Pencarian

Irama Pencabut Nyawa 2

Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa Bagian 2


pemuda itu berteriak keras.
"Hiyaaa...!"
Tubuhnya melompat ke depan sambil bersalto be-
berapa kali dan mendarat empuk di punggung kuda,
tepat di belakang punggung gadis itu. Dengan serta
merta dipeluknya pinggang gadis itu dengan satu tan-
gan, dan tangan yang satunya menarik tali kendali
hingga Ki Sengkolo menghentikan larinya.
"Kau curang, Kakang Gandasena!" teriak gadis itu sambil bersungut-sungut.
"Yang penting aku bisa menang!" kilah Gandasena terkekeh-kekeh.
"Menang dengan cara curang!"
"Aku tak peduli!"
"Dasar! Kalau semua pelatih sepertimu mana ada
muridnya yang pintar"!"
"Buktinya kau pintar!"
"Pintar apa?"
"Pintar ini!"
Tiba-tiba Gandasena menjatuhkan diri ke tanah.
Gadis itu menjerit, namun tertahan karena Gandasena
menyumbat dengan bibirnya. Pemuda itu ternyata pin-
tar menggoda. Dalam bayangan gadis itu mereka akan
jatuh berdebum sambil berangkulan, namun sebelah
kaki pemuda itu berpijak di tanah dan mereka me-
mang benar jatuh... di atas rerumputan, dengan em-
puk, sambil berpelukan.
"Kakang, kau betul-betul nakal!" dengus gadis itu sambil mengibas-ngibaskan
pakaiannya setelah pemuda itu melepaskan rangkulannya.
"He he he he...! Nakal pada kekasih sendiri apa tidak boleh?"
"Tidak! Kalau sampai ayahanda tahu apa jadi-nya?"
"Beliau pasti akan setuju untuk mengawinkan kita secepatnya!"
"Tidak lucu, Kakang!" sentak si gadis yang bernama Ratih itu sambil memasang
wajah cemberut.
"Kau marah padaku?"
Ratih tidak menjawab melainkan memalingkan wa-
jah sambil mempermainkan sehelai rumput dengan
memilin-milinnya.
"Katakanlah, apakah kau marah padaku, Ratih?"
"Aku... aku cuma tak ingin perbuatan kita di-
ketahui orang. Apa jadinya wibawa ayahanda di mata
rakyatnya...?" sahut Ratih pelan.
"Siapa yang tahu bahwa kau putri raja dalam keadaan begini?"
"Kakang, aku cuma khawatir...."
"Sudahlah... aku tak mengulanginya lagi...."
"Betul"!"
Gandasena mengangguk sambil tersenyum.
"Kakang, aku tak bermaksud membuatmu ter-
luka...." "Ya, ya aku mengerti. Cuma tidak tahu sampai kapan kita harus kucing-kucingan
begini. Ayahku cuma
seorang kepala pasukan pengawal di sebuah kadipa-
ten, sedangkan kau adalah junjunganku...."
"Kakang, jangan sebut perbedaan di antara kita la-gi! Aku sungguh-sungguh
mencintaimu, dan tidak me-
lihat derajatmu!" sentak Ratih.
"Aku cuma malu...."
"Lalu kenapa kau tidak langsung menghadap aya-
handa" Ku yakin beliau pasti akan menyetujui hubun-
gan kita."
"Aku merasa belum waktunya, Ratih...."
"Lalu kapan, Kakang" Apakah kau ingin kita terus-menerus begini" Apa kau ingin
agar aku yang menga-
takannya pada ayahanda?"
"Jangan, Ratih! Biar aku sendiri yang akan mengatakannya pada beliau. Apa
jadinya aku sebagai laki-
laki kalau mesti kau yang mengatakannya."
"Nah, katakanlah sekarang. Kapan kau akan
menghadap ayahanda untuk meminang ku?"
Gandasena tak langsung menjawab. Banyak hal
yang musti dipikirkannya. Bukan soal status dirinya
yang jauh berbeda, tapi juga dia belum mempunyai
persiapan yang cukup untuk berumah tangga. Dan
ada hal yang paling penting yang membuat dirinya ra-
gu, yaitu kabar yang mengatakan bahwa Ratih telah
dijodohkan oleh putra raja yang belakangan ini erat
sekali mengadakan persahabatan dengan kerajaan me-
reka. Dalam keadaan begitu sekonyong-konyong le-wat
seorang nenek bertubuh bongkok yang membawa kayu
bakar berjumlah banyak di pinggangnya.
"Ohhh...!"
Ratih tersentak kaget dan buru-buru menghampiri
si nenek untuk membantunya.
"Kasihan kau, Nek. Di mana rumahmu" Biar ku
bawakan kayu bakar ini untukmu!"
Si nenek tak menjawab ketika Ratih berusaha
mengambil beberapa kayu bakar yang dibawanya. Dia
hanya memperhatikan dengan seksama.
"Ratih, biar aku saja yang membantu nenek ini!"
teriak Gandasena buru-buru bangkit.
Tapi pemuda itu tersentak kaget ketika dengan ti-
ba-tiba si nenek bergerak cepat. Entah apa yang terja-di, tiba-tiba Ratih jatuh
lunglai tak berdaya dan telah berada dalam gendongan nenek itu. Kayu bakar di
tangannya tadi telah dicampakkannya begitu saja.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentak Gandasena garang.
Si nenek membuka selaput tipis di wajahnya yang
berkerut dan tersingkaplah wajahnya yang asli. Seo-
rang pemuda berambut gondrong dengan wajah tam-
pan dan kulit yang halus mulus bagai wanita. Dan ke-
tika jubah yang tadi dikenakan disingkapnya, terlihat dia memakai seperangkat
pakaian bagus terbuat dari
sutera. Tangan kanannya memegang sebatang suling
terbuat dari besi baja berkilat.
* * * "Sungguh mesra asrama bergelora di dada Hingga melupakan dunia dan isinya. Yang
mengintip di balik semak dengan penuh duka. Berharap kasih ber-
bagi suka bersama-sama...."
Si nenek yang kini telah menjelma menjadi pemuda
berwajah tampan itu bersyair di depan Gandasena
sambil tersenyum kecil. Sementara Ratih masih tetap
dalam dekapan tangan kirinya.
"Ki sanak, aku tak butuh segala macam syair-mu.
Lepaskan gadis itu atau kau akan terima hukuman!"
"Ha ha ha ha...! Hukuman apakah yang akan kau
berikan pada si Penyair Muka Kumala" Dan kenapa
kau begitu berkeras ingin merebut gadis ini yang begi-tu pulas tertidur dalam
dekapanku?"
"Hei, kaukah orang yang bergelar Penyair Muka
Kumala?" sengat Gandasena terkejut.
Nama itu memang belum terkenal luas, tapi karena
ayahandanya adalah kepala pasukan pengawal di se-
buah kadipaten yang selalu menerima laporan tentang
gangguan yang meresahkan penduduk di wilayah ka-
dipaten yang dipimpinnya, sedikit banyak dia menden-
gar juga nama Penyair Muka Kumala. Seorang tokoh
persilatan berusia muda yang berilmu tinggi namun
berkelakuan seperti binatang berkedok malaikat.
"Kenapa" Apakah ada larangan orang untuk ber-
syair di wilayah kerajaan ini?"
"Huh! Kaukah rupanya biang perusuh itu"!" dengus Gandasena tak memperdulikan
kata-kata si Pe-
nyair Muka Kumala.
Walau mengetahui bahwa lawan berilmu tinggi, ta-
pi mana mau dia menunjukkan kegentaran dirinya.
Gandasena memandang pemuda itu dengan sikap sinis
dan merendahkan. Bahkan terlihat bahwa dia tak ta-
kut sedikit pun.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kau pun mendengar ceri-ta burung itu rupanya, Ki sanak.
Tapi percayalah, aku tak serendah apa yang disangka orang...."
"Tak peduli apa prasangka orang terhadapmu, yang penting saat ini lepaskan gadis
itu! Kau tahu siapa
dia" Bila pengawal kerajaan melihat hal ini kau tentu tak akan bisa sembunyi ke
mana pun dan akan menerima hukuman yang berat!" gertak Gandasena garang.
"Ha ha ha ha...! Siapa yang tak kenal Putri Ratih Kumaladewi yang tersohor
cantik rupawan ini" Tentu
saja aku kenal kalau beliau putri rajamu. Tapi apa pe-duliku" Kami saling
mencintai, dan kalau orang sudah saling mencintai apa pun tak menjadi soal,"
sahut si Penyair Muka Kumala tenang sambil tak henti-hentinya tersenyum.
"Huh! Lancang sekali kau berkata begitu, Ki sanak!
Ratih tak mungkin berbagi kasih dengan orang lain.
Kami berkawan sejak masih kecil dan aku tahu dia tak mungkin menodai cinta
kami!" dengus Gandasena.
"Oh, tak percayakah kau pada kata-kataku" Baik, mari kita tanyakan sendiri
padanya," jawab si Penyair Muka Kumala enteng.
Dengan satu gerakan cepat ditotoknya beberapa
bagian tubuh gadis itu sehingga membuat gadis itu
terjaga. Sepasang mata si Penyair Muka Kumala mena-
tap erat seperti menghunjam ke hati Ratih dan mem-
buat gadis itu seperti orang bodoh.
"Ratih Kumaladewi, katakan pada orang itu. Bu-
kankah cintamu hanya kau peruntukkan bagiku" Ka-
kangmu, Kamajaya...! Katakan padanya agar terang
segala duduk persoalan..." kata si Penyair Muka Kumala berulang-ulang.
Setelah selesai mendengar kata-kata itu, Ratih
membalikkan tubuh dan menatap Gandasena dengan
tatapan asing. Kemudian dari mulutnya meluncur ka-
ta-kata yang diucapkan terbata-bata.
"Aku mencintaimu Kakang Kamajaya... cinta-ku
hanya untuk Kakang Kamajaya...."
