara lemah.
"Cuih! Meski harus berkorban nyawa, aku rela
asal bajingan seperti itu lenyap dari muka bumi
ini! Katakanlah Nona, siapa dia" Apakah pemuda
ini"!"
Sudah dua kali gadis itu menuding padanya.
Jengkel juga perasaan Bayu Hanggara. Agaknya
lekat betul tuduhan gadis ini padanya. Entah apa
sebabnya, tiba-tiba merasa yakin bahwa dialah
yang telah berbuat tak senonoh pada gadis itu.
"Bukan... mereka menamakan dirinya sepa-
sang Iblis Pulau Hitam," sahut gadis itu.
Kemudian ia menceritakan kejadian yang telah
dialaminya dari awal hingga akhir. Selesai gadis
itu bercerita, Bayu Hanggara angkat bicara sambil
melangkah pelan dari tempat itu.
"Nah, Nona... kukira penjelasan Adik Praba
Ningrum telah jelas, bukan" Kalau kalian berniat
membantunya, jangan tanggung-tanggung. Urus-
lah dia dan jangan pernah mengurus orang lain
yang tak bersalah dengan menuduhnya yang ti-
dak-tidak."
Setelah mengajak sahabatnya, Tiren, Bayu
Hanggara melesat dari tempat itu dengan gerakan
ringan. Sebentar saja tubuhnya lenyap dari pan-
dangan mata mereka.
Ratih dan Mahendra masih terpaku dengan
wajah menyesal. Baru saja mereka turun gunung
dan yakin bahwa ilmu yang mereka pelajari sela-
ma ini tiada tandingannya, tiba-tiba dengan mu-
dah seorang pemuda yang sebaya dengan mereka
melayaninya. Betapa tidak" Guru mereka yang di
kalangan Persilatan terkenal dengan gelar Malai-
kat Penyambung Nyawa bukanlah tokoh semba-
rangan. Dalam jajaran tokoh-tokoh golongan putih
beliau termasuk yang amat disegani. Bukan saja
pada ketinggian ilmu silatnya, tapi juga karena ke-luasan cara berpikirnya dan
kebijaksanaan yang
sering dilihat sesama tokoh lain dalam menyele-
saikan setiap masalah. Tapi kini sebagai murid,
mereka bukan saja menganggap lawan remeh, tapi
juga menuduh tanpa alasan yang jelas.
"Sungguh sayang, kita tak mengetahuinya
dengan jelas siapa pemuda itu sebenarnya. Ilmu
silatnya tinggi. Entah dari golongan mana ia be-
rasal...." kata Mahendra pelan.
"Mungkin juga dia murid tokoh sesat, Kakang.
Kenapa di persoalkan sekali" Sikapnya saja sudah
jelas, Dia sama sekali tak tergerak untuk meno-
long sesamanya. Mendengar cerita Praba Ningrum
yang amat mengenaskan itu, tak membuat hatinya
tergerak untuk membasmi tokoh yang menamakan
dirinya Sepasang Iblis Pulau Hitam. Padahal ke-
pandaiannya cukup lumayan dan bisa diandal-
kan," sahut Ratih.
"Mungkin ada alasan tertentu dalam hatinya.
Kita tak bisa menerka maksud seseorang dengan
melihat kulit luarnya saja, Ratih...."
"Sudahlah, Kakang.... Untuk apa kita memper-
bincangkan orang yang tak ada. Sekarang bagai-
mana dengan Praba Ningrum" Apakah akan kita
antarkan kepada calon suaminya, yaitu putra Bu-
pati Sumur Wering atau bagaimana?"
"Bagaimana, Praba" Apakah kau bersedia kami
antarkan ke tempat calon suamimu?" tanya Ma-
hendra kembali pada gadis bernama Praba Nin-
grum itu. Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Ha-
tinya bimbang bukan main. Masih punya rasa ma-
lukah ia bertemu dengan calon suaminya dalam
keadaan begini" Ohh, rasanya lebih baik mence-
burkan diri ke dalam jurang terjal ketimbang ha-
rus menghadapi aib yang memalukan ini.
"Lebih baik tinggalkan aku saja di sini..." sahutnya lemah.
"Jangan berkata begitu, Praba...." Ratih memegang kedua lengannya dan membujuk.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi le-
bih baik menghadapi kenyataan daripada lari
menghindar. Kami akan menceritakan hal ini pada
mereka. Mudah-mudahan mereka mau mengerti.
Tapi kalau ternyata calon suamimu dan Bupati
Sumur Wering itu berpikiran picik, lebih baik kau
ikut dengan kami ke padepokan. Nah, bagaimana"
Kau mau bukan?"
Praba Ningrum tak langsung menyahut. Di-
pandanginya gadis itu agak lama sebelum men-
gangguk pelan. Ratih tersenyum dan membim-
bingnya perlahan-lahan.
Setelah hujan reda, ketiganya segera berlalu
dari tempat itu. Hati Praba Ningrum masih ga-
mang. Bayangan kelabu senantiasa berada dalam
pikirannya. Namun Ratih selalu menghibur dan
membesarkan hatinya. Perlahan-lahan gadis itu
mampu tersenyum kecil, walau masih terasa ke-
san getir. * * * Ibukota kabupaten kini nampak sepi. Orang-
orang yang tadi berkerumun di halaman depan
rumah bupati, kini bubar satu demi satu. Bukan
saja oleh hujan deras yang seolah sengaja dicu-
rahkan dari langit sejak tadi pagi, namun juga ka-
rena keramaian yang diadakan Kanjeng Bupati ti-
dak seperti yang diharapkan. Putra beliau yang
bernama Pranajaya sejak pagi tadi terus gelisah.
Seharusnya calon isterinya sudah tiba pagi-pagi
sekali. Namun sampai siang tadi, belum terlihat
tanda-tanda kehadiran rombongan tersebut, Hibu-
ran yang beraneka macam didatangkan Ayahan-
danya, seperti tak mampu mengusik kegelisahan
hatinya. Dan kini senja mulai berakhir. Halaman depan
telah sepi. Panggung besar yang dihiasi oleh rupa-
rupa kembang serta rangkaian janur kuning dan
umbul-umbul beraneka warna bergerak-gerak ter-
tiup angin. Mungkin mereka mendapat halangan di jalan,
Nak. Berdo'a saja mudah-mudahan bukan mara-
bahaya...." hibur Ayahandanya.
"Tapi hatiku tak bisa tenang, Ayah. Sepertinya Dinda Praba Ningrum serta yang
lain ada dalam bahaya. Apakah tidak sebaiknya Ayahanda meme-
rintahkan pengawal untuk menyusul mereka?"
tanya Pranajaya dengan wajah cemas.
