Pencarian

Pembalasan Ratu Sihir 2

Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir Bagian 2


ratusan tahun. Pada salah satu ruangan dari bangunan tua itu, tampaklah Nyai Lumping tengah
duduk di kursinya yang terbuat dari batu, dan berpahat gambar seekor ular naga.
Di depannya, duduk dua orang laki-laki setengah baya yang mengenakan pakaian
indah pembesar kerajaan.
Mereka adalah Patih Ardareja dan Panglima Rupadi.
"Waktu yang kuberikan tinggal dua hari, Ardareja. Kapan kau akan menyerahkan
gadis itu padaku?" dingin dan kecil suara Nyai Lumping.
"Tampaknya Dewi Puspita tidak berada lagi di wilayah Kerajaan Bumi Loka, Nyai.
Sudah seluruh pelosok kerajaan aku jelajahi, tapi gadis itu seperti lenyap
ditelan bumi," sahut Patih Ardareja.
"Dia masih ada di sana, Ardareja. Bahkan sekarang dia bersama seorang laki-laki
muda yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Mereka berada di rumah Ki
Bawuk." "Nyai, rumah itu sudah aku obrak-abrik, tapi Dewi Puspita tidak ada," bantah
Patih Ardareja setengah terkejut.
"Huh! Hanya menangkap tikus kecil saja kau sudah kewalahan begitu. Apalagi harus
menghadapi Indrajaya" Rasanya percuma saja selama ini aku membantumu, Ardareja!"
dengus Nyai Lumping kesal.
"Nyai, apa pun yang akan terjadi, aku pasti akan segera membawa gadis itu
padamu. Soalnya dialah satu-satunya orang yang bisa membocorkan rahasia ini"
"Percuma, Ardareja. Indrajaya juga sudah mengetahuinya."
Patih Ardareja terperanjat.
"Kau tahu, siapa pemuda yang sekarang bersama Dewi Puspita?" tanya Nyai Lumping
dengan mata menyipit.
Sejenak Patih Ardareja menoleh pada Panglima Rupadi, kemudian kepalanya
menggeleng. Dia memang belum tahu kalau Dewi Puspita sekarang dibantu oleh
seorang pemuda.
"Dia bernama Bayu Hanggara dan julukannya Pendekar Pulau Neraka," dingin suara
Nyai Lumping. Mendadak wajah Patih Ardareja pucat pasi mendengar nama itu. Dia memang sudah
sering mendengar sepak terjang pendekar muda itu, meskipun belum pernah
berhadapan langsung dengan orangnya. Nama Pendekar Pulau Neraka memang sempat
meng getarkan rimba persilatan, dan menjadi buah bibir di kalangan tokoh-tokoh rimba
persilatan. Baik dari liolongan putih maupun golongan hitam. Dan sampai saat ini
belum ada satu tokoh pun yang mampu menandingi kepandaiannya.
"Ardareja, ruang gerakmu saat ini sudah semakin sempit. Kau tidak punya pilihan
lain lagi, kecuali membunuh Prabu Indrajaya dan seluruh keluarganya. Aku sudah
banyak membantumu, kini giliran kau yang harus membantuku. Hidupku tidak akan
pernah merasa tentram, kalau keturunan musuh-musuhku masih hidup bebas di muka
bumi ini," kata Nyai Lumping tegas.
"Nyai...!" sentak Patih Ardareja terperanjat. "Dalam perjanjian kita, aku tidak
harus membunuh Indrajaya dan keluarganya!"
"Kau menginginkan tahtanya, kan?"
"Ya, tapi..."
"Membiarkan musuh hidup, berarti memupuk benih permusuhan baru. Kau mengerti
maksudku, Ardareja?"
"Licik! Kau benar-benar manusia iblis, Nyai Lumping!" Patih Ardareja jadi
sengit. Dia baru menyadari kalau dirinya ternyata telah diperalat oleh perempuan
tua itu. "Hik hik hik...! Ternyata seekor singa yang sering mengaum itu bergigi ompong!
Hik hik hik...!"
Patih Ardareja hanya mampu menggeretakkan gerahamnya menahan marah. Seharusnya
dari dulu dia sudah menyadari, bahwa bekerjasama dengan orang yang berhati iblis
tidak akan pernah mendapatkan keuntungan apa-apa. Namun kini semuanya sudah
terlambat. Ibaratnya dia telah tercebur ke dalam sungai, dan harus basah
seluruhnya! Maka dengan hati yang dongkol. Patih Ardareja segera bangkit dan melangkah
meninggalkan ruangan itu dengan diikuti oleh
Panglima Rupadi. Sementara Nyai Lumping hanya tertawa mengikik mengiringi
kepergian mereka.
*** "Sekarang apa yang kita lakukan, Kakang?"
tanya Panglima Rupadi saat mereka sudah berada di Kaki Gunung Tangkar.
"Aku tidak tahu," sahut Patih Ardareja masih terus memberengut.
"Sejak semula aku sudah memperingatkanmu, Kakang. Tidak ada gunanya bekeriasama
dengan Nyai Lumping. Kini terbukti sudah, bahwa kekhawatiranku menjadi
kenyataan, dan kedudukan kita saat ini semakin terjepit,"
nada suara Panglima Rupadi seperti menyesal.
"Sudah kepalang basah!"
"Kakang, sebaiknya kita segera berterus terang pada Gusti Prabu Indrajaya,"
Panglima Rupadi mengusulkan.
Sejenak Patih Ardareja menghentikan langkahnya, tampak matanya tajam menatap
lurus ke bola mata Panglima Rupadi.
"Sebelum terlanjur, Kakang. Dan kita masih punya waktu untuk menjernihkan
keadaan," kata Panglima Rupadi lagi.
"Percuma...," Patih Ardareja menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak ada yang percuma, Kakang. Kita bisa ambil siasat."
"Hmm, apa maksudmu?"
"Saat ini, Dewi Puspita kan dibantu deh seorang pendekar yang namanya sudah
kondang dan digdaya. Kita harus bisa memperalat Pendekar Pulau Neraka itu untuk
bertarung melawan Nyai Lumping. Dengan begitu, tidak ada lagi orang yang
mengetahui semua ini. Dan kita
justru bisa dianggap sebagai pahlawan dengan membunuh mereka sekaligus."
"Hm...."
"Kita harus atur agar mereka bentrok, sambil menyiapkan regu panah yang akan
merejam tubuh mereka pada saat bertarung. Sedangkan untuk persoalan Dewi
Puspita, bukan hal yang sukar. Bagaimana, Kakang?"
"Tampaknya memang mudah, tapi aku merasa semua itu tidak akan berhasil. Mereka
adalah orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi,"
Patih Ardareja masih ragu-ragu dengan rencana Panglima Rupadi.
"Bagaimanapun tingginya tingkat kepandaian seseorang, tidak akan mungkin bisa
selamat kalau diserang secara mendadak dari segala arah. Apalagi dalam keadaan
sedang bertarung, yang perhatian pusat sepenuhnya pada lawan, Kakang."
"Mungkin bisa, tapi untuk memancing mereka bukanlah hal yang mudah."
"Harus ada korban, Kakang."
"Maksudmu?"
"Gusti Permaisuri Puspa Sari."
"Adik Rupadi!" sentak Patih Ardareja terkejut.
"Jangan berbuat gila-gilaan begitu! Aku tidak setuju kalau sampai melibatkan
Gusti Permaisuri Puspa Sari.
"Hanya siasat saja, Kakang. Toh keselamatan Gusti Permaisuri masih terjamin."
"Tapi...."
"Serahkan saja semuanya padaku, Kakang,"
ujar Panglima Rupadi pongah.
Patih Ardareja tidak menyahut. Dia kembali melangkah menuju Kerajaan Bumi Loka.
Menurutnya rencana yang telah diutarakan Panglima Rupadi itu sangat berbahaya,
apalagi sampai melibatkan Permaisuri Puspa Sari!
Meskipun dirinya selalu mengimpikan tahta Kerajaan Bumi Loka, namun dia tidak
mau mencelakakan seorang pun dari keluarga Prabu Indrajaya. Bagaimanapun juga,
Prabu lndrajaya itu masih keponakannya.
Semula dia hanya bermaksud menggulingkan tahta, dan memenjarakan seluruh
keluarga Prabu Indrajaya. Tapi yang terjadi malah sesuatu yang tidak
diharapkannya sama sekali. Kerjasamanya dengan Nyai Lumping, justru membuat
posisinya kini semakin terjepit. Sebelumnya dia memang tidak pernah berpikir,
kalau perempuan tua ahli sihir itu akan memanfaatkannya untuk membalas dendam!
Patih Ardareja kini benar-benar bingung, apa yang harus dilakukannya untuk
mencapai ambisinya itu. Dan dia terpaksa mengikuti semua rencana yang telah
diutarakan oleh Panglima Rupadi. Dia pikir, memang hanya itulah cara satu-
satunya untuk menghindari kecurigaan Prabu Indrajaya padanya.
*** Malam itu suasana di Istana Kerajaan Bumi Loka tampak sepi. Meskipun penjagaan
telah diperketat, namun itu hanya pada tempat-tempat yang tertentu. Dan pada
saat hampir seluruh penghuni istana tengah tertidur lelap, tampak dua sosok
tubuh hitam berkelebatan cepat mendekati kamar peraduan Permaisuri Puspa Sari.
Kedua sosok tubuh hitam itu berlindung pada sebuah pohon besar yang tidak jauh
dari jendela kamar itu. Kemudian tampak salah seorang dari kedua sosok tubuh
hitam itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu mendekatkannya ke mulut.
Dan.... "Phuih!"
Sebentar mereka menunggu, tampak para penjaga di sekitar kamar peraduan
Permaisuri Puspa Sari sudah tertidur pulas. Rupanya orang bertubuh hitam tadi
telah mengeluarkan aji sirep yang bisa menidurkan orang. Maka dengan gerakan
yang ringan dan lincah kedua sosok hitam itu mendekati jendela. "Hup!"
Salah seorang melompat masuk ke dalam kamar setelah berhasil membuka pintunya.
Sedangkan yang seorang lagi tetap menunggu di luar. Keadaan di dalam kamar yang
besar dan indah itu tampak sunyi. Beberapa dayang telah menggeletak tidur di
lantai yang beralaskan hambat berbulu tebal dan halus. Kemudian sosok tubuh
hitam itu melangkah pelan-pelan mendekati pembaringan besar, dan beralaskan kain
sutra halus yang berwarna merah muda.
