Pencarian

Hantu Rimba Larangan 1

Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan Bagian 1


HANTU RIMBA PERSILATAN Oleh: Teguh S. Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S. Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode :
Hantu Rimba Larangan
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Bocah berusia sekitar tujuh tahun itu berkali- kali
dihardik oleh bapaknya. Wajahnya terlihat kecut dan
air matanya seperti hendak merembang di kelopak ma-
ta. Namun dikuatkan juga hatinya. Dan dengan keta-
kutan dia kembali memasang kuda-kuda.
"Duk!"
"Anak goblok! Tolol! Bagaimana mungkin kamu bi-
sa menjadi orang hebat kalau kuda-kudamu saja, tak
kokoh!" bentak bapaknya sambil menendang lutut bagian belakang si bocah.
Anak kecil itu kembali terjerembab di tanah keras.
Keningnya berdarah. Dan kali ini dia tak kuat lagi menahan rasa sakit. Air
matanya meleleh ketika dia
bangkit tertatih-tatih sambil memandangi laki-laki
berkumis melintang yang melotot garang.
"Ayo cepat! Atau kutendang lagi pantatmu!
"Tapi ayah... seluruh tubuhku sakit sekali...."
"Laki-laki apa kau ini"! Baru terkena hajar begitu sudah lembek! Cepat pasang
kembali kuda-kudamu
dan ulangi kembali gerakan yang tadi kuajarkan!"
"Hup!"
Bocah itu mengulangi gerakan-gerakan dasar ilmu
silat yang tadi diajarkan bapaknya. Sebisa mungkin
dihemposnya seluruh tenaga agar terlihat mantap.
"Yang benar kau Jliteng! Atau kuhajar kau!" hardik laki-laki berkumis melintang
itu dengan wajah garang
melihat gerakan yang dilakukan anaknya terlihat le-
mah dan tak bertenaga.
Baru saja selesai kata-katanya, kaki kanannya te-
lah melayang menghantam punggung bocah yang ber-
nama Jliteng. Si bocah berusaha membungkukkan tu-
buh seperti pelajaran yang diingatnya. Kemudian
menggeser tubuh dan berbalik cepat menghantam pa-
ha lawan dengan satu tendangan keras.
Namun jangankan berbuat begitu. Untuk mem-
bungkukkan badan saja dia tak sempat. Tendangan
bapaknya sangat cepat dirasakan. Walau terlihat asal-
asalan namun karena keadaan tubuhnya yang letih,
Jliteng tersungkur dan kembali mencium tanah. Kali
ini dia mengaduh kesakitan sambil menggelepar.
"Bangun!"
Jliteng seperti tak mendengarkan bentakan itu. Bi-
asanya walau sakit bagaimana pun akan ditahannya,
dan dengan wajah ketakutan dia akan berusaha cepat
bangkit. Tapi tendangan itu ternyata betul-betul tak
tertahankan lagi sakitnya. Bocah kecil yang bernama
Jliteng cuma terisak sambil merintih kesakitan meme-
gangi punggungnya yang memar.
"Dari pada menjadi laki-laki tak berguna, men-
dingan sekalian saja kau mampus!" sentak laki-laki itu bertambah geram lalu
mencengkram kerah baju anaknya. Si bocah diangkatnya tinggi-tinggi dan akan
dibantingnya ke tanah. Namun pada saat yang bersamaan
menjerit satu suara yang membuat laki-laki itu men-
gurungkan niatnya sesaat. Dari dalam rumah keluar
seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun
sambil mengacungkan pedang ke arah laki-laki itu.
"Kakang Patisena, kalau kau tak suka mengajari
Jliteng ilmu silat, ya sudah! Aku tak akan memaksa.
Tapi kalau kau bermaksud menyiksa anakku, langkahi
dulu mayatku!"
Seperti sadar akan kelakuannya yang keterlaluan,
laki-laki itu melepaskan anaknya sambil menggeleng-
kan kepala dengan wajah lesu. Jliteng sendiri begitu
bebas dari cengkraman Bapaknya langsung mengham-
bur ke pelukan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.
"Maaf Andini... aku tak bermaksud begitu..." ujar Patisena dengan suara lemah.
"Cukup Kakang Patisena! Selama seminggu ini ku-
lihat kau bukan mengajari Jliteng ilmu silat, tap kau malah menyiksanya! Aku
sadar bahwa dia bukan anak
kandungmu sehingga mana mungkin kau mau menga-
jarkan dia dengan baik!"
"Andini, jangan berkata begitu! Aku hanya ingin mengajarkan padanya bahwa hidup
ini keras. Sebagai
laki-laki dia harus menyadari hal itu!"
"Menyadari apa" Menyadari untuk kau siksa setiap hari" Tidak bisakah kau sedikit
bersikap lunak padanya" Apakah begitu caranya kau mendidik anak la-
ki-laki agar menjadi keras dengan cara menyiksanya
habis-habisan"! Katakan Kakang Patisena, bahwa kau
tak sayang padanya. Dalam hatimu hanya ada keben-
cian karena wajah Jliteng mirip dengan almarhum
ayahnya sehingga membuat batinmu panas setiap kali
melihatnya!" sentak wanita itu dengan suara berapi-api penuh kemarahan.
Patisena terkejut mendengar tuduhan itu. Benar-
kah apa yang dikatakan Andini" Wajah Jliteng me-
mang mirip dengan Bomantara, ayah kandung Jliteng.
Dulu ketika masih muda mereka sahabat karib. Sam-
pai kemudian tanpa disadari keduanya menaruh hati
pada seorang gadis yang merupakan kembang paling
harum di desa mereka, yaitu Andini.
Namun karena Bomantara berparas lebih tampan
dan halus budi bahasanya, Andini lebih tertarik pa-
danya. Patisena waktu itu memang sakit hati.
Cintanya pada Andini begitu mendalam. Dan meli-
hat Bomantara berhasil mempersunting Andini, timbul
dendam dan kebencian di hatinya. Semua penduduk
desa mengetahui hal itu. Tingkahnya sering ugal-
ugalan dan brangasan. Namun sampai sejauh itu dia
masih bersikap ksatria dan tak mau mengganggu ru-
mah tangga sahabatnya. Patisena mengalah dan pergi
meninggalkan desanya untuk mengembara.
Beberapa tahun kemudian dia kembali dan men-
dapati Andini telah menjanda dan mempunyai seorang
anak. Walaupun demikian hasrat hatinya tetap meng-
gebu untuk menyunting Andini, dan ketika hal itu di-
utarakan, ternyata dia tak bertepuk sebelah tangan.
Andini menyambut baik dengan satu persyaratan
bahwa Patisena harus menganggap Jliteng, anak hasil
perkawinannya dengan Bomantara, sebagai anaknya
sendiri. "Andini... sudahlah. Jangan bawa-bawa persoalan
ini di depan anak-anak. Aku memang salah. Maafkan-
lah..." kata Patisena pelan.
Mendengar kata-kata Patisena semakin me-lunak,
luluh juga hati wanita itu. Pedang ditangannya ditarik kembali. Diusap-usapnya
kepala Jliteng dengan penuh
kasih sayang. "Sejak ayahnya meninggal dia tak punya siapa-
siapa lagi selain diriku. Bersamamu penuh harapanku
agar anak ini mendapat kebahagiaannya kembali.
Mungkin aku salah terlalu berharap banyak agar kau
pun sayang padanya..." ujar Andini pelan.
"Aku sayang padanya...."
Andini terdiam mendengar kata-kata Patisena. Dili-
riknya Patisena sekilas. Kemudian melangkah mende-
kati sambil merangkul mereka berdua.
"Aku sayang pada kalian..." desah Patisena kembali. Diraihnya pedang yang masih
dalam genggam-an
isterinya, dan dibimbingnya mereka ke dalam bersa-
ma-sama. Patisena menggendong Jliteng sambil men-
gusap-usap kepala anak itu.
* * * Siang yang terik itu perlahan-lahan memudar keti-
ka sekumpulan awan kelabu berarak di angkasa. Pati-
sena duduk beralaskan tikar di ruang depan rumah
mereka. Sesekali bola matanya melirik ke kamar. Ter-
lihat Jliteng tertidur pulas setelah tubuhnya diurut
dan dibaluri obat.
Dia beranjak ke ruang tengah ketika melihat iste-
rinya baru saja selesai menyusui putri bungsu mereka
yang baru berusia kurang dari dua tahun, buah per-
kawinan mereka berdua. Bocah mungil itu tertidur dan
bibirnya menyungging senyum menggemaskan. Patise-
na meliriknya sekilas, kemudian sambil menghela na-
fas panjang kembali dia mondar-mandir di ruang de-
pan. Andini beranjak mendekatinya setelah me-
nidurkan anak bungsunya di kamar. Dengan penuh
kelembutan diusapnya punggung suaminya sambil
menyandarkan wajahnya.
Patisena seperti tak bereaksi. Pandangannya lurus
ke depan menatap pekarangan yang ditumbuhi pepo-
honan. Wanita itu merasa heran dan menghela nafas
pendek. "Kakang marah atas kata-kataku tadi...?" tanya Andini pelan.
Patisena memandang wajah isterinya sekilas. Ke-
mudian dia menggelengkan kepala sambil duduk di
atas balai-balai. Andini pun ikut duduk di sampingnya.
"Tidak."
"Kelihatannya Kakang gelisah terus sejak tadi?"
Patisena diam tak menjawab.
"Katakanlah, Kakang Patisena, apakah kakang ma-
rah" Aku sudah memaafkan perbuatanmu tadi pagi,
asal kakang berjanji tidak mengulanginya lagi. Bagai-
manapun juga aku masih tetap berharap agar Kakang
bisa menerima Jliteng sebagai anak kandung sendiri.
Bukankah Kakang telah berjanji demikian ketika
mcngawiniku dulu?"
"Andini, aku sudah menganggap Jliteng sebagai
anak kandungku sendiri...."
"Jadi apa lagi yang merisaukan pikiran Kakang?"
