Pedang Kawa Hijau 1
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau Bagian 1
PEDANG KAWA HIJAU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau sekiruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Pedang Kawa Hijau
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Matahari baru saja menampakkan
cahayanya di ufuk Timur. Dan di sepagi
itu, terlihat seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun, sibuk memukul-mukul palu besi ke atas logam
yang memerah membara. Keringat mengucur deras membasahi sekujur
tubuhnya yang berkulit kehitaman.
Dentang logam beradu terdengar
keras memecah kesunyian di pagj ini.
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu terus
saja bekerja menempa besi yang merah
membara, sehingga tidak mempedulikan
sang mentari yang semakin naik tinggi.
Dan keringat pun semakin menga-nak
sungai, mengucur di sehiruh tubuhnya.
Saat itu terdengar suara derap
langkah kaki kuda mendekati. Si Pandai
Besi itu menghentikan pekerjaannya.
Kepalanya menoleh ke arah langkah kaki
kuda yang semakin jelas terdengar.
Matanya yang bulat, jadi menyipit begitu
melihat lima orang berkuda menuju ke
arahnya. "Hm.., mau apa lagi mereka datang
ke sini...?" gumamnya pada diri sendiri.
Kelima orang berkuda itu langsung
berlompatan turun dari atas punggung
kuda masing-masing. Tampak berdiri
paling depan, seorang laki-laki tua
berwajah bening dan berambut putih
tergulung ke atas. Pakaiannya putih
bersih, tampak meriap dihembuskan
angin. Sementara keempat orang lainnya
mengenakan pakaian yang bentuk dan
warnanya serupa.
Laki-laki pandai besi itu keluar dari
dalam gubuk bengkelnya. Sinar matanya
begitu tajam, menatap orang tua berjubah
putih bersih di depannya. Sebuah palu
besi yang besar dan berat, tergenggam
erat di tangan.
"Apa maksudmu datang lagi, Kala
Putih...?" tanya si Pandai Besi dengan
suara berat, tak bersahabat.
"Mengambil pesananku," sahut lakilaki tua berjubah putih yang dipanggil
Kala Putih. "Sudah berapa kali kukatakan, aku
tidak sanggup membuatnya. Aku hanya
pandai besi biasa, bukan Empu Pembuat
Senjata Pusaka!" tegas si Pandai Besi.
"Dengar, Ki Bangka Putung. Semuanya kusediakan. Dan kau sudah
terima. Bahkan kusediakan waktu cukup
lama. Dua purnama.... Waktu yang cukup
lama untuk membuat sebuah pusaka.
Sekarang, sudah lebih dari waktu yang
kuberikan padamu. Serahkan pusaka itu
padaku, Ki Bangka Putung!" keras sekali
suara Kala Putih.
"Aku tidak menerima semua pemberianmu. Dan kau sendirilah yang
meninggalkannya. Sedikit pun tidak
kusentuh. Lihat itu...! Masih utuh, ada di
sana," Ki Bangka Putung menunjuk
sebuah benda yang tergeletak di meja.
Kala Putih mendengus keras melihat benda bercahaya kehijauan masih
tergeletak di atas meja, tanpa sedikit pun
berubah ketika diletakkannya di sana
lebih dari dua purnama yang lalu.
Sekantung uang emas sebagai pembayarannya juga masih berada di
tempatnya. Tidak berubah sama sekali,
seperti tidak pernah disentuh barang
sedikit pun. "Kurang ajar...! Kau mempermainkan aku, Bangka Putung...!"
geram Kala Putih memerah wajahnya.
"Sebaiknya, kau pergi saja dari sini,
Kala Putih. Bawa semua barang-barang
itu. Aku tidak membutuhkannya sama
sekali!" dengus Ki Bangka Putung dingin.
"Manusia sombong...! Kau akan
menerima ganjarannya nanti. Baiklah.
Kau kuberi waktu satu purnama lagi, dan
benda itu harus sudah selesai pada
waktunya!" rungut Kala Putih.
Selesai berkata demikian, Kala
Putih diikuti empat orang yang mendampinginya langsung melompat naik
ke atas punggung kuda masing-masing.
"Sampai kapanpun, tidak akan
kukerjakan. Aku bukan Empu...!" seru Ki
Bangka Putung. Kala Putih tidak mempedulikannya,
dan segera menggebah kudanya meninggalkan pandai besi itu. Sementara
Ki Bangka Putung menggerutu kesal
sambil memukul-mukul palu besinya
yang besar ke atas meja. Matanya
menatap nanar pada benda kotak yang
memancarkan sinar kehijauan, dan
sepundi uang emas. Lalu matanya beralih
pada pintu rumah yang berada di
samping bengkel kerjanya. Di depan pintu
sudah berdiri seorang berparas cantik,
mengenakan baju warna biru agak ketat.
Di sampingnya seorang anak laki-laki
berumur sepuluh tahunan.
*** "Mereka datang lagi, Ayah...?" tanya
gadis itu lembut.
"lya," sahut Ki Bangka Putung.
"Kala Putih tetap memaksaku senjata pusaka membuatkan pesanannya."
"Kenapa tidak dibuatkan saja,
Ayah" Bukankah dulu Ayah juga seorang
Empu Pembuat Pusaka...?" masih tetap
lembut suara gadis itu.
'Tidak Sekar. Aku tidak ingin lagi
berkecimpung dalam dunia yang kasar
dan kotor. Aku ingin kau dan Wirya hidup
damai, tanpa harus bergelimpang lumpur
dan darah," tegas Ki Bangka Putung
Gadis cantik berusia delapan betas
tahun itu mendekati ayahnya. Sementara
bocah laki-laki yang berada di sampingnya ikut melangkah juga. Sekar
tahu, mengapa ayahnya meninggalkan
pekerjaannya sebagai pembuat senjata
pusaka. Dan dia tidak bisa memaksa
ayahnya untuk menururi permintaan Kala
Putih. Ayahnya berwatak keras, dan teguh
pada pendiriannya.
"Biar aku yang membuatnya, Ayah,"
pinta Sekar, seraya menatap benda kotak
bercahaya kehijauan di atas meja.
'Tidak...! Itu pekerjaan laki-laki,"
sentak Ki Bangka Putung. "Kau belum
tahu betul, bagaimana membuat sebuah
senjata pusaka. Benda itu sangat
berbahaya, dan tidak sembarang orang
bisa mengolahnya. Aku merasakan adanya hawa jahat yang tersebar dari
benda itu," sambung Ki Bangka Putung
tegas. 'Tapi.... Kala Putih, Ayah...."
"Itu urusanku, Sekar!" potong Ki
Bangka Putung cepat
"Dia sangat kejam, Ayah. Aku
khawatir dia akan membuat kesulitan...,"
agak terbata suara Sekar.
Ki Bangka Putung hanya tersenyum. Tangannya terentang, memeluk pundak anak gadisnya ini. Ada
terselip rasa haru mendengar kata-kata
bernada penuh kecemasan dari anak
gadisnya. Wirya yang baru berumur
sepuluh tahun, seolah-olah bisa merasakan sesuatu yang tengah terjadi
pada ayah dan kakaknya ini. Maka,
dipeluknya kaki Ki Bangka Putung eraterat.
"Kau sudah masak, Sekar...?" tanya
Ki Bangka Putung setelah melepaskan
rangkulannya. Sekar menggeleng.
"Masaklah. Aku ingin dibuatkan
ikan bakar."
"Kalau begitu, aku harus menangkap ikan dulu, Ayah. Mungkin
siang nanti baru masak."
'Tidak mengapa, walau agak siang
sedikit," sahut Ki Bangka Putung.
"Ayo, Wirya. Kita tangkap ikan
dulu," ajak Sekar pada adiknya.
"Ayo, Kak. Kita tangkap yang
banyak, ya...?" sambut Wirya gembira.
Memang sudah lama juga Wirya
tidak lagi bermain-main di danau. Kini
mereka segera berlarian ke samping
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gubuk bengkel ini. Kemudian, kakak
beradik itu sudah terlihat berlari-lari
menuju danau yang berada tidak jauh di
depan rumah mereka.
Ki Bangka Putung tersenyum melihat keceriaan kedua anaknya. Tapi
mendadak saja senyuman di bibimya
menghilang saat matanya menangkap
benda kotak bercahaya kehijauan di atas
meja. Sejak benda ini ada di atas meja
kerjanya, Ki Bangka Putung sudah
merasakan bakal terjadi sesuatu yang
buruk pada keluarganya.
Ki Bangka Putung lalu menghampiri
benda kotak bercahaya kehijauan itu,
kemudian sesaat diamatinya. Dia memang
ahli dalam benda-benda berkekuatan
dahsyat. Dan sebentar saja, sudah
terasakan adanya kekuatan yang terpancar dari benda kehijauan itu. Ki
Bangka Putung cepat-cepat menarik
kepalanya ke belakang, lalu melangkah
mundur tiga tindak menjauhi meja
kerjanya. "Luar biasa..,. Pasti amat berbahaya
jika dijadikan pedang," gumam Ki Bangka
Putung. Dengan sebuah penjepit baja, benda
kehijauan itu diangkatnya. Matanya
melebar begitu menatap lurus ke tengahtengah bagian dalam benda kehijauan.
Perlahan-lahan diletakkannya kembali
benda itu ke atas meja. Ki Bangka Putung
menarik napas panjang begitu penjepit
bajanya dilepaskan.
"Dunia persilatan bisa gempar jika
benda ini kujadikan senjata. Hhh...!
Terlalu berbahaya," desah Ki Bangka
Putung agak menggumam.
Ki Bangka Putung lalu meninggalkan benda itu, dan kembali
sibuk menekuni pekerjaannya. Namun
matanya sebentar-sebentar melirik ke
arah benda kehijauan itu. Dan setiap kali
matanya melirik, terasa ada sesuatu yang
ganjil menyelinap dalam hatinya. Ki
Bangka Putung jadi tidak bisa memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Seketika dilemparkannya
palu besi berukuran besar itu sambil
mendengus kesal.
"Huuuh...!"
*** Sepanjang malam, Ki Bangka
Putung tidak bisa memejamkan matanya.
Pikirannya terus tertuju pada benda kotak
berwarna kehijauan. Sebuah benda
memancarkan kekuatan dahsyat dan
mengandung hawa jahat Ki Bangka
Putung bangkit dari pembaringannya, lalu
berjalan mondar-mandir di dalam biliknya
yang sempit. Sebentar-sebentar matanya
memandang ke arah gubuk bengkel
kerjanya yang terletak di bagian samping
rumah ini. "Kenapa Ayah tidak mau membuat
senjata itu" Bukankah Ayah mampu
membuatnya..." Lagi pula, belum tentu
Kala Putih mampu menggunakannya,"
teringat kembali kata-kata Sekar yang
diucapkan setelah mereka selesai makan
malam tadi. "Satu purnama...! lngat, satu purnama lagi senjata itu harus selesai,"
kata-kata Kala Putih juga kembali
terngiang di telinganya.
"Satu purnama...," gumam Ki
Bangka Putung perlahan.
Laki-laki setengah baya bertubuh
tegap berotot itu jadi bimbang. Dunianya
yang dulu sebagai pembuat pusaka
benar-benar ingin ditinggalkannya. Tapi
permintaan Kala Putih tidak bisa dibuat
main-main. Dia tahu, siapa Kala Putih itu.
Seorang tokoh tua yang sangat sakti dan
digdaya. Tokoh kosen yang sulit dicari
tandingannya. Dengan golok bermata dua
saja, Kala Putih sudah begitu tangguh
tanpa tandingan. Apalagi jika berhasil
memiliki sebuah senjata pusaka yang
amat dahsyat.."
Sulit dibayangkan, bagaimana jadinya dunia persilatan ini
kelak. "Demi keselamatan kita semua,
Ayah. Apa salahnya, untuk kali ini saja
Ayah membuat senjata pesanan itu,"
kata-kata Sekar kembali terngiang di
telinga Ki Bangka Putung.
"Ya...! Demi keselamatan semua,"
desah Ki Bangka Putung perlahan.
Ki Bangka Putung mengayunkan
kakinya, melangkah keluar dari bilik
kamar tidurnya. Ayunan langkahnya
terhenti ketika berada di depan kamar
yang ditempati Sekar. Sesaat, ditatapnya
pintu yang tertutup rapat itu. Kemudian
ditariknya napas panjang, lalu kembali
mengayunkan langkahnya.
Di depan kamar Wirya, langkahnya
kembali terhenti. Tampak bocah laki-laki
itu tertidur lelap di pembaringan. Ki
Bangka Putung lalu melangkah lagi keluar
rumah, terus menuju gubuk bengkel
kerjanya. Sebentar dihelanya napas
panjang-panjang sebelum masuk ke
dalam gubuk bengkel itu.
Di dalam kegelapan malam seperti
ini, benda berwarna kehijauan itu
semakin jelas saja memancarkan cahaya.
Ki Bangka Putung mendekati benda kotak
yang besarnya tidak lebih dari sepotong
baru bata merah.
Sebentar peralatannya disiapkan
untuk membuat senjata. Lalu perlahanlahan diambilnya benda kehijauan itu
dengan penjepit baja, kemudian diletakkan di atas lempengan baja putih.
Setelah menutup bagian atas dengan
lempengan baja putih lainnya, Ki Bangka
Putung kembali menjepit benda itu
dengan penjepit baja. Dan memasukkan
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam
tungku yang sudah memerah membara.
"Ugh...!"
Ki Bangka Putung mengeluh pendek ketika tiba-tiba tangannya terasakan jadi kesemutan.
Laki-laki setengah baya itu menarik
keluar benda itu dari dalam tungku, dan
sebentar diamatinya. Lalu diletakkannya
benda itu di atas meja besi. Sedikit
tubuhnya beringsut mundur dua langkah.
Sementara tangannya seperti melepuh
terbakar. "Hhh...! Baru kali ini aku menemukan bahan benda pusaka yang
begini dahsyat," gumam Ki Bangka
Putung agak mendesah.
"Ayah...."
Tiba-tiba saja terdengar suara
lembut dari arah pintu.
"Sekar... mau apa kau ke sini...?" Ki
Bangka Putung terkejut melihat anak
gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di
ambang pintu bengkel ini.
"Ayah kenapa juga di sini malammalam?" Sekar malah balik bertanya
seraya menghampiri.
Ki Bangka Putung tidak menjawab.
Matanya kembali beralih menatap benda
kehijauan yang sudah berlapis besi baja
putih di atas meja penempa. Sekar juga
memandang ke arah yang sama.
"Ayah akan membuat pedang...?"
tanya Sekar tidak mengalihkan pandangannya. "Demi kau dan Wirya," pelan suara
Ki Bangka Putung menjawab.
"Tapi... tangan Ayah kenapa...?"
Sekar memperhatikan tangan ayahnya
yang merah bagai terbakar.
'Tidak apa-apa," sahut Ki Bangka
Putung. Bibir Ki Bangka Putung menyungging
senyum, tapi dalam hatinya bertanyatanya juga tentang benda dahsyat itu. Dia
tidak mengerti, kenapa begitu hebat dan
cepat pengaruhnya benda itu. Tangan
kanannya seperti melepuh, dan panas
sekali rasanya.
"Biarkan Ayah sendiri di sini, Sekar.
Ayah harus sudah membuat senjata ini
sebelum bulan purnama datang," pinta Ki
Bangka Putung. "Ayah tidak apa-apa?" Sekar masih
mengkhawa tirkan keadaan tangan.ayahnya.
"Tidak. Pergilah tidur. Masih terlalu
malam,"sahut Ki Bangka Putung lagi.
Sekar mengecup pipi ayahnya,
kemudian berbalik dan melangkah ke luar
gubuk bengkel ini. Ki Bangka Putung
tidak segera melanjutkan kerjanya, tapi
malah duduk bersila dan bersemadi. Dia
tidak ingin pekerjaannya gagal. Terlebih
lagi, bisa mendatangkan celaka. Benda itu
sangat dahsyat pengaruhnya, dan tidak
mungkin diolah dengan cara biasa. Ki
Bangka Putung kini memusatkan seluruh
inderanya, dan berserah diri pada sang
Pencipta. Malam terus merayap semakin
larut. Keadaan di sekitar pondok itu
tampak sepi. Sementara di dalam rumah,
Sekar tidak bisa lagi memejamkan
matanya. Pikirannya terus-menerus tercurah pada ayahnya. Dia tahu,
ayahnya mendapatkan kesulitan dengan
benda bercahaya kehijauan itu. Buktinya
tangan ayahnya memerah bagai terbakar.
Maka, gadis itu semakin
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencemaskannya.
"Dewata Yang Agung... beri keselamatan dan perlindungan pada
ayahku," gumam Sekar lirih.
Gads itu mencoba memejamkan matanya
di pembaringan, tapi tidak juga mau
terpejam. Pikirannya terus tertuju pada
ayahnya di bengkel kerja. Sekar bangkit
turun dari pembaringan lalu melangkah
ke jendela. Dibukanya pintu jendela lebarlebar. Dari jendela kamarnya ini, bisa
terlihat langsung bengkel kerja ayahnya.
Namun, tak terdengar suara apapun dari
sana. "Oh..."! Apa yang terjadi di dalam
sana..." Apakah aku harus melihatnya"
Tidak...! Ayah pasti marah kalau aku ke
sana," Sekar jadi bicara pada diri sendiri.
Hati gadis itu semakin resah dan
bimbang, dan terus menatap ke arah
gubuk bengkel kerja ayahnya. Hingga
larut malam, tidak juga terdengar suara
apapun juga. Dan hatinya semakin
diliputi kecemasan, namun tidak berani
keluar dari kamarnya. Dia tahu persis
akan watak ayahnya yang keras. Dan
Sekar tidak berani membantah semua
yang dikatakan ayahnya, meskipun harus
menderita kecemasan yang amat sangat di
hatinya. *** Tiga hari tiga malam Ki Bangka
Putung tidak beranjak dari balai-balai
bambu, tempatnya bersemadi. Dan selama itu, Sekar selalu menjaganya.
Sering kali adiknya menemani dalam
menunggui ayahnya dari depan gubuk
bengkel ini. Dulu, Sekar tidak pernah mengerti
pekerjaan ayahnya, karena masih ada
ibunya. Tapi setelah ibunya meninggal,
dia harus memahami pekerjaan ayahnya.
Bahkan, ayahnya pernah tidak keluar
kamar selama satu bulan lebih. Dan
biasanya, Sekar tidak pernah merasa
cemas sedikit pun. Tapi entah kenapa, kali ini hatinya begitu cemas. Dia sendiri
tidak tahu, apa sebenarnya yang dikhawatirkan. Padahal, hal seperti ini
sudah sering terjadi, ketika Ki Bangka
Putung masih menjadi seorang Empu
Pembuat Senjata Pusaka.
Tepat pada hari ke tujuh, di saat
alam terselimut kegelapan malam, tibatiba saja terlihat secercah cahaya bagai
pelangi meluncur deras, meluruk turun
ke arah gubuk kecil bengkel kerja Ki
Bangka Putung. Sinar terang berwarnawarni dan menyilaukan itu menghantam
atap gubuk bengkel ini. Tapi, tak
terdengar suara sedikit pun yang
ditimbulkannya. Hanya terasa hembusan
hawa dingin yang begitu menyejukkan,
membuat Ki Bangka Putung membuka
matanya. "Oh..."!"
Ki Bangka Putung agak terperanjat
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depan Ki Bangka Putung sudah berdiri
seorang laki-laki berjubah putih panjang.
Ikat kepalanya putih. Janggut serta
rambutnya, juga sudah memutih semua.
Sinar wajahnya begitu bening dan
bercahaya. Bahkan begitu lembut, memandang lurus pada Ki Bangka Putung
yang masih duduk bersila di atas balaibalai bambu ini.
Ki Bangka Putung bergegas turun
dari balai-balai bambu ini, begitu melihat
laki-laki tua berjubah putih di depannya
melayang tidak menginjak tanah. Asap
tipis mengepul hampir menyelimuti
kakinya yang tak terlihat tertutup
jubahnya yang panjang. Ki Bangka
Putung bersujud, menyentuhkan keningnya ke tanah di depan orang tua
berjubah putih ini.
"Bangunlah, Bangka Putung," ujar
orang tua berjubah putih itu. Suaranya
terdengar lembut, dan berwibawa.
Ki Bangka Putung bangkit periahan,
lalu duduk bersila di tanah dengan kepala
terus tertunduk. Seakan-akan dia tidak
sanggup memandang laki-laki tua di
depannya. "Aku tahu, apa yang tengah
melanda dirimu, Ki Bangka Putung.
Tetapkanlah hatimu. Buatlah sebuah
pedang dari benda itu. Gunakanlah kayu
dari pangkal pohon asam yang sudah
berumur seratus tahun untuk tangkainya
dan warangkanya," jelas orang tua berjubah putih itu.
Ki Bangka Putung hanya diam saja
mendengarkan penuh perhatian.
"Hanya satu pesanku, Bangka
Putung. Kau harus mempertahankan
pedang itu, apapun yang terjadi pada diri
dan keluargamu. Jangan sampai pedang
itu jatuh ke tangan orang yang berwatak
jahat. Camkan itu baik-baik, Bangka
Putung...!"
Baru saja Ki Bangka Putung hendak
membuka mulutnya, tiba-tiba saja cahaya
terang yang menyelimuti sekitar pondok
itu lenyap. Dan laki-laki serba putih itu
juga lenyap tanpa bekas sama sekali. Ki
Bangka Putung masih duduk bersila
beberapa saat, kemudian perlahan bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Seketika dia terkejut melihat Sekar
tertidur di kursi dekat pintu gubuk
bengkel ini. "Sekar..., Sekar...," Ki Bangka
Putung membangunkan anak gadisnya.
"Ohhh...," Sekar menggeliat.
Kelopak matanya mengerjap sebentar, lalu terbuka lebar.
"Ayah...."
"Kenapa tidur di sini?" tegur Ki
Bangka Putung. "Maaf, aku ketiduran," ucap Sekar
seraya menggosok-gosokkan matanya.
"Pindah ke dalam sana, Sekar."
