Pencarian

Lambang Kematian 1

Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Bagian 1


1 Seekor kuda putih tampak tengah dipacu dengan cepat memasuki daerah perbatasan
Kadipaten Jati Anom.
Penunggangnya seorang laki laki berusia sekitar lima puluh tahun. Dia berpakaian-indah yang terbuat dari bahan sutra halus dan bersulam benang emas.
Rambutnya panjang tergelung ke atas, dengan anak-anak rambut yang meriap tertiup
angin "Heya! Heya...!"
Laki laki itu menggebah kudanya lebih kencang lagi.
-Sementara debu debu yang mengepul oleh kaki kaki kuda itu bertambah banyak
- -beterbangan. Tidak sedikit pun dia memperlambat lari kudanya meskipun sudah
memasuki pusat kota yang ramai. Hal itu tentu saja menarik perhatian semua orang
yang memadati jalan utama Kadipaten Jati Anom. Tapi nampaknya tidak seorang pun
yang berani menegur, apalagi sampai menghentikannya!
"Cepat buka pintu!" seru laki laki itu ketika hampir sampai ke pintu gerbang
-sebuah bangunan besar dan berpagar tembok batu tebal yang tinggi dan kokoh.
Sebentar saja dua orang penjaga pintu gerbang segera membuka pintu yang terbuat
dari kayu jati yang tebal dan keras. Bunyi bergerit terdengar saat pintu gerbang
itu terkuak. Dan tanpa memperlambat lari kudanya, laki laki berpakaian indah itu
-langsung menerobos masuk. Sedangkan dua orang penjaga pintu gerbang hanya bisa
menggeleng gelengkan kepalanya
-saja. "Hooop...!"
Laki laki berusia sekitar lima puluh tahun itu langsung melompat turun dari
-punggung kuda putihnya, begitu sampai di depan tangga yang menuju ke serambi
depan dari bangunan itu. Tampak beberapa orang yang berseragam dan membawa
tombak panjang langsung berdiri berbaris dan memberi hormat.
Laki laki itu terus melangkah dengan tergesa gesa menaiki anak anak tangga yang
- - -menuju serambi depan yang luas dengan pilar pilar besar menyangga atap.
-Langkahnya terus terayun melintasi serambi yang berlantai batu pualam putih
berkilat. Seorang laki laki tua yang memakai jubah warna kuning dengan kepala
-botak menyambutnya dengan membungkukkan badan.
Tangannya tidak berhenti mengelus elus janggut putih yang panjang menutupi
-lehernya. "Di mana Adipati Rakondah?" tanya laki laki itu dengan napas tersengal memburu.
-"Gusti Adipati berada di taman belakang, Gusti Panglima," sahut laki laki
-berjubah kuning itu.
Dan tanpa berkata apa apa lagi, laki laki berbaju indah itu langsung melangkah
- -ke dalam. Langkahnya tetap lebar dan tergesa gesa melintasi ruangan dalam yang
- lebar dan luas. Sepertinya dia sudah tidak asing lagi dengan keadaan bangunan
itu. Tak lama kemudian dia disambut oleh beberapa orang berpakaian seragam yang
berjaga jaga di sekitar bangunan itu.-"Kakang Panglima Bantaraji...!"
Satu seruan terkejut dan gembira terdengar saat laki-laki setengah baya itu
memasuki sebuah taman yang
ditata indah di belakang bangunan istana itu. Tampak seorang laki laki yang
berwajah tampan dengan rambut berwarna dua segera menyongsongnya dengan tangan
yang terbuka lebar.
Laki laki berusia setengah baya yang ternyata adalah seorang panglima bernama
-Bantaraji itu hanya berdiri tegak dengan bibir mengulas senyuman tipis.
"Kau tidak keberatan kalau aku akan mengganggu sebentar, Adik Adipati Rakondah?"
Laki laki tampan yang usianya sebaya dengan
-Panglima Bantaraji itu hanya tersenyum. Kemudian dia mempersilakan tamunya itu
untuk duduk di sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu jati berukir indah.
Sejenak Panglima Bantaraji mengedarkan pandangannya berkeliling, menyapu
beberapa wanita cantik dan beberapa orang pengawal yang berseragam prajurit
dengan senjata tombak panjang di tangan.
Adipati Rakondah menepuk tangan tiga kali. Dia seperti mengerti dengan keinginan
Panglima Bantaraji.
Sebentar saja semua orang yang berada di sekitar taman itu bergegas meninggalkan
tempat itu seraya memberi hormat. Kini suasana taman yang semula ramai dan penuh
dengan canda tawa, kembali sepi.
Hanya ada satu orang yang masih tinggal. Seorang gadis cantik mengenakan baju
biru masih duduk di pinggir kolam.
"Anakku, Intan Delima, Kakang," kata Adipati Rakondah, ketika melihat tatapan
mata Panglima Bantaraji terarah ke dekat kolam.
"Kau bisa meminta Intan Delima untuk meninggalkan taman ini?" pinta Panglima
Bantaraji. "Kenapa" Apakah berita yang kau bawa begitu rahasia, sehingga keponakanmu
sendiri tidak boleh mendengar?" Adipati Rakondah tampak keberatan.
"Sebaiknya memang begitu. Soalnya hal ini menyangkut masa lalumu," agak berbisik
suara Panglima Bantaraji.
"Intan...," panggil Adipati Rakondah.
"Ya, Ayah," lembut dan merdu sekali suara gadis itu menyahut.
"Kau bisa pergi sebentar" Ayah ingin bicara dengan pamanmu," kata Adipati
Rakondah. Intan Delima memandang Panglima Bantaraji
sebentar. Lalu dia bangkit berdiri, dan mengangguk ke arah pamannya yang baru
datang. Kemudian dia melangkah pergi tanpa membantah sedikit pun.
Langkah kakinya gemulai dan sedap dipandang mata.
Panglima Bantaraji menunggu sampai gadis itu lenyap di balik pintu.
"Berita apa yang kau bawa?" tanya Adipati Rakondah langsung.
"Kau ingat dengan Rengganis?"
*** Adipati Rakondah langsung berubah raut wajahnya.
Nama Rengganis sudah begitu dikenalnya. Dan hampir setiap tahun, wanita cantik
itu selalu mengundangnya untuk datang ke pesta yang selalu diadakan di atas
sebuah kapal layar besar dan mewah di Pesisir Pantai Selatan. Makanya dia tahu
betul siapa Rengganis itu.
Orang tuanya adalah seorang patih kerajaan, namun
kemudian berkhianat hendak menggulingkan Raja Kandaka yang sekarang sudah
mangkat dan digantikan oleh putranya.
Di samping itu dia juga pernah membantu Rengganis untuk menghancurkan Padepokan
Teratai Putih yang diketuai oleh Dewa Pedang, bekas seorang panglima yang
mengundurkan ciri setelah menunaikan tugas berat. Hal itu dilakukannya karena
Adipati Rakondah merasa berhutang budi pada orang tua Rengganis. Dan dia memang
punya dendam pribadi dengan Dewa Pedang.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Kakang.
Memang tahun ini aku tidak bisa memenuhi
undangannya, karena aku tidak bisa meninggalkan putriku yang baru pulang dari
padepokan pamannya di Gunung Rangkas," kata Adipati Rakondah.
"Kalau waktu itu kau ada di sana, tentu aku tidak perlu repot repot datang ke -sini, Adik Rakondah,"
sungut Panglima Bantaraji.
"Kau datang ke sana" Apa ada sesuatu yang terjadi, Kakang?" tanya Adipati
Rakondah mengerutkan keningnya.
"Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku mengatakan bahwa pesta itu berantakan,
dan kapal Rengganis hancur," sahut Panglima Bantaraji.
"Apa..."!" Adipati Rakondah tersentak tidak percaya.
