Pencarian

Hantu Rimba Larangan 2

Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan Bagian 2


lah bergerak cepat. Tubuhnya melayang bagai sehelai
kapas bertiup angin ke arah mereka.
"Aaaa...!"
"Keparat!"
"Seraaang!"
Seperti dikomando, kedua belah pihak yang tadi
bertempur kini malah berbalik mengeroyok Hantu
Rimba Larangan.
"Hari ini aku akan mulai menjatuhkan hukuman
mati pada manusia-manusia keparat seperti kalian
dan orang-orang diluaran sana. Terimalah pembalasan
dari Hantu Rimba Larangan!" teriak sosok bertubuh aneh dengan suara yang
mengandung dendam dan kebencian.
"Huh!"
"Yeaaah...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Dengan gerakan yang ringan dan bertenaga dalam
kuat, Hantu Rimba Larangan kembali membuat bebe-
rapa orang terjungkal dan tewas seketika dengan tu-
buh remuk. "Keparat! Kau akan terima hukumanmu!" teriak Panglima Sudra Wulung geram.
Tubuhnya melesat cepat ke arah Hantu Rimba La-
rangan sambil mengirimkan serangan hebat. Ujung
pedangnya berputar-putar menyambar tubuh lawan
seperti hendak melipat dan mengirisnya menjadi bebe-
rapa potongan kecil.
Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat. Tubuh-
nya lenyap bagai ditelan bumi dan menghilang dari se-
rangan lawan. Panglima Sudra Wulung tercekat. Sela-
ma ini belum ada seorang pun yang mampu menghi-
lang begitu saja dari serangannya. Tapi gerakan lawan yang satu ini cepat bukan
main. Belum lagi menyadari
di mana lawan berada. Tiba-tiba serangkum angin pu-
kulan berhawa panas menderu ke arahnya dari samp-
ing kiri. "Heh"!"
"Begkh!"
"Akh!"
Walaupun dia cepat menyadari dan mencoba ber-
kelit, tapi pukulan jarak jauh lawan sempat menghan-
tam pinggangnya. Panglima Sudra Wulung menjerit
tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung dari sela bibir-
nya menetes darah segar. Belum lagi dia memperbaiki
posisi, Hantu Rimba Larangan telah kembali melesat
sambil mengirim serangan yang mematikan.
"Mampus!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Kali ini Panglima Sudra Wulung tak sempat lagi
menghindar. Kepalan tangan lawan dengan telak
menghantam perutnya. Tubuhnya terjengkang bebera-
pa tombak dan hanya sempat menjerit kecil. Ketika
ambruk ke tanah, terkulai dan nyawanya putus saat
itu juga. "Kini giliran kalian!" dengus Hantu Rimba Larangan sambil menghantam para
prajurit kerajaan dan sisa
anggota perampok tanpa kenal ampun.
"Yeaaa...!"
"Seraaaang...!"
"Duk! Begkh! Des!"
"Aaaa...!"
Walaupun mereka berusaha melawan mati-matian,
tapi Hantu Rimba Larangan terlalu tangguh. Bagai se-
kumpulan anak ayam menghadapi rajawali, mereka
dibantai dengan mudah.
"Ha ha ha ha...! Hari ini adalah pembalasan bagi manusia-manusia terkutuk
seperti kalian. Kabarkan
kematian ke seluruh penjuru, bahwa Hantu Rimba La-
rangan akan datang dan mencabut nyawa mereka satu
persatu!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil tertawa-tawa girang penuh
kemenangan. "Tak mungkin kita bisa melawannya. Orang ini bu-
kan manusia, tapi setan pencabut nyawa!" keluh salah seorang perampok.
"Betul. Sebaiknya kita lari saja!" sahut kawannya.
"Tapi mana mungkin dia mau melepaskan kita be-
gitu saja. Setan ini pasti akan membunuh kita semua."
"Ah, aku tak perduli! Lawanlah dia kalau kau mau mati. Aku akan menyelamatkan
diri. Dia tak ada uru-sannya dengan kita!" kata orang itu sambil berlari kencang
meninggalkan kawan-kawannya.
Melihat itu beberapa prajurit kerajaan pun mulai
ikut melarikan diri.
"Ha ha ha ha...! Mana mungkin kalian bisa melarikan diri dariku begitu mudah.
Hari ini adalah kema-
tian bagi diri kalian. Hantu Rimba Larangan tak mem-
beri ampun! Yeaaa...!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Terdengar pekik kematian. Beberapa orang kembali
tersungkur dengan nyawa melayang dihantam pukulan
yang dilontarkan Hantu Rimba Larangan. Dia betul-
betul mengamuk. Hingga dalam waktu singkat kedua
belah pihak tinggal segelintir saja. Mereka berusaha
untuk melarikan diri.
* * * "Ha ha ha ha...! Baiklah, aku mencabut kata-
kataku. Kalian boleh melarikan diri. Ayo, hus! Hus! Katakan pada semua orang,
bahwa mulai hari ini Hantu
Rimba Larangan akan keluar dan membuat perhitun-
gan dengan mereka semua!" teriak orang bertubuh
aneh itu. Tapi mana lagi mereka memikirkan kata-kata Han-
tu Rimba Larangan pada saat begitu. Yang utama ada-
lah bahwa mereka ternyata bisa selamat karena Hantu
Rimba Larangan betul-betul membuktikan kata-
katanya dan tidak menyerang mereka. Tapi jumlah itu
terlalu sedikit. Tiga orang prajurit kerajaan serta dua orang anggota perampok
yang tersisa hidup dan melarikan diri.
Dari kejauhan suara tawa Hantu Rimba Larangan
masih terus menggema seperti mengejar kemana saja
mereka lari. Setelah suara tawa itu hilang, kelima orang itu te-
rengah-engah sambil melepaskan lelah di dekat se-
buah pohon. Dalam keadaan begitu terlihat mereka
seperti melupakan persoalan yang tadi membuat per-
tempuran di kedua belah pihak.
"Apa yang harus kita laporkan pada Gusti Prabu?"
tanya salah seorang prajurit kerajaan.
"Entahlah, akupun tak tahu. Selama ini cerita
mengenai Hantu Rimba Larangan seperti dongeng. Ja-
rang ada orang yang mempercayainya.
"Tapi kenyataannya ada, dan dia betul-betul seperti hantu."
"Bukan seperti, tapi memang hantu sungguh-an!"
"Apa Gusti Prabu akan percaya pada laporan kita?"
Prajurit ketiga melirik pada kedua perampok yang
melepaskan letih.
"Mereka akan menjadi barang bukti...."
"Apa" Kami" Bu..., bukankah sekarang kita berka-
wan?" tanya salah seorang perampok itu dengan wajah ketakutan.
Tapi ketiga prajurit itu telah mengurung mereka
sambil menghunuskan pedang masing-masing. Kedua
perampok itu tak punya pilihan lagi. Waktu melarikan
diri tadi senjata mereka terjatuh, dan kalaupun ber-
maksud melawan dengan tangan kosong akan percu-
ma saja. Prajurit-prajurit ini bukanlah orang semba-
rangan. "Kalian tetaplah penjahat yang musti di-tangkap.
Selain itu kalian akan membenarkan laporan kami pa-
da Gusti Prabu bahwa apa yang terjadi tadi adalah
nyata agar laporan kami bisa dipercaya!" sahut salah seorang prajurit dengan
garang. Karena tak punya pilihan lain, terpaksa kedua pe-
rampok itu menyerah dan digiring ke istana untuk di-
adili. Apa yang dipikirkan para prajurit itu memang bera-
lasan. Banyak kalangan pejabat istana yang sulit
mempercayai cerita mereka. Demikian juga halnya
dengan Baginda Raja. Meskipun kedua perampok yang
mereka tangkap telah membenarkan kejadian yang
menimpa mereka di pinggir Rimba Larangan, Baginda
Raja belum juga dapat mempercayainya. Tetapi karena
banyak prajurit kerajaan yang tewas terpaksa Baginda
Raja mengirimkan beberapa orang prajurit untuk me-
nyelidiki kejadian tersebut.
Jalan-jalan di sepanjang Kotaraja sepi, dan segala
kegiatan yang sehari-hari dilakukan penduduk berku-
rang satu persatu. Beberapa orang dikirim untuk me-
nangkap Hantu Rimba Larangan. Tapi kebanyakan da-
ri mereka tak pernah kembali. Tentu saja hal ini mem-
buat kecemasan di hati setiap penduduk desa itu se-
makin menjadi-jadi.
Bukan saja penduduk yang merasa cemas dengan
ancaman Hantu Rimba Larangan tetapi juga kalangan
dunia persilatan merasa cemas dan marah. Hantu
Rimba Larangan sepertinya tak pilih-pilih korban. Da-
lam dua hari saja, banyak sudah perguruan silat yang
hancur ditangannya. Baik dari golongan putih maupun
dari golongan hitam.
Seperti yang terjadi hari ini pada Perguruan Elang
Hitam. Perguruan yang dipimpin oleh Ki Sadewo Murai
adalah salah satu perguruan silat yang terkenal. Orang tua yang telah berusia
sekitar tujuh puluh tahun itu
belakangan ini memperketat penjagaan. Beberapa
orang muridnya pagi tadi tewas dibantai oleh Hantu
Rimba Larangan ketika membantu prajurit kerajaan
untuk menangkap orang itu.