"Sudah. Siang tadi usai bubar acara, Ayah te-
lah mengirim sepuluh orang utusan. Bahkan gu-
rumu. Ki Anom Subrata sendiri mengirim tujuh
orang murid terbaiknya untuk menyusul rombon-
gan itu." "Betul, Den Prana !" sahut seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih
bertubuh agak pendek yang sejak tadi berada di dekatnya.
"Jangan khawatir. Kakang-kakang mu pasti
mampu membereskan persoalan, kalau benar ada
pengacau yang mengganggu rombongan itu."
"Aku tidak meragukan kemampuan Kakang
seperguruan. Guru. Tapi ..... ahh sulit sekali untuk dijelaskan. Entah kenapa
kecemasan ku begi-
tu kuat bahwa mereka menghadapi bahaya besar
yang rasanya sulit dibendung. Kalau saja Ayahan-
da mengizinkan, Aku bermaksud untuk menyusul
mereka ke sana."
"Kau pengantin, Nak. Dan mana boleh pengan-
tin berkeliaran kesana kemari. Lagi pula urusan
itu sudah ditangani oleh Kakang seperguruanmu.
Tenangkanlah hatimu, mudah-mudahan sega-
lanya akan cepat beres," hibur Kanjeng Bupati.
Baru saja laki-laki berpakaian bagus selesai
bicara, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa
nyaring yang memekakkan telinga. Suara itu da-
tangnya entah dari mana. Mereka mencari-cari
sumber suara itu dan saling berpandangan tak
mengerti. "Ha ha ha ha....! Alangkah sedihnya hatiku melihat sang pengantin begitu
berduka. Tapi untuk
apa sedih, bila pengantin wanita itu sendiri lebih menyukai diriku dari pada
kekasihnya hingga rela
menyerahkan diri ke dalam pelukanku. Ha ha ha
...! "Siapa kau "! Tunjukkan dirimu !" bentak Ki Anom Subrata.
"Ha ha ha ....! Orang cebol besar mulut, boleh juga gertakkanmu, tapi kau tak
akan lagi melihat
matahari esok pagi karena kedatanganku kemari
untuk mencabut nyawamu yang tak berharga itu!"
sahut suara tadi.
"Huh, hanya pengecut bermulut besar yang bi-
asanya cuma bersembunyi. Tunjukkan dirimu
atau harus ku paksa dulu untuk keluar!"
"Ha ha, ha ....! kalau benar kau punya nyali, keluarlah dari tempatmu dan
berlututlah minta
ampun. Siapa tahu aku bersedia mengampuni ji-
wamu!" "Kurang ajar !" Ki Anom Subrata yang lekas naik darah itu langsung menggenjit
tubuhnya keluar dan tubuh pendek itu terus melenting ke wu-
wungan atap dengan satu teriakan menggelegar.
"Yeaaa...!"
"Haiiiiit...!"
Begitu tubuh Ki Anom Subrata melesat, saat
itu pula satu bayangan mencelat dengan ringan
menghindari serangan, dan menjejakkan kaki per-
sis di halaman depan. Kanjeng Bupati serta pu-
tranya dapat melihat jelas sesosok tubuh tinggi
besar berkulit hitam pekat. Memakai baju kuning
berselang-seling hitam. Orang itu menyandang se-
bilah pedang di punggungnya. Rambutnya di-
biarkan lepas terurai sebatas punggung. Wajahnya
tak begitu menyeramkan kalau saja ia tak berkulit
hitam begitu, namun sorot matanya tajam menu-
suk seperti meremehkan setiap orang.
"Siapa kau, Kisanak" Dan apa tujuanmu sebe-
narnya datang ke tempatku ini?" tanya Bupati Sumur Wering dengan suara lunak.
Namun belum lagi si muka hitam itu menya-
hut, dari atas wuwungan atap tubuh Ki Anom
Subrata meluruk turun dengan satu serangan ki-
lat ke arah orang asing itu.
"Maling busuk ! kali ini kau tak akan lepas da-ri kejaranku!"
"Ha ha ha ha...! Apakah kau yang bernama
Anom Subrata, Ketua Perguruan Tangan Baja?"
tanya orang berwajah hitam tak mempedulikan
makian lawan. Tubuhnya yang tinggi besar itu
bergerak amat lincah saat serangan orang tua ber-
tubuh pendek itu mengenai tempat kosong.
"Apa maumu sebenarnya"!" bentak Ki Anom
Subrata menghentikan serangannya sambil berka-
cak pinggang. " Benar, akulah Anom Subrata!"
"Ha ha ha ...! kau lihatlah Kakang Manggala.
Sungguh sombong sekali lagak tikus kerdil ini.
Baiknya cepat-cepat direncah, lalu diberikan pada
srigala-srigala kelaparan di hutan sana!" kata si wajah hitam terbahak-bahak
menengadahkan wajah ke atas sambil berkacak pinggang. Suaranya
lantang dan keras membahana diseputar tempat
itu. Hingga tanpa menunggu panggilan dari Bupa-
ti, para pengawalnya langsung berkumpul di ha-
laman depan lengkap dengan senjata masing-
masing. "Ha ha ha ha...! benar adik Durbala, orang seperti dia akan merasa dirinya jago


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan harus ce- pat-cepat di penggal lehernya." sahut satu suara yang tak kalah kerasnya.
Tiba-tiba mencelat sebuah bayangan dari wu-
wungan atap dan menjejakkan kaki tak jauh dari
Ki Anom Subrata. Sepasang matanya langsung te-
rarah pada Bupati Sumur Wering dengan sikap
mengancam. "Kalau kau ingin selamat, singkirkan cecurut-
cecurut ini dari sini! kami hanya ingin berurusan
dengan tikus kerdil ini!" tunjuknya pada Ki Anom Subrata.
"Siapa kalian dan ada urusan apa dengan Ki
Anom Subrata?" tanya Bupati masih dengan suara datar.
"Lagi pula jangan berharap kami tak takut ikut campur dalam urusan ini. Kalian
datang tanpa di
undang, lalu seenaknya cari urusan dengan ta-
muku dan mengacau di pekarangan ini. Itu saja
lebih dari cukup untukku ikut campur dalam ma-
salah mu."