Di atas pembaringan itu terlihat
Permaisuri Puspa Sari tertidur dengan nyenyaknya. Mungkin dia sedang bermimpi
indah dalam tidurnya. Sejenak sepasang mata itu mengintip dari kain hitam
penutup wajah dan matanya berputar-putar liar menyoroti paha putih yang
tersingkap agak lebar. Dan tangannya agak gemetar ketika hendak menjamah tubuh
yang hanya berkain tipis itu.
"Hhh...," terdengar suara tarikan napas panjang dan berat.
Seketika orang itu mengambil kain tebal yang tergolek di bawah pembaringan, dan
membungkus tubuh permaisuri itu. Setelah itu dia bergegas melompat ke jendela
yang masih terbuka lebar.
Gerakannya ringan saat melompati jendela.
Sementara orang yang tengah menunggu di luar
segera menutup pintu jendela kembali, dan langsung mengikuti kawannya. Sayang
sekali tak ada seorang pun yang melihat kejadian itu!
Kedua sosok tubuh hitam itu berlompatan melewati tembok benteng yang tinggi dan
kokoh, lalu lenyap begitu berada di luar benteng istana.
*** Berita tentang hilangnya Permaisuri Puspa Sari, cepat menyebar dari mulut ke
mulut. Dan berita itu juga sampai ke telinga Bayu.
Sementara hampir seluruh prajurit sudah dikerahkan mencari Permaisuri Puspa
Sari, Bayu malah menyelinap masuk ke Istana Bumi Loka.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung menuju tempat pribadi Prabu Indrajaya, yang
terus dijaga ketat oleh beberapa orang prajurit pengawal. Namun bagi seorang
pendekar sepertinya, bukanlah hal yang sukar untuk melewati para prajurit
pengawal tanpa diketahui. Saat pengawal yang menjaga kamar pribadi Prabu
Indrajaya sedikit lengah, dengan cepat Bayu melesat masuk melalui jendela yang
terbuka lebar. Tentu saja Prabu Indrajaya terkejut melihat hal itu. Dan hampir saja dia
berteriak memanggil pengawal, kalau saja Bayu tidak cepat-cepat meringkus dan
membungkam mulutnya.
"Aku tidak bermaksud buruk. Jangan membuat keributan yang bisa mencelakakan
dirimu," kata Bayu setengah mengancam.
Seketika Prabu Indrajaya menganggukkan kenya. Sedangkan Bayu pun segera
melepaskan ringkusannya, dan menutup jendela. Sebenarnya seorang prajurit sempat
melihat pintu itu tertutup, tapi dia tidak bisa melihat, siapa
yang telah menutupnya. Dia hanya menduga, Prabu Indrajaya-lah yang menutupnya.
"Dua kali kau masuk ke sini seperti maling, Kisanak! Sekali lagi kuperingatkan,
kau bisa mendapat hukuman berat, tahu!" dengus Prabu Indrajaya jengkel.
"Maaf, Gusti Prabu. Terpaksa hal ini aku lakukan karena banyak tikus yang
berkeliaran di istana," kata Bayu kalem.
"Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak?" tanya Prabu Indrajaya mulai sedikit ramah.
"Aku hanya ingin membantu menyelamatkan Kerajaan Bumi Loka dari kehancuran. Dan
aku sudah tahu, siapa yang telah menculik Gusti Permaisuri. Aku pun tahu, akan
rencana mereka yang bermaksud menggulingkan tahta Gusti Prabu," kata Bayu tetap
tenang. "Katakan, siapa orang itu?"
"Gusti Prabu pasti tidak akan percaya, tapi aku akan mengatakan yang
sebenarnya."
"Aku tahu, kau pasti akan mengatakan kalau ini perbuatan Patih Ardareja dan
Panglima Rupadi, kan" Kau memang benar-benar sinting, Kisanak. Kemarin kau
mengatakan, bahwa semua kekacauan karena ulah Patih Ardareja. Dan sekarang kau
pasti akan mengatakan hal yang sama," Prabu Indrajaya langsung menebak.
"Gusti Prabu masih tidak percaya?"
"Tidak ada seorang pun yang mau mempercayai omongan orang sinting sepertimu!"
dengus Prabu Indrajaya.
"Hm..., ternyata Dewi Puspita benar. Kau adalah seorang raja yang tidak bisa
melihat keanehan-keanehann di sekitarmu," gumam Bayu tanpa memandang hormat
lagi. "Hati-hati bicaramu, Kisanak!" bentak Prabu Indrajaya tersinggung.
"Pengawal...!"
Bayu langsung terkejut begitu tiba-tiba seorang pengawal muncul. Maka tanpa
pamit lagi, ia langsung melesat ke atas dan menjebol atap.
"Kejar orang itu, tangkap!" teriak Prabu Indrajaya keras.
Bayu jadi gusar, karena beberapa orang pengawal sudah melihatnya, dan segera
berlompatan ke atas atap. Sementara Pendekar Pulau Neraka itu langsung
melentingkan tubuhnya dan turun ke bawah. Namun baru saja kakinya menjejak
tanah, puluhan anak panah telah berdesingan ke arahnya.
Maka tidak ada pilihan lain, Bayu hanya bisa berlompatan ke sana kemari
menghindarkan hujan anak panah itu. Untung saja dia berhasil ke luar dari
kepungan itu, dan langsung melesat melompati tembok benteng yang tinggi.
Para punggawa istana yang memiliki kepandaian cukup tinggi segera berlompatan
mengejar. Namun mereka tidak bisa lagi menemukan jejak Pendekar Pulau Neraka itu.
*** Kegemparan belum lagi reda, dan Prabu Indrajaya semakin gusar saat menerima
sepucuk surat yang dibawa oleh seorang prajurit penjaga pintu gerbang istana.
Surat itu berisi ancaman, agar dia turun tahta secepatnya jika menginginkan
Permaisuri Puspa Sari selamat.
"Siapa yang telah mengirim surat ini?"
tanya Prabu Indrajaya membentak
"Ampun, Gusti Prabu Surat itu dilemparkan seseorang yang berbaju hitam dan
menunggung kuda," lapor prajurit yang membawa surat itu.
Prabu Indrajaya menggeretakkan gerahamnya menahan marah. Dia kemudian memandangi
satu persatu para pembesar, patih dan panglima serta punggawa yang berada di
depannya. Sejenak mata agak menyipit, karena dia tidak melihat Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi. "Di mana Patih Ardareja dan Panglima Rupadi"
"Patih Ardareja dan Panglima Rupadi sedang tugas keliling bersama lima puluh
prajurit, Gusti Prabu," sahut salah seorang panglima.
Prabu Indrajaya tampak semakin mengerutkan keningnya. Belum pernah sekali pun
dia mendengar, bahwa Patih Ardareja melakukan tugas keliling bersama Panglima
Rupadi. Lagi pula, seharusnya Patih Ardareja tetap berada di istana, karena
keamanan Mana adalah tanggung jawabnya. Sedangkan tugas keliling biasanya hanya
dilakukan oleh para prajurit dan punggawa. Bukan oleh seorang patih atau
panglima kerajaan
Prabu Indrajaya jadi ingat akan kata-kata pemuda yang berbaju kulit harimau itu.
Belakangan ini tingkah laku Patih Ardareja dan Panglima Rupadi memang kelihatan
tidak seperti biasanya. Seringkali mereka keluar istana tanpa alasan yang jelas.
Bahkan semalam pun, di saat seluruh pembesar istana tengah berkumpul di Balai
Sema, kedua pembesar itu juga tidak ada. Padahal pertemuan itu berlangsung
sampai menjelang fajar, bersamaan dengan hilangnya Permaisuri Puspa Sari.


Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Susul Patih Ardareja, dan katakan aku memanggilnya, cepat!" perintah Prabu
Indrajaya setengah emosi.
Dua orang punggawa segera menghaturkan sembah, dan bergegas pergi. Sedangkan
Prabu Indrajaya masih memberikan perintah-perintah pada para pembesar lainnya.
Dan mereka yang telah ditugaskan, langsung menjalankan
perintah itu tanpa membantah edikit pun. Kini Prabu Indrajaya bergegas masuk ke
dalam kamar pribadinya, dan mengganti baju dengan baju yang ringkas. Tak
ketinggalan sebilah pedang dia gantungkan di pinggang. Dan tidak lama kemudian
sudah ke luar lagi.
"Pengawal, siapkan kuda!" perintah Prabu Indrajaya.
"Hamba, Gusti."
*** 6 Di sebuah gubuk kecil yang letaknya agak terpencil di dalam Hutan Gunung
Tangkar, tampak Permaisuri Puspa Sari tengah tergolek di atas dipan kayu dengan
tangan dan kaki terikat merentang. Tubuhnya hanya tertutup oleh selembar kain
tipis merah muda, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas.
Tidak jauh darinya, tampak Panglima Rupadi dan Patih Ardareja duduk menghadapi
meja kecil. Dua guci arak menggeletak di atas meja itu. Sementara di sekitar
gubuk itu terlihat sekitar lima puluh prajurit sedang berjaga-jaga.
"Seharusnya kau tidak menuruti rencana gilamu ini. Adik Rupadi!" rungut Patih
Ardareja seraya melirik pada Permaisuri Puspa Sari, yang masih belum juga
sadarkan diri dari pengaruh aji sirep yang telah dilepaskan oleh Panglima Rupadi
semalam. "Tenang saja, Kakang. Ini baru langkah permulaan," sahut Panglima Rupadi kalem.
"Gusti Prabu Indrajaya pasti sudah tahu kalau ini perbuatan kita!"
"Tidak ada yang tahu, Kakang. Kalau kau sendiri tidak membuka mulut."
"Aku tidak yakin rencanamu akan berhasil!"
"Tenang sajalah, kita tunggu saja perkembangan selanjutnya, baru menyusul
langkah kedua."
"Huh!" Patih Ardareja mendengus.
Dan sambil memberengut, Patih Ardareja segera melangkah ke luar.
"Kau mau ke mana?" tanya Panglima Rupadi.
"Ke istana!"
"Kalau Gusti Prabu menanyakan aku, katakan kalau aku sedang memeriksa keamanan
di bagian Selatan!"
Patih Ardareja tidak menyahut. Dia langsung naiki ke punggung kudanya, dan
dengan cepat menggebah kuda itu. Sementara Panglima Rupadi hanya memandanginya
saja dari pintu.