Sekar bangkit dari kursi kayu itu.
Sebentar kepalanya melongok ke dalam
pondok. Ternyata, tidak ada yang berubah
sama sekali. Sepasang bola matanya yang
bulat bening, merayapi wajah dan seluruh
tubuh ayahnya. Dia heran melihat
ayahnya nampak segar, meskipun selama
tujuh hari tujuh malam tidak makan dan
minum. Dan Sekar masih juga belum
mengerti, meskipun hal ini sering terjadi
pada diri Ki Bangka Putung.
"Akan kusiapkan makan dulu,
Ayah," kata Sekar.
'Tidak usah. Ayah tidak lapar," elak
Ki Bangka Putung.
'Tapi, Yah...."
"Sudahlah.... Sebaiknya, kau tidur
saja sana. Ayah akan kerja lagi. Kasihan
adikmu kalau kau bangun kesiangan
nanti. Besok pagi-pagi sekali, Ayah minta
kau sediakan seperti biasanya," pinta Ki
Bangka Putung lembut.
Sekar tersenyum manis, lalu melangkah meninggalkan pondok itu. Ki
Bangka Putung memandangi disertai
senyum di bibir. Tidak sedikit pun Sekar
berbeda dengan sifat-sifat ibunya. Ki
Bangka Putung seperti melihat diri
istrinya pada Sekar. Sebentar dia
menghela napas panjang begitu tubuh
gadis itu lenyap di batik pintu rumah.
Ki Bangka Putung berbalik, dan
kembali masuk ke dalam gubuk bengkelnya. Dipandanginya benda bercahaya kehijauan yang masih tergeletak di atas meja besi. Seketika,
kembali dia teringat kata-kata orang tua
yang muncul membangunkan semadinya.
"Apa maksudnya orang berwatak
jahat tidak boleh memiliki benda ini...?" Ki
Bangka Putung jadi bertanya pada diri
sendiri "Apa yang dimaksudkan adalah
Kala Putih...?"
Mendadak saja Ki Bangka Putung
menepuk keningnya sendiri. Kini baru
teringat sekarang. Ternyata, dia tidak
pernah bertanya, dari mana Kala Putih
mendapatkan benda kehijauan ini. Dia
tahu betul, siapa Kala Putih. Apakah Kala
Putih mendapatkannya dengan cara
merampas" Atau....
Ki Bangka Putung menggeleng-gelengkan
kepala. Kembali diambilnya benda itu
dengan penjepit baja. Ki Bangka Putung
ingat, dia ternyata masih mempunyai
persediaan kayu asam yang sudah
berumur lebih dari seratus tahun.
Kemudian benda itu digosok-gosokkan
dengan sepotong kayu asam yang telah
diambil dari kolong meja kerjanya.
Sebentar kemudian bibirnya bergerak
komat-kamit, lalu mulai memasukkan
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam
tungku pembakaran. Api langsung memercik, berkobar besar begitu benda
kehijauan itu menyentuh bara.
Tak lama kemudian, terdengar
denting palu menghantam benda dari
logam. Ki Bangka Putung mulai menyatukan benda kehijauan itu dengan
baja putih pilihan. Sepanjang malam dia
terus bekerja keras membuat senjata
pusaka. Kini pekerjaan semula yang sudah
bertahun-tahun ditinggalkan dimulainya lagi. Rupanya, berkat kayu
asam yang telah digosok-gosokkan pada
benda kehijauan itu, tangannya tidak
melepuh lagi. Kini Ki Bangka Putung
dapat bekerja dengan leIuasa.
*** 2
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Bangka Putung memandangi
hasil kerjanya berupa sebuah pedang
tipis, berukuran sepanjang lengan. Gagangnya terbuat dari kayu asam
berumur seratus tahun. Hatinya benarbenar kagum melihat perbawa pedang
yang dihasilkannya dengan kerja keras
selama satu bulan penuh. Maka satu
purnama pun berlalu sudah, tapi Kala
Purih belum juga datang mengambil
pesanannya. Pedang yang panjangnya hanya
selengan orang dewasa itu memancarkan
sinar kehijauan. Mata pedangnya kecil
dan tipis, seperti tidak memiliki kekuatan
sama sekali. Tapi Ki Bangka Putung dapat
merasakan ada sesuatu kekuatan gaib
yang semakin lama semakin kuat
membelenggu dirinya. Satu kekuatan gaib
yang amat dahsyat dan berbahaya. Ki
Bangka Putung benar-benar dapat merasakannya. Merasakan kekuatan gaib itu semakin kuat membelenggu dirinya, Ki
Bangka Putung segera memasukkan
pedang itu ke dalam warangka yang juga
terbuat dari kayu pohon asam berumur
seratus tahun. Sementara cincin warangka dibuat dari emas murni.
"Hebat sekali pedang itu, Ayah...."
Ki Bangka Putung berpaling begitu
mendengar suara lembut dari belakang.
Tubuhnya berbalik dan tersenyum melihat Sekar dan Wirya sudah berada di
ambang pintu gubuk bengkel ini. Gadis
itu melangkah menghampiri dengan bibir
selalu basah memerah menyunggingkan
senyuman manis.
"Kau melihatnya...?"
tanya Ki Bangka Putung. "Ya," sahut Sekar. "Sayang sekali
kalau senjata sehebat itu harus diserahkan pada Kala Putih.
"Itulah yang mengganggu pikiranku,
Sekar," desah Ki Bangka Putung.
"Maksud, Ayah...?" tanya Sekar.
"Di dalam semadi, aku diperintahkan untuk tidak menyerahkan
pedang ini pada siapa pun juga. Terlebih
lagi, pada orang yang memiliki watak
jahat seperti si Kala Putih," jelas Ki
Bangka Putung. "Aku setuju, Yah...!" seru Sekar
cepat 'Tidak mungkin, Sekar. Kala Putih
pasti tidak akan menyerahkan begitu saja.
Dia pasti berusaha menguasai pedang ini
dengan cara apapun juga."
"Lawan saja, Yah," selak Wirya
polos. "Tidak mudah, Wirya. Kala Putih
bukan tandingan Ayah. Dia sangat sakti,
dan berkepandaian tinggi. Sedang Ayahmu ini... Hanya seorang pandai besi
yang tidak begitu pandai ilmu olah
kanuragan."
'Terus, bagaimana kalau Kala Putih
datang?" tanya Sekar mengerti kesulitan
yang dihadapi ayahnya.
"Kita lari saja, Ayah!" timpal Wirya
lagi sementara Sekar manggut-manggut
seperti menyetujui.
"Lari ke mana" Di sinilah tumpah
darahku. Dan lagi, perbuatan itu tidak
menunjukkan sifat ksatria. Melarikan
barang orang lain, sama saja mencuri Apa
pun alasannya!" tegas Ki Bangka Putung.
Belum juga kedua anak Ki Bangka
Putung menga-jukan saran lagi, terdengar
derap langkah kaki kuda dari kejauhan.
Ki Bangka Putung langsung berpaling,
menoleh diikuti Sekar dan Wirya yang
langsung berlindung di balik kaki
kakaknya. Hanya kepalanya saja yang
menyembul mengintip. Tampak di kejauhan, debu jalanan mengepul. Kemudian, terlihat lima ekor kuda
berpacu kencang menuju pondok ini.
"Kala Putih...," desis Ki Bangka
Putung langsung mengenali.
Mendadak saja kegelisahan merambat dalam hati laki-laki setengah
baya ini. Ditariknya tangan Sekar, dan
diajaknya keluar dari pondok. Dan kini
tiga orang itu berlarian masuk ke dalam
hutan yang ada di bagian belakang
pondok. Tapi, rupanya Kala Putih sudah
melihat lebih dahulu. Maka, tiba-tiba saja
tangan kanannya dihentakkan. Dan
seketika itu Juga, secercah sinar merah
meluncur deras ke arah Ki Bangka
Putung dan kedua anaknya.
Slap! Glarrr...! Ki Bangka Putung tersentak kaget
begitu tiba-tiba batu yang ada di
depannya meledak, dan hancur berkeping-keping tersambar sinar merah
yang dilepaskan Kala Putih. Ki Bangka
Putung menarik tangan Sekar yang tidak
lepas memegangi tangan kiri adiknya.
Saat itu, Kala Putih sudah melompat
turun dari punggung kudanya, diikuti
empat orang lainnya. Dalam sekejap saja,
mereka sudah berdiri sekitar dua batang
tombak lagi di depan Ki Bangka Putung
dan kedua anaknya
"Mau lari ke mana kau, Ki Bangka
Putung...?" desis Kala Putih, dingin dan
menggeletar. "Phuih!"
Ki Bangka Putung menyemburkan ludahnya dengan sengit
"Serahkan pedang itu padaku, Ki
Bangka Putung!" dengus Kala Putih
seraya menjulurkan tangan kanannya.
"Tidak...!" sentak Ki Bangka Putung
tegas. "Kau sudah kubayar mahal, Ki
Bangka Putung. Serahkan pedang itu,
cepat..!" "Nih! Kukembalikan uangmu!"
Ki Bangka Putung melemparkan
sekantung uang emas ke depan kaki Kala
Putih. Seketika laki-laki tua berbaju serba
putih itu jadi berang setengah mati.
Wajahnya merah padam, dan kedua bola
matanya berputar merah menyala. Rahang Kala Putih bergemeletuk menahan amarah. Ki Bangka Putung yang
menyadari tidak akan unggul menghadapi
Kala Putih, segera menyerahkan pedang
itu pada Sekar.
"Selamatkan pedang ini, Sekar.
Pertahankan, jangan sampai jatuh ke
tangan orang jahat," pesan Ki Bangka
Putung. 'Tapi, Ayah...," Sekar ragu-ragu
menerima sen jata itu.
"Cepat lari...!" sentak Ki Bangka
Putung. Sekar menerima pedang dari tangan
ayahnya. Sebentar ayahnya dipandangi,
kemudian ditariknya tangan Wirya untuk
diajak lari dari tempat ini Sementara itu
Kala Putih sudah membuka jurus, hendak
menyerang si Pandai Besi. Sementara
orang yang berada di belakangnya, sudah
meloloskan senjata masing-masing.
"Cepat pergi, jangan hiraukan
aku...!" seru Ki Bangka Putung melihat
Sekar kembali berhenti berlari.
Melihat Sekar berlari semakin jauh
membawa pedang pesanannya, Kala Putih
jadi semakin gusar. Terlebih lagi, gadis itu
menuju hutan yang cukup lebat Dan ini
bisa menyulitkannya untuk mengejar
nanti. "Kalian hadapi manusia keparat
ini," perintah Kala Putih.
"Baik, Ki," sahut keempat orang itu
hampir bersamaan.
"Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Kala Putih melompat cepat mengejar Sekar dan
Wirya yang sudah hampir mencapai hutan. Tubuhnya melewati di atas kepala Ki
Bangka Putung. Menyadari tujuan Kala
Putih bukan pada dirinya, Ki Bangka
Putung jadi nekat.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ki Bangka Putung
melompat ke udara, mencoba menghalangi Kala Putih sambil melepaskan dua pukulan sekaligus secara
beruntun. Tapi tanpa diduga sama sekali,
Kala Putih berhasil mengelakkan dengan
meliukkan tubuhnya. Dan kembali melenting cepat, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh begitu kakinya menjejak tanah.
"Hiyaaat...!"
Ki Bangka
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putung hendak mengejar. Tapi belum juga sempat
menggenjot tubuhnya, empat orang yang
mendampingi Kala Putih sudah berlompatan mengepung. Mereka langsung menyerang laki-laki setengah
baya itu dengan jurus-jurus cepat. Ki
Bangka Putung terpaksa berjumpalitan,
menghindari serangan-serangan
yang begitu cepat dan datang dari empat
penjuru. *** Ki Bangka Putung memang bukan
seorang tokoh silat yang digdaya. Dia dulu
hanya seorang Empu Pembuat Senjata
Pusaka. Dan hanya sedikit memiliki ilmu
olah kanuragan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, laki-laki itu sudah
tidak mampu lagi menerima gempuran
empat orang yang memang hidup
bergelimang dari cara kekerasan seperti
ini. Satu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, menggedor dada. Akibatnya, Ki
Bangka Putung terjungkal keras mencium
tanah. Dan belum lagi sempat bangkit
berdiri, satu tendangan keras kembali
bersarang di tubuhnya. Ki Bangka Putung
meraung keras. Lagi, satu tendangan
membuat laki-laki setengah baya itu
terguling sejauh dua batang tombak.
Ki Bangka Putung mencoba bangkit
berdirl Tapi belum juga berdiri sempuma,
seuntai rantai besi menghentak dan
melilit tubuhnya. Kemudian, disusul
sabetan sebilah golok besar yang menghantam punggungnya. Ki Bangka
Putung memekik keras begitu punggungnya sobek terbabat golok.
Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kembali
tendangan menggeledek mendarat di
dadanya. "Aaakh...!"
"Ayah...!"
jerit Sekar begitu mendengar teriakan ayahnya.
Sekar menghentikan larinya. Hatinya begitu cemas melihat ayahnya
tampak tak berdaya menghadapi empat
orang bersenjata itu.
"Lari, Sekar! Cepaaat...!" teriak Ki
Bangka Putung sekeras-kerasnya.
Pada saat itu, sebuah golok
berukuran besar kembali melayang membabat ke arah dada Ki Bangka Putung yang sudah tidak memiliki daya
sama sekali. Dan tentu saja tebasan golok
itu tak dapat dihindari lagi.
Bet! Crab! "Aaa...!" Ki Bangka Putung menjerit
keras melengking tinggi.
Darah langsung mengucur deras
dari dada yang terbelah cukup besar itu.
Dan selagi tubuh Ki Bangka Putung
terhuyung-huyung, satu sabetan pedang
kembali membabat lehernya. Kali ini tak
ada suara sedikit pun yang terdengar. Ki
Bangka Putung berdiri kaku dengan mata
terbeliak lebar. Sesaat kemudian tubuhnya menggelepar jatuh. Dan kepala lakilaki
setengah baya itu langsung menggelinding terpisah dari leher.
"Ayah...!" jerit Sekar jadi kalap.
Tapi belum juga gadis itu berbuat
sesuatu, tiba-tiba saja sebuah bayangan
putih berkelebat cepat menyambar tubuhnya. Sekar terpekik keras agak
tertahan, dan kontan terpental jauh ke
belakang. Seketika punggungnya menghantam pohon keras sekali. Maka,
pegangannya pada tangan Wirya pun jadi
teriepas. "Kak...!" jerit Wirya.
Sekar cepat cepat menggelimpangkan
tubuhnya, begitu melihat bayangan putih kembali meluruk
deras ke arahnya. Gadis itu cepat
melompat bangkit berdiri. Pada saat yang
bersamaan, empat orang yang tadi
bertarung melawan Ki Bangka Putung
sudah sampai di tempat ini. Salah
seorang yang membawa golok besar
segera mencengkeram tengkuk Wirya, dan
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kak...!"
jerit Wirya diiringi tangisnya yang menggiris.
Sekar tidak sempat lagi memperhatikan rengekan adiknya, karena
sudah sibuk menghadapi serangan-
serangan gencar yang dilancarkan Kala
Putih. Untung saja dia memiliki sedikit
ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam
beberapa jurus, orang tua berbaju putih
itu masih mampu diimbangi.
"Setan alas...!" geram Kala Putih
berang. Beberapa kali Kala Putih melontarkan pukulan cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Tapi, Sekar masih mampu
menghindarinya.
Meskipun harus pontang-panting
dan jatuh bangun menghadapi serangan-serangan itu.
Entah kenapa, gerakan-gerakan
yang dilakukan Sekar jadi begitu cepat
dan lincah sekali. Hal ini membuat Kala
Purih semakin berang setengah mati. Tak
satu pun dari serangan-serangannya yang
mengenai sasaran. Sementara, Sekar
sendiri tidak mengerti, kenapa bisa
menandingi Kala Putih sampai lima jurus.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Sekar melentingkan
tubuhnya ke udara. Dan tubuhnya
langsung melesat pergi cepat sekali,
seperti tidak ingat lagi pada Wirya yang
berada di dalam cengkeraman salah
seorang anak buah Kala Putih. Begitu
cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap
saja gadis itu sudah lenyap tertelan
lebatnya hutan.
"Setan! Kejar gadis itu...!" perintah
Kala Putih geram.
*** Kala Putih jadi celingukan di dalam
hutan. Gadis yang dikejarnya benar-benar
lenyap di dalam hutan yang cukup lebat
ini. Tiga orang yang mengejarnya lebih
dulu, juga jadi kebingungan. Sekar bagai
lenyap tertelan bumi di dalam kelebatan
hutan ini. Kala Putih menggereng berang,
menghentak-hentakkan kakinya dengan
kesal. Matanya kini menatap tajam pada
Wirya yang berada di dalam cengkeraman
salah seorang yang menyandang golok
besar di punggung.
"Setan belang...!" rungut Kala Putih
kesal. "Cari gadis itu sampai dapat!"
Kala Putih segera mengerahkan
ilmu pembeda gerak dan suara. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan,
mencoba mencari tempat persembunyian
Sekar. Tapi Kala Putih jadi kecewa,
karena tidak mendengar suara apa pun
yang mencurigakan. Sekar benar-benar
lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ke mana gadis itu...?" Kala Putih
jadi bergumam, bertanya pada diri
sendiri. Seorang yang memegang rantai besi
yang ujungnya berbandul bola besi
berduri, .tergopoh-gopoh
datang menghampiri. Kemudian, disusul dua
orang berwajah angker yang masingmasing menggenggam sepasang senjata
tombak pendek bermata tiga dan sebuah
pedang hitam berukuran panjang. Mereka
kini telah berdiri di depan Kala Putih.
"Kenapa tidak langsung kalian kejar
tadi...?" dengus Kala Putih kesal.
"Maaf, Ki. Gadis itu tiba-tiba lenyap
di sini," jelas seorang yang memegang
rantai baja berbandul bola besi berduri.
"Kau, Caraka! Cari gadis itu sampai
dapat!" perintah Kala Putih sambil
menunjuk orang yang memegang golok
'Tapi anak ini, Ki...," kata Caraka
yang masih memanggul Wirya di pundaknya. Kala Putih memandangi Wirya yang
sudah terkulai lemas, akibat tertotok pada
pusat jalan darahnya. Dihampirinya anak
kecil berusia sepuluh tahun itu. Tangannya menjambak rambut yang hitam
bergelombang,
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mengangkatnya. Hingga, kepala Wirya terdongak ke atas.
Kelopak mata anak itu terpejam rapat,
seperti tidur. "Ki.... Bukankah anak ini bisa
digunakan...?" kata Caraka agak raguragu.
"Hm...,"
Kala Putih hanya menggumam periahan.
Pandangannya beredar ke sekeliling
dengan mengerahkan ilmu pembeda gerak
dan suara. Kala Putih jadi penasaran,
karena gadis yang membawa pusaka
pesanannya itu lenyap begitu saja. Dia
tadi juga hampir tidak percaya kalau
gadis yang kelihatannya begitu lemah
ternyata mampu menandinginya sampai
lima jurus, sebelum kabur dan menghilang di dalam hutan ini.
"Kalian terus cari gadis itu!"
perintah Kala Putih.
Setelah memberi perintah, Kala
Putih menyambar Wirya yang berada di
pundak Caraka. Kemudian kakinya terus
melangkah cepat meninggalkan hutan ini
Sementara empat orang itu hanya sating
pandang saja. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, sampai
Kala Putih tak terlihat lagi ditelan
lebatnya pepohonan di dalam hutan ini.
"Ayo, cari lagi," ajak Caraka.
*** "Keparat...!
Kurang ajar kau, Bangka Putung!" Kala Putih menggerutu
habis-habisaa Sudah dua hari ini Kala Putih dan
empat orang anak buahnya menjelajahi
hutan ini. Tapi putri Ki Bangka Putung
yang kabur membawa pedang pesanannya
tidak juga ditemukan. Hatinya tidak bisa
tenang sebelum pedang itu berada di
tangannya. Entah, apa yang akan
dilakukan jika Sekar sampai diketemukan. Tak ada yang bisa membayangkan, melihat kemarahan lakilaki tua berbaju putih ini.
"Sudah sore. Sebaiknya kita lanjutkan saja besok, Ki," ujar Caraka
mengingatkaa Saat ini, hari memang sudah
menjelang senja. Matahari sudah sejak
tadi bergulir ke sebelah Barat. Bahkan
sebagian hutan ini sudah mulai gelap,
tidak lagi mendapat cahaya matahari.
'Tidak! Biar kiamat sekalipun, gadis
itu harus tetap dicari!" bentak Kala Putih
berang. "Tapi, KI..," Caraka mau menyanggah. Tubuhnya sudah lelah
mencari Sekar yang tidak juga kunjung
ditemukan. "Kalau anak setan itu tidak juga
ditemukan, lehermu yang jadi penggantinya!" ancam Kala Putih tidak
main-main. Caraka menelan ludahnya yang
mendadak terasa pahit Dia tidak berani
lagi membantah. Sedangkan tiga orang
lainnya hanya bisa menundukkan kepala.
Mereka tahu benar, kalau sudah marah
begini. Kala Putih tidak bisa lagi diajak
damai. Apa yang diperintahkan, harus
segera dilaksanakan.
"Kalian tahu, pedang itu sangat
berarti bagiku. Dengan pedang itu,
seluruh rimba persilatan bisa kukuasai.
Dan kalian juga akan menikmati hasilnya.
Mengerti..."!" agak keras suara Kala Putih.
Serentak mereka menganggukkan
kepala. "Susah payah aku mendapatkan
Batu Kawa Hijau. Kini setelah jadi
pedang, hilang begitu saja. Huh! Sampai
kapanpun, aku harus mencari dan
mendapatkannya. Pedang itu tidak boleh
jatuh ke tangan orang lain, selain aku...!"
agak bergetar suara Kala Putih terdengarnya. Empat orang itu hanya diam saja.
"Kalian tahu, bagaimana aku mendapatkannya, bukan...?"