"Keparat! Kau telah menyihirnya! Orang sepertimu lebih baik mampus!" geram
Gandasena berteriak nyaring sambil melompat dan menyerang si Penyair Muka
Kumala dengan pedang terhunus.
"Ha ha ha ha...! Kemarahan hanya membuat otak-
mu buntu dan hatimu buta. Kekasih orang lain diakui
sebagai kekasih sendiri. Ah... ini betul-betul penderitaan hebat. Aku kasihan
padamu, Ki sanak. Dari pada
kau menderita batin yang membuat kau gila, lebih baik aku menolongmu dengan
mengirim ke akherat secepatnya," sahut Penyair Muka Kumala masih tetap
tersenyum. Dengan gerakan ringan Penyair Muka Kumala
menghindar dari serangan Gandasena. Tangan kirinya
masih memeluk Ratih sementara suling di tangan ka-
nannya memapaki pedang lawan.
"Trak!"
"Bet!"
Gandasena mengeluh kesakitan ketika senjata me-
reka beradu. Himpitan tenaga dalam lawan yang dis-
alurkan lewat suling itu menandakan bahwa tenaga
dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat di atasnya.
Kulit tangannya sampai terkelupas menahan pedang-
nya yang nyaris terlepas. Namun tak percuma sebagai
putra kepala pasukan pengawal kadipaten kalau dia
tak mampu berkelit dari serangan Penyair Muka Ku-
mala selanjutnya, tendangan cepat ke arah ulu ha-
tinya. Walaupun gugup, namun tubuh Gandasena men-
celat ke atas. Justru hal itulah yang agaknya diha-
rapkan Penyair Muka Kumala. Dengan kecepatan yang
sulit dielakkan Gandasena, suling si Penyair Muka
Kumala menghantam deras ke batok kepalanya tanpa
bisa dielakkan.
"Hiyaaa...!"
"Prak!"
"Aaa...!"
Nyawa Gandasena tak tertolong lagi ketika tubuh-
nya terhuyung-huyung ambruk dengan batok kepala
remuk. "Hi hi hi hi...! Lenyaplah sudah penghalang kita.
Mari kekasihku, kita akan bersenang-senang mereguk
sorga dunia. Kau pasti akan berbahagia bersamaku!"
ujar Penyair Muka Kumala sambil tertawa-tawa senang
dan meninggalkan tempat itu secepatnya sambil mem-
bopong tubuh Ratih yang tak berusaha menolak.
* * * Siang itu udara tak terlalu panas sebab selain ma-
tahari tak terlalu garang bersinar, di angkasa terlihat awan hitam mulai
menutupi langit biru. Agaknya sebentar lagi suasana akan mendung dan turun
hujan. Tapi bagi kedua orang muda-mudi yang sedang
berjalan itu seperti tak berusaha berteduh. Padahal
melihat dari kulit tubuh mereka yang berdebu bercam-
pur keringat, pastilah keduanya telah melakukan per-
jalanan yang cukup jauh.
"Pelangi, apakah kau tak merasa lelah" Sudah setengah harian kita berjalan
berputar-putar, kau pasti butuh istirahat," kata pemuda berbaju kulit harimau
pada gadis di sebelahnya.
"Orang yang kita cari semakin dekat, Bayu. Aku
khawatir jejaknya akan menghilang...."
"Hmmm... sungguh bejat perbuatan kakak se-
perguruanmu itu. Sepanjang perjalanan banyak orang
mengutuk dirinya. Ini membuat diriku semakin geram
untuk bertemu dan menampar wajahnya! Tak kusa-
lahkan kau begitu mendendam padanya," dengus Bayu mengepalkan tangan.
"Itulah sebabnya batinku tak akan tenang sebelum memotes kepalanya. Letih ini
tak seberapa, Bayu. Bila dibanding dengan harapan bertemu dan membalaskan
sakit hatiku padanya," sahut gadis yang dipanggil Pelangi itu dengan nada geram.
"Ya, ya... aku mengerti. Tapi sebaiknya kita berhenti di kedai itu dulu. Perutku
sudah melilit minta diisi.
Begitu juga dengan sahabat kecilku ini. Siapa tahu di desa ini kita mendapat
keterangan yang lebih jelas tentang orang yang kau cari itu," kata si pemuda
berambut gondrong yang tak lain dari Bayu Hanggara alias
Pendekar Pulau Neraka.
Pelangi mengangguk setuju, keduanya langsung
memasuki sebuah kedai yang cukup ramai di desa
yang mereka singgahi ini. Beberapa orang pengunjung
kedai memperhatikan mereka dengan tatapan aneh
yang sulit dimengerti. Sementara yang lainnya acuh
tak acuh.

Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mau pesan apa, Ki sanak?" tanya si pelayan
menghampiri. Bayu segera memesan dua porsi untuk mereka
berdua, dan santapan khusus untuk monyet kecil ber-
bulu hitam yang selalu berada di dekatnya.
"Jangan lupa dua bumbung tuaknya, Pak!" lanjutnya sebelum pelayan itu menghilang
ke belakang un-
tuk menyiapkan pesanan mereka.
"Apakah kau merasa aneh dengan suasana di sini, Bayu?" tanya Pelangi dengan
suara pelan. "Entahlah. Sekilas kulihat mereka memandang kita penuh selidik., Terlebih-lebih
padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kita, tapi aku tak peduli!"
Sepasang mata Bayu melihat beberapa orang ke-
luar dari kedai itu. Dia menoleh ke meja mereka. Ma-
kanan mereka belum habis, dan kalau bermaksud ke-
luar dengan semestinya, pastilah mereka harus mem-
bayar terlebih dulu. Tapi orang-orang itu keluar begitu saja seperti jagoan yang
ingin makan tanpa bayar.
"Kenapa Bayu" Apakah kau mencurigai mereka?"
tanya Pelangi yang agaknya juga memperhatikan
orang-orang itu.
"Perasaanku mengatakan ada yang tak beres di de-sa ini. Tapi apa" Yang jelas
bersangkutan dengan ke-
hadiran kita..." gumam pemuda itu bertanya-tanya.
"Barangkali kau pernah membuat kekacauan di si-
ni?" "Hus, bicara sembarangan! Kekacauan apa yang kuperbuat" Menginjak desa ini
baru sekarang, bagaimana mungkin bisa mengenal aku sebagai pengacau!"
"Mungkin di desa ini pernah ada seorang pengacau yang wajahnya mirip denganmu."
tebak Pelangi sambil tersenyum menggoda.
"Sialan! Memangnya tampangku mirip pengacau"
Yang jelas pasti orang-orang di desa ini matanya buta atau lamur semua!"
"Kenapa jadi menyalahkan orang lain?" tanya Pelangi terus menggoda.
"Sudah! Sudah!" sentak Bayu kesal.
Pada saat itu masuk beberapa orang berpakaian
seragam seperti pengawal kerajaan. Tanpa basa basi
lagi mereka langsung menuju ke arah muda-mudi itu.
Salah seorang di antara mereka berkata dengan suara
lantang. "Atas nama Gusti Prabu Wisnupaksi, kau kami
tangkap!" tunjuknya ke arah Bayu.
Tentu saja Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget
mendengar kata-kata itu.
"Heh..."! Apa-apaan ini" Kenal pun tidak dengan raja kalian tiba-tiba seenaknya
menangkapku. Apa kesalahanku"!"
"Jangan banyak bicara! Kau telah terkepung. Me-
nyerahlah atau kami akan bertindak keras padamu!"
"Hmmm... menyerah soal gampang, tapi jelas-kan
dulu apa kesalahanku hingga kalian menangkapku
seenaknya?"
"Kau telah melarikan Putri Ratih Kumala-dewi!"
"Apa?"
* * * 6 Bayu lebih terkejut lagi mendengar tuduhan itu.
Betapa tidak" Jangankan menculik, mengenal orang
yang namanya disebutkan itu pun dia belum tahu.
Bahkan namanya pun baru dikenalnya sekarang. Ba-
gaimana mungkin mereka bisa menuduhnya demi-
kian" "Ki sanak, kukira kalian salah alamat. Aku tidak menculik siapa pun, dan gadis
ini bukan bernama Ratih Kumaladewi," sahut Bayu tenang.
"Kami tidak mengatakan gadis ini yang kau culik.
Menyerahlah kau Penyair Muka Kumala, atau kami
terpaksa menggunakan kekerasan sekarang juga!" bentak pengawal kerajaan itu
sambil menghunus pedang-
nya. Beberapa anak buahnya mengikuti perbuatan-nya
dan bersikap siaga.
"Apa" Kau menyebutku Penyair Muka Kumala" Ki
sanak, kau betul-betul salah...."
"Yeaaa...!"
Belum lagi habis kata-kata yang diucapkan Bayu,
ujung pedang pengawal kerajaan itu membabat leher-
nya. "Aku diperintahkan membawamu hidup-hidup untuk menerima hukuman atau
membunuhmu di tempat
itu kalau kau membangkang!"
"Sialan!" maki Bayu geram sambil menunduk-kan kepala menghindar dari sabetan
pedang lawan. "Kaaakh...!"
Monyet kecil sahabatnya itu pun terpekik kaget ke-
tika ujung pedang prajurit yang lain nyaris merobek
tubuhnya. Masih untung dia sempat berkelit dengan
melompat ke tempat lain.
"Hentikan!" bentak Pelangi tiba-tiba dengan wajah sengit.
"Ni sanak, sebaiknya kau tak perlu dekat-dekat
dengan bajingan ini!" sahut salah satu prajurit kerajaan.
"Siapa yang kau maksud bajingan" Tidak tahukah
kalian siapa dia"!"
Para prajurit kerajaan itu terdiam beberapa saat
sambil memandangi pemuda berambut gondrong ber-
baju kulit harimau itu dengan seksama.