"Bandel!" bentak orang yang muncul belakangan. Wajahnya yang sama hitam dengan
orang pertama tadi, nampak lebih kelam menyiratkan
hawa kemarahan. Urat-urat di kedua pelipis dan
tangannya nampak keluar. Dalam keadaan demi-
kian, orang ini amat menyeramkan, lebih-lebih ka-
rena tubuhnya lebih besar di banding orang yang
pertama yang dipanggilnya, Durbala. Kalau dilihat
sepintas, mereka seperti saudara kembar, sulit di-
bedakan mana kakak dan mana adik . Hanya be-
sar tubuh mereka yang mungkin sedikit bisa dibe-
dakan. "Kurung mereka!" perintah Bupati dengan suara tegas. "Tangkap hidup-hidup agar
bisa diadili dan diberi hukuman yang sepadan atas kelakuan
mereka." Tanpa diperintah dua kali, pengawal-pengawal
kabupaten yang telah berkumpul itu mulai men-
gurung kedua orang asing itu. Kemudian dengan
satu teriakan nyaring senjata berupa golok dan
tombak di tangan mereka langsung meluruk me-
nyerang lawan. "Heaaaa....!"
"Cecurut-cecurut sialan ! kalau sudah siap
mampus, sini!" bentak Durbala sambil mencabut pedang di punggungnya.
Sriiing ! Untuk sesaat para pengeroyoknya tersentak
kaget melihat senjata lawan berupa pedang berge-
rigi berukuran lebih besar dibanding pedang lain
pada umumnya. lebih mirip gergaji bermata dua
yang tajam dan kuat. Tapi setelah Bupati kembali
memerintah, semangat mereka bangkit.
"Ayo, kurung buto ijo ini! kurung...!"
"Ringkus....!"
Namun dua orang bertubuh besar itu hanya
tenang-tenang saja seolah menganggap hanya se-
buah permainan belaka. Dan sikap itu di buktikan
oleh serangan balasan mereka yang amat menge-
jutkan. Sekali bergerak, paling tidak tiga orang
langsung ambruk dengan leher hampir putus dan
perut robek lebar hingga isinya ikut terburai ke-
luar. Tentu saja pemandangan ini mengiris hati
Bupati Sumur Wering . Lebih-lebih Ki Anom Sub-
rata, mana bisa orang tua itu berpangku tangan
melihat kejadian ini.
"Iblis biadab! Akulah lawanmu!" bentaknya sambil melompat ke arah Durbala dengan
satu serangan bertenaga kuat.
"He he he he...! bagus, kenapa tidak sejak ta-di?" ejek Durbala langsung
memapaki serangan
lawan dengan sabetan pedangnya.
Terpaksa Ki Anom Subrata menarik serangan,
tubuhnya jumpalitan menghindari sabetan pedang
lawan. Dan dengan gerakkan kilat kaki kanannya
menendang ke kepala Durbala.
"Wuuk !"
"Crass...!"
Ki Anom Subrata mengeluh pelan. Lawan den-
gan mudah berkelit sambil menundukkan sedikit
kepala, pedangnya berkelebat memapas pergelan-
gan lengan lawan. Masih untung Ki Anom Subrata
mampu berkelit meski tak urung bahunya sempat
terkena sabetan senjata lawan.
"Adik Durbala, jangan serakah kau ! Biar tua
bangka, ini bagianku!" teriak Manggala sambil terus melompat meninggalkan para
pengeroyoknya dan langsung menyerang Ki Anom Subrata.
Durbala terkekeh-kekeh sambil menghadang
para pengawal Kabupaten yang menyerangnya.
Dia mengamuk, membabat siapa saja yang berada
di dekatnya. Hingga dalam tempo yang singkat ha-
laman depan rumah Bupati Sumur Wering ini
banjir oleh darah. Sementara itu Manggala tak
memberi sedikitpun kesempatan pada Ki Anom
Subrata untuk melepaskan diri dari serangannya.
Orang tua itu sendiri merasakan serangan lawan
semakin menggila. Beberapa kali ujung pedang
lawan nyaris menyabet kulit tubuhnya. Bila di-
bandingkan dengan lawan pertama tadi, dapat di-
rasakannya bahwa tenaga lawannya yang seka-
rang jauh lebih kuat dan gerakkannya pun lebih
ringan. "Heaaat...!"
Dengan satu teriakkan menggelegar, Manggala
menyabetkan pedangnya dengan gencar ke arah
tenggorokan lawan. Ki Anom Subrata menunduk-
kan sedikit kepalanya namun kaki kiri lawan lang-
sung menyambut dengan satu tendangan keras. Ki
Anom Subrata terkejut dan cepat-cepat membuang
diri ke belakang sambil bersalto. Namun agaknya
Manggala telah memperhitungkan hal itu. Tubuh-
nya langsung bergerak menyusul dengan tinju kiri
siap menghajar lawan.
"Plak! Crass!"
"Wuayyaaa...!"
Ki Anom Subrata hanya sempat menjerit kecil
ketika pedang lawan menebas pinggangnya hingga
terdengar derak tulangnya yang patah. Tubuhnya
langsung ambruk dengan nyawa lepas. Manggala
berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh.
"Mampuslah kau tua bangka keropos!" kemudian melirik ke arah Durbala yang masih
asyik membantai lawan-lawannya.
"Adik Durbala, ayo kita tinggalkan tempat ini!"
"Sebentar, Kakang Manggala ! kau pergilah du-
lu, aku belum puas kalau belum menghabisi cecu-
rut-cecurut kurang ajar ini!"
"Baiklah kalau begitu!" sahut Manggala sambil melentingkan tubuhnya dan
berkelebat dari tempat itu secepat kilat. Dalam sekejap saja tubuhnya lenyap
dari pandangan meninggalkan suara tawa
panjang penuh kemenangan.
* * * 3 Senja belum lagi berganti ketika Bayu Hangga-
ra tiba di desa Sumur Wering. Suasana terasa se-
pi, dan tanah nampak masih lembab dan sebagian
terlihat tergenang air. Kalau Bayu Hanggara sam-
pai tiba di sini rasanya memang bukan sekedar
kebetulan belaka. Ada yang mengganjal di hatinya
setelah mendengar penuturan gadis bernama Pra-
ba Ningrum itu. Nama Sepasang Iblis Pulau Hitam
baru sekali ini didengarnya, tapi sepak terjangnya sangat kejam. Walau ia belum
melihat sendiri buktinya, tapi dari cerita gadis itu bahwa Perguruan-
nya belum pernah bermusuhan dengan kedua
orang itu. Dan saat pembantaian itu terjadi, tak
pernah didengarnya mereka mengemukakan ala-
san, kenapa memusuhi Perguruan jari Sakti.