Mereka kembali menganggukkan
kepala bersamaan. Mereka memang tahu
persis, bagaimana Kala Putih bertarung
menyabung nyawa melawan pertapa tua
pemilik Batu Kawa Hijau di Gunung
Anjar. Dengan kelicikan, akhirnya Kala
Putih dapat membunuh pertapa itu dan
memperoleh Batu Kawa Hijau yang
mengandung daya kekuatan gaib luar
biasa. Kini setelah batu itu dilebur jadi
sebuah pedang, dilarikan seorang gadis
anak pembuat pedang. Dan yang pasti
Kala Putih tidak bisa menerimanya begitu
saja. Dengan cara apa pun, pedang yang
kelak akan menggegerkan dunia persilatan harus didapatkannya kembali.
"Caraka, ambil kuda. Kita lacak
setiap jengkal daerah ini!" perintah Kala
Putih. "Segera, Ki," sahut Caraka.
Bergegas Caraka melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Kala
Putih memerintahkan yang lain untuk
kembali memeriksa tempat di sekitarnya.
*** 3 Benarkah Sekar menghilang begitu
saja dari hutan ini..."
Sekar yang mengetahui betul seluk
beluk daerah hutan ini, bisa saja
menghilang begitu saja tanpa diketahui.
Dan sebenarnya, gadis itu masuk ke
dalam sebuah gua yang mulutnya
tersembunyi di balik semak belukar, tidak
jauh dari tempat Kala Putih dan empat
orang anak buahnya mencarl
Sekar merambat di lorong batu yang
sempit, dan terus merayap tanpa
mengenal lelah. Hingga dia tiba di suatu
rongga yang cukup lebar dan besar, yang
merupakan gua panjang berlorong penuh
kelokan. Sampai di situ, Sekar baru bisa
beristirahat melepas lelah.
"Hhh.... Ke mana lagi aku harus
pergi...?" desah Sekar perlahan.
Sekar memeluk pedang buatan
terakhir ayahnya. Sebentar kemudian
dipandanginya pedang itu. Kembali terbayang peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tidak tahu lagi, bagaimana nasib adiknya sekarang.
Sedangkan ayahnya sudah tewas di
tangan empat orang anak buah Kala
Putih. Sekar jadi teringat ketika siang itu,
sehari setelah ayahnya selesai bersemadi,
mereka berjalan-jalan di sepanjang tepian
danau. Seperti sudah mendapat firasat,
Wirya berbicara yang tidak pernah
dipikirkan sebelumnya. Dan Sekar tidak
menanggapinya sungguh-sungguh.
Omongan adiknya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Ternyata, semua
yang dikatakan Wirya, sekarang menjadi
kenyataan. "Kak... apa Kala Putih nanti akan
merebut pedang yang dibuat ayah...?"
tanya Wirya waktu itu.
"Bisa jadi," sahut Sekar.
"Kalau begitu, nanti kita ke mana,
Kak?" tanya Wirya lagi
"Ya, di sini.... Memangnya, mau ke
mana?" "Wirya merasa seperti akan terjadi
sesuatu, Kak," jelas Wirya pelan.
"Jangan bicara macam-macam, ah!"
sentak Sekar menganggap adiknya hanya
bercanda. "Semalam Wirya mimpi, Kak. Rumah kita terbakar, dan kita semua
berada di dalam lorong yang panjang dan
bercabang. Masing-masing mencari jalan
keluar. Tapi, ayah terperosok jauh ke
dalam lubang. Kak Sekar sendiri tidak
menolong, dan aku seperti terkurung.
Hanya bisa melihat saja," jelas Wirya lagi,
menceritakan mimpinya semalam.
"Mimpi itu hanya bunga tidur,
Wirya. Tidak pernah menjadi kenyataan,"
hibur Sekar. "Tapi, Kak..."
"Sudahlah.... Kau lelah?" Sekar
tidak mau mendengar lagi.
'Tidak. Hanya lapar," sahut Wirya.
"Nanti. Kalau jebakan kita penuh
ikan, kau akan kumasakkan yang lezat.
Mau...?" Wirya tersenyum lebar
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mengangguk Bocah itu memang paling
suka makan ikan yang dimasak kakaknya. Karena, selalu saja terasa
nikmat dan mengundang selera. Bukan
hanya Wirya, tapi juga ayah mereka
begitu menyukai masakan Sekar, sepertinya, apa saja yang diolah gadis ini selalu
sedap dinikmati.
Sekar menghembuskan napas panjang. Hatinya menyesal, tidak memperhatikan sungguh-sungguh katakata Wirya. Kalau saja mimpi adiknya
diceritakan pada ayahnya, mungkin hal
ini tidak akan terjadi. Dan sekarang
sudah terlambat Mereka sudah terpisah
satu sama lain. Penyesalan memang tidak
datang lebih dahulu. Dan Sekar menyadari, tidak mungkin menyesali
semua yang telah terjadi.
"Aku harus keluar dari gua ini.
Sewaktu-waktu mereka bisa saja menemukan aku di sini. Hhh.... Mudahmudahan saja tidak terjadi sesuatu pada
Wirya," desah Sekar agak menggumam.
Gadis itu bangkit berdiri dan
kembali melangkah menyusuri lorong gua
yang panjang dan berliku ini. Dia memang
sudah tahu gua ini, tapi tidak pernah
masuk sampai sejauh itu. Sekar terus
berjalan mengikuti ahir lorong gua yang
cukup gelap, sehingga sulit melihat jauh.
"Ada sinar...," desis Sekar.
Jauh di depannya, Sekar melihat
seberkas sinar yang kelap-kelip seperti
dari sebuah pelita. Gadis itu mempercepat
ayunan kakinya. Tidak dipedulikan lagi
tubuhnya yang beberapa kali hampir
terguling, terantuk batu yang banyak
bertebaran di sepanjang lorong gua ini.
Dan tampaknya, cahaya itu berada di
ujung mulut gua di depannya.
Mendadak Sekar menghentikan ayunan kakinya, begitu tahu kalau
cahaya itu berasal dari nyala api. Dan
dekat api itu, duduk seorang laki-laki
muda berumur sekitar dua puluh lima
tahun. Bajunya kulit harimau. Dia duduk
membelakangi Sekar yang muncul dari
dalam mulut gua yang cukup besar ini.
Trekkk! "Oh..."!"
Sekar terkejut, dan menutup mulutnya ketika menginjak sebatang
ranting kering. Suara ranting patah,
membuat pemuda berbaju kulit harimau
itu berpaling. Tampaknya, dia juga
terkejut melihat ada seorang gadis berdiri
di depan mulut gua di belakangnya.
Perlahan tubuhnya diputar. Sedangkan
Sekar masih tetap berdiri saja sambil
menggenggam gagang pedangnya erat-erat
Srettt! "Eh! Sabar.... Masukkan senjatamu," bujuk pemuda itu begitu
melihat Sekar mencabut pedangnya.
"Kau pasti orang suruhan Kala
Putih. Kalau kau akan merebut pedang
ini, langkahi dulu nyawaku!" sentak Sekar
garang. "Aku..." Ha ha ha...!"
Entah kenapa, pemuda berbaju
kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Sekar hanya memandangi saja
dengan sinar mata tajam. Diperhatikannya
wajah tampan di depannya. Gadis itu juga jadi ragu-ragu,
karena sinar mata pemuda itu menampakkan kejujuran, dan tidak
seperti orang-orangnya Kala Putih.
Perlahan Sekar memasukkan kembali pedang yang memancarkan
cahaya kehijauan itu ke dalam warangka.
Sekejap saja, sinar kehijauan itu menghilang dari pandangan.
"Siapa kau?" tanya Sekar tetap
dingin dan tajam suaranya.
Sikap gadis itu masih belum bisa
mempercayai pemuda ini. Sedangkan
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
tersenyum saja, dan kembali duduk di
tempatnya semula.
"Aku Bayu. Dan kau sendiri
siapa...?" pemuda itu memperkenalkan
diri, sambil balik bertanya.
"Sekar."
"Kenapa malam-malam begini ada
di tengah hutan?" tanya pemuda yang
ternyata memang Bayu, yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Seharusnya, aku yang bertanya
begitu padamu!" dengus Sekar agak
ketus. "Oh..."!" Bayu mengangkat alisnya.
Pendekar Pulau Neraka mengambil
sekerat daging bakar yang berada di atas
api, kemudian menyodorkan pada gadis
ini. Sejenak Sekar hanya memandanginya
saja. Perutnya memang terasa lapar, tapi
tidak mau sembarangan menerima uluran
tangan orang yang tidak dikenalnya sama
sekali. "Kau tentu lapar. Ayo, kita makan
sama-sama," Bayu menawarkan dengan
sopan. Sekar masih saja diam memandangi
Bayu mengangkat bahunya sedikit, lalu
menggigit keratan daging itu. Dia
mengunyah perlahan-lahan, membuat
Sekar terpaksa harus menelan ludahnya.
"Kalau mau, ambil saja sendiri. Aku
rasa, cukup untuk dimakan berdua," kata
Bayu lagi. Perlahan Sekar melangkah menghampiri. Gadis itu berjalan memutar, dan berdiri di seberang
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, dia
duduk di dekat api yang membuat dirinya
terasa sedikit hangat Periahan dan raguragu
sedikit tangannya dijulurkan, mengambil sekerat daging bakar. Lalu,
digigitnya sedikit. Cukup lezat juga.
Apalagi, dalam keadaan perut kosong
begini. Sejak siang tadi, perutnya memang
belum terisi apa-apa. Mereka kini makan
tanpa bicara apa pun juga.
*** "Kau tidak tidur...?" tegur Bayu
seraya melirik gadis itu.
Sekar hanya menggelengkan kepala
saja, dan tetap duduk bersandar pada
sebatang pohon yang cukup besar
melindungi dirinya dari dinginnya terpaan
angin malam. Bayu kemudian duduk, dan
menggeser mendekati gadis itu. Sekar
langsung menggenggam tangkai pedangnya. Namun, Bayu hanya tersenyum saja melihat sikap Sekar yang
masih juga ketakutan.
"Sepertinya, kau sedang mengalami
kesulitan," tebak Bayu diiringi senyum di
bibimya. Sekar hanya diam saja. Kepalanya
diangkat sedikit langsung menatap tajam
wajah pemuda berbaju kulit harimau ini.
Meskipun sikap Bayu baik dan lembut,
tapi gadis itu masih belum bisa percaya
penuh. Terngiang kembali kata-kata
terakhir ayahnya. Pedang itu harus dijaga
dan dipertahankan, jangan sampai jatuh
ke tangan orang berwatak jahat Dan
Sekar sudah bertekad mempertahankannya sampai tetes darah
yang terakhir. "Dari sorot matamu, aku tahu kau
menyimpan persoalan yang berat. Dan
kau memerlukan seseorang yang bisa
diajak bicara. Mungkin bisa kubantu...?"
kata Bayu lagi, lebih lembut suaranya.
"Hhh...!"
Sekar hanya menghembuskan napas panjang saja.
"Baiklah. Mungkin kau masih
belum percaya padaku. Asal tahu saja
aku tidak mengerti ketika kau tiba-tiba
mencabut pedang ingin menyerangku.
Bahkan menganggap aku ini orangnya
Kala Putih. Aku tidak tahu, siapa orang
yang kau sebutkan itu. Juga, tentang
pedang yang kau bawa," jelas Bayu,
berterus terang.
"Kau benar-benar bukan orang
suruhan Kala Putih...?" tanya Sekar,
seakan-akan ingin meyakinkan diri.
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Bagaimana aku bisa percaya
padamu?" tanya Sekar lagi seperti untuk
diri sendiri. "Apakah aku seperti orang jahat..?"
Sekar hanya diam saja. Memang
diakui, pemuda ini sedikit pun tidak
memiliki tanda-tanda sebagai orang jahat.
Wajahnya terlalu tampan untuk menjadi
penjahat. Dengan tubuh tegap, wajah
tampan, dan kulit putih, pemuda ini lebih
pantes bila disebut putra bangsawan.
Bahkan kalau bisa anak saudagar kaya.
Tapi pakaian
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dikenakannya menunjukkan kalau Bayu seorang pengembara. Atau bisa dikatakan juga,
orang dari kalangan persilatan.
"Kalau tidak salah, kau tadi
menyebut tentang pusaka. Apa kau kenal
seorang Empu Pembuat Pusaka yang
bernama Ki Bangka Putung...?" tanya
Bayu. Sekar terperanjat bukan main
begitu mendengar nama ayahnya disebut.
Tatapan matanya semakin tajam, merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka.
Jari-jari tangannya semakin erat menggenggam tangkai pedang yang tergenggam di tangan kirinya.
"Kau terkejut..." Apa kau kenal Ki
Bangka Putung...?" tanya Bayu.
"Dari mana kau tahu nama itu?"
Sekar malah balik bertanya. Suaranya
terdengar dingin dan begitu tajam.
"Aku pernah lewat di Gunung Anjar.
Di sana, aku menemukan seorang tua
terluka parah. Dia hanya menyebutkan
satu nama padaku sebelum meninggal,
dan hanya sedikit pesan saja," jelas Bayu.
"Hanya nama Ki Bangka Putung yang
disebutkannya."
"Pertapa Gunung Anjar...," desis
Sekar tanpa sa-dar.
"Kau juga kenal orang tua itu...?"
"Ohhh...," Sekar mendesah panjang
"Kapan dia meninggal?"
"Lama juga. Kira-kira, tiga purnama. Atau mungkin lebih," sahut
Bayu. "Apa yang dikatakannya padamu?"
kejar Sekar, malah balik menanyai
pemuda.ini. "Tidak banyak. Aku diminta olehnya
agar menemui seseorang yang bernama Ki
Bangka Putung, dan supaya aku menyampaikan suatu pesannya," sahut
Bayu . "Apa pesannya?"
Sekar terus mengejar, semakim ingin tahu.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa
mengatakannya padamu. Pesan itu harus
kusampaikan pada Ki Bangka Putung
sendiri," elak Bayu.
Sekar jadi terdiam termenung.
Sudah bisa diduga, benda bercahaya
kehijauan yang kini telah menjadi pedang
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa
Gunung Anjar. Dia kenal pertapa tua itu.
Karena, sudah beberapa kali pergi ke sana
bersama ayahnya. Bahkan setiap kali
pertapa tua itu turun gunung, selalu
datang ke pondok mereka. Dan biasanya,
selalu menginap sampai dua atau tiga
hari. Tapi kenapa ayahnya tidak tahu
kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau
milik Pertapa Gunung Anjar" Pertanyaan
inilah yang sekarang berada di kepala
Sekar. Dan gadis itu juga belum yakin
dengan dugaannya, kalau Batu Kawa
Hijau yang menjadi pangkal dari malapetaka adalah penyebabnya. Kalau
sampai ayahnya sendiri tidak tahu
tentang batu itu, bagaimana mungkin
bisa berada di tangan Kala Putih"
"Sudah larut malam. Sebaiknya,
kau tidur saja. Aku juga harus
meneruskan perjalanan besok, mencari
tempat tinggal Ki Bangka Putung," jelas
Bayu. "Kau tahu tempat tinggalnya?"
tanya Sekar bernada memancing.
"Belum. Tapi aku yakin bisa
menemukannya. Yaaah.... Meskipun sudah tiga purnama lebih aku mencari,
tapi aku yakin bisa bertemu dengannya.
Seorang Empu pasti banyak dikenal
orang," tegas Bayu, yakin.
"Kau tidak akan bisa bertemu
dengannya," kata Sekar agak lirih
suaranya. "Heh..."! Apa maksudmu...?" Bayu
jadi tersentak kaget, tidak mengerti.
"Beliau sudah tewas," jelas Sekar
dengan suara pelan, hampir tidak
terdengar. "Kau jangan main-main, Sekar,"
Bayu tidak percaya.
"Empu Bangka Putung adalah
ayahku." "Apa..."! Kau...?" suara Bayu jadi
tercekat di tenggorokan.
Tanpa diminta lagi. Sekar menceritakan semua musibah yang
menimpa keluarganya, sampai ayahnya
tewas berada di tangan Kala Putih.
Sementara Bayu mendengarkan penuh
perhatian. Sungguh tidak disangka kalau
akan bertemu putri Ki Bangka Putung
dalam keadaan seperti ini. Bahkan tidak
bisa lagi bertemu Empu Pembuat Pusaka
itu untuk menyampaikan pesannya.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, ayah
membuat pedang ini," jelas Sekar sambil
menunjuk pedangnya.
Bayu hanya terdiam saja memandangi pedang yang berada di
dalam genggaman gadis ini. Entah, apa
yang ada di dalam kepalanya saat itu.
Tampaknya, Pendekar Pulau Neraka
begitu kecewa, karena tidak bisa melaksanakan amanat orang tua yang
menjelang ajal. Untuk beberapa saat,
mereka jadi terdiam membisu.
"Sebaiknya kau tidur saja, Sekar.
Biar aku yang jaga malam ini," ujar Bayu.
"Kau tidak ingin memiliki pedang
ini...?" tanya Sekar, masih bernada
memancing. 'Pedang itu milikmu, Sekar," sahut
Bayu diiringi senyuman.
'Terima kasih," ucap Sekar, yang
bisa merasa lega sekarang
"Tidurlah."
Sekar sudah merasa tenang sekarang Dia yakin, pemuda ini memang
tidak tahu apa-apa. Bahkan bukan orang
suruhan Kala Putih yang begitu menginginkan pedang pusaka terakhir
ayahnya, seperti dugaannya semula.
Sekar merebahkan tubuhnya, dan mulai
memejamkan mata. Badannya memang
terasa lelah dan mengantuk sekali.
Sebentar saja gadis itu sudah mendekati
api, dan duduk bersila di sana. Malam
pun terasa begitu dingin. Bayu mencoba
bersemadi, dan menghangatkan tubuhnya
dengan menyalurkan hawa mumi ke
seluruh tubuh. *** "Ke mana tujuanmu sekarang?"
tanya Bayu melihat Sekar tampaknya
sudah siap melakukan perjalanan.
"Ke tempat tinggal Kala Putih,"
sahut Sekar. "Untuk apa ke sana?" tanya Bayu.
"Membebaskan adikku."
"Memangnya, ada apa dengan
adikmu...?" tanya Bayu agak terkejut.
Sekar memang belum menceritakan
tentang Wirya yang sekarang ini berada di
tangan Kala Putih. Dan mendapat
pertanyaan itu, segera diceritakannya tentang Wirya. Bayu mendengarkan penuh
perhatian. Sedikit pun tidak menyelak
sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya
Bayu setelah Sekar selesai dengan
ceritanya. 'Tidak jauh dari Gunung Anjar.
Tepatnya, di Lembah Kuning," sahut
Sekar menjelaskan.
Bayu mengerutkan keningnya. Pendekar Pulau Neraka tahu tempat yang
dimaksudkan Sekar. Sebuah tempat yang
sangat sulit dijangkau. Bahkan tidak ada
seorang pun yang sudi ke sana.
Memasuki lembah itu, sama saja mengantarkan nyawa sia-sia. Kecuali, memang ingin mati.
'Tunggu dulu, Sekar...!" cegah Bayu
begitu melihat Sekar sudah melangkah.
Sekar berhenti mengayunkan kakinya. Kepalanya berpaling, menatap
pemuda berbaju kulit harimau yang
sudah berada di sampingnya.
"Aku akan mengantarmu ke sana.
Tempat yang kau tuju sangat sulit dan
berbahaya. Bukannya tidak mustahil,
Kala Putih dan orang-orangnya sudah
menyebar untuk mencarimu," ujar Bayu.
" Terima kasih. Aku tidak meminta,"
ucap Sekar. "Aku menyediakan diri untuk
membantumu," tegas Bayu.
Sekar hanya tersenyum saja, dan
terus mengayunkan kakinya. Bayu mengikuti, mensejajarkan langkah di
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
samping gadis ini. Tapi baru saja mereka
berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja
semak yang berada di depan bergerakgerak. Bayu langsung menarik tangan
Sekar, hingga berada di belakang
tubuhnya. Srakkk! Tiba-tiba saja dari dalam semak itu
melesat sebuah bayangan hitam kecil.
Bayu sempat tersentak kaget, tapi
langsung diam begitu bayangan kecil itu
menerkamnya. Dan tahu-tahu, di pundak
kanan Pendekar Pulau Neraka sudah
duduk seekor monyet kecil berbulu hitam.
Binatang itu memeluk leher pemuda ini
erat-erat "Dari mana saja kau...?" dengus
Bayu seraya melepaskan pelukan monyet
ini. "Nguk!"
"Sekar, kenalkan, ini sahabatku.
Tiren namanya," Bayu memperkenalkan
monyet kecil itu pada Sekar.
Monyet kecil berbulu hitam itu
memonyongkan mulutnya, kemudian mencerecet ribut dan berjingkrak di
pundak Bayu. Sekar jadi tersenyumsenyum melihat tingkah binatang yang
lucu ini. "Ayo...?"
Mereka kembali berjalan tanpa
bicara. Sampai matahari berada di atas
kepala, mereka terus saja berjalan tanpa
beristirahat sedikit pun. Keringat bercampur debu melekat di seluruh
tubuh. Beberapa kali Bayu melirik wajah
Sekar yang sudah memerah dan berkeringat "Kau tidak letih, Sekar?" tanya
Bayu. "Sedikit," sahut Sekar.
'Tampaknya, kau tahu betul seluk
beluk hutan ini," tebak Bayu lagi
'Tidak begitu. Hanya saja, aku
sering bermain-main di sini. Dan ayah
juga sering mengajakku berburu di hutan
ini." Mereka berhenti melangkah ketika
di depan mereka menghadang sebuah
sungai yang berair sangat jernih. Begitu
beningnya, sehingga ikan-ikan yang
berenang ria di sungai ini terlihat jelas.
Sekar membasuh wajah dan tangannya di
air sungai itu. Bayu juga berbuat yang
sama. Mereka menyegarkan tubuh dengan air sungai yang bening bagai kaca
itu. "Hebat...pintar sekali dia," gumam
Sekar kagum. "Apanya yang hebat?" tanya Bayu.
"Itu...."