"Entahlah, aku pun tak tahu. Tadi malam aku
mimpi buruk dan sangat mengganggu sekali. Mimpi
yang sama seperti kenyataan yang bakal terjadi. Berturut-turut dalam seminggu
ini..." "Mimpi" Mimpi apa, Kakang" Kenapa kau tak per-
nah menceritakannya padaku?" tanya Andini terkejut.
Patisena melirik isterinya, kemudian meman-
dangnya tajam-tajam.
"Kau ingat kematian Bomantara?" tanya Patisena pelan.
"Tentu saja aku ingat. Saat itu dia disuruh guru ki-ta dalam suatu tugas bersama
dua orang kawannya
yang lain. Mereka tewas dibunuh, menurut keterangan
orang-orang yang mengantarkan mayatnya. Tapi apa
hubungannya dengan mimpimu?"
Patisena menghela nafas. Terasa berat dan sesak.
"Bukankah sampai saat ini kau, aku, bahkan al-
marhum guru kita tak tahu sebab kematiannya dan
dia tewas oleh siapa?"
"Kami menduga bahwa Kakang Bomantara dibu-
nuh oleh musuh-musuhnya...."
"Tidak mungkin, Andini. Di luaran sana Bomantara tidak mempunyai musuh. Kalaupun
ada yang men-dendam dan benci kepadanya, orang itu adalah aku.
Tapi aku bersumpah tidak membunuhnya. Walaupun
dia yang mendapatkanmu, aku tak sepicik dan seren-
dah itu untuk membunuhnya!"
"Aku percaya, Kakang Patisena. Tapi ceritamu se-
makin membuatku bingung...."
"Tahukah kau, Andini kira-kira siapa orang yang
membenci kita dan kawan-kawan sepermainan kita
dulu semasa kita masih remaja" Maksudku, adakah
orang yang pernah kau ingat di desa kita ini dulu"
Orang yang sangat aneh dan sering diejek oleh kawan-
kawan kita yang lain?"
Andini mengingat-ingat sesuatu sampai keningnya
berkerut. Tiba-tiba dia tersentak kaget.
"Astaga! Apakah yang kau maksud anak yang ting-
gal di tepi hutan itu"!"
Patisena mengangguk.
"Ya, pemuda yang memiliki keanehan seperti tak
masuk akal. Dia memiliki dua buah kepala dan dua
pasang tangan. Dulu kita sering mengejeknya sebagai
anak setan, anak haram, dan anak pembawa malape-
taka. Bahkan hampir semua pemuda di desa ini yang
sebaya dengan kita memperlakukannya dengan kejam.
Termasuk juga aku. Gadis-gadis berpaling dan mem-
buang ludah di depan matanya ketika dia memandang
kalian. Kau pun berbuat seperti itu padanya. Bahkan
aku ingat, kaulah yang paling jijik bila dia meman-
dangmu sering-sering," ujar Patisena.
Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk Andini merind-
ing mengingat kejadian itu. Pemuda itu entah datang
dari mana, tapi dia diasuh oleh perempuan tua yang
hidup sendiri di dekat hutan pinggiran desa mereka.
Pada waktu-waktu tertentu dia sering berjalan di desa, sepertinya ingin bergaul
dengan mereka semua.
Patisena dan Bomantara paling suka mengejek dan
menyiksa pemuda itu. Lebih-lebih lagi mereka berdua
memang murid terpandai Ki Sena Manggala, orang tua
yang menjadi guru hampir semua muda-mudi di desa
ini. Kasihan pemuda aneh itu. Dia cuma mengeluh dan
berteriak kesakitan kalau kedua pemuda itu telah
memukulinya. Dari sorot matanya terlihat api dendam
dan kebencian. Dan kalau sudah begitu maka pemu-


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da-pemuda yang lainnya bertambah senang memuku-
linya. Sampai ibu dari pemuda aneh itu datang dan
menghardik pemuda-pemuda yang memukul anaknya.
Kemudian dengan penuh kasih sayang dituntunnya
anaknya pulang sambil berkeluh kesah.
Tapi pemuda aneh itu sepertinya tak pernah mera-
sa kapok. Beberapa hari kemudian dia datang lagi.
Bahkan dia berani mengintip gadis-gadis yang sedang
mencuci dan mandi di pancuran. Dan, bila pemuda-
pemuda di desa itu mengetahuinya, maka tak ampun
lagi mereka langsung memukulinya sampai babak be-
lur. Tapi ketika ibunya meninggal, pemuda aneh itu
pun tak pernah terlihat lagi. Dia hilang bagai ditelan bumi.
"Apakah... apakah mimpimu berkaitan dengan pe-
muda itu...?" tanya Andini ragu.
Patisena mengangguk pasti.
"Itulah yang merisaukanku. Beberapa hari ini
mimpi itu semakin terbayang nyata. Dia datang sambil
tersenyum dan menjinjing kepala Bomantara yang di-
tujukannya padaku...."
"Apa"!" pekik Andini kaget sambil memandang wajah suaminya tajam.
"Maaf Andini, aku tak bermaksud menyinggung pe-
rasaanmu. Itulah yang membuatku melatih Jliteng
dengan keras. Agar dia mampu melindungi dirinya dari
lawan kelak."
Andini terdiam beberapa saat. Bola matanya mene-
rawang ke mana-mana dengan wajah gelisah.
"Hei!"
Sebuah bayangan melintas di halaman depan. An-
dini cepat bergerak menyambar pedang yang tergan-
tung di dinding.
* * * Ada apa?" tanya Patisena cemas.
"Bersiaplah, Kakang...!" bisik Andini lirih sambil melangkah pelan ke depan.
Patisena mengikuti dari belakang dengan pedang di
tangan. "Aaaa...!"
Suami istri itu saling pandang ketika mendengar
jerit tertahan dari arah kamar.
"Anakku!" pekik Andini sambil melompat ke kamar.
Patisena sigap menghadapi segala kemungkinan.
Tapi belum lagi mereka tiba, dari dalam kamar melesat dua sosok tubuh kecil dan
persis jatuh di kaki mereka.
"Anakku!" jerit Andini dengan tubuh terguncang.
Wajah wanita itu pucat pasi begitu melihat Jliteng
dan putri bungsunya yang baru berusia setahun lebih,
tewas dengan kepala remuk. Dipeluknya kedua tubuh
yang sudah tak bernyawa itu dengan kesedihan yang
mendalam. "Anjing biadab! Siapa yang melakukan ini"!" bentak Patisena langsung menerjang
ke dalam ka-mar dengan
pedang terhunus.
Namun dengan tiba-tiba satu bayangan melesat
memapaki. Patisena membabatkan pedangnya dengan
cepat. "Tak!"
"Begkh!"
"Akh!"
Patisena terkejut. Gerakan lawan sangat cepat.
Bukan saja dia tak berhasil mengirimkan serangan
maut, tapi dengan tiba-tiba tangannya seperti dihan-
tam besi keras dan membuat pedangnya terlepas. Be-
lum sempat mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba da-
danya dihantam oleh suatu benda yang amat keras
dan membuat tubuhnya terlempar menghantam dind-
ing kamar hingga jebol. Dari mulut dan hidungnya
mengalir darah segar.
"Si... siapa kau"! Hah" Ka... kau...?"
Sosok tubuh berdiri di hadapannya. Pandangan
mata Patisena agak gelap. Namun ketika dia mene-
gaskan, bukan main terkejutnya laki-laki itu. Sosok
tubuh yang berdiri di hadapannya inilah yang selalu
menghantui mimpinya. Pemuda aneh berkepala dua
dan bertangan empat.
"Dolu Lungkat"!" pekik Andini halus ketika mengetahui siapa bayangan itu
sebenarnya. Seperti Patisena, dia pun tersentak kaget, dan tan-
pa sadar menyebut nama pemuda aneh itu.
Melihat namanya disebut, pemuda aneh itu meno-
leh. Kali ini Andini dapat melihat dengan jelas keadaan tubuhnya yang ganjil.
Kepalanya bulat lonjong dan ada dua buah. Yang satu agak lebih besar, namun
wajahnya serupa betul. Hitam legam dengan sorot mata yang
tajam menakutkan seperti rajawali hendak menerkam
mangsa. Satu tangan kanannya menuding, dan satu
tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan dua lengan
yang lainnya diam tak bergerak.
"Hmmm... kalian masih mengenaliku rupa-nya.
Bagus! Hari ini adalah hari pembalasan untuk manu-
sia-manusia terhormat seperti kalian. Kau akan mam-
pus seperti Bomantara, dan suamimu sekarang dalam
keadaan sekarat. Sebentar lagi dia pun akan menyusul
kawannya. Tapi kau! Sebelum kau mati, ada hadiah
dariku yang akan kau bawa ke akherat!" suara pemu-da aneh itu serak dan berat.
"Ja... jadi kau pembunuh suamiku Bomantara
yang..." Belum lagi habis kata-kata Andini, pemuda aneh
itu bergerak cepat dengan sebelah tangan melambai ke
arahnya. Andini mencoba menangkis. Tanpa mengelak
pemuda aneh itu menangkap pergelangan tangan An-
dini. Entah bagaimana tiba-tiba gadis itu telah berada dalam pelukannya. Dan
tangan-tangan yang lain bergerak merobek baju yang dikenakan wanita itu.
"Keparat! Apa maksudmu"! Lepaskan aku! Le-
paskan...!" teriak Andini berusaha berontak.
Percuma saja Andini berontak, karena kedua tan-
gan pemuda aneh itu mendekapnya erat sekali. Kemu-
dian dengan tiba-tiba tubuh Andini direbahkannya ke
lantai dan dengan beringas dia melampiaskan nafsu
setannya pada wanita itu. Andini berusaha berontak tapi sia-sia saja. Tubuhnya
terasa lemah tak berdaya, dan kerongkongannya seperti tersumbat ketika beberapa
bagian tubuhnya ditotok pemuda aneh itu.
Sementara dengan sisa tenaganya Patisena beru-
saha bangkit untuk menolong isterinya. Kemarahan-
nya begitu memuncak sampai urat-urat di pelipisnya
menegang. Tapi dia tak sampai melangkah ketika da-
danya terasa nyeri bukan kepalang. Tubuhnya kembali
tersungkur persis di dekat isterinya yang tak berdaya digumuli pemuda bertubuh
aneh itu. "Ke... keparat...!" makinya geram ketika pemuda aneh itu selesai melampiaskan
perbuatan bejatnya.