"Jangan bicara main main, Kakang. Mereka yang diundang bukan orang orang
- - sembarangan. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?"
"Sudah aku katakan tadi, ini adalah peristiwa lama dan ada hubungannya dengan
masa lalumu."
Sejenak Adipati Rakondah menggeser duduknya
untuk lebih mendekat. Sedangkan bola matanya berputar mengedar berkeliling.
Seolah olah dia takut kalau pembicaraan ini ada yang mendengar.-"Siapa yang telah melakukan itu?" tanya Adipati Rakondah setengah berbisik.
"Kau pasti akan lebih terkejut kalau mendengarnya."
"Katakan, siapa?" desak Adipati Rakondah tak sabar.
"Putra Dewa Pedang, sekarang dia memakai nama julukan Pendekar Pulau Neraka...!"
Adipati Rakondah tidak bisa lagi berkata kata.
-Mulutnya ternganga lebar, dan kedua bola matanya berputar putar. Sedangkan raut
-wajahnya berubah kemerahan, dan sebentar kemudian pucat pasi. Dia seperti tidak
-percaya dengan pendengarannya sendiri.
Rasanya mustahil kalau Bayu masih hidup. Apalagi sampai muncul lagi dengan nama
julukan Pendekar Pulau Neraka. Waktu itu dia menyaksikan sendiri, bagaimana
Badar, murid utama Padepokan Teratai Putih membawa lari seorang bayi yang
berumur beberapa hari menuju Pulau Neraka. Sebuah pulau yang sangat ditakuti dan
tak ada seorang pun yang mau menginjakkan kakinya ke sana. Dan sampai sekarang
belum pernah ada seorang pun yang bisa keluar dengan selamat kalau sudah masuk
ke sana (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Pendekar Pulau Neraka dalam
episode perdananya yang berjudul: Geger Rimba Persilatan).
"Mustahil...!"
Adipati Rakondah menggeleng -gelengkan kepalanya tidak percaya.
"Kau akan percaya kalau sudah melihatnya, Adik
Rakondah," kata Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah jadi terdiam lagi.
"Aku yakin, sekarang Pendekar Pulau Neraka sedang mencari orang orang yang waktu
-itu mendukung Rengganis untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih," lanjut
Panglima Bantaraji.
Sejenak Adipati Rakondah mengangkat kepalanya.
Dia menatap tajam pada laki laki gagah yang duduk di sampingnya itu. Kini
- otaknya tiba tiba jadi buntu, tidak mampu lagi untuk dipakai berpikir! Berita -yang dibawa oleh Panglima Bantaraji benar benar mengejutkannya, bahkan seperti
-berita datangnya kiamat.
Kabar yang dibawa oleh Panglima Bantaraji sudah jelas! Dan dia bisa menebak
bahwa Rengganis tewas di tangan seorang pemuda yang mengaku bernama
Pendekar Pulau Neraka itu. Beberapa saat kemudian Adipati Rakondah bangkit dari
duduknya dan berjalan mondar mandir dengan kening berkerut dalam.
-Sementara Panglima Bantaraji tetap duduk sambil memperhatikan.
*** Sejak mendapat berita dari kakaknya, Panglima Bantaraji, Adipati Rakondah selalu
tampak gelisah. Dia jadi lebih senang menyendiri dan melamun. Hanya kalau malam
hari saja dia pergi ke kaki Gunung Panjaran untuk memperdalam ilmu ilmu olah
-kanuragannya. Seperti malam ini, dia tampak sudah berada di sekitar kaki gunung itu.
"Hiyaaa...!"
Glarrr! Malam yang sunyi sepi tiba tiba pecah oleh suara ledakan dan gemuruh bebatuan
-yang hancur berkeping-keping. Tampak Adipati Rakondah berdiri tegak dengan kedua
telapak tangan masih terbuka dan menjulur ke depan. Sedangkan matanya dengan
tajam menatap reruntuhan batu yang berada sekitar sepuluh depa di depannya.
Kepulan debu masih membayang di udara.
Sedangkan pecahan pecahan batu juga masih ber-hamburan turun bagai hujan.
-"Bagus...!" tiba tiba terdengar suara diiringi tepuk tangan.
-Adipati Rakondah langsung berbalik. Betapa terkejutnya dia ketika melihat
Panglima Bantaraji tiba tiba sudah berada di belakangnya. Panglima Kerajaan
-Banyu Biru itu kemudian melangkah pelahan lahan neng-hampirinya. Tampak bibirnya
-yang tipis dengan kumis tebal di atasnya menyunggingkan senyuman cerah.
"Jurus 'Tapak Sakti'mu benar benar luar biasa!" puji Panglima Bantaraji sambil
-geleng geleng kepala per-lahan.
-"Jangan memperolokku, Kakang," rungut Adipati Kakondah.
"Aku yakin dengan jurus itu kau akan mampu menandingi Pendekar Pulau Neraka."
"Aku justru merasa sebaliknya, Kakang. Jurus 'Tapak Sakti'ku memang seimbang
dengan jurus 'Kipas Maut'
Nyai Rengganis. Tapi aku baru bisa menguasainya di bawah jurus 'Kipas Maut'.
Rasanya aku belum mampu, Kakang," nada suara Adipati Rakondah terdengar
mengeluh. "Jangan berkecil hati dulu, Adik Rakondah. Meskipun aku tahu bahwa kau salah,
tapi aku tidak akan tinggal diam begitu saja. Aku sudah mengirim utusan ke
kerajaan, dan meminta prajurit prajurit pilihanku untuk datang ke sini."-"Untuk apa" Kakang hanya membuang buang waktu dan nyawa sia sia," Adipati
- -Rakondah menyesalkan.
"Jangan berpikir yang bukan bukan dulu, Adik Rakondah. Aku melakukan semua itu
-hanya untuk sekedar berjaga jaga. Aku dengar sudah beberapa tokoh sakti yang
-dulu ikut menghancurkan Padepokan Teratai Putih tewas di tangannya. Tindakan
pendekar itu kejam dan tidak kenal ampun. Siapa saja yang mencoba menghalangi
maksudnya, tidak diberi kesempatan hidup lagi. Aku harap kau bisa mengerti, Adik
Rakondah. Aku hanya menjaga kemungkinan, kalau kalau dia akan berbuat kejam. Bagaimanapun
-juga keselamatan
Kadipaten Jati Anom adalah tanggung jawabku juga,"
Panglima Bantaraji mencoba menjelaskan.
"Terima kasih, Kakang," ucap Adipati Rakondal terharu.
"Hanya satu pesanku, Adik Rakondah," lanjut Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah menatap lurus ingin tahu. "Kau harus hati hati terhadap
-senjatanya."
"Maksudmu, Kakang?"
"Senjata Pendekar Pulau Neraka berbentuk cakram bersegi enam. Senjata itu dapat
melayang seperti memiliki mata. Dan sampai saat ini belum ada satu senjata pun
yang mampu menandinginya. Bahkan Tongkat Sakti Jantara pun sudah dibabat
buntung!" "Kakang..."! Apakah Kakang Jantara juga ikut tewas?" Adipati Rakondah terkejut.
"Benar."
"Bagaimana Kakang bisa tahu semuanya?" tanya Adipati Rakondah seperti
menyelidik. "Aku mengikuti semua kejadian dengan sembunyi-sembunyi. Dan aku melihat semua
kejadian yang dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka itu. Aku sendiri tidak tahu,
apakah pendekar itu mengetahui kehadiranku atau tidak. Yang jelas, aku selalu
menguntit ke mana pendekar itu pergi untuk mencari orang orang yang telah
-bersekutu menghancurkan Padepokan Teratai Putih," kembali Panglima Bantaraji
menjelaskan. "Dan sekarang Kakang tiba tiba berada di sini, apakah Pendekar Pulau Neraka itu
-juga ada di sekitar sini?" tebak Adipati Rakondah mulai bisa mengerti.