"Siapa lagi kalau bukan Penyair Muka Kumala
yang berjiwa bejat itu"!"
"Huh! Dari siapa kalian tahu bahwa dia adalah bajingan keparat itu?"
"Ada orang-orang yang memberitahukan kami ten-
tang kehadiran pemuda ini. Pihak kerajaan di-sebar ke seluruh pelosok desa
karena dia membawa lari Puteri
Ratih Kumaladewi."
"Kalian salah. Dia bukan orang yang dimaksud, karena kami pun sedang mencari
Penyair Muka Kumala."
"Hmmm... kalau bukan dia, jadi siapa pemuda ini?"
"Bukalah telinga kalian lebar-lebar agar tak salah tangkap lagi. Dialah pendekar
muda yang bergelar
Pendekar Pulau Neraka."
"Apa"! Pendekar Pulau Neraka?"
Kali ini prajurit-prajurit itulah yang terkejut setelah Pelangi memberitahukan
siapa Bayu sebenarnya. Na-ma itu agaknya telah menyebar pula di tempat ini.
Terbukti para prajurit kerajaan itu menatap Bayu dengan pandangan takjub.
"Pendekar Pulau Neraka"!"
Tiba-tiba seseorang menghampiri Bayu. Seorang
laki-laki setengah baya. Wajahnya terlihat berseri-seri.
"Ki sanak, apakah kau masih mengenaliku?" tanya laki-laki itu.
Bayu memandangi orang tua itu beberapa saat.
Kemudian mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau adalah Ki Sentanu, kepala desa Jaranan, bukan?"
"Tak salah! Aku memang Ki Sentanu. Ah, tak sang-ka akhirnya kita bertemu lagi di
desa ini. Tapi... ng...."
"Kenapa Ki Sentanu" Apakah yang membuat-mu
tiba di desa yang jauh dari desamu ini?"
"Itulah Ki sanak. Tahukah kau pemuda yang tempo
hari datang menolong kami?"
Bayu mengangguk cepat.
"Dia adalah si laknat keparat itu!" desis Ki Sentanu geram.
"Apa maksudmu Ki Sentanu?"
"Di balik kebaikannya ternyata tersembunyi mak-
sud-maksud jahat yang terkutuk... eh, bisakah kita
berbicara tanpa... ng maksudku ini adalah peristiwa
yang memalukan bagi desa kami...."
Bayu memandang ke arah Pelangi sejurus kemu-
dian. Ketika dilihatnya gadis itu mengangguk-kan ke-
pala, mereka meninggalkan desa itu menuju ke suatu
tempat. "Tunggu dulu, Ki sanak!" panggil salah seorang prajurit kerajaan.
"Ada apa lagi"!" Pelangi yang menyambut dengan wajah galak.
"Maafkan kesalahan kami menuduh kalian tanpa
bukti...."
"Hmmm... tak apa. Kalau tak ada urusan lain kami permisi dulu," sahut Bayu.
"Maaf Ki sanak. Kalau benar kau sedang men-cari orang itu, sudilah
memberitahukan pihak kerajaan.
Paling tidak mencari tahu di mana dia menyembunyi-
kan Putri Ratih Kumaladewi...."
"Ya, akan ku usahakan."
"Terima kasih atas kesediaanmu...."
Bayu mengangguk. Dia segera mengajak mereka
untuk meninggalkan tempat itu secepatnya. Mulanya
dia sedikit terkejut karena beberapa orang pemuda
mengikuti mereka. Tapi Ki Sentanu menjelaskan bah-
wa orang-orang itu datang bersamanya. Barulah si
Pendekar Pulau Neraka mengerti.
* * * Di tengah perjalanan Ki Sentanu menceritakan ke-
jadian yang menimpa desa mereka kepada pemuda itu.
Bayu mendengarkannya dengan seksama sambil
menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah muram.
Lebih-lebih Pelangi. Wajahnya diliputi hawa marah
yang memuncak. "Maafkan kesalahan kami tempo hari Ki sanak.
Kami sungguh tiada menyangka bahwa orang itulah
yang justru kami takutkan. Ketika melihatmu tempo
hari kami mengira bahwa kaulah orangnya yang berge-
lar Penyair Muka Kumala. Sebab menurut beberapa
orang yang sempat mengenalinya dia berwajah tampan
dan berambut gondrong. Persis sepertimu...."
"Sudahlah. Kejadian yang terjadi tak bisa dihindari lagi. Baiknya ini dijadikan
pelajaran.... Jadi kalian pergi begitu jauh untuk mencari dan menuntut balas ke-
padanya?" "Apa lagi yang bisa kami lakukan" Dia telah menodai hampir semua wanita dan
gadis-gadis di desa kami dengan rayuan mautnya. Dan ketika kami menyadari
hal itu, dia telah pergi meninggalkan desa dengan
menculik lima orang gadis. Salah satu di antaranya
adalah putri ku sendiri..." sahut Ki Sentanu sedih penuh luapan emosi.
"Ki Sentanu, orang itu berilmu tinggi dan sulit di-taklukkan. Kalian hanya akan
mengantarkan nyawa
secara percuma bila bertemu dengannya. Kembalilah
pulang, dan serahkan urusan Penyair Muka Kumala
pada kami..." ujar Bayu.
"Betul Ki. Biarlah kami berdua yang mewakili kalian untuk membalaskan sakit hati
pada jahanam itu.
Soal gadis-gadis yang diculiknya kurasa mereka akan
pulang dengan sendirinya. Penyair Muka Kumala ja-
rang membunuh gadis-gadis yang telah dinodainya..."
timpal Pelangi.
"Itulah yang justru ku takutkan...."
"Lho, kenapa?"
"Dua orang gadis desa kami kedapatan tewas bu-
nuh diri. Mungkin mereka tak kuat menanggung malu.
Kalaupun Penyair Muka Kumala tak membunuh mere-
ka, rasanya tak mungkin gadis-gadis itu mau pulang
kembali ke kampung halaman mereka. Aku khawatir
mereka merasakan harga dirinya sudah tak berguna
dan nekat memilih jalan pintas dengan cara bunuh di-
ri..." keluh Ki Sentanu.
"Nah, kalau kalian hendak menyelamatkannya, ca-
rilah mereka. Mudah-mudahan masih belum terlam-
bat. Yakinlah bahwa Penyair Muka Kumala jarang
membunuh gadis yang dinodainya. Dia memerlukan
mereka hanya untuk pemuas nafsu iblisnya saja. Sete-
lah puas maka gadis itu akan ditinggalkannya begitu
saja. Kecuali kalau gadis-gadis itu berkeras menagih janji dan memaksanya terus
barangkali dia bisa mem-bunuhnya tanpa perasaan sedikit pun," bujuk Pelangi.
"Nah, Ki Sentanu. Pulanglah, lalu carilah mereka.
Mudah-mudahan kalian berhasil!" timpal Bayu.
Orang tua itu menoleh dan menatap keduanya
agak lama seolah meyakinkan harapan mereka tergan-
tung pada kedua orang itu.
"Sungguh-sungguhkah kalian akan mencari dan
membinasakannya?"
Bayu tersenyum. Tapi Pelangi lebih dulu menya-
hut. "Kebencian kami tidak kalah dengan kebencian yang kalian miliki padanya.
Aku bersumpah akan memotes lehernya!"
"Ohhh... terima kasih! Terima kasih, Ki sanak. Aku tak tahu bagaimana cara
terbaik mengucapkan terima
kasih pada kalian. Khususnya padamu, Ki sanak!"
tunjuknya ke arah Bayu.
"Sudah, lupakan peristiwa itu...."
"Aku betul-betul tak tahu kau adalah pendekar ke-sohor itu. Kalau saja kami
mengetahuinya tentu kami
tak akan bersikap begitu padamu. Bahkan sejak di ke-
dai tadi kami melihatmu, masih tersimpan kekesalan
sampai kawanmu ini menyebutkan siapa dirimu...."
"Aku juga salah tak menyebutkan nama pada ka-
lian. Tapi aku sungguh-sungguh tak tahu bahwa na-
maku berarti bagi kalian..." sahut Bayu.
Tadinya dia akan menyinggung dengan kata-kata,
bahwa namanya ternyata lebih berarti dari-pada per-
buatannya. Namun mengingat mereka dalam suasana
duka dia mengurungkan niat. Bagaimana pun rasa
jengkelnya masih terasa karena perlakuan mereka be-
berapa hari yang lalu. Tapi melihat masalah yang me-
reka hadapi mau tak mau timbul juga rasa kasihan-
nya. Tak berapa lama kemudian setelah mengucapkan
terima kasih dan penyesalannya sampai berkali-kali,
mereka pun pergi meninggalkan kedua orang itu den-
gan dada penuh harapan.
"Ke mana tujuan kita sekarang?" tanya Pelangi setelah Ki Sentanu dan yang
lainnya pergi. Bayu berpikir sesaat.
"Coba pikirkan, bila seorang laki-laki akan me-
lakukan perbuatan maksiat, tempat apa yang kira-kira cocok?" tanya Bayu.
"Mana ku tahu! Aku wanita dan kau laki-laki. Seharusnya kau yang lebih tahu."
Bayu tersipu malu.
"Brengsek! Kalau aku sering melakukan hal demi-
kian tentu aku tak akan tanya padamu!" sungutnya gondok.
"Setidaknya kau pasti mengerti. Tempat yang ba-
gaimana tepatnya untuk melakukan perbuatan yang
demikian!"
"Hmmm... dia baru saja melarikan putri raja. Setidaknya dia pasti menyadari
bahwa prajurit kerajaan
tak akan tinggal diam dan pasti men-carinya. Rasanya tidak mungkin kalau dia
memilih tempat yang dekat


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari desa ini. Setidaknya di desa lain atau di tempat yang terpencil yang jarang
dilalui orang."
"Di mana kira-kira?"
"Bagaimana kalau kita berpencar?"