Banyak orang yang mengetahui, bahwa murid-
murid perguruan itu acap kali membantu pihak kera-
jaan jika dibutuhkan. Bahkan boleh disebut bahwa se-
bagian besar prajurit-prajurit kerajaan merupakan
murid-murid perguruan silat itu.
Sore ini terlihat Ki Sadewo Murai tengah berkum-
pul dengan murid-murid utamanya. Untuk membica-
rakan soal Hantu Rimba Larangan
"Kita harus secepatnya mengambil tindakan terha-
dap orang gila itu, Ki. Kalau tidak akan se-makin ba-
nyak korban yang jatuh!" kata salah seorang muridnya yang berusia sekitar tiga
puluh tahun dengan wajah
geram. "Itulah yang sedang kupikirkan, Rumpin! Orang itu sangat berbahaya. Kita tak
boleh sembarangan. Ilmu
silatnya tinggi dan sulit diukur. Aku tak yakin kita bisa melawannya seorang
diri." "Maksudnya kita harus beramai-ramai menge-
royoknya?"
"Bukan begitu. Tapi kita harus meminta ban-tuan
perguruan, silat lain untuk membantu menumpas iblis
itu!" sahut Ki Sadewo Murai.
"Tapi, Ki..., selama ini Elang Hitam dikenal sebagai perguruan silat yang
terkuat di wilayah utara ini. Apa tidak malu kita mengundang mereka dan meminta
bantuannya dalam menyelesaikan soal Hantu Rimba
Larangan"!" tanya Rumpin heran.
Ki Sadewo Murai tersenyum arif.
"Aku tak pernah mengajarkan kalian untuk bersi-
kap sombong, dan menganggap diri sendiri hebat. Per-
soalan ini bukan saja melibatkan kita, tapi juga ba-
nyak orang. Mereka pun pantas terlibat...."
"Betul apa yang dikatakan, Ki Guru. Pagi tadi kami bertemu dengan murid
Perguruan Gelang Terbang. Mereka secara tak langsung menyampaikan amanat gu-
runya agar Ki Sadewo Murai mau membantu mereka
untuk bergabung. Dan bersama-sama menggempur
orang gila itu!" sahut salah seorang murid Elang Hitam yang bernama Bapang.
"Apakah tidak memalukan bila beberapa perguruan
bergabung dan mengeroyok lawan yang cuma seo-
rang?" tanya Rumpin ragu.
Ki Sadewo Murai belum sempat menjawab ketika
dari arah luar terdengar jeritan kesakitan yang disusul oleh suara tawa yang
menggelegar. "Orang-orang yang berada di dalam, keluar dan
sambut kematian kalian yang telah dijanjikan Hantu
Rimba Larangan!"
"Dia datang, Ki!" sentak beberapa orang murid hampir berbareng.
* * * Walaupun Ki Sadewo Murai agak terkejut menge-
tahui kehadiran orang yang sedang mereka bicarakan,
namun sebisa mungkin dia bersikap tenang agar para
muridnya mampu mengusai diri.
Perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan menuju
halaman depan diikuti oleh murid-muridnya. Tepat di
pintu gerbang perguruan yang telah hancur beranta-
kan, berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Kepalanya dua
buah dengan rambut kaku.
Sepasang matanya lebar dan bulat seperti tidak memi-
liki kelopak, serta sepasang tangan yang berkacak
pinggang, dan sepasang lagi terlipat di dada. Tak jauh di dekat orang itu
berdiri tergeletak beberapa orang
murid Elang Hitam dalam keadaan tak bernyawa. Dari
mulutnya mengalir darah segar.
"Ki sanak, kau datang tanpa diundang dan tahu-
tahu membuat keonaran di sini. Apa sebenarnya yang
kau inginkan?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara datar menahan hawa amarah.
"Jangan banyak berbasa-basi, Orang tua! Kau tahu siapa aku dan tahu apa yang
kuinginkan, yaitu kematian kalian!" dengus orang itu dengan suara serak dan
dalam penuh dengan kebencian dan dendam.
"Hm..., jadi betulkah engkau yang bernama Hantu
Rimba Larangan, dan telah menjatuhkan hukuman
mati pada semua orang dengan seenak perutmu sendi-


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara yang lebih lantang.
"Ha ha ha ha...! Akhirnya kau ingat juga, Tua
Bangka. Nah, bersiaplah untuk menerima kematian-
mu!" Tiba-tiba orang yang menamakan dirinya Hantu
Rimba Larangan telah mencelat dan menyerang Ki Sa-
dewo Murai. "Hiyaaat...!"
"Orang gila keparat, hadapilah dulu aku baru kau boleh menyentuh guru kami!"
teriak Rumpin sambil
mencabut golok bercagaknya dan memapaki serangan
lawan. "Huh! Bocah tak tahu diri! Mampuslah kau seka-
rang juga!" dengus Hantu Rimba Larangan sambil berkelit dan mengirim satu
pukulan jarak jauh.
Tapi Rumpin bukanlah murid sembarangan. Dalam
jajaran Perguruan Elang Hitam dia termasuk tangan
kanan Ki Sadewo Murai. Tak heran bila ilmu silatnya
sudah hampir menyamai gurunya itu.
"Yeaaa...!"
Tubuhnya bergulung-gulung menghindari angin
sambaran pukulan Hantu Rimba Larangan. Kemudian
dengan cepat kembali menyerang lawan sambil meng-
gunakan jurus maut yang dimilikinya. Rumpin menya-
dari bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan,
hingga tak heran kalau dia langsung melayaninya se-
perti menghadapi musuh bebuyutannya. Ujung golok
bercagaknya mendesing dan mengancam seluruh titik
kematian di tubuh lawan.
Dalam beberapa serangan Hantu Rimba Larangan
terlihat mulai terdesak, dan ketika jurus pertamanya selesai, Rumpin seperti
mendapat peluang emas. Per-tahanan lawan kelihatan terbuka. Dengan cepat ujung
goloknya menyambar bahu kanan lawan.
"Tak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
"Rumpin...!" Ki Sadewo Murai berteriak ingin memperingatkan, tapi sudah
terlambat. Hal itu terjadi memang disengaja Hantu Rimba La-
rangan. Dia mengumpan bahunya, dan Rumpin tak
sempat menyadari bahwa tubuh lawan ternyata kebal
senjata tajam. Kulit tubuh orang itu hanya sedikit ter-gores seperti terkena
duri. Tapi dengan tiba-tiba kepalan tangan lama dengan cepat menghantam dadanya
dengan telak. Rumpin cuma mampu menjerit tertahan
ketika tubuhnya terjungkal dan ambruk ditanah den-
gan nyawa putus.
Beberapa orang murid Elang Hitam sudah lang-
sung maju dan bermaksud menyerang lawan. Tapi Ki
Sadewo Murai memberi isyarat. Mereka menggerutu
kesal dan menahan amarahnya ketika orang tua itu
berkata dengan suara pelan.
"Hantu Rimba Larangan, perbuatanmu sungguh
kejam dan biadab. Kau memang tak pantas menjadi
seorang manusia, tapi lebih rendah dari seekor bina-
tang!" "Jangan banyak mulut kau, Tua Bangka! Majulah
biar lebih gampang kukirim kau ke akherat!"
"Jangan khawatir, Ki sanak. Aku akan merelakan
tulang tua yang tak berguna ini untuk menghentikan
segala perbuatan terkutukmu!"
"Ha ha ha ha...! Kau hendak menghentikan perbua-
tanku" Jangan bermimpi tua bangka keparat! Hantu
Rimba Larangan akan membuat kalian mampus se-
muanya!" "Sring!"
Ki Sadewo Murai mengeluarkan senjata an-
dalannya. Sebuah golok yang ujungnya bercagak dua
dan gagangnya terbuat dari perak.
"Aku tak terbiasa bertarung dengan tangan ko-
song, dan karena kulihat tubuhmu kebal senjata ta-
jam, biarlah hitung-hitung pertarungan ini berjalan
dengan adil," ujar Ki Sadewo Murai sambil tersenyum sinis.
"Aku tak peduli kau bersenjata atau tidak. Bahkan bila seluruh muridmu ingin
ambil bagian, mereka boleh mengeroyokku!"
"Hmmm..., sombong sekali kau. Lihat serangan...!"
teriak Ki Sadewo Murai sambil berkelebat cepat menye-
rang lawan. Hantu Rimba Larangan melenting ke atas dengan
ringan, tapi tubuh Ki Sadewo Murai dengan tiba-tiba
telah berada di belakangnya dengan ujung golok men-
gancam leher lawan.
"Bet!"
Tapi dengan gerakan yang tak terduga tubuh Han-
tu Rimba Larangan membungkuk dalam keadaan be-
rada di udara, kemudian kedua kakinya menendang ke
arah lawan. "Hiyaaa...!"
*** 6 Ki Sadewo Murai bukanlah tokoh sembarangan.
Meski belum termasuk dalam jajaran datuk-datuk per-
silatan, namun banyak kalangan persilatan yang segan
kepadanya. Selain jarang terlibat urusan dengan se-
sama tokoh persilatan dalam hal perkelahian, konon
melihat dari sepak terjang murid-muridnya yang selalu membela kebenaran, orang
dapat menilai sampai di-mana kehebatan ilmu silat orang tua itu.
Begitu juga ketika Hantu Rimba Larangan mencoba
mengecoh orang tua itu dengan gerak tipu, Ki Sadewo
Murai dengan manis menghindarinya, lalu dengan ti-
ba-tiba menyerang lawan.