"Entahlah, dia sudah sampai atau belum. Tapi yang jelas arah perjalanannya
menuju Kadipaten Jati Anom ini."
Kembali Adipati Rakondah terdiam.
"Malam sudah terlalu larut, sebaiknya sekarang kau pulang saja. Dan aku akan
terus berusaha menjauhkan pendekar itu dari Kadipaten Jati Anom," kata Panglima
Bantaraji. "Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Adipati Rakondah.
Panglima Bantaraji hanya tersenyum. Kemudian
Iangkahnya terayun. Sedangkan Adipati Rakondah juga ikut melangkah di belakang
laki laki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu. Mereka terus berjalan -tanpa banyak bicara lagi. Sementara malam terus merayap
semakin larut. Dan angin malam yang dingin menebarkan titik titik embun,
-menambah suasana semakin sunyi dan dingin.
*** 2 Pagi ini awan hitam tampak menggantung dan berarak di angkasa. Sementara cahaya
matahari seperti tak sanggup untuk menembus kepekatan awan yang
menyelimuti seluruh langit di atas Kadipatan Jati Anom.
Sedangkan hembusan angin yang bertiup kencang menebarkan udara dingin seperti
menusuk sampai ke tulang. Tampak daun daun berguguran, dan debu debu berkepulan
- -tersapu angin. Seluruh kota kadipaten itu tampak sepi, hanya sesekali terlihat
satu dua orang yang melintasi jalan utama kota itu.
Dari arah pintu gerbang perbatasan kadipaten sebelah Utara, tampak seorang laki
-laki gagah sedang melangkah ringan mendekati pintu gerbang. Sampai di depan
pintu gerbang, pemuda itu hanya melirik pada dua penjaga yang memandanginya
denga tatapan mata penuh selidik. Hingga pemuda itu berlalu, kedua penjaga itu
masih tetap memperhatikannya. Kadipaten Jati Anom memang sering kedatangan tamu,
baik yang hanya singgah maupun yang ingin menetap, sehingga setiap kali ada
pendatang baru para penjaga pintu gerbang perbatasan tidak pernah menegur atau
bertanya. "Orang itu tampaknya mencurigakan, ya...?" bisi salah seorang penjaga.
"Hm...," gumam satunya lagi tidak jelas, namun matanya terus mengamati pemuda
yang sudah jauh berjalan.
"Ciri cirinya seperti yang pernah dikatakan oleh Panglima Bantaraji," kata -penjaga itu lagi.
"Benar!" seru yang satunya.
Dan tanpa berkata apa apa lagi, kedua penjaga pintu gerbang perbatasan itu


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-langsung berlari kencang memburu pemuda tadi.
"Berhenti...!"
Pemuda gagah itu segera menghentikan langkahnya.
Namun sedikit pun dia tidak berbalik atau menoleh. Dia tetap berdiri tegak
dengan pandangan lurus ke depan.
Kedua penjaga itu terus menghampiri dan mencegat-nya.
"Maaf, Kisanak. Kami harus memeriksa Anda dulu,"
kata salah seorang penjaga dengan sopan.
"Bukankah kota ini bebas untuk didatangi oleh pendatang?"
"Benar, tapi sekarang Gusti Adipati dan Gusti Panglima telah memerintahkan kami
untuk memeriksa setiap pendatang baru."
"Sejak kapan peraturan itu berlaku?"
"Tujuh hari yang lalu."
"Kalau aku menolak...?"
Sejenak kedua penjaga itu saling berpandangan.
Kata kata pemuda gagah itu terdengar dingin dan kaku.
-Sedangkan sinar matanya tampak tajam, seakan akan mampu membuat siapa saja yang
-memandangnya bergidik tanpa sebab. Maka seperti dikomando saja, kedua penjaga itu segera
melangkah mundur dua tindak. Sementara tangannya menggenggam tombak dengan lebih
erat. "Maaf, Kisanak. Sebenarnya kami juga enggan untuk
memeriksa setiap orang yang datang ke kota ini, tapi kami hanya menjalankan
tugas," kata salah seorang penjaga masih bersikap sopan, meskipun sudah waspada.
"Katakan pada Gusti mu, aku tidak akan lama di sini.
-Dan aku akan segera meninggalkan kota ini setelah urusanku selesai!" lantang dan
tegas kata kata pemuda itu.
-Dan tanpa menghiraukan kebingungan kedua
penjaga itu, dia segera mengayunkan langkahnya kembali. Ayunan kakinya tampak
ringan dan tenang.
Tapi kemudian, kedua penjaga itu langsung melompat dan kembali menghadang. Kali
ini ujung tombaknya sudah terhunus.
"Maaf, kami terpaksa menahanmu, Kisanak," kata salah seorang penjaga.
"Hm...!"
Pemuda itu tidak mempedulikan. Dia terus saja mengayunkan kakinya.
"Berhenti!"
Tapi pemuda itu tetap tidak menghiraukan, dia terus melangkah maju. Sementara
kedua penjaga itu saling pandang, lalu dengan cepat salah seorang dari mereka
menggerakkan tombaknya ke arah perut pemuda itu.
Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya
sedikit ke samping, pemuda itu luput dari serangan.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan pemuda itu bergerak cepat dan mengempit
batang tombak itu di ketiaknya. Sedangkan tangan satunya lagi berhasil
mematahkan tombak itu. Dan belum lagi penjaga itu sempat menguasai keadaan,
sebuah ayunan kaki yang
bergerak bagai kilat, langsung menghantam dadanya yang keras.
"Hugh!" penjaga itu mengeluh pendek. Tubuhnya sampai terjajar ke belakang
beberapa depa. Melihat keadaan itu, penjaga yang satunya lagi segera mengibaskan tombaknya ke
arah leher. Namun dengan cepat pemuda itu menarik kepalanya ke belakang, dan
tangan kanannya terangkat ke atas menangkap tombak itu. Lalu dengan satu kali
hantaman tangan kiri, tombak itu kembali patah jadi dua bagian.
"Akh...!"
Kedua penjaga itu terkejut bukan main. Dalam sekejap saja kedua tombak mereka
sudah patah jadi dua bagian. Sementara pemuda itu masih tetap berdiri tegak
tanpa menggeser kakinya sedikit pun. Sebentar mereka saling pandang, lalu....
Sret! Hampir bersamaan kedua penjaga itu mencabut
pedang yang tergantung di pinggang. Kedua pedang penjaga itu berukuran panjang
dan berwarna keperakan berkilat. Tampak pemuda gagah itu hanya menatap dengan
bibir yang mengulas senyum sinis.
"Sayang sekali, nama kalian tidak tercantum dalam daftarku...," kata pemuda
gagah itu bergumam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu langsung melesat pergi bagai kilat melewati
kepala kedua penjaga itu. Tentu saja hal itu membuat kedua penjaga itu melongo
seperti melihat dewa baru turun dari kahyangan. Dan saat mereka membalikkan
tubuh pemuda gagah itu sudah tidak terlihat lagi bayangan nya.
"Siapa dia, ya...?" salah seorang penjaga bergumam sambil memasukkan pedangnya
kembali ke dalam warangkanya.
"Kau tunggu dulu di sini, aku akan melaporkan hal ini pada Gusti Adipati," kata
seorang lagi. "Cepatlah, tidak enak berjaga sendirian. "
"Sebentar saja aku pasti sudah kembali, kalau tidak...
Paling paling juga mampir di rumah janda sebelah!"-"Sialan!"
*** Adipati Rakondah segera berdiri begitu melihat seorang berpakaian prajurit
penjaga datang dengan tergopoh gopoh. Prajurit itu langsung berlutut memberi
-hormat. Tampak tubuhnya bersimbah peluh, sementara debu menempel di wajah dan
bajunya. Napasnya masih terengah engah seperti baru saja menempuh perjalanan
-jauh dan melelahkan.