Bayu Hanggara, pemuda berbaju kulit harimau
yang lebih di kenal sebagai Pendekar Pulau Neraka
itu baru saja akan melangkahkan kakinya pada
sebuah kedai, terdengar teriakan seseorang dari
kejauhan menghampiri tempat itu.
"Ada pengacau! Ada pengacau...!"
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu
segera menghampiri orang tersebut. Salah seorang
mencekal lengannya.
"Ada apa"!"
"A... ada pengacau di rumah Bupati. Ba... ba-
nyak yang tewas! Cepat bunyikan kentongan!" cerita orang itu sambil mengatur
nafasnya yang memburu. "Siapa?" tanya yang lain.
"Tidak tahu. Mereka cuma berdua. Tubuhnya
tinggi besar dan berkulit hitam!"
Bayu Hanggara yang mendengar cerita orang
itu jadi tergerak hatinya. Menurut penuturan Pra-
ba Ningrum, dua orang pengacau yang membantai
rombongan mereka persis seperti apa yang di tu-
turkan orang tadi. Mungkinkah ia mendatangi ke-
diaman Bupati karena kurang puas dengan kor-
ban di pihak mempelai wanita"
Tanpa membuang waktu lagi Bayu segera
menggenjot tubuh dan berlalu dari tempat itu se-
cepatnya. Tiren, si monyet kecil sahabatnya ribut
menjerit-jerit kecil.
Apa yang dikatakan orang itu ternyata benar.
Tiba di halaman depan kediaman Bupati, Bayu
Hanggara melihat mayat-mayat bergelimpangan
dalam keadaan yang menggenaskan. Sementara
seorang lelaki bertubuh besar dengan kulit hitam
kelam nampak sedang bertarung dengan tiga
orang pengawal Bupati dan seorang pemuda ber-
wajah tampan. Dengan menggunakan pedang ber-
gerigi, si tinggi besar terus mendesak lawan-
lawannya sambil terkekeh-kekeh kegirangan.
"He he he he...! Tikus-tikus busuk bau tanah, sebentar lagi jiwa kalian yang tak
berharga itu akan ku kirim ke akherat!"
"Jahanam berwajah hitam, jangan kira kami
takut padamu!" Orang sepertimu layaknya berada di neraka!" sahut si pemuda
berwajah tampan itu marah.
"Tiada angin tiada hujan kau datang memban-
tai dan membuat kekacauan."
"Kaukah yang bernama Pranajaya, calon man-
tu si Panji Narada itu" Kalau benar, sungguh sua-
tu kebetulan, he he he...! Calon istrimu berwajah cantik dan tubuhnya amat
menggiurkan. Sayang
kalau dilewatkan begitu saja."
"Apa maksudmu, keparat"!"
"Maksudku, si tua bangka Panji Narada telah
kami kirim ke akherat beserta yang lainnya, se-
dangkan calon istrimu telah kucicipi lebih dahu-
lu!" "Keparat! Perbuatanmu sungguh biadab.
Orang sepertimu memang layak mampus!" teriak
si pemuda berwajah tampan yang tak lain adalah
Pranajaya, putra Bupati Sumur Wering. Golok di
tangannya berkelebat dengan cepat, serta tinju ki-
rinya mulai menghitam pertanda bahwa ia menge-
rahkan tenaga dalam yang hebat.
"He he he he...! Apa yang bisa kau andalkan
dari ilmu silat picisan itu" Gurumu sendiri telah
kami buat mampus, apalagi kau yang cuma punya
kepandaian seujung kuku," kembali si tinggi besar yang bernama Durbala itu
mengejek. "Biar pun kepandaianku tak seberapa, tapi
aku rela mengadu jiwa denganmu. Heaaaat...!"
Dengan satu teriakan menggelegar, Pranajaya
menghantamkan tinju ke dada kiri lawan. Durbala
terkekeh dan menangkis dengan tangan kirinya.
Tapi Pranajaya pun tak bodoh. Dari beberapa kali
gebrakan dirasakannya bahwa tenaga dalam la-
wan lebih tinggi beberapa tingkat diatasnya. Dita-
riknya kembali serangan itu dan menyabetkan go-
lok dengan gerakan kilat ke perut.
"Trang! Breet!"
"Uughk!"
Pranajaya mengeluh pendek. Pada saat golok-
nya menebas perut lawan, Durbala lebih cepat
menyapu pedangnya ke bawah dan terus men-
gayunkan kaki ke arah selangkangan. Pranajaya
kalang kabut menghindarinya dengan menggeser
tubuhnya ke kiri. Pada saat itulah ujung pedang
lawan berhasil mengenai dadanya. Masih untung
dia mempunyai ilmu silat yang patut diacungkan
jempol hingga ujung pedang lawan hanya meng-
gores sedikit luka di dadanya.
"Nah, susullah gurumu di akherat!" bentak Durbala sambil kembali mengayunkan
pedangnya menyambar tubuh Pranajaya yang dalam keadaan
terjepit. Tepat pada saat itu ketiga pengawal kabupaten yang lain menerjang ke
arahnya. "Yeaaaaa...!"
"Bet!"
"Trang!"
* * * Durbala tersentak kaget. Walaupun dia tak
melihat, namun pendengarannya yang terlatih da-
pat merasakan kehadiran serangan bokongan la-
wan. Bisa dipastikan, dalam sekali gebrakan keti-
ga lawannya pasti tewas. Namun yang dihadapinya
justru pedangnya seperti menghantam batu cadas
yang bukan main kerasnya. Tangannya terasa ke-


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semutan saat menangkis tadi. Durbala menge-
goskan tubuhnya pelan dan menangkap sebuah
kilauan cahaya perak yang bergerak ke arah seo-
rang pemuda berambut panjang yang tiba-tiba ada
di tempat itu. Sepasang matanya menyipit mem-
perhatikan. "Siapa kau?" bentak Durbala.
"Siapa pula kau?" balas si pemuda berambut panjang yang tak lain adalah Bayu
Hanggara, balik bertanya tak kalah garangnya.
Durbala melihat sinar perak yang dia lihat tadi
berasal dari sebuah cakra terbuat dari perak yang
bersegi enam dan menempel di lengan kanannya.
"Kalau tak salah, bukankah kau yang bergelar
Pendekar Pulau Neraka?"
"Tak salah, Kisanak. Begitulah orang-orang
memanggilku. Apakah kau salah seorang dari Iblis
Pulau Hitam?"
"He he he he...! Akhirnya bertemu juga dengan orang yang sangat kuharap-
harapkan. Tapi siapa
sangka Pendekar Pulau Neraka yang termasyhur
itu begitu cepat mengenali Iblis Pulau Hitam. Apa-
lagi kalau bukan takut dan ingin memohon belas
kasihan!" ejek Durbala.