Bayu mengarahkan pandangan ke
arah yang ditunjuk Sekar. Bibirnya jadi
tersenyum melihat Tiren berlompatan di
air sungai yang cukup dangkal ini. Dan
kini di tangan monyet kecil itu sudah
tergenggam seekor ikan yang cukup
besar. Tiren, monyet kecil berbulu hitam
itu melemparkan ikan hasil tangkapannya
ke arah Bayu. Tangkas sekali Pendekar
Pulau Neraka menangkapnya, lalu melemparkan lagi ke belakang.
"Cukup, Tiren...!" seru Bayu setelah
Tiren mendapatkan lima ekor ikan.
"Nguk!"
Tiren berlompatan ke tepi melalui
batu yang banyak terdapat di sungai ini.
Tubuhnya digerak-gerakkan, membuat air
yang melekat di seluruh tubuhnya
menyiprat ke sana kemari. Sementara itu.
Sekar sudah menyiapkan ranting-ranring
kering, dan membuat api. Ikan-ikan
tangkapan Tiren dibakamya di atas api.
Bau harum cepat sekali menyebar
menyengat hidung, membuat perut jadi
berontak minta diisi.
Mereka kini tengah menikmati ikanikan itu. Sementara Tiren cukup senang
mendapat buah-buahan yang diperoleh
Bayu. Mereka makan sambil bercakapcakap. Keakraban mulai terjalin di antara
mereka. Ter-lebih lagi, Tiren cepat sekali
lengket pada orang yang disukainya.
"Sebenamya
ayah tidak sudi menuruti permintaan Kala Putih untuk
membuat senjata dari benda yang
dibawanya sendiri...," kata Sekar setelah
ikan-ikan bakar itu habis disantap.
"Apa ayahmu tidak tahu asal benda
yang dibawa Kala Putih?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Tapi, ayah
sepertinya tidak pernah menanyakan itu
pada Kala Putih. Ayah memang tidak
pernah bertanya tentang benda-benda
pembuat senjata pusaka yang dibawa
pemesannya," jelas Sekar.
"Tentunya, ayahmu punya alasan,
kenapa tidak ingin membuat senjata dari
benda itu," desak Bayu lagi.
"Katanya, benda itu memiliki kekuatan gaib yang dahsyat dan sangat
jahat Tapi..."
'Tapi kenapa, Sekar...?" desak Bayu.
"Aku menduga kalau benda itu
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa
Gunung Anjar," agak ragu-ragu suara
Sekar. "Kau bisa menduga begitu, tapi
kenapa ayahmu tidak bisa mengenalinya"
Bukankah antara ayahmu dan Pertapa
Gunung Anjar bersahabat baik?" tanya
Bayu lagi. "Antara ayah dan Pertapa Gunung
Anjar dekat. Tapi di antara mereka tidak
pernah saling mencampuri urusan masing-masing. Terlebih lagi, mengenai
keahlian masing-masing. Bahkan tidak
ada yang tahu tentang benda-benda yang
dimiliki. Jadi, mana mungkin ayah bisa
mengetahui kalau benda itu adalah Batu
Kawa Hijau," jelas Sekar tentang hubungan ayahnya dengan Pertapa
Gunung Anjar. "Dan kau sendiri bisa menduga
begitu. Pasti kau tahu tentang batu itu,
bukan...?" kejar Bayu.
"Pertapa Gunung Anjar pernah
cerita padaku tentang batu itu. Tapi, aku
tidak pernah melihat bentuknya."
"Memang sulit jika saling menyimpan rahasia," desah Bayu seraya
bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka kemudian
mengulurkan tangannya pada Tiren yang
berada di pangkuan Sekar.
"Biar dia bersamaku," pinta Sekar
seraya berdiri.
Monyet kecil itu duduk di pundak
gadis ini. Mereka kemudian melanjutkan
perjalanan tanpa berbicara lagi. Hanya
ada satu tujuan mereka. Ke tempat
tinggal Kala Putih untuk membebaskan
Wirya, adik kandung gadis ini.
"Apa ada desa terdekat di sekitar
sini, Sekar?" tanya Bayu.
"Ada," sahut Sekar. "Apa kita akan
bermalam di desa?"
"Rasanya, tidak aman kalau bermalam di desa manapun juga."
"Kenapa...?"
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja sebuah
pohon yang cukup besar bergerak
turnbang ke arah mereka, memperdengarkan
suara berderak mengejutkan. "Awas...!"
Bayu cepat melompat sambil menyambar pinggang Sekar. Hampir saja
pohon itu menimpa mereka. Untung saja
Bayu segera melompat menghindar. Pendekar Pulau Neraka cepat mengedarkan
pandangan berkeliling, dengan telinga
dipasang tajam-tajam.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Srakkk! Slap! *** 4 Dari balik semak dan pepohonan,
bermunculan sekitar sepuluh orang
bersenjata golok. Seorang di antara
mereka, bertubuh tinggi besar dan berotot
kekar. Dia menyandang sebilah golok
yang berukuran cukup besar. Sekar yang
mengenali orang itu langsung hendak
mencabut pedangnya. Tapi, Bayu keburu
menahan tangan gadis ini.
"Kau kenal mereka?" tanya Bayu
sedikit melirik pada gadis di sampingnya.
"Orang itu yang membunuh ayahku," sahut Sekar agak mendesis.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menatap
tajam laki-laki besar berotot kekar yang
menyandang golok berukuran besar itu.
Wajahnya begitu kasar, dipenuhi brewok
yang tak terurus. Dia berdiri paling depan
dari kesepuluh orang yang rata-rata
masih berusia muda. Sementara itu, Bayu
sudah menggeser kakinya ke depan dua
langkah, membelakangi Sekar seperti
hendak melin-dungi gadis ini.
"Siapa kalian...?" tanya Bayu,
meskipun sudah diberi tahu Sekar tadi.
"Jangan banyak tanya! Serahkan
gadis itu pada kami!" bentak orang
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersenjata gotok besar yang tak lain
adalah Caraka. "Kenapa kau meminta gadis ini?"
tanya Bayu lagi, berpura-pura tidak
mengerti. "Rupanya kau ingin jadi pahlawan,
Bocah...," desis Caraka sinis.
"Mungkin," sahut Bayu seenaknya.
"Setan...! Besar kepala juga kau
rupanya," geram Caraka jadi gusar.
Wukkk! Tiba-tiba saja Caraka mengebutkan
golok besarnya ke depan. Kebutan itu
demikian dahsyat, membuat Bayu agak
terkejut juga. Jelas sekali kalau golok itu
sangat berat Tapi di tangan Caraka,
bagaikan terbuat dari karet yang begitu
ringan. Pendekar Pulau Neraka . segera
menggeser kakinya sedikit ke kanan.
Diperhatikannya Caraka yang ringan
sekali memutar-mutar goloknya.
"Golok mainan anak-anak saja
dipamerkan di depanku," dengus Bayu
memanasi dengan sinis.
"Serang...! Bunuh bocah keparat
itu...!" perintah Caraka dengan suara
lantang menggelegar.
Seketika itu juga, sepuluh orang
yang berada di belakangnya segera
berlarian. Mereka langsung berlompatan
mendekati Bayu. Sejenak Pendekar Pulau
Neraka memperhatikan, kemudian melirik
sedikit pada Sekar yang juga rupanya
sudah bersiap menerima serangan.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Bayu melentingkan
tubuh ke udara, ketika sepuluh orang itu
sudah dekat. Cepat sekali tubuhnya
meluruk deras, melontarkan beberapa
pukulan keras, tanpa pengerahan tenaga
dalam. Hanya sekali gerak saja, terlihat tiga
orang ambruk ke tanah sambil menjerit
keras terkena pukulan yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka. Gerakan yang
dilakukan Bayu begitu cepat luar biasa,
sehingga sukar diikuti dengan pandangan
mata mereka. Baru beberapa gerakan
saja, sepuluh orang itu sudah jatuh
berpelantingan sambil memekik keras.
Meskipun pukulan-pukulan yang
dilepaskan Bayu tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi demikian
keras. Bahkan cukup membuat sepuluh
orang itu mengerang, merintih kesakitaa
Pendekar Pulau Neraka melenting ke
belakang, lalu ringan sekali kakinya
menjejak tanah. Bibirnya tersenyum
melihat sepuluh orang itu merintih,
bergelimpangan di tanah.
"Keparat..!" geram Caraka melihat
sepuluh orang anak buahnya bergelimpangan, hanya dalam beberapa
gebrakan saja. "Aku tidak akan menyakiti kalian.
Apalagi membunuh. Cepatlah pergi dari
sini, sebelum aku berubah pikiran!" desis
Bayu agak dingin suaranya.
"Sombong...!" dengus Caraka geram.
"Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Caraka melompat
cepat menerjang Bayu. Goloknya berkelebat dahsyat menimbulkan angin
menderu yang menyakitkan telinga.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka cepat cepat
melompat mundur dua tindak dan
langsung memiringkan tubuhnya ke kiri.
Tebasan golok berukuran besar itu
berhasil dihindarinya. Bayu agak terkejut
juga merasakan hempasan angin yang
begitu keras melanda tubuhnya. Bergegas
dia melompat ke samping, beberapa
langkah jauhnya.
Tapi Caraka sudah berhasil melakukan
serangan cepat Jurus-jurus yang dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi
besar ini begitu dahsyat. Setiap kebutan
goloknya, membuat Pendekar Pulau
Neraka jadi agak limbung. Maka segera
dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Bayu berlompatan sambil
meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari
setiap serangan yang datang.
Sambil menghindar, Bayu memperhabkan gerakan-gerakan yang
dilakukan lawannya ini. Setelah beberapa
jurus berlalu, baru Pendekar Pulau
Neraka melancarkan beberapa serangan
balasan. Dan begitu memasuki jurus
kedelapan, setiap gerakan yang dilakukan
Caraka setelah bisa dibacanya.
"Hait,.!"
Pendekar Pulau Neraka cepat
membungkukan tubuhnya, begitu golok
besar itu mengebut ke arah kepala.
Sebenarnya serangan bisa dielakkan
dengan hanya merundukkan kepala
sedikit Tapi Bayu malah membungkuk,
dan tiba-tiba saja tangan kirinya mengibas cepat sekali ke depan.
"Heh..."!"
Caraka terperanjat setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda
berbaju kulit harimau itu akan melakukan sodokan, di saat menghindari
serangannya. Cepat-cepat dia melompat
mundur. Dan sebenarnya inilah yang
ditunggu Bayu. Begitu Caraka menarik
jarak, cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka
menarik tubuhnya tegak kembali. Dan
tiba-tiba, dilayangkannya satu tendangan
keras yang sama sekali tidak diduga
Caraka. Begitu cepatnya tendangan yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga Caraka yang memang belum
siap tak dapat lagi menghindarinya. Telak
sekali telapak kaki Bayu menghantam
dada yang berbulu lebat itu.
Des! "Akh."!" Caraka memekik keras
agak tertahan. Di saat tubuh Caraka tengah
limbung terdorong ke belakang, Bayu
cepat melompat sambil melepaskan satu
pukulan keras, disertai pengerahan
tenaga dalam yang tidak penuh. Pukulannya demikian cepat dan keras
sekali. Akibatnya, Caraka benar-benar
tidak bisa lagi melakukan gerakan
menghindar. Diegkh! "Akh...!" untuk kedua kalinya
Caraka memekik keras.
Pukulan Bayu yang begitu keras,
membuat Caraka terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak. Keras sekali
tubuhnya yang kekar berotot itu terbanting ke tanah, dan bergelimpangan
beberapa kali. Tapi, Caraka cepat
melompat bangkit berdiri. Kedua kakinya
agak bergetar, seakan-akan tidak kuat
lagi menahan beban tubuhnya. Caraka
berusaha untuk bisa berdiri tegak,
meskipun masih agak limbung.
"Setan...! Phuih!" geram Caraka.
Sementara Bayu berdiri tegak dengan
kedua tangan terlipat di depan dada.
Matanya menatap tajam pada Caraka,
dan bibirnya menyunggingkan senyum
sinis. Sementara Caraka melakukan
beberapa gerakan, untuk mengusir rasa
sesak yang menghimpit dadanya. Tentu
saja akibat tendangan dan pukulan
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kalau masih penasaran, silakan
maju lagi," tantang Bayu.
"Phuih!"
Caraka hanya menyemburkan ludahnya saja. Sementara, matanya
melirik pada sepuluh orang anak buahnya
yang tampaknya sudah tidak mampu
bertarung lagi. Meskipun mereka sudah
bisa berdiri, tapi golok-golok mereka
sudah berpatahan, sehingga tak mungkin
dapat digunakan lagi. Menyadari kedudukannya tidak menguntungkan,
Caraka jadi berpikir dua kali untuk
menyerang pemuda berbaju kulit harimau
itu. "Kita akan bertemu lagi, Bocah!"
desis Caraka dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki
berbadan kekar berotot itu bergegas
melesat pergi. Sepuluh orang pengLkutnya segera berlarian mengikutinya. Sedangkan Bayu hanya
memandanginya saja. Tubuhnya baru
berputar, dan melangkah menghampiri
Sekar setelah mereka sudah tak terlihat
lagi. "Kenapa kau biarkan mereka kabur,
Kakang" Seharusnya kau bunuh mereka
semua," Sekar agaknya tidak senang atas
sikap Bayu yang membiarkan orang-orang
itu pergi. "Bukan mereka tujuanmu, Sekar,"
kilah Bayu kalem.
"Tapi.. orang itulah yang membunuh ayahku," bantah Sekar.
"Kau dendam...?"
"Aku akan membalas kematian
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayah!" tegas Sekar.
Bayu jadi ingat akan dirinya sendiri.
Dulu ketika baru keluar dari Pendekar
Pulau Neraka, dia juga mencari para
pembunuh orang tuanya. Saat itu, yang
ada di kepalanya hanya balas dendam!
Bahkan sampai sekarang pun, Pendekar
Pulau Neraka masih belum bisa melepaskan dendamnya. Jika berjumpa
orang yang membunuh ayahnya, api
dendamnya langsung berkobar menyala.
Dan orang itu tidak pernah diberi ampun
lagi. Mereka yang terlibat langsung, akan
terkapar bermandikan darah.
Dan Bayu tidak bisa menyalahkan
Sekar jika di hatinya tersimpan api
dendam. Dia juga tidak bisa melarang,
atau menasihati gadis ini. Padahal sudah
mulai disadarinya, kalau dendam tidak
akan bisa menyelesaikan segala persoalan. Dan terus akan berbuntut
panjang, sampai tak ada yang tersisa
hidup hingga anak turunannya.
*** Memang tidak mudah perjalanan
ini. Setiap saat mereka harus menghadapi
bahaya. Terutama, ancaman orang-orang
Kala Putih. Terlebih lagi, saat mereka
sudah berada di sekitar Gunung Anjar.
Bahkan bukan hanya Bayu saja yang
memeras keringat menghadapi mereka.
Sekar pun terpaksa berlaga, mempertahankan diri dari seranganserangan yang selalu muncul tiba-tiba
dari para pengjkut Kala Putih.
"Uhhh! Gila..!" lenguh Bayu seraya
menghempas-kan tubuh ke atas rerumputan di bawah pohon yang cukup
rindang. Mereka memang baru saja teriepas
dari sergapan para pengikut Kala Putih.
Sekar duduk di samping Pendekar Pulau
Neraka sambil menghembuskan napas
panjang. Disekanya keringat dengan
punggung tangan, di sekitar wajah dan
lehemya. Beberapa saat mereka terdiam,
sambil mengatur jalan pemapasan. Rasanya, dada ini seperti akan pecah.
Pagi ini, sudah dua kab mereka mendapat
serangan gencar dari orang-orang KalaPutih.
"Setan...!"
tiba-tiba Bayu mengumpat geram.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu menjawab, tiba-tiba saja
meluncur sebatang tombak berukuran
cukup panjang dari depan. Pendekar
Pulau Neraka langsung melompat Tangannya segera dikebutkan untuk
menangkap tombak itu tepat di bagian
tengahnya. Sekar juga bergegas bangkit
berdiri. Dihampirinya Pendekar Pulau
Neraka, dan berdiri di samping kanannya.
"Siapa pun kalian, keluar...!"
lantang suara Bayu.
Begitu teriakan Pendekar Pulau
Neraka hilang, dari balik pepohonan dan
semak belukar bermunculan empat orang
laki-laki bertubuh kekar. Wajah mereka
kasar dan kotor tak terawat Pakaian yang
dikenakan pun kotor. Bahkan sudah
mulai terlihat koyak di beberapa bagian
tubuhnya. "Hm...," Bayu menggumam kecil
memperhatikan empat orang yang kini
sudah berdiri sekitar satu tombak di
depannya. Tubuh dan keadaan mereka sudah
mirip jembel jalanan. Dan Bayu bisa
menduga, mereka bukan orang-orang
Kala Putih. Tapi dalam keadaan seperti
ini, tidak mudah menduga begitu saja.
Dan setiap orang-yang dijumpai, terlebih
lagi kemunculannya didahului satu
serangan gelap, membuat Pendekar Pulau
Neraka bersiap mempertahankan diri jika
diserang. "Siapa kalian?" tanya Bayu agak
Iunak suaranya terdengar.
"Jangan banyak tanya! Serahkan
semua hartamu!" bentak salah seorang,
kasar. "Harta..." Aku tidak punya harta,"
sahut Bayu agak berkerut keningnya.
"Bedebah! Kalau begitu, nyawamu
yang kuminta!"
"Heh..."!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak
kaget. Tapi belum juga lenyap dari
keterkejutannya, empat orang bertampang
kasar dan kotor itu sudah berlompatan
menyerang. Terpaksa Pendekar Pulau
Neraka berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilakukan cepat
dan tiba-tiba. Golok-golok di tangan
mereka berkelebatan, berdesingan di
sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Sekar sudah lebih
dahulu menghindar. Gadis itu hanya
memperhatikan saja. Sementara tangan
kanannya menggenggam erat tangkai
Meskipun tidak pedang-nya. mendapatkan lawan kali ini, tapi tetap
saja dia bersikap waspada.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melenfingkan
tubuh ke udara, lalu meluruk deras
sambil mengebutkan cepat tangannya
beberapa kali. Begitu cepat gerakannya,
sehjngga tubuh Pendekar Pulau Neraka
bagaikan lenyap. Dan yang terlihat kini
hanya bayangan kuning berkelebatan,
menyambar empat orang bertampang
kasar dan kotor itu.
Saat itu juga, terdengar jeritanjeritan panjang melengking yang saling
sambut Kemudian, disusul berpentalannya keempat orang itu. Tampak Bayu berdiri tegak di antara
mereka yang bergelimpangan di tanah.
Entah kapan terjadinya, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah merampas
golok-golok keempat orang itu.
"Aku muak melihat tampangtampang seperti kalian, huh...!" dengus
Bayu. Tangan Pendekar Pulau Neraka
sudah terangkat, hendak menyambitkan
golok-golok rampasannya kepada empat
orang yang masih tergeletak mengerang di
tanah. Tapi sebelum Bayu melaksanakan
niatnya, tiba-tiba saja Sekar berseru
nyaring. "Jangan, Kakang...!"
"Heh..."!"
Bayu berpaling menatap Sekar yang
melangkah cepat menghampirinya. Gadis
itu berhenti di samping Pendekar Pulau
Neraka. Dirampasnya golok yang berada
di tangan Bayu, dan dilemparkannya pada
empat orang yang sudah mulai bisa
bergerak bangkit. Keempat orang laki-laki
bertampang kasar dan kotor itu jadi
terlongong melihat golok-goloknya berjatuhan di depan mereka.
"Ambil, dan pergi dari sini!" usir
Sekar tegas. Tapi keempat orang laki-laki itu tidak
beranjak pergi, dan malah menjatuhkan
diri berlutut Sehingga, kening mereka
menyentuh tanah. Melihat sikap keempat
orang ini, Bayu dan Sekar jadi terperanjat
"Heh..."! Apa-apaan ini...?" sentak
Bayu tidak mengerti.
"Terimalah salam dan hormat kami
yang hina dan rendah ini," ucap keempat
orang itu sambil menyatukan kedua
telapak tangannya di depan dada
bersamaan. "Kenapa mereka begitu...?" tanya
Bayu seperti pada diri sendiri.
Sekar melangkah dua tiridak ke
depan. Sedangkan empat orang laki-laki
bertubuh kekar dan kotor itu masih
bersujud menempelkan kening di atas
tanah. "Bangunlah kalian," ujar Sekar,
lembut suaranya.
Perlahan mereka mengangkat kepala, lalu duduk bersila di depan gadis
ini. Sebentar Sekar merayapi wajah-wajah
yang agak tertunduk di depannya. Keadaan mereka begitu kotor, seperti tidak
pernah mandi berbulan-bulan lamanya.
Pakaian yang dikenakan pun sudah
sobek-sobek di beberapa bagian.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya
Sekar tetap lembut suaranya.
"Kami hanya perampok. Dan kami
janji, tidak akan mengulangi lagi," sahut
salah seorang dengan sikap hormat sekali.
"Aku tidak percaya kalian perampok. Kalian semua mengenakan
gelang Candra Wikara. Hm.. Kenapa
kalian bisa jadi begini...?" sanggah Sek
sambil merayapi keempat orang ini.
Keempat orang itu tampak terkejut
mendengar kata-kata Sekar barusan.
Kembali mereka menjatuhkan diri bersujud dan menempelkan kening di
tanah, tepat di depan ujung kaki gadis ini.
Sementara Bayu yang melihat kejadian itu
hanya memperhatikan saja. Didekatinya
Sekar begitu empat orang ini kembali
duduk bersila dengan kepala terus
tertunduk menekuri tanah di depannya.
"Siapa sebenarnya mereka, Sekar?"
bisik Bayu pelan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka. Tapi
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelang Candra Wikara yang dikenakan
menunjukkan kalau mereka para pengawal pengantar barang kerajaan,"
sahut Sekar pelan juga suaranya.