"Ada apa" Bukankah kau seharusnya masih menjaga di pintu gerbang perbatasan
sebelah Utara kota?" tanya Adipati Rakondah sedikit terkejut.
"Ampun, Gusti. Hamba sengaja datang ke sini karena ada sesuatu hal yang harus
segera hamba laporkan,"
sahut prajurit penjaga perbatasan itu.
"Katakan cepat, apa yang akan kau laporkan?"
"Baru saja ada seorang pemuda yang mencurigakan melewati pintu gerbang, Gusti.
Hamba sudah berusaha untuk menahan dan memeriksanya, tapi pemuda itu malah
melawan. Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi, Gusti. Hanya sekali gebrak saja,
hamba dan teman
hamba terkecoh dan dia berhasil kabur," lapor prajurit penjaga itu.
Sejenak Adipati Rakondah memalingkan mukanya
dan menatap pada Panglima Bantaraji yang tetap duduk di kursinya. Di sebelah
Panglima Bantaraji, duduk seorang gadis cantik yang mengenakan baju ungu yang
terbuat dan bahan sutra halus yang indah. Gadis itu adalah putri tunggal Adipati
Rakondah yang bernama Intan Delima.
"Bagaimana ciri cirinya?" tanya Panglima Bantaraji.
-"Dia mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau, Gusti Panglima," sahut
prajurit penjaga perbatasan itu.
"Kau tidak salah lihat, Prajurit?" Panglima Bantaraji bangkit dari duduknya.
"Tidak, Gusti."
"Ada apa, Kakang" Kau kenal?" tanya Adipati Rakondah.
"Tidak salah lagi. Pasti dialah orangnya. .," gumam Panglima Bantaraji pelan.
"Maksudmu...?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu memakai baju dari kulit harimau. Hm..., tapi...."
"Kenapa, Kakang?" tanya Adipati Rakondah tak sabar.
Panglima Bantaraji tidak segera menyahut. Di malah melangkah menghampiri
prajurit penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Matanya tajam menatap prajurit
yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam itu.
"Prajurit!"
"Hamba, Gusti Panglima."
"Kau sempat bertarung dengannya?" tanya Panglima Bantaraji.
"Benar, Gusti. Tapi hanya sekali gebrakan saja."
"Apa dia mengeluarkan senjatanya?"
"Tidak, Gusti."
Panglima Bantaraji kemudian berbalik dan menghadap Adipati Rakondah yang sudah
duduk kembali di kursinya. Sementara putrinya tetap diam sejak tadi, seperti
tidak mau peduli sama sekali dengan pembicaraan itu. Namun dari keningnya yang
sedikit berkerut, bisa dipastikan kalau gadis itu sedang berpikir juga.
"Adik Rakondah. Sebaiknya mulai sekarang kau melipatgandakan
penjagaan. Aku akan segera menyelidiki orang itu," kata Panglima Bantaraji.
"Hati hati, Kakang," hanya itu yang bisa diucapkan Adipati Rakondah.-Kemudian Panglima Bantaraji segera berbalik dan melangkah
meninggalkan ruangan balai agung Kadipaten Jati Anom itu. Sedangkan Adipati Rakondah segera memerintahkan pada
prajurit penjaga itu untuk kembali bertugas. Dia juga memerintahkan untuk
melipatgandakan penjagaan di pintu gerbang masuk batas kota kadipaten.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?" tanya Intan Delima setelah lama berdiam
diri. "Tidak apa apa, hanya sedikit persbalan kecil," sahut Adipati Rakondah.-"Siapa orang itu, Ayah?" desak Intan Delima. Adipati Rakondah tidak menjawab.
Dia hanya tersenyum, dan melangkah meninggalkan ruangan besar itu. Sementara
Intan Delima nampak masih diliputi oleh rasa penasaran, tapi dia tidak berani
mendesak ayahnya untuk berkata terus terang. Kemudian gadis itu hanya mengangkat
bahunya saja dan berlalu dari ruangan itu.
*** Keadaan di Istana Kadipaten Jati Anom sekarang telah berubah. Dari siang sampai
malam para prajurit kadipaten tampak selalu bersiaga dengan senjata lengkap
seperti mau diserang musuh saja. Adipati Rakondah memang telah memerintahkan
untuk melipat gandakan penjagaan di sekitar istana itu.
-Sementara itu Intan Delima yang belum memahami betul akan situasi dan persoalan
yang sedang dihadapi ayahnya, makin bertambah penasaran melihat keadaan itu.
Kini Kadipaten Jati Anom benar benar seperti mau perang saja. Bukan hanya di
-sekitar istana kadipaten saja yang dijaga ketat, tapi juga hampir seluruh
pelosok kota kadipaten.
"Aku tidak percaya kalau hal ini hanya karena persoalan kecil...," gumam Intan
Delima yang pagi itu sedang berjalan jalan mengelilingi istana kadipaten.
-"Mungkin ada musuh yang akan menyerang, Gusti Ayu," celetuk seorang emban
pengasuh yang mendampinginya.
"Tidak, Bibi Emban. Aku sudah mendengar sedikit pembicaraan. Aku jadi penasaran,
siapa sebenarnya pemuda yang begitu ditakuti oleh Ayah dan Paman Panglima?"
Intan Delima seperti bicara pada dirinya sendiri.
Dua orang emban yang mengikutinya tidak
membuka suara. Mereka terus saja berjalan pelan pelan menuju taman samping.
-Beberapa saat kemudian, Intan Delima menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang
yang terbuat dari bambu di dekat kolam yang diisi dengan berbagai jenis ikan.
"Bibi Emban, tolong katakan pada pengurus kuda agar segera menyiapkan seekor
kuda untukku sekarang," perintah Intan Delima.
"Gusti Ayu hendak ke mana?" tanya salah seorang emban yang bertubuh gemuk.
"Laksanakan saja perintahku!" sentak Intan Delima.
"Baik, Gusti Ayu."
Perempuan bertubuh gemuk itu pun bergegas
menuju istal. Sedangkan Intan Delima kembali berdiri dan melangkah menuju ke
bagian depan. Ayunan kakinya lebar lebar, dan bibirnya terkatup rapat.-Sementara seorang emban lagi terus menguntitnya dengan wajah dipenuhi tanda
tanya. "Gusti Ayu...," Emban itu memberanikan diri membuka suara.
"Ada apa?" tanya Intan Delima sambil terus melangkah.
"Gusti Adipati menyatakan bahwa seluruh kadipaten dalam keadaan gawat, sebaiknya
Gusti Ayu membawa beberapa orang prajurit pengawal," saran limban itu.
Namun Intan Delima tidak menanggapi. Dia berhenti melangkah pada saat ada
seorang laki laki tua yang datang menghampirinya dengan menuntun seekor kuda
-putih dengan kaki kakinya belang hitam. Di belakangnya tampak seorang wanita
-gemuk mengikuti Kuda itu
sudah siap dengan pelana dari kain tebal yang ber-sulamkan benang emas.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Intan Delima langsung melompat naik ke punggung
kuda. Dan saal itu juga Intan Delima segera menggebah kudanya menuju ke pintu
gerbang istana kadipaten yang dijaga tidak kurang dari sepuluh prajurit.
Kuda putih dengan belang hitam pada kakinya itu terus dipacu cepat meninggalkan
kepulan debu di belakangnya. Dua orang penjaga pintu gerbang bergegas membuka
pintu dengan raut wajah yang diliputi berbagai macam perasaan. Sepertinya mereka
tidak ingin membukakan pintu, tapi begitu melihat yang menunggang kuda adalah
putri Adipati Jati Anom, mereka segera membuka pintu gerbang itu.