Bayu Hanggara tertawa sinis.
" Ya, siapa yang tak kenal dengan kalian" Bau busuk akan cepat menyebar ke mana-
mana. Ada urusan apa kau mencari-cariku, Kisanak?"
"Untuk memenggal kepalamu!"
"Memenggal kepalaku" Hi hi hi hi...! Kenapa
tidak kau katakan sejak tadi" Kalau tahu kau
mencari-cariku, tentu dengan senang hati aku
akan memberikannya, tapi setelah jantungmu ku
keluarkan lebih dulu."
"Bedebah! Kau kira bisa menjagoi dunia persi-
latan seenakmu" Hari ini terimalah kematianmu!"
Dengan satu lompatan ringan Durbala men-
gayunkan pedangnya ke arah leher lawan. Bayu
masih terlihat tegak mematung dan memperhati-
kan dengan seksama gerakan lawan. Kalau saja
mereka tak tahu siapa pemuda itu, tentu akan
menganggapnya sok jago dan hanya mencari mati
saja. "Heaaaa...!"
"Wuss! Wuuk!"
Dua jengkal lagi ujung pedang lawan akan me-
nebas lehernya. Bayu memiringkan sedikit kepa-
lanya, dan menangkis tinju kanan lawan dengan
tangannya. Bukan main terkejutnya hati Bayu.
Tangannya terasa kesemutan setelah benturan itu.
Belum lagi habis rasa kagetnya. kembali pedang
lawan menyambar ke arah pinggang. Cepat-cepat
Bayu Hanggara menjatuhkan diri sambil bergulin-
gan menghindari sambaran pedang lawan yang
bertubi-tubi. Dan dalam satu kesempatan, tubuh-
nya tiba-tiba melenting sambil terus bersalto beberapa kali ke belakang pada
jarak tujuh tombak.
Durbala tak mengejarnya, tapi mengeluarkan
suara sindiran sambil tersenyum mengejek.
"Menganggap remeh, heh" Lebih sering kau
begitu nyawamu akan cepat melayang dan aku tak
perduli. Lebih cepat kau mampus lebih baik."
Bayu Hanggara tersenyum kecil. Diliriknya se-
kilas suasana di tempat itu yang mulai ramai. Te-
riakan-teriakan pemuda-pemuda desa yang geram
melihat mayat-mayat bergelimpangan, segera di-
tingkahi oleh suara berwibawa seorang laki-laki
setengah baya yang tak lain dari Bupati Sumur
Wering. "Tenang! Tenang! Pengacau ini memang harus
di tangkap dan di adili. Tapi dia amat berbahaya.
Jangan sampai timbul korban sia-sia kembali."
"Tapi Kanjeng Bupati, orang itu harus segera di tangkap! Dia telah membunuh
banyak orang!" sahut seseorang.
"Benar! Dia tak perlu diadili tapi bunuh saja!"
sahut yang lain lagi bersemangat.
Bupati itu kembali berteriak-teriak mencegah
tindakan nekat warganya. Tapi orang-orang itu se-
perti sudah kerasukan setan. Hati mereka penuh
dengan amarah dan dendam. Bagai air bah yang
meluap, mereka langsung menyerang Durbala.
"Bunuh! Bunuuuh...!"
"Cacah tubuhnya...!"
"Tikus-tikus got mau mampus, majulah kalian
semua!" bentak Durbala garang. Tubuhnya lang-
sung berkelebat dengan pedang terayun siap men-
cari mangsa. Bayu Hanggara yang menyadari bahwa orang-
orang desa itu bukanlah lawan yang sepadan bagi
Durbala, segera menggenjot tubuh, menghalangi.
"Cukup! Mereka bukanlah lawan kalian. Mari
kita teruskan permainan kita tadi!"
"Yeaaaa...!"
"Trang! Wuuk!"
Melihat Bayu menghadangnya, Durbala lang-
sung menyabetkan pedang sambil mengayunkan
tendangan ke ulu hati. Namun dengan mantap
Bayu Hanggara menangkis dengan cakra mautnya.
Tubuhnya melengkung ke belakang dan terus ber-
salto dengan kedua kaki menghantam pantat la-
wan. Tapi Durbala telah memperhitungkan hal itu.
Tubuhnya bergerak menghindar ke belakang. Na-
mun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah,
belasan ujung golok telah menantinya.
"Heaaaat...!"
"Trang! Trang!"
Pedangnya menyambar ke sana ke mari me-
mapaki serangan pengeroyoknya. Beberapa buah
golok terpental, namun secepat itu pula yang lain-
nya menghunus tanpa mengenal takut.
"Serbuuuu...!"
"Rencah...!"
Menghadapi serangan gencar itu sebenarnya
Durbala tak takut. Juga dia merasa mampu me-
layani, bahkan menghabisi mereka satu persatu.
Namun yang diperhitungkannya saat ini adalah
Pendekar Pulau Neraka itu. Dalam gebrakan tadi
saja terasa tangannya sakit dan linu. Hawa seran-
gan pemuda itu menekan kuat dan dibarengi te-
naga dalam kuat. Pendekar Pulau Neraka pun
nampaknya tak mau perduli dengan keadaannya
saat ini. Di antara keroyokan orang-orang desa itu, tubuhnya melayang-layang
menyambar ke mana
saja ia dapat menghindar.
"Huh, tak kusangka ternyata nama Pendekar
Pulau Neraka cuma pepesan kosong belaka. Kau
mencari kesempatan dalam kesempitan. Karena
merasa tak mungkin menghadapiku satu lawan
satu kau gunakan kesempatan ini untuk menga-
lahkanku," ejek Durbala.
Bayu Hanggara terkekeh kecil, "Aku tak perdu-
li apa pun ocehanmu. Yang jelas saat ini kau ha-
rus mampus! sahut Bayu.
"Pendekar Pulau Neraka, ku tantang kau duel satu lawan satu tanpa cecoro-cecoro
ini!" teriak Durbala sambil melompat tinggi dan berusaha lari
dari keroyokan. Namun pada saat itu juga mende-
sir sebuah benda berwarna perak ke arahnya dan
nyaris menghajar pinggang kalau saja tubuhnya
tak dimiringkan ke kiri.
"Bangsat!"
"Jangan coba-coba lari dari hadapanku, Kisa-
nak! Kau harus mempertanggungjawabkan perbu-
atan biadab mu!" sahut Bayu sambil tertawa pelan. Tangan kanannya menangkap
cakra maut yang melayang ke arahnya kembali.