Bayu mengangguk-anggukkan
kepala. Pendekar Pulau Neraka tidak lagi
Golok Halilintar 3 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Kemelut Kerajaan Mancu 5
PEDANG KAWA HIJAU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau sekiruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Pedang Kawa Hijau
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Matahari baru saja menampakkan
cahayanya di ufuk Timur. Dan di sepagi
itu, terlihat seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun, sibuk memukul-mukul palu besi ke atas logam
yang memerah membara. Keringat mengucur deras membasahi sekujur
tubuhnya yang berkulit kehitaman.
Dentang logam beradu terdengar
keras memecah kesunyian di pagj ini.
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu terus
saja bekerja menempa besi yang merah
membara, sehingga tidak mempedulikan
sang mentari yang semakin naik tinggi.
Dan keringat pun semakin menga-nak
sungai, mengucur di sehiruh tubuhnya.
Saat itu terdengar suara derap
langkah kaki kuda mendekati. Si Pandai
Besi itu menghentikan pekerjaannya.
Kepalanya menoleh ke arah langkah kaki
kuda yang semakin jelas terdengar.
Matanya yang bulat, jadi menyipit begitu
melihat lima orang berkuda menuju ke
arahnya. "Hm.., mau apa lagi mereka datang
ke sini...?" gumamnya pada diri sendiri.
Kelima orang berkuda itu langsung
berlompatan turun dari atas punggung
kuda masing-masing. Tampak berdiri
paling depan, seorang laki-laki tua
berwajah bening dan berambut putih
tergulung ke atas. Pakaiannya putih
bersih, tampak meriap dihembuskan
angin. Sementara keempat orang lainnya
mengenakan pakaian yang bentuk dan
warnanya serupa.
Laki-laki pandai besi itu keluar dari
dalam gubuk bengkelnya. Sinar matanya
begitu tajam, menatap orang tua berjubah
putih bersih di depannya. Sebuah palu
besi yang besar dan berat, tergenggam
erat di tangan.
"Apa maksudmu datang lagi, Kala
Putih...?" tanya si Pandai Besi dengan
suara berat, tak bersahabat.
"Mengambil pesananku," sahut lakilaki tua berjubah putih yang dipanggil
Kala Putih. "Sudah berapa kali kukatakan, aku
tidak sanggup membuatnya. Aku hanya
pandai besi biasa, bukan Empu Pembuat
Senjata Pusaka!" tegas si Pandai Besi.
"Dengar, Ki Bangka Putung. Semuanya kusediakan. Dan kau sudah
terima. Bahkan kusediakan waktu cukup
lama. Dua purnama.... Waktu yang cukup
lama untuk membuat sebuah pusaka.
Sekarang, sudah lebih dari waktu yang
kuberikan padamu. Serahkan pusaka itu
padaku, Ki Bangka Putung!" keras sekali
suara Kala Putih.
"Aku tidak menerima semua pemberianmu. Dan kau sendirilah yang
meninggalkannya. Sedikit pun tidak
kusentuh. Lihat itu...! Masih utuh, ada di
sana," Ki Bangka Putung menunjuk
sebuah benda yang tergeletak di meja.
Kala Putih mendengus keras melihat benda bercahaya kehijauan masih
tergeletak di atas meja, tanpa sedikit pun
berubah ketika diletakkannya di sana
lebih dari dua purnama yang lalu.
Sekantung uang emas sebagai pembayarannya juga masih berada di
tempatnya. Tidak berubah sama sekali,
seperti tidak pernah disentuh barang
sedikit pun. "Kurang ajar...! Kau mempermainkan aku, Bangka Putung...!"
geram Kala Putih memerah wajahnya.
"Sebaiknya, kau pergi saja dari sini,
Kala Putih. Bawa semua barang-barang
itu. Aku tidak membutuhkannya sama
sekali!" dengus Ki Bangka Putung dingin.
"Manusia sombong...! Kau akan
menerima ganjarannya nanti. Baiklah.
Kau kuberi waktu satu purnama lagi, dan
benda itu harus sudah selesai pada
waktunya!" rungut Kala Putih.
Selesai berkata demikian, Kala
Putih diikuti empat orang yang mendampinginya langsung melompat naik
ke atas punggung kuda masing-masing.
"Sampai kapanpun, tidak akan
kukerjakan. Aku bukan Empu...!" seru Ki
Bangka Putung. Kala Putih tidak mempedulikannya,
dan segera menggebah kudanya meninggalkan pandai besi itu. Sementara
Ki Bangka Putung menggerutu kesal
sambil memukul-mukul palu besinya
yang besar ke atas meja. Matanya
menatap nanar pada benda kotak yang
memancarkan sinar kehijauan, dan
sepundi uang emas. Lalu matanya beralih
pada pintu rumah yang berada di
samping bengkel kerjanya. Di depan pintu
sudah berdiri seorang berparas cantik,
mengenakan baju warna biru agak ketat.
Di sampingnya seorang anak laki-laki
berumur sepuluh tahunan.
*** "Mereka datang lagi, Ayah...?" tanya
gadis itu lembut.
"lya," sahut Ki Bangka Putung.
"Kala Putih tetap memaksaku senjata pusaka membuatkan pesanannya."
"Kenapa tidak dibuatkan saja,
Ayah" Bukankah dulu Ayah juga seorang
Empu Pembuat Pusaka...?" masih tetap
lembut suara gadis itu.
'Tidak Sekar. Aku tidak ingin lagi
berkecimpung dalam dunia yang kasar
dan kotor. Aku ingin kau dan Wirya hidup
damai, tanpa harus bergelimpang lumpur
dan darah," tegas Ki Bangka Putung
Gadis cantik berusia delapan betas
tahun itu mendekati ayahnya. Sementara
bocah laki-laki yang berada di sampingnya ikut melangkah juga. Sekar
tahu, mengapa ayahnya meninggalkan
pekerjaannya sebagai pembuat senjata
pusaka. Dan dia tidak bisa memaksa
ayahnya untuk menururi permintaan Kala
Putih. Ayahnya berwatak keras, dan teguh
pada pendiriannya.
"Biar aku yang membuatnya, Ayah,"
pinta Sekar, seraya menatap benda kotak
bercahaya kehijauan di atas meja.
'Tidak...! Itu pekerjaan laki-laki,"
sentak Ki Bangka Putung. "Kau belum
tahu betul, bagaimana membuat sebuah
senjata pusaka. Benda itu sangat
berbahaya, dan tidak sembarang orang
bisa mengolahnya. Aku merasakan adanya hawa jahat yang tersebar dari
benda itu," sambung Ki Bangka Putung
tegas. 'Tapi.... Kala Putih, Ayah...."
"Itu urusanku, Sekar!" potong Ki
Bangka Putung cepat
"Dia sangat kejam, Ayah. Aku
khawatir dia akan membuat kesulitan...,"
agak terbata suara Sekar.
Ki Bangka Putung hanya tersenyum. Tangannya terentang, memeluk pundak anak gadisnya ini. Ada
terselip rasa haru mendengar kata-kata
bernada penuh kecemasan dari anak
gadisnya. Wirya yang baru berumur
sepuluh tahun, seolah-olah bisa merasakan sesuatu yang tengah terjadi
pada ayah dan kakaknya ini. Maka,
dipeluknya kaki Ki Bangka Putung eraterat.
"Kau sudah masak, Sekar...?" tanya
Ki Bangka Putung setelah melepaskan
rangkulannya. Sekar menggeleng.
"Masaklah. Aku ingin dibuatkan
ikan bakar."
"Kalau begitu, aku harus menangkap ikan dulu, Ayah. Mungkin
siang nanti baru masak."
'Tidak mengapa, walau agak siang
sedikit," sahut Ki Bangka Putung.
"Ayo, Wirya. Kita tangkap ikan
dulu," ajak Sekar pada adiknya.
"Ayo, Kak. Kita tangkap yang
banyak, ya...?" sambut Wirya gembira.
Memang sudah lama juga Wirya
tidak lagi bermain-main di danau. Kini
mereka segera berlarian ke samping
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gubuk bengkel ini. Kemudian, kakak
beradik itu sudah terlihat berlari-lari
menuju danau yang berada tidak jauh di
depan rumah mereka.
Ki Bangka Putung tersenyum melihat keceriaan kedua anaknya. Tapi
mendadak saja senyuman di bibimya
menghilang saat matanya menangkap
benda kotak bercahaya kehijauan di atas
meja. Sejak benda ini ada di atas meja
kerjanya, Ki Bangka Putung sudah
merasakan bakal terjadi sesuatu yang
buruk pada keluarganya.
Ki Bangka Putung lalu menghampiri
benda kotak bercahaya kehijauan itu,
kemudian sesaat diamatinya. Dia memang
ahli dalam benda-benda berkekuatan
dahsyat. Dan sebentar saja, sudah
terasakan adanya kekuatan yang terpancar dari benda kehijauan itu. Ki
Bangka Putung cepat-cepat menarik
kepalanya ke belakang, lalu melangkah
mundur tiga tindak menjauhi meja
kerjanya. "Luar biasa..,. Pasti amat berbahaya
jika dijadikan pedang," gumam Ki Bangka
Putung. Dengan sebuah penjepit baja, benda
kehijauan itu diangkatnya. Matanya
melebar begitu menatap lurus ke tengahtengah bagian dalam benda kehijauan.
Perlahan-lahan diletakkannya kembali
benda itu ke atas meja. Ki Bangka Putung
menarik napas panjang begitu penjepit
bajanya dilepaskan.
"Dunia persilatan bisa gempar jika
benda ini kujadikan senjata. Hhh...!
Terlalu berbahaya," desah Ki Bangka
Putung agak menggumam.
Ki Bangka Putung lalu meninggalkan benda itu, dan kembali
sibuk menekuni pekerjaannya. Namun
matanya sebentar-sebentar melirik ke
arah benda kehijauan itu. Dan setiap kali
matanya melirik, terasa ada sesuatu yang
ganjil menyelinap dalam hatinya. Ki
Bangka Putung jadi tidak bisa memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Seketika dilemparkannya
palu besi berukuran besar itu sambil
mendengus kesal.
"Huuuh...!"
*** Sepanjang malam, Ki Bangka
Putung tidak bisa memejamkan matanya.
Pikirannya terus tertuju pada benda kotak
berwarna kehijauan. Sebuah benda
memancarkan kekuatan dahsyat dan
mengandung hawa jahat Ki Bangka
Putung bangkit dari pembaringannya, lalu
berjalan mondar-mandir di dalam biliknya
yang sempit. Sebentar-sebentar matanya
memandang ke arah gubuk bengkel
kerjanya yang terletak di bagian samping
rumah ini. "Kenapa Ayah tidak mau membuat
senjata itu" Bukankah Ayah mampu
membuatnya..." Lagi pula, belum tentu
Kala Putih mampu menggunakannya,"
teringat kembali kata-kata Sekar yang
diucapkan setelah mereka selesai makan
malam tadi. "Satu purnama...! lngat, satu purnama lagi senjata itu harus selesai,"
kata-kata Kala Putih juga kembali
terngiang di telinganya.
"Satu purnama...," gumam Ki
Bangka Putung perlahan.
Laki-laki setengah baya bertubuh
tegap berotot itu jadi bimbang. Dunianya
yang dulu sebagai pembuat pusaka
benar-benar ingin ditinggalkannya. Tapi
permintaan Kala Putih tidak bisa dibuat
main-main. Dia tahu, siapa Kala Putih itu.
Seorang tokoh tua yang sangat sakti dan
digdaya. Tokoh kosen yang sulit dicari
tandingannya. Dengan golok bermata dua
saja, Kala Putih sudah begitu tangguh
tanpa tandingan. Apalagi jika berhasil
memiliki sebuah senjata pusaka yang
amat dahsyat.."
Sulit dibayangkan, bagaimana jadinya dunia persilatan ini
kelak. "Demi keselamatan kita semua,
Ayah. Apa salahnya, untuk kali ini saja
Ayah membuat senjata pesanan itu,"
kata-kata Sekar kembali terngiang di
telinga Ki Bangka Putung.
"Ya...! Demi keselamatan semua,"
desah Ki Bangka Putung perlahan.
Ki Bangka Putung mengayunkan
kakinya, melangkah keluar dari bilik
kamar tidurnya. Ayunan langkahnya
terhenti ketika berada di depan kamar
yang ditempati Sekar. Sesaat, ditatapnya
pintu yang tertutup rapat itu. Kemudian
ditariknya napas panjang, lalu kembali
mengayunkan langkahnya.
Di depan kamar Wirya, langkahnya
kembali terhenti. Tampak bocah laki-laki
itu tertidur lelap di pembaringan. Ki
Bangka Putung lalu melangkah lagi keluar
rumah, terus menuju gubuk bengkel
kerjanya. Sebentar dihelanya napas
panjang-panjang sebelum masuk ke
dalam gubuk bengkel itu.
Di dalam kegelapan malam seperti
ini, benda berwarna kehijauan itu
semakin jelas saja memancarkan cahaya.
Ki Bangka Putung mendekati benda kotak
yang besarnya tidak lebih dari sepotong
baru bata merah.
Sebentar peralatannya disiapkan
untuk membuat senjata. Lalu perlahanlahan diambilnya benda kehijauan itu
dengan penjepit baja, kemudian diletakkan di atas lempengan baja putih.
Setelah menutup bagian atas dengan
lempengan baja putih lainnya, Ki Bangka
Putung kembali menjepit benda itu
dengan penjepit baja. Dan memasukkan
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam
tungku yang sudah memerah membara.
"Ugh...!"
Ki Bangka Putung mengeluh pendek ketika tiba-tiba tangannya terasakan jadi kesemutan.
Laki-laki setengah baya itu menarik
keluar benda itu dari dalam tungku, dan
sebentar diamatinya. Lalu diletakkannya
benda itu di atas meja besi. Sedikit
tubuhnya beringsut mundur dua langkah.
Sementara tangannya seperti melepuh
terbakar. "Hhh...! Baru kali ini aku menemukan bahan benda pusaka yang
begini dahsyat," gumam Ki Bangka
Putung agak mendesah.
"Ayah...."
Tiba-tiba saja terdengar suara
lembut dari arah pintu.
"Sekar... mau apa kau ke sini...?" Ki
Bangka Putung terkejut melihat anak
gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di
ambang pintu bengkel ini.
"Ayah kenapa juga di sini malammalam?" Sekar malah balik bertanya
seraya menghampiri.
Ki Bangka Putung tidak menjawab.
Matanya kembali beralih menatap benda
kehijauan yang sudah berlapis besi baja
putih di atas meja penempa. Sekar juga
memandang ke arah yang sama.
"Ayah akan membuat pedang...?"
tanya Sekar tidak mengalihkan pandangannya. "Demi kau dan Wirya," pelan suara
Ki Bangka Putung menjawab.
"Tapi... tangan Ayah kenapa...?"
Sekar memperhatikan tangan ayahnya
yang merah bagai terbakar.
'Tidak apa-apa," sahut Ki Bangka
Putung. Bibir Ki Bangka Putung menyungging
senyum, tapi dalam hatinya bertanyatanya juga tentang benda dahsyat itu. Dia
tidak mengerti, kenapa begitu hebat dan
cepat pengaruhnya benda itu. Tangan
kanannya seperti melepuh, dan panas
sekali rasanya.
"Biarkan Ayah sendiri di sini, Sekar.
Ayah harus sudah membuat senjata ini
sebelum bulan purnama datang," pinta Ki
Bangka Putung. "Ayah tidak apa-apa?" Sekar masih
mengkhawa tirkan keadaan tangan.ayahnya.
"Tidak. Pergilah tidur. Masih terlalu
malam,"sahut Ki Bangka Putung lagi.
Sekar mengecup pipi ayahnya,
kemudian berbalik dan melangkah ke luar
gubuk bengkel ini. Ki Bangka Putung
tidak segera melanjutkan kerjanya, tapi
malah duduk bersila dan bersemadi. Dia
tidak ingin pekerjaannya gagal. Terlebih
lagi, bisa mendatangkan celaka. Benda itu
sangat dahsyat pengaruhnya, dan tidak
mungkin diolah dengan cara biasa. Ki
Bangka Putung kini memusatkan seluruh
inderanya, dan berserah diri pada sang
Pencipta. Malam terus merayap semakin
larut. Keadaan di sekitar pondok itu
tampak sepi. Sementara di dalam rumah,
Sekar tidak bisa lagi memejamkan
matanya. Pikirannya terus-menerus tercurah pada ayahnya. Dia tahu,
ayahnya mendapatkan kesulitan dengan
benda bercahaya kehijauan itu. Buktinya
tangan ayahnya memerah bagai terbakar.
Maka, gadis itu semakin
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencemaskannya.
"Dewata Yang Agung... beri keselamatan dan perlindungan pada
ayahku," gumam Sekar lirih.
Gads itu mencoba memejamkan matanya
di pembaringan, tapi tidak juga mau
terpejam. Pikirannya terus tertuju pada
ayahnya di bengkel kerja. Sekar bangkit
turun dari pembaringan lalu melangkah
ke jendela. Dibukanya pintu jendela lebarlebar. Dari jendela kamarnya ini, bisa
terlihat langsung bengkel kerja ayahnya.
Namun, tak terdengar suara apapun dari
sana. "Oh..."! Apa yang terjadi di dalam
sana..." Apakah aku harus melihatnya"
Tidak...! Ayah pasti marah kalau aku ke
sana," Sekar jadi bicara pada diri sendiri.
Hati gadis itu semakin resah dan
bimbang, dan terus menatap ke arah
gubuk bengkel kerja ayahnya. Hingga
larut malam, tidak juga terdengar suara
apapun juga. Dan hatinya semakin
diliputi kecemasan, namun tidak berani
keluar dari kamarnya. Dia tahu persis
akan watak ayahnya yang keras. Dan
Sekar tidak berani membantah semua
yang dikatakan ayahnya, meskipun harus
menderita kecemasan yang amat sangat di
hatinya. *** Tiga hari tiga malam Ki Bangka
Putung tidak beranjak dari balai-balai
bambu, tempatnya bersemadi. Dan selama itu, Sekar selalu menjaganya.
Sering kali adiknya menemani dalam
menunggui ayahnya dari depan gubuk
bengkel ini. Dulu, Sekar tidak pernah mengerti
pekerjaan ayahnya, karena masih ada
ibunya. Tapi setelah ibunya meninggal,
dia harus memahami pekerjaan ayahnya.
Bahkan, ayahnya pernah tidak keluar
kamar selama satu bulan lebih. Dan
biasanya, Sekar tidak pernah merasa
cemas sedikit pun. Tapi entah kenapa, kali ini hatinya begitu cemas. Dia sendiri
tidak tahu, apa sebenarnya yang dikhawatirkan. Padahal, hal seperti ini
sudah sering terjadi, ketika Ki Bangka
Putung masih menjadi seorang Empu
Pembuat Senjata Pusaka.
Tepat pada hari ke tujuh, di saat
alam terselimut kegelapan malam, tibatiba saja terlihat secercah cahaya bagai
pelangi meluncur deras, meluruk turun
ke arah gubuk kecil bengkel kerja Ki
Bangka Putung. Sinar terang berwarnawarni dan menyilaukan itu menghantam
atap gubuk bengkel ini. Tapi, tak
terdengar suara sedikit pun yang
ditimbulkannya. Hanya terasa hembusan
hawa dingin yang begitu menyejukkan,
membuat Ki Bangka Putung membuka
matanya. "Oh..."!"
Ki Bangka Putung agak terperanjat
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depan Ki Bangka Putung sudah berdiri
seorang laki-laki berjubah putih panjang.
Ikat kepalanya putih. Janggut serta
rambutnya, juga sudah memutih semua.
Sinar wajahnya begitu bening dan
bercahaya. Bahkan begitu lembut, memandang lurus pada Ki Bangka Putung
yang masih duduk bersila di atas balaibalai bambu ini.
Ki Bangka Putung bergegas turun
dari balai-balai bambu ini, begitu melihat
laki-laki tua berjubah putih di depannya
melayang tidak menginjak tanah. Asap
tipis mengepul hampir menyelimuti
kakinya yang tak terlihat tertutup
jubahnya yang panjang. Ki Bangka
Putung bersujud, menyentuhkan keningnya ke tanah di depan orang tua
berjubah putih ini.
"Bangunlah, Bangka Putung," ujar
orang tua berjubah putih itu. Suaranya
terdengar lembut, dan berwibawa.
Ki Bangka Putung bangkit periahan,
lalu duduk bersila di tanah dengan kepala
terus tertunduk. Seakan-akan dia tidak
sanggup memandang laki-laki tua di
depannya. "Aku tahu, apa yang tengah
melanda dirimu, Ki Bangka Putung.
Tetapkanlah hatimu. Buatlah sebuah
pedang dari benda itu. Gunakanlah kayu
dari pangkal pohon asam yang sudah
berumur seratus tahun untuk tangkainya
dan warangkanya," jelas orang tua berjubah putih itu.
Ki Bangka Putung hanya diam saja
mendengarkan penuh perhatian.
"Hanya satu pesanku, Bangka
Putung. Kau harus mempertahankan
pedang itu, apapun yang terjadi pada diri
dan keluargamu. Jangan sampai pedang
itu jatuh ke tangan orang yang berwatak
jahat. Camkan itu baik-baik, Bangka
Putung...!"
Baru saja Ki Bangka Putung hendak
membuka mulutnya, tiba-tiba saja cahaya
terang yang menyelimuti sekitar pondok
itu lenyap. Dan laki-laki serba putih itu
juga lenyap tanpa bekas sama sekali. Ki
Bangka Putung masih duduk bersila
beberapa saat, kemudian perlahan bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Seketika dia terkejut melihat Sekar
tertidur di kursi dekat pintu gubuk
bengkel ini. "Sekar..., Sekar...," Ki Bangka
Putung membangunkan anak gadisnya.
"Ohhh...," Sekar menggeliat.
Kelopak matanya mengerjap sebentar, lalu terbuka lebar.
"Ayah...."
"Kenapa tidur di sini?" tegur Ki
Bangka Putung. "Maaf, aku ketiduran," ucap Sekar
seraya menggosok-gosokkan matanya.
"Pindah ke dalam sana, Sekar."
Sekar bangkit dari kursi kayu itu.