"Hm..., bagus! Agaknya kau memiliki ilmu silat
yang lumayan juga, Tua Bangka. Tapi itu bukan mem-
buatku senang, karena berarti umurmu akan cepat se-
lesai. Tak seorang pun boleh mensejajarkan diri den-
gan Hantu Rimba Larangan!" kata orang bertubuh
aneh itu dengan nada sombong.
"Bicaralah sesuka hatimu, Ki sanak. Siapa tahu ju-stru hari ini adalah hari
terakhirmu mampu bicara!"
dengus Ki Sadewo Murai.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"
Kali ini dengan satu teriakan hebat, tubuh Hantu
Rimba Larangan mencelat menyerang lawan. Ki Sade-
wo Murai sedikit terkejut. Golok di tangannya cepat
berkelebat dengan gerakan yang sulit diikuti oleh pandangan mata biasa.
"Bet!"
"Duk!"
"Crak!"
"Akh!"
Sabetan golok Ki Sadewo Murai dapat dielak-kan
lawan. Hantu Rimba Larangan bahkan berhasil meng-
hantam pukulan ke dada ketua Perguruan Elang Hi-
tam itu. Ki Sadewo Murai mengeluh kesakitan. Namun
bersamaan dengan itu goloknya berhasil melukai perut
lawan. Hantu Rimba Larangan memang kebal senjata ta-
jam, namun tidak terlalu hebat karena tubuhnya ma-
sih mampu digores senjata lawan.
Kali ini lukanya sedikit parah karena darah sempat
mengucur dari perutnya yang terluka. Kalau saja hal
itu dilakukan oleh orang biasa, mungkin golok itu tak begitu berarti. Tapi di
tangan Ki Sadewo Murai lain
halnya. Orang tua itu memainkannya dengan pengera-
han tenaga dalam kuat.
Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghinda-
ri dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya,
namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok
perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan.
Orang tua itu cuma berpikir, jika senjata Rumpin
saja berhasil menggores kulit lawan, berarti lawan ma-
sih mampu dilukai jika dia mengerahkan tenaga dalam
kuat. Tapi hal itu ternyata harus dibayar mahal. Ki Sa-
dewo Murai terluka parah di dalam dadanya akibat
pukulan lawan tadi. Meski dia memiliki tenaga dalam
yang tinggi, namun pukulan lawan menghantam lebih
kuat. Belum lagi dia sempat memperbaiki posisi, tubuh Hantu Rimba Larangan
kembali mencelat sambil mengirim satu serangan kilat ke arahnya.
"Sekarang mampuslah kau, Orang Tua! Hiyaaat...!"
Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghinda-
ri dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya,
namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok
perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan.
"Begkh! Begkh!"
Ki Sadewo Murai cuma mengeluh pelan sekali.
Bahkan suara pukulan itu lebih kencang ketimbang
keluh kesakitannya. Dari mulut orang tua itu muncrat
darah segar ketika tubuhnya terangkat setinggi tiga
kaki ke atas. Ketika tubuh tua itu ambruk ke tanah,
nyawanya sudah lepas dari raga.
"Keparat! Kau harus membayar mahal untuk se-
mua ini!" bentak salah seorang anak murid Perguruan Elang Hitam dengan garang.
"Cincang manusia biadab itu!"
"Bunuuuh...!"
"Yeaaah...!"
Amarah yang sejak tadi telah memuncak di setiap
hati murid Perguruan Elang Hitam, kini se-makin ma-
rah dengan kematian guru mereka di tangan Hantu
Rimba Larangan. Tanpa memikirkan keselamatan me-
reka langsung menyerang lawan dengan ganas dan
buas. "Ha ha ha ha...! Mari ke sini, dan terimalah kematian kalian seperti yang telah
kujanjikan!" teriak Hantu
Rimba Larangan seperti orang kegirangan.
Hantu Rimba Larangan bekerja tak kepalang tang-
gung. Sekali tubuhnya bergerak, dua atau tiga orang
murid Perguruan Elang Hitam telah tewas dalam kea-
daan yang mengerikan. Kalau kepala mereka tidak pe-
cah, maka ada yang perutnya jebol dan ususnya teru-
rai keluar. Bahkan ada yang mengalami kematian den-
gan keadaan yang mengerikan. Dada kirinya bolong
dengan jantung hancur, serta tubuh mereka remuk
dari kepala hingga kaki.
Satu persatu murid Perguruan Elang Hitam binasa.
Sia-sia mereka melakukan perlawanan karena tak seo-
rangpun yang mampu menahan serangan Hantu Rim-
ba Larangan lebih dari enam gerakan. Dan orang itu
memang betul-betul gila karena dia seperti menikmati
apa yang dilakukannya sambil tertawa penuh keme-
nangan. "Hi hi hi hi...! Mampuslah kalian semua, mampus-
lah kalian semua! Telah tiba saatnya hari pembalasan, dan kalian akan merasakan
penderitaanku dulu dengan kematian. Menangislah di akherat sana dan sesali
nasib kalian yang buruk seperti aku menyesali nasib-
ku dulu!" Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan
berteriak-teriak sendiri dengan suara menggelegar.
Kemudian dia tertawa-tawa sambil memutari mayat-
mayat yang bergelimpangan seperti orang menari. Ke-
mudian setelah puas melampiaskan segala kegiran-
gannya, dia meninggalkan tempat itu sambil terus ter-
tawa terbahak-bahak.
Tempat itu seketika senyap. Bau anyir tercium ber-
sama dengan tiupan angin yang membawanya jauh ke
desa terdekat. Seperti memperingatkan bahwa Hantu
Rimba Larangan telah berada di dekat mereka dan siap
menjemput maut.
* * * Pemuda berambut gondrong berbaju harimau me-
langkah lesu. Monyet kecil berbulu hitam yang sejak
tadi berada di pundaknya terus mencericit ribut. Tapi pemuda yang tak lain
adalah Bayu Hanggara alias
Pendekar Pulau Neraka masih terus memandang seke-
liling dengan perasaan curiga. Tempat itu telah diamatinya berkali-kali. Tak ada
sesuatu yang mencuriga-
kan. Bahkan perabotan di dalam pondok kecil itu pe-
nuh debu seperti tak pernah dihuni bertahun-tahun.
"Nguk!"
"Diamlah dulu, Tiren. Aku tahu sebentar lagi senja.
Tapi kita harus memeriksa tempat ini sekali lagi."
"Kaaaakh...!"
Bayu mendesah pelan.
"Iya, aku tahu. Kau mengkhawatirkan mereka, bu-
kan" Begitu juga aku. Baiklah, kita kembali. Sudah
seharian kita menyelusuri tempat ini serta hutan di
dalam sana, namun tak terlihat batang hidung orang
itu. Mungkin dia memang tak berada di tempat ini,"
kata Bayu sambil menggelengkan kepala lemah.
"Nguk!"
Setelah memastikan bahwa tak ada sesuatu yang
dapat memberikan petunjuk tentang buruannya, Bayu
langsung kembali ke Desa Kedungbala. Ambar me-
nyambutnya dengan girang sambil memeluk pemuda
itu. Sedangkan Puji Lestari cuma tersenyum mengama-
ti. "Bagaimana, Bayu" Apakah betul dia berada di sa-na?" tanya laki-laki
bertubuh kurus yang kini telah memanggil pemuda itu dengan namanya.
"Agaknya dia telah lama meninggalkan tempat itu, Ki Legowo..." sahut Bayu sambil
menggelengkan kepa-
la. "Hhhh... kalau begitu aku betul-betul tak tahu lagi di mana dia berada
kini..." sahut Ki Legowo lirih.
"Kurasa aku pun tak bisa berlama-lama di sini,
Ki...." "Paman mau ke mana?" tanya Ambar dengan wajah sedih.
"Paman harus pergi...."
"Kenapa Paman harus pergi" Tidak sukakah pa-
man tinggal bersama kami di sini?" tanya gadis cilik itu setengah memohon.
Bayu tersenyum kecil.
"Ambar, Paman Bayu tak bisa menetap di sini ka-
rena dia harus meneruskan perjalanan. Paman Bayu


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pengembara, dan orang seperti dia tak mung-
kin mau menetap di satu tempat...!" Ujar Puji Lestari dengan suara pelan sambil
memangku sepupunya.
Bayu melirik sekilas pada gadis itu. Kemudian
mengalihkan pandangan kepada Ambar sambil ber-
jongkok di hadapannya.
"Ambar, paman tak bisa berdiam diri di sini saja.
Orang jahat itu akan banyak membunuh orang kalau
tidak dihentikan. Kalau paman berada di sini terus,
bagaimana paman bisa menghentikannya" Nah, untuk
itu paman harus pergi mencari dan kemudian meng-
hukumnya," jelas Pendekar Pulau Neraka sambil tersenyum.
"Tapi paman akan kembali lagi ke sini."
"Tentu! Bukankah paman belum mengucapkan
bahwa paman harus berpisah denganmu, bukan?"
"Paman berjanji akan ke sini lagi dan menetap bersama kami?" tanya bocah itu
penuh harap dengan wajah girang.
Pendekar Pulau Neraka menarik nafas panjang,
kemudian menghembuskannya perlahan. Sulit rasanya
dia menjawab pertanyaan bocah itu. Tak tega rasanya
untuk menyakiti hati anak yang masih polos ini. ba-
ginya kehidupan-kehidupan itu cuma hitam dan putih
yang gampang dicerna dan dibuat mudah.