Bibirnya menyunggingkan senyum. Kemudian dia berbalik dan menutup pintu pondok
itu. Kini matanya langsung menatap pada Permaisuri Puspa Sari yang masih
tergolek. Kemudian dengan pelahan-lahan Panglima Rupadi menghampirinya dan duduk di tepi
dipan itu. Bola matanya terus berputar liar merayapi wajah dan tubuh wanita
cantik itu. Lidahnya tampak menjulur dan menjilati bibirnya sendiri. Kecantikan
dan kemolekan Permaisuri Puspa Sari mendadak menggugah gairahnya. Lalu dengan
tangan agak gemetar, dia mulai mengusap pipi yang halus dan lembut itu.
Jantungnya jadi berdetak kencang, merasakan kehalusan kulit wajah wanita itu
"Hm..., sungguh sayang wanita secantik ini dilewatkan begitu saja," gumam
Panglima Rupadi.
Kemudian tanpa menghiraukan lagi siapa sebenarnya wanita itu, dia segera
merenggut kain yang menutupi tubuh Puspa Sari. Matanya semakin membeliak lebar menyaksikan
kemolekan tubuh wanita itu. Dengan cepat jakunnya turun naik menahan gairah yang
memuncak mendesak dada. Rupanya setan telah menutupi seluruh akal sehat Panglima
Rupadi. Dia tidak lagi peduli siapa dirinya, dan siapa wanita itu.
Dan dengan gairah yang berkobar-kobar, dia langsung memeluk dan menciumi wajah
serta leher Puspa Sari. Sementara jari-jari tangannya menjelajah liar ke seluruh
tubuh wanita itu. Semakin dia merasakan kehalusan kulit tubuh Puspa Sari,
semakin tidak tertahankan lagi nafsu setannya. Maka Panglima Rupa di segera
menjentikan jarinya di depan wanita itu.
Tidak lama kemudian tampak Puspa Sari mulai sadarkan diri. Dia langsung terkejut
begitu melihat Panglima Rupadi sudah berada di atasnya, dengan dada telanjang.
Dan dia lebih terkejut lagi begitu menyadan bahwa dirinya dalam keadaan tanpa
busana, dengan tangan serta kakinya terikat.
"Panglima! Apa yang telah kau lakukan"
Lepaskan aku!" sentak Permaisuri Puspa Sari.
"Tenanglah, Manis. Kau sekarang telah jadi milik ku, dan kita akan segera
menikmati saat-saat yang indah," desah Panglima Rupadi dengan napas tersengal.
"Tidak...! Akh!" Puspa Sari terus memberontak, dan berusaha melepaskan diri.
Namun Panglima Rupadi tidak
mempedulikannya lagi. Dia kembali memeluk dan menciumi wajah tubuh wanita itu.
Sedangkan Permaisuri Puspa Sari kini menjerit-jerit minta tolong, tapi tak
seorang pun yang datang
"Tidak! Oh..., lepaskan!" teriak Permaisuri Puspa Sari mulai dihinggapi perasaan
takut luar biasa.
Namun jerit dan pekikan Puspa Sari malah semakin membuat Panglima Rupadi
bergairah. Rontaannya menimbulkan rangsangan yang menggelora.
"Oh... aaakh...!" Puspa Sari menjerit melengking.
Dan tubuhnya langsung lemas lunglai.
Sementara air matanya mulai menitik ke luar.
Sia-sia saja memberontak dan menjerit minta tolong sampai suaranya serak. Kini
Panglima Rupadi sudah benar-kerasukan setan.
Sakit dan perih seluruh tubuh Puspa Sari, hancur sudah semua harapan dan
hatinya! Kesuciannya yang dia jaga selama ini, telah ternoda oleh panglimanya sendiri.
Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, hanya air mata dan rasa kehancuran saja
yang dapat dirasakan.
Beberapa saat kemudian Panglima Rupadi tampak tersenyum penuh kepuasan. Lalu dia
beranjak turun dari dipan kayu sambil merapikan pakaiannya kembali. Sedangkan
tangannya menyambar kain yang teronggok di lantai, lalu melemparkannya ke tubuh
wanita itu. "Binatang kau, Rupadi!" maki Puspa Sari disela isaknya.
"Makilah sepuasmu, kini tak ada lagi yang bisa kau banggakan. Suamimu sendiri
pasti tidak akan mau menerimamu lagi," kata Panglima Rupadi tersenyum penuh
kemenangan. "Setan! Kubunuh kau! Kubunuh kau, Rupadi...!"
"Ha ha ha...!"
*** Sementara itu Patih Ardareja yang tengah memacu kudanya kembali ke Kerajaan Bumi
Loka, dihadang oleh tiga orang punggawa yang memang sedang mencarinya. Ketiga
punggawa itu segera turun dari ku danya, dan membungkuk memberi hormat.
"Ada apa kau menghadangku?" tanya Patih Ardareja.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba bertiga diutus oleh Gusti Prabu mencari Gusti Patih,"
sahut salah seorang punggawa.
"Ada keperluan apa, Gusti Prabu memanggilku?"
"Hamba tidak tahu, Gusti. Mungkin ada suatu persoalan yang hendak dibicarakan,
sehubungan dengan hilangnya Gusti Permaisuri."
"Baiklah, kembalilah kalian lebih dulu, nanti aku akan segera menyusul," kata
Patih Ardareja langsung merasa tidak enak hatinya.
"Ampun, Gusti Patih. Gusti Prabu menghendaki dengan segera, dan hamba bertiga
diperintahkan untuk membawa Gusti Patih menghadap."
"Punggawa! Aku perintahkan pada kalian untuk kembali lebih dulu!" Patih Ardareja
jadi gusar. "Tapi, Gusti...."
"Kalian mau membangkang perintahku, heh"!"
"Gusti Prabu akan menghukum hamba bertiga jika tidak berhasil menunaikan
perintah."
"Perintah apa?" Patih Ardareja jadi cemas.
"Sebaiknya Gusti Patih segera menemui Gusti Prabu."
"Kalian sudah berani menentangku, ya?"
"Ampun, Gusti Patih. Hamba hanya menjalankan perintah Gusti Prabu."
Seketika Patih Ardareja jadi tidak menentu hatinya. Dia merasakan, kalau
perbuatannya sudah diketahui oleh Prabu Indrajaya. Rasanya memang tidak mungkin, tiga orang
punggawa itu tetap bertahan jika hanya untuk menyampaikan pesan saja. Kemudian
Patih Ardareja segera melompat turun dari kudanya, dan secepat kilat dia menarik
pedang dari sarungnya.
Sret! "Hiyaaa...!"
"Gusti...!"
"Aaakh...!"
Seketika seorang punggawa langsung roboh terbabat pedang Patih Ardareja.
Sedangkan dua orang lagi berhasil melompat menghindar. Namun Patih Ardareja yang
sudah kalap, tidak mau memberi ampun lagi. Dia segera melompat dan mengejar
sambil mengibaskan pedangnya dengan cepat. Dan dua orang punggawa itu masih bisa
menahan gempuran Patih Ardareja, tapi karena kemampuan mereka memang masih
berada jauh di bawah Patih Ardareja, maka dalam waktu singkat saja kedua
punggawa itu pun roboh dengan tubuh bermandikan darah.
Sejenak Patih Ardareja menarik napas panjang sambil menyarungkan pedangnya
kembali. Lalu bergegas dia melompat naik ke punggung kudanya, dan kembali menggebahnya.
Namun kali ini dia berbalik ke Lereng Gunung Tangkar.
Tapi baru saja dia memacu kudanya beberapa depa, mendadak terdengar suara
bentakan keras menggelegar.
"Berhenti...!"
Namun Patih Ardareja tidak mempedulikan bentakan itu, dia terus memacu kudanya
dengan cepat. Sejenak dia menoleh ke belakang, tampak sekitar sepuluh orang
prajurit dan seorang punggawa tengah mengejarnya.
Merasa dirinya sudah tidak mungkin lagi untuk kembali ke istana, Patih Ardareja
jadi nekad. Dia segera melompat dari punggung kudanya yang tetap berpacu cepa.t Tiga
kali tubuhnya melenting dan berputar di udara, lalu sambil mencabut pedangnya,
dia meluruk ke arah para pengejarnya.
"Hiya...!" teriaknya melengking tinggi.
"Aaa...!"
Tiga orang prajurit langsung ambruk tersambar sabetan pedang Patih Ardareja.
Sedangkan mereka yang selamat langsung melompat turun dari kudanya masing-
masing, dan menghunus senjata!
"Gusti Prabu telah memerintahkan kami untuk menangkapmu, Gusti Patih," kata
punggawa itu masih memandang hormat.
"Tangkaplah aku kalau kalian bisa!"
Kembali Patih Ardareja melompat seraya mengibaskan pedangnya dengan cepat.
Sementara para prajurit dan seorang punggawa yang sudah mengetahui tingkat
kepandaian Patih Ardareja, bersikap lebih hati-hati. Namun mereka memang
bukanlah tandingan Patih Ardareja. Sebentar saja jerit pekik kemarian terdengar
saling susul, bersamaan dengan robohnya tubuh para prajurit itu.
Punggawa yang memimpin sepuluh orang prajurit itu jadi gentar. Maka tanpa pikir
panjang lagi, dia segera melompat ke punggung kudanya, dan menggebahnya dengan
cepat menuruni Lereng Gunung Tangkar.
Patih Ardareja tidak sempat lagi mengejar, karena sisa-sisa prajurit langsung
merangseknya. Dan dengan kemarahan yang luar biasa, Patih Ardareja segera
membabat habis prajurit-prajurit itu. Sejenak dia memandang punggawa yang sudah
jauh melarikan diri, kemudian dia kembali menaiki kudanya dan menggebahnya
menuju ke Lereng Gunung Tangkar.
*** Seorang punggawa yang telah berhasil lolos dari tangan Patih Ardareja itu,
tampak memacu kudanya bagai kesetanan. Dan dia langsung melompat turun dari
punggung kudanya begitu sampai di depan Istana Bumi Loka. Prabu lndrajaya yang
kebetulan sedang berjalan ke luar, setengah terkejut. Punggawa itu langsung
berlutut menjatuhkan diri.
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Indrajaya dengan kening berkerut dalam.
"Ampun, Gusti Prabu. Sebenarnya hamba telah berhasil bertemu dengan Patih
Ardareja, tapi...," punggawa itu mengatur napasnya sebentar.
"Teruskan, Punggawa."
"Ampun, Gusti Prabu. Patih Ardareja melawan, dan membunuh semua prajurit yang
ikut bersama hamba. Bahkan tiga orang punggawa juga telah tewas terbunuh."
Prabu Indrajaya menggeram hebat mendengar laporan itu. Dia benar-benar tidak
menyangka sama sekali, kalau orang yang selama ini dipercaya dan masih ada
ikatan saudara dengannya, justru yang akan menggulingkan tahta Kerajaan Bumi
Loka. "Di mana kau bertemu dengan Patih Ardareja?" tanya Prabu lndrajaya seraya
menahan geram. "Di Lereng Gunung Tangkar, Gusti Prabu."