"Itulah hadiah dariku atas apa yang kau berikan
padaku dulu. Penghinaan dan pandangan menjijikkan!
Nah, sekarang pergilah kalian ke akherat!"
"Crab!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Dengan tiba-tiba tangan pemuda aneh itu men-
cengkram dada kiri Andini. Gadis itu memekik kesaki-
tan ketika jantungnya dikorek keluar. Pada saat yang
bersamaan tubuh Patisena kembali menghantam dind-
ing ketika satu tendangan menerpanya.
Suami isteri itu tewas seketika, dengan tubuh pe-
nuh luka yang mengerikan. Pemuda bertubuh aneh itu
meninggalkannya sambil mengeluarkan tawa yang me-
nyeramkan. *** 2 Matahari belum lagi terbenam ketika hujan turun
seperti dicurahkan dari langit. Tanah-tanah yang ta-
dinya kering kini mulai lembab dan sebentar lagi be-
cek. Pohon-pohon tampak bergoyang-goyang ditiup an-
gin sambil melambai-lambaikan rantingnya yang ber-
daun lebat. Seperti merayakan hari kegembiraan atas
turunnya hujan yang memberikan kehidupan bagi me-
reka. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang pe-
muda tampan berbaju kulit harimau. Dia dan seekor
monyet kecil di pundaknya berlari-lari kecil sambil
mendesah kesal mencari perlindungan.
"Hmmm... untung ada tebing yang bentuknya se-
perti ini," kata pemuda berbaju kulit harimau menghela nafas lega.
"Nguk!"
"Yaah... lebih baik sedikit basah dari pada mandi hujan dan kedinginan," sahut
pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu Hanggara atau lebih
dikenal dengan Pendekar Pulau Neraka.
Mereka berdua berteduh pada sebuah batu yang
menempel di sisi sebuah tebing. Batu itu agak menjo-
rok ke dalam kira-kira lima jengkal. Sehingga merupa-
kan tempat berteduh yang amah dari siraman air hu-
jan. "Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam menyeringai lebar
sambil menepuk-nepuk perutnya. Bayu terkekeh sam-
bil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Wajah-
nya terlihat kesal sekali.
"Ah, hujan sial! Datang tiba-tiba mengejutkan
orang saja. Padahal kita sedang enak-enak bersantap.
Kau lihat Tiren! Aku cuma sempat membawa sekerat
daging kijang ini. Padahal yang tertinggal masih cukup untuk dua hari lagi."
"Nguk...!"
Tiren mencericit sambil sesekali menunjukkan wa-
jah tak senang dengan kata-kata yang diucapkan
Bayu. "Kenapa" Kau tak suka aku berkata begitu" Jelas, karena daging itu bukan
jatahmu. Paling buah-buahan
yang kau petik tertinggal dan gampang mencarinya la-
gi. Tapi daging kijang" Sulit diperoleh!"
"Kaaaakh!"
"Lho, kenapa?"
"Nguk! Nguk!" Tiren menyeringai garang sambil menunjukkan tangannya ke atas.
"O... kau mau disambar petir?" tanya Bayu sambil terkekeh menggoda sahabatnya.
"Kaaaakh...?" Tiren terlihat semakin kesal dengan jeritan kerasnya itu.
"Iya, iya... aku mengerti maksudmu. Kita harus
berterima kasih atas turunnya hujan sebab ini anuge-
rah Yang Maha Kuasa. Begitu?"
Tiren tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk-kan
tangan di atas kepalanya.
"Tapi bukan berarti kita tak boleh kesal. Itu bukan
berarti kita tidak mensyukuri, tapi... ya, pokoknya
kesal saja! Orang lagi enak-enaknya bersantap tiba-
tiba turun hujan. Huh, mana perut sedang lapar!" gerutu Bayu kembali.
Pemuda itu memang sengaja berkata begitu agar
sahabatnya jengkel. Dan benar saja. Binatang cerdas
itu betul-betul seperti mengerti ucapan manusia. Khu-
susnya apa yang diucapkan oleh Bayu. Kembali dia
mencericit dengan suara ribut sambil memperlihatkan
wajah garang. "Ha ha ha ha...! Nah, begitu lebih bagus, Tiren. Paling tidak saat hujan begini
ada yang dijadikan hibu-
ran. Daripada kesal memikirkan perut lapar."
"Nguk!"
"Lho, kok berhenti" Ayo, menjeritlah yang keras!"
Monyet kecil berbulu hitam itu malah membuang
muka dan bungkam tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun. Bayu semakin geli saja melihat tingkahnya.
Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Cuaca yang
tadinya gelap tiba-tiba menjadi terang sesaat. Pandangan Bayu yang tajam melihat
sesuatu pada jarak sepu-
luh tombak di depannya.
"Hei"!"
Tubuhnya melesat cepat menembus derasnya air
hujan. Tiren terpaksa mengikuti dari belakang.
Apa yang dilihat Bayu ternyata seorang bocah pe-
rempuan berusia enam tahun yang sedang menekuri
dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat. Bajunya
kuyup oleh air hujan. Wajahnya menekur sambil me-
mandangi kedua mayat itu tak berkedip. Bibirnya yang
mungil mulai membiru ketika tubuhnya bergetar hebat
karena kedinginan. Tapi semuanya seperti tak dirasa-
kan. Betul-betul bocah yang keras hati.
"Siapa namamu, Nak" Mengapa kau berada di si-
ni?" tanya Bayu ramah sambil menepuk pundaknya.
Bocah kecil itu menoleh, dan terlihat wajahnya
yang pucat menampakkan ketakutannya yang hebat.
Buru-buru dia bangkit dan bermaksud kabur dari
tempatnya itu. "Hei! Jangan takut. Aku tak bermaksud melukai-
mu!" teriak Bayu sambil mencekal pergelangan tangan bocah itu.
"Ampun...! Ampuuun...! Jangan bunuh aku. ayah...
ibu... tolong! Jangan bunuh aku...!" teriak-nya semakin panik.
Bayu berusaha menenangkannya. Tapi bukan-nya
diam, bocah itu semakin keras berontak dan berteriak-
teriak ketakutan.
"Nguk! Nguk!"
"Ohhh...."
Melihat seekor monyet kecil yang meman-dangnya
sambil mengulurkan tangan, bocah kecil itu seketika
tertegun. Tapi tak lama kemudian dia kembali berusa-
ha berontak untuk melepaskan diri dari cekalan Bayu.
"Adik manis, diamlah. Aku tak bermaksud jahat
padamu. Demikian pula Tiren. Kami ingin berkawan
denganmu...."
Bocah itu seperti tak perduli dengan kata-kata
Bayu. Dia terus menjerit-jerit ketakutan. Bayu bilang kesabarannya melihat
keadaan itu. "Diam!" bentaknya keras.
Bocah perempuan itu tersentak kaget. Wajah pias
seperti mayat. Bibirnya bergetar hebat. Bukan saja
oleh rasa dingin yang menyengat, tapi juga oleh rasa
takut yang memuncak di hatinya. Suaranya seperti
tersangkut di kerongkongan. Dipandanginya wajah
pemuda berambut gondrong dengan mimik seperti


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang melihat sesuatu yang mengerikan yang akan
mengancam jiwanya.
"Nah, begitu lebih baik dari pada kau terus berte-
riak-teriak seperti orang gila..." lanjut Bayu dengan suara ramah.
"Nguk!"
"Namaku Bayu, dan ini sahabatku, Tiren. Kami ti-
dak jahat karena ingin berkawan denganmu. Kau tentu
mau menerima kami sebagai kawanmu, bukan?"
Bocah itu masih diam tak menyahut. Ke-
takutannya seperti tak hilang sedikit pun di wajahnya.
Bayu menggelengkan kepala sambil menghela nafas
panjang. Tubuh mereka telah kuyup oleh air hujan,
dan ketika sekali lagi berusaha ramah, bocah itu tetap tak memberikan reaksi.
Dia melirik sekilas pada dua
sosok mayat yang tergeletak di depannya.
"Apakah mereka ini ayahmu" Pamanmu" Atau
saudaramu...?" tanya Bayu lirih.
Bocah perempuan itu cuma melirik sekilas tanpa
menyahut sepatah kata pun.
"Hmmm... sungguh kejam orang yang telah mem-
bunuh mereka. Awas! Kalau sampai bertemu dengan-
ku dia tak akan lolos. Akan kupatahkan lehernya!" geram Bayu.
Bocah itu melirik lagi ke arah Bayu. Kali ini keta-
kutannya sedikit mereda. Entah oleh kata-kata Bayu
atau hatinya mulai percaya bahwa pemuda di depan-
nya bukanlah orang jahat.
"Betulkan Tiren" Akan kita patahkan leher orang
yang telah berbuat kejam itu!"
"Nguk!"
* * * "Wa... wajahnya seram...."
"Hei! Apa katamu?"
Bocah perempuan itu memandang ragu pada pe-
muda berbaju kulit harimau.
"Jangan takut. Kami adalah kawanmu. Kita akan
balas perbuatan orang yang telah membuat paman-
pamanmu ini mati. Orang itu harus mendapat huku-
man yang berat."
"Be... betulkah?"
"Tentu saja! Orang itu pasti jahat, dan orang jahat harus dihukum."
"Tapi orang itu berilmu tinggi. Kedua pamanku tak mampu melawannya."
"Hmmm... jadi mereka ini adalah pamanmu" Siapa
yang telah membunuh mereka?"
"Seorang berwajah seram. Kepalanya ada dua dan
tangannya empat."
"Apa"!" Bayu terkejut mendengar keterangan bocah itu.
"Betul, Paman. Aku melihat sendiri dari balik semak-semak. Ketika itu aku
bermaksud pipis, dan be-
rada agak jauh dari kedua paman. Tiba-tiba orang itu
muncul. Mereka berkelahi, tapi dia dengan mudah
membunuh paman-pamanku. Aku tak berani keluar
karena takut. Jadi hanya bersembunyi di balik semak-
semak saja...."