"Ambar, paman bukan tak ingin menetap di sini,
tapi kalau paman harus pergi itu karena ingin mencari orang tua paman yang
sampai sekarang belum juga
bertemu. Paman rindu sekali padanya. Jadi Ambar tak
keberatan bukan" Setelah paman menghukum orang
itu maka paman akan ke sini untuk berpamitan den-
ganmu," kata Bayu lirih.
Bocah cilik itu menundukkan wajah. Dalam dua
hari ini saja persahabatannya dengan Bayu telah
membuat dirinya akrab dan merasa kenal bertahun-
tahun. Ada yang memperhatikannya, dan mengajaknya
bicara tentang hal yang selama ini belum pernah dike-
nalnya. Dan kini tiba-tiba orang itu harus pergi. Terasa berat sekali hatinya
untuk melepaskan Bayu. Namun
alasan yang dikeluarkan pemuda itu sangat menyen-
tuh hatinya. Dia dapat merasakan, betapa sedihnya ji-
ka berpisah dengan kedua orang tua. Jangankan sam-
pai bertahun-tahun, beberapa hari saja tak bertemu
rasanya bingung.
"Nah, kau mengerti bukan?" tanya Bayu sambil memandangi wajah bocah polos itu
dalam-dalam. Ambar mengangukkan kepala.
"Tapi paman tidak akan berangkat sekarang, bu-
kan" Besok pagi saja! Sebentar lagi malam, tentu pa-
man harus tidur dulu untuk beristirahat."
"Baiklah. Paman akan berangkat besok pagi...."
Pemuda berambut gondrong itu baru saja bangkit
dari duduknya ketika dari arah luar terlihat sosok tubuh tergopoh-gopoh berlari
menuju ke rumah ini.
"Ki Legowo! Ki Legowo...! Ada berita penting!" teriaknya.
"Berita penting apa, Bondang?" tanya Ki Legowo ketika orang itu telah mendekat.
Sekilas dia tersenyum pada Bayu, kemudian laki-
laki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu
meneruskan kata-katanya.
"Ki Karta dan keluarga kembali lagi ke desa...."
"Astaga! Jadi juga dia pergi. Selamatkah mereka
...?" tanya Ki Legowo khawatir.
"Mereka selamat, Ki."
"Lalu kenapa mereka kembali?"
"Inilah yang menjadi permasalahan. Dalam perjalanan dia mendengar tentang Dolo
Lungkat...."
"Dolo Lungkat" Kabar apa?"
"Orang itu membuat kekacauan di mana-mana dan
menyebut dirinya sebagai Hantu Rimba Larangan!" jelas orang yang bernama
Bondang. Kemudian Bondang menceritakan apa yang di den-
gannya dari Ki Karta sehubungan dengan keganasan
Hantu Rimba Larangan beberapa hari ini.
"Cerita itu telah menyebar ke mana-mana. Banyak
sudah orang yang binasa di tangannya. Bahkan bebe-
rapa tokoh persilatan ikut menjadi korban!" lanjut Bondang.
"Hmmm... orang itu betul-betul sudah tidak waras.
Membunuh orang tanpa alasan selain kesenangan dan
melampiaskan dendamnya yang tak berketentuan,"
gumam Ki Legowo geram.
"Sudah, Ki. Aku ingin mengabarkan hal ini pada
yang lainnya. Ini kesempatan baik bagi kita untuk se-
cepatnya meninggalkan desa ini," kata Bondang kembali sambil pamit dan
meninggalkan rumah Ki Legowo.
* * * "Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga, Ki. Kalau menunggu besok
mungkin orang itu akan
mencari korban yang lain," kata Bayu menyentakkan lamunan Ki Legowo.
"Kau akan mencarinya ke mana?"
"Ke Kotaraja seperti yang diceritakan Bondang tadi.
Paling tidak di desa-desa sekitar Kotaraja."
"Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja kau be-
rangkat, Bayu. Kotaraja agak jauh dari sini dan me-
merlukan perjalanan satu hari penuh. Kau tentu ma-
sih lelah...."
"Betul. Paman berangkat besok pagi saja!" cegah si kecil Ambar.
"Jangan-jangan malah malam ini dia akan kembali
ke desa ini lagi. Orang itu sulit diterka, namun yang jelas dia pasti akan
kembali untuk melanjutkan perbua-
tannya yang gila itu," sambung Puji Lestari dengan na-da khawatir.
Bayu memandang wajah mereka sekilas satu per-
satu. Masih terbesit perasaan takut dan cemas ber-
campur geram. Lebih-lebih melihat wajah si kecil Am-
bar yang kini tampak pucat begitu mendengar nama
Hantu Rimba Larangan disebut-sebut.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam di pundaknya pun
memandang dengan wajah kuyu kepada Pendekar Pu-
lau Neraka. Seolah-olah dia membenarkan kata-kata
gadis cantik yang duduk di sebelahnya.
Sambil menghela nafas panjang Bayu mengangkat
bahu dan berkata pelan.
"Yah... kalau demikian apa boleh buat. Tak baik
menolak tawaran orang lain. Baiklah, aku akan be-
rangkat besok pagi...."
Ambar tersenyum mendengar kata-kata itu.
Malam ini dilalui Pendekar Pulau Neraka seperti
malam sebelumnya. Hanya kali ini dia tak terjaga pe-
nuh. Kantuknya terasa berat bukan main. Dia mere-
bahkan diri di bale-bale yang berada di ruang. Tiren
berjaga-jaga di sisinya.
"Tiren, jangan sampai kau tertidur pula. Kalau kau merasa tak kuat menahan
kantuk, bangunkan aku!"
pesan Pendekar Pulau Neraka.
Matanya masih terasa berat dan kantuk me-
nyerangnya luar biasa, tapi pemuda berambut gon-
drong itu cuma merasa tidur sesaat ketika Tiren men-
cericit di telinga. Bayu cepat bangkit sambil merasakan kepalanya pusing.
"Ada apa, Tiren" Kenapa kau menggangguku" Aku
ngantuk sekali!"
"Nguk!"
Monyet kecil itu menunjuk sesuatu. Bayu menoleh,
dan buru-buru dia mengucekkan matanya ketika Puji
Lestari telah berada di dekatnya sambil membawa se-
cangkir kopi panas. Gadis itu tersenyum manis.
"Maaf, aku tak bermaksud mengganggu. Tapi Tiren
terjaga dan mencericit terus di dekatmu. Aku... aku
cuma ingin mengantarkan kopi ini saja sahut gadis
cantik itu dengan suara terbata-bata.
"Oh ya... terima kasih! Kenapa tak tidur?"
Gadis itu tersenyum.
"Aku biasa bangun pagi-pagi sekali...."
Bayu mendongak sekilas, dan lapat-lapat teli-
nganya mendengar kokok ayam di kejauhan. Barulah
dia menepuk kepalanya sambil terkekeh kecil.
"Begitu mengantuknya aku tak sadar kalau hari
sudah pagi. Eh, terima kasih, Puji. Kau baik sekali.
Sudah mandi?" tanya Bayu sambil tersenyum menggo-da. "Belum...."
"Tapi tetap saja tubuhmu harum."
"Ka... Kakang Bayu bisa saja...."
"Betul, aku bicara apa adanya," sahut Pendekar Pulau Neraka sambil menghirup
kopinya. Gadis itu menundukkan wajah sambil memper-
mainkan ujung bajunya. Bayu kembali memandang
sambil tersenyum.
"Kenapa berdiri terus" Kau tak mau duduk?"
"Tidak mengganggu?"
Bayu menggeleng.
Puji Lestari duduk di depannya dengan malu-malu.
Keduanya terdiam beberapa lama seperti tak ada
bahan pembicaraan.
"Kaaakh...!"
Ouw!" Dasar monyet jahil! Dengan tiba-tiba dia melompat
di punggung gadis cantik itu sambil menjerit. Bukan
main terkejutnya Puji Lestari. Tanpa sadar dia menjerit memeluk Bayu dengan
wajah pucat. "Tenanglah, Puji... itu cuma kerjaan si Tiren yang memang usil. Itu tandanya dia
suka denganmu, dan
ingin selalu berdekatan setiap hari..." suara Bayu terdengar lirih.
Gadis itu seperti tak berusaha berontak ketika dia
memandang Bayu. Wajah mereka begitu dekat. Suasa-
na sepi itu seperti menggoda hati mereka masing-
masing. Puji Lestari mengatupkan kedua kelopak ma-
tanya ketika wajah pemuda itu dirasanya semakin
mendekat. Tiba-tiba dia merasa sulit bernafas ketika
bibirnya terasa hangat. Perasaan ganjil menyesak di
dadanya, dan hal itu belum pernah dialaminya selama
ini. Perasaan suka, senang, dan bahagia bercampur
takut namun tak kuasa menghindar.
"Kaaaakh...!"
Tiren kembali memekik nyaring mengagetkan ke-
dua insan yang tenggelam dalam suasana pagi yang
dingin. "Eh...ng...maaf. Aku...aku...." Bayu salah tingkah sambil melepaskan pelukannya
pada gadis itu.
Lewat cahaya pelita yang menyala redup Bayu
mampu melihat wajah wanita itu yang memerah sebe-
lum dia menundukkan kepala dengan malu-malu dan
langsung beranjak ke belakang.
Pendekar Pulau Neraka menggaruk-garukkan ke-
palanya dengan wajah bingung seperti orang tolol. Ke-
mudian dia senyum-senyum sendiri ketika Tiren me-
nyeringai dan menjulurkan lidah persis di depannya.
Bayu terkekeh kecil.