"Panglima Jamparan!"
"Hamba, Gusti Prabu."
"Kerahkan para prajurit tangkap Patih Ardareja hidup atau mati!" perintah Prabu
Indrajaya. "Titah Gusti Prabu segera hamba laksanakan."
Panglima Jamparan segera berangkat untuk mengumpulkan para prajurit Sementara
Prabu Indrajaya terus melangkah menuruni tangga istana. Dan dia segera naik ke
punggung kuda yang memang sudah disiapkan sejak tadi.
Sepuluh orang punggawa, tiga panglima dan hampir seratus prajurit menyertai Raja
Bumi Loka itu. Namun baru saja mereka ke luar dari pintu gerbang, mendadak dua buah bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri Bayu dan Dewi Puspita.
"Maaf kalau perjalanan Gusti Prabu terhambat," kata Bayu.
"Kisanak, apa lagi yang hendak kau sampaikan padaku?" Prabu Indrajaya langsung
mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ampun, Gusti. Kalau boleh aku sarankan, sebaiknya tidak usah mengerahkan begitu
banyak prajurit. Hal itu justru akan membuat Nyai Lumping semakin murka. Kini
Patih Ardareja dan Panglima Rupadi sedang bersembunyi di Lereng Gunung Tangkar,
dan tempat itu merupakan wilayah Nyai Lumping," Bayu mengingatkan.
"Gusti Prabu, ijinkanlah kami berdua yang akan membebaskan Gusti Permaisuri dan
menangkap kedua pengkhianat itu," sambung Dewi Puspita.
"Nini, siapakah kau ini?" tanya Prabu Indrajaya.
"Hamba yang bernama Dewi Puspita, hamba putri tunggal Ki Pulut."
"Hm..., jadi kaulah yang selama ini dicari Nyai Lumping?"
"Benar, Gusti, dan hamba akan menyerahkan diri pada perempuan tua itu. Hamba
akan menghadapinya sampai tetes darah terakhir."
Prabu Indrajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Hatinya begitu terharu mendengar
kata-kata yang telah diucapkan gadis itu. Dia sudah tahu kalau gadis itu
sebenarnya tidak bersalah, dan hanya menjadi korban fitnah Patih Ardareja. Dan
Prabu Indrajaya tahu betul siapa ayah gadis itu, seorang panglima yang sangat
disegani, jujur, setia dan patuh pada perintah.
"Panglima Jamparan," panggil Prabu Indrajaya.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Perintahkan pada seluruh prajurit agar segera kembali, dan aku percayakan
keamanan istana padamu. "
"Titah Gusti Prabu hamba junjung tinggi."
"Kisanak, mari kita segera berangkat," ajak Prabu Indrajaya
Dua orang punggawa turun dari kudanya, dan menyerahkan kuda masing-masing pada
Bayu dan Dewi Puspita. Kemudian mereka segera berangkat menuju Lereng Gunung
Tangkar. Hanya ada dua orang panglima dan tiga punggawa saja yang mengawal.
Sedang selebihnya kembali lagi ke Istana Bumi Loka.
*** Saat itu di sebuah pondok kecil di Lereng Gunung Tangkar, Panglima Rupadi baru
saja selesai melampiaskan nafsu yang ke sekian kalinya pada Permaisuri Puspa
Sari. Sedangkan Permaisuri Puspa Sari terpaksa menyerahkan tubuhnya dalam
keadaan tidak berdaya. Baru
saja Panglima Rupadi telah merapikan diri, ketika pintu pondok tiba-tiba terbuka
dengan keras. "Kakang Ardareja...!" desis Panglima Rupadi sedikit terkejut.
"Kita harus segera pergi dari sini. Adik Rupadi," kata Patih Ardareja tersengal.
"Kenapa?" tanya Panglima Rupadi mengerutkan keningnya.
"Sebentar lagi para prajurit Kerajaan Bumi Loka pasti segera datang ke sini."
"Tunggu dulu, Kakang. Apa sebenarnya yang telah terjadi?"
"Aku telah bentrok dengan beberapa prajurit yang ingin menangkapku. Rupanya
mereka sudah mengetahui semua perbuatan kita."
Sejenak Patih Ardareja menoleh pada Permaisuri Puspa Sari yang masih dalam


Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan tanpa busana. Tentu saja ia sangat terperanjat begitu melihat keadaan
wanita itu. "Adik Rupadi! Apa yang telah kau lakukan?"
"Tidak apa-apa, Kakang. Hanya..." "Gila, kau!"
dengus Patih Ardareja gusar. Buru-buru Patih Ardareja memungut kain yang
teronggok di lantai, kemudian menutupi tubuh Permaisuri Puspa Sari yang tergolek
pingsan. Lalu dia berbalik dan menatap tajam pada Panglima Rupadi.
"Kenapa kau lakukan itu, Adik Rupadi?"
"Hanya sebagai pelampiasan dendam saja, Kakang. Aku dulu memang kalah bersaing
dengan Indrajaya. Dan aku terpaksa menelan kekecewaan saat dia mempersunting
Puspa Sari."
Patih Ardareja tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semuanya sudah terjadi, dan dia
memang tahu betul kalau adiknya itu mencintai Puspa Sari. Patih Ardareja
kemudian menghampiri adiknya, dan membawanya ke luar pondok.
"Adik Rupadi, lupakanlah Puspa Sari.
Sekarang ini kita jadi buronan prajurit-prajurit Bumi Loka. Kita harus segera
menyingkir dari tempat ini sebelum mereka datang," kata Patih Ardareja.
"Kenapa harus menyingkir, Kakang. Toh kita bisa meminta bantuan pada Nyai
Lumping Aku yakin, seribu prajurit pun Hdak akan mampu menghadapi Nyai Lumping."
"Sudahlah, Jangan hiraukan lagi tahta Kerajaan Bumi Loka. Yang penting sekarang,
bagaimana ki bisa menyelamatkan diri!"
Panglima Rupadi tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya dan mengikuti
langkah kakaknya. Sementara lima puluh orang prajurit yang setia pada mereka
juga mengikuti. Tapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, mendadak
terdengar suara tawa yang mengikik nyaring.
"Hik hik hik...!" "Nyai Lumping...," desis Patih Ardareja setengah tersentak.
Tampak seorang perempuan tua bungkuk dan berbaju kusam, muncul dari balik semak
dan pepohonan. Perempuan tua yang ternyata adalah Nyai Lumping itu, segera
melangkah ringan dan menghampiri mereka.
"Kalian mau ke mana?" tanya Nyai Lumping.
"Maaf, Nyai. Kami harus meninggalkan Bumi Loka," sahut Patih Ardareja
"Untuk apa" Mau jadi buronan seumur hidup?"
"Tidak ada jalan lain, Nyai."
"Hik hik hik... Kalian tidak percaya padaku, heh" Seluruh manusia di Bumi Loka
bisa kuhancurkan dalam sekejap mata saja. Biarkan saja mereka datang ke sini,
dan kalian akan melihat, bagaimana mereka hancur binasa."
Sejenak Patih Ardareja menoleh pada adiknya. Kemudian hampir bersamaan mereka
mengangguk. "Hik hik hik...! Memang sebaiknya begitu.
Kalian bisa jadi pengikutku yang setia, dan kau Ardareja, sebentar lagi akan
menduduki tahta Kerajaan Bumi Loka."
"Aku percaya padamu, Nyai," sahut Patih Ardareja pasrah.
"Hik hik hik...!"
Patih Ardareja memang tidak punya pilihan lain lagi. Kalau tidak melarikan diri
dari Bumi Loka, tentu menuruti saja keinginan perempuan tua ahli sihir itu.
"Rupadi, kau suka pada wanita yang berada dalam gubuk itu?"
"Iya, Nyai. Sudah lama aku menginginkan dia jadi istriku," sahut Panglima
Rupadi. "Pergilah ke sana, puaskan dirimu."
"Tentu, Nyai," sahut Panglima Rupadi gembira.
"Hik hik hik..!"
*** 7 "Oh, Tuhan..., kenapa kau berikan cobaan yang begini berat padaku," rintih
Permaisuri Puspa Sari di dalam pondok.
Pelan-pelan dia berusaha bangkit, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri. Dan dia
hanya mampu duduk saja di atas pembaringan. Matanya yang terus beredar langsung
tertumbuk pada sebilah pisau yang tergeletak di atas meja.
Tidak ada orang lain yang berada di dalam pondok itu. Hanya sekali-sekali
terdengar suara-suara tawa dari luar.
Maka sambil menahan rasa sakit dan nyeri, Puspa Sari kemudian merayap turun dari
dipan. Tangannya menggapai-gapai dan berusaha meraih pisau itu. Dan dengan tangan
bergetar, dia berhasil menggenggam pisau itu erat-erat. Air matanya semakin
deras mengalir.
"Kanda Indrajaya, maafkan aku. Selamat tinggal, Kanda...," rintih Puspa Sari
lirih. Dan dengan sisa-sisa tenaganya, dia mengayunkan pisau itu ke arah dadanya
sendiri. "Hugh!"
Puspa Sari tampak meringis menahan sakit yang amat sangat pada dadanya.
Bersamaan dengan itu, darah mengucur deras dari lukanya itu. Kini tubuhnya
benar-benar tidak berdaya, dan ambruk ke lantai. Darah segera menggenang di
sekitar tubuhnya yang hanya terbungkus oleh kain tipis.
Hening, tak ada seorang pun yang tahu dengan peristiwa itu. Puspa Sari tewas
dengan membawa ke pedihan dan kehancuran di dalam dirinya. Sementara di luar
pondok, samar-samar masih terdengar suara tawa mereka yang seperti menertawakan
keadaan wanita itu.
*** Sementara itu Patih Ardareja tampak semakin bertambah gelisah, karena para
prajurit Kerajaan Bumi Loka yang mereka tunggu-tunggu tidak juga muncul.
Sedangkan adiknya, Panglima Rupadi hanya bersenang-senang saja dengan para
prajuritnya. Mereka sepertinya tidak peduli dengan situasi yang tengah mereka
hadapi saat ini.
"Huh! Kenapa tidak seorang pun yang kelihatan datang...?" keluh Patih Ardareja
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Barangkali mereka takut datang, Kakang!"
seru Panglima Rupadi.
"Benar, Gusti. Mereka pasti takut karena ada Nyai Lumping yang melindungi kita,"
celetuk salah seorang prajurit.