Bayu tertegun mendengar cerita bocah perempuan
itu. Tidak salahkah kata-katanya" Seorang tokoh ber-
kepala dua dan bertangan empat" Apa bukan karena
rasa ketakutannya saja"
"Apakah paman tak percaya ceritaku?"
"Ehh... percaya. Tentu saja paman percaya pada ceritamu. Nah, kalau mereka
paman-pamanmu, tentu kau
punya orang tua bukan" Di mana mereka berada, biar
aku antar kau pulang."
"Aku tak tahu jalan pulang, Paman..." sahut bocah perempuan itu lesu.
"Hmmm... apakah kau tak tahu nama desamu?"
"Kalau itu aku ingat. Desa Kedungbala."
"Kalau begitu biar kita kubur mayat pamanmu ini, dan setelah itu kita akan
mencari desa tempat asal-mu," sahut Bayu.
Setelah mengubur kedua mayat itu, mereka lang-
sung meninggalkan tempat tersebut. Tiren berada di
pundaknya, dan bocah perempuan itu digendongnya di
belakang ketika Bayu mengerahkan ilmu lari cepatnya.
"Takut?" tanya Bayu diantara desir angin yang membuat bocah itu sulit untuk
melihat ke depan.
"Ti... tidak."
"Ha ha ha ha.... Sebentar lagi tentu kau akan terbiasa. Oh, aku lupa siapa
namamu?" "Ambar, Paman."
"Ambar" Hmm... nama yang bagus dan cantik se-
perti orangnya," puji Pendekar Pulau Neraka.
"Paman dari desa mana?" tanya bocah bernama Ambar mulai berani.
"Paman berasal dari jauh. Di sebuah pulau dekat
Pantai Selatan"
"Apakah paman masih punya orangtua?"
"Orangtua paman sudah meninggal sewaktu pa-
man masih kecil."
"Paman tentu sedih, bukan?"
Bayu tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Sepanjang perjalanan mereka, bocah perempuan itu
mulai banyak bertanya dan terlihat sifat aslinya yang polos dan riang
sebagaimana layaknya bocah-bocah
seumurnya. Setelah bertanya pada beberapa orang yang mereka
temui di tengah perjalanan, mereka tiba di desa yang
dituju. Desa itu persis berada di pinggiran sebuah hutan dekat kaki gunung. Tapi
bukan satu-satunya desa
yang terdapat di situ. Ada dua desa lagi yang agak berdekatan jaraknya.
Hari telah malam ketika mereka sampai di Desa
Kedungbala. Suasananya tampak sepi. Tapi Ambar te-
rus menghambur sambil berlari kecil menuju rumah-
nya. "Ayaaah.... Ibuuu...!"
Bayu mengikuti dari belakang. Tak berapa lama
pintu depan rumah yang dituju bocah itu terkuak. Se-
pasang suami istri berusia setengah baya menyambut-
nya dengan suka cita. Mereka berpelukan sesaat me-
numpahkan kerinduan. Namun ketika Ambar mulai
menceritakan kejadian yang dialaminya, kedua orang
tuanya terperanjat kaget.
"Untung ada Paman Bayu yang mengantarkan Am-
bar pulang. Kalau tidak tentu Ambar akan ke-sasar
dan tak akan menemukan jalan pulang ke sini," celo-teh bocah itu dengan mulut
bijak. Dengan sifat kekanak-kanakkannya yang polos,
Ambar menarik tangan Bayu dan memper-
kenalkannya pada kedua orang tuanya.
"Terima kasih atas pertolongan Ki sanak pada anak kami" kata ayah Ambar dengan
wajah haru. "Ah, tidak apa. Itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk saling
tolong menolong."
"Tampaknya Ki sanak telah melakukan perjalanan
jauh. Kalau tidak keberatan menginaplah di rumah
kami. Apalagi hari telah malam begini...."
"Terima kasih kalau tidak merepotkan...."
Bayu mengikuti mereka beranjak ke dalam. Ke-
luarga ini bukan termasuk orang berada, tapi mereka
menyambutnya berlebihan sekali. Segala hidangan di-
keluarkan ketika mereka makan bersama. Seorang ga-
dis manis berusia sekitar lima belas tahun melaya-
ninya dengan cekatan.
"Ini adik istri saya. Namanya Puji Lestari," kata Ayahnya Ambar tanpa diminta.
Bayu menganggukkan kepala. Ketika dilirik-nya,
gadis itu sedang melirik pula ke arahnya. Tapi buru-
buru dia menundukkan kepala sambil menuangkan air
minum pada cangkir pemuda berambut gondrong ber-
wajah tampan itu.
Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang
tengah dan saling bercerita. Tapi malam ini suasa-
nanya lain. Berita yang dibawa Ambar sungguh menge-
jutkan hati dan membuat laki-laki bertubuh kurus
yang tak lain dari ayahnya Ambar, lebih banyak ber-
diam diri. "Maaf, Kisanak. Desa ini terlihat begitu sepi, melihat dari jumlah rumah yang
ada mestinya merupakan
desa yang cukup ramai," tanya Bayu sekedar membu-ka pembicaraan.
"Tadinya memang cukup ramai. Tapi dalam dua
hari ini telah banyak orang yang mengungsi...."
"Mengungsi" Kenapa"
Laki-laki kurus itu tersenyum getir.
"Desa kami ini tampaknya sudah tak aman lagi di-
huni...." "Kenapa begitu, Ki sanak?"
"Seorang berkepandaian tinggi telah menjatuhkan
hukuman mati bagi seluruh penduduk desa!"
"Heh" Sungguh aneh. Siapa orang itu dan apa
haknya menghukum mati semua orang yang belum
tentu bersalah?"
"Ceritanya panjang Ki sanak...."
"Kalau Ki sanak mau menceritakannya, tentu aku
akan suka mendengarkannya sampai selesai...."
"Ayah, ceritakanlah. Paman Bayu akan menolong
kita semua. Paman Bayu hebat. Dia bisa berlari lebih
cepat dari kuda!" celetuk Ambar bersemangat.
Laki-laki bertubuh kurus itu menarik nafas pan-
jang sesaat sebelum menceritakan peristiwa yang ter-
jadi di desa mereka dalam waktu seminggu belakan-
gan. "Ooh... benarkah itu"!" tanya Bayu seperti tak percaya.
Wajah pemuda itu tampak kaget. Apa yang di-
ceritakan laki-laki ini sama dengan apa yang dilihat
Ambar tentang pembunuh kedua pamannya.
"Betul Ki sanak. Orang itu memang berkepala dua
dan bertangan empat. Dulu dia penduduk desa ini, ta-
pi karena semua penduduk desa tak menyukainya, dia
dikucilkan. Bahkan beberapa pemuda sebayanya ser-
ing memperlakukannya dengan kejam. Mungkin dia
dendam dan ingin menuntut balas!"
* * * Bayu mengangguk-anggukkan kepala dengan wa-
jah takjub. Sulit dipercaya ada orang seaneh itu. Tapi laki-laki bertubuh kurus
bercerita dengan cara yang
meyakinkan. Hingga mau tak mau timbul juga rasa
percayanya walau belum sepenuh hati. Tapi apa uru-
sannya menjatuhkan hukuman mati bagi seluruh pen-
duduk desa ini"
"Tidak ada yang berusaha melawan" Atau barang-
kali mereka hendak menyelamatkan diri" Atau juga
mendatangkan bala bantuan dari luar?" tanya Bayu hati-hati.
"Tiada seorang pun yang mampu melawannya. Be-
berapa orang telah mencoba, tapi mereka tewas den-
gan mudah. Ada penduduk yang mencoba mengungsi,
tapi mereka tak ada yang selamat karena telah tewas
sebelum keluar dari desa ini. Kami pun telah mencoba
mendatangkan bantuan seperti yang kau lihat. Kusu-
ruh adikku untuk pergi mencari saudaraku yang pal-
ing tua di desa lain. Beruntung dia dapat selamat ke-
luar dari desa, bahkan membawa Ambar yang secara
diam-diam mengikutinya. Tapi akhirnya jadi begini.
Dia pun tewas sebelum kembali ke desa ini. Hhh... en-
tah bagaimana caranya. Kalau saja Ki Sena Manggala
masih hidup tentu lain ceritanya..." kata laki-laki itu mengakhiri ceritanya
sambil menghela nafas sesak.
"Ki Sena Manggala" Siapa dia?" tanya Bayu ingin tahu.
"Dia seorang pendekar hebat yang kemudian mene-
tap di desa ini. Banyak muda-mudi yang berguru pa-
danya. Termasuk juga Bomantara dan Patisena...."
"Siapa mereka Ki sanak?" tanya Bayu kembali.
"Dua orang murid Ki Sena Manggala yang ter-
pandai. Tapi mereka pun tewas. Bahkan kematian ke-
luarga Patisena terjadi secara mengerikan.
"Dibunuh oleh orang yang sama?"
"Ya...!"
"Hmmm... sungguh kejam sekali orang itu..." gumam Bayu geram.
"Dia sengaja membuat kami ketakutan me-nunggu
giliran, sebelum mati ditangannya satu persatu...."
"Dapatkah Ki sanak menunjukkan padaku di mana
orang itu berada?"
"Ki sanak akan mendatanginya?"
Bayu menganggukkan kepala mantap.
Laki-laki kurus itu menggelengkan kepala berkali-
kali sambil menghela nafas panjang.
"Hei"!"
Bayu tiba-tiba tersentak dan cepat berdiri tegak
mengawasi pintu depan dengan pandangan tajam. Se-
lintas terlihat olehnya sebuah bayangan bergerak ce-
pat. Pemuda berbaju kulit harimau bermaksud menge-
jar keluar, namun dia cepat berpikir jika hal tersebut merupakan suatu pancingan
agar bayangan itu bisa le-
luasa masuk ke dalam.
Pendekar Pulau Neraka menunggu beberapa saat.
Belum terdengar tanda-tanda yang mencurigakan.
Bahkan pendengarannya yang tajam tak mendengar
suara apa pun. Apakah matanya tadi salah melihat"
Tak mungkin! Walau bayang tadi bergerak cepat sekali, tapi penglihatannya tak
bisa tertipu. Sekilas diliriknya keluarga itu. Wajahnya pucat dan
tegang seperti dicekam ketakutan yang hebat.