*** 7 Matahari belum lagi tepat berada di atas kepala ke-
tika sebuah bayangan tampak melesat cepat mening-
galkan sebuah gedung mewah sambil tertawa-tawa ke-
girangan. Melihat caranya bergerak bagai sapuan an-
gin pastilah orang tersebut memiliki ilmu lari cepat
tingkat tinggi, dan setidaknya pasti memiliki ilmu silat yang jauh di atas
orang-orang persilatan kebanyakan.
Namun bila melihatnya dari dekat, terlihat hal aneh
pada anggota tubuh orang itu. Tubuhnya berkulit hi-
tam legam memiliki kepala dua dan dua pasang tan-
gan. Rambutnya hitam kaku dan lusuh seperti tak
pernah kena air bertahun-tahun. Sepasang matanya
yang lebar dan bulat menempel begitu saja seperti tak memiliki kelopak.
"Ha ha ha ha...! Semuanya akan tewas di tangan
Hantu Rimba Larangan! Kalian akan merasakan sik-
saan serta hinaan berat seperti apa yang kualami dulu.
Kalian akan merasakan semua...!" Terdengar suara serak dan berat berkumandang ke
segala pelosok tempat
itu. Sesosok bayangan yang tak lain dari Hantu Rimba
Larangan terus berkelebat cepat mendekati sebuah
lembah di mana terdapat sebuah telaga yang di atas-
nya mengucur sebuah air terjun. Pemandangan di
tempat itu indah sekali. Sebongkah bukit cadas tegak
berdiri ditumbuhi lumut dan pepohonan kecil di te-
bingnya yang curam. Dari situlah mengalir air terjun
tersebut. Hantu Rimba Larangan berhenti dan menciduk air
untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Ter-
dengar helaan nafasnya yang lega. Kemudian tertun-
duk menekur pada sebuah batu besar dan berkaca pa-
da air telaga. Wajahnya tiba-tiba garang penuh keben-
cian dendam kesumat, berubah lesu dan nuansa ke-
pedihan terbayang nyata.
"Ibu... tak pernah aku menyalahkanmu atas kela-
hiranku yang tak semestinya ini. Tenanglah kau di
alam sana. Karena aku akan membalas sakit hatimu
pada mereka. Orang-orang itu harus mendapat pemba-
lasan yang setimpal...." katanya dengan suara lirih.
Hantu Rimba Larangan termangu. Wajahnya beru-
bah serius, dan sepertinya dia merasakan kehadiran
orang yang disebutnya tadi berbicara padanya lewat
bayangan di permukaan telaga.
"Tidak ibu! Jalan yang kutempuh adalah yang be-
nar! Masih ingatkah engkau ketika mereka mengejek
dan menyiksaku" Mereka menganggapku lebih hina
dari anjing kudisan. Hanya kau seorang yang menga-
sihiku di atas dunia ini. Tahukah ketika engkau ke-
mudian meninggalkanku" Hatiku hancur, Bu. Aku
berlari seperti orang gila ke dalam hutan. Saat itu aku tak ingin hidup lagi.
Kau pun tahu bukan" Sampai ak-
hirnya aku terperosok ke dalam sebuah sumur tua
yang dalam dan pengap. Di sanalah kutemukan kitab
pelajaran ilmu silat. Bertahun-tahun aku melatih diri untuk membalaskan sakit
hati ini, dan sekarang masa


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu telah tiba. Mereka harus menanggung akibatnya!"
sentak Hantu Rimba Larangan sambil bangkit berdiri
dan mendengus garang.
Tak terasa air matanya menitik dan jatuh di per-
mukaan telaga hingga membuat bayangan dirinya ber-
cerai berai sesaat.
"Tidak ibu! Aku harus membalasnya pada mereka.
Kalau kau tak setuju dengan caraku, aku tak peduli!"
teriaknya seperti kehilangan akal.
Dengan gemas kemudian diangkat sebongkah batu
besar dan dibenamkannya ke dalam telaga. Suara ge-
muruh terdengar sesaat. Air telaga itu bergelombang.
Tidak sampai di situ, karena dengan tiba-tiba telapak tangan kanan Hantu Rimba
Larangan menghantam
permukaan telaga dengan tenaga dalam penuh.
"Hiyaaaat...!"
"Pyar!"
Sungguh hebat akibatnya. Air telaga yang tadi te-
nang kini bergelombang tinggi hingga mampu melawan
arus yang dibuat oleh air terjun di bawahnya.
"Yeaaaa...!"
Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan
kembali menghantamkan pukulan dari atas ke bawah
pada curahan air terjun. Bukan main hebatnya puku-
lan yang dilontarkannya. Untuk beberapa saat air ter-
jun yang tercurah itu berhenti dan memuncrat ke atas
pada jarak kurang dari dua tombak di atas permukaan
telaga. "Aku tak peduli apa yang kau katakan! Aku tak peduli! Mereka harus mampus semua!
Mereka harus mampus! Hiyaaat...!" teriak Hantu Rimba Larangan se-
perti orang gila.
Dia mengamuk sejadi-jadinya. Batu cadas se-besar
kerbau hancur berantakan dan beberapa pohon besar
tumbang dihantam pukulannya. Tempat itu seperti di-
landa gempa dalam sekejap.
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Setelah puas mengamuk, dia kembali terduduk
dengan wajah lesu dan kuyu. Seperti anak kecil yang
kehilangan ibunya. Terlihat Hantu Rimba Larangan
menangis kecil.
"Maafkan kelakuanku, Bu. Aku tak bermaksud me-
lawanmu, tapi apa yang kau katakan sangat berten-
tangan dengan hatiku. Apakah kau tidak merasakan
betapa sakitnya hatiku saat mereka menghina, menge-
jek, bahkan menyiksaku dengan angkuhnya" Mereka
beranggapan punya derajat lebih tinggi dariku. Tidak
pantaskah aku membalasnya dengan kematian mere-
ka" Apakah orang seperti itu harus dibiarkan hidup"
Mereka sama saja. Semua orang sama kelakuannya", dan mereka akan mendapat
ganjaran yang setimpal
dariku...." ujar Hantu Rimba Larangan kembali dengan suara pilu.
Lama dia terpaku begitu tiba-tiba terdengar benta-
kan nyaring di belakangnya.
"Hantu Rimba Larangan, saat ini adalah hari kematian bagimu! Dosamu telah
melewati takaran. Tak ada
ampun lagi bagimu, dan tak ada tempat bagimu untuk
kabur! Tempat ini telah kami kepung rapat!"
* * * Orang bertubuh aneh itu menoleh. Terlihat di seke-
liling tempat itu telah ramai oleh berbagai orang den-
gan senjata terhunus. Dari cara berpakaian agaknya
mereka berasal dari dunia persilatan. Hantu Rimba La-
rangan menghitung, jumlah mereka tak kurang dari ti-
ga puluh orang. Bukannya dia merasa takut dan ce-
mas sebaliknya tertawa-tawa senang.
"Ha ha ha ha...! Bagus kalian telah berkumpul di sini hingga tak susah-susah
lagi aku mencari kalian
satu persatu. Ayo, siapa yang ingin maju lebih dulu"!
Atau kalian mau berbarengan, begitu lebih bagus agar
lebih mudah aku mengirimnya ke akherat!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil
bangkit berdiri menghadap
orang-orang dari rimba persilatan.
"Huh! Sombong sekali kau keparat! Terimalah sa-
lam dariku Garuda Merah Penyapu Angkasa!" teriak seseorang yang mengenakan baju
merah sambil menyerang Hantu Rimba Larangan dengan sengit.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"
Hantu Rimba Larangan memapaki serangan lawan
dengan wajah berkerut penuh kebencian.
Orang yang menamakan dirinya Garuda Merah Pe-
nyapu Angkasa mengetahui bahwa lawan berilmu ting-
gi, tapi dia begitu yakin akan kemampuan ilmu silat
dan tenaga dalamnya. Hingga begitu melihat kedua
tangan lawan terkembang, kedua telapak tangannya
pun menghantam sambil mengerahkan tenaga dalam
dengan kekuatan penuh. Agaknya dia begitu yakin la-
wan akan binasa atau terluka olehnya.
"Glaaaar!"
"Aaaa...!"
Orang yang mengenakan baju merah itu cuma
mampu mengeluh pelan ketika tubuhnya terlempar ke
belakang. Darah muncrat dari mulut dan hidungnya.
Begitu tiba di tanah, nyawanya lepas seketika.
"Ha ha ha ha...!" Mampuslah bagianmu, orang ce-
laka! Kau pikir mampu mengalahkan Hantu Rimba La-
rangan begitu mudah"! Puiih!"
"Jahanam! Kau betul-betul manusia keparat. Han-
tu Rimba Larangan, mampuslah kau! bentak salah
seorang di antara mereka.
"Seraaang...!"
Mendengar teriakan itu, semuanya langsung berge-
rak mengeroyok Hantu Rimba Larangan.
"Yeaaa...!"
"Ha ha ha ha...! Majulah semua! Ayo, majulah dan jemput kematian kalian di
tanganku!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil tertawa kegirangan.
Orang-orang itu memang bukanlah tokoh semba-
rangan. Nama Hantu Rimba Larangan beberapa hari
dikenal sebagai tokoh pencabut nyawa yang ditakuti
karena ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya. Maka
jika mereka yang berasal dari tokoh-tokoh gabungan
berbagai Perguruan silat berani mengejar dan bermak-
sud membunuhnya, tentulah mereka bukan orang
sembarangan. Paling tidak mereka adalah wakil nomor
satu di perguruannya masing-masing. Bahkan tak se-
dikit di antara mereka terdapat ketua perguruan silat itu sendiri.