"Huh!" Patih Ardareja hanya mendengus saja. Dia kemudian bangkit dan melangkah
menuruni lereng.
"Mau ke mana kau, Ardareja?" tegur Nyai Lumping.
"Aku bosan menunggu di sini terus!" sahut Patih Ardareja.
"Prajurit-prajurit itu memang tidak akan muncul di sini, Ardareja," kata Nyai
Lumping lagi. Sejenak Patih Ardareja menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan memandang pada
perempuan tua itu.
"Hanya ada tujuh orang yang kini sedang mendaki Lereng Gunung Tangkar ini," kata
Nyai Lumping tenang.
"Tujuh orang...!?" tanya Patih Ardareja, seolah-olah tidak percaya dengan
pendengarannya sendiri.
"Aku merasakan ada tujuh ekor kuda yang sedang menuju tempat ini. Hm...," ujar
Nyai Lumping sambil memiringkan kepalanya sedikit.
"Ada apa, Nyai?" tanya Patih Ardareja seraya mendekati.
"Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya..."
kata-kata Nyai Lumping terputus.
Patih Ardareja segera memandangi wajah wanita tua itu yang jadi berubah
warnanya. Juga tangannya yang memegang tongkat mulai bergetar. Sedangkan dari bibirnya
yang keriput dan terkatup rapat ke luar suara yang mendesis bagai ulat. Sejenak
Patih Ardareja melangkah mundur dua tindak. Sementara Panglima Rupadi
dan para prajuritnya yang tengah bersenang-senang mendadak diam. Mereka semua
ikut memandang ke arah Nyai Lumping yang kini sudah duduk bersila di bawah
pohon. Kelopak mata perempuan tua itu terpejam, sedangkan tongkatnya tetap bergetar di
dalam genggaman tangannya. Kemudian pelahan-lahan matanya yang berkeriput itu
terbuka, dan getaran pada tongkat nya berhenti. Namun napasnya terdengar
tersengal-sengal, seolah-olah baru saja menempuh perjalanan jauh.
"Huh! Siapa dia...?" lenguh Nyai Lumping seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Nyai...," Patih Ardareja mendekati dan duduk bersila di depan perempuan tua
itu. "Ardareja, sebaiknya kau segera menghadang mereka. Tapi usahakan agar tidak
sampai bentrok dengan orang yang memakai baju dari kulit harimau. Kalian tidak
akan mampu menghadapinya," kata Nyai Lumping agak parau suaranya.
"Siapa orang itu. Nyai?" tanya Patih Ardareja.
"Entahlah, mata batinku seperti buta.
Mungkin yang sering bersama Dewi Puspita."
"Maksudmu..., Pendekar Pulau Neraka?"
tanya Patih Ardareja ingin meyakinkan.
"Mungkin, aku sendiri belum begitu yakin.
Semakin dekat, malah semakin sulit untuk diketahui. Tapi yang jelas di antara
mereka ada Prabu Indrajaya. Dan orang itu... Uh! Dia selalu berada di samping
Dewe Puspita."
"Dia pasti Pendekar Pulau Neraka, Nyai,"
Patih Ardareja menegaskan.
"Siapa pun orangnya, kalian jangan sampai bentrok dengannya. Biar aku sendiri
nanti yang akan menghadapinya. Tampaknya dia memiliki
kekuatan yang sukar untuk kutembus dengan mata batin."
Kemudian Patih Ardareja bangkit dan berjalan mendekati adiknya.
"Adik Rupadi, bawa semua prajuritmu. Dan hadang mereka di Kaki Lereng Gunung
Tangkar," perintah Patih Ardareja.
"Baik, Kakang," sahut Panglima Rupadi.
"Ayo, kita segera berangkat dan menggempur mereka!"
Dan tanpa diperintah dua kali, para prajurit itu langsung bergerak mengikuti
Panglima Rupadi. Sementara itu Nyai Lumping masih tetap duduk bersila dengan
bibir bergerak komat-kamit. Sedangkan Patih Ardareja hanya bisa memperhatikan
tanpa mengerti maksudnya.
"Tampaknya kau sedang menghadapi kesulitan, Nyai," kata Patih Ardareja
memberanikan diri.
"Kenapa kau tidak ikut pergi?" Nyai Lumping malah bertanya.
"Aku rasa, Adik Rupadi dan lima puluh prajurit sudah cukup, Nyai."
"Seratus orang prajurit dan sepuluh orang sepertimu juga tidak akan mampu
menandinginya! Cepat pergi!"
"Lantas, Nyai bagaimana?"
"Sudah kubilang, kau hadapi yang lainnya!
Tapi hindari bentrok dengan orang yang berbaju harimau. Dia akan kuhadapi
sendiri nanti!"
"Baik, Nyai."
"Sudah, cepat sana!"
*** Saat itu tidak jauh dari Kaki Lereng Gunung Tangkar, tampak Prabu Indrajaya,
Bayu, Dewi Puspita da dua orang panglima, serta tiga orang punggawa terus memacu
kudanya mendekati lereng gunung itu. Kini jalan yang mereka lalui sudah mulai
dirapati oleh rimbunnya pepohonan, sehingga perjalanan agak terganggu.
Dan mereka baru bisa leluasa bergerak setelah mencapai padang rumput yang tidak
begitu luas, tepat ketika mereka berada di Kaki Lereng Gunung Tangkar. Tampak
Bayu meminta yang lainnya untuk segera berhenti, dan dia sendiri bergegas turun
dari kuda. Sejenak kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri, menoleh pada Prabu lndrajaya.
"Ada banyak orang yang tengah menuruni lereng, Gusti Prabu," kata Bayu.
"Hm..., nampaknya mereka akan menghadang kita," gumam Prabu Indrajaya sambil
mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kita tunggu saja mereka di sini, Gusti," kata Dewi Puspita memberi
usul."Tempat ini cukup luas untuk pertarungan."
"Baiklah, kita tunggu mereka di sini,"
sahut Prabu Indrajaya kemudian.
Dan Raja Bumi Loka itu pun segera melompat turun dari punggung kudanya.
Gerakannya tampak ringan dan lincah, pertanda dia memiliki ilmu meringankan
tubuh yang cukup tinggi. Namun bagi telinga Bayu, masih terdengar gemerisik
halus saat kaki Prabu Indrajaya menyentuh rerumputan.
Sementara Dewi Puspita juga segera turun dari punggung kudanya, diikuti oleh dua
orang panglima dan tiga punggawa yang menyertai mereka. Prabu Indrajaya
mendekati Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak sambil memandang ke Puncak
Gunung Tangkar. Tangannya yang berotot kekar, melipat di depan dada.
"Berapa orang jumlah mereka?" tanya Prabu Indrajaya seperti menguji.
"Sekitar lima puluh orang," sahut Bayu.
"Hm...," Prabu Indrajaya bergumam tidak jelas.
"Kau telah melihat sesuatu, Kakang?" tanya Dewi Puspita yang juga sudah berada
di sampingnya. "Tidak, tapi aku sudah merasakan ada getaran yang aneh...," sahut Bayu ragu-
ragu. "Hm, kau bisa merasakan kehadiran perempuan penyihir itu, Kisanak?" gumam Prabu
Indrajaya seperti bertanya.
Bayu tidak menjawab. Dia merasakan, bahwa getaran itu kini semakin kuat, seolah-
olah ingin mengacaukan dan membelah-belah jiwanya.
Dan Bayu segera menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh untuk menggempur getaran
yang semakin lama semakin terasa kuat.
"Hhh! Apakah ini yang dinamakan kekuatan sihir?" gumam Bayu dalam hati.
Getaran aneh itu terus bertambah kuat saja. Dan tubuh Bayu tampak mulai bergetar
seperti menggigil kedinginan. Wajahnya memerah bagai kepiting rebus. Sedangkan
keringat yang sebesar-besar biji jagung merembes ke luar dari dahinya. Bayu
terus bertahan dengan menyalurkan hawa murni pada seluruh tubuhnya.
"Kakang... kenapa kau?" tanya Dewi Puspita cemas.
"Menyingkirlah, Dewi," kata Bayu agak tersengal-sengal napasnya.
Dewi Puspita memberanikan diri untuk menyentuh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu,
namun dia langsung terpekik kaget! Ternyata tubuh Bayu bagaikan batu api yang
sangat panas dan menggigit. Dan Dewi Puspita segera
melompat mundur sambil memegangi tangannya yang seperti melepuh terbakar.
"Kau tidak apa-apa. Dewi?" tanya Prabu Indrajaya.
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Dewi Puspita masih belum hilang dari rasa
terkejutnya. Sementara seluruh tubuh Bayu tampak semakin hebat saja bergetar. Antara sadar
dan tidak, Pendekar Pulau Neraka itu bagai melihat gurunya, Eyang Gardika datang
di depannya. "Kau sedang menghadapi kekuatan ilmu sihir, Anakku. Dan kau akan sia-sia saja
jika melawannya dengan kekuatan ilmu olah kanuragan. Hadapilah dia dengan
kekuatan batinmu, dan gunakan Cakra Maut sebagai pelindung dirimu."
Sebentar kemudian Bayu tersentak kaget.
Kata-kata itu jelas sekali terdengar di telinganya. Kini Pendekar Pulau Neraka
itu mulai sadar, kalau dulu dia meninggalkan Pulau Neraka saat gurunya itu
tengah bersemadi untuk menghadapi kesempurnaan diri dalam meninggalkan dunia
lana ini. Dan seperti lazimnya orang-orang yang berilmu tinggi, dia sebenarnya
tidak mati, tapi hanya muksa.
Berangsur-angsur Bayu menarik kembali hawa murninya. Dan pada saat itu getaran
yang dirasakannya begitu kuat seperti berubah menjadi satu tenaga dorongan yang
sangat kuat dan menghentak. Seketika tubuh Bayu terpental keras ke belakang, dan
langsung menghantam pohon hingga tumbang. Namun Pendekar Pulau Neraka itu segera
bisa menguasai diri dan duduk bersila.
Sejenak dia mencopot senjata Cakra Mautnya, dan menggenggamnya dengan erat pada
salah satu ujungnya. Masih dalam sikap bersemedi,
dan cakra terangkat ke depan. Bayu mengosongkan seluruh kekuatan dirinya pada
jiwa. Kemudian pelahan-lahan tubuhnya mulai tampak tenang, dan getaran aneh itu terasa
semakin berkurang. Namun pada saat seluruh getaran itu hilang, mendadak dari
arah Lereng Gunung Tangkar, meluncur sinar merah yang langsung meluruk deras ke
arah Pendekar Pulau Neraka itu. Namun keajaiban segera terjadi, cakra di tangan
Bayu juga langsung memancarkan cahaya keperakan yang menyilaukan mata. Dan
cahaya bergumpal yang membentuk bulatan sebesar kepala manusia itu, terus
meluruk deras menyongsong sinar merah itu.