"Ki sanak yang berada di luar, silahkan masuk jika bermaksud baik. Keluarga ini
tentu akan menyam-butmu dengan senang hati!" kata Bayu dengan suara keras.
Belum terdengar ada reaksi. Bayu kembali me-
nunggu beberapa saat lamanya sambil memberi isyarat
kepada empat orang itu agar jangan bergerak mening-
galkan tempatnya.
*** 3 "Hup!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat ke atas
wuwungan menyambut sosok bayangan yang tiba-tiba
melesat turun dengan cepat menjebol atap rumah.
"Yeaaa...!"
"Plak!"


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benturan pukulan antara keduanya tak dapat di-
elakkan lagi. Tubuh Pendekar Pulau Neraka ter-jajar
ketika jatuh ke bawah sambil bersalto dengan ringan.
Namun dia cepat bangkit dan mengirim satu serangan
kilat. "Ki sanak, tiarap semua!" teriak Bayu memperin-
gatkan. Keempat orang itu buru-buru tengkurap di lantai
ketika dua sosok tubuh itu kembali bergerak cepat saling berhadapan.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Beghk!"
"Akh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Sosok bayangan men-
celat keluar dan terus berlari kencang. Bayangan ke-
dua menyusulnya dengan gerakan yang tak kalah ce-
pat. Sebentar saja terlihat mereka saling berkejaran di kegelapan malam.
"Kakang, bagaimana keadaan mereka?" tanya wanita setengah baya yang tak lain
dari ibunya Ambar pada suaminya ketika mereka bangkit dan melihat keadaan
sekeliling. "Entahlah... aku sendiri tak tahu siapa orang tadi.
Barangkali si Dolo Lungkat."
"Kau yakin itu?"
"Aku tak yakin. Tapi siapa lagi yang mampu ber-
buat begitu selain dari dirinya" Tapi pemuda itu pun
tampaknya bukan orang sembarangan. Hmmm... mu-
dah-mudahan dia mampu mengalahkan orang gila
itu." "
"Paman Bayu hebat! Dia pasti akan membinasakan
orang jahat itu!" sahut Ambar dengan wajah penuh keyakinan.
"Siapa dia sebenarnya, Bar?" tanya bibinya.
"Ambar tidak tahu. Tapi Paman Bayu bilang bahwa
dia berasal dari Pantai Selatan. Di mana tempat itu?"
tanya Ambar kepada bibinya.
Gadis manis yang bernama Puji Lestari mengge-
lengkan kepala.
"Mana bibi tahu. Sejak kecil sampai sekarang bibi
tak pernah kemana-mana...."
"Tempat itu agak jauh dari sini...." kata ayahnya.
"Ayah tahu di mana"! Paman Bayu berasal dari se-
buah pulau tak jauh dari Pantai Selatan katanya!" ce-loteh Ambar bersemangat.
"Apa"! Kau katakan dia berasal dari sebuah pulau di dekat Pantai Selatan"!"
tanya ayahnya dengan wajah kaget.
Ambar mengangguk pasti.
"Heh! Cuma ada sebuah pulau yang sangat angker
di tempat tersebut. Tak seorang pun yang bisa keluar
hidup-hidup dari tempat itu. Jangankan menginjakkan
kaki, berada di dekatnya saja orang tidak akan sela-
mat, selain...."
"Selain apa, Kakang?" tanya istrinya sedikit mendesak. "Ah, rasanya tak
mungkin!" "Tak mungkin kenapa Kakang?" tanya isterinya semakin penasaran.
"Menurut cerita yang kudengar ada seorang pende-
kar sakti berilmu tinggi yang berasal dari pulau itu.
Seperti namanya, dia bergelar Pendekar Pulau Nera-
ka...." "Pendekar Pulau Neraka" Siapa dia, Kakang?"
tanya Puji Lestari heran.
"Dia seorang pendekar hebat yang belakangan ini
namanya ramai dibicarakan orang. Aku sendiri
belum pernah menyaksikan kehebatannya. Tapi menu-
rut cerita orang, kehebatannya tak pernah diragukan
lagi." "Jadi... jadi, pemuda itukah yang bergelar Pendekar Pulau Neraka, Rang?" tanya
Puji Lestari dengan wajah kagum.
"Entahlah... aku sendiri belum yakin benar...."
Pada saat yang bersamaan Bayu telah kembali.
Wajahnya terlihat lesu, keempat orang itu memperha-
tikan dengan wajah penuh tanya. Pemuda berbaju ku-
lit harimau, duduk beralaskan tikar pandan di dekat
mereka. Dia menarik nafas pelan dan menghem-
buskannya perlahan-lahan.
"Sayang sekali Ki sanak. Aku tak berhasil menangkapnya. Dia menghilang
dikegelapan malam persis di
dekat hutan di ujung desa," kata Bayu lirih.
"Apakah Ki sanak mengetahui siapa orang itu?"
"Tak begitu jelas, tapi penglihatanku tak mungkin salah. Orang itu persis
seperti apa yang kalian ceritakan...."
"Hmmm.... Dolo Lungkat...."
"Kau tahu juga namanya, Ki?"
"Ya...."
"Tentu tahu juga di mana dia berada?"
"Tidak pasti. Tapi dulu dia tinggal di dekat hutan di ujung desa ini bersama
ibunya. Namun setelah orang
tuanya meninggal, dia hilang entah ke mana. Sejak
saat itu tak seorang pun mengetahui di mana dia be-
rada." "Hmmm... kalau begitu biar besok aku akan ke sa-
na. Siapa tahu ada petunjuk tempat dia berada saat
ini." "Itu pekerjaan yang berbahaya, Ki sanak...."
"Tidak apa, Ki. Kalau kalian memperkenankan aku
bermaksud akan membantu menyelesaikan persoalan
ini sebisaku."
"Oh, tentu saja kami akan sangat bergembira seka-li. Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Rasanya tak pantas kau berkorban untuk kami.
Orang itu hebat dan ilmunya tinggi. Kalau kau tewas
dengan sia-sia tentu kami akan sangat merasa bersa-
lah." "Belum tentu aku tewas di tangannya, Ki. Umur seseorang bukan ditentukan oleh
manusia atau makhluk
lain, melainkan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Walaupun kepandaianku tak seberapa, tapi kalau Tu-
han belum mengijinkan aku mati, maka segalanya
akan mudah. Begitu juga sebaliknya. Kalau Tuhan te-
lah menggariskan aku akan mati, maka walau berada
di mana pun aku pasti akan tewas," sahut Bayu sambil tersenyum kecil.
"Ya, ya... kau benar, Ki sanak."
"Kalau kalian hendak beristirahat, silahkan. Biarkan aku akan berjaga-jaga di
sini...." "Baiklah. Terima kasih atas segala budi baikmu
ini...." Keempat orang itu segera beranjak ke kamar mas-
ing-masing. Bayu duduk bersila sambil melatih perna-
fasannya di ruang tengah. Telinganya dipertajam un-
tuk mendengar sesuatu yang mungkin mencurigakan.
Sementara sepasang matanya terpejam. Dengan kedua
tangan bertopang di atas paha, sikap Pendekar Pulau
Neraka terlihat khusuk.
Malam semakin merambat, dan suasana masih ter-
lihat sepi. Tapi Bayu tetap tak bergeming di tempatnya.
Monyet kecil berbulu hitam yang selalu setia menema-
ninya, tampak terkantuk-kantuk di atas sebuah kursi.
"Siapa?" tanya Bayu merandek pelan ketika telin-ganya mendengar suara langkah
halus men-dekati.
A... aku...."
Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh. Puji
Lestari malu-malu melirik ke arahnya.
"Kenapa belum tidur juga?"
"Mataku tak mau terpejam. Aku... aku takut seka-
li...." "Hmm... tidurlah. Aku akan tetap berjaga di sini...."
"Kau tidak mengantuk..." Udara terasa dingin se-
kali. Aku akan buatkan kopi untukmu," kata Puji Lestari. Bayu tak menjawab
ketika Puji Lestari beranjak ke dapur. Tak berapa lama kemudian gadis itu
kembali bersama secangkir kopi panas di tangannya.
"Terima kasih. Kau baik sekali...."
"Ah, ini bukan apa-apa...."
"Duduklah," ujar Pendekar Pulau Neraka ketika melihat gadis itu berdiri termangu
seperti ragu hendak beranjak ke dalam.
"Tidak mengganggu?"
Bayu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
* * * Keduanya berdiam diri beberapa lama. Suara
jangkrik kembali terdengar seperti bernyanyi, dan tiba-tiba monyet kecil yang
tadi tertidur pulas ter-bangun, kemudian melompat dengan ringan ke pangkuan
Pendekar Pulau Neraka. Bayu membelai-belai kepalanya
sambil menunjuk ke arah Puji Lestari.
"Tiren, kau belum sempat berkenalan dengan gadis cantik ini, bukan" Nah, ayo
ulurkan tanganmu!"
Monyet kecil itu mengulurkan tangannya sambil
menyeringai lebar. Puji Lestari menyambutnya sambil
tersenyum lucu.
"Monyet ini cerdas sekali. Siapa tadi namanya"
Tiren?" "Nguk!"
Dengan lincah monyet itu melompat ke pangkuan
gadis cantik itu. Puji Lestari terlonjak kaget dengan wajah takut.
"Jangan takut, dia tak akan mencakarmu," kata Bayu sambil terkekeh.
"Nguk!"
Melihat monyet itu terlihat jinak dan ramah, perla-
han-lahan rasa takut gadis itu hilang. Bahkan kemu-
dian dia sudah berani membelai-belainya. Tiren terli-
hat mengerjap-ngerjapkan matanya seperti hendak ti-
dur. "Tiren ini monyet laki-laki, jadi kalau dibelai wanita dia keenakan!" goda
Bayu. "Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam menyeringai sambil
menepuk-nepuk tangannya di atas kepala. Kemudian
terlihat dia memainkan bibirnya seperti mengejek ke
arah Bayu. "Eeee, berani kau mengejek aku, ya"!"