Tapi Hantu Rimba Larangan betul-betul membuk-
tikan bahwa dia tokoh yang sulit ditaklukkan.
Tubuhnya berkelebat dengan ringan menghantam
lawan dan bergerak dengan cepat menghindari seran-
gan lawan-lawannya. Kedua pasang tangannya itu
sangat merepotkan, dan merupakan alat pembunuh
yang ampuh. "Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Beberapa orang kembali tewas di tangan Hantu
Rimba Larangan. Pada masing-masing tangannya ke-
luar angin pukulan yang berbeda. Dua telapak tangan
mengeluarkan pukulan yang berhawa panas, sedang-
kan dari telapak kirinya menghantam pukulan berha-
wa dingin. Pengerahan dua pukulan yang masing-
masing berlawanan itu menunjukkan bahwa Hantu
Rimba Larangan bukanlah tokoh sembarangan, sebab
hal itu sangat sulit dilakukan meski oleh tokoh persilatan terkemuka sekalipun.
Akibatnya bukan saja akan
merusak diri, bahkan mampu berbalik dan menyerang
diri sendiri, tapi Hantu Rimba Larangan mampu mela-
kukannya dengan leluasa. Dan tak sedikit pun tanda-
tanda bahwa dia terkena pukulan sendiri.
"Hantu Rimba Larangan, terimalah kematian-mu!"
teriak seorang sambil melemparkan sepasang senjata
yang mirip gelang.
"Bet! Bet!"
Tubuh Hantu Rimba Larangan bersalto di udara
beberapa kali menghindari terjangan senjata lawan.
Namun pada saat itu utusan dari Perguruan Walet Me-
rah telah mengejar sambil menghunuskan pedang.
Sementara tiga orang ketua perguruan silat menye-
rangnya dari arah yang berlawanan.
"Hiyaaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"
Sehebat-hebatnya seorang tokoh persilatan berilmu
tinggi, tentu akan sulit menghindari dari serangan itu.
Apalagi dalam keadaan tubuh yang mengapung di uda-
ra. Namun dengan berani Hantu Rimba Larangan me-
mapaki serangan mereka. Ujung pedang salah seorang
utusan Walet Merah menggores punggungnya, tapi pu-
kulannya menghantam lawan yang seorang lagi hingga
terpental sambil menjerit keras.
Hantu Rimba Larangan menekuk kepalanya meng-
hindari salah seorang yang akan menyabet lehernya.
Dua telapak tangan kanannya menghantam ke arah
dua orang lawan, namun kedua orang itu membalas
dengan sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam
penuh. "Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Kedua orang itu terpental sambil mengeluh kesaki-
tan. Hantu Rimba Larangan bukannya tak merasakan
akibat pukulan lawan. Namun dia menggunakannya
sebagai tenaga dorongan yang membuat tubuhnya ter-
pental agak jauh dan bersalto beberapa kali di udara.
"Habisi dia...!"
"Dia telah terluka...!"
"Cincaaaang...!"
Kedua kaki Hantu Rimba Larangan belum lagi
menjejak di atas tanah ketika lima orang lawan menye-
rangnya dengan ganas.
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Dua orang kembali terjungkal dihantam pukulan
Hantu Rimba Larangan dan tewas seketika. Tapi dia
sempat terhuyung-huyung ketika sebuah pukulan la-
wan menyodok dadanya dengan keras.
"Rencah dia! Keparat ini telah terluka. Tak lama dia pasti akan kehabisan tenaga
dan mampus!" teriak seseorang memberi semangat.
Hantu Rimba Larangan memang berilmu tinggi dan
sulit dikalahkan. Tapi para pengeroyoknya pun bukan-
lah orang sembarangan. Bila diteruskan dengan cara
begini, lama kelamaan dia akan terus terdesak dan ke-
habisan tenaga. Jumlah ini sudah melampaui batas
untuk dilawannya seorang diri.
Seorang datuk persilatan yang tak terkalahkan pun
akan binasa bila dikeroyok oleh orang-orang berilmu
tinggi seperti mereka dalam jumlah banyak.
Berpikir begitu tubuhnya melesat ke atas sebuah
cabang pohon dan menghilang dari pandangan para
pengeroyoknya untuk melarikan diri.
"Kejar terus...!" Jangan biarkan dia melarikan di-ri...!" teriak salah seorang
memberi komando.
* * * Hantu Rimba Larangan telah bersumpah akan
membunuh orang itu semua, hingga tak mungkin dia
lari begitu saja dari pertarungan tanpa menuntut ba-
las. Rencananya telah tersusun rapi. Sambil menung-
gu malam tiba, dia beristirahat di sebuah cabang po-
hon yang besar dan tinggi untuk memulihkan tena-
ganya. Dari situ dia dapat mengintai mereka satu per-
satu yang masih terus men-carinya.
Sementara itu gabungan orang-orang persilatan te-
rus melakukan pencarian terhadap Hantu Rimba La-
rangan sampai senja mulai tiba.
"Bagaimana, Ki Srengseng" Apakah kita akan terus mencarinya di tempat ini?"
tanya salah se-orang ketua perguruan silat yang bernama Ki Bagus
Sapta kepada ketua Perguruan Gelang Terbang.
"Hmm... aku punya firasat bahwa dia masih berada di sekitar sini. Dia mengalami
luka dalam, dan lagi pu-la orang gila sepertinya tak mungkin mau kabur begitu
saja. Dia pasti akan muncul!"
"Bagaimana kalau dia benar-benar telah melarikan diri?" tanya Ki Walang Sangit,
ketua Perguruan Bela-lang Ijo.
"Kami sependapat dengan Ki Srengseng. Hantu
Rimba Larangan adalah orang gila yang haus darah.
Tak mungkin dia meninggalkan kita begitu saja. Orang
itu pasti masih berada di sekitar sini!" sahut salah seorang utusan dari
Perguruan Kembang Pelangi.
"Pasti dia mempunyai rencana tertentu terhadap
kita!" dengus Ki Bagus Sapta.
"Aaaa...!"
"Heh?"
"Apa itu?"
Semua mengalihkan perhatian ke arah suara jeri-
tan tadi. Dua orang utusan dari Perguruan Batu Hitam
tewas dengan kepala remuk.
"Aaaa...!"
"Heh?"
Kembali terdengar jerit kematian. Lima orang utu-
san Perguruan Angsa Putih menemui ajal dihantam sa-
tu pukulan jarak jauh berhawa panas.
"Kurang ajar! Dia hendak bermain kucing-kucingan pada kita!" sentak Ki Srengseng
garang. "Pertajam pendengaran kalian dan jangan lengah!"


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriak Ki Bagus Sapta garang.
Mendengar itu semuanya langsung berjaga-jaga
dengan sikap lebih waspada. Pendengaran mereka di-
buka lebar-lebar dan pandangan matanya dipertajam
untuk mengawasi setiap gerak yang mencurigakan.
"Yeaaa...!"
"Itu dia!"
"Seraaaang...!"
"Aaaa...!"
Suatu bentakan nyaring kembali terdengar yang
disusul dengan terpentalnya empat orang yang berada
di dekat sebuah pohon besar. Nyawa mereka lepas se-
ketika setelah menyentuh tanah. Ki Bagus Sapta dan
Ki Walang Sangit nyaris jadi korban kalau mereka tak
cepat menghindar.
"Sing!"
Sepasang gelang terbang milik Ki Srengseng men-
desing cepat ke arah sebuah bayangan yang sempat di-
tangkap penglihatannya.
"Kejar dia ke arah sana!" teriaknya memberi komando pada yang lain.
"Hiyaaat...!"
Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit telah menda-
hului yang lain dan mencelat ke cabang se-buah pohon
sambil mengirim satu pukulan jarak
jauh dengan tenaga dalam penuh.
"Aaaa...!"
"Hei"!"
Mereka tersentak kaget. Dari arah lain kembali ja-
tuh korban. Enam orang kembali tewas terpental di-
hantam pukulan jarak jauh yang membuat tubuh me-
reka remuk. "Keparat kau Hantu Rimba Larangan! Keluar-lah
kalau kau memang bukan pengecut!" teriak Ki Srengseng sambil menangkap kembali
sepasang gelang ter-
bangnya yang tak menemui sasaran.
Tak terdengar sahutan. Tempat itu masih senyap
seperti semula. Ki Srengseng menatap yang lainnya.
Jumlah mereka kini banyak berkurang. Tak lebih dari
sepuluh orang. Hal ini betul-betul menjengkelkan dan
membuat hati mereka panas bukan main.
"Hmm... dia menggunakan kelebihannya dalam hal
ilmu meringankan tubuh untuk mengecoh kita!" dengus Ki Srengseng garang.
"Betul, Ki. Tenaga dalamnya pun hebat, dan berada di atas kita. Dengan caranya
itu kita tahu betul-betul telah terkepung!" sahut Ki Walang Sangit.
"Awaas...!" teriak Ki Bagus Sapta memper-ingatkan yang lain ketika sesosok
bayangan menerpa ke arah
mereka. Ketiga orang ketua perguruan silat itu melompat
menghadang, namun gerakan mereka terlambat.
Empat orang dari tokoh persilatan kembali menjadi
korban hantaman pukulan sesosok bayangan itu. Tu-
buh mereka terpental sambil menjerit tertahan. Dan
nyawanya langsung putus seketika.
"Yeaaa...!"