Glarrr! Seketika satu ledakan keras dan dahsyat terdengar menggelegar! Bayu segera
bangkit berdiri, dan melangkah tegap ke depan.
Kemudian dia berdiri tegak dengan tangan kanan yang menjulur ke depan sambil
memegang Cakra Maut-nya. Tepat pada saat itu, mendadak sebuah bola api kembali
meluncur ke arahnya. Dan seperti tadi, sebuah cahaya perak berbentuk bola
kembali melesat ke luar dari Cakra Maut di tangan Pendekar Pulau Neraka.


Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Slap! Glarrr...! Beberapa kali terjadi luncuran-luncuran cahaya yang saling berbenturan di udara
dan menimbulkan suara ledakan menggelegar memekakkan telinga. Tampak mereka yang
menyaksikan semua itu, jadi terpana kagum.
Pertarungan aneh itu memang benar-benar mempesona, namun amat berbahaya dan
dahsyat. Dan pada saat Bayu tengah sibuk menghadang gempuran-gempuran kekuatan sihir dari
Nyai Lumping, dari balik hutan di Kaki Lereng
Gunung Tangkar, mendadak bermunculan tidak kurang dari lima puluh orang yang
berpakaian seragam prajurit Kerajaan Bumi Loka. Mereka terus berteriak-teriak
dengan gegap-gempita bagai hendak menyerang musuh. Tampak Panglima Rupadi
berlari paling depan dengan pedang yang sudah tergenggam di tangannya.
Melihat keadaan itu, Prabu Indrajaya segera memerintahkan pada kedua panglima
dan tiga orang punggawanya untuk bersiap-siap menghadapi mereka. Sementara itu
Dewi Puspita masih tercenung dan mengkhawatirkan keselamatan Bayu Hanggara yang
masih terus bertempur melawan kekuatan sihir Nyai Lumping.
*** Sebentar saja para prajurit yang membelot dan ikut dengan Panglima Rupadi, sudah
menyerbu pada Prabu Indrajaya yang hanya dikawal oleh dua orang panglima dan
tiga orang punggawa. Pertempuran yang tidak seimbang segera berlangsung tanpa
dapat dicegah lagi.
Sementara Dewi Puspita pun tidak bisa menahan diri lagi. Dengan kemarahan yang
meluap-luap karena merasa difitnah, gadis itu langsung mengamuk seperti seekor
singa betina yang kehilangan anaknya.
Pedangnya terus berkelebatan cepat bagai kilat, diiringi dengan gerakan tubuh
yang lincah dan ringan. Sedangkan para prajurit pengkhianat itu yang memang
bukan tandingan Dewi Puspita, segera berantakan kesana kemari.
Sementara itu Prabu Indrajaya yang juga memiliki tingkat kepandaian cukup
tinggi, mengamuk seperti banteng ketaton! Pedangnya terus berkelebat cepat, dan
selalu meminta nyawa. Sedangkan tidak jauh dari tempat
pertempuran itu, Bayu masih tetap sibuk menghadapi gempuran kekuatan sihir Nyai
Lumping jarak jauh.
"Hhh..., untunglah mereka masih mampu untuk menandingi para pengkhianat itu,"
desah Bayu yang matanya sempat melirik ke arah pertarungan yang tidak seimbang
itu. Memang, kekuatan yang sedikit dari pihak Prabu Indrajaya, tidak bisa dianggap
remeh. Dua orang panglima dan tiga orang punggawanya adalah orang-orang yang memiliki
ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Dan tingkat kepandaian mereka rata-rata
berada jauh di atas para prajurit pengkhianat tersebut.
Sehingga kelihatannya tidak mengalami kesulitan dalam pertarungan itu.
Sebentar saja jerit dan pekik kematian terus membahana saling susul. Bersamaan
dengan tubuh-tubuh yang bergelimpangan dengan bersimbah darah. Kini Kaki Lereng
Gunung Tangkar kembali tersiram darah! Namun pertempuran seakan tidak mau
berhenti. Saat itu, Dewi Puspita tampak berusaha untuk mendekati Panglima Rupadi yang
tengah bertarung melawan salah seorang punggawa.
"Panglima Rupadi, akulah lawanmu...!"
teriak Dewi Puspita lantang. Dan bersamaan dengan itu juga tubuhnya segera
melenting ke arah Panglima Rupadi. Tapi terlambat...!
Pedang di tangan panglima itu sudah berkelebat cepat dan menembus dada punggawa
lawannya. "Aaa...!" punggawa itu menjerit melengking.
Dada punggawa itu sobek dan menganga lebar! Melihat itu, seketika Dewi Puspita
menggeram hebat, dan langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus mautnya.
Sedangkan Panglima Rupadi agak sedikit kewalahan, namun dengan cepat dia segera bisa
menguasai diri.
Sebenarnya tingkat kepandaian Dewi Puspita seimbang dengan Panglima Rupadi. Tapi
kali ini dia agak kewalahan, karena harus membagi perhatiannya pada para
prajurit yang membantu panglima itu untuk menyerangnya.
"Ha ha ha...! Ayo, Manis. Keluarkan semua kepandaianmu!" ujar Panglima Rupadi
yang mencoba membangkitkan amarah gadis itu.
Dewi Puspita hanya mendengus dan semakin memperhebat serangannya. Sejenak dia
berkelit kesamping saat salah satu pedang prajurit hampir membelah iganya, lalu
dengan cepat tangannya memutar pedangnya dan membabat robek dada prajurit itu.
Namun pada saat itu, tiba-tiba Panglima Rupadi dengan licik membokongnya.
"Hup!"
Panglima Rupadi menendang pedang yang berada dekat ujung kakinya, sehingga
meluncur deras ke arah Dewi Puspita. Mau tidak mau, gadis itu segera melompat ke
samping sambil memutar pedangnya untuk menangkis serangan yang tiba-tiba itu.
Namun pada yang bersamaan, Panglima Rupadi sudah melompat seraya mengibaskan
pedangnya kearah kepala Dewi Puspita.
"Hih!"
Sejenak Dewi Puspita terperanjat! Buru-buru dia menjatuhkan diri, sambil
berusaha menghalau pedang yang meluncur deras ke arahnya. Namun gerakannya
terlambat hanya sekejap mata saja. Ujung pedang Panglima"
Rupadi itu berhasil menggores pundak kiri gadis itu.
"Akh!" Dewi Puspita memekik tertahan.
Bergegas gadis itu melompat berdiri.
Bibirnya mendesis menahan geram. Sedangkan darah terus mengucur deras dari bahu
kirinya yang sobek cukup lebar. Pada saat itu, tiba-tiba seorang prajurit
membokongnya dari belakang.
"Hait!"
Tring! Dewi Puspita langsung memutar tubuhnya, menangkis senjata prajurit itu. Lalu
dengan kecepatan kilat, dia segera membelokkan pedangnya, dan langsung merobek
dada prajurit pembokong itu. "Akh!"
Kembali Dewi Puspita memutar tubuhnya begitu mendengar suara desiran halus dari
belakang. Dan tiba-tiba matanya membebak lebar, begitu melihat ujung pedang
Panglima Rupadi sudah meluruk deras ke arahnya. Buru-buru gadis itu mengangkat
pedangnya, dan menangkis serangan gelap panglima pembangkang itu. Namun satu
dupakan kaki yang keras tidak dapat dihindarkan.
Duk! "Hugh...!" Dewi Puspita mengeluh pendek, tubuhnya meluncur deras ke belakang.
"Mampus kau, Gadis Setan...!" teriak Panglima Rupadi geram.
Dewi Puspita yang masih dalam keadaan terjajar, tidak mungkin lagi bisa
mengelak. Sebisanya dia mencoba mempertahankan diri, namun ujung pedang Panglima Rupadi
berhasil juga menggores lengan gadis itu, bahkan satu pukulan tangan kiri
bertenaga dalam dahsyat mendarat di bahu kanannya.
Gadis itu memekik tertahan, bahu kanannya terasa remuk, dan matanya berkunang-
kunang. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dewi Puspita tak sanggup lagi mengangkat
pedangnya, tapi pada saat yang kritis itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan dengan
cepat menyambar tubuh Dewi Puspita! Hal itu tentu saja membuat Panglima Rupadi
yang hendak menyerang kembali dengan pedangnya menjadi terperangah. Matanya
dengan nyalang mencari.
Namun Dewi Puspita sudah lenyap bagai ditelan bumi.
*** 8 Pertempuran di Lereng Gunung Tangkar terus berlangsung sengit! Kekuatan
rombongan Prabu Indrajaya yang cuma beberapa orang itu semakin berkurang. Kini
sudah dua orang punggawa yang tewas, sedangkan Dewi Puspita lenyap disambar
suatu bayangan. Sementara di pihak Panglima Rupadi, masih banyak prajurit yang
masih hidup. Dan mereka sudah bisa menguasai jalannya pertarungan. Tampak Prabu
Indrajaya yang kini hanya dibantu oleh dua panglima dan satu punggawa, semakin
kelihatan terdesak!
"Ha ha ha...! Terus, gempur! Jangan biarkan mereka hidup!" Panglima Rupadi
tertawa terbahak-bahak Dia tidak peduli lagi dengan hilangnya Dewi Puspita.
Sementara itu, Bayu yang sedang menahan gempuran Nyai Lumping, mendengar bisikan
halus. "Bayu, kau bereskan saja permasalahan di sini! Kau jangan cemas memikirkan
keadaan Dewi Puspita. Dia cucuku sendiri, dan akan aman bersamaku!" bisik suara
yang disampaikan dari jarak jauh itu.
Belum sempat Bayu berterima kasih pada orang yang berbisik itu, tiba-tiba dia
telah menerima serangan mendadak yang melesat cepat ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu langsung mengibaskan senjata cakranya yang dia genggam. Seketika tiga orang
lawan langsung menggelepar tanpa mampu membalas.
Pendekar Pulau Neraka itu terus bergerak cepat bagai kilat, berlompatan ke sana
kemari dengan senjata cakra berkelebat mencabut nyawa.
Hanya dalam waktu yang singkat, sepuluh orang sudah tewas di tangannya. Dan
keadaan jadi berbalik, kini semangat Prabu Indrajaya dan dua orang panglimanya
bangkit kembali.