Pelangi memandang wajah pemuda itu beberapa
saat lamanya setelah mendengar kata-kata Bayu.
"Kenapa?"
"Bayu, aku tak akan meminta pertolonganmu ka-
lau aku mampu menghadapinya seorang diri. Sudah
kukatakan, aku rela mati, tapi harus yakin bahwa dia pun mampus sebelum aku
menemui ajal...."
"Ya, ya... hm, kalau begitu lebih baik kita menyelu-suri hutan di depan sana.
Terlihat ada gunung tinggi.
Pasti banyak terdapat lembah atau yang sejenisnya.
Tempat seperti itu biasanya jarang dilalui manusia biasa, mari kita ke sana!"
ajak Pendekar Pulau Neraka sambil menggenjot tubuh menggunakan ilmu lari
cepatnya. Bersamaan dengan itu Pelangi pun mengikuti sam-
bil merendengi lari Pendekar Pulau Neraka.
* * * Seseorang tampak berkelebat memasuki sebuah
hutan yang cukup lebat di depannya. Melihat caranya
berlari pastilah orang itu bukan sembarangan. Apalagi terlihat bahwa dia
menggendong tubuh seseorang.
Tampaknya biasa saja seolah tak membawa beban be-
rat. Bahkan wajahnya terlihat senang. Dan sesekali dia tertawa-tawa kecil dan
berbicara dengan orang sedang yang dibopongnya itu.
"Hi hi hi hi...! Sebentar lagi manis, sebentar lagi.
Kau tentu sudah tak sabaran bukan" Demikian juga
aku. Namun tak lama lagi kita akan mengecap kenik-
matan bersama-sama. Kita akan mencari tempat yang
sepi dan aman dari gangguan orang lain," kata orang itu yang ternyata adalah
seorang pemuda gondrong
berwajah tampan.
Dalam bopongannya itu adalah seorang gadis can-
tik yang kulit kuning langsat dan halus sekali. Ram-
butnya ikal mayang dan hidungnya kecil dan man-
cung. Siapa pun lelaki yang melihat parasnya pasti
akan terpesona. Melihat caranya berpakaian, pastilah gadis itu orang-orang
persilatan pada umumnya. Siapakah mereka sebenarnya"
Yang laki-laki bernama Kamajaya, atau lebih di-
kenal sebagai Penyair Muka Kumala, dan gadis yang
sedang dalam bopongannya itu tak lain dari Ratih Ku-
maladewi yang saat itu sedang mengenakan pakaian
penyamarannya. Gadis itu sebenarnya adalah putri ra-
ja yang telah dilarikan oleh Penyair Muka Kumala.
Melihat kedudukannya sebagai putri raja, rasanya
mustahil gadis itu tak berontak dan berusaha melari-
kan diri dari orang yang menculiknya. Apa lagi dalam keadaan terjaga begitu
rupa. Padahal pemuda itu bukan tunangannya. Kalau saja dia dalam keadaan sadar
tentu saja gadis itu akan berbuat demikian. Tapi ada hal yang aneh ketika
melihat wajahnya. Sorot mata gadis itu kosong seperti tak ada gairah kehidupan.
Sepertinya dia pasrah saja akan dibawa ke mana oleh pe-
muda itu. Bahkan ketika Kamajaya menidurinya di balik se-
mak-semak, gadis itu tak berusaha berontak. Sorot
matanya tetap menatap kosong pada Penyair Muka
Kumala. Begitu juga ketika Kamajaya melepaskan pa-
kaiannya satu persatu hingga tersingkap lekuk-lekuk
tubuh gadis itu yang menggiurkan.
"Ahhh... tubuh bagus! Tubuh bagus! Belum pernah aku melihat tubuh bagus seperti
ini. Dadamu indah
menantang dan pinggul mu padat berisi, Kau betul-
betul sempurna sebagai seorang gadis. Sebentar,
Sayang.... Sebentar, Sayang..." oceh Kamajaya berulang-ulang sambil mengelus-
elus tubuh gadis itu dari atas sampai bawah.
Tak berapa lama kemudian dia pun melepaskan se-
luruh pakaian dengan dengus nafas garang. Dicium-
nya gadis itu dengan penuh nafsu dan perlahan-lahan
dipeluknya erat-erat.
Gadis itu tetap tak bereaksi. Wajahnya hanya sedi-
kit berkerut seperti menahan nyeri ketika dengus nafas Kamajaya semakin kencang
seperti orang sedang berlari jauh. Keringatnya telah bercucuran sebesar biji ja-
gung. Entah berapa lama dia berbuat demikian. Pada ak-
hirnya terdengar dengus nafas Kamajaya mereda. Pe-
muda itu mendesah sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala dengan wajah berseri.
"Ohhh... betul-betul hebat! Sempurna! Kau betul-betul membuatku puas, Sayang!"
desisnya berkali-kali.
Dipandangnya gadis itu dengan penuh kemesraan
dan kembali dikecupnya bibir merah merekah itu. Si
gadis diam seribu bahasa tanpa memberikan reaksi.
Namun kedua tangan Kamajaya semakin nakal me-
nyusuri kembali lekuk-lekuk padat pada dua buah bu-
kit kenyal yang menantang kejantanannya. Dan seperti orang yang kemasukan setan,
Kamajaya mengulangi
perbuatan terkutuknya sekali lagi.
Entah setan apa yang merasuk ke dalam pemuda
berwajah tampan itu, tapi setiap kali dipandanginya
tubuh gadis yang tanpa busana itu, maka setiap kali
pula nafsu setannya terangsang kembali dan gadis ma-
lang itu harus pasrah menanggung derita yang tak
disadarinya. Dia tak bereaksi apa-apa atas perbuatan pemuda itu. Hanya wajahnya
yang sesekali berkerut
seperti menahan rasa sakit. Dan pada puncaknya saat
Kamajaya betul-betul telah kelelahan, gadis itu sepertinya tak kuat lagi menahan
rasa sakit. Wajahnya
hanya berkerut sesaat, untuk kemudian betul-betul
tak sadarkan diri.
"Tidurlah, Sayang... tidurlah. Sebentar lagi kau pasti akan segar kembali dan
kita bisa melanjutkan
permainan kita esok hari," ujar Kamajaya sambil me-nyelimuti tubuh si gadis
begitu saja dengan bajunya
tadi. Dia sendiri merebahkan diri di atas rerumputan di
sebelah si gadis sambil berkali-kali menguap. Sebelah tangannya memeluk tubuh
gadis itu dengan penuh
mesra. Tak terasa senja telah berlalu, dan keduanya betul-
betul pulas dalam gulitanya malam. Yang satu pulas
kelelahan sambil menyungging senyum puas, sementa-
ra si gadis terlelap tanpa reaksi selain sudut bibirnya yang membuat lekuk jerit
batinnya yang luka.
Entah berapa lama mereka terlena dalam keadaan
begitu, tiba-tiba saja Kamajaya terbangun sambil me-
mekik keras. Perutnya seperti diaduk-aduk, dan pung-
gungnya terasa linu terbentur batang pohon yang cu-
kup besar. Walaupun dalam keadaan demikian dia
masih mampu menjaga keseimbangan tubuhnya dan
jatuh di atas kedua kaki dengan mantap.
Matanya agak silau ketika matahari pagi persis
menerpa ke arah wajahnya. Sambil menyeka sudut bi-
birnya yang mengeluarkan darah, pemuda itu berusa-
ha memejamkan penglihatan.
Di depannya pada jarak tiga tombak berdiri lima
sosok bayangan dengan sorot mata garang mengan-
cam. Kamajaya berusaha mengenali mereka satu per-
satu. Empat orang laki-laki itu tak dikenalnya, namun ketika melihat seorang
gadis yang berdiri paling kiri dia tersentak kaget.
"Pelangi..." Apakah kau Pelangi kekasihku"!"
"Benar Kakang Kamajaya, aku Pelangi. Tapi bukan kekasihmu, melainkan malaikat
maut yang akan menjemput nyawamu!"
"Pelangi, kenapa kau berkata begitu" Apakah kau sudah tak mencintai aku lagi?"
"Jangan mencoba untuk merayu ku, Kakang. Per-
cuma, karena segala rayuan mu tak akan mempan lagi
untukku!" "Pelangi, begitu tegakah kau melupakan masa-
masa indah kita dulu yang...."
"Diam kataku anjing laknat!" sentak gadis itu dengan suara menggeledek.
Kamajaya agak terkejut mendengarnya. Bukan oleh
pengaruh suara yang dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga dalam hebat itu, melainkan karena dia tahu betul bahwa gadis itu tak
pernah mengeluarkan suara
sekeras itu padanya sebelum hari ini.
* * * 7 Kenapa Pelangi telah berada di tempat itu" Pada
saat mereka memutuskan untuk memasuki hutan
yang ditunjuk oleh Bayu, keduanya bertemu dengan
tiga orang persilatan lain yang kebetulan sedang mencari Kamajaya, alias Penyair
Muka Kumala. Yang seo-
rang merupakan utusan dari kerajaan, yaitu Panglima
Bayan Rimang. Beliau adalah salah seorang yang be-
rilmu silat tinggi dan amat disegani oleh semua kalangan termasuk orang-orang
persilatan. Dengan senjata
andalannya berupa tombak sakti dia sempat malang
melintang di rimba persilatan dengan gelar Tombak
Sakti Pencabut Nyawa, sebelum bekerja pada kerajaan.
Sedang kedua orang lainnya adalah Ki Wangsapala.
Seorang tokoh tua yang jarang muncul dan dikenal se-
bagai Malaikat Maut Berwajah Buruk, dan Nyai Agni
Permoni, wanita setengah baya yang termasuk tokoh
persilatan berilmu tinggi, dan amat disegani. Beliau lebih terkenal dengan gelar
Kuntilanak Pipi Merah.