"Pendekar picisan, kalau begitu aku akan
mengadu jiwa denganmu!" kata Durbala geram.
Dengan satu teriakan melengking Durbala me-
nerjang Bayu Hanggara sambil menghunus pe-
dang kepada pengeroyoknya yang coba mengha-
langi. Namun bersamaan dengan Bayu sudah me-
lesat memapakinya.
"Yeaaaa...!"
"Haiiiit...!"
Agaknya kali ini Durbala benar-benar kalap.
Serangannya hebat bukan main. Terarah pada
sembilan titik kematian di tubuh lawan. Tenaga
dalam yang dikeluarkannya pun telah mencapai
tingkat yang paling tinggi. Angin serangannya
mampu membuat beberapa orang tubuh penge-
royoknya limbung.
"Wuss...!"
"Bet!"
Bayu Hanggara benar-benar kagum dibuatnya.
Dalam dua jurus pertama ia benar-benar merasa
kalang kabut dan hanya bisa bertahan menghada-
pi serangan lawan. Selain ayunan pedang bergerigi
yang lihai dan cepat, tangan kiri lawan juga sering menghantam dengan pukulan
jarak jauh. Baru sa-ja ia merasa lepas dari incaran maut ketika kele-
batan pedang lawan disusul dengan pukulan ber-
tubi-tubi yang dilakukan dari jarak satu tombak.
Kalau saja saat itu keadaan Durbala lebih leluasa, bisa jadi ia akan terluka.
"Bangsat sialan! Terimalah kematian kalian!"
teriak Durbala geram ketika serangannya yang di-
tujukan ke Bayu dikacaukan oleh para penge-
royoknya yang masih terus bernafsu untuk meng-
habisinya. "Kaulah bangsat paling busuk yang patut
mampus!" sahut seorang di antara mereka dengan garang. Yang lain menyahut
serempak. "Heaaaaat..!"
"Trang! Breeet...!"
"Wuaaaa...!"
Ujung pedang Durbala kembali meminta kor-
ban saat dua orang terdekat yang begitu bernafsu
akan membunuhnya kalah cepat dengan keleba-
tan pedangnya. Pekik kematian kembali mengge-
ma. Tapi tidak membuat yang lainnya menjadi ta-
kut. Bahkan kemarahan mereka menjadi dua kali
lipat. "Jahanam keparat, mampuslah kau!" teriak salah seorang sambil menghunuskan
goloknya. Dur- bala memapaki dengan pedangnya, tapi rupanya
orang tahu, tidak guna ia beradu senjata karena
tenaga dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat
di atasnya. Maka dengan satu gerakan manis tu-
buhnya membungkuk dan berputar sambil me-
nyabet perut lawan.
"Uts! Brengsek!" Durbala tersentak. Sedikit sa-ja ia lengah, ujung golok lawan
pasti telah mero-
bek kulit perutnya. Agaknya ia tadi terlalu men-
ganggap remeh pada lawan sehingga melupakan
pertahanan sendiri.
Namun ketika tubuhnya berkelebat ke atas,
justru satu bayangan yang bergerak secepat kilat
menyambar ke arahnya. Durbala terkesiap, na-
mun tak mungkin lagi mengubah gerakan pada
saat sedang mengapung begini. Jalan satu-
satunya hanya mengempos tenaga dalam dan
memapaki bayangan itu.
"Hiiih...!"
"Plak!"
"Wus!"
"Buk...! "Aaakh...!" Durbala menjerit tertahan ketika satu tendangan keras menghantam
punggungnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ketika kedua
kakinya menjejak tanah. Namun pada saat itu se-
rangan dari pada pengeroyoknya semakin bernaf-
su saja. Rasanya sulit bagi Durbala bertahan lebih lama kalau keadaannya terus
begini. * * * 4 Apa sebenarnya yang terjadi pada Durbala ta-
di" Ketika tubuhnya melesat ke atas saat itu pula
Bayu Hanggara mengirim satu serangan. Walau
pun tahu bahwa ia mampu menahan pukulan ja-
rak jauh lawan yang berisi tenaga dalam kuat, tapi ia memilih menghindar.
Telapak kirinya menangkis tinju kanan lawan, dan bertumpu hingga tu-
buhnya melenting ke atas sambil berputar ke arah
punggung Durbala, lalu mengirim tendangan ke-
ras. Dan kini setelah merasakan tulang punggung-
nya seperti remuk, Durbala harus menghadapi an-
caman lain. Gerakannya tersendat dan tak leluasa
seperti tadi. Dari sudut bibirnya menetes darah
kental kehitam-hitaman.
"Crass!"
"Kena!" teriak seseorang ketika ujung senja-
tanya berhasil melukai betis lawan.
"Ayo, teman-teman hajar terus!"
"Benar! Sebentar lagi dia tentu lemas setelah tubuhnya penuh luka!" sahut yang
lain. "Cincaaaaang....!"
"Yeaaaah...!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Durbala yang se-
dang terluka dalam masih cukup berbahaya.
Ujung pedangnya kembali berhasil melukai tiga
orang lawan sebelum ia sendiri dihajar oleh Bayu
Hanggara ketika berusaha menangkis serangan
pemuda itu. Melihat lawan masih berusaha men-


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

coba untuk menahan, Bayu Hanggara malah sen-
gaja mengempos tenaga dalamnya. Akibatnya
sungguh fatal. Bukan saja Durbala terlempar se-
jauh tiga tombak, tapi juga luka dalam yang dide-
ritanya pun bertambah parah. Durbala berusaha
bangkit dengan tubuh bergetar dan bertumpu pa-
da pedang yang ditancapkan ke tanah. Darah ken-
tal kehitam-hitaman berkali-kali menetes dari su-
dut bibirnya yang terkatup rapat.
"Ayo, dia sudah terluka! Cincang..!" teriak seseorang memberi komando pada yang
lainnya. Bayu Hanggara terkekeh sinis dan tak berusaha
mencegah tindakan orang-orang desa itu. Bisa di-
bayangkan, dalam sekejap saja tubuh Durbala
akan tercerai berai dihajar bermacam-macam sen-
jata tajam. Namun pada saat itu terdengar benta-
kan keras yang disusul melesatnya satu bayangan
ke arah Durbala.
"Tikus-tikus busuk! Kalian akan merasakan
pembalasannya nanti!"
Gerakan bayangan itu luar biasa ccpatnya.