Saat itu seorang punggawa yang masih tersisa, sudah tewas di tangan Panglima
Rupadi. Dan terjunnya Pendekar Pulau Neraka kedalam kancah pertarungan, tentu
saja membuat Panglima Rupadi jadi cemas.
Dan kecemasan Panglima Rupadi semakin menebal, ketika melihat para prajuritnya
sudah bergeletakan kena amukan Pendekar Pulau Neraka. Jerit dan pekik kematian
terus membahana saling susul bersamaan dengan robohnya tubuh-tubuh yang
bergelimpangan darah saling tumpang tindih. Kini jumlah prajurit pembangkang itu
semakin berkurang dan menyusut. Dan semangat mereka pun tampaknya mulai
mengendur. Melihat kenyataan ini, Panglima Rupadi langsung melesat kabur,
namun.... "Rupadi! Jangan lari kau!" bentak Prabu Indrajaya.
Raja Bumi Loka itu langsung melesat mengejar. Tangannya yang menggenggam pedang,
terus berkelebat cepat bagai kilat. Sedangkan Panglima Rupadi buru-buru
merundukkan kepalanya dan memutar tubuhnya sambil mengibaskan senjatanya. Prabu
Indrajaya menarik kembali pedangnya, lalu dengan cepat membenturkannya ke pedang Panglima
Rupadi. Tring! "Pengkhianat! Kau harus mampus...!" geram Prabu Indrajaya.
"Kaulah yang harus mampus, Raja Bodoh!"
balas Panglima Rupadi tak kalah sengit.
"Setan! Hiyaaa...!"
"Hup!"
Prabu Indrajaya langsung menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Sementara
Panglima Rupadi yang menyadari bahwa tingkat kepandaiannya masih berada di bawah
Prabu Indrajaya, mengambil sikap hati-hati. Namun hanya dalam beberapa jurus
saja, nampaknya dia sudah mulai terdesak.
Dan pada saat keadaan Panglima Rupadi semakin kritis itu, tiba-tiba melesatlah
sesosok tubuh yang langsung menyerang Prabu Indrajaya.
"Paman Ardareja...." desis Prabu Indrajaya terkejut.
Kedatangan Patih Ardareja membuat semangat Panglima Rupadi bangkit kembali.
Kakak beradik itu kemudian segera menyerang Prabu Indrajaya tanpa banyak bicara
lagi. Sementara itu pertarungan di tempat lain sudah berakhir. Dua orang
panglima yang masih hidup langsung berlompatan dan membantu Prabu Indrajaya.
"Paman Patih Ardareja, di mana kau sembunyikan permaisuriku?" bentak Prabu
Indrajaya. "Dia ada di tangan Nyai Lumping!" sahut Patih Ardareja.
"Setan! Kau harus kubunuh, Patih Ardareja!" geram Prabu Indrajaya.
Kemarahan Prabu Indrajaya semakin memuncak ketika mendengar jawaban itu. Dan
seperti orang yang kesetanan, dia langsung menggempur habis-habisan patih pembangkang
itu. Sementara Panglima Rupadi harus melayani dua orang panglima lainnya.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba seorang perempuan tua muncul sambil memperdengarkan suara tawanya yang
mengikik dan mendirikan bulu kuduk. Namun kehadirannya tidak mempengaruhi
jalannya pertempuran. Dan memang kehadiran Nyai Lumping langsung disambut oleh
Pendekar Pulau Neraka.
"Aku lawanmu, Perempuan Iblis!" kata Bayu geram.
"Hik hik hik...! Kau memang tangguh, Anak Muda. Tapi, ilmumu belum cukup untuk
menandingiku!" sahut Nyai Lumping pongah.
"Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih dulu terbang ke neraka!"
"Hik hik hik...!"
Tanpa buang-buang waktu lagi, Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya ke depan
dengan tubuh agak membungkuk miring. Tampak senjata cakra yang berada di
pergelangan tangannya langsung melesat bagai kilat, dan mengarah ke tubuh
perempuan tua itu.
"Hup!"
Buru-buru Nyai Lumping mengangkat tongkatnya, dan menghalau cakra berwarna
keperakan itu. Namun dia segera terperanjat, karena senjata itu bisa berkelit
sendiri, dan langsung mencecarnya seperti memiliki mata saja. Sedangkan Bayu
terus memain-mainkan jari-jari tangan kanannya untuk mengendalikan senjata
andalannya itu.
Perempuan tua ahli sihir itu nampak agak kerepotan menghadapi senjata itu. Cakra
Maut berwarna keperakan itu terus melayang-layang dengan kecepatan bagai kilat,
mengarah ke bagian-bagian tubuh Nyai Lumping yang mematikan.
"Hih! Bocah Setan!" rutuk Nyai Lumping sengit Nyai Lumping sempat melihat Bayu
tengah mengendalikan cakra itu dari jarak yang cukup jauh. Dan tanpa membuang
kesempatan lagi, perempuan tua itu langsung menghentakkan kepala tongkatnya ke
arah Pendekar Pulau Neraka itu, sambil berkelit menghindari terjangan Cakra Maut
"Hup, hiyaaa...!"
Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya ke udara saat melihat secercah sinar merah
meluruk deras kearahnya. Dan sinar itu langsung menghantam tanah hingga
menimbulkan suara yang menggelegar dan menggetarkan. Tepat pada saat tubuh Bayu
berada di udara, Cakra Maut itu berbalik ke arahnya. Dan dengan cepat Bayu
segera menangkapnya, dan langsung melemparkannya kembali ke arah Nyai Lumping.
"Heh!"
Nyai Lumping terkejut setengah mati. Buru-buru dia merundukkan kepalanya untuk
menghindar. Dan Cakra Maut itu hanya lewat sejengkal di atas kepalanya.
Sedangkan Bayu kini sudah meluruk deras kearahnya. Kemudian bagaikan kilat, kaki
kanannya langsung mendupak tubuh perempuan tua itu.
"Ikh! Setaaan...!"
Kembali Nyai Lumping tersentak kaget!
Buru-buru dia melompat mundur. Tapi baru saja rubuhnya bisa berdiri, Cakra Maut
itu sudah meluruk cepat dan menyerangnya. Mau tidak mau Nyai Lumping harus
melompat ke udara menghindari terjangan senjata yang bagai bernyawa itu.
Dan pada saat itulah, Bayu juga melesat sambil mengirimkan 'Pukulan Racun
Hitam'. Seketika Nyai Lumping memekik tertahan, dia tidak bisa lagi untuk mengelak.
Bahunya sudah terkena 'Pukulan Racun Hitam' dengan telak.
Tubuh perempuan tua itu meluruk deras, jatuh ke tanah dan bergulingan.
"Hup!"
Bayu mendarat dengan manis di tanah.
Sejenak tangannya terangkat dan Cakra Mautnya kembali menempel pada pergelangan
tangan kanannya. Sementara Nyai Lumping sudah kembali bangkit, namun tubuhnya
masih terhuyung-huyung. Tampak dari sudut bibirnya mengucur darah kental
berwarna kehitaman. "Hoak...!"
Nyai Lumping memuntahkan darah kental kehitaman. Matanya yang keriput membeliak
lebar. Dia menyadari kalau dirinya sudah terkena pukulan beracun. Buru-buru dia
mengambil sikap untuk menyalurkan hawa murni.
Tentu saja kesempatan itu tidak dibiarkan lewat oleh Bayu. Dengan cepat Pendekar
Pulau Neraka itu menghentakkan tangan kanannya ke depan, seketika Cakra Maut di
pergelangan tangan kanannya melesat bagaikan anak panah yang lepas dari
busurnya. "Bocah setan! Monyet buntung...!" Nyai Lumping langsung memaki-maki tak karuan
sambil berkelit menghindari terjangan senjata pipih yang bergerigi enam itu.
Sementara pertarungan di tempat lain terus berlangsung sengit. Belum ada satu
pihak pun yang kelihatan bakal unggul. Rupanya kekuatan mereka cukup berimbang
juga. Dan Bayu sudah kembali bertarung jarak dekat dengan Nyai Lumping. Namun
sedikit pun dia tidak memberi kesempatan lagi pada perempuan tua itu untuk
merapalkan ilmu sihirnya. Dia sudah merasakan kehebatan ilmu sihir perempuan tua
itu. Dan

Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari tidak akan mampu untuk menandingi kekuatan ilmu sihirnya.
"Hiya...!"
"Hiyaaa...!"
*** Dalam ilmu sihir, Nyai Lumping memang sangat ditakuti! Namun dalam ilmu olah
kanuragan, dia masih bisa ditandingi, meskipun tingkatannya juga tinggi. Dan
kini Nyai Lumping benar-benar merasa kewalahan menghadapi gempuran Bayu yang
sama sekali tidak memberi kesempatan lagi padanya untuk menggunakan kekuatan
sihirnya. Nyai Lumping semakin geram saja, karena racun yang mengendap dalam tubuhnya
mulai terasa bekerja. Kini napasnya mulai sesak, dan persendiannya juga terasa
nyeri. Tapi bagaimanapun juga dia harus tetap menghadapi Bayu yang menyerang
dengan kesetanan.
"Huh! Dia benar-benar sudah tahu kelemahanku!" dengus Nyai Lumping dalam hati.
Namun diam-diam Nyai Lumping segera merapalkan salah satu ilmu sihirnya. Tampak
sepasang bola matanya jadi berwarna merah bagai darah menggumpal. Kemudian ia
melesat mundur, dan pada saat Bayu hendak merangsek, tiba-tiba dari kedua mata
perempuan tua itu meluncur sinar merah.
"Heh!" Bayu tersentak kaget.
Buru-buru dia melompat ke samping, dan sinar merah itu langsung menghantam
tanah, hingga segera menimbulkan suara ledakan yang dahsyat. Debu tampak
mengepul dari hantaman sinar merah itu. Kali ini Bayu benar-benar dibuat
jungkir-balik menghindari sinar-sinar merah yang terus-menerus meluruk ke
arahnya. "Bayu, jangan pandang matanya. Ikuti saja gerakan kakinya. Jangan kau hiraukan
sinar-sinar merah itu, tidak akan berbahaya bagimu!"
tiba-tiba terdengar bisikan halus di telinga Bayu.
Sejenak Bayu tersentak, dia sudah kenal betul dengan suara itu. Suara Eyang
Gardika, gurunya. Maka tanpa membuang waktu lagi, Bayu kemudian mengalihkan
perhatiannya pada gerakan kaki Nyai Lumping. Dan dia membiarkan saja sinar-sinar
merah itu menghajar tubuhnya.