Kedua tokoh persilatan itu agaknya punya persoa-
lan pribadi dengan Penyair Muka Kumala. Terlihat ke-
tika tiba-tiba Nyai Agni Permoni ketawa nyaring den-
gan nada mengancam.
"Hi hi hi hi...! Inikah orangnya yang punya gelar Penyair Muka Kumala" Hmmm...
bocah bagus! Kalau
saja kelakuanmu terpuji sungguh senang sekali punya
menantu sepertimu. Tapi sayang, kau mempermainkan
hati putri ku hingga dia bunuh diri akibat perbuatan-mu. Dan kau akan terima
balasannya hari ini, kepa-
rat!" Kamajaya menyadari bahwa kelima orang itu datang bukan dengan maksud baik,
melainkan ingin me-
nuntut balas terhadapnya. Tapi pemuda itu sungguh
percaya diri terhadap kemampuannya. Dengan tenang
dia melangkah pelan dan berhenti ketika jarak mereka persis satu tombak.
Dipandanginya keempat orang itu
satu persatu. Dan pada jarak inilah dia dapat menge-
nali seorang lagi di antara mereka. Seorang pemuda
berambut gondrong berbaju kulit harimau dengan see-
kor monyet kecil berbulu hitam di pundaknya.
"Hmmm.... Pendekar Pulau Neraka, agaknya kau
pun berada di sini. Sungguh kehormatan luar biasa
bagiku bisa bertemu dengan sahabat lama di sini," katanya dengan nada ramah
sambil tersenyum kecil.
"Aaah... kau terlalu memuji, Ki sanak. Orang sepertiku mana pantas menjadi
sahabatmu sebab aku lebih
cocok menjadi juraganmu yang akan menghukummu
karena telah berbuat kesalahan," balas Bayu sambil menahan geram.
"Hmmm... begitukah" Sungguh malang nasib jura-
ganku. Untuk menghukum seorang budak tak berdaya
sepertiku saja harus membawa tiga orang centeng yang galak dan seram."
"Demikian pula sebaliknya aku, sungguh kasihan
melihat keadaanmu. Saking ketakutannya sampai lupa
ingatan dan menganggap tiga malaikat maut yang
akan mengadilimu sebagai centengku. Mungkin dalam
beberapa saat lagi kau akan semakin tak waras dan
menganggap dirimu penguasa tanpa tanding. Tapi bo-
lehlah kau beranggapan demikian asal tempatmu di
neraka sana!"
"Ha ha ha ha...! Tak kusangka Pendekar Pulau Neraka yang terkenal sadis dan
kejam ternyata cuma
pandai bersilat lidah. Nah, katakanlah apa yang kalian inginkan dari budakmu
ini?" "Huh, semakin banyak omong kepalamu akan se-
makin besar. Aku sudah tak sabaran ingin mengorek
jantungmu!" desis Nyai Agni Permoni sambil melompat dan menyerang Penyair Muka
Kumala dengan sengit.
"Ohhh... apakah kau pun ingin bersenang-senang
denganku" Tak apa. Walaupun kau sudah berumur
tapi masih kelihatan cantik dan tak kalah dengan putri mu," ejek Kamajaya sambil
bergerak menghindar.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
Nyai Agni Permoni mengetahui bahwa pemuda itu
berilmu tinggi. Itulah sebabnya dia tak mau berlaku
sembarangan. Serangannya ganas dan betul-betul
mematikan. Sebagai salah seorang tokoh yang disegani di dunia persilatan tentu
saja dia tak mau kehilangan muka dan dijatuhkan pemuda itu dalam beberapa jurus.
Tapi lawan yang dihadapinya kali ini bukanlah
orang sembarangan. Walaupun gerakan menghindar
yang dilakukan Kamajaya terlihat lemah gemulai se-
perti orang menari, tapi dengan tiba-tiba bisa berubah cepat dan ganas laksana
banteng liar. Sehingga terlihat pertarungan itu betul-betul berjalan seimbang.
Kelima orang itu tadi telah sepakat untuk me-
lakukan pertarungan satu persatu menghadapi lawan-
nya. Mereka tentu saja tak mau kehilangan muka den-
gan mengeroyok pemuda itu dalam membalaskan sakit
hatinya. Padahal kalau saja mau membunuh begitu
saja, tentu telah sejak tadi mereka lakukan saat pe-
muda itu sedang tertidur pulas. Panglima Bayan Ri-
mang cuma menendangnya dengan sedikit pengerahan
tenaga dalam hingga tak membuat Penyair Muka Ku-
mala terluka parah. Tapi karena Kamajaya tak menge-
tahuinya tentu saja dia tak berusaha menyalurkan te-
naga dalam untuk menahan tendangan itu.
Tadinya Pelangi yang akan langsung memotes leher
pemuda itu saat dia sedang tertidur, tapi Panglima
Bayan Rimang lebih dulu menendangnya setelah me-
raih tubuh Ratih Kumaladewi dan meletakkan di tem-
pat yang aman. "Hmmm... aku sudah tak sabar ingin memotes ke-
pala si keparat itu agar Gusti Prabu merasa setimpal dengan apa yang telah
dilakukan jahanam itu terha-


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dap putrinya!" ujar Panglima Bayan Rimang dengan wajah geram.
"Bukan kau saja yang ingin kepalanya, sahabat.
Aku pun sama besar keinginannya dibandingkan den-
ganmu. Dia telah membawa lari putri ku dan meno-
dainya berkali-kali. Dan setelah puas ditinggalkannya begitu saja!" sahut Ki
Wangsapala yang berwajah buruk itu.
"Jadi bagaimana sekarang, Bayu?" tanya Pelangi pelan dan agak menjauh dari kedua
orang itu. "Bagaimana kenapa?"
"Kau tak jadi menolongku?"
"Kenapa tidak?"
"Kelihatannya tenang-tenang saja, dan menyerah-
kan persoalan kepada mereka!?" Bayu tersenyum.
"Ahhh... memang sudah nasibku dendam tak ter-
balas... biarlah. Barangkali untuk hidup pun aku su-
dah tak berguna lagi. Kalaupun mati toh tak ada yang menyesali...."
"Kenapa berkata begitu, Pelangi" Sabarlah. Kalau kita maju berbareng mengeroyok
kakak seperguruanmu itu, tentu yang lain akan merasa diremehkan. Biarlah mereka
mendapat bagiannya masing-masing."
"Mereka bukan tandingannya!"
"Hei! Kenapa kau berkata begitu" Mereka merupa-
kan orang-orang tangguh berilmu tinggi!"
"Aku tahu! Tapi kau tak akan tahu sampai di mana kemampuan Kamajaya saat ini.
Dulu saja sebelum melarikan kitab pusaka peninggalan guru kami kepan-
daiannya sudah demikian tinggi dan hampir menyamai
guru kami. Bisa kau bayangkan bagaimana kemam-
puannya sekarang!"
"Sepertinya kau selalu mengunggulkan gurumu
dan kepandaian kakak seperguruanmu itu. Selama ini
aku tak tahu, siapa guru kalian sebenarnya.
Pelangi melirik pemuda itu sekilas. Kemudian ka-
tanya dengan suara lirih.
"Kau menganggap remeh ya" Tak apalah. Barang-
kali guruku bukan orang terkenal dan bukan satu-
satunya orang yang berilmu tinggi. Namanya Kun Ta-
pa...." "Setan Maut Langlang Buana"!" potong Bayu kaget.
"Kenapa" Apakah kau mengenalnya!" tanya Pelangi enteng.
* * * Nama itu pernah dikenal dari gurunya, Eyang Gar-
dika. Seorang datuk sesat yang ilmunya tinggi tiada
bandingan. Mereka hidup sejaman dan saling meng-
hormati sehingga tak pernah terjadi bentrok antara
keduanya. Beliau juga salah satu yang diantara orang yang diwanti-wanti Eyang
Gardika agar dia berhati-hati bila berhadapan dengannya, tapi tak sangka hari
ini dia musti berhadapan dengan muridnya.
Bayu tersentak ketika mendengar satu jeritan ke-
ras. Terlihat Nyai Agni Permoni terlempar keras menghantam batang kayu besar
akibat beradu pukulan
dengan Penyair Muka Kumala. Baru saja dia bermak-
sud memberikan pertolongan ketika melihat Kamajaya
telah mencelat dan bermaksud menghabisi nyawa wa-
nita setengah baya itu ketika Panglima Bayan Rimang
telah lebih dulu bergerak memapaki.
"Yeaaaa...!"
"Huh! Kau juga akan menerima bagian yang sama!"
dengus Kamajaya.
Namun pemuda itu tak berani gegabah ketika me-
lihat toya di tangan Panglima Bayan Rimang berputar
menderu-deru sehingga menimbulkan pusaran angin
kencang menghantam dirinya.
"Tak semudah apa yang kau bayangkan, bocah!
Kau boleh berbangga hati dengan kehebatanmu. Tapi
di hadapanku jangan harap!"
"Hiyaaaa...!"
"Bet!"
"Praak!"
"Akh!"
Panglima Bayan Rimang terkejut setengah mati ke-
tika kepalan tangan pemuda itu dihantamkan ke de-
pan. Tak terlihat angin kencang akibat pengerahan tenaga dalam yang
dilontarkannya, tapi tiba-tiba saja toya yang sedang berputar bagai kitiran itu
hancur be-rantakan menjadi puing-puing kecil dihantam pukulan
yang tak terlihat itu. Sementara tangan kanan Pangli-ma Bayan Rimang sendiri
hancur sebatas bahu seperti
terkena ledakan dahsyat.
"Terimalah kematianmu, sahabat!" bentak Kamajaya sambil meluncur cepat mengirim
serangan beri- kutnya. Pada saat yang bersamaan tiga sosok bayangan
bergerak serentak memapaki serangan Penyair Muka
Kumala untuk menyelamatkan nyawa Panglima Bayan
Rimang. Tapi hal itu telah disadari Kamajaya, kare-
nanya tubuh pemuda itu melentik menghindar.