Sebentar kepalanya melongok ke dalam
pondok. Ternyata, tidak ada yang berubah
sama sekali. Sepasang bola matanya yang
bulat bening, merayapi wajah dan seluruh
tubuh ayahnya. Dia heran melihat
ayahnya nampak segar, meskipun selama
tujuh hari tujuh malam tidak makan dan
minum. Dan Sekar masih juga belum
mengerti, meskipun hal ini sering terjadi
pada diri Ki Bangka Putung.
"Akan kusiapkan makan dulu,
Ayah," kata Sekar.
'Tidak usah. Ayah tidak lapar," elak
Ki Bangka Putung.
'Tapi, Yah...."
"Sudahlah.... Sebaiknya, kau tidur
saja sana. Ayah akan kerja lagi. Kasihan
adikmu kalau kau bangun kesiangan
nanti. Besok pagi-pagi sekali, Ayah minta
kau sediakan seperti biasanya," pinta Ki
Bangka Putung lembut.
Sekar tersenyum manis, lalu melangkah meninggalkan pondok itu. Ki
Bangka Putung memandangi disertai
senyum di bibir. Tidak sedikit pun Sekar
berbeda dengan sifat-sifat ibunya. Ki
Bangka Putung seperti melihat diri
istrinya pada Sekar. Sebentar dia
menghela napas panjang begitu tubuh
gadis itu lenyap di batik pintu rumah.
Ki Bangka Putung berbalik, dan
kembali masuk ke dalam gubuk bengkelnya. Dipandanginya benda bercahaya kehijauan yang masih tergeletak di atas meja besi. Seketika,
kembali dia teringat kata-kata orang tua
yang muncul membangunkan semadinya.
"Apa maksudnya orang berwatak
jahat tidak boleh memiliki benda ini...?" Ki
Bangka Putung jadi bertanya pada diri
sendiri "Apa yang dimaksudkan adalah
Kala Putih...?"
Mendadak saja Ki Bangka Putung
menepuk keningnya sendiri. Kini baru
teringat sekarang. Ternyata, dia tidak
pernah bertanya, dari mana Kala Putih
mendapatkan benda kehijauan ini. Dia
tahu betul, siapa Kala Putih. Apakah Kala
Putih mendapatkannya dengan cara
merampas" Atau....
Ki Bangka Putung menggeleng-gelengkan
kepala. Kembali diambilnya benda itu
dengan penjepit baja. Ki Bangka Putung
ingat, dia ternyata masih mempunyai
persediaan kayu asam yang sudah
berumur lebih dari seratus tahun.
Kemudian benda itu digosok-gosokkan
dengan sepotong kayu asam yang telah
diambil dari kolong meja kerjanya.
Sebentar kemudian bibirnya bergerak
komat-kamit, lalu mulai memasukkan
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam
tungku pembakaran. Api langsung memercik, berkobar besar begitu benda
kehijauan itu menyentuh bara.
Tak lama kemudian, terdengar
denting palu menghantam benda dari
logam. Ki Bangka Putung mulai menyatukan benda kehijauan itu dengan
baja putih pilihan. Sepanjang malam dia
terus bekerja keras membuat senjata
pusaka. Kini pekerjaan semula yang sudah
bertahun-tahun ditinggalkan dimulainya lagi. Rupanya, berkat kayu
asam yang telah digosok-gosokkan pada
benda kehijauan itu, tangannya tidak
melepuh lagi. Kini Ki Bangka Putung
dapat bekerja dengan leIuasa.
*** 2
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Bangka Putung memandangi
hasil kerjanya berupa sebuah pedang
tipis, berukuran sepanjang lengan. Gagangnya terbuat dari kayu asam
berumur seratus tahun. Hatinya benarbenar kagum melihat perbawa pedang
yang dihasilkannya dengan kerja keras
selama satu bulan penuh. Maka satu
purnama pun berlalu sudah, tapi Kala
Purih belum juga datang mengambil
pesanannya. Pedang yang panjangnya hanya
selengan orang dewasa itu memancarkan
sinar kehijauan. Mata pedangnya kecil
dan tipis, seperti tidak memiliki kekuatan
sama sekali. Tapi Ki Bangka Putung dapat
merasakan ada sesuatu kekuatan gaib
yang semakin lama semakin kuat
membelenggu dirinya. Satu kekuatan gaib
yang amat dahsyat dan berbahaya. Ki
Bangka Putung benar-benar dapat merasakannya. Merasakan kekuatan gaib itu semakin kuat membelenggu dirinya, Ki
Bangka Putung segera memasukkan
pedang itu ke dalam warangka yang juga
terbuat dari kayu pohon asam berumur
seratus tahun. Sementara cincin warangka dibuat dari emas murni.
"Hebat sekali pedang itu, Ayah...."
Ki Bangka Putung berpaling begitu
mendengar suara lembut dari belakang.
Tubuhnya berbalik dan tersenyum melihat Sekar dan Wirya sudah berada di
ambang pintu gubuk bengkel ini. Gadis
itu melangkah menghampiri dengan bibir
selalu basah memerah menyunggingkan
senyuman manis.
"Kau melihatnya...?"
tanya Ki Bangka Putung. "Ya," sahut Sekar. "Sayang sekali
kalau senjata sehebat itu harus diserahkan pada Kala Putih.
"Itulah yang mengganggu pikiranku,
Sekar," desah Ki Bangka Putung.
"Maksud, Ayah...?" tanya Sekar.
"Di dalam semadi, aku diperintahkan untuk tidak menyerahkan
pedang ini pada siapa pun juga. Terlebih
lagi, pada orang yang memiliki watak
jahat seperti si Kala Putih," jelas Ki
Bangka Putung. "Aku setuju, Yah...!" seru Sekar
cepat 'Tidak mungkin, Sekar. Kala Putih
pasti tidak akan menyerahkan begitu saja.
Dia pasti berusaha menguasai pedang ini
dengan cara apapun juga."
"Lawan saja, Yah," selak Wirya
polos. "Tidak mudah, Wirya. Kala Putih
bukan tandingan Ayah. Dia sangat sakti,
dan berkepandaian tinggi. Sedang Ayahmu ini... Hanya seorang pandai besi
yang tidak begitu pandai ilmu olah
kanuragan."
'Terus, bagaimana kalau Kala Putih
datang?" tanya Sekar mengerti kesulitan
yang dihadapi ayahnya.
"Kita lari saja, Ayah!" timpal Wirya
lagi sementara Sekar manggut-manggut
seperti menyetujui.
"Lari ke mana" Di sinilah tumpah
darahku. Dan lagi, perbuatan itu tidak
menunjukkan sifat ksatria. Melarikan
barang orang lain, sama saja mencuri Apa
pun alasannya!" tegas Ki Bangka Putung.
Belum juga kedua anak Ki Bangka
Putung menga-jukan saran lagi, terdengar
derap langkah kaki kuda dari kejauhan.
Ki Bangka Putung langsung berpaling,
menoleh diikuti Sekar dan Wirya yang
langsung berlindung di balik kaki
kakaknya. Hanya kepalanya saja yang
menyembul mengintip. Tampak di kejauhan, debu jalanan mengepul. Kemudian, terlihat lima ekor kuda
berpacu kencang menuju pondok ini.
"Kala Putih...," desis Ki Bangka
Putung langsung mengenali.
Mendadak saja kegelisahan merambat dalam hati laki-laki setengah
baya ini. Ditariknya tangan Sekar, dan
diajaknya keluar dari pondok. Dan kini
tiga orang itu berlarian masuk ke dalam
hutan yang ada di bagian belakang
pondok. Tapi, rupanya Kala Putih sudah
melihat lebih dahulu. Maka, tiba-tiba saja
tangan kanannya dihentakkan. Dan
seketika itu Juga, secercah sinar merah
meluncur deras ke arah Ki Bangka
Putung dan kedua anaknya.
Slap! Glarrr...! Ki Bangka Putung tersentak kaget
begitu tiba-tiba batu yang ada di
depannya meledak, dan hancur berkeping-keping tersambar sinar merah
yang dilepaskan Kala Putih. Ki Bangka
Putung menarik tangan Sekar yang tidak
lepas memegangi tangan kiri adiknya.
Saat itu, Kala Putih sudah melompat
turun dari punggung kudanya, diikuti
empat orang lainnya. Dalam sekejap saja,
mereka sudah berdiri sekitar dua batang
tombak lagi di depan Ki Bangka Putung
dan kedua anaknya
"Mau lari ke mana kau, Ki Bangka
Putung...?" desis Kala Putih, dingin dan
menggeletar. "Phuih!"
Ki Bangka Putung menyemburkan ludahnya dengan sengit
"Serahkan pedang itu padaku, Ki
Bangka Putung!" dengus Kala Putih
seraya menjulurkan tangan kanannya.
"Tidak...!" sentak Ki Bangka Putung
tegas. "Kau sudah kubayar mahal, Ki
Bangka Putung. Serahkan pedang itu,
cepat..!" "Nih! Kukembalikan uangmu!"
Ki Bangka Putung melemparkan
sekantung uang emas ke depan kaki Kala
Putih. Seketika laki-laki tua berbaju serba
putih itu jadi berang setengah mati.
Wajahnya merah padam, dan kedua bola
matanya berputar merah menyala. Rahang Kala Putih bergemeletuk menahan amarah. Ki Bangka Putung yang
menyadari tidak akan unggul menghadapi
Kala Putih, segera menyerahkan pedang
itu pada Sekar.
"Selamatkan pedang ini, Sekar.
Pertahankan, jangan sampai jatuh ke
tangan orang jahat," pesan Ki Bangka
Putung. 'Tapi, Ayah...," Sekar ragu-ragu
menerima sen jata itu.
"Cepat lari...!" sentak Ki Bangka
Putung. Sekar menerima pedang dari tangan
ayahnya. Sebentar ayahnya dipandangi,
kemudian ditariknya tangan Wirya untuk
diajak lari dari tempat ini Sementara itu
Kala Putih sudah membuka jurus, hendak
menyerang si Pandai Besi. Sementara
orang yang berada di belakangnya, sudah
meloloskan senjata masing-masing.
"Cepat pergi, jangan hiraukan
aku...!" seru Ki Bangka Putung melihat
Sekar kembali berhenti berlari.
Melihat Sekar berlari semakin jauh
membawa pedang pesanannya, Kala Putih
jadi semakin gusar. Terlebih lagi, gadis itu
menuju hutan yang cukup lebat Dan ini
bisa menyulitkannya untuk mengejar
nanti. "Kalian hadapi manusia keparat
ini," perintah Kala Putih.
"Baik, Ki," sahut keempat orang itu
hampir bersamaan.
"Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Kala Putih melompat cepat mengejar Sekar dan
Wirya yang sudah hampir mencapai hutan. Tubuhnya melewati di atas kepala Ki
Bangka Putung. Menyadari tujuan Kala
Putih bukan pada dirinya, Ki Bangka
Putung jadi nekat.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ki Bangka Putung
melompat ke udara, mencoba menghalangi Kala Putih sambil melepaskan dua pukulan sekaligus secara
beruntun. Tapi tanpa diduga sama sekali,
Kala Putih berhasil mengelakkan dengan
meliukkan tubuhnya. Dan kembali melenting cepat, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh begitu kakinya menjejak tanah.
"Hiyaaat...!"
Ki Bangka
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putung hendak mengejar. Tapi belum juga sempat
menggenjot tubuhnya, empat orang yang
mendampingi Kala Putih sudah berlompatan mengepung. Mereka langsung menyerang laki-laki setengah
baya itu dengan jurus-jurus cepat. Ki
Bangka Putung terpaksa berjumpalitan,
menghindari serangan-serangan
yang begitu cepat dan datang dari empat
penjuru. *** Ki Bangka Putung memang bukan
seorang tokoh silat yang digdaya. Dia dulu
hanya seorang Empu Pembuat Senjata
Pusaka. Dan hanya sedikit memiliki ilmu
olah kanuragan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, laki-laki itu sudah
tidak mampu lagi menerima gempuran
empat orang yang memang hidup
bergelimang dari cara kekerasan seperti
ini. Satu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, menggedor dada. Akibatnya, Ki
Bangka Putung terjungkal keras mencium
tanah. Dan belum lagi sempat bangkit
berdiri, satu tendangan keras kembali
bersarang di tubuhnya. Ki Bangka Putung
meraung keras. Lagi, satu tendangan
membuat laki-laki setengah baya itu
terguling sejauh dua batang tombak.
Ki Bangka Putung mencoba bangkit
berdirl Tapi belum juga berdiri sempuma,
seuntai rantai besi menghentak dan
melilit tubuhnya. Kemudian, disusul
sabetan sebilah golok besar yang menghantam punggungnya. Ki Bangka
Putung memekik keras begitu punggungnya sobek terbabat golok.
Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kembali
tendangan menggeledek mendarat di
dadanya. "Aaakh...!"
"Ayah...!"
jerit Sekar begitu mendengar teriakan ayahnya.
Sekar menghentikan larinya. Hatinya begitu cemas melihat ayahnya
tampak tak berdaya menghadapi empat
orang bersenjata itu.
"Lari, Sekar! Cepaaat...!" teriak Ki
Bangka Putung sekeras-kerasnya.
Pada saat itu, sebuah golok
berukuran besar kembali melayang membabat ke arah dada Ki Bangka Putung yang sudah tidak memiliki daya
sama sekali. Dan tentu saja tebasan golok
itu tak dapat dihindari lagi.
Bet! Crab! "Aaa...!" Ki Bangka Putung menjerit
keras melengking tinggi.
Darah langsung mengucur deras
dari dada yang terbelah cukup besar itu.
Dan selagi tubuh Ki Bangka Putung
terhuyung-huyung, satu sabetan pedang
kembali membabat lehernya. Kali ini tak
ada suara sedikit pun yang terdengar. Ki
Bangka Putung berdiri kaku dengan mata
terbeliak lebar. Sesaat kemudian tubuhnya menggelepar jatuh. Dan kepala lakilaki
setengah baya itu langsung menggelinding terpisah dari leher.
"Ayah...!" jerit Sekar jadi kalap.
Tapi belum juga gadis itu berbuat
sesuatu, tiba-tiba saja sebuah bayangan
putih berkelebat cepat menyambar tubuhnya. Sekar terpekik keras agak
tertahan, dan kontan terpental jauh ke
belakang. Seketika punggungnya menghantam pohon keras sekali. Maka,
pegangannya pada tangan Wirya pun jadi
teriepas. "Kak...!" jerit Wirya.
Sekar cepat cepat menggelimpangkan
tubuhnya, begitu melihat bayangan putih kembali meluruk
deras ke arahnya. Gadis itu cepat
melompat bangkit berdiri. Pada saat yang
bersamaan, empat orang yang tadi
bertarung melawan Ki Bangka Putung
sudah sampai di tempat ini. Salah
seorang yang membawa golok besar
segera mencengkeram tengkuk Wirya, dan
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kak...!"
jerit Wirya diiringi tangisnya yang menggiris.
Sekar tidak sempat lagi memperhatikan rengekan adiknya, karena
sudah sibuk menghadapi serangan-
serangan gencar yang dilancarkan Kala
Putih. Untung saja dia memiliki sedikit
ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam
beberapa jurus, orang tua berbaju putih
itu masih mampu diimbangi.
"Setan alas...!" geram Kala Putih
berang. Beberapa kali Kala Putih melontarkan pukulan cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Tapi, Sekar masih mampu
menghindarinya.
Meskipun harus pontang-panting
dan jatuh bangun menghadapi serangan-serangan itu.
Entah kenapa, gerakan-gerakan
yang dilakukan Sekar jadi begitu cepat
dan lincah sekali. Hal ini membuat Kala
Purih semakin berang setengah mati. Tak
satu pun dari serangan-serangannya yang
mengenai sasaran. Sementara, Sekar
sendiri tidak mengerti, kenapa bisa
menandingi Kala Putih sampai lima jurus.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Sekar melentingkan
tubuhnya ke udara. Dan tubuhnya
langsung melesat pergi cepat sekali,
seperti tidak ingat lagi pada Wirya yang
berada di dalam cengkeraman salah
seorang anak buah Kala Putih. Begitu
cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap
saja gadis itu sudah lenyap tertelan
lebatnya hutan.
"Setan! Kejar gadis itu...!" perintah
Kala Putih geram.
*** Kala Putih jadi celingukan di dalam
hutan. Gadis yang dikejarnya benar-benar
lenyap di dalam hutan yang cukup lebat
ini. Tiga orang yang mengejarnya lebih
dulu, juga jadi kebingungan. Sekar bagai
lenyap tertelan bumi di dalam kelebatan
hutan ini. Kala Putih menggereng berang,
menghentak-hentakkan kakinya dengan
kesal. Matanya kini menatap tajam pada
Wirya yang berada di dalam cengkeraman
salah seorang yang menyandang golok
besar di punggung.
"Setan belang...!" rungut Kala Putih
kesal. "Cari gadis itu sampai dapat!"
Kala Putih segera mengerahkan
ilmu pembeda gerak dan suara. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan,
mencoba mencari tempat persembunyian
Sekar. Tapi Kala Putih jadi kecewa,
karena tidak mendengar suara apa pun
yang mencurigakan. Sekar benar-benar
lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ke mana gadis itu...?" Kala Putih
jadi bergumam, bertanya pada diri
sendiri. Seorang yang memegang rantai besi
yang ujungnya berbandul bola besi
berduri, .tergopoh-gopoh
datang menghampiri. Kemudian, disusul dua
orang berwajah angker yang masingmasing menggenggam sepasang senjata
tombak pendek bermata tiga dan sebuah
pedang hitam berukuran panjang. Mereka
kini telah berdiri di depan Kala Putih.
"Kenapa tidak langsung kalian kejar
tadi...?" dengus Kala Putih kesal.
"Maaf, Ki. Gadis itu tiba-tiba lenyap
di sini," jelas seorang yang memegang
rantai baja berbandul bola besi berduri.
"Kau, Caraka! Cari gadis itu sampai
dapat!" perintah Kala Putih sambil
menunjuk orang yang memegang golok
'Tapi anak ini, Ki...," kata Caraka
yang masih memanggul Wirya di pundaknya. Kala Putih memandangi Wirya yang
sudah terkulai lemas, akibat tertotok pada
pusat jalan darahnya. Dihampirinya anak
kecil berusia sepuluh tahun itu. Tangannya menjambak rambut yang hitam
bergelombang,
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mengangkatnya. Hingga, kepala Wirya terdongak ke atas.
Kelopak mata anak itu terpejam rapat,
seperti tidur. "Ki.... Bukankah anak ini bisa
digunakan...?" kata Caraka agak raguragu.
"Hm...,"
Kala Putih hanya menggumam periahan.
Pandangannya beredar ke sekeliling
dengan mengerahkan ilmu pembeda gerak
dan suara. Kala Putih jadi penasaran,
karena gadis yang membawa pusaka
pesanannya itu lenyap begitu saja. Dia
tadi juga hampir tidak percaya kalau
gadis yang kelihatannya begitu lemah
ternyata mampu menandinginya sampai
lima jurus, sebelum kabur dan menghilang di dalam hutan ini.
"Kalian terus cari gadis itu!"
perintah Kala Putih.
Setelah memberi perintah, Kala
Putih menyambar Wirya yang berada di
pundak Caraka. Kemudian kakinya terus
melangkah cepat meninggalkan hutan ini
Sementara empat orang itu hanya sating
pandang saja. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, sampai
Kala Putih tak terlihat lagi ditelan
lebatnya pepohonan di dalam hutan ini.
"Ayo, cari lagi," ajak Caraka.
*** "Keparat...!
Kurang ajar kau, Bangka Putung!" Kala Putih menggerutu
habis-habisaa Sudah dua hari ini Kala Putih dan
empat orang anak buahnya menjelajahi
hutan ini. Tapi putri Ki Bangka Putung
yang kabur membawa pedang pesanannya
tidak juga ditemukan. Hatinya tidak bisa
tenang sebelum pedang itu berada di
tangannya. Entah, apa yang akan
dilakukan jika Sekar sampai diketemukan. Tak ada yang bisa membayangkan, melihat kemarahan lakilaki tua berbaju putih ini.
"Sudah sore. Sebaiknya kita lanjutkan saja besok, Ki," ujar Caraka
mengingatkaa Saat ini, hari memang sudah
menjelang senja. Matahari sudah sejak
tadi bergulir ke sebelah Barat. Bahkan
sebagian hutan ini sudah mulai gelap,
tidak lagi mendapat cahaya matahari.
'Tidak! Biar kiamat sekalipun, gadis
itu harus tetap dicari!" bentak Kala Putih
berang. "Tapi, KI..," Caraka mau menyanggah. Tubuhnya sudah lelah
mencari Sekar yang tidak juga kunjung
ditemukan. "Kalau anak setan itu tidak juga
ditemukan, lehermu yang jadi penggantinya!" ancam Kala Putih tidak
main-main. Caraka menelan ludahnya yang
mendadak terasa pahit Dia tidak berani
lagi membantah. Sedangkan tiga orang
lainnya hanya bisa menundukkan kepala.
Mereka tahu benar, kalau sudah marah
begini. Kala Putih tidak bisa lagi diajak
damai. Apa yang diperintahkan, harus
segera dilaksanakan.
"Kalian tahu, pedang itu sangat
berarti bagiku. Dengan pedang itu,
seluruh rimba persilatan bisa kukuasai.
Dan kalian juga akan menikmati hasilnya.
Mengerti..."!" agak keras suara Kala Putih.
Serentak mereka menganggukkan
kepala. "Susah payah aku mendapatkan
Batu Kawa Hijau. Kini setelah jadi
pedang, hilang begitu saja. Huh! Sampai
kapanpun, aku harus mencari dan
mendapatkannya. Pedang itu tidak boleh
jatuh ke tangan orang lain, selain aku...!"
agak bergetar suara Kala Putih terdengarnya. Empat orang itu hanya diam saja.
"Kalian tahu, bagaimana aku mendapatkannya, bukan...?"