Monyet kecil itu semakin mencibirkan bibirnya sa-
ja. Bahkan sesekali mengeluarkan lidah. Puji Lestari
terkekeh melihat hal itu.
"Monyet kalau menjulurkan lidah bukan berarti
bertambah bagus. Mukamu seperti kunyuk!"
Tiren menghentikan perbuatannya dan meman-
dang Bayu sambil memiringkan kepala. Sebelah tan-
gannya menggaruk-garuk kepala seperti terlihat bin-
gung. "Ha ha ha ha...! Agaknya dia bingung apa yang kau katakan tadi. Tiren, monyet
dan kunyuk itu sama saja.
Tak ada bedanya," jelas Puji Lestari.
Tiren kembali nyengir.
"Eh, siapa bilang tak ada bedanya" Jelas ada. Bahkan banyak sekali bedanya!"
tangkis Bayu. Dilihatnya Tiren bertingkah seperti tadi seperti bin-
gung. "Monyet itu untuk kera yang baik, cerdas, ganteng, dan berkelakuan baik.
Sedangkan kunyuk itu untuk
kera yang jahat, goblok, tolol, wajahnya jelek, dan berkelakuan buruk. Nah,
kalau kau disebut kunyuk itu
penghinaan!"
"Kaaakh...!"
Tiren melompat dari pangkuan Puji Lestari dan
kembali ke kursinya sambil mencericit pelan dengan
wajah menyeringai.
"Nah, begitu lebih baik. Lebih bagus lagi kalau sekalian tidur. Tidak boleh
mengganggu kalau orang se-
dang ngobrol. Apalagi kalau lagi ngobrol dengan wani-
ta," goda Bayu lagi sambil tersenyum.
Tiren malah memalingkan wajah mendengar itu.
"Wah, dia marah!"
"Tidak. Dia begitu malah ingin bercanda lagi."
"Kalian berdua tampak akrab. Sampai-sampai dia
mengerti segala ucapanmu. Eh, betul dia mengerti se-
gala yang kau bicarakan?"
"Mungkin juga begitu. Tampaknya kalau aku berbi-
cara apa pun dia bisa menangkapnya. Pada mulanya
aku memang agak heran dan takjub. Tapi lama kela-
maan timbul rasa kagum kepada pemilik pertama yang
membuat Tiren semakin cerdas...."
"Pemilik pertama?"
"Ya. Beliau adalah anak guruku..." sahut Bayu lirih seperti mengandung
kesedihan. Puji Lestari agaknya cepat tanggap melihat peru-
bahan wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu berse-
dih...." "Tak apa. Hal itu sudah berlangsung lama...." Keduanya kembali terdiam beberapa
saat lama-nya. "Eh... ng... mengenai orang itu apakah kau pun
mengetahuinya?" tanya Bayu memecahkan kesunyian
diantara mereka.
"Orang yang mana?"
"Yang diceritakan kakangmu tadi?"
"Oo.... Dolo Lungkat" Aku sedikit sekali mengeta-
huinya. Waktu kejadian itu terjadi aku masih kanak-
kanak. Cuma sering kulihat keanehan orang itu. Kasi-
han dia sering diejek bahkan dipukuli oleh pemuda-
pemuda desa ini karena kelainan pada anggota tubuh-
nya...." Bayu mengangguk-anggukkan kepala.
"Tapi kini aku tak menyesali kejadian yang diperbuat orang-orang desa ini
terhadap dirinya!" dengus gadis itu geram.
"Kenapa?"
"Dia memang bukan manusia, tapi iblis jahat yang berhati kejam seperti binatang.
Dia membunuh tak
kenal ampun, serta merusak kehormatan wanita-
wanita desa ini satu persatu sebelum dibunuhnya!"
"Ini tentu karena dendam. Dia sakit hati pada penduduk desa yang dulu telah
menghinanya...."
"Tapi apakah begitu caranya" Kalau dia mau sakit hati, itu wajar. Kalau dia mau
membalas dendam, ba-laslah pada orang-orang yang menyakiti dan menyik-
sanya dulu. Bukan pada seluruh penduduk desa ini
yang tak berdosa apa-apa padanya. Kudengar dulu ju-
ga banyak yang kasihan dan memberikan pertolongan


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya. Tidak semua penduduk desa ini memusu-
hinya!" * * * Bayu membiarkan gadis itu menumpahkan segala
kesal di hatinya karena ancaman yang dilakukan
orang aneh bernama Dolo Lungkat. Setelah mulai agak
tenang, pemuda gondrong berbaju kulit harimau itu
berkata pelan. "Sulit untuk memilih korban ketika dendam telah
menyelimuti hatinya. Bagi dia bukan lagi orang yang
menjadi ukuran untuk membalas sakit hatinya, me-
lainkan penduduk desa yang dianggap telah menghina
dirinya...."
Gadis itu baru saja akan menyahut ketika terden-
gar bunyi kentongan bertalu-talu yang dipukul seseo-
rang. Bayu cepat bereaksi dengan beranjak ke pintu
depan. Dia baru saja akan meninggalkan rumah ketika
ingat sesuatu dan menyurutkan langkah.
"Kenapa" Sebaiknya, Kakang melihat. Siapa tahu
ada yang membutuhkan pertolonganmu."
"Aku khawatir ini suatu pancingan agar aku keluar dari rumah ini. Kalau dia
berani masuk ke dalam rumah, itu berarti keluarga kalianlah yang mendapat
giliran menjadi korbannya," sahut Bayu.
Bayu masih belum beranjak. Hatinya betul-betul
ragu. Sementara bunyi kentongan semakin keras saja
terdengar. Beberapa penghuni desa tampak mulai ke-
luar rumah satu persatu untuk melihat apa yang ter-
jadi. Termasuk juga kedua orang tua Ambar. Mereka
tersentak terjaga.
"Ada apa, Ki sanak" Apa yang terjadi?"
"Entahlah. Aku ingin melihatnya tapi khawatir
orang itu malah akan ke sini dan melakukan niat ja-
hatnya tadi yang tak kesampaian."
"Kalau begitu pergilah jika ingin melihat. Jangan khawatir, kami bisa menjaga
diri. Siapa tahu mereka
membutuhkan pertolongan."
Bayu ragu-ragu melangkah.
"Baiklah. Biar Tiren berada di sini. Dia akan menjerit keras kalau sesuatu
terjadi pada keluarga ini," sahut Bayu sambil terus melesat meninggalkan tempat
itu dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Kentongan tadi telah berhenti. Pada sebuah rumah
terdengar jeritan seseorang. Bayu melesat ke tempat
itu secepatnya. Seorang wanita tua tampak sedang
menangisi beberapa sosok mayat yang bergelimpangan
dalam keadaan tanpa sehelai benang melekat ditu-
buhnya. Pada dadanya yang sebelah kiri tampak ber-
lubang. Beberapa orang penduduk menyusul ketempat itu
dan menghibur wanita tua yang sedang menangisi
mayat di depannya. Dan yang lainnya merapihkan
mayat-mayat yang bergelimpangan."
"Nek, apakah nenek melihat siapa yang me-
lakukan semua ini?" tanya Bayu pelan.
Si nenek cuma menggelengkan kepala.
"Nenek sedang berada di belakang ketika menden-
gar jeritan mereka. Tahu-tahu anak dan cucu-cucuku
telah mati semua...!"
"Pasti perbuatan si keparat itu!" geram Bayu ketika nenek berusia sekitar
delapan puluh tahun itu dipa-pah beberapa orang untuk menenangkannya.
Seorang wanita tua tampak sedang menangisi be-
berapa sosok mayat yang bergelimpangan dalam kea-
daan tanpa sehelai benang melekat di tubuhnya. Pada
dadanya yang sebelah kiri tampak berlubang.
Pemuda berbaju kulit harimau yang bergelar Pen-
dekar Pulau Neraka buru-buru keluar dan kembali ke
rumah Ambar. Tapi di jalan mereka bertemu. Wajah
mereka tampak pucat dan bertanya-tanya.
"Ada apa, Ki sanak?" tanya kedua orang tua Ambar. "Keluarga di seberang sana
menjadi korban..." sahut Bayu lesu sambil menunjuk pada rumah yang di-
masukinya tadi.
"Astaga! Ki Sugiarta..." Mereka mati"!"
Bayu mengangguk lemah.
"Kalau saja aku bisa tiba tepat pada waktunya, paling tidak bisa berbuat
sesuatu. Tapi aku berjanji bah-wa hal ini tak bisa didiamkan saja. Orang itu
harus mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatan-
nya!" lanjut Bayu sambil menggeram.
"Paman Bayu, orang jahat itu harus mati!" teriak Ambar marah.
"Ya, Ambar. Orang itu harus mendapat hukuman
yang setimpal. Sebaiknya kita pulang saja dulu. Hari telah larut malam."
Mereka segera beranjak meninggalkan tempat itu.
Dan seperti malam sebelumnya Bayu terus berjaga di
ruang tengah. Tapi mereka kepalang di-cekam pera-
saan takut oleh peristiwa itu, hingga sampai pagi tiba tak seorang pun yang bisa
memejamkan mata.
Bayu sendiri setelah sarapan pagi segera mening-
galkan rumah orang tua Ambar, untuk mencari jejak
orang yang telah meresahkan penduduk Desa Kedung-
bala. "Paman, kembalilah sebelum malam. Aku takut..."
ujar Ambar dengan wajah pucat ketika Pendekar Pulau
Neraka akan melangkahkan kakinya.
Pemuda berambut gondrong itu mengangguk-kan
kepala, kemudian langsung berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu menuju pinggiran hutan.