Ujung senjata warga desa itu nyaris terhunjam ke
tubuh Durbala kurang dari dua jengkal lagi, tiba-
tiba jasadnya seperti raib entah ke mana. Tentu
saja hal ini membuat mereka terkejut setengah
mati dengan hati geram bercampur heran. Apakah
dalam keadaan terluka parah itu pun lawan masih
bisa bangkit dan bergerak cepat"
Kalau warga desa itu heran dan bertanya-
tanya, kemana lenyapnya tubuh Durbala, tidak
demikian dengan Bayu Hanggara. Matanya yang
tajam dan terlatih sempat melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan
berkulit hitam kelam,
serta mengenakan baju yang sama dengan baju
Durbala, membawa tubuh Durbala keluar dari
tempat itu. Bisa jadi orang itu teman atau saudara kembar Durbala yang dijuluki
si Iblis Pulau Hitam.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya berke-
lebat cepat sambil menghantamkan pukulan jarak
jauh ke arah orang itu yang berhasil menyela-
matkan Durbala.
"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenakmu di
depan mataku?" bentak Bayu Hanggara.
"Wusss!"
"Weer!"
Pukulan jarak jauh yang di lontarkan Bayu
Hanggara itu dengan manis dihindarkan oleh la-
wan, bahkan secara tak terduga kembali balas
menyerang dengan pukulan jarak jauh pula yang
tak kalah kuatnya di banding pukulan Bayu.
"Haaeeep...!" Bayu Hanggara yang tak menduga hal itu cepat-cepat membuang diri
ke samping, dan terus melenting dengan satu serangan bala-
san. Namun saat itu juga terlihat bayangan tadi
telah berlari menjauh. Dengan geram Bayu me-
lempar Cakra mautnya.
"Zwiing!"
Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan
ini mendesing bagai anak panah dan berputar-
putar menyambar mangsa. Orang itu menangkis
dengan pedangnya, tapi senjata itu melejit dan
sempat menggores bahunya sebelum kembali ber-
putar dan berbalik ke arah Pendekar Pulau Nera-
ka. Bayu mendengus kesal. Sepasang matanya
masih menatap jalang ke arah bayangan itu le-
nyap. Suara hiruk-pikuk orang-orang desa yang
berusaha mengejar, seolah tak mengusik kegusa-
ran hatinya. Setelah beberapa saat kemudian, ba-
rulah ia melangkah dari tempat itu tanpa menghi-
raukan keadaan sekelilingnya.
"Kisanak! Eh... ng... maaf, kalau Kisanak sudi, Kanjeng Bupati berkenan
mengundang ke rumah,"
kata seorang pengawal Bupati sambil menjura
hormat. Bayu melirik ke ruang depan. Dilihatnya seo-
rang laki-laki setengah baya berpakaian bagus
menganggukkan kepala sambil tersenyum. Pende-
kar Pulau Neraka itu mengerutkan keningnya se-
dikit, seakan dia tengah berpikir sebelum menye-
tujui ajakan orang itu.
Namun baru berjalan beberapa langkah, mun-
cul tiga orang yang tadi bertemu di tepi hutan. Si gadis berbaju hijau yang
berwajah cantik masih
menunjukkan wajah tak senang, sementara gadis
di sebelahnya menundukkan kepalanya. Sedang-
kan pemuda bertubuh kekar di sampingnya hanya
melirik sekilas padanya.
"Praba Ningrum...!" teriak Pranajaya begitu melihat gadis yang menundukkan
wajahnya. * * * Pemuda itu cepat-cepat menghampirinya den-
gan wajah penuh haru.
"Kau... kau tak apa-apa?" tanya Pranajaya dengan suara yang jadi tergagap.
Gadis yang dipanggil Praba Ningrum tidak me-
nyahut, bahkan semakin menundukkan wajahnya
lebih dalam. "Praba Ningrum, kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu lagi.
Putra Bupati Sumur Wering mengapit kedua
lengan gadis itu. Praba Ningrum menatap Prana-
jaya sesaat, kemudian berpaling sambil terisak
memeluk gadis berbaju hijau yang tak lain dari
Dewi Ratih. "Kenapa, Praba..." Apa yang terjadi?" tanya Pranajaya lagi.
Jelas sekali terdengar dari nada suaranya, ka-
lau dia begitu cemas melihat Praba Ningrum me-
nangis terisak di dalam pelukan Dewi Ratih. Pra-
najaya jadi serba salah, tidak tahu lagi apa yang
bisa dilakukan.
"Kisanak, tenanglah kau..." kata Dewi Ratih sambil menepiskan tangan Pranajaya.
"Dia sedang mengalami tekanan batin yang cukup hebat."
"Oh, maaf! maaf sampai kami melupakan ka-
lian berdua. Ng... siapa kalian berdua ini" Apakah masih saudara jauh dari Praba
Ningrum?" ujar
Pranajaya, baru sadar bahwa di tempat itu ada
orang lain lagi.
"Bukan. Kami hanya kebetulan bertemu den-
gannya ketika ia tak sadarkan diri di tepi hutan..."
"Tak sadarkan diri" Oh, apakah yang telah terjadi padanya?"
Dewi Ratih terdiam sejenak. Sulit rasanya
menjelaskan kejadian yang menimpa Praba Nin-
grum dalam keadaan begini. Tapi untunglah Pra-
najaya cepat membaca situasi. Buru-buru ia men-
gajak mereka ke dalam sementara Bayu Hanggara
telah lebih dulu berbincang-bincang dengan Bupa-
ti. Adiknya Praba Ningrum berkeras membatalkan
rencana perkawinan mereka tanpa menjelaskan
alasan yang kuat. Tentu saja hal itu tak bisa diterima Pranajaya. Gadis itu pun
sulit menerangkan.
Untunglah ada Dewi Ratih yang bersedia menjadi
perantara. Pranajaya membawa mereka berdua
masuk ke dalam sebuah kamar. Lama sekali Dewi
Ratih berdiam sebelum menjelaskan duduk per-
soalan yang sebenarnya atas kejadian yang me-
nimpa Praba Ningrum.
Bukan main geram dan sakit hatinya Prana-
jaya setelah mendengar penuturan itu. Kedua pe-
lipisnya menggembung dan sepasang matanya na-
nar. Kedua tangannya terkepal menahan marah
yang memuncak. "Jahanam keparat! Mereka tak akan lepas dari
tanganku...!" dengusnya perlahan.
"Kisanak, hal itu bisa diurus belakangan. Yang penting saat ini adalah calon
isteri mu. Dia dalam keadaan goncang. Di sinilah batu ujian pertama
mu teruji. Apakah kau akan menolaknya setelah
kejadian itu?"