Intan Delima terus menggebah kudanya dengan
kencang ke luar dari lingkungan benteng istana kadipaten. Sementara penjaga
pintu gerbang segera menutup kembali pintunya setelah kuda yang di-tunggangi
Intan Delima ke luar.
"Hiya! Hiya !"
Intan Delima terus menggebah kudanya dengan
cepat melintasi jalan utama Kadipaten Jati Anom.
Beberapa orang penduduk kota yang berpapasan dengannya, langsung membungkukkan
badannya. Intan Delima terus memacu kudanya menuju perbatasan Utara kadipaten.
*** "Hooop...!"
Intan Delima segera menghentikan lari kudanya tepat di depan pintu gerbang
perbatasan yang terbuat dari batu ukir di kanan kiri jalan. Enam orang prajurit
penjaga yang ada langsung membungkukkan badan memberi hormat. Intan Delima
menatap salah seorang prajurit penjaga yang berdiri paling pinggir.
"Kau, ke sini!"
"Hamba, Gusti Ayu," sahut prajurit penjaga itu segera menghampiri.
"Kau yang melapor kemarin?"
"Benar, Gusti Ayu."
"Aku minta agar kau berkata jujur dan terus terang.
Siapa pemuda yang berbaju kulit harimau itu?" tegas nada suara Intan Delima.
"Maksud, Gusti Ayu?"
'Yang kau laporkan kemarin. Goblok!"
"Maaf, Gusti Ayu. Hamba ..., hamba hanya mendapat perintah untuk menjaga pintu -gerbang
perbatasan Utara saja, Gusti. Hamba...."
"Jangan banyak alasan! Cepat katakan, siapa nama pemuda itu?" potong Intan
Delima gusar. Prajurit itu jadi kebingungan. Sejenak bola matanya berputar melirik pada
temannya yang bungkam saja sejak tadi. Dia seperti sedang berpikir keras dan
menimbang nimbang
-permintaan putri tunggal junjungannya ini. Rasanya sulit bagi dia untuk mengatakan yang sebenarnya,
karena Adipati Rakondah sendiri sudah berpesan padanya untuk tidak mengatakan
hal ini pada Intan Delima. Adipati Rakondah tidak ingin putrinya itu terlibat,
dan menjadi korban dari
kekejaman Pendekar Pulau Neraka yang kini hatinya sedang tersulut oleh api
dendam. Lama kelamaan Intan Delima jadi geregetan juga melihat sikap prajurit itu.
Kemudian gadis itu melompat turun dari atas punggung kudanya, dan mendarat manis
tepat di depan prajurit itu.
"Katakan, siapa nama pemuda yang berbaju kulit harimau itu?" dingin dan datar
suara Intan Delima.
"Ampunkan hamba, Gusti Ayu. Hamba..., hamba sudah dipesan untuk..."
"Tidak mengatakan padaku, begitu"!" sentak Intan Delima semakin gusar.
Prajurit penjaga itu hanya diam tertunduk.
"Siapa yang telah memerintahmu begitu" Paman Panglima..." Ayah?" berondong Intan
Delima. "Gusti Adipati Rakondah sendiri, Gusti Ayu," pelan jawaban prajurit penjaga itu.
"Dengar kalian semua! Siapa saja yang berani buka mulut bahwa aku telah mengorek
keterangan, akan berhadapan langsung denganku!" lantang suara Intan Delima.
Enam orang prajurit penjaga tersebut langsung diam sambil menundukkan kepala.
Tidak ada seorang pun yang bisa menentang gadis itu. Selain karena dia adalah
putri tunggal junjungan mereka, Intan Delima juga memiliki ilmu olah kanuragan
yang cukup tinggi.
Sementara itu Intan Delima terus memandangi para prajurit itu satu persatu
dengan tatapan tajam.
"Cepat katakan, siapa nama pemuda itu" Dan apa maksudnya datang ke sini?" tanya
Intan Delima dingin.
"Tapi, Gusti Ayu..., hamba..."


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak perlu takut, juga yang lainnya. Kalau sampai Ayahanda Adipati tahu,
aku yang akan membela kalian!" janji Intan Delima.
Serentak enam orang prajurit tersebut saling berpandangan. Kemudian yang lima
orang meng-anggukkan kepala pada kawannya yang ada di depan Intan Delima.
Sejenak prajurit itu menarik napas dan menelan ludahnya untuk membasahi
tenggorokan yang mendadak kering.
"Cepat katakan," desak Intan Delima tidak sabaran.
"Ampun, Gusti Ayu. Pemuda yang berbaju kulit harimau itu bernama Pendekar Pulau
Neraka. Dia datang ke Kadipaten Jati Anom ini untuk mencari Gusti Adipati. Dia
ingin membalas dendam, Gusti Ayu," kata prajurit itu menjelaskan dengan suara
gemetaran. "Dendam..."!" Intan Delima mengerutkan keningnya.
"Dendam apa?"
"Hamba tidak tahu persis, Gusti. Yang tahu hanya Gusti Panglima dan Gusti
Adipati sendiri."
"Apakah orang itu sangat tangguh dan berbahaya, sehingga harus memperkuat
penjagaan dengan prajurit-prajurit pilihan kerajaan?"
"Hamba tidak tahu pasti, Gusti Ayu. Tapi yang hamba sempat dengar, Pendekar
Pulau Neraka sangat kejam.
Dia selalu membunuh setiap orang yang ditujunya, bahkan mereka yang mencoba
melindungi juga di-bunuh. Mungkin itulah sebabnya, kenapa Gusti Adipati Rakondah
tidak ingin Gusti Ayu mengetahui per-soalannya," kata prajurit itu sudah tenang
suaranya "Bagaimana tingkat kepandaiannya?"
"Tidak tahu, Gusti Ayu. Tapi kemarin dia
melumpuhkan hamba dan teman hamba hanya dalam sekali gebrak saja. Dia juga bisa
hilang, Gusti Ayu."
"Hm...," Intan DeHma mengerutkan keningnya.
Keterangan yang sedikit diperoleh itu sudah bisa membuat Intan Delima mengerti.
Seseorang yang bisa menghilang dalam pandangan orang berilmu olah kanuragan
rendah, sudah dapat dipastikan kalau orang itu memiliki tingkat kepandaian yang
sulit diukur dan dicari tandingannya.
Dan tanpa berkata apa apa lagi, Intan Delima langsung berbalik dan melompat naik-ke punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi. Gadis itu menggebah kudanya pelahan
-lahan meninggalkan perbatasan Utara Kadipaten Jati Anom. Dia kembali masuk ke
kota. Sepanjang jalan keningnya terus berkerenyut memikirkan setiap kata yang
barusan diucapkan oleh prajurit penjaga itu.
*** 3 Keadaan di dalam kola Kadipaten Jati Anom benar-benar seperti mau perang.
Suasana seperti itu tentu saja membuat penduduk jadi bertanya tanya dalam hati,
-namun tidak pernah menemukan jawaban yang tepat. Keadaan seperti itu sudah
berjalan lima hari di dalam kota Kadipaten Jati Anom, namun belum berubah juga.
Sementara itu Intan Delima yang sedang mencari tahu orang yang bernama Pendekar
Pulau Neraka, setiap hari terus mengelilingi kota kadipaten.
Sebenarnya dia ingin menanyakan langsung peristiwa yang sebenarnya pada ayahnya,
tapi setiap kali dia mau bicara, selalu tertunda dan dibatalkan. Intan Delima
sudah tahu bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan keterangan apa apa dari
-ayahnya. Bisa bisa ayahnya malah memperketat pengawalan pada dirinya. Hal itulah
-yang selalu dihindarkan Intan Delima.
Sejak pagi sampai tengah hari, Intan Delima berada di atas punggung kudanya.