"Yeaaa...!"
"Brusss...!"
Beberapa pohon terlihat tumbang dihantam puku-
lan ketiga sosok bayangan tadi. Sementara Kamajaya
terkekeh-kekeh ketika menjejakkan kedua kakinya di
tanah. "Ha ha ha ha...! Agaknya kalian sudah tak sabar menunggu giliran hingga perlu
turun tangan sekaligus!"
"Penyair Muka Kumala, kami tak perlu turun tan-
gan bersama kalau cuma ingin meringkusmu. Ayo, ma-
julah kau! Hadapi si Wangsapala ini!" tantang orang tua itu geram.
Kalau saja mereka bertiga tadi bergerak bersamaan
itu bukan berarti bahwa ketiganya bermaksud menge-
royok Kamajaya. Kebetulan saja mereka mempunyai
niat yang sama, yaitu ingin menolong nyawa Panglima
Bayan Rimang. "Hmmm... kau rupanya Ki Wangsapala yang berge-
lar Malaikat Maut Pencabut Nyawa. Namamu pernah
menggetarkan dunia persilatan beberapa belas tahun
silam. Kata orang ilmu silatmu hebat tiada tara. Siapa nyana hari ini kau begitu
berbaik hati ingin memberi pelajaran padaku. Silahkan Ki sanak! Aku yang muda
bersiap menerima pelajaran darimu," sahut Kamajaya sambil tersenyum mengejek.
Ki Wangsapala baru saja akan bersiap menyerang
pemuda itu ketika Pelangi menyela dengan tiba-tiba.
"Ki Wangsapala, maaf! Dari tadi aku lebih banyak mengalah. Kali ini kau harus
membiarkan aku menghajar bajingan keparat ini!"
"Pelangi...!"
"Diamlah kau, Bayu! Aku telah bertekad untuk
menghajar bajingan ini walaupun aku harus mati!"
sentak Pelangi ketika Bayu mencoba mencegahnya.
"Tidak bisa, Ni sanak! Pemuda ini adalah bagian-ku!" sahut Ki Wangsapala
berkeras. "Ki Wangsapala, aku punya dendam tujuh turunan
terhadapnya. Tidak bisakah kau mengalah sedikit?"
"Bukan kau saja yang mendendam tapi aku pun
mendendam terhadapnya. Dia harus mampus di tan-
ganku!" "Amboooi, hebat benar perselisihan ini rupanya!
Agaknya nyawaku betul-betul berharga kali ini. Ki sanak, kalau kalian betul
menginginkan kepalaku, kena-
pa tidak mengambilnya bersama-sama saja" Setelah
kalian mendapatkan boleh dibagi bersama. Aku pun
tak keberatan memberikannya asal kalian mau menu-
kar dengan jantung kalian masing-masing," potong Kamajaya tersenyum-senyum.
"Kamajaya keparat! Aku tak perlu campur tangan
orang lain untuk memotes kepalamu!" bentak Pelangi sudah terus-mencelat ke arah
pemuda itu sambil mengirim serangan kilat.
Namun pada saat yang bersamaan pula tubuh Ki
Wangsapala melompat menyerang Penyair Muka Ku-
mala. Agaknya orang tua itu sudah tak memperdulikan
harga dirinya lagi dengan mengeroyok lawan. Yang ada di benaknya adalah bahwa
dia tak mau kedahuluan
gadis itu yang akan menghabisi lawan. Tekatnya begitu keras bahwa Penyair Muka
Kumala harus tewas di
tangannya. "Hiyaaa...!"
"Ha ha ha ha.... Bukankah begini lebih baik" Kekasihku bersekutu dengan orang-
lain ingin memenggal
kepalaku... hei, Pendekar Pulau Neraka! Apakah kau
tak ingin ikut serta dalam pesta ini" Kenapa musti ma-lu-malu" Ayo, ikutlah
kalau kau suka!" teriak Kamajaya seperti menganggap enteng.
"Terima kasih, Ki sanak. Aku lebih sabar me-
nunggu sisanya saja. Tak baik mengganggu kesenan-
gan orang lain!" sahut Bayu.
Sebenarnya dia agak mendongkol juga, sekaligus
geram melihat kesombongan pemuda itu. Sepertinya
dia betul-betul menganggap enteng lawan-lawannya. Di samping Bayu pun agak cemas
memikirkan Pelangi.
Karena Kamajaya kakak seperguruannya tentu lebih
mudah baginya untuk mengalahkan gadis itu. Bahkan
bukan tak mungkin dia bertindak kejam dengan mem-
bunuh Pelangi. Sebab yang terakhir saja dia tega
menghajar gadis itu dalam keadaan hamil besar sam-
pai babak belur dan nyaris tewas.
"Apa yang harus kita lakukan, Tiren?" tanyanya lirih sambil memperhatikan
pertarungan itu.
"Nguk!"
"Hmmm... tak baik rasanya kalau aku pun ikut turun tangan membantu mereka.
Biarlah kita lihat saja
bagaimana hasilnya nanti. Mudah-mudahan mereka
berdua bisa mengatasinya."
* * * Sementara itu pertarungan antara mereka berlang-
sung alot dan cepat. Ki Wangsapala dan Pelangi terlihat begitu bersemangat
mengalahkan Penyair Muka
Kumala. Sebaliknya Kamajaya terlihat masih santai-
santai saja melayani mereka. Karena mengetahui se-
mua serangan yang dilancarkan Pelangi, dia seperti
tinggal memusatkan perhatian terhadap serangan-
serangan Ki Wangsapala. Walaupun demikian belum
terlihat bahwa dia memiliki peluang untuk menjatuh-
kan keduanya. "Penyair Muka Kumala! Apakah kebisaanmu hanya
menghindar saja"! Ayo, keluarkan kepandaianmu!"
bentak Ki Wangsapala geram.
"Hmmm... agaknya kau tak sabaran betul Ki Wang-
sapala. Baiklah kalau itu yang kau inginkan," sahut Kamajaya.
Setelah berkata demikian pemuda itu merubah ju-
rus-jurus yang dimainkannya. Gerakannya semakin
cepat dan jurus-jurusnya terlihat membingungkan.
Jangankan bagi Ki Wangsapala, bahkan Pelangi sendiri belum pernah melihat jurus
yang dimainkan pemuda
itu sebelumnya.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Yts!"
Bukan main kagetnya Ki Wangsapala. Jantungnya
seperti hendak berhenti berdetak ketika pukulan yang dihantamkan pemuda itu
nyaris membuat tubuhnya
remuk berkeping-keping seperti batu besar di dekat-
nya. Anginnya saja terasa membuat tubuhnya bergetar
hebat. Belum lagi dia menguasai diri, kembali Kama-
jaya telah menyerangnya dengan kecepatan yang sulit
diikuti oleh mata.
"Yeaaa...!"
"Kamajaya, kau meremehkan aku! Terimalah puku-
lan ini!" teriak Pelangi sambil menghantamkan telapak tangan kanannya ke
punggung Kamajaya.
Tubuh Penyair Muka Kumala bersalto beberapa
kali menghindari angin pukulan Pelangi, namun se-
rangannya ke arah Ki Wangsapala seperti tak berubah.
"Hup! Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Begk!"
Ki Wangsapala memekik kesakitan. Paha kanannya
kena dihantam pukulan Kamajaya dan kaki di bagian
itu hancur seperti terkena ledakan.
"Yeaa...!"
"Kalau kau ingin mampus sekarang, terimalah ke-
matianmu Pelangi!" geram Kamajaya sambil menoleh dan mengirimkan satu pukulan
maut ke arah Pelangi
yang sedang menghantamkan pukulan bertenaga da-
lam kuat ke arahnya.
"Pelangi, jangan!" teriak Bayu langsung melompat menyambar tubuh gadis itu.
Pukulan Kamajaya lewat dua inci dari tubuhnya.
Tapi Penyair Muka Kumala tak berhenti sampai di situ.
Begitu pukulannya melesat, tubuhnya langsung men-
celat mengejar Bayu yang sedang membopong tubuh
Pelangi. "Hiyaaat...!"
Bukan main terkejutnya Bayu melihat kecepatan
bergerak Kamajaya yang nyaris seringan kapas dan se-
cepat kilat. Jantungnya berkali-kali nyaris berdegup kencang merasakan angin
sambaran pukulan lawan
yang lewat hanya beberapa kali dari kulit tubuhnya.
Sedikit saja dia lambat bergerak bukan mustahil tubuh mereka akan remuk. Dan
gilanya pula! Kamajaya seperti orang kesetanan dan terus menyerang mereka
tanpa henti. Sementara itu Bayu masih belum sempat
membalas sedikitpun juga. Dia jungkir balik menyela-
matkan diri sambaran pukulan lawan.
Pendekar Pulau Neraka mengeluh sendiri. Dua ju-
rus di muka kalau keadaannya terus begini dia pasti
akan kehabisan tenaga dan binasa di tangan lawan.
Maka sambil berteriak keras dan menghempas seluruh
kemampuannya, Pendekar Pulau Neraka melentik se-
perti ikan, beberapa kali di udara sambil melempar tubuh Pelangi.
"Pelangi, jaga dirimu baik-baik dan jangan ikut campur urusan! Biar bajingan ini
aku tangani!" teriak-nya. "Tenang saja Bayu! Aku tak apa-apa di sini!" teriak
Pelangi ketika mendarat dengan empuk di atas rerumputan.
Setelah merasa bebannya berkurang, tubuh Bayu
kembali bersalto beberapa kali menghindari serangan
lawan dan mengukur jarak agak jauh dari Kamajaya
sambil mengatur nafas. Kemudian dalam satu kesem-


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patan pemuda itu berteriak nyaring sambil menghan-
tamkan satu pukulan ke arah lawan.
"Hiyaaa...!"