Pranajaya tak langsung menjawab tapi malah
mendekati Praba Ningrum sambil mengamati ke-
dua lengannya. Tangan kanannya meraih dagu
gadis itu hingga tatapan mereka bertemu.
"Praba... kenapa kau berpikir begitu" Walau
apapun yang menimpamu, tak mungkin aku men-
campakkan mu begitu saja. Percayalah, sedikitpun
aku tak berpaling. Kejadian ini bukan keinginan-
mu, aku tahu betul. Perkawinan kita akan tetap
dilaksanakan."
"Syukurlah kalau memang demikian. Tugasku
selesai, dan kami mohon pamit, Kisanak." kata
Dewi Ratih sambil berlalu dari kamar itu.
"Ah, kenapa buru-buru" Kami bahkan belum
sempat menjamu kalian. Tinggallah beberapa saat
lagi." "Terima kasih. Kami bermaksud mencari ke-
dua iblis itu. Selama mereka masih berkeliaran,
korban semakin bertambah. Lebih cepat dibe-
reskan, keadaan akan semakin membaik."
"Baiklah, kalau niat kalian memang tak bisa
ditunda lagi, apa boleh buat. Hanya aku tak tahu
harus dengan cara apa mengucapkan terima kasih
pada Kisanak berdua yang telah menyelamatkan
Praba Ningrum."
"Jangan berterima kasih pada kami, tapi berterima kasihlah pada tamu kalian
itu...." "Pada siapa" Apakah maksudnya pada Pende-
kar Pulau Neraka itu?"
Dewi Ratih mengangguk.
"Dialah yang pertama kali menemukan Praba
Ningrum, dan bermaksud menolongnya. Pada
awalnya kami salah paham menuduhnya hendak
berbuat tak senonoh dengan Praba Ningrum," jelas Dewi Ratih sambil berlalu dari
ruangan itu. Walau
Bupati sendiri berusaha menahan, namun agak-
nya niat mereka sudah tak bisa dicegah lagi.
Setelah keduanya berlalu dari tempat itu, tak
lama Bayu Hanggara pun menyusul. Baginya ber-
lama-lama di tempat itu amat risih. Perlakuan dan
sikap mereka santun dan penuh tata krama. Beda
betul dengan jiwa semangatnya yang liar.
* * * Durbala berkali-kali memaki Abangnya itu, te-
tapi Manggala hanya diam sambil mendengus si-
nis. Namun ketika sekali lagi adiknya itu mengo-
mel tak karuan, barulah membentak marah.
"Diam kau Durbala! Apa kau pikir aku takut
menghadapinya?" karena keadaanmulah makanya
aku tak cepat-cepat menggempurnya. Apa kau pi-
kir aku menghindar karena takut" Puiih! Tubuhku
justru menggigil kehilangan kesempatan yang baik
itu!" Durbala tersentak mendengar kata-kata abangnya itu. Dipandanginya wajah
itu sekali lagi.
Hela nafasnya yang sesak perlahan-lahan terasa
panas. "Semua salahku juga..." desahnya seperti merasa bersalah. "Kalau saja aku tak
menganggap remeh, tentu tak akan begini jadinya."
"Diamlah kau, Durbala! Pikirkanlah dulu ke-
sehatanmu. Kalau kau sudah merasa sehat tentu
kita akan mencari pemuda itu lagi. Dan saat itulah dia tak akan bisa lolos dari
tanganku," kata Manggala.
"Iya, ya... sebenarnya kalau tak ada tikus-tikus busuk itu aku bisa mengalahkan
dengan mudah."
lanjut Durbala penasaran.
Manggala menatap wajah adiknya beberapa
saat sambil tersenyum sinis.
"Kau bisa mengalahkan dengan mudah?" ta-
nyanya dengan suara sumbang penuh sindiran.
"Jangan gegabah, Durbala. Si Pendekar Pulau
Neraka itu adalah lawan yang paling tangguh. Il-
mu silat dan kepandaiannya tinggi. Jangankan
kau seorang, kita berdua pun belum tentu bisa
mengalahkannya," sambungnya lagi.
"Kenapa mesti mengagungkan lawan. Kakang"
Ilmu silat dan kepandaian kita belum tentu berada
di bawahnya. Dalam beberapa bentrokkan tadi, bi-
sa ku rasakan bahwa kita berdua mampu membi-
nasakan pemuda gondrong itu," sahut Durbala
yakin. "Apa yang kau rasakan tak selalu sama dengan
kenyataan. Semua orang mengakui bahwa Pende-
kar Pulau Neraka adalah pendekar paling tangguh
dan sulit untuk dikalahkan. Itulah sebabnya dia
merupakan tujuan akhir kita. Kalau dia bisa bina-
sa di tangan kita, maka nama Iblis Pulau Hitam
akan menjulang seketika."
Manggala tertawa terbahak-bahak di ikuti
adiknya, Durbala. Dalam bayangannya, impian itu
tak lama lagi pasti terwujud. Walau belum pasti
sekali, dia berkeyakinan suatu saat mereka ber-
dua mampu membinasakan pendekar yang bela-
kangan ini namanya menggoncangkan dunia per-
silatan. Gelak tawa mereka mendadak terhenti ketika
satu bentakan keras bergema. Keduanya cepat
bangkit dengan sikap waspada dan memandang ke
sekeliling. "Siapa kau" Keluarlah tak perlu bersembunyi.
Kami sudah mengetahui tempatmu!" balas Mang-
gala. "Ha ha ha ha...! sungguh hebat penglihatan Iblis Pulau Hitam. Tak heran kalian
berani unjuk

Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keberanian belakangan ini!" sahut satu suara itu lagi di antara sela-sela cabang
pohon berdaun rimbun. Dari tempat itu kemudian melesat satu bayan-
gan, dan langsung menjejakkan kakinya persis li-
ma tombak di hadapan mereka berdua. Terlihat
seorang laki-laki tua bertubuh kecil dengan jang-
gut panjang. Rambutnya telah putih dan dibiarkan
lepas terurai begitu saja. Dadanya berselempang
kain seperti layaknya pendeta agama.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Manggala dingin.
"Aku cuma seorang tua renta tak berguna.
Namaku Ki Misbah, tapi orang-orang biasa menju-
lukiku si Katai Berwajah Boneka."
"Hemm, lama sudah kudengar nama besarmu.
Tak nyana bayangan ku sama persis dengan ke-
nyataannya. Apa maumu Ki Misbah?"
Orang tua katai bernama Ki Misbah itu terke-
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 39 Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian Bende Mataram 1
^