Aneh! Sinar merah itu bisa tersedot ke dalam senjata cakra di pergelangan
tangannya! Bayu tampak tersenyum. Dalam hati dia mengucapkan terima kasih pada gurunya yang telah membantunya itu. Kini Pendekar
Pulau Neraka itu terus bergerak mengikuti setiap gerakan kaki Nyai Lumping. Lalu
sedikit demi sedikit dia berusaha mendekatkan jaraknya. Dan begitu jaraknya
tinggal satu batang tombak lagi, Bayu segera melenting dan mengebutkan tangan
kanannya dengan cepat
Wut! "Akh!" Nyai Lumping langsung memekik terperangah.
Buru-buru dia melompat mundur seraya berkelit ke samping, tapi terjangan yang
datang secara beruntun itu membuatnya kelabakan. Lebih-lebih dalam keadaan mata
yang sedang mengandung kekuatan ilmu sihir.
Penglihatan Nyai Lumping pun terhalang! "Hih!"
Seketika Bayu mencobloskan dua jarinya ke mata Nyai Lumping yang memerah
membara. "Aaakh...!" Nyai Lumping segera menjerit melengking tinggi.
Dan belum lagi perempuan tua itu sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak
saja telinganya seperti terpanggang. Dan memang,
Bayu menusuk telinga perempuan itu dengan menggunakan sebatang ranting yang
dipungutnya dari tanah.
Bayu kemudian melompat mundur sejauh tiga batang tombak, dan dengan kecepatan
penuh, dia langsung melontarkan senjatanya. Seketika Cakra Maut yang berwarna
keperakan itu melesat cepat dengan suara mendesing. Tentu saja Nyai Lumping
gelagapan, karena mata dan telinganya tidak lagi berfungsi. Maka tanpa ampun
lagi, cakra itu langsung memenggal kepalanya.
"Hup!"
Bayu segera menangkap cakra yang tengah kembali kepadanya. Dan dia langsung
melenting cepat sambil mengarahkan kakinya ke tubuh wanita tua itu. Secara
beruntun kedua kaki Pendekar Pulau Neraka itu menghajar tubuh tua yang bungkuk
itu. Tubuh Nyai Lumping terjengkang dan ambruk ke tanah dengan keras! Kepalanya
menggelinding terpisah agak jauh. Sejenak Bayu masih berdiri tegak dengan napas
memburu. Baru kali ini dia benar-benar merasakan lawan yang sangat tangguh.
Kalau saja tadi gurunya tidak membantu, mungkin akan lain jadinya.
*** Kematian Nyai Lumping benar-benar mengejutkan Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi. Seketika kepercayaan diri mereka langsung mengendur. Tentu saja hal itu
dimanfaatkan dengan baik oleh Prabu Indrajaya.
Maka dengan satu teriakan yang melengking, Prabu Indrajaya langsung melompat
cepat sambil mengibaskan pedangnya.
Sejenak Patih Ardareja terperangah, lalu buru-buru dia memapak serangan itu.
Namun gerakannya kalah cepat dan dadanya tergores ujung pedang Prabu Indrajaya. Belum
lagi Patih Ardareja bisa menguasai tubuhnya, tiba-tiba satu tendangan geledek
sudah mendarat di dada dan kepalanya secara beruntun. Seketika tubuh Patih
Ardareja limbung, dan....
"Aaakh...!" Patih Ardareja menjerit melengking tinggi.
Dengan cepat pedang Prabu Indrajaya menusuk tenggorokan patih pembangkang itu.
Sebentar Patih Ardareja masih sanggup berdiri limbung, namun begitu satu pukulan
telak mendarat di dadanya, tubuhnya langsung ambruk di tanah. Tampak darah
mengucur deras dari dada dan lehernya. Sejenak Prabu Indrajaya berdiri tegak
sambil memandangi tubuh lawannya yang sudah tak berkutik itu.
"Gusti, sebaiknya kita segera mencari Gusti Permaisuri," kata Bayu yang tahu-
tahu sudah berada di belakang Prabu Indrajaya.
"Baiklah, ayo," sahut Prabu Indrajaya.
Sejenak Prabu Indrajaya memandang ke arah dua panglimanya yang tengah bertarung
melawan Panglima Rupadi. Kemudian Raja Bumi Loka itu segera berlari cepat
mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Mereka terus berlari mendaki Lereng Gunung
Tangkal itu. Sementara itu pertarungan antara Panglima Rupadi melawan dua orang Panglima
Kerajaan Bumi Loka terus berlangsung dengan sengit.
Kini jelas terlihat kalau Panglima Rupadi kian terdesak, dan dalam beberapa
jurus lagi, pasti bisa dikalahkan. Namun dasar otaknya yang memang cerdik, dia
segera bisa mendapat jalan.
Maka sambil melemparkan senjatanya ke arah seorang lawannya, Panglima Rupadi
melesat cepat melarikan diri.
"Hey! Jangan lari, kau!" bentak salah seorang panglima seraya melesat mengejar.
Kedua panglima itu terus berlari cepat mengejar Panglima Rupadi. Dan salah
seorang kemudian melemparkan pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Pedang itu terus meluncur cepat ke arah tubuh Panglima Rupadi. Dan tanpa ampun
lagi, pedang itu langsung menembus punggung Panglima Rupadi.
"Aaaa...!" seketika Panglima Rupadi menjerit melengking.
Tak pelak lagi, tubuhnya ambruk
bergulingan di tanah. Salah seorang panglima yang masih memegang pedang, segera
melompat sambil mengibaskan senjatanya. Dan langsung saja dia membabatkan
pedangnya ke leher lawannya itu. Darah segar langsung muncrat ke luar dari leher
yang hampir putus itu. Sejenak Panglima Rupadi menggelepar, dan kemudian diam
untuk selamanya!
*** Prabu Indrajaya segera berhenti berlari begitu sampai pada sebuah pondok kecil.
Pondok itu berdiri agak terpencil di tengah-tengah Hutan Gunung Tangkar. Sejenak
Prabu Indrajaya memandangi pintu pondok itu. Lalu dengan hati-hati kakinya
terayun mendekati pintu yang masih tertutup rapat itu.
"Tunggu, Gusti Prabu," cegah Bayu menahan langkah Prabu Indrajaya.
Kemudian Bayu segera mendahului dan melangkah ke pintu pondok itu. Ayunan
kakinya tetap perlahan-lahan dan hati-hati. Matanya tidak berkedip memandang ke
arah pintu pondok.
Sementara Prabu Indrajaya hanya menunggu sambil memperhatikan dengan hati
berdebar. "Hiyaaa...!" seketika Bayu berteriak keras.
Tubuhnya langsung melesat dan menjebol pintu pondok itu. Namun tidak lama
kemudian Pendekar Pulau Neraka itu kembali melompat ke luar. Matanya langsung
menatap Prabu Indrajaya dengan sinar mata yang sulit diartikan.
"Ada apa?" tanya Prabu Indrajaya sambil bergegas menghampiri.
Bayu tidak segera menjawab. Kepalanya kemudian tertunduk, seakan tidak sanggup
lagi memandangi wajah Raja Bumi Loka ini. Prabu Indrajaya tidak sabar lagi. Dia
bergegas masuk ke pondok, seketika matanya membelalak lebar begitu melihat tubuh
permaisurinya telah menggeletak di lantai dengan hanya tertutup kain tipis
seadanya. Sedangkan sebilah pisau tertanam dalam dadadanya. Darah juga
menggenang di sekitar tubuh permaisuri itu.
"Dinda Puspa...," suara Prabu Indrajaya getir.
Prabu Indrajaya tak dapat menahan emosinya lagi. Dia langsung menubruk tubuh
permaisurinya, dan memeluknya dengan erat.
Tubuh Permaisuri Puspa Sari terkulai lemas saat diangkat oleh Prabu Indrajaya.
Lalu dengan langkah lesu, Prabu Indrajaya melangkah ke luar dari dalam pondok.
Sementara Bayu hanya memandangnya saja dengan bibir yang terkatup rapat.
"Maafkan aku, Dinda. Aku datang terlambat...," rintih Prabu Indrajaya.
Raja Bumi Loka itu terus melangkah pelahan-lahan meninggalkan pondok kecil itu.
Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikannya dengan hati ikut berduka. Sedikit pun
dia tidak merasa tersinggung karena Prabu Indrajaya tidak menghiraukannya lagi.
Perasaan duka yang amat dalam, membuat Raja Bumi Loka itu lupa akan keadaan sekitarnya.
Prabu Indrajaya terus saja melangkah pelan-pelan sambil meratapi kematian
permaisurinya. Saat itu langit tampak dipenuhi oleh awan hitam. Sementara angin
pun berhenti berhembus, seakan-akan ikut merasakan kepedihan hati Prabu
Indrajaya. Pepohonan juga seperti merunduk saat Raja Bumi Loka itu melewatinya.
Kini rintik-rintik air hujan mulai jatuh menyiram bumi, sepertinya langit juga
ikut berduka atas kematian wanita ayu Permaisuri Kerajaan Bumi Loka itu.
Sementara Bayu masih saja berdiri mematung sambil memandangi kepergian Raja Bumi
Loka yang membawa mayat permaisurinya itu. Tiba-tiba saja pikirannya teringat
pada ibunya, yang sampai saat ini belum ketahuan nasibnya.
Apakah sudah meninggal, atau masih hidup. Bayu mendesah panjang, lalu dengan
cepat dia melesat meninggalkan Lereng Gunung Tangkar itu.
Tepat pada saat itu, dua orang panglima yang sudah menyelesaikan pertarungan
telah tiba ditempat itu. Mereka langsung terkejut begitu melihat Prabu Indrajaya
tengah melangkah lesu sambil memondong tubuh Permaisuri Puspa Sari yang terkulai
lemas, dengan sebilah pisau tertanam di dada.
"Gusti Prabu...," salah seorang menghaturkan sembah.
"Cepat kembali ke istana, dan bawa kereta kencana ke sini," perintah Prabu
Indrajaya. "Hamba segera laksanakan, Gusti Prabu."
Kemudian salah seorang panglima segera berlari cepat menghampiri seekor kuda
yang sedang merumput. Tampak ada beberapa ekor kuda milik para prajurit
pembangkang sedang
merumput di situ. Dengan cepat panglima itu melompat ke punggung kuda, dan
langsung menggebahnya menuju Istana Kerajaan Bumi Loka.
Sementara Prabu Indrajaya terus melangkah pelan sambil memondong tubuh
permaisurinya dengan diiringi oleh seorang panglimanya.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel Convert : Abu Keisel
Editor : Abu Keisel
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
Payung Sengkala 2 Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang Kisah Para Pendekar Pulau Es 16
^