Hari ini adalah hari yang ketiga bagi Intan Delima mencari orang yang berjuluk
Pendekar Pulau Neraka. Sudah seluruh pelosok kota dia jelajahi, tapi sampai saat
ini belum juga berhasil.
Memang tidak mudah untuk mencari seseorang di tengah tengah begitu banyak orang.
-Apalagi belum pernah berjumpa sekali pun!
"Huh! Udara siang ini panas sekali...!" keluh Intan Delima seraya menyeka
keringat yang meleleh lehernya yang jenjang.
Intan Delima kemudian menghentikan langkah kaki kudanya di pinggir sebuah sungai
kecil yang berair jernih. Sebentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling
sebelum turun dari punggung kudanya. Tidak terlihat seorang pun di sekitar
tempat itu, karena daerah ini memang sudah jauh masuk ke hutan perbatasan
sebelah Selatan. Intan Delima tertegun sejenak begitu matanya memandang seonggok
batu cadas yang berdiri menjulang dari gerumbul pepohonan.
Batu cadas itu seperti diukir oleh tangan ahli, berbentuk seperti seekor ular
raksasa yang melingkar di tengah tengah hutan melibat sebatang pohon raksasa.-Benar benar suatu pemandangan yang indah. Sayang tak seorang pun yang berani
-mendekatinya. Banyak legenda yang menceritakan tentang batu dan hutan itu.
Tapi semuanya hanya berupa legenda yang diseram-seramkan. Belum ada bukti dan
kebenarannya. "Hutan Naga... Hhh...! Mudah mudahan tidak ada apa apa. Aku hanya singgah
- -sebentar," desah Intan Delima menenangkan diri. Kemudian gadis itu
menuntun kudanya dan mendekati sungai kecil berair jernih yang mengalir tenang
dari hutan yang membukit itu. Lalu dia berlutut di tepian sungai itu dan dengan
kedua tangannya dia menyiduk air dan membasuh mukanya. Terasa sejuk dan segar
begitu air sungai menyentuh wajahnya yang putih kemerahan dan
berkulit halus lembut bagai sutra.
Dan ketika tangannya hendak menciduk air lagi, mendadak gerakannya terhenti. Di
permukaan air sungai yang bening terbayang seseorang sedang berdiri di seberang.
Buru buru Intan Delima mengangkat
luipalanya. Dan tampaklah seorang pemuda gagah sudah berdiri di seberang sungai.
Pemuda itu berwajah tampan, namun terlihat garis garis kekerasannya.
-Kemudian dengan pelahan lahan, Intan Delima bangkit lari jongkoknya.
-Matanya terus menatap tajam memperhatikan laki-laki muda itu. Dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki dia perhatikan dengan seksama. Sejenak Intan Delima
melangkah mundur dua tindak.
"Apakah dia orangnya" Ciri cirinya sama persis seperti yang dikatakan oleh
-prajurit penjaga perbatasan. Masih muda, gagah dan bajunya terbuat dari kulit
harimau. Tapi.... Ah! Rasanya tidak mungkin. Dia tidak kelihatan kejam dan
jahat. Malah...," Intan Delima tidak melanjutkan kata kata yang terlintas di
-hatinya. "Tuan siapa" Dan kenapa ada di tempat yang angker ini?" tanya Intan Delima
menegur lebih dulu setelah menenangkan pikirannya.
"Kau sendiri, kenapa juga berada di sini?" pemuda itu balik bertanya.
"He! Aku yang bertanya padamu!" bentak Intan Delima.
"Aku tidak pernah memberitahu siapa diriku lebih dahulu, sebelum orang lain
memperkenalkan diri," kata pemuda itu tenang, namun nada suaranya terdengar
tegas. "Hm..., rupanya kau orang asing di sini, sehingga tidak tahu dengan siapa kau
sedang berhadapan."
"Siapa pun kau, aku tidak peduli!"
Intan Delima berkerenyut keningnya. Belum pernah ada seorang pun yang berani
bicara kasar seperti itu
padanya. Dia adalah seorang putri adipati yan sangat dihormati dan berilmu
tinggi! Dan semua orang selalu membungkuk hormat bila berhadapan dengannya, tapi
pemuda ini. Sedikit pun tidak memandang sebelah mata padanya!
"Sikapmu bisa menyulitkan dirimu sendiri...," gumam Intan Delima setengah
mengancam. "Aku memang terlahir penuh kesulitan, jadi apapun bentuknya kesulitan itu tidak
pernah merubah sikapku,"
tegas jawaban pemuda gagah itu.
"Kurang ajar! Kau benar benar tidak memandangku sebelah mata. Kau tahu siapa -aku, heh?" bentak Intan Delima langsung mendidih darahnya.
"Aku tahu, kau adalah seorang gadis yang manja dan mudah marah. Tapi kau sangat
cantik, dan...."
"Setan!" merah padam seluruh wajah Intan Delima.
-Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Dan bagaikan seekor burung
elang, dia menggenjot tubuhnya menyeberangi sungai. Kemudian tanpa banyak bicara
lagi, gadis itu langsung mengirimkan pukulan mautnya yang bertenaga dalam cukup
tinggi kearah pemuda itu.
"Eit!"
Pemuda itu hanya berkelit sedikit ke samhping, dan tangan kanannya memukul ke
arah dada Intan Delima.
Untung saja gadis itu cepat cepat menarik mundur tubuhnya, dan langsung
melayangkan kakinya ke arah perut.
"Kau hebat, tapi sayang... uts!"
Pemuda itu segera menggeser kakinya dua tindak ke belakang, dan tendangan Intan
Delima pun tidak sampai
mengenai perutnya. Tapi Intan Delima tidak lagi memberi kesempatan. Dia segera
menyerang lagi dengan jurus jurus yang mengandung tenaga dalam tinggi, sehingga
-membuat pemuda itu hanya bisa berkelit dan berlompatan ke sana kemari
menghindari serangan Intan Delima yang dahsyat dan mematikan itu.
*** Pertarungan antara Intan Delima dan pemuda
berbaju kulit harimau itu terus berlangsung semakin sengit. Dan keadaan di
sekitar pertarungan itu sudah porak poranda seperti diamuk oleh puluhan ekor -ajah.
Namun sampai pertarungan berjalan lebih dari dua puluh jurus, belum sedikit pun
pemuda itu melakukan serangan balasan.
"Kau telah mempermainkan aku, Pemuda Setan! Kau harus mati di tangan Intan
Delima, putri tunggal Adipati Jati Anom!" bentak Intan Delima, tanpa sadar dia
telah membuka rahasia dirinya sendiri.
"Heh...!" pemuda berbaju kulit harimau itu tampak terkejut. Buru buru dia
-melompat mundur dan
menghindar dari pertarungan.
"Kenapa kau mundur" Takut...?" dengus Intan Delima sinis.
"Tidak kusangka, temyata adipati pembunuh licik hanya mampu mengirim gadis bau
kencur!" geram pemuda itu sambil menatap tajam ke bola mata Intan Delima.
"Setan jelek! Kau telah menghina ayahku...!" Intan Delima menggeram hebat.
"Bukan itu saja, aku sengaja datang ke kota ini untuk berurusan dengan pembunuh
licik yang berkedok jadi adipati!"
"Eh, jadi...!" Intan Delima menggerinjang kaget.
"Kau.... Kau Pendekar Pulau Neraka..."!"
"Ya, akulah Pendekar Pulau Neraka yang akan membuat perhitungan dengan
Rakondah!" tegas jawaban pemuda itu.
Sejenak Intan Delima memandangi pemuda yang
memakai baju kulit harimau itu dengan tidak percaya.