Bayangan itu bergerak begitu cepatnya. Bahkan
hampir tak terlihat dia menjejakkan kaki dan kembali
menyerang mereka dengan menimbulkan desk angin
kencang bagai badai topan.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"
Ki Srengseng memapaki serangan lawan ketika se-
pasang gelang terbangnya dengan mudah dielakkan.
Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika kedua tela-
pak tangan mereka saling beradu. Bayangan itu berge-
rak cepat sekali menghindari sabetan pedang Ki Bagus
Sapta, namun tak urung dia mengeluh pelan ketika
senjata Ki Walang Sangit yang berupa clurit menggores kulit perutnya sampai
meneteskan darah segar. Namun sebagai balasannya tiga orang di antara mereka
kembali menjadi korban pukulan dan tendangan kaki
bayangan itu. *** 8 Sesosok bayangan itu melompat jauh sekitar tiga
tombak sambil mengeluarkan suara tawa yang serak
dan dalam. "Ha ha ha ha...! Sekarang tinggal kalian bertiga.
Salah seorang terluka parah, itu berarti tinggal berdua.
Dengan sekali tepuk tamatlah riwayat kalian!"
'"Hantu Rimba Larangan, kau adalah seorang pen-
gecut yang amat menjijikkan!" dengus Ki Walang Sangit garang.
"Ha ha ha ha...! Siapa sebenarnya yang pengecut"
Mereka yang mengeroyok ataukah orang yang menye-
lamatkan diri dengan berbagai cara?" ejek orang yang tak lain dari Hantu Rimba
Larangan sambil tersenyum
kecil. "Huh! Jangan kira walaupun berdua kami tak ta-
kut menghadapimu! Hari ini kalau bukan kami maka
kaulah yang akan mampus!" kata Ki Bagus Sapta lantang.
"Kalau kalian patut mampus, tapi aku" Ha ha ha
ha...! Kau bermimpi mengharapkan kematianku dalam
keadaan begini!"
Selesai berkata begitu tiba-tiba tubuh Hantu Rimba
Larangan mencelat ke arah mereka sambil berteriak
nyaring. "Hiyaaat...!"
Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit cepat meng-
hindar sambil balas menyerang lawan dengan senja-
tanya masing-masing. Namun dengan mudah Hantu
Rimba Larangan menghindari serangan mereka.
"Plak! Duk!"
"Akh!"
"Yeaaa...!"
Ketika Ki Bagus Sapta membabatkan pedangnya,
tubuh Hantu Rimba Larangan bergerak ke samping
sambil menundukkan kepala dari sabetan clurit Ki Wa-
lang Sangit. Kepalan tangan kanannya menghantam
lurus ke dada Ki Bagus Sapta. Tapi orang tua itu cepat melompat ke belakang,
sementara tubuh Hantu Rimba
Larangan mengikuti sekaligus kedua tangan kirinya
menangkis pergelangan tangan Ki Walang Sangit keti-
ka terlebih dahulu menghindari sabetan senjatanya.
Saat itulah secara tak terduga kaki kanannya ber-
hasil menghajar tulang kering Ki Bagus Sapta hingga
orang tua itu mengeluh kesakitan. Demikian juga hal-
nya dengan Ki Walang Sangit. Tangan kanannya yang
memegang clurit nyaris terlepas ketika tubuhnya
mampu menghindari dua buah pukulan yang dilontar-
kan lawan. Tapi tubuh Hantu Rimba Larangan telah kembali
mencelat sebelum mereka memperbaiki posisi. Sasaran
yang dirasanya lemah adalah Ki Bagus Sapta.
Ketua Perguruan Bulan Kambangan itu berguling-
guling menghindari serangan lawan. Untung pada
saat-saat terdesak Ki Walang Sangit masih sempat
membantu sehingga nyawanya masih bisa tersela-
matkan. Sementara itu Ki Srengseng yang terluka dalam
akibat benturan tenaga dengan Hantu Rimba Laran-
gan, memaksakan diri bangkit dan bermaksud mem-
bantu kedua rekannya.
"Hmm... kalau kau memang menginginkan kema-
tian, pergilah lebih dulu!" dengus Hantu Rimba Larangan ketika menghindari
serangannya. "Yeaaa...!"
Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit berbarengan
melompat menyerang lawan ketika Hantu Rimba La-
rangan bersiap menghantamkan pukulannya ke arah
Ki Srengseng. "Huh! Kalau begitu mampuslah kalian bertiga!"
dengusnya sambil mengertakkan rahang dan menga-
lihkan pukulan ke arah keduanya.
"Hup!"
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Bukan main terkejutnya Ki Bagus Sapta dan Ki
Walang Sangit melihat serangan Hantu Rimba Laran-
gan yang cepat dan kuat. Ketika hantaman pertama
tadi mereka masih mampu berkelit, tapi siapa sangka
pukulan lawan sama cepatnya dengan gerakan tubuh-
nya. Keduanya tak sempat lagi menghindar ketika se-
pasang tangan Hantu Rimba Larangan menghantam
dada mereka dengan telak. Keduanya terjengkang
sambil menjerit keras dan memuntahkan darah segar
dari mulutnya. "Mampuslah kalian sekarang...!"
"Yeaaa...!"
Walaupun telah terluka parah, namun keduanya
bertahan mati-matian sambil bergulingan pada arah
yang berlawanan agar lawan tak mampu menghantam
mereka sekaligus. Taktik itu memang cukup jitu, na-
mun bagi Hantu Rimba Larangan taktik itu tak berar-
ti!" "Hmm... kalian kira bisa menunda kematian dariku" Kupastikan kalian akan
mampus ketiganya pada
saat yang bersamaan," gumam Hantu Rimba Larangan sambil tersenyum sinis.
Kedua tangan kirinya siap menghantam dengan
pukulan berhawa panas ke arah Ki Walang Sangit yang
dianggapnya memiliki tenaga dalam lebih kuat diban-
dingkan dengan yang lainnya. Sedangkan tangan ki-
rinya yang satu lagi siap menghantamkan hawa puku-
lan dingin ke arah tubuh Ki Srengseng yang bersiap
akan menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Hei"!"
* * * Pada saat yang sangat keritis bagi ketiganya seso-
sok bayangan tiba-tiba melesat ke arah Hantu Rimba
Larangan sambil berteriak nyaring.
Orang itu terpaksa mengalihkan pukulannya ke
arah bayangan yang baru datang. Merasakan angin se-
rangannya yang kencang, Hantu Rimba Larangan tak
berani menganggap enteng. Keempat telapak tangan-
nya diarahkan penuh. Tapi bayangan tadi lebih lincah
lagi bergerak. Tubuhnya melenting beberapa kali di
udara, kemudian mencelat ke tanah. Namun belum la-
gi Hantu Rimba Larangan menegaskan siapa bayangan
yang menyerangnya, tiba-tiba datang lagi serangan ki-
lat ke arah tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
"Huh!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Keparat!" Hantu Rimba Larangan memaki ketika pukulan mereka saling beradu.
Namun lawan masih
sempat menyerangkan satu tendangan ke perutnya,
yang membuat tubuh Hantu Rimba Larangan ter-
huyung-huyung ke belakang sejauh tiga langkah.
"Dolo Lungkat! Sudah waktunya kau mengakhiri
semua ini!" kata bayangan itu sambil berdiri tegak pa-da jarak dua tombak di
depannya. "Siapa kau"! Dari mana kau tahu namaku"!" bentak Hantu Rimba Larangan sambil
menegaskan pen-
glihatannya. Namun ketika mengetahui siapa sebenarnya
bayangan itu, yang tak lain dari pemuda gondrong
berbaju kulit harimau yang pernah ditemuinya bebe-
rapa hari lalu.
"Hmmm... kau rupanya orang usil!" dengusnya sinis. "Dolo Lungkat, dosamu telah
melewati takaran.
Kau harus terima hukumannya. Kalaupun aku bisa
mengampuni jiwamu, tapi mustahil semua orang mau
mengampunimu. Perbuatanmu sungguh biadab hingga
kau betul-betul bukan manusia seperti yang diejekkan
orang-orang di Desa Kedungbala padamu dulu," ujar pemuda berbaju kulit harimau
yang tak lain dari Bayu
Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
"Jangan bawa-bawa peristiwa lalu. Kau atau yang
lainnya sama saja. Kalian manusia-manusia laknat
yang harus menerima pembalasan dariku. Termasuk
juga kau!"
"Sungguh sayang... orang dengan kepandaian ting-
gi sepertimu seharusnya mengabdikan diri di jalan ke-
benaran. Tapi kau malah berbuat sebaliknya...." sahut Bayu tenang sambil
menggelengkan kepala.
"Jangan menasehatiku! Kau pun akan mampus se-
perti yang lainnya," dengus Hantu Rimba Larangan.
Tak seperti menghadapi lawan-lawannya yang lain,
kali ini terlihat dia tak berani gegabah menghadapi
pemuda berambut gondrong itu. Pertarungan singkat
di Desa Kedungbala memberikan pelajaran pahit kare-
na ternyata pemuda ini bukanlah orang sembarangan.
Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat dengan
mengerahkan tenaga dalam penuh sambil berteriak
nyaring. "Terimalah kematianmu, Bocah! Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka dengan cepat menyambut
serangan lawan ketika tubuhnya melenting ke atas
menghindarinya. Namun tubuh Hantu Rimba Laran-
gan berbalik cepat mengejarnya.
"Hmm... agaknya kau betul-betul sulit disadarkan.