* * * 8 Sambil menghindari pukulan lawan, serangkum
angin kencang menerpa Kamajaya. Si Penyair Muka
Kumala tersentak kaget. Tubuhnya sedikit bergetar
disambar angin pukulan Bayu. Walau begitu dia masih
sempat tertawa ketika menghentikan serangannya dan
berdiri tegak berhadapan pada jarak dua tombak.
"Ha ha ha ha...! Ternyata cerita orang-orang tak salah tentangmu. Pendekar Pulau
Neraka memang tokoh
hebat. Tak percuma hari ini aku bisa belajar banyak
darimu." "Terima kasih, sobat. Kaupun sungguh hebat, na-
mun sayang bahwa kehebatanmu lebih dikenal dengan
perbuatan maksiat yang kau lakukan."
"Ha ha ha ha...! Masing-masing orang memiliki kelebihan tersendiri. Anggap saja
bahwa hal itu merupakan kelebihanku. Seperti juga halnya dengan ini!"
Setelah berkata begitu sepasang mata Kamajaya
menatap tajam ke arah Bayu: Si Pendekar Pulau Nera-
ka terkesima. Untuk sesaat dia merasa perlahan-lahan kesadarannya semakin
berkurang. "Ha ha ha ha...! Sebenarnya kau lemah, sobat. Kau lemah sekali. Bahkan untuk
melawanku kau tidak
memiliki kemampuan apa-apa. Dalam hatimu penuh
rasa ketakutan hebat...."
"Bayu! Sadarlah! Jangan tatap matanya. Dia se-
dang menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaru-
hi mu!" teriak Pelangi memperingatkan.
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Aaakh...!"
Peringatan itu sedikit terlambat. Tubuh Kamajaya
telah melesat sambil mengirim satu pukulan telak
menghantam dada Pendekar Pulau Neraka. Tubuh
Bayu terlempar sejauh lima tombak sambil menjerit
lemah. Dari mulutnya menggelogok darah segar.
"Sekarang pergilah kau ke neraka. Di sana lebih cocok bagimu!" teriak Kamajaya
sambil mengirimkan serangan susulan.
"Keparat...!" desis Pelangi sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah
Kamajaya. "Yeaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Kamajaya telah menduga hal itu, tanpa berusaha
menghindar dia memapaki serangan Pelangi. Benturan
dua pukulan yang mereka lontarkan itu
tak dapat dihindari lagi.
Pelangi menjerit keras. Tubuhnya terlempar tiga
tombak. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Sekarang tak ada lagi yang bisa menghalangiku
untuk membunuhmu sobat!" katanya dengan wajah
bengis sambil menghantamkan pukulan ke arah Bayu
yang sedang megap-megap kepayahan.
"Penyair Muka Kumala, mampuslah kau!"
"Yeaa...!"
"Uts!"
"Hiyaaat...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Pada saat-saat genting begitu ketiga lawannya yang
lain dengan nekat maju serentak sambil menghantam-
kan pukulan jarak jauh ke arahnya.
Kamajaya tersentak kaget, namun dia sempat ber-
gerak menghindar dan balas menghantam lawan. Pan-
glima Bayan Rimang dan Nyai Agni Permoni terpental
dengan tubuh hancur. Namun pukulan Ki Wangsapala
sempat menghantam pinggangnya dan membuat pe-
muda itu terjerembab. Tapi Ki Wangsapala pun akhir-
nya mengalami hal yang sama dengan dua rekannya
yang lain karena pada saat yang bersamaan Kamajaya
berhasil melepaskan pukulan dan menghantam telak
tubuhnya. Sementara itu Bayu merasakan isi perutnya serta
dadanya terasa sakit sekali. Kalau saja dia tak memiliki tenaga dalam yang
tinggi, sudah pasti tubuhnya
akan hancur seperti yang lainnya.
"Nguk...!"
Monyet kecil berbulu hitam yang melihat sahabat-
nya itu terluka buru-buru menghampiri. Wajahnya ter-
lihat sedih dan khawatir. Sorot matanya garang mena-
tap ke arah Kamajaya. Kalau saja Bayu tak menarik
ekornya, monyet itu telah melompat menyerang si Pe-
nyair Muka Kumala.
"Jangan Tiren. Dia terlalu berbahaya bagimu. Me-nyingkirlah dari sini dan
selamatkan Pelangi dan Ratih Kumaladewi."
"Kaaakh...!"
"Jangan buang-buang waktu! Ayo, cepat pergi!"
Tapi monyet kecil itu seperti tak mau beranjak dari
sisi Bayu. Dipandanginya pemuda berbaju kulit hari-
mau itu sedih. Tak terasa air matanya merembang di
kedua kelopak mata.
"Jangan menangis, Tiren. Aku tak apa-apa...."
"Nguk...!"
Seperti manusia saja layaknya, monyet kecil itu
merasakan bahwa Bayu mengalami penderitaan yang
hebat. Rasanya untuk bertarung pun dia tak mampu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu cuma terbaring lesu
seperti menanti ajal. Berkali-kali dia berusaha bangkit, tapi saat itu juga dia
mengeluh kesakitan.
"Ha ha ha ha...! Sungguh mengharukan sekali pe-
mandangan yang ku saksikan hari ini. Seekor monyet
menangisi majikannya yang akan mampus..." ejek Kamajaya sambil melangkah pelan
mendekati mereka.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil itu melompat ingin menerkam Kama-
jaya. Tapi sesudahnya dia terjerembab sendiri karena ekornya masih dicekal Bayu.
"Jangan Tiren! Jangan. Dia bukan tandingan-mu.
Sebaiknya selamatkan dirimu dari manusia berbentuk
setan ini...."
"He he he he...! Jangan harap dia bisa melarikan diri dariku. Hari ini dunia
persilatan akan mencatat bahwa si Penyair Muka Kumala telah membawa kepala
Pendekar Pulau Neraka ke mana-mana agar semua
orang tahu siapa aku. Penyair Muka Kumala adalah
raja, dan manakala angin bertiup semilir melanglang
semua desa, di situ tahta berada. Membawa jejak sang raja dan bersenandung
memujinya..."
"Hentikan ocehanmu, sobat! Kau sama sekali tak
pantas menjadi raja. Kau adalah sampah yang menji-
jikkan!" "Hi hi hi hi...! Kudengar semua kata-katamu, dan bicaralah yang banyak sebelum
jiwamu mengembara di
alam lain. Kepalamu akan jadi saksi semua orang di
atas jagat ini bahwa nama Pendekar Pulau Neraka
akan tamat."
"Huhhh...!"
"Nah, bersiaplah menerima kematian!" desis Kamajaya tiba-tiba dengan wajah
garang. Tangan kanannya bersiap terangkat. Dengan sekali
hantam niscaya tubuh si Pendekar Pulau Neraka tak
akan berbentuk seperti tiga orang tadi.
Namun pada saat-saat kritis itulah tiba-tiba ter-
dengar bentakan-bentakan nyaring.
"Itu dia!"
"Tangkap si Penyair Muka Kumala!"
"Ringkus hidup atau mati!"
"Bunuuuh...!"
Kamajaya tersentak kaget. Di sekelilingnya telah
banyak orang berkumpul dengan senjata terhunus.
Wajah mereka terlihat garang dengan nafsu membu-
nuh. Tapi setelah memperhatikan lebih teliti, Penyair Muka Kumala kembali
terkekeh, "He he he he...! Kerbau-kerbau dungu kerajaan,
apa kebisaan kalian ingin menangkapku di sini"!"
* * * Yang muncul pada saat itu memang prajurit-
prajurit kerajaan yang ditugaskan untuk mencari Putri Ratih Kumaladewi dan
menangkap si Penyair Muka
Kumala hidup atau mati. Begitu melihat keduanya ada
di tempat itu, beberapa orang langsung menghambur
ke arah Ratih Kumaladewi yang masih tak sadarkan
diri. "Jangan sentuh dia, atau kalian mampus semua!"
bentak Kamajaya.
Salah seorang prajurit yang agaknya kepala dari
pasukan itu berteriak nyaring memberi perintah.
"Bawa Putri Ratih Kumaladewi segera dari sini dan yang lainnya tangkap si
keparat ini. Kalau dia melawan bunuh di tempat!"
"Ha ha ha ha...! Kalian kira mudah membunuh si
Penyair Muka Kumala" Jangan mimpi kerbau-kerbau
dungu! Yeaa...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Terdengar ledakan hebat. Lima orang prajurit kera-
jaan yang berusaha mendekati Ratih Kumaladewi ter-
pental dengan tubuh hancur berkeping-keping.
"Seraaang...!" teriak kepala pasukan prajurit itu memberi komando.
Lebih kurang dua puluh orang prajurit kerajaan
mengurung si Penyair Muka Kumala dan langsung
menyerangnya dengan senjata terhunus. Sementara
sisanya masih mencoba berusaha menyelamatkan Ra-
tih Kumaladewi, tapi tak semudah itu mereka melaku-
kannya karena Kamajaya tetap mempertahankan sam-
bil menghantam mereka yang mencoba mendekati ga-
dis itu. "Jangan ada yang coba-coba mendekatinya, kalian akan mampus di tanganku!" dengus
Penyair Muka Kumala garang. Kata-katanya memang ternyata terbukti. Setiap
prajurit yang berusaha mendekati gadis itu tewas di-
hantam pukulan jarak jauh yang dilontarkannya.
Sementara mereka sedang bertarung, Bayu mem-
pergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan hawa
murninya perlahan-lahan. Masih terasa nyeri dan ali-
ran darahnya bergerak tak normal. Tapi pemuda ber-
baju kulit harimau itu terus berusaha sekuat tenaga
agar peredaran darahnya bisa kembali normal.
"Bayu... kau tak apa-apa?"
Pemuda itu menolehkan pandangan. Dilihatnya Pe-
langi merangkak perlahan-lahan mendekatinya. Dari
bibirnya tak henti-henti menetes darah kental.
"Agaknya sudah ditakdirkan bahwa aku akan mati
di sini...."