*** 4 Agak jauh dari hutan di sebelah barat Desa Ke-
dungbala terdapat sebuah gunung yang men-julang
tinggi. Gunung itu tak persis betul dikelilingi oleh hutan, karena masih
terdapat beberapa buah desa di de-
katnya. Namun hutan itu terus saling berhubungan di
balik gunung pada sisi yang lain. Dan hutan yang be-
rada dibalik gunung itu jarang ada orang yang berani
mendekat. Bukan saja karena pohon-pohonnya yang
lebat dan besar hingga membuatnya sulit ditembus si-
nar matahari, tapi juga banyak orang yang meyakini
bahwa di dalam hutan itu terdapat mahluk yang me-
nyeramkan. Itu terbukti dengan banyaknya tulang-
tulang yang berserakan di pinggir hutan. Baik tulang-
tulang manusia maupun binatang. Hingga orang-orang
menyebutnya sebagai Rimba Larangan. Dan makhluk
yang menguasai itu dijuluki sebagai Hantu Rimba La-
rangan. Di langit awan hitam mulai berarak dan me-
lingkupi suasana di pinggiran hutan. Cuaca mulai ter-
lihat gelap, padahal senja belum lagi tiba. Beberapa
orang tampak tergopoh-gopoh sambil berlari-lari kecil.
Sesekali mereka melirik ke belakang dengan wajah ce-
mas seperti dikejar setan. Kemudian setelah merasa
bahwa tempat itu cukup aman, mereka berhenti untuk
melepaskan lelah.
"Hmm... mudah-mudahan prajurit-prajurit kera-
jaan tak mengejar kita sampai di sini...." kata seorang sambil menyarungkan
golok besarnya di punggung.
"Tapi mereka agaknya bernafsu betul untuk mele-
nyapkan kita sampai ke akar-akarnya, karena sasaran
kita pagi tadi adalah upeti yang dikirimkan untuk ke-
rajaan," sahut kawannya.
"Hmm... ke mana kira-kira Ki Cagak Palung dan
yang lainnya melarikan diri?" tanya kawannya yang lain.!
"Entahlah... mana ku tahu. Dia cuma memerintah-
kan kita untuk berpencar agar pihak kerajaan bisa
terkecoh," sahut yang pertama tadi.
"Jangan-jangan malah kita yang dikejar. Mereka
enak-enakan membawa harta itu!" kata yang bermata sipit curiga.
"Tak mungkin! Ki Cagak Palung selama ini selalu
adil dalam pembagian harta rampokan yang kita pero-
leh!" sahut seorang yang bertubuh kurus dengan cepat. "Ya. Selama ini memang Ki
Cagak Palung tak pernah berbuat curang. Tapi kali ini persoalannya lain,"
ujar salah seorang yang bermuka bulat.
"Lain bagaimana?" tanya yang bertubuh kurus.
"Kali ini kita dikejar-kejar prajurit-prajurit kerajaan dalam jumlah yang cukup
besar. Rasanya me-
reka tak mungkin mau melepaskan kita begitu saja.
Siapa tahu hal ini mempengaruhi pikiran Ki Cagak Pa-
lung, karena untuk beberapa waktu kita tak mungkin
bisa bebas berkeliaran," jelas si muka bulat.
"Ya, dengan begitu mereka yang bersama dengan Ki Cagak Palung bisa enak-enakan
membagi hasil upeti
itu, sedang kita akan bersusah payah sambil gigit jari!"
sahut si mata sipit menimpali.
Untuk beberapa saat terlihat mereka saling pan-
dang setelah mendengar kata-kata kawannya tadi. Niat
untuk beristirahat tiba-tiba sirna ketika berpikir ke arah harta rampasan itu.
"Bagaimana kalau kita mencari Ki Cagak Palung?"
kata si muka bulat memberi usul.
"Jangan, Kilung! Ki Cagak Palung pasti akan ma-
rah sekali karena kita tak mematuhi kata-katanya!"
cegah orang yang bertubuh kurus pada si muka bulat
yang dipanggil Kilung.
"Tapi Rambe! Kita tak bisa berdiam diri. Sampai
kapan kita harus bersembunyi seperti yang di-
perintahkan Ki Cagak Palung?" sahut Kilung pada si kurus yang bernama Rambe.
"Betul yang dikatakan Kilung! Kita tak bisa terus bersembunyi sementara pihak
kerajaan memburu ki-ta!" sahut si mata sipit cepat.
"Apakah kau mau menanggung akibatnya, Wala-
lang"!" tanya Rambe pada si mata sipit yang bernama
Walalang. "Lho, kenapa musti aku" Kalau kita sudah se-
pakat, akibatnya harus kita tanggung bersama!" timpal yang lainnya.
Ketika melihat semuanya telah sepakat, Rambe tak
punya pilihan lain. Akhirnya dia pun setuju juga atas keputusan yang mereka
ambil. "Baiklah. Kalau begitu sekarang juga kita akan berangkat mencari Ki Cagak Palung
dan rombongan yang
lain. Kita akan bergabung dan mengatakan bahwa kita
tak punya pilihan lain untuk bersembunyi dari kejaran prajurit-prajurit
kerajaan!" ujar Rambe sambil bangkit dan memberi perintah pada kawan-kawannya
untuk melanjutkan perjalanan.
Rombongan itu baru berjalan kira-kira sepuluh
langkah ketika terdengar sesuatu gerak yang mencuri-
gakan. Rambe yang agaknya menjadi pimpinan rom-
bongan itu memberikan isyarat agar mereka berhenti.
"Kenapa?" tanya Kilung.
"Apakah kau tak mendengar sesuatu yang mencu-
rigakan?" Kilung menggeleng. Matanya menyapu ke seputar
tempat itu. Baru saja dia akan bertanya lebih lanjut
pada Rambe, tiba-tiba mereka dikejutkan ketika pulu-
han orang-orang berseragam telah mengepung tempat
itu. "Berhenti! Kalian telah terkepung. Menyerah-lah atau kalian akan menyesal
nanti!" "Hah"! Kita telah dikepung prajurit-prajurit kerajaan!" sentak Kilung terkejut.
* * * Apa yang dikatakan Kilung memang tak salah. Le-
bih dari tiga puluh orang prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu dengan
senjata terhunus. Tak tera-
sa nyali mereka tiba-tiba menjadi ciut. Jumlah mereka yang kurang dari lima
belas orang dalam singkat pasti akan disapu bersih jika mereka melakukan
perlawanan. "Bagaimana, Rambe" Apa yang harus kita laku-
kan?" tanya Kilung kebingungan.
"Kita akan lawan mereka!"
"Kau gila! Jumlah mereka banyak. Kita tak mung-
kin bisa memberikan perlawanan. Kau lihat, mereka
dipimpin oleh Panglima Sudra Wulung. Orang itu ke-
jam dan ilmu silatnya tinggi!"
"Kita tak punya pilihan lain, Kilung. Kalau menyerah pun mereka tak akan
mengampuni kita. Tak ada
pilihan lagi. Lebih baik mati dalam pertarungan dari
pada menjadi tawanan yang akhirnya pun akan mati
dengan terhina," sahut Rambe sambil mendengus garang.
"Benar, Kilung. Walau bagaimana pun kita harus
melawan mereka sampai tetes darah terakhir!" timbal Walalang.
"Terserah kalian. Aku hanya ikut saja...." sahut Kilung lemah.
"Anjing-anjing keparat! Agaknya kalian lebih suka mampus dari pada menyerah dan
mengembalikan upeti yang kalian rampok tadi pagi! Aku hitung sampai ti-ga kalau
kalian tak mau menyerah, jangan menyesal
kalau kami terpaksa menghukum kalian di tempat ini
juga!" teriak Panglima Sudra Wulung yang bertubuh besar dengan kumis melintang.
"Kami tak akan menyerah!" sentak Rambe garang.
"Bagus! Kalau begitu mampuslah kalian semua!"
dengus Panglima Sudra Wulung sambil memberikan
perintah pada anak buahnya untuk menyerang mere-
ka. Seperti tanggul jebol, prajurit-prajurit kerajaan langsung menyerang orang-
orang itu dengan semangat
menyala-nyala. Selama ini begal-begal itu sering mem-
buat kekacauan dan merampok harta benda pendu-
duk. Mereka sangat kejam tak mengenal belas kasi-
han, tak segan-segan membunuh korbannya jika me-
lawan. Selain licin dan sulit ditangkap, mereka pun ra-ta-rata memiliki ilmu
silat yang lumayan. Tapi prajurit-prajurit yang dipimpin oleh Panglima Sudra
Wulung kali ini bukan sembarang. Mereka adalah prajurit-
prajurit pilihan yang rata-rata berkepandaian tinggi, dan hebat ilmu silatnya.
Tak heran bila dalam kegemasan dan kejengkelan
terhadap begal-begal itu kini tertumpah ruah dan
mendapat pelampiasan yang paling tepat. Prajurit-
prajurit itu mengamuk sejadi-jadi-nya. Hingga dalam
tempo singkat beberapa anggota begal tewas dalam
keadaan yang mengenas-kan.
"Kini giliranmu, keparat!" bentak Panglima Sudra Wulung ketika berhadapan dengan
Rambe. "Huh! jangan bermimpi kau dapat menangkap-ku!"
dengus Rambe garang.
"Siapa yang sudi menangkap orang sepertimu"!
Kau akan mampus dengan siksaan yang berat agar


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi contoh yang baik bagi kawan-kawanmu untuk
tidak mencoba-coba mengganggu harta kerajaan!"
"Kau boleh melakukannya di akherat sana, Pangli-
ma!" sahut Rambe sudah langsung menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Trak!"
"Bet!"
"Hmm... boleh juga kepandaianmu. Tapi jangan
berharap terlalu banyak kau bisa lolos dariku!" ujar
Panglima Sudra Wulung ketika dalam bentrokan per-
tama lawan mampu menghindar dari sambaran pe-
dangnya yang cepat dan bertenaga kuat.
"Jangan girang dulu, Panglima. Justru aku yang
khawatir bila kau yang ternyata terbirit-birit lari dariku!" ejek Rambe
tersenyum sinis.
"Ha ha ha ha...! Pintar juga kau bicara. Tapi sebentar lagi bukan saja kau tak
mampu bicara, tapi kau
akan membisu selamanya."
"Hiyaaat...!"
Dengan satu teriakan menggelegar, Panglima Sudra
Wulung menyerang lawan sambil memutar pedangnya
bagai titiran. Terasa angin serangannya mengandung
tenaga dalam kuat.