Bagaimana mungkin, seorang pemuda yang usianya paling paling dua puluh lima
-tahun sudah begitu kondang namanya. Sampai sampai membuat tokoh-tokoh tua rimba
-persilatan gempar. Tak terkecuali Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji yang
terkenal memiliki ilmu olah kanuragan yang tinggi! Itu baru mendengar namanya
saja. belum berhadapan langsung dengan orangnya yang... Intan Delima sukar untuk
mempercayai kalau pemuda tampan dan angkuh itu yang telah membuat gempar seluruh
rimba persilatan.
"Kenapa wajahmu tiba tiba pucat, Gadis Manja"
Apakah kau juga gentar seperti ayahmu?" ejek pemuda yang nama lengkapnya Bayu
Hanggara itu. "Jangan besar kepala dulu, Setan Jelek! Kau sendiri tidak akan mampu untuk
menandingiku, apalagi berhadapan dengan ayahku, yang sekarang dibantu oleh
Panglima Bantaraji!" balas Intan Delirrja menggertak.
"Bagus! Berarti tanganku akan lebih banyak lagi berlumur darah. Seluruh penduduk
Kadipaten Jati Anom boleh berlindung di belakang tikus pengecut itu, biar aku
lebih puas mengadakan pesta darah dan mayat!"
Bayu tersenyum lebar.
Bergidik juga hati Intan Delima mendengarnya.
sungguh jauh berbeda kata kata yang mengalir lancar lengan wajah dan -penampilannya. Rasanya semua orang juga tidak akan percaya kalau pemuda ini
ternyata berhati kejam dan selalu berlumuran darah dalam hidupnya. Wajah dan
bentuk tubuhnya tidak sedikit pun mencerminkan kekejaman. Tapi kata katanya
-barusan... Semua orang pasti bergidik mendengarnya!
"Sebaiknya sekarang kau pulang saja, dan segera berlindung di bawah ketiak
ayahmu. Katakan padanya kalau saat kematiannya sudah dekat!" dengus Bayu.
"Heh...!"
Baru saja Intan Delima ingin mengatakan sesua tiba-tiba saja pemuda itu sudah
mencelat cepat. Begitu cepatnya, tahu tahu dia sudah lenyap dari pandangan mata.
-Tampak Intan Delima celingukan mencari cari.
-Meskipun gadis itu sudah terlatih dalam berbagai ilmu olah kanuragan, tapi dia
benar benar tercengang melihat tingginya ilmu yang dimiliki oleh Pendeka Pulau
-Neraka. Sulit diukur, sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka
itu! "Hhh, rasanya tadi dia tidak melayaniku dengan sungguh sungguh! Apakah Ayah dan
-Paman Panglima akan mampu menandinginya! Ilmunya benar benar luar biasa...,"
-Intan Delima bergumam sendiri sambil menggeleng gelengkan kepala.
-Beberapa saat lamanya gadis itu masih berdiri saja di tempatnya. Dia tampak
tertegun dengan kejadian yang barusan dialaminya.
*** Sejak pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka,
Intan Delima jadi tampak lebih banyak melamun dan berdiam diri di dalam kamar.
Kegagahan dan ketampanan pemuda itu telah menggores dalam di hatinya. Dia jadi sangsi akan
kemampuan Ayah dan Pamannya. Mampukah mereka menandingi Pendekar Pulau Neraka"
Sedangkan dia sendiri yang sempat bentrok belum mampu untuk mengukur, sampai di
mana tingkat kepandaian pendekar muda itu.
Intan Delima juga memikirkan tentang peristiwa yang menyangkut ayahnya dengan
Pendekar Pulau Neraka itu, hingga sampai menyulut api dendam yang begitu parah
dan harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Beberapa saat kemudian, Intan
Delima bangkit dari pembaringan, dan melangkah menuju jendela. Sudah setengah
harian dia berada di dalam kamar itu, namun belum juga bisa menemukan jawaban
dari pertanyaan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Dan pertanyaan yang
-paling pokok, dendam apa yang telah bersemayam di dada Pendekar Pulau Neraka"
"Rasanya tidak mungkin kalau dia mencari Ayah tanpa sebab," gumam Intan Delima
pelahan. Sejenak gadis itu mengedarkan pandangannya
berkeliling melalui jendela kamarnya yang terbuka. Dan matanya langsung terpaku
pada pohon beringin yang tumbuh dekat tembok. Tampak seseorang sedang berada di
atas pohon itu sambil mengawasi. Dan Intan Delima semakin membeliakkan matanya
begitu mengenali siapa orang itu. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melompat
ke luar. Dan begitu ujung dari kakinya menyentuh tanah, dia kembali melentingkan
tubuhnya ke udara menuju pohon itu.
Slap! "Hey...!"
Intan Delima terkejut begitu kakinya menjejak lahan, orang itu langsung melesat
kabur. Dan dengan cepat Intan Delima kembali melenting dan mengejar orang yang
mencurigakan itu. Tubuhnya bergerak ringan bagai kapas. Kejar kejaran pun -terjadi. Sedikit pun Intan Delima tidak melepaskan pandangannya dari orang yang
berlompatan jauh di depannya.
"Huh! Ilmu meringankan tubuhnya sungguh hebat.
Tidak mungkin aku bisa mengejarnya tanpa ilmu 'Sayiti Angin'," dengus Intan
Delima. Gadis itu tampak semakin cepat berlari setelah dia mengerahkan ilmu 'Sayiti
Angin'nya. Dan jarak dengan orang yang ada di depannya pun semakin pendek, dan
akhirnya... "Hiyaaa...!"
Intan Delima segera melentingkan tubuhnya dan melompati kepala orang yang
dikejarnya itu. Lalu dengan manis dia mendarat di depannya, dan langsung
berbalik. "Berhenti!" bentak Intan Delima.
"Hebat...! Ternyata kau mampu juga menyusulku,"
puji orang itu yang ternyata adalah seorang pemuda gagah yang memakai baju dari
kulit harimau. "Mau apa kau mengintai rumahku, Pendekar Pulau Neraka?" Intan Delima bertanya
sinis. Bayu hanya tersenyum saja. Lalu dia mengayunkan kakinya mendekati sebongkah batu
hitam sebesar kerbau, dan dengan enak dia duduk di sana. Tampak bibirnya yang
tipis masih menyunggingkan senyum.
Sedangkan matanya tidak lepas dari wajah cantik yang tidak mencerminkan
persahabatan itu.
Intan Delima merasa jengah juga dipandangi
sedemikian rupa. Buru buru-dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Entah kenapa, mendadak saja dadanya jadi bergemuruh.


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Detak jantungnya juga semakin cepat bekerja. Tatapan mata Pendekar Pulau Neraka
itu demikian menusuk, dan langsung menuju lubuk hatinya yang paling dalam. Tanpa
disadari, wajahnya menyemburat merah dadu.
"Uh! Tatapan matanya. , tapi... Ah, tidak! Dia adalah musuh ayahku, aku tidak
boleh ter... Eh! Apa yang sedang kupikirkan" Gila!" Intan Delima jadi berperang
sendiri dengan batinnya.
Gadis itu semakin tidak menentu saja perasaannya, saat dia melirik, dan langsung
bertemu pandang dengan pemuda itu. Gadis itu terus merutuki dirinya sendiri.
Secara jujur, dia memang mengakui kalau pemuda itu benar benar gagah dan tampan.
-Tatapan matanya mengandung daya tarik yang luar biasa. Intan Delima merasa tidak
sanggup lagi untuk mengusir gemuruh yang semakin deras melanda dadanya.
Sebenarnya perasaan itu sudah ada sejak pertama kali mereka bertemu. Namun dia
masih sanggup untuk mengenyahkan, tapi sekarang..., rasanya makin sulit untuk
menghalau perasaan itu dari hatinya. Kini Intan Delima jadi tidak mengerti,
kenapa tiba tiba saja dia
-mempunyai perasaan yang sulit untuk dimengerti"
Suatu perasaan yang belum pernah dia alami sebelum nya. Apakah ini yang
dinamakan.... Tidak! Intan Delima buru buru membantah kata hatinya. Lama juga
-mereka hanya saling berdiam diri dengan hati dan perasaan yang berbicara masing
-masing. Intan Delima merasa, semakin lama dia berada di tempat itu, semakin gelisah
perasaan hatinya.