Mereka kembali menganggukkan
kepala bersamaan. Mereka memang tahu
persis, bagaimana Kala Putih bertarung
menyabung nyawa melawan pertapa tua
pemilik Batu Kawa Hijau di Gunung
Anjar. Dengan kelicikan, akhirnya Kala
Putih dapat membunuh pertapa itu dan
memperoleh Batu Kawa Hijau yang
mengandung daya kekuatan gaib luar
biasa. Kini setelah batu itu dilebur jadi
sebuah pedang, dilarikan seorang gadis
anak pembuat pedang. Dan yang pasti
Kala Putih tidak bisa menerimanya begitu
saja. Dengan cara apa pun, pedang yang
kelak akan menggegerkan dunia persilatan harus didapatkannya kembali.
"Caraka, ambil kuda. Kita lacak
setiap jengkal daerah ini!" perintah Kala
Putih. "Segera, Ki," sahut Caraka.
Bergegas Caraka melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Kala
Putih memerintahkan yang lain untuk
kembali memeriksa tempat di sekitarnya.
*** 3 Benarkah Sekar menghilang begitu
saja dari hutan ini..."
Sekar yang mengetahui betul seluk
beluk daerah hutan ini, bisa saja
menghilang begitu saja tanpa diketahui.
Dan sebenarnya, gadis itu masuk ke
dalam sebuah gua yang mulutnya
tersembunyi di balik semak belukar, tidak
jauh dari tempat Kala Putih dan empat
orang anak buahnya mencarl
Sekar merambat di lorong batu yang
sempit, dan terus merayap tanpa
mengenal lelah. Hingga dia tiba di suatu
rongga yang cukup lebar dan besar, yang
merupakan gua panjang berlorong penuh
kelokan. Sampai di situ, Sekar baru bisa
beristirahat melepas lelah.
"Hhh.... Ke mana lagi aku harus
pergi...?" desah Sekar perlahan.
Sekar memeluk pedang buatan
terakhir ayahnya. Sebentar kemudian
dipandanginya pedang itu. Kembali terbayang peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tidak tahu lagi, bagaimana nasib adiknya sekarang.
Sedangkan ayahnya sudah tewas di
tangan empat orang anak buah Kala
Putih. Sekar jadi teringat ketika siang itu,
sehari setelah ayahnya selesai bersemadi,
mereka berjalan-jalan di sepanjang tepian
danau. Seperti sudah mendapat firasat,
Wirya berbicara yang tidak pernah
dipikirkan sebelumnya. Dan Sekar tidak
menanggapinya sungguh-sungguh.
Omongan adiknya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Ternyata, semua
yang dikatakan Wirya, sekarang menjadi
kenyataan. "Kak... apa Kala Putih nanti akan
merebut pedang yang dibuat ayah...?"
tanya Wirya waktu itu.
"Bisa jadi," sahut Sekar.
"Kalau begitu, nanti kita ke mana,
Kak?" tanya Wirya lagi
"Ya, di sini.... Memangnya, mau ke
mana?" "Wirya merasa seperti akan terjadi
sesuatu, Kak," jelas Wirya pelan.
"Jangan bicara macam-macam, ah!"
sentak Sekar menganggap adiknya hanya
bercanda. "Semalam Wirya mimpi, Kak. Rumah kita terbakar, dan kita semua
berada di dalam lorong yang panjang dan
bercabang. Masing-masing mencari jalan
keluar. Tapi, ayah terperosok jauh ke
dalam lubang. Kak Sekar sendiri tidak
menolong, dan aku seperti terkurung.
Hanya bisa melihat saja," jelas Wirya lagi,
menceritakan mimpinya semalam.
"Mimpi itu hanya bunga tidur,
Wirya. Tidak pernah menjadi kenyataan,"
hibur Sekar. "Tapi, Kak..."
"Sudahlah.... Kau lelah?" Sekar
tidak mau mendengar lagi.
'Tidak. Hanya lapar," sahut Wirya.
"Nanti. Kalau jebakan kita penuh
ikan, kau akan kumasakkan yang lezat.
Mau...?" Wirya tersenyum lebar
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mengangguk Bocah itu memang paling
suka makan ikan yang dimasak kakaknya. Karena, selalu saja terasa
nikmat dan mengundang selera. Bukan
hanya Wirya, tapi juga ayah mereka
begitu menyukai masakan Sekar, sepertinya, apa saja yang diolah gadis ini selalu
sedap dinikmati.
Sekar menghembuskan napas panjang. Hatinya menyesal, tidak memperhatikan sungguh-sungguh katakata Wirya. Kalau saja mimpi adiknya
diceritakan pada ayahnya, mungkin hal
ini tidak akan terjadi. Dan sekarang
sudah terlambat Mereka sudah terpisah
satu sama lain. Penyesalan memang tidak
datang lebih dahulu. Dan Sekar menyadari, tidak mungkin menyesali
semua yang telah terjadi.
"Aku harus keluar dari gua ini.
Sewaktu-waktu mereka bisa saja menemukan aku di sini. Hhh.... Mudahmudahan saja tidak terjadi sesuatu pada
Wirya," desah Sekar agak menggumam.
Gadis itu bangkit berdiri dan
kembali melangkah menyusuri lorong gua
yang panjang dan berliku ini. Dia memang
sudah tahu gua ini, tapi tidak pernah
masuk sampai sejauh itu. Sekar terus
berjalan mengikuti ahir lorong gua yang
cukup gelap, sehingga sulit melihat jauh.
"Ada sinar...," desis Sekar.
Jauh di depannya, Sekar melihat
seberkas sinar yang kelap-kelip seperti
dari sebuah pelita. Gadis itu mempercepat
ayunan kakinya. Tidak dipedulikan lagi
tubuhnya yang beberapa kali hampir
terguling, terantuk batu yang banyak
bertebaran di sepanjang lorong gua ini.
Dan tampaknya, cahaya itu berada di
ujung mulut gua di depannya.
Mendadak Sekar menghentikan ayunan kakinya, begitu tahu kalau
cahaya itu berasal dari nyala api. Dan
dekat api itu, duduk seorang laki-laki
muda berumur sekitar dua puluh lima
tahun. Bajunya kulit harimau. Dia duduk
membelakangi Sekar yang muncul dari
dalam mulut gua yang cukup besar ini.
Trekkk! "Oh..."!"
Sekar terkejut, dan menutup mulutnya ketika menginjak sebatang
ranting kering. Suara ranting patah,
membuat pemuda berbaju kulit harimau
itu berpaling. Tampaknya, dia juga
terkejut melihat ada seorang gadis berdiri
di depan mulut gua di belakangnya.
Perlahan tubuhnya diputar. Sedangkan
Sekar masih tetap berdiri saja sambil
menggenggam gagang pedangnya erat-erat
Srettt! "Eh! Sabar.... Masukkan senjatamu," bujuk pemuda itu begitu
melihat Sekar mencabut pedangnya.
"Kau pasti orang suruhan Kala
Putih. Kalau kau akan merebut pedang
ini, langkahi dulu nyawaku!" sentak Sekar
garang. "Aku..." Ha ha ha...!"
Entah kenapa, pemuda berbaju
kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Sekar hanya memandangi saja
dengan sinar mata tajam. Diperhatikannya
wajah tampan di depannya. Gadis itu juga jadi ragu-ragu,
karena sinar mata pemuda itu menampakkan kejujuran, dan tidak
seperti orang-orangnya Kala Putih.
Perlahan Sekar memasukkan kembali pedang yang memancarkan
cahaya kehijauan itu ke dalam warangka.
Sekejap saja, sinar kehijauan itu menghilang dari pandangan.
"Siapa kau?" tanya Sekar tetap
dingin dan tajam suaranya.
Sikap gadis itu masih belum bisa
mempercayai pemuda ini. Sedangkan
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
tersenyum saja, dan kembali duduk di
tempatnya semula.
"Aku Bayu. Dan kau sendiri
siapa...?" pemuda itu memperkenalkan
diri, sambil balik bertanya.
"Sekar."
"Kenapa malam-malam begini ada
di tengah hutan?" tanya pemuda yang
ternyata memang Bayu, yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Seharusnya, aku yang bertanya
begitu padamu!" dengus Sekar agak
ketus. "Oh..."!" Bayu mengangkat alisnya.
Pendekar Pulau Neraka mengambil
sekerat daging bakar yang berada di atas
api, kemudian menyodorkan pada gadis
ini. Sejenak Sekar hanya memandanginya
saja. Perutnya memang terasa lapar, tapi
tidak mau sembarangan menerima uluran
tangan orang yang tidak dikenalnya sama
sekali. "Kau tentu lapar. Ayo, kita makan
sama-sama," Bayu menawarkan dengan
sopan. Sekar masih saja diam memandangi
Bayu mengangkat bahunya sedikit, lalu
menggigit keratan daging itu. Dia
mengunyah perlahan-lahan, membuat
Sekar terpaksa harus menelan ludahnya.
"Kalau mau, ambil saja sendiri. Aku
rasa, cukup untuk dimakan berdua," kata
Bayu lagi. Perlahan Sekar melangkah menghampiri. Gadis itu berjalan memutar, dan berdiri di seberang
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, dia
duduk di dekat api yang membuat dirinya
terasa sedikit hangat Periahan dan raguragu
sedikit tangannya dijulurkan, mengambil sekerat daging bakar. Lalu,
digigitnya sedikit. Cukup lezat juga.
Apalagi, dalam keadaan perut kosong
begini. Sejak siang tadi, perutnya memang
belum terisi apa-apa. Mereka kini makan
tanpa bicara apa pun juga.
*** "Kau tidak tidur...?" tegur Bayu
seraya melirik gadis itu.
Sekar hanya menggelengkan kepala
saja, dan tetap duduk bersandar pada
sebatang pohon yang cukup besar
melindungi dirinya dari dinginnya terpaan
angin malam. Bayu kemudian duduk, dan
menggeser mendekati gadis itu. Sekar
langsung menggenggam tangkai pedangnya. Namun, Bayu hanya tersenyum saja melihat sikap Sekar yang
masih juga ketakutan.
"Sepertinya, kau sedang mengalami
kesulitan," tebak Bayu diiringi senyum di
bibimya. Sekar hanya diam saja. Kepalanya
diangkat sedikit langsung menatap tajam
wajah pemuda berbaju kulit harimau ini.
Meskipun sikap Bayu baik dan lembut,
tapi gadis itu masih belum bisa percaya
penuh. Terngiang kembali kata-kata
terakhir ayahnya. Pedang itu harus dijaga
dan dipertahankan, jangan sampai jatuh
ke tangan orang berwatak jahat Dan
Sekar sudah bertekad mempertahankannya sampai tetes darah
yang terakhir. "Dari sorot matamu, aku tahu kau
menyimpan persoalan yang berat. Dan
kau memerlukan seseorang yang bisa
diajak bicara. Mungkin bisa kubantu...?"
kata Bayu lagi, lebih lembut suaranya.
"Hhh...!"
Sekar hanya menghembuskan napas panjang saja.
"Baiklah. Mungkin kau masih
belum percaya padaku. Asal tahu saja
aku tidak mengerti ketika kau tiba-tiba
mencabut pedang ingin menyerangku.
Bahkan menganggap aku ini orangnya
Kala Putih. Aku tidak tahu, siapa orang
yang kau sebutkan itu. Juga, tentang
pedang yang kau bawa," jelas Bayu,
berterus terang.
"Kau benar-benar bukan orang
suruhan Kala Putih...?" tanya Sekar,
seakan-akan ingin meyakinkan diri.
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Bagaimana aku bisa percaya
padamu?" tanya Sekar lagi seperti untuk
diri sendiri. "Apakah aku seperti orang jahat..?"
Sekar hanya diam saja. Memang
diakui, pemuda ini sedikit pun tidak
memiliki tanda-tanda sebagai orang jahat.
Wajahnya terlalu tampan untuk menjadi
penjahat. Dengan tubuh tegap, wajah
tampan, dan kulit putih, pemuda ini lebih
pantes bila disebut putra bangsawan.
Bahkan kalau bisa anak saudagar kaya.
Tapi pakaian
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dikenakannya menunjukkan kalau Bayu seorang pengembara. Atau bisa dikatakan juga,
orang dari kalangan persilatan.
"Kalau tidak salah, kau tadi
menyebut tentang pusaka. Apa kau kenal
seorang Empu Pembuat Pusaka yang
bernama Ki Bangka Putung...?" tanya
Bayu. Sekar terperanjat bukan main
begitu mendengar nama ayahnya disebut.
Tatapan matanya semakin tajam, merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka.
Jari-jari tangannya semakin erat menggenggam tangkai pedang yang tergenggam di tangan kirinya.
"Kau terkejut..." Apa kau kenal Ki
Bangka Putung...?" tanya Bayu.
"Dari mana kau tahu nama itu?"
Sekar malah balik bertanya. Suaranya
terdengar dingin dan begitu tajam.
"Aku pernah lewat di Gunung Anjar.
Di sana, aku menemukan seorang tua
terluka parah. Dia hanya menyebutkan
satu nama padaku sebelum meninggal,
dan hanya sedikit pesan saja," jelas Bayu.
"Hanya nama Ki Bangka Putung yang
disebutkannya."
"Pertapa Gunung Anjar...," desis
Sekar tanpa sa-dar.
"Kau juga kenal orang tua itu...?"
"Ohhh...," Sekar mendesah panjang
"Kapan dia meninggal?"
"Lama juga. Kira-kira, tiga purnama. Atau mungkin lebih," sahut
Bayu. "Apa yang dikatakannya padamu?"
kejar Sekar, malah balik menanyai
pemuda.ini. "Tidak banyak. Aku diminta olehnya
agar menemui seseorang yang bernama Ki
Bangka Putung, dan supaya aku menyampaikan suatu pesannya," sahut
Bayu . "Apa pesannya?"
Sekar terus mengejar, semakim ingin tahu.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa
mengatakannya padamu. Pesan itu harus
kusampaikan pada Ki Bangka Putung
sendiri," elak Bayu.
Sekar jadi terdiam termenung.
Sudah bisa diduga, benda bercahaya
kehijauan yang kini telah menjadi pedang
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa
Gunung Anjar. Dia kenal pertapa tua itu.
Karena, sudah beberapa kali pergi ke sana
bersama ayahnya. Bahkan setiap kali
pertapa tua itu turun gunung, selalu
datang ke pondok mereka. Dan biasanya,
selalu menginap sampai dua atau tiga
hari. Tapi kenapa ayahnya tidak tahu
kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau
milik Pertapa Gunung Anjar" Pertanyaan
inilah yang sekarang berada di kepala
Sekar. Dan gadis itu juga belum yakin
dengan dugaannya, kalau Batu Kawa
Hijau yang menjadi pangkal dari malapetaka adalah penyebabnya. Kalau
sampai ayahnya sendiri tidak tahu
tentang batu itu, bagaimana mungkin
bisa berada di tangan Kala Putih"
"Sudah larut malam. Sebaiknya,
kau tidur saja. Aku juga harus
meneruskan perjalanan besok, mencari
tempat tinggal Ki Bangka Putung," jelas
Bayu. "Kau tahu tempat tinggalnya?"
tanya Sekar bernada memancing.
"Belum. Tapi aku yakin bisa
menemukannya. Yaaah.... Meskipun sudah tiga purnama lebih aku mencari,
tapi aku yakin bisa bertemu dengannya.
Seorang Empu pasti banyak dikenal
orang," tegas Bayu, yakin.
"Kau tidak akan bisa bertemu
dengannya," kata Sekar agak lirih
suaranya. "Heh..."! Apa maksudmu...?" Bayu
jadi tersentak kaget, tidak mengerti.
"Beliau sudah tewas," jelas Sekar
dengan suara pelan, hampir tidak
terdengar. "Kau jangan main-main, Sekar,"
Bayu tidak percaya.
"Empu Bangka Putung adalah
ayahku." "Apa..."! Kau...?" suara Bayu jadi
tercekat di tenggorokan.
Tanpa diminta lagi. Sekar menceritakan semua musibah yang
menimpa keluarganya, sampai ayahnya
tewas berada di tangan Kala Putih.
Sementara Bayu mendengarkan penuh
perhatian. Sungguh tidak disangka kalau
akan bertemu putri Ki Bangka Putung
dalam keadaan seperti ini. Bahkan tidak
bisa lagi bertemu Empu Pembuat Pusaka
itu untuk menyampaikan pesannya.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, ayah
membuat pedang ini," jelas Sekar sambil
menunjuk pedangnya.
Bayu hanya terdiam saja memandangi pedang yang berada di
dalam genggaman gadis ini. Entah, apa
yang ada di dalam kepalanya saat itu.
Tampaknya, Pendekar Pulau Neraka
begitu kecewa, karena tidak bisa melaksanakan amanat orang tua yang
menjelang ajal. Untuk beberapa saat,
mereka jadi terdiam membisu.
"Sebaiknya kau tidur saja, Sekar.
Biar aku yang jaga malam ini," ujar Bayu.
"Kau tidak ingin memiliki pedang
ini...?" tanya Sekar, masih bernada
memancing. 'Pedang itu milikmu, Sekar," sahut
Bayu diiringi senyuman.
'Terima kasih," ucap Sekar, yang
bisa merasa lega sekarang
"Tidurlah."
Sekar sudah merasa tenang sekarang Dia yakin, pemuda ini memang
tidak tahu apa-apa. Bahkan bukan orang
suruhan Kala Putih yang begitu menginginkan pedang pusaka terakhir
ayahnya, seperti dugaannya semula.
Sekar merebahkan tubuhnya, dan mulai
memejamkan mata. Badannya memang
terasa lelah dan mengantuk sekali.
Sebentar saja gadis itu sudah mendekati
api, dan duduk bersila di sana. Malam
pun terasa begitu dingin. Bayu mencoba
bersemadi, dan menghangatkan tubuhnya
dengan menyalurkan hawa mumi ke
seluruh tubuh. *** "Ke mana tujuanmu sekarang?"
tanya Bayu melihat Sekar tampaknya
sudah siap melakukan perjalanan.
"Ke tempat tinggal Kala Putih,"
sahut Sekar. "Untuk apa ke sana?" tanya Bayu.
"Membebaskan adikku."
"Memangnya, ada apa dengan
adikmu...?" tanya Bayu agak terkejut.
Sekar memang belum menceritakan
tentang Wirya yang sekarang ini berada di
tangan Kala Putih. Dan mendapat
pertanyaan itu, segera diceritakannya tentang Wirya. Bayu mendengarkan penuh
perhatian. Sedikit pun tidak menyelak
sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya
Bayu setelah Sekar selesai dengan
ceritanya. 'Tidak jauh dari Gunung Anjar.
Tepatnya, di Lembah Kuning," sahut
Sekar menjelaskan.
Bayu mengerutkan keningnya. Pendekar Pulau Neraka tahu tempat yang
dimaksudkan Sekar. Sebuah tempat yang
sangat sulit dijangkau. Bahkan tidak ada
seorang pun yang sudi ke sana.
Memasuki lembah itu, sama saja mengantarkan nyawa sia-sia. Kecuali, memang ingin mati.
'Tunggu dulu, Sekar...!" cegah Bayu
begitu melihat Sekar sudah melangkah.
Sekar berhenti mengayunkan kakinya. Kepalanya berpaling, menatap
pemuda berbaju kulit harimau yang
sudah berada di sampingnya.
"Aku akan mengantarmu ke sana.
Tempat yang kau tuju sangat sulit dan
berbahaya. Bukannya tidak mustahil,
Kala Putih dan orang-orangnya sudah
menyebar untuk mencarimu," ujar Bayu.
" Terima kasih. Aku tidak meminta,"
ucap Sekar. "Aku menyediakan diri untuk
membantumu," tegas Bayu.
Sekar hanya tersenyum saja, dan
terus mengayunkan kakinya. Bayu mengikuti, mensejajarkan langkah di
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
samping gadis ini. Tapi baru saja mereka
berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja
semak yang berada di depan bergerakgerak. Bayu langsung menarik tangan
Sekar, hingga berada di belakang
tubuhnya. Srakkk! Tiba-tiba saja dari dalam semak itu
melesat sebuah bayangan hitam kecil.
Bayu sempat tersentak kaget, tapi
langsung diam begitu bayangan kecil itu
menerkamnya. Dan tahu-tahu, di pundak
kanan Pendekar Pulau Neraka sudah
duduk seekor monyet kecil berbulu hitam.
Binatang itu memeluk leher pemuda ini
erat-erat "Dari mana saja kau...?" dengus
Bayu seraya melepaskan pelukan monyet
ini. "Nguk!"
"Sekar, kenalkan, ini sahabatku.
Tiren namanya," Bayu memperkenalkan
monyet kecil itu pada Sekar.
Monyet kecil berbulu hitam itu
memonyongkan mulutnya, kemudian mencerecet ribut dan berjingkrak di
pundak Bayu. Sekar jadi tersenyumsenyum melihat tingkah binatang yang
lucu ini. "Ayo...?"
Mereka kembali berjalan tanpa
bicara. Sampai matahari berada di atas
kepala, mereka terus saja berjalan tanpa
beristirahat sedikit pun. Keringat bercampur debu melekat di seluruh
tubuh. Beberapa kali Bayu melirik wajah
Sekar yang sudah memerah dan berkeringat "Kau tidak letih, Sekar?" tanya
Bayu. "Sedikit," sahut Sekar.
'Tampaknya, kau tahu betul seluk
beluk hutan ini," tebak Bayu lagi
'Tidak begitu. Hanya saja, aku
sering bermain-main di sini. Dan ayah
juga sering mengajakku berburu di hutan
ini." Mereka berhenti melangkah ketika
di depan mereka menghadang sebuah
sungai yang berair sangat jernih. Begitu
beningnya, sehingga ikan-ikan yang
berenang ria di sungai ini terlihat jelas.
Sekar membasuh wajah dan tangannya di
air sungai itu. Bayu juga berbuat yang
sama. Mereka menyegarkan tubuh dengan air sungai yang bening bagai kaca
itu. "Hebat...pintar sekali dia," gumam
Sekar kagum. "Apanya yang hebat?" tanya Bayu.
"Itu...."