Tubuh Rambe jungkir balik menghindari serangan
lawan. Beberapa kali dicobanya untuk menangkis, tapi
telapak tangannya terasa kesemutan dan perih. Agak-
nya tenaga dalam lawan lebih tinggi dua tingkat di
atasnya. Diam-diam Rambe mengeluh dalam hati. Ka-
lau keadaan ini berlangsung terus dalam tempo tiga
jurus lagi dia pasti akan kena dihajar lawan. Bahkan bukan tidak mungkin dia
akan terbunuh. Untung ke-cepatannya bergerak masih mampu menolong. Tapi itu
tak akan lama. Dia harus berusaha meloloskan diri da-
ri pertarungan ini, pikirnya.
"Hiyaaa...!"
Rambe berteriak kencang sambil membalas seran-
gan Panglima Sudra Wulung dengan gencar.
"Ha ha ha ha...! Kau mulai mengeluarkan ilmu
simpananmu" Ayo, keluarkan semuanya agar aku tak
mati penasaran!" ejek Panglima Sudra Wulung sambil terkekeh.
"Tertawalah sepuasmu, karena kaulah yang akan
mampus!" dengus Rambe gemas.
Dalam empat kali serangan Rambe mampu sedikit
mendesak Panglima kerajaan itu, tapi selanjutnya
Panglima Sudra Wulung menggeram sambil memutar
pedangnya sedemikian rupa, kembali Rambe terdesak.
Orang bertubuh kurus itu sudah nekat. Dia merenca-
nakan untuk kabur kalau lawan terdesak. Sebelum
Panglima Sudra Wulung mendesaknya, Rambe mence-
lat jauh sambil bersalto beberapa kali ke belakang.
"Mau coba-coba kabur, he! Jangan harap kau lolos dariku!" dengus Panglima Sudra
Wulung. Pedang di tangannya melesat cepat ke tubuh
Rambe ketika orang bertubuh besar itu melemparnya
dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Rambe bukan-
nya tak mengetahui hal itu. Dia berusaha menangkis,
tapi pedang itu cuma bergeser sedikit. Justru lebih
membahayakan dirinya karena ujung pedang kini jadi
tepat menghunjam ke dada sebelah kiri.
"Crab!"
"Aaa...!"
Rambe menjerit setinggi langit ketika pedang Pan-
glima Sudra Wulung menembus dadanya dan terus
melesat hingga menancap pada batang pohon di bela-
kangnya. Sehingga terlihat pemandangan yang menge-
rikan. Tubuh Rambe terkulai layu di atas batang po-
hon disangga oleh pedang Panglima Sudra Wulung.
"Hus! Mampuslah kau perampok hina!" dengus Panglima Sudra Wulung sinis.
Dia kemudian berteriak lantang memperingatkan
sisa-sisa perampok untuk menyerah.
"Menyerahlah kalian sebelum mati sia-sia! Tunjukkan di mana harta rampasan itu
kalian sembunyikan,
dan beritahu di mana pemimpin kalian yang bernama
Cagak Palung berada!"
Pertempuran tersebut seketika berhenti. Sisa-sisa
perampok yang berjumlah lima orang, ter-masuk Ki-
lung dan Walalang, saling pandangan satu sama lain.
Belum lagi mereka memutuskan sesuatu, tiba-tiba
terdengar suara tawa menggelegar. Semuanya berpal-
ing dan melihat kurang lebih dua puluh orang kawa-
nan perampok mengepung prajurit kerajaan dengan
senjata terhunus.
* * * "Ha ha ha ha...! Cacing-cacing kerajaan cuma bisa bermimpi bila berharap dapat
menangkap Cagak Palung!" kata seorang laki-laki bertubuh besar dengan perut
buncit. Lima orang sisa-sisa perampok itu berseru girang
ketika mengetahui siapa yang datang.
"Ki Cagak Palung, bagus kau cepat datang!" seru Kiling gembira.
"Hmm... jadi kau yang bernama Cagak Palung"!
Bagus kau berani menampakkan dirimu. Lekas berlu-
tut dan menyerah, kalau tidak kalian semua akan
mampus di sini!" bentak Panglima Sudra Wulung garang.
"Ha ha ha ha... jadi kau yang bernama Sudra Pa-
lung panglima kerajaan yang diutus untuk menang-
kapku" Kalau di luaran sana kalian boleh mengejar-
ngejar kami seperti tikus kejepit. Tapi di daerah ini jangan harap hal itu bisa
kalian lakukan dengan mudah. Pulanglah dan katakan pada rajamu, Cagak Pa-
lung berhak atas harta benda yang telah dirampas-
nya!" "Keparat kau, Cagak Palung! Mampuslah bagian-
mu!" bentak Panglima Sudra Wulung garang.
Dia segera memerintahkan anak buahnya untuk
menggempur lawan. Tapi kali ini seluruh anak buah Ki
Cagak Palung menyambutnya dengan bersemangat se-
perti mereka hendak mengincar mangsa yang berharta
banyak. Pertempuran diantara kedua belah pihak tak dapat
lagi dihindari. Masing-masing berjumlah sama dan
mempunyai kesempatan untuk menghabisi lawan se-
cepatnya. "Kau bagianku, Panglima! Aku akan membuat per-
hitungan atas apa yang kau lakukan terhadap Rambe!"
dengus Ki Cagak Palung sambil melompat dan meng-
hunuskan golok panjang ke arah lawan.
"Hahahaha...! Mulut besarmu boleh juga. Tapi jangan harap kali ini kau bisa
lolos dari tanganku!" sahut Panglima Sudra Wulung sambil tertawa mengejek.
"Yeaaa...!"
"Hiyaat...!"
"Trak!"
"Bet!"
Ketika tubuh Ki Cagak Palung melesat, Panglima
Sudra Wulung langsung memapaki dengan ayunan pe-
dang sambil berteriak keras. Keduanya sama terkejut
ketika merasakan bahwa tenaga dalam lawan yang
disalurkan lewat senjata masing-masing ternyata ham-
pir berimbang. Walau begitu Panglima Sudra Wulung
masih sempat membabatkan sekali ujung pedangnya
ke lambung lawan.
Ki Cagak Palung ternyata bukanlah orang semba-
rangan. Pengalamannya selama ini banyak membantu.
Walau tak sempat membalas, namun dia menyadari
akan serangan susulan lawan. Itulah sebabnya tubuh
besar berperut buncit itu melenting dengan ringan
sambil jungkir balik ke belakang.
"Tap!"
"Yeaaa...!"
Begitu kedua kakinya menjejak ke tanah Ki Cagak
Palung langsung melenting kembali dengan satu se-
rangan hebat ke arah lawan.
Panglima Sudra Wulung melompat ke atas sambil
mengirimkan satu tendangan ke batok kepala lawan.
"Hut!"
"Bet!"
Tubuh Ki Cagak Palung membungkuk dengan pe-
rut menghadap ke atas dan terus ke belakang sambil
menghantamkan kedua kakinya ke perut lawan.
"Cras!"
"Akh!"
"Hiyaaa...!"
Ki Cagak Palung mengeluh tertahan. Tulang ke-
ringnya patah, dan kakinya menggantung nyaris pu-
tus. Tapi dia masih sempat berpijak pada kaki kanan-
nya dan terus melompat ke samping menghindari te-
basan pedang lawan berikutnya yang dengan cepat
hendak menyambar pinggangnya.
"Huh! Tak ada tempat lagi bagimu untuk kabur.
Kau akan mampus di sini!" dengus Panglima Sudra
Wulung sinis sambil terus menyerang lawan dengan
gencar. Dengan sebuah kaki yang hampir putus per-
lawanan Ki Cagak Palung tak sehebat tadi. Hingga da-
lam waktu singkat dia menjadi bulan-bulanan lawan.
Melihat pemimpinnya dalam keadaan terdesak,
semangat anak buahnya mengendor. Sebaliknya praju-
rit-prajurit kerajaan semakin bersemangat menghabisi
lawan-lawannya. Korban yang jatuh di pihak para pe-
rampok itu semakin bertambah banyak.
Sementara dalam satu kesempatan, ujung pedang
Panglima Sudra Wulung berhasil menggores dada la-
wan. Ki Cagak Palung terkejut. Kesempatan itu diper-
gunakan oleh Panglima Sudra Wulung, melayangkan
kepalan tangannya ke perut lawan dengan cepat.
"Begkh!"
"Aaakh...!"
Tubuh Ki Cagak Palung terpental sambil men-jerit
keras. Pada saat yang bersamaan, sebelum tubuhnya
menyentuh tanah, serangkum angin panas menghan-
tam tubuhnya kembali. Ki Cagak Palung tak sempat
menjerit. Tubuhnya kembali mencelat dan menghan-
tam sebuah batu keras. Kemudian jatuh terkulai den-
gan nyawa lepas. Dari mulut dan hidungnya mengalir
darah segar. Seseorang dengan tubuh aneh telah berdiri di tem-
pat itu sambil mendengus sinis. Kedua belah pihak
sama terkejut melihat kehadirannya!
*** 5 "Siapa pun yang berani berada di wilayah Rimba
Larangan akan mati tanpa ampun!" Terdengar suatu suara serak yang mengandung
ancaman. "Siapa kau" Manusia atau hantu penunggu hutan
ini"!" tanya Panglima Sudra Wulung dengan suara lantang.
Kepala pasukan prajurit istana itu sempat bergetar
juga menyaksikan kehadirannya. Sesosok tubuh hitam
dengan dua buah kepala dan dua pasang tangan. Ma-
tanya bulat seperti tak memiliki kelopak. Menatap ta-
jam ke arah mereka dengan penuh kebencian.
"Hantu Rimba Larangan telah menjatuhkan huku-
man mati bagi kalian!" suara serak dan dalam kembali bergema.
"Hantu Rimba Larangan" Jadi cerita-cerita menge-
nai dirimu rupanya betul ada. Hmm..., bagus! Kami
akan sekalian menangkapmu karena perbuatanmu se-
lama ini!" dengus Panglima Sudra Wulung.
Tapi belum lagi dia memerintahkan para pra-
juritnya untuk menyerang, Hantu Rimba Larangan te-
Panji Sakti 13 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Pendekar Super Sakti 4
^