Sementara Pendekar Pulau Neraka masih duduk diam dengan pandangan tidak berkedip
pada wajah cantik yang sebentar sebentar berubah warnanya. Sementara Intan
-Delima sendiri semakin diliputi oleh suatu perasaan yang dia sendiri tidak tahu
apa artinya. "Mau ke mana kau?" tanya Bayu begitu melihat Intan Delima mau pergi.
Sejenak Intan Delima mengurungkan niatnya. Dan seperti ada satu kekuatan yang
amat dahsyat, dia mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke bola mata Bayu.
Seketika hatinya bergetar hebat begitu matanya bertemu pada satu titik. Dengan
sekuat tenaga Intan Delima menguatkan diri dan berusaha untuk tetap terlihat
tegar. "Sebenarnya mau apa kau mengintai rumahku?"
tanya Intan Delima setelah menarik napas dalam dalam.
-"Siapa bilang aku mengintai rumahmu?" Bayu malah balik bertanya.
"He! Kau ada di pohon dekat rumah! Untuk apa lagi kalau bukan untuk mengintai?"
"O..., itu. Sengaja, aku memang sengaja memancin-gmu," tenang sekali jawaban
Bayu. "Memangnya aku ikan!" rungut Intan Delima, geli
juga dia. "Bisa kita bicara baik baik" Sebenarnya di antara kita tidak terjadi apa apa. - -Aku memang mencari ayahmu, tapi aku tidak mau melibatkanmu. Kau tidak bersalah
apa apa padaku," kata kata Bayu terdengar serius.
- -"Kau sepertinya menganggap ayahku adalah orang yang paling berdosa di dunia. Apa
kau pikir dirimu paling suci?" ketus nada suara Intan Delima.
"Tidak ada satu pun manusia yang suci di dunia ini.
Tapi aku tidak akan berhenti untuk menimbun dosa sebelum semua orang yang telah
membunuh keluargaku dengan kejam, habis!"
"Kau.... Jadi...," Intan Delima jadi tersekat.
"Seharusnya aku tidak mengatakan persoalan ini padamu. Tapi rasanya kau perlu
tahu persoalan sebenarnya. Dan aku harap kau bisa memahaminya,"
Bayu Hanggara berusaha memberikan pengertian.
"Terus terang, aku juga ingin tahu persoalan yang sebenarnya. Katakan saja, apa
sebabnya kau ingin membunuh ayahku?" Intan Delima berusaha keras menenangkan
diri. "Sebenarnya peristiwa itu sudah terjadi dua puluh lima tahun lalu, saat itu aku
baru saja lahir. Ayahku memimpin
sebuah padepokan yang bernama Padepokan Teratai Putih. Kemudian pada waktu pesta pemberian namaku, tiba tiba
-padepokan itu diserang oleh gerombolan yang digerakkan ibu tiriku. Ayahku tewas,
juga ibu kandungku. Dan aku hidup sebatang kara sejak masih berumur beberapa
hari. Kau bisa merasakan, betapa beratnya hidup yang harus kujalani di sebuah
pulau yang terpencil hanya dengan seorang
laki laki tua yang buntung dan buta! Apakah kau juga akan menyalahkan, jika aku
-membalas dendam"
Seandai nya hal itu terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan" Mencari pembunuh
- keluargamu, atau kamu hanya diam saja dan melupakan semuanya"
Tentu saja tidak...!" Bayu menggeleng gelengkan kepalanya beberapa kali.-Sementara Intan Delima jadi bungkam. Dia bisa memahami persoalan yang sedang
dihadapi pemuda itu. Sebagai seorang anak, memang sudah menjadi kewajiban untuk
membela dan mempertahankan nama
baik orang tuanya. Namun Intan Delima belum dapat untuk memutuskan saat ini,
siapa yang bersalah, dan siapa yang harus dibela" Dua kutub yang begitu berat
seperti sedang menarik dirinya.
Sebagai orang yang baru selesai mengikuti
gemblengan di sebuah padepokan, dia memang harus membela kebenaran. Sejak kecil
ia sudah dididik untuk menjadi seorang pendekar wanita yang tangguh dan digdaya.
Tapi sebagai seorang anak yang berbakti, rasanya sulit kalau hanya berdiam diri
saja melihat ayahnya sedang menghadapi suatu persoalan berat yang mempertaruhkan
nyawa. Intan Delima memang tidak menyalahkan Bayu yang memburu ayahnya, tapi dia
juga tidak bisa melihat ayahnya mati begitu saja.
"Mungkin kau akan menganggapku mengada ada saja, Adik...."
-"Intan. Namaku Intan Delima," potong Intan Delima cepat.
"Hm..., kau bisa memanggilku Bayu."
"Maaf, aku tidak bisa begitu saja percaya. Aku juga
harus mendengar sendiri dari ayahku," kata Intan Delima tegas.
"Memang begitu seharusnya, dan aku harap kau tidak ikut campur setelah
mengetahui persoalan yang sebenarnya. Tapi kalau kau juga ingin membela ayahmu,
jangan anggap aku kejam. Aku sudah ber-sumpah, akan membunuh siapa saja yang
membela orang yang telah membunuh keluargaku," Bayu memperingatkan.
"Mungkin kita akan berhadapan, Bayu. Entah sebagai kawan atau lawan
"Ternyata kau berjiwa seorang pendekar juga, Adik Intan," puji Bayu tulus.
"Terima kasih," Intan Delima tersipu.
Sesaat mereka kembali terdiam. Sementara itu matahari semakin condong ke arah
Barat. Sinarnya yang semula terik, kini sudah tidak terasa lagi. Kabut pun
tampak telah mulai kelihatan turun. Beberapa saat kemudian, Intan Delima
berpamitan ingin kembali, tapi Bayu buru bum mencegah.
-"Ada apa lagi?" tanya Intan Delima.
"Katakan pada Pamanmu, Panglima Bantaraji. Agar jangan mencampuri urusan ini.
Aku tidak mau orang jujur, baik dan ksatria seperti dia mati sia sia," pesan
-Bayu. "Baiklah, tapi aku tidak janji," sahut Intan Delima
"Terima kasih, dan yang lebih penting, aku minta agar kau juga tidak ikut
campur. Aku akan menghadapi secara ksatria dengan sedikit permainan."
"Apa yang akan kau lakukan?"
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja
sembari bangkit dari duduknya. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga seperti menghilang
saja. Sejenak Intan Delima menarik napas panjang, kemudian kakinya terayun
menuju ke istana kadipaten kembali.
*** 4 Malam baru saja menjelang. Dan kegelapan segera menyelimuti seluruh bumi di
sekitar Kadipaten Jati Anom. Tampak Intan Delima ke luar dari kamarnya, dan
langsung menuju taman belakang. Langkahnya ringan dan anggun. Namun keningnya
terlihat berkerut tipis, pertanda kalau dia tengah menghadapi satu persoalan
yang sangat serius. Gadis itu berhenti melangkah begitu sampai di taman
belakang. Di sana tampak Adipati Rakondah sedang duduk sendirian di kursi taman
yang terbuat dari bambu yang diukir indah dan halus.
"Ayah...."
Adipati Rakondah segera mengangkat kepalanya.
Dan langsung tersenyum begitu melihat anak gadisnya itu sudah berdiri di
dekatnya. Sementara Intan Delima segera duduk di samping ayahnya.
"Ada apa" Kelihatannya serius sekali," tegur Adipati Rakondah seraya
Geger Dunia Persilatan 3 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Rahasia Hiolo Kumala 16
^