Kau menganggap dirimu tak terkalahkan. Meski aku
tak memiliki kepandaian, tapi aku bersumpah akan
menghentikan segala kebiadabanmu!" ujar Pendekar Pulau Neraka dengan nada


Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merendah. "Jangan banyak mulut! Hari ini adalah kematian
bagi kalian semua!" sahut Hantu Rimba Larangan.
"Hiyaaat...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka menggeram dahsyat. Kedua
telapak tangannya memapaki keempat telapak tangan
lawan dengan gerakan yang cepat hingga sulit diikuti
oleh mata biasa. Kaki kiri Hantu Rimba Larangan ma-
sih sempat menendang ke perut lawan. Bayu mengeluh
pelan merasakan isi perutnya seperti diaduk-aduk. Un-
tung dia telah melindungi diri dengan mengerahkan
tenaga dalamnya. Tapi bukan berarti lawan tak menga-
lami naas. Kaki Bayu menghantam telak dadanya.
Keduanya terhuyung-huyung ke belakang berapa
tindak. Darah segar menetes disudut bibir masing-
masing menandakan keduanya mengalami luka dalam.
Hantu Rimba Larangan terkejut bukan main. Se-
lama dia malang melintang menghadapi lawan, belum
pernah dia bertemu dengan orang yang kepandaiannya
setinggi pemuda itu. Diam-diam timbul juga rasa kha-
watir dalam hatinya.
"Siapa kau sebenarnya, Bocah?"
"Sebelum kau mampus, ada baiknya aku memberi-
tahukan siapa diriku agar kau tak mati penasaran.
Orang-orang persilatan menyebutku dengan Pendekar
Pulau Neraka. Jelas bukan?"
"Hmm.... Pendekar Pulau Neraka?" gumam Hantu Rimba Larangan sambil menganggukkan
kepala berusaha tenang.
Wajahnya sama sekali tak menunjukkan ke-
terkejutannya. Boleh jadi karena dia baru mengenal
nama itu. Tak heran, karena selama ini dia memang
jarang bergaul dan tak pernah mengenal siapa pun to-
koh-tokoh dunia persilatan. Dalam benaknya mereka
sama saja, dan dianggapnya tak berarti. Tapi berhada-
pan dengan pemuda itu membuatnya lebih waspada
dan menyadari bahwa ada juga orang-orang yang me-
miliki ilmu silat setingkat dengan dirinya. Bahkan tak mustahil melebihinya.
Sebaliknya dengan ketiga tokoh yang merupakan
ketua perguruan silat, nama Pendekar Pulau Neraka
tak asing lagi di telinga mereka.
"Pendekar Pulau Neraka" Oh, tak sangka akhirnya
aku bisa melihat tokoh yang menggegerkan dunia per-
silatan belakangan ini!" seru Ki Srengseng sambil tersenyum kecil.
"Hmmm... tak kusangka orangnya ternyata masih
muda. Sungguh hebat dia!" puji Ki Bagus Sapta.
"Kiranya nama itu ada dan aku telah melihatnya
sendiri kali ini. Padahal kupikir nama itu hanya legen-da saja," sahut Ki Walang
Sangit. "Mudah-mudahan dia mampu mengatasi orang gila
itu!" Ki Srengseng berharap sambil menggeram penuh kemarahan.
* * * Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau
Neraka dengan Hantu Rimba Larangan terus berlang-
sung alot. Sesekali terdengar monyet kecil berbulu hitam yang tadi muncul
bersama pemuda itu menjerit
keras sambil melompat-lompat ke sana ke mari. Kedua
tangannya bertepuk sambil memberikan semangat pa-
da Pendekar Pulau Neraka. Kelihatannya dia yakin be-
tul bahwa pemuda itu mampu mengalahkan lawannya.
Bayu sendiri memang harus mengakui bahwa ke-
pandaian lawan cukup tinggi. Bahkan tenaga dalam-
nya belum tentu berada di bawahnya. Tapi dia sedikit
merasa di atas angin ketika mengetahui ilmu merin-
gankan tubuhnya setingkat di atas lawan. Hal itu san-
gat menguntungkan. Lebih-lebih lagi keadaan Hantu
Rimba Larangan tidak lagi sesegar ketika dia mulai
bertarung dengan gabungan tokoh persilatan yang tadi
mengeroyoknya. Saat ini tenaganya nyaris banyak ter-
kuras. Tapi bukan berarti Pendekar Pulau Neraka dapat
dengan mudah mencegahnya. Kedua pasang tangan-
nya masih sulit ditembus, dan penglihatannya masih
cukup tajam mengamati setiap gerakan lawan.
Pendekar Pulau Neraka telah kepalang geram dan
muak pada tokoh yang satu ini. Apalagi ketika ter-
bayang segala perbuatannya yang biadab, membunuh
manusia seperti membunuh binatang yang nyawanya
tak berarti. Berpikir ke arah itu kemarahannya sema-
kin memuncak, dan serangan-serangannya semakin
gencar. "Hiyaaa...!"
Tubuhnya bergerak cepat menghantam perut la-
wan, namun dengan nekat Hantu Rimba Larangan
memapaki dengan kedua tangan kanannya. Semen-
tara kedua tangan kirinya bersiap menghantam ke da-
da lawan. "Plak!"
"Bed!"
"Des!"
"Aaaa...!"
"Yeaaa...!"
Tubuh Hantu Rimba Larangan terpental ke bela-
kang beberapa langkah ketika pukulan mereka saling
bertemu. Kedua tangan kirinya dengan mudah dielak-
kan pemuda itu. Ketika tubuhnya melenting ke atas,
dan dengan cepat mengirim tendangan telak ke dada
lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit keras. Tubuh-
nya terbanting dua tombak darah mengalir dari sela
bibir dan hidungnya.
"Uts!"
Namun dia masih sempat berguling menghindari
serangan susulan yang dilancarkan Pendekar Pulau
Neraka. Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan ka-
nannya sebelum tubuhnya mengejar lawan dengan sa-
tu serangan yang cukup cepat dan dengan pengerahan
tenaga dalam penuh.
"Sing!"
"Yeaaa...!"
"Cras!"
Hantu Rimba Larangan memang masih mampu
menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka, namun
Cakra Maut yang dilontarkan Bayu tak mampu dihin-
darinya. "Aaaa...!"
Hantu Rimba Larangan menjerit keras ketika pe-
rutnya robek disambar senjata lawan. Kulit tubuhnya
memang kebal terhadap senjata lawan, namun dia tak
memiliki ilmu kebal yang hebat. Lagi pula senjata Pendekar Pulau Neraka bukanlah
senjata sembarangan. Di
tangan si Cakra Maut, guru Pendekar Pulau Neraka,
senjata itu telah banyak membuktikan kehebatannya
dan ditakuti lawan. Di samping itu Bayu pun menya-
dari bahwa lawan kebal terhadap senjata tajam. Itulah sebabnya dia tak mau
meremehkannya, dan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi saat melemparkan-
nya tadi. "Hiyaaat...!"
"Begkh! Des!"
"Aaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka kembali melesat
sambil berputar bagai gasing. Hantu Rimba Larangan
berusaha bangkit sambil bergulingan. Tapi tendangan
kaki lawan lebih cepat lagi menghantam pinggang.
Terdengar tulang berderak patah. Tubuh Hantu Rimba
Larangan terangkat setengah tombak. Pendekar Pulau
Neraka agaknya tak mau bertindak kepalang tanggung.
Kepalan tangan kanannya menyusul menghantam tu-
buh lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit lemah.
Tubuhnya terlempar sejauh tiga tombak dan memben-
tur batu besar didekat telaga. Kepalanya menggeleng
lemah sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak.
Nyawanya putus saat itu juga.
"Tenanglah kau di alam sana dari pada hidup
membuat kekejaman dan kebiadaban..." ujar Bayu lirih. Agak lama dia memandang
tubuh ganjil itu sebe-
lum akhirnya melangkah pelan setelah menangkap
monyet kecil sahabatnya. Dan meletakkannya di pun-
dak. Wajahnya terlihat kelam. Bagaimanapun hatinya
tersentuh dengan penderitaan yang dialami orang itu.
Tapi kalau dibiarkan hidup pasti akan menjadi anca-
man bagi umat manusia.
"Ki sanak, tunggu...!"
Bayu menghentikan langkah dan membalik-kan
tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia bukan satu-
satunya yang masih hidup, masih ada tiga orang lagi
yang merupakan ketua perguruan silat di tempat itu.
"Kami ingin mengucapkan terima kasih atas perto-
longan Ki sanak...." ujar Ki Srengseng me-wakili dua orang rekannya.
Bayu tersenyum kecil.
"Paman, tak perlu berterima kasih padaku. Ini sudah menjadi kewajiban kita
bersama...."
"Setidaknya kau telah menyelamatkan kami dari
incaran maut..." timpal Ki Bagus Sapta.
"Paman, aku hanya perantara dan sama sekali bu-
kan penyelamat nyawa paman semua. Nah, untuk se-
gala sesuatunya aku mohon pamit dulu. Masih banyak
yang harus kukerjakan." kata Bayu sambil menjura hormat.
Pendekar Pulau Neraka cepat berkelebat dari tem-
pat itu sambil menggunakan ilmu lari cepatnya. Hing-
ga dalam sekejap tubuhnya telah lenyap dari pandan-
gan mereka. Ketiganya menggelengkan kepala den-
gan wajah takjub!
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Anak Berandalan 1 Mustika Lidah Naga 2 Naga Pembunuh 16
^