"Jangan putus asa Pelangi. Kita harus terus berusaha karena takdir akan kalah
pada manusia yang tak
berhenti berusaha sampai titik darah yang penghabi-
san...." "Apa yang bisa diharapkan lagi" Walaupun praju-
rit-prajurit itu berjumlah empat kali dibanding sekarang si keparat itu tentu
akan menghabisi mereka dengan mudah...."
"Walaupun begitu kau harus yakin untuk tetap hidup. Keyakinan itu perlu agar
semangat kita kuat.
Kalau semangat kita kuat maka putus asa akan
menjauh." Pelangi terdiam beberapa saat lamanya. Diperhati-
kannya pemuda berambut gondrong itu lama sekali.
Wajahnya semakin pucat dan belakangan darah kental
beberapa kali muncrat dari mulutnya. Sementara tak
jauh di dekatnya monyet kecil berbulu hitam yang se-
lalu berada di dekat pemuda itu mondar-mandir me-
meriksa keadaan sahabatnya itu. Kadang-kadang dia
mengurut-ngurut beberapa bagian tubuh pemuda ber-
baju kulit harimau itu berkali-kali dan pindah-pindah tempat. Tapi gadis itu tak
melihat reaksi yang terjadi.
Tubuh Bayu tetap terbaring bagai sosok mayat yang
beku. Apalagi terlihat wajahnya yang semakin pucat.
Pemuda itu betul-betul telah kehilangan banyak darah.
Tak terasa batin gadis itu bagai diiris-iris. Dia merasa salah. Kalau bukan
karena dirinya tak mungkin
pemuda itu akan menemui ajalnya di sini. Ah, setelah dia merusak dirinya
sendiri, kini diapun merusak kehidupan orang lain. Orang yang sama sekali belum
pernah dikenal sebelumnya.
"Maafkan aku Bayu... maafkan aku...."
"Sudahlah Pelangi...."
"Aku yang bersalah hingga hal ini terjadi pada-
mu...." "Kau tidak bersalah apa-apa. Ini hanya takdir yang berasal dari kesalahanku
akibat kelengahan ku sendi-
ri...." "Bayu... bila Tuhan menghendaki kita hidup, aku bersumpah akan mengabdi padamu
walau menjadi budak sekalipun. Meski kau tak suka, aku tak perdu-
li...." "Jangan berkata begitu Pelangi...."
Bayu tak meneruskan kata-katanya. Dilihatnya
tangis gadis itu telah membuat air matanya membasa-
hi kedua pipinya. Wajahnya tertelungkup di tanah. Ingin rasanya dia membujuk dan
mendiamkannya. Na-
mun jarak mereka agak jauh. Padahal dia sendiri sulit bergerak.
Apa yang diperkirakan Pelangi memang menjadi
kenyataan. Prajurit-prajurit kerajaan itu bukanlah
tandingan Kamajaya, karena dalam waktu singkat me-
reka dapat disapu bersih tanpa sisa.
"Ha ha ha ha...! Beruntunglah kau Pendekar Pulau Neraka. Umurmu bisa
diperpanjang sesaat lagi. Paling tidak kau masih sempat menatap wajah monyetmu
itu sebelum kau mampus!" ejek Kamajaya sambil tertawa penuh kemenangan.


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak perlu berbasa-basi lagi, Ki sanak. Kalau kau mau mencabut nyawaku silahkan.
Kenapa musti dibuat lama?"
"Ooo... agaknya kau sudah tidak sabaran lagi"
Baiklah." Kamajaya baru saja akan bersiap melancarkan sa-
tu pukulan jarak jauh ketika Bayu berkata dengan su-
ara mengejek. "Pada saat-saat kemenanganmu pun kau masih
bersikap curang. Membunuhku dengan cara begitu
bukanlah perbuatan ksatria. Kau tahu aku tak mampu
menghindar dan melawan. Pada jarak segitu rasanya
aku masih mampu menahan pukulanmu dan kau be-
tul-betul pengecut karena membiarkan ku sekarat."
Kamajaya terkekeh-kekeh sambil melangkah men-
dekati Pendekar Pulau Neraka hingga jarak mereka
persis setengah tombak. Kemudian dengan wajah ben-
gis kepalan tangannya dihantamkan ke punggung
Bayu yang sedang dalam keadaan tertelungkup.
"Tamatlah riwayatmu hari ini Pendekar Pulau Ne-
raka! Yeaa...!"
"Kaaakh...!"
" Bayu...!" Jerit Pelangi tertahan.
Gadis itu tak kuat menyaksikan peristiwa mengeri-
kan yang terjadi di depan matanya hingga dia meneng-
gelamkan wajahnya ke bawah. Dalam bayangannya
pastilah tubuh si Pendekar Pulau Neraka hancur lebur tak berbentuk lagi. Pukulan
Pugel Sayuto yang diwa-riskan guru mereka itu memang dahsyat tiada bandin-
gan. Apalagi Kamajaya telah mempelajari kitab yang
sebagian berisi tentang tingkat lanjutan pukulan itu.
Pastilah kekuatannya akan berlipat ganda. Dalam kea-
daan terluka parah begitu mana mungkin Pendekar
Pulau Neraka mampu menahannya.
"Hiyaaa...!"
"Siing!" ,
"Crab!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit setinggi langit menggema di tempat
itu. Jantung Pelangi seperti berhenti berdetak. Ketika seberkas cahaya keperakan
kembali melesat dua kali,
kembali terdengar jeritan lemah yang disusul ambruk-
nya sosok tubuh. Gadis itu terkejut. Tak mungkin
Bayu tewas dengan tubuh ambruk. Pasti ada yang tak
beres! Perlahan-lahan wajahnya terangkat untuk meli-
hat kejadian itu.
"Bayu"! Kau... kau masih hidup?" jeritnya dengan wajah penuh kegembiraan.
Dilihatnya tubuh Kamajaya ambruk dengan dada
kiri berlubang. Kemudian kening dan perutnya pun
berlubang hingga tembus ke belakang. Dan Bayu be-
rusaha bangkit mendekatinya sambil tersenyum den-
gan wajah pucat.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Pelangi nyaris tak percaya.
"Tuhan belum menghendaki aku untuk mati di
tangannya. Itulah takdir yang sebenarnya. Kini bang-
kitkan semangat hidupmu dan pelan-pelan alirkan pe-
redaran darahmu yang tersumbat. Aku akan memban-
tu mengurut-ngurutnya."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapi! Kau telah berjanji akan menjadi budakku, maka kau harus
menurut apa yang ku-
katakan!" sentak Bayu.
Gadis itu tersenyum manis dan melakukan apa
yang diperintahkan si Pendekar Pulau Neraka.
Sebenarnya apa yang telah terjadi tadi" Pada saat
prajurit-prajurit kerajaan sedang menempur Kamajaya, Bayu mengerahkan hawa
murninya dan melancarkan
peredaran darahnya yang kacau balau. Itulah yang di-
lihat Pelangi ketika dia berkali-kali muntah darah kental. Tenaganya tak
seluruhnya pulih, namun dia mam-
pu bergerak. Namun bila bertarung dengan Kamajaya
niscaya dalam satu jurus dia pasti binasa. Apalagi jarak mereka agak jauh.
Itulah sebabnya dia memancing
si Penyair Muka Kumala agar lebih mendekat.
Dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir Bayu
bergulingan menghindari pukulan Kamajaya sambil
melemparkan Cakra Maut tepat menembus jantung
lawan. Senjata mautnya itu kembali bergerak dua kali menghantam kening dan perut
Kamajaya hingga si Penyair Muka Kumala ambruk dan tewas beberapa saat
kemudian. Setelah beberapa saat kemudian terlihat Pelangi
memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajahnya ter-
lihat semakin pucat, namun dia masih sempat terse-
nyum dan duduk bersila di sebelah Bayu.
"Hamba telah melakukan apa yang juragan perin-
tahkan, dan kini kalau tak keberatan sudikah juragan menceritakan kejadian tadi"
Juragan mungkin tak
menyangka bahwa budakmu ini begitu cemas dan
khawatir akan keselamatan dirimu..." ujar gadis itu tersenyum.
Bayu menceritakan kejadian itu, dan menambah-
kan. "Itulah sebabnya aku diam saja agar dia tetap menyangka bahwa aku masih tetap
tak berdaya. Entah-
lah... tindakan itu sepertinya curang. Tapi aku tak peduli kata orang, sebab
orang seperti dia kalau terus hidup akan menimbulkan malapetaka yang lebih
menge- rikan," jelasnya mengakhiri cerita.
"Percayalah Bayu. Tak ada seorang pun yang me-
nyalahkan tindakanmu. Kau melakukan hal yang be-
nar..." sahut Pelangi!
Bayu tersenyum kecut sambil berdiri menggendong
monyet kecil sahabatnya itu.
"Tugasku telah selesai. Kini aku harus pergi...."
"Bayu, aku tak akan mencabut kata-kataku tadi!"
tegas Pelangi dengan wajah serius.
Pendekar Pulau Neraka menggeleng lesu.
"Maaf Pelangi, aku tak bisa. Langkahku masih panjang dan aku tak mau terikat
oleh apa pun...."
"Aku tak memaksamu agar menjadi suamiku. Tapi
ijinkanlah aku ikut ke mana pun kau pergi. Paling tidak menemanimu selama
beberapa hari sampai kau
sembuh betul...?" sahut gadis itu dengan nada penuh harap.
Bayu berpikir beberapa saat lamanya, kemudian
mengangguk pelan.
"Oh, terima kasih Bayu!"
Tiba-tiba gadis itu memeluk tubuh Pendekar Pulau
Neraka erat-erat dan mencium bibirnya hingga pemuda
itu terkejut dan jatuh terjerembab. Bayu tak kuasa
menolak selain pasrah!
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Misteri Pulau Neraka 18 Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga Pendekar Lengan Buntung 5
^