Bayu mengarahkan pandangan ke
arah yang ditunjuk Sekar. Bibirnya jadi
tersenyum melihat Tiren berlompatan di
air sungai yang cukup dangkal ini. Dan
kini di tangan monyet kecil itu sudah
tergenggam seekor ikan yang cukup
besar. Tiren, monyet kecil berbulu hitam
itu melemparkan ikan hasil tangkapannya
ke arah Bayu. Tangkas sekali Pendekar
Pulau Neraka menangkapnya, lalu melemparkan lagi ke belakang.
"Cukup, Tiren...!" seru Bayu setelah
Tiren mendapatkan lima ekor ikan.
"Nguk!"
Tiren berlompatan ke tepi melalui
batu yang banyak terdapat di sungai ini.
Tubuhnya digerak-gerakkan, membuat air
yang melekat di seluruh tubuhnya
menyiprat ke sana kemari. Sementara itu.
Sekar sudah menyiapkan ranting-ranring
kering, dan membuat api. Ikan-ikan
tangkapan Tiren dibakamya di atas api.
Bau harum cepat sekali menyebar
menyengat hidung, membuat perut jadi
berontak minta diisi.
Mereka kini tengah menikmati ikanikan itu. Sementara Tiren cukup senang
mendapat buah-buahan yang diperoleh
Bayu. Mereka makan sambil bercakapcakap. Keakraban mulai terjalin di antara
mereka. Ter-lebih lagi, Tiren cepat sekali
lengket pada orang yang disukainya.
"Sebenamya
ayah tidak sudi menuruti permintaan Kala Putih untuk
membuat senjata dari benda yang
dibawanya sendiri...," kata Sekar setelah
ikan-ikan bakar itu habis disantap.
"Apa ayahmu tidak tahu asal benda
yang dibawa Kala Putih?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Tapi, ayah
sepertinya tidak pernah menanyakan itu
pada Kala Putih. Ayah memang tidak
pernah bertanya tentang benda-benda
pembuat senjata pusaka yang dibawa
pemesannya," jelas Sekar.
"Tentunya, ayahmu punya alasan,
kenapa tidak ingin membuat senjata dari
benda itu," desak Bayu lagi.
"Katanya, benda itu memiliki kekuatan gaib yang dahsyat dan sangat
jahat Tapi..."
'Tapi kenapa, Sekar...?" desak Bayu.
"Aku menduga kalau benda itu
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa
Gunung Anjar," agak ragu-ragu suara
Sekar. "Kau bisa menduga begitu, tapi
kenapa ayahmu tidak bisa mengenalinya"
Bukankah antara ayahmu dan Pertapa
Gunung Anjar bersahabat baik?" tanya
Bayu lagi. "Antara ayah dan Pertapa Gunung
Anjar dekat. Tapi di antara mereka tidak
pernah saling mencampuri urusan masing-masing. Terlebih lagi, mengenai
keahlian masing-masing. Bahkan tidak
ada yang tahu tentang benda-benda yang
dimiliki. Jadi, mana mungkin ayah bisa
mengetahui kalau benda itu adalah Batu
Kawa Hijau," jelas Sekar tentang hubungan ayahnya dengan Pertapa
Gunung Anjar. "Dan kau sendiri bisa menduga
begitu. Pasti kau tahu tentang batu itu,
bukan...?" kejar Bayu.
"Pertapa Gunung Anjar pernah
cerita padaku tentang batu itu. Tapi, aku
tidak pernah melihat bentuknya."
"Memang sulit jika saling menyimpan rahasia," desah Bayu seraya
bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka kemudian
mengulurkan tangannya pada Tiren yang
berada di pangkuan Sekar.
"Biar dia bersamaku," pinta Sekar
seraya berdiri.
Monyet kecil itu duduk di pundak
gadis ini. Mereka kemudian melanjutkan
perjalanan tanpa berbicara lagi. Hanya
ada satu tujuan mereka. Ke tempat
tinggal Kala Putih untuk membebaskan
Wirya, adik kandung gadis ini.
"Apa ada desa terdekat di sekitar
sini, Sekar?" tanya Bayu.
"Ada," sahut Sekar. "Apa kita akan
bermalam di desa?"
"Rasanya, tidak aman kalau bermalam di desa manapun juga."
"Kenapa...?"
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja sebuah
pohon yang cukup besar bergerak
turnbang ke arah mereka, memperdengarkan
suara berderak mengejutkan. "Awas...!"
Bayu cepat melompat sambil menyambar pinggang Sekar. Hampir saja
pohon itu menimpa mereka. Untung saja
Bayu segera melompat menghindar. Pendekar Pulau Neraka cepat mengedarkan
pandangan berkeliling, dengan telinga
dipasang tajam-tajam.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Srakkk! Slap! *** 4 Dari balik semak dan pepohonan,
bermunculan sekitar sepuluh orang
bersenjata golok. Seorang di antara
mereka, bertubuh tinggi besar dan berotot
kekar. Dia menyandang sebilah golok
yang berukuran cukup besar. Sekar yang
mengenali orang itu langsung hendak
mencabut pedangnya. Tapi, Bayu keburu
menahan tangan gadis ini.
"Kau kenal mereka?" tanya Bayu
sedikit melirik pada gadis di sampingnya.
"Orang itu yang membunuh ayahku," sahut Sekar agak mendesis.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menatap
tajam laki-laki besar berotot kekar yang
menyandang golok berukuran besar itu.
Wajahnya begitu kasar, dipenuhi brewok
yang tak terurus. Dia berdiri paling depan
dari kesepuluh orang yang rata-rata
masih berusia muda. Sementara itu, Bayu
sudah menggeser kakinya ke depan dua
langkah, membelakangi Sekar seperti
hendak melin-dungi gadis ini.
"Siapa kalian...?" tanya Bayu,
meskipun sudah diberi tahu Sekar tadi.
"Jangan banyak tanya! Serahkan
gadis itu pada kami!" bentak orang
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersenjata gotok besar yang tak lain
adalah Caraka. "Kenapa kau meminta gadis ini?"
tanya Bayu lagi, berpura-pura tidak
mengerti. "Rupanya kau ingin jadi pahlawan,
Bocah...," desis Caraka sinis.
"Mungkin," sahut Bayu seenaknya.
"Setan...! Besar kepala juga kau
rupanya," geram Caraka jadi gusar.
Wukkk! Tiba-tiba saja Caraka mengebutkan
golok besarnya ke depan. Kebutan itu
demikian dahsyat, membuat Bayu agak
terkejut juga. Jelas sekali kalau golok itu
sangat berat Tapi di tangan Caraka,
bagaikan terbuat dari karet yang begitu
ringan. Pendekar Pulau Neraka . segera
menggeser kakinya sedikit ke kanan.
Diperhatikannya Caraka yang ringan
sekali memutar-mutar goloknya.
"Golok mainan anak-anak saja
dipamerkan di depanku," dengus Bayu
memanasi dengan sinis.
"Serang...! Bunuh bocah keparat
itu...!" perintah Caraka dengan suara
lantang menggelegar.
Seketika itu juga, sepuluh orang
yang berada di belakangnya segera
berlarian. Mereka langsung berlompatan
mendekati Bayu. Sejenak Pendekar Pulau
Neraka memperhatikan, kemudian melirik
sedikit pada Sekar yang juga rupanya
sudah bersiap menerima serangan.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Bayu melentingkan
tubuh ke udara, ketika sepuluh orang itu
sudah dekat. Cepat sekali tubuhnya
meluruk deras, melontarkan beberapa
pukulan keras, tanpa pengerahan tenaga
dalam. Hanya sekali gerak saja, terlihat tiga
orang ambruk ke tanah sambil menjerit
keras terkena pukulan yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka. Gerakan yang
dilakukan Bayu begitu cepat luar biasa,
sehingga sukar diikuti dengan pandangan
mata mereka. Baru beberapa gerakan
saja, sepuluh orang itu sudah jatuh
berpelantingan sambil memekik keras.
Meskipun pukulan-pukulan yang
dilepaskan Bayu tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi demikian
keras. Bahkan cukup membuat sepuluh
orang itu mengerang, merintih kesakitaa
Pendekar Pulau Neraka melenting ke
belakang, lalu ringan sekali kakinya
menjejak tanah. Bibirnya tersenyum
melihat sepuluh orang itu merintih,
bergelimpangan di tanah.
"Keparat..!" geram Caraka melihat
sepuluh orang anak buahnya bergelimpangan, hanya dalam beberapa
gebrakan saja. "Aku tidak akan menyakiti kalian.
Apalagi membunuh. Cepatlah pergi dari
sini, sebelum aku berubah pikiran!" desis
Bayu agak dingin suaranya.
"Sombong...!" dengus Caraka geram.
"Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Caraka melompat
cepat menerjang Bayu. Goloknya berkelebat dahsyat menimbulkan angin
menderu yang menyakitkan telinga.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka cepat cepat
melompat mundur dua tindak dan
langsung memiringkan tubuhnya ke kiri.
Tebasan golok berukuran besar itu
berhasil dihindarinya. Bayu agak terkejut
juga merasakan hempasan angin yang
begitu keras melanda tubuhnya. Bergegas
dia melompat ke samping, beberapa
langkah jauhnya.
Tapi Caraka sudah berhasil melakukan
serangan cepat Jurus-jurus yang dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi
besar ini begitu dahsyat. Setiap kebutan
goloknya, membuat Pendekar Pulau
Neraka jadi agak limbung. Maka segera
dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Bayu berlompatan sambil
meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari
setiap serangan yang datang.
Sambil menghindar, Bayu memperhabkan gerakan-gerakan yang
dilakukan lawannya ini. Setelah beberapa
jurus berlalu, baru Pendekar Pulau
Neraka melancarkan beberapa serangan
balasan. Dan begitu memasuki jurus
kedelapan, setiap gerakan yang dilakukan
Caraka setelah bisa dibacanya.
"Hait,.!"
Pendekar Pulau Neraka cepat
membungkukan tubuhnya, begitu golok
besar itu mengebut ke arah kepala.
Sebenarnya serangan bisa dielakkan
dengan hanya merundukkan kepala
sedikit Tapi Bayu malah membungkuk,
dan tiba-tiba saja tangan kirinya mengibas cepat sekali ke depan.
"Heh..."!"
Caraka terperanjat setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda
berbaju kulit harimau itu akan melakukan sodokan, di saat menghindari
serangannya. Cepat-cepat dia melompat
mundur. Dan sebenarnya inilah yang
ditunggu Bayu. Begitu Caraka menarik
jarak, cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka
menarik tubuhnya tegak kembali. Dan
tiba-tiba, dilayangkannya satu tendangan
keras yang sama sekali tidak diduga
Caraka. Begitu cepatnya tendangan yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga Caraka yang memang belum
siap tak dapat lagi menghindarinya. Telak
sekali telapak kaki Bayu menghantam
dada yang berbulu lebat itu.
Des! "Akh."!" Caraka memekik keras
agak tertahan. Di saat tubuh Caraka tengah
limbung terdorong ke belakang, Bayu
cepat melompat sambil melepaskan satu
pukulan keras, disertai pengerahan
tenaga dalam yang tidak penuh. Pukulannya demikian cepat dan keras
sekali. Akibatnya, Caraka benar-benar
tidak bisa lagi melakukan gerakan
menghindar. Diegkh! "Akh...!" untuk kedua kalinya
Caraka memekik keras.
Pukulan Bayu yang begitu keras,
membuat Caraka terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak. Keras sekali
tubuhnya yang kekar berotot itu terbanting ke tanah, dan bergelimpangan
beberapa kali. Tapi, Caraka cepat
melompat bangkit berdiri. Kedua kakinya
agak bergetar, seakan-akan tidak kuat
lagi menahan beban tubuhnya. Caraka
berusaha untuk bisa berdiri tegak,
meskipun masih agak limbung.
"Setan...! Phuih!" geram Caraka.
Sementara Bayu berdiri tegak dengan
kedua tangan terlipat di depan dada.
Matanya menatap tajam pada Caraka,
dan bibirnya menyunggingkan senyum
sinis. Sementara Caraka melakukan
beberapa gerakan, untuk mengusir rasa
sesak yang menghimpit dadanya. Tentu
saja akibat tendangan dan pukulan
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kalau masih penasaran, silakan
maju lagi," tantang Bayu.
"Phuih!"
Caraka hanya menyemburkan ludahnya saja. Sementara, matanya
melirik pada sepuluh orang anak buahnya
yang tampaknya sudah tidak mampu
bertarung lagi. Meskipun mereka sudah
bisa berdiri, tapi golok-golok mereka
sudah berpatahan, sehingga tak mungkin
dapat digunakan lagi. Menyadari kedudukannya tidak menguntungkan,
Caraka jadi berpikir dua kali untuk
menyerang pemuda berbaju kulit harimau
itu. "Kita akan bertemu lagi, Bocah!"
desis Caraka dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki
berbadan kekar berotot itu bergegas
melesat pergi. Sepuluh orang pengLkutnya segera berlarian mengikutinya. Sedangkan Bayu hanya
memandanginya saja. Tubuhnya baru
berputar, dan melangkah menghampiri
Sekar setelah mereka sudah tak terlihat
lagi. "Kenapa kau biarkan mereka kabur,
Kakang" Seharusnya kau bunuh mereka
semua," Sekar agaknya tidak senang atas
sikap Bayu yang membiarkan orang-orang
itu pergi. "Bukan mereka tujuanmu, Sekar,"
kilah Bayu kalem.
"Tapi.. orang itulah yang membunuh ayahku," bantah Sekar.
"Kau dendam...?"
"Aku akan membalas kematian
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayah!" tegas Sekar.
Bayu jadi ingat akan dirinya sendiri.
Dulu ketika baru keluar dari Pendekar
Pulau Neraka, dia juga mencari para
pembunuh orang tuanya. Saat itu, yang
ada di kepalanya hanya balas dendam!
Bahkan sampai sekarang pun, Pendekar
Pulau Neraka masih belum bisa melepaskan dendamnya. Jika berjumpa
orang yang membunuh ayahnya, api
dendamnya langsung berkobar menyala.
Dan orang itu tidak pernah diberi ampun
lagi. Mereka yang terlibat langsung, akan
terkapar bermandikan darah.
Dan Bayu tidak bisa menyalahkan
Sekar jika di hatinya tersimpan api
dendam. Dia juga tidak bisa melarang,
atau menasihati gadis ini. Padahal sudah
mulai disadarinya, kalau dendam tidak
akan bisa menyelesaikan segala persoalan. Dan terus akan berbuntut
panjang, sampai tak ada yang tersisa
hidup hingga anak turunannya.
*** Memang tidak mudah perjalanan
ini. Setiap saat mereka harus menghadapi
bahaya. Terutama, ancaman orang-orang
Kala Putih. Terlebih lagi, saat mereka
sudah berada di sekitar Gunung Anjar.
Bahkan bukan hanya Bayu saja yang
memeras keringat menghadapi mereka.
Sekar pun terpaksa berlaga, mempertahankan diri dari seranganserangan yang selalu muncul tiba-tiba
dari para pengjkut Kala Putih.
"Uhhh! Gila..!" lenguh Bayu seraya
menghempas-kan tubuh ke atas rerumputan di bawah pohon yang cukup
rindang. Mereka memang baru saja teriepas
dari sergapan para pengikut Kala Putih.
Sekar duduk di samping Pendekar Pulau
Neraka sambil menghembuskan napas
panjang. Disekanya keringat dengan
punggung tangan, di sekitar wajah dan
lehemya. Beberapa saat mereka terdiam,
sambil mengatur jalan pemapasan. Rasanya, dada ini seperti akan pecah.
Pagi ini, sudah dua kab mereka mendapat
serangan gencar dari orang-orang KalaPutih.
"Setan...!"
tiba-tiba Bayu mengumpat geram.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu menjawab, tiba-tiba saja
meluncur sebatang tombak berukuran
cukup panjang dari depan. Pendekar
Pulau Neraka langsung melompat Tangannya segera dikebutkan untuk
menangkap tombak itu tepat di bagian
tengahnya. Sekar juga bergegas bangkit
berdiri. Dihampirinya Pendekar Pulau
Neraka, dan berdiri di samping kanannya.
"Siapa pun kalian, keluar...!"
lantang suara Bayu.
Begitu teriakan Pendekar Pulau
Neraka hilang, dari balik pepohonan dan
semak belukar bermunculan empat orang
laki-laki bertubuh kekar. Wajah mereka
kasar dan kotor tak terawat Pakaian yang
dikenakan pun kotor. Bahkan sudah
mulai terlihat koyak di beberapa bagian
tubuhnya. "Hm...," Bayu menggumam kecil
memperhatikan empat orang yang kini
sudah berdiri sekitar satu tombak di
depannya. Tubuh dan keadaan mereka sudah
mirip jembel jalanan. Dan Bayu bisa
menduga, mereka bukan orang-orang
Kala Putih. Tapi dalam keadaan seperti
ini, tidak mudah menduga begitu saja.
Dan setiap orang-yang dijumpai, terlebih
lagi kemunculannya didahului satu
serangan gelap, membuat Pendekar Pulau
Neraka bersiap mempertahankan diri jika
diserang. "Siapa kalian?" tanya Bayu agak
Iunak suaranya terdengar.
"Jangan banyak tanya! Serahkan
semua hartamu!" bentak salah seorang,
kasar. "Harta..." Aku tidak punya harta,"
sahut Bayu agak berkerut keningnya.
"Bedebah! Kalau begitu, nyawamu
yang kuminta!"
"Heh..."!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak
kaget. Tapi belum juga lenyap dari
keterkejutannya, empat orang bertampang
kasar dan kotor itu sudah berlompatan
menyerang. Terpaksa Pendekar Pulau
Neraka berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilakukan cepat
dan tiba-tiba. Golok-golok di tangan
mereka berkelebatan, berdesingan di
sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Sekar sudah lebih
dahulu menghindar. Gadis itu hanya
memperhatikan saja. Sementara tangan
kanannya menggenggam erat tangkai
Meskipun tidak pedang-nya. mendapatkan lawan kali ini, tapi tetap
saja dia bersikap waspada.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melenfingkan
tubuh ke udara, lalu meluruk deras
sambil mengebutkan cepat tangannya
beberapa kali. Begitu cepat gerakannya,
sehjngga tubuh Pendekar Pulau Neraka
bagaikan lenyap. Dan yang terlihat kini
hanya bayangan kuning berkelebatan,
menyambar empat orang bertampang
kasar dan kotor itu.
Saat itu juga, terdengar jeritanjeritan panjang melengking yang saling
sambut Kemudian, disusul berpentalannya keempat orang itu. Tampak Bayu berdiri tegak di antara
mereka yang bergelimpangan di tanah.
Entah kapan terjadinya, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah merampas
golok-golok keempat orang itu.
"Aku muak melihat tampangtampang seperti kalian, huh...!" dengus
Bayu. Tangan Pendekar Pulau Neraka
sudah terangkat, hendak menyambitkan
golok-golok rampasannya kepada empat
orang yang masih tergeletak mengerang di
tanah. Tapi sebelum Bayu melaksanakan
niatnya, tiba-tiba saja Sekar berseru
nyaring. "Jangan, Kakang...!"
"Heh..."!"
Bayu berpaling menatap Sekar yang
melangkah cepat menghampirinya. Gadis
itu berhenti di samping Pendekar Pulau
Neraka. Dirampasnya golok yang berada
di tangan Bayu, dan dilemparkannya pada
empat orang yang sudah mulai bisa
bergerak bangkit. Keempat orang laki-laki
bertampang kasar dan kotor itu jadi
terlongong melihat golok-goloknya berjatuhan di depan mereka.
"Ambil, dan pergi dari sini!" usir
Sekar tegas. Tapi keempat orang laki-laki itu tidak
beranjak pergi, dan malah menjatuhkan
diri berlutut Sehingga, kening mereka
menyentuh tanah. Melihat sikap keempat
orang ini, Bayu dan Sekar jadi terperanjat
"Heh..."! Apa-apaan ini...?" sentak
Bayu tidak mengerti.
"Terimalah salam dan hormat kami
yang hina dan rendah ini," ucap keempat
orang itu sambil menyatukan kedua
telapak tangannya di depan dada
bersamaan. "Kenapa mereka begitu...?" tanya
Bayu seperti pada diri sendiri.
Sekar melangkah dua tiridak ke
depan. Sedangkan empat orang laki-laki
bertubuh kekar dan kotor itu masih
bersujud menempelkan kening di atas
tanah. "Bangunlah kalian," ujar Sekar,
lembut suaranya.
Perlahan mereka mengangkat kepala, lalu duduk bersila di depan gadis
ini. Sebentar Sekar merayapi wajah-wajah
yang agak tertunduk di depannya. Keadaan mereka begitu kotor, seperti tidak
pernah mandi berbulan-bulan lamanya.
Pakaian yang dikenakan pun sudah
sobek-sobek di beberapa bagian.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya
Sekar tetap lembut suaranya.
"Kami hanya perampok. Dan kami
janji, tidak akan mengulangi lagi," sahut
salah seorang dengan sikap hormat sekali.
"Aku tidak percaya kalian perampok. Kalian semua mengenakan
gelang Candra Wikara. Hm.. Kenapa
kalian bisa jadi begini...?" sanggah Sek
sambil merayapi keempat orang ini.
Keempat orang itu tampak terkejut
mendengar kata-kata Sekar barusan.
Kembali mereka menjatuhkan diri bersujud dan menempelkan kening di
tanah, tepat di depan ujung kaki gadis ini.
Sementara Bayu yang melihat kejadian itu
hanya memperhatikan saja. Didekatinya
Sekar begitu empat orang ini kembali
duduk bersila dengan kepala terus
tertunduk menekuri tanah di depannya.
"Siapa sebenarnya mereka, Sekar?"
bisik Bayu pelan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka. Tapi
Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelang Candra Wikara yang dikenakan
menunjukkan kalau mereka para pengawal pengantar barang kerajaan,"
sahut Sekar pelan juga suaranya.
Bayu mengangguk-anggukkan
kepala. Pendekar Pulau Neraka tidak lagi
Golok Halilintar 3 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Kemelut Kerajaan